Post Power
description
Transcript of Post Power
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menjalani masa tua dengan bahagia dan sejahtera, merupakan dambaan semua
orang. Keadaan seperti ini hanya dapat dicapai oleh seseorang apabila orang tersebut
merasa sehat secara fisik, mental dan sosial, merasa dibutuhkan, merasa dicintai,
mempunyai harga diri serta dapat berpartisipasi dalam kehidupan (Idris, Y. dkk.
2004).
Ada suatu penyakit kejiwaan yang terjadi dalam masyarakat yang sangat
ditakuti yaitu Post Power Syndrome. Fenomena ini biasanya muncul atau terjadi pada
orang-orang yang baru saja kehilangan kekuasaan maupun kelebihan-kelebihan
lainnya, baik karena pensiun, PHK, mutasi, kehilangan popularitas, atau karena sebab
lainnya. Pada saat tidak menjabat atau berkuasa dan tidak populer lagi, seketika itu
terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil yang biasanya bersifat
negative. Mereka kecewa terhadap hidup, karena yang bersangkutan tidak lagi
dihormati dan dipuja-puji seperti ketika masih berkuasa maupun saat memiliki
kelebihan-kelebihan lainnya. Kondisi ini disebut sebagai post power syndrome. Pada
gejala post power syndrome ini, khususnya adalah adanya gejala yang terjadi dimana
penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalu ( kekuasaannya,
karirnya,kecantikannya, ketampanannya, kepopulerannya, kecerdasannya, dll), dan
seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Ketika semua itu tidak
dimilikinya, maka timbullah berbagai gangguan psikis dan phisik yang semestinya
tidak perlu. Mereka bereaksi dan mendadak menjadi sangat sensitive dan merasa
hidupnya akan segera berakhir hanya karena masa kejayaannya telah berlalu
( Kartono, 1997).
Post power syndrome banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani
masa pensiun. Istilah tersebut muncul untuk mereka yang mengalami gangguan
psikologis saat memasuki waktu pensiun. Stress, depresi, tidak bahagia merasa
kehilangan harga diri dan kehormatan adalah beberapa hal yang dialami oleh mereka
yang terkena post power syndrome.
Lansia sangat membutuhkan sekali peran serta dari keluarga untuk menangani
masalah post power syndrome tersebut agar lansia dapat menjalani masa tuanya
dengan bahagia, mandiri dan terhindar dari kesulitan yang mungkin muncul. Keluarga
1
juga harus mempunyai pengetahuan tentang post power syndrome agar dapat
melakukan perawatan serta pembinaan pada lansia untuk membantu mengurangi
masalah yang dihadapi oleh lansia.
1.2 Rumusan Masalah
Pembahasan meet the expert “Post Power Syndrome” ini dibatasi pada
definisi, fungsi keluarga, fase penyesuaian diri saat pensiun, ciri-ciri orang yang
rentan, gejala, penyebab internal, penanganan dan pencegahan post power syndrome.
1.3 Tujuan Penulisan
Meet the expert “Post Power Syndrome” ini bertujuan untuk menambah
pengetahuan penulis dan pembaca tentang Post Power Syndrome.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini mengacu kepada beberapa literatur serta tinjauan
kepustakaan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Post Power Syndrome
Post Power Syndrome merupakan sekumpulan gejala yang muncul ketika
seseorang tidak lagi menduduki suatu posisi sosial yang biasanya satu jabatan
dalam institusi tertentu.
Kondisi Post syndrome terjadi bila seseorang mengalami pemutusan hubungan
kerja, sesudah masa jabatan berakhir, mengalami pensiun dini oleh berbagai sebab
atau usia kalendernya telah mencapai usia dimana orang bersangkutan harus
pensiun.
2.2 Pengaruh fungsi keluarga dalam postpower syndrome
Keluarga mempunyai pengaruh yang paling besar ketika terjadinya Post Power
Syndrome yang terjadi pada seseorang, berikut ini merupakan alasan mengapa
unit keluarga harus menjadi fokus sentral dari perawatan pada seseorang yang
menderita Post Power Syndrome.
