POLA PERILAKU PEDAGANG KAKI LIMA DI RUANG PUBLIK...

11
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI KE-4 TAHUN 2018 Volume 4 : November 2018 106 POLA PERILAKU PEDAGANG KAKI LIMA DI RUANG PUBLIK ESPLANADE JALAN PENGHIBUR KOTA MAKASSAR Ria Wikantari*, Moh. Mohsen Sir, Afifah Harisah, Abd. Mufti Radja, Syahriana Syam Departemen Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Poros Malino Km.6, Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92171 *E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan menjelaskan pola perilaku pengguna dalam aktivitas pedagang kakilima (PKL) di ruas ruang publik esplanadeJalan Penghibur di Kota Makassar, serta menentukan atribut kualitas lingkungan yang berkait dengan terbentuknya pola tersebut. Jenis penelitian ini kuantitatif dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan dan kuesioner semi-terstruktur. Sampel terdiri atas keseluruhan 25 unit PKL sepanjang ruas esplanade yang dipilih secara sensus, dan 60 orang pembeli yang dipilih secara aksidental. Analisis data menggunakan pemetaan perilaku dan statistik deskriptif secara tabulasi silang. Hasil menunjukkan bahwa keberadaan PKL secara spasial maupun temporal menunjukkan konvivialitas lingkungan, vitalitas ekonomi, dan viabilitas sosial. Kesimpulan: 1. Pola perilaku PKL membentuk kepadatan dan kesesakan pada ruas tengah esplanade yang menimbulkan terjadinya pembauran pembeli dalam aglomerasi aktivitas komersial-rekreatif. 2. Atribut kualitas lingkungan yang berkait erat dengan terbentuknya pola perilaku menurut pedagang adalah legalitas, keramaian, dan keamanan, sedangkan menurut pembeli adalah adaptabilitas, legibilitas, visibilitas, dan sosiabilitas. Kata kunci: ruang terbuka publik, esplanade, pemetaan perilaku, pedagang kaki lima, atribut kualitas lingkungan PENDAHULUAN Keberadaan pedagang kakilima (PKL) sebagai aktivitas sektor informal perkotaan memiliki sisi positif dan negatif. Di samping sebagai usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi pedagang dan pembeli, PKL cenderung menjadi penyebab ketidaknyamanan pemanfaatan ruang publik dan penurunan kualitas lingkungannya. Salah satu bentuk ruang publik yang kondusif bagi aktivitas PKL adalah esplanade. Menurut sejarah arsitektur kota klasik (Ching, 2011), esplanade pada awalnya adalah ruang terbuka luas dengan permukaan tertentu yang terletak di bagian luar sekeliling benteng kota disepanjang kanal pertahanan, dan dimaksudkan untuk menyediakan ruang bebas bagi penggunaan persenjataan benteng. Pada masa modern, penggunaan ruang esplanade memungkinkan sirkulasi publik pejalan kaki untuk tujuan rekreatif. Pada perkembangan selanjutnya, esplanade tidak hanya berupa ruang tepian kanal benteng kota namun mencakup semua tepian air seperti laut, sungai, dan danau. Esplanade merupakan ruang linier dengan ketinggian tertentu yang memungkinkan publik berjalan-jalan di tepian air, terlepas dari situasi pasang surut air, tanpa harus berkontak langsung dengan air. Penyediaan ruang publik pejalan kaki tepian air ( esplanade) Jalan Penghibur Kota Makassar (Gambar 1) oleh Pemerintah Kota di ditujukan sebagai area rekreatif pusat kota yang strategis. Keberadaaan ruang publik untuk tujuan rekreatif pada umumnya mengundang kemunculan pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu bagian yang mendapat sebutan masyarakat marjinal (Kurniawati, 2012). Apabila tidak ditangani maka keberadaan PKL berkembang cenderung tak terkendali sejalan proses penyebaran secara berkelompok (aglomerasi) ataukah secara berpencar. Berbeda dari penyebaran PKL secara berpencar yang didorong oleh persaingan ketat dan usaha mencari lokasi strategis yang menguntungkan, PKL berkelompok terjadi karena dorongan untuk memberikan pelayanan kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan komoditi yang dibutuhkan pada waktu bersamaan. Selain itu, pengelompokan mengurangi persaingan dan memungkinkan kerja sama antar pedagang. Penyebaran ini juga dapat disebabkan oleh adanya aktifitas-aktifitas khusus yang menarik seluruh perhatian masyarakat konsumen (Purwanti & Masturi, 2012). Penyediaan area

Transcript of POLA PERILAKU PEDAGANG KAKI LIMA DI RUANG PUBLIK...

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

106

POLA PERILAKU PEDAGANG KAKI LIMA

DI RUANG PUBLIK ESPLANADE JALAN PENGHIBUR

KOTA MAKASSAR

Ria Wikantari*, Moh. Mohsen Sir, Afifah Harisah, Abd. Mufti Radja, Syahriana Syam

Departemen Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin

Jl. Poros Malino Km.6, Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92171

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menjelaskan pola perilaku pengguna dalam aktivitas pedagang

kakilima (PKL) di ruas ruang publik ‘esplanade’ Jalan Penghibur di Kota Makassar, serta

menentukan atribut kualitas lingkungan yang berkait dengan terbentuknya pola tersebut.

