Potensi Dan Pengembangan Mangrove
-
Upload
heru-setiawan -
Category
Documents
-
view
71 -
download
27
Transcript of Potensi Dan Pengembangan Mangrove
1
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERDASARKAN
PENDEKATAN DENGAN MASYARAKAT PESISIR
Oleh : Heru Setiawan, S. Hut
RINGKASAN
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir. Keberadaan hutan mangrove menjadi sangat penting karena sangat potensial dalam menunjang kehidupan mansyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Keberadaan hutan mangrove pada saat ini sudah semakin kritis akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Pengelolaan kawasan pesisir sudah saatnya menjadi perhatian semua pihak. Pembangunan di kawasan pesisir tidak perlu merusak ekosistem mangrove asalkan dilakukan penataan yang rasional. Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang sehari-hari berinteraksi dengan mangrove. Salah satu model pengelolaan ekosistem mangrove adalah dengan pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat.
Kata kunci : Mangrove, potensi pengembangan, masyarakat pesisir
2
PENDAHULUAN
Hutan mangrove secara ringkas didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang
tumbuh di daerah pasang surut (terutama di daerah pantai yang terlindung, laguna,
muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut
dan komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem
mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan)
yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu
habitat mangrove (Kusmana, et al., 2003). Mangrove sebagai bagian ekosistem dari
keseluruhan ekosistem pesisir tidak pernah berdiri sendiri, sebagaimana hakekatnya
keberadaan seluruh alam ini.
Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatera
Utara tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan dampak negatif yang demikian
besar terutama pada wilayah pesisir tidak hanya kerusakan infrastruktur melainkan juga
kehilangan jiwa dan kerusakan ekosistem mangrove dan hutan pantai. Menurut data dari
Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh, bencana tsunami di Aceh telah menyebabkan
kerusakan mangrove seluas 174.590 ha (Noor, et al.,2006). Sejak saat itu perhatian
terhadap pentingnya ekosistem mangrove mengalami peningkatan karena mangrove
dianggap sebagai green belt (sabuk hijau) yang berfungsi sebagai benteng pertahanan
terhadap bencana tsunami.
Secara lebih rinci sebenarnya mangrove tidak hanya berfungsi sebagai penahan
ombak dan tsunami. Setidaknya ada tiga fungsi mangrove yaitu fungsi ekologis, fungsi
fisik dan fungsi ekonomis. Secara ekologis ekosistem mangrove memberikan manfaat
yang besar terhadap lingkungan di wilayah pesisir diantaranya (1) menciptakan iklim
mikro yang baik; (2) memperbaiki kualitas air. Hasil penelitian menyatakan bahwa
vegetasi mangrove mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi logam berat dengan
cara menyerap ion-ion dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel
kemudian menetralkan kembali. Sebagai contoh, pohon Api-api (Avicennia marina)
memiliki upaya penanggulangan materi toksik dengan melemahkan efek racun melalui
pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan
konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam
tersebut. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami pengikatan dan
penurunan daya racun, karena diolah menjadi bentuk-bentuk persenyawaan yang lebih
3
sederhana; (3) sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah
(spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) bagi jenis ikan,
udang, kerang dan biota laut lainnya; (4) ekositem mangrove merupakan sumber plasma
nutfah yang cukup tinggi. Sebagai contoh, mangrove di Indonesia terdiri atas 202 jenis
tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis
herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku (Noor, et al.,2006).
Secara fisik mangrove memiliki fungsi diantaranya (1) menjaga garis pantai dan
tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil; (2) mempercepat perluasan lahan
melalui proses sedimentasi; (3) mengendalikan intrusi air laut; (3) melindungi daerah di
belakang mengrove dari hempasan gelombang, angin kencang dan mengurangi resiko
terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian menunjukkan dengan adanya ekosistem
mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340 dan perubahan energi
gelombang (E) = 19635.26 Joule (Pratikto, 2002).