1. Dalam unit keluarga, disfungsi apa saja yang mempengaruhi satu atau
lebih anggota keluarga, dan dalam hal tertentu, seringkali akan
mempengaruhi anggota keluarga yang lain dan unit ini secara
keseluruhan.
2. Ada semacam hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan
anggotanya, bahwa peran dari keluarga sangta penting bagi setiap aspek
perawatan kesehatan anggota keluarga secara individu, mulai dari strategi-
strategi hingga fase rehabilitasi.
3. Dapat mengangkat derajat kesehatan keluarga secara menyeluruh, yang
mana secara tidak langsung mengangkat derajat kesehatan dari setiap
anggota keluarga.
4. Dapat menemukan faktor – faktor resiko.
5. Seseorang dapat mencapai sesuatu pemahaman yang lebih jelas terhadap
individu – individu dan berfungsinya mereka bila individu – individu
tersebut dipandang dalam konteks keluarga mereka.
3
6. Mengingat keluarga merupakan sistem pendukung yang vital bagi
individu-individu, sumber dari kebutuhan-kebutuhan ini perlu dinilai dan
disatukan kedalam perencanaan tindakan bagi individu-individu.
2.3 Fase Penyesuaian Diri Pada Saat Pensiun
Penyesuaian diri pada saat pensiun merupakan saat yang sulit, dan terdapat
tiga fase proses pensiun:
1. Preretirement phase (fase pra pensiun)
Fase ini bisa dibagi pada 2 bagian lagi yaitu remote dan near. Pada
remote phase, masa pensiun masih dipandang sebagai suatu masa yang
jauh. Biasanya fase ini dimulai pada saat orang tersebut pertama kali
mendapat pekerjaan dan masa ini berakhir ketika orang terebut mulai
mendekati masa pensiun. Sedangkan pada near phase, biasanya orang
mulai sadar bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal
ini membutuhkan penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa perusahaan
yang mulai memberikan program persiapan masa pensiun.
2. Retirement phase (fase pensiun)
Masa pensiun ini sendiri terbagi dalam 4 fase besar, dan dimulai
dengan tahapan pertama yakni honeymoon phase. Periode ini biasanya
terjadi tidak lama setelah orang memasuki masa pensiun. Sesuai dengan
istilah honeymoon (bulan madu), maka perasaan yang muncul ketika
memasuki fase ini adalah perasaan gembira karena bebas dari pekerjaan
dan rutinitas. Biasanya orang mulai mencari kegiatan pengganti lain
seperti mengembangkan hobi.
Kegiatan inipun tergantung pada kesehatan, keuangan, gaya hidup dan
situasi keluarga. Lamanya fase ini tergantung pada kemampuan seseorang.
Orang yang selama masa kegiatan aktifnya bekerja dan gaya hidupnya
tidak bertumpu pada pekerjaan, biasanya akan mampu menyesuaikan diri
dan mengembangkan kegiatan lain yang juga menyenangkan. Setelah fase
ini berakhir maka akan masuk pada fase kedua yakni disenchatment
phase. Pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa kosong.
Untuk beberapa orang pada fase ini, ada rasa kehilangan baik itu
kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman kerja, aturan
tertentu. Pensiunan yang terpukul pada fase ini akan memasuki
4
reorientation phase, yaitu fase dimana seseorang mulai mengembangkan
pandangan yang lebih realistik mengenai alternatif hidup. Mereka mulai
mencari aktivitas baru. Setelah mencapai tahapan ini, para pensiunan akan
masuk pada stability phase yaitu fase dimana mereka mulai
mengembangkan suatu set kriteria mengenai pemilihan aktivitas, dimana
mereka merasa dapat hidup tentram dengan pilihannya.
3. End of retirement (fase pasca masa pensiun)
Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti
seseorang, ketidak-mampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan
yang sangat merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran
orang sakit yang membutuhkan orang lain untuk tempat bergantung.
2.4 Ciri-ciri orang yang rentan menderita post power syndrome
1. Orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang
permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain.
2. Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena
kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh
orang lain.
3. Orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada
kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap
orang lain. Istilahnya orang yang menganggap kekuasaan itu segala-
galanya atau merupakan hal yang sangat berarti dalam hidupnya.