Jenis penelitian ini kuantitatif dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan melalui

observasi lapangan dan kuesioner semi-terstruktur. Sampel terdiri atas keseluruhan 25 unit

PKL sepanjang ruas esplanade yang dipilih secara sensus, dan 60 orang pembeli yang

dipilih secara aksidental. Analisis data menggunakan pemetaan perilaku dan statistik

deskriptif secara tabulasi silang. Hasil menunjukkan bahwa keberadaan PKL secara spasial

maupun temporal menunjukkan konvivialitas lingkungan, vitalitas ekonomi, dan viabilitas

sosial. Kesimpulan: 1. Pola perilaku PKL membentuk kepadatan dan kesesakan pada ruas

tengah esplanade yang menimbulkan terjadinya pembauran pembeli dalam aglomerasi

aktivitas komersial-rekreatif. 2. Atribut kualitas lingkungan yang berkait erat dengan

terbentuknya pola perilaku menurut pedagang adalah legalitas, keramaian, dan keamanan,

sedangkan menurut pembeli adalah adaptabilitas, legibilitas, visibilitas, dan sosiabilitas.

Kata kunci: ruang terbuka publik, esplanade, pemetaan perilaku, pedagang kaki lima,

atribut kualitas lingkungan

PENDAHULUAN

Keberadaan pedagang kakilima (PKL) sebagai aktivitas sektor informal perkotaan memiliki sisi positif dan

negatif. Di samping sebagai usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi pedagang dan pembeli, PKL cenderung

menjadi penyebab ketidaknyamanan pemanfaatan ruang publik dan penurunan kualitas lingkungannya. Salah

satu bentuk ruang publik yang kondusif bagi aktivitas PKL adalah esplanade.

Menurut sejarah arsitektur kota klasik (Ching, 2011), esplanade pada awalnya adalah ruang terbuka luas dengan

permukaan tertentu yang terletak di bagian luar sekeliling benteng kota disepanjang kanal pertahanan, dan

dimaksudkan untuk menyediakan ruang bebas bagi penggunaan persenjataan benteng. Pada masa modern,

penggunaan ruang esplanade memungkinkan sirkulasi publik pejalan kaki untuk tujuan rekreatif. Pada

perkembangan selanjutnya, esplanade tidak hanya berupa ruang tepian kanal benteng kota namun mencakup

semua tepian air seperti laut, sungai, dan danau. Esplanade merupakan ruang linier dengan ketinggian tertentu

yang memungkinkan publik berjalan-jalan di tepian air, terlepas dari situasi pasang surut air, tanpa harus

berkontak langsung dengan air. Penyediaan ruang publik pejalan kaki tepian air (esplanade) Jalan Penghibur

Kota Makassar (Gambar 1) oleh Pemerintah Kota di ditujukan sebagai area rekreatif pusat kota yang strategis.

Keberadaaan ruang publik untuk tujuan rekreatif pada umumnya mengundang kemunculan pedagang kaki lima

(PKL) sebagai salah satu bagian yang mendapat sebutan masyarakat marjinal (Kurniawati, 2012). Apabila tidak

ditangani maka keberadaan PKL berkembang cenderung tak terkendali sejalan proses penyebaran secara

berkelompok (aglomerasi) ataukah secara berpencar. Berbeda dari penyebaran PKL secara berpencar yang

didorong oleh persaingan ketat dan usaha mencari lokasi strategis yang menguntungkan, PKL berkelompok

terjadi karena dorongan untuk memberikan pelayanan kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan komoditi

yang dibutuhkan pada waktu bersamaan. Selain itu, pengelompokan mengurangi persaingan dan

memungkinkan kerja sama antar pedagang. Penyebaran ini juga dapat disebabkan oleh adanya aktifitas-aktifitas

khusus yang menarik seluruh perhatian masyarakat konsumen (Purwanti & Masturi, 2012). Penyediaan area

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

107

ANJUNGAN PANTAI LOSARI

PKL oleh Pemerintah Kota di ruas ruang publik pejalan kaki tepian air (esplanade) Jalan Penghibur Kota

Makassar merupakan tipe PKL berkelompok.

PKL termasuk kategori sektor popular atau sektor komunitas di luar sektor publik dan sektor privat. Aktivitas

PKL merupakan bidang usaha informal, tidak resmi, atau ilegal, dan merupakan aktivitas usaha yang sederhana.

