POLA ASUH ORANG TUA PENYANDANG TUNANETRA DALAM...
Transcript of POLA ASUH ORANG TUA PENYANDANG TUNANETRA DALAM...
POLA ASUH ORANG TUA PENYANDANG TUNANETRA DALAM
MEMBENTUK KEMANDIRIAN ANAK DI KOTA DEPOK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Nadya Rizky Amalia
NIM. 11150541000027
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019
3
i
i
ABSTRAK
Nadya Rizky Amalia (11150541000027), Pola Asuh Orang
Tua Penyandang Tunanetra Dalam Membentuk
Kemandirian Anak di Kota Depok.
Tujuan penelitian ini antara lain adalah untuk, (1)
menggambarkan kecenderungan pola asuh orang tua penyandang
tunanetra dalam membentuk kemandirian anak. (2)
menggambarkan keterkaitan antara pola asuh orang tua
penyandang tunenetra dalam membentuk kemandirian anak.
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif. Jenis penelitian deskriptif. Pada
jenis penelitian deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-
kata, gambar dan bukan angka-angka. Data tersebut berasal dari
wawancara dengan 6 orang informan dari 3 keluarga, yaitu 3 dari
orang tua penyandang tunanetra dan 1 anak dari masing-masing
keluarga yang tinggal di Kota Depok terkhusus Kecamatan
Cinere. Tujuan secara garis besar dalam penelitian ini adalah
membahas tentang bagaimana pengasuhan yang dilakukan orang
tua penyandang tunanetra dalam membentuk kemandirian anak.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa pola asuh orang
tua penyandang tunanetra di Kota Depok khususnya Kecamatan
Cinere menggunakan tipe pola asuh otoritatif. Orang tua
penyandang tunanetra dalam pengasuhan tidak memiliki
perbedaan yang mencolok atau khas dari orang tua normal
lainnya, namun orang tua penyandang tunanetra lebih interaktif
dan komunikatif dengan anak dan anggota keluarga lainnya.
Indra bicara dan pendengaran menjadi alat bantu yang paling bisa
diandalkan orang tua penyandang tunanetra dalam menjalankan
fungsinya sebagai orang tua dan dalam berkeluarga. Dalam
kemandirian anak, orang tua penyandang tunanetra membiasakan
anak untuk belajar melakukan suatu hal atau aktivitas sehari-
harinya sendiri sejak anak masih kecil, dan orang tua memberikan
tauladan kepada anak dengan mencontohkan dan
mengajarkannya.
Kata Kunci: Pola Asuh Orang Tua, Orang Tua Tunanetra,
Kemandirian Anak
ii
MOTTO
Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran
(yang kau jalani) yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa
pedihnya rasa sakit.
–Imam Ali bin Abi Thalib AS
“One day you will look back at the most difficult times of your
life and you will smile at how you got through them and how you
grew through such experiences.
But Allah knew from the beginning that you were able to get
through it as He promised not to test any of us beyond our
abilities.”
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil „alamin.
Segala puji hanya milik Allah yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga
tercurah untuk rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, keluarga
dan para sahabatnya.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan
sebagai syarat meraih gelar sarjana sosial program studi
Kesejahteraan Sosial. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk
memperbaiki skripsi ini, serta penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
1. Bapak Suparto, M.Ed, Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Ibu Dr. Siti Napsiyah Ariefuzzaman, MSW sebagai
Wakil Dekan Bidang Akademik. Bapak Dr. Sihabuddin
Noor, MA sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi
Umum. Bapak Drs. Cecep Sastrawijaya, MA sebagai Wakil
Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Bapak Ahmad Zaky, M.Si, sebagai Ketua Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
iv
Ibu Hj. Nunung Khoiriyah, MA selaku Sekretaris Program
Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si, sebagai dosen pembimbing
skripsi penulis. Terimakasih atas bimbingan, dukungan,
kesabaran, dan waktunya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Program Studi Kesejehteraan Sosial dan
seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas ilmu
yang telah diberikan, semoga dapat terus bermanfaat bagi
penulis untuk dikemudian hari.
5. Ibu Ellies Sukmawati M.Si, sebagai dosen penasehat
akademik.
6. Seluruh pihak Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dan Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan fasilitas
penulis dalam memperoleh referensi.
7. Kedua orang tua penulis, ayahanda Ahmad Zarkasih dan
ibunda Tita Rosita yang selalu mendoakan, memberikan
dukungan dan motivasi kepada penulis.
8. Kakak Lulu Luthfiah dan adik-adik penulis Muhammad
Zidan dan Muhammad Zaky Al-adib.
9. Kerabat terdekat yang telah memberikan bantuan terkhusus
kepada Adit Phicera, Sylpia Pahriri, Sahru Ramadhan, Eva
Indriyani, dan Astri.
10. Sahabat seperjuangan di kampus yaitu Dina Malihah, Azizah
Oktaviani Dewarte, Risma Tri Yurita yang telah bersama-
v
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................... i
MOTTO ................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................ vi
DAFTAR TABEL ................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................... x
DAFTAR BAGAN ................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Batasan Masalah............................................................ 9
C. Rumusan Masalah ......................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................... 10
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ........................................... 11
F. Metode Penelitian.......................................................... 14
G. Sistematika Penulisan ................................................... 24
BAB II LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori .............................................................. 27
1. Pola Asuh Orang Tua .............................................. 27
a. Pengertian Pola Asuh Orang Tua ...................... 27
b. Bentuk dan Dampak Pola Pengasuhan
Orang Tua .......................................................... 31
c. Dampak Pola Asuh terhadap
Kemandirian ..................................................... 39
2. Tunanetra ................................................................. 44
a. Pengertian Tunanetra ......................................... 44
vii
b. Faktor Terjadinya Ketunanetraan ...................... 46
3. Kemandirian ............................................................. 47
a. Pengertian Kemandirian .................................... 47
b. Aspek-aspek Kemandirian................................. 51
c. Tingkatan dan Karakteristik
Kemandirian ...................................................... 53
d. Faktor Yang Mempengaruhi
Kemandirian ...................................................... 57
4. Kerangka Berpikir .................................................... 60
BAB III GAMBARAN UMUM KOTA DEPOK
A. Kondisi Geografis ......................................................... 61
1. Iklim ....................................................................... 64
B. Kondisi Demografi ........................................................ 65
1. Kependudukan ........................................................ 65
2. Ketenagakerjaan ..................................................... 68
3. Data Penyandang Disabilitas
di Kota Depok ........................................................ 69
C. Sejarah ........................................................................... 71
1. Pembagian Wilayah................................................ 72
2. Terbentuknya Kota Depok ..................................... 75
D. Perdagangan .................................................................. 77
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Data Informan ............................................................... 79
B. Penyandang Tunanetra di Kota Depok .......................... 90
1. Faktor Terjadinya Ketunanetraan ........................... 90
2. Profesi..................................................................... 91
C. Pola Asuh Orang Tua Penyandang Tunanetra .............. 93
viii
1. Tipe Pola Asuh Orang Tua Penyandang
Tunanetra ................................................................ 93
D. Kemandirian Anak ........................................................ 109
1. Kemandirian Anak ................................................. 109
2. Aspek-aspek Kemandirian ..................................... 129
BAB V PEMBAHASAN
A. Pola Asuh Orang Tua Penyandang Tunanetra .............. 141
B. Kemandirian Anak dari Orang Tua Penyandang
Tunanetra....................................................................... 149
C. Pola Asuh Orang Tua Penyandang Tunanetra
dalam Membentuk Kemandirian Anak ........................ 162
D. Pengawasan Orang Tua Penyandang Tunanetra ........... 164
E. Ciri Khas Pegasuhan Orang Tua Penyandang
Tunanetra dan Upaya Yang Dilakukan Dalam
Membentuk Kemandirian Anak .................................... 167
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 169
B. Implikasi ........................................................................ 170
C. Saran .............................................................................. 170
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 173
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Waktu Penelitian .................................................... 18
Tabel 3.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota
Depok 2017 ............................................................ 64
Tabel 3.2 Proyeksi Penduduk Menurut Kecamatan di
Kota Depok Tahun (Jiwa) 2015, 2016, 2017 ......... 66
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin
Munurut Kecamatan di Kota Depok, 2017 ............ 67
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di
Kecamatan Cinere Tahun 2017 .............................. 68
Tabel 3.5 Jumlah Penyandang Masalah Sosial dan
Kesejahteraan Menurut Jenisnya di Kota
Depok Tahun 2015-2017 ........................................ 70
Tebel 3.6 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Cacat di
Kecamatan Cinere Tahun 2017 .............................. 71
Tabel 3.7 Pergantian Kepemimpinan Kota Administratif
Depok ..................................................................... 74
Tabel 3.8 Pergantian Kepemimpinan Kota Depok ................. 75
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta Wilayah Kecamatan Cinere Kota
Depok ................................................................... 18
Gambar 3.1 Peta Wilayah Kota Depok .................................... 62
Gambar 3.2 Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota
Depok Tahun 2017 ............................................... 63
xi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir .................................................... 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini membahas latar belakang masalah
penelitian, pembatasan masalah penelitian, perumusan masalah
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian
terdahulu, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan
penelitian.
A. LATAR BELAKANG
Setiap orang tua pasti memiliki keinginan untuk
berhasil dalam membesarkan anaknya, orang tua pun punya
harapan dari masing-masing anak ketika nanti mereka menjadi
dewasa. Namun mengasuh anak bukanlah hal yang mudah, dan
pengasuhan orang tua juga sangat berpengaruh terhadap anak.
Semakin maraknya masalah anak melawan dan menganiaya
guru di sekolah merupakan salah satu penyebab dari pola
pengasuhan anak yang salah. Bahkan sampai terjadi kasus
dugaan kekerasan oleh teman sepermainan di Tanjungbalai,
Sumatera Utara. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Rita Pranawati angkat bicara atas kasus
tersebut. Dia menilai, pelaku bocah 10 tahun yang menyuruh
temannya minum air seni dan sekaligus membakar dengan
bensin, bisa digolongkan sebagai korban. Sudah seharusnya
orang tua dari anak pelaku melakukan evaluasi pengasuhan.
Khususnya menanyakan pada diri sendiri bagaimana hingga
anak bisa melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya
tersebut (Karouw 2018).
2
Selain dari pola pengasuhan anak yang salah,
penyebab lain dari perilaku anak/kenakalan anak bisa juga
terjadi karena faktor lingkungan. Faktor lingkungan
memegang peranan penting dalam membantu anak untuk
meyelesaikan tugas perkembangannya. Faktor lingkungan
yang dapat meyebabkan kenakalan anak diantaranya adalah,
pertama yaitu faktor lingkungan keluarga (rumah tangga),
beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang
dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak
harmonis, cenderung berkepribadian antisosial dan
berperilaku menyimpang. Kedua yaitu faktor lingkungan
sekolah, kondisi sekolah yang tidak kondusif dapat
menggangu proses belajar mengajar, yang pada gilirannya
dapat memberikan “peluang” pada anak untuk berperilaku
menyimpang. Misalnya, kurikulum sekolah yang sering
berganti-ganti, muatan agama/budi pekerti yang kurang
(Marliani 2016, 256). Ketiga yaitu faktor kondisi masyarakat
(lingkungan sosial), faktor kondisi lingkungan sosial yang
tidak sehat atau “rawan” merupakan faktor yang kondusif bagi
anak untuk berperilaku menyimpang. Faktor ini dapat dibagi
dalam dua bagian, pertama yaitu faktor kerawanan masyarakat
seperti tindak kekerasan dan kriminalitas, kesenjangan sosial,
anak-anak putus sekolah/anak jalanan, media informasi yang
menampilkan bacaan maupun tontonan yang sifatnya
pornografis dan kekerasan, maupun peredaran alkohol,
narkotika, dan obat-obatan terlarang lainnya. Kedua yaitu
faktor daerah rawan (gangguan KAMTIBMAS/keamanan dan
3
ketertiban masyarakat) seperti penyalahgunaan alkohol,
narkotika, dan zat adiktif lainnya, perkelahian perseorangan
atau berkelompok/massal, pencurian, perkosaan,
pembunuhan, dan lain sebagainya (Marliani 2016, 257).
Dengan kejadian yang sudah dipaparkan sebelumnya
mengingatkan tentang pentingnya orang tua untuk terus
menerus memberikan pengasuhan terbaik dan pengawasan
yang optimal untuk anak mereka. Anak usia sekolah dasar
memang sudah memasuki fase kemandirian, seperti mandiri
dalam bersosialisasi termasuk bermain dengan temannya.
Orang tua berperan untuk mengajarkan anak bagaimana
menolak perilaku kasar yang dilakukan teman, mengingatkan
dan tetap bersikap tegas terhadap perilaku buruk yang
ditujukan kepadanya. Selain itu, mendidik anak untuk
memiliki karakter yang baik sangat penting, misalnya seperti
mengingatkan mereka agar menyayangi dan menghargai
sesama.
Penelitian ini juga dilatarbelakangi karena kisah anak
yang mampu mandiri dan berprestasi walaupun dengan
keadaan orang tua yang memiliki keterbatasan, seperti kisah
Retno Puji Astuti dan Tri Widarti, yang terlahir dari kedua
orang tua yang tunanetra. Retno sukses membiayai hidup
keluarganya, mendapat beasiswa kuliah sehingga tak
mengeluarkan sepersen pun untuk kuliah, dan membanggakan
orang tua dengan lulus cumlaude dengan IPK 3,72 sebagai
calon bidan (Farid 2017). Sedangkan adiknya Tri Widarti, ia
juga sukses mendapatkan beasiswa selama kuliah dengan
4
meraih predikat cumlaude sebagai calon bidan dengan IPK
3.57. Dari kisah ini maka yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana orang tua yang memiliki keterbatasan seperti
penyandang tunanetra dapat mampu membuat anaknya
berhasil dari segi pendidikan maupun dari segi kemandirian
(Noristera 2018).
Syariat Islam mengajarkan bahwa mendidik dan
membimbing anak merupakan suatu kewajiban bagi seorang
muslim karena anak merupakan amanat yang harus
dipertanggungjawabkan oleh orang tua nanti. Pernyataan ini
dipertegas dalam Q.S Al-Tahrim 66:6, yang berbunyi:
ها يأ ين ٱ ي هليكم نارا وقودها لذ
نفسكم وأ
لجارة ٱو لنذاس ٱءامنوا قوا أ
ئكة غلظ شداد لذ يعصون ٱعليها مل مرهم ويفعلون ما للذ أ ما
٦يؤمرون
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan (Al-‘alaim Al-Qur’an dan
terjemahannya 2014, 651).
Orang tua pada fungsinya bertugas sebagai guru
pertama bagi seorang anak yang mengajarkan anak untuk
mengenal dirinya, memahami lingkungan, mengajarkan nilai
dan norma, membantu proses perkembangan, membentuk
kepribadian dan membangun kemandirian anak.
5
Menurut Fatimah (2010, 141), manusia terlahir dalam
kondisi yang tidak berdaya sehingga akan membuat manusia
tersebut bergantung kepada orang tua dan orang-orang yang
berada di lingkungannya hingga sampai dengan kurun waktu
tertentu. Anak akan perlahan-lahan melepaskan diri dari
ketergantungan dengan orang tua atau orang lain yang berada
disekitarnya dan mulai belajar untuk mandiri seiring dengan
berjalannya waktu dan berkembangnya anak. Melepaskan diri
dari ketergantungan dengan orang tua atau orang lain yang
berada disekitarnya dan mulai belajar untuk mandiri
merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh manusia.
Ini berarti mengartikan mandiri adalah kemampuan seseorang
untuk tidak bergantung kepada orang lain, terutama kepada
orang tua dan orang-orang yang ada disekitarnya, serta mampu
untuk bertanggung jawab atas semua hal yang telah
dilakukannya.
Mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
kemandirian, yaitu: (1) Gen atau keturunan orang tua, (2) Pola
asuh orang tua, (3) Sistem pendidikan di sekolah, dan (4)
Sistem kehidupan di masyarakat. Gen atau keturunan,
memiliki kecenderungan menurun kepada anak. Pola asuh,
cara mengasuh dan mendidik anak akan memengaruhi tingkat
perkembangan kemandirian anak. Sistem pendidikan, sekolah
yang tidak melaksanakan demokrasi pendidikan, menekankan
indoktrinasi menghambat kemandirian anak. Sistem kehidupan
di masyarakat, yang terlalu menekankan pentingnya hirarki
struktur sosial, kurang menghargai manifestasi potensi anak
6
dalam kegiatan produktif, menghambat perkembangan
kemandirian (Ali dan Asrori 2004, 118).
Berdasarkan salah satu faktor yang mempengaruhi
kemandirian anak adalah pola asuh orang tua. Pola asuh adalah
tata sikap dan perilaku orang tua dalam membina kelangsungan
hidup anak, pertumbuhan, dan perkembangannya dengan
memberikan perlindungan anak secara menyeluruh baik fisik,
sosial, maupun spiritual untuk menghasilkan anak yang
berkepribadian (Silalahi dan Meinarno 2010, 73). Penerapan
pola asuh antara satu keluarga dengan keluarga lain tentu
tidaklah sama. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai
faktor latar belakang masing-masing keluarga. Menurut
Edwards (2006, 16), pola asuh orang tua dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu: faktor pendidikan, faktor lingkungan tempat
tinggal dan faktor budaya masyarakat. Faktor tersebut sangat
menentukan cara orang tua dalam memilih pola asuh yang akan
diberikan terhadap anaknya. Pendidikan yang tinggi,
lingkungan tempat tinggal yang baik, dan budaya masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai dan norma akan sangat
mempengaruhi serta mendukung jalannya pola asuh orang tua.
Pada kenyataannya tidak semua manusia dilahirkan
dengan keadaan yang sempurna. Ada diantara manusia yang
sejak lahir atau pada saat masa perkembangannya mengalami
keterbatasan fisik. Hal ini menjadi masalah bagi manusia yang
mengalami keterbatasan fisik atau dikenal dengan istilah
penyandang disabilitas. Dalam hal ini (Efendi 2009, 36),
menjelaskan bahwa “aktivitas manusia dalam berinteraksi
7
dengan lingkungan sekitar akan efektif apabila
mengikutsertakan alat-alat indra yang dimiliki, seperti
penglihatan, pendengaran, perabaan, pembau, pengecap, baik
yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.”
Dengan kata lain ketika salah satu atau lebih fungsi indra
terganggu maka dampaknya akan berpengaruh terhadap indra-
indra yang lain. Konsekuensinya tidak dapat dipungkiri akan
menghambat kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan
lingkungan sekitar. Dengan demikian penyandang disabilitas
memiliki kemampuan yang berbeda, karena biasanya ketika
salah satu indra tidak dapat berfungsi dengan maksimal maka
satu atau dua indra yang lain akan lebih dominan digunakan.
Menurut ungkapan ketua umum Persatuan Tuna Netra
Indonesia (PERTUNI) Aria Indrawati dari total penduduk
Indonesia, sekitar 250 juta orang jumlah peyandang tunanetra
yang ada saat ini diperkirakan mencapai 1,5 % atau sekitar 3,75
juta orang (Cyril 2017). Pengertian tunanetra menurut (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) adalah tidak dapat melihat. Persatuan
Tunanetra Indonesia mendefinisikan orang tunanetra adalah
mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta
total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan
tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk
membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan
cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang
awas). Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak
mempunyai penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk
membedakan antara terang dan gelap. Orang dengan kondisi
8
penglihatan seperti itu dikatakan sebagai "buta total". Orang
tunanetra yang masıh memiliki sisa penglihatan yang
fungsional disebut sebagai orang "kurang awas" atau lebih
dikenal dengan sebutan "Low vision" (Wibowo 2013).
Walaupun dengan keterbatasan yang dimilikinya,
orang tua penyandang tunanetra suatu saat akan menjadi orang
tua yang harus mampu untuk memerankan tugas dan fungsinya
sebagai orang tua meskipun memiliki kemampuan yang
berbeda dengan orang tua lain. Orang tua penyandang
tunanetra pasti tetap akan berusaha untuk membina keluarga
dan anaknya agar menjadi pribadi yang baik, mandiri dan
membanggakan orang tua.
Peneliti dalam studi pendahuluan mendapatkan temuan
awal yang memberikan sedikit gambaran pola asuh orang tua
penyandang tunanetra penjual kerupuk terhadap anak yang
normal di sekitar Cinere Kota Depok. Yaitu bahwa orang tua
penyandang tunanetra dalam kesehariannya banyak
menghabiskan waktu untuk bekerja sebagai pedagang kerupuk
dan juga membuka jasa pijat. Berjualan kerupuk biasanya
dilakukan siang hingga sore hari, lalu memijat dilakukan pada
malam hari. Tetapi terkadang juga berjualan dengan waktu
yang tidak menentu, kadang berjualan di pagi hari, dan kadang
juga berjualan di malam hari. Rata-rata dalam satu hari orang
tua penyandang tunanetra diperkirakan bekerja hingga lebih
dari sepuluh jam. Durasi waktu berjualan yang lama tentu akan
membuat kurangnya waktu untuk bersama dengan anak dan
keluarga, yang kemudian juga dapat berpengaruh terhadap
9
kualitas dan jenis pola asuh yang diberikan kepada anak. Para
orang tua penyandang tunanetra juga menginginkan anak yang
memiliki kepribadian yang baik, mandiri, dan membanggakan
orang tua. Mereka juga berharap dapat menghantarkan
anaknya hingga menuju kesuksesan dengan berusaha untuk
memberikan pendidikan yang baik secara formal di jalur
pendidikan sekolah maupun pendidikan dalam keluarga.
Melalui usaha-usaha yang dilakukan dalam mencari nafkah
tersebut, terlihat bahwa orang tua penyandang tunanetra
menunjukkan kasih sayang yang begitu besar kepada anak dan
keluarganya untuk dapat memenuhi segala kebutuhan. Orang
tua peyandang tunanetra tentu saja mempunyai suatu pola
ataupun cara serta ciri khas tertentu dalam mendidik dan
mengasuh anak-anak mereka. Meskipun mereka tidak terlahir
dengan kondisi normal seperti manusia lainnya.
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Pola Asuh Orang Tua Penyandang Tunanetra dalam
Membentuk Kemandirian Anak di Kota Depok”.
B. BATASAN MASALAH
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah di atas
dan untuk mempermudah peneliti agar lebih fokus dalam
penelitian maka peneliti membatasi masalah yang dibahas
yaitu tipe pola asuh apa yang digunakan orang tua penyandang
tunanetra dalam membentuk kemandirian anaknya.
10
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas,
maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu
bagaimana pola asuh orang tua penyandang tunanetra dalam
membentuk kemandirian anak. Rumusan masalah ini
diturunkan menjadi 2 (dua) pertanyaan khusus yaitu:
1. Bagaimana pola asuh orang tua penyandang tunanetra?
2. Bagaimana pola asuh tersebut membentuk kemandirian
anak?
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan
Tujuan penelitian pada dasarnya merupakan hal
spesifik yang diinginkan dari penelitian berdasarkan
rumusan masalah. Maka tujuan penelitian ini antara lain
untuk:
a. Menggambarkan kecenderungan pola asuh orang
tua penyandang tunanetra dalam membentuk
kemandirian anak.
b. Menggambarkan keterkaitan antara pola asuh orang
tua penyandang tunenetra dalam membentuk
kemandirian anak.
2. Manfaat
Manfaat penelitian menggambarkan kegunaan
penelitian baik secara praktis maupun teoritis. Adapun
manfaat yang peneliti harap dapat diraih dari penelitian ini
adalah:
11
a. Manfaat teoritis
Memberikan gambaran ciri khas pola asuh orang
tua penyandang tunanetra dalam mengasuh dan
membentuk kemandirian anak yang kemudian dapat
memberikan contoh maupun referensi untuk orang tua
lain dalam mengasuh anaknya.
b. Manfaat praktis
Memberikan kontribusi dan manfaat bagi
individu, masyarakat luas maupun pihak-pihak yang
berkepentingan serta memberikan gambaran pola asuh
yang digunakan dan diterapkan oleh orang tua
penyandang tunanetra dalam membentuk kemandirian
anak. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi seluruh pihak-pihak yang terikat
dalam penelitian ini.
E. TINJAUAN KAJIAN TERDAHULU
Penelitian ini melakukan penelusuran dari beberapa
literatur yang memiliki tema yang hampir sama dengan
permasalahan yang akan diteliti. Penelitian terdahulu ini hanya
sebagai acuan dalam penulisan skripsi sehingga peneliti dapat
memperkaya teori yang akan digunakan dalam mengkaji
penelitiannya. Dari penelitian terdahulu yang digunakan,
peneliti tidak menemukan penelitian dengan judul yang sama.
Berikut beberapa penelitian dan jurnal yang terkait dengan
penelitian yang dilakukan.
12
Pertama, penelitian oleh Jenny Widiya Casih Purba
pada tahun 2016 dengan judul “Pola Asuh Orang Tua
Tunanetra Terhadap Anak Normal di Pekanbaru”, yang
penelitiannya berlokasi di Kota Pekanbaru. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa kecenderungan pola asuh orang tua
tunanetra terhadap anak normal adalah pola asuh demokratis,
yaitu mengembangkan keterbukaan mengutarakan pendapat,
kebebasan dalam pilihan dan keputusan tapi bertanggung jawab
dan tidak menggunakan hukuman untuk suatu kesalahan
melainkan nasehat. Keterbatasan dalam proses pengasuhan
khususnya dalam fungsi perlindungan dan pengawasan diatasi
dengan cara mengajarkan kemandirian, sikap bertanggung
jawab dan komunikasi dan pemberian kepercayaan kepada
anak, termasuk modifikasi lingkungan tempat tinggal.
Sementara keterbatasan dalam dukungan kegiatan belajar anak
diatasi juga dengan mengajarkan kemandirian anak dan
penggunaan guru private (Widiya 2016, 1).
Kedua, penelitian oleh Kustiah Sunarty pada tahun 2016
dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dan
Kemandirian Anak”, yang berlokasi SMP Negri di Kota
Makassar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Jenis
pola asuh yang digunakan orang tua sekarang ini dalam
memandirikan anaknya, secara berturut-turut: pola asuh positif,
demokratis, otoriter, permisif, negatif/tidak sehat, dan
penelantar; (2) Pola asuh yang dapat meningkatkan
kemandirian anak, adalah pola asuh positif dan demokratis, dan
13
(3) ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh
orang tua dan kemandirian anak (Sunarty 2016, 152).
Ketiga, penelitian oleh Rani Kartika pada tahun 2018
dengan judul “Pola Pengasuhan Anak pada Orang Tua Tuna
Netra (Studi Kasus Klinik Pijat Tuna Netra Barokah)”,
yang penelitiannya berlokasi di Klinik Pijat Tuna Netra
Barokah Jalan Setia Budhi Bandung. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa penerapan pola asuh orang tua tunanetra
dalam penelitian ini menggunakan pola asuh demokratis dan
otoriter. Adapun kendala-kendala orang tua tunanetra dalam hal
mengasuh anaknya yang normal adalah tidak mampunyai orang
tua tunanetra membantu anaknya yang mengalami kesulitan
belajar di sekolah karena keterbatasan penglihatannya (Kartika
2018, 156).
Keempat, penelitian oleh Mohammad Faisal Febriana
pada tahun 2016 dengan judul “Pola Asuh Orang Tua Difabel
Terhadap Anak yang Normal (Studi Deskriptif Terhadap
Pasangan Tunanetra di Klinik Pijat Jarima Kelurahan
Ledeng, Bandung)”, yang penelitiannya berlokasi di Klinik
Pijat Jarima Jln. Kapten Abdul Hamid (Panorama) No. 19,
Kelurahan Ledeng, Bandung. Hasil kajian ini menunjukkan
bahwa bahwa pada dasarnya orang tua tunanetra dapat berperan
sebagaimana orang tua normal lainnya, sebab hasil dari pola
asuh orang tua tunanetra dan orang tua normal dapat dikatakan
sama. Tidak sedikit orang tua tunanetra memiliki anak yang
sukses dan berhasil menjadi sosok yang dicita-citakan baik oleh
anak sendiri maupun orang tua. Hanya yang membedakan
14
adalah dalam aspek teknis pengasuhan. Orang tua difabel
berupaya mengatasi kendala pola asuh dengan melakukan
tindakan preventif atau pencegahan, berdiskusi dengan orang-
orang terdekat dan meminta bantuan orang lain sesuai dengan
kapasitasnya (Faisal 2015, 108).
Itulah beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan
tema pola asuh orang tua, orang tua penyandang tunanetra, dan
kemandirian anak yang digunakan dalam penelitian
sebelumnya. Variabel dalam penelitian ini menggunakan pola
asuh orang tua sebagai variabel independent (x) dan
kemandirian anak sebagai variabel dependent (y). Subyek
dalam penelitian ini adalah orang tua penyandang tunanetra dan
anak mereka. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Depok
terkhusus di Kecamatan Cinere. Yang ingin ditambahi dari
penelitian ini adalah karena anak dengan kondisi orang tua yang
memiliki keterbatasan fisik tunanetra biasanya terlihat lebih
mandiri dari anak lainnya, oleh karena itu peneliti tertarik untuk
meneliti bentuk pola asuh apa yang digunakan serta kiat-kiat
serta ciri khas apa yang dilakukan orang tua penyandang
tunanetra untuk dapat membentuk kemandirian anaknya.
F. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara yang dilakukan untuk
menyelesaikan masalah dari sebuah riset, yang meliputi
pendekatan penelitian, jenis penelitian, lokasi dan waktu
penelitian, sumber data, teknik penelitian dan subjek
penelitian, serta populasi dan sampel.
15
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2007, 4).
metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku diamati.
Denzin dan Lincoln (dalam Moleong 2007, 5)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian
yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan
jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dalam
penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan
adalah wawancara, pengamatan, dan penelaahan dokumen.
Creswell sebagaimana dikutip oleh Herdiansyah
(2012, 8) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah
suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan
untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks
sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan
kompleks yang disajikan, melaporkan pendangan
terperinci dari para sumber informasí, serta dilakukan
dalam setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apa
pun dari peneliti.
Dari definisi di atas tersebut dapat disimpulkan
bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bertujuan untuk memahami tentang fenomena yang dialami
oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara
16
dideskripsikan dalam bentuk kata-kata, serta dengan
melibatkan berbagai metode yang ada.
Dalam penelitian ini pendekatan kualitatif dipilih
sebagai pendekatan yang digunakan dalam penelitian
karena berharap dengan menggunakan pendekatan
kualitatif hasil data yang didapatkan dapat menyajikan data
yang akurat, dan digambarkan secara jelas dari kondisi
yang sebenarnya.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu
metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama
untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu
keadaan atau area populasi tertentu yang bersifat faktual
secara objektif, sistematis, dan akurat. Penelitian deskriptif
dapat diartikan sebagai penelitian yang dimaksudkan untuk
memotret fenomena individual, situasi, kelompok tertentu
yang terjadi secara kekinian dan akurat. Penelitian
deskriptif merupakan alat untuk menemukan makna baru,
menjelaskan sebuah kondisi keberadaan, menentukan
frekuensi kemunculan sesuatu, dan mengategorikan
informasi.
Metode penelitian deskriptif digunakan untuk
memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang
dihadapi pada situasi sekarang. Penelitian ini dilakukan
dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data,
17
klarifikasi, pengolahan atau analisis data, membuat
kesimpulan, dan laporan (Sulistyaningsih 2011, 82).
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan informasi yang diinginkan,
peneliti mempersempit daerah penelitian yaitu dari
Kota Depok menjadi di Kecamatan Cinere Kota Depok.
Kecamatan Cinere menjadi konsen daerah penelitian
karena kecamatan tersebut berbatasan langsung dengan
DKI Jakarta.
Kecamatan Cinere merupakan salah satu
kecamatan di Kota Depok yang mempunyai luas
wilayah secara administrasi seluas 1104,1 kilometer
persegi, dengan kepadatan penduduk 10.351 jiwa tiap
kilometer persegi. Letak Kecamatan Cinere yang
sangat strategis karena berbatasan langsung dengan Ibu
Kota DKI Jakarta merupakan keuntungan bagi
Kecamatan Cinere terutama dari segi komunikasi dan
perhubungan. Kemudahan dan kelengkapan sarana dan
prasarana trasportasi di Kecamatan Cinere menjadikan
Kecamatan Cinere menjadi salah satu daerah
penyangga Ibu Kota DKI Jakarta (Badan Pusat Statistik
Kota Depok, v).
18
Gambar 1.1 Peta Wilayah Kecamatan Cinere Kota Depok
(Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018a, iii)
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada rentang waktu
bulan Maret 2019 sampai dengan bulan November
2019. Adapun jadwal kegiatan pokok penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Waktu Penelitian
No Kegiatan Bulan
3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Seminar Proposal
2 Revisi Proposal
3 Pengumpulan Data
4 Analisis Data
5 Penyusunan
Laporan
6 Seminar Akhir
7 Revisi Akhir
19
4. Sumber Data
Data yang didapatkan dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua, yaitu:
a. Data primer yaitu sumber data yang langsung
memberikan data kepada peneliti dengan menggunakan
panduan (guide) wawancara (Sugiyono 2011, 193).
Dalam data primer penelitian ini bersumber dari
pasangan suami istri yang menyandang tunanetra dan
anak mereka.
b. Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan peneliti
sebagai penunjang dari sumber pertama (Sugiyono
2011, 193). Sumber data sekunder yang dikumpulkan
berupa dokumen yang diambil dan dikutip dari
berbagai sumber literatur seperti jurnal, buku, website,
dan tulisan lainnya yang berkaitan dengan masalah
maupun lewat orang lain.
5. Teknik Penentuan Informan dan Subjek Penelitian
Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif,
dalam memilih informan ini peneliti menggunakan teknik
Purpossive Sampling metode Snowball Sampling. Menurut
Herdiansyah (2012, 110) dalam melakukan penelitian
kualitatif, terkadang fenomena yang telah diteliti dapat
berkembang menjadi lebih dalam dan lebih luas dari yang
ditentukan sebelumnya. Pada situasi tertentu, jumlah
subjek penelitian yang terlibat menjadi bertambah karena
subjek penelitian yang telah ditentukan sebelumnya kurang
20
memberikan informasi yang mendalam atau pada situasi-
situasi tertentu tidak memungkinkan peneliti untuk
mendapatkan akses kepada sumber, lokasi, atau subjek
yang hendak diteliti. Dalam situasi-situasi demikian
diperlukan penelusuran lebih lanjut menuju sasaran yang
hendak diteliti, penelusuran ini biasanya bersifat sambung-
menyambung hingga sampai kepada sasaran. Hal inilah
yang disebut sebagai sampling bola salju. Strategi sampling
bola salju juga merupakan strategi yang dilakukan setelah
pengambilan sampel selesai dilakukan.
Populasi dari penelitian ini adalah keluarga
penyandang tunanetra di Kota Depok. Sedangkan sampel
dari penelitian ini adalah 3 keluarga penyandang tunanetra
di Kota Depok terkhusus di Kecamatan Cinere.
Dalam penelitian ini yang akan diminta untuk
memberikan informasi terkait dengan isu permasalahan
penelitian ialah yang memiliki kriteria sebagai berikut.
Kriteria Informan Subyek Orang Tua:
1. Pasangan suami dan istri yang sama-sama memilki
keterbatasan penglihatan/tunanetra.
2. Berprofesi sebagai pedagang kerupuk atau membuka
jasa pijat.
3. Berasal dari daerah atau rantauan.
4. Tinggal di wilayah Kecamatan Cinere Kota Depok.
21
Kriteria Informan Subyek Anak:
1. Anak yang sudah dapat diajak untuk diskusi/menjawab
pertanyaan yang dilihat dari minimum umur 12 tahun
atau duduk di sekolah menengah pertama tingkat 1.
2. Anak dengan kondisi normal secara fisik maupun
psikis.
3. Tinggal bersama orang tua/pernah tinggal bersama
orang tua.
6. Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen
sebagaimana dikutip dalam Moleong (2007, 248) adalah
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.
Menurut Miles & Huberman (dalam Herdiansyah
2012, 164) menyatakan bahwa teknik analisis data terdiri
atas empat tahapan yang harus dilakukan. Tahapan pertama
adalah tahap pengumpulan data, tahapan kedua adalah
tahap reduksi data, tahapan ketiga adalah tahap display
data, dan tahapan keempat adalah tahap penarikan
kesimpulan dan/atau tahap verifikasi. Empat tahapan ini
dijelaskan sebagai berikut:
22
1) Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan sebelum
penelitian, pada saat penelitian, dan bahkan di akhir
penelitian. Idealnya, proses pengumpulan data sudah
dilakukan ketika penelitian masih berupa konsep atau
draft. Intinya adalah proses pengumpulan data pada
penelitian kualitatif tidak memiliki segmen atau waktu
tersendiri, melainkan sepanjang penelitian yang
dilakukan proses pengumpulan data dapat dilakukan.