Secara ekonomis mangrove berfungsi sebagai (1) menghasilkan hasil hutan
berupa kayu. Kayu bakau merupakan penghasil arang yang baik. Harga arang bakau
satu kantong plastik ukuran sedang bisa mencapai Rp 12.000,- ini merupakan potensi
ekonomi yang menjanjikan tentunya dengan sistem pemanenan kayu yang terencana;
(2) hasil hutan berupa non kayu, madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin (zat
penyamak kulit), serat sintetis dan produk komersial lainnya; (3) sarana ekotourisme,
wanamina/pertambakan, sumber benih dan lain-lain.
PERSEBARAN HUTAN MANGROVE
Hutan mangrove tersebar dari daerah tropika sampai 32° LU dan 38° LS.
Menurut Chapman (1975) dalam Kusmana, et al., (2003), penyebaran hutan mangrove
di dunia dibagi dalam dua kelompok besar yaitu :
1. The Old World Mangrove, meliputi Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia
Tenggara, Jepang, Kepulauan Pasifik, Australia, New Zeland dan Samoa.
Kelompok ini disebut juga Grup Timur
2. The New World Mangrove, meliputi pantai atlantik dari Afrika dan Amerika,
Mexico, pantai Pasifik Amerika dan Kepulauan Galapagos. Kelompok ini
disebut juga Grup Barat.
4
Luas mangrove di dunia sangat beragam. Menurut spalding, at al., (1997) dalam
Noor, et al.,2006, luas hutan mangrove di dunia mencapai 18,1 juta hektar. Luas
ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara,
atau sekitar 27% dari luas mangrove dunia. Diperkirakan luas mangrove di Indonesia
sebesar 3,5 juta hektar, dan merupakan tempat penyebaran mangrove terluas di dunia
(18-23%) melebihi Brazil (1,3 juta ha). Luas persebaran mangrove di Indonesia
terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Wilayah hutan mangrove
Papua merupakan wilayah yang terluas dengan 1.382.000 ha. Dalam jangka waktu 9
tahun (1987 – 1996) paling tidak sudah 800.000 hingga 1.760.000 ha hutan mangrove
hilang dari bumi Indonesia. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa
terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu ha/tahun. Hal
tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan
sebagainya (Dahuri, 2002). Pada tahun 1982 perkiraan luas tambak di Indonesia sekitar
193.700 ha (Bailey dalam Noor, et al.,2006), sedangkan pada tahun 2003 luasan tambak
menjadi 750.000 ha (Baplan dalam Noor, et al.,2006). Berarti dalam kurun waktu 21
tahun terjadi penambahan luasan tambak sebesar 556.300 ha atau terjadi pertambahan
luasan sebesar 287%. Jika di konversi menjadi satuan tahun, maka tiap tahun terjadi
pertambahan luas tambak sebesar 26.490 ha.
POTENSI PENGEMBANGAN HUTAN MANGROVE
Indonesia membentang sejauh 5000 km dari Sumatera di bagian barat hingga
Papua di bagian timur, yang mempunyai luasan 7,7 juta km2, yang terdiri atas 17.500
pulau dengan ngaris pantai lebih dari 81.000 km. Dengan potensi yang dimiliki, negara
kita sangat berpotensi untuk mendapatkan nilai ekonomis terbesar. Hampir 75% dari
wilayah terdiri dari perairan pesisir dan termasuk 3,1 juta km2 lautan teritorial dan
archipelago serta 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Parry dalam Zaitunah
2002).
Pertumbuhan penduduk yang pesat dengan 60% penduduknya yang menempati
wilayah pesisir menyebabkan tekanan terhadap ekosistem mangrove semakin
meningkat. Dengan semakin meningkatnya tuntutan untuk mendayagunakan
sumberdaya mangrove menyebabkan semakin tingginya potensi kerusakan lingkungan
laut disekitar mereka ditambah dengan tingginya minat ekonomis yang melingkupi,
5
jadilah masalah kerusakan pesisir dan lautan negeri ini makin menuju ke arah yang
tidak terkendali. Degradasi hutan mangrove yang semakin meningkat membutuhkan
penanganan yang sesegera mungkin untuk dilaksananakan agar potensi daerah pesisir
tetap bisa semakin meningkat. Secara garis besar ada dua hal pokok yang menjadi
penyebab kerusakan hutan mangrove yaitu : (1) faktor manusia, faktor ini merupakan
faktor yang paling dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatn
lahan yang berlebihan; (2) faktor alam, seperti banjir, kekeringan, hama, terjangan
gelombang tsunami dan lain-lain. Beberapa faktor yang mendorong semakin meluasnya
kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh manusia diataranya :
