Portofolio IV (Unstable Pelvic Fracture)
-
Upload
roza-insanil-husna -
Category
Documents
-
view
143 -
download
7
description
Transcript of Portofolio IV (Unstable Pelvic Fracture)
-
PORTOFOLIO KASUS GAWAT DARURAT
UNSTABLE PELVIC FRACTURE
Disusun Oleh:
dr. Roza Insanil Husna
Pendamping:
dr. Endah Woro Utami
dr. Deny Christianto
RSUD NGUDI WALUYO WLINGI
Maret 2013
-
Nama Peserta : dr. Roza Insanil Husna
Nama Wahana : RSUD Ngudi Waluyo, Wlingi, Kabupaten Blitar
Topik : Unstable Pelvic Fracture
Tanggal Kasus : 2 Februari 2013
Nama Pasien : Tn. K No. RM : -
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Deny Christianto
Tempat Presentasi :
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi
Pria, 35 tahun, datang dengan penurunan kesadaran, tampak mengantuk dan pucat
serta tidak dapat menggerakkan kedua tungkainya. Di punggung pasien terdapat luka
babras yang luas mulai dari punggung atas hingga pinggang dan terdapat luka memar
di perut bagian bawah kiri. 30 menit SMRS, pasien sedang memperbaiki sebuah truk,
namun tiba-tiba truk tersebut jalan sehingga pasien terlindas.
Tujuan
Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
penatalaksanaan serta komplikasi dari Unstable Fracture Pelvic
Bahan Bahasan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Bahasan Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama: Tn. K Nomor Registrasi: -
Nama Klinik:
IGD RSUD Ngudi Waluyo, Wlingi
Telp:
-
Terdaftar sejak:
-
Data Utama untuk Bahan Diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Pasien datang dengan penurunan kesadaran, tampak
-
mengantuk dan pucat serta tidak dapat menggerakkan kedua tungkainya. Di punggung
pasien terdapat luka babras yang luas mulai dari punggung atas hingga pinggang dan
terdapat luka memar di perut bagian bawah kiri. 30 menit SMRS, pasien sedang
memperbaiki sebuah truk, namun tiba-tiba truk tersebut jalan sehingga pasien terlindas.
2. Riwayat Pengobatan: -
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: -
4. Riwayat Keluarga: -
5. Riwayat Pekerjaan: Supir truk
6. Lain-lain:
Daftar Pustaka
1. Solomon, L., Warwick, D., Nayagam, S. 2010. Apleys System of Orthopaedics
and Fractures 9th Edition. London: Hodder Arnold
2. Graf, Kenneth W. 2012. Unstable Pelvic Fractures. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1247426-overview pada tanggal 10 Maret 2013
3. Hak, D.J., Smith, W.R., Suzuki, T. 2009. Management of Hemorrhage in Life-
threatening Pelvic Fracture. J Am Acad Orthop Surg vol. 17 no. 7 page 447-457
4. American Colleges of Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support for Doctors.
5. Chairuddin Rasjad. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone
Hasil Pembelajaran
1. Macam-macam Pelvic Fracture
2. Penyebab dan proses terjadinya Pelvic Fracture
3. Tanda-tanda Pelvic Fracture
4. Penatalaksanaan Pelvic Fracture terutama di Instalasi Gawat Darurat
-
PEMBAHASAN
UNSTABLE PELVIC FRACTURE
Definisi1
Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis maupun
tulang rawan sendi. Fraktur pelvis dapat diartikan sebagai putusnya atau
hilangnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang terletak pada regio
pelvis (panggul).
Anatomi Pelvis3
Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang:
sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium,
ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian
posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini
bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang
memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil
oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat
oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina
iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti
halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai
ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum
sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan
dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah
sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal
spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama
dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada
pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan
coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica.
Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat
dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang
-
dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar
1).
Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.
Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat
pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas
pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan
sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri
iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea
superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak
secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk
arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea
inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria
secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan
fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang
menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar
2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi
untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan
langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan
retroperitoneal signifikan.
