post op TACE.docx

22
MAKALAH RADIOLOGI KOMPLIKASI DAN TATA LAKSANA POST-OPERASI TRANSCATHETER ARTERIAL CHEMOEMBOLIZATION (TACE) Disusun oleh: Ayudyah Rachmawati Wibisana 13449 Karina Arifiani 13841 Kirana Kusumawardhani 14123 Sree Shantha Kumaran 14139 M Yogi Prandani 13610 Irfan Muslimin 13172 Emanuel Felicia 13589 Sanindita Kusumastuti 13633

Transcript of post op TACE.docx

MAKALAH RADIOLOGIkomplikasi dan tata laksana post-operasi Transcatheter Arterial Chemoembolization (TACE)

Disusun oleh:Ayudyah Rachmawati Wibisana13449Karina Arifiani13841Kirana Kusumawardhani14123Sree Shantha Kumaran14139M Yogi Prandani13610Irfan Muslimin13172Emanuel Felicia13589Sanindita Kusumastuti13633

Fakultas KedokteranUniversitas Gadjah MadaYogyakarta

2015

2

Berikut adalah beberapa contoh efek samping post TACE dan pembahasannya :

1. Post-Embolization SyndromePostembolization Syndrome (PES) adalah sekelompok gejala yang meliputi : sakit demam nyeri di perut bagian kanan atas, di bawah tulang rusuk mual dan muntah kelelahan PES sangat umum dan telah dilaporkan terjadi pada hampir mencapai 90% dari pasien yang menjalani TACE (Leung et al, 2001). Meskipun etiologi PES tidak diketahui, penyebabnya diperkirakan multifaktorial. Satu hipotesis umum adalah bahwa PES adalah hasil dari iskemik dan nekrosis tumor disamping respon antiinflamasi terhadap agen kemoterapi yang sebenarnya. Kontributor potensial lain untuk terjadinya PES berhubungan dengan komplikasi dari TACE: ekstrahepatik, agen kemoterapi embolisasi yang mengenai nontarget. Agen kemoterapi dapat secara tidak sengaja diarahkan ke mukosa gastrointestinal melalui lambung atau cabang-cabang duodenum, ke dalam kantung empedu melalui arteri cystica, ke diafragma melalui a. phrenicus atau ke kulit melalui a. falciformis, yang semuanya dapat menyebabkan PES (Sakamoto et al, 1998).Karena PES dapat pulih dengn diri sendirinya, standar pengobatan perawatan yang dibutuhkan hanya mencakup antiemetik intravena dan oral, penghilang rasa sakit, dan/atau hidrasi, yang semuanya digunakan untuk mengobati gejala-gejala pasien sampai resolusi yang cukup baik. Perubahan diet sering dibutuhkan, karena pasien tidak dapat mentoleransi asupan oral dikarenakan mual dan kehilangan nafsu makan (Dhand et al, 2011). Secara umum, pasien dengan PES tidak memerlukan pemeriksaan radiologis, dan dokter yang berpartisipasi dalam perawatan pasien chemoembolization harus dididik untuk menghindari biaya pengobatan yang tidak perlu (Chung et al, 1996).

2. Acess Site InjuriesSelama TACE, tabung tipis (kateter) masuk melalui arteri di paha bagian dalam, sampai ke hepar. Beberapa orang mungkin memiliki efek samping di situs kateter sayatan yang berupa rasa sakit, memar, keluar darah, hematoma, maupun infeksi. Akan tetapi, karena prosedur TACE dapat dilakukan melalui kateter diagnostik kaliber kecil (4-5 French) dan mikrokateter, penempatan selubung berdiameter besar di lokasi akses jarang diperlukan. Sehingga, komplikasi yang berhubungan dengan lokasi akses tusukan jarang terjadi. Situs akses hematoma paling sering ditemui dan terjadi pada 2% pasien. Pseudoaneurysm arteri dan fistula arteriovenous jarang terjadi dan dapat diminimalkan dengan perencanaan secara teliti pada insersi di lokasi tusukan untuk menghindari bagian di atas ligamen inguinal atau arteri femoralis superfisial. Beberapa rumah sakit telah mengadopsi penggunaan rutin perangkat penutupan arteri setelah TACE untuk memungkinkan ambulasi lebih cepat dan membatasi durasi imobilitas yang dibutuhkan setelah prosedur (Clark, 2006).

3. AcitesBeberapa orang akan mengalami ascites setelah prosedur TACE. Ascites merupakan terkumpulnya cairan di rongga peritoneal, yang muncul saat tubuh memproduksi cairan lebih cepat dari kemampuannya untuk mengekskresikannya. Trans Arterial Chemo Embolization membunuh sel kanker dengan memblok suplai darah ke sel tumor, namun sel-sel sehat di bagian yang sama juga dapat mengalami hal yang sama (Chung, et al., 1998). Aliran darah ke liver berubah dengan prosedur TACE, dan menurunkan kemampuan liver untuk mengeliminasi cairan keluar tubuh (Huang, et al., 2002).Ascites terjadi dikarenakan gangguan sel hepar dan merupakan salah satu tanda dekompensasi akut. Pada satu studi di Eropa sekitar 60% pasien mengalami satu episode acute liver failure. Sedangkan pada studi lain dekompensasi hepar akut reversibel terjadi 20% dengan hanya 3 pasien terjadi ascites. Studi di mesir, manifestasi ascites, jaundice dan perdarahan muncul pada 87% pasien dimana 15% berkembang menjadi kegagalan sel hepar. Ascites juga terjadi pada komplikasi post TACE seperti dekompensasi cirrhosis. Dekompensasi dari hepar yang sudah cirrhosis sering terjadi pada dua minggu post TACE. Pada satu studi terdapat dekompensasi cirrhosis sebesar 7,5% dimana ascites muncul pada 16,6% pasien dengan perburukan ascites dan perdarahan dan 33,3% pasien dengan perburukan ascites saja (Tasneem et al, 2013). Faktor resiko dekompensasi hepar akut yang ireversibel setelah TACE adalah dosis tinggi cisplatin, basal level bilirubin tinggi, protrombin time memanjang dan keparahan cirrhosis (Chan et al, 2002)Pada pasien dengan HCC dan ascites, prosedur TACE memiliki angka mortalitas yang tinggi. Gagal hepar post TACE merupakan kejadian yang sering dan dapat menjadi prediktor turunnya angka survival pada pasien dengan HCC dan ascites (Hsin, et al.,2011).Diet restriksi sodium (2000mg/hari) dan diuretik merupakan manajemen standar untuk ascites. Diuretik yang biasanya digunakan adalah dosis tunggal spironolacton atau furosemide. Inisial dosis spironolactan 100 mg dan furosemide 40 mg, dapat ditingkatkan jika perbaikan ascites tidak adekuat dan diturunkan jika ascites sudah tertangani. Pada ascites yang cukup berat, perlu dilakukan parasentesis yakni melakukan pungsi pada abdomen untuk mengeluarkan cairan di rongga peritoneal. Paracentesis dapat dilakukan terutama jika pasien membutuhkan penanganan cepat, ascites refrakter, atau ascites yang sampai membuat perut sangat teregang (Sola-Vera, et al., 2004). Pemberian 5 gram albumin per liter jika cairan yang dikeluarkan lebih dari 5 liter menurunkan komplikasi paracentesis seperti ketidakseimbangan elektrolit dan naiknya angka kreatinin sebagai efek dari pergeseran cairan intravaskular dalam jumlah besar (Runyon, 2012).

Pilihan terapi Cirrhosis dan Acites (Runyon, 2012)Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) merupakan teknik radiologi intervensi yang mengurangi tekanan portal dan mungkin merupakan terapi paling efektif pada pasien ascites yang resisten terhadap obat. Sebuah stent dimasukkan secara perkutan dari vena jugularis kanan sampai ke vena hepatika. Dengan demikian terbentuk hubungan antara sistem portal dan sistemik (Garcia-Tsao, 2011).

4. Permasalahan pada paruSeperti yang telah diketahui, komplikasi post-TACE dibagi menjadi komplikasi vascular dan non-vascular. Contoh komplikasi vascular pada paru adalah emboli pada paru.Embolisasi dari embolan yang digunakan (dalam hal ini lipiodol) pada paru dapat terjadi melalui portovenous shunting ataupun arteriovenous shunting (Yamaura, et al., 2000). Hal ini bisa saja tidak terdeteksi pada saat TACE. Kasus ringan pada emboli lipiodol bisa saja asimtomatik dan terdeteksi tidak sengaja melalui CT dengan atenuasi tinggi pada paru (). Jika terjadi emboli yang lebih besar pada paru dapat menyebabkan pneumonitis kimiawi dan dapat berakibat fatal (Chung, et al., 1998). Volume lipiodol yang berjumlah lebih dari 20 mL merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya emboli pada paru (Kwok, et al., 2003). Pasien dengan tumor yang disuplai oleh kolateral ekstrahepatal memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya emboli pada paru oleh lipiodol (Tajima, et al., 2002).Partikel emboli pada paru bisa saja merupakan partikel yang diameternya kecil, batas aktual terendah yang dapat menyebabkan emboli paru belum diketahui, dan apakah penggunaan partikel mikro menyebabkan angka emboli paru yang lebih besar juga masih dipertanyakan (Brown, 2004).Contoh komplikasi non-vaskular yang dapat terjadi adalah terjadinya abses di paru setelah tace walaupun kasusnya sangat jarang (Cubiella, et al., 2007)

5. Liver AbcessTransarterial chemoembolization (TACE) telah menjadi terapi minimal invasif untuk hepatocellular carcinoma (HCC) dan tumor sekunder pada hepar. Telah terbukti aman dan efektif sebagai terapi untuk HCC, tumor neuro endocrine, melanoma ocular, cholangiocarcinoma dan sarcoma, namun komplikasi yang dapat muncul dari prosedur TACE, yakni : Self-limiting post-embolization syndrome (nyeri, mual, mutah, demam), Infark Hepar, Hepar failure, Formasi Biloma, Perdarahan GIT, Septicemia, Embolisme Pulmo Abses Hepar (Cheng, 2011).Abses hepar akibat prosedur TACE merupakan komplikasi yang cukup jarang namun sangat serius secara morbiditas dan mortalitas, persentase kejadian abses hepar pada prosedur TACE berkisar 0.2-4.5%. Mendiagnosa abses hepar pasca prosedur TACE cukup menyulitkan karena gejala mirip dengan post-embolization syndrome yakni mual, muntah, demam, nyeri abdomen dan leukositosis. Namun pada post-embolization syndrome gejala akan menghilang dalam kurun waktu 1 minggu, sedangkan gejala abses hepar akan terus berlanjut (Cheng, 2011).Abses hepar adalah penumpukan jaringan nekrotik dalam suatu rongga patologi yang dapat bersifat soliter atau multipel pada jaringan hepar. Kelainan tersebut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit, maupun jamur yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi di dalam parenkim hepar (Sudoyo, 2006).Gambaran klasik abses hepar adalah nyeri perut terutama kuadran kanan atas (92%), demam yang naik turun disertai menggigil (69%), penurunan berat badan (42%), muntah (43%), ikterus (21%) dan nyeri dada saat batuk (51%). Awitan abses soliter cenderung bertahap dan seringkali kriptogenik. Abses multipel berhubungan dengan gambaran sistemik akut dan penyebabnya lebih bisa diidentifikasi. Hepar teraba membesar dan nyeri bila ditekan pada 24% kasus. Adanya hepatomegali disertai nyeri pada palpasi merupakan tanda klinis yang paling dapat dipercaya (Prianti et al, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Woo et al, 2012. Terdapat faktor-faktor yang akan meningkatkan kejadian abses hepar dari sisi pasien, karakteristik tumor dan metode TACE :a. Diabetes mellitusb. Child-Pugh classc. Leukopeniad. Jumlah tumore. Ukuran maksimal tumorf. Tipe tumor (HCC atau metastasis)g. Particulate embolizationh. Degree of Embolization selectivityi. Achievement of oily portogram, danj. Pilihan obat antibiotik prophylaxis untuk metode TACEResiko abses hepar setelah TACE muncul akibat infark di hepar, sejumlah infark pada daerah yang nekrotik kemungkinan akan terjadi. Abses yang terjadi diakibatkan karena kolonisasi dari bakteri enteric atau bakteria exogen yang masuk saat prosedur TACE. Lebih dari 60% organisme penyebab adalah gram positif (Vanderwalde, 2009).Mekanisme terjadinya abses hepar ialah terjadinya nekrosisasi pada daerah tumor hepar yang telah terjadi devaskularisasi, pada mekanisme lainnya ialah pasien dengan kolonisasi kronik pada traktus bilier oleh organisme enterik. Kemungkinan terjadinya abses hepar juga terkait TACE ialah setelah bedah rekontrukif sistem bilier, pasien yang telah menjalani bedah rekontruktif bilier akan mengalami penurunan sterilitas dari sistem bilier dan mengakibatkan peningkatan resiko abses hepar (Clark, 2006). Insidensi kejadian abses hepar secara signifikan meningkat pada pasien dengan leukopenia dan pada pasien yang muncul abses hepar pada sesi pertama TACE (Cheng, 2011). Hampir semua kasus abses hepar dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan. Kedua teknik pencitraan ini dapat menentukan lokasi abses yang berukuran minimal 1 cm di parenkim hepar. Abses hepar didefinisikan sebagai lesi hypoattenuating dengan peripheral rim enhancement pada gambaran CT scan. Diagnosis abses hepar bila pada pasien ditemukan salah satu dari tiga yaitu kultur darah atau aspirat, menunjukkan adanya bakteria, aspirasi dari drainase percutan menunjukkan tampakan purulensi, Suhu tubuh lebih dari 38.5 oC setidaknya 5 hari dengan angka leukosit lebih dari 12x 109/L tanpa ada sebab lain (Woo et al, 2012).Banyak studi terkait TACE memberikan antibiotic profilatik, umumnya antibiotic broad-spectrum diberikan sejak beberapa jam sebelum prosedur TACE dan dilanjutkan 3-7 hari setelah prosedur TACE (Vanderwalde, 2009). Abses hepar memerlukan terapi antibiotik dan drainase abses. Antibiotik parenteral spektrum luas yang secara empiris mampu mematikan bakteri gram negatif, bakteri anaerob dan Streptococcus, harus segera diberikan setelah diagnosis abses ditegakkan. Antibiotik yang diberikan terdiri dari golongan penisilin, aminoglikosid dan metronidazol yang efektif melawan E. coli, K.pneumonia, bakteriodes, enterokokus, dan streptokokus anaerob. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, lebih baik diberikan golongan sefalosporin daripada aminoglikosida. Terapi empiris ini diberikan sambil menunggu hasil biakan bakteri, yang kemudian dapat diganti sesuai dengan hasil biakan dan uji resistensi. Terapi antibiotik diberikan selama 2-4 minggu tergantung dari jumlah abses, respons klinis dan toksisitas antibiotik yang dipilih (Sudoyo, 2006).

6. Hepatic FailureHasil tes fungsi hepar akan meningkat secara abnormal segera setelah TACE, karena prosedurnya menyebabkan perubahan pada jaringan hati. Fungsi hepar kembali normal dalam waktu seminggu setelah TACE dilakukan. Tes fungsi hepar yang abnormal jangka panjang yang langka dan mungkin merupakan tanda dari gagal hepar (Grennon, 2011).Kombinasi peningkatan laktat dehidrogenase > 425 mU/mL, transaminase aspartat > 100 mL, serum beban bilirubin > 2 mg/dL, dan tumor > 50% dari volume hepar banyak digunakan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi untuk gagal hepar setelah prosedur TACE (Clark, 2006). Pasien dengan trombosis vena portal memiliki risiko gagal hepar yang lebih tinggi, tetapi pasien tersebut masih bisa diobati ketika aliran kolateral yang memadai ada untuk yang liver (Pentecost, 1993). Dalam prakteknya, TACE dikerjakan dengan superselective mode ketika terjadi trombosis vena portal, dengan menggunakan pengurangan jumlah chemoembolic yang campuran (Clark, 2006).

7. Tumor Lysis syndromeTumor lysis syndrome (TLS) merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi setelah prosedur kemoterapi yang biasa ditemukan pada pasien keganasan hematologi seperti leukemia dan limfoma. TLS terjadi sebagai akibat dari pelepasan kompenen intraseluler sel tumor yang lisis berupa produk metabolik yang bersifat toksik ke dalam peredaran darah akibat efek pengobatan kemoterapi. TLS terjadi secara akut dan termasuk kasus kegawatdaruratan pada pasien onkologi karena dapat menyebabkan gagal ginjal akut hingga kematian. Oleh karena itu mengenali tanda-tanda TLS dan memberikan penanganan secara efektif dapat bersifat life-saving pada pasien (Hsieh, et al., 2009). Kejadian TLS pada pasien post-TACE memang jarang terjadi, namun kemungkianannya tetap ada dan biasanya bersifat letal. Walau jarang terjadi pada kasus tumor solid dewasa, namun kanker payudara, paru, hepar, medullablastoma, hingga hepatoma dilaporkan dapat menyebabkan kejadian TLS (Hsieh, et al., 2009). Pada pasien dengan kanker hepar di mana TACE menjadi salah satu pilihan terapi yang diberikan pada pasien, hanya terdapat 7 kasus kejadian TLS post-TACE yang pernah dilaporkan (Lee, et al., 2013). Dalam hal ini, TLS biasa terjadi 48-72 jam post-TACE. Komplikasi seperti gagal ginjal akibat prosedur TACE terjadi pada 3%-8% untuk setiap prosedur yang dilakukan (Huo, et al., 2004)Secara umum, pada tumor yang memiliki laju proliferasi yang tinggi, ukuran yang relatif besar, serta sensitivitas yang tinggi terhadap agen sitotoksik, pemberian terap dapat menyebabkan pelepasan sejumlah senyawa berupa anion, kation, serta produk metabolik protein dan asam nukleat intraseluler tumor ke dalam peredaran darah. Pelepasan senyawa-senyawa tersebut,seperti asam urat, kalsium, fosfat, kalium, dan urea terjadi secara cepat dan dalam jumlah besar yang mengakibatkan tubuh kesulitan memproses dan mengeluarkan senyawa-senyawa tersebut. Akibat dari perubahan keseimbangan metabolit dan homeostasis tubuh memunculkan manifestasi klinis dari TLS (Howard, et al., 2011). Hiperurikemia merupakan manifestasi yang paling sering terjadi pada TLS. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari pelepasan produk metabolisme asam nukleat berupa purin dari sel tumor. Purin akan mengalami metabolisme dan diubah menjadi xanthine atau hypoxanthine yang oleh xanthine oxidase akan diubah lagi menjadi asam urat. Asam urat inilah yang akan meningkat kadarnya di dalam darah karenanya sifatnya yang low urinary excretion. Penanganan hiperurikemia perlu dilakukan segera sebab ia dapat mengakibatkan komplikasi lain seperti gagal ginjal akut. Hiperfosfatemia merupakan manifestasi lain yang terjadi pada TLS sebagai akibat dari pelepasan fosfat dari sel tumor yang cenderung memiliki kadar fosfat hingga 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan sel normal pada umumnya. Kondisi ini juga dapat mengakibatkan gagal ginjal akut terutama akibat pengendapan kalsium pada tubulus renal yang akhirnya akan menyebabkan penurunan kadar serum kalsium atau hipokalsemia sekunder. Kejadian gagal ginjal pada hiperurikemia dan hiperfosfatemia merupakan akibat dari pembentukan endapan kalsium-fosfat dan asam urat pada ginjal yang dapat menyebabkan sindrom uropati obstruktif akut. Manifestasinya dapat termasuk peningkatan kadar urea dan kreatinin darah akibat gangguan fungsi ginal, edema, hipertensi, gagal jantung kongesti, dan gangguan metabolic akut lainnya. Hipokalsemia merupakan salah satu manifestasi yang berbahaya karena dapat menyebabkan severe muscle cramping, tetani, dan aritmia jantung termasuk asistol, ventrikel takikardi maupun fibrilasi, sinkop, hingga kematian (Locatelli & Fossi, 2005; Howard, et al., 2011). Hiperkalemia merupakan manifestasi lain yang dapat terjadi pada TLS akibat ketidakmampuan ginjal untuk memfiltrasi kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah. Manifestasinya melibatkan gejala neuromuskular, seperti keram, parestesis, hingga paralisis, serta aritmia jantung dan henti jantung (cardiac arrest). Klasifikasi TLS dapat dibedakan berdasarkan temuan laboratorium (Laboratory TLS/LTLS) ataupun berdasarkan manifestasi klinisnhya (Clinical TLS/CTLS). Klasifikasi ini awalnya digunakan untuk menentukan pemberian intervensi farmakologi pada pasien dengan limfoma non-Hodgkin yang mengalami TLS (Hande & Garrow, 1993 dalam Hochberg & Cairo, 2008). Klasifikasi ini kemudian dikembangkan lagi oleh Cairo-Bishop yang mendefinisikan LTLS dan CTLS di mana paien dinyatakan mengalami LTSL apabila terdapat 2 atau lebih kadar serum yang diukur (termasuk urea, kreatinin, asam urat, fosfat, kalsium, kalium, dan albumin) mengalami peningkatan di atas kadar normal atau jika terdapat perubahan kadar sebanyak 25% dari kadar normal dalam waktu 3 hari hingga sebelum 7 hari setelah kemoterapi diberikan. Sedangkan CTLS didefinisikan apabila pasien memiliki LTLS dan diikuti oleh salah satu atau lebih dari gejala berikut: insufisiensi renal (ditandai dengan peningkatan kadar kreatinini sebanyak 1,5 kali lipat dari kadar normal), aritmia jantung (hingga sudden cardiac arrest), dan kejang.Prinsip penanganan TLS terletak pada penilaian faktor resiko terjadinya TLS, implementasi pemberian profilaksis, monitoring kadar elektrolit pasien secara cermat selama prosedur kemoterapi, dan pemberian tatalaksana dari TLS itu sendiri secara efektif dan efisien ketika diperlukan. Evaluasi faktor resiko pre-TACE termasuk ukuran tumor, progresivitas pertumbuhan tumor, dan pemantauan fungsi ginjal perlu dilakukan mengingat insufiensi gagal ginjal akibat kontras yang digunakan selama prosedur TACE juga dapat terjadi (Hsieh, et al., 2009; Lee, et al., 2013). Pasien yang menerima prosedur TACE dengan tumor solid, kaya vaskularisasi, dan TACE dengan embolisasi komplit juga harus dimonitor secara ketat untuk kejadian TLS mengingat resiko yang dimiliki lebih besar dibandingkan pasien tanpa kondisi tersebut (Lee, et al., 2013). Penanganan pencegahan TLS dapat diberikan terutama pada pasien dengan resiko tinggi, berupa memperhatikan status hidrasi pasien, pemberian allopurinol, dan mencegah alkalinisasi urin. Kondisi dehidrasi pada pasien dapat memperparah kadar senyawa penyebab TLS dalam darah dan meningkakan resiko gagal ginjal. Sedangkan pemberian allopurinol dilakukan untuk mencegah peningkatan asam urat yang biasa terjadi pada TLS dengan menghambat kerja xanthine oxidase sehingga pembentukan asam urat dapat ditekan. Pada alkalinisasi urin, peningkatan pH urin akan meningkatkan solubilitas asam urat namun menurunkan solubilitas kalsium fosfat sehingga dapat meningkatkan kejadian pembentukan endapan kristal kalsium fosfat. Sehingga kondisi peningkatan pH urin ini harus dicegah. Pembatasan asupan kalium, fosfor, purin selama periode resiko TLS perlu dilakukan. Pengukuran kadar elektrolit darah tiap 4-6 jam, monitoring status jantung dan urine output secara kontinu, serta pemberian kalsium dalam dosis rendah, dan oral sodium sulfonate telah direkomendasikan untuk mencegah arritmia dan gejala neuromuskular pada pasien TLS (Howard, et al., 2011). Penanganan TLS pada pasien post-TACE tidak jauh berbeda dengan pencegahnnya, yaitu dengan memperhatikan status hidrasi pasien, koreksi gangguan metabolik, dan terapi agresif untuk gagal ginjal yang terjadi. Pemberian terapi cairan telah direkomendasikan untuk semua pasien yang beresiko tinggi karena peningkatan cairan tubuh dengan larutan salin isotonic dapat menurunkan kadar asam urat, fosfat, dan kalium dalam darah. Peningkatan volume cairan juga akan meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan menurunkan senyawa terlarut dalam urin sehingga proses pengendapan kristal dapat dicegah. Selanjutnya koreksi gangguan metabolik terutama hiperurikemia dapat dilakukan dengan memberikan allopurinol oral ataupun intravema (100mg/m2 setiap 8 jam). Pada beberapa studi pemberian urat oxidase (rasburicase 0,05-0,2 mg/kg) juga menunjukkan penanganan yang lebih efektif dibandingkan allopurinol (Alkhuja & Ulrich, 2004; Davidson, et al., 2004). Hemodialisis diberikan terutama pada pasien dengan nefropati obstruktif akut yang berkembang menjadi gagal ginjal akut.

DAFTAR PUSTAKA

Alkhuja, S. & Ulrich, H., 2004. Tumour lysis syndrome: New therapeutic strategies and classification. Br J Haematol, Volume 127, pp. 3-11.Brown K T. Fatal pulmonary complications after arterial embolization with 40120-micro m tris-acryl gelatin microspheres.J Vasc Interv Radiol.2004;15:197200.[PubMed]Cubiella J, Sans M, Llovet J M, et al. Pulmonary abscess as a complication of transarterial embolization of multinodular hepatocellular carcinoma.Am J Gastroenterol.1997;92:19421943.Chung J W, Park J H, Han J K, et al. Hepatic tumors: predisposing factors for complications of transcatheter oily chemoembolization.Radiology.1996;198(1):3340.Cheng, D., 2011. Liver Abscess Following Transarterial Chemoembolization. Seminars in Interventional Radiology.Chung J W, Park J H, Han J K, Choi B I, Kim T K, Han M C. Transcatheter oily chemoembolization of the inferior phrenic artery in hepatocellular carcinoma: the safety and potential therapeutic role.J Vasc Interv Radiol.1998;9:495500.[PubMed]Clark, T. W., 2006. Complication of Hepatic Chemoembolization, New York: Thieme Medical Publishers.Dhand, S., & Gupta, R. Hepatic Transcatheter Arterial Chemoembolization Complicated by Postembolization Syndrome.Seminars in Interventional Radiology. 2011;28(2): 207211. doi:10.1055/s-0031-1280666Davidson, M. et al., 2004. Pathophysiology, clinical consequences, and treatment of tumor lysis syndrome. Am J Med, Volume 116, pp. 546-554.Garcia-Tsao G. Cirrhosis and its sequelae. In: Goldman L, Schafer AI, eds.Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2011:156.Grenon NN. Liver cancer. Yarbro, CH, Wujcki D, & Holmes Gobel B. (eds.). (2011).Cancer Nursing: Principles and Practice. (7th Edition). Sudbury, MA: Jones and Bartlett. 2007;58:1399-1423.Hande, K. & Garrow, G., 1993. Acute tumor lysis syndrome in patients with high-grade non-Hodgkin's lymphoma. Am J Med, Volume 94, pp. 133-139.Hochberg, J. & Cairo, M., 2008. Tumor Lysis Syndrome: Current Perspective. Haematologica, Volume 93, pp. 9-13.Howard, S., Jones, D. & Pui, C., 2011. The Tumor Lysis Syndrome. N Engl J Med, 364(19), pp. 1844-1854.Hsieh, P., Hung, K. & Chen, Y., 2009. Tumor lysis syndrome after transarterial chemoembolization of hepatocellular carcinoma: Case reports and literature review. World J Gastroenterol, 15(37), pp. 4726-4728.Huo, T. et al., 2004. Incidence and risk factors for acute renal failure in patients with hepatocellular carcinoma undergoing transarterial chemoembolization: A prospetive study. Liver Int, Volume 24, pp. 210-215.Huang Y S, Chiang J H, Wu J C, Chang F Y, Lee S D. Risk of hepatic failure after transcatheter arterial chemoembolization for hepatocellular carcinoma: predictive value of the monoethylglycinexylidide test.Am J Gastroenterol.2002;97:12231227.[PubMed]Hsin I F,Hsu C Y,Huang H C,Huang Y H,Lin H C,Lee R C,Chiang J H,Lee F Y,Huo T I,Lee S D. Liver failure after transarterial chemoembolization for patients with hepatocellular carcinoma and ascites: incidence, risk factors, and prognostic prediction. J Clin Gastroenterol.2011 Jul;45(6):556-62. [PubMed]Kwok P C, Lam T W, Lam C L, Lai A K, Lo H Y, Chan S C. Rare pulmonary complications after transarterial chemoembolisation for hepatocellular carcinoma: two case reports.Hong Kong Med J.2003;9:457460.[PubMed]Lee, S. et al. Consecutive tumor lysis syndrome and hepatic failure after transarterial chemoembolization for treatment of hepatocellular carcinoma: A case report and literature review. Am J Cancer Case Reports. 2013:1(1):1-7.Locatelli, F. & Fossi, F. Incidence and pathogenesis of tumor lysis syndrome. Contrib Nephrol, 2005;147:pp. 61-68.Leung D A, Goin J E, Sickles C, Raskay B J, Soulen M C. Determinants of postembolization syndrome after hepatic chemoembolization.J Vasc Interv Radiol.2001;12(3):321326.Runyon B A. American Association for the Study of Liver Diseases. Management of adult patients with ascites due to cirrhosis: update 2012. National Guideline Clearinghouse.Sakamoto I, Aso N, Nagaoki K M, et al. Complications associated with transcatheter arterial embolization for hepatic tumors.Radiographics.1998;18(3):605619.Sudoyo, A. W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.Sola-Vera J, Minana J, Ricart E. Randomized trial comparing albumin and saline in the prevention of paracentesis-induced circulatory dysfunction in cirrhotic patients with ascites. Hepatology. May 2004;37(5):1147-53.Tajima T, Honda H, Kuroiwa T, et al. Pulmonary complications after hepatic artery chemoembolization or infusion via the inferior phrenic artery for primary liver cancer.J Vasc Interv Radiol.2002;13:893900.[PubMed]Vanderwalde, A. M., 2009. Liver Abscess as a Complication of Hepatic Transarterial Chemoembilization : A Case Report, Literature Review, and Clinical Recommendation. Gastrointestinal Oncology.Yamaura K, Higashi M, Akiyoshi K, Itonaga Y, Inoue H, Takahashi S. Pulmonary lipiodol embolism during transcatheter arterial chemoembolization for hepatoblastoma under general anaesthesia.Eur J Anaesthesiol.2000;17:704708.[PubMed]