1. Faktor sosial ekonomi.
Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan di wilayah pesisir
menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan antara permintaan kebutuhan hidup
dengan ketersediaan sumberdaya pesisir yang ada. Adanya keinginan untuk
membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis
yang menguntungkan karena mudah dan murah. Adanya konversi hutan
mangrove untuk kawasan pemukiman, kawasan industri, pelabuhan, hotel dan
lain-lain yang lebih memberikan keuntungan sesaat yang besar untuk para
pemodal. Sebagai contoh, disepanjang pantai utara Jawa hampir semua hutan
mangrove telah habis dirombak menjadi kawasan pemukiman, perhotelan,
tambak, dan sawah yang berorientasi pada ekosistem daratan.
2. Faktor kurangnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan
mangrove. Rendahnya pengetahuan masyarakat di kawasan pesisir akan fungi
ekosistem mangrove berakibat exploitasi terhadap tegakan mangrove menjadi
semakin tidak terkendali. Hal tersebut diperparah dengan kurangnya
penyuluhan dan pelatihan yang mengikutsertakan masyarakat persisir tentang
fungsi dan manfaat ekosistem mangrove.
3. Faktor kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan lautan. Sering
terjadi tumpang tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan instansi sektoral
dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan
prosedur perizinan yang tidak jelas untuk kegiatan pembangunan pesisir dan
lautan. Contohnya seperti pembukaan lahan kawasan pesisir, penambangan pasir
laut, penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang dan lain-lain.
6
Akibatnya semakin meningkatnya kerusakan ekosistem kawasan pesisir dan
lautan khususnya kawasan hutan mangove.
4. Faktor keterbatasan informasi kawasan pesisir.
Terbatasnya keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi
yang berkaitan dengan tipologi ekosistem pesisir, keaneka ragaman hayati,
lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi dan peran serta keluarga, sumber
daya hutan mangrove yang terbatas sehingga belum dapat mendukung penataan
ruang kawasan pesisir, pembinaan dan pemanfaatan secara lestari, perlindungan
kawasan serta rehabilitasinya.
UPAYA PELESTARIAN MANGROVE
Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara
restorasi/rehabilitasi. Restorasi dipahami sebagai usaha mengembalikan kondisi
lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia diusahakan
sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis
mangrove tertentu menurut yang diinginkan manusia. Jadi restorasi lebih memberikan
peluang kepada alam untuk mengatur atau memulihkan dirinya sendiri. Manusia hanya
sebatas memberikan jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan. Secara
umum habitat mangrove mampu memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15
– 20 tahun jika : (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu dan (2) ketersediaan biji,
bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi normal atau
mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat
direstorasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu habitat bakau dapat diperbaiki tanpa
penanaman, maka rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut
yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan
mangrove.
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove
diantaranya adalah :
1. Fisiografi pantai
Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi
karakteristik struktur hutan mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi
spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Karakteristik pantai, misalnya area,
7
panjang, dan lokasi berhubungan dengan penggenangan pasang (tidal inundation),
sedimentasi, dan karakterisitik sedimen. Hamparan lumpur (mudflats) dan estuaria
dipengaruhi oleh gelombang-gelombang atau sungai-sungai yang umumnya
berasosiasi dengan kesuburan areal mangrove yang mendukung suatu
keberagaman yang sangat luas, baik flora maupun fauna. Oleh karena itu, semakin
datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove
yang akan tumbuh.
