Portfolio Anak

download Portfolio Anak

of 15

description

anak

Transcript of Portfolio Anak

PortofolioKasus AnakMorbili pada B20Disusun oleh:

dr. LutfiePendamping:

dr. Lince Holsendr. Clara YosephineRumah Sakit Umum Daerah TC HillersKabupaten Sikka, Nusa Tenggara TimurProgram Dokter Internship Periode Maret 2014-Februari 2015Portofolio Anak

Nama Peserta: dr. Lutfie

Nama Wahana: RSUD TC Hillers Maumere

Topik: Morbili Tanggal (kasus): 3 April 2015

Nama Pasien: An. MNo. RM: 160772

Tanggal Presentasi:Nama Pendamping:

Dr. Lince HolsenDr. Clara Yosephine

Tempat Presentasi: RSUD TC Hillers

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja DewasaLansia Bumil

Deskripsi: An. RJ, laki-laki, 1 tahun 6 bulan, demam sejak 2 hari SMRS diikuti dengan ruam kemerahan sejak 2 jam SMRS, diketahui menderita B20.

Tujuan: mengenali dan menangani demam dengan ruam pada anak.

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas:Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

Data pasien:Nama: An. RJ Nomor Registrasi: 160772

Nama klinik: RSUD TC HillersTelp:Terdaftar sejak: 3 April 2015

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis: 2 hari SMRS, pasien mengalami demam tinggi, suhu tidak diukur, cenderung terus menerus dan tidak respons dengan obat penurun panas. Batuk pilek diakui namun tidak begitu dikeluhkan. Diare disangkal, BAB diakui agak cair namun ada ampas, muntah disangkal. Mata merah disangkal. Kejang disangkal. Riwayat alergi disangkal. Nafsu makan baik. BAK lancar, tidak ada keluhan.

2 jam SMRS, demam diikuti dengan munculnya ruam bercak merah tebal awalnya dari belakang leher dan punggung sebelah atas, kemudian menyebar ke dada, wajah, badan, lalu tangan dan kaki. Bercak umumnya rata atau sedikit meninggi, tidak terdapat lenting maupun keropeng.

2. Riwayat kesehatan/PenyakitLahir: di ruang bersalin RS Larantuka, partus normal dibantu oleh bidan, cukup bulan, langsung menangis, berat badan lahir 3,2 kg.Tumbuh kembang: berat badan sulit naik, saat ini sudah dapat berdiri, jalan dituntun, dan merangkak. Pasien belum dapat jalan sendiri.

Nutrisi: ASI sampai usia 4 bulan, diganti dengan bubur, saat ini makan nasi.

Imunisasi: Semua diberikan kecuali campak. Imunisasi BCG juga diberikan karena belum diketahui memiliki penyakit B20.

Pada usia 4 bulan, pasien mengalami sesak napas selama 1 minggu, dilakukan rontgen dengan hasil sesuai TB paru, hasil VCT B20+ (CD4+ 1259 kopi/L), pasien pengobatan TB hingga selesai (10 bulan), rontgen perbaikan. Pasien sedang menjalani trial ARV minggu ke 2 (VCT dengan dr Lince, rujukan RS Larantuka), dengan 2 puyer, masing-masing diminum dua kali sehari (Lamivudin-Stavudin) dan satu kali sehari (Nevirapin).

3. Riwayat keluarga:

Riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga disangkal.

Ibu B20 +, suami ? Pasien merupakan anak pertama dari pernikahan ke 2. Suami pertama telah meninggal karena TB paru (B20?). Dari pernikahan pertama, ibu pasien memiliki 3 anak (usia kuliah sedang bekerja di Polri dicek B20 negatif, usia 2 SD, anak ke 3 meninggal karena TB paru).

4. Riwayat sosial:Pembiayaan kesehatan pasien dengan BPJS.

5. Pemeriksaan Fisik: Unit Gawat Darurat:

Kesadaran

: kompos mentis.Keadaan umum: tampak sakit ringan.

Suhu

: 42C.Mata : cekung -. Paru : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-. Jantung : bunyi jantung I dan II reguler, murmur dan gallop -.Abdomen : supel, bising usus +.

Ekstremitas : akral hangat, ruam -. Ruang Rawat:Kesadaran

: kompos mentisKeadaan umum: tampak sakit sedang.Antropometri : BB 8,5 kg, PB 80 cm, LILA 13,5 cm.Nadi

: 120x/menit regular, isi cukup

Suhu

: 39,4C

Pernapasan

: 40-50x/menit, kedalaman cukup

Mata : konjungtiva injeksi -/-, pucat +/+, sklera ikterik -/-.THT : faring hiperemis -, hidung dan telinga dbn, T1-T1.

Leher : KGB servikal dan submandibular bilateral teraba,

diameter 0,5-1 cm, kenyal, tidak nyeri, mobile.Jantung : bunyi jantung I dan II reguler, murmur dan gallop -.Paru : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.Abdomen : supel, bising usus +, nyeri tekan -, hepar/lien tidak teraba,

turgor kulit baik, timpani.Ekstremitas : akral panas, capillary refill time 2 detik, edema -/-, parut skar BCG +.Kulit : ruam makulopapular, sebagian berkonfluens menjadi plak

eritematosa, tersebar generalisata di seluruh tubuh.

6. Pemeriksaan Penunjang: MTT -/ Hb 8,7/ Ht 23,7/ MCV 64,2/ MCH 23,6/ Leu 15,44 (limfosit 40,8%, neutrofil 51,1%).

Rontgen Toraks PA setelah pengobatan TB:Infiltrat di parahiler dan paracardial bilateral masih tampak, terdapat limfadenopati mengarah TB paru.

7. Diagnosis:Morbili dd/rubella.B20 on ARV suspek infeksi sekunder.Anemia penyakit kronik dd/defisiensi besi.Riwayat TB paru dengan gizi kurang.

8. Tatalaksana:IVFD D5 NS 700 cc/hari.

Ibuprofen 3 x cth (di UGD diberikan ibuprofen supp 1 x 1, ibuprofen syr 3 x 1 cth).

Bedak salicyl 2x/hari.

Apialys 1 x 1 cth.

Cotrimoxazole 2 x 240 mg (C I).

ARV lanjut (Lamivudine 2 x 60 mg, Stavudine 2 x 12 mg, Nevirapin 1 x 100 mg).

Maltofer 1 x 17 mg.

Daftar Pustaka:

1. Hadinegoro SR. Fever in Children. FKUI; 2013.

2. WHO. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta; WHO:2009.hal.157-61,180-2.

3. Bernstein D, Shelov S. Pediatrics for Medical Students. Third Edition. Philadeplhia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012.p.195-207. 4. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012. hal. 21-44, 109-18.

5. Sastroasmoro S, Bondan H, Kampono N, Widodo D, Umbas R, Hermani B. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Anak. Jakarta; RSCM: 2007. hal.150-2.

Hasil Pembelajaran:

1. Subyektif: Anak laki-laki, usia 18 bulan, dengan keluhan demam tinggi selama 2 hari diikuti dengan munculnya ruam pada belakang leher dan punggung atas yang menyebar ke dada, kepala, tangan dan kaki. Riwayat B20 +, saat ini dalam terapi ARV. Imunisasi campak tidak diberikan.

2. Obyektif:Suhu saat di UGD 420C, saat perawatan 39,40C, konjungtiva pucat, KGB servikal dan submandibular bilateral teraba, ruam makulopapular, sebagian berkonfluens menjadi plak eritematosa, tersebar generalisata di seluruh tubuh.

Anemia mikrositik hipokromik, leukositosis.

Infiltrat dan limfadenopati pada rontgen toraks.

3. Assessment:

Demam dengan Ruam:Demam disertai ruam pada anak umumnya disebabkan oleh bakteri atau virus. Adapun patogenesis ruam terjadi melalui berbagai mekanisme, umumnya akibat infeksi langsung pada epidermis (campak), dermis (rubella), toksin bakteri yang berada di dalam sirkulasi (S.pyogenes, S.aureus), atau respons imun host (parvovirus B19).Berdasarkan efloresensi:Pendekatan ruam juga dapat dilakukan melalui efloresensinya. Pada erupsi makulopapular, dipikirkan etiologi campak, rubella, demam skarlet, roseola infantum, miliaria, alergi obat, dan penyakit Kawasaki. Pada erupsi papulovesikular, dipikirkan infeksi varicella-zoster, smallpox, herpes, impetigo, gigitan serangga, erupsi obat, dan moluskum kontagiosum. Pada pasien merupakan ruam makulopapular.

Infeksi Virus Campak / measles / rubeola

Pada kasus campak, ruam terjadi akibat infeksi langsung ke epidermis. Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar ruam yang khas, batuk, hidung berair, mata merah, luka di mulut, kornea keruh, baru saja terpajan dengan kasus campak, serta tidak memiliki catatan sudah diimunisasi campak. Ruam dan riwayat non-imunisasi sesuai dengan pasien, namun tidak terdapat keluhan pada mata berupa mata merah.

Campak Jerman / Rubella

Ruam terjadi sebagai akibat dari infeksi langsung pada dermis. Kecurigaan pada kasus rubella umumnya ditandai dengan gejala prodromal berupa demam yang tidak begitu tinggi, malaise, limfadenopati, dan infeksi saluran pernapasan bagian atas dengan ditemukannya Forchheimer spot / lesi berwarna bunga mawar di tenggorokan. Terdapat pula keluhan penyerta berupa artritis atau atralgia.Adapun pada rubella, ditemukan ruam yang khas dan pembesaran kelenjar getah bening postaurikular, suboksipital, dan colli-posterior. Ruam umumnya gatal, muncul 1-5 hari setelah gejala prodromal, dimulai dari muka dan menyebar ke arah kaudal, namun lebih samar dan relatif kurang berkonfluens bila dibandingkan dengan campak.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah serologi IgM dan IgG rubella atau melalui kultur dari spesimen na sal, swab tenggorok, darah, urin, dan cairan serebrospinal. Limfadenopati sesuai pada pasien, namun pada pasien ditemukan demam yang tinggi dan ruam dengan warna kemerahan yang lebih mencolok dan berkonfluens.

Eksantema subitum / Roseola

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi HHV-6 dan HHV-7. umumnya terjadi terutama pada balita (6-18 bulan). Penderita biasanya telah terkena infeksi primer herpes sebelumnya kemudian bila terjadi keadaan imunosupresi, virus mengalami reaktivasi. Ruam muncul setelah demam tinggi dengan suhu yang mulai turun dan biasanya dapat menyembuh dengan spontan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan limfositosis dan neutropenia. Pada pasien terdapat imunosupresi akibat B20, namun ruam muncul pada saat puncak demam, bukan saat suhu menurun. Demam dengue.

Karakteristik ruamnya timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5, berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular dan menghilang dengan tekanan, tersebar pada dada, tubuh serta abdomen, lalu menyebar ke anggota gerak dan muka. Selain itu, ditemukan pula gejala trias lainnya, yaitu demam tinggi dan nyeri pada anggota badan. Demam muncul mendahului ruam, sehingga tidak cocok. Varisela / chickenpoxMerupakan akibat dari infeksi primer virus varisela, ditandai dengan ruam papular pruritik yang berevolusi menjadi vesikuler dengan sifat generalisata. Gejala prodromal yang muncul adalah demam dan malaise. Ruam dimulai dari leher, wajah, batang tubuh bagian atas, kemudian menyebar ke luar dalam 3-5 hari dengan melibatkan membran mukosa. Apabila pada kemudian hari terjadi reaktivasi, umumnya bersifat dermatomal, dikenal sebagai herpes zoster. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, bila perlu ditunjang dengan pemeriksaan antibodi spesifik melalui teknik fluoresensi. Tidak ditemukan bentuk vesikel pada ruam pasien.

Infeksi Bakterial

Demam skarlet.

Ruam ini disebabkan oleh efek vaskular dari toksin Streptokokus beta-hemolitikus grup A. Gejala prodromal yang dimilikinya ialah faringitis, menggigil, dan nyeri abdomen.Karakteristik yang ditimbulkan ialah demam tinggi, anak tampak sakit berat, ruam merah kasar pada seluruh tubuh yang biasanya didahului di daerah lipatan (leher, ketiak, dan lipat inguinal), peradangan hebat pada tenggorokan dan kelainan pada lidah (strawberry tongue), dan kulit bersisik pada penyembuhan. Terdapat pula petekiae dan area hiperpigmentasi pada lipatan kulit (Pastia lines). Ruam tidak dimulai dari daerah lipatan. Infeksi stafilokokus, umumnya mirip dengan demam skarlet namun tanpa adanya faringitis maupun enantem.

Berdasarkan pola dan perjalanan penyakitnya, beberapa diagnosis demam dengan ruam yang memiliki karakteristik khusus digambarkan sebagai berikut:

Dengan demikian, ruam pada pasien diperkirakan merupakan manifestasi dari penyakit morbili dengan DD/ rubella.Terdapat beberapa faktor lain yang menjadikan morbili sebagai diagnosis kerja terpilih, yaitu sebagai berikut:

Campak / morbili

Morbili / measles / campak merupakan penyakit akut yang sangat menular. Adapun epidemi penyakit ini di Indonesia timbul secara tidak teratur, umumnya terjadi pada daerah dengan populasi balita, gizi buruk, dan imunitas yang melemah. Dilihat dari usia, umur terbanyak penderita campak adalah < 12 bulan, diikuti kelompok umur 1-4 tahun dan 5-14 tahun. Kondisi imunosupresi dan kelompok umur pasien tergolong ke dalam faktor risiko.Transmisi campak umumnya terjadi secara langsung dari droplet infeksi atau melalui udara (airborne) walaupun cukup jarang terjadi. Adapun penularan dapat terjadi sejak awal masa prodromal hingga 4 hari setelah timbulnya ruam sehingga riwayat kontak dengan penderita campak akan menguatkan diagnosis.Pada tempat awal infeksi, replikasi virus terjadi secara minimal sehingga virus jarang ditemukan. Virus akan masuk ke dalam limfatik lokal, kemudian bebas beredar atau berhubungan dengan sel mononuklear, lalu mencapai kelenjar getah bening regional. Virus akan memperbanyak diri di sini secara perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa.Sekitar 5-6 hari sejak infeksi awal, akan terbentuk fokus infeksi, diikuti dengan masuknya virus ke dalam pembuluh darah dan penyebaran ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran napas, kulit, kandung kemih, dan usus. Pada hari ke 9-10, fokus infeksi berada di epitel saluran napas dan konjungtiva, sehingga akan terjadi nekrosis pada satu hingga dua lapis sel.

Virus akan masuk kembali ke dalam pembuluh darah dalam jumlah banyak dengan manifestasi klinis mulai muncul, yaitu berupa batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Adapun pada perkembangan selanjutnya pada daerah nekrotik tersebut dapat terjadi infeksi bakteri sekunder dengan manifestasi bronkopneumonia maupun otitis media. Pada pasien ditemukan limfadenopati, terdapat batuk pilek namun ringan, namun tidak ditemukan tanda radang konjungtiva.

Proses ini akan diikuti dengan respon imun peradangan epitel saluran pernapasan sehingga terjadi penurunan fungsi silia diikuti hipersekresi lendir / mukus, anak tampak sakit berat, dan muncul ulserasi kecil pada mukosa pipi dan bercak Koplik. Pada infeksi saluran cerna, dapat terjadi hiperplasia jaringan limfoid, diikuti oleh iritasi mukosa usus, peningkatan sekresi dan peristaltik, sehingga terjadi diare. Setelah melalui proses fagositosis oleh leukosit, limfosit, dan makrofag, terjadi pengeluaran zat pirogen sehingga mempengaruhi hipotalamus dan muncullah demam. Sebagai akibat dari adanya respons imun delayed hipersensitivity terhadap antigen virus yang menginfeksi sel endotel kapiler dermis, terjadi eksudasi serum / eritrosit pada epidermis yang bermanifestasi sebagai munculnya ruam makulopapular sekitar hari ke 14 sesudah infeksi.Patofisiologi campak juga mencakup terjadinya imunosupresi, sebagai akibat dari terjadinya limfopenia selama infeksi akut, sebagai akibat dari hilangnya sel imun karena infeksi dan pembentukan sel raksasa. Respon sel T helper 1 dalam hal ini berkurang sebagai akibat dari hambatan pelepasan IL-12 akibat infeksi selular. Di samping itu, terjadi peningkatan pengeluaran IL-4 dan TGF-, sehingga terjadi sekresi IL-10 dari T helper 2 meningkat dan makin menekan respon dari Th1. Pada pasien terdapat kondisi imunosupresi, sehingga memudahkan terjadinya campak.

Perjalanan penyakit campak umumnya akan melewati 3 stadium setelah masa tunas yang berlangsung selama 10-12 hari, yaitu: Stadium prodromal, memiliki gambaran gejala pilek dan batuk yang meningkat dan ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring, dan peradangan mukosa konjungtiva.

Dua hari sebelum munculnya demam, bercak Koplik merupakan tanda patognomonik yang dapat dideteksi. Lesi ini pertama kali dideksripsikan oleh Koplik (1896), yaitu sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah muda hingga merah terang, pada pertengahannya didapatkan noda berwarna putih keabuan. Tanda ini hanya muncul sebentar, yaitu sekitar 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan mudah luput saat pemeriksaan klinis, terlebih lagi dengan pencahayaan yang kurang.

Pada pasien tidak ditemukan bercak Koplik, kemungkinan karena telah terjadi demam. Stadium erupsi, yaitu dengan keluarnya ruam mulai dari belakang telinga menyebar ke muka, badan, lengan, dan kaki. Ruam umumnya timbul setelah didahului oleh suhu badan yang meningkat / demam selama tiga hingga empat hari.

Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari ke lima atau ke enam pada puncak timbulnya ruam. Kurva suhu dapat saja menimbulkan gambaran bifasik, yaitu menurunnya suhu tubuh hingga mendekati normal saat ruam awal pada 24 sampai 48 jam pertama selama 1 hari kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuh yang cepat mencapai 400C saat ruam muncul di seluruh tubuh. Pada fase ini, dapat terjadi kejang demam.Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapular eritematosa, umumnya dimulai dari bagian samping atas leher, daerah belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi. Kemudian, terjadi penyebaran ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam, lalu ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung, dan mencapai kaki pada hari ke tiga. Bagian yang pertama kena umumnya mengandung lebih banyak lesi hingga berkonfluens dibandingkan dengan daerah yang terkena kemudian. Penyebaran ruam pada pasien sebenarnya tidak begitu khas (sefalokaudal dari belakang telinga) / bersesuaian dengan morbili, namun mendekati (pada pasien dimulai dari leher belakang dan punggung atas).

Stadium konvalesens. Pada kasus tanpa komplikasi, suhu tubuh akan mengalami lisis dan kemudian turun. Setelah tiga sampai empat hari munculnya ruam, lesi akan berubah warna menjadi kecoklatan. Hal ini kemungkinan terjadi sebagai akibat dari perdarahan / kebocoran kapiler, dengan karakteristik tidak memucat dengan penekanan. Seiring dengan hilangnya ruam bersesuaian dengan urutan timbulnya, akan timbul perubahan warna menjadi kehitaman atau hiperpigmentasi, disusul oleh deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan, rata-rata dalam 1-2 minggu. Pada pasien sesuai, yaitu ruam berubah menjadi hiperpigmentasi (kecoklatan) setelah hari ke 4-5, dengan urutan menghilang awalnya pada daerah kepala dan leher belakang, tempat awal munculnya ruam.4. Plan:

Pasien campak tanpa penyulit sebenarnya dapat saja berobat jalan. Dalam hal ini, tatalaksana diberikan secara suportif dan simtomatik, yaitu melalui pemberian cairan dan kalori yang cukup, antipiretik, antitusif, ekspektoran, salep mata, dan antikonvulsan bila diperlukan. Pemberian anti virus umumnya tidak menunjukkan efek yang signifikan. Pengobatan simtomatis pada pasien: cairan dengan IVFD D5 NS 700 cc/hari, anti piretik dengan Ibuprofen 3 x cth (di UGD diberikan ibuprofen supp 1 x 1, ibuprofen syr 3 x 1 cth), anti pruritik dengan bedak salicyl 2x/hari. Antitusif, ekspektoran, salep mata, maupun antikonvulsan tidak diberikan karena tidak simtomatis.Pada kasus campak dengan penyulit, mutlak dilakukan rawat inap pada bangsal isolasi. Tatalaksana yang diberikan mencakup pemberian vitamin A. Apabila tidak terdapat riwayat suplementasi vitamin A yang jelas pada bulan Agustus dan Februari, terdapat komplikasi, atau ditemukan faktor risiko (imunodefisiensi, tanda klinis defisiensi vitamin A, gangguan absorbsi usus, malnutrisi), diberikan dosis 50.000 IU pada anak berusia < 6 bulan, 100.000 IU dengan usia 6-11 bulan, atau 200.000 IU untuk usia di atas 12 bulan, diberikan per oral satu kali dan apabila terdapat gizi buruk, dilanjutkan 1500 IU tiap hari atau hingga pemberian dosis 3x, yaitu pada hari ke 1, ke 2, dan 2-4 minggu setelah dosis ke dua. Pada pasien, diberikan vitamin dengan apialys 1 x 1 cth (mengandung vitamin A).Tatalaksana lainnya disesuaikan dengan komplikasi, antara lain bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), dan ensefalitis (6,7%).

Tatalaksana lain yaitu meneruskan ARV untuk mencegah imunosupresi lebih lanjut, yaitu dengan puyer Lamivudine 2 x 60 mg, Stavudine 2 x 12 mg, Nevirapin 1 x 100 mg). Diberikan pula profilaksis sekunder yaitu Cotrimoxazole 2 x 240 mg (C I).

Pemberian ARV beserta pilihan regimen pada pasien telah tepat.

Kondisi anemia pada pasien dapat merupakan akibat dari penyakit kronik (HIV), maupun akibat defisiensi besi, sehingga diberikan suplementasi besi dengan Maltofer 1 x 17 mg, sambil memperbaiki kondisi penyakit HIV melalui ARV.Pasien juga memiliki riwayat TB paru dengan gizi kurang (BB 8,5 kg, TB 80 cm, BB/TB berdasarkan kurva WHO antara -3 s/d -2 SD). LILA pasien tergolong cukup (13,5 cm). Perkembangan pasien juga tergolong cukup. Dalam hal ini, diperlukan pemantauan pertumbuhan serta pemberian nutrisi yang adekuat.

PrognosisDengan tatalaksana yang adekuat, secara umum campak memberikan hasil akhir yang baik tanpa ada sequele / gejala sisa. Case fatality rate campak setelah digalakkannya program imunisasi telah menurun dari 5,5% menjadi 1,2%.

Pendamping,

Pendamping,

dr. Lince Holsen

dr. Clara Yosephine