PPh & PPN

download PPh & PPN

of 7

description

Pajak

Transcript of PPh & PPN

Nama : Rian Eka Puji Ramadhan

NIM : 023101064

Dosen : Drs. Bunyamin Puspahadi, MsiPERLAKUAN PAJAK ATAS PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK (TERMINOLOGI PPh)Permasalahan :

Wajib Pajak Badan, pada tahun 2008 dan 2009 dilakukan pemeriksaan. Salah satu temuan pemeriksa pajak adalah tidak adanya Bukti Potong PPh Pasal 4 ayat (2) Final atas Penghasilan dari penjualan saham yang diperdagangkan di Bursa Efek sehingga ditetapkan menjadi kurang bayar.Wajib Pajak bertransaksi saham melalui broker/sekuritas dengan volume transaksi tiap bulannya relatif tinggi dan setiap penjualan sahamnya telah dipotong PPh Final sesuai confirmation note/trade yang kami terima dari pihak broker/sekuritas.Yang ditanyakan sebagai berikut :1.Siapa yang menerbitkan Bukti Potong PPh Pasal 4 Ayat (2) Final atas penjualan saham yang diperdagangkan di bursa efek? Penjelasan dari pihak broker/sekuritas beralasan tidak bisa menerbitkan secara formal, karena yang melakukan pemotongan dan penyetoran adalah pihak Bursa Efek Indonesia (BEI). Sedangkan berdasarkan pihak BEI melalui Account Representative (AR) pajak BEI tidak menerbitkan bukti potong, karena BEI hanya menerbitkan bukti potong keseluruhan transaksi/kumulatif seluruh transaksi saham dan diberikan ke broker/sekuritas.2.Adakah bukti lain selain bukti potong PPh Pasal 4 Ayat (2) Final untuk dijadikan bukti bahwa telah dilakukan pemotongan?3.Apakah boleh Bukti Potong PPh Pasal 4 Ayat (2) Final diterbitkan secara kumulatif transaksi selama sebulan, semesteran atau tahunan? atau per transaksi?4.Bagaimana untuk bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) Final yang melalui broker/sekuritas PT. Sarijaya Permana Sekuritas yang saat ini telah tutup/likuidasi?Demikian untuk diketahui dan terima kasih atas penjelasan dan informasinya.Solusi :Masuk ke pokok masalah dalam kasus yang Saudara sampaikan, menurut kami, ada baiknya jika kita kembali merujuk pada ketentuan yang mengatur tentang mekanisme pemajakan atas penjualan saham di Bursa Efek. Transaksi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 14 Tahun 1997.PP 41/1994 sttd PP 14/1997 menyatakan bahwa atas penghasilan yang diterima orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut PPh yang bersifat final sebesar 0.1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan. Jika penjual sahamnya adalah pemilik saham pendiri dikenakan tambahan PPh sebesar 0.5% dari harga saham pada saat penawaran umum perdana.Pihak yang ditunjuk memungut PPh Final tersebut adalah penyelenggara bursa efek. Pemungutan dilakukan untuk setiap transaksi penjualan saham di bursa efek. Lalu bagaimana teknis pemungutunnya? Terkait teknis pemungutan PPh-nya ada sejumlah peraturan yang dapat dijadikan sebagai referensi, yaitu SE-07/PJ.42/1995, SE-06/PJ./1997, KEP-506/PJ./2001, KEP-240/PJ./2002.Jika melihat alur transaksinya, penjualan saham di bursa efek hanya dapat dilakukan oleh investor melalui perantara pedagang efek. Oleh karena itu, penyelenggara bursa efek tidak dapat melakukan pemungutan secara langsung pada pihak yang menjual saham.Dalam SE-07/PJ.42/1995, dinyatakan bahwa pemungutan secara langsung dilakukan melalui perantara pedagang efek pada saat perantara tersebut melakukan transaksi penjualan tersebut kepada investor. Jika melihat arus transaksinya ini, maka perantara pedagang efek ikut bertanggungjawab atas pemungutan PPh tersebut.Hal ini juga ditegaskan lebih lanjut dalam KMK Nomor.282/KMK.04/1997 tentang pelaksanaan pemungutan PPh atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek. Berikut