2. Iklim
Sebagian besar daerah pantai Indonesia beriklim tropik basah dan dicirikan
dengan kelembaban, angin musim, curah hujan, dan temperatur yang tinggi. Hal
ini menyebabkan pencegahan akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan
mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Pengaruh langsung iklim
adalah terhadap komposisi epifit yang terdapat pada hutan mangrove. Mangrove
yang terdapat di daerah yang selalu basah memiliki banyak spesies epifit,
sedangkan pada hutan mangrove di daerah dengan iklim yang mempunyai masa-
masa kering, epifit jarang dijumpai.
3. Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove.
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada tanah
mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik, dan menurun
selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan
salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi
horisontal. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa antara air
tawar dengan air laut, dan oleh karenanya mempengaruhi distribusi vertikal
organisme mangrove.
4. Gelombang dan arus
Gelombang pantai - yang sebagian besar dipengaruhi angin - merupakan
penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan
berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel
besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir.
Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.
5. Salinitas
8
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove
tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 - 30 ppt. Salinitas yang sangat
tinggi (hypersalinity) misalnya ketika salinitas air permukaan melebihi salinitas
yang umum di laut (± 35 ppt) dapat berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove,
karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif. Akibatnya, tajuk mangrove
semakin jauh dari tepian perairan secara umum menjadi kerdil dan berkurang
komposisi spesiesnya.
6. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove
(terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi
serasah. Oleh karena itu, konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol
komposisi spesies, distribusi dan pertumbuhan mangrove. Tanah pada hutan
mangrove yang berlumpur dan jenuh air mengandung oksigen rendah dan bahkan
tidak mengandung oksigen (anoksik). Dalam kondisi lingkungan demikian hanya
spesies-spesies tumbuhan tertentu saja yang dapat hidup.
7. Tanah
Mangrove terutama tumbuh pada tanah berlumpur, namun berbagai spesies
mangrove dapat tumbuh pula di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil, bahkan
tanah gambut. Pada umumnya ciri tanah di hutan mangrove selalu basah,
mengandung garam, sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Susunan
spesies dan kerapatan pada hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh susunan
tekstur tanah dan konsentrasi ion tanah yang bersangkutan. Pada lahan mangrove
yang tanahnya lebih banyak terdiri atas liat (clay) dan debu (silt), terdapat tegakan
yang lebih rapat dari lahan yang tanahnya mengandung liat dan debu pada
konsentrasi yang lebih rendah.
8. Nutrien
Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik.
Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K,
Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran
permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus
organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui
9
beberapa tahap degradasi mikrobial. Lahan pasang surut yang subur akan
mendukung pertumbuhan mangrove yang subur pula.
9. Proteksi
Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari
gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah
yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Oleh
karena itu upaya proteksi dari hempasan ombak mutlak dilakukan baik dengan
bangunan teknis atau penentuan waktu tanam yang tidak bersamaan dengan
musim ombak.
PENGELOAAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT
Bentuk tekanan terhadap kawasan mangrove yang paling besar adalah pengalih-
fungsian (konversi) lahan mangrove menjadi tambak udang/ikan, sekaligus pemanfaatan
kayunya untuk diperdagangkan. Selain itu, juga tumbuhnya berbagai konflik akibat
berbagai kepentingan antar lintas instansi sektoral maupun antar lintas wilayah
administratif. Secara ideal, pemanfaatan kawasan mangrove harus mempertimbangkan
kebutuhan masyarakat tetapi tidak sampai mengakibatkan kerusakan terhadap
keberadaan mangrove. Selain itu, yang menjadi pertimbangan paling mendasar adalah
pengembangan kegiatan yang menguntungkan bagi masyarakat dengan tetap
mempertimbangkan kelestarian fungsi mangrove secara ekologis (fisik-kimia dan
biologis). Perlu juga mengembangkan matapencaharian alternatif bagi masyarakat
sekitar mangrove dengan mengandalkan bahan baku non-kayu dan diversifikasi bahan
baku industri kehutanan dan arang seperti yang terjadi di Nipah Panjang, Batu Ampar,
Pontianak. Masyarakat merubah pola konsumsi bahan bakar dari minyak tanah dan
arang bakau menjadi arang leban dan tempurung kelapa dan menggunakan tungku
hemat energi atau anglo.