Ketika peneliti telah mendapatkan data yang cukup
untuk diproses dan dianalisis, tahap selanjutnya adalah
melakukan reduksi data.
2) Reduksi Data
Inti dari reduksi data adalah proses
penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data
yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan (script)
yang akan dianalisis (Herdiansyah 2012, 165). Reduksi
data pada penelitian ini difokuskan pada tipe pola asuh
yang digunakan orang tua penyandang tunanetra dalam
membentuk kemandirian anak terkhusus di Kecamatan
Cinere Kota Depok.
3) Display Data
Setelah semua data direduksi kedalam bentuk
tulisan (script), langkah selanjutnya dalam melakukan
analisis data adalah melakukan display data. Display
data adalah proses mengolah data setengah jadi yang
sudah seragam kedalam bentuk tulisan dan sudah
23
memiliki alur tema yang jelas ke dalam suatu matriks
kategorisasi sesuai tema-tema yang sudah
dikelompokkan dan dikategorikan, serta akan memecah
tema-tema tersebut ke dalam bentuk subtema yang
diakhiri dengan pengkodean dari subtema tersebut
sesuai dengan verbatim wawancara yang sebelumnya
sudah dilakukan. Jadi, secara berurutan terdapat tiga
tahapan dalam tahap display data, yaitu
mengkategorikan tema, mengsubkategorikan tema, dan
pengodean. Ketiga tahapan dalam tahap display data ini
saling berkaitan satu sama lain (Herdiansyah 2012, 175).
4) Kesimpulan/verifikasi
Kesimpulan/verifikasi merupakan tahap
terakhir dalam tahap penganalisaan data kualitatif.
Kesimpulannya menjurus kepada jawaban dari
pertanyaan penelitian yang diaujakan sebelumnya dan
mengungkap “what” dan "how” dari temuan penelitian.
Jika dapat disimpulkan terdapat tiga tahapan
yang harus dilakukan dalam tahap
kesimpulan/verifikasi. Pertama, menguraikan
subkategori tema dalam tabel kategorisasi dan
pengodean disertai dengan quote verbatim
wawancaranya. Kedua, menjelaskan hasil temuan
penelitian dengan menjawab pertanyaan penelitian
berdasarkan aspek/faktor dari central phenomenon
penelitian. Ketiga, membuat kesimpulan dari temuan
tersebut dengan memberikan penjelasan dari jawaban
24
pertanyaan penelitian yang diajukan. Ketika tiga
tahapan tersebut telah selesai dilakukan, hal tersebut
mengindikasikan bahwa secara analisis data kualitatif,
penelitian yang dilakukan telah selesai dan kita telah
memiliki hasil atau jawaban dari pertanyaan penelitian
kita (Herdiansyah 2012, 179).
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar pembahasan ini menjadi sistematis serta untuk
mempermudah analisa materi dalam penulisan skripsi ini,
maka peneliti akan menjelaskan sistematika penulisan. Secara
garis besar skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan beberapa
sub bab, yaitu sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini membahas latar belakang masalah
penelitian, pembatasan masalah penelitian, perumusan
masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
kajian terdahulu, metodologi penelitian, serta sistematika
penulisan penelitian.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab kajian pustaka ini menjelaskan tentang landasan teori yang
digunakan guna memperjelas dan memperkuat pemahaman
teoritis dalam pola asuh orang tua penyandang tunanetra dalam
membentuk kemandirian anak, seperti pengertian pola asuh
orang tua, bentuk pola pengasuhan orang tua, dampak pola
pengasuhan orang tua, pengertian tunanetra, klasifikasi
tunanetra, pengertian kemandirian, tingkatan dan karakteristik
25
kemandirian, faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian
serta kerangka berpikir.
BAB III GAMBARAN UMUM DAN LATAR
PENELITIAN
Bab gambaran umum latar penelitian ini berisikan tentang
gambaran umum wilayah Kota Depok seperti kondisi geografis
yang dijelaskan berdasarkan letak dan iklim, kondisi demografi
seperti kependudukan, ketenagakerjaan, dan data jumlah
penyandang disabilitas di Kota Depok, sejarah Kota Depok
seperti pembagian wilayah dan terbentunya Kota Depok, serta
aspek perdagangan di Kota Depok.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Bab data dan temuan penelitian ini berisikan tentang uraian
data dan temuan penelitian di lapangan yang diperoleh melalui
metode wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Dari
metode yang telah dilakukan penulis memperoleh informasi
terkait dengan pola asuh orang tua dalam membentuk
kemandirian anak di Kota Depok terkhusus di Kecamatan
Cinere, temuan data penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menjelaskan analisis deskripstif tentang pola asuh
orang tua penyandang tunanetra dalam membentuk
kemandirian anak pada keluarga tunanetra di Kota Depok.
BAB VI PENUTUP
Pada bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran
26
27
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab kajian pustaka ini menjelaskan tentang landasan teori
yang digunakan guna memperjelas dan memperkuat pemahaman
teoritis dalam pola asuh orang tua penyandang tunanetra dalam
membentuk kemandirian anak, seperti pengertian pola asuh orang
tua, bentuk pola pengasuhan orang tua, dampak pola pengasuhan
orang tua, pengertian tunanetra, klasifikasi tunanetra, pengertian
kemandirian, tingkatan dan karakteristik kemandirian, faktor-
faktor yang mempengaruhi kemandirian serta kerangka berpikir.
A. LANDASAN TEORI
1. POLA ASUH ORANG TUA
a. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Menurut Achir (dalam Silalahi dan Meinarno
2010, 73) mendidik anak dengan baik dan benar berarti
menumbuhkembangkan totalitas potensi anak secara
wajar. Pola asuh pun menjadi awal mula
perkembangan pribadi dan jiwa seorang anak. Pola
asuh adalah tata sikap dan perilaku orang tua dalam
membina kelangsungan hidup anak, pertumbuhan, dan
perkembangannya memberikan perlindungan anak
secara menyeluruh baik fisik, sosial, maupun spiritual
untuk menghasilkan anak yang berkepribadian.
Levine (dalam Silalahi dan Meinarno 2010,
163) menyatakan bahwa keluarga memberikan
hubungan sosial dan lingkungan yang penting pada
28
proses pembelajaran mengenai manusia, situasi, dan
keterampilan. Pembelajaran yang pertama ini sangat
berpengaruh. Dalam keluarga, yang memegang
peranan penting adalah orang tua. Pengasuhan orang
tualah yang memengaruhi pembelajaran tersebut.
Proses menjadi orang tua meliputi melahirkan anak,
memberi perlindungan, perawatan, dan memberi
petunjuk pada anak. Mengasuh anak dikenal sebagai
hal penting yang memengaruhi pengalaman manusia
dan dapat mengubah manusia secara emosional, sosial,
dan intelektual. Mengasuh anak merupakan sebuah
proses yang menunjukkan bahwa hal ini merupakan
suatu interaksi antara orang tua dan anak yang
berkelanjutan dan proses tersebut memberikan suatu
perubahan, baik pada orang tua maupun pada anak.
Pada dasarnya, ada tiga tujuan orang tua dalam
mengasuh anak. Yang pertama, orang tua ingin
anaknya mampu bertahan dan sehat secara jasmani.
Kedua, mereka berharap anak-anaknya dapat
mengembangkan kemampuan yang mereka miliki agar
nantinya dapat mandiri secara finansial. Yang ketiga
berkaitan dengan cita-cita, kepercayaan religius, dan
kepuasan pribadi.
Menurut Martin dan Colbert (dalam Silalahi
dan Meinarno 2010, 163) kehidupan orang tua dan
anak berjalan berhubungan selama rentang kehidupan.
Tidak seperti makhluk mamalia lain, bayi manusia
29
relatif tidak berkembang pada saat lahir dan memiliki
ketergantungan yang lebih lama terhadap orang
tuanya. Selama masa ini, orang tua menggunakan
kekuatan fisik, pengetahuan, dan keterampilan sosial
dalam menjamin keselamatan anak. Lama-kelamaan,
anak menjadi mandiri, tetapi orang tua tetap memiliki
pengaruh yang kuat. Orang tua juga memengaruhi
perkembangan anak dengan menyeleksi setting anak.
Sebagai 'pengamat', orang tua juga memberikan
umpan balik pada anak mengenai pertumbuhan dan
perkembangannya.
Martin dan Colbert (dalam Silalahi dan
Meinarno 2010, 164) juga mangatakan bahwa
pengasuhan merupakan bagian yang penting dalam
sosialisasi, proses di mana anak belajar untuk
bertingkah laku sesuai harapan dan standar sosial.
Dalam konteks keluarga, anak mengembangkan
kemampuan mereka dan membantu mereka untuk
hidup di dunia. Menurut Darling dalam (Silalahi dan
Meinarno 2010, 164) pola asuh merupakan aktivitas
kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku
spesifik yang bekerja secara individual dan serentak
dalam memengaruhi tingkah laku anak.
Menurut Brooks (dalam Silalahi dan Meinarno
2010, 164) masa kanak-kanak menengah merupakan
masa penting dalam pengasuhan orang tua, terutama
dalam segi kedisiplinan dan tingkah laku anak
30
berhubungan dengan sekolah. Pada masa ini, orang tua
biasanya melakukan hal-hal seperti memeriksa tugas
sekolah, menentukan target belajar yang harus dicapai
anak, dan membantu anak menyesuaikan diri dengan
guru dan teman baru. Pada masa ini, biasanya peran
ayah dan ibu berbeda. Ibu mengerjakan pekerjaan yang
berhubungan dengan rumah tangga dan lebih
berinteraksi dengan anak, sedangkan ayah lebih
melakukan hal-hal yang bersifat permainan fisik dan
memberi perhatian yang sama baik pada anak laki-laki
maupun perempuan. Pada masa ini, anak mulai
membuat keputusan sendiri dan orang tua menjadi
pengawasnya serta membuat keputusan akhir.
Pembagian kontrol ini menjadi jembatan pada masa
pra-remaja ke masa remaja, sehingga anak dapat
terbiasa dengan kontrol lebih besar.
Jadi, pola asuh orang tua dapat diartikan
sebagai perlakuan orang tua terhadap anak dalam
bentuk merawat, memelihara, mendidik,
membimbing, yang terwujud dalam bentuk
pendisiplinan, pemberian tauladan, kasih sayang,
hukuman, dan kepemimpinan dalam keluarga melalui
ucapan-ucapan, tindakan-tindakan, maupun sifat dan
sikap orang tua.
31
b. Bentuk dan Dampak Pola Pengasuhan Orang Tua
Dari peran orang tua kemudian muncul
bagaimana pengasuhan pada anak. Pengasuhan
umumnya dilakukan oleh orang tua terhadap anak-
anaknya dengan beragam bentuk. Bentuk pengasuhan
yang tersebar luas adalah pandangan dari Diana
Baumrind. Diana Baumrind (dalam W. Santrock 2007,
167) menyatakan bahwa setidaknya terdapat empat
jenis atau bentuk utama gaya pengasuhan, diantaranya:
1) Pola Asuh Otoriter (Authoritarian Parenting
Style)
Pengasuhan otoriter bercirikan orang tua
yang bersifat membatasi dan menghukum, di mana
orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan
mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya
yang dilakukan. Orang tua yang otoriter
menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak
dan meminimalisir perdebatan verbal. Contohnya,
orang tua yang otoriter mungkin berkata, “lakukan
dengan caraku atau tak usah." Orang tua yang
otoriter mungkin juga sering memukul anak,
memaksakan aturan secara kaku tanpa
menjelaskannya, dan menunjukkan amarah pada
anak. Anak dari orang tua yang otoriter sering kali
tidak bahagia, ketakutan, minder akan
perbandingan sosial antara dirinya dengan orang
lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki
32
kemampuan komunikasi yang lemah. Putra dari
orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif
karena dimungkinkan anak akan memberontak
karena tidak terima ataupun bosan dengan
pengekangan oleh orang tuanya.
Menurut Martin dan Colbert (dalam Silalahi
dan Meinarno 2010, 165) anak dari pola
pengasuhan otoriter biasanya kecenderungan
memiliki perubahan susana hati yang tidak stabil
atau naik turun dalam waktu yang singkat (fmoody),
murung, ketakutan, sedih, dan tidak spontan.
Sedangkan menurut Berk dalam (Silalahi dan
Meinarno 2010, 165) menjelaskan bahwa anak
dengan pola pengasuhan otoriter juga
menggambarkan kecemasan dan rasa tidak aman
dalam berhubungan dengan teman sebaya dan
menunjukkan kecenderungan bertindak keras saat
tertekan, serta memiliki harga diri yang rendah.
Suherman (dalam Mutiah 2015, 88)
menjelaskan bahwa kemungkinan akibat yang akan
timbul pada anak dengan orang tua yang memiliki
sikap otoriter adalah kurang berkembangnya rasa
sosial, rasa keberanian dan kreativitasnya dalam
mengambil keputusan kurang berkembang dengan
baik, anak menjadi pemalu, penakut, terkadang
keras kepala, keinginan untuk menyendiri, kurang
tegas dalam mengambil tindakan atau menentukan
33
sikap, suka bertengkar dan licik serta tidak mau
menurut.
2) Pola Asuh Otoritatif (Authoritatve Parenting
Style)
Pengasuhan otoritatif bercirikan orang tua
yang mendorong anak untuk mandiri namun masih
menerapkan batas dan kendali pada tindakan
mereka. Tindakan verbal nemberi dan menerima
dimungkinkan yang artinya orang tua memberikan
kebebasan anak dalam berpendapat dan
didengarkan, memberikan kebebasan kepada anak
tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan
anak dalam menentukan keputusan yang tepat
dalam hidupnya, bersikap hangat dan penyayang
terhadap anak. Orang tua yang otoritatif mungkin
merangkul anak dengan mesra dan berkata “kamu
tahu kamu tak seharusnya melakukan hal itu. Mari
kita bicarakan bagaimana kamu bisa menangani
situasi tersebut lebih baik lain kali”. Orang tua yang
otoritatif juga menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan
perilaku anak yang dewasa, mandiri, dan sesuai
dengan usianya. Anak yang memiliki orang tua
otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri,
mandiri, berorientasi pada prestasi, dan mereka
cenderung untuk mempertahankan hubungan yang
34
ramah dengan teman sebaya, dapat bekerjasama
dengan orang dewasa. serta dapat mengatasi stres
dengan baik (W. Santrock 2007, 167).
Anak yang memiliki orang tua dengan pola
asuh otoritatif ini ceria, cenderung kompeten secara
sosial seperti mampu berkomunikasi, bergaul, dan
bekerjasama, energik, bersahabat, memiliki
keingintahuan yang besar, dapat mengontrol diri,
memiliki harga diri yang tinggi, bahkan memiliki
prestasi akademis yang tinggi. Bentuk pola
pengasuhan otoritatif ini yang dianggap paling
‘sehat dan normal’ dibandingkan dengan pola
pengasuhan yang lain. Pola pengasuhan ini
memberikan kesempatan pada anak untuk
berkembang ke arah positif. Alasan mengapa pola
pengasuhan otoritatif yang dianggap paling ‘sehat
dan normal’ yaitu pertama, anak belajar untuk
mengontrol diri secara adil dan masuk akal yang
sangat berguna bagi anak. Selain itu, orang tua yang
penuh kasih sayang dan juga tegas membuat anak
menjadi lebih memerhatikan orang lain, percaya
diri, dan mampu untuk mengkomunikasikan apa
yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada
orang lain namun dengan tetap menjaga dan
menghargai perasaan orang lain (asertif). Yang
terakhir, orang tua yang sensitif dan responsif
terhadap kemampuan perkembangan anak dapat
35
membuat anak belajar untuk mengambil tanggung
jawab terhadap perilakunya sendiri. Pola
pengasuhan autoritatif ditandai dengan tiga perilaku
pengasuhan, yaitu: kehangatan (warmth),
keseimbangan kekuasaan (balance of power), dan
adanya tuntutan (demandingness). Kehangatan
terdiri atas kedekatan emosional dan hubungan
anak dengan orang tua. Tugas orang tua adalah
menyediakan kehangatan dan penerimaan selama
pertumbuhan anak. Melibatkan anak dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga dan
memberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat. Khusus pada anak remaja, orang tua
harus mampu beradaptasi terhadap kemampuan
anak, menyadari kesiapan anak terhadap tanggung
jawab dan kebebasan. Pelibatan dalam pengambilan
keputusan penting dalam hal otonomi dan kontrol
anak. Adanya tuntutan mengacu pada harapan dan
aturan yang diterapkan orang tua yang masuk akal
dan jelas terhadap tingkah laku anak. Orang tua
yang otoritatif mampu menerapkan aturan secara
jelas dan konsisten tanpa paksaan terhadap anak
(Silalahi dan Meinarno 2010, 165).
Menurut Suherman (dalam Mutiah 2015,
89) anak dengan pola pengasuhan orang tua yang
demokratis akan menunjukkan sikap atau perilaku
tanggung jawab yang besar, dapat menerima
36
perintah dan dapat diperintah sesuai dengan wajar,
dapat menerima kritik secara terbuka, memiliki
keberanian untuk berinisiatif dan kreatif, memiliki
emosi yang stabil, dapat menghargai pekerjaan atau
jerih payah orang lain, mudah beradaptasi, lebih
toleran, mau menerima dan memberi. Memiliki rasa
sosial yang besar, konsep diri yang positif, dapat
bekerjasama, dan kontrol diri yang besar.
3) Pola Asuh Memanjakan (Indulgent Parenting
Style)
Pengasuhan yang manjakan bercirikan
orang tua yang sangat terlibat dengan anak, namun
tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka.
Orang tua yang memanjakan ini membiarkan anak
melakukan apa yang ia inginkan dan menuruti
semua kemauan anak mereka. Sehingga anak yang
dihasilkan dari pengasuhan memanjakan ini
merupakan anak yang sulit mengendalikan
perilakunya sendiri dan selalu berharap
mendapatkan keinginannya karena terbiasa
dimanja. Beberapa orang tua sengaja membesarkan
anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya
bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat
dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang
kreatif dan percaya diri. Namun, anak dari orang tua
yang selalu menuruti jarang belajar menghormati
orang lain dan mengalami kesulitan untuk
37
mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin
mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan,
dan kesulitan dalam hubungan dengan teman
sebaya (peer). Sehingga sangat besar kemungkinan
anak berperilaku menyimpang (W. Santrock 2007,
168).
Menurut Martin dan Colbert (dalam Silalahi
dan Meinarno 2010, 166) pola pengasuhan
memanjakan terlihat dengan adanya kebebasan
secara berlebihan yang tidak sesuai untuk
perkembangan anak, yang dapat mengakibatkan
timbulnya tingkah laku yang lebih agresif dan
impulsif. Berk (dalam Silalahi dan Meinarno 2010,
166) mengatakan bahwa anak dari pola pengasuhan
memanjakan membuat anak tidak dapat mengontrol
diri sendiri, tidak mau patuh, dan tidak terlibat
dalam aktivitas di kelas.
Suherman (dalam Mutiah 2015, 89)
menjelaskan bahwa adapun akibat yang timbulkan
dari pola pengasuhan yang liberal menyebabkan
anak memiliki perilaku tidak mengenal tata tertib
atau sopan santun, tidak mengenal disiplin, sering
mengalami rasa kecewa, tidak dapat menghargai
orang tua, lebih mementingkan dirinya sendiri,
memiliki keinginan yang aneh dan tidak sesuai
dengan kemampuannya, hubungan dengan orang
lain kurang harmonis, sering menentang norma
38
yang berlaku di masyarakat sekitar, dan tidak
menurut dan sulit diperintah.
4) Pola Asuh Mengabaikan (Neglectful Parenting
Style)
Pengasuhan yang mengabaikan bercirikan
orang tua yang sangat tidak terlibat dalam
kehidupan anak. Anak dari orang tua yang
mengabaikan merasa bahwa urusan kehidupan
orang tua lebih penting dari pada diri mereka. Anak-
anak dari pengasuhan orang tua yang mengabaikan
ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial
yang baik. Banyak diantaranya memiliki
pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri.
Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah,
tidak bersikap dewasa. dan mungkin terasing dari
keluarga. Dalam masa remaja, anak mungkin
menunjukkan sikap suka membolos dan nakal
karena anak tidak biasa diatur dan dilarang (W.
Santrock 2007, 167).
Patterson (dalam Silalahi dan Meinarno
2010, 166) menyatakan anak dari orang tua dengan
pola pengasuhan mengabaikan cenderung terbatas
secara akademis dan sosial serta anak dengan pola
asuh ini lebih cenderung bertindak antisosial pada
masa remaja. Egeland dan Sroufe dalam (Silalahi
dan Meinarno 2010, 166) apabila pola pengasuhan
ini diterapkan sedini mungkin, hal ini akan
39
mengakibatkan gangguan pada perkembangan
anak. Penelitian mengungkapkan bahwa ibu dengan
pola pengasuhan seperti ini akan memiliki anak
yang defisit dalam fungsi fisiologisnya, penurunan
kemampuan intelektual, kesulitan dalam hubungan
emosional dengan orang tua (attachment), serta
pemarah.
c. Dampak Pola Asuh Terhadap Kemandirian
Berdasarkan uraian bentuk dan dampak pola
asuh orang tua terhadap anak di atas, secara umum
semua bentuk pola asuh orang tua dapat berdampak
terhadap kemandirian anak, namun tingkatan
kemandirian anak dapat berbeda sesuai dengan
bagaimana cara yang dilakukan oleh orang tua mereka.
Berikut penelitian sebelumnya yang terkait
dengan pola asuh orang tua dan kemandirian anak
yaitu (dalam Sunarty 2016, 157) dari hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa jenis pola asuh yang
digunakan orang tua dalam meningkatkan kemandirian
anaknya secara berturut-turut adalah pola asuh positif,
otoritatif, otoriter, permisif, negatif/tidak sehat, dan
penelantar.
Sunarty (2016, 157) mengatakan bahwa pola
asuh positif berada pada urutan pertama yang mampu
meningkatkan kemandirian anak. Orang tua
berkomunikasi, bertransaksi, berinteraksi dengan
40
anak, ucapan dan tindakannya selalu
mempertimbangkan layak atau pantas, mendorong,
konsisten, menyejukkan, merawat atau memelihara,
rileks, dan bertanggung jawab terhadap anak. Hal ini
sesuai dengan pendapat James (dalam Sunarty 2016,
157) bahwa pola asuh orang tua positif, dapat
meningkatkan kemandirian anak.
Pola asuh otoritatif (demokratis) berada pada
urutan kedua. Orang tua berkomunikasi, bertransaksi,
berinteraksi, ucapan dan tindakannya selalu
bersikap rasional, bertanggung jawab, terbuka,
obyektif, tegas, hangat, realistis, fleksibel, sehingga
mampu menumbuhkan keyakinan, kepercayaan diri
pada anak untuk mengambil keputusan terhadap
aktivitas dan kebutuhannya. Hal ini didukung oleh
pendapat Santrock (dalam Sunarty 2016, 157) yang
menyatakan bahwa pola asuh demokratis sangat baik
dalam upaya meningkatkan kemandirian.
Pola asuh permisif berada pada urutan ketiga.
Orang tua yang permisif ketika berkomunikasi,
bertransaksi atau berinteraksi dengan anak, selalu
memberikan kebebasan pada anak, kurang menuntut
tanggung jawab, melakukan pembiaran, sangat lemah
dalam melaksanakan disiplin, dan kurang tegas dalam
menerapkan peraturan-peraturan untuk anak. Perilaku
orang tua yang seperti ini menurut Santrock dan
Gordon (dalam Sunarty 2016, 157) menjadikan
41
kepribadian anak yang tidak berkembang dengan baik,
termasuk menghambat kemandirian anak.
Pola asuh otoriter berada pada urutan keempat.
Orang tua otoriter berkomunikasi, bertransaksi,
berinteraksi dengan anak, cenderung menetapkan
standar yang mutlak harus dituruti, menuntut
kepatuhan, mendikte, kurang hangat, kaku dan keras,
kurang memberi kepercayaan, serta menghukum. Hal
ini didukung Papalia dan Santrock (dalam Sunarty
2016, 157) bahwa pola asuh otoriter menjadikan anak
tidak berkembang dengan baik, karena anak merasa
tertekan dan takut, sehingga tidak mampu mandiri.
Pola asuh negatif berada pada urutan kelima.
Ucapan dan tindakan ketika berkomunikasi,
bertransaksi atau berinteraksi dengan anak selalu
mengkritik, melindungi berlebihan, tidak konsisten,
selalu mendebat, serba mengatur, dan orang tua selalu
mau dilayani. Hasil ini sesuai dengan pendapat Gordon
dan James (dalam Sunarty 2016, 157) yang
menyatakan bahwa pola asuh negatif berdampak buruk
bagi perkembangan kepribadian anak, termasuk
menghambat kemandirian anak.
Pola asuh penelantar berada pada urutan
keenam (terakhir). Orang tua berkomunikasi,
bertransaksi atau berinteraksi dengan selalu
mengabaikan, menolak mendengar ungkapan perasaan
dan ide anak, mementingkan diri sendiri, tidak
42
memberikan kesempatan kepada anak untuk berbicara.
Hasil ini didukung oleh Papalia dan Thalib (dalam
Sunarty 2016, 158) yang menyatakan bahwa pola asuh
penelantar memperlihatkan pola perilaku orang tua
yang suka mengabaikan baik secara fisik maupun
psikis, dan pola asuh ini dapat sangat menghambat
perkembangan kemandirian anak.
Secara lebih jelas dipaparkan sebagaimana
pola asuh orang tua positif dan pola asuh orang tua
otoritatif dapat meningkatkan kemandirian anak
adalah sebagai berikut:
1) Pola Asuh Positif
Cara penerapan pola asuh orang tua positif
sehingga dapat membuat anak mandiri adalah
dengan (1) pola asuh orang tua yang layak/pantas,
bertujuan memperbaiki kesalahan anak disertai
penjelasan logis yang dapat diterima anak tanpa
tekanan. (2) pola asuh orang tua yang mendorong,
tampak dalam ucapan dan tindakan mendorong
anak untuk mengerjakan sendiri tugas-tugasnya,
baik tugas di rumah maupun di luar rumah. (3) pola
asuh orang tua yang konsisten, tampak dalam
ucapan dan tindakan orang tua yang sama pada
situasi dan kondisi yang sama, melatih anak
menjadi tegas, tangguh, serta percaya diri. (4) pola
asuh orang tua yang menyejukkan, tampak dalam
ucapan dan tindakan orang tua yang lemah lembut
43
dan menyenangkan. (5) pola asuh orang tua yang
merawat, tampak dalam ucapan dan tindakan orang
tua yang membantu anak untuk merasakan belaian
baik fisik maupun psikis, memperhatikan dan
mendengar ucapan dan ungkapan perasaan anak,
bergaul secara hangat dan saling menghormati. (6)
pola asuh orang tua yang rileks, tampak dalam
ucapan dan tindakan orang tua dalam suasana
rileks, memberikan kebebasan kepada anak dalam
berbicara, bertindak, dan beraktivitas secara santai
tanpa membuat anak merasa tertekan. (7) pola asuh
orang tua yang bertanggung jawab, tampak dalam
ucapan dan tindakan orang tua yang
membelajarkan anak untuk berani mengambil
risiko dari kegiatannya, memberikan kepercayaan
dan kebebasan melakukan aktivitas sesuai dengan
kebutuhan, dan mengambil risiko dari aktivitas dan
kebutuhannya (Sunarty 2016, 158).
2) Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif dapat meningkatkan
kemandirian anak, karena orang tua bertindak dan
berucapan (1) memandang dirinya dan anak punya
peran masing-masing. (2) memberikan tanggungjawab
dan mendorong anak untuk melakukan aktivitasnya
sendiri. (3) berdialog, orang tua dan anak saling
memberi dan menerima, mendengarkan keluhan,
menghormati serta menghargai suatu keputusan. (4)
44
bertindak secara obyektif, tegas, hangat dan penuh
pengertian, serta tegas dalam pengambilan keputusan.
(5) menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri
pada anak, selalu menyemangati anak untuk berbuat
sesuai dengan kemampuannya sendiri sesuai tahapan
perkembangan. (6) mendorong anak untuk mampu
membuat keputusan sendiri, selalu mendorong anak
dalam melakukan pekerjaan dan kegiatannya sendiri,
berani mengambil keputusan dan menanggung risiko
dari keputusaanya tersebut (Sunarty 2016, 158).
2. TUNANETRA
a. Pengertian Tunanetra
Secara harfiah, kata tunanetra terdiri dari kata
tuna dan netra. Kamus Besar Bahasa Indonesia
menyebutkan kata tuna mempunyai arti tidak memiliki,
tidak punya, luka atau rusak. Netra berarti mata atau
penglihatan. Tunanetra mempunyai arti tidak dapat
melihat atau buta (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Frans Harsana (dalam Rudiyati 2009, 57)
menyebutkan bahwa tunanetra ialah suatu kondisi dari
indera penglihatan atau mata yang tidak berfungsi
dengan sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan
oleh kerusakan pada mata, syaraf optik, atau bagian
otak yang mengolah stimulus visual.
Persatuan Tunanetra Indonesia mendefinisikan
ketunanetraan adalah mereka yang tidak memiliki
45
penglihatan sama sekali atau disebut dengan buta total,
sehingga bagi mereka yang masih memiliki sisa
penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan
penglihatannya untuk membaca tulisan biasa yang
berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal
meskipun dibantu dengan kacamata disebut sebagai
kurang awas atau disebut dengan low vision. Yang
dimaksud dengan tulisan berukuran 12 point adalah
ukuran huruf standar pada komputer di mana pada
bidang selebar satu inch memuat 12 buah huruf. Akan
tetapi, ini tidak boleh diartikan bahwa huruf dengan
ukuran 18 point, misalnya pada bidang selebar 1 inch
memuat 18 huruf. Ini berarti menjelaskan bahwa
seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai
penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk
membedakan antara terang dan gelap (Wibowo 2013).
Mata sebagai indra penglihatan dalam tubuh
manusia menduduki peringkat pertama, sebab
sepanjang waktu selama manusia itu terjaga mata akan
membantu manusia untuk beraktivitas, di samping
indra sensoris lainnya seperti pendengaran, perabaan,
penciuman, dan perasa. Begitu besar peran mata
sebagai salah satu dari pancaindra yang sangat penting,
maka dengan terganggunya indra penglihatan
seseorang berarti ia akan kehilangan fungsi
kemampuan visualnya untuk merekam objek dan
46
peristiwa fisik yang ada di lingkungannya (Efendi
2009, 29).
Meskipun penglihatan memiliki peranan yang
sangat vital, namun bukan berarti dengan hilangnya
fungsi penglihatan manusia tersebut ia sama sekali
tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh
pengalaman melalui berbagai interaksi dengan
lingkungan sekitarnya, melainkan ia masih dapat
mensubstitusi hilangnya indra penglihatan tersebut
melalui kompensasi indra lain yang masih berfungsi,
walaupun hasilnya tidak secanggih dan selengkap jika
dibarengi dengan penggunaan indra penglihatan
(Efendi 2009, 37).
Dari uraian tentang tunanetra di atas maka dapat
disimpulkan bahwa tunanetra adalah seseorang yang
mengalami kerusakan pada indra penglihatannya
sehingga ia tidak dapat menggunakan indera
penglihatannya tersebut untuk merekam objek dan
peristiwa fisik yang ada di lingkungannya, serta tidak
dapat menjalani aktivitas secara maksimal walaupun
dibantu dengan bantuan alat bantu.
b. Faktor Terjadinya Ketunanetraan
Secara etiologi atau ilmu kedokteran, timbulnya
ketunanetraan disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor
endogen dan faktor eksogen. Ketunanetraan karena
faktor endogen adalah seperti keturunan (herediter),
47
atau karena faktor eksogen seperti penyakit,
kecelakaan, obat-obatan dan lain-lain sebagainya.
Sedangkan dari kurun waktu terjadinya ketunanetraan
yaitu dapat terjadi pada saat anak masih berada di
dalam kandungan, saat dilahirkan, maupun sesudah
kelahiran. Sebagian besar penderita tunanetra
disebabkan oleh retrolenta fibroplasia (RLF) dan
maternal rubella, penyebab terjadinya ketunanetraan
ini berdasarkan statistik di Amerika Serikat pada
sekitar tahun 1950. Penderita tunanetra karena
retrolenta fibroplasia (RLF) adalah karena banyaknya
bayi lahir sebelum waktunya atau biasa disebut dengan
prematur (Efendi 2009, 34).
3. KEMANDIRIAN
a. Pengertian Kemandirian
Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri
yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an yang
kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata
benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri,
pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat
dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan
diri itu sendiri, karena diri itu merupakan inti dari
kemandirian (Ali dan Asrori 2004, 109).
Pada pembahasan terdahulu telah dikatakan
bahwa proses perkembangan manusia harus dipandang
48
sebagai proses interaksional dinamis. Interaksional
mengandung makna bahwa kemandirian berkembang
melalui proses keragaman manusia dalam kesamaan
dan kebersamaan, bukan dalam kevakuman. Dalam
konteks kesamaan dan kebersamaan, kemandirian
dibedakan menjadi dua, yaitu kemandirian aman
(secure autonomy), dan kemandirian tidak aman
(insecure autonomy). Kemandirian aman adalah
kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia,
kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab
bersama, dan tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan.
Kekuatan ini digunakan untuk mencintai kehidupan
dan membantu orang lain. Sedangkan kemandirian tak
aman adalah kekuatan kepribadian yang dinyatakan
dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut
kondisi seperti ini sebagai selfish autonomy atau
kemandirian yang mementingkan diri sendiri (Ali dan
Asrori 2004, 111).
Menurut Fatimah (2010, 141) manusia terlahir
dalam kondisi yang tidak berdaya yang membuatnya
bergantung kepada orang tua dan orang-orang yang
berada di lingkungannya hingga sampai dengan waktu
tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu dan
berkembangnya anak, seorang anak perlahan-lahan
akan melepaskan diri dari ketergantungannya dengan
49
orang tua atau orang lain disekitarnya dan mulai belajar
untuk mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah
yang dialami oleh manusia. Mandiri merupakan
kemampuan seseorang untuk tidak bergantung kepada
orang lain, terutama kepada orang tua dan orang-orang
disekitarnya serta dapat bertanggungjawab atas semua
hal yang telah dilakukannya.
Menurut Chaplin (dalam Desmita 2011, 185)
kemandirian adalah seseorang yang bebas untuk
memilih, dan menjadi manusia yang dapat menguasai,
memerintah, mengendalikan serta menentukan dirinya
sendiri.
Menurut Seifert dan Hoffnung sebagaimana
dikutip (dalam Desmita 2011, 185) menyatakan bahwa
kemandirian adalah seseorang yang memiliki
kemampuan untuk mengendalikan atau mengatur
pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas
serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-
perasaan malu dan ragu.
Menurut Erikson (dalam Desmita 2011, 185)
menyatakan kemandirian merupakan usaha untuk
melepaskan diri agar tidak bergantung kepada orang tua
dengan bermaksud untuk menemukan dirinya melalui
proses pencarian identitas ego yaitu merupakan
perkembangan ke arah individualitas yang lebih
50
mantap dan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada
siapapun. Kemandirian biasanya ditandai dengan
kemampuan seseorang dalam menentukan nasib,
kreatif dan inisiatif, dapat mengatur tingkah laku,
mampu bertanggung jawab, mampu menahan diri,
mampu membuat keputusan-keputusan sendiri, serta
mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari
orang lain. Kemandirian merupakan suatu sikap
otonomi dimana seseorang tidak mudah terpengaruh
oleh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain.
Dengan otonomi tersebut, seseorang diharapkan akan
lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Pembahasan kemandirian ditinjau dari berbagai
perspektif di atas mengantarkan pada suatu intisari
bahwa kemandirian merupakan suatu kekuatan internal
individu yang diperoleh melalui proses individuasi.
Proses individuasi itu adalah proses realisasi kedirian
dan proses menuju kesempurnaan. Diri adalah inti dari
kepribadian dan merupakan titik pusat yang
menyelaraskan dan mengoordinasikan seluruh aspek
kepribadian, kemandirian yang terintegrasi dan sehat
dapat dicapai melalui proses peragaman,
perkembangan, dan ekspresi sistem kepribadian sampai
pada tingkatan yang tertinggi (Ali dan Asrori 2004,
114).
51
Jadi dapat disimpulkan bahwa kemandirian
adalah keadaan seseorang yang dapat berdiri sendiri
yang ditandai dengan kemampuannya dalam
bertingkah laku, bertanggung jawab, mampu
mengambil keputusan berdasarkan kehendaknya
sendiri serta melakukan segala sesuatu tanpa harus
bergantung dengan orang lain.
b. Aspek-Aspek Kemandirian
Menurut Havighurst sebagaimana dikutip
dalam (Fatimah 2010, 143) bahwa terdapat empat
aspek dalam kemandirian, yaitu sebagai berikut:
1. Aspek emosi, aspek ini menekankan pada
kemampuan seseorang dalam mengontrol emosi
dan secara emosi tidak bergantung kepada orang
tua. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seseorang
dapat mengambil keputusan sendiri, mampu
mengontrol emosi dan menyelesaikan masalah
tanpa bergantung terutama kepada orang tua.
