Post Power

15
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjalani masa tua dengan bahagia dan sejahtera, merupakan dambaan semua orang. Keadaan seperti ini hanya dapat dicapai oleh seseorang apabila orang tersebut merasa sehat secara fisik, mental dan sosial, merasa dibutuhkan, merasa dicintai, mempunyai harga diri serta dapat berpartisipasi dalam kehidupan (Idris, Y. dkk. 2004). Ada suatu penyakit kejiwaan yang terjadi dalam masyarakat yang sangat ditakuti yaitu Post Power Syndrome. Fenomena ini biasanya muncul atau terjadi pada orang-orang yang baru saja kehilangan kekuasaan maupun kelebihan-kelebihan lainnya, baik karena pensiun, PHK, mutasi, kehilangan popularitas, atau karena sebab lainnya. Pada saat tidak menjabat atau berkuasa dan tidak populer lagi, seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil yang biasanya bersifat negative. Mereka kecewa terhadap hidup, karena yang bersangkutan tidak lagi dihormati dan dipuja-puji seperti ketika masih berkuasa maupun saat memiliki kelebihan-kelebihan lainnya. Kondisi ini disebut sebagai post power syndrome. Pada gejala post power syndrome ini, khususnya adalah adanya gejala yang terjadi dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalu ( kekuasaannya, karirnya,kecantikannya, ketampanannya, 1

description

REFRAT

Transcript of Post Power

Page 1: Post Power

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menjalani masa tua dengan bahagia dan sejahtera, merupakan dambaan semua

orang. Keadaan seperti ini hanya dapat dicapai oleh seseorang apabila orang tersebut

merasa sehat secara fisik, mental dan sosial, merasa dibutuhkan, merasa dicintai,

mempunyai harga diri serta dapat berpartisipasi dalam kehidupan (Idris, Y. dkk.

2004).

Ada suatu penyakit kejiwaan yang terjadi dalam masyarakat yang sangat

ditakuti yaitu Post Power Syndrome. Fenomena ini biasanya muncul atau terjadi pada

orang-orang yang baru saja kehilangan kekuasaan maupun kelebihan-kelebihan

lainnya, baik karena pensiun, PHK, mutasi, kehilangan popularitas, atau karena sebab

lainnya. Pada saat tidak menjabat atau berkuasa dan tidak populer lagi, seketika itu

terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil yang biasanya bersifat

negative. Mereka kecewa terhadap hidup, karena yang bersangkutan tidak lagi

dihormati dan dipuja-puji seperti ketika masih berkuasa maupun saat memiliki

kelebihan-kelebihan lainnya. Kondisi ini disebut sebagai post power syndrome. Pada

gejala post power syndrome ini, khususnya adalah adanya gejala yang terjadi dimana

penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalu ( kekuasaannya,

karirnya,kecantikannya, ketampanannya, kepopulerannya, kecerdasannya, dll), dan

seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Ketika semua itu tidak

dimilikinya, maka timbullah berbagai gangguan psikis dan phisik yang semestinya

tidak perlu. Mereka bereaksi dan mendadak menjadi sangat sensitive dan merasa

hidupnya akan segera berakhir hanya karena masa kejayaannya telah berlalu

( Kartono, 1997).

Post power syndrome banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani

masa pensiun. Istilah tersebut muncul untuk mereka yang mengalami gangguan

psikologis saat memasuki waktu pensiun. Stress, depresi, tidak bahagia merasa

kehilangan harga diri dan kehormatan adalah beberapa hal yang dialami oleh mereka

yang terkena post power syndrome.

Lansia sangat membutuhkan sekali peran serta dari keluarga untuk menangani

masalah post power syndrome tersebut agar lansia dapat menjalani masa tuanya

dengan bahagia, mandiri dan terhindar dari kesulitan yang mungkin muncul. Keluarga

1

Page 2: Post Power

juga harus mempunyai pengetahuan tentang post power syndrome agar dapat

melakukan perawatan serta pembinaan pada lansia untuk membantu mengurangi

masalah yang dihadapi oleh lansia.

1.2 Rumusan Masalah

Pembahasan meet the expert “Post Power Syndrome” ini dibatasi pada

definisi, fungsi keluarga, fase penyesuaian diri saat pensiun, ciri-ciri orang yang

rentan, gejala, penyebab internal, penanganan dan pencegahan post power syndrome.

1.3 Tujuan Penulisan

Meet the expert “Post Power Syndrome” ini bertujuan untuk menambah

pengetahuan penulis dan pembaca tentang Post Power Syndrome.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan referat ini mengacu kepada beberapa literatur serta tinjauan

kepustakaan.