Salah satu komponen penting dalam upaya rehabilitasi mangrove adalah
masyarakat pesisir. Masyarakat sekitar hutan mangrove mempunyai peranan yang
sangat penting bagi kelestarian hutan. Mereka dapat berperan sebagai perusak atau
penjaga hutan mangrove dari berbagai ancaman. Mansyarakat sekitar hutan mangrove
memanfaatkan berbagai produk hutan mangrove guna mencukupi kebutuhan hidup dan
memerlukannya untuk mempertahankan stabilitas lingkungan. Untuk itu diperlukan
10
pengembangan peranserta masyarakat yang dapat melakukan usaha konservasi hutan
mangrove guna menjaga kestabilan ekosistem mangrove tersebut.
Usaha reklamasi hutan mangrove dengan pendekatan sistem keproyekan yang
selama ini dilakukan oleh pemerintah melalui Departeman Kehutanan maupun
Departemen Perikanan dan Kelautan tingkat keberhasilannya cenderung kecil dan
sangat tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Jika dilihat lebih
mendalam dan ditelusuri dengan teliti ternyata salah satu penyebab kegagalannya adalah
kurangnya peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove dan masyarakat
masih dianggap sebagai obyek bukan sebagai subyek. Pelaksanaan proyek dengan
pendekatan top – down tentu saja kurang memberdayakan masyakakat sekitar hutan
mangrove. Pemerintah hanya berperan sebagai penyedia dana, pengontrol dan
fasilitator. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut dan dana telah habis maka
pelaksana proyek merasa sudah habis pula tanggung jawabnya. Disisi lain masyarakat
tidak ikut merasa memiliki (tidak punya sense of belonging). Akhirnya masyarakat
beranggapan hutan magrove tersebut milik pemerintah bukan milik mereka sehingga
mereka acuh tak acuh dengan kerusakan mangrove disekitar mereka.
Masyarakat pesisir hendaknya dijadikan sebagai ujung tombak dalam program
rehabilitasi mangrove yang dilakukan pemerintah. Pemerintah diposisikan sebagai
penyandang dana, sedang untuk perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan
pemanfaatan kedepan diserahkan oleh masyarakat dengan pelibatan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), perangkat desa, pemimpin umat, ketua adat dan lain-lain. Dengan
pendekatan semacam ini proses rehabilitasi mangrove yang dimulai dari pembibitan,
penanaman, perawatan, penyulaman dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme
ini masyarakat tidak merasa dianggap sebagai buruh tapi masyarakat merasa sebagai
pemilik dari hutan mangrove itu sendiri. Secara tidak langsung masyarakat jadi
mempunyai rasa tanggung jawab untuk turut menjaga kelestarian dari hutan mangrove
di sekitar mereka.
Upaya rekalamsi mangrove sudah berjalan sedemikian lama. Untuk pelaksanaan
kedepan hendaknya pemerintah meggunakan sistem pendekatan bottom up dengan
meletakkan mayarakat sebagai subyek bukan sebagai obyek. Tugas pemerintah lebih
pada pemberian pengarahan secara berkelanjutan agar kedepan tidak terjadi konflik
kepentingan diantara mereka.
11
PENUTUP
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem daerah pesisir yang
mempunyai manfaat yang besar dan sangat potensial untuk meningkatkan taraf ekonomi
masyarakat pesisir. Keberadaan hutan mangrove semakin menipis baik karena ulah
manusia maupun alam. Jumlah kerusakan hutan mangrove yang semakin besar dan
mengarah pada status kritis memerlukan upaya penanganan sesegera mungkin agar
kelestariannya tetap terjaga untukgenerasi sekarang dan yang akan datang. Dengan
semakin meningkatnya upaya reklamasi hutan mangrove baik yang dilakukan oleh
masyarakat, pemerintah, LSM maupun stakeholder yang lain dan dengan pelibatan
masyarakat pesisir dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan diharapkan
akan diperoleh tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Dengan keberhasilan reklamasi
hutan mangrove diharapkan manfaat dan fungsi mangrove dapat berjalan dan berfungsi
kembali.
12
13