2. Aspek ekonomi, aspek ini menunjukkan
kemampuan seseorang dalam mengatur ekonomi
dan tidak bergantungnya kebutuhan ekonomi
seseorang pada orang tua. Hal ini berkaitan dengan
bagaimana seseorang dapat menggunakan,
mengatur keuangannya dengan baik, tidak
52
bergantung kepada orang tua dan memiliki
penghasilan sendiri.
3. Aspek intelektual, aspek ini menunjukkan
kemampuan seseorang dalam mengatasi berbagai
hambatan atau masalah yang dihadapi. Hal ini
berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat
mengatasi masalah dari yang paling sederhana
seperti mampu mengurus diri sendiri dalam
kehidupan sehari-hari seperti makan, mandi,
merapikan pakaian, mengerjakan pekerjaan rumah
dan belajar. Selain itu, seseorang juga dapat
membantu pekerjaan orang lain seperti pekerjaan
orang tua di rumah dan mampu menyelesaikan
masalah di sekolah yang berkaitan dengan
pembelajaran dan masalah lainnya.
4. Aspek sosial, aspek ini menunjukkan kemampuan
seseorang untuk mengadakan interaksi dengan
orang lain dan tidak bergantung atau menunggu
aksi dari orang lain. Hal ini berkaitan dengan
bagaimana seseorang dapat bersosialisasi dengan
orang lain, berteman, membantu orang lain atau
teman yang kesulitan atas kemauannya sendiri
tanpa menunggu perintah dari orang lain.
53
c. Tingkatan Dan Karakteristik Kemandirian
Sunaryo Kartadinata (dalam Ali dan Asrori
2004, 114) menyatakan bahwa sebagai suatu dimensi
psikologis yang kompleks, kemandirian dalam
perkambangannya memiliki tingkatan-tingkatan dan
karakteristik. Perkembangan kemandirian seseorang
juga berlangsung secara bertahap sesuai dengan
tingkatan perkembangan kemandiran tersebut.
Lovinger (dalam Ali dan Asrori 2004, 114)
mengemukakan tingkatan kemandirian beserta ciri-
cirinya sebagai berikut:
1. Tingkatan kemandirian yang pertama adalah tingkat
impulsif dan melindungi diri. Ciri-ciri dari tingkatan
ini adalah:
a) Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang
dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang
lain.
b) Mengikuti aturan secara oportunistik dan
hedonistik.
c) Berpikir tidak masuk akal dan terdiam/tertegun
pada cara berpikir tertentu (stereotype).
d) Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum
game.
e) Cenderung mencela dan menyalahkan orang lain
serta lingkungannya.
54
2. Tingkatan kemandirian kedua adalah tingkat
konformistik. Ciri-ciri dari tingkatan ini adalah:
a) Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan
sosial.
b) Cenderung berpikir stereotype dan klise.
c) Peduli akan konformitas terhadap aturan
eksternal.
d) Bertindak dengan cara yang dangkal untuk
memperoleh pujian.
e) Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan
kurangnya introspeksi.
f) Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri
eksternal.
g) Takut tidak diterima kelompok.
h) Tidak sensitif terhadap keindividualan.
i) Merasa berdosa jika melanggar aturan.
3. Tingkatan kemandirian ketiga adalah tingkat sadar
diri. Ciri-ciri dari tingkatan ini adalah:
a) Mampu berpikir alternatif.
b) Melihat harapan dan berbagai kemungkinan
dalam situasi.
c) Peduli untuk mengambil manfaat dari
kesempatan yang ada.
d) Menekankan pada pentingnya pemecahan
masalah.
55
e) Memikirkan cara hidup.
f) Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.
4. Tingkatan kemandirian keempat adalah tingkat
saksama (conscientious). Ciri-ciri dari tingkatan ini
adalah:
a) Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.
b) Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan
pelaku tindakan.
c) Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan
perspektif diri sendiri maupun orang lain.
d) Sadar akan tanggung jawab
e) Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
f) Peduli akan hubungan mutualistik.
g) Memiliki tujuan jangka panjang.
h) Cenderung melihat peristiwa dalam konteks
sosial.
i) Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola
analitis.
5. Tingkatan kemandirian kelima adalah tingkat
individualistis. Ciri-ciri dari tingkatan ini adalah:
a) Peningkatan kesadaran individualitas.
b) Kesadaran akan konflik emosional antara
kemandirian dengan ketergantungan.
c) Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan
orang lain.
56
d) Mengenal eksistensi perbedaan individual.
e) Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan
dalam kehidupan.
f) Membedakan kehidupan internal dengan
kehidupan luar dirinya.
g) Mengenal kompleksitas diri.
h) Peduli akan perkembangan dan masalah-
masalah sosial (Ali dan Asrori 2017, 115).
6. Tingkatan kemandirian keenam adalah tingkat
mandiri. Ciri-ciri dari tingkatan ini adalah:
a) Memiliki pandangan hidup sebagai suatu
keseluruhan.
b) Cenderung bersikap realistik dan objektif
terhadap diri sendiri maupun orang lain.
c) Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti
keadilan sosial.
d) Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang
bertentangan.
e) Toleran terhadap ambiguitas.
f) Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment).
g) Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik
internal.
h) Responsif terhadap kemandirian orang lain.
i) Sadar akan adanya saling ketergantungan
dengan orang lain.
57
j) Mampu mengekspresikan perasaan dengan
penuh keyakinan dan keceriaan (Ali dan Asrori
2004, 116).
d. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemandirian
Sebagaimana dengan aspek-aspek psikologis
yang lainnya, kemandirian bukan semata-mata
merupakan pembawaan yang sudah melekat pada diri
individu sejak lahir. Melainkan perkembangannya juga
dipengaruhi oleh berbagai stimulasi yang diperoleh dari
lingkungannya, selain potensi yang telah dimiliki sejak
lahir sebagai keturunan dari orang tuanya.
Ada sejumlah faktor yang sering disebut sebagai
korelat bagi perkembangan kemandirian, yaitu sebagai
berikut:
1. Gen atau keturunan orang tua. Orang tua yang
memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali
menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga.
Namun, faktor keturunan ini masih menjadi
perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa
sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya
itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang
tuanya muncul berdasarkan cara orang tua mendidik
anaknya.
58
2. Pola asuh orang tua. Cara orang tua mengasuh atau
mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan
kemandirian anak remajanya. Orang tua yang terlalu
banyak melarang atau mengeluarkan kata "jangan"
kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang
rasional akan menghambat perkembangan
kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang
menciptakan suasana aman dalam interaksi
keluarganya akan dapat mendorong kelancaran
perkembangan anak. Demikian juga, orang tua yang
cenderung sering membanding-bandingkan anak
yang satu dengan lainnya juga akan berpengaruh
kurang baik terhadap perkembangan kemandirian
anak (Ali dan Asrori 2004, 118).
3. Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di
sekolah yang cenderung menekankan indoktrinasi
tanpa argumentasi, dan tidak mengembangkan
demokratisasi pendidikan akan menghambat
perkembangan kemandirian. Demikian juga dengan
proses pendidikan yang banyak menekankan
pentingnya pemberian sanksi atau hukuman, aturan
pemberian sanksi atau hukuman ini juga dapat
menghambat perkembangan kemandirian.
Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih
menekankan pentingnya penghargaan terhadap
59
potensi anak, pemberian penghargaan, dan
penciptaan kompetisi positif akan memperlancar
perkembangan kemandirian.
4. Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupan
masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya
hierarki struktur sosial, membuat anak merasa
kurang aman atau mencekam, serta kurang
menghargai manifestasi potensi anak dalam
melakukan kegiatan produktif yang dapat
menghambat kelancaran perkembangan
kemandiriannya. Sebaliknya, dengan lingkungan
masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi
anak dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak
terlaku hierarkis yang akan dapat merangsang dan
mendorong perkembangan kemandirian (Ali dan
Asrori 2004, 119).
60
B. KERANGKA BERPIKIR
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir
Bagan di atas bertujuan untuk menggambarkan alur
dan kerangka penelitian yang dibuat. Maksud dari penelitian
ini dengan jelas mengangkat isu mengenai pengasuhan orang
tua penyandang tunanetra terkhusus dalam membentuk
kemandirian anak. Apakah dengan keterbatasan yang dimiliki
berpengaruh terhadap gaya pengasuhan yang digunakan? Serta
apakah orang tua tunanetra memiliki ciri khas tersendiri dalam
mengasuh anaknya?
Anak
Kemandirian
Lovinger (dalam Ali dan
Asrori 2004, 114):
Tingkat 1: impulsif dan
melindungi diri
Tingkat 2: konformistik
Tingkat 3: sadar diri
Tingkat 4: saksama
Tingkat 5: individualistis
Tingkat 6: mandiri
Pola Asuh Orang
Tua
Diana Baumrind
(dalam W. Santrock
2007, 167):
Otiriter
Otoritatif
Memanjakan
Mengabaikan
Orang Tua
Tunanetra
61
BAB III
GAMBARAN UMUM KOTA DEPOK
Bab gambaran umum latar penelitian ini berisikan tentang
gambaran umum wilayah Kota Depok seperti kondisi geografis
yang dijelaskan berdasarkan letak dan iklim, kondisi demografi
seperti kependudukan, ketenagakerjaan, dan data jumlah
penyandang disabilitas di Kota Depok, sejarah Kota Depok seperti
pembagian wilayah dan terbentunya Kota Depok, serta aspek
perdagangan di Kota Depok.
A. KONDISI GEOGRAFIS
Menurut (Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018, 3)
secara astronomis Kota Depok terletak antara 6º 19’ s.d. 6º 28’
Lintang Selatan dan antara 106º 43’ s.d. 106º 55’ Bujur Timur.
Berdasarkan posisi geografisnya, Kota Depok terletak di
bagian selatan Provinsi Jawa Barat berbatasan dengan
Provinsi DKI Jakarta memiliki batas-batas: Utara–Provinsi
DKI Jakarta; Selatan–Kabupaten Bogor; Barat–Kota
Tangerang Selatan; Timur–Kabupaten Bogor.
Kota depok terdiri dari 11 Kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Sawangan.
2. Kecamatan Bojongsari.
3. Kecamatan Pancoran Mas.
4. Kecamatan Cipayung.
5. Kecamatan Sukmajaya.
6. Kecamatan Cilodong.
7. Kecamatan Cimanggis.
8. Kecamatan Tapos.
9. Kecamatan Beji.
10. Kecamatan Limo.
11. Kecamatan Cinere.
62
Berikut adalah gambar peta wilayah Kota Depok.
Gambar 3.1 Peta Wilayah Kota Depok
(Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018, v)
Menurut (Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018, 4)
Kota Depok merupakan daerah dataran rendah dengan
ketinggian 77-150 meter diatas permukaan air laut (DPAL),
yang merupakan dataran rendah–perbukitan bergelombang
lemah. Luas wilayah Kota Depok, adalah berupa daratan
seluas 200,29 km². Pada tahun 1999, wilayah Kota Depok
terdiri dari enam wilayah Kecamatan, berdasarkan Undang-
Undang no. 15 tahun 1999 yang mencakup 63 kelurahan.
Kecamatan Tapos merupakan Kecamatan yang terluas
wilayahnya yaitu 32,33 km². Kecamatan Cinere yang terkecil
luas wilayah yaitu 10,47 km². Enam kecamatan tersebut
adalah:
63
1. Kecamatan Sawangan.
2. Kecamatan Pancoran Mas.
3. Kecamatan Sukmajaya.
4. Kecamatan Cimanggis.
5. Kecamatan Beji.
6. Kecamatan Limo.
Berikut luas wilayah menurut kecamatan di Kota Depok
pada tahun 2017 dalam bentuk diagram.
Gambar 3.2 Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota
Depok Tahun 2017
(Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018, 5)
Berikut luas wilayah menurut kecamatan di Kota
Depok pada tahun 2017 dalam bentuk tabel. Sama seperti data
luas wilayah dalam bentuk diagram sebelumnya, bahwa
Kecamatan Tapos merupakan Kecamatan yang terluas yaitu
5%
13%
10%
9%
6%
9%8%
11%
16%
7%6%
L U A S W I L A Y A H M E N U R U T
K E C A M A T A N D I K O T A D E P O K
T A H U N 2 0 1 7
Cinere
Sawangan
Bojongsari
Pancoran Mas
Cipayung
Sukmajaya
Cilodong
Cimanggis
Tapos
Beji
Limo
64
dengan luas 32,33 km² dan Kecamatan Cinere yang terkecil
dengan luas 10,47 km².
Tabel 3.1
Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Depok, 2017
No Kecamatan Luas Wilayah (km²) Presentase
1. Sawangan 26,19 13,08
2. Bojongsari 19,30 9,64
3. Pancoran Mas 18,03 9,00
4. Cipayung 11,45 5,72
5. Sukmajaya 17,35 8,66
6. Cilodong 16,19 8,08
7. Cimanggis 21,58 10,77
8. Tapos 33,26 16,61
9. Beji 14,56 7,27
10. Limo 11,84 5,91
11. Cinere 10,55 5,27
Kota Depok 200,29 100,00
(Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018, 6)
1. Iklim
Wilayah Depok termasuk dalam daerah beriklim
tropis dengan perbedaan curah hujan yang cukup kecil dan
dipengaruhi oleh iklim musim. Secara umum musim
kemarau di Kota Depok terjadi di antara bulan April sampai
dengan bulan September dan musim hujan terjadi di antara
bulan Oktober sampai dengan bulan Maret.
• Temperatur: 24,3o-33 o Celsius
65
• Kelembaban rata-rata: 25 %
• Penguapan rata-rata: 3,9 mm/th
• Kecepatan angin rata-rata: 14,5 knot
• Penyinaran matahari rata-rata: 49,8 %
• Jumlah curah hujan: 2684 m/th
• Jumlah hari hujan: 222 hari/tahun
(Portal Resmi Pemerintah Kota Depok 2019)
B. KONDISI DEMOGRAFI
Sebagai Kota yang berbatasan langsung dengan
Ibukota Negara, Kota Depok menghadapi berbagai
permasalahan perkotaan, termasuk masalah kependudukan.
Sebagai daerah penyangga Kota Jakarta, Kota Depok
mendapatkan tekanan migrasi penduduk yang cukup tinggi
sebagai akibat dari meningkatnya jumlah kawasan
permukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa (Portal Resmi
Pemerintah Kota Depok 2019).
Penduduk Kota Depok adalah semua orang yang
berdomisili di wilayah Kota Depok selama 6 bulan atau lebih
dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi
bertujuan menetap (Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018,
32).
1. Kependudukan
Populasi Penduduk Kota Depok berdasarkan
proyeksi penduduk tahun 2017 sebanyak 2.254.513 jiwa,
yaitu penduduk laki-laki sebanyak 1.135.539 jiwa dan
perempuan 1.118.974 jiwa. Dibandingkan Tahun 2016,
penduduk Kota Depok Tahun 2017 bertambah sekitar
74.700 jiwa atau dengan pertumbuhan penduduk sebesar
66
3,48 persen. Jumlah Penduduk Laki laki lebih banyak
dibandingkan penduduk perempuan dengan besarnya
angka rasio jenis kelamin tahun 2017 sebesar 101,48.
Kepadatan penduduk di Kota Depok tahun 2017
meningkat dibandingkan tahun 2016 yaitu 11.256 jiwa/km²
dibandingkan sebelumnya yaitu 10.883 jiwa/km².
Kepadatan Penduduk di 11 kecamatan bervariasi dengan
kepadatan tertinggi terletak di kecamatan Sukmajaya yaitu
sebesar 17.448 jiwa/km² dan terendah di Kecamatan
Sawangan sebesar 6.094 jiwa/km² (Badan Pusat Statistik
Kota Depok 2018, 38).
Berikut adalah data Proyeksi Penduduk Menurut
Kecamatan di Kota Depok Tahun (Jiwa) 2015, 2016, 2017
dalam bentuk tabel.
Tabel 3.2 Proyeksi Penduduk Menurut Kecamatan di Kota
Depok Tahun (Jiwa) 2015, 2016, 2017
No Kecamatan 2015 2016 2017
1. Sawangan 149.695 154.933 159.613
2. Bojongsari 120.818 125.047 128.894
3. Pancoran Mas 255.016 263.942 273.447
4. Cipayung 154.958 160.382 165.361
5. Sukmajaya 281.418 291.267 302.719
6. Cilodong 151.441 156.742 161.866
7. Cimanggis 293.132 303.392 313.987
8. Tapos 261.923 271.090 280.121
9. Beji 200.976 208.009 215.215
10. Limo 106.545 110.275 113.684
11. Cinere 130.178 134.734 139.606
Kota Depok 2.106.100 2.179.813 2.254.513
(Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018, 40)
67
Dan berikut adalah data Jumlah Penduduk dan
Rasio Jenis Kelamin Munurut Kecamatan di Kota Depok,
2017 dalam bentuk tabel.
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin
Munurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2017
Jenis Kelamin
No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis
Kelamin
1. Sawangan 81.279 78.334 159.613 103,76
2. Bojongsari 65.473 63.421 128.894 103,24
3. Pancoran Mas 137.438 136.009 273.447 101,05
4. Cipayung 84.046 81.315 165.361 103,36
5. Sukmajaya 149.975 152.744 302.719 98,19
6. Cilodong 81.741 80.125 161.866 102,02
7. Cimanggis 158.734 155.253 313.987 102,24
8. Tapos 140.750 139.371 280.121 100,99
9. Beji 108.925 106.290 215.215 102,48
10. Limo 57.550 56.134 113.684 102,52
11. Cinere 69.628 69.978 139.606 99,50
Kota Depok 1.135.539 1.118.974 2.254.513 101,48
(Badan Pusat Statistik Kota Depok, 41)
Karena peneliti mempersempit daerah penelitian di
Kecamatan Cinere, berikut adalah data jumlah penduduk
menurut jenis kelamin di Kecamatan Cinere tahun 2007
dalam bentuk tabel yang menunjukkan bahwa jumlah
penduduk laki-laki 43,850 jiwa, dan jumlah penduduk
68
perempuan 43,449 jiwa apabila dikalkulasikan jumlahnya
hampir seimbang dengan selisih 401 jiwa.
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di
Kecamatan Cinere Tahun 2017
No Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Cinere 16.743 16.636 33.379
2. Gandul 12.376 12.233 24.609
3. Pangkalanjati Baru 5.32 5.423 10.855
4. Pangkalanjati 9299 9.152 18.451
Jumlah 43.850 43.449 87.294
(Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018, 10)
2. Ketenagakerjaan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Kota Depok
Tahun 2017 adalah 64,04%. Ini berarti bahwa dari setiap
100 penduduk usia 15 tahun ke atas ada sebanyak 64 orang
yang termasuk dalam kelompok angkatan kerja.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Depok
tahun 2017 sebesar 7,00%. Ini berarti bahwa dari 100
penduduk angkatan kerja terdapat 7 (tujuh) orang di
antaranya yang sedang mencari pekerjaan (pengangguran).
Berdasarkan lapangan usaha Tahun 2017 penduduk
usia 15 tahun ke atas di Kota Depok banyak yang bekerja
di sektor jasa kemasyarakatan 290.560 pekerja dan sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran 285.261 pekerja dan
lapangan usaha lainnya yang belum dapat diklasifikasikan
69
286.406 pekerja (Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018,
38).
3. Data Penyandang Disabilitas di Kota Depok
Berdasarkan informasi yang didapat, data terkait
dengan penyandang disabilitas terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu data jumlah penyandang masalah sosial dan
kesejahteraan menurut jenisnya di Kota Depok tahun 2015-
2017 dan data jumlah penduduk menurut jenis cacat di
Kecamatan Cinere tahun 2017.
Dalam data jumlah penyandang masalah sosial dan
kesejahteraan, penyandang tunanetra masuk kedalam
kategori penyandang cacat yang jumlahnya meningkat dari
204 jiwa di tahun 2015 dan 2016 menjadi 700 jiwa di tahun
2017.
Berikut adalah data Jumlah Penyandang Masalah
Sosial dan Kesejahteraan Menurut Jenisnya di Kota Depok,
2015-2017 dalam bentuk tabel.
70
Tabel 3.5
Jumlah Penyandang Masalah Sosial dan Kesejahteraan
Menurut Jenisnya di Kota Depok Tahun 2015-2017
No Jenis 2015 2016 2017
1. Anak Balita Terlantar 3 2 4
2. Orang Terlantar 405 203 169
3. Anak Tindak Kekerasan/Perlakuan Salah - 40 74
4. Anak Berhadapan Dengan Hukum - 8 41
5. Anak Jalanan 525 550 15
6. Anak Cacat 453 245 148
7. Wanita Rawan Sosial Ekonomi 303 303 440
8. Wanita Korban Tindak Kekerasan 10 10 143
9. Lanjut Usia Terlantar 28 28 34
10. Penyandang Cacat 204 204 700
11. Wanita Tuna Susila 214 214 243
12. Pengemis 90 90 110
13. Gelandangan 40 40 50
14. Bekas Narapidana 1 1 272
15. Korban Penyalahgunaan Narkotika 18 18 85
16. Keluarga Miskin 7.693 11.469 74.286
17. Keluarga Berumah Tidak Layak Huni 1.547 1.547 2.637
18. Keluarga Bermasalah Sosial Psikologi - - -
19. Korban Bencana Alam 2.581 20 20
20. Korban Bencana Sosial - 2.448 -
21. Pekerjaan Migran Bermasalah Sosial - - 15
22. Penderita HIV/AIDS 548 548 3.723
23. Bekas Warga Binaan Lembaga
Kemasyarakatan
- 2 3
(Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018, 98)
71
Untuk jumlah penduduk menurut jenis cacat di
Kecamatan Cinere tahun 2017 penyandang tunanetra
sendiri berjumlah 15 orang yang terbagi di 3 Kelurahan,
yaitu 5 orang di Kelurahan Cinere, 5 orang di Kelurahan
gandul, dan 5 orang lainnya di Kelurahan Pangkalanjati.
Berikut jumlah Penduduk Menurut Jenis Cacat di
Kecamatan Cinere Tahun 2017 dalam bentuk tabel.
Tebel 3.6 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Cacat di
Kecamatan Cinere Tahun 2017
Tuna
No Kelurahan
Netra
Rungu
Wicara
Rungu-
Wicara
Daksa
Cacat
Mental
(Grahita)
1. Cinere 5 0 0 2 1 2
2. Gandul 5 0 0 0 1 1
3. Pangkalanjati
Baru
0 0 0 1 1 0
4. Pangkalanjati 5 2 1 0 1 6
Jumlah 15 2 1 3 4 9
(Badan Pusat Statistik Kota Depok 2018, 18)
C. SEJARAH
Berdasarkan informasi yang didapat mengenai sejarah
Kota Depok, berikut adalah penjelasan tentang sejarah Kota
Depok yang terdiri dari pembangian wilayah Kota Depok dan
terbentuknya Kota Depok.
72
1. Pembagian Wilayah
Depok bermula dari sebuah Kecamatan yang
berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati)
wilayah Parung Kabupaten Bogor, kemudian pada tahun
1976 perumahan mulai dibangun baik oleh Perum
Perumnas maupun pengembang yang kemudian diikuti
dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia (UI),
serta meningkatnya perdagangan dan Jasa yang semakin
pesat sehingga diperlukan kecepatan pelayanan.
Pada tahun 1981 Pemerintah membentuk Kota
Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 tahun 1981 yang peresmiannya pada tanggal 18
Maret 1982 oleh Menteri dalam Negeri yaitu Bapak H.
Amir Machmud. Kota Depok terdiri dari 3 (tiga)
Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Desa, yaitu :
a. Kecamatan Pancoran Mas. Kecamatan Pancoran Mas
terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu Desa Depok, Desa
Depok Jaya, Desa Rangkapan Jaya, Desa Rangkapan
Jaya Baru, Desa Pancoram Mas, Desa Mampang.
b. Kecamatan Beji. Kecamatan Beji terdiri dari 5 (lima)
Desa, yaitu Desa Beji, Desa Tanah Baru, Desa
Kukusan, Desa Kemiri Muka, Desa Pondok Cina.
c. Kecamatan Sukmajaya. Kecamatan sukmajaya terdiri
dari 6 (enam) Desa, yaitu Desa Mekarjaya, Desa Sukma
Jaya, Desa Sukamaju, Desa Cisalak, Desa Kalibaru,
Desa Kalimulya.
73
Kota Administratif Depok berkembang pesat baik
dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan
Kemasyarakatan selama kurun waktu 17 tahun. Pada
bidang Pemerintahan semua Desa berganti menjadi
Kelurahan dan adanya pemekaran Kelurahan, sehingga
pada akhirnya Depok terdiri dari 3 (Kecamatan) dan 23
(dua puluh tiga) Kelurahan, yaitu:
a. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam)
Kelurahan, yaitu Kelurahan Depok, Kelurahan Depok
Jaya, Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahjn Rangkapan
Jaya, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru.
b. Kecamatan Beji terdiri dari (enam) Kelurahan, yaitu
Kelurahan Beji, Kelurahan Beji Timur, Kelurah
Pondok Cina, Kelurahan Kemirimuka, Kelurahan
Kukusan, Kelurahan Tanah Baru.
c. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 (sebelas)
Kelurahan, yaitu Kelurahan Sukmajaya, Kelurahan
Suka Maju,. Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Abadi
Jaya, Kelurahan Baktijaya, Kelurahan Cisalak,
Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Kalimulya, Kelurahan
Kali Jaya, Kelurahan Cilodong, Kelurahan Jati Mulya,
Kelurahan Tirta Jaya.
74
Dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1999
penyelenggaraan pemerintah Kota Administratif Depok
mengalami pergantian Kepemimpinan sebagai berikut:
Tabel 3.7
Pergantian Kepemimpinan Kota Administratif Depok
No Wali Kota Administratif Masa Jabatan Perode
1. Drs. Moch Rukasah Suradimadja 1982-1984 1
2. Drs. H.M.I Tamdjid 1984-1988 2
3. Drs. Abdul Wachyan 1988-1991 3
4. Drs. Moch. Masduki 1991-1992 4
5. Drs. H.Sofyan Safari Hamim 1992-1996 5
Drs. H. Yuyun WS 1996-1997
7. H. Badrul Kamal 1997-1999 6
(Portal Resmi Pemerintah Kota Depok 2019)
Tabel pergantian kepemimpinan diatas
menggambarkan bahwa pergantian kepemimpinan Kota
Administratif Depok paling lama dalam kurun waktu 4
tahun pada masa kepemimpinan Drs. H.M.I Tamdjid, dan
Drs. H.Sofyan Safari Hamim. Kepemimpinan paling cepat
pada masa kepemimpinan Drs. Moch. Masduki dan juga
Drs. H. Yuyun WS yang masing-masing memimpin selama
kurun waktu 1 tahun.
Kota Administratif Depok diangkat menjadi
Kotamadya. Berikut pergantian Kepemimpinan
Pemerintah Kota Depok dari tahun 1999 sampai dengan
tahun 2016.
75
Tabel 3.8 Pergantian Kepemimpinan Kota Depok
No Wali Kota Wakil Wali Kota Masa Jabatan Perode
1. H. Badrul Kamal Yus Ruswandi 27 April 1999-26 Januari 2006 7
2. Dr. Ir. H. Nur
Mahmudi Ismail M.Sc
Yuyun Wirasaputra 26 Januari 2006-26 Januari 2011 8
Mohammad Idris 26 Januari 2011-26 Januari 2016
Drs. H. Arifin Harun
Kertasaputra (Penjabat
Wali Kota)
1 Februari 2016-17 Februari 2016 9
3. KH. Dr. Mohammad
Idris M.A
Pradi Supriatna 17 Februari 2016-Pertahana 10
(Portal Resmi Pemerintah Kota Depok 2019)
Tabel pergantian kepemimpinan diatas menggambarkan
bahwa pergantian kepemimpinan Kota Depok paling lama dalam
kurun waktu 10 tahun pada masa kepemimpinan Dr. Ir. H. Nur
Mahmudi Ismail M.Sc. Kepemimpinan paling cepat pada masa
kepemimpinan Drs. H. Arifin Harun Kertasaputra (Penjabat Wali
Kota) selama 16 hari.
2. Terbentuknya Kota Depok
Kota Administratif Depok diangkat menjadi
Kotamadya dengan harapan pelayanan menjadi
maksimum, ini terjadi karena semakin pesatnya
perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat.
Disisi lain Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan
Pemerintah Kabupaten Bogor bersama-sama
memperhatikan perkembangan tesebut, dan
76
mengusulkannya kepada Pemerintah Pusat dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 1999,
tentang pembentukan Kota madya Daerah Tk. II Depok
yang ditetapkan pada tanggal 20 April tahun 1999, dan
diresmikan tanggal 27 April tahun 1999. Pembentukan
Kota madya dan peresmian ini berbarengan dengan
Pelantikan Pejabat Walikota madya Kepala Daerah Tk. II
Depok yang dipercayakan kepada Bapak Drs. H. Badrul
Kamal yang pada saat itu menjabat sebagai Walikota Kota
Administratif Depok.
Momentum peresmian Kota madya Daerah Tk. II
Depok dan pelantikan pejabat Walikota madya Kepala
Daerah Tk. II Depok dapat dijadikan suatu landasan yang
bersejarah dan tepat untuk dijadikan hari jadi Kota Depok.
Berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 1999
Wilayah Kota Depok meliputi wilayah Administratif Kota
Depok, yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan sebagaimana
tersebut diatas ditambah dengan sebagian wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, yaitu:
a. Kecamatan Cimanggis, yang terdiri dari 1 (satu)
Kelurahan dan 12 (dua belas) Desa , yaitu Kelurahan
Cilangkap, Desa Pasir Gunung Selatan, Desa Tugu,
Desa Mekarsari, Desa Sukamaju Baru, Desa Cijajar,
Desa Cimpaeun, Desa Leuwinanggung, Desa Cisalak
Pasar, Desa Curug, Desa Hajarmukti, Desa Sukatani.
77
b. Kecamatan Sawangan, yang terdiri dari 14 (empat
belas) Desa, yaitu Desa Sawangan, Desa Sawangan
Baru, Desa Cinangka, Desa Kedaung, Desa Serua,
Desa Pondok Petir, Desa Curug, Desa Bojong Sari,
Desa Bojong Sari Baru, Desa Duren Seribu, Desa
Duren Mekar, Desa Pengasinan Desa Bedahan, Desa
Pasir Putih.
c. Kecamatan Limo yang terdiri dari 8 (delapan) Desa,
yaitu Desa Limo, Desa Krukut, Desa Grogol, Desa
Meruyung, Desa Cinere, Desa Gandul, Desa Pangkalan
Jati, Desa Pangkalan Jati Baru.
d. Dan ditambah 5 (lima) Desa dari Kecamatan Bojong
Gede, yaitu Desa Cipayung, Desa Cipayung Jaya, Desa
Ratu Jaya, Desa Pondok Terong, Desa Pondok Jaya.
Kota Depok selain merupakan Pusat Pemerintahan
yang berbatasan langsung dengan Wilayah Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta juga merupakan wilayah penyangga Ibu
Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, Kota
Pendidikan, Pusat pelayanan perdagangan dan jasa, Kota
pariwisata dan sebagai kota resapan air (Portal Resmi
Pemerintah Kota Depok 2019).
D. PERDAGANGAN
Sektor perdagangan merupakan sektor ekonomi yang
banyak diminati oleh semua kalangan masyarakat dalam
kegiatan ekonomi baik itu secara formal maupun informal.
Pasar sebagai infrastruktur dan sarana perdagangan tersedia di
78
Kota Depok di 6 (enam) lokasi. Tersedia fasilitas sebanyak 2
601 Kios, dan 1.844 Los pasar serta petugas retribusi dan
kebersihan sebanyak 86 orang. Perdagangan luar negeri
digambarkan oleh adanya kegiatan ekspor dan impor (Badan
Pusat Statistik Kota Depok 2018, 172).
Sehubungan dengan perdagangan sebagai sektor
ekonomi yang banyak diminati tidak menutup kemungkinan
alasan penyandang tunanetra untuk berjualan kerupuk maupun
membuka panti pijat di Kota Depok, ini menjadi alasan utama
bagi mereka untuk datang ke Kota Depok dengan tujuan
mengadu nasib.
79
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Bab data dan temuan penelitian ini berisikan tentang uraian
data dan temuan penelitian di lapangan yang diperoleh melalui
metode wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Dari metode
yang telah dilakukan peneliti memperoleh informasi terkait dengan
pola asuh orang tua dalam membentuk kemandirian anak di Kota
Depok terkhusus di Kecamatan Cinere, temuan data penelitian
dapat diuraikan sebagai berikut.
A. DATA INFORMAN
Dalam menentukan informan, peneliti menggunakan
teknik Purpossive Sampling metode Snowball Sampling.
Sebelum menentukan informan menggunakan metode
sampling bola salju, peneliti terlebih dahulu menentukan
populasi dan sampel. Creswell (dalam Herdiansyah 2012,
103) menyatakan bahwa populasi adalah suatu kelompok
individu yang memiliki karekteristik yang sama atau relative
serupa. Populasi dari penelitian ini adalah keluarga
penyandang tunanetra di Kota Depok. Setelah menentukan
populasi, selanjutnya peneliti menentukan sampel, Neuman
(dalam Herdiansyah 2012, 113) menyatakan bahwa sampel
adalah bagian dari populasi yang akan dilibatkan dalam
penelitian yang merupakan bagian yang representatif dan
merepresentasikan karakter atau ciri-ciri dari populasi.
Sampel dari penelitian ini adalah 3 keluarga penyandang
tunanetra yang berprofesi sebagai pedagang kerupuk dan jasa
80
pijat beserta dengan anaknya yang tinggal di Kota Depok
terkhusus di Kecamatan Cinere.
Pengumpulan data informan ini dilakukan melalui
wawancara langsung kepada orang tua penyandang tunanetra
dan anaknya, berikut uraian data informan yang ditemukan:
1. INFORMAN KELUARGA I
a. Identitas Diri Orang Tua
Informan orang tua dari keluarga pertama yang
peneliti wawancarai ialah Bapak L dan Ibu R.
Wawancara dilakukan pada tanggal 20/09/2019, pukul
10.15-11.20 WIB bertempat di rumah yang juga
sekaligus sebagai tempat beliau membuka panti pijat di
daerah Gandul Kota Depok. Bapak L berusia 45 tahun,
dan Ibu R berusia 46 tahun. Bapak L merantau dari Jawa
ke Depok/Cinere dari tahun 1998 hingga saat ini. Ibu R
adalah istri kedua dari Bapak L, Bapak L menikah lagi
karena istri pertamanya sudah meninggal dunia kurang
lebih 4 tahun yang lalu dikarenakan sakit. Bapak L
memiliki 5 orang anak, 4 anak dari istri pertama dan 1
anak dari istri kedua. Kelima anak- anaknya sejak lahir
berada di Cinere, sampai suatu hari ketika istri
pertamanya sakit dan akhirnya meninggal dunia
membuat anak kedua dan keempat merasa down dan
tidak mau bersekolah di Cinere lagi, karena memang ibu
yang selama ini berperan penting di keluarga untuk
mendidik, tetapi kemudian setelah ibunya sudah tidak
ada anak- anaknya menjadi susah untuk diatur, anak
81
kedua dan keempat akhirnya memutuskan untuk pindah
ke kampung halaman di Klaten Jawa Tengah dan
melanjutkan sekolahnya, mereka tinggal dan dirawat
oleh sang nenek. Jadi yang tinggal bersama dengan
Bapak L setelah istri pertamanya meninggal dunia ialah
anak pertama dan anak ketiga. Hingga sampai akhirnya
Bapak L menikah lagi dan anak ketiganya juga meminta
untuk sekolah di kampung halaman juga bersama
saudara kandung yang lainnya karena tidak mau kalau
tinggal bersama ibu sambung/tiri. Seiring berjalannya
waktu sang nenek juga tiba-tiba jatuh sakit dan
meninggal dunia, lalu semua anaknya yang berada di
kampung tinggal bersama tante/bibi. Anak-anak yang
berada di kampung halaman pernah diajak untuk
pindah kembali ke Cinere lagi, tapi mereka tetap
berkeras hati untuk tetap di Kampung saja. Bibi di
Kampung juga pernah menawarkan untuk anak
pertamanya tinggal di kampung, tetapi anak pertamanya
juga tetap memilih tinggal di Cinere karena jika di
Kampung ia merasa kesulitan apabila harus bekerja di
Kampung, karena nantinya hanya akan bekerja di pabrik
dan pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan
kemampuannya. Alasan lain dari anak pertamanya
untuk menetap di Cinere adalah karena merasa takut dan
kasihan jika tidak ada yang menjaga Bapak L. Bapak L
menikah lagi dengan istri keduanya yang bernama Ibu R
82
dan dikaruniai 1 orang anak yang sekarang sudah
berusia kurang lebih 2 tahun.
