POTENSI KAYU DARI HUTAN RAKYAT -...

2
Tentu saja proses kesepahaman awal tentang rencana Hal yang mungkin tidak mengganggu iklim pembangunan HTR harus dibangun oleh BUMN/S dan perusahaan mitra HTR adalah jika saham petani dinilai masyarakat. Sejak dini masyarakat harus dilibatkan dalam sebagai ”good-will”. Jadi, lahan hutan yang akan dikelola perencanaan dan pelaksanaan pembangunan HTR. petani dinilai sebesar 20%. Atas dasar ini, petani akan Masyarakat harus diposisikan sebagai subyek memperoleh gain dari tanaman sebesar 20% dari nilai pembangunan, sedangkan posisi BUMN/S sebagai tegakan (stumpage value). Misal, biaya penanaman pengembang dan pendampingan selama pertumbuhan sebesar Rp8 juta per hektar, maka dengan daur 7 tahun tanaman. Akan lebih baik, BUMN/S juga sebagai pasarnya (jenis cepat tumbuh) petani akan memperoleh rata-rata (penampung hasíl panen HTR atau tanaman Rp7.500 Rp10.000 per ton. Jika per tahun terdapat hortikulturanya). Pada posisi ini BUMN/S memberikan tebangan 2 hektar per KK, maka per keluarga akan akses pasar kepada masyarakat. Oleh karena itu, mendapatkan minimum sebesar 2 hektar x 150 ton/hektar x pembangunan HTR seyogyanya diprioritaskan dulu pada Rp7.600/ton x 3.5 (indeks tanah) = Rp7.875.000 per 3) lokasi-lokasi yang dekat dengan industri hilirnya (radius tahun. Ini sebenarnya porsi yang wajar jika ”good-willmaksimum 180 Km dari pabrik), dan terdapat fasilitas tersebut diberikan kepada petani. Namun nilai ini tentunya infrastruktur jalan (sungai dan darat) serta sarana angkutan belum memberikan kesejahteraan bagi petani, karena yang cukup memadai pendapatan per bulan baru sekitar Rp656.250 (hampir sama UMR sebesar Rp600.000 per bulan). Paling tidak, (c). Pola Kemitraan pendapatan petani yang diharapkan mampu meningkatkan Selain pola mandiri dan developer dapat ditempuh kesejahteraannya adalah 1.5 jkali UMR. Jadi paling tidak dengan pola kemitraan antara pengusaha dan petani atau petani harus mendapatkan sekitar Rp900.000 per bulan per kelompok tani hutan. Kemitraan ini lebih fleksibel dalam arti KK. Ini dapat dicapai jika hasil panenan sebesar minimum sistem pendanaannya. Petani atau kelompok tani hutan 175 m3/ha (= Rp10.7 juta/hektar atau Rp900.000 per tidak harus melakukan pinjaman melalui perbankan atau bulan). Semakin tinggi potensi tanamannya, maka petani Satuan Kerja (Satker) Departemen Kehutanan yang akan menerima pendapatan yang lebih tinggi. Ini akan menyalurkan pinjaman uang dari sumber DR tersebut. merangsang petani hutan untuk meningkatkan Perusahaan dapat melakukan Kerjasama Operasi (KSO) produktivitas lahannya. Perolehan pendapatan ini tentu dengan petani atau kelompok tani hutan. Konsep ini saja akan lebih tinggi jika tanaman jenis kekayuan tersebut dilakukan dengan menempatkan petani sebagai mitra kerja dikombinasikan dengan tanaman jenis perkebunan atau perusahaan. Petani dapat memperoleh pendampingan hortikultura. penguatan kelembagaan dan kapasitas kelembagaan masyarakat, termasuk faktor-faktor input bibit/benih Dilematika Sosial dan Ekonomi berkualitas, distribusi bibit/benih, penyuluhan, peningkatan Dengan memposisikan masyarakat atau kelompok pengetahuan teknis dan praktis masyarakat. tani 'tidak boleh rugi' maka Pemerintah harus memberikan ekstra substansial terkait dengan sisi finansial. Pemerintah Pola ini paling mungkin dapat dijalankan sebelum telah mengalokasikan pinjaman uang untuk pembangunan Satker dapat berjalan dan kelembagaan keuangan di HTR, namun bisa menjadi kenyataan yang tertanam bukan bawahnya belum terbentuk dan berfungsi. Porsi saham kekayuan, namun jenis tanaman karet yang akan diambil petani yang ditempatkan adalah 20% dari nilai total saham. getahnya selama jangka produktif hingga masa. Dari sisi Sedangkan saham disetor petani sebesar 20%, dimana resources, masyarakat pasti akan menghendaki usaha dananya dapat dipinjam dari Satker Dephut atau Badan yang sudah jelas memberikan keuntungan. Ambil contoh, Pembiayaan Pembangunan Hutan dari sumber dana DR. masyarakat sudah kadung paham dengan tanaman karet Dengan demikian total saham petani adalah 40%. dan budaya ini turun temurun. Pertimbangan ini disarankan karena petani pada umumnya tidak memiliki kapasitas pendanaan yang cukup. Sisi Pilihannya tinggal bagaimana Pemerintah mengadopsi potensial dilematis dari pola ini adalah ketika perusahaan berapa tanaman karet dan kekayuan. Masyarakat tidak yang bermitra dengan petani atau kelompok tani hutan serta merta mau mengikuti