PPI Brief Series - ppidunia.org · RANHAM tersebut mencantumkan keputusan pemerintah untuk menelaah...

11
PPI Brief Series Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia PPI Brief no. 5 / 2019 Alamsyah Agus Masalah Sosial Pengungsi di Indonesia dan Pentingnya Ratifikasi Konvensi 1951

Transcript of PPI Brief Series - ppidunia.org · RANHAM tersebut mencantumkan keputusan pemerintah untuk menelaah...

PPI Brief SeriesPerhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

PPI Brief no. 5 / 2019

Alamsyah Agus

Masalah Sosial Pengungsi di Indonesia dan Pentingnya

Ratifikasi Konvensi 1951

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kehadiran para pengungsi di Indonesia sebagai isu global kini berimplikasi pada terciptanya masalah sosial baru. Beragam konflik dan masalah muncul pada diri pengungsi serta mulai bersinggungan pada aktivitas di level grass root (masyarakat). Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian serius dan penanganan secara komprehensif dari pemerintah Indonesia dan seluruh pihak terkait, lambat laun fenomena ini bisa merambat pada terganggunya stabilitas di berbagai sektor kehidupan di Indonesia.

Para profesional di bidang pelayanan kemanusiaan mewakili suatu aspek penting dalam mempromosikan aktivitas perlindungan dan pelayanan bagi terpenuhinya kebutuhan dasar, kesejahteraan, dan kemandirian para pengungsi selama mereka menantikan solusi jangka panjang yang paling tepat terkait dengan status mereka.

Seiring dengan meningkatnya volume pengungsi dan pencari suaka yang masuk ke Indone-sia, pengakuan akan pentingnya Konvensi 1951 dan Protokol 1967 memiliki cakupan yang sifatnya universal untuk perlindungan pengungsi dan mengkonsolidasikan pembentukan standar minimum penanganan pengungsi dianggap cukup esensial dalam upaya meratifikasi instrumen hukum internasional tersebut.

PENDAHULUAN

Nasib para pengungsi dan pencari suaka telah menjadi masalah sosial di Indonesia dewasa ini. Pada akhir Februari 2018, beragam liputan muncul di media massa terkait sejumlah besar pengungsi yang memadati trotoar jalanan di depan Kantor Imigrasi Jakarta. Kehadiran mereka tentunya perlu menjadi perhatian oleh pemerintah dan bagi profesi di bidang layanan kemanusiaan di Indonesia karena perlindungan terhadap pengungsi pada dasarnya merupakan tanggung jawab setiap negara termasuk Indonesia. Sudah sejak lama negara-negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga negara yang menjadi korban penindasan atau kekerasan di negara asal tempat tinggalnya. Tradisi tersebut telah dibentuk dalam sebuah instrumen hukum internasional tentang pengungsi yaitu Convention Relating to The Status of Refugees tahun 1951, sebuah konvensi mengenai status dan hak-hak pengungsi serta didukung oleh sejumlah prinsip-prinsip dasar dan kewajiban negara-negara peserta konvensi. Namun, sampai dengan saat ini Konvensi 1951 tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia.

Brief ini memberikan analisis terhadap masalah sosial yang dihadapi oleh para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia sebagai implikasi dari absennya Indonesia sebagai negara anggota Konvensi 1951, menguraikan peran profesi di bidang layanan kemanusiaan (humanity services) bagi pengungsi, dan menyajikan beberapa pertimbangan atau rekomendasi kebijakan untuk pemerintah Indonesia dalam upaya meratifikasi Konvensi 1951 tersebut.

1

1.

2.

3.

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

2

Interaksi Indonesia dengan pengungsi dimulai pada tahun 1979 sebanyak 170.000 orang pengungsi dengan mendirikan kamp penampungan di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Pada saat itu, selain belum meratifikasi Konvensi 1951 pemerintah Indonesia juga belum memiliki payung hukum tentang pengungsi utamanya dari luar negeri, sehingga penentuan status pengungsi ditentukan oleh UNHCR. Pada tahun 1999 Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 37 tentang Hubungan Luar Negeri dimana terdapat tiga pasal memuat tentang Pencari Suaka dan Pengungsi. Namun, peran dan tanggung jawab pemerintah pusat, daerah maupun stakeholder belum diatur secara jelas.

Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional ketiga (RANHAM), yang menyajikan kerangka pragmatis nasional untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak asasi manusia tahun 2011-2014. RANHAM tersebut mencantumkan keputusan pemerintah untuk menelaah kedua instrumen hukum pengungsi pada tahun 2014, yaitu Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967. Sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 dan RANHAM tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang mengatur secara komprehensif tentang pengungsi dan pencari suaka. Adapun dalam peraturan presiden tersebut, mengacu pada perjanjian internasional, sudah memberikan perhatian khusus untuk kaum rentan yang berada dalam kondisi darurat di laut dan darat, sakit, hamil, difabel, anak, dan lanjut usia; memberikan pengakuan untuk penyatuan keluarga (permanency); kejelasan definisi pengungsi; distribusi peran antarlembaga, pemerintah daerah dan prinsip berbagi tanggung jawab; serta penggunaan APBN untuk perlindungan pengungsi. Hal tersebut patut diapresiasi, mengingat Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Bagaimanapun, asas politik luar negeri bebas aktif mendorong pemerintah Indonesia untuk terus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia mencakup hak sipil, anak, perempuan, disabilitas dan lanjut usia.

Sebanyak 13.840 pengungsi terdaftar di UNHCR secara kumulatif dan datang dari Afghanistan (55%), Somalia (11%), dan Iraq (6%). Mereka yang teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama UNHCR mencarikan solusi jangka panjang, yang biasanya berupa penempatan di negara lain. Untuk tujuan ini, UNHCR berhubungan erat dengan negara-negara yang memiliki potensi untuk menerima pengungsi. Sampai dengan akhir Maret 2017, ada sebanyak 6.191 pencari suaka dan 8.279 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif.

Meskipun volume pengungsi cukup tinggi memasuki wilayah Indonesia untuk transit,

KILAS BALIK DAN POSISI INDONESIA DALAM KONVENSI PENGUNGSI TAHUN 1951

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

3

hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 terkait dengan Status Pengungsi, pada akhirnya pemerintah Indonesia mengalami kesulitan dalam hal penanganan pengungsi tersebut. Pemerintah Indonesia tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi atau yang biasa disebut dengan Refugee Status Determination (RSD), sehingga pengaturan permasalahan mengenai pengungsi ditetapkan oleh UNHCR (Badan PBB yang mengurusi soal pengungsi) sesuai dengan mandat yang diterimanya berdasarkan Statuta UNHCR Tahun 1950.

• Masalah Sosial yang Dihadapi Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia

Akar masalah para pengungsi dan pencari suaka ini adalah soal status kewarganegaraan (legal status), yang kemudian berkembang menyentuh banyak aspek dalam kehidupan mereka. Hal ini selaras dengan Konvensi 1951 pada pasal 1 yang mendefenisikan pengungsi sebagai orang yang disebabkan oleh ketakutan yang beralasan akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu, atau seorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara dimana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa termaksud, tidak dapat atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu.

Para pengungsi yang terdiri dari keluarga yang memiliki anak kecil, seorang pemuda atau wanita lajang, belum lagi anak-anak tanpa pendamping atau dikenal dengan Unaccompanied Minor (UAM) saat ini menjadi fenomena dan masalah sosial baru di Indonesia. Mereka akan menjadi tunawisma karena tidak memadainya tempat tinggal, tidak dapat berkerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, tidak bisa mendapat pelayanan kesehatan gratis bila mereka memiliki masalah kesehatan, tidak banyak sekolah yang bisa menerima untuk belajar karena terkendala bahasa dan tenaga pengajar, belum lagi masalah psikososial karena mengalami penyiksaan atau perasaan trauma yang sangat perlu ditangani atas apa yang terjadi di negara asal mereka.

Meski dengan segala keterbatasan, para pencari suaka dan pengungsi ini datang ke berbagai negara untuk mencari perlindungan internasional. Mereka singgah di Indonesia atau beberapa negara lain untuk transit, namun sebagian besar pengungsi dan pencari suaka yang berada di negara transit seperti di Indonesia tidak dapat pindah langsung ke tempat pemukiman permanen (permanent resettlement) karena proses ini terdiri dari beberapa tahap yaitu dimulai dari proses penangkapan atau ditemukannya para pengungsi yang

ANALISA MASALAH

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

4

sedang transit di Indonesia, penempatan di RUDENIM (Rumah Detensi Imigrasi) di bawah naungan kantor imigrasi setempat, proses penentuan status oleh UNHCR, dan proses akhir penentuan status pengungsi tersebut dipindahkan ke negara ketiga atau dikembalikan ke negara asal mereka. Dalam menunggu proses penentuan status oleh UNHCR para pengungsi membutuhkan waktu yang sangat lama, rata-rata mereka menunggu selama 1-2 tahun. Kurun waktu pemberian status yang lama itu dikhawatirkan berdampak pada stabilitas kegiatan keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dll. yang disebabkan oleh pengungsi di Indonesia. Hal ini perlu diperhatikan karena ada hak asasi sebagai manusia yang melekat di diri pengungsi dimana pun mereka berada dan bersifat universal. Mereka ingin menjalani hidup normal seperti manusia pada umumnya, memperoleh kebebasan dan perlindungan dari pengusiran atau pengembalian (non-refoulement).

Sayangnya, walaupun pemerintah sudah secara legal memberikan perhatian pada para pengungsi dan pencari suaka, berdasarkan survei yang dirilis oleh Amnesty International pada tahun 2015, Indonesia termasuk negara yang dinilai paling tidak ramah terhadap pengungsi dari 27 negara yang disurvei. Indonesia menempati peringkat 26, hanya di atas Rusia yang menduduki peringkat terakhir dan Cina menempati posisi pertama, disusul Jerman dan Inggris soal penerimaan publik terhadap pengungsi ini. Catatan untuk Indonesia adalah hampir 70% memang menyatakan pemerintah sudah seharusnya bisa melakukan banyak hal untuk membantu para pengungsi dan pencari suaka tersebut, namun hanya 1% masyarakat yang bersedia menampung para pengungsi ini untuk tinggal dengan mereka.

• Peran Profesi Kemanusiaan dalam Model Pelayanan bagi Pengungsi dan Pencari Suaka

Dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka, terdapat beberapa masalah yang akan muncul ke permukaan, terutama yang berhubungan dengan hak-hak mereka. Masalah ini pun sering bertentangan dengan masyarakat sekitar dimana kendala bahasa dan perbedaan kultur menjadi sebab munculnya konflik baru. Konflik-konflik ini jauh lebih baik jika ditangani dalam lingkup konteks masyarakat itu sendiri, ketimbang lingkungan buatan seperti pengadilan. Artinya penerimaan masyarakat dapat diperoleh melalui peran profesi kemanusiaan yang bertugas memahamkan masyarakat lokal akan ‘ketidakberfungsian’ para pengungsi dan pencari suaka secara sosial.

Oleh karena itu profesi di bidang layanan kemanusiaan yang di dalamnya terdapat pekerja sosial, dokter, psikolog, dll. mewakili suatu aspek penting dari pengembangan masyarakat dalam hal ini keberfungsian sosial para pengungsi dan pencari suaka melalui peran-peran advokasi terhadap pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan stakeholder. Penguatan kapasitas berupa keterampilan dan kesempatan kerja dalam meningkatkan kesejahteraan

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

5

serta kemandirian para pengungsi yang akan bermanfaat baik ketika masih berada di negara transit maupun negara tujuan mereka. Kemudian keterlibatan profesi kemanusiaan dalam Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) juga sangat penting, mengingat kondisi dan kapasitas Rudenim yang seringkali jauh dari kata layak. Kecenderungan gangguan kognisi, emosi dan perilaku para pengungsi serta pencari suaka sangat tinggi utamanya kelompok rentan seperti anak, perempuan, dan lanjut usia.

Selain itu, perlunya model penanganan dalam peran-peran klinis utamanya kepada pengungsi maupun pencari suaka yang masuk kategori anak (UAM). Anak yang masih dalam tahap perkembangan harus didukung lingkungannnya demi tercapainya kesejahteraan anak. Mengingat kondisi kognisi dan emosi akan berdampak pada perilaku anak ke depannya. Pemenuhan hak permanency, attachment (kasih sayang), safety dan well being adalah hal yang mutlak anak dapatkan namun sangat sulit sediakan ketika anak berada dalam status pengungsi maupun pencari suaka. Kasus idealnya dalam negara yang mempromosikan kesejahteraan yang sosial demokratis adalah menjamin standar minimum bagi semua sehingga akan menghasilkan sebuah masyarakat yang berkeadilan sosial, bekerja tanpa ketakutan, dan menjamin kerahasiaan (confidentiality) sehingga pengguna layanan dapat yakin bahwa rahasia mereka tersimpan, yaitu akan menjamin anonimitas layanan sehingga dapat mencegah stigma.

Dalam konteks ini, para profesional seperti pekerja sosial, psikolog, dokter, dan profesi di bidang kemanusiaan lainnya tentunya diharapkan mengambil peran serta dalam memberikan pendampingan pelayanan holistik pada pemenuhan kebutuhan dasar dan pemulihan kesehatan mental jangka panjang dalam bentuk konseling, terapi perilaku kognitif, pembelajaran teknik relaksasi, dan pendidikan psikososial. Dengan menyediakan kebutuhan dasar ini, terutama di bidang pendidikan, perlindungan, perawatan kesehatan, konseling, dan yang paling penting penyediaan dukungan psikososial maka kesejahteraan individu secara keseluruhan dapat ditingkatkan.

Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan penuh dengan membuat regulasi mengenai batasan yang jelas untuk bisa menerima siapa saja dari mereka yang bisa menjadi warga negara. Bagi mereka yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi warga negara Indonesia, perlu adanya integrasi lokal dan asimilasi dengan masyarakat Indonesia, serta pemberian sanksi bila melakukan pelanggaran berdasarkan hukum yang berlaku maupun berdasarkan norma sosial yang ada. Tentunya hal ini juga sudah menjadi kewajiban Indonesia untuk memperlakukan para pengungsi dan pencari suaka ini sama kedudukannya seperti warga negara Indonesia lainnya. Untuk itu, ada lima rekomendasi kebijakan yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah:

IMPLIKASI KEBIJAKAN MENGATASI MASALAH SOSIAL PENGUNGSI

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

6

1. Pada kenyataannya Indonesia masih merasa berat untuk meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dikarenakan ada beberapa pasal yang dinilai sangat berat untuk dilaksanakan. Pasal yang menjadi pertimbangan dari pemerintah Indonesia adalah Pasal 17 yang berisi hak untuk bekerja bagi para pengungsi dan Pasal 21 yaitu hak untuk mempunyai rumah mengingat Indonesia adalah negara berkembang, memiliki angka pengangguran yang cukup tinggi, dan pendapatan per kapita dari penduduk Indonesia sendiri yang masih terbilang rendah. Oleh sebab itu, beberapa pasal dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 perlu diadaptasi standarnya terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia mengingat standar yang ditetapkan oleh UNHCR untuk para pengungsi sangat tinggi dan harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran pemerintah serta kearifan lokal di Indonesia. Konvensi 1951 perlu diamandemen dan dikaji ulang oleh para negara pihak konvensi dan UNHCR agar sesuai dengan perkembangan hukum global dan masalah kontemporer terkait hak asasi manusia.

2. Mengkonsolidasikan terbentuknya sebuah kawasan regional yang mencakup beberapa negara saling membantu dalam menangani pengungsi utamanya negara transit hingga para pengungsi tersebut tiba dan dapat memperoleh suaka di negara ketiga. Kerjasama ini kami menyebutnya sister states (negara saudara), dimana dua atau lebih negara bekerja sama menangani pengungsi dan pencari suaka sehingga tidak membebankan satu negara transit saja.

3. Perpres 125 tahun 2016 telah cukup lengkap melindungi hak-hak pengungsi dan pencari suaka. Bagaimanapun, Perpres tersebut harus memasukkan prinsip hak asasi manusia yang ada di dalam Kovenan Internasional, seperti Sipil dan Politik (ICCPR), Ekonomi Sosial-Budaya (ICESCR), Hak Bekerja maupun Konvensi Internasional lain yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Adapun perhatian pemerintah kepada para pengungsi dan pencari suaka bukan berarti mengabaikan kewajiban dalam negeri, melainkan senantiasa berjalan beriringan dengan tanggung jawab internasional dan senantiasa menjunjung tinggi HAM.

4. Pemerintah perlu mendiseminasikan kebijakan-kebijakan yang sudah dibuat terkait pengungsi dan pencari suaka di level masyarakat. Hal utama yang menjadi keprihatinan adalah tingkat penerimaan masyarakat terhadap para pengungsi ini bila nanti Indonesia sudah melakukan ratifikasi.

5. Diperlukan kerja keras dari semua pihak untuk turut memberikan pemahaman kepada masyarakat. Seringkali dengan memberikan bantuan kepada para pengungsi dan pencari suaka, kita merasa ini sudah lebih dari cukup padahal hal tersebut hanya bersifat jangka pendek dan tidak menyentuh akar permasalahan. Profesi di bidang layanan kemanusiaan

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

7

memiliki peran yang penting untuk berkerja sama dengan masyarakat dan komunitas untuk turut berkontribusi dalam meminimalisir dampak-dampak negatif dari kebijakan terkait pengungsi tersebut.

Alamsyah Agus adalah mahasiswa Master of Social Work di Nanjing University, Tiongkok, dan Kepala Pusat Pelatihan PPI Tiongkok.

TENTANG PENULIS

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

8

Amnesty International Report 2017/2018. 2018. “The State of The world’s Human Rights”. London. Amnesty International Ltd.

Briskman, Linda, Lucy Fiske dan Michelle Dimasi. “The Impact of Australian Asylum Seeker Policy on Christmas Islanders (2001-2011).” Shima: The International Journal of Research Into Island Cultures Vol. 6 No. 2. (2012): 99-115.

Delgado, M., Jones, K., & Rohani, M. (2005). “Social work practice with refugee and immigrant youth in the United States”. Boston: Pearson Education, Inc.

Handayani, I.P. 2012, “Beyond statistics of poverty”. Jakarta Post (13 February) http://ww-w.thejakartapost.com/news/2012/02/13/beyond-statistics-poverty.html Accessed 20 April 2018.

Hodes, M., Jagdev, J., Chandra, N. & Cunniff, A. (2008). “Risk & Resilience for psychological distress amongst unaccompanied asylum seeking adolescents”, The Journal of Child Psycholo-gy & Psychiatry, 49(7): 723–732.

Human Rights Watch (HRW) 2013, “Barely Surviving. Detention, Abuse, and Neglect of Migrant Children in Indonesia”. Human Rights Watch, New York. https://www.hrw.org/re-port/2013/06/23/barely-surviving/detention-abuse-and-neglect-migrant-children-indonesia Accessed 12 April 2018.

REFERENSI

PPI Brief adalah analisis bulanan PPI Dunia atas Kondisi nasional dan internasional terkini. Kritik dan saran bisa ditujukan langsung ke [email protected]

Dewan Redaktur: Ahmad Rizky M. Umar, Bening Tirta Muhammad, dan Tim Pusat Kajian & Gerakan PPI Dunia 2018/2019

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

9

Ife, J., Frank Tesoriero. (2006). “Community development: Community-Based Alternatives in an age of Globalization” (3rd. ed.). Sydney: Pearson Education Australia.

Indonesia (1998). TAP MPR Nomor XVII/MPR 1998 tentang Deklarasi Universal Hal Asasi Manusia (DUHAM). Jakarta.

Indonesia. “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. The 1945 Consti-tution of the Republic of Indonesia.

Indonesia. “Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia” (Law regarding Human Rights). UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999 (Law No. 39 Year 1999, SG No. 165 Year 1999).Indonesia: “Regulation of the President of the Republic of Indonesia No. 125 Year 2016 Con-cerning the Handling of Foreign Refugees” [Indonesia], 31 December 2016. http://www.ref-world.org/docid/58aeee374.html Accessed 24 April 2018.

IOM. “Akomodasi Non Detensi IOM Indonesia.” IOM Indonesia Newsletter Issue4 (2014). http://www.iom.or.id/sites/default/files/News-September-INDzpo7_0.pdf. Accessed 19 April 2018.

Kim, G., Torbay, R., & Lawry, L. (2007). “Basic health, women's health, and mental health among internally displaced persons in Nyala province South Darfur, Sudan”. American Jour-nal of Public Health, 97 (2), 353-361.

Kohli, R. (2011). “Working to ensure safety, belonging and success for unaccompanied asy-lum-seeking children”, Child Abuse Review, 20(3): 311–323.

Missbach, Antje. “Waiting on the Islands of ‘Stuckedness’. Managing Asylum Seekers in Island Detention Camps in Indonesia: From the Late 1970s to the Early 2000s”. ASEAS – Aus-trian Journal of South-East Asian Studies Vol. 6 (2). (2013): 281-306.

Mosley, J. (2014). “From skid row to the statehouse: How nonprofit service providers over-come barriers to political advocacy involvement”. In R. Pekkanen, S. Smith, & Y. Tsujinaka (Eds.), Nonprofits and Advocacy: Engaging Community and Government in an Era of Retrenchment (p. 107‑136). Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 2015, OECD Economic Surveys. Indonesia 2015. OECD Publishing, Paris.

PPI Brief

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

10

Palmer, D. (2007). “Caught between inequality and stigma: The impact of psychosocial factors and stigma on the mental health of Somali forced migrants in the London borough of Camden”. Diversity in Health and Social Care, 4(3), 177-191.

Stoyanova, Vladislava. “The Principle of Non-Refoulement and the Right of Asylum-Seekers to Enter State Territory”. Interdisciplinary Journal of Human Rights Law Vol. 3 (1). (2008-2009): 1-11.

UN General Assembly. Convention Relating to the Status of Refugees. 28 July 1951. United Nations Treaty Series Vol. 189.

UNHCR 2015b, Global Appeal 2016 – 2017. UNHCR, Geneva. http://www.unhcr.org/pag-es/49c3646c4b8.html Accessed 4 May 2018.

UNHCR 2016, Indonesia Fact Sheet. February. UNHCR, Jakarta. http://www.un-hcr.org/50001bda9.pdf Accessed 4 May 2018.

United Nations (1967). Protocol Relating to The Status of Refugees 1967. New York. UNGA