Post Test 3 (Kebijakan Bidang Ekonomi)

7
Kebijakan Bidang Ekonomi, politik dan Hukum Untuk Memperkuat Perekonomian Indonesia Serta Peluang Dan Ancaman Yang Ditimbulkannya Pemangku kepentingan yang berkaitan dengan upaya pemanfaatan kesempatan kerja diluar negeri yang paling bertanggung jawab sebenarnya adalah Asosiasi Profesi, yang mewakili profesi-profesi sejenis sebagai pengguna (user) dari program ini. Persoalannya adalah terletak pada apakah Asosiasi Profesi kerja yang bersangkutan. Oleh karena itu sudah merupakan kewajiban pemerintah (Depnakertrans dan instansi Pembina teknis) untuk memberdayakan asosiasi-asosiasi tersebut dan menjadikannya sebagai mitra pemerintah dalam melakukan request terhadap Negara lain ataupun menjawab offer dari Negara lain. Menyikapi dan menghadapi berbagai putaran perundingan WTO, Depnakertrans selaku leading sector berupaya memfasilitasi pertemuan-pertemuan dengan asosiasi profesi. Namun hingga saat ini diketahui bahwa asosiasi-asosiasi profesi tersebut belum mampu merumuskan request atau menjawab offer yang harus dilakukan pada akhir tahun 2004 ini. Asosiasi yang ada tersebut, selain dapat dikatakan belum mewakili profesi-profesi sejenis, juga belum bisa memenuhi kriteria yang dituntut untuk memperoleh pengakuan nasional dan internasional agar dapat melakukan request dan offer. Di pihak lain, kenyataan lapangan menunjukkan bahwa penempatan TKI di sektor formal tertentu ke beberapa Negara tertentu terus berlangsung, baik melalui jalur illegal maupun legal. Penempatan legal dalam hal ini berarti telah mendapat

description

seminar manajemen

Transcript of Post Test 3 (Kebijakan Bidang Ekonomi)

Page 1: Post Test 3 (Kebijakan Bidang Ekonomi)

Kebijakan Bidang Ekonomi, politik dan Hukum Untuk Memperkuat Perekonomian Indonesia Serta Peluang Dan Ancaman Yang Ditimbulkannya

Pemangku kepentingan yang berkaitan dengan upaya pemanfaatan kesempatan kerja

diluar negeri yang paling bertanggung jawab sebenarnya adalah Asosiasi Profesi, yang mewakili

profesi-profesi sejenis sebagai pengguna (user) dari program ini. Persoalannya adalah terletak

pada apakah Asosiasi Profesi kerja yang bersangkutan. Oleh karena itu sudah merupakan

kewajiban pemerintah (Depnakertrans dan instansi Pembina teknis) untuk memberdayakan

asosiasi-asosiasi tersebut dan menjadikannya sebagai mitra pemerintah dalam melakukan request

terhadap Negara lain ataupun menjawab offer dari Negara lain.

Menyikapi dan menghadapi berbagai putaran perundingan WTO, Depnakertrans selaku

leading sector berupaya memfasilitasi pertemuan-pertemuan dengan asosiasi profesi. Namun

hingga saat ini diketahui bahwa asosiasi-asosiasi profesi tersebut belum mampu merumuskan

request atau menjawab offer yang harus dilakukan pada akhir tahun 2004 ini. Asosiasi yang ada

tersebut, selain dapat dikatakan belum mewakili profesi-profesi sejenis, juga belum bisa

memenuhi kriteria yang dituntut untuk memperoleh pengakuan nasional dan internasional agar

dapat melakukan request dan offer.

Di pihak lain, kenyataan lapangan menunjukkan bahwa penempatan TKI di sektor formal

tertentu ke beberapa Negara tertentu terus berlangsung, baik melalui jalur illegal maupun legal.

Penempatan legal dalam hal ini berarti telah mendapat endorsement dari pemerintah secara

bilateral (G/P to G/P) dalam berbagai bentuk seperti minute of meeting, joint statement,

memorandum of understanding, atau joint agreement. Namun karena mekanisme bilateral yang

di-endorsed oleh pemerintah-pun tidak atau belum didasarkan atas MRA, sehingga TKI yang

ditempatkan tersebut kualifikasinya acapkali diturunkan (down-grated) dan atau perlindungannya

tidak secara optimal dilakukan oleh Negara mitra dagang. Artinya TKI tersebut secara

terselubung atau terbuka telah mendapat perlakuan yang diskriminatif.

Dengan kata lain Negara mitra dagang Indonesia (Sepanjang menjadi anggota WTO)

telah tidak memenuhi prinsip-prinsip yang didalam system perdagangan multilateral dikenal

sebagai:

A. Most-favoured Nations (MFN), yaitu bahwa Negara-negara tidak dapat begitu saja

mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Artinya suatu perlakuan yang telah

Page 2: Post Test 3 (Kebijakan Bidang Ekonomi)

diberikan kepada suatu Negara harus juga diberikan kepada Negara-negara mitra dagang

lainnya, serta

B. National Treatment, yaitu bahwa suatu Negara harus memberikan perlakuan yang sama

terhadap barang dan jasa (termasuk tenaga kerja profesi) baik produksi lokal maupun

impor,terutama setelah barang dan jasa (dalam hal ini TKI) tersebut memasuki pasar

domestik.