Pendidikan terakhir Bapak L dan Ibu R adalah pada
tingkat SD (sekolah dasar). Karena pendidikan terakhir
yang tidak mendukung dan kurangnya keterampilan
yang dimiliki serta keterbatasan penglihatan membuat
Bapak L dan Ibu R berprofesi sebagai pedagang kerupuk
dan membuka panti pijat.
Bapak L berprofesi sebagai ahli pijat, panti pijatnya
buka dari pukul 08:00-22:00 WIB, Pak L sendiri adalah
ahli pijat yang sudah bersetifikat. Selain membuka panti
pijat beliau juga berjualan kerupuk. Berjualan kerupuk
ia dilakukan apabila tidak ada pelanggan/pasien, dengan
kata lain berjualan kerupuk adalah pekerjaan alternatif
atau tambahan yang dilakukan, berjualan kerupuk
biasanya dilakukan pada pukul 19:00-22:00 WIB di
Alfamart yang lokasinya tidak jauh dari rumah.
Sedangkan istri keduanya sebagai ibu rumah tangga.
Ekonomi Bapak L dan Ibu R terbilang cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk pemenuhan
kebutuhan keluarga terpenuhi dari penghasilan
membuka panti pijat dan berjualan kerupuk, Bapak L
dan Ibu R dalam pemenuhan kebutuhan keluarga juga
dibantu oleh anak WNH yang sudah bekerja dan
berpenghasilan.
Bapak L adalah informan pertama yang dipilih
karena peneliti pertama kali bertemu ketika sedang
83
berjualan dan sesuai dengan kriteria informan yang
dibutuhkan, selanjutnya Pak L menjadi penyambung
untuk peneliti mendapatkan informan selanjutnya.
b. Identitas Diri Anak
Informan anak dari keluarga pertama ialah WNH.
Wawancara dilakukan pada tanggal 26/09/2019,
pukul 13.00-13.45 WIB bertempat di rumah tempat
tinggalnya di daerah Mampang Kota Depok. W pilih
sebagai informan karena dari keempat adiknya tidak
bisa untuk dimintai wawancara dikarenakan tiga
adiknya berada di kampung halaman dan satu lainnya
masih sangat kecil untuk diwawancarai. W berusia 22
tahun, pendidikan terakhir anak WNH adalah pada
tingkat SMK (sekolah menengah kejuruan) jurusan tata
boga. W sudah tidak lagi tinggal bersama dengan orang
tuanya karena sudah menikah pada usia 20 tahun, dan
juga sudah bekerja sebagai karyawan rumah sakit swasta
di Kota Depok. Dengan begitu anak WNH sudah tidak
bergantung kepada orang tua dan mampu untuk
memenuhi kebutuhannya, karena anak WNH sudah
bekerja dan berpenghasilan sendiri dari hasil
pekerjaannya di Rumah Sakit Swasta di Kota Depok.
Pendidikan yang ia tempuh di SMK sejalan dengan
profesi yang ditekuninya sekarang ini yaitu di bagian
kitchen.
84
Konflik keluarga ditemukan pada keluarga
pertama ini, bahwa dalam pengasuhan anak WNH
cenderung otoritatif, namun Bapak L dalam
pengasuhan adik-adik dari WNH cenderung terlihat
menggambarkan orang tua yang mengabaikan
kepada adik-adik dari WNH, karena mempersilahkan
adik- adik WNH untuk tinggal di kampung halaman.
Namun Bapak L bukan bermaksud mengabaikan
anak dan melepaskan tanggung jawabnya sebagai
orang tua, karena kemauan anak sendirilah yang
memilih untuk tinggal di kampung halaman.
Kemauan anak ini juga dikarenakan adanya ibu
sambung yang membuat anak belum mampu untuk
beradaptasi dan menerima kehadiran ibu
sambungnya. Namun bukan berarti juga bapak L
lepas kendali dalam pengasuhan anak-anaknya di
kampung halaman, bapak L juga sesekali mengontrol
anak melalui telephone genggamnya dengan
menghubungi anak dan memenuhi segala kebutuhan
anak.
2. INFORMAN KELUARGA II
a. Identitas Diri Orang Tua
Informan orang tua dari keluarga kedua ini
dipilih berdasarkan rekomendasi dari informan
sebelumnya yaitu Bapak L, yang sesuai dengan
kriteria informan. Informan orang tua kedua ini ialah
85
Bapak S dan Ibu W. Wawancara dilakukan pada
tanggal 23/09/2019, pukul 15.20-16.20 WIB
bertempat di rumah yang juga sekaligus sebagai
tempat beliau membuka panti pijat daerah Cinere
Kota Depok. Bapak S berusia 41 tahun, dan Ibu W
berusia 41 tahun. Pendidikan terakhir Bapak S adalah
pada tingkat SMP (sekolah menengah pertama),
sedangkan pendidikan terakhir Ibu W adalah pada
tingkat SD (sekolah dasar). Pak S dan Ibu W
mempunyai 2 anak laki-laki. Anak pertamanya
bernama RE, dan anak kedua bernama IP. R berusia
17 tahun dan sedang menduduki sekolah tingkat 3 di
SMK swasta di Cinere, sedangkan anak keduanya
yang bernama I berusia 4 tahun.
Bapak S dan Istri merantau dari Pekanbaru ke
Cinere pada bulan Mei tahun 2002 hingga saat ini.
Karena pendidikan terakhir yang tidak mendukung
dan kurangnya keterampilan yang dimiliki serta
keterbatasan penglihatan membuat Bapak S
berprofesi sebagai ahli pijat. Ketika pertama kali
beliau datang ke Cinere, Bapak S berprofesi sebagai
pedagang kerupuk, tetapi dengan bertambahnya
usia dan pengalaman pahitnya ketika sedang
berjualan sehingga membuat Bapak S beralih
membuka panti pijat. Sedangkan istrinya di rumah
sebagai ibu rumah tangga. Berjualan kerupuk
menurut Bapak S memiliki resiko yang besar, seperti
86
pengalaman pahit beliau yang tercebur di Danau yang
membuat Pak S memilih untuk tidak lagi menekuni
profesi berjualan kerupuk tersebut lagi, beliau
akhirnya lebih memilih untuk di rumah saja dengan
membuka panti pijat yang ia namai dengan “Klinik
Reza”.
Penghasilan yang diperoleh dari memijat
tidak menentu dalam setiap harinya, pelanggan yang
ia sebut pasien juga tidak selalu ada setiap hari.
Terkadang dalam seharipun tidak ada pasien sama
sekali, tidak hanya menunggu pasien datang tetapi
beliau juga memiliki pelanggan yang rutin
memanggilnya. Ia memijat sudah sampai ke beberapa
daerah, seperti daerah Kelapa Gading, Serpong,
Sukabumi, Makassar. Ekonomi Bapak S dan Ibu W
terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Untuk pemenuhan kebutuhan keluarga
terpenuhi dari penghasilan membuka jasa pijat. Ia
mengatakan bahwa hanya mengandalkan kesabaran
dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya.
b. Identitas Diri Anak
Informan anak dari keluarga kedua ialah RE.
Wawancara dilakukan pada tanggal 21/09/2019,
pukul 16.20-16.55 WIB bertempat di rumah tempat
tinggalnya di daerah Cinere Kota Depok sama seperti
87
tempat wawancara orang tuanya. R peneliti pilih
sebagai informan karena adiknya belum bisa untuk
dimintai wawancara dikarenakan masih sangat kecil
untuk diwawancarai, R berusia 17 tahun, ia masih
mengenyam pendidikan tingkat 3 di SMK swasta di
daerah Cinere dengan jurusan pemasaran.
Kesehariannya R hanya bersekolah dan membantu
pekerjaan orang tuanya, seperti mengantar
oarangtuanya pergi ke tempat memijat dan
membantu pekerjaan rumah. Anak RE masih
bergantung kepada orang tua untuk memenuhi
kebutuhannya, karena anak RE masih bersekolah dan
belum bekerja serta berpenghasilan sendiri. Dalam
keluarga ini tidak ada konflik keluarga yang
ditemukan.
3. INFORMAN KELUARGA III
a. Identitas Diri Orang Tua
Informan orang tua dari keluarga ketiga ini juga
dipilih berdasarkan rekomendasi dari informan
sebelumnya yaitu Bapak S, dan sesuai dengan kriteria
informan. Informan orang tua ketiga ini ialah Bapak
S dan Ibu S. Wawancara dilakukan pada
tanggal 26/09/2019, pukul 08.10-09.15 WIB
bertempat di rumah tempat tinggal di daerah Cinere
Kota Depok tidak jauh dari rumah kediaman
informan keluarga kedua. Bapak S berusia 53 tahun,
88
dan Ibu S berusia 41 tahun. Pendidikan terakhir
Bapak S dan Ibu S adalah pada tingkat SD (sekolah
dasar). Pak S dan Ibu S mempunyai 2 anak
perempuan. Anak pertamanya bernama NH, dan anak
kedua bernama DM. N berusia 22 tahun dan
sedangkan anak keduanya yang bernama D berusia
13 tahun.
Bapak S dan Istri merantau dari Solo ke Cinere
pada bulan Desember tahun 1993 hingga saat ini.
Karena pendidikan terakhir yang tidak mendukung
dan kurangnya keterampilan yang dimiliki serta
keterbatasan penglihatan membuat bapak S
berprofesi sebagai pedagang kerupuk. Pertama kali
beliau datang ke Cinere dengan berprofesi sebagai
ahli pijat, tetapi semakin hari pelanggannya semakin
sedikit dan hasilnya tidak mencukupi kebutuhan
keluarganya, sehingga akhirnya memilih untuk
berjualan kerupuk. Sedangkan istrinya di rumah
sebagai ibu rumah tangga. Berjualan kerupuk
dilakukan secara berkeliling. Pak S biasa berkeliling
dari rumah sampai daerah Pondok Labu dan
sekitarnya. Harga kerupuk yang dijual dibandrol dari
harga Rp.12.000, Rp. 15.000, dan Rp. 18.000, harga
kerupuk yang dijual tidak semuanya sama, karena
berbeda rasa dan ukuran. Kerupuk yang Pak S jual
didapat dari pabriknya langsung, karena menurutnya
lebih menguntungkan. Dulu sebelum membeli
89
langsung ke Pabrik Pak S biasa membeli dari orang
lain/teman, tetapi bisa terpotong 2 kali, dipotong oleh
pabrik dan oleh orang lain/teman, sehingga
keuntungan yang didapatkan lebih sedikit. Ekonomi
Bapak S dan Ibu S terbilang cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Untuk pemenuhan kebutuhan
keluarga terpenuhi dari penghasilan berjualan
kerupuk. Pak S mengatkan bahwa walaupun
kehidupan semakin lama semakin berat, tetapi kalau
seseorang melakukan sesuatu dengan kemauan
semua pasti akan ada jalannya dan selalu bersyukur
atas berapapun hasil yang didapatkan.
b. Identitas Diri Anak
Informan anak dari keluarga ketiga ialah NH.
Wawancara dilakukan pada tanggal 26/09/2019,
pukul 09.15-09.50 WIB bertempat di rumah tempat
tinggalnya di daerah Cinere Kota Depok sama seperti
tempat wawancara orang tuanya. Peneliti hanya
mewawancarai N sebagai informan karena adiknya D
tidak bisa untuk dimintai wawancara dikarenakan
sedang bersekolah dan Bapak S menyatakan bahwa
kedua anaknya dalam pola pengasuhan dan
kemandirian beriringan atau tidak jauh berbeda. N
berusia 22 tahun, ia sudah selesai mengenyam
pendidikan sampai lulus SMK walaupun dengan
paket C karena sebelumnya sempat putus sekolah
90
dikarenakan biaya. N tidak melanjutkan sekolah
hingga ketingkat perkuliahan dan belum memiliki
pekerjaan dari sejak ia lulus SMK hingga sekarang
dikarenakan belum ada perusahaan atau pihak
lainnya yang menerima lamaran pekerjaannya, ia
hanya di rumah membantu pekerjaan orang tuanya
seperti berbelanja, memasak dan lainnya. Anak NH
masih bergantung kepada orang tua untuk memenuhi
kebutuhannya, karena anak RE belum bekerja serta
berpenghasilan sendiri dikarenakan belum adanya
panggilan bekerja. Namun anak NH sudah dapat
sedikit membantu memenuhi kebutuhannya dan
keluarganya sedikit demi sedikit dari hasil membuat
kue maupun membantu tetangganya. Dalam keluarga
ini tidak ada konflik keluarga yang ditemukan.
B. PENYANDANG TUNANETRA DI KOTA DEPOK
1. Faktor Terjadinya Ketunanetraan
Timbulnya ketunanetraan disebabkan oleh 2 faktor,
yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Ketunanetraan
karena faktor endogen adalah seperti keturunan (herediter),
atau karena faktor eksogen seperti penyakit, kecelakaan,
obat-obatan dan lain-lain sebagainya. Sedangkan dari
kurun waktu terjadinya ketunanetraan yaitu dapat terjadi
pada saat anak masih berada di dalam kandungan, saat
dilahirkan, maupun sesudah kelahiran. Sebagian besar
penderita tunanetra disebabkan oleh retrolenta fibroplasia
91
(RLF) dan maternal rubella. Penderita tunanetra karena
retrolenta fibroplasia (RLF) adalah karena banyaknya bayi
lahir sebelum waktunya atau biasa disebut dengan
prematur (Efendi 2009, 34).
Timbulnya ketunanetraan yang dialami oleh tiga
keluarga penyandang tunanetra yang telah diwawancarai
tidak diketahui apa penyabab khusus ketunanetranya.
Namun dari kurun waktu terjadinya ketunanetraan, keenam
orang tua penyandang tunanetra mengalami ketunanetraan
sejak dilahirkan. Ketunanetraan yang dialami oleh orang
tua tidak berdampak kepada anak, atau dengan kata lain
ketunanetraan dan masalah penglihatan lainnya tidak
diturunkan/diwariskan. Anak-anak dari orang tua
penyandang tunanetra ini memiliki penglihatannya yang
baik dan dapat berfungsi dengan sebagaimana mestinya.
2. Profesi
Dalam aktivitas sehari-hari indra penglihatan
mempunyai peranan yang sangat penting bagi setiap orang.
Apabila indra penglihatan tersebut tidak dapat berfungsi
atau rusak, maka kegiatan sehari-hari akan terasa sulit
karena objek yang berada di lingkungan sekitar tidak dapat
diketahui.
Dalam beraktivitas dan memenuhi kebutuhan dasar
hidup seperti pangan dan sandang, seseorang harus dapat
memenuhi hal tersebut dengan bekerja. Dengan adanya
permasalahan pada alat indra penglihatan, keterbatasan
92
kemampuan dan keterbatasan lapangan pekerjaan yang ada
membuat penyandang tunanetra sulit dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Berdagang kerupuk dan membuka panti pijat
merupakan pilihan yang diambil untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidup bagi para penyandang tunanetra.
Berjualan kerupuk dilakukan dengan cara berkeliling di
wilayah yang sudah biasa dilalui dan lokasinya tidak terlalu
jauh dengan tempat tinggal. Waktu berjualan kerupuk tidak
kaku, umumnya berjualan kerupuk dimulai pagi hari
sekitar pukul 08.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB, lalu
pulang ke rumah untuk beristirahat hingga sekitar pukul
15.00 WIB. Dan kemudian lanjut berjualan kembali hingga
pukul 19.00 WIB.
Kerupuk yang dijajakan oleh penyandang tunanetra
tidak diproduksi sendiri, melainkan dibeli dari pabrik atau
produsen kerupuk, harga kerupukpun dibanderol dengan
harga yang berbeda-beda sesuai rasa dan ukuran. Hasil
yang diperoleh dari berjualan kerupuk tidak
konsisten/sama setiap harinya, tetapi selalu ada kerupuk
yang laku terjual setiap harinya. Sedangkan membuka panti
pijat dilakukan di rumah tempat tinggal, pijat juga dapat
dipanggil ke kediaman pelanggan/pasien. Pijat yang
dilakukan bukan sembarang pijat, para informan yang
berprofesi sebagai penjual jasa pijat ini sudah bersertifikat
93
yang artinya sudah memahami dan hapal titik-titik yang
harus dipijat, sehingga mereka bisa disebut sebagai ahli
pijat profesional. Dengan semakin berkembangnya zaman,
jasa pijat tunanetra ini semakin sedikit peminat, terkadang
dalam satu hari tidak ada pelanggan/pasien yang datang
satupun. Namun mereka percaya bahwa rezeki sudah diatur
oleh yang maha kuasa, mereka tetap berusaha dan bersabar.
C. POLA ASUH ORANG TUA PENYANDANG
TUNANETRA
Menurut Achir (dalam Silalahi dan Meinarno 2010, 73)
Pola asuh adalah tata sikap dan perilaku orang tua dalam
membina kelangsungan hidup anak, pertumbuhan, dan
perkembangannya memberikan perlindungan anak secara
menyeluruh baik fisik, sosial, maupun spiritual untuk
menghasilkan anak yang berkepribadian.
1. Tipe Pola Asuh Penyandang Tunanetra
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti
melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi, tipe
pola asuh yang digunakan orang tua penyandang tunanetra
yaitu cenderung menggunakan pola asuh otoritatif, tipe
pola asuh otoritatif ini dilihat dari ciri-ciri perlakuan orang
tua terhadap anaknya yang dapat dijelaskan sebagai
berikut.
94
a. Tipe Pola Asuh Orang Tua Keluarga I
Kecenderungan tipe pola asuh yang digunakan
dalam keluarga pertama adalah tipe pola asuh otoritatif.
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara orang tua
pertama menggunakan pola asuh ototitatif karena
pengasuhan otoritatif bercirikan orang tua yang
sebagaimana seperti yang diungkapkan Bapak L dan
Anak WHN sebagai berikut.
Orang tua mendorong anak untuk mandiri
namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakan anak.
“Itu pasti, contohnya ya dari sisi kecil untuk
mandiri dalam berusaha, misalnya tidak
tergantung kepada orang lain, terus mampu
melaksanakan untuk kebutuhannya, minimal
mampu untuk melaksanakan kebutuhan diri
pribadinya sendiri, gitu” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak W sebagai
berikut.
“Ya pasti itu, kadang kan sebagai anak diajarin
mandiri kaya awalnya nggak bisa makan
sendiri, lama-lama disuruh makan sendiri.
Terus pas sekolah juga udah diajarin mandiri,
disuruh jalan kaki pergi ke sekolah sendirian,
padahal itu hari pertama masuk sekolah” (WNH
2019).
Orang tua memberikan kebebasan anak dalam
berpendapat dan didengarkan.
“Itu pasti. Anak mau cerita atau
mengungkapkan apa yang dia rasakan ya
didengarkan” (L 2019).
95
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak W sebagai
berikut.
“Iya kalo anaknya ngomong apa-apa pasti
didengerin, mau anaknya curhat atau ngasih tau
apapun. Malah seneng kalo anaknya mau
ngomong tentang ini itu” (WNH 2019).
Orang tua memberikan kebebasan kepada anak
tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan anak
dalam menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupnya.
“Betul. Mengarahkan anak itu relative
tergantung dengan keputusan anak, apa dan
mengenai apa. kalo memang dia bingung sama
keputusannya kita orang tua teliti dari
kebiasannya anak, kita lihat apa hobinya,
otomatis nanti kita ketemu arahnya kemana.
Intinya melihat apa yang sesuai dengan
kemampuan anaknya” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak W sebagai
berikut.
“Iya dikasih kebebebasan kaya terserah kita
maunya kemana waktu mau sekolah SMK,
kebetulan waktu itu SMK diterima di dua
tempat, disitu aku bingung, tapi balik lagi ke
aku, aku mikir kalo aku ngambil jurusan
pertama nanti kedepannya bakal gimana.
Sampe akhirnya orang tua support pilihan aku”
(WNH 2019).
Orang tua bersikap hangat dan penyayang
terhadap anak.
“Kalo itu pasti, contohnya anak saya perhatiin,
ya sayangnya orang tua sama anak aja gimana
gitu kan mbak” (L 2019).
96
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak W sebagai
berikut.
“Iya, orang tua aku dari kecil selalu ngejaga
anaknya dengan baik, itu kan berkat kasih
sayang mereka. Mungkin emang cara
menyayangi orang tua beda-beda, nah disini
aku disayangin lewat kecerewetan orang tua
yang selalu ngasih tau aku apa aja yang baik-
baik buat anaknya” (WNH 2019).
Orang tua merangkul anak dengan mesra dan
berkata seperti “kamu tahu kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana
kamu bisa menangani situasi tersebut lebih baik lain
kali”.
“Iya kurang lebih sama begitu, kalo anak
ngelakuin kesalahan dibilangin dengan cara
yang baik aja, dibilangin aja bener dan
salahnya” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak W sebagai
berikut.
“Seinget ku engga kaya gitu percis sih,
keseringannya kalo udah dewasa ya dibilangin
aja. Kaya misalnya aku ada masalah di sekolah
sama temen, ya langsung dikasih tau” (WNH
2019).
Orang tua menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif anak.
“Ya kalo memberikan dukungan itu tergantung
bagaimana si anak itu, dalam hal yang butuh
didukung ya, kalo misalnya dalam hal
97
kebenaran dan kebaikan itu pasti kita dukung
dan senang ya sebaagai orang tua” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak W sebagai
berikut.
“Iya kalo selagi dalam hal yang baik ya pasti
didukung dan seneng pastinya, kalo kurang baik
ya pasti dikasih tau juga kenapa kurang baik,
dikasih tau alesannya gitu” (WNH 2019).
Orang tua melibatkan anak dalam pengambilan
keputusan dalam keluarga dan memberikan
kesempatan untuk mengemukakan pendapat.
“Iya, saya biarin anak menyampaikan apa yang
mau disampaikan, didengerin itu pasti anaknya
juga sudah paham kan” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak W sebagai
berikut.
“Kalau ini sih waktu aku masih sekolah aku
nggak dilibatkan tentang masalah keluarga,
karena mereka tau kalo aku belum mampu buat
tau masalah itu, sampe beranjak SMK barulah
dikasih tau masalah ini itu, tapi tetep aja orang
tua aku selalu tau apa yang harus dilakukan”
(WNH 2019).
Orang tua memberikan tuntutan yang mengacu
pada harapan dan aturan yang diterapkan yang masuk
akal dan jelas terhadap tingkah laku anak.
“Itu pasti, yang pokok itu perilaku dan
kesopanan. Kalo anak sopan berarti kan bisa
menghargai, contoh ketika ada orang yang
usianya lebih tua dari mereka dalam tata cara
berbicara itu harus sopan” (L 2019).
98
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak W sebagai
berikut.
“Iya, misalnya aku nggak boleh nginep di
rumah temen walaupun itu temen deket. Karena
alesannya ngapain nginep-nginep kaya orang
nggak punya rumah aja. Intinya sih aku nggak
bisa keluar rumah bebas kemana aja seharian
gitu karena kan orang tua butuh aku dan
khawatir juga” (WNH 2019).
Orang tua menerapkan aturan secara jelas dan
konsisten tanpa paksaan terhadap anak.
“Itu pasti, aturan dengan jelas pasti diberikan
tapi ya tapi nggak maksa anak, contohnya
waktu, anak itu harus inget waktu, kalo main
atau pergi ada urusan apa gitu kan harus tau
waktu” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak W sebagai
berikut.
“Aturan yang jelas sih kayanya tentang waktu,
aku dari dulu kalo soal waktu diingetin terus
buat inget waktu pulang jangan pulang terlalu
malam mau alasan apapun itu” (WNH 2019).
b. Tipe Pola Asuh Orang Tua Keluarga II
Kecenderungan tipe pola asuh yang digunakan
dalam keluarga kedua adalah tipe pola asuh otoritatif.
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara orang tua
pertama menggunakan pola asuh ototitatif karena
pengasuhan otoritatif bercirikan orang tua yang
sebagaimana seperti yang diungkapkan Bapak S dan
Anak RE sebagai berikut.
99
Orang tua mendorong anak untuk mandiri
namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakan anak.
“Memang saya mengajarkan untuk mandiri
itu kan dari kecil sebenernya. Dari ketika
dia umur 4 tahun, tapi memang keinginan
itu enggak sesuai dengan apa yang kita mau
ya, ya kadang melenceng gitu, saya itu
sering mengajarkan kemandirian udah dari
kecil, dari 4 tahun itu saya mengajarkan.
Contohnya dalam suatu hal misalkan
memakai baju, mengambil baju, bersih-
bersih, karena kan orang tuanya nggak
melihat, jadi anak harus bisa misalkan pake
baju itu harus pake warna baju nya ini dan
itu, segala macem. Pake baju itu anak harus
perhatikan sendiri karena orang tuanya kan
nggak melihat, anak diajarin harus tau, kaya
gitu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE
sebagai berikut.
“Iya, kaya belajar beres-beres rumah itu
dijarain buat bantu orang tua. Dan ya bisa
bantuin” (RE 2019).
Orang tua memberikan kebebasan anak
dalam berpendapat dan didengarkan.
“Selama ini saya enggak pernah ngasih
kebebasan, belum, saya selama ini belum
ngasih kebebasan, bahkan kebebasan itu
memang tidak ada bagi saya. Karena hidup
itu tidak ada kebebasan, karena sejak lahir
itu kan memang udah ada aturan kan bahwa
manusia itu misalkan dari lahir dia harus
makan, harus nyusu, harus dimandikan, jadi
segala sesuatu bagi saya nggak pernah
100
membebaskan sesuatu, saya nggak pernah.
Dalam pengambilan keputusan selama ini
nggak pernah kasih kebebasan, contoh nih
ya anak masuk ke pemasaran nih ya itu
karena kemauan saya, dan anaknya mau-
mau aja” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE
sebagai berikut.
“Iya. Kalo berpendapat dan buat didengerin
boleh asal ya jangan kasar-kasar aja
ngomongnya” (RE 2019).
Orang tua memberikan kebebasan kepada
anak tetapi tetap memberi batasan untuk
mengarahkan anak dalam menentukan keputusan
yang tepat dalam hidupnya.
“Sama kaya jawaban sebelumnya kurang
lebih gitu, anak nggak dikasih kebebasan
tapi dikekang banget juga enggak” (S
2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE
sebagai berikut.
“Iya memberikan, pasti juga ngarahin.
Contohnya ya kaya sekolah kan disuruhnya
ambil pemasaran tapi ditanya lagi mau atau
enggak gitu. Ya mau-mau aja” (RE 2019).
Orang tua bersikap hangat dan penyayang
terhadap anak.
“Wah saya itu sangat penyayang orangnya,
romantis sekali. Bahkan terhadap siapapun,
kalo sifat romantis memang dari kecil.
Penyayang sifat saya” (S 2019).
101
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE
sebagai berikut.
“Iya penyayang. Contohnya ya gitu dah
kalo bisanya belom makan pasti disuruh
makan, diperhatiin” (RE 2019).
Orang tua merangkul anak dengan mesra
dan berkata seperti “kamu tahu kamu tak
seharusnya melakukan hal itu. Mari kita bicarakan
bagaimana kamu bisa menangani situasi tersebut
lebih baik lain kali”.
“Iya kurang lebih begitu saya, contoh
merangkul anak ya seperti bilangin
misalkan contohnya nih yang saya buat
contoh saya sendiri ya, karena memang saya
dan istri saya orang yang nggak melihat,
jadi saya sering bilangin dengan kasih
sayang saya itu “kamu sebagai anaknya
orang nggak berada kamu nggak boleh
merasa rendah diri atau berkecil hati karena
orang tua nggak melihat, tapi kamu harus
penuh semangat, jadikan orang tuamu ini
semangat kamu dalam hidup kamu.
Makannya segala sifat dan tindakan kamu
itu harus berpikir dulu, tidak boleh
semaumu sendiri, harus tetep kembali pada
aturan, kaya gitu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE
sebagai berikut.
“Iya kurang lebih sama kaya gitu dah,
pokonya namanya orang tua ya sayang,
anaknya diperhatiin juga” (RE 2019).
102
Orang tua menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif anak.
“Tidak ya, saya selama ini perilaku sering
saya perhatikan, saya perhatikan kalo
perilaku yang kalo sekiranya perilaku itu
menurut saya nggak bagus diajaran agama
itu juga nggak bagus saya langsung tegas
bilang nggak boleh seperti itu dengan
penjelasannya. Saya perhatiin dulu anak itu,
kalo perilaku yang baik ya seneng didukung
terus” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE
sebagai berikut.
“Iya nunjukkin. Biasanya dibaik-baikin
terus dikasih duit buat jajan hahaha” (RE
2019).
Orang tua melibatkan anak dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga dan
memberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat.
“Ya pernah, saya kalo anak namanya udah
gede kan kita juga nggak boleh tidak
dilibatkan, jadi saya sering nanya kaya
sebenernya mau mu apa? supaya kita enak
dalam keluarga itu agar tidak ada
pertengkaran, tidak ada berselisih pendapat,
katakan aja kalo memang kamu maunya
seperti ini bagaimana, supaya keluarga ini
yang jelas bisa damai tidak ada perbedaan
pendapat dengan sifat-sifat kamu, begitu”
(S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE
sebagai berikut.
103
“Belom pernah sih. Cuma ikutin aja orang
tua kaya gimana selama ini mah” (RE
2019).
Orang tua memberikan tuntutan yang
mengacu pada harapan dan aturan yang diterapkan
yang masuk akal dan jelas terhadap tingkah laku
anak.
“Ya seperti yang saya ungkap diawal ya iya
diberi penjelasan yang masuk akal.
Jawabannya sama ya gitu-gitu daong mbak”
(S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE
sebagai berikut.
“Iya memberikan. Contohnya kaya apa ya
bingung, kaya dijelasin biasa, dibilangin
positif negatifnya juga gitu. Kalo tuntutan
paling belajar yang bener aja sama sholat
sih nggak boleh ditinggal” (RE 2019).
Orang tua menerapkan aturan secara jelas dan
konsisten tanpa paksaan terhadap anak.
“Iya, seperti contohnya saya itu
mengajarkan disiplin, karena dalam hidup
itu waktu adalah menjadi ukuran, bahkan
saat saya tidur pun juga saya pegang jam
dan selalu bawa hp kan, karena ketika
dimana saya bangun atau saya terbangun itu
saya selalu menekan tombol jam ya, supaya
tau waktu, ya saya mengajarkan ke anak
seperti itu. Jadi cuman hasilnya nggak
sebaik sesuai dengan yang aku inginkan gitu
loh” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE
sebagai berikut.
104
“Iya begitu ada aturan dijelasin juga. Kaya
saya paling nggak boleh pulang malem-
malem, apalagi perginya juga nggak bilang-
bilang. Orang tua khawatir aja, harus bilang
katanya biar nggak bingung juga kalo
misalnya nggak pulang-pulang. Nanti di
telephone juga kalo kelamaan” (RE 2019).
c. Tipe Pola Asuh Orang Tua Keluarga III
Kecenderungan tipe pola asuh yang digunakan
dalam keluarga ketiga adalah tipe pola asuh otoritatif.
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara orang tua
pertama menggunakan pola asuh ototitatif karena
pengasuhan otoritatif bercirikan orang tua yang
sebagaimana seperti yang diungkapkan Bapak S dan
Anak NH sebagai berikut.
Orang tua mendorong anak untuk mandiri
namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakan anak.
“Kalo kemandirian memang kita wajib ya
mbak, namanya entar menjelang dewasa kan
makin kesononya kita itu makin punya
tanggungan sendiri. Contohya ya kaya
semacem kita mengajarkan anak untuk mau
mencuci bajunya sendiri, terus mau membantu
nyuci-nyuci piring, anak diajarin tapi anak-anak
ya spontanitas aja ngeliat orang tua, kebetulan
juga anak-anak saya tau semua kaya gimana
caranya. Jadi kita orang tua nggak harus
meragakan harus gini-gitu, paling juga kasih
keritikan aja gimana sih caranya biar bisa
bersih, nah disitu kita harus teleten kan. Jadi
anak-anak punya kesadaran sendiri” (S 2019).
105
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Mendorong iya, paling kaya mengerjakan
sesuatu kalo disuruh ini harus begini, harus
begitu. Contohnya kalo nyuci baju kalo ada
yang kotor itu langsung dicuci biar nggak
numpuk kebanyakan, biar nggak males
ngerjainnya” (NH 2019).
Orang tua memberikan kebebasan anak dalam
berpendapat dan didengarkan.
“Saya sih asal anak itu bener ya tak ikuti aja
kan, yang penting kan enggak jadi pengaruh ke
jelek sih tak ikutin apa maunya anak kaya
gimana, dia bilang begini-begitu oh yaudah
kalo begitu ya terserah” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya. Paling kalo misal cerita ke orang tua ya
orang tua dengerin terus kasih pendapat juga aja
sih, kaya bingung pilih kerja atau takut nggak
keterima kerja gitu, ya paling orang tua kasih
tau buat berpikir positif aja dulu gitu” (NH
2019).
Orang tua memberikan kebebasan kepada anak
tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan anak
dalam menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupnya.
“Sementara ini kayanya juga cuman berjalan
sesuai dengan keadaan aja. Jadi kan kita enggak
menentukan harus ini dan itu, kan ya enggak.
Kalo mengarahkan namanya juga sebagai orang
tua pasti tetep mengarahkan anaknya” (S 2019).
106
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya. Tapi bebas sih nggak sepenuhnya bebas
banget enggak, orang tua masih mengkontrol”
(NH 2019).
Orang tua bersikap hangat dan penyayang
terhadap anak.
“Wah namanya kita punya anak, anak-anak kita
semua sendiri, kalo rugi juga ya rasain rugi kan
ya kita sendiri sebagai orang tua. Ya kasih
sayang tetep aja ada, kaya makan bareng,
bercanda, dan itukan istilahnya sudah melebihi
dari kasih sayang kan. Namanya kita makan
bareng rasanya itu kan luar biasa, belom tentu
itu setiap satu keluarga bisa makan bareng” (S
2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya. Ya contohnya layaknya umum orang tua
sih paling kasih perhatian kaya diingetin
makan, terus ajak anaknya bercanda” (NH
2019).
Orang tua merangkul anak dengan mesra dan
berkata seperti “kamu tahu kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana
kamu bisa menangani situasi tersebut lebih baik lain
kali”.
“Ya begitu omongan aja, merangkul dengan
kasih sayang itu ya kan tetep ada, kaya
mengajak bercanda atau pokonya ngapain
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sehari-
107
hari lah. Kalo keluar dari batas ya berdoa jangan
sampe gitu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya, merangkulnya lebih keomongan kaya gitu
sih. Kalo tindakan biasa aja nggak yang
gimana-gimana, paling ya bercandain anak
gitu” (NH 2019).
Orang tua menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif anak.
“Kalo saya terus terang kalo kemauan anak
dalam kebaikan ya tak dukung, kalo dalam
kemauan ya maunya apa dulu, seandainya dia
punya keinginan apa atau tujuannya arah
sekolahnya atau pelajarannya mau gimana ya
tak ikutin. Ya pokonya dukung terus selagi
baik” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya. Kalo saya ngelakuin sesuatu yang baik
pasti didukung. Nunjukkinnya kaya dipuji, kalo
ngerjain sesuatu bener orang tua bilang nah iya
begitu bener, tapi kalo salah ya paling
diingatkan lagi” (NH 2019).
Orang tua melibatkan anak dalam pengambilan
keputusan dalam keluarga dan memberikan
kesempatan untuk mengemukakan pendapat.
“Ya kalo setiap itu ya kadang-kadang namanya
anak punya pendapat, pendapatnya gimana
didengerin, langkah-langkahnya gimana,
kebetulan kan anak-anak saya itu istilahnya kan
udah bisa membedakan anatara yang bagus
108
sama antara yang jelek kan, dan namanya
musyawarah keluarga itu ada, hukum keluarga
kan ya ada” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya. Kalo ada masalah gitu kan bilang ke orang
tua, misal ada keperluan sekolah tapi orang tua
bilang nggak ada uang, nah ditanya punya
simpenan apa enggak, kalo ada ya pake uang
sendiri aja dulu gitu. Musyawarah sama orang
tua pasti saling mendengarkan” (NH 2019).
Orang tua memberikan tuntutan yang mengacu
pada harapan dan aturan yang diterapkan yang masuk
akal dan jelas terhadap tingkah laku anak.
“Kalo itu si enggak, kalo saya sih nggak nuntut
tapi kasih masukkan aja, istilahnya buat anak
bisa lebih mandiri. Lebih bisa intropeksi diri
gitu, gimana melangkah untuk kebaikannya
nanti” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya memberikan, paling ya kalo anak
perempuan kalo udah sore jangan keluar main,
harus udah ada di rumah. Gitu-gitu aja sih
mbak” (NH 2019).