-
Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor
yang terletak pada dinding dalam pelvis
Epidemiologi2
Jumlah kasus fraktur pelvis mencapai 1-3% dari semua jenis fraktur
tulang dan mencapai 2% dari keseluruhan kasus ortopedi di rumah sakit.
Frekuensi patah meningkat pada 2 kelompok usia, yaitu pada orang berusia 20-
40 tahun dan kemudian pada orang tua lebih dari 65 tahun.
Klasifikasi1,2,5
Berdasarkan patofisiologi, ada 3 sistem klasifikasi yang sering digunakan
dalam mengevaluasi cedera pelvis dan menentukan penatalaksanaan yang
tepat, yaitu:
Klasifikasi Tile:
Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan
sedikit atau tanpa pergeseran.
o A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
o A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya
rotasi luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan
membuka simfisis biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi
internal yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada rami
-
iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior
tetapi tida ada pembukaan simfisis.
o B1 : open book
o B2 : kompresi lateral ipsilateral
o B3 : kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)
Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada
ligament posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua
sisi dan pergeseran vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga
terdapat fraktur acetabulum.
o C1 : unilateral
o C2 : bilateral
o C3 : disertai fraktur asetabulum
Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Pelvis menurut Tile
Klasifikasi Key dan Conwell
a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin
Fraktur avulsi
a. Spina iliaka anterior superior
b. Spina iliaka anterior inferior
c. Tuberositas isium
Fraktur pubis dan isium
Fraktur sayap ilium (Duverney)
Fraktur sakrum
-
Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
b. Keretakan tunggal pada cincin panggul
Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis
Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka
c. Fraktur bilateral cincin panggul
Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)
Fraktur multipel yang hebat
d. Fraktur asetabulum
o Tanpa pergeseran
o Dengan pergeseran
Klasifikasi Young-Burgess
Klasifikasi Young-Burgess dapat dilihat secara rinci pada tabel berikut ini.
Klasifikasi ini dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan mekanisme injuri yaitu
lateral compression (LC), anteroposterior compression (APC), vertical shear
(VS), dan combined mechanical (CM).
-
Etiologi2
Cedera energi tinggi yang menghasilkan gangguan cincin panggul lebih
cenderung disertai dengan cedera parah pada SSP, perut, dan dada. Hal ini
sering diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Patofisiologi1,2,5
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang
besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis
atau osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena
rigiditas panggul maka keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai
robekan pada titik lain, kecuali pada trauma langsung. Sering titik kedua tidak
terlihat dengan jelas atau mungkin terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi
spontan pada sendi sakro-iliaka.
Mekanisme trauma pada cincin panggul menurut Young dan Burgess terdiri
atas:
Kompresi Anteroposterior
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki
dengan kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah,
-
dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut
sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro-iliaka mengalami
robekan parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.
Kompresi Lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan.
Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua
sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakri-
iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
Pergeseran Vertikal
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal
disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro-iliaka pada sisi yang sama.
Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
Trauma Kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan di atas
Manifestasi Klinis1,2
Beberapa tanda klinis dapat membantu diagnosis sebelum pemeriksaan
radiografi dilakukan. Tanda Destot, yaitu hematoma di dekat ligamentum
inguinalis, di skrotum, atau di paha dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis.
Pemeriksa harus mencari deformitas panggul secara rotasi atau ekstremitas
bawah. Perbedaan panjang tungkai juga dapat menyertai fraktur pelvis. Praktek
mengompresi dan menggoyang tulang ilium dapat menentukan stabilitas fraktur
pelvis namun sebaiknya dihindari.
Cedera neurologis seringkali diabaikan. Ekstremitas bawah harus
menjalani pemeriksaan neurovaskular menyeluruh. Prevalensi cedera neurologis
pada patah tulang panggul telah dilaporkan mencapai 3,5-13%.
-
Patah tulang sakral dan SI gangguan memiliki insiden yang sangat tinggi
cedera neurologis. Menurut klasifikasi fraktur panggul Denis, zona I fraktur sakral
yang dikaitkan dengan kejadian 5,9% cedera neurologis. Zona cedera II memiliki
28% tingkat cedera neurologis, biasanya melibatkan akar saraf L5, S1, dan S2.