Pada kenyataannya keberadaan PKL memikiki dua sisi yang selalu mengundang perdebatan (Yatmo, 2009;

Purwanti & Masturi, 2012; Forkuor, Akuoko, & Yeboah, 2017). Sisi negatif keberadaan PKL adalah

kecenderungan merusak tatanan ruang kota, mengubah fungsi ruang publik kota, mengubah rencana pola

struktur kawasan kota, dan merusak citra kota. Sisi positif keberadaan PKL adalah fungsi sosial dan ekonomi

yaitu membuka lapangan kerja dan usaha baru, meningkatkan penghasilan masyarakat, terciptanya nodes atau

path kawasan komersial kota pada waktu siang hingga malam hari, berkontribusi untuk pendapatan daerah

melalui pembayaran retribusi, menciptakan interaksi sosial masyarakat

PKL dapat dibedakan menurut kriteria operasional menjadi 2 tipe, yaitu: 1. PKL Tertata: dalam usaha sehari-

hari menempati lokasi yang telah sesuai atau diijinkan oleh pemerintah daerah setempat. Tipe PKL ini memiliki

surat ijin tempat usaha, dan harus menaati ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan seperti membayar

retribusi serta menjaga kebersihan, keindahan, dan keamanan secara teratur. 2. PKL Binaan: dalam usaha

sehari-hari menempati lokasi larangan atau tidak diijinkan oleh pemerintah daerah setempat dan tidak

dikenakan pembayaran retribusi, namun keberadaannya selalu diawasi, dibina, dan diarahkan. (Purwanti &

Masturi, 2012). Penyediaan area PKL di ruas ruang publik pejalan kaki tepian air (esplanade) Jalan Penghibur

Kota Makassar merupakan salah satu tipe tertata.

Penyediaan ruas ruang publik pejalan kaki tepian air (esplanade) Jalan Penghibur Kota Makassar untuk area

PKL telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah Kota yang tertuang dalam Peraturan Daerah No. 44/2002. Pasal

2 ayat (1) dan (2) Perda menjelaskan bahwa PKL tidak boleh menempati trotoar atau badan jalan, dan

telah dicanangkan sejumlah jalan raya sebagai ‘wilayah bebas PKL’. Pasal 2 ayat (2) Perda juga menetapkan

sejumlah pelataran untuk tidak dapat digunakan pada siang hari antara pukul 05.00 sampai 17.00 WITA.

Pemilihan lokasi esplanade ini adalah secara purposif. Kriteria pemilihan berdasarkan pertimbagan: merupakan

area terbangun yang disediakan Pemerintah Kota untuk PKL tipe legal, dan tertata, memiliki posisi strategis

bagi kunjungan konsumen oleh keterhubungan dengan anjungan-anjungan publik sepanjang Pantai Losari,

merupakan PKL tipe berkelompok yang mudah diamati, dan keberadaan sebagai ruas terbangun terakhir di

tepian pantai memerlukan evaluasi paska pemanfaatan memfokus pada indikator kualitas lingkungan akibat

keberadaan guna-campur antara aktivitas rekreasi, komersial, sirkulasi, dan perparkiran.

Ruas ruang terbuka publik esplanade sisi pantai (Gambar 2) terbuka ke arah barat menghadap ke laut dan

matahari terbenam (sunset), berbentuk linier dengan panjang sekitar 220 m dan lebar 10 - 12 m. Pada sisi tepian

air terdapat tanggul pembatas setinggi 40 cm dan lebar 80 cm sebagai pelindung sekaligus memungkinkan

pemanfaatan sebagai tempat duduk. Pada sisi Jalan Penghibur terdapat jalur vegetasi dengan tipe pepohonan

peneduh dan perdu dan pagar pembatas transparan setinggi 150 cm yang melindungi area PKL dengan

lalulintas kendaraan tanpa menghalangi pandangan ke dan dari arah kawasan komersial ruko di seberang jalan.

Gambar 1. Lokasi Penelitian: Ruas Esplanade

”ESPLANADE”

Anjungan Pantai Losari

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

108

Gambar 2. Ruang Publik Ruas Esplanade di Jalan Penghibur, Kota Makassar

Pertanyaan penelitiannya adalah: Bagaimana pola perilaku pengguna dalam aktivitas PKL di Jalan Penghibur,

Kota Makassar? Indikator kualitas lingkungan apakah yang berkait erat dengan terbentuknya pola perilaku

tersebut?

TINJAUAN PUSTAKA

Carmona dkk (2008) menyatakan bahwa ruang publik berkaitan dengan seluruh bagian lingkungan terbangun

maupun alami yang menyediakan akses bebas untuk seluruh masyarakat. Ruang publik mencakup semua ruang

jalan dan ruang terbuka di kawasan predominasi perumahan, komersial, maupun kemasyarakatan; ruang terbuka

publik dan taman; serta area interfasa internal-eksternal ruang publik-privat yang lazim menyediakan akses

bebas seperti ruang ibadah dan balai kota.

Menurut Carr (1992), faktor utama yang menentukan kualitas ruang publik adalah tanggap (responsive),

demokratis (democratic) dan bermakna (meaningful). Responsif dalam arti harus dapat digunakan untuk

berbagai kegiatan dan kepentingan luas; demokratis berarti seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum

dari beragam latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia;

dan bermakna berarti harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas, serta dengan konteks sosial.

Kualitas lingkungan merupakan issu fundamental yang berdampak langsung pada bagaimana pengguna

mempersepsikan, menggunakan, dan bersosialisasi di ruang publik perkotaan, dan berimplikasi pada viabilitas

kehidupan ruang publik untuk berbagai aktivitas ekonomi (Gehl, 1996). Selanjutnya ditegaskan (Gehl, 2010)

bahwa kualitas lingkungan ruang publik dan juga tipe-tipe aktivitas pengguna yang berlangsung ditentukan oleh

faktor-faktor terukur dan nyata, yaitu: ukuran (size), wujud (shape), keterkaitan (connections), karakter elemen

dalam ruang (disposition), dan rancangan detil elemen-elemen tersebut (detailed design).