keinginan diremajakan tersebut telah melakukan hal ini sebelumnya. Oleh karena (ditebang kayunya). Ini akan terjadi tarik-menarik pendekatan sistem dan pola yang berbeda akan dapat kepentingan antara masyarakat, Pemerintah dan swasta merusak kemitraan yang sedang berjalan akibat perbedaan (industriawan).Pemerintah dengan pola ini. perlakuan. ) Artinya di sini konsep dasar hutan, yaitu adanya iklim mikro tidak terpenuhi di pekarangan, talun atau kebun campuran. Haeruman (2001) juga sama menyebut klasifikasi yang sama, sehingga istilah hutan milik menjadi tidak tepat. Bahkan penelitian IPBpun mengklasifikasikan hutan rakyat bersama-sama dengan Pekarangan, Tegalan/Kebun, Ladang/huma, Lahan tidak diusahakan, dan Hutan Rakyat. Jadi istilah yang lebih tepat adalah Lahan Milik, yang meliputi Pekarangan, Tegalan/Kebun, Ladang/huma, Lahan Pengertian tidak diusahakan, dan Hutan Rakyat. Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan (UU No. 41/1999), adalah hutan yang Menurut Michon (1983) ada tiga tipe hutan rakyat tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini yaitu: tipe pekarangan, talun dan kebun campuran, dan diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu menurut Haeruman (2001) selain yang tadi termasuk hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik juga hutan rakyat. atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat Menurut Haeruman (2001) hutan milik masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat memiliki banyak bentuk, dan dapat berfungsi produksi atau aturan-aturan masyarakat lokal (biasa disebut material serta penghasil jasa lingkungan. Hutan masyarakat hukum adat). Sedangkan hutan milik adalah masyarakat dalam bentuk kebun campuran merupakan hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dan produsen kayu yang sangat besar di daerah seperti di lazim disebut hutan rakyat. Jawa yang padat penduduk. Menurut Didik Suharjito, 2000. pengertian hutan rakyat Manfaat seperti itu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi. Hutan- Tanaman kayu (pepohonan) secara umum tidak hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh diandalkan sebagai sumber penghasilan utama oleh keluarga-keluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat pedesaan di Jawa. Mereka lebih masyarakat adat diklaim oleh pemerintah sebagai hutan mengandalkan tanaman pertanian cepat, dibanding negara dan tidak termasuk hutan rakyat. Secara implisit UU menanam pohon yang memerlukan waktu lama. Pohon No. 41/1999 juga menyebut hutan dengan status hak guna lebih digunakan sebagai cadangan tabungan atau usaha, hak pakai (lihat penjelasan umum). Dengan dipakai untuk keperluan sendiri, misalnya membangun demikian jika rakyat secara perorangan atau rumah. Atau digunakan sebagai perlindungan sumber- kelompok memperoleh hak guna usaha (seperti juga sumber mata air. perusahaan HPH), hutannya tidak disebut sebagai hutan rakyat, melainkan "hutan hak guna usaha". Bila demikian Budidaya kayu baru berkembang dua tiga dekade mengapa hutan di tanah milik tidak disebut "hutan milik" saja, ini karena adanya pasar: untuk peralatan rumah tangga, bukan "hutan rakyat". peti kemas, pulp, dan lain-lain penggunaan. Hal ini sangat mudah ditemukan mulai dari Jawa Barat, Tengah Tetapi pengertian hutan milikpun dirasakan masih dan Timur. Kayu sengon banyak digunakan untuk peti kurang tepat. Menurut Michon (1983) ada tiga tipe hutan kemas; pulp; perabot rumah tangga (meja. kursi, dipan, rakyat yaitu: tipe pekarangan, talun dan kebun campuran. almari); bahan bangunan (usuk, reng). Kayu jati atau 1) POTENSI KAYU DARI HUTAN RAKYAT 2 Disarikan Oleh : Rizki Ameglia Tulisan ini merupakan Intisari dari tulisan yang berjudul “Hutan Rakyat : Kreasi Budaya Bangsa dan Hutan Rakyat di Jawa” yang di tulis oleh salah seorang pakar Hutan Rakyat dari Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Dalam tulisan pakar tersebut terdapat berbagai data dan informasi seputar Hutan Rakyat mulai dari istilah, klasifikasi, manfaat dan potensi di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa. Berdasarkan penelitian dan kajian pakar menunjukkan bahwa potensi kayu dan Hutan Rakyat sangat potensial dan berpeluang untuk berkembang dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan Industri Perkayuan dan sekaligus dapat mendorong peningkatan perekonomian rakyat / masyarakat. Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007 Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007

