PPP Terhadap Protein Daging
-
Upload
auliyahoke -
Category
Documents
-
view
186 -
download
5
Transcript of PPP Terhadap Protein Daging
PERUBAHAN-PERUBAHAN PROTEIN YANG DIAKIBATKAN OLEH PROSES PENGOLAHAN PADA DAGING DOMBA
SKRIPSI
AAM AMINUDDIN RIDWAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
AAM AMINUDDIN RIDWAN. D14202001. 2006. Perubahan-Perubahan Protein yang Diakibatkan oleh Proses Pengolahan pada Daging Domba. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Tantan R. Wiradarya, M.Sc.
Protein berperan sangat penting dalam tubuh, diantaranya adalah sebagai sumber atau unsur senyawa lain seperti nitrogen atau sulfur untuk reaksi metabolisme lainnya melalui penguraian molekul protein. Protein juga penting untuk keperluan fungsional maupun struktural, sehingga untuk keperluan tersebut komposisi asam amino pembentuk protein sangat penting keberadaannya. Oleh sebab itu, mempertahankan kualitas protein merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan.
Daging merupakan bahan pangan asal ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh. Zat gizi dalam daging mudah dicerna dan diabsorpsi oleh tubuh sehingga fungsi tubuh berjalan optimal. Daging merupakan bahan pangan dengan kuantitas dan kualitas protein yang tinggi, sementara itu proses pengolahan selain dapat meningkatkan pencernaan juga dapat menurunkan kualitas protein. Proses pengolahan yang berbeda dapat mengubah karakteristik protein sehingga dapat menghasilkan kualitas protein yang berbeda antara daging segar dan hasil olahannya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui perubahan kadar, kecernaan, dan jenis protein daging domba akibat pegolahan (dibuat bakso, abon, daging panggang, sosis, dan dendeng). Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak dan Bagian Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, Bagian Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi serta laboratorium Kimia dan Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2005.
Penelitian ini menggunakan bahan utama daging bagian paha belakang dari daging domba jantan berumur satu tahun (lamb) sebanyak 6,9 kg. Bahan tambahan yang digunakan adalah bahan-bahan untuk pembuatan produk olahan (bakso, abon, daging panggang, sosis dan dendeng). Bahan tambahan terdiri atas tepung tapioka, susu skim, garam, bawang putih, merica, pala, minyak, es batu, bawang merah, gula pasir, santan, jeruk nipis, STPP (sodium tripolyphosphate), air kelapa, serai, lengkuas, gula merah, asam jawa, kecap manis, ketumbar, kunyit, jahe, kemiri dan jinten.
Perlakuan yang digunakan adalah metode pengolahan yang berbeda, dengan daging segar sebagai kontrol. Pengamatan peubah dilakukan secara komposit dan hasilnya dianalisis secara deskriptif. Peubah yang diamati meliputi kadar protein kasar, kecernaan protein dan identifikasi berat molekul protein. Hasil menunjukkan bahwa kadar protein kasar daging domba berdasarkan bahan kering mengalami penurunan apabila diolah menjadi bakso, abon, daging panggang, sosis dan dendeng berturut-turut sebesar 40,91% + 1,53%, 44,55% + 1,43%, 26,68% + 2,71%, 48,53%
ii
+ 2,08%, dan 41,78%+ 2,23%. Nilai kecernaan protein daging domba meningkat apabila diolah menjadi bakso dan sosis berturut-turut sebesar 12,68% + 2,18% dan 1,59% + 3,47%. Nilai kecernaan protein daging domba menurun apabila diolah menjadi abon, daging panggang dan dendeng berturut-turut sebesar 7,82% + 1,74%, 2,67% + 1,60% dan 13,95% + 3,9%. Proses pengolahan daging domba menjadi produk olahannya menyebabkan penurunan jenis protein.
Nilai kadar protein kasar tertinggi didapat pada daging panggang (54,09% + 0,91%), sedangkan nilai kadar protein kasar terendah dari pengolahan daging domba yaitu pada sosis (32,25% + 0,28%). Nilai kecernaan protein terendah dari pengolahan daging domba yaitu pada dendeng (64,13% + 1,93%), sedangkan nilai kecernaan protein tertinggi didapat pada bakso (90,77% + 0,17%). Berdasarkan protein tercerna, produk olahan abon (25,01 g/100 g abon) yang paling baik. Jumlah jenis protein terendah dari pengolahan daging domba yaitu pada sosis (5 pita) dan dendeng (5 pita), sedangkan jumlah jenis protein tertinggi didapat pada bakso (10 pita).
Kata-kata kunci: daging domba, proses pengolahan, kadar protein kasar, kecernaan protein, jenis protein
ABSTRACT
Protein Changes Caused by A Processing Process of Lamb Ridwan, A. A., T. Suryati, and T. R. Wiradarya
Processing meat to produce the meat derivate products will decrease the meat protein content, digestibility and protein type due to dilution or heat. Bakso (a kind of meat ball), sausage, fillet, abon (a fibrous meat derivate product) and roast of meat are kinds of meat food which are very popular in Indonesia. These products have a different processing procedure. Therefore, it is predicted to have different protein content, digestibility and protein type. The degree of protein loss due to processing between these products was predicted to be different. The experiment was conducted to study these tendencies. The meat from the hind leg of lamb was purchased and then divided evenly into three parts. One part to represent “fresh meat”, and the other parts were processed to make bakso, sausage, fillet, abon and roast of meat. Chemical analysis was then conducted to examine crude protein content of the fresh meat, bakso, sausage, fillet, abon and roast of meat. The in vitro analysis was also conducted to measure the protein digestibility of these groups of samples. The SDS-PAGE ( sodium of deodecyl sulphate-polyacrylamide of gel electrophoresis) was used to one method to measure weight of molecule samples. The data were observed descriptively. The results indicated that the protein content (on dry matter basis) of fresh meat, bakso, sausage, fillet, abon and roast of meat were 80,78 + 1,80; 39,87 + 0,27; 32,25 + 0,28; 39,00 + 0,43; 36,23 + 0,37; 54,09 + 0,91, respectively. The protein digestibilities of bakso, sausage, fillet, abon and roast of meat were 90,77 + 0,17; 79,68 + 5,48; 64,13 + 1,93; 70,26 + 0,27; 75,41 + 0,40, respectively. The total number of protein ribbon of fresh meat, bakso, sausage, fillet, abon and roast of meat were 20,10, 5, 5, 7 and 7 ribbon. The data showed that highest value of crude protein got at roast, while lowest value of crude protein that is sausage. The lowest protein digestibility was of fillet, while the highest one was of bakso. The lowest number of protein ribbon was of fillet and sausage, while the highest one was of bakso.
Keywords: lamb, processing procedure, protein content, protein digestibility, moleculer weight
PERUBAHAN-PERUBAHAN PROTEIN YANG DIAKIBATKAN OLEH PROSES PENGOLAHAN PADA DAGING DOMBA
AAM AMINUDDIN RIDWAN
D14202001
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 19 April 1984 di Sumedang, Jawa Barat.
Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Ridwan dan
Ibu Tati Kusmiati.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Cibubuan II,
Sumedang. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di
SLTPN 2 Conggeang, Sumedang dan pendidikan lanjutan menengah atas
diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN 1 Conggeang, Sumedang. Penulis diterima
sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002.
Penulis aktif sebagai anggota klub unggas pada Himpunan Mahasiswa Ilmu
Produksi Ternak (HIMAPROTER) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan
ketua seksi kerohanian pada Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Warga Pelajar
dan Mahasiswa Lingga (WAPEMALA) Sumedang. Penulis mendapat kesempatan
menjadi asisten dosen praktikum mata kuliah Penilaian Organoleptik Hasil Ternak
dan Teknologi Pengelolaan dan Pengolahan Limbah Peternakan Tahun Akademik
2004-2005. Penulis juga berkesempatan memperoleh beasiswa dari BRI (Bank
Rakyat Indonesia) periode 2004-2005 dan WIC (Women’s International Club)
periode 2005-2006.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga penulis memperoleh
kemudahan dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul
Perubahan-Perubahan Protein yang Diakibatkan oleh Proses Pengolahan pada
Daging Domba di bawah bimbingan Tuti Suryati S.Pt, M.Si dan Dr. Ir. Tantan R.
Wiradarya, M.Sc. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam memperoleh
gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini membahas tentang perubahan kadar protein kasar, kecernaan
protein secara in vitro, dan berat molekul protein dengan metode SDS-PAGE
(Sodium Deodecyl Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis) daging domba
akibat proses pengolahan yang berbeda. Metode pengolahan yang dilakukan meliputi
pembuatan bakso, sosis, abon, daging panggang dan dendeng. Penelitian ini
berlangsung selama 4 bulan dan dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak dan
Bagian Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, Bagian Mikrobiologi dan Biokimia
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi serta laboratorium Kimia dan
Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Semoga
tulisan ini berguna bagi yang mendalami masalah yang erat kaitannya dengan materi
yang disajikan dalam tulisan ini.
Bogor, April 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman
RINGKASAN .......................................................................................... i
ABSTRACT ............................................................................................ iii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xii
PENDAHULUAN ................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................. 1 Tujuan .......................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
Daging .......................................................................................... 3 Daging Domba ............................................................................. 3 Produk Olahan Daging .................................................................. 5
Bakso ................................................................................ 5 Sosis ................................................................................. 5 Abon................................................................................... 6 Daging Panggang .............................................................. 6 Dendeng ............................................................................ 7
Analisis Protein ............................................................................ 7 Kadar Protein Kasar (Metode Mikro-Kjeldahl) .................. 7 Kecernaan Protein secara In Vitro ..................................... 8 Identifikasi Berat Molekul Protein ..................................... 8
Pengaruh Pengolahan Daging ....................................................... 9 Denaturasi Protein ............................................................. 9 Reaksi Maillard ................................................................. 9 Rasemisasi Asam Amino ................................................... 12
METODE ................................................................................................. 13
Lokasi dan Waktu ......................................................................... 13 Materi ........................................................................................... 13 Analisis Data ................................................................................ 14 Prosedur ....................................................................................... 14
Pembuatan Bakso .............................................................. 14 Pembuatan Sosis ............................................................... 15 Pembuatan Abon ............................................................... 17 Pembuatan Daging Panggang ............................................ 17 Pembuatan Dendeng .......................................................... 18
Pengukuran Peubah ...................................................................... 19
ix
Kadar Protein Kasar (AOAC, 1995) .................................. 19 Kecernaan Protein secara In Vitro (Sounders et al., 1973) . 19 Identifikasi Berat Molekul Protein (Laemmli, 1970) .......... 20
Silver Staining ....................................................... 21 Perhitungan Berat Molekul .................................... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 22
Kadar Protein Kasar ...................................................................... 22 Bakso dan Sosis Domba .................................................... 22 Abon, Daging Panggang dan Dendeng Domba .................. 24 Kecernaan Protein secara In Vitro .................................................. 25 Bakso dan Sosis Domba .................................................... 26 Abon, Daging Panggang dan Dendeng Domba .................. 26 Jumlah Protein Tercerna ............................................................... 27 Identifikasi Berat Molekul Protein ................................................ 28
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 33
Kesimpulan .................................................................................. 33 Saran ............................................................................................ 33
UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 35
LAMPIRAN ............................................................................................ 38
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Nilai Gizi yang Terkandung dalam Daging Domba .......................... 3
2. Komposisi Kimiawi Protein Urat Daging Mamalia Dewasa yang Khas Setelah Rigor Mortis ............................................................... 4
3. Rataan Kandungan Gizi Bakso Daging Domba pada Potongan Paha dan Lemusir .................................................................................... 5
4. Komposisi Kimia Abon Daging Domba dan Kambing ..................... 6 5. Faktor Protein Bahan Makanan Ternak ............................................ 7
6. Ekskresi Produk Reaksi Maillard Awal dan Lanjutan dalam Urin dan Feses Tikus Percobaan ..................................................................... 11
7. Standar Protein LMW-SDS (Low Molecular Weight-SDS) .............. 20 8. Kadar Protein Daging Segar dan Produk Olahan Daging Domba (%
Bahan Kering) ................................................................................. 22 9. Kecernaan Protein Daging Segar dan Produk Olahan Daging Domba 25
10. Persentase Protein Tercerna dari Produk Olahan Daging Domba Berdasarkan Berat Basah (per 100 g) ............................................... 28
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Skema Reaksi Maillard antara Glukosa dengan Lisin yang Terikat pada Protein ..................................................................................... 10
2. Skema Reaksi Lanjutan Maillard antara Gula Pereduksi dengan Senyawa Amino Protein ................................................................... 11
3. Rasemisasi Asam Amino Alanin (Winarno, 1986) ........................... 12 4. Diagram Alir Pembuatan Bakso Domba (Modifikasi Nasution, 2000) 15
5. Diagram Alir Pembuatan Sosis Domba (Modifikasi Dianingtyas, 2001) ............................................................................................... 16
6. Diagram Alir Pembuatan Abon Domba (Modifikasi Aliyudin, 1999) 16
7. Diagram Alir Pembuatan Daging Panggang Domba (Modifikasi Dianingtyas, 2001) .......................................................................... 17
8. Diagram Alir Pembuatan Dendeng Domba (Modifikasi Lisdiawati, 2000) ............................................................................................... 18
9. Ilustrasi Denaturasi Molekul Protein (Fennema, 1996) ..................... 23
10. Hasil SDS-PAGE Daging Segar dan Produk Olahan Daging Domba 30
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Bahan-Bahan Pembuatan Produk Olahan Daging Domba ............... 39 2. Hasil Analisis Kadar Air, Kadar Protein dan Kecernaan Protein
secara In Vitro ................................................................................ 40 3. Berat Molekul dan Mobilitas Relatif Protein Hasil Analisis SDS-
PAGE (Sodium Deodecyl Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis) .............................................................................. 41
4. Berat Molekul dan Mobilitas Relatif Protein Marker LMW (Low Molecular Weight) .......................................................................... 42
5. Kurva Standar Hasil Analisis SDS-PAGE (Sodium Deodecyl Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis) ................................ 43
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging merupakan bahan pangan asal ternak yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia, terutama sebagai protein hewani yang diperlukan untuk
memelihara jaringan tubuh, mengganti atau memperbaiki jaringan tubuh yang rusak.
Daging selain kaya akan protein, juga mengandung lemak, mineral serta zat-zat lain
yang dibutuhkan oleh tubuh. Daging telah dikenal dan dipandang sebagai bahan
pangan dengan kandungan gizi yang cukup tinggi dan komposisinya lengkap. Zat
gizi dalam daging mudah dicerna dan diabsorpsi oleh tubuh sehingga fungsi tubuh
berjalan secara optimal.
Domba adalah salah satu jenis ternak sumber daging yang disukai oleh
masyarakat. Hal ini disebabkan karena daging domba mempunyai rasa yang enak
dan aroma khas serta protein dengan mutu tinggi. Harga daging domba masih relatif
tinggi, sehingga tingkat konsumsi daging domba di Indonesia rendah. Pengembangan
berbagai teknik pengolahan daging menjadi produk olahan yang memiliki kandungan
dan kualitas protein yang baik dan harganya relatif terjangkau, diharapkan dapat
meningkatkan tingkat konsumsi daging. Daging dapat diolah dengan cara digoreng,
dipanggang, dikukus atau diolah menjadi produk lain seperti bakso, abon, daging
panggang, sosis, dan dendeng.
Namun demikian, proses pengolahan dan pemasakan dapat mengakibatkan
perubahan terhadap mutu protein bahan pangan. Proses pengolahan daging melalui
pemasakan selain dapat meningkatkan daya cerna protein, dapat pula menurunkan
nilai gizi protein. Peningkatan daya cerna protein pada proses pemasakan terjadi
akibat terdenaturasinya protein dan inaktivasi senyawa-senyawa antinutrisi,
sedangkan penurunan nilai gizi protein disebabkan oleh perlakuan suhu yang tidak
terukur yang dapat merusak asam amino dari daging.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian seberapa jauh
perbedaan perubahan protein daging diantara proses-proses pengolahan. Penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya tentang pengaruh proses-proses pengolahan daging
hanya terbatas pada sifat fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Aspek
pengaruh berbagai teknik pengolahan terhadap perubahan protein relatif masih jarang
2
diungkap, padahal seharusnya mutu protein merupakan faktor penentu yang harus
dipertimbangkan dalam memilih makanan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang mutu
protein daging domba. Selain itu dapat diperoleh informasi tentang perubahan
protein berbagai olahan daging domba yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
dalam memilih jenis olahan daging domba yang bermutu melalui pengamatan
karakteristik protein daging segar yang dibandingkan dengan hasil olahannya.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui perubahan kadar,
kecernaan, dan jenis protein daging domba akibat pengolahan (dibuat bakso, abon,
daging panggang, sosis, dan dendeng). Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui kelayakan pangan dari produk-produk hasil olahan daging domba.
TINJAUAN PUSTAKA
Daging Daging merupakan bahan pangan asal ternak yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Zat gizi dalam daging mudah dicerna dan diabsorpsi oleh tubuh
sehingga fungsi tubuh berjalan secara optimal (Muzarnis, 1982).
Otot mengandung air 75%, protein 19%, substansi-substansi non protein yang
larut 3,5% dan lemak 2,5% (Forrest et al., 1975; Lawrie, 1979). Komposisi kimiawi
protein urat daging mamalia dewasa yang khas setelah rigor mortis, tetapi sebagian
terjadi perubahan degeneratif pascamati disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Nilai Gizi yang Terkandung dalam Daging Domba
Nilai Gizi (per 100 g) Komposisi
Air (%) 66,00
Kalori (kal) 206,00
Protein (g) 17,10
Lemak (g) 14,80
Karbohidrat (g) -
Mineral : Ca (mg) 10,00
P (mg) 2,60
Vitamin: A (mg) -
Thiamin (mg) 0,15
Riboflavin (mg) 0,25
Niacin (mg) 5,00
C (mg) - Sumber: Harper (1984)
Daging Domba
Daging kambing atau domba adalah urat daging yang melekat pada kerangka
kecuali urat daging bibir, hidung dan telinga dari kambing atau domba yang sehat
waktu dipotong (DSN, 1995a). Lawrie (1979) menyatakan bahwa daging merupakan
sumber asam amino esensial, mineral, vitamin, lemak dan air. Purnomo (1996)
menyatakan bahwa komposisi kimia daging sangat bervariasi dan hal ini dipengaruhi
4
oleh perbedaan jenis ternak, keturunan, jenis kelamin, umur, pakan, bangsa ternak
dan letak anatomis otot dalam tubuh ternak.
Tabel 2. Komposisi Kimiawi Protein Urat Daging Mamalia Dewasa yang Khas Setelah Rigor Mortis
Komponen Bobot basah (%)
Protein 19,00
A. Miofibrilar 11,50
Miosin1 (H dan L-meromiosin dan beberapa komponen rantai ringan yang sehubungan) 5,50
Aktin-aktin1 2,50
Konektin (titin) 0,90
Protein garis N2 (nebulin) 0,30
Tropomiosin 0,60
Troponin C, I Dan T 0,60
Α, β dan γ aktinin 0,50
Miomesin (Protein Garis-M) Dan Protein C 0,20
Desmin, filamin, protein F dan T, dll. 0,40
B. Sarkoplasma 5,50
Gliseraldehide fosfat dehidrogenase 1,20
Aldolase 0,60
Kreatin kinase 0,50
Enzim-enzim glikolitik lain 2,20
Mioglobin 0,20
Hemoglobin dan protein ekstraseluler lain yang tidak terspesifikasi 0,60
C. Tenunan pengikat dari organel 2,00
Kolagen 1,00
Elastin 0,05
Mitokondria dll. (termasuk sitokrom C dan enzim-enzim yang tidak larut) 0,95
Keterangan: 1 Aktin dan miosin bersatu menjadi aktomiosin dalam urat daging post-rigor Sumber: Lawrie, 1975; Graeser et al., 1981
5
Daging domba memiliki serat daging yang lebih halus dibandingkan dengan
daging lainnya, jaringan sangat rapat, berwarna merah muda, konsistensi cukup
tinggi, lemaknya terdapat di bawah kulit dan berwarna putih padat mudah mencair
dan beku kembali (Muzarnis, 1982). Nilai gizi yang terkandung dalam daging domba
disajikan pada Tabel 1.
Produk Olahan Daging
Bakso
Bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang
diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati
atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan. Syarat mutu
protein sosis daging minimal 9% (DSN, 1995b). Daya ikat protein tergantung pada
jumlah protein miofibril yang terekstrak dari partikel daging dan yang terekstrak
karena adanya garam dan fosfat yaitu miosin dan aktomiosin (Muchtadi, 1989).
Rataan kandungan gizi bakso daging domba pada potongan paha dan lemusir
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Kandungan Gizi Bakso Daging Domba pada Potongan Paha dan Lemusir
Parameter Paha Lemusir
(%)
Kadar air 75,00 75,26
Kadar protein 11,18 11,92
Kadar lemak 1,11 1,36
Kadar abu 2,10 2,01
Kadar karbohidrat 10,61 9,45 Sumber: Mujiono (1995)
Sosis
Sosis merupakan produk daging giling yang diberi bumbu dan dapat juga
mengalami proses curing, pemanasan, dan pengasapan. Sosis dikelompokkan
kedalam enam kelas berdasarkan metode pembuatannya, yaitu sosis segar, sosis
kering, sosis masak, sosis masak dan diasap, sosis masak tidak dimasak serta cooked
6
meat specialties (Muchtadi, 1989). Syarat mutu protein sosis daging minimal 13%
(DSN, 1995d). Sosis merupakan salah satu contoh produk emulsi minyak dalam air,
lemak berfungsi sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu, sedangkan
protein daging yang terlarut pada sosis bertindak sebagai emulsifier. Protein tersebut
harus dilarutkan agar terbentuk emulsi yang stabil. Protein emulsifier dalam sosis
biasanya aktin dan miosin yang larut dalam garam. Protein yang larut dalam air dan
jaringan yang tidak larut mempunyai kemampuan sangat terbatas untuk mengemulsi
lemak (Muchtadi, 1989).
Abon
Abon adalah suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging,
disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres. Syarat mutu protein abon minimal
15% (DSN, 1995c). Pengolahan daging sapi menjadi abon dapat menurunkan daya
cerna proteinnya sebesar 39,85% untuk abon yang digoreng dalam minyak goreng
dan 29,12% untuk abon yang digoreng dalam santan (Muchtadi, 1989). Komposisi
kimia abon daging domba dan kambing dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Kimia Abon Daging Domba dan Kambing
Cara Pemasakan
Rebus Kukus
Daging Daging Daging Daging Komposisi Kimiawi
Domba Kambing Domba Kambing
SII (%)
Kadar air (% Bb) 18,21 19,17 13,93 14,33 < 7,00
Kadar abu (% Bk) 9,12 9,67 8,02 8,05 < 7,50
Kadar protein (% Bk) 32,42 33,17 31,58 31,88 > 16,12
Kadar lemak (% Bk) 8,82 8,91 6,14 6,67 < 30,93 Sumber: Widayanto (2002)
Bb = berat basah Bk = berat kering SII = standar industri Indonesia
Daging Panggang
Variabel yang penting pada pemasakan adalah temperatur dan lama waktu
pemanasan. Pemanasan daging roast atau daging panggang sapi dapat dilakukan di
dalam oven listrik, misalnya pada temperatur 160oC sampai temperatur internal
daging mencapai 80oC (Prost et al., 1975 yang dikutip oleh Soeparno, 1994) atau
7
pada temperatur 149oC di dalam oven gas sampai temperatur internal 70oC (Hedrick
et al., 1983). Temperatur internal 80oC adalah temperatur yang ideal dan popular
untuk pemasakan, karena sampel daging menjadi cukup tepat kekerasannya untuk
dipotong-potong menjadi sub sampel dan pengujian kualitas (Soeparno, 1994).
Dendeng
Dendeng adalah suatu produk hasil olahan pengawetan daging secara
tradisional yang telah banyak dilakukan masyarakat Indonesia sejak dulu (Purnomo,
1996). Syarat mutu protein dendeng minimal 30% untuk mutu I dan 25% untuk mutu
II (DSN, 1992) Kerusakan secara kimia pada dendeng yang banyak terjadi adalah
oksidasi lemak dan pencoklatan non enzimatis, kedua macam kerusakan tersebut
dapat berperan pada penurunan nilai gizi, cita rasa maupun penampakan dendeng.
Peningkatan kadar padatan dan penambahan gula dalam pembuatan dendeng dapat
menurunkan nilai gizi protein daging, karena terjadinya reaksi pencoklatan non
enzimatis (Maillard) (Muchtadi, 1989).
Analisis Protein
Kadar Protein Kasar (Metode Mikro-Kjeldahl)
Kadar protein ditentukan dengan menggunakan metode Kjeldahl (AOAC,
1995). Protein kasar adalah semua zat yang mengandung unsur nitrogen. Metode
yang sering digunakan dalam analisa protein adalah metode Kjeldahl yang melalui
proses destruksi, destilasi, titrasi dan perhitungan. Unsur yang dianalisis adalah unsur
nitrogen bahan makanan, sehingga hasilnya harus dikalikan dengan faktor protein
untuk memperoleh nilai protein kasarnya. Beberapa faktor protein bahan makanan
ternak disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Faktor Protein Bahan Makanan Ternak
Bahan N dalam Protein (%) Faktor Protein
Protein bijian 17,0 5,90
Ikan 16,0 6,25
Susu 15,8 6,38
Telur dan daging 16,0 6,25 Sumber: Crampton dan Harris (1969)
8
Kecernaan Protein secara In Vitro
Daya cerna protein adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang
dapat diserap oleh tubuh (Winarno, 1991). Kemampuan suatu protein untuk
dihidrolisa menjadi asam amino oleh enzim pencernaan (protease) dikenal dengan
istilah daya cerna atau nilai kecernaan. Protein yang mudah dicerna menunjukkan
bahwa jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi.
Protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam amino yang dapat diserap dan
digunakan oleh tubuh rendah, karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh
bersama feses. Beberapa macam protease yang dapat digunakan antara lain pepsin-
pankreatin, tripsin, kimotripsin, peptidase, atau campuran dari beberapa enzim
tersebut (Muchtadi, 1989).
Pankreatin merupakan campuran dari protease, karbohidrase dan lipase yang
diperoleh dari pankreas dan dipergunakan sebagai obat pencernaan bagi seseorang
yang kekurangan enzim ini pada saluran pencernaannya (Suhartono, 1989). Pepsin
merupakan proteinase lambung yang aktif pada nilai-nilai pH asam (pH 1-5) dan
dibentuk oleh proteolysis parsial zymogens non-aktif, yaitu pepsinogen (Boyer,
1971). Pepsin merupakan enzim yang memecah beberapa protein menjadi molekul-
molekul lebih kecil yang disebut peptida (Gamman dan Sherrington, 1992).
Identifikasi Berat Molekul Protein
Analisis berat molekul dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
adalah dengan menggunakan teknik elektroforesis. Elektroforesis adalah perpindahan
partikel-partikel bermuatan karena pengaruh medan listrik. Prinsip yang digunakan
dalam elektroforesis untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan yang
berbeda yaitu molekul-molekul biologis yang bermuatan listrik, yang besarnya
tergantung pada jenis molekul, pH dan komponen medium pelarutnya, bergerak ke
arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul (Nur dan
Adijuwana, 1987).
Elektroforesis berfungsi untuk: 1) menentukan berat molekul (estimasi), 2)
mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan, 3) mendeteksi terjadinya kerusakan bahan
seperti protein dalam pengolahan dan penyimpanan, 4) memisahkan spesies-spesies
yang berbeda secara kualitatif, yang selanjutnya masing-masing spesies dapat
dianalisis dan 5) menetapkan titik isoelektrik protein (Nur dan Adijuwana, 1987).
9
SDS-PAGE (sodium deodecyl sulphat-polyacrylamide gel electrophoresis)
adalah salah satu metode elektroforesis. Berat molekul dan jumlah rantai polipeptida
sebagai sub unit atau monomer dapat ditetapkan dengan SDS-PAGE. Metode SDS-
PAGE dilakukan pada pH sekitar netral. SDS merupakan anionic detergent yang
bersama dengan β-merkaptoetanol dan pemanasan menyebabkan rusaknya struktur
tiga dimensi protein menjadi konfigurasi random coil. Hal ini disebabkan oleh
terpecahnya ikatan sulfida yang selanjutnya tereduksi menjadi gugus-gugus
sulfihidril (Nur dan Adijuwana, 1987).
Pengaruh Pengolahan Daging
Perubahan yang terjadi pada bahan pangan sumber protein selama
pengolahan umumnya disebabkan oleh denaturasi protein, reaksi Maillard, dan
rasemisasi asam amino (Muchtadi et al., 1993). Purnomo (1996) menyatakan bahwa
pengolahan daging dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi
protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan
larutnya. Soeparno (1992) menyatakan bahwa perubahan kemampuan mengikat air
protein daging (water holding capacity/ WHC) yang disebabkan oleh pemasakan
adalah karena kemampuan larut protein daging yang menurun.
Denaturasi Protein
Denaturasi didefinisikan sebagai konformasi dasar perubahan semua bagian
molekul protein yang menyebabkan kehilangan secara sempurna dari aktivitas
biologi dan fungsi alaminya. Denaturasi terjadi pada beberapa tahap yaitu selama
pemanasan, pemanasan berlebih saat penggilingan daging, pembekuan dan
penyimpanan pada tempat beku, dehidrasi pengeringan beku, pencampuran dengan
asam, kontaminasi pembukaan pada temperatur diatas 25oC dan reduksi pH pada saat
post-mortem serta saat pembentukan daging PSE (Davidek, 1990).
Reaksi Maillard
Reaksi Maillard yaitu reaksi antara protein dengan gula pereduksi yang
merupakan sumber utama menurunnya nilai gizi protein selama pengolahan dan
penyimpanan (Muchtadi et al., 1993). Reaksi Maillard terjadi dalam dua tahap, yaitu
reaksi awal dan reaksi lanjutan. Pada reaksi awal terjadi kondensasi antara grup
karbonil gula pereduksi dan grup amino bebas dari asam amino/protein. Produk
10
kondensasi selanjutnya akan berubah menjadi “Schiff base” karena kehilangan
molekul air dan akhirnya terjadi siklisasi oleh “Amadori rearrangement” membentuk
senyawa 1-amino-1-deoksi-2-ketosa (Gambar 1). Senyawa yang terbentuk (deoksi-
ketosil atau senyawa Amadori) merupakan bentuk utama lisin terikat dalam makanan
setelah terjadinya reaksi Maillard awal. Warna makanan pada tahap ini masih seperti
aslinya (belum terjadi pencoklatan), padahal lisin dalam protein makanan tersebut
tidak tersedia (available) lagi secara biologis (Muchtadi et al., 1993).
Gambar 1. Skema Reaksi Maillard antara Glukosa dengan Lisin yang Terikat pada Protein
Reaksi Maillard lanjutan dapat terjadi melalui tiga jalur (pathways), dua
diantaranya dimulai dengan produk Amadori, sedangkan yang ketiga dari degradasi
Strecker. Reaksi ini akan berakhir dengan pembentukan pigmen berwarna coklat
yang disebut melanoidin (Gambar 2). Reaksi pencoklatan dapat memblok lisin
sehingga lisin tidak tersedia lagi jika terlibat dalam reaksi Amadori, yaitu tahap
pertama pencoklatan (deMan, 1997). Lisin merupakan asam amino yang paling
reaktif karena memiliki gugus ε-amino bebas. Oleh karena itu lisin merupakan asam
amino pembatas dalam protein makanan dan kerusakannya dapat menurunkan nilai
gizi protein makanan. Penurunan nilai gizi protein akibat reaksi Maillard selain
penurunan daya cerna protein adalah lisin dan sistin rusak akibat bereaksi dengan
karbonil atau dikarbonil dan aldehid, serta penurunan availabilitas semua asam
amino termasuk leusin (Muchtadi, 1989).
H
HC=O
HCOH
(HCOH)4
Glukosa +
Lisin
Protein
NH2
+
H
CH
HCOH
(HCOH)4
“Schiff’s Base”
Protein
N
+
H
HCH
C=O
(HCOH)4
Deoksi-ketosil (senyawa Amadori) (senyawa Lisin terikat pada protein)
Protein
NH
+
11
Gambar 2. Skema Reaksi Lanjutan Maillard Antara Gula Pereduksi dengan Senyawa Amino Protein
Tabel 6. Ekskresi Produk Reaksi Maillard Awal dan Lanjutan dalam Urin dan Feses Tikus Percobaan
Jumlah yang dikonsumsi Produk Maillard
Urin Feses
(%)
Epsilon-deoksifruktosil- lisin bebas 64 14
Epsilon-deoksifruktosil- lisin terikat pada protein 11 6
”Premelanoidins” 27 64
”Melanoidins” 4 87 Sumber: Hurrell (1984)
Penelitian biologis menggunakan hewan percobaan (tikus) yang dilakukan
oleh Hurrell (1984 ) yang dikutip oleh Muchtadi (1989) menunjukkan bahwa produk
reaksi Maillard awal dan lanjutan benar-benar tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semakin lanjut reaksi Maillard berlangsung
Gula Reduksi
C=O
CH3
Senyawa Deoksiketosil
Karbonil Dikarbonil Rantai Pendek
C=O
+ Senyawa Amino
CHOH
Pemecahan
C=O
HC=O
5-Hidroksi Metil-2 Furaldehid
CH2
CHOH
Dehidrasi
Metil Dikarbonil Intermediet
3-Deoksi Hexason Intermediet
Degradasi Strecker
Asam Amino
+
+
Dikarbonil
Strecker Aldehid
Senyawa Amino
Pembentukan Melanoidin: Polimerisasi Senyawa-senyawa Intermediet. Produksi N-Heterosiklik
12
semakin banyak produk reaksi yang dapat dideteksi dalam feses. Hal ini
menunjukkan bahwa protein yang telah mengalami reaksi Maillard daya cernanya
menurun. Selain itu, ternyata dari sebagian produk yang terserap oleh usus tidak
dapat dimanfaatkan oleh tubuh, terbukti dengan dapat dideteksinya produk hasil
reaksi tersebut dalam urin hewan percobaan.
Rasemisasi Asam Amino
Perlakuan dengan alkali, asam dan panas terutama apabila terdapat lipid atau
gula pereduksi dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino (bentuk L
menjadi bentuk D) yang tidak dapat digunakan oleh tubuh. Ikatan peptida L-D, D-L,
atau D-D dari protein tidak akan dapat diserang oleh enzim proteolitik, sehingga
daya cerna protein menurun dan menurunnya ketersedian asam-asam amino esensial.
Rasemisasi asam amino lisin disajikan pada Gambar 3. D-Lisin, D-treonin, D-
triftofan, D-leusin, D-isoleusin dan D-valin pada manusia tidak dapat digunakan
sama sekali. D-fenilalanin sebagian dapat digunakan sama seperti L-fenilalanin,
sedangkan D-metionin dapat digunakan sama seperti L-metionin (Muchtadi et al.,
1993).
Gambar 3. Rasemisasi Asam Amino Alanin (Winarno, 1986)
Proses pengolahan daging dengan bumbu dan rempah-rempah dapat
mempengaruhi nilai gizi produk olahan daging yang dihasilkan. Nilai gizi protein
dipengaruhi oleh kadar protein dan daya cerna yang menentukan ketersediaan asam
amino tersebut secara biologis (Muchtadi et al., 1993).
L-Alanin D-Alanin
C
CH3
H
COOH
NH2 C
CH3
H
COOH
NH2
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak dan Bagian
Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, Bagian Mikrobiologi dan Biokimia Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi serta laboratorium Kimia dan
Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2005.
Materi
Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan utama, bahan tambahan dan
bahan untuk analisis kimia. Bahan utama yang digunakan adalah bagian paha
belakang dari daging domba jantan berumur satu tahun (lamb) sebanyak 6,9 kg.
Bahan tambahan yang digunakan adalah bahan-bahan untuk pembuatan produk
olahan (bakso, abon, daging panggang, sosis dan dendeng). Bahan tambahan terdiri
atas tepung tapioka, susu skim, garam, bawang putih, merica, pala, minyak, es batu,
bawang merah, gula pasir, santan, jeruk nipis, STPP (sodium tripolyphosphate), air
kelapa, serai, lengkuas, gula merah, asam jawa, kecap manis, ketumbar, kunyit, jahe,
kemiri dan jinten.
Bahan-bahan untuk analisis laboratorium meliputi bahan untuk analisis
protein kasar (metode mikro-Kjeldahl), kecernaan protein secara in vitro dan
elektroforesis (sodium deodecyl sulphat-polyacrilamide gel electrophoresis) yaitu
katalis (1,9 + 0,1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO dan 2,0 + 0,1 ml H2SO4), HCL 0,01 N
atau 0,02 N, aquades, NaOH, larutan H3BO3, indikator (campuran 2 bagian metil
merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2% dalam alkohol), HCL
0,043664 N (0,382%), HCL 0,1 N, enzim pepsin, NaOH 0,5 N, enzim pankreatin,
larutan buffer phosphate 0,2 M, natrium azida 0,005 M, buffer elektroforesis (glisin
192 mM, SDS 0,1% dan tris base 24,8 mM), buffer sampel (SDS, gliserol 50%,
bromphenol blue 0,1%, tris base, HCL 1 M dan aquades), larutan pewarna (50%
methanol, 10% asam asetat dan 0,06% comassie blue R-250) dan larutan peluntur
(5% methanol dan 7,5% asam asetat), larutan fiksasi (25% metanol dan 12% asam
asetat), etanol, larutan en hancer (0,1 g N2S2O3.5H2O dan 500 ml aquabidest), silver
14
nitrat (0,4 g AgNO3, 70 µl formaldehida dan 12 ml aquabidest) dan larutan (15 g
Na2CO3 dan 120 µl formaldehida).
Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pengolahan bakso, sosis, abon,
dendeng dan daging panggang yaitu pisau, alat penggilingan (food processor),
timbangan, kompor gas, panci, saringan, termometer bimetal, gelas ukur, talenan,
loyang, plastik HDPE (high dencity polyethylene), oven, refrigerator, freezer, stuffer,
garpu dan alat pengepres abon. Alat-alat analisis laboratorium yang digunakan
adalah peralatan analisis kadar protein metode Kjeldahl, elektroforesis (SDS-PAGE)
dan kecernaan protein secara in vitro yaitu neraca analitik, labu Kjeldahl 30 ml,
pemanas Kjeldahl lengkap yang dihubungkan dengan penghisap uap melalui
aspirator, alat destilasi, labu Erlenmeyer 50 dan 125 ml, kondensor, shaker
waterbath, kertas saring Whatman 41, pH meter, alat titrasi, perangkat alat
elektroforesis, tabung Eppendorf, mikropipet, magnetic stirer, gelas piala, labu takar,
gelas ukur, dan sudip.
Analisis Data
Pengamatan peubah dilakukan secara komposit dan hasilnya diinterpretasi
dengan analisis deskriptif (pengamatan rataan dan standar deviasi). Model
matematika yang digunakan menurut Walpole (1995) adalah:
Σ Σ
Keterangan: rataan contoh ragam contoh
√ standar deviasi
Prosedur
Pembuatan Bakso
Lemak permukaan dan jaringan ikat pada daging dihilangkan, kemudian
dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Daging sebanyak 300 g yang telah
siap kemudian dimasukkan ke dalam alat penggiling (food processor) dan
ditambahkan 3% garam, 30% es batu dan 0,5% STPP, kemudian digiling selama 1,5
n i =1
n - 1
n (xi – x)2
X = S2 =
_
_
S2 =
n
i =1 xi
X = _
S2 =
15
menit. 30% tepung tapioka, 0,5% merica dan 2,5% bawang putih ditambahkan ke
dalam adonan, kemudian digiling kembali selama 1,5 menit. Persentase penambahan
bahan tambahan dihitung dari berat daging. Adonan yang telah terbentuk dicetak
bentuk bulat dengan diameter kurang lebih dua cm dan dimasukkan ke dalam air
mendidih hingga mengapung. Bakso diangkat dan ditiriskan. Diagram alir
pembuatan bakso domba disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Bakso Domba (Modifikasi Nasution, 2000)
Pembuatan Sosis
Lemak permukaan dan jaringan ikat pada daging dihilangkan, kemudian
dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Daging sebanyak 200 g yang telah
siap kemudian dimasukkan ke dalam alat penggiling (food processor) dan
ditambahkan 3% garam, 8% susu skim dan 1/3 bagian es batu, kemudian digiling
selama 1,5 menit. Adonan ditambah 10% minyak, 1,5 % bawang putih yang telah
dipotong-potong kecil, 1% merica, 0,5% pala dan 1/3 bagian es batu, kemudian
digiling kembali selama 1,5 menit. Adonan ditambah 12% tepung tapioka dan 1/3
bagian es batu (total es batu yang ditambahkan adalah 35%), kemudian digiling
kembali selama 2 menit. Persentase bahan tambahan dihitung dari berat daging.
Adonan kemudian dimasukkan ke dalam selongsong sosis (casing) dengan
menggunakan stuffer. Sosis yang telah dimasukkan ke dalam selongsong dikukus
300 g daging dipotong-potong (+ 1,5 x 3 x 3 cm)
30% tepung tapioka 2,5% bawang putih 0,5% merica
Diangkat dan ditiriskan
Perebusan
Pencetakan bentuk bulat
Penggilingan (1,5 menit)
Penggilingan (1,5 menit)
3% garam 30% es batu 0,5% STPP
16
selama 45 menit dengan suhu 65oC. Diagram alir pembuatan sosis domba disajikan
pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Sosis Domba (Modifikasi Dianingtyas,
2001)
Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Abon Domba (Modifikasi Aliyudin, 1999)
5 % bawang merah 2,5 % bawang putih 7 % gula pasir 25 % santan 1 % garam 2 % air jeruk nipis 0,2% merica
Pengovenan (15 menit dan 130oC)
Pengepresan
Diangkat dan ditiriskan
Disuir-suir dan Pemasakan
200 g daging dikukus (1 jam)
Penggorengan (450 ml minyak, 15 menit dan 150oC)
Diangkat dan ditiriskan
10% minyak 1,5% bawang putih 1% merica 0,5% pala 1/3 es batu
200 g daging dipotong-potong (+ 1,5 x 3 x 3 cm)
Pengukusan (65oC, 45 menit)
Selongsong sosis (casing)
Penggilingan (2 menit)
Penggilingan (1,5 menit)
Penggilingan (1,5 menit)
3% garam 1/3 es batu 8% susu skim
12% tepung tapioka 1/3 es batu
17
Pembuatan Abon
Daging sebanyak 200 g dibersihkan dari lemak permukaan dan jaringan ikat,
kemudian dikukus selama 1 jam, disuir-suir dengan menggunakan garpu dan
digiling dengan alat penggilingan (food processor). Bumbu yang digunakan terdiri
atas 5% bawang merah, 2,5% bawang putih, 7% gula pasir, 25% santan, 1% garam,
0,2% merica dan 2% air jeruk nipis. Persentase penambahan bahan tambahan
dihitung dari berat daging. Daging sebanyak 200 g yang telah halus, dimasak dengan
semua bumbu yang telah dihaluskan sambil diaduk-aduk hingga bumbu meresap.
Daging diangkat dan ditiriskan, kemudian digoreng dengan minyak sebanyak 450 ml
selama 15 menit dengan api kecil (suhu 150oC). Abon diangkat dan dipres dengan
alat pengepres, kemudian dioven selama 15 menit pada suhu 130oC. Diagram alir
pembuatan abon domba disajikan pada Gambar 6.
Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Daging Panggang Domba
Pembuatan Daging Panggang
Lemak permukaan dan jaringan ikat pada daging dihilangkan, kemudian
dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Daging sebanyak 300 g yang telah
siap kemudian di garami (curing) sebanyak 2,567% selama 15 menit. Bumbu yang
digunakan adalah 0,014% garam, 0,112% bawang merah, 0,043% bawang putih,
0,005% ketumbar, 0,007% kunyit, 0,007% jahe, 0,043% kemiri, 0,026% lengkuas
dan 0,003% serai. Daging dimasak bersama dengan bumbu yang telah dihaluskan
dan dicampur dengan 0,054% kecap manis, 0,042% gula merah, 0,001% gula pasir
dan 0,003% asam jawa yang telah dicampur dengan satu sendok makan air hingga
0,014% garam 0,112% bawang merah 0,043% bawang putih 0,005% ketumbar 0,007% kunyit 0,007% jahe 0,043% kemiri 0,026% lengkuas 0,003% serai
0,054% kecap manis 0,042% gula merah 0,001% gula pasir 0,003% asam jawa
300 g daging dipotong-potong
Pemanggangan (120oC, 10 menit)
Pemasakan
Penggaraman 15 menit
Pemasakan
0,833% air kelapa
18
bumbu meresap. 0,833% ml air kelapa ditambahkan dan dimasak kembali. Daging
dipanggang di dalam oven listrik dengan suhu 120oC selama 10 menit. Diagram alir
pembuatan daging panggang domba disajikan pada Gambar 7.
Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Dendeng Domba (Modifikasi Lisdiawati, 2004)
Pembuatan Dendeng
Lemak permukaan dan jaringan ikat pada daging dihilangkan, kemudian
dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil (Gambar 8). Daging sebanyak 300
g yang telah siap kemudian digiling dengan menggunakan alat penggilingan selama
30 detik. Bumbu yang digunakan terdiri atas 0,03% garam, 0,3% gula merah, 0,01%
asam jawa, 0,025% ketumbar, 0,125% laos, 0,025% bawang merah, 0,02% merica,
0,001% g jinten dan 0,025% bawang putih.
Bumbu dihaluskan kemudian dicampur dengan larutan gula merah dan asam
jawa. Persentase bumbu perendam dihitung dari berat daging. Campuran bumbu
dituangkan pada daging yang telah digiling, diaduk rata dan didiamkan selama 24
jam. Daging dituangkan pada loyang yang telah dilapisi dengan plastik HDPE
dengan ketebalan 6 mm. Daging kemudian dioven dengan suhu 70oC selama 8 jam.
Dendeng digoreng pada suhu 120oC selama 5 menit hingga matang.
300 g daging dipotong-potong
0,03% garam 0,025% ketumbar 0,125% laos 0,025% bawang merah 0,02% merica 0,001% jinten 0,025% bawang putih
Pengovenan (70oC, 8 jam)
Pencetakan (tebal + 6 mm)
Penyimpanan (24 jam, 4-7oC)
Pencampuran dan diaduk
Penggilingan (30 detik)
0,3% gula merah 0,01% asam jawa
Penggorengan (120oC, 5 menit)
19
Pengukuran Peubah Protein daging domba dan hasil olahannya dianalisis kimia. Peubah yang
diamati untuk daging segar serta produk olahan (bakso, abon, daging panggang, sosis
dan dendeng) dari daging domba adalah protein kasar (Metode Mikro-Kjeldahl),
kecernaan protein secara in vitro dan bobot molekul protein (SDS-PAGE).
Kadar Protein Kasar (AOAC, 1995)
Metode yang digunakan untuk mengukur kadar protein adalah Mikro-
Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,05-0,1 g, kemudian dimasukkan ke dalam
labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan katalis (1,9 + 0,1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO dan
2,0 + 0,1 ml H2SO4) dan 3-10 ml HCL 0,01 N atau 0,02 N, kemudian dididihkan di
dalam pemanas Kjeldahl lengkap yang dihubungkan dengan penghisap uap melalui
aspirator sampai cairan menjadi jernih. Labu didinginkan dan isinya dipindahkan ke
dalam alat destilasi. Labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air dan air cucian
ini dimasukkan juga ke dalam alat destilasi.
Labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes
indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen
blue 0,2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor
harus terendam di dalam larutan H3BO3. Larutan NaOH ditambahkan sebanyak 2-3
ml, kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung 50 ml larutan destilat (berwarna
hijau) di dalam labu Erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan air
bilasannya ditampung di dalam Erlenmeyer yang sama. Setelah itu dilakukan titrasi
dengan HCL 0,043664 N (0,382%) sampai terjadi perubahan warna menjadi ungu
(warna semula) dan dilakukan penetapan blanko. Perhitungan kadar protein kasar
dan protein sisa dilakukan dengan rumus:
(a-b) x 0,014 x N HCL x c
bobot sampel
Keterangan: a = ml titer b = ml blanko c = faktor konversi daging (6,25)
Kecernaan Protein secara In Vitro (Sounders et al., 1973)
Pengukuran kecernaan protein secara in vitro dilakukan dengan
menggunakan 250 mg sampel. Sampel dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 50 ml,
x 100% % N =
20
ditambahkan 15 ml HCL 0,1 N yang mengandung 1,5 mg enzim pepsin dan dikocok
pada shaker waterbath dengan kecepatan 50 rpm dan suhu 37oC selama 3 jam.
Larutan dinetralkan (pH 7) dengan NaOH 0,5 N dan ditambahkan 7,5 ml larutan
buffer phosphate 0,2 M dengan pH 8 yang mengandung Natrium Azida 0,005 M dan
4 mg enzim pankreatin.
Larutan yang diperoleh dikocok kembali pada shaker waterbath dengan
kecepatan 50 rpm dan suhu 37oC selama 24 jam. Padatan yang diperoleh dari
penyaringan akhir disaring dengan kertas saring Whatman 41 (sebelumnya bobot
kertas saring sudah dicatat) yang dihubungkan dengan alat penghisap uap. Berat
padatan ditimbang, kemudian dianalisis kandungan nitrogennya (% Protein Kasar
padatan) dengan menggunakan metode Kjeldahl-Mikro. Perhitungan daya cerna
protein dilakukan dengan rumus:
Protein Kasar – Protein Sisa
Protein Kasar
Identifikasi Berat Molekul Protein (Laemmli, 1970)
Gel elektroforesis yang telah dibuat dimasukkan pada alat elektroforesis yang
telah dirangkai. Volume sampel yang dimasukkan ke dalam sumur sebanyak 20 µl,
tergantung tebal tipisnya pita protein yang diinginkan. Elektroforesis (SDS-PAGE)
dijalankan pada tegangan 100 V dan arus listrik 125 mA selama 1–1,5 jam hingga
bromphenol blue mencapai 1 cm dari batas bawah gel. Standar protein yang
digunakan pada penelitian ini adalah penanda protein LMW-SDS (Low Molecular
Weight-SDS) yang terdiri atas enam protein (Tabel 7).
Tabel 7. Standar Protein LMW-SDS (Low Molecular Weight-SDS)
Protein Berat Molekul (kD)
Phosphorilase b 97,0
Albumin 66,0
Ovalbumin 45,0
Carbonic anhydrase 30,0
Trypsin inhibitor 20,1
α-lactalbumin 14,4 Sumber: Amersam Biosciences, 2002
x 100% % Kecernaan Protein =
21
Comassie brilian blue dituang ke dalam gel tersebut, kemudian dimasukkan
ke dalam shaker waterbath dan diputar selama 24 jam. Kelebihan warna dibuang
dengan merendam gel dalam larutan peluntur sampai diperoleh pita-pita protein yang
berwarna biru dengan latar belakang jernih. Silver staining dilakukan apabila pita
pada gel tidak tampak dengan jelas.
Silver Staining. Gel difiksasi selama 1 jam dengan larutan fiksasi (25% methanol
dan 12% asam asetat), kemudian diputar dalam shaker waterbath. Larutan fiksasi
kemudian dibuang. Gel ditambahkan larutan 50% etanol, kemudian diputar kembali
selama 20 menit dalam shaker waterbath, lalu larutan etanol dibuang. Etanol 30%
ditambahkan kembali sebanyak dua kali selama 20 menit, diputar dan dibuang. Gel
ditambahkan larutan en-hancer (0,1 g N2S2O3.5H2O dan 500 ml aquabidest), diputar
selama 1 menit, lalu dibuang. Gel tersebut dicuci dengan aquabidest sebanyak tiga
kali selama 20 detik, lalu dibuang. Gel ditambahkan silver nitrat (0,4 g AgNO3, 70 µl
formaldehid dan 12 ml aquabidest) selama 30 menit, lalu dibilas dengan aquabidest
sebanyak dua kali selama 20 menit. Gel dicelupkan dalam larutan (15 g Na2CO3 dan
120 µl formaldehida). Diputar sampai terlihat pita, kemudian reaksi dihentikan
dengan larutan fiksasi.
Perhitungan Berat Molekul. Berat molekul protein sampel dapat dihitung dari
persamaan regresi antara mobilitas relatif protein marker (penanda protein) dengan
log dari berat molekul marker yang telah diketahui. Mobilitas relatif protein dihitung
dengan membandingkan jarak migrasi protein diukur dari garis awal separating gel
sampai ujung pita protein yang dibandingkan dengan jarak migrasi tracking dye.
Mobilitas relatif tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
(Band (cm) (Run (cm)
Keterangan: Rf = mobilitas relatif protein Band (cm) = jarak migrasi protein Run (cm) = jarak migrasi tracking dye BM = berat molekul (Dalton)
a = gradien (persamaan regresi) b = intersep (persamaan regresi)
Rf =
BM = 10 x (a x Rf + b)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Protein Kasar Kadar protein yang terdapat pada daging domba segar maupun produk
olahannya (bakso, abon, daging panggang, sosis dan dendeng) merupakan kadar total
protein. Hal ini karena nitrogen dalam daging domba segar maupun produk
olahannya sesungguhnya bukan hanya berasal dari asam-asam amino protein, tetapi
juga dari senyawa-senyawa nitrogen lain. Rataan dan standar deviasi nilai kadar
protein kasar daging segar dan produk olahan daging domba disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Kadar Protein Kasar Daging Segar dan Produk Olahan Daging Domba (% Bahan Kering)
Daging Segar
Bakso Sosis Daging
Panggang Dendeng
Ulangan
Kadar Kadar Selisih Kadar Selisih Kadar Selisih Kadar Selisih Kadar Selisih
(%)
I 82,05 40,06 41,99 32,05 50,01 36,49 45,56 53,45 28,60 38,70 43,35
II 79,51 39,68 39,83 32,45 47,06 35,97 43,53 54,74 24,77 39,31 40,20
Rataan + Stdev
80,78 + 1,80
39,87 + 0,27
40,91 +1,53
32,25 + 0,28
48,53 + 2,08
36,23 + 0,37
44,55 + 1,43
54,09 + 0,91
26,68 + 2,71
39,00 + 0,43
41,78 + 2,23
Tabel di atas menunjukkan bahwa masing-masing proses pengolahan
menghasilkan kadar protein yang berbeda-beda. Nilai kadar protein terendah dari
pengolahan daging domba yaitu pada sosis sebesar 32,25% + 0,28%, sedangkan nilai
kadar protein tertinggi didapat pada daging panggang sebesar 54,09% + 0,91%.
Perubahan kadar protein diperoleh dari selisih kadar protein daging segar dengan
produk olahannya. Perubahan (penurunan) kadar protein terendah terjadi pada
pengolahan daging panggang, sedangkan perubahan (penurunan) kadar protein
tertinggi terjadi pada sosis.
Bakso dan Sosis Domba
Rataan dan standar deviasi kadar protein kasar bakso yaitu 39,87% + 0,27%
(Tabel 8). Angka ini lebih kecil dari rataan dan standar deviasi kadar protein kasar
daging segar yaitu 80,76% + 1,78%, namun lebih besar dari syarat mutu protein
bakso minimal 9%. Penurunan kadar protein bakso domba dibandingkan dengan
Daging Panggang Abon
Keterangan: Stdev = standar deviasi Selisih dihitung dari kadar protein daging segar
23
kadar protein daging segar diakibatkan karena proses pemasakan yang menggunakan
suhu tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widiati et al. (2000) bahwa
penggunaan bumbu termasuk di dalamnya garam dan gula pada saat pemasakan dan
pemanasan daging akan menyebabkan terjadinya pengkerutan serat otot yang
mengakibatkan cairan dari dalam daging akan keluar. Gamman dan Sherington
(1992) menambahkan bahwa keluarnya cairan dari dalam daging ini membawa
ekstrak yang mengandung air, vitamin, mineral, garam yang larut dalam air serta
peptida (rantai pendek asam amino).
Pengkerutan serat otot disebabkan juga oleh terdenaturasinya protein daging
yaitu pada rentang suhu pemanasan 57-75oC (deMan, 1997). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Purnomo (1997a) bahwa pemanasan pada suhu tinggi, panas yang
diterima berlangsung lebih cepat dan dapat mengakibatkan denaturasi protein.
Denaturasi protein yang membuka rantai globular menyebabkan pengkerutan serat
otot dan mengakibatkan keluarnya air yang membawa peptida (Gambar 9).
Gambar 9. Ilustrasi Denaturasi Molekul Protein (Fennema, 1996)
Kadar protein bakso berhubungan dengan jenis dan jumlah tepung serta
jumlah daging yang digunakan. Semakin banyak jumlah daging yang digunakan
maka semakin tinggi kadar protein bakso, karena daging merupakan sumber protein.
Sebaliknya, semakin banyak jumlah tepung tapioka yang digunakan maka semakin
rendah kadar protein bakso yang dihasilkan, karena sebagian besar komponen
penyusun tepung adalah pati yang merupakan sumber karbohidrat. Hal ini sesuai
24
dengan pernyataan Purnomo (1997b) bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung
tapioka yang dipakai, semakin rendah kandungan protein bakso.
Rataan dan standar deviasi kadar protein kasar sosis yaitu 32,25% + 0,28%
(Tabel 8). Angka ini lebih kecil dari rataan dan standar deviasi kadar protein kasar
daging segar yaitu 80,76% + 1,78%. Namun, lebih besar dari syarat mutu protein
sosis minimal 13%. Penurunan kadar protein sosis dipengaruhi oleh terjadinya
pengkerutan serat otot. Pengolahan sosis dengan cara penggilingan dan pengukusan
juga menyebabkan penurunan kadar protein yang dikandungnya rendah. Proses
pengolahan sosis dengan penambahan bahan selain protein antara lain bumbu dan
rempah-rempah dapat menurunkan kadar protein karena penggunaan bahan
tambahan yang semakin banyak akan mengakibatkan semakin rendahnya kadar
protein. Oleh karena itu, kadar protein yang dikandung oleh sosis domba paling
rendah daripada produk olahan lainnya.
Abon, Daging Panggang dan Dendeng Domba
Rataan dan standar deviasi kadar protein kasar abon yaitu 36,23% + 0,37%
(Tabel 8). Angka ini lebih kecil dari rataan dan standar deviasi kadar protein kasar
daging segar yaitu 80,76% + 1,78%. Namun, lebih besar dari syarat mutu protein
abon minimal 15%. Pengolahan abon antara lain pengukusan, penghancuran mekanik
(disuir-suir), penggorengan dan pemanggangan (oven). Suhu pemanasan yang paling
tinggi dalam pengolahan abon terjadi pada saat penggorengan yaitu 150oC. Suhu
pemanasan yang tinggi ini akan menyebabkan pengkerutan serat otot sehingga
protein yang larut air akan keluar bersama dengan keluarnya cairan dari daging. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Purnomo (1997a). Oleh karena itu, kadar protein yang
dikandung oleh abon domba lebih rendah daripada kadar protein daging segar.
Rataan dan standar deviasi kadar protein kasar daging panggang yaitu
54,09% + 0,91% (Tabel 8). Angka ini lebih kecil dari rataan dan standar deviasi
kadar protein kasar daging segar yaitu 80,76% + 1,78%. Penurunan kadar protein
daging panggang dipengaruhi oleh terjadinya pengerutan serat otot. Suhu pemanasan
yang paling tinggi dalam pengolahan daging panggang terjadi pada saat
pemanggangan (oven), yaitu 120oC. Pengolahan daging panggang dengan cara
pemanggangan (oven) juga menyebabkan penurunan kadar protein karena suhu
25
pemanasan yang tinggi ini akan menyebabkan pengkerutan serat otot sehingga
protein yang larut air akan keluar bersama dengan keluarnya cairan dari daging.
Rataan dan standar deviasi kadar protein kasar dendeng yaitu 39,00% +
0,43% (Tabel 8). Angka ini lebih kecil dari rataan dan standar deviasi kadar protein
kasar daging segar yaitu 80,76% + 1,78%. Namun, lebih besar dari syarat mutu
protein dendeng minimal yaitu 30% untuk mutu I dan 25% untuk mutu II.
Penurunan kadar protein abon dipengaruhi oleh terjadinya pengerutan serat
otot. Pengolahan dendeng dengan cara penggilingan, pemanggangan (oven) dan
penggorengan (120oC) juga dapat menyebabkan kadar protein yang dikandungnya
rendah. Hal ini disebabkan karena suhu pemanasan yang tinggi akan menyebabkan
pengkerutan serat otot sehingga protein yang larut air akan keluar bersama dengan
keluarnya cairan dari daging. Proses pengolahan dendeng dengan penambahan bahan
selain protein antara lain bumbu dan rempah-rempah dapat menurunkan kadar
protein karena penggunaan bahan tambahan yang semakin banyak akan
mengakibatkan semakin rendahnya kadar protein.
Kecernaan Protein secara In Vitro Protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa asam-asam amino yang
dapat diserap dan digunakan oleh tubuh jumlahnya tinggi. Sebaliknya, suatu protein
yang sukar dicerna berarti jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan
digunakan oleh tubuh rendah, karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh
bersama feses. Pengukuran kecernaan protein yang dilakukan adalah kecernaan
protein secara in vitro yang melibatkan enzim pencernaan, yaitu pepsin dan
pankreatin.
Tabel 9. Kecernaan Protein Daging Segar dan Produk Olahan Daging Domba
Daging Segar Bakso Sosis Abon Daging Panggang Dendeng
Ulangan Kecernaan Kecernaan Selisih Kecernaan Selisih Kecernaan Selisih Kecernaan Selisih Kecernaan Selisih
(%)
I 79,51 90,65 11,14 83,55 4,05 70,46 -9,05 75,70 -3,81 62,77 -16,74
II 76,67 90,89 14,22 75,80 -0,86 70,07 -6,60 75,13 -1,54 65,49 -11,17
Rataan + Stdev
78,09 + 2,01
90,77 + 0,17
12,68 + 2,18
79,68 + 5,48
1,59 + 3,47
70,26 + 0,27
-7,82 + 1,74
75,41 + 0,40
-2,67+ 1,60
64,13+ 1,93
-13,95+ 3,93
Keterangan: Stdev = standar deviasi (-) = penurunan
26
Hasil kecernaan protein (Tabel 9) menunjukkan bahwa pengolahan
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kecernaan protein. Nilai kecernaan
protein terendah dari pengolahan daging domba yaitu pada dendeng sebesar 64,13%
+ 1,92%, sedangkan nilai kecernaan protein tertinggi didapat pada bakso sebesar
90,77% + 0,17%. Perubahan (penurunan) nilai kecernaan protein terendah terjadi
pada pengolahan bakso, sedangkan perubahan (penurunan) nilai kecernaan protein
tertinggi terjadi pada dendeng.
Bakso dan Sosis Domba
Rataan dan standar deviasi kecernaan protein bakso yaitu 90,77% + 0,17%.
Angka ini lebih besar daripada kecernaan protein daging segar dan produk olahan
daging domba yang lainnya (sosis, daging panggang, abon dan dendeng). Tingginya
kecernaan protein bakso kemungkinan diakibatkan oleh terjadinya denaturasi protein.
Denaturasi protein yang terjadi mengakibatkan terbukanya rantai globular protein
sehingga enzim pencernaan (pepsin dan pankreatin) semakin mudah dalam memutus
ikatan kovalen menjadi asam-asam amino. Semakin banyak asam amino yang
terlepas maka semakin tinggi daya cerna proteinnya.
Gula pereduksi dan protein yang terdapat di dalam daging serta pamanasan
yang dilakukan saat pemasakan akan mengakibatkan terjadinya reaksi Maillard.
Namun, kerusakan protein akibat reaksi Maillard pada bakso tidak sampai
menurunkan kecernaan protein seperti pada produk olahan daging domba yang
lainnya (sosis, daging panggang, abon dan dendeng) karena kadar air bakso relatif
lebih tinggi.
Rataan dan standar deviasi kecernaan protein sosis yaitu 79,68% + 5,48%.
Angka ini lebih besar daripada kecernaan protein abon, daging panggang dan
dendeng domba, tetapi lebih kecil daripada kecernaan protein bakso dan daging
domba segar. Proses pengukusan pada pembuatan sosis dilakukan pada suhu 65°C.
Pengukusan ini dapat mengakibatkan denaturasi protein yang pada ahkirnya dapat
meningkatkan daya cerna protein yang dikandungnya.
Abon, Daging Panggang dan Dendeng Domba
Rataan dan standar deviasi kecernaan protein abon yaitu 70,26% + 0,27%.
Angka ini lebih kecil daripada kecernaan protein daging segar, bakso, sosis dan
27
daging panggang tetapi lebih besar daripada kecernaan protein dendeng domba.
Penurunan kecernaan protein abon kemungkinan dipengaruhi oleh terjadinya reaksi
Maillard dan kemungkinan terjadinya rasemisasi asam amino. Proses pembuatan
abon menggunakan gula pereduksi (gula merah dan gula pasir) yang menimbulkan
reaksi Maillard. Selain itu, penambahan jeruk nipis kemungkinan akan menyebabkan
terjadinya rasemisasi asam amino sehingga menurunkan daya cerna protein.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Muchtadi (1989) bahwa perlakuan dengan
alkali, asam dan panas terutama apabila terdapat lipid atau gula pereduksi dapat
menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino (bentuk L menjadi bentuk D) yang
tidak dapat digunakan oleh tubuh. Ikatan peptida L-D, D-L, atau D-D dari protein
tidak akan dapat diserang oleh enzim proteolitik, sehingga daya cerna protein
menurun dan menurunnya ketersedian asam-asam amino esensial.
Rataan dan standar deviasi kecernaan protein daging panggang yaitu 75,41%
+ 0,40%. Angka ini lebih besar daripada kecernaan protein abon dan dendeng
domba, tetapi lebih kecil daripada kecernaan protein bakso, sosis dan daging domba
segar. Penurunan kecernaan protein daging panggang kemungkinan dipengaruhi oleh
terjadinya reaksi Maillard dan rasemisasi asam amino dengan digunakannya gula
merah dan asam jawa dalam proses pengolahan daging panggang.
Rataan dan standar deviasi kecernaan protein dendeng yaitu 64,13% + 1,93%.
Angka ini lebih kecil daripada kecernaan protein produk olahan domba lainnya
(bakso, sosis, abon dan daging panggang). Penurunan kecernaan protein dendeng
kemungkinan dipengaruhi oleh terjadinya reaksi Maillard, rasemisasi asam amino
dan bentuk permukaan dendeng. Warna dendeng yang dihasilkan yaitu coklat yang
diduga terjadi akibat reaksi Maillard lanjutan.
Jumlah Protein Tercerna
Kadar protein kasar suatu bahan pangan menunjukkan kadar total protein,
artinya nitrogen yang terukur berasal dari semua zat yang mengandung unsur
nitrogen, sedangkan kecernaan protein merupakan jumlah fraksi nitrogen dari bahan
makanan yang dapat diserap oleh tubuh. Jumlah protein tercerna dari suatu bahan
makanan yang dapat diserap oleh tubuh dapat diperoleh dengan mengalikan
persentase kecernaan protein dengan kadar protein kasar yang dikandungnya. Jumlah
28
protein tercerna dari produk olahan daging domba (bakso, abon, daging panggang,
sosis dan dendeng) per 100 gram disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Persentase Protein Tercerna dari Produk Olahan Daging Domba Berdasarkan Berat Basah (per 100 g)
Rata-rata Jenis Olahan Kadar Protein
(g) Kecernaan Protein
(%) Protein Tercerna
(g) Bakso 11,80 90,77 10,71
Sosis 10,09 79,68 8,04
Abon 35,60 70,26 25,01
Dendeng 25,94 64,13 16,63
Daging panggang 29,01 75,41 21,88
Tabel di atas menunjukkan bahwa masing-masing proses pengolahan
menghasilkan jumlah protein tercerna yang berbeda-beda. Jumlah protein tercerna
paling rendah dari pengolahan daging domba yaitu pada sosis sebesar 8,04 gram,
sedangkan jumlah protein tercerna paling tinggi didapat pada abon sebesar 25,01
gram. Hal ini disebabkan karena pengukuran jumlah protein tercerna berdasarkan
berat basah, dimana kadar air dan kadar protein serta kecernaan protein yang dimiliki
masing-masing produk berbeda-beda. Protein tercerna dipengaruhi oleh hubungan
positif antara kadar dengan kecernaan proteinnya. Kadar dan kecernaan protein yang
tinggi akan menghasilkan protein tercerna yang tinggi. Sebaliknya kadar dan
kecernaan protein yang rendah akan menghasilkan protein tercerna yang rendah.
Berdasarkan protein tersedia, abon adalah produk yang paling baik.
Identifikasi Berat Molekul Protein
SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis)
digunakan secara luas dalam analisis protein terutama penentuan berat molekul sub
unit. Penentuan berat molekul protein daging domba dan hasil olahannya (bakso,
abon, daging panggang, sosis dan dendeng) ditujukan untuk mengetahui berat
molekul sub unit-sub unit penyusunnya. Proses denaturasi protein sampel dilakukan
untuk mengetahui sub unit-sub unit tersebut sehingga dapat dipetakan dengan pita-
pita yang berbeda. Komponen dengan berat molekul kecil akan berada pada bagian
29
bawah, sedangkan komponen dengan berat molekul besar akan berada pada bagian
atas. Jadi dalam satu slab, semakin ke bawah ukuran porinya akan semakin kecil.
Penentuan berat molekul sampel dihitung dari kurva standar yang dapat dicari
dari hubungan antara mobilitas elektroforetik (Rf) dengan logaritma dari berat
molekul (Log BM) sehingga dapat diperoleh persamaan regresi linier. Hasil analisis
SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis) dapat
dilihat pada Lampiran 4. Hasil regresi yang diperoleh untuk setiap jenis olahan
berbeda-beda karena sampel tidak pada satu slab.
Model regresi linier untuk daging segar yaitu y = -0,97x + 5,1031 dengan
koefisien determinasi contoh (r2) sebesar 0,994, yang berarti bahwa 99,4% diantara
keragaman total dari berat molekul dapat dijelaskan dari hubungan linier dengan nilai
Rf-nya. Model regresi linier untuk bakso dan abon yaitu y = -1,0335x + 5,0445,
dengan koefisien determinasi contoh (r2) sebesar 0,9942, yang berarti bahwa 99,42%
diantara keragaman total dari berat molekul dapat dijelaskan dari hubungan linier
dengan nilai Rf-nya. Model regresi linier untuk sosis, dendeng dan daging panggang
yaitu y = -1,068x + 5,051, dengan koefisien determinasi contoh (r2) sebesar 0,9737,
yang berarti bahwa 97,37% diantara keragaman total dari berat molekul dapat
dijelaskan dari hubungan linier dengan nilai Rf-nya.
Protein terbentuk akibat asam-asam amino yang saling berikatan membentuk
rangkaian. Perbedaan yang kecil dalam pembentukan rangkaian, akan menghasilkan
jenis protein yang berbeda. Jenis pita protein yang terdeteksi pada hasil olahan
berkaitan erat dengan tingkat kerusakan fungsional protein. Jenis asam amino yang
semakin banyak menunjukkan rendahnya kerusakan fungsional protein. Hasil SDS-
PAGE daging segar dan produk olahan daging domba dapat dilihat pada Gambar 10.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pita-pita
protein pada daging domba segar dan produk olahannya. Jumlah pita protein pada
daging segar yang terdeteksi ada 20 pita dengan berat molekul tertentu. Jumlah pita
yang terdeteksi pada produk bakso, sosis, dendeng, abon dan daging panggang
berturut-turut adalah 10, 5, 5, 7 dan 7 pita. Protein dengan bobot molekul tinggi
(>100 kD) yang ada pada daging segar tidak terdapat pada produk olahan daging
domba. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh proses pemanasan pada pengolahan
produk.
30
Gambar 10. Hasil SDS-PAGE Daging Segar dan Produk Olahan Daging Domba
Hasil pewarnaan gel poliakrilamid pada sampel daging domba segar terlihat
bahwa gel sampel tersebut masih berwarna biru dan masih banyak terlihat adanya
pita-pita protein meskipun sampel telah mengalami proses denaturasi. Hal ini
menunjukan bahwa proses pengolahan yang berbeda mempengaruhi pemisahan pita-
pita protein dan menghasilkan pita-pita protein dengan berat molekul tertentu.
Pernyataan ini sesuai dengan Afifah (2003) dan de la Fuente et al. (2003) yang
menyatakan bahwa proses pemanasan dapat mengurangi pita-pita protein yang
dominan, tetapi dapat pula menimbulkan sejumlah pita-pita protein yang baru.
Bakso yang dianalisis dengan elektroforesis (SDS-PAGE) mempunyai pita
protein sebanyak 10 buah, dengan berat molekul berkisar antara 19,35-89,67 kD.
Penurunan jumlah pita protein ini terjadi akibat pengaruh pemanasan. Pemanasan
selama pengolahan dapat mengakibatkan reaksi-reaksi perubahan protein atau
bahkan dapat merusak protein yang mengakibatkan pita-pita protein yang terdeteksi
semakin sedikit. Selain itu, proses pembuatan bakso pada daging domba dapat
menghilangkan protein dengan berat molekul tinggi (>100 kD).
50,40 kD
36,56 kD
32,85 kD
22,59 kD
19,24 kD
Sosis
81,58 kD
50,40 kD
36,56 kD
31,14 kD
22,59 kD
20,29 kD
12,54 kD
Daging Panggang
51,43 kD
32,86 kD
21,03 kD
17,78 kD
10,17 kD
Dendeng
98,37 kD
76,32 kD
65,54 kD
56,28 kD
48,33 kD
41,50 kD
27,65 kD
Abon
89,67 kD
76,51 kD
61,93 kD 58,74 kD
50,12 kD
42,77 kD
32,83 kD
29,54 kD
25,20 kD
19,35 kD
Bakso
114,28 kD 108,50 kD
97,79 kD 92,84 kD
75,43 kD 71,61 kD 67,99 kD
61,27 kD
49,78 kD 44,87 kD 42,60 kD
31,19 kD
28,11 kD 26,69 kD 25,34 kD
21,68 kD 19,54 kD 18,55 kD
16,72 kD
15,07 kD
Daging Segar
31
Sosis mempunyai jumlah pita protein terdeteksi sebanyak 5 buah, dengan
berat molekul berkisar antara 19,24-50,40 kD. Jumlah ini merupakan jumlah terkecil
jika dibandingkan dengan produk olahan lainnya. Penurunan jumlah pita protein
yang terdeteksi ini disebabkan oleh proses pengolahan. Protein sosis jika dilihat dari
hasil elektroforesis, mempunyai keragaman protein yang paling rendah apabila
dibandingkan dengan produk olahan lainnya. Selain itu, protein dengan berat
molekul lebih dari 100 kD tidak terdapat pada sosis.
Dendeng mempunyai jumlah pita protein yang terdeteksi dengan
elektroforesis (SDS-PAGE) sebanyak 5 pita, dengan berat molekul berkisar antara
10,17-51,43. Jumlah ini sama dengan jumlah pita yang terdeteksi pada sosis domba.
Penurunan jumlah pita protein yang terdeteksi ini disebabkan oleh proses
pengolahan. Kualitas protein dendeng sama dengan sosis domba jika dilihat dari
hasil elektroforesis, mempunyai kualitas yang paling rendah apabila dibandingkan
dengan produk olahan lainnya. Selain itu, proses pembuatan dendeng pada daging
domba dapat mengilangkan protein dengan berat molekul tinggi (>100 kD).
Abon mempunyai jumlah pita protein yang terdeteksi dengan elektroforesis
(SDS-PAGE) sebanyak 7 pita, dengan berat molekul berkisar antara 27,65-98,37.
Jumlah pita yang terdeteksi pada abon terjadi akibat penambahan bahan tambahan
dan reaksi perubahan protein yang terjadi selama proses pengolahan. Penurunan
jumlah pita protein yang terdeteksi ini disebabkan oleh proses pengolahan. Kualitas
protein abon jika dilihat dari hasil elektroforesis, mempunyai kualitas yang lebih
rendah apabila dibandingkan dengan daging segar dan bakso, tetapi masih lebih
tinggi dari pada produk olahan lainnya. Selain itu, protein dengan berat molekul
lebih dari 100 kD tidak terdapat pada abon.
Daging panggang mempunyai jumlah pita protein yang terdeteksi dengan
elektroforesis (SDS-PAGE) sebanyak 7 pita, dengan berat molekul berkisar antara
12,51-81,58. Jumlah ini sama dengan jumlah pita yang terdeteksi pada abon domba.
Penurunan jumlah pita protein yang terdeteksi ini disebabkan oleh proses
pengolahan. Kualitas protein daging panggang sama dengan abon domba jika dilihat
dari hasil elektroforesis, mempunyai kualitas yang lebih rendah apabila dibandingkan
dengan daging segar dan bakso, tetapi masih lebih tinggi dari pada produk olahan
32
lainnya. Selain itu, proses pembuatan daging panggang pada daging domba dapat
mengilangkan protein dengan berat molekul tinggi (>100 kD).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kadar protein kasar daging domba mengalami penurunan apabila diolah
menjadi bakso, abon, daging panggang, sosis dan dendeng. Namun, masih di atas
syarat mutu kadar protein bakso, abon, sosis, dendeng dan daging panggang minimal.
Nilai kadar protein kasar tertinggi didapat pada daging panggang, sedangkan nilai
kadar protein kasar terendah pada sosis.
Nilai kecernaan protein daging domba meningkat apabila diolah menjadi
bakso dan sosis. Nilai kecernaan protein daging domba menurun apabila diolah
menjadi abon, daging panggang dan dendeng. Nilai kecernaan protein terendah dari
pengolahan daging domba yaitu pada dendeng, sedangkan nilai kecernaan protein
tertinggi didapat pada bakso. Berdasarkan jumlah protein tercerna, abon adalah
produk yang paling baik.
Proses pengolahan daging domba menjadi produk olahannya menyebabkan
penurunan jenis protein dan hilangnya protein dengan berat molekul lebih dari 100
kD. Jumlah jenis protein daging domba lebih banyak dibandingkan dengan produk
olahannya. Jumlah jenis protein terendah dari pengolahan daging domba yaitu pada
sosis dan dendeng, sedangkan jumlah jenis protein tertinggi didapat pada bakso.
Proses pengolahan pada daging domba mengakibatkan perubahan-perubahan protein
namun masih di atas syarat mutu kelayakan pangan.
Saran
Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan mengukur perubahan nilai kecernaan
protein secara in vivo sehingga diketahui berapa besar protein yang benar-benar
dapat dicerna. Persentase penurunan protein secara murni perlu dikaji lebih lanjut
sehingga dapat diketahui bahwa penurunan disebabkan oleh proses pengolahan
bukan karena penambahan bahan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT dengan karunia
dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan
pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada kedua orang tua yang banyak membantu baik materi, motivasi
serta kasih sayang yang tiada henti diberikan. Kepada Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. dan
Dr. Ir. Tantan R. Wiradarya, M.Sc. yang telah membimbing, mengarahkan dan
membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi penulis
haturkan terimakasih. Selain itu ucapan terimakasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Aminuddin Parakkasi, M.Sc. dan Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc. yang telah menguji,
memberikan kritik dan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi
ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada Bank Rakyat Indonesia
(BRI) dan Women’s International Club (WIC) yang telah memberi kesempatan dan
bantuan Beasiswa pendidikan. Iwan Riyanto, Nurjamilah, Elih Dalilah dan Febry
Ajronah Pane (Partai Daging) serta rekan-rekan mahasiswa THT’39 yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terimakasih atas kerjasama dan kebersamaannya selama ini.
Teknisi Bagian THT dan Ruminansia Besar Fapet IPB serta Bagian Kimia dan
Biokimia Fateta IPB yang banyak membantu dalam penelitian ini penulis juga
ucapkan terimakasih.
Terakhir penulis ucapkan terimakasih banyak kepada civitas akademika
Fakultas Peternakan IPB. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.
Bogor, April 2006
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, D. N. 2003. Analisis elektroforesis enzim-enzim kitinolitik dari bakteri termofilik asal Manado. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Association of Official Analytical Chemists (AOAC). 1995. Official methods of analysis of the association of official analytical chemists. Agricultural Chemistry, Washington D.C.
Aliyudin. 1999. Palatabilitas abon goreng dan abon sangrai dari daging sapi dan daging kambing. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Amersam Biosciences. 2002. Biodirectory 2002. PT. Sentra Biosains Dinamika, Jakarta.
Boyer, P. D. 1971. The Enzymes. 3nd ed. Academis Press, California. Crampton, E. W dan L. E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition. 2nd ed. W. H.
Freeman and Company, San Francisco. Davidek, J., J. Valisek dan J. Pokorny. 1990. Chemical changes during food
processing. Departemen of Food Chemistry and Analysis. Institute Chemical Technology, New York.
de la Fuente, M. A., Y. Hemar., dan H. Singh. 2003. Influence of K-carrageenan on the aggregation behaviour of proteins in heated whey protein isolate solutions. Journal of Food Chemistry. 86 (2004): 1-9.
deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Terjemahan: Kosasih, P. Penerbit ITB, Bandung.
Dewan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2908-1992. Dendeng sapi. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995a. SNI 01-3948-1995. Daging kambing/domba. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995b. SNI 01-3818-1995. Bakso daging. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995c. SNI 01-3707-1995. Abon. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995d. SNI 01-3820-1995. Sosis daging. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Dianingtyas, E. 2001. Sifat fisik dan daya terima sosis hati sapi dengan penggunaan pigmen angkuk sebagai pewarna alami. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. 3rd Edition. Marcel Dekker, Inc., New York. Chapter 6.
Forrest, J. C., Aberle, E. D., Hedrick, H. B., Judge, M. D., dan Merkel, R. A. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Company, San Francisco.
36
Gamman, F. M dan Sherington, K. B. 1992. Ilmu Pangan, pengantar ilmu pangan, nutrisi dan mikrobiologi. Edisi II. Terjemahan: M. Gardjito., S. Naruki., A. Murdiati., dan Sardjono. UGM Press, Yogyakarta.
Graeser, M. L., Wang, S. M dan Lemanski, L. F. 1981. Proc. 34th Ann. Recip. Meat Conf. Dalam: Lawrie, R. A. 1979. Meat science. 3rd ed. Pergamon Press, Oxford.
Harper, L. J. 1984. Pangan, Gizi dan Pertanian. Terjemahan: Suharjo. Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hedrick, H. B., Peterson, J. A., Mathches, A. G., Thomas, J. D., Morrow, R. E., Stringer, W. C, dan Lipsey, R. J. 1983. Carcass and palatabilitu characteristic of beef produced on pasture, corn silage and corn grain. J. Anim. Sci. 57:791.
Laemmli, U. K. 1970. Cleavage on structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nutrition. 227:680-685.
Lawrie, R. A. 1979. Meat Science. 3rd ed. Pergamon Press, Oxford.
Lisdiawati, M. 2004. Sifat fisik, kimia dan organoleptik dendeng kelinci dengan penambahan bahan pengasap yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D. 1989. Protein: Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas. Institut. Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, T. R., S. P. Nurheni dan M. Astawan. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Mujiono, R. 1995. Kandungan gizi dan palatabilitas bakso sapi dan domba bagian paha dan lemusir. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Muzarnis, E. 1982. Pengolahan Daging. CV. Yasaguna, Jakarta. Nasution, E. 2000. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging ayam dengan bahan
pengisi tepung sagu dan tepung tapioka. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nur, M dan H. Adijuwana. 1987. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purnomo, H. 1996. Studi tentang stabilitas protein daging kering dan dendeng selama penyimpanan. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.
Purnomo, H. 1997a. Mempelajari pengaruh penambahan air bleng dan suhu pemasakan terhadap kualitas bakso sapi. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 20 (2): 119-123.
Purnomo, H. 1997b. Pengaruh substitusi tepung tapioka dan tepung kedelai terhadap kualitas bakso. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 20 (3): 138-141.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
37
. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sounders, R. M., M. A. Connor., A. N. Booth., E. M. Bickoff., dan G. O. Kholer. 1973. Measurement of digestibility of alfafa protein concentrates by in vivo and in vitro methods. J. Nutr. 103: 530-535.
Suhartono, M. T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Widayanto, H. 2002. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik abon daging domba dan daging kambing yang dimasak dengan metode pemasakan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Terjemahan: B. Sumantri. PT Gramedia, Jakarta.
Winarno, F. G. 1986. Enzim Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Widiati, A. S., H. Purnomo., dan A. Luxiawan. 2000. Kualitas empal daging sapi ditinjau dari kadar protein, aktivitas air, dan mutu organoleptik pada sistim pemasakan dan lama perebusan yang berbeda. Jurnal Mitra Akademika. 10 (3): 28-39.
LAMPIRAN
39
Lampiran 1. Bahan-Bahan Pembuatan Produk Olahan Daging Domba
Bahan Bakso Sosis Abon Daging Panggang Dendeng
(%)
Daging (g) 60,06 59,17 54,73 45,47 64,81
Air kelapa (ml) - - - 37,89 -
Serai (batang) - - - 0,15 -
Lengkuas (g) - - - 1,21 -
Gula merah (g) - - - 1,89 19,44
Gula pasir (g) - - 3,83 0,04 -
Asam jawa (g) - - - 0,12 0,65
Kecap manis (g) - - - 2,46 -
Bawang merah (g) - - 2,74 5,30 1,62
Bawang putih (g) 1,50 0,89 1,37 1,97 1,62
Merica (g) 0,30 0,59 0,11 - 0,13
Kunyit (g) - - - 0,30 -
Jahe (cm) - - - 0,30 -
Kemiri (g) - - - 1,97 -
Garam curing (g) - - - 0,64 -
Garam bumbu (g) 1,80 1,78 0,55 0,05 1,94
Tapioka (g) 18,02 7,10 - - -
STPP (g) 0,30 - - - -
Es batu (g) 18,02 20,71 - - -
Santan (ml) - - 13,68 - -
Minyak (ml) - 4,73 21,89 - -
Jeruk nipis (ml) - - 1,09 - -
Susu skim (g) - 4,73 - - -
Pala (g) - 0,30 - - -
Jinten (g) - - - - 0,07
Lengkuas (g) - - - - 8,10
Ketumbar (g) - - - 0,23 1,62
40
Lampiran 2. Hasil Analisis Kadar Air, Kadar Protein dan Kecernaan Protein secara In Vitro
Produk Kadar Air (%)
Protein Kasar (g)
Protein Sisa (g)
Kecernaan Protein (%)
Daging Segar A B
77,09 76,05
18,79 19,04
3,85 4,44
79,51 76,67
Bakso A B
70,00 70,82
12,02 11,58
1,12 1,05
90,65 90,89
Sosis A B
68,60 68,79
10,06 10,13
1,65 2,45
83,55 75,80
Dendeng A B
33,87 33,14
25,60 26,28
9,53 9,07
62,77 65,50
Daging Panggang A B
46,11 46,61
28,81 29,22
7,00 7,27
75,70 75,13
Abon A B
1,74 1,76
35,86 35,34
10,60 10,58
70,46 70,07
Keterangan: N HCL = 0,043664 N; blanko = 0,1 ml; BM N = 0,014 Rumus Kadar Air:
(Cawan + Sampel)a - (Cawan + Sampel)b Berat sampel
X 100%
41
Lampiran 3. Berat Molekul dan Mobilitas Relatif Protein Hasil Analisis SDS-PAGE (Sodium Deodecyl Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis)
Produk
Daging Segar Bakso Abon Sosis Dendeng Daging Panggang
BM Rf BM Rf BM Rf BM Rf BM Rf BM Rf Pita
(kD) (kD) (kD) (kD) (kD) (kD)
1 114,28 0,05 89,67 0,09 98,37 0,11 50,40 0,35 51,43 0,32 81,58 0,14
2 108,50 0,07 76,51 0,6 76,32 0,22 36,56 0,48 32,89 0,50 50,40 0,34
3 97,79 0,12 61,93 0,24 65,54 0,29 32,85 0,52 21,03 0,68 36,56 0,48
4 92,84 0,14 58,74 0,27 56,28 0,36 22,59 0,68 17,78 0,75 31,14 0,55
5 75,43 0,23 50,12 0,33 48,33 0,42 19,24 0,75 10,17 0,98 22,59 0,68
6 71,61 0,26 42,77 0,40 41,50 0,49 20,29 0,73
7 67,98 0,28 32,83 0,51 27,65 0,67 12,54 0,93
8 61,28 0,33 29,53 0,56
9 49,78 0,42 25,22 0,62
10 44,87 0,47 19,35 0,73
11 42,60 0,49
12 31,19 0,63
13 28,11 0,67
14 26,69 0,70
15 25,34 0,72
16 21,68 0,79
17 19,54 0,84
18 18,55 0,86
19 16,72 0,91
20 15,07 0,95
42
Lampiran 4. Berat Molekul dan Mobilitas Relatif Protein Marker LMW (Low Molecular Weight)
Produk Daging Segar Bakso dan Abon Sosis, Dendeng dan
Daging Panggang BM Rf BM Rf BM Rf
Marker LMW
(kD) (kD) (kD)
Phosphorylase 97,0 0,14 97,0 0,09 97,0 0,13
Albumin 66,0 0,27 66,0 0,20 66,0 0,17
Ovalbumin 45,0 0,45 45,0 0,36 45,0 0,34
Carbonic anhydrase 30,0 0,64 30,0 0,53 30,0 0,51
Trypsin inhibitor 20,1 0,77 20,1 0,64 20,1 0,66
a- Lactalbumin 14,4 0,95 14,4 0,87 14,4 0,83
43
Lampiran 5. Kurva Standar Hasil Analisis SDS-PAGE (Sodium Deodecyl Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis)
Kurva Standar LMW
y = -0,97x + 5,1031r2 = 0,994
4,04,2
4,44,6
4,85,0
5,2
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2
Rf
Log
BM
Kurva Standar LMW
y = -1,0335x + 5,0445r2 = 0,9942
4,04,24,44,64,85,05,2
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0
Rf
Log
BM
Kurva Standar LMW
y = -1,068x + 5,051 r2 = 0,9737
4,04,2
4,44,64,8
5,05,2
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0
Rf
Log
BM
Daging Segar
Bakso dan Abon
Sosis, Dendeng dan Daging Panggang