Cedera zona III memiliki insiden 56% dari cedera neurologis. Cedera tersebut
sering melibatkan usus dan kandung dan juga dapat menyebabkan disfungsi
seksual.
Semua pasien dengan patah tulang sakral harus menjalani pemeriksaan
vagina dan dubur di IGD. Fraktur panggul terbuka dapat berkomunikasi langsung
dengan rektum, vagina, atau laserasi kulit dan membawa tingkat kematian
hingga 50%. Banyak luka yang terlewatkan jika pemeriksaan tersebut tidak
dilakukan. Ruptur uretra juga bisa dideteksi dengan pemeriksaan rektal, di mana
pada pemeriksaan sering didapati adanya floating prostat. Daerah perineum dan
MUE harus diperiksa apakah ada darah atau tidak, hal ini bisa menjadi tanda
ada tidaknya laserasi pada uretra.
Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri
bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat
kerusakan pada viscera pelvis. Foto polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur.
Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak
dapat berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus.
Nyeri tekan dapat bersifat lokal tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan
satu atau kedua ossis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin
mengalamai anastetik sebagian karena mengalami cidera saraf skiatika. Cidera
ini sangat hebat sehingga membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral,
perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka
kematian juga cukup tinggi
Diagnosis1,4
Anamnesis
Onset terjadinya trauma dan keadaan umum penderita saat terjadi
trauma
Mechanism of injury (proses terjadinya trauma apakah kecelakaan
antarkendaraan bermotor, terjatuh dari ketinggian, dsb)
Miksi dan defekasi terakhir
-
Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhir
Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasi
Trauma lainnya seperti trauma pada kepala
Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan nyeri :
Tekanan dari samping cincin panggul
Tarikan pada cincin panggul
b. Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi
pada ramus dan simfisis pubis. Prosedur ini hanya boleh
dilakukan 1 kali, karena manuver yang berlebihan dapat
memperparah cedera atau perdarahan.
c. Pemeriksaan colok dubur (rectal toucher) untuk menentukan ada
tidaknya floating prostat yang merupakan tanda adanya trauma
pada uretra.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis fraktur pelvis adalah foto rontgen pelvis dan CT scan.
Sedangkan untuk skrining awal perdarahan intraabdomen dapat dilakukan
pemeriksaan focused abdominal sonography for trauma (FAST)
Pemeriksaan laboratorium hanya berfungsi untuk menentukan terapi,
bukan untuk mendiagnosis. Adapun pemeriksaan laboratorium yang biasa
dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin (Hb, WBC, platelet, Htc), golongan
darah, fungsi hemostasis (PPT dan aPTT), fungsi ginjal (Ureum dan Creatinin),
fungsi hati (SGOT,SGPT), serta serum elektrolit.
Penatalaksanaan1,3,4
Identifikasi dan Pengelolaan Fraktur Pelvis 4
a. Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur
pelvis misalnya terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki
ditabrak kendaraan, tabrakan sepeda motor, dsb
-
b. Periksa daerah pelvis adanya ekimosis, perianal atau scrotal hematoma,
darah di meatus uretra.
c. Periksa tungkai apakah ada perbedaan panjang atau asimetri rotasi
panggul.
d. Lakukan pemeriksaan rectum, posisi dan mobilitas kelenjar prostat,
teraba fraktur, atau adanya darah pada kotoran.
e. Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus,
dan adanya darah. Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil.
f. Jika dijumpai kelainan pada poin b sampai e, dan jika mekanisme trauma
menunjang terjadinya fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan rontgen pelvis
AP (mekanisme trauma dapat menjelaskan tipe fraktur).
g. Jika poin b sampai e normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk
menemukan tempat nyeri.
h. Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anterior-
posterior dan lateral-medial pada SIAS. Pemeriksaan mobilitas aksial
dengan melakukan dorongan dan tarikan tungkai secara hati-hati,
tentukan stabilitas kranial-kaudal.
i. Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau
lakukan pemeriksan retrograde uretrogram jika terdapat kecurigaan
trauma uretra.
j. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kasus pada fraktur yang sering
disertai kehilangan darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan
volume pelvis.
1. Cocokan identitas penderita pada film
2. Periksa foto secara sistemik ;
a. Lebar simpisis pubis-pemisahan lebih dari 1 cm menunjukkan
ada trauma pelvis posterior
b. Integritas ramus superior dan inferior pubis bilateral
c. Integritas asetabulum, kapsul dan kolum femur
d. Simetri ileum dan lebarnya sendi sakroiliaka
e. Simetri foramen sacrum dengan evaluasi linea arkuata
f. Fraktur prosessus transversus L5
3. Ingat, karena tulang pelvis berbentuk lingkaran jarang kerusakan
hanya pada satu tempat saja.
-
4. Ingat, fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical
shear dan fraktur open-book, sering disertai syok.
k. Mengatasi Syok Akibat Perdarahan
1. Pasang IV line segera, bila perlu langsung 2 jalur sekaligus.
2. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang
3. Tungkai bawah di rotasi ke dalam untuk menutup fraktur open-
book. Pasang bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua
tungkai yang dilakukan rotasi. Tindakan ini akan mengurangi
pergeseran simpisis, mengurangi volume pelvis, bermanfaat untuk
tindakan sementara menunggu pengobatan definitif.
4. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk
membawa/transport penderita.
5. Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera)
6. Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera)
7. Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi
8. Lakukan segera konsultasi bedah/ orthopedi untuk menentukan
prioritas
9. Letakkan bantal pasir di bawah bokong kiri-kanan jika tidak
terdapat trauma tulang belakang atau cara menutup pelvis yang
lain tidak tersedia.
10. Pasang pelvic binder
11. Merujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap, bila
tidak mampu mengatasi.
Metode Penanganan Perdarahan Pada Fraktur Pelvis3
a. Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) dapat memberikan kompresi dan
imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui
tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST
dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik
vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan MAST membatasi
pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma kompartemen
ekstermitas bawah. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan
-
fraktur pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh penggunaan pengikat
pelvis yang tersedia secara komersil.
b. Pengikat dan Sheet Pelvis
Kompresi melingkar mungkin bisa dilakukan saat penanganan pra rumah sakit
dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan
dan resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling
pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat
pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya
memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis
mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas
pada pasien dengan cedera APC.
Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar
pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah)
untuk mengontrol tekanan
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan
fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin
berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah
dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat
memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.
-
c. Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis
emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan
fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur
pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran
pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan
disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume
pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental
telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis open book mengarah pada
peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade
perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur
hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis
posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang
melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis
ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah
dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya
tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar
harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur
umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp
pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal
anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.
d. Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan
darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis
dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis
yang membutuhkan embolisasi dilaporkan
-
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis
yang dilakukan dalam 90 menit dapat memperbaiki angka ketahanan hidup.
Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi
iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari
cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan
sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-
tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif
tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.
Gambar 5. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A.dibuat sebuah
insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih. Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan
lokasi umum enam bagian spons yang mengikuti balutan pelvis.
e. Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan
fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah
menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik
ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Akhir-akhir ini, metode
modifikasi balutan pelvis (balutan retroperitoneal) telah diperkenalkan di Amerika
Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah
-
insisi kecil. Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum
tetap utuh untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya
cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan
retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan
hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang penting.
Resusitasi Cairan3
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan
untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua kanul besar (16-gauge)
intravena harus dipasang secara sentral atau bisa juga di ekstremitas atas
sepanjang primary survey. Larutan kristaloid 2 L harus diberikan dalam 20
menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon
tekanan darah telah adekuat, infus kristaloid dapat dilanjutkan hingga transfusi
darah tipe-khusus tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe
ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti
itu dapat menyebabkan inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Ketika
respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon,
2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau
darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan
dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi
kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol
perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan.
Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal
membutuhkan sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur
hemostasis. Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan
membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit
FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume.
Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek
inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan
relatif produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai
tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk
kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan
bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan
-
penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP
dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati dini.
Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium
dan tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat
selama fase akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya
dipertimbangkan termasuk tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung,
urin output yang cukup ( 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal.
Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan
yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang
dapat digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa,
bikarbonat dan laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa
dan kelebihan basa digunakan bergantian, satu-satunya perbedaan untuk
menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa
diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L;
angka ini secara rutin diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit
basa menetap menandakan resusitasi yang tidak mencukupi.
Penanganan Fraktur1
Pada fraktur tipe A hanya membutuhkan istirahat total di tempat tidur,
dikombinasi denagn traksi tungkai bawah kurang lebih 4-6 minggu. Fraktur tipe
B, apabila cidera open book kurang dari 2,5cm biasanya dapat diterapi dengan
bed rest total dengan pemasangan korset elastis bermanfaat untuk
mengembalikan ke posisi semula. Apabila lebih dari 2,5cm dapat dicoba dengan
membaringkan pasien miring dan menekan ala ossis ilii. Selain itu juga dapat
dilakukan fiksasi internal apabila fiksasi eksternal tidak berhasil dilakukan.
Fraktur tipe C merupakan paling berbahaya dan paling sulit diterapi. Pasien
harus bedrest total kurang lebih selama 10 minggu. Operasi berbahaya dilakukan
karena bisa terjadi perdarahan masif dan infeksi. Pemakaian traksi kerangka dan
fiksasi luar mungkin lebih aman.
-
Komplikasi1
a. Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil dan
kadang memerlukan artrodesis pada sendi sacroiliaca. Cidera saraf
skiatika biasanya sembuh tetapi kadang memerlukan eksplorasi. Cidera
uretra berat bisa menimbulkan striktur uretra, inkontinensia dan impotensi
b. Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis.
Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan uretra pars
prostate-membranacea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang
berada di kavum pelvis menyebabkan hematom yang luas di kavum
retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut robek, prostat
beserta buli-buli akan terangkat ke cranial (floating prostat).
c. Ruptur uretra anterior, cidera dari luar yang sering menyebabkan
kerusakan uretra anterior adalah straddle injury (cidera selangkangan)
yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis
kerusakan uretra yang terjadi berupa kontusio dinding uretra, rupture
parsial, atau rupture total dinding uretra. Pada kontusio uretra pasien
mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat
robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis
atau butterfly hematom. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat
miksi.
d. Fraktur acetabulum, Terjadi apabila kaput femoris terdorong ke dalam
pelvis. Fraktur ini menggabungkan antara kerumitan fraktur pelvis dengan
kerusakan sendi. Ada 4 tipe fraktur acetabulum yaitu fraktur kolumna
anterior, fraktur kolumna posterior, fraktur melintang, dan fraktur
kompleks. Gambaran klinis agak tersamarkan krena mungkin terdapat
cidera lain yang lebih jelas/mengalihkan perhatian dari cidera pelvis yang
lebih mendesak. Pemeriksaan foto sinar-X perlu dilakukan.
e. Cidera pada sacrum dan koksigis
Pukulan dari belakang atau jatuh pada tulang ekor dapat
mematahkan sacrum dan koksigis. Terjadi memar yang luas dan nyeri
tekan muncul bila scrum atau koksigis dipalpasi dari belakang atau
melalui rectum. Sensasi dapat hilang pada distribusi saraf sakralis. Sinar-
X dapat memperlihatkan ; 1) fraktur yang melintang pada sacrum dapat
-
disertai fragmen bawah yang terdorong ke depan, 2) fraktur koksigis
kadang disertai fragmen bagian bawah yang menyudut ke depan, 3)
suatu penampilan normal kalau cidera hanya berupa strain pada sendi
sacrokoksigeal.
Kalau fraktur bergeser, sebaiknya docoba untuk melakukan
reduksi. Fragmen bagian bawah dapat terdesak ke belakang lewat
rectum. Reduksi bersifat stabil, suatu keadaan yang menguntungkan.
Pasien dibiarkan untuk melanjutkan aktifitas normal, tetapi dianjurkan
untuk menggunakan suatu cincin karet atau bantalan Sorbo bila duduk.
Kadang disertai keluhan sulit kencing. Nyeri yang menetap, terutama saat
duduk sering ditemukan setelah cidera koksigis. Kalau nyeri tidak
berkurang dengan penggunaan bantalan Sorbo atau oleh injeksi anastetik
lokal kedalam daerah yang nyeri, dapat dipertimbangkan eksisi koksigis.