petikan Pasal 4 ayat (1) KMK Nomor 252/KMK.04/1997, Pengenaan Pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan dengan cara pemotongan oleh penyelenggaraan bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.Kemudian terkait dengan penyetoran dan pelaporan pajaknya, PP 41/1994 jo. KMK Nomor.282/KMK.04/1997 mewajibkan penyelenggara bursa hanya diwajibkan efek untuk meyetor dan melaporkan pemungutan pajak tersebut setiap bulan. Untuk memudahkan, mengingat penyelenggara bursa hanya diwajibkan untuk memungut pajak dan menyetorkan pajaknya sekali sebulan saja. Penyetoran hasil pemungutan PPh tersebut dilakukan di bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya setiap tanggal 20 setiap bulan atas transaksi penjualan saham yang terjadi pada bulan sebelumnya.Dengan demikian, misalnya untuk transaksi penjualan saham yang terjadi selama sebulan januari 2011, PPh yang telah dipungut oleh penyelenggara bursa efek harus disetorkan selambat-lambatnya tanggal 20 Februari 2011. Penentuan tanggal 20 setiap bulan sebagai tanggal penyetoran dengan mempertimbangkan jangka waktu penyampaian laporan oleh setiap perantara pedagang efek kepada penyelenggara bursa efek tentang transaksi jual beli saham yang dilakukan setiap bulan.Penyelenggara bursa efek wajib melaporkan jumlah PPh yang telah dipungut dan disetor setiap bulan dengan mengisi Surat Pemberitahuan Masa PPh Penjualan Saham dan melampirkan lembar ke-3 Surat Setoran Pajak (SSP) Final pada Surat Pemberitahuan tersebut (lihat lampiran II) dan menyampaikan-nya ke Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya pada tanggal 25 bulan yang sama dengan bulan penyetoran.Petunjuk lain yang dapat digunakan sebagai referensi adalah terkait mekanisme pembuatan bukti potongnya. Perhatikan petunjuk pengisian form bukti potong Pasal 4 ayat (2) untuk penjualan saham di bursa efek yang terdapat dalam KEP-506/PJ./2001 yang diubah terakhir dengan PER-53/PJ./2009. Dalam formulir tersebut bagian tanda tangan pemotong pajak tertulis pedagang perantara efek q.q penyelenggara efek. Selain itu bukti potong tersebut harus dibuat minimal 3 (tiga) rangkap, yaitu untuk Wajib Pajak yang dipotong, untuk penyelenggara bursa efek dan untuk arsip pemotong pajak. Bahkan dalam KEP -506/PJ./2001 bukti potong tersebut harus dibuat 4 (empat) rangkap, yaitu untuk Wajib Pajak pembeli, untuk KPP penyelenggara efek sebagai lampiran pada saat pelaporan SPT masa PPh Final Pasal 4 ayat (2), untuk perantara perdagangan efek dan untuk penyelenggara bursa efek. Hal ini dapat menjadi petunjuk bahwa seharusnya bukti potong dibuat oleh perusahaan perantara efek.Mengenai bukti potong yang diterbitkan oleh perusahaan efek yang sudah dilikuidasi, semestinya ada rekap data di pihak penyelenggara bursa efek (BEI), karena mereka memperoleh lampiran bukti potong dari broker, atau bisa pula mencoba untuk mengkonfirmasi data tersebut di KPP tempat BEI terdaftar.Sumber : http://humaspajak.blogspot.com/2011/04/perlakuan-pajak-atas-penjualan-saham-di.htmlPERMASALAHAN EKPOR JASA KENA PAJAK (TERMINOLOGI PPN)Permasalahan :

Permasalahan PPN di seputar transaksi ekspor JKP ternyata tidak sepenuhnya clear meskipun UU PPN yang terakhir (UU No. 42/2009) telah memasukan klausul tersebut sebagai salah satu objek PPN. Benarkan ketentuan mengenai ekspor JKP ini sejak semula memang sengaja dibuat mengambang?Salah satu objek pengenaan pajak adalah Jasa Kena Pajak (JKP). Dalam pengertian UU PPN Indonesia, jasa diartikan sebagai setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Sedangkan JKP adalah jasa-jasa yang menurut UU PPN dikenakan PPN.