Transcript of POTENSI KAYU DARI HUTAN RAKYAT -...

Tentu saja proses kesepahaman awal tentang rencana Hal yang mungkin tidak mengganggu iklim

pembangunan HTR harus dibangun oleh BUMN/S dan perusahaan mitra HTR adalah jika saham petani dinilai

masyarakat. Sejak dini masyarakat harus dilibatkan dalam sebagai ”good-will”. Jadi, lahan hutan yang akan dikelola

perencanaan dan pelaksanaan pembangunan HTR. petani dinilai sebesar 20%. Atas dasar ini, petani akan

Masyarakat harus diposisikan sebagai subyek memperoleh gain dari tanaman sebesar 20% dari nilai

pembangunan, sedangkan posisi BUMN/S sebagai tegakan (stumpage value). Misal, biaya penanaman

pengembang dan pendampingan selama pertumbuhan sebesar Rp8 juta per hektar, maka dengan daur 7 tahun

tanaman. Akan lebih baik, BUMN/S juga sebagai pasarnya (jenis cepat tumbuh) petani akan memperoleh rata-rata

(penampung hasí l panen HTR atau tanaman Rp7.500 Rp10.000 per ton. Jika per tahun terdapat

hortikulturanya). Pada posisi ini BUMN/S memberikan tebangan 2 hektar per KK, maka per keluarga akan

akses pasar kepada masyarakat. Oleh karena itu, mendapatkan minimum sebesar 2 hektar x 150 ton/hektar x

pembangunan HTR seyogyanya diprioritaskan dulu pada Rp7.600/ton x 3.5 (indeks tanah) = Rp7.875.000 per 3)lokasi-lokasi yang dekat dengan industri hilirnya (radius tahun. Ini sebenarnya porsi yang wajar jika ”good-will”

maksimum 180 Km dari pabrik), dan terdapat fasilitas tersebut diberikan kepada petani. Namun nilai ini tentunya

infrastruktur jalan (sungai dan darat) serta sarana angkutan belum memberikan kesejahteraan bagi petani, karena

yang cukup memadai pendapatan per bulan baru sekitar Rp656.250 (hampir

sama UMR sebesar Rp600.000 per bulan). Paling tidak,

(c). Pola Kemitraan pendapatan petani yang diharapkan mampu meningkatkan

Selain pola mandiri dan developer dapat ditempuh kesejahteraannya adalah 1.5 jkali UMR. Jadi paling tidak

dengan pola kemitraan antara pengusaha dan petani atau petani harus mendapatkan sekitar Rp900.000 per bulan per

kelompok tani hutan. Kemitraan ini lebih fleksibel dalam arti KK. Ini dapat dicapai jika hasil panenan sebesar minimum

sistem pendanaannya. Petani atau kelompok tani hutan 175 m3/ha (= Rp10.7 juta/hektar atau Rp900.000 per

tidak harus melakukan pinjaman melalui perbankan atau bulan). Semakin tinggi potensi tanamannya, maka petani