4. Antara pria dan wanita, pria lebih rentan terhadap post power sindrome
karena pada wanita umumnya lebih menghargai relasi dari pada prestise,
prestise dan kekuasaan itu lebih dihargai oleh pria.
2.5 Gejala Post Power Syndrome
1. Gejala fisik, misalnya menjadi jauh lebih cepat terlihat tua tampaknya
dibandingkan waktu ia bekerja. Rambutnya didominasi warna putih
(uban), berkeriput, dan menjadipemurung, sakit-sakitan, tubuhnya
menjadi lemah
2. Gejala emosi, misalnya cepat tersinggung kemudian merasa tidak
berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin
bersembunyi, dan sebagainya.
5
3. Gejala perilaku, misalnya malu bertemu orang lain, lebih mudah
melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di
rumah atau di tempat yang lain.
2.6 Penyebab internal Post Power Syndrome
Turner & Helms (1983) menyatakan bahwa terdapat beberapa penyebab faktor
internal bagi pekembangannya PPS pada diri seseorang yang kehilangan jabatan
yaitu:
1. Kehilangan harga diri karena dengan hilangnya jabatan seseorang merasa
kehilangan perasaan memiliki dan yang dimiliki, artinya dengan jabatan
seseorang akan merasa menjadi bagian penting dari institusi, sehingga
juga merasa dimiliki oleh institusi. Dengan jabatan pula seseorang merasa
lebih yakindiri karena diakui kemampuannya.
2. Kehilangan latar belakang kelompok eksklusif misalnya kelompok
manager, kelompok kepala seksi, dan lain-lain.
3. Kehilangan perasaan berarti dalam satu kelompok tertentu. Jabatan
memberikan perasaan berarti yang menunjang peningkatan kepercayaan
diri seseorang.
4. Kehilangan orientasi kerja.
5. Kehilangan sebahagian sumber penghasilan yang terkait dengan jabatan
yang dipegang.
Penyebab internal tersebut tentu saja akan mengakibatkan berkembangnya
reaksi frustasi yang akan mengakibatkan mengembangkan sekumpulan gejala
psikososial yang antara lain ditandai oleh sensitif secara emosional seperti cepat
marah, cepat tersinggung, uring-uringan tanpa sebab jelas, gelisah, dan diliputi
kecemasan berlanjut.
Kemudian mendadak menjadi agresif dengan peningkatan intensitas
aktifitas yang tidak terkendali demi tercapainya pengakuan akan ekstitensi diri
dari lingkungan dimana orang tersebut berada. Kondisi psikis yang sedemikian
tegangnya akan berpengaruh terhadap ketegangan serta gangguan fungsi syaraf
otonom yang berpengaruh pada gangguan fisiologis berupa ganggguan
metabolisme tubuh, sehingga penyertaan reaksi somatisasi berupa aneka keluhan
fisik pun tidak terhindarkan.
6
Biasanya iklim relasi dalam keluarga pun menjadi terganggu karena
kecenderungan orang Post Power Syndrome menjadikan istri dan anak-anak
sebagai ajang pelampiasan kekuatan kekuasaan terdahulu terhadap anak buah saat
memangku jabatan. Orang ini akan menjadi otoriter, dominan dan sulit diajak
kompromi dalam relasi dengan anggota keluarga, sehingga sering meluncur
bentakan, makian, serta kemarahan tanpa terkendai ditujukan kepada anggota
keluarga.
Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Ericson mengenai
Perkembangan Psikososial Individu. Ia menggambarkan perkembangan
psikososial seseorang dalam delapan tahapan; infancy, early childhood, play age,
school age, adolescence, young adulthood, adulthood dan old age. Dan pensiun
adalah masa tua (old age). Sebagaimana masa yang lain, masa ini bisa menjadi
masa yang menyenangkan atau sebaliknya menyedihkan . Kekuatan di masa ini
adalah wisdom (kebijaksanaan) yang oleh Erikson digambarkan sebagai kondisi
kaya akan pemahaman dan obyektif terhadap kehidupan dalam menghadapi akhir
dari kehidupan itu sendiri. Kondisi seperti ini banyak berkaitan dengan
kematangan emosi, dan dukungan social yang meliputi dukungan keluarga, teman
maupun lingkungan atau lebih khusus lagi komunitas.
Dukungan sosial dapat menimbulkan pengaruh positif, seperti dapat
mengurangi kecemasan dan memelihara kondisi psikologis yang berada dalam
tekanan. Dukungan sosial bagi individu yang akan memasuki masa pensiun
merupakan hal yang penting, karena individu tersebut merasa dicintai,
diperhatikan dan merasa tidak sendirian dalam menghadapi masa pensiun, masa
pergantian peran.
2.7 Pencegahan Post Power Syndrome
Dengan demikian untuk mengatasi post power syndrome terdapat
beberapa tindakan preventif yang bisa dilakukan, yaitu :
1. Menyadari bahwa segala sesuatu tidak ada yang abadi. Pensiun adalah
proses yang mesti terjadi. Pensiun adalah salah satu fase dalam
perkembangan hidup, ia adalah siklus waktu yang sejatinya adalah alih
fungsi peran semata.
2. Menyadari bahwa kekuasaan, kepemilikan ada masanya. Ia tidak bersifat
permanen. Karenanya harus menyiapkan diri untuk suatu ketika kuasa
7
dan kepemilikan itu lepas dari diri kita dan menjadi giliran generasi
berikutnya.
3. Selalu berpikiran positif, selalu mengambil hikmah, bersyukur, dan selalu
mengikutsertakan Tuhan dalam setiap kehidupan . Dengan berpikiran
positif kita akan menarik energi positif ke kehidupan kita sehingga
menjadi tingkah laku yang positif.
4. Rencanakan pensiun beberapa bulan atau beberapa tahun sebelumnya
dengan pikiran yang jernih dan tenang.
5. Menjalin relasi untuk sebuah komunitas guna melakukan aktivitas sosial
yang menarik dan mulailah meniti karir di kehidupan pasca-pensiun
disertai optimisme bahwa hidup akan menjadi jauh lebih baik lagi dari
sebelumnya
6. Meningkatkan aktivitas yang dapat lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
Berdoa, meditasi, dan lainnya yang akan membuat hidup terasa lebih
damai dan tenang.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Post power syndrome memiliki definisi sekumpulan gejala yang muncul
ketika seseorang tidak lagi menduduki suatu posisi sosial yang biasanya satu jabatan
dalam institusi tertentu. Gejala post power syndrome seperti gejala fisik. penurunan
kekuatan fisik, pendengaran serta sensorik motorik yang menurun setelah pension,
gejala emosi, gejala perilaku. Perubahan perilaku setelah pensiun yaitu lebih banyak
berada di rumah dengan menonton TV dan waktu senggangnya diisi dengan tidur
siang.
Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan post power syndrome antara lain
kehilangan jabatan, kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif, kehilangan
kewibawaan dan perasaan berarti, kehilangan kontak sosial pada rekan kerja,
kehilangan sebagian sumber penghasilan.
Edukasi kepada keluarga tentang pengenalan gejala post power syndrome
secara dini serta penanganan ke depannya perlu diberikan oleh tenaga kesehatan,
adapun beberapa penanganan seperti selalu berpikiran positif, selalu mengambil
hikmah, bersyukur, dan selalu mengikutsertakan Tuhan dalam setiap kehidupan, serta
menjalin relasi untuk sebuah komunitas
9
DAFTAR PUSAKA
1. Idris, Y dkk. 2004. Buku pedoman upaya pembinaan kesehatan jiwa usia lanjut bagi petugas kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
2. Jacinta F.R. 2007. Pensiun dan pengaruhnya. http://www.e-psikologi.com. Diakses tanggal 19 September 2012.
3. Jattuningtias, Y. 2007. Hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri pada masa pensiun. http://www.library.gunadarma.com. Diakses tanggal 19 September 2012.
4. Wardhani, D. (2006). Post power syndrome. http// www.Wedang Jahe.com.5. Nasrun, M.W. 2007. Persiapan Mental untuk Pensiun. http://www.kompas.com.
Diakses tanggal 19 september 2012. 6. Setijani, T. 1998. Buku pegangan kader untuk penyuluhan kelompok Bina
Keluarga Lansia. Semarang :Kantor Wilayah BKKBN Propinsi Jawa Tengah.
10