Orang tua menerapkan aturan secara jelas dan
konsisten tanpa paksaan terhadap anak.
“Sesuai dengan kemampuan anak aja sih kalo
saya, kalo kemampuan anaknya cuman segitu
ya kita nggak bisa memaksakan kan, terus ya
namanya aturan kita sebagai kepala keluarga ya
kita harus sejelas mungkin, entar kalo nggak
jelas kita juga nantinya yang nggak bisa jadi
109
tuntunan buat anak-anak kan, nggak bisa jadi
contoh anak” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya jelas. Misal kalo udah waktunya bangun
pagi ya harus bangun gitu” (NH 2019).
D. KEMANDIRIAN ANAK
Menurut Fatimah (2010, 141) manusia terlahir dalam
kondisi yang tidak berdaya yang membuatnya bergantung
kepada orang tua dan orang-orang yang berada di
lingkungannya hingga sampai dengan waktu tertentu. Seiring
dengan berjalannya waktu dan berkembangnya anak, seorang
anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari
ketergantungannya dengan orang tua atau orang lain
disekitarnya dan mulai belajar untuk mandiri. Hal ini
merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh manusia.
Mandiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak
bergantung kepada orang lain, terutama kepada orang tua dan
orang-orang disekitarnya serta dapat bertanggungjawab atas
semua hal yang telah dilakukannya.
1. Kemandirian Anak
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti
melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi, anak
dari setiap orang tua penyandang tunanetra yang
diwawancarai sudah dapat dikatakan anak yang mandiri,
ciri-ciri dari anak yang mandiri dapat dijelaskan sebagai
berikut.
110
a. Kemandirian Anak Keluarga I
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara anak
dapat dikatakan mandiri dengan bercirikan
sebagaimana seperti yang diungkapkan Bapak L dan
Anak WNH sebagai berikut.
Dalam keterbatasan yang dimiliki, orang tua
penyandang tunanetra mempunyai cara agar anak dapat
menjadi pribadi yang mandiri.
“Ya caranya agar anak mandiri otomatis kita
contohkan, dari perilaku dan tindakan kita
sehari-hari. Jadi dalam menentukan perilaku
kita sehari-hari maupun dalam menentukan
suatu keputusan kita kasih pandangan bahwa
ada kesulitan seperti begini, kasih dia untuk
memberikan pendapat walaupun sebenarnya
mungkin belum tiba saatnya untuk memberikan
pendapat, tapi kita kasih pengertian agar
mengerti akan kebutuhan yang diligkupan
keluarga kita gitu. Contohnya jarin anak buat
pergi sekolah sendiri, dikasih tau dulu harus
gimana. Terus ya bantu-bantu orang tua harus
bisa, itu biar anak juga mandiri nggak apa-apa
harus orang tua, kan gitu” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Caranya aku dari kecil udah diajarin orang tua
buat berani pergi ke sekolah sendiri tanpa
ditemenin orang tua. Terus juga dari kecil udah
disuruh bantu orang tua buat ngerjain kerjaan
rumah. Aku dulu dikasih uang jajan minim
banget, sampe akhirnya aku punya pikiran buat
nggak jajan untuk ngumpulin uang biar bisa
beli sesuatu yang dipengen. Itu berlanjut
sampe aku SMK, jadi kadang aku suka nahan
jajan ya buat nabung” (WNH 2019).
111
Keterbatasan dalam hal pengawasan tidak
terlalu menjadi kendala orang tua dalam
perkembangan kemandirian atau perkembangan
keseluruhan anak.
“Ya kalau untuk pengawasan itu ya namanya
kita melakukan pengawasan dalam ada
kekurangan sisi penglihatan ya otomatis kita
melakukan pengawasan dengan penganalisaan
dan perasaan. Nah jadi otomatis perilaku anak
ini di depan kita bagaimana. Untuk keluar itu
ya kita selaku orang tua harus mengerti
perbatasan-perbatasan, harus bener-bener
konsentarsi untuk menyikapi setiap gerak-
gerik anak. Tapi ya walaupun kita mengalami
kesulitan tapi kita tetep berusaha semaksimal
mungkin, tapi hasilnya tetep juga cukup
lumayan di anak saya” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Nggak, justru karena keterbatasan itu aku
orang tua ngelepas anaknya supaya bisa
mandiri seperti mereka. Kan sebelum aku lahir
orang tua kalo pergi kemana-mana sendiri. Jadi
aku banyak mencontoh orang tua kalo dari
segi kemandirian. Kalo perkembangan
Alhamdulillahnya aku dapet sekolah yang
lingkungannya mendukung dan memberikan
semangat” (WNH 2019).
Sikap orang tua apabila anak tidak dapat mandiri.
“Wah kalo itu aku nggak bisa jawab, karena
tidak mengalami. Saya tanamkan kemandirian
secara umumnya anak mengerti gitu loh. Jadi
kalo tidak mandiri ya saya itu tidak mengalami
anak tidak bisa mandiri. Kalo belom mandiri
dijarin, didorong lagi untuk bisa, nanti sih
lama-lama juga bisa” (L 2019).
112
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Pastinya bingung, karena kan anak-anaknya
kalo kedepannya nggak mandiri jadi nggak
bisa maju dong buat kerja atau cari uang
sendiri, dan pasti akan terus bergantung sama
orang tua. Tapi kalo emang terjadi biasanya
mereka ngasih semangat dan terus ngajarin
anaknya supaya bisa mandiri. Biasanya orang
tua nyontohinnya kehidupan mereka saat muda
atau kecil” (WNH 2019).
Kemandirian anak dan cirinya
“Iya anak sudah mandiri. Mandirinya dalam
hal keputusan untuk kehidupan, masa depan,
atau dalam kesehari-harian harus bersikap
bagaimana di lingkungan maupun di keluarga.
W juga sudah kerja, sudah punya keluarga
sendiri juga” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Iya, sekarang aku ngerasa lebih mandiri
dalam hal mengatur keuangan dan mandiri soal
mengatur masa depan. Semenjak kerja, aku
udah bisa nge-handle uang buat apa aja. Terus
pergi kesana kemari yang belum dijelajah
kadang sendiri atau sama temen. Intinya aku
sudah tau apa yang baik buat aku dan nggak
baik” (WNH 2019).
Anak mampu untuk tidak bergantung kepada
orang lain, terutama orang tua dan orang-orang
disekitarnya serta dapat bertanggung jawab atas semua
hal yang telah dilakukan.
113
“Anak mampu tidak bergantung pada orang
lain karena ya sudah terlaksana jadi ya
memang mampu” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Iya, aku paling nggak mau nyusahin orang
lain buat tau masalah aku. Disitulah aku bisa
berpikir apa yang bisa aku lakuin supaya bisa
selesai. Kaya sekarang aku udah punya
keluarga kecil ya sejauh ini aku bisa ngejalanin
dengan baik. Intinya aku orangnya nerima apa
adanya dan nggak mau orang lain ikut terlibat
kalo ada apa-apa” (WNH 2019).
Anak sudah dapat bebas untuk memilih, dan
menjadi manusia yang dapat menguasai, memerintah,
mengendalikan serta menentukan dirinya sendiri.
“Sudah mampu karena anak memang sudah
mandiri menurut saya, balik lagi dia sudah
mampu kerja, mampu berumah tangga,
mampu bantu adik-adiknya juga” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Iya, aku udah mulai tau karakter dan sifat aku.
Jadi aku tau kemampuan aku, kekurangan aku,
kejelekkan aku. Aku mau jadi apa tergantung
mindset aku. Kalo dibilang aku orang yang
gampang beradaptasi di lingkungan. Jadi aku
gampang buat diterima orang” (WNH 2019).
Anak mampu untuk mengendalikan atau
mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara
bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi
perasaan-perasaan malu dan ragunya.
114
“Iya anak sudah mampu, dia punya caranya
sendiri” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Iya, kalo pikiran aku lagi ribet dengan
masalah adik atau orang tua aku lebih suka
menyendiri dan mikir sampe pikiran aku reda.
Ngatasin perasaan malu masih sedikit soalnya
aku orangnya sedikit kurang percaya diri kalo
di depan banyak orang. Tapi pernah aku
ngelewatin masa itu waktu aku ikut lomba dan
disuruh presentasi di depan anak sekolah
banyak. Disitu rasa malu sama ragu udah
nggak dipikirin, yang penting aku bisa
presentasi dan ngejelasin di depan orang
banyak” (WNH 2019).
Anak mampu dalam menentukan nasib, kreatif
dan inisiatif, dapat mengatur tingkah laku,
bertanggung jawab, menahan diri, membuat
keputusan-keputusan sendiri, serta mampu mengatasi
masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain.
“Iya anak sudah mampu, contohnya dalam
memutuskan suatu pilihan dalam pekerjaan,
dia mampu dengan sesuai, terus dalam sisi
kemandirian dia sudah terlaksanakan, anak
tidak ketergantungan dia sudah mandiri kan
gitu. Karena anak kan udah kerja juga dan
menikah. Anak udah tau harus berapa untuk
keperluan pribadi, dan harus berapa untuk
membantu kebutuhan adik-adiknya itu sudah
bisa kontrol, otomatiskan sudah bisa
membedakan dan menyisihkan untuk
kepentingan pribadi dan keluarga, dia mengerti
untuk bantu istilahnya gitu” (L 2019).
115
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Kalau nasib mungkin mampu, karena kan ini
tergantung dari aku sendiri mau baik atau
nggak. Kalau kreatif aku tergantung mood
kadang kreatif disaat aku lagi bosen dengan
keseharian atau ngeliat orang kok bisa ya dia
bikin sesuatu, baru deh muncul ide. Tingkah
laku pun aku bisa kontrol kalo lagi sama orang
yang lebih dewasa,ya aku bersikap
menghormati, kalo sama temen ya enjoy aja.
Kayanya kalo soal tanggung jawab aku udah
tau tanggungan aku dan aku harus gimananya.
Kalo keputusan yang menyangkut adik atau
aku kedepannya aku masih minta
pertimbangan orang tua gimana baiknya,
karena takut salah melangkah atau aku
ngambil keputusan yang cepat” (WNH 2019).
Anak mampu untuk tidak mudah terpengaruh
oleh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain.
“Ngga, nggak mudah. W mempunyai prinsip
jadi tidak” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Iya, karena kalo aku penilaian orang kan
kadang nggak sepenuhnya tau atau bener.
Pernah orang lain bilang kalo aku tuh nggak
bisa kerja cepet, dan kerjanya ngobrol terus.
Setelah denger itu aku intropeksi, masa iya
begitu, tapi kalo masalah kerja cepet emang
belum karena kan itu baru beberapa minggu
masuk kerja, jadi masih adaptasi. Pas udah
berbulan-bulan kerja orang tadi nggak berani
ngomong lagi, sekarang malah minta bantuan
kalo kerja” (WNH 2019).
116
Orang tua dalam pengasuhan tidak banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional.
“Tidak, pasti selalu diberi pengertian, bilang
jangan itu berdasarkan tergantung bagaimana
konteksnya. Misalnya dalam bermain yang
kurang perlu sedangkan di rumah ada
kepentingan yang lebih penting, nah itu kan
jangan” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Nggak, kalo emang melarang pasti dikasih tau
kenapanya. Kaya dulu aku mau banget sekolah
pesantren, tapi kata orang tua jangan, soalnya
kalo aku anak pertama sekolah di pesantren
nanti adik-adikmu siapa yang ngajarin dan
ngawasin gitu. Udah gitu orang tua juga kan
butuh aku. Jadinya ya aku nggak jadi deh”
(WNH 2019).
Orang tua tidak cenderung menjadi orang tua
yang sering membanding-bandingkan anak dengan
saudara kandungnya atau anak lainnya.
“Tidak, semua saya perlakukan sama aja” (L
2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Nggak, orang tua ku nggak pernah bandingin
anak-anaknya sama siapa aja. Karena ya orang
tua menerima semua keadaan anak-anaknya.
Soalnya anak-anak itu kan emang
kemampuannya beda-beda, dan nggak semua
117
anak harus pinter yang penting rajin mau
belajar” (WNH 2019).
b. Kemandirian Anak Keluarga II
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara anak
dapat dikatakan mandiri dengan bercirikan
sebagaimana seperti yang diungkapkan Bapak S dan
Anak RE sebagai berikut.
Dalam keterbatasan yang dimiliki, orang tua
penyandang tunanetra mempunyai cara agar anak dapat
menjadi pribadi yang mandiri.
“Ya itu saya selalu mengajarkan anak itu kalo
hidup tidak selalu dengan orang tua, ketika
sekarang orang tuamu ada, tapi besok orang tua
pasti kemana, bisa mati kan kaya gitu. Jadi
makannya dari sekarang kamu harus belajar
mandiri untuk hidup. Bukan untuk melupakan
orang tua, tapi untuk menggapai masa depan
kamu sendiri, karena suatu ketika kamu akan
berpisah dengan orang tua, entah itu mati, atau
entah itu kamu akan kerja jauh dari orang tua,
kaya gitu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Caranya belajar aja sih yang penting, terus
coba belajar ngertiin keadaan orang tua, kalo
disuruh bantuin orang tua ya kerjain aja” (RE
2019).
Keterbatasan dalam hal pengawasan tidak
terlalu menjadi kendala orang tua dalam perkembangan
kemandirian atau perkembangan keseluruhan anak.
118
“Keterbatasan memang iya, kerena dia udah
gede ya kadang dia main kemana saya nggak
bisa ngawasin, kalo dulu waktu masih kecil
bisa, pernah ketika dia pergi itu saya cari tuh
pake ojek malem-malem, saya kelilingin itu
setiap warnet, saya samperin itu, ternyata tidak
ada, eh taunya dia tidur di musholla. Ya gitu
pernah, tapi sekarang agak kendala ya memang
ketika dia kemana saya nggak bisa mencari” (S
2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Enggak sih sama aja kaya orang tua yang lain,
ya kalo nggak liat pun tapi kan juga orang tua
bisa ngajarin ini itu” (RE 2019).
Sikap orang tua apabila anak tidak dapat mandiri.
“Ya saya memang aktif ya untuk selalu bicara,
saya nggak pernah diem, selalu ngomong terus,
anak harus begini, anak nggak boleh seperti ini,
ini salah, saya bilang kamu akan lemah dan
kamu akan ditinggal sama yang lain kalo kamu
seperti ini. Jadi kamu harus punya sikap yang
bisa membawa hidupmu sendiri. Saya selalu
ngomong, dikasih tau anak itu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Kalo nggak bisa mandiri paling dibilangin sih.
Terus dijarin lagi palingan” (RE 2019).
Kemandirian anak dan cirinya.
“Misalkan mandiri itu ya dia udah bisa mandiri
ya, contohnya pas terpaksa orang tua nggak bisa
masak, dia bisa masak. Masaknya bikin nasi
goreng, goreng telur sendiri gitu dia bisa. Itu
sudah cukup saya anggep bisa mandiri” (S
2019).
119
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Kalo mandiri nggak juga sih ya, cuci baju aja
masih dicuciin. Makan juga kadang masih
harus disuruh-suruh dulu baru makan” (RE
2019).
Anak mampu untuk tidak bergantung kepada
orang lain, terutama orang tua dan orang-orang
disekitarnya serta dapat bertanggung jawab atas semua
hal yang telah dilakukan.
“Sementara belom, belom mampu dia
terkadang tidak bergantung terhadap orang tua,
dia belom bisa sementara sekarang ini. Ya
contohnya kembali ke awal ya, menghukum
dia, dia pernah terkadang pulang subuh itu, saya
hukum nggak boleh masuk ke rumah. Sampe 2
atau 3 hari itu perginya. Terus dia pulangnya
sakit karena dia nggak makan, jadinya sakit.
Dia nggak makan, dia nggak minum juga
katanya. Begitu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Kalo sama orang tua iya masih bergantung ya,
kan masih ada yang merhatiin juga, masih
sekolah juga. Tapi kalo sama orang lain mah
enggak sih” (RE 2019).
Anak sudah dapat bebas untuk memilih, dan
menjadi manusia yang dapat memerintah, menguasai,
mengendalikan serta menentukan dirinya sendiri.
“Memilih iya saya mempersilahkan, tapi
dengan catatan sesuai dengan artinya
pengawasan saya dan pendapat saya, kalo
120
memang pilihannya itu saya anggap nggak tepat
tetep saya nggak membebaskan. Gitu, nggak
mengijinkan” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Belom sih belom mampu. Masih 17 juga
belom ngerti semua juga baik apa bener gitu,
masih tanya-tanya ke orang tua” (RE 2019).
Anak mampu untuk mengendalikan atau
mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara
bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-
perasaan malu dan ragunya.
“Iya mampu, udah mampu. Dia mampu anak
saya itu. Mengatur, mengendalikan emosi, itu
mampu. Contohnya ketika saya marah itu dia
nggak pernah menunjukkan emosi, itu nggak
pernah. Dia selalu bisa menahan itu, bisa”(S
2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Belom mampu, karena ya belom bisa aja gitu
nggak tau kenapa. Masih kecil juga mungkin
kali” (RE 2019).
Anak mampu dalam menentukan nasib, kreatif
dan inisiatif, dapat mengatur tingkah laku, bertanggung
jawab, menahan diri, membuat keputusan-keputusan
sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada
pengaruh dari orang lain.
“Sebetulnya kalo keputusan seperti itu saya
belum meneliti ya, maksudnya belum menilai.
121
Belum sampe situ saya, jadi anak masih dengan
keputusan saya” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Tingkah laku insyaAllah udah bisa diatur
dikir-dikit, kaya baik-baik aja nggak nakal.
Kalo menahan diri bisa kadang-kadang, yang
lainnya belom mampu karena belom bisa” (RE
2019).
Namun anak dinilai belum mampu untuk tidak
mudah terpengaruh oleh penilaian, pendapat dan
keyakinan orang lain.
“Belom, belom mampu dia. Belum mampu ya
karena lingkungan itu sangat berat ya, keras
tantangannya. Sekuat apapun orang tua
menanamkan saat di rumah, tapi ketika dia di
luar kaya contoh nih misalkan sholat. Saya
bilang kamu sebagai orang beragama islam,
kamu harus tanggung jawab pertama apa? kan
solat, ketika waktunya masuk sholat kamu
harus sholat. Nah tapi kadang temennya semua
orang nggak ada yang sholat, dia kadang jadi
nggak solat juga. Kaya gitu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Iya mampu kan punya pendirian juga, orang
tua bilangin yang baik juga, jadi kalo ada yang
negatif ya nggak diikutin gitu” (RE 2019).
Orang tua dalam pengasuhan tidak banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional.
122
“Saya mengatakan jangan tapi sebelumnya
saya selalu menjelaskan dulu, bahkan saya tidak
selalu emosi, karena emosi saya itu kadang
disaat penjelsan-penjelasan yang saya sering
berikan tapi dia tidak pake ya. Jadi ya itulah
saya selalu memberikan alasan sebelumnya,
sebelum saya bilang jangan itu saya selalu
menberikan resiko seperti apa nantinya,
misalkan kamu bergadang, kamu dapet
dampaknya apa ketika kamu keterbiasaan.
Misalkan nih ya misalkan anak kerja, jangankan
bekerja, kadang makan aja nggak terpikirkan
kan, karena ngantuk saat siang. Kalo malem
bergadang pasti siangnya ngantuk. Ya seperti
itulah, makannya saya bilang jangan bergadang,
itu resikonya, itu contoh ya hanya sebatas
contoh” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Kalo melarang pasti ada penjelasan. Kaya kalo
mau dateng ke tempat acara yang nggak jelas-
jelas gitu, ngikut-ngikut temen yang nggak jelas
itu dilarang. Terus juga kaya pergi sama temen
yang jauh-jauh tapi nggak bilang dulu. Nanti
diomelin terus dijelasin kalo itu nggak bagus,
begitu sih” (RE 2019).
Orang tua tidak cenderung menjadi orang tua
yang sering membanding-bandingkan anak dengan
saudara kandungnya atau anak lainnya.
“Kalo sama sodara kandung saya tidak pernah,
tapi kalo sama orang lain kadang pernah, tapi
saya ambil contoh yang baik, misalkan anak si
itu rajin, anak itu dia pinter, terus misalkan
berangkat sekolah dia mau bawa bekal. Ya
itulah cuma gitu-gitu doang
membandingkannya” (S 2019).
123
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Kadang iya. Kaya bandingin nakalnya gitu sih,
banding-bandingin yang baik, positif nya temen
palingan. Tapi saya nggak nakal banget, kaya
baisa aja sih sebenernya mah” (RE 2019).
c. Kemandirian Anak Keluarga III
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara anak
dapat dikatakan mandiri dengan bercirikan
sebagaimana seperti yang diungkapkan Bapak S dan
Anak NH sebagai berikut.
Dalam keterbatasan yang dimiliki, orang tua
penyandang tunanetra mempunyai cara agar anak dapat
menjadi pribadi yang mandiri.
“Caranya ya kita harus memberi apa ya hampir
kaya tadi kan mbak, contohnya kaya tadi tetep
aja ujungnya kita kasih arahan biar anak bisa
mandiri, kaya bilangin ini dicuci bersih gimana,
ini harus dibersihin gimana, entar kalo ingin
pergi main harus gimana gitu, kan itu udah
istilahnya mengajarkan kemandirian, jadi kan
dalam keadaan orang tua yang terbatas dan apa
yang dibutuhkan orang tua dia sudah tanggap
sendiri” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Ya paling ngajarin masak, nyuci baju, bersih-
bersih rumah itu diajarin biar sekalian nggak
terus menyusahkan orang tua. Kalo di luar
dibilangin harus berpikir positif, jangan
dengerin orang-orang itu lakukin aja yang
menurut kamu baik gitu” (NH 2019).
124
Keterbatasan dalam hal pengawasan tidak
terlalu menjadi kendala orang tua dalam perkembangan
kemandirian atau perkembangan keseluruhan anak.
“Ya kalo keterbatasan namanya manuisa tetep
ada, tapi kan setidak-tidaknya namanya kita
orang tua itu tetep berusaha semaksimal
mungkin buat bisa mengawasi anak kan.
Pengawasannya ya seolah-olah kalo anak-anak
pada bercanda terus teriak-teriak itu kan
termasuk mengganggu lingkungan toh, lagi
pula juga teriak-teriak itu nggak baik didengar
kan gitu kan, begitu ya sesaat aja kan kadang
namanya kita manusia ya wajar” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Enggak sih selalu dikontrol, kalo pengawasan
nggak jadi kendala karena orang tua selalu tau
sih, karena kalo ada apa-apa saya selalu bilang.
Saya mau pergi kemana itu selalu bilang” (NH
2019).
Sikap orang tua apabila anak tidak dapat mandiri.
“Ya pelan-pelan ya mbak, sedikit demi sedikit
namanya kita sebagai orang tua harus punya
ketelatenan gimana bisa anak mandiri, kita
harus punya ketelatenan juga kesabaran dan
terus membimbingan kan gitu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Tetep mendorong anaknya terus, tetep diajarin
terus” (NH 2019).
Kemandirian anak dan cirinya
“Kalo bagi saya itungannya juga sudah agak
mandiri, walaupun ya belom sepenuhnya.
125
Ketika anak saatnya belajar, saatnya berangkat
sekolah, saat ini itu kotor, istilahnya anak kan
bisa mengerjakan, itu penyesuaian aja seiring
jalannya waktu. Kedua anak saya hampir sama
begitu.” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Kalo menurut saya sih belom mandiri, kaya
gimana ya masih kurang aja gitu. Belomnya
juga karena merasa belom bisa membahagiakan
orang tua sih” (NH 2019).
Anak mampu untuk tidak bergantung kepada
orang lain, terutama orang tua dan orang-orang
disekitarnya serta dapat bertanggung jawab atas semua
hal yang telah dilakukan.
“Kalo tergantung ke orang lain sih ya enggak,
kita punya prinsip harus bisa mandiri, jangan
sampai menggantungkan diri ke orang lain, kita
berusaha semaksimal mungkin agar ada rasa
kemandirian. Kalo ke orang tua mampu juga
udah bisa, kalo hal-hal sederhana kaya bantu
aja.” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Kalo masih bergantung ke orang tua iya, tapi
kalo ke orang lain sih enggak mbak” (NH
2019).
Anak sudah dapat bebas untuk memilih, dan
menjadi manusia yang dapat memerintah, menguasai,
mengendalikan serta menentukan dirinya sendiri.
“Kalo menjelang mau dewasa ya terserah anak
kalo saya sih, diliat lagi kemauannya dia, yang
126
penting kan bisa menjaga gitu kan.
Mengendalikan diri sendiri ya bisa wong sudah
20an tahun. Kalo anak kedua juga udah
termasuk ya hampir sama kaya kakaknya,
hampir seiring. Kita sebagai kepala keluarga
atau kepala rumah tangga bisa memberi
masukan dan memberi arahan supaya anak itu
bisa penyesuaian dengan keadaan“ (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Kalo memilih ya udah terserah sendiri tapi kan
bilang dulu ke orang tua, ya kalo dibolehin baru
deh. Mengedalikan diri juga insyaAllah sudah
mampu contohnya nahan emosi sih paling,
terus cara nahannya kalo marah ya diem aja,
tapi diemnya sambil mikir kaya oh iya salah nya
begini. Intropeksi diri gitu kalo marah” (NH
2019).
Anak mampu untuk mengendalikan atau
mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara
bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-
perasaan malu dan ragunya.
“Bagaimana itu ya, kalo masalah mengatur
tindakan diri sendiri sih ya itu tadi lah sesuai
dengan kemampuannya dia, yang penting kan
nggak meruguikan orang lain dan nggak
memaksakan diri sendiri. Kalo kemauannya itu
sendiri gimana, sesuai dengan keinginannya
dan bisa penyesuaian ya saya sih terserah aja”
(S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya sudah mampu, gitu-gitu aja kan mbak.
Mengendalikan iya udah bisa kaya
127
mengendalikan emosi, terus juga intropeksi itu
kan berpikir jadinya” (NH 2019).
Anak mampu dalam menentukan nasib, kreatif
dan inisiatif, dapat mengatur tingkah laku, bertanggung
jawab, menahan diri, membuat keputusan-keputusan
sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada
pengaruh dari orang lain.
“Ya anak saya walaupun istilahnya kumpul gini
terus di rumah tetep aja sih dia tanya orang tua
gimana baiknya, kalo dikira belom pas ya kita
memberi masukan” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Ada mampu ada yang enggak mbak. Contoh
yang mampu itu ngatur tingkah laku iya udah
bisa, menahan diri juga bisa, taggung jawab
juga bisa InsyaAllah. Tapi kalo yang lainnya
kayanya belom mampu mba masih perlu
pengaruh atau bantuan orang tua” (NH 2019).
Anak mampu untuk tidak mudah terpengaruh
oleh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain.
“Asal pendapat itu baik, ada manfaatnya kalo
bagi saya sih terserah-terserah aja, kalo
misalnya pengaruh-pengaruh yang nggak ada
artinya jangan sampe kena pengaruh yang
nggak ada artinya itu. Anak nggak mudah
terpengaruh yang saya liat walaupun hidupnya
ya ginilah” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
128
“Enggak sih nggak mudah terpengaruh,
berusaha untuk tetep jadi diri sendiri aja terus
sih kalo saya” (NH 2019).
Orang tua dalam pengasuhan tidak banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional.
“Kalo melarang sih ya enggak, paling ditanyain
dulu apa maksudnya gimana, tujuannya
gimana, selama kalo maksud dan tujuannya itu
nggak merugikan kita sih nggak masalah dan
kalo nggak merugikan orang lain ya nggak apa-
apa.” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Ya kadang ngomong jangan tapi selalu dikasih
penjelasan, contohnya kalo salah pasti
dibilangin. Yang dilarang itu ya keburukan-
keburukan sih paling kaya pingin main malem
itu pasti nggak boleh” (NH 2019).
Orang tua tidak cenderung menjadi orang tua
yang sering membanding-bandingkan anak dengan
saudara kandungnya atau anak lainnya.
“Oh enggak, saya enggak. Gak mau bandingin,
karena itu termasuk gimana ya kayanya kurang
baik lah, kalo dari penilaian saya membanding-
bandingkan anak otomatis kan menyakiti anak
dan jangan sampe begitu. Sesuai dengan
keadaan anak masing-masing aja kalo saya,
ngapain juga ya kan membanding-bandingkan.
Kita juga sudah mengarahkan keluarga sendiri
aja itu udah bagus. Terima anak apa adanya aja
mbak” (S 2019).
129
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Tidak pernah sih mba” (NH 2019).
2. Aspek-Aspek Kemandirian
Menurut Havighurst sebagaimana dikutip dalam
(Fatimah 2010, 143) bahwa terdapat empat aspek dalam
kemandirian, yaitu aspek emosi, aspek ekonomi, aspek
intelektual, dan aspek sosial.
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti
melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi, anak
dari setiap orang tua penyandang tunanetra yang
diwawancarai memiliki kemandirian yang berbeda-beda,
dan tidak semua anak mandiri dalam semua aspek
kemandiran yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Aspek Kemandirian Keluarga I
1) Emosi
Anak mampu mengontrol emosi dan secara
emosi tidak bergantung kepada orang tua.
“Anak mampu mengontrol emosi, ya
misalnya dia memiliki suatu pendapat yang
tidak disetujui, nah itu otomatis menyimpan
suatu kejengkelan atau beban. Atau
ditentang, nah itu otomatis ya gitu lah, dia
tidak menentang” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Iya, sejak memulai kerja aku bisa
memutuskan kemana tujuan dan keinginan
aku. Kaya sekarang ya aku kerja disalah
130
satu rumah sakit dan yang tadinya mau
kuliah tapi aku nggak mau lagi nyusahin
orang tua. Aku juga jarang emosian,
kalaupun emosi bener-bener aku cuma diam
sejenak dan kadang kalo nggak kuat ya
nangis, terus ngeredain diri sendiri. Kalo
ada masalah atau apapun selagi aku bisa
nyelesaiin sendiri aku nggak mau nyusahin
keluarga atau orang lain” (WNH 2019).
2) Ekonomi
Anak mampu mengatur ekonomi dan tidak
bergantung kebutuhan ekonomi pada orang tua.
“Iya anak sudah mandiri ekonomi karena
sudah berpenghasilan sendiri, sudah tidak
bergantung kepada saya. Dalam mengatur
dan menggunakan cukup lumayan baik.
Contohnya ya seperti yang tadi contohnya
dia bisa memilahkan kebutuhan pribadi dan
kebutuhan untuk umum. Contohnya untuk
yang nilai-nilai kebersahabatan antar temen,
terus nilai yang sodara dan orang tua,
begitu” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Sekarang sih iya, karena kan aku udah
kerja jadi aku mulai ngatur keuangan
sendiri. Sejauh ini sih nggak ada kendala,
aku bisa gunain keuangan dengan baik.
Maksudnya aku juga bisa nabung sampe
punya kendaraan sendiri. Sekarang juga
jadinya sudah nggak bergantung, kan aku
sudah bekerja dan bisa membiayai hidup
sendiri dan adik-adik. Aku sudah punya
penghasilan sendiri, hasil dari kerja di RS
Hermina Depok” (WNH 2019).
131
3) Intelektual
Anak mampu mengatasi berbagai hambatan
atau masalah yang dihadapi.
“Kalo untuk kemampuan berpikir termasuk
lumayan, ya contohnya dalam berprestasi
dia termasuk unggualan gitu loh. Dalam
kehidupan sehari-hari ya sudah bisa sendiri.
Kalo dalam membantu pekerjaan di rumah
ya misal dia tidak ada kegiatan penting
mengenai kesekolahan atau pendidikan ya
sedikit banyak bisa untuk kita sekaligus
melatih untuk memberikan pengertian
untuk bisa membantu. Contohnya ya dalam
bidang membantu merawat adeknya,
mengasuh atau dalam bidang kebutuhan
pekerjaan orang tua dia bisa membantu.
Anak mampu menyelesaikan tugas sekolah
dulu” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Iya sejauh ini bisa, kaya masalah kerjaan
yang awalnya ngeluh karena tuntutan kerja
banyak tapi waktu terbatas. Tapi akhirnya
cari cara biar bisa tetep ngejalanin.
Ngelakuin kebutuhan pastinya bisa udah
bisa, kalo soal makan atau mandi dan lain-
lain udah diajarin sejak TPA. Kalo soal
kerjaan rumah juga udah sering bantu orang
tua di rumah kadang disuruh rapihin ini atau
itu, bagi-bagi tugaslah sama orang tua kalo
soal kebersihan. Kalo pekerjaan rumah dari
kecil udah diajarin dan dibiasin jadi ya
sekarang udah nggak terlalu kaget buat
ngerjain itu semua. Selama sekolah juga aku
belajar sendiri, kalo pun ada yang nggak
ngerti aku terus cari tau jawaban itu.
Masalah lain di sekolah mungkin tentang
132
materi aja kadang ada materi yang emang
nggak ada di buku, ya aku tanya temen atau
guru kalo emang materinya susah” (WNH
2019).
4) Sosial
Anak mampu untuk mengadakan interaksi
dengan orang lain dan tidak bergantung atau
menunggu aksi dari orang lain.
“Anak mampu, kalo untuk interaksi
memulai pembicaraan emang dia agak
kurang sih emang. Dia lebih cenderung
menerima masukkan. Berani memulai ya
mungkin ketika diperlukan bisa, cuman dia
arahnya cenderung lebih menerima
pembukaan dari orang lain. Misalnya dalam
suatu komunikasi dalam pembicaraan kan
maksudnya. Ya anak bisa membantu,
contohnya ya misalnya ada temen yang
memiliki kebutuhan keperluan yang harus
dibantu mengenai pekerjaan atau dalam
pemikiran tertentu selagi dia mampu dan
ada waktu dia berniat untuk melaksanakan
dan sudah sering dilaksanakan” (L 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak WNH
sebagai berikut.
“Kalo emang belum kenal banget, kadang
liat kondisi dulu kalo emang
memungkinkan diajak ngobrol ya aku
tanya, tapi kalo emang orangnya udah aku
kenal ya aku ajak ngobrol. Keseringan sih
orang lain dulu yang mulai obrolan. Aku
suka bantu kalo ada yang perlu dibantu,
kaya waktu sekolah ada temen aku yang
orangnya susah banget buat ngerti
pelajaran. Dia sering banget nanya ke aku
kalo materinya nggak ngerti. Aku cari cara
133
biar temenku ini bisa ngerti sama pelajaran.
Ngajarin temenku yang ini tuh harus ekstra
sabar dan cari jalan pintas biar dia bisa
ngerti materinya” (WNH 2019).
3. Aspek Kemandirian Keluarga II
a. Emosi
Anak mampu mengontrol emosi dan secara
emosi tidak bergantung kepada orang tua.
“Kadang masih susah kayanya ya, emosi anak
itu ketika dia bangun tidur dikasih makan, terus
minumnya terlambat dibawain sedikit, dia bisa
emosi. Tapi dia nggak sampe marah, enggak.
Yang besar ini emang kalo makan masih
dilayanin kalo mau pergi ke sekolah, soalnya
kalo nggak dilayani ya nggak pernah makan
mbak. Makan paling sekali itu kalo siang, tapi
kalo siang dia ambil sendiri, gitu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Ambil keputusan belom bisa sih, kaya masih
egois. Nah itu ngontrol emosi belom bisa juga
soalnya masih suka emosian, belom bisa ngatur
aja kaya susah aja gitu. Nyelesain masalah
sendiri belom mampu kalo nyelesain masalah
sendiri, tapi nggak buat masalah juga sih, baik-
baik aja juga” (RE 2019).
b. Ekonomi
Anak mampu mengatur ekonomi dan tidak
bergantung kebutuhan ekonomi pada orang tua.
“Ya belum ya, kalo mandiri otomatis dia udah
bisa mengatur keuangannya sendiri dengan
baik. Misalkan ketika saya panggilan pijet terus
dia saya ajak, dari pada pake gojek atau pake
orang lain saya minta anter dia dengan kasih
134
uang ke anak sendiri gitu kan. Nah itu dia
memang cenderung lebih boros. Belum bisa
mengatur keuangan, jadi dikatakan mandiri
secara ekonomi belom dia itu” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Belom mampu. Masih boros iya, cuma ya bisa
buat nggak minta duit terus juga sih. Kalo
sekolah kan dikasih uang jajan tapi ya abis
terus. Tapi kalo udah dikasih terus abis ya
nggak minta lagi udahannya. Belum bisa ngatur
dan gunain duit dengan baik sih, sama kaya
jawaban yang tadi itu karena masih suka boros,
tapi nggak minta terus-terusan juga. Kalo
bergantung ekonomi iya masih, karena kan
masih sekolah, terus juga belom kerja jadi ya
masih minta sama orang tua, belom punya
penghasilan sendiri” (RE 2019).
c. Intelektual
Anak mampu mengatasi berbagai hambatan atau
masalah yang dihadapi.