Satuan Kerja (Satker) Departemen Kehutanan yang akan menerima pendapatan yang lebih tinggi. Ini akan

menyalurkan pinjaman uang dari sumber DR tersebut. merangsang petani hutan untuk meningkatkan

Perusahaan dapat melakukan Kerjasama Operasi (KSO) produktivitas lahannya. Perolehan pendapatan ini tentu

dengan petani atau kelompok tani hutan. Konsep ini saja akan lebih tinggi jika tanaman jenis kekayuan tersebut

dilakukan dengan menempatkan petani sebagai mitra kerja dikombinasikan dengan tanaman jenis perkebunan atau

perusahaan. Petani dapat memperoleh pendampingan hortikultura.

penguatan kelembagaan dan kapasitas kelembagaan

masyarakat, termasuk faktor-faktor input bibit/benih Dilematika Sosial dan Ekonomi

berkualitas, distribusi bibit/benih, penyuluhan, peningkatan Dengan memposisikan masyarakat atau kelompok

pengetahuan teknis dan praktis masyarakat. tani 'tidak boleh rugi' maka Pemerintah harus memberikan

ekstra substansial terkait dengan sisi finansial. Pemerintah

Pola ini paling mungkin dapat dijalankan sebelum telah mengalokasikan pinjaman uang untuk pembangunan

Satker dapat berjalan dan kelembagaan keuangan di HTR, namun bisa menjadi kenyataan yang tertanam bukan

bawahnya belum terbentuk dan berfungsi. Porsi saham kekayuan, namun jenis tanaman karet yang akan diambil

petani yang ditempatkan adalah 20% dari nilai total saham. getahnya selama jangka produktif hingga masa. Dari sisi

Sedangkan saham disetor petani sebesar 20%, dimana resources, masyarakat pasti akan menghendaki usaha

dananya dapat dipinjam dari Satker Dephut atau Badan yang sudah jelas memberikan keuntungan. Ambil contoh,

Pembiayaan Pembangunan Hutan dari sumber dana DR. masyarakat sudah kadung paham dengan tanaman karet

Dengan demikian total saham petani adalah 40%. dan budaya ini turun temurun.

Pertimbangan ini disarankan karena petani pada umumnya

tidak memiliki kapasitas pendanaan yang cukup. Sisi Pilihannya tinggal bagaimana Pemerintah mengadopsi

potensial dilematis dari pola ini adalah ketika perusahaan berapa tanaman karet dan kekayuan. Masyarakat tidak

yang bermitra dengan petani atau kelompok tani hutan serta merta mau mengikuti keinginan diremajakan

tersebut telah melakukan hal ini sebelumnya. Oleh karena (ditebang kayunya). Ini akan terjadi tarik-menarik

pendekatan sistem dan pola yang berbeda akan dapat kepentingan antara masyarakat, Pemerintah dan swasta

merusak kemitraan yang sedang berjalan akibat perbedaan (industriawan).Pemerintah dengan pola ini.

perlakuan.

) Artinya di sini konsep dasar hutan, yaitu adanya iklim

mikro tidak terpenuhi di pekarangan, talun atau kebun

campuran. Haeruman (2001) juga sama menyebut

klasifikasi yang sama, sehingga istilah hutan milik

menjadi tidak tepat. Bahkan penelitian IPBpun

mengklasifikasikan hutan rakyat bersama-sama dengan

Pekarangan, Tegalan/Kebun, Ladang/huma, Lahan

tidak diusahakan, dan Hutan Rakyat. Jadi istilah yang

lebih tepat adalah Lahan Milik, yang meliputi

Pekarangan, Tegalan/Kebun, Ladang/huma, Lahan

Pengertian tidak diusahakan, dan Hutan Rakyat.

Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan

perundang-undangan (UU No. 41/1999), adalah hutan yang Menurut Michon (1983) ada tiga tipe hutan rakyat

tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini yaitu: tipe pekarangan, talun dan kebun campuran, dan

diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu menurut Haeruman (2001) selain yang tadi termasuk

hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik juga hutan rakyat.

atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara

mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat Menurut Haeruman (2001) hutan milik masyarakat

berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat memiliki banyak bentuk, dan dapat berfungsi produksi

atau aturan-aturan masyarakat lokal (biasa disebut material serta penghasil jasa lingkungan. Hutan

masyarakat hukum adat). Sedangkan hutan milik adalah masyarakat dalam bentuk kebun campuran merupakan

hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dan produsen kayu yang sangat besar di daerah seperti di

lazim disebut hutan rakyat. Jawa yang padat penduduk.

Menurut Didik Suharjito, 2000. pengertian hutan rakyat Manfaat

seperti itu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi. Hutan- Tanaman kayu (pepohonan) secara umum tidak

hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh diandalkan sebagai sumber penghasilan utama oleh

keluarga-keluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat pedesaan di Jawa. Mereka lebih

masyarakat adat diklaim oleh pemerintah sebagai hutan mengandalkan tanaman pertanian cepat, dibanding

negara dan tidak termasuk hutan rakyat. Secara implisit UU menanam pohon yang memerlukan waktu lama. Pohon

No. 41/1999 juga menyebut hutan dengan status hak guna lebih digunakan sebagai cadangan tabungan atau

usaha, hak pakai (lihat penjelasan umum). Dengan d ipakai untuk keperluan sendiri, misalnya membangun

demikian jika rakyat secara perorangan atau rumah. Atau digunakan sebagai perlindungan sumber-

kelompok memperoleh hak guna usaha (seperti juga sumber mata air.

perusahaan HPH), hutannya tidak disebut sebagai hutan

rakyat, melainkan "hutan hak guna usaha". Bila demikian Budidaya kayu baru berkembang dua tiga dekade

mengapa hutan di tanah milik tidak disebut "hutan milik" saja, ini karena adanya pasar: untuk peralatan rumah tangga,

bukan "hutan rakyat". peti kemas, pulp, dan lain-lain penggunaan. Hal ini

sangat mudah ditemukan mulai dari Jawa Barat, Tengah

Tetapi pengertian hutan milikpun dirasakan masih dan Timur. Kayu sengon banyak digunakan untuk peti

kurang tepat. Menurut Michon (1983) ada tiga tipe hutan kemas; pulp; perabot rumah tangga (meja. kursi, dipan,

rakyat yaitu: tipe pekarangan, talun dan kebun campuran. almari); bahan bangunan (usuk, reng). Kayu jati atau

1) POTENSI KAYU DARI HUTAN RAKYAT

2Disarikan Oleh : Rizki Ameglia

Tulisan ini merupakan Intisari dari tulisan yang berjudul “Hutan Rakyat : Kreasi Budaya Bangsa dan Hutan Rakyat di Jawa” yang di tulis oleh salah seorang pakar Hutan Rakyat dari Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Dalam tulisan pakar tersebut terdapat berbagai data dan informasi seputar Hutan Rakyat mulai dari istilah, klasifikasi, manfaat dan potensi di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa. Berdasarkan penelitian dan kajian pakar menunjukkan bahwa potensi kayu dan Hutan Rakyat sangat potensial dan berpeluang untuk berkembang dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan Industri Perkayuan dan sekaligus dapat mendorong peningkatan perekonomian rakyat / masyarakat.

Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007 Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007

Hanya saja mungkinkah 100 persen tanaman karet? pasar.

Jawabnya mungkin saja, karena tanaman karet juga Dilematika pembangunan HTR tidak bisa dihindari,

mengandung serat kayu. Namun, jenis tanaman karet ini namun harus diupayakan meinimalisir kemungkinan terjadi

baru bisa diremajakan untuk diambil kayunya setelah 25 permasalahan yang dapat mengakibatkan kontra-

tahun. Dengan demikian, untuk menghasilkan kayu karet produktif. Pembagian peran untuk sukses pembangunan

harus menunggu 25 tahun, sedangkan kebutuhan kayu HTR oleh kelompok tani hutan tergantung dari penguatan

untuk memenuhi bahan baku industri tidak bisa ditunda- kelembagaan di masyarakat, termasuk lembaga

tunda lagi dan perlu cepat. keuangannya dan pemasarannya.