2

Page 3: Post Power

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Post Power Syndrome

Post Power Syndrome merupakan sekumpulan gejala yang muncul ketika

seseorang tidak lagi menduduki suatu posisi sosial yang biasanya satu jabatan

dalam institusi tertentu.

Kondisi Post syndrome terjadi bila seseorang mengalami pemutusan hubungan

kerja, sesudah masa jabatan berakhir, mengalami pensiun dini oleh berbagai sebab

atau usia kalendernya telah mencapai usia dimana orang bersangkutan harus

pensiun.

2.2 Pengaruh fungsi keluarga dalam postpower syndrome

Keluarga mempunyai pengaruh yang paling besar ketika terjadinya Post Power

Syndrome yang terjadi pada seseorang, berikut ini merupakan alasan mengapa

unit keluarga harus menjadi fokus sentral dari perawatan pada seseorang yang

menderita Post Power Syndrome.

1. Dalam unit keluarga, disfungsi apa saja yang mempengaruhi satu atau

lebih anggota keluarga, dan dalam hal tertentu, seringkali akan

mempengaruhi anggota keluarga yang lain dan unit ini secara

keseluruhan.

2. Ada semacam hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan

anggotanya, bahwa peran dari keluarga sangta penting bagi setiap aspek

perawatan kesehatan anggota keluarga secara individu, mulai dari strategi-

strategi hingga fase rehabilitasi.

3. Dapat mengangkat derajat kesehatan keluarga secara menyeluruh, yang

mana secara tidak langsung mengangkat derajat kesehatan dari setiap

anggota keluarga.

4. Dapat menemukan faktor – faktor resiko.

5. Seseorang dapat mencapai sesuatu pemahaman yang lebih jelas terhadap

individu – individu dan berfungsinya mereka bila individu – individu

tersebut dipandang dalam konteks keluarga mereka.

3

Page 4: Post Power

6. Mengingat keluarga merupakan sistem pendukung yang vital bagi

individu-individu, sumber dari kebutuhan-kebutuhan ini perlu dinilai dan

disatukan kedalam perencanaan tindakan bagi individu-individu.

2.3 Fase Penyesuaian Diri Pada Saat Pensiun

Penyesuaian diri pada saat pensiun merupakan saat yang sulit, dan terdapat

tiga fase proses pensiun:

1. Preretirement phase (fase pra pensiun)

Fase ini bisa dibagi pada 2 bagian lagi yaitu remote dan near. Pada

remote phase, masa pensiun masih dipandang sebagai suatu masa yang

jauh. Biasanya fase ini dimulai pada saat orang tersebut pertama kali

mendapat pekerjaan dan masa ini berakhir ketika orang terebut mulai

mendekati masa pensiun. Sedangkan pada near phase, biasanya orang

mulai sadar bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal

ini membutuhkan penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa perusahaan

yang mulai memberikan program persiapan masa pensiun.

2. Retirement phase (fase pensiun)

Masa pensiun ini sendiri terbagi dalam 4 fase besar, dan dimulai

dengan tahapan pertama yakni honeymoon phase. Periode ini biasanya

terjadi tidak lama setelah orang memasuki masa pensiun. Sesuai dengan

istilah honeymoon (bulan madu), maka perasaan yang muncul ketika

memasuki fase ini adalah perasaan gembira karena bebas dari pekerjaan

dan rutinitas. Biasanya orang mulai mencari kegiatan pengganti lain

seperti mengembangkan hobi.

Kegiatan inipun tergantung pada kesehatan, keuangan, gaya hidup dan

situasi keluarga. Lamanya fase ini tergantung pada kemampuan seseorang.

Orang yang selama masa kegiatan aktifnya bekerja dan gaya hidupnya

tidak bertumpu pada pekerjaan, biasanya akan mampu menyesuaikan diri

dan mengembangkan kegiatan lain yang juga menyenangkan. Setelah fase

ini berakhir maka akan masuk pada fase kedua yakni disenchatment

phase. Pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa kosong.

Untuk beberapa orang pada fase ini, ada rasa kehilangan baik itu

kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman kerja, aturan

tertentu. Pensiunan yang terpukul pada fase ini akan memasuki

4

Page 5: Post Power

reorientation phase, yaitu fase dimana seseorang mulai mengembangkan

pandangan yang lebih realistik mengenai alternatif hidup. Mereka mulai

mencari aktivitas baru. Setelah mencapai tahapan ini, para pensiunan akan

masuk pada stability phase yaitu fase dimana mereka mulai

mengembangkan suatu set kriteria mengenai pemilihan aktivitas, dimana

mereka merasa dapat hidup tentram dengan pilihannya.