“Kalo kaya kemampuan berpikir anak termasuk
belom bagus ya, kategori belom, belom
termasuk. Karena kadang dia nggak bisa
mementingkan sesuatu yang lebih baik atau yang
tidak baik itu dia belom bisa mengambil pilihan.
Contohnya kan kalo ada yang lebih penting kaya
misalkan pelajaran sama main. Dia belom bisa
memilih. Ya kalo mandi dia bisa sendiri, tapi
kalo pakaian saya yang nyuci, saya yang lipetin,
gitu. Kalo belajar ya anak belajar sendiri ya,
karena saya nggak bisa melihat kan, kalo saya
yang ajarin nanti malah salah hahaha” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
135
“Ngatasin hambatan belom mampu, tapi sedikit-
sedikit bisa selesain kaya tugas sekolah ya bisa.
Kalo nggak bisa tanya ke temen atau orang tua
aja sih. Tapi keseringan kalo tugas tanyanya ke
temen. Kalo urus diri sehari-hari ya kalo mandi
mampu lah sendiri, kalo makan juga mampu,
tapi kadang makan suka males kan kalo pagi itu
disuruh sarapan, terus biasanya ya disendokin
gitu biar mau makan. Terus juga kalo rapihin
baju mah bapak yang rapihin, tapi kalo nyapu
atau ngepel iya saya bisa. Belajar juga bisa
sendiri tapi ya harus sering diingetin kalo
waktunya belajar. Kerjain pekerjaan rumah
mampu kaya tadi itu nyampu sama ngepel bisa,
kan diajarin juga. Selesain masalah sekolah iya
mampu, kalo ada PR dari sekolah ya bisa
ngerjain. Tapi kalo nggak bisa atau susah gitu ya
tinggal tanya aja ke temen, atau ngerjain bareng-
bareng nanti di sekolah”(RE 2019).
d. Sosial
Anak mampu untuk mengadakan interaksi dengan
orang lain dan tidak bergantung atau menunggu aksi dari
orang lain.
“Sosial dia bagus, bahkan terhadap masyarakat
lingkungan gitu ya dia kemaren jadi panitia 17-an
gitu, dia belain siang malem nggak tidur. Dia mau
modal uang atau mau modal tenaga, segalanya dia
mau. Dia pinter bergaulnya. Kalau temennya ada
kesulitan wah dia paling cepet tuh, sering saya
omelin tuh kalo dengan orang tua dan keluarga
nggak memperhatikan, malah orang lain dia
perhatikan, wahhhh kalo dia temennya lagi
kesulitan misalkan motor temennya itu mogok
dimana gitu kan misal di Tanggerang ya, ya
disamperin sama dia” (S 2019).
136
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak RE sebagai
berikut.
“Iya bisa interaksi, biasa ajasi kaya main bareng
temen bisa, kalo ada acara suka ikutan kan kaya
karang taruna, tapi karang taruna aktifnya cuma
acara-acara tertentu doang, kaya waktu 17-an gitu
kemaren jadi panitia lomba. Kalo bantu temen
kesulitan ya bantuin, kalo kita bantu kan temen juga
bantuin kita nantinya, begitu sih” (RE 2019).
4. Aspek Kemandirian Keluarga III
a. Emosi
Anak mampu mengontrol emosi dan secara
emosi tidak bergantung kepada orang tua.
“Ya dibilang mampu ya sebagian ada yang
mampu, sebagian ada yang enggak. Emosinya ya
sebagai anak dalam pemikirannya mungkin
kurang ya jadi keadaan emosi ya pastilah kalo
ada yang nggak sesuai sama keinginan dia. Tapi
ya mampu mengontrol. Kalo untuk pelajaran
anaknya bisa berpikir sendiri, toh kalo misalnya
dia nggak bisa-bisa ya ada sebagian tanya ke
orang tua, tapi kalo bapaknya nggak gatau ya
mau gimana, ya anak cari solusi sendiri” (S
2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Kalo ngambil keputusan sendiri belom, masih
suka nanya-nanya sama minta masukan dan
arahan dari orang tua. Nahan emosi iya mampu
nahan, karena emang jarang emosi juga sih
mbak. Terus caranya kalo lagi emosi ya diem aja
sambil mikir. Kalo ada masalah selalu tanya sih
kalo misal ada masalah, masih minta arahan”
(NH 2019).
137
b. Ekonomi
Anak mampu mengatur ekonomi dan tidak
bergantung kebutuhan ekonomi pada orang tua.
“Kebetulan kalo misalnya dikasih ongkos
sekolah sekian ya dia bisa nyisih-nyisihkan,
entar kalo seandainya dia ini perlu pensil atau
yang lainnya itu kadang-kadang seandainya
minta orang tua ya dia nggak begitu itu lah, bisa
mengurangi beban orang tua. Kalo boros ya
enggak juga, ya biasalah anak-anak. Kalo
bergantung dalam keadan yang seperti sekarang
ya masih ya mbak, anaknya belom kerja juga,
kecuali ya menjelang-jelang dewasa kaya anak
pertama itu kan kadang ada sampingan kaya
bikin kue, atau misal disuruh tetangga minta
anterin kemana itu kan dia bisa menghasilkan
juga. Itu udah bisa membantu waupun sedikit-
sedikit. Setidak-tidaknya kan meringankan
beban orang tua” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Masih bergantung karena belom kerja, udah
ngelamar juga tapi ya belom diterima. Jadi masih
bergantung, tapi bantu-bantu orang tua di rumah
aja kaya masak, nyapu, ngepel gitu. Gunain
sama ngatur uang iya bisa, paling kalo
umpamanya belanja terus masih ada sisanya ya
bisa nyimpen terus bisa buat belanja besokanya
lagi gitu sih. Jadi sekarang iya masih bergantung
sama orang tua, karena belom kerja juga tapi dari
hasil bantu tetangga atau bikin apa gitu sedikit-
sedikit insyaAllah bisa meringankan walaupun
sedikit ya disyukuri” (NH 2019).
138
c. Intelektual
Anak mampu mengatasi berbagai hambatan atau
masalah yang dihadapi?
“Kalo pendidikan yang gede sama yang kecil itu
ya kalo yang saya liat lebih bagusan yang kecil,
cara daya tangkep dan berpikirnya bagus. Kalo
kegiatan sehari-hari iya dua-duanya udah
mampu ngerjain sendiri. Kalo masalah
pembelajaran di sekolah kayanya kebetulan sih
keliatannya ya mampu semuanya, kalo di
sekolah anak saya juga nggak pernah yang
namanya ribut terus orang tuanya dipanggil atau
gini-gitu nggak pernah. Baik-baik aja kalo di
sekolah” (S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Belom kayanya, saya sendiri cenderung
mengikuti apa arahan dan yang dikatakan orang
tua sih. Selama ini juga nggak ada masalah yang
gimana juga. Urus diri sehari-hari ya udah bisa itu
semua, karna diajarin juga kan dari kecil. Terus
juga makin besar ya makin bisa jadinya. Bantu
kerjain pekerjaan rumah bantu orang tua di rumah
iya udah mampu kaya yang tadi udah diceritain
kan mbak, sama kaya tadi. Waktu pas sekolah
juga saya mampu kerjain tugas atau belajar, ya
pasti ada juga susahnya tapi ya dijalanin aja” (NH
2019).
d. Sosial
Anak mampu untuk mengadakan interaksi
dengan orang lain dan tidak bergantung atau menunggu
aksi dari orang lain.
“Ya kalo pergaulan ya mampu lah, bisa.
Contohnya kalo ada kegiatan bisa saling
139
meringankan, kalo ada tetangga ada acara apa dia
bantu, itu rasa kesosialan kan, dan itu
meringankan orang lain. Selama ini kayanya juga
dia bisa menjalankan, dimintain tolong kaya ayo
bantu kesana ada acara gini kita bareng-bareng
yuk bantu. Paling cuma gitu-gitu kalo disini sih,
anak sadar dan mau juga kalo diminta bantuan”
(S 2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH sebagai
berikut.
“Iya mampu interaksi, kaya tegur sapa sama
orang ya. Kalo berteman iya main sama temen
gitu aja ya paling mampu juga. Terus kalo ada
yang butuh bantuan misal temen atau tetangga
minta dianterin kemana ya kebetulan sayanya
bisa saya anter” (NH 2019).
140
141
BAB V
PEMBAHASAN
Bab ini mendiskusikan dari paparan bab sebelumnya, dapat
dilihat bahwa tipe pola asuh yang dapat membentuk kemandirian
anak dari orang tua penyandang tunanetra adalah tipe pola asuh
otoritatif. Hal ini selaras dengan pernyataan Santrock dalam (W.
Santrock 2007, 167) bahwa anak yang memiliki orang tua otoritatif
memiliki sikap (perilaku) yang mandiri. Namun menurut Sunaryo
Kartadinata dalam (Ali dan Asrori 2004, 114) tingkat kemandirian
anak dapat berbeda-beda atau secara bertahap sesuai dengan
tingkatan perkembangan kemandiran. Hal ini juga selaras dengan
hasil penelitian bahwa kemandiran anak dari setiap orang tua
penyandang tunanetra berbeda-beda. Berikut hasil analisa temuan
penelitian di lapangan mengenai pola asuh orang tua penyandang
tunanetra dalam membentuk kemandirian anak.
A. POLA ASUH ORANG TUA PENYANDANG
TUNANETRA
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa semua
informan orang tua penyandang tunanetra dalam pengasuhan
anak menggunakan tipe pola asuh otoritatif, walaupun pada
keluarga pertama memiliki konflik keluarga seperti anak yang
memilih untuk tidak tinggal bersama lagi dengan orang
tuanya, namun orang tua tetap bercirikan orang tua yang
otoritatif dan orang tua tetap mampu untuk mengawasi anak
walaupun dari kejauhan. Ketiga orang tua mendorong anak
untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali
142
pada tindakan mereka. Ketiga orang tua memberikan
kebebasan anak dalam berpendapat dan didengarkan,
memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap memberi
batasan untuk mengarahkan anak dalam menentukan
keputusan yang tepat dalam hidupnya, bersikap hangat dan
penyayang terhadap anak. Ketiga orang tua merangkul anak
dengan mesra dan berkata “kamu tahu kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu bisa
menangani situasi tersebut lebih baik lain kali”. Orang tua
yang otoritatif juga menunjukkan kesenangan dan dukungan
sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak. Adanya
tuntutan mengacu pada harapan dan aturan yang diterapkan
orang tua yang masuk akal dan jelas terhadap tingkah laku
anak. Ketiga orang tua mampu menerapkan aturan secara jelas
dan konsisten tanpa paksaan terhadap anak (Silalahi dan
Meinarno 2010, 165).
Keluarga pertama subyek orang tua L pada subyek
anak WHN menggunakan tipe pola asuh otoritatif.
Orang tua mendorong anak untuk mandiri namun
masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan anak
seperti dalam hal-hal kecil dengan mampu melaksanakan
kebutuhan diri pribadi anak sendiri, seperti saat masih kecil
anak dibiasakan untuk makan sendiri, dan anak diajarkan untuk
bejalan kaki ke sekolah sendirian.
Orang tua memberikan kebebasan anak dalam
berpendapat dan didengarkan seperti anak mau bercerita atau
143
mengungkapkan apa yang anak rasakan, seperti mendengarkan
curahan hati anak dan bercerita tentang apapun.
Orang tua memberikan kebebasan kepada anak tetapi
tetap memberi batasan untuk mengarahkan anak dalam
menentukan keputusan yang tepat dalam hidupnya. Orang tua
mengarahkan anak namun juga tergantung dengan keputusan
anak, dan melihat apa yang sesuai dengan kemampuan anak.
Seperti pemilihan ketika anak bingung untuk masuk ke
Sekolah Menengah Kejuruan dimana, sampai akhirnya orang
tua mendukung pilihan anak karena orang tua melihat bahwa
anak mampu untuk menjalankan pilihannya tersebut.
Orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap
anak seperti memberikan perhatian ke anak layaknya orang tua
kepada anaknya. Seperti orang tua selalu menjaga dengan baik
anak dari kecil, disayang melalui kecerewetan orang tua seperti
yang selalu memberikan pengertian apa-apa yang baik.
Orang tua merangkul anak dengan mesra dan berkata
seperti ketika anak melakukan kesalahan diberitahu dengan
cara yang baik, karena anak sudah dewasa orang tua hanya
sering memberitahu anak saja.
Orang tua menunjukkan kesenangan dan dukungan
sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak,
mendukung dan menunjukkan kesenangan anak dalam hal
kebenaran dan kebaikan dan kalau perilaku anak kurang baik
orang tua selalu memberikan penjelasan mengapa perilaku
tersebut kurang baik dan memberikan alasannya.
144
Orang tua melibatkan anak dalam pengambilan
keputusan dalam keluarga dan memberikan kesempatan untuk
mengemukakan pendapat seperti anak dibiarkan untuk
menyampaikan apa yang mau disampaikan dan pendapat anak
pasti didengarkan.
Orang tua memberikan tuntutan yang mengacu pada
harapan dan aturan yang diterapkan yang masuk akal dan jelas
terhadap tingkah laku anak, seperti menerapkan aturan
mengenai perilaku dan kesopanan contohnya dalam tata cara
berbicara. Anak yang sopan adalah anak yang menghargai.
Aturan lainnya adalah anak tidak diperbolehkan menginap di
rumah teman, karena orang tua membutuhkan bantuan anak
dan khawatir.
Orang tua menerapkan aturan secara jelas dan konsisten
tanpa paksaan terhadap anak. Seperti aturan tentang waktu,
seperti anak diingatkan untuk ingat untuk pulang tepat waktu
dan tidak diperbolehkan pulang terlalu malam.
Berdasarkan bahasan pola asuh otoritatif orang tua di
atas, maka menyatakan juga bahwa orang tua keluarga pertama
tidak otoriter, memanjakan dan juga menelantarkan.
Keluarga kedua subyek orang tua S pada subyek anak
RE menggunakan tipe pola asuh otoritatif.
Orang tua mendorong anak untuk mandiri namun masih
menerapkan batas dan kendali pada tindakan anak, orang tua
mengajarkan anak untuk mandiri dari kecil seperti memakai
baju, mengambil baju, dan bersih-bersih rumah. Orang tua
145
mengajarkan anak untuk dapat bisa memilih warna baju agar
terlihat selaras atau baik dipandang mata.
Orang tua memberikan kebebasan anak dalam
berpendapat dan didengarkan. Namun tidak memberikan
kebebasan secara keseluruhan karena menurut orang tua bahwa
kebebasan itu tidak ada, karna sejak manusia lahir memang
sudah terdapat aturan. Dan dalam pengambilan keputusan
orang tua belum pernah memberikan kebebasan seperti ketika
anak masuk ke pemasaran berdasarkan kemauan orang tua, dan
anak menuruti. Dan ketika berpendapat anak diberikan
kebebasan dan didengarkan asalkan dengan perkataan yang
baik atau sopan.
Orang tua memberikan kebebasan kepada anak tetapi
tetap memberi batasan untuk mengarahkan anak dalam
menentukan keputusan yang tepat dalam hidupnya. Seperti
pemilihan jurusan ketika sekolah menengah kejuruan, anak
diberikan arahan untuk mengambil jurusan pemasaran namun
orang tua tetap menanyakan ketersediaan anak.
Orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap
anak dan dapat dikatakan orang tua yang romantis seperti
perhatian terhadap anak seperti mengingatkan dan
mengambilkan makanan anak ketika anak belum makan.
Orang tua merangkul anak dengan mesra seperti
mengatakan “kamu walaupun sebagai anaknya orang yang
tidak berada, tetapi kamu tidak boleh merasa rendah diri atau
berkecil hati karena kondisi orang tua yang tidak melihat, tetapi
kamu harus penuh semangat, jadikan orang tuamu ini semangat
146
kamu dalam hidup kamu”. Dan mengingatkan anak untuk
memiliki sifat yang taat pada aturan dan tidak boleh berpikir
dan bertindak semaunya sendiri.
Orang tua menunjukkan kesenangan dan dukungan
sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak apabila
perilaku nya baik menurut agama dan norma yang ada, kalau
perilaku yang tidak baik orang tua dengan tegas melarang atau
tidak mendukung disertai dengan penjelasan alasan orang
tuanya melarang. Ketika anak melakukan perilaku yang baik
orang tua menunjukkan dengan memberikan imbalan seperti
diberikan uang.
Orang tua melibatkan anak dalam pengambilan
keputusan dalam keluarga dan memberikan kesempatan untuk
mengemukakan pendapat, seperti menanyakan kemauan
anaknya agar tidak ada pertengkaran, tidak ada berselisih
pendapat. Namun anak mengaku belum pernah dilibatkan
dalam pengambilan keputusan dalam keluarga.
Orang tua memberikan tuntutan yang mengacu pada
harapan dan aturan yang diterapkan yang masuk akal dan jelas
terhadap tingkah laku anak. Dengan memberikan penjelasan,
memberikan pengertian positif dan negatifnya suatu tingkah
laku atau perbuatan. Orang tua menuntut anak untuk belajar
dengan baik dan tidak boleh meninggalkan sholat 5 waktu.
Orang tua menerapkan aturan secara jelas dan konsisten
tanpa paksaan terhadap anak seperti mengajarkan disiplin
untuk ingat waktu dan tepat waktu dengan memperlihatkan
perilaku orang tua untuk menjadi tauladan seperti orang tua
147
selalu memegang handphone untuk mengetahui waktu. Namun
orang tua mengaku bahwa hasilnya belum sesuai dengan yang
diinginkan. Dalam disiplin waktu orang tua juga memberikan
aturan seperti anak tidak deperbolehkan pulang malam dan
pergi tanpa izin jika berpergian.
Berdasarkan bahasan pola asuh otoritatif orang tua di
atas, maka menyatakan juga bahwa orang tua keluarga kedua
tidak otoriter, memanjakan dan juga menelantarkan.
Keluarga ketiga subyek orang tua L pada subyek anak
NH menggunakan tipe pola asuh otoritatif.
Orang tua mendorong anak untuk mandiri namun
masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan anak.
Karena menurut orang tua semakin anak dewasa anak akan
memiliki tanggungan sendiri, cara mendorong anak untuk
mandiri seperti mengajarkan anak untuk mau mencuci bajunya
sendiri, mau membantu mencuci piring. Karena anak memiliki
keasadaran akan tanggung jawabnnya membantu orang tua,
sehinggga orang tua tidak kesulitan untuk mengarahkan anak.
Orang tua memberikan kebebasan anak dalam
berpendapat dan didengarkan asalkan pendapat anak benar dan
tidak berpengaruh jelek terhadap anak seperti saat anak
menyampaikan pendapat atau bercerita mengenai kebingungan
ketika anak memilih pekerjaan dan takut untuk gagal, orang tua
memberikan masukkan dan memberitahu anak untuk selalu
berpikir positif.
Orang tua memberikan kebebasan kepada anak tetapi
tetap memberi batasan untuk mengarahkan anak dalam
148
menentukan keputusan yang tepat dalam hidupnya. Tetapi
orang tua tidak memberikan kebebasan kepada anak
sepenuhnya, orang tua masih mengarahkan anak dan
mengontrol anak.
Orang tua bersikap hangat, penyayang terhadap anak
seperti memberikan perhatian dan makan barsama, karena
menurut orang tua belum tentu keluarga lain bisa makan
bersama, dan bercanda dengan anak.
Orang tua merangkul anak dengan mesra dengan
mengajak anak untuk bercanda.
Orang tua menunjukkan kesenangan dan dukungan
sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak apabila
perilaku anak dalam kebaikan, seperti menunjukkan respons
kesenangan dan dukungan dengan memuji anak.
Orang tua melibatkan anak dalam pengambilan
keputusan dalam keluarga dan memberikan kesempatan untuk
mengemukakan pendapat karena anak sudah mampu untuk
membedakan baik antara benar dan salah, baik dan buruk.
Orang tua melibatkan anak karena orang tua juga paham bahwa
dalam keluarga harus adanya musyawarah bersama.
Orang tua memberikan tuntutan yang mengacu pada
harapan dan aturan yang diterapkan yang masuk akal dan jelas
terhadap tingkah laku anak. Orang tua tidak menuntut anak tapi
menerapkan aturan secara jelas seperti kalau sudah sore hari
anak tidak diperbolehkan untuk keluar rumah atau bermain.
Orang tua menerapkan aturan secara jelas dan
konsisten tanpa paksaan terhadap anak. Seperti kalau sudah
149
waktunya bangun pagi anak harus bangun. Orang tua
menerapkan aturan secara jelas agar orang tua juga bisa
menjadi tuntunan bagi anaknya, namun dengan menerapkan
aturan secara jelas bukan berarti orang tua memaksa anak
melainkan menerapkan aturan sesuai dengan kemampuan
anak.
Berdasarkan bahasan pola asuh otoritatif orang tua di
atas, maka menyatakan juga bahwa orang tua keluarga ketiga
tidak otoriter, memanjakan dan juga menelantarkan.
Setiap gaya pengasuhan orang tua memiliki kelebihan
dan kekurangan, pola asuh orang tua yang otoritatif juga
memiliki kekebihan dan kekurangan. Kelebihan pola asuh
orang tua otoritatif anatara lain yaitu membuat anak mampu
untuk mengambil keputusan sendiri dengan proses
pengambilan keputusan yang tetap diawasi oleh orang tua,
anak mampu untuk menghargai orang lain, dan anak mampu
untuk melihat baik buruknya suatu masalah atau keadaan.
Sedangkan kekurangan dari pola asuh orang tua yang otoritatif
adalah orang tua yang jarang memberikan hukuman sehingga
membuat anak kurang belajar untuk menangani rasa bersalah.
B. KEMANDIRIAN ANAK DARI ORANG TUA
PENYANDANG TUNANETRA
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti melalui
observasi, wawancara dan studi dokumentasi, setiap anak dari
orang tua penyandang tunanetra adalah anak yang mandiri,
namun setiap anak memiliki tingkatan kemandirian yang
150
berbeda-beda. Berikut adalah hasil wawancara sehingga anak
dapat dikatakan mandiri sebagai berikut.
1. Kemandirian Anak Keluarga I
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara anak dapat
dikatakan mandiri dengan bercirikan sebagaimana seperti
yang diungkapkan Bapak L dan Anak WNH.
Dalam keterbatasan yang dimiliki, orang tua
penyandang tunanetra mempunyai cara agar anak dapat
menjadi pribadi yang mandiri dengan caranya memberikan
contoh, dari perilaku dan tindakan orang tua sehari-hari.
Bapak L mengajarkan Anak WNH untuk pergi ke sekolah
sendiri, dan mengajarkan anak untuk membantu orang tua
seperti merawat adik dan melakukan pekerjaan rumah.
Keterbatasan dalam hal pengawasan tidak terlalu
menjadi kendala orang tua dalam perkembangan
kemandirian atau perkembangan keseluruhan anak,
walaupun dengan kekurangan sisi penglihatan Bapak L
melakukan pengawasan dengan penganalisaan dan
perasaan. Dilihat dari perilaku anak WNH di depan orang
tua. Dengan keterbatasan yang dimiliki selaku orang tua
harus mengerti perbatasan-perbatasan, dan harus benar-
benar konsentarsi untuk menyikapi setiap gerak-gerik
anak. Keterbatasan yang dimiliki orang tua WNH dengan
melepas anak untuk melakukan sesuatu sendiri membuat
anak bisa mandiri seperti mereka.
Anak mandiri karena penanaman orang tua, Bapak
L melakukan penanaman kemandirian dengan memberikan
151
semangat, menceritakan kisah kehidupan sewaktu kecil,
dan terus mengajarkan anak agar bisa menjadi pribadi yang
mandiri, jikalau anak belum dapat mandiri Bapak L akan
terus mendorong anak dan dengan seiring berjalannya
waktu anak bisa dapat mandiri.
Anak sudah mandiri dilihat dari anak yang mampu
untuk mengambil keputusan untuk kehidupan, masa depan,
atau dalam kesehari-harian. Anak WNH sudah memiliki
rumah tangga dan sudah dapat bekerja serta
berpenghasilan. Anak WNH juga sudah mampu dalam
mengatur keuangannya, anak juga sudah mampu untuk
membedakan mana yang baik dan tidak baik bagi dirinya.
Anak mampu untuk tidak bergantung kepada orang
lain, terutama orang tua dan orang-orang disekitarnya serta
dapat bertanggung jawab atas semua hal yang telah
dilakukan dengan tidak menyusahkan dan membuat orang
lain buat mengetahui masalah yang dialami.
Anak sudah dapat bebas untuk memilih, dan
menjadi manusia yang dapat menguasai, memerintah,
mengendalikan serta menentukan dirinya sendiri karena
anak mampu bekerja, mampu berumah tangga, dan mampu
membantu untuk mencukupi kebutuhan adik-adiknya
Anak mampu untuk mengendalikan atau mengatur
pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta
berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu
dan ragunya karena anak mempunyai caranya sendiri untuk
152
melakukan sesuatu, seperti melawan rasa khawatir dan
menyendiri untuk berpikir ketika ada masalah.
Anak mampu dalam menentukan nasib, kreatif dan
inisiatif, dapat mengatur tingkah laku, bertanggung jawab,
menahan diri, membuat keputusan-keputusan sendiri, serta
mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang
lain dengan mampu untuk memutuskan suatu pilihan dalam
pekerjaan, dalam sisi kemandirian anak sudah tidak lagi
bergantung. Anak sudah bekerja dan juga menikah, anak
sudah dapat menggunakan, mengatur, dan mengontol
segala kebutuhannya sendiri dan kebutuhan keluarganya.
Anak dapat memposisikan diri ketika berhadapan dengan
orang yang lebih tua dan dengan teman sebayanya.
Anak mampu untuk tidak mudah terpengaruh oleh
penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain karena
memiliki prinsip. Anak sudah mengetahui bahwa tidak
semua penilaian orang tidak semuanya benar, caranya
dengan intropeksi diri.
Orang tua dalam pengasuhan tidak banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak tanpa
disertai dengan penjelasan yang jelas dan rasional, Bapak
L selalu memberikan pengertian dan mengeluarkan kata
jangan tergantung bagaimana konteksnya. Seperti ketika
WNH ingin sekali bersekolah di pondok pesantren, tetapi
orang tua mengatakan jangan karena anak WNH adalah
pertama, dan apabila bersekolah di pesantren adik-adiknya
tidak ada yang mengajarkan dan mengawasi.
153
Orang tua tidak cenderung menjadi orang tua yang
sering membanding-bandingkan anak dengan saudara
kandungnya atau anak lainnya. Anak perlakukan sama saja
karena orang tua menerima semua keadaan anak-anaknya.
Orang tua menyadari bahwa anak-anak memang
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, dan tidak
semua anak harus manjadi anak yang pintar, yang penting
adalah anak rajin untuk mau belajar.
2. Kemandirian Anak Keluarga II
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara anak
dapat dikatakan cukup mandiri dengan bercirikan
sebagaimana seperti yang diungkapkan Bapak S dan
Anak RE.
Dalam keterbatasan yang dimiliki, orang tua
penyandang tunanetra mempunyai cara agar anak dapat
menjadi pribadi yang mandiri dengan selalu
mengajarkan anak kalau hidup tidak selalu bersama
dengan orang tua. Anak harus belajar mandiri untuk
hidup namun bukan untuk melupakan orang tua, dan
untuk menggapai masa depan anak itu sendiri. Anak
diajarkan untuk dapat membantu orang tua ketika
diminta bantuan, belajar untuk mengerti keadaan orang
tua, dan belajar dengan baik.
Keterbatasan dalam hal pengawasan tidak
terlalu menjadi kendala orang tua dalam perkembangan
kemandirian atau perkembangan keseluruhan anak,
walaupun memang ada kendala karena anak sudah
154
semakin besar sehingga manjadi sulit diawasi, namun
masih dapat diatasi karena orang tua dapat
mengajarkan anak melakukan sesuatu.
Anak RE terbilang cukup mandiri, orang tua
selalu mengajarkan anak mandiri dengan aktif bicara,
Bapak S tidak pernah diam untuk memberitahu anak
ketika harus melakukan sesuatu, Bapak L memberikan
pengertian kepada anak RE ketika kamu lemah, kamu
akan ditinggal dengan yang lain. Jadi anak harus punya
sikap yang bisa membawa hidupmu sendiri.
Anak cukup mandiri seperti mampu ketika
orang tua sedang tidak bisa memasak, anak mampu
untuk memasak. Namun anak terkadang ketika sarapan
harus diingatkan dan dilayani.
Anak masih belum mampu untuk tidak
bergantung kepada orang lain, terutama orang tua dan
orang-orang disekitarnya serta dapat bertanggung
jawab atas semua hal yang telah dilakukan. Karena
anak masih belum memahami aturan yang diberikan
orang tua sehingga anak dapat merugikan dirinya
sendiri.
Anak sudah dapat bebas untuk memilih, dan
menjadi manusia yang dapat menguasai, memerintah,
mengendalikan serta menentukan dirinya sendiri
namun dengan catatan sesuai dengan pengawasan dan
pendapat orang tua, kalau memang pilihan anak itu
dianggap baik oleh orang tua maka dibebaskan, namun
155
jika tidak atau kurang tetap orang tua tidak
membebaskan ataupun mengijinkan. Karena anak
masih berusia 17 tahun jadi anak belum terlalu
memahami semua yang baik maupun tidak.
Anak mampu untuk mengendalikan atau
mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara
bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-
perasaan malu dan ragunya. Seperti ketika orang tua
marah, anak tidak pernah menunjukkan emosi, anak
selalu bisa menahan. Namun anak merasa belum
mampu untuk mengatur pikiran dan tindakannya
kerana beranggapan bahwa dia masih anak kecil
sehingga belum mampu.
Anak belum mampu dalam menentukan nasib,
kreatif dan inisiatif, dapat mengatur tingkah laku,
bertanggung jawab, menahan diri, membuat keputusan-
keputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah
tanpa ada pengaruh dari orang lain karena selama anak
hidup belum pernah merasakan, atau dengan kata lain
belum sampai pada tahap itu. Kehidupan anak masih
dengan keputusan orang tua. Dalam tingkah laku anak
sudah dapat mengaturnya sedikit demi sedikit, seperti
tidak menjadi anak yang nakal.
Anak belum mampu untuk tidak mudah
terpengaruh oleh penilaian, pendapat dan keyakinan
orang lain. Karena orang tua melihat bahwa lingkungan
itu sangat berat dan berpengaruh ke anak. Sekuat
156
apapun orang tua menanamkan sesuatu saat di rumah,
tetapi ketika di luar anak akan sanagat mudah
terpengaruh seperti ketika bermain tidak malakukan
kewajiban sholat karena teman-temannya juga tidak
melakukannya. Namun anak merasa mampu untuk
tidak mengikuti sesuatu yang diaggapnya negatif.
Orang tua dalam pengasuhan tidak banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional. Bapak S ketika mengatakan jangan
sebelumnya selalu menjelaskan terlebih dahulu, dengan
sebelum mengatakan jangan orang tua selalu
memberikan resiko seperti apa yang nantinya akan
didapat, seperti Bapak S melarang anak untuk
bergadang karena jika anak bergadang akan mengantuk
pada siang hari dan meninggalkan tugas-tugasnya
ataupun kewajibannya.
Orang tua cenderung menjadi orang tua yang
sering membanding-bandingkan anak dengan saudara
kandungnya atau anak lainnya namun tidak sering,
seperti membanding-bandingkan sisi positif anak lain
dengan tujuan agar anak menjadi termotivasi.
3. Kemandirian Anak Keluarga III
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara anak
dapat dikatakan mandiri dengan bercirikan
sebagaimana seperti yang diungkapkan Bapak S dan
Anak NH.
157
Dalam keterbatasan yang dimiliki, orang tua
penyandang tunanetra mempunyai cara agar anak dapat
menjadi pribadi yang mandiri caranya dengan
memberikan contoh kepada anak, seperti memberikan
pengertian kepada anak kalau melakukan sesuatu
seperti mencuci itu harus bersih dan dicontohkan. Anak
juga diberi pengertian untuk harus berpikir positif, dan
melakukan sesuatu yang dianggap baik.
Keterbatasan dalam hal pengawasan tidak
terlalu menjadi kendala orang tua dalam perkembangan
kemandirian atau perkembangan keseluruhan anak
walaupun namanya manusia pasti punya keterbatasan,
Bapak S setidaknya sudah berusaha semaksimal
mungkin untuk bisa mengawasi anak dengan baik.
Pengawasan anak ketika di rumah seperti selalu
menayakan anak ketika ingin berpergian, dan selalu
bilang ke orang tua.
Anak sudah cukup mandiri, sedikit demi sedikit
orang tua harus punya ketelatenan, kesabaran dan terus
membimbing anak untuk membuat anak menjadi
pribadi yang mandiri. Jika anak masih kurang mandiri
anak terus didorong dan diajarkan.
Anak sudah cukup mandiri walaupun belom
sepenuhnya. Anak mampu untuk belajar sendiri,
saatnya waktu untuk berangkat ke sekolah anak sudah
sadar, saat ada sesuaru yang kotor anak mampu untuk
membersihkan.
158
Anak mampu untuk tidak bergantung kepada
orang lain, terutama orang tua dan orang-orang
disekitarnya serta dapat bertanggung jawab atas semua
hal yang telah dilakukan. Karena orang tua
menanamkan prinsip untuk tidak menggantungkan diri
ke orang lain. Pada hal-hal sederhana anak juga sudah
mampu untuk tidak bergantung ke orang tua.
Anak sudah dapat bebas untuk memilih, dan
menjadi manusia yang dapat menguasai, memerintah,
mengendalikan serta menentukan dirinya sendiri.
Karena anak dirasa sudah mampu dan cukup umur,
namun tetap bertanya kepada orang tua bagaimana
baiknya dan seharusnya.
Dalam mengendalikan diri anak sudah mampu
contohnya dengan mampu menahan emosi dengan cara
berdiam dan menahannya, tetapi berdiam sambil
berpikir dan intropeksi diri.
Anak mampu untuk mengendalikan atau
mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara
bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-
perasaan malu dan ragunya selagi tidak meruguikan
orang lain dan tidak memaksakan diri sendiri.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anak NH
sebagai berikut.
Anak mampu dalam menentukan nasib, kreatif
dan inisiatif, dapat mengatur tingkah laku, bertanggung
jawab, menahan diri, membuat keputusan-keputusan
159
sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada
pengaruh dari orang lain. Walaupun selalu berkumpul
di rumah anak tidak pernah untuk tidak meminta
pendapat orang tua.
Anak mampu untuk tidak mudah terpengaruh
oleh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain,
karena anak berusaha untuk tetep menjadi diri sendiri
namun jika pendapat itu baik maka ya apa salahnya.
Orang tua dalam pengasuhan tidak banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional. Bapak S ketika anak ingin melakukan sesuatu
anak ditanya dahulu apa maksud dan tujuannya, selama
maksud dan tujuannya itu tidak merugikan keluarga
dan orang lain Bapak S tidak melarang atau
mengeluarkan kata jangan.
Orang tua tidak cenderung menjadi orang tua
yang sering membanding-bandingkan anak dengan
saudara kandungnya atau anak lainnya. Karena Bapak
S menyadari bahwa membanding-bandingkan adalah
tindakan yang kurang baik, dan dapat menyakiti
perasaan anak. Bapak S memahami keadaan anak
masing-masing dan menerima anak apa adanya.
Sunaryo Kartadinata dalam (Ali dan Asrori
2004, 114) menyatakan bahwa sebagai suatu dimensi
psikologis yang kompleks, kemandirian dalam
perkambangannya memiliki tingkatan-tingkatan dan
160
karakteristik. Perkembangan kemandirian seseorang
juga berlangsung secara bertahap sesuai dengan
tingkatan perkembangan kemandiran tersebut.
Hasil penelitian ini juga selaras dengan
(Fatimah 2010, 141) yang menyatakan bahwa mandiri
merupakan kemampuan seseorang untuk tidak
bergantung kepada orang lain, terutama kepada orang
tua dan orang-orang disekitarnya serta dapat
bertanggungjawab atas semua hal yang telah
dilakukannya. Dalam penelitian ini, subyek anak
WNH, subyek anak RE dan subyek anak NH dapat
mandiri secara aspek emosi, karena anak mampu dalam
mengontrol emosi dan secara emosi tidak bergantung
kepada orang tua, dapat mengambil keputusan sendiri,
mampu mengontrol emosi dan menyelesaikan masalah
tanpa bergantung terutama kepada orang tua.