Belum lagi, jika harga kayu non-karet di pasar dalam

negeri rendah dan tidak memberikan keuntungan yang

memadai kepada kelompok petani, maka akan merepotkan.

Berdasarkan analisis harga kayu minimum yang wajar

diterima oleh petani (produsen) kayu jenis lambat tumbuh *) Anggota APHI Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan

dari kayu rakyat adalah Rp300.000 per m3 (fob atau fot). Di Hidup

satu sisi uang pinjaman harus segera dikembalikan, namun

di sisi lain masyarakat (kelompok tani hutan) belum dapat

memperoleh penghasilan yang cukup untuk mengembalikan

-panel kayu) kalah bersaing maka perusahaan akan terhenti.

Oleh karena itu, pasti jalan kompromi harga yang terjadi;

petani tidak rugi, perusahaan mungkin break even point

(BEP) saja. Jika pro-poor, mungkinkah harga di tingkat

petani dikatrol dengan ekspor?

Harga ekspor kayu memang lebih tinggi daripada

harga di pasar dalam negeri. Namun kembali lagi, tujuan

pemenuhan kebutuhan kayu dalam negeri masih sangat

kurang. Dan, masyarakat belum memahami tentang seluk

beluk ekspor. Jika ini terjadi, maka, akhirnya, tengkulak

yang akan menikmati sebagian besar nilai ekspor tersebut.

Dilema ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk

mengendalikan imbangan antara kepentingan masyarakat

dan dunia usaha (industri).

Kesimpulan dan Saran

Pembangunan HTR akan menuai sukses jika

pendapatan kelompok tani hutan sama atau melebihi 1.5 kali

dari upah minimum regional (UMR) Provinsi setempat.

Kombinasi tanaman HTR antara jenis kakayuan dan

hortikultura atau jenis tanaman perkebunan menghasilkan

pendapatan petani yang lebih tinggi per keluarga (KK).

Masyarakat dalam posisi ini harus diuntungkan, jika ingin

HTR terus berkembang dan dapat memberikan

kesejahteraan bagi kelompok tani hutan.

Langkah awal yang perlu dilakukan untuk segera

berjalan pembangunan HTR tersebut adalah dengan pola

kemitraan. Masyarakat diposisikan sebagai subyek dengan

sistem kerjasama operasi KSO atau bentuk lain yang

memberikan akses langsung, baik akses produksi maupun

Beberapa Catatan Kaki :1) Darusman, D. Harjanto, Nurheni W. 2006. Aspek Ekonomi dan

Finansial dalam Penetapan Kebijakan HTR .Analisis Kebijakan dengan Ragam Pengelolaan HTR Monokultur dan Agroforestry dan Basis Full Employment. Paper pada Workshop HTR (20 Desember 2006) , Departemen Kehutanan. Jakarta.

2) Santoso, H. 2006. et. all. Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan: Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat Tim Pemberdayaan Masyarakat, Departemen Kehutanan. Jakarta.

3) Indeks tanah ditentukan berdasarkan hasil panenan (misalnya hasil panenan < 100 m3/ha = 2.5, antara 100 125 m3/ha =

Beberapa Catatan Kaki :1) Darusman, D. Harjanto, Nurheni W. 2006. Aspek Ekonomi dan

Finansial dalam Penetapan Kebijakan HTR .Analisis Kebijakan

dengan Ragam Pengelolaan HTR Monokultur dan Agroforestry

dan Basis Full Employment. Paper pada Workshop HTR (20 Desember 2006) , Departemen Kehutanan. Jakarta.

2) Santoso, H. 2006. et. all. Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan: Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat

Tim Pemberdayaan Masyarakat, Departemen Kehutanan. Jakarta.

3) Indeks tanah ditentukan berdasarkan hasil panenan (misalnya hasil panenan < 100 m3/ha = 2.5, antara 100 125 m3/ha = 3.0,

antara 126 150 m3/ha = 3.5, antara 151 175 m3/ha = 4.0, di

atas 175 m3/ha = 5.0).

Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007 Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007