Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

15
1 1. MATERI DAN METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan di dalam praktikum ini adalah pisau, blender, toples, 2 buah kain sarig 30 x 30 cm, lakban bening, pengaduk kayu dan panci. 1.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk praktikum kali ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim papain kormersial, gula kelapa, garam dan bawang putih. 1.2. Metode Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam toples Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1% Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk

description

praktikum teknologi hasil laut kloter C1 tentang kecap ikan

Transcript of Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

Page 1: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

1

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan di dalam praktikum ini adalah pisau, blender, toples, 2 buah

kain sarig 30 x 30 cm, lakban bening, pengaduk kayu dan panci.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan untuk praktikum kali ini adalah tulang dan kepala ikan,

enzim papain kormersial, gula kelapa, garam dan bawang putih.

1.2. Metode

Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam

toples

Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%

Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk

Page 2: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

2

Hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan

ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)

Setelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua

Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aroma

Page 3: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

3

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan pembuatan kecap ikan dengan penambahan ezim papain dapat dilihat

pada tabel 1.

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain

Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)

C1 Enzim papain 0,2% ++ +++ +++ +++ 3,00

C2 Enzim papain 0,4% ++ +++ ++++ +++ 3,20

C3 Enzim papain 0,6% - - - - -

C4 Enzim papain 0,8% ++++ +++++ ++++ +++ 4,00

C5 Enzim papain 1% +++ ++++ ++++ +++ 3,70

Keterangan:

Warna : Aroma

+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam

++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam

+++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam

++++ : coklat gelap ++++ : tajam

+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajam

Rasa Penampakan

+ : sangat tidak asin + : sangat cair

++ : kurang asin ++ : cair

+++ : agak asin +++ : agak kental

++++ : asin ++++ : kental

+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penambahan enzim papain akan berpengaruh

terhadap penampakan dan sensori dari kecap ikan yang dihasilkan. Semakin tinggi

konsentrasi enzim papain yang ditambahkan maka warna kecap ikan akan semakin

gelap dan rasa dari kecap asin menjadi semakin asin sehingga menghasilkan aroma yang

tajam. Namun, penambahan enzim ini tidak berpengaruh terhadap penampakan dari

kecap ikan. Semua kelompok mendapatkan penampakan kecap ikan yang dibuat yaitu

memiliki viskositas yang tinggi sehingga kecap ikan menjadi kental. Salinitas yang

dihasilkan setiap kelompok pun berbeda. Kelompok C4 memiliki salinitas tertinggi

yaitu sebesar 4% sedangkan yang terendah adalah kelompok C1 dengan nilai sebesar

3%.

Page 4: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

4

3. PEMBAHASAN

Ikan memiliki limbah yang cukup besar yaitu sekitar 50% dari total berat ikan. Limbah

inilah yang kemudian menjadi perhatian penting di bidang industri karena apabila

limbah dibuang di lingkungan akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Padahal

limbah ikan ini memiliki banyak nutrisi dengan nilai yang tinggi seperti protein, lemak

dan enzim. Oleh karena itu, limbah ikan sudah seharusnya dimanfaatkan menjadi

produk lain yang lebih bisa meningkatkan nilai jualnya (Kilinc, 2003). Pengolahan ikan

tersebut bermanfaat untuk memperbaiki bau, cita rasa, penampakan dan tekstur daging.

Limbah perikanan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap ikan. Kecap

ikan merupakan salah satu produk perikanan tradisional yang dibuat dengan metode

fermentasi dan telah dikenal sejak lama dengan ciri khas berupa cairan jernah berwarna

kekuningan sampai coklat, agak kental, memiliki rasa yang gurih asin dengan bau yang

sedikit amis. Kecap ikan menghasilkan aroma yang agak menyengat sehingga agak sulit

digunakan selama proses pengolahan pangan. Oleh karena itu, penambahan kultur

starter dapat diaplikasikan untuk mengurangi aroma yang tidak sedap tersebut. Kultur

starter ini dapat dibuat dengan cara fermentasi ikan dengan enzim pencernaan yang ada

dalam ikan itu sendiri. Contoh kultus starter yang efektif untuk mengurangi aroma tidak

sedap terserbut dapat digunakan kultur koji gandum-barley. Koji dibuat dengan cara

memasukkan Aspergillus oryzae ke dalam beras, barley, kedelai atau gandum yang telah

dikukus kemudian dikeringkan. Adapun tiga cara yang dapat dilakukan untuk membuat

kecap ikan antara lain dengan metode fermentasi bergaram, enzimatis (dengan

penambahan enzim protease papain, bromelin dan fisin) atau melalui proses kimiawi

(McIver et al., 1982).

Dalam jurnal “Characterization of the Traditional Fermented Fish Product Lona ilish of

Northeast India” oleh Manjundar & Basu (2009) produk ikan fermentasi merupaka

produk yang penting sebagai sumber protein terutama untuk daerah Asia Tenggara.

Fermentasi ikan menggunakan teknik yang lama yaitu dengan menggunakan garam

kemudian enzim autolitik yang ada di dalam ikan akan bereaksi dengan garam. Adapun

cara pengawetan yang dilakukan yaitu dengan pengalengan. Waktu fermentasi yang

dilakukan adalah selama 4-6 bulan. Waktu fermentasi ini akan berpengaruh pada

Page 5: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

5

kualitas sensori dari ikan yang telah di fermentasi. Hasilnya akan berasa lebih kaya akan

lemak. Proses fermentasi diawali dengan persiapan bahan terlebih yaitu ikan dicuci

kemudian dibersihkan setelah itu dipotong-potong menjadi lebih kecil lalu dicampur

dengan garam perbandingan 4:1. Kemudian, ikan diletakkan pada wadah fermentasi dan

di inkubasi selama 4-6 bulan.

Sebagian besar penyusun ikan adalah air yaitu sebesar 70-80% yang menyebabkan ikan

mudah sekali rusak terutama bila adanya kegiatan mikroba dan enzim di dalam tubuh

ikan. Oleh karena itu, ikan harus diolah dengan benar dan pengolahan ini bertujuan

untuk memperbaiki bau, cita rasa, penampakan serta tekstur dari daging ikan itu sendiri.

Pengawetan ditujukan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan sehingga tidak ada

kesempatan bagi bakteri untuk dapat berkembang biak. Menurut Shih et al. (2003)

dikatakan bahwa pengolahan ikan akan menghasilkan limbah berupa kepala dan isi

perut ikan yang dapat diolah lebih lanjut menjadi kecap ikan.

Pada praktikum ini pembuatan kecap ikan dilakukan melalui proses fermentasi secara

enzimatis dan diberi penambahan enzim papain dengan konsentrasi tertentu. Fermentasi

adalah suatu proses penguraian senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam

tubuh ikan menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh enzim dari tubuh ikan itu sendiri

atau dari mikroorganisme dan berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol

(Afrianto & Liviawaty, 1989). Dalam proses fermentasi ini mikroba maupun enzim

yang dihasilkan dapat menstimulir cita rasa yang spesifik, mampu meningkatkan nilai

cerna pada bahan pangan, menurunkan kandungan senyawa ati gizi atau bahan lain yang

tidak dikehendaki dan dapat menghasilkan produk atau senyawa turunan yang

bermanfaat bagi manusia (Dougan & Howard, 1975). Menurut jurnal “Amino Acids and

Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce” oleh Dincer et al. (2010) mengatakan

bahwa fermentasi merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk mengawetkan

makanan. Fermentasi ini tidak hanya dapat memperpanjang umur simpan namun juga

bisa menambah flavor dan kualitas nutrisi dari produk yang dihasilkan.

Proses pembuatan kecap ikan secara enzimatik lebih cepat dibandingkan dengan cara

tradisional sehingga lebih menguntungkan secara ekonomis. Namun, mutu kecap ikan

Page 6: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

6

yang dihasilkan masih rendah dibandingkan dengan kecap ikan yang diproduksi secara

tradisional. Hal ini terjadi karena dalam proses penguraian protein dengan bantuan

enzim papain terbentuk senyawa peptida tertentu yang dapat menimbulkan rasa pahit

dan aroma yang kurang sedap. Enzim proteolitik seperti halnya bromelin dan papain ini

berfungsi untuk mempercepat hidrolisis protein ikan (Achinewhu, 2002).

Langkah awal dalam praktikum ini yaitu tulang dan kepala ikan yang sudah

dihancurkan diambil sebanyak 50 gram. penghancuran daging ikan ini bertujuan untuk

mengeluarkan protein penyusun dan mineral lain yang menyusun tubuh ikan dan untuk

meningkatkan luas permukaan (Sanceda et al., 1996). Setelah itu ditambahkan dengan

enzim papain dengan konsentrasi 0,2% ; 0,4% ; 0,6% ; 0,8% dan 1% untuk masing-

masing kelompok. Selanjutnya ditambahkan dengan 300 ml air kemudian dimasukkan

ke dalam toples dan ditutup lalu diinkubasi selama 4 hari. Penambahan air ditujukan

untuk mendapatkan filtrat yang jernih. Perlakuan ini ditujukan untuk menciptakan

kondisi anaerob sehingga proses fermentasi berjalan lebih cepat serta untuk mencegah

adanya kontaminan yang masuk. Inkubasi sendiri bertujuan agar proses enzimatis yang

dilakukan oleh enzim protease dimana pada praktikum ini digunakan enzim papain dan

juga enzim yang ada pada tubuh ikan agar dapat berjalan dengan lancar. Enzim papain

yang bekerja selama proses inkubasi akan menguraikan protein menjadi senyawa yang

lebih sederhana seperi peptida, asam amino dan pepton (Harrigan, 1976). Hasil

hidrolisis ini adalah polipeptida dimana semula tidak larut di dalam air kemudian akan

menjadi larut dalam air dan akan saling berinteraksi sehingga dapat menciptakan rasa

yang khas (Buckle et al., 2007). Hal tersebut di dalam jurnal “Using Pineapple to

Produce Fish Sauce from Surimi Waste” oleh Sangjindavong et al. (2009) disebutkan

bahwa enzim proteinasi biasa digunakan dalam fermentasi kecap ikan dan makanan

fermentasi lainnya. Bromelin, papain dan ficin adalah sumber enzim protease yang

biasa digunakan. Enzim bromelin yang digunakan dalam penelitian ini berguna untuk

mempercepat proses fermentasi yang dilakukan dengan cara mengurangi waktu

fermentasi. Aktivitas bromelin sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang tinggi justru

akan menghambat reaksi. Suhu dan kadar garam memiliki efek bagi proses fermentasi.

Jika proses terjadi pada suhu yang rendah maka kadar garam yang tinggi dibutuhkan

untuk mendapatkan hasil yang baik.

Page 7: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

7

Langkah selanjutnya adalah hasil fermentasi kecap disaring kemudian filtrat direbus

sampai mendidih selama 30 menit. selama perebusan ini ditambahkan dengan bumbu-

bumbu yang sudah dihaluskan yaitu 50 gram bawang putih, 50 gram garam dan 1 butir

gula kelapa. Setelah itu, larutan tersebut didiginkan terlebih dahulu untuk kemudian

disaring kembali untuk kedua kalinya. Kemudian, dilakukan pengamatan secara

sensoris yang meliputi warna, rasa dan aroma serta penampakan dari kecap ikan. Untuk

uji salinitas kecap ikan yang telah dihasilkan diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan

dengan 9 ml akuades kemudian diukur menggunakan hand refractometer. Salinitas ini

merupakan kadar garam yang terlarut di dalam air (UNESCO,1981). Alat yang

digunakan dalam uji adalah hand refractometer yang biasa digunakan untuk mengukur

jatuhnya sinar yang dibiaskan kemudian menentukan besarnya refraksi. Biasanya alat

ini digunakan untuk mengukur kadar gula dan garam (Pearson, 1962).

Faktor yang memengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan adalah metode yang

digunakan, jumlah garam yang ditambahkan, lamanya inkubasi dan penggunaan bumbu

yang tepat (Astawan & Astawan, 1991). Penambahan bumbu berupa garam, bawang

dan gula kelapa dalam proses pembuatan kecap ikan ini dapat memengaruhi warna dari

kecap ikan yang dihasilkan. Penambahan garam berfungsi untuk memberikan rasa asin,

menguatkan rasa dan memberikan efek pengawetan karena garam dapat menurunkan

kadar Aw serta akan menganggu keseimbangan sel mikroorganisme karena terjadi

peningkatan proton di dalam sel sehingga mikroba perusak dapat dihambat. Hal ini

dipercaya akan memperpanjang umur simpan dari kecap ikan (Cowan, 1974). Di dalam

jurnal “Development of Cultural Context Indicator of Fermented Food” oleh Lee &

Kim (2013) juga dikatakan bahwa penggaraman yang diberlakukan pada ikan akan

menambah umur simpan ikan dimana nantinya akan terbentuk flavor yang khas

dikarenakan adanya disintegrasi pada daging ikan. Fermentasi produk ikan ditentukan

dari kualitas asam laktat yang dihasilkan dan umur simpan yang ditentukan dari kadar

garamnya. Adapun penambahan bawang putih berfungsi untuk memberikan aroma atau

flavor dan juga cita rasa serta untuk meningkatkan umur simpan dari kecap ikan. Hal

tersebut karena bawang putih mengandung zat allicin dimana zat ini efektif untuk

membunuh bakteri sehingga bawang putih dapat digunakan sebagai antimikroba

Page 8: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

8

(Fachruddin, 1997). Adapun gula kelapa berfungsi untuk memberikan rasa manis pada

kecap dan terutama untuk memberikan warna coklat karamel pada kecap ikan serta

untuk meningkatkan viskositas pada kecap yang dihasilkan (Lee et al., 1993).

Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa karakteristik dari kelompok C5 yang

menggunakan enzim papain dengan konsentrasi 1% yaitu kecap ikan berwarna agak

coklat gelap dengan aroma yang tajam dan rasa yang asin. Kelompok C4 dengan

konsentrasi papain 0,8% menghasilkan kecap berwarna coklat gelap dengan rasa yang

sangat asin dan aroma yang tajam. Untuk kelompok C2 menggunakan konsentrasi 0,4%

memiliki karakteristik kecap ikan berwarna kurang coklat gelap dengan aroma yang

tajam dan rasa yang agak asin. Kelompok C1 dengan konsentrasi enzim papain yang

paling kecil yaitu 0,2% memiliki karakteristik kecap ikan dengan warna kurang coklat

gelap dengan rasa yang asin dan aroma yang tajam. Untuk penampakan dari semua

kecap ikan yang dihasilkan setiap kelompok yaitu agak kental. Sedangkan pada

kelompok C3 tidak didapatkan hasil sama sekali. Hal ini dikarenakan toples yang

digunakan sebagai wadah fermentasi berlubang dari awal sehingga selama proses

inkubasi banyak bakteri dan mikroorganisme yang masuk dan mencemari kecap ikan

tersebut sehingga muncul adanya belatung di dalam toples. Hal ini menurut jurnal

“Processing and Quality Characteristics of Some Major Fermented Fish Products from

Africa : A Critical Review” oleh Anihouvi et al. (2012) lingkungan dengan konsentrasi

garam yang tinggi akan meninggalkan mikroorganisme yang hanya tahan dalam

lingkungan dengan kadar garam tinggi dan akan menghambat pertumbuhan bakteri

asam laktat.

Menurut Amano (1962) semakin banyak enzim yang ditambahkan ke dalam proses

pembuatan kecap ikan maka akan semakin tinggi pula aktivitas protease sehingga warna

cairan akan semakin gelap. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas enzim proteolitik pada

daging ikan menyebabkan warna cairan menjadi coklat. Namun, kelompok C4

menghasilkan warna yang lebih coklat dibandingkan dengan kelompok C5 yang

memiliki konsentrasi enzim lebih besar. Hal ini dapat disebabkan karena adanya

keterbatasan pada indera manusia yang digunakan untuk uji sensoris pada praktikum

kali ini. untuk parameter rasa didapatkan kelompok C4 dan C5 dengan konsentrasi

Page 9: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

9

papain yang tinggi menghasilkan rasa yang asin bahkan kelompok C4 sangat asin. Hal

ini menurut Hidayat et al. (2006) dikarenakan konsentrasi papain yang tinggi akan

menghasilkan komponen dengan hasil pemecahan protein yang lebih banyak sehingga

akan menimbulkan rasa yang lebih tajam dan khas. Namun, pada kelompok C1 dengan

konsentrasi papain yang paling rendah justru menghasilkan rasa yang asin.

Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan kesalahan dalam uji sensoris atau karena

penambahan garam yang tidak sesuai takaran yang sudah ditentukan.

Pembentukan aroma sangat berhubungan dengan senyawa asam amino bebas yang

terdapat pada akhir fermentasi yang dipengaruhi oleh waktu fermentasi. Asam amino ini

akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuklah asam lemak bebas (Hidayat et

al., 2006). Oleh karena itu dengan adanya penambahan enzim papain pada kosentrasi

yang besar akan didapatkan aroma yang semakin tajam. Hal ini terbukti dari hasil

pengamatan bahwa kecap ikan yang dihasilkan semua kelompok memiliki aroma yang

tajam. Kemudian dari segi penampakan dapat dilihat semua kelompok memiliki kecap

ikan yang agak kental. Hal ini tidak sesuai dengan Shahidi (1998) yang mengatakan

bahwa semakin banyak enzim protease yang ditambahkan maka akan semakin

mengurangi viskositas dari kecap ikan sehingga produk akan semakin encer. Kekentalan

kecap ikan sangat dipengaruhi oleh waktu dan suhu saat pemanasan, jumlah gula yang

dipakai dan garam yang dilarutkan, jumlah gula dan garam yang bereaksi dengan

senyawa-senyawa amino. Pada hasil pengamatan didapatkan nilai salinitas yang paling

tinggi yaitu pada kelompok C4 dengan konsentrasi enzim papain 0,8% dengan nilai

sebesar 4% sedangkan yang terendah yaitu kelompok C1 dengan kosentrasi enzim

0,2%. Berdasarkan UNESCO (1981) semakin tinggi nilai salinitas maka semakin tinggi

juga rasa asin yang dihasilkan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil praktikum yang

didapatkan karena kelompok C5 dengan penggunaan konsentrasi enzim yang paling

besar yaitu 1% justru menghasilkan nilai salinitas yang lebih kecil dibandingkan dengan

C4 yang hanya menggunakan konsentrasi enzim papain sebesar 0,8%. Ketidaksesuaian

ini dikarenakan uji sensoris yang dilakukan tidak akurat karena penilaian setiap orang

berbeda terhadap hasil yang didapatkan.

Page 10: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

10

4. KESIMPULAN

Kecap ikan merupakan produk perikanan tradisional yang dibuat dengan metode

fermentasi.

Ciri khas dari kecap ikan adalah berwarna kekuningan sampai coklat, agak kental,

memiliki rasa yang gurih asin dengan bau yang sedikit amis.

Enzim papain yang ditambahkan akan menguraikan protein menjadi senyawa yang

lebih sederhana seperti peptida, asam amino dan pepton.

Uji salinitas adalah untuk mengetahui kadar garam dan gula yang ada di dalam

kecap ikan.

Penambahan garam berfungsi untuk memberikan rasa asin dan untuk menurunkan

kadar Aw sehingga bisa memperpanjang umur simpan.

Fungsi gula adalah untuk memberi rasa manis dan menambah viskositas dari kecap

ikan serta untuk memberi warna coklat pada produk.

Bawang putih digunakan untuk memberikan aroma dan menciptakan cita rasa untuk

kecap ikan serta berfungsi sebagai antimikroba.

Semakin banyak enzim yang ditambahkan ke dalam kecap ikan maka akan semakin

tinggi pula aktivitas protease sehingga cairan akan berwarna semakin gelap.

Konsentrasi papain yang tinggi akan menghasilkan rasa yang semakin asin dan

khas.

Konsentrasi papain yang besar menghasilkan aroma yang semakin tajam.

Semakin tinggi konsentrasi papain maka viskositas kecap seharusnya semakin

rendah sehingga produk menjadi semakin encer.

Semakin tinggi nilai salinitas maka kecap ikan akan semakin asin.

Semarang, 20 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen

Jessica Kezia Harel Michelle Darmawan

13.70.0098

Page 11: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

11

5. DAFTAR PUSTAKA

Achinewhu SC, Oboh CA (2002) Chemical,microbiological and sensory properties of

fermented fish products from Sardinella sp. in Nigeria. J Aquatic Food Product

Technol 11(2):53–59

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.

Yogyakarta.

Amano K (1962) The influence of fermentation on the nutritive value of fish with

special reference to fermented fish products of Southeast Asia. In: Heen E,

Kreuzer R (eds) Fish in nutrition. Fishing News (Books), London, pp 180–200

Anihouvi, V. B., Kindossi, J. M., Hounhouigan, J. D. (2012). Processing and Quality

Characteristics of some major Fermented Fish Products from Africa: A Critical

Review. International Research Journal of Biological Sciences. vol. 1 (7), 72-84.

Astawan, M.W. & M.Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat

Guna. Cv Akademika Pressindo. Jakarta.

Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wootton, M. 1987. Ilmu Pangan.

(Purnomo, H., dan Adiono, Pentj). Jakarta: UI-Press.

Cowan, S. T. 1985. Manual for the Identification of Medical Bacteria. Cambridge

University Press, Cambridge. 238 p.

C. H. Lee, K. H. Steinkraus, P. J. Reilly, “Fish Fermentation Technology”, Tokyo,

Japan, United Nations Univ. Press, (1993), pp. 1-10.

Dincer, T., Cakli, S., Kilinc, B. And Sebnem Tolasa. (2010). Amino Acids and Fatty

Acid Composition Content of Fish Sauce. Journal of Animal and Veterinary

Advances. Vol. 9, No. 2 : 311-315.

Dougan, J. and G.E. Howard. 1975. Some flavoring constituents of fermented fish

sauces. J. Sci. Food Agric. 26: 887-894.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

HarriganWF, McCanceME (1976) Laboratory methods in food and dairy microbiology.

Academic Press, London

Hidayat, N., Padaga, M.C. dan Suhartini, S. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta:

C.V. Andi Offset.

Kilinc B (2003) Fish sauce technology. EU J Fish Aquatic Sci 20(1/2):263–272

Page 12: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

12

Lee, O. J. and Jin Young Kim. (2013). Development of Cultural Context Indicator of

Fermented Food. International Journal of Bio-Science and Bio-Technology. Vol.

5 No. 4.

Majumdar, RK. And S. Basu. (2009). Characterization of the traditional fermented fish

product Lona ilish od Northeast India. Indian Journal of Traditional Knowledge.

Vol. 9 (3), pp. 453-458.

McIver, R.C., R.I. Brooks and G.A. Reineccius. 1982. Flavor of fermented fish sauce. J.

Agric. Food Chem. 30(6): 1017-1020.

Pearson D (1962) The chemical analysis of food, 5th edn. J.&A. Churchill, London

Sanceda NG, Kurata T, Arakawa N (1996) Accelerated fermentation process for the

manufacture of fish sauce using histidine. J Food Sci 61(1):220–225

Sangjindavong, M., Mookdasanit, J., Pongtep, W. (2009). Using Pineapple to Produce

Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795

Shahidi, F. & J. R. Botta. (1998). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology &

Quality. Chapman & Hall. USA.

Shih, I. L.; L. G. Chen; T. S. Yu; W. T. Chang; & S. L. Wang. (2003). Microbial

Reclamation of Fish Processing Wastes for the Production of Fish Sauce. Enzyme

and Microbial Technology 33 (2003) 154–162.

UNESCO. (1981). The Practical Salinity Scale 1987 and International Equation of State

of Seawater 1980/. Tech. Pap. Mar. Sci, 36:25pp.

Page 13: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

13

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

( )

Kelompok C1

Hasil pengukuran = 30

( )

Gram Papain :

Kelompok C2

Hasil pengukuran = 60

( )

Gram Papain :

Kelompok C3

Hasil pengukuran = -

( )

Gram Papain : -

Kelompok C4

Hasil pengukuran = 40

( )

Gram Papain :

Page 14: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

14

Kelompok C5

Hasil pengukuran = 37

( )

Gram Papain :

6.2. Diagram Alir

6.3. Laporan Sementara

6.4. Abstrak Jurnal

Page 15: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

15