Dalam penelitian ini, hanya subyek anak WNH,
yang dapat mandiri secara aspek ekonomi, subyek anak
WNH mandiri secara ekonomi karena mampu dalam
mengatur ekonomi dan tidak bergantungnya kebutuhan
ekonomi pada orang tua. Subyek anak WNH juga dapat
menggunakan, mengatur keuangannya dengan baik,
tidak bergantung kepada orang tua dan memiliki
penghasilan sendiri. Sedangkan, subyek anak RE dan
subyek anak NH belum dapat sepenuhnya mandiri
secara aspek ekonomi. Subyek RE belum sepenuhnya
mandiri secara ekomoni karena belum memiliki
161
penghasilan sendiri sehingga masih bergantung kepada
orang tua karena masih bersokolah. Subyek anak NH
belum sepenuhnya mandiri secara aspek ekonomi
karena belum memiliki pekerjaan sehingga tidak
memiliki penghasilan sendiri dan masih bergantung
kepada orang tua.
Dalam penelitian ini, subyek anak WNH,
subyek anak RE dan subyek anak NH dapat mandiri
secara aspek intelektual, anak mampu dalam mengatasi
berbagai hambatan atau masalah yang dihadapi. Anak
dapat mengatasi masalah dari yang paling sederhana
seperti mampu mengurus diri sendiri dalam kehidupan
sehari-hari seperti makan, mandi, merapikan pakaian,
mengerjakan pekerjaan rumah dan belajar. Selain itu,
anak juga dapat membantu pekerjaan orang lain seperti
pekerjaan orang tua di rumah dan mampu
menyelesaikan masalah di sekolah yang berkaitan
dengan pembelajaran dan masalah lainnya.
Dalam penelitian ini, subyek anak WNH,
subyek anak RE dan subyek anak NH dapat mandiri
secara aspek sosial, anak mampu untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau
menunggu aksi dari orang lain. Anak dapat
bersosialisasi dengan orang lain, berteman, membantu
orang lain atau teman yang kesulitan atas kemauannya
sendiri tanpa menunggu perintah dari orang lain.
162
C. POLA ASUH ORANG TUA PENYANDANG
TUNANETRA DALAM MEMBENTUK KEMANDIRIAN
ANAK
Dalam penelitian ini, subyek anak WNH, RE, dan NH
dapat mandiri dengan gaya pengasuhan otoritatif orang tuanya.
Hal ini selaras dengan pernyataan Santrock dalam (W.
Santrock 2007, 167) bahwa anak yang memiliki orang tua
otoritatif memiliki sikap (perilaku) yang mandiri.
Berdasarkan hasil di lapangan peneliti melihat bahwa
ketiga subyek anak dari orang tua penyandang tunanetra dapat
mandiri secara empat aspek seperti yang sudah dipaparkan
sebelumnya. Hanya saja subyek anak RE dan subyek anak NH
belum sepenuhnya mandiri secara aspek ekonomi.
Faktor pola asuh adalah faktor yang korelat bagi
perkembangan kemandirian. Cara orang tua mengasuh atau
mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan
kemandirian anak remajanya. Orang tua yang terlalu banyak
melarang atau mengeluarkan kata "jangan" kepada anak tanpa
disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat
perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang
menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan
dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian
juga, orang tua yang cenderung sering membanding-
bandingkan anak yang satu dengan lainnya juga akan
berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian
anak (Ali dan Asrori 2004, 118).
163
Sesuai dengan beberapa pernyataan di atas, maka pola
asuh otoritatif orang tua penyandang tunanetra dalam
penelitian ini dapat membentuk kemandirian anak karena
orang tua penyandang tunanetra bertindak dan berucapan
sebagai berikut:
1. Orang tua dan anak dapat menempatkan peran dirinya
masing-masing.
2. Orang tua memberikan tanggungjawab dan mendorong
anak untuk dapat melakukan tugas dan aktivitasnya sendiri
3. Orang tua memberikan batasan dan arahan dalam
menentukan keputusan yang tepat bagi anak.
4. Orang tua interaktif dalam berkomunikasi seperti berdialog
dengan anak, orang tua memberikan kebebasan kepada
anak untuk didengar dan mendengarkan.
5. Orang tua bersikap dengan penuh kasih sayang, seperti
memberikan perhatian, dan hangat kepada anak.
6. Orang tua tidak membandingkan anak dengan saudaranya
maupun dengan orang lain, orang tua mengerti dan
memahami kemampuan anak namun tetap mendorong anak
untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
7. Orang tua hanya melarang atau mengatakan “jangan”
apabila anak melakukan seatu tindakan yang tidak sesuai
atau tidak baik dan selalu memberikan penjelasan mengapa
melarang atau mengatakan “jangan”.
164
D. PENGAWASAN ORANG TUA PENYANDANG
TUNANETRA
Dalam keterbatasan yang dimiliki dalam sisi
penglihatan, pengawasan maupun perkembangan kemandirian
anak tidak terlalu menjadi kendala bagi orang tua penyandang
tunanetra. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh orang tua dan anak dari ketiga keluarga,
yaitu sebagai berikut.
“Ya kalau untuk pengawasan itu ya namanya kita
melakukan pengawasan dalam ada kekurangan sisi
penglihatan ya otomatis kita melakukan pengawasan
dengan penganalisaan dan perasaan. Nah jadi otomatis
perilaku anak ini di depan kita bagaimana. Untuk keluar
itu ya kita selaku orang tua harus mengerti perbatasan-
perbatasan, harus bener-bener konsentarsi untuk
menyikapi setiap gerak-gerik anak. Tapi ya walaupun
kita mengalami kesulitan tapi kita tetep berusaha
semaksimal mungkin, tapi hasilnya tetep juga cukup
lumayan di anak saya.” (L 2019)
“Nggak, justru karena keterbatasan itu aku orang tua
ngelepas anaknya supaya bisa mandiri seperti mereka.
Kan sebelum aku lahir orang tua kalo pergi kemana-
mana sendiri. Jadi aku banyak mencontoh orang tua
kalo dari segi kemandirian. Kalo perkembangan
Alhamdulillahnya aku dapet sekolah yang
lingkungannya mendukung dan memberikan semangat”
(WNH 2019).
Keterbatasan dalam hal pengawasan tidak terlalu
menjadi kendala orang tua keluarga pertama dalam
perkembangan kemandirian atau perkembangan keseluruhan
anak, walaupun dengan kekurangan sisi penglihatan, Bapak L
melakukan pengawasan dengan penganalisaan dan perasaan.
165
Penganalisaan dan perasaan dilihat dari perilaku anak WNH di
depan Bapak L dan Istri. Dengan keterbatasan yang dimiliki
selaku orang tua, Bapak L harus mengerti perbatasan-
perbatasan, dan harus benar-benar konsentarsi untuk menyikapi
setiap gerak-gerik anak. Keterbatasan yang dimiliki orang tua
WNH justru berdampak baik untuk anak, seperti dengan
melepas anak untuk melakukan sesuatu sendiri sehingga
membuat anak bisa mandiri seperti mereka.
“Keterbatasan memang iya, kerena dia udah gede ya
kadang dia main kemana saya nggak bisa ngawasin, kalo
dulu waktu masih kecil bisa, pernah ketika dia pergi itu
saya cari tuh pake ojek malem-malem, saya kelilingin itu
setiap warnet, saya samperin itu, ternyata tidak ada, eh
taunya dia tidur di musholla. Ya gitu pernah, tapi
sekarang agak kendala ya memang ketika dia kemana
saya nggak bisa mencari.” (S 2019)
“Enggak sih sama aja kaya orang tua yang lain, ya kalo
nggak liat pun tapi kan juga orang tua bisa ngajarin ini
itu” (RE 2019).
Keterbatasan dalam hal pengawasan tidak terlalu
menjadi kendala orang tua keluarga kedua dalam
perkembangan kemandirian atau perkembangan keseluruhan
anak, walaupun memang terkadang Bapak S merasakan ada
kendala karena anak sudah semakin besar sehingga manjadi
sulit untuk diawasi secara langsung. Namun masih dapat diatasi
karena orang tua dapat mengajarkan anak untuk dapat
melakukan sesuatu.
“Ya kalo keterbatasan namanya manuisa tetep ada, tapi
kan setidak-tidaknya namanya kita orang tua itu tetep
berusaha semaksimal mungkin buat bisa mengawasi
166
anak kan. Pengawasannya ya seolah-olah kalo anak-
anak pada bercanda terus teriak-teriak itu kan termasuk
mengganggu lingkungan toh, lagi pula juga teriak-teriak
itu nggak baik didengar kan gitu kan, begitu ya sesaat
aja kan kadang namanya kita manusia ya wajar.” (S
2019)
“Enggak sih selalu dikontrol, kalo pengawasan nggak
jadi kendala karena orang tua selalu tau sih, karena kalo
ada apa-apa saya selalu bilang. Saya mau pergi kemana
itu selalu bilang” (NH 2019).
Keterbatasan dalam hal pengawasan tidak terlalu
menjadi kendala orang tua keluarga ketiga dalam
perkembangan kemandirian atau perkembangan keseluruhan
anak, karena menurut Bapak S menyatakan bahwa namanya
manusia pasti punya keterbatasan, Bapak S setidaknya sudah
berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mengawasi anak
dengan baik ketika berada di lingkungan rumah. Pengawasan
yang dilakukan orang tua ke anak seperti ketika anak hendak
ingin berpergian, orang tua selalu bertanya, dan anak selalu
mengatakan atau izin terlebih dahulu ke orang tua.
Dari pernyataan-pernyataan di atas, keterbatasan yang
dimiliki orang tua dalam sisi penglihatan memang menjadi
kendala, namun tidak terlalu menjadi kendala. Karena orang tua
dalam pengawasan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk
dapat mengawasi anaknya secara optimal dengan mengarjarkan
anak, memberitahu segala sesuatu kepada orang tua, dan
membiarkan anak untuk dapat melakukan pekerjaannya sendiri.
167
E. CIRI KHAS PEGASUHAN ORANG TUA
PENYANDANG TUNANETRA DAN UPAYA YANG
DILAKUKAN DALAM MEMBENTUK KEMANDIRIAN
ANAK
Orang tua penyandang tunanetra dalam pengasuhan
tidak memiliki perbedaan yang mencolok atau khas dari orang
tua normal lainnya, namun orang tua penyandang tunanetra
dalam penelitian ini cenderung lebih interaktif dan komunikatif
dengan anak dan anggota keluarga lainnya. Indra bicara dan
pendengaran menjadi alat bantu yang paling bisa diandalkan
orang tua penyandang tunanetra dalam menjalankan fungsinya
sebagai orang tua dan dalam berkeluarga. Dalam kemandirian
anak, orang tua penyandang tunanetra membiasakan anak
untuk belajar melakukan suatu hal atau aktivitas sehari-harinya
sendiri sejak anak masih kecil, dan orang tua memberikan
tauladan kepada anak dengan mencontohkan dan
mengajarkannya.
Terdapat tiga upaya yang dilakukan oleh orang tua
penyandang tunanetra untuk membentuk kemandirian anak,
pertama adalah dengan melakukan tindakan preventif kepada
anak yaitu melalui pemberitahuan dan pengarahan dampak
baik dan buruk yang akan didapat ketika melakukan sesuatu,
dan kedua adalah selalu mengajarkan anak untuk dapat
melalakukan tugas maupun aktivitasnya sendiri. Ketiga adalah
membimbing seperti memberikan contoh kepada anak dan
selalu mendorong anak untuk dapat mandiri.
168
169
BAB VI
PENUTUP
Bab penutup ini berisi tentang kesimpulan penelitian,
implikasi penelitian, dan juga berisi saran penelitian untuk sisi
akademis, praktis dan juga peneliti selanjutnya.
A. KESIMPULAN
Pola asuh orang tua penyandang tunanetra dalam
penelitian ini menggunakan tipe pola asuh otoritatif. Pola asuh
otritatif bercirikan orang tua yang mendorong anak untuk
mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakan anak, orang tua yang memberikan kebebasan anak
dalam berpendapat dan didengarkan, orang tua yang
memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap memberi
batasan untuk mengarahkan anak dalam menentukan
keputusan yang tepat dalam hidup anak, orang tua bersikap
hangat dan penyayang terhadap anak, orang tua merangkul
anak dengan mesra, menunjukkan kesenangan dan dukungan
sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak. Orang tua
memiliki tuntutan yang mengacu pada harapan dan aturan yang
diterapkan orang tua yang masuk akal dan jelas terhadap
tingkah laku anak, orang tua mampu menerapkan aturan secara
jelas dan konsisten tanpa paksaan terhadap anak (Silalahi dan
Meinarno 2010, 165).
Orang tua penyandang tunanetra dalam pengasuhan
tidak memiliki perbedaan yang mencolok atau khas dari orang
tua normal lainnya, namun orang tua penyandang tunanetra
170
lebih interaktif dan komunikatif dengan anak dan anggota
keluarga lainnya. Indra bicara dan pendengaran menjadi alat
bantu yang paling bisa diandalkan orang tua penyandang
tunanetra dalam menjalankan fungsinya sebagai orang tua dan
dalam berkeluarga. Dalam kemandirian anak, orang tua
penyandang tunanetra membiasakan anak untuk belajar
melakukan suatu hal atau aktivitas sehari-harinya sendiri sejak
anak masih kecil, dan orang tua memberikan tauladan kepada
anak dengan mencontohkan dan mengajarkannya.
B. IMPLIKASI
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang
telah dipaparkan sebelumnya, pada penelitian ini
menggambarkan bahwa pola asuh orang tua yang dapat
membentuk kemandirian anak adalah tipe pola pengasuhan
otoritatif.
C. SARAN
1. Akademis
Peneliti berharap Program Studi Kesejahteraan
Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat memberikan
pengetahuan yang lebih mengenai pengasuhan anak yang
baik, karena tidak sedikit yang masih belum tau pentingnya
pengasuhan yang baik dan benar agar membentuk
kepribadian anak yang baik. Hal ini penting karena pekerja
sosial merupakan suatu profesi yang harus bisa memahami
klien atau keluarga.
171
Menambah referensi yang dapat dijadikan
mahasiswa sebagai rujukan dalam menambah pengetahuan
mengenai pola asuh orang tua yang memiliki keterbatasan
fisik, dan kemandirian anak. Karena dalam penulisan
skripsi ini peneliti merasakan kesulitan dalam mencari
referensi.
2. Praktis
Sebagai Kota Depok yang berbatasan dengan DKI
Jakarta membuat Kota Depok menjadi tempat orang-orang
urbanisasi dan datang untuk mengadu nasib. Namun
dengan keterbatasan lapangan pekerjaan bagi penyandang
tunanetra di Kota Depok sendiri akhirnya para penyandang
tunanetra yang datang mengadu nasib tidak memiliki
kesempatan untuk bekerja dibidang umum lainnya selain
berdagang kerupuk dan membuka jasa pijat. Diharapkan
pemerintah Kota Depok juga memberikan kesempatan atau
dapat membuat surat rekomendasi bahwa penyandang
tunanetra walaupun dengan keterbatasannya dapat
melakukan perkerjaan umum-umum lainnya dan dapat
bekerja di atas kepemimpinan.
3. Kepada Peneliti Selanjutnya
Sebagaimana dengan penelitian yang sudah ada,
memang selayaknya penelitian untuk dapat terus
dikembangkan oleh peneliti selanjutnya agar diperoleh
informasi yang lebih luas, mendalam dan berlingkup besar.
Tidak menutup kemungkinan dalam masalah yang
diangkat peneliti ini akan semakin berkembang nantinya,
172
seperti semakin beragamnya tingkah laku anak di
kemudian hari memungkinkan bahwa tipe pengasuhan
orang tua semakin beragam pula.
173
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, M & Asrori, M. (2004). Psikologi Remaja: Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta : Bumi Aksara.
Al-‘alaim Al-Qur’an dan terjemahannya edisi ilmu pengetahuan.
(2014). Bandung: Al-Mizan Publishing House / PT
Mizan Bunaya Kreativa.
Badan Pusat Statistik Kota Depok. (2018). Kecamatan Cinere
Dalam 2018. Depok: Badan Pusat Statistik Kota Depok
Badan Pusat Statistik Kota Depok. (2018). Kota Depok Dalam
Angka 2018. Depok: Badan Pusat Statistik Kota Depok
Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik Panduan
Bagi Orang Tua Dan Guru Dalam Memahami Psikologi
Anak Usia SD, SMP, SMA. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Edwards, D. (2006). Ketika Anak Sulit Diatur: Panduan Orang
Tua Untuk Mengubah Masalah Perilaku Anak. Bandung:
PT Mizan Pustaka.
Efendi, Mohammad. (2009). Pengantar Psikopedagogik Anak
Berkelainan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Fatimah, Enung. (2010). Psikologi Perkembangan
(Perkembangan Peserta Didik). Bandung: CV Pustaka
Setia
Hauck, Paul. (1986). Mendidik Anak Dengan Berhasil. Jakarta:
Penerbit Arcan
Hadi, Purwaka. (2005). Kemandirian Tunanetra. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Mussen, Paul Henry. (1989). Perkembangan dan Kepribadian
Anak Edisi Enam. Jakarta: Penerbit Arcan
174
Herdiansyah, Haris. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif
Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
J. Moleong, Lexy. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja Roskadaya Offset.
Marliani, Rosleny. (2016). Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Bandung: Pustaka Setia
Mutiah, Diana. (2015). Psikologi Bermain Anak Usia Dini.
Jakarta: Prenada Media Group
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak. Edisi Tujuh. Jakarta:
Erlangga
Santrock, J. W. (2004). Child Development Tenth Edition.
Americas: The Mcgraw-Hill Companies, Inc
Santrock, J. W. (2008). Adolescence Twelfth Edition. Americas:
Mc Graw-Hill Companies, Inc
Silalahi, Karlinawati dan Meinarno, Eko A. (2010). KELUARGA
INDONESIA: Aspek dan Dinamika Zaman. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Sugiyono. (2011). Metode penelitian pendidikan “pendekatan
kualitatif, kuantitatif dan R&D”. Bandung: Alfabeta
Sulistyaningsih. (2011). Metodelogi penelitian kebidanan
kuantitatif-kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu
Jurnal & Skripsi:
Febriana, M. Faisal. (2016). Pola Asuh Orang Tua Difabel
Terhadap Anak Yang Normal. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia
Kartika, Rani. (2018). Pola Pengasuhan Anak pada Orang Tua
Tuna Netra (Studi Kasus Klinik Pijat Tuna Netra
Barokah). Padang: Universitas Negeri Padang
175
Rizky, Ravika. (2015). Kemandirian Pada Dewasa Difabel.
Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sunarty, Kustiah. (2016). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dan
Kemandirian Anak. Makassar: Fakultas Ilmu Pandidikan
Universitas Negeri Makassar
Widiya, Jenny. (2016). Pola Asuh Orang Tua Tunanetra Terhadap
Anak Normal Di Pekanbaru. Riau: Fakultas Ilmu Sosial
Dan Ilmu Politik Universitas Riau
Website/Online:
Assifa, Farid. (2017). Perjuangan Retno, Terlahir dari Orangtua
Tunanetra, Cari Beasiswa untuk Kuliah dan Lulus
Cumlaude. Tersedia di
https://regional.kompas.com/read/2017/08/31/07502781/
perjuangan-retno-terlahir-dari-orangtua-tunanetra-cari-
beasiswa-untuk-kuliah?page=all. Diakses pada Rabu
19/11/2019, pukul 00.05 WIB
Badan Pusat Statistik Kota Depok. (2018). Kota Depok Dalam
Angka 2018. Tersedia di
https://depokkota.bps.go.id/publikasi.html. Diakses pada
Jum’at 21/06/2019, pukul 16.32 WIB
Badan Pusat Statistik Kota Depok. (2018). Kecamatan Cinere
Dalam 2018. Tersedia di
https://depokkota.bps.go.id/publikasi.html. Diakses pada
Jum’at 21/06/2019, pukul 17.15 WIB
Cyril. (2017). Jutaan Tuna Netra di Indonesia, Belum Dapat Akses
Pendidikan. Tersedia di
https://www.cendananews.com/2017/04/jutaan-tuna-
netra-di-indonesia-belum-dapat-askes-pendidikan.html.
Diakses pada Kamis 28/02/2019, pukul 19.20 WIB
Karouw, Donald. (2018). Kasus Bocah Dibakar dan Minum Air
Seni di Tanjungbalai, Ini Kata KPAI. Tersedia di
176
https://www.inews.id/daerah/sumut/kasus-bocah-
dibakar-dan-minum-air-seni-di-tanjungbalai-ini-kata-
kpai/327778. Diakses pada Rabu 06/02/2019, pukul 21.23
WIB
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tersedia di https://kbbi.web.id/.
Diakses pada Kamis 07/02/2019, pukul 21.30 WIB
Pemerintah Kota Depok. Situs resmi Kota Depok. Tersedia di
https://www.depok.go.id/. Diakses pada Jum’at
21/06/2019, pukul 15.40 WIB
Persatuan Tunanetra Indonesia, tersedia di http://pertuni.or.id/.
Diakses pada Jumat 29/02/2019, pukul 21.05 WIB
Pawestri, Noristera. (2018). Perjuangan Tri Widarti yang Lahir
dari Orangtua Tunanetra untuk Kuliah dan Mendapat
Beasiswa. Tersedia di
https://jogja.tribunnews.com/2018/08/30/perjuangan-tri-
widarti-yang-lahir-dari-orangtua-tunanetra-untuk-kuliah-
dan-mendapat-beasiswa. Diakses pada Rabu 19/11/2019,
pukul 00.10 WIB
Rudiyati, Sari. (2009). Pendidikan Anak Tunanetra (online).
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta. Tersedia di
http://journal.uny.ac.id/index.php/jpk/article/download/7
87/611. Diakses pada Kamis 07/02/2019, pukul 22.15
WIB
Salah Asuh Orang Tua Bisa Jadi Masalah Anak di Kemudian Hari.
Tersedia di https://health.detik.com/ulasan-khas/d-
1538082/salah-asuh-orangtua-bisa-jadi-masalah-anak-di-
kemudian-hari. Diakses pada Selasa 26/02/19, pukul
20.18 WIB
Wibowo, Bambang Heri. (2013). Blognya Netra Indonesia.
Tersedia di http://netra-
indonesia.blogspot.com/2013/04/pengertian-
tunanetra.html. Diakses pada Jumat 29/02/2019, pukul
20.15 WIB
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA
(Informan I/II/III)
A. Identitas Diri Orang Tua dan Anak
1. Nama
2. Jenis Kelamin
3. Usia
4. Pekerjaan
5. Alamat
B. Waktu Wawancara
C. Tempat Wawancara
D. Pertanyaan Penelitian :
1) POLA ASUH ORANG TUA
Tabel Pertanyaan Tipe Pola Asuh Orang Tua Subyek
(Orang Tua) dan Subyek (Anak)
Aspek :
Tipe Pola Asuh Orang Tua
Pertanyaan untuk Subyek
(Orang Tua)
Pertanyaan untuk Subyek
(Anak)
Pola Asuh Otoriter
1. Apakah Bapak/Ibu
membatasi anak untuk
melakukan sesuatu dan
menghukum anak apabila
anak melakukan suatu
kesalahan?
2. Apakah Bapak/Ibu
mendesak anak untuk
mengikuti arahan dan
menghormati pekerjaan
dan upaya yang dilakukan
oleh Bapak/Ibu?
3. Apakah Bapak/Ibu
menerapkan batas dan
kendali yang tegas pada
anak?
1. Apakah Bapak/Ibumu
membatasi kamu untuk
melakukan sesuatu dan
menghukum apabila
kamu melakukan suatu
kesalahan?
2. Apakah Bapak/Ibumu
mendesak kamu untuk
mengikuti arahan dan
menghormati pekerjaan
dan upaya yang
dilakukan oleh
Bapak/Ibumu?
3. Apakah Bapak/Ibumu
menerapkan batas dan
4. Apakah Bapak/Ibu
meminimalisir atau
bahkan menghindari
perdebatan verbal dengan
anak?
5. Apakah Bapak/Ibu sering
memukul anak?
6. Apakah Bapak/Ibu
memaksakan aturan secara
kaku tanpa menjelaskan
alasannya kepada anak?
7. Apakah Bapak/Ibu
menunjukkan amarah pada
anak ketika sedang emosi?
kendali yang tegas pada
kamu?
4. Apakah Bapak/Ibumu
meminimalisir atau
bahkan menghindari
perdebatan verbal
denganmu?
5. Apakah Bapak/Ibumu
sering memukulmu?
6. Apakah Bapak/Ibumu
memaksakan aturan
secara kaku tanpa
menjelaskan alasannya
kepadamu?
7. Apakah Bapak/Ibumu
menunjukkan amarah
padamu ketika sedang
emosi?
Pola Asuh Otoritatif
1. Apakah Bapak/Ibu
mendorong anak untuk
mandiri namun masih
menerapkan batas dan
kendali pada tindakan
anak?
2. Apakah Bapak/Ibu
memberikan kebebasan
anak dalam berpendapat
dan didengarkan?
3. Apakah Bapak/Ibu
memberikan kebebasan
kepada anak tetapi tetap
memberi batasan untuk
mengarahkan anak dalam
menentukan keputusan
yang tepat dalam
hidupnya?
4. Apakah Bapak/Ibu
bersikap hangat dan
penyayang terhadap anak?
1. Apakah Bapak/Ibumu
mendorong kamu untuk
mandiri namun masih
menerapkan batas dan
kendali pada
tindakanmu?
2. Apakah Bapak/Ibumu
memberikan kebebasan
kamu dalam berpendapat
dan didengarkan?
3. Apakah Bapak/Ibumu
memberikan kebebasan
kepada kamu tetapi tetap
memberi batasan untuk
mengarahkan dalam
menentukan keputusan
yang tepat dalam
hidupmu?
4. Apakah Bapak/Ibumu
bersikap hangat dan
penyayang terhadapmu?
5. Apakah Bapak/Ibu
merangkul anak dengan
mesra dan berkata seperti
“kamu tahu kamu tak
seharusnya melakukan hal
itu. Mari kita bicarakan
bagaimana kamu bisa
menangani situasi tersebut
lebih baik lain kali”?
6. Apakah Bapak/Ibu
menunjukkan kesenangan
dan dukungan sebagai
respons terhadap perilaku
konstruktif anak?
7. Apakah Bapak/Ibu
melibatkan anak dalam
pengambilan keputusan
dalam keluarga dan
memberikan kesempatan
untuk mengemukakan
pendapat?
8. Apakah Bapak/Ibu
memberikan tuntutan yang
mengacu pada harapan
dan aturan yang
diterapkan yang masuk
akal dan jelas terhadap
tingkah laku anak?
9. Apakah Bapak/Ibu
menerapkan aturan secara
jelas dan konsisten tanpa
paksaan terhadap anak?
5. Apakah Bapak/Ibumu
merangkul dengan mesra
dan berkata seperti
“kamu tahu kamu tak
seharusnya melakukan
hal itu. Mari kita
bicarakan bagaimana
kamu bisa menangani
situasi tersebut lebih
baik lain kali”?
6. Apakah Bapak/Ibumu
menunjukkan
kesenangan dan
dukungan sebagai
respons terhadap
perilaku konstruktif
kamu?
7. Apakah Bapak/Ibumu
melibatkan kamu dalam
pengambilan keputusan
dalam keluarga dan
memberikan kesempatan
untuk mengemukakan
pendapat?
8. Apakah Bapak/Ibumu
memberikan tuntutan
yang mengacu pada
harapan dan aturan yang
diterapkan yang masuk
akal dan jelas terhadap
tingkah lakumu?
9. Apakah Bapak/Ibumu
menerapkan aturan
secara jelas dan
konsisten tanpa paksaan
terhadapmu ?
Pola Asuh Memanjakan
1. Apakah Bapak/Ibu sangat
terlibat dengan anak dan
1. Apakah Bapak/Ibumu
sangat terlibat dan tidak
tidak terlalu menuntut atau
mengontrol mereka?
2. Apakah Bapak/Ibu
membiarkan anak
melakukan apa yang ia
inginkan dan menuruti
semua kemauan anak?
3. Apakah Bapak/Ibu
memberikan kebebasan
secara berlebihan yang
tidak sesuai untuk
perkembangan anak?
terlalu menuntut atau
mengontrolmu?
2. Apakah Bapak/Ibumu
membiarkanmu
melakukan apa yang
kamu inginkan dan
menuruti semua
kemauanmu?
3. Apakah Bapak/Ibumu
memberikan kebebasan
secara berlebihan yang
tidak sesuai untuk
perkembanganmu?
Pola Asuh Mengabaikan
1. Apakah Bapak/Ibu tidak
memberikan perhatian
terhadap anak?
2. Apakah Bapak/Ibu orang
tua yang sangat tidak
terlibat dalam kehidupan
anak?
1. Apakah Bapak/Ibumu
tidak memberikan
perhatian terhadapmu?
2. Apakah Bapak/Ibumu
adalah orang tua yang
sangat tidak terlibat
dalam kehidupanmu?
2) KEMANDIRIAN ANAK
a. Kemandirian
Tabel Pertanyaan Kemandirian Subyek (Orang Tua)
Dan Subyek (Anak)
Aspek :
Kemandirian
Pertanyaan untuk Subyek
(Orang Tua)
Pertanyaan untuk Subyek
(Anak)
1. Dalam keterbatasan yang
dimiliki oleh Bapak/Ibu,
bagaimana cara agar anak
dapat menjadi pribadi
yang mandiri? (Teknis)
1. Dalam keterbatasan yang
dimiliki oleh Bapak/Ibu,
bagaimana cara agar
kamu dapat menjadi
pribadi yang mandiri?
(Teknis)
2. Apakah keterbatasan
dalam hal pengawasan
menjadi kendala
Bapak/Ibu dalam
2. Apakah keterbatasan
dalam hal pengawasan
menjadi kendala
Bapak/Ibu dalam
perkembangan
kemandirian atau
perkembangan
keseluruhan anak?
perkembangan
kemandirian atau
perkembanganmu?
3. Bagaimana sikap
Bapak/Ibu apabila anak
tidak dapat mandiri?
3. Bagaimana sikap
Bapak/Ibu apabila kamu
tidak dapat mandiri?
4. Menurut Bapak/Ibu
apakah anak sudah
mandiri? Mandiri dalam
hal apa?
4. Menurut kamu apakah
kamu termasuk anak
yang mandiri? Mandiri
dalam hal apa?
5. Menurut Bapak/Ibu
apakah anak mampu untuk
tidak bergantung kepada
orang lain, terutama orang
tua dan orang-orang
disekitarnya serta dapat
bertanggung jawab atas
semua hal yang telah
dilakukan anak?
5. Menurutmu apakah
kamu mampu untuk
tidak bergantung kepada
orang lain, terutama
orang tua dan orang-
orang disekitarmu serta
dapat bertanggung jawab
atas semua hal yang
telah kamu lakukan?
6. Menurut Bapak/Ibu
apakah anak sudah dapat
bebas untuk memilih, dan
menjadi manusia yang
dapat memerintah,
menguasai,
mengendalikan serta
menentukan dirinya
sendiri?
6. Menurutmu apakah
kamu sudah dapat bebas
untuk memilih, dan
menjadi manusia yang
dapat memerintah,
menguasai,
mengendalikan serta
menentukan dirimu
sendiri?
7. Menurut Bapak/Ibu
apakah anak mampu untuk
mengendalikan atau
mengatur pikiran,
perasaan dan tindakan
sendiri secara bebas serta
berusaha sendiri untuk
mengatasi perasaan-
perasaan malu dan
ragunya?
7. Menurutmu apakah
kamu mampu untuk
mengendalikan atau
mengatur pikiran,
perasaan dan tindakan
sendiri secara bebas serta
berusaha sendiri untuk
mengatasi perasaan-
perasaan malu dan
ragumu?
8. Menurut Bapak/Ibu
apakah anak mampu
dalam menentukan nasib,
kreatif dan inisiatif, dapat
mengatur tingkah laku,
bertanggung jawab,
menahan diri, membuat
keputusan-keputusan
sendiri, serta mampu
mengatasi masalah tanpa
ada pengaruh dari orang
lain?
8. Menurutmu apakah
kamu mampu dalam
menentukan nasib,
kreatif dan inisiatif,
dapat mengatur tingkah
laku, bertanggung jawab,
menahan diri, membuat
keputusan-keputusan
sendiri, serta mampu
mengatasi masalah tanpa
ada pengaruh dari orang
lain?
9. Menurut Bapak/Ibu
apakah anak mampu untuk
tidak mudah terpengaruh
oleh penilaian, pendapat
dan keyakinan orang lain?
9. Menurutmu apakah
kamu mampu untuk
tidak mudah terpengaruh
oleh penilaian, pendapat
dan keyakinan orang
lain?
10. Apakah Bapak/Ibu dalam
pengasuhan banyak
mengeluarkan kata
“jangan” (melarang)
kepada anak tanpa disertai
dengan penjelasan yang
jelas dan rasional?
10. Apakah Bapak/Ibumu
dalam pengasuhan
banyak mengeluarkan
kata “jangan” (melarang)
kepada kamu tanpa
disertai dengan
penjelasan yang jelas
dan rasional?
11. Apakah Bapak/Ibu
cenderung menjadi orang
tua yang sering
membanding-bandingkan
anak dengan saudara
kandungnya atau anak
lainnya?
11. Apakah Bapak/Ibumu
cenderung membanding-
bandingkan kamu
dengan saudara
kandungmu atau teman-
teman mu yang lainnya?
b. Aspek-Aspek Kemandirian
Tabel Pertanyaan Aspek-Aspek Kemandirian Subyek
(Orang Tua) dan Subyek (Anak)
Aspek-Aspek Kemandirian
Aspek Pertanyaan untuk
Subyek (Orang Tua)
Pertanyaan untuk
Subyek (Anak)
Emosi Apakah Anak mampu
mengontrol emosi dan
secara emosi tidak
bergantung kepada
orang tua?
Apakah Kamu mampu
mengontrol emosi dan
secara emosi tidak
bergantung kepada
orang tua?
Ekonomi Apakah Anak mampu
mengatur ekonomi dan
tidak bergantung
kebutuhan ekonomi
pada orang tua?
Apakah Kamu mampu
mengatur ekonomi
dan tidak bergantung
kebutuhan ekonomi
pada orang tua?
Intelektual Apakah Anak mampu
mengatasi berbagai
hambatan atau masalah
yang dihadapi?
Apakah Kamu mampu
mengatasi berbagai
hambatan atau
masalah yang
dihadapi?
Sosial Apakah Anak mampu
untuk mengadakan
interaksi dengan orang
lain dan tidak
bergantung atau
menunggu aksi dari
orang lain?
Apakah Kamu mampu
untuk mengadakan
interaksi dengan orang
lain dan tidak
bergantung atau
menunggu aksi dari
orang lain?
Lampiran 2
TRANSKRIP WAWANCARA KELUARGA I
1) IDENTITAS DIRI
A. Identitas Diri Suami
1. Nama L
2. Jenis Kelamin Laki-laki
3. Usia 45 tahun
4. Pekerjaan Jasa pijat dan pedagang kerupuk
B. Identitas Diri Istri
1. Nama Rasiti
2. Jenis Kelamin Perempuan
3. Usia 46 tahun
4. Pekerjaan Ibu rumah tangga
C. Alamat Panti Pijat Jati Husada Jl. Melati I,
Gandul, Kecamatan Cinere, Kota
Depok, Jawa Barat 16514
D. Waktu Wawancara Tanggal 20/09/2019, pukul 10.15-
11.20 WIB
E. Tempat Wawancara Rumah yang juga sekaligus sebagai
tempat menjual jasa pijat
A. Identitas Diri Anak
1. Nama WNH
2. Jenis Kelamin Perempuan
3. Usia 22 tahun
4. Pekerjaan Karyawan Swasta di RS. Hermina
Depok
B. Alamat Jl. Remaja Gg Sawah 6 . Mampang,
Pancoran Mas Depok
C. Waktu Wawancara Tanggal 26/09/2019, pukul
14.40-15.40 WIB
D. Tempat Wawancara Rumah tempat tinggal
2) POLA ASUH ORANG TUA
A. TRANSKRIP TIPE POLA ASUH ORANG TUA
SUBYEK (ORANG TUA)
Pola Asuh Otoriter
1. Apakah Bapak/Ibu membatasi anak untuk melakukan
sesuatu dan menghukum anak apabila anak melakukan
suatu kesalahan?
“Oh itu pasti mbak, karena dalam pendidikan untuk suatu
penanaman dasar kan otomatis itu harus kita tanamkan. Biar
mengerti akan salah dan benar, kalo kita biarkan otomatis kan nanti
jadi kebiasaan. Kadang sudah dibatasi aja kadang masih kurang
pas, apalagi tidak dibatasi. Contohnya seperti melakukan
kesalahan dalam arti merasakan sesuatu atau membohongi,
kesalahannya itu wajib ada hukumannya gitu. Kalo saya
menanamkan untuk hukuman anak itu bukan berdasarkan
kekerasan atau main tangan, tapi yaitu berdasarkan memberikan
contoh misalnya kalo anaknya udah ngerti ya kita tanamkan seperti
uang jajan kita stop, dikasih hukuman itu karena untuk anak tau
dia melakukan kesalahan, bahwa dia melakukan perbuatan yang
salah. Secara omongan aja, dikasih pengertian.”