Teori yang lebih awal antara lain oleh White (1980) lebih menegaskan prespkripsi fisik untuk kualitas suatu

tempat. Hasil studi observasinya mengenai ruang-ruang publik di New York menyimpulkan persyaratan

kualitas lingkungan yaitu: lokasi baik dengan preferensi pada jalur sibuk aktivitas yang mudah dicapai

(accessible) secara fisik dan visual; jalan raya menjadi bagian ruang sosial; ketinggian permukaan (level) ruang

publik sama atau hampir sama dengan ketinggian permukaan ruang jalan atau jalur pejalan; tersedia tempat-

tempat duduk sebagai bagian integral ruang seperti tangga maupun tersendiri seperti bangku dan kursi; tempat

duduk yang dapat dipindah-pindahkan (movable) untuk fasilitasi berbagai pilihan dan kesempatan komunikasi

sesuai karakteristik dan kebutuhan pengguna.

Project for Public Space (2000) menyimpulkan hasil studinya bahwa terdapat 4 indikator lingkungan urban

berkualitas tinggi, yaitu: akses (access) dan keterkaitan (linkage)– kemudahan penggunaan, kemudahan terlihat,

kemudahan pencapaian, dan kemudahan memasuki; guna ruang (uses) dan kegiatan (activities) – menawarkan

alasan untuk berada dalam ruang, hidup (vital) dan karakter khusus (unique); kenyamanan (comfort) dan citra

(image) – aman (safe), bersih (clean), hijau (green), kaya karakter (full of characters), dan menarik (attractive);

ramah (sociability, convivial) – mengembangkan komunitas ketetanggaan (neighbourliness), pertemanan

(friendship), keterhubungan (interaction), keberagaman (diversity), kebanggaan (pride).

Shaftoe (2008: 92-124) mengungkapkan bahwa kualitas ruang publik yang ramah dan efektif ditentukan oleh 2

faktor: 1. kenyamanan (comfort): elemen tempat duduk (seatings), titik pandang luas (vantage points), naungan

dan lindungan (sherlter & protection), tempat duduk yang dapat dipindahkan (movable/portable seating),

tempat sandaran (leaning), tempat sanitasi diri (toilet), tempat makan-minum; 2. kesenangan (joy): lansekap

lunak dan keras, warna, objek seni publik, dan hiburan (entertainment).

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

109

Sholihah & Heath (2016) pada penelitiannya tentang kualitas Jalan Pasar Baru Jakarta sebagai jalan tradisional

menyatakan bahwa indikator kualitas ditentukan oleh keberagaman yang dibedakan menjadi 6 tema, yaitu:

keragaman pola jalan dan bangunan, keragaman guna lahan dan komoditas eceran (retail), keragaman etnik dan

ruang multikultur, keragaman etnik dan festival jalanan, keragaman etnik dan makanan, keragaman etnik dan

bisnis spesial.

Berdasarkan uraian teroritis mengenai indikator kualitas lingkungan ruang publik di atas dapat dianalisis

keterkaitan antar-pandangan untuk menyimpulkan atribut kualitas lingkungan dalam konteks aktivitas PKL

menurut perspektif pedagang dan pembeli, sebagai berikut:

Tabel 1. Atribut Kualitas Lingkungan menurut Analisis Teoritis

White, 1980 Carr, 1992 Gehl, 1996 &

2010 PPS, 2000 Shaftoe, 2008

Atribut kualitas lingkungan

Pedagang Pembeli

Lokasi &

oencapaian:

mudah

dicapai fisik

& visual

Keterkaitan:

antar ruang

dan antar

pengguna

Akses &

keterkaian:

kemudahan

pencapaian,

keterlihatan,

penggunaan

Kenyamanan:

titik-titik

pandangan luas

Keuntungan Aksesibilitas

Keramaian

Visibilitas

Legibilitas

Responsif:

Keberagaman

aktivitas &

kepentingan

Keramahan:

komunitas,

ketetanggaan,

pertemanan,

interaksi,

keberagaman,

kebanggaan

Keragaman Sosiabilitas

Keramaian

Kebanggaan Makna

Tempat

Ketinggian:

permukaan

sama/setara

Ukuran:

ruang dan

elemen

Kenyamanan:

tempat duduk

integral &

portabel Keuntungan Adaptabilitas Tempat

duduk:

intergral

maupun

berpindah

Wujud/Bentu

k:

ruang &

elemen

Rancangan

detil:

ruang &

elemen

Kenyamanan

naungan,

sandaran, &

lindungan

Demokratis:

keberagaman

pengguna

dan

inklusivfitas

Guna ruang &

aktivitas:

alasan.tujuan

khusus,

hidup/vital,

karakter

khusus/unik

Legalitas

Aksesibilitas

Keamanan

Keragaman

Ruang

sosial:

jalan dan

ruang publik

sebagai

bagian dari

ruang sosial

Bermakna:

interaksi

antar ruang,

pengguna, &

komunitas

dalam

konteks

sosial

Kebanggaan Makna tempat

Karakter:

elemen-

elemen dalam

ruang

Kenyamanan

dan citra:

aman, bersih,

hijau, kaya

karakter,

menarik

Kebanggaan

Makna

Tempat

Legibilitas

Sumber: tinjauan teoritis, 2018

Hasil analisis teoritis di atas menyimpulkan bahwa terdapat 6 atribut lingkungan dari perspektif pedagang,

yaitu: keuntungan, keramaian, keragaman, kebanggaan, keamanan, dan legalitas, serta 6 atribut dari perspektif

pembeli/konsumen, yaitu: aksesibilitas, visibilitas, legibilitas, sosiabilitas, adaptabilitas, dan makna tempat.

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

110

METODE

Penelitian menggunakan metode survei. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, pemetaan, dan

wawancara semi-terstruktur. Menurut Barker (1968, dalam Joyce 2005: 175), behavior setting didefinisikan

sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dan kriteria berikut: (i) terdapat suatu aktifitas

yang berulang berupa suatu pola perilaku, (ii) dengan tata lingkungan tertentu, (iii) membentuk suatu hubungan

yang sama antar keduanya, (iv) dan dilakukan pada periode waktu tertentu. Pemetaan ini dimaksudkan untuk

mengetahui bagaimana manusia atau seketompok manusia memanfaatkan, menggunakan dan

mengakomodasikanperilakunya dalam suatu waktu pada tempat tertentu. Prosedur pemetaan sebagai berikut

(Haryadi & Setiawan, 1995: 72–75; Joyce, 2005 & 2014): 1. Membuat sketsa tempat/setting yang meliputi

seluruh unsur fisik yang diperkirakan mempengaruhi perilaku pengguna ruang; 2. Membuat daftar perilaku

yang akan diamati serta menentukan simbol/ tanda sketsa setiap perilaku; 3. Dalam kurun waktu tertentu,

peneliti mencatat bcrbagai perilaku yang terjadi.

Subyek amatan terdiri atas pedagang dengan sampel keseluruhan 25 unit PKL yang dipilih secara sensus dan 60

pembeli yang dipilih secara aksidental. Survei dilakukan pada jam puncak di akhir pekan dengan pencatatan

berdurasi setiap jam untuk rentang waktu 4 jam antara jam 17 - 21 WITA. Analisis data menggunakan

pemetaan perilaku tipe place-centered yang didasarkan pada latar perilaku (behaviour setting), didukung dengan

statistik deskriptif menggunakan tabulasi. Tabulasi silang mempertautkan indikator kualitas lingkungan yang

terdiri atas fitur lingkungan dan atribut lingkungan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Perilaku PKL

Secara spasial perilaku PKL pada area esplanade dipetakan secara place-centered dengan fokus amatan pada

posisi ruang, pengelompokan, dan karakteristik pembeli menurut tipe daur hidup (lansia, dewasa, remaja, anak-

anak), tipe komunitas (kelompok keluarga, kelompok pertemanan, 2 orang, soliter). Secara temporal dipetakan

setiap satu jam berjalan, yaitu pada pukul 17-16, 18-19, 19-20, dan 20-21. (Gambar 3 sampai Gambar 7).

Pada pola perilaku secara spasial, zona paling padat hingga sesak pembeli adalah pada posisi tengah. Hal ini

berkait dengan posisi kedekatan dan kemudahan pencapaian melalui dua jalan tembus dari tengah arah kota

(aksesibilitas). Posisi hadapan jalan tembus juga mempermudah zona tengah terlihat (visibel) dan dikenali

(legibel) oleh pengunjung ataupun pelintas jalan sehingga tertarik untuk singgah. Zona paling longgar adalah

posisi utara. Hal ini berkait dengan posisi jauh dari kawasan anjungan-anjungan di arah selatan dan tidak

langsung berhadapan dengan jalan-jalan tembus (aksesibilitas).

Pengunjung bebas memilih unit PKL di sepanjang ruang publik esplanade serta bebas memilih posisi duduk

masing-masing (adaptabilitas). Ini dimungkinkan oleh elemen tempat duduk integral di atas tanggul yang dapat

dialas tikar plastik sesuai kebutuhan, serta tempat duduk portabel kursi plastik dan meja makan portabel yang

dapat digeser-geser sesuai kebutuhan komunitas pengunjung dalam jumlah maupun preferensi posisi dalam

ruang (adaptabilitas). Mayoritas pengunjung adalah kelompok remaja sebagai yang terbanyak dan kelompok

dewasa. Hal ini berkait dengan kunjungan dalam hubungan komunitas pertemanan sebagai yang terbanyak,

disusul dengan komunitas keluarga, keduanya dalam besaran kelompok berkisar 2 orang – 8 orang. Posisi

tepian area pada sisi tanggul yang menjauhi hiruk-pikuk interaksi dan transaksi pedagang-pembeli cenderung

ditempati oleh komunitas remaja. Hal ini tampaknya berkait dengan kebutuhan privasi di dalam sosiabilitas

mikro kelompok masing-masing.

Gambar 3. Suasana aktivitas PKL pada rentang waktu pukul 17.00-21.00 WITA

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

111

Gambar 4. Pemetaan pada pukul 17.00 – 18.00

Gambar 5. Pemetaan pada pukul 18.00 – 19.00

Gambar 6. Pemetaan pada pukul 19.00 – 20.00

Gambar 7. Pemetaan pada pukul 20.00 – 21.00

Untuk pola perilaku secara temporal, aktivitas PKL pada awalnya menampakkan pengunjung menempati posisi

bukan menurut komoditas dagangan yang cenderung serupa. Posisi lebih ditentukan oleh jarak menjauh dari sisi

jalan dan pedagang sehingga mendekat ke sisi tepian air, juga oleh jarak antar kelompok dengan komunitas

pengunjung lain. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan interaksi maksimum dalam kelompok sendiri

(sosiabilitas mikro) dan minimum antar-kelompok (sosiabilitas meso) maupun masyarakat sekitar (sosiabilitas

mikro). Namun, pada saat terjadi puncak kepadatan dan keramaian, secara mengejutkan pengunjung

menyatakan tidak saling terganggu privasi komunitas masing-masing meskipun duduk dalam posisi saling

berbaur dengan komunitas lain. Hal ini mengindikasikan keramahan tidak hanya pada atribut lingkungan namun

juga pada karakter kemanusiaan masyarakat pengguna.

Pemadatan pengunjung terjadi sejalan dengan waktu, semakin malam semakin ramai dan padat pada zona

tengah, namun makin sepi pada zona utara. Pada tingkat kepadatan tinggi terlihat pedagang dapat meminjamkan

kursi untuk pembeli pedagang di sebelahnya, atau sebaliknya, pengunjung membeli komoditas dari dua unit

PKL yangberbeda. Hal ini menguatkan terjadinya aglomerasi pedagang yang memudahkan pelayanan bagi

pembeli. Pedagang menyatakan tidak mengkawatirkan kemungkinan merugi (atribut keuntungan) selama

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

112

pengunjung selalu ramai setiap malam (atribut keramaian) selama dapat berdagang dengan legal dan aman

(atribut legalitas dan keamanan).

Karakteristik Pedagang

Domisili pedagang relatif dekat dengan lokasi PKL yaitu di kawasan pusat kota dan pesisir Kota Makassar.

Usia dominan produktif matang dengan tingkat pendidikan rendah. Lama bekerja sebagai PKL beragam antara

kurng dari setahun hingga lebih dari 21 tahun, namun penghasilan dominan di bawah UMR Kota Rp. 2.7 juta,

dengan komoditas dominan kombinasi makanan dan minuman (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik Pedagang

KARAKTERISIK PEDAGANG N % CATATAN

Domisili

(Kec.)

Makassar 12 48

Dominasi

kawasan pusat

kota

& pesisir

U. Pandang 4 16

Tamalate 3 12

Mamajang 3 12

Mariso 2 8

Maccini S. 1 4

25 100

Usia (Thn)

15 - 25 2 8

Dominasi usia

produktif

matang

26 - 40 14 56

41 - 65 9 36

> 65 0 0

25 100

Pendidikan

SD/SMP 16 64 Dominasi

pendidikan

rendah

SMA/setara 9 36

Sarjana 0 0

25 100

Lama mata

pencaharian PKL

(thn)

< 1 4 16

Beragam,

percampuran

pedagang baru

dan lama

1 - 5 8 32

6 - 10 8 32

11 - 20 1 4

> 21 4 16

25 100

Penghasilan (juta

rp.)

< 0.9 10 40

Dominasi

dibawah UMR

Rp. 2.7 juta

0.9 - 1.8 3 12

1.8 - 2.7 3 12

2.7 - 5.4 6 24

> 5.4 3 12

25 100

Komoditas Makanan &

minuman 20 80

Dominasi

makanan &

minuman

Karakteristik Pembeli

Domisili pembeli relatif luas meliputi wilayah kota, propinsi, dan luar propinsi. Usia dominan kalangna muda

dan produktif muda dengan tingkat pendidikan menegah dan tinggi. Jenis pekerjaan dan, tingkat penghasilan

sangat beragam, mengindikasikan keluasan cakupan konsumen. Kunjungan di lokasi PKL dalam komunitas

beragam namun didominasi oleh grup teman sejawat (45%). Frekuensi kunjungan dominan adalah sering atau

berulang lebih dari 3 kali (60%) (Tabel 3). Mayoritas tujuan kunjungan adalah menikmati pemandangan

(81.7%) dan makan-minum atau kuliner (80%) (Tabel 3).

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

113

Tabel 3. Karakteristik Pembeli

KARAKTERISIK PEMBELI N % CATATAN

Domisili

(Kec.)

Kota Makassar 36 60 Cakupan luas,

wilayah kota &

propinsi

Sulawesi Selatan 21 35

Luar Sul-Sel 3 5

60 100

Usia (Thn)

15 - 25 26 43.3

Dominasi

kalangan muda

dan dewasa muda

26 - 40 24 40

41 - 65 10 16.7

> 65 0 0

60 100

Pendidikan

SD/SMP 6 10 Dominasi

pendidikan

menengah dan

tinggi

SMA/setara 26 43.3

Sarjana 28 46.7

60 100

Pekerjaan

PNS/Guru/Dosen 18 30

Beragam

Wiraswasta 15 25

Karyawan/Buruh 15 25

Mahasiswa/Siswa 9 15

Nelayan/Petani 2 3.3

Ibu rumah tangga 1 1.7

60 100

Penghasilan

0 8 13.3

Beragam

< 0.9 14 23.3

0.9 - 1.8 3 5

1.8 - 2.7 2 3.3

2.7 - 5.4 18 30

> 5.4 15 25

60 100

Komoditas

Sendiri 9 15 Beragam,

dominasi

teman/sejawat

Teman/sejawat 27 45

Keluarga 24 40

60 100

Frekuensi

kunjungan

Pertama kali 7 11.7

Dominasi

pengunjung

berulangkali

Jarang 13 21.7

Sering (> 3x) 36 60

Rutin 4 6.7

60 100

Atribut Kualitas Lingkungan menurut Pedagang

Menurut pandangan pedagang, atribut lingkungan terkuat adalah legalitas (68%), disusul dengan keramaian

aktivitas (64%) dan keamanan (56%). Hal ini menunjukkan bahwa atribut-atribut tersebut jau ebih penting

daripada atribut ekonomi atau keuntungan semata (Grafik 1).

Atribut Kualitas Lingkungan menurut Pembeli

Menurut pandangan pembeli, atribut paling kuat pada adaptabilitas dan sosiabiitas mikro (80%), cukup kuat

pada visibilitas dan legibilitas, namun lemah pada aksesibilitas universal (35%). Terkhusus atribut makna

menunjukkan keragaman, paling kuat sebagai makna wisata yaitu kuliner (65%) dan pantai (63.3%),namun

lemah sebagai ruang sosial warga dan wajah kota berciri kemaritiman. Hal ini berkait dengan atribut yang

lemah pula dalam sosiabilitas meso (11.7%) dan makro (5%). Atribut makna sebagai ruang tepian air juga

sangat lemah (11.7%). Wisata pantai kuat namun pembeli tampaknya kurang terhubung dengan air (Tabel 4).

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

114

68.0 64.0

56.0 44.0 44.0

8.0

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0

Legalitas

Keramaian aktivitas

Keamanan

Keuntungan

Keberagaman pengunjung

Nilai prestis/kebanggaan

ATRIBUT LINGKUNGAN (PEDAGANG) (%)

Grafik 1. Atribut Kualitas Lingkungan menurut Pedagang

Tabel 4. Atribut Kualitas Lingkungan menurut Pembeli

KARAKTERISIK PEMBELI N % CATATAN

Aksesibilitas

Ramah difabilitas 4 6.7 Atribut lemah dalam aksesibilitas secara

disain universal Ramah pejalan kaki 17 28.3

Transportasi publik 25 41.7 Atribut kuat, namun didominasi transportasi

pribadi Transportasi pribadi 48 80.0

Keterkaitan dengan anjungan 13 21.7 Atribut lemah dalam interkoneksitas kawasan

Keterkaitan dengan kawasan 21 35.0

Sosiabilitas

Interaksi dengan masyarakat

sekitar 3 5.0

Dominasi interaksi dalam grup-grup

tersendiri mengindikasikan terciptanya

privasi dalam ruang publik sebagai atribut

sosiabilitas mikro yang kuat namun lemah

dalam sosiabilitas meso dan makro

Interaksi antar grup pembeli 7 11.7

Interaksi dalam grup pembeli 21 35.0

Interaksi antara 2 pembeli 27 45.0

Tidak berinteraksi/soliter 8 13.3

Visibilitas

Terlihat dari jauh 16 26.7

Atribut kuat dalam visibilitas Terlihat dari dekat 29 48.3

Sebagian terlihat dari dekat 15 25.0

Tidak terlihat 0 0.0

Adaptabilitas

Sangat mudah disesuaikan 25 41.7

Atribut kuat dalam adaptabilitas Mudah disesuaikan 21 35.0

Sebagian dapat disesuaikan 13 21.7

Tidak dapat disesuaikan 1 1.7

Legibilitas

Sangat mudah dikenali 8 13.3

Atribut cukup kuat dalam legibilitas Mudah dikenali 31 51.7

Sebagian dapat dikenali 21 35.0

Tidak dapat dikenali 0 0.0

Makna tempat

Wajah kota 12 20.0

Atribut paling kuat didominasi oleh makna

wisata, cukup kuat sebagai ruang sosial warga

dan wajah kota berciri kemaritiman namun

lemah sebagai ruang tepian air

Jejak sejarah setempat 0 0.0

Ruang warga kota 9 15.0

Wisata pantai 38 63.3

Ruang tepian air 7 11.7

Ciri kemaritiman 10 16.7

Ruang sosial 13 21.7

Tempat ekspresi diri 4 6.7

Wisata kuliner 39 65.0

Wisata budaya 5 8.3

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

115

KESIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan bahwa:

1. Aktivitas PKL di ruang publik esplanade Jalan Penghibur di Kota Makassar menunjukkan konvivialitas

lingkungan, vitalitas ekonomi, dan viabilitas sosial. Penempatan pada ruang esplanade telah mendorong

terjadinya aglomerasi aktivitas komersial dan rekreatif yang mengindikasikan keteraturan dan kenyamanan

spasial maupun temporal bagi pedagang, pembeli, maupun pengunjung kawasan yang didominasi oleh

komunitas remaja dan dewasa muda.

2. Atribut kualitas lingkungan yang erat berkait dengan terbentuknya pola perilaku tersebut menurut

pedagang adalah: legalitas, keramaian dan keamanan, melampuai atribut keuntungan semata. Atribut

kualitas lingkungan menurut pembeli terkuat adalah adaptabilitas dan makna wisata kuliner dan wisata

pantai, cukup kuat dalam legibilitas, visibilitas, dan sosiabilitas, namun lemah dalam atribut aksesibilitas

menurut disain universal, dan atribut makna tepian air.

Selain itu, terjadinya pembauran pengguna yang beragam dalam posisi duduk yang saling bersesakan pada

waktu-waktu puncak kepadatan aktivitas tanpa saling terganggu privasi masing-masing menunjukkan

karakteristik keramahan PKL tidak hanya pada atribut lingkungan namun juga pada sisi kemanusiaan

penggunanya.

REKOMENDASI

Penelitian selanjutnya disarankan melanjutkan dengan teknik analisis kuantitatif menggunakan statistik korelasi

untuk menentukan tingkat signifikansi korelasi antara vitalitas ekonomi dan viabilitas sosial dengan atribut

kualitas lingkungan. Pemerintah Kota disarankan untuk memperbaiki kualitas penataan ruang publik esplanade

Jalan Penghibur dengan prioritas jangka pendek pada aspek aksesibilitas dan perancangan arsitektur lansekap

yang memfokus pada perkuatan makna sebagai ruang publik tepian air (esplanade).

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih disampaikan kepada Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin atas dukungan dana penelitian skim

Implementasi Sistem Pembelajaran Laboratory-Based Education/LBE tahun anggaran 2018, juga kepada

mahasiswa S2 Arsitektur 2017 Husnirrahman, ST serta mahasiswa S1 Arsitektur 2016 Irwansyah dan Zulhilmi

Barsah yang telah membantu dalam pengumpulan data.

PUSTAKA

Adhitama, M.S., 2013. Faktor Penentu Setting Fisik dalam Beraktifitas di Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus

Alun-Alun Merdeka Kota Malang, Jurnal RUAS, Volume 11 N0 2, Desember 2013, h. 1-9.

Carmona, M., Heath, T., Oc, T, & Tiesdell, S., 2003, Public Places Urban Spaces: The Dimensions of Urban

Design, New York: Architecture Press.

Carmona, M., Magalhaes, C. and Hammond, L., 2008. Public Space: The Management Dimension, Abingdon:

Routledge.

Ching, F. D. K., Jarzombek, M., & Prakash, V., 2011. A Global History of Architecture, 2nd Edn, Hoboken,

NJ: John Wiley & Sons.

Gehl, J., 1996. Life between Buildings: Using Public Space, New York: Van Nostrand Reinhold.

Gehl, J., 2010. Cities for People, NY: Island Press.

John B. Forkuor, J.B., Akuoko, K.O., & Yeboah, E.H., 2017. Negotiation and Management Strategies of Street

Vendors in Developing Countries: A Narrative Review. Sage Open, January-March 2017, 1 –13.

Haryadi & Setiawan, B., 1995. Arsitektur Lingkungan & Perilaku, Yogyakarta: Direktorat Jendral Pendidikan.

Kurniawati, W., 2012. Public Space for Marginal People, Social and Behavioral Sciences, 36, h. 476–484 .

PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018

Volume 4 : November 2018

116

Laurens, J. M., 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia, Jakarta: Grasindo.

Laurens, J.M., 2014. Model Penggunaan Kreatif dalam Perencanaan Ruang Publik. Prosidings Seminar &

Lokakarya Pemberdayaan Area Publik di Dalam Kota. Universitas Petra, Surabaya, September 2014.

Pemerintah Kota Makassar, 2002. Peraturan Daerah No. 44 tentang Pedagang Kaki Lima.

Project for Public Space, 2000. How to Turn a Place Around: A Handbook for Creating Successful Public

Spaces, New York: PPS.

Purwanti, H. & Masturi. 2012. Usaha dan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Lumajang. Jurnal

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang, Vol.3 No.2, h. 69-77.

Shaftoe, H., 2008. Convivial Urban Spaces, Creating Effective Public Places, London & Sterliing, VA:

Earthscan Publishing.

Sholihah, A.B. & Heath, T., 2016. Assessing the Quality of Traditional Street in Indonesia: a case study of

Pasar Baru Street. Social and Behavioral Sciences, 234, h. 244 – 254.

White.W.H., 1980. The Social Life of Small Urban Spaces. New York: Project for Public Spaces.

Yatmo, Y.A., 2009. Perception of street vendors as “out of place” urban elements at day time and night time.

Journal of Environmental Psychology, 29, 467-476.