Bukan JKPBerbicara mengenai pengertian dan cakupan JKP, pada dasarnya UU PPN menganggap semua jasa dikenakan PPN (dalam artian semua jasa menurut UU PPN dianggap sebagai JKP yang dapat dikenakan PPN). Namun dengan menggunakan prinsip negative list, UU PPN kemudian menetapkan beberapa jenis jasa yang tidak dikenakan PPN.

Jenis-jenis jasa yang tidak dikenakan PPNatau yang biasa disebut sebagai Non-JKPtersebut dirinci dalam Pasal 4A UU PPN dan memori penjelasannya. Sedangkan jasa-jasa yang tidak disebutkan dalam Pasal 4A UU PPN maupun memori penjelasan pasal tersebut, dengan demikian merupakan JKP yang dapat dikenakan PPN.

Pengenaan PPN atas suatu JKP, sebagaimana dijelaskan dalam memori penjelasan Pasal 4 UU PPN dapat terjadi apabila ada penyerahan JKP di dalam daerah pabean maupun ekspor JKP ke luar daerah pabean.

Selain itu, ada pula PPN yang dikenakan atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Ini terjadi manakala JKP yang berasal dari luar daerah pabean (dari luar negeri) dimanfaatkan atau digunakan di dalam daerah pabean (di dalam negeri). Akan tetapi dalam tulisan ini, pembahasan hanya difokuskan pada JKP yang berasal dari dalam daerah pabean (dari dalam negeri) tetapi diserahkan dan dimanfaatkan kepada pihak yang berada di luar daerah pabean (di luar negeri) alias ekspor JKP.

Polemik LamaMenyinggung masalah pengenaan PPN atas ekspor JKP, sebenarnya sudah lama menjadi polemik di antara praktisi pajak. Pasalnya, dalam UU PPN sebelum UU No. 42/2009 tidak disebutkan adanya objek PPN berupa ekspor JKP. Sebagai akibatnya, sebagian praktisi pajakterutama para pemeriksa pajak atau fiskusberanggapan bahwa atas ekspor JKP dikenakan PPN dengan tarif umum 10%.

Tak sedikit di antara fiskus yang mendasarkan anggapannya pada prinsip: karena ekspor jasa tidak disebutkan dalam UU PPN, maka ekspor jasa terutang PPN. Ini adalah prinsip yang salah. Sebab Pasal 23A UUD 45 dengan tegas menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang (UU). Ini artinya, bahwa untuk mengenakan pajak atas suatu objek, maka objek tersebut harus disebutkan (diatur) dengan jelas dalam UU. Jika objek tersebut tidak disebutkan (tidak diatur) dalam UU pajak, maka terhadap objek tersebut tidak dapat dikenakan pajak.

Sebagian praktisi pajak lainnya beranggapan bahwa atas ekspor JKP tersebut dikenakan PPN 10% karena dianggap penyerahannya terjadi di dalam daerah pabean. Untuk yang ini, memang agak sukar jika kita harus menentukan kapan dan di mana sebenarnya saat penyerahan jasa terjadi. Misalnya seorang konsultan di Indonesia ditelepon oleh kliennya yang berada di luar negeri. Di mana penyerahan jasa dilakukan? Bagaimana pula jika jawaban untuk pertanyaan konsultasi tersebut dikirim melalui faks atau email? Apakah penyerahannya dilakukan di Indonesia? Polemik inilah yang sering terjadi hingga sekarang.

Ketentuan Baru Ekspor JKPDengan maksud untuk mengeliminasi polemik tersebut, pemerintah bersama dengan DPR kemudian menambah klausul mengenai ekspor JKP yang dituangkan dalam Pasal 4 huruf h UU PPN No. 42/2009. Perlu diinformasikan, UU PPN No. 42/2009 ini merupakan UU PPN yang berlaku mulai 1 April 2010. UU PPN ini adalah perubahan UU perubahan yang ketiga atas UU PPN No. 8/1983.

Dalam Pasal 4 huruf h UU PPN No. 42/2009 (untuk selanjutnya disebut dengan UU PPN Baru), dikatakan bahwa ekspor JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dikenakan PPN. Dalam hal ini, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 29 UU PPN Baru, yang dimaksud dengan ekspor JKP adalah setiap kegiatan penyerahan JKP ke luar daerah pabean. Dengan merefer pada Pasal 7 ayat (2) huruf c UU PPN Baru, terhadap ekspor JKP tersebut dikenakan PPN dengan tarif 0%.

Selanjutnya, seperti dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPN tersebut, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk menetapkan mengenai batasan kegiatan dan jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN tersebut. Dan untuk ini Menteri Keuangan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/PMK.03/2010 pada tanggal 31 Maret 2010. PMK ini kemudian disempurnakan lagi dengan penerbitan PMK No. 30/PMK.03/2011 pada tanggal 28 Februari 2011.

PMK tersebut mengatakan bahwa JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN dengan tarif 0% adalah:

1. Jasa Maklon. Ekspor jasa maklon dapat dianggap ekspor jasa apabila 1) pemesan atau penerima jasa berada di luar daerah pabean (di luar negeri) serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dan 2) pengusaha jasa maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima jasa ke luar daerah pabean. Di samping kedua syarat tersebut, syarat lainnya agar jasa pembuatan produk berdasarkan pesanan itu masuk dalam kategori jasa maklon adalah syarat mengenai spesifikasi dan bahan (bahan baku, barang setengah jadi, maupun bahan pembantu/penolong). Dalam hal ini, jasa pembuatan produk berdasarkan pesanan dapat dikategorikan sebagai jasa maklon hanya apabila spesifikasi dan bahan bahan tersebut disediakan oleh pemesan atau penerima jasa. Jika pada kenyataannya bahan disediakan oleh pengusaha jasa, maka jasa tersebut bukan termasuk jasa maklon.

2. Jasa perbaikan dan perawatan barang bergerak. Jasa perbaikan dan perawatan barang bergerak dianggap sebagai ekspor JKP apabila barang bergerak dimaksud dimanfaatkan (digunakan) di luar daerah pabean. Jika pada kenyataannya barang tersebut dimanfaatkan atau digunakan di dalam daerah pabean, maka jasa tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai ekspor JKP.

3. Jasa konstruksi. Jasa konstruksiyang meliputi layanan jasa konsultasi perencanaan, pelaksanaan dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksidapat dianggap sebagai ekspor JKP apabila pekerjaan konstruksi (bangunan) tersebut terletak di luar daerah pabean.

Kembali BiasPada saat PMK No. 30/PMK.03/2011 diterbitkan, Direktur Jenderal Pajak juga menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak bernomor SE-49/PJ./2011. Sejatinya SE tersebut dimaksudkan untuk memberikan penjelasan menyeluruh mengenai ekspor JKP sebagaimana diatur dalam PMK tadi. Tapi apa lacur, justru penegasan-penegasan dalam SE itu malah membuat permasalahan di seputar ekspor JKP menjadi tidak jelas kembali seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dalam butir ke-3, SE-49/PJ./2011 tersebut mengatakan bahwa ekspor JKP yang dikenai PPN dengan tarif 0% hanya berlaku bagi ketiga jenis JKP yang disebutkan dalam PMK No. 70/PMK.03/2010 stdd PMK No. 30/PMK.03/2011. Untuk JKP selain ketiga jenis JKP tersebut, masih menurut SE tadi, mendapat perlakuan sebagai berikut:

1. Apabila penyerahan JKP dilakukan di dalam daerah pabean, tetap terutang PPN dengan tarif 10% sebagai penyerahan JKP di dalam daerah pabean;

2. Apabila JKP tersebut dilakukan di luar daerah pabean, atasnya tidak terutang PPN karena di luar cakupan UU PPN.

Dari kedua butir a dan b di atas, Dirjen Pajak sepertinya lebih menekankan keberadaan fisik si pemberi jasa pada saat memberikan JKP kepada penerima jasa. Penekanan ini terlihat jelas pada penggunaan kata dilakukan di seperti yang ada pada kedua butir penegasan tersebut. Dengan demikian, dalam contoh di mana misalnya konsultan yang berada di kantornya di Indonesia menjawab pertanyaan konsultasi kliennya yang berada di luar negeri melalui telepon, faks atau email, maka dalam hal ini dianggap oleh SE tersebut dianggap sebagai penyerahan di dalam daerah pabean yang terutang PPN 10%.

Penegasan ini, menurut pendapat penulis, berbeda dengan penegasan Pasal 1 angka 29 UU PPN Baru yang menyatakan bahwa ekspor JKP adalah setiap kegiatan penyerahan JKP ke luar daerah pabean. Dalam UU PPN ini sepertinya yang lebih ditekankan adalah kemana tujuan penyerahan JKP dan bukan di mana penyerahan JKP dilakukan.

Ini sebenarnya analog dengan pengertian ekspor BKP yang lebih menekankan pada tujuan penyerahan BKP (ke luar daerah pabean) dan bukan pada di mana BKP diserahkan. Sebab jika pengertian ekspor ditekankan pada tempat dilakukannya penyerahan, maka dalam kondisi penyerahan penyerahan FOB misalnya, apakah penyerahan tersebut tidak dianggap ekspor BKP? Ketentuan ini juga semestinya berlaku untuk ekspor JKP. Penulis berpendapat, semestinya penentuan soal ekspor JKP tidak didasarkan pada tempat dilakukannya penyerahan semata namun juga menekankan kepada di mana JKP tersebut dimanfaatkan atau dikonsumsi. Sebab bukankah PPN sejatinya adalah pajak atas konsumsi BKP maupun JKP di dalam negeri (di dalam daerah pabean)?

SE-49/PJ./2011 yang diterbitkan tanggal 3 Agustus 2011 itu, juga sepertinya bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. SE Dirjen Pajak ini sepertinya kembali menerapkan prinsip lamanya yaitu: jika di UU pajak tidak disebutkan, maka objek tersebut terutang pajak. Padahal, sekali lagi, prinsip tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang kurang lebih menegaskan bahwa jika ingin mengenakan pajak atas suatu objek, maka objek tersebut harus diatur dalam UU pajak.

Tidak Terutang PPNJika kita artikan secara sistematis ketentuan Pasal 4 huruf h jo. Pasal Pasal 4 ayat (2) jo. Pasal 7 ayat (2) UU PPN Baru dan PMK No. 70/PMK.03/2010, telah ditegaskan bahwa (untuk sementara) hanya ada 3 jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN. Dan PPN atas ekspor ketiga jenis JKP tersebut sebesar 0%.

Ini artinya bahwa untuk ekspor JKP yang lainnyaselain jasa maklon, jasa perbaikan dan perawatan barang bergerak serta jasa konstruksiseharusnya tidak (baca: belum) terutang PPN. Alasannya sederhana, sebab hanya ketiga JKP itu saja yang disebutkan dalam UU PPN dan PMK No. 70/PMK.03/2010.Sumber : http://armuhammad.wordpress.com/2011/09/28/permasalahan-ekspor-jkp/