2. Apakah Bapak/Ibu mendesak anak untuk mengikuti arahan
dan menghormati pekerjaan dan upaya yang dilakukan oleh
Bapak/Ibu?
“Kalo mengikuti arahan kita mengarahkan untuk kebaikan itu pasti
kan, tapi kalo menyukai kerjaan yang sesuai dengan kerjaan kita
itu enggak mendesak anak, tapi kalo menghormati itu harus.
Soalnya kita harus menanamkan hormat menghormati.”
3. Apakah Bapak/Ibu menerapkan batas dan kendali yang
tegas pada anak?
“Menerapkan batas dan kendali selagi diperlukan itu memang
harus dilakukan untuk kontrol dari pada perilaku si anak. Contoh
dari tindakan ya misalnya anak melakukan perbuatan yang
merugikan, itu otomatis kita batasi agar jangan sampai merugikan
kan gitu, kita kontrol. Baik merugikan secara pribadi maupun
secara umum kan, nah gitu.”
4. Apakah Bapak/Ibu meminimalisir atau bahkan
menghindari perdebatan verbal dengan anak?
“Kalo perdebatan itu sebenarnya kalo diminimalkan juga nggak
baik, soalnya dengan tidak berdebat anak tidak bisa
menyampaikan inspirasinya, dan jadi kurang komunikasi sama
orang tua. Jadi ya memang perdebatan memang ada, tapi memang
dibatasi ya dibatasi cuma untuk menyampaikan maksud dia agar
ada waktu dan bisa tersalurkan kan gitu.”
5. Apakah Bapak/Ibu sering memukul anak?
“Kalo itu tidak, saya sudah jawab di depan tadi kalo anak misalnya
melakukan kesalahan ya diberi pengertian aja, tidak dipukul.”
6. Apakah Bapak/Ibu memaksakan aturan secara kaku tanpa
menjelaskan alasannya kepada anak?
“Tidak, saya menjelaskan apa-apa yang tidak boleh dan mengapa
tidak boleh.”
7. Apakah Bapak/Ibu menunjukkan amarah pada anak ketika
sedang emosi?
“Sebisa mungkin meminimalisir, jadi memang kalo untuk
keemosian itu kan suatu hal yang kurang bagus ya, otomatis ya
semaksimal mungkin kita usahakan tidak terlalu dipertunjukkan
gitu ke anak, tapi ya pernah saya.”
Pola Asuh Otoritatif
1. Apakah Bapak/Ibu mendorong anak untuk mandiri namun
masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan anak?
“Itu pasti, contohnya ya dari sisi kecil untuk mandiri dalam
berusaha, misalnya tidak tergantung kepada orang lain, terus
mampu melaksanakan untuk kebutuhannya, minimal mampu
untuk melaksanakan kebutuhan diri pribadinya sendiri, gitu.”
2. Apakah Bapak/Ibu memberikan kebebasan anak dalam
berpendapat dan didengarkan?
“Itu pasti. Anak mau cerita atau mengungkapkan apa yang dia
rasakan ya didengarkan.”
3. Apakah Bapak/Ibu memberikan kebebasan kepada anak
tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan anak
dalam menentukan keputusan yang tepat dalam hidupnya?
“Betul. Mengarahkan anak itu relative tergantung dengan
keputusan anak, apa dan mengenai apa. kalo memang dia bingung
sama keputusannya kita orang tua teliti dari kebiasannya anak, kita
lihat apa hobinya, otomatis nanti kita ketemu arahnya kemana.
Intinya melihat apa yang sesuai dengan kemampuan anaknya.”
4. Apakah Bapak/Ibu bersikap hangat dan penyayang
terhadap anak?
“Kalo itu pasti, contohnya anak saya perhatiin, ya sayangnya orang
tua sama anak aja gimana gitu kan mbak.”
5. Apakah Bapak/Ibu merangkul anak dengan mesra dan
berkata seperti “kamu tahu kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu
bisa menangani situasi tersebut lebih baik lain kali”?
“Iya kurang lebih sama begitu, kalo anak ngelakuin kesalahan
dibilangin dengan cara yang baik aja, dibilangin aja bener dan
salahnya.”
6. Apakah Bapak/Ibu menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku konstruktif
anak?
“Ya kalo memberikan dukungan itu tergantung bagaimana si anak
itu, dalam hal yang butuh didukung ya, kalo misalnya dalam hal
kebenaran dan kebaikan itu pasti kita dukung dan senang ya
sebaagai orang tua.”
7. Apakah Bapak/Ibu melibatkan anak dalam pengambilan
keputusan dalam keluarga dan memberikan kesempatan
untuk mengemukakan pendapat?
“Iya, saya biarin anak menyampaikan apa yang mau disampaikan,
didengerin itu pasti anaknya juga sudah paham kan.”
8. Apakah Bapak/Ibu memberikan tuntutan yang mengacu
pada harapan dan aturan yang diterapkan yang masuk akal
dan jelas terhadap tingkah laku anak?
“Itu pasti, yang pokok itu perilaku dan kesopanan. Kalo anak sopan
berarti kan bisa menghargai, contoh ketika ada orang yang usianya
lebih tua dari mereka dalam tata cara berbicara itu harus sopan.”
9. Apakah Bapak/Ibu menerapkan aturan secara jelas dan
konsisten tanpa paksaan terhadap anak?
“Itu pasti, aturan dengan jelas pasti diberikan tapi ya tapi nggak
maksa anak, contohnya waktu, anak itu harus inget waktu, kalo
main atau pergi ada urusan apa gitu kan harus tau waktu.”
Pola Asuh Memanjakan
1. Apakah Bapak/Ibu sangat terlibat dengan anak dan
tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka?
“Kalo mengontrol dan menuntut anak itu pasti. Tapi dalam
menuntut juga tidak begitu menuntut, kalo membuat harapan untuk
anak iya ada, tapi ga memaksakan anak nanti dia merasa tertekan
kalo begitu. Jadi harapan boleh ada tapi tidak diharuskan.”
2. Apakah Bapak/Ibu membiarkan anak melakukan apa
yang ia inginkan dan menuruti semua kemauan anak?
“Tentu tidak, pasti ada suatu yang dilarang dan diberikan izin,
tidak mungkin kita bebaskan apalagi nanti saat ada yang kurang
pas dalam kebenaran. Kalo menuruti keinginan ya dikaji dulu
bagaimana keinginannya itu, kalo dipandang kurang perlu dan
masih ada yang lebih perlu apa salahnya kita larang.”
3. Apakah Bapak/Ibu memberikan kebebasan secara
berlebihan yang tidak sesuai untuk perkembangan
anak?
“Tentu tidak, pasti tidak memberikan kebebasan banget, ya yang
baik diberikan bebas.”
Pola Asuh Mengabaikan
1. Apakah Bapak/Ibu tidak memberikan perhatian
terhadap anak?
“Ya pasti perhatian sama anak mbak.”
2. Apakah Bapak/Ibu orang tua yang sangat tidak terlibat
dalam kehidupan anak?
“Tidak mungkin masa anak dibiarkan saja. Kita hidup bersama-
sama pasti terlibat kan gitu.”
B. TRANSKRIP TIPE POLA ASUH ORANG TUA
SUBYEK (ANAK)
Pola Asuh Otoriter
1. Apakah Bapak/Ibumu membatasi kamu untuk
melakukan sesuatu dan menghukum apabila kamu
melakukan suatu kesalahan?
“Iya pastinya, dulu soalnya pernah sering dibilangin kaya kalo mau
main jangan jauh-jauh, nanti kalo kamu diculik mama sama bapak
susah mau nyari kamu kemana-mana gitu. Tapi dihukum ya cuma
dibilangin aja jangan diulang gitu.”
2. Apakah Bapak/Ibumu mendesak kamu untuk
mengikuti arahan dan menghormati pekerjaan dan
upaya yang dilakukan oleh Bapak/Ibumu?
“Nggak mendesak sih, tapi secara tidak langsung dari kecil udah
dikenalin dan diajak buat kenal pekerjaan orang tua, jadi ya udah
tau gimana-gimananya. Kaya dulu waktu kecil aku sering
digendong terus diajak ikut pijat keliling.”
3. Apakah Bapak/Ibumu menerapkan batas dan kendali
yang tegas pada kamu?
“Iya, kaya jamannya sekolah kalo ada kerja kelompok nggak boleh
pulang sore, terus kadang kalo mau main juga harus tau kemana
dan pulangnya jam berapa, seringnya dilarang keluar rumah yang
sampe seharian.”
4. Apakah Bapak/Ibumu meminimalisir atau bahkan
menghindari perdebatan verbal denganmu?
“Nggak, karena kan orang tua nggak ngelihat. Jadi kalo berdebat
atau ada masalah ya selalu dibicarakan, tapi aku orangnya emang
diem jadi ya kalo lagi dikasih tau yaudah didengerin aja.”
5. Apakah Bapak/Ibumu sering memukulmu?
“Dibilang sering sih ngga, paling kalo anak-anaknya ngelakuin
kesalahan yang emang udah fatal baru deh mukul. Kaya waktu itu
adik aku main ujan-ujanan terus bajunya kotor dan udah ganti baju
berapa kali, udah dibilangin berapa kali sama orang tua nggak
didengerin juga, akhirnya dipanggil tuh pake nada tinggi terus
dipegang baru dipukul pake tangan, itu juga kalo abis dipukul
orang tua pasti minta maaf terus diobatin, nggak ditinggal gitu aja.”
6. Apakah Bapak/Ibumu memaksakan aturan secara kaku
tanpa menjelaskan alasannya kepadamu?
“Nggak sih, kalo emang diatur kadang dikasih tau alesannya ini
itu. Kaya jangan pulang malem-malem karena kalo mau nyari
anaknya susah, udah gitu malem waktunya istirahat.”
7. Apakah Bapak/Ibumu menunjukkan amarah padamu
ketika sedang emosi?
“Iya, kalo lagi emosi ya nadanya lebih tinggi kaya ngebentak tapi
sambil nasehatin.”
Pola Asuh Otoritatif
1. Apakah Bapak/Ibumu mendorong kamu untuk mandiri
namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakanmu?
“Ya pasti itu, kadang kan sebagai anak diajarin mandiri kaya
awalnya nggak bisa makan sendiri, lama-lama disuruh makan
sendiri. Terus pas sekolah juga udah diajarin mandiri, disuruh jalan
kaki pergi ke sekolah sendirian, padahal itu hari pertama masuk
sekolah.”
2. Apakah Bapak/Ibumu memberikan kebebasan kamu
dalam berpendapat dan didengarkan?
“Iya kalo anaknya ngomong apa-apa pasti didengerin, mau
anaknya curhat atau ngasih tau apapun. Malah seneng kalo
anaknya mau ngomong tentang ini itu.”
3. Apakah Bapak/Ibumu memberikan kebebasan kepada
kamu tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan
dalam menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupmu?
“Iya dikasih kebebebasan kaya terserah kita maunya kemana
waktu mau sekolah SMK, kebetulan waktu itu SMK diterima di
dua tempat, disitu aku bingung, tapi balik lagi ke aku, aku mikir
kalo aku ngambil jurusan pertama nanti kedepannya bakal gimana.
Sampe akhirnya orang tua support pilihan aku.”
4. Apakah Bapak/Ibumu bersikap hangat dan penyayang
terhadapmu?
“Iya, orang tua aku dari kecil selalu ngejaga anaknya dengan baik,
itu kan berkat kasih sayang mereka. Mungkin emang cara
menyayangi orang tua beda-beda, nah disini aku disayangin lewat
kecerewetan orang tua yang selalu ngasih tau aku apa aja yang
baik-baik buat anaknya.”
5. Apakah Bapak/Ibumu merangkul dengan mesra dan
berkata seperti “kamu tahu kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana
kamu bisa menangani situasi tersebut lebih baik lain
kali”?
“Seinget ku engga kaya gitu percis sih, keseringannya kalo udah
dewasa ya dibilangin aja. Kaya misalnya aku ada masalah di
sekolah sama temen, ya langsung dikasih tau.”
6. Apakah Bapak/Ibumu menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif kamu?
“Iya kalo selagi dalam hal yang baik ya pasti didukung dan seneng
pastinya, kalo kurang baik ya pasti dikasih tau juga kenapa kurang
baik, dikasih tau alesannya gitu.”
7. Apakah Bapak/Ibumu melibatkan kamu dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga dan
memberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat?
“Kalau ini sih waktu aku masih sekolah aku nggak dilibatkan
tentang masalah keluarga, karena mereka tau kalo aku belum
mampu buat tau masalah itu, sampe beranjak SMK barulah dikasih
tau masalah ini itu, tapi tetep aja orang tua aku selalu tau apa yang
harus dilakukan.”
8. Apakah Bapak/Ibumu memberikan tuntutan yang
mengacu pada harapan dan aturan yang diterapkan
yang masuk akal dan jelas terhadap tingkah lakumu?
“Iya, misalnya aku nggak boleh nginep di rumah temen walaupun
itu temen deket. Karena alesannya ngapain nginep-nginep kaya
orang nggak punya rumah aja. Intinya sih aku nggak bisa keluar
rumah bebas kemana aja seharian gitu karena kan orang tua butuh
aku dan khawatir juga.”
9. Apakah Bapak/Ibumu menerapkan aturan secara jelas
dan konsisten tanpa paksaan terhadapmu ?
“Aturan yang jelas sih kayanya tentang waktu, aku dari dulu kalo
soal waktu diingetin terus buat inget waktu pulang jangan pulang
terlalu malam mau alasan apapun itu.”
Pola Asuh Memanjakan
1. Apakah Bapak/Ibumu sangat terlibat dan tidak terlalu
menuntut atau mengontrolmu?
“Nggak, orang tua ku selalu ngontrol aku kalo aku keluar rumah
entah pergi kerja kelompok atau ngapain. Udah kerja pun tetep
dikontrol kaya ditanya kerja selesai jam berapa, kalo mau main
mainnya kemana dan pulangnya harus inget waktu.”
2. Apakah Bapak/Ibumu membiarkanmu melakukan apa
yang kamu inginkan dan menuruti semua kemauanmu?
“Nggak, terkadang kan kemauan aku tuh pengen kaya yang lain
punya ini itu. Tapi balik lagi ke keadaan kalo orang tua yang nggak
punya itu. Jadi kalo mau apa-apa sering nahan-nahan nanti kalo
udah kerja baru deh.”
3. Apakah Bapak/Ibumu memberikan kebebasan secara
berlebihan yang tidak sesuai untuk perkembanganmu?
“Nggak, aku nggak bisa bebas bermain kaya anak-anak yang lain
kalo pergi jalan-jalan atau pergi sama temen. Tapi disamping itu
aku selalu ikut orang tua pergi kemana-kemana jadi aku bisa tau
nama daerah dan jalan.”
Pola Asuh Mengabaikan
1. Apakah Bapak/Ibumu tidak memberikan perhatian
terhadapmu?
“Nggak, orang tua pasti perhatiin anak-anaknya kaya nyediain
makan, terus kalo emang alat sekolah ada yang kurang diusahain
bisa. Justru malah sering diperhatiin kalo seharian nggak ada di
rumah, pergi kemana gitu.”
2. Apakah Bapak/Ibumu adalah orang tua yang sangat
tidak terlibat dalam kehidupanmu?
“Nggak, karena kan orang tua sangat membutuhkan anak-anaknya
sama juga gitu sebaliknya kan. Jadi pasti selalu terlibat dalam
kehidupan aku. Aku mau milih sekolah atau pekerjaan orang tua
pasti harus tau. Kaya biaya-biaya sekolah juga kan orang tua aku
juga tau.”
3) KEMANDIRIAN ANAK
A. TRANSKRIP KEMANDIRIAN SUBYEK (ORANG
TUA)
1. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh Bapak/Ibu,
bagaimana cara agar anak dapat menjadi pribadi yang
mandiri?
“Ya caranya agar anak mandiri otomatis kita contohkan, dari
perilaku dan tindakan kita sehari-hari. Jadi dalam menentukan
perilaku kita sehari-hari maupun dalam menentukan suatu
keputusan kita kasih pandangan bahwa ada kesulitan seperti
begini, kasih dia untuk memberikan pendapat walaupun
sebenarnya mungkin belum tiba saatnya untuk memberikan
pendapat, tapi kita kasih pengertian agar mengerti akan kebutuhan
yang diligkupan keluarga kita gitu. Contohnya jarin anak buat
pergi sekolah sendiri, dikasih tau dulu harus gimana. Terus ya
bantu-bantu orang tua harus bisa, itu biar anak juga mandiri nggak
apa-apa harus orang tua, kan gitu.”
2. Apakah keterbatasan dalam hal pengawasan menjadi
kendala Bapak/Ibu dalam perkembangan kemandirian
atau perkembangan keseluruhan anak?
“Ya kalau untuk pengawasan itu ya namanya kita melakukan
pengawasan dalam ada kekurangan sisi penglihatan ya otomatis
kita melakukan pengawasan dengan penganalisaan dan perasaan.
Nah jadi otomatis perilaku anak ini di depan kita bagaimana. Untuk
keluar itu ya kita selaku orang tua harus mengerti perbatasan-
perbatasan, harus bener-bener konsentarsi untuk menyikapi setiap
gerak-gerik anak. Tapi ya walaupun kita mengalami kesulitan tapi
kita tetep berusaha semaksimal mungkin, tapi hasilnya tetep juga
cukup lumayan di anak saya.”
3. Bagaimana sikap Bapak/Ibu apabila anak tidak dapat
mandiri?
“Wah kalo itu aku nggak bisa jawab, karena tidak mengalami. Saya
tanamkan kemandirian secara umumnya anak mengerti gitu loh.
Jadi kalo tidak mandiri ya saya itu tidak mengalami anak tidak bisa
mandiri. Kalo belom mandiri dijarin, didorong lagi untuk bisa,
nanti sih lama-lama juga bisa.”
4. Menurut Bapak/Ibu apakah anak sudah mandiri?
Mandiri dalam hal apa?
“Iya anak sudah mandiri. Mandirinya dalam hal keputusan untuk
kehidupan, masa depan, atau dalam kesehari-harian harus bersikap
bagaimana di lingkungan maupun di keluarga. W juga sudah kerja,
sudah punya keluarga sendiri juga.”
5. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu untuk tidak
bergantung kepada orang lain, terutama orang tua dan
orang-orang disekitarnya serta dapat bertanggung jawab
atas semua hal yang telah dilakukan anak?
“Anak mampu tidak bergantung pada orang lain karena ya sudah
terlaksana jadi ya memang mampu.”
6. Menurut Bapak/Ibu apakah anak sudah dapat bebas
untuk memilih, dan menjadi manusia yang dapat
memerintah, menguasai, mengendalikan serta
menentukan dirinya sendiri?
“Sudah mampu karena anak memang sudah mandiri menurut saya,
balik lagi dia sudah mampu kerja, mampu berumah tangga, mampu
bantu adik-adiknya juga.”
7. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu untuk
mengendalikan atau mengatur pikiran, perasaan dan
tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri
untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan ragunya?
“Iya anak sudah mampu, dia punya caranya sendiri.”
8. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu dalam
menentukan nasib, kreatif dan inisiatif, dapat mengatur
tingkah laku, bertanggung jawab, menahan diri,
membuat keputusan-keputusan sendiri, serta mampu
mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain?
“Iya anak sudah mampu, contohnya dalam memutuskan suatu
pilihan dalam pekerjaan, dia mampu dengan sesuai, terus dalam
sisi kemandirian dia sudah terlaksanakan, anak tidak
ketergantungan dia sudah mandiri kan gitu. Karena anak kan udah
kerja juga dan menikah. Anak udah tau harus berapa untuk
keperluan pribadi, dan harus berapa untuk membantu kebutuhan
adik-adiknya itu sudah bisa kontrol, otomatiskan sudah bisa
membedakan dan menyisihkan untuk kepentingan pribadi dan
keluarga, dia mengerti untuk bantu istilahnya gitu.”
9. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu untuk tidak
mudah terpengaruh oleh penilaian, pendapat dan
keyakinan orang lain?
“Ngga, nggak mudah. W mempunyai prinsip jadi tidak.”
10. Apakah Bapak/Ibu dalam pengasuhan banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional?
“Tidak, pasti selalu diberi pengertian, bilang jangan itu
berdasarkan tergantung bagaimana konteksnya. Misalnya dalam
bermain yang kurang perlu sedangkan di rumah ada kepentingan
yang lebih penting, nah itu kan jangan.”
11. Apakah Bapak/Ibu cenderung menjadi orang tua yang
sering membanding-bandingkan anak dengan saudara
kandungnya atau anak lainnya?
“Tidak, semua saya perlakukan sama aja.”
B. TRANSKRIP KEMANDIRIAN SUBYEK (ANAK)
1. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh Bapak/Ibu,
bagaimana cara agar kamu dapat menjadi pribadi yang
mandiri?
“Caranya aku dari kecil udah diajarin orang tua buat berani pergi
ke sekolah sendiri tanpa ditemenin orang tua. Terus juga dari kecil
udah disuruh bantu orang tua buat ngerjain kerjaan rumah. Aku
dulu dikasih uang jajan minim banget, sampe akhirnya aku punya
pikiran buat nggak jajan untuk ngumpulin uang biar bisa beli
sesuatu yang dipengen. Itu berlanjut sampe aku SMK, jadi kadang
aku suka nahan jajan ya buat nabung.”
2. Apakah keterbatasan dalam hal pengawasan menjadi
kendala Bapak/Ibu dalam perkembangan kemandirian
atau perkembanganmu?
“Nggak, justru karena keterbatasan itu aku orang tua ngelepas
anaknya supaya bisa mandiri seperti mereka. Kan sebelum aku
lahir orang tua kalo pergi kemana-mana sendiri. Jadi aku banyak
mencontoh orang tua kalo dari segi kemandirian. Kalo
perkembangan alhamdulillahnya aku dapet sekolah yang
lingkungannya mendukung dan memberikan semangat.”
3. Bagaimana sikap Bapak/Ibu apabila kamu tidak dapat
mandiri?
“Pastinya bingung, karena kan anak-anaknya kalo kedepannya
nggak mandiri jadi nggak bisa maju dong buat kerja atau cari uang
sendiri, dan pasti akan terus bergantung sama orang tua. Tapi kalo
emang terjadi biasanya mereka ngasih semangat dan terus ngajarin
anaknya supaya bisa mandiri. Biasanya orang tua nyontohinnya
kehidupan mereka saat muda atau kecil.”
4. Menurut kamu apakah kamu termasuk anak yang
mandiri? Mandiri dalam hal apa?
“Iya, sekarang aku ngerasa lebih mandiri dalam hal mengatur
keuangan dan mandiri soal mengatur masa depan. Semenjak kerja,
aku udah bisa nge-handle uang buat apa aja. Terus pergi kesana
kemari yang belum dijelajah kadang sendiri atau sama temen.
Intinya aku sudah tau apa yang baik buat aku dan nggak baik.”
5. Menurutmu apakah kamu mampu untuk tidak
bergantung kepada orang lain, terutama orang tua dan
orang-orang disekitarmu serta dapat bertanggung jawab
atas semua hal yang telah kamu lakukan?
“Iya, aku paling nggak mau nyusahin orang lain buat tau masalah
aku. Disitulah aku bisa berpikir apa yang bisa aku lakuin supaya
bisa selesai. Kaya sekarang aku udah punya keluarga kecil ya
sejauh ini aku bisa ngejalanin dengan baik. Intinya aku orangnya
nerima apa adanya dan nggak mau orang lain ikut terlibat kalo ada
apa-apa.”
6. Menurutmu apakah kamu sudah dapat bebas untuk
memilih, dan menjadi manusia yang dapat memerintah,
menguasai, mengendalikan serta menentukan dirimu
sendiri?
“Iya, aku udah mulai tau karakter dan sifat aku. Jadi aku tau
kemampuan aku, kekurangan aku, kejelekkan aku. Aku mau jadi
apa tergantung mindset aku. Kalo dibilang aku orang yang
gampang beradaptasi di lingkungan. Jadi aku gampang buat
diterima orang.”
7. Menurutmu apakah kamu mampu untuk mengendalikan
atau mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri
secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi
perasaan-perasaan malu dan ragumu?
“Iya, kalo pikiran aku lagi ribet dengan masalah adik atau orang
tua aku lebih suka menyendiri dan mikir sampe pikiran aku reda.
Ngatasin perasaan malu masih sedikit soalnya aku orangnya
sedikit kurang percaya diri kalo di depan banyak orang. Tapi
pernah aku ngelewatin masa itu waktu aku ikut lomba dan disuruh
presentasi di depan anak sekolah banyak. Disitu rasa malu sama
ragu udah nggak dipikirin, yang penting aku bisa presentasi dan
ngejelasin di depan orang banyak.”
8. Menurutmu apakah kamu mampu dalam menentukan
nasib, kreatif dan inisiatif, dapat mengatur tingkah laku,
bertanggung jawab, menahan diri, membuat keputusan-
keputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah
tanpa ada pengaruh dari orang lain?
“Kalau nasib mungkin mampu, karena kan ini tergantung dari aku
sendiri mau baik atau nggak. Kalau kreatif aku tergantung mood
kadang kreatif disaat aku lagi bosen dengan keseharian atau
ngeliat orang kok bisa ya dia bikin sesuatu, baru deh muncul ide.
Tingkah laku pun aku bisa kontrol kalo lagi sama orang yang lebih
dewasa,ya aku bersikap menghormati, kalo sama temen ya enjoy
aja. Kayanya kalo soal tanggung jawab aku udah tau tanggungan
aku dan aku harus gimananya. Kalo keputusan yang menyangkut
adik atau aku kedepannya aku masih minta pertimbangan orang tua
gimana baiknya, karena takut salah melangkah atau aku ngambil
keputusan yang cepat.”
9. Menurutmu apakah kamu mampu untuk tidak mudah
terpengaruh oleh penilaian, pendapat dan keyakinan
orang lain?
“Iya, karena kalo aku penilaian orang kan kadang nggak
sepenuhnya tau atau bener. Pernah orang lain bilang kalo aku tuh
nggak bisa kerja cepet, dan kerjanya ngobrol terus. Setelah denger
itu aku intropeksi, masa iya begitu, tapi kalo masalah kerja cepet
emang belum karena kan itu baru beberapa minggu masuk kerja,
jadi masih adaptasi. Pas udah berbulan-bulan kerja orang tadi
nggak berani ngomong lagi, sekarang malah minta bantuan kalo
kerja.”
10. Apakah Bapak/Ibumu dalam pengasuhan banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada kamu
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional?
“Nggak, kalo emang melarang pasti dikasih tau kenapanya. Kaya
dulu aku mau banget sekolah pesantren, tapi kata orang tua jangan,
soalnya kalo aku anak pertama sekolah di pesantren nanti adik-
adikmu siapa yang ngajarin dan ngawasin gitu. Udah gitu orang
tua juga kan butuh aku. Jadinya ya aku nggak jadi deh.”
11. Apakah Bapak/Ibumu cenderung membanding-
bandingkan kamu dengan saudara kandungmu atau
teman-teman mu yang lainnya?
“Nggak, orang tua ku nggak pernah bandingin anak-anaknya sama
siapa aja. Karena ya orang tua menerima semua keadaan anak-
anaknya. Soalnya anak-anak itu kan emang kemampuannya beda-
beda, dan nggak semua anak harus pinter yang penting rajin mau
belajar.”
C. TRANSKRIP ASPEK-ASPEK KEMANDIRIAN
SUBYEK (ORANG TUA)
1. Emosi : Apakah Anak mampu mengontrol emosi dan
secara emosi tidak bergantung kepada orang tua?
“Anak mampu mengontrol emosi, ya misalnya dia memiliki suatu
pendapat yang tidak disetujui, nah itu otomatis menyimpan suatu
kejengkelan atau beban. Atau ditentang, nah itu otomatis ya gitu
lah, dia tidak menentang.”
2. Ekonomi : Apakah Anak mampu mengatur ekonomi
dan tidak bergantung kebutuhan ekonomi pada orang
tua?
“Iya anak sudah mandiri ekonomi karena sudah berpenghasilan
sendiri, sudah tidak bergantung kepada saya. Dalam mengatur dan
menggunakan cukup lumayan baik. Contohnya ya seperti yang tadi
contohnya dia bisa memilahkan kebutuhan pribadi dan kebutuhan
untuk umum. Contohnya untuk yang nilai-nilai kebersahabatan
antar temen, terus nilai yang sodara dan orang tua, begitu.”
3. Intelektual : Apakah Anak mampu mengatasi berbagai
hambatan atau masalah yang dihadapi?
“Kalo untuk kemampuan berpikir termasuk lumayan, ya
contohnya dalam berprestasi dia termasuk unggualan gitu loh.
Dalam kehidupan sehari-hari ya sudah bisa sendiri. Kalo dalam
membantu pekerjaan di rumah ya misal dia tidak ada kegiatan
penting mengenai kesekolahan atau pendidikan ya sedikit banyak
bisa untuk kita sekaligus melatih untuk memberikan pengertian
untuk bisa membantu. Contohnya ya dalam bidang membantu
merawat adeknya, mengasuh atau dalam bidang kebutuhan
pekerjaan orang tua dia bisa membantu. Anak mampu
menyelesaikan tugas sekolah dulu.”
4. Sosial : Apakah Anak mampu untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau
menunggu aksi dari orang lain?
“Anak mampu, kalo untuk interaksi memulai pembicaraan emang
dia agak kurang sih emang. Dia lebih cenderung menerima
masukkan. Berani memulai ya mungkin ketika diperlukan bisa,
cuman dia arahnya cenderung lebih menerima pembukaan dari
orang lain. Misalnya dalam suatu komunikasi dalam pembicaraan
kan maksudnya. Ya anak bisa membantu, contohnya ya misalnya
ada temen yang memiliki kebutuhan keperluan yang harus dibantu
mengenai pekerjaan atau dalam pemikiran tertentu selagi dia
mampu dan ada waktu dia berniat untuk melaksanakan dan sudah
sering dilaksanakan.”
D. TRANSKRIP ASPEK-ASPEK KEMANDIRIAN
SUBYEK (ANAK)
1. Emosi : Apakah Kamu mampu mengontrol emosi dan
secara emosi tidak bergantung kepada orang tua?
“Iya, sejak memulai kerja aku bisa memutuskan kemana tujuan dan
keinginan aku. Kaya sekarang ya aku kerja disalah satu rumah sakit
dan yang tadinya mau kuliah tapi aku nggak mau lagi nyusahin
orang tua. Aku juga jarang emosian, kalaupun emosi bener-bener
aku cuma diam sejenak dan kadang kalo nggak kuat ya nangis,
terus ngeredain diri sendiri. Kalo ada masalah atau apapun selagi
aku bisa nyelesaiin sendiri aku nggak mau nyusahin keluarga atau
orang lain.”
2. Ekonomi : Apakah Kamu mampu mengatur ekonomi
dan tidak bergantung kebutuhan ekonomi pada orang
tua?
“Sekarang sih iya, karena kan aku udah kerja jadi aku mulai ngatur
keuangan sendiri. Sejauh ini sih nggak ada kendala, aku bisa
gunain keuangan dengan baik. Maksudnya aku juga bisa nabung
sampe punya kendaraan sendiri. Sekarang juga jadinya sudah
nggak bergantung, kan aku sudah bekerja dan bisa membiayai
hidup sendiri dan adik-adik. Aku sudah punya penghasilan sendiri,
hasil dari kerja di RS Hermina Depok.”
3. Intelektual : Apakah Kamu mampu mengatasi berbagai
hambatan atau masalah yang dihadapi?
“Iya sejauh ini bisa, kaya masalah kerjaan yang awalnya ngeluh
karena tuntutan kerja banyak tapi waktu terbatas. Tapi akhirnya
cari cara biar bisa tetep ngejalanin. Ngelakuin kebutuhan pastinya
bisa udah bisa, kalo soal makan atau mandi dan lain-lain udah
diajarin sejak TPA. Kalo soal kerjaan rumah juga udah sering
bantu orang tua di rumah kadang disuruh rapihin ini atau itu, bagi-
bagi tugaslah sama orang tua kalo soal kebersihan. Kalo pekerjaan
rumah dari kecil udah diajarin dan dibiasin jadi ya sekarang udah
nggak terlalu kaget buat ngerjain itu semua. Selama sekolah juga
aku belajar sendiri, kalo pun ada yang nggak ngerti aku terus cari
tau jawaban itu. Masalah lain di sekolah mungkin tentang materi
aja kadang ada materi yang emang nggak ada di buku, ya aku tanya
temen atau guru kalo emang materinya susah.”
4. Sosial : Apakah Kamu mampu untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau
menunggu aksi dari orang lain?
“Kalo emang belum kenal banget, kadang liat kondisi dulu kalo
emang memungkinkan diajak ngobrol ya aku tanya, tapi kalo
emang orangnya udah aku kenal ya aku ajak ngobrol. Keseringan
sih orang lain dulu yang mulai obrolan. Aku suka bantu kalo ada
yang perlu dibantu, kaya waktu sekolah ada temen aku yang
orangnya susah banget buat ngerti pelajaran. Dia sering banget
nanya ke aku kalo materinya nggak ngerti. Aku cari cara biar
temenku ini bisa ngerti sama pelajaran. Ngajarin temen ku yang ini
tuh harus ekstra sabar dan cari jalan pintas biar dia bisa ngerti
materinya.”
Lampiran 3
TRANSKRIP WAWANCARA KELUARGA II
1) IDENTITAS DIRI
A. Identitas Diri Suami
1. Nama S
2. Jenis Kelamin Laki-laki
3. Usia 41 tahun
4. Pekerjaan Jasa pijat
B. Identitas Diri Istri
1. Nama WBL
2. Jenis Kelamin Perempuan
3. Usia 41 tahun
4. Pekerjaan Ibu rumah tangga
C. Alamat Klinik Reza, Jl. H. Saumin No.21,
Cinere, Kecamatan Cinere, Kota
Depok, Jawa Barat 16514
D. Waktu Wawancara Tanggal 23/09/2019, pukul 15.20-
16.20 WIB
E. Tempat Wawancara Rumah tempat tinggal yang juga
sekaligus sebagai tempat menjual
jasa pijat
A. Identitas Diri Anak
1. Nama RE
2. Jenis Kelamin Laki-laki
3. Usia 17 tahun
4. Pekerjaan Pelajar
B. Alamat Klinik Reza, Jl. H. Saumin No.21,
Cinere, Kecamatan Cinere, Kota
Depok, Jawa Barat 16514
C. Waktu Wawancara Tanggal 21/09/2019, pukul 16.20-
16.55 WIB
D. Tempat Wawancara Rumah tempat tinggal yang juga
sekaligus sebagai tempat menjual
jasa pijat
2) POLA ASUH ORANG TUA
A. TRANSKRIP TIPE POLA ASUH ORANG TUA
SUBYEK (ORANG TUA)
Pola Asuh Otoriter
1. Apakah Bapak/Ibu membatasi anak untuk melakukan
sesuatu dan menghukum anak apabila anak melakukan
suatu kesalahan?
“Sering, dulu anak saya itu pernah melakukan kesalahan, ketika
waktu sedang bulan puasa dia minum, nggak bilang. Terus saya
hukum seminggu pakai sarung, nggak boleh nggak pake sarung
gitu, harus pake sarung kemana-mana, itu pernah. Ya sekarang-
sekarang karena udah gede susah ya buat dihukum, dia udah tau
mana yang baik dan enggak. Jadi udah nggak pernah tak hukum
lagi. Kalo dalam melakukan kesalahan pasti manusia melakukan,
tapi yang jelas dalam mendidik anak itu kan sebenarnya ada 3 fase
ya bagi saya. Pertama fase dari bayi sampe umur 7 tahun itu kan
mesti sebagai orang tua semampu mungkin kita memperlakukan
bahwa anak itu adalah laksana raja kan gitu, ketika masuk umur 7
tahun ke atas baru mulai lah penekanan, saya seperti itu ya. Jadi
segala geraknya pun juga harus kita arahkan, jajan segala macam
ataupun waktu itu ditekan, semenjak masuk ke 17 tahun inilah ya
karena dia sudah dewasa saya anggap sebagai layaknya sahabat
dan teman saya, jadi nggak pernah begini begitu nggak pernah.
Hanya paling tanya-tanya biasa ya, gitu doang sih, nggak ada yang
lebih.”
2. Apakah Bapak/Ibu mendesak anak untuk mengikuti
arahan dan menghormati pekerjaan dan upaya yang
dilakukan oleh Bapak/Ibu?
“Ya, sering kali saya mengarahkan, apalagi saya sebagai seorang
tunanetra saya menganggap diri saya ya adalah sesuatu yang
terbatas. Jadi saya sering mengatakan ke anak bahwa harus
menghargai sesuatu pekerjaan dan keuangan. Karena salah satu
hidup itu adalah uang. Dasar kehidupan itu adalah selain kerjaan
adalah uