Pragmatik Lintas Budaya

49
PRAGMATIK LINTAS BUDAYA (Cross-Cultural Pragmatics) SEMANTICS AND PRAGMATICS K.M. JAZSCZOLT

description

 

Transcript of Pragmatik Lintas Budaya

PRAGMATIK LINTAS BUDAYA(Cross-Cultural Pragmatics)

SEMANTICS AND PRAGMATICS

K.M. JAZSCZOLT

Antropologi Budaya dan Sistem Wacana(Anthropological culture and discourse systems)

Dalam masyarakat yang berbeda, orang tidak hanya berbicara dengan bahasa dan dialek yang berbeda, tetapi cara berbicaranya juga berbeda.

Menurut Brown dan Levinson's (1987), masyarakat memiliki pilihan menyeleraskan hubungan dengan menggunakan tutur sapa dan nilai-nilai yang berbeda untuk mengatur kekuatan, jarak, dan tingkatan komunikasi.

Bahasa Inggris Amerika adalah suatu contoh dari rasa hormat simetris, sebagai lawannya adalah bahasa Cina yang menyukai rasa hormat.

Jika masing-masing penutur tidak mengenal perbedaan budaya pada kawan bicaranya maka komunikasi lintas budaya sering kacau penggunaannya.

Lintas budaya tidak mengacu pada sesuatu hal yang dibuat ke dalam kultur sebagai prestasi artistik dan intelektual, tetapi lebih kepada organisasi sosial dan praktik suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, 'kultur' mengacu pada kultur antropologi.

Menurut Scollon dan Scollon (1995: 127-128), ada beberapa aspek mengenai kultur antropologi yang berpengaruh pada sistem wacana, yaitu:

1. Ideologi,2. Sistem tatap muka, meliputi

Kekerabatan, Konsep diri, Ingroup dan outgroup, Gemeinschaf dan Gesellschaft.

3. Sistem wacana, meliputi Fungsi bahasa Komunikasi Nonverbal

4. Sosialisasi, meliputi Pendidikan Sosialisasi sekunder dan utama Teori tentang personal dan belajar

Perbedaan antarbudaya seharusnya tidak dipelajari dalam pengasingan intrakultural. Perbedaan ini bisa dihubungkan dengan berbagai variabel sosial, seperti zaman atau jenis kelamin.

Budaya bukanlah satu-satunya istilah yang memiliki nilai guna untuk pragmatik lintas budaya walaupun mendeskripsikannya adalah penting.

Sistem wacana dan corak sistem wacana lebih relevan dengan pragmatik lintas budaya dibandingkan kultur secara keseluruhan.

Hal yang penting bukanlah perbedaan dalam budaya, melainkan perbedaan dalam strategi retorika (seni berbicara). Scollon dan Scollon (1995: 162).

Metabahasa universal (Sekelompok masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu) Penelitian lintas budaya mengkaji bahasa

yang menggambarkan perbedaan-perbedaan kebudayaan (kultur).

Diperlukan sebuah sasaran (sejauh mungkin) dan pedoman universal untuk berbicara tentang arti / maksud dari beragam bahasa. Dengan kata lain, kita perlu sebuah metabahasa internasional.

Apabila dikatakan bahwa orang Jepang itu tidak tepat (indirect) dan orang Amerika itu tepat (direct), istilah ”ketepatan (directedness)” tidak berarti sama bila diterapkan pada kedua kebudayaan ini; begitu juga apabila kita mengatakan bahwa pria Yunani itu (indirect) dan wanita Yunani itu mengatur (direct). ”Directedness” harus didefinisikan secara berbeda untuk masing-masing penggambaran/deskripsi, ia harus dikaitkan dengan kebudayaan tergantung pada fungsi yang berlaku di sana. (Anna Wierzbicka)

Untuk menyatakan arti/maksud sebuah kata, sebuah ungkapan atau sebuah konstruksi, seseorang perlu sebuah metabahasa semantik ... Saya menganjurkan ’metabahasa semantik natural’, yang didasarkan pada sistem hipotesis dari semantik sederhana yang universal ... Wierzbicka (1991: 6-7)

Bagian ilmu universal tersebut disebut dengan semantic primitiive (semantik sederhana) atau semantik primes (semantik utama)

Sistem-sistem semantik bahasa terdapat pada rangkaian konsep yang sederhana dan tidak dapat didefinisikan. Misalnya, kita meninjau konsep seperti ’want’ (ingin) atau ’something’ (sesuatu), yang tidak dapat didefinisikan dalam bahasa Inggris

Meskipun sistem-sistem semantik tergantung pada kebudayaan tertentu, namun sistem-sistem tersebut dibangun dari komponen bangunan yang sama.

Sistem ini mengadopsi universalisme dan relativisme.

Pemikiran tentang semantik metabahasa natural (natural semantic metalanguage / NSM)Apabila bahasa adalah sebuah alat untuk mengungkapkan maksud, dan arti, paling tidak pada beberapa hal, harus berupa bahasa indepen (yang berdiri sendiri) dan dapat dipindahkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Wierzbicka (1992: 3)

Cara terbaik untuk menemukan ’alfabet’ adalah dengan membentuk versi hipotesis darinya dan mengujinya pada sampel yang besar dari bahasa-bahasa yang ada.

(Wierzbicka,1996: vii-viii)

Enam puluh pengujian dan hasil yang telah diakui

(Saya, Kamu, Seseorang, Sesuatu, Orang, Ini, Sama, Lain, Satu, Dua, Banyak, Semua, Pikiran, Tahu, Ingin, Perasaan (rasa), Katakan, Lakukan, Terjadi, Baik, Buruk, Besar, Kecil, Kapan, Sebelum, Setelah, Di bawah, Di atas, Bagian (dari), Jenis, Tidak, Dapat, Sangat, Jika/Apabila, Karenam Suka,dsb)

Bahasa ini juga digunakan untuk mendefinisikan konsep-konsep yang rumit, baik yang bersifat universal maupun yang bersifat kebudayaan tertentu. Misalnya, kata tidak langsung (indirectedness) pada bahasa Yunani dan bahasa Jepang dapat diperbandingkan dengan arti/maksud dari definisi-definisi tersebut dalam vesi NSM:

Kata tidak langsung pada bahasa Yunani Saya ingin sesuatu (I want something) Saya tidak perlu mengatakan hal ini (I don’t have to say

this) Saya berpikir orang ini akan mengetahui apa yang saya

inginkan (I think this person will know what I want) Saya pikir ia akan melakukannya karena hal ini (I think

she will do it because of this). Wierzbicka (1991: 99) Kata tidak langsung pada bahasa Jepang

Saya ingin sesuatu (I want something) Saya tidak ingin mengatakan hal ini (I don’t want

to say this) Saya akan mengatakan sesuatu yang lain karena

hal ini (I will say something else because of this) Saya pikir orang ini akan mengetahui apa yang

saya inginkan (I think this person will know what I want). (ibid.: 94)

Sistem-sistem kebudayaan disusun secara bebeda dan mungkin menggunakan strategi-strategi percakapan yang berbeda pula untuk mencapai hasil yang sama. Juga, kebudayaan-kebudayaan yang berbeda memiliki hirarki nilai-nilai yang berbeda pula, yang terefleksi dalam bahasa tersebut.

Nilai-nilai kebudayaan hanya dapat menjelaskan mengapa ketidak-aturan lebih disukai atau tidak, bukan mengapa mengapa bentuk-bentuk keteraturan lebih disukai atau tidak

Perlu digunakan strategi-strategi penghubung pada kaidah yang ada, dengan cara-cara yang disarankan

Hirarki-hirarki penyusunan nilai bukanlah sebuah tugas yang mudah: perbandingan yang tidak jelas pada keramahan, sopan-santun, otonomi, antidogmatisme kebudayaan tidak akan mencukupi.

Semantik utama yang memungkinkan tertia comparationis dan metabahasa muncul merupakan langkah-langkah menuju arah yang benar terhadap tuntutan-tuntutan sistem wacana deskripsi yang independen dan netral.

Meskipun NSM yang dikemukakan oleh Wierzbicka kontensius pada rincian konstruksinya, namun NSM tersebut merupakan sebuah usaha untuk menciptakan peralatan universal untuk berbicara tentang bahasa

Interlanguage Pragmatics (Pragmatik Antarbahasa) Pragmatik Antarbahasa merupakan sebuah

strategi dalam pembelajaran bahasa kedua

Terdapat persamaan prinsip yang esensial antara British dan Inggris Amerika. Secara umum, perbedaan dalam sebuah bahasa hanya pada situasi di mana bahasa itu digunakan

Pragmatik antarbahasa menunjukkan wilayah dan proses pemerolehan dalam strategi berbicara bagi pembelajar asing dan aplikasi praktik nyata dalam pengajaran bahasa.

Truisms Interpretasi ungkapan dicontohkan dalam

bentuk tautologi/pertautan Tautologi, kalimat yang sudah tentu benar,

seperti ‘War is war’, ‘He will come or he won’t come’, dan ‘Boys are boys,

Tautologi ini menjadi tidak informatif, sebagai sesuatu bentuk yang memang logis .

Dalam bahasa Inggris, bentuk (1) War is war

digunakan, tapi tidak bentuk (2) Life is life

Dalam bahasa Rusia keduanya digunakan

Dalam bahasa Inggris lebih digunakan bentuk

(3) That’s life

Sementara bahasa Perancis mengunakan

pola (3) (‘C’est la vie’), dan juga (4) (‘C’est

la guerre’) daripada (1) (‘La guerre est la

guerre’).

(4) That’s war

Inggris Rusia Perancis

(1) War is war (1) War is war (4) That’s war

(3) That’s life (2) Life is life (3) That’s life

Bahasa Polandia menggunakan pola ‘What is X is X’.

(5) Co paryz to Paryz

What (is) Paris this (is) Paris Di Korea, konstruksi ‘X is X’ dapat

digunakan untuk ekspresi memuji atau tidak setuju

Makna tautologi tidak dapat dihitung atau

diperkirakan sebagaimana maksim namun

merupakan sesuatu yang sudah ada dalam

memori, seperti idiom atau peribahasa

Truisms tidak selalu tautologi

(6) Boys will be boys (merupakan sebuah hasil kesepakatan)

Bandingkan dengan

(7) Boys are boys (merupakan tautologi)

Tautologi seperti sebuah kapal dengan semua tujuan yang baik, sampai dimana ‘kebenaran dasar’dapat dituangkan – namun, ‘kebenaran dasar’ akan menjadi berbeda karena adanya perbedaan budaya. Wierzbicka (1991:446)

Bentuk jamak/plural merupakan stereotype ekspresi toleransi, dibandingkan dengan kenyataan bentuk tunggal/singular sebagai bentuk yang harus disetujui meskipun merupakan hal yang ditolak

‘A promise is a promise’ ‘promises are promises’

Keutamaan sebuah wacana ditempatkan di tingkat tengah antara semantik dan pragmatik dimana perlu dilakukan analisis sendiri.

The middle level of meaning is intuitively appealing:

It would seem incontroverbality that any theory ofutterance interpretation would have to admit thecontribution of a level at which sentences aresystematically paired with preferred interpretations(Levinson (2000:2007))

Asal-Usul Budaya Gagasan dapat diteruskan dengan berpindah dari satu orang

ke orang lainnya sehinga tersebar luas. Beberapa pemikiran tentang – keyakinan agama, resep makanan, atau hipotesis keilmuan, misalnya – menyebar luas secara efektif dengan cara yang berbeda dan dapat bertahan lama dalam masyarakat. Pertama-tama Kebudayaan diciptakan dari penyebaran pemikiran/gagasan/ide yang menjelaskan kebudayaan proses penyebarannya mengapa dan bagaimana, gagasan-gagasan tersebut menyebar. Inilah yang disebut dengan epidemiologi yang sebenarnya. (Sperber (1996: 1)

Fenomena sosial-kultural, pada pendekatan ini, merupakan pola-pola ekologis dari fenomena psikologis. Fakta-fakta sosiologis didefinisikan dalam istilah-istilah fakta psikologis, namun tidak menguranginya. Sperber (1996: 31)

Kita memiliki skema-skema yang berbeda untuk bidang-bidang yang berbeda: konsep-konsep tentang ragam kehidupan yang kta miliki cenderung taksonomik; konsep kita tentang artifak cenderung terpusat pada warna / corak vokal; dan sebagainya.

Konsep-konsep yang sesuai dengan skema-skema ini lebih mudah diinternalisasikan dan diingat. Kita menyebut konsep-konsep tersebut dengan konsep-konsep dasar. Bagian terbesar dari konsep-konsep dasar tersebut ditemukan pada setiap bahasa.

Konsep-konsep dasar berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya, tetapi perbedaan tersebut tidak terlalu banyak. Konsep-konsep dasar dari bahasa secara komparatif cenderung mudah untuk dipahami, dipelajari dan diterjemahkan. Sperber (1996: 69)

Diperlukan gambaran langsung tentang realitas, manusia juga dapat menghadirkan gambaran orang lain dan gambaran mereka sendiri serta sikap mental. Hal ini disebut dengan metarepresenting dan mengizinkan kita untuk memiliki sebuah sikap ketidakyakinan atau keraguan terhadap sebuah penggambaran.

Metarepresenting juga mengizinkan kita untuk menyimpan gambaran yang tidak dipahami secara penuh. Beberapa pemikiran tidak dipahami secara utuh tersebut merupakan langkah-langkah menunju pemahaman penuh, dan beberapa pemikiran lagi menciptakan misteri yang menyebar dalam masyarakat.

Penggambaran (representasi) yang sangat sesuai dengan penggambaran kebudayaan lainnya dan yang tidak dapat diinterpretasikan secara penuh merupakan penggambaran/representasi yang paling baik dan menuntun pada apa yang kita lihat sebagai keyakinan-keyakinan kultural irasional.

Empat golongan potensi kepercayaan:(i) kepercayaan faktual dengan kandungan proporsional yang

berdasarkan pengamatan rasional; (ii) (ii) kepercayaan faktual dengan kandungan semi

proposisional (yang tidak terjadi secara normal); (iii) (iii) kepercayaan representasional dengan kandungan

proposisional, misalnya asumsi keilmuan, yang tidak diyakini secara utuh; dan

(iv) (iv) kepercayaan representasional dengan kandungan semi proposisional, misalnya kepercayaan keagamaan dan misteri (Sperber 1985: 58)

Menjelaskan kepercayaan-kepercayaan kultural, baik intuitif ataupun reflektif, dan jika reflektif, baik dipahami secara utuh ataupun tidak, mengarah pada dua hal: bagaimana mereka diketahui oleh individu dan bagaimana mereka menyampaikannya dalam sebuah kelompok; atau meletakkannya dalam bentuk slogan: Kebudayaan melahirkan pengetahuan dan komunikasi dalam sebuah populasi manusia. Sperber (1996: 97)

Concluding Remarks (Kesimpulan) Perspektif yang disajikan dalam bab ini secara

jelas menunjukkan perlunya melihat perilaku manusia, termasuk perilaku verbal, dalam konteks budaya antropologis yang ada. Baik Wierzcbicka maupun Sperber menekankan bahwa ada beberapa jenis keyakinan, bila diungkapkan, yang tidak dapat secara mudah ditafsirkan oleh para anggota komunitas lainnya, baik karena konsep kekhususan budaya tersebut ataupun karena mereka bersifat metarepresentasi.

Studi Pragmatik lintas budaya:

1) Apakah ini teori pragmatik?

2) Apakah sebuah teori kesimpulan seperti teori Gricean dalam implikatur?

3) Apakah ini merupakan sebuah pendekatan dalam menggunakan bahasa?

TERIMA KASIH