Untuk dapat membuktikan adanya perlakuan yang diskriminatif tersebut antara lain dapat

ditelusuri berdasarkan informasi dari pihak:

1. Perwakilan RI di Negara tersebut

2. PJTKI yang selama ini telah melakukan rekruitmen dan penempatan TKI ke

Negara tersebut, dan 

3. TKI yang bersangkutan atau LSM setempat yang berkepentingan dan mempunyai

jaringan internasional. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan untuk

otokoreksi dalam penyiapan calon TKI serta untuk perumusan klasifikasi berbagai

hambatan (barriers) yang perlu dirundingkan dengan Negara mitra dagang.

Dilain sisi memang kenyataan lapangan tersebut telah turut mengurangi beban

pengangguran di dalam negeri, serta bahkan secara relatif telah mengangkat taraf hidup TKI

yang bersangkutan dan keluarganya, tetapi peluang pasar kerja internasional masih belum dapat

dimanfaatkan secara optimal baik dari sisi jumlah maupun perlindungannya. 

Page 3: Post Test 3 (Kebijakan Bidang Ekonomi)

Ketentuan Hukum Mengenai Perizinan Tenaga Kerja Asing Dan Analisis Sintesisnya

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU

Ketenagakerjaan”) berlaku juga untuk Tenaga Kerja Asing (“TKA”). Hal ini dapat dilihat dari

definisi tenaga kerja danpekerja yang dikenal dalam UU Ketenagakerjaan yaitu:

 

Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan:

“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan  barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun

untuk masyarakat.”

                                                                     

Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan:

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain.”

 

Ini artinya, selama TKA itu bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain di

Indonesia, maka ia disebut sebagai pekerja/buruh sehingga berlaku pula ketentuan dalam UU

Ketenagakerjaan. Hal ini dipertegas dengan dikenalnya istilah Tenaga Kerja Asing

(“TKA”) dalamPasal 1 angka 13 UU Ketenagakerjaan:

 

“Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja

di wilayah Indonesia.”

 

Kewajiban TKA yang Resign

Sebelum menjawab pertanyaan Anda lebih jauh, kita perlu memahamikonsep mempekerjakan

TKA di Indonesia terlebih dahulu sebagaimana disebut dalam Pasal 42 ayat (4)  UU

Ketenagakerjaan:

 

“Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan

kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.”

 

Page 4: Post Test 3 (Kebijakan Bidang Ekonomi)

Di sini terlihat bahwa hubungan kerja TKA dengan pengusaha hanya dapat diperjanjikan dengan

Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (“PKWT”) atau yang dikenal dengan kerja dengan sistem

kontrak. Jika TKA dipekerjakan dengan sistem kontrak seperti ini, maka ada kewajiban baginya

jikaresign sebelum kontrak selesai, yaitu membayar ganti rugi sebesar sisa masa kontrak yang

tidak ia selesaikan.Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang

berbunyi:

 

“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya

jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau

berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan

membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai

batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”

Hak TKA yang Resign

Anda menyebut dua pasal dalam UU Ketenagakerjaan, yakni Pasal 162 ayat (1) UU

Ketenagakerjaan dan Pasal 154 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Perlu kami luruskan bahwa

tidak ada ayat (4) dalam Pasal 154 UU Ketenagakerjaan. Berikut bunyi lengkap Pasal 154 UU

Ketenagakerjaan:

 

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:

a.    pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan

secara tertulis sebelumnya;

b.    pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas

kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,

berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentuuntuk

pertama kali;

c.    pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-

undangan; atau

d.    pekerja/buruh meninggal dunia.

Page 5: Post Test 3 (Kebijakan Bidang Ekonomi)

 

Selanjutnya bunyi Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:

 

Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:

“Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang

penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

              

Jadi, kami asumsikan bahwa Anda keliru dalam mengetik nomor pasal. Di samping itu,

berangkat dari bunyi Pasal 162 ayat (1) itu sendiri yang berkaitan dengan Pasal 156 ayat (4) UU

Ketenagakerjaan, kami menyimpulkan bahwa maksud dari pasal yang Anda keliru dalam

pengetikan bukanlah Pasal 154 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, melainkanPasal 156 ayat (4) UU

Ketenagakerjaan, yakni soal Uang Penggantian Hak (“UPH”).

 

Perlu Anda ketahui, bagi pekerja dengan sistem PKWT seperti TKA tidak memiliki sejumlah

hak seperti pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau

dikenal dengan pekerja tetap saat resign. Untuk pekerja tetap yang resign memang tidak

mendapatkan pesangon, ia hanya berhak atas UPH sebagaimana terinci dalam Pasal 156 ayat (4)

UU Ketenagakerjaan.  

Namun, TKA yang dipekerjakan dengan sistem PKWT (pekerja kontrak) tidak berhak

atas sejumlah hak yang kami sebutkan di atas. Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam

Putusan Mahkamah Agung Nomor 595 K/Pdt.Sus/2010. Dalam perkara tersebut, Mahkamah

Agung menegaskan bahwa TKA hanya dapat dipekerjakan dengan sistem PKWT sehingga

ketika terjadi pemutusan hubungan kerja maka pihak yang memutuskan hubungan kerja harus

membayar ganti rugi berupa sisa gaji yang mesti dibayarkan hingga masa kontrak selesai.