3. End of retirement (fase pasca masa pensiun)

Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti

seseorang, ketidak-mampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan

yang sangat merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran

orang sakit yang membutuhkan orang lain untuk tempat bergantung.

2.4 Ciri-ciri orang yang rentan menderita post power syndrome

1. Orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang

permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain.

2. Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena

kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh

orang lain.

3. Orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada

kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap

orang lain. Istilahnya orang yang menganggap kekuasaan itu segala-

galanya atau merupakan hal yang sangat berarti dalam hidupnya.

4. Antara pria dan wanita, pria lebih rentan terhadap post power sindrome

karena pada wanita umumnya lebih menghargai relasi dari pada prestise,

prestise dan kekuasaan itu lebih dihargai oleh pria.

2.5 Gejala Post Power Syndrome

1. Gejala fisik, misalnya menjadi jauh lebih cepat terlihat tua tampaknya

dibandingkan waktu ia bekerja. Rambutnya didominasi warna putih

(uban), berkeriput, dan menjadipemurung, sakit-sakitan, tubuhnya

menjadi lemah

2. Gejala emosi, misalnya cepat tersinggung kemudian merasa tidak

berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin

bersembunyi, dan sebagainya.

5

Page 6: Post Power

3. Gejala perilaku, misalnya malu bertemu orang lain, lebih mudah

melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di

rumah atau di tempat yang lain.

2.6 Penyebab internal Post Power Syndrome

Turner & Helms (1983) menyatakan bahwa terdapat beberapa penyebab faktor

internal bagi pekembangannya PPS pada diri seseorang yang kehilangan jabatan

yaitu:

1. Kehilangan harga diri karena dengan hilangnya jabatan seseorang merasa

kehilangan perasaan memiliki dan yang dimiliki, artinya dengan jabatan

seseorang akan merasa menjadi bagian penting dari institusi, sehingga

juga merasa dimiliki oleh institusi. Dengan jabatan pula seseorang merasa

lebih yakindiri karena diakui kemampuannya.

2. Kehilangan latar belakang kelompok eksklusif misalnya kelompok

manager, kelompok kepala seksi, dan lain-lain.

3. Kehilangan perasaan berarti dalam satu kelompok tertentu. Jabatan

memberikan perasaan berarti yang menunjang peningkatan kepercayaan

diri seseorang.

4. Kehilangan orientasi kerja.

5. Kehilangan sebahagian sumber penghasilan yang terkait dengan jabatan

yang dipegang.

Penyebab internal tersebut tentu saja akan mengakibatkan berkembangnya

reaksi frustasi yang akan mengakibatkan mengembangkan sekumpulan gejala

psikososial yang antara lain ditandai oleh sensitif secara emosional seperti cepat

marah, cepat tersinggung, uring-uringan tanpa sebab jelas, gelisah, dan diliputi

kecemasan berlanjut.

Kemudian mendadak menjadi agresif dengan peningkatan intensitas

aktifitas yang tidak terkendali demi tercapainya pengakuan akan ekstitensi diri

dari lingkungan dimana orang tersebut berada. Kondisi psikis yang sedemikian

tegangnya akan berpengaruh terhadap ketegangan serta gangguan fungsi syaraf

otonom yang berpengaruh pada gangguan fisiologis berupa ganggguan

metabolisme tubuh, sehingga penyertaan reaksi somatisasi berupa aneka keluhan

fisik pun tidak terhindarkan.

6

Page 7: Post Power

Biasanya iklim relasi dalam keluarga pun menjadi terganggu karena

kecenderungan orang Post Power Syndrome menjadikan istri dan anak-anak

sebagai ajang pelampiasan kekuatan kekuasaan terdahulu terhadap anak buah saat

memangku jabatan. Orang ini akan menjadi otoriter, dominan dan sulit diajak

kompromi dalam relasi dengan anggota keluarga, sehingga sering meluncur

bentakan, makian, serta kemarahan tanpa terkendai ditujukan kepada anggota

keluarga.

Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Ericson mengenai

Perkembangan Psikososial Individu. Ia menggambarkan perkembangan

psikososial seseorang dalam delapan tahapan; infancy, early childhood, play age,

school age, adolescence, young adulthood, adulthood dan old age. Dan pensiun

adalah masa tua (old age).  Sebagaimana masa yang lain, masa ini  bisa menjadi

masa yang menyenangkan atau sebaliknya menyedihkan .  Kekuatan di masa ini

adalah wisdom (kebijaksanaan) yang oleh Erikson digambarkan sebagai kondisi

kaya akan pemahaman dan obyektif terhadap kehidupan dalam menghadapi akhir

dari kehidupan itu sendiri. Kondisi seperti ini banyak berkaitan dengan

kematangan emosi, dan dukungan social yang meliputi dukungan keluarga, teman

maupun  lingkungan atau lebih khusus lagi komunitas.

Dukungan sosial dapat menimbulkan pengaruh positif,  seperti dapat

mengurangi kecemasan dan memelihara kondisi psikologis yang berada dalam

tekanan. Dukungan sosial bagi individu yang akan memasuki masa pensiun

merupakan hal yang penting, karena individu tersebut merasa dicintai,

diperhatikan dan merasa tidak sendirian dalam menghadapi masa pensiun, masa

pergantian peran.

2.7 Pencegahan Post Power Syndrome

Dengan demikian untuk mengatasi post power syndrome terdapat

beberapa tindakan preventif yang bisa dilakukan, yaitu :

1. Menyadari bahwa segala sesuatu tidak ada yang abadi. Pensiun adalah

proses yang mesti terjadi. Pensiun adalah salah satu fase dalam

perkembangan hidup, ia adalah siklus waktu yang sejatinya adalah  alih

fungsi peran semata.

2. Menyadari bahwa kekuasaan, kepemilikan ada masanya. Ia tidak bersifat

permanen. Karenanya  harus menyiapkan diri untuk suatu ketika kuasa

7

Page 8: Post Power

dan kepemilikan itu lepas dari diri kita dan menjadi giliran generasi

berikutnya.

3. Selalu berpikiran positif, selalu mengambil hikmah, bersyukur, dan selalu

mengikutsertakan Tuhan dalam setiap kehidupan .  Dengan berpikiran

positif kita akan menarik energi positif ke kehidupan kita sehingga

menjadi tingkah laku yang positif.

4. Rencanakan pensiun beberapa bulan atau beberapa tahun sebelumnya

dengan pikiran yang jernih dan tenang. 

5. Menjalin relasi untuk sebuah komunitas guna melakukan aktivitas sosial

yang menarik dan mulailah meniti karir di kehidupan pasca-pensiun

disertai optimisme bahwa hidup akan menjadi jauh lebih baik lagi dari

sebelumnya

6. Meningkatkan aktivitas yang dapat lebih mendekatkan diri pada Tuhan.

Berdoa, meditasi, dan lainnya yang akan membuat hidup terasa lebih

damai dan tenang.

8

Page 9: Post Power

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Post power syndrome memiliki definisi sekumpulan gejala yang muncul

ketika seseorang tidak lagi menduduki suatu posisi sosial yang biasanya satu jabatan

dalam institusi tertentu. Gejala post power syndrome seperti gejala fisik. penurunan

kekuatan fisik, pendengaran serta sensorik motorik yang menurun setelah pension,

gejala emosi, gejala perilaku. Perubahan perilaku setelah pensiun yaitu lebih banyak

berada di rumah dengan menonton TV dan waktu senggangnya diisi dengan tidur

siang.

Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan post power syndrome antara lain

kehilangan jabatan, kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif, kehilangan

kewibawaan dan perasaan berarti, kehilangan kontak sosial pada rekan kerja,

kehilangan sebagian sumber penghasilan.

Edukasi kepada keluarga tentang pengenalan gejala post power syndrome

secara dini serta penanganan ke depannya perlu diberikan oleh tenaga kesehatan,

adapun beberapa penanganan seperti selalu berpikiran positif, selalu mengambil

hikmah, bersyukur, dan selalu mengikutsertakan Tuhan dalam setiap kehidupan, serta

menjalin relasi untuk sebuah komunitas

9

Page 10: Post Power

DAFTAR PUSAKA

1. Idris, Y dkk. 2004. Buku pedoman upaya pembinaan kesehatan jiwa usia lanjut bagi petugas kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.

2. Jacinta F.R. 2007. Pensiun dan pengaruhnya. http://www.e-psikologi.com. Diakses tanggal 19 September 2012.

3. Jattuningtias, Y. 2007. Hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri pada masa pensiun. http://www.library.gunadarma.com. Diakses tanggal 19 September 2012.

4. Wardhani, D. (2006). Post power syndrome. http// www.Wedang Jahe.com.5. Nasrun, M.W. 2007. Persiapan Mental untuk Pensiun. http://www.kompas.com.

Diakses tanggal 19 september 2012. 6. Setijani, T. 1998. Buku pegangan kader untuk penyuluhan kelompok Bina

Keluarga Lansia. Semarang :Kantor Wilayah BKKBN Propinsi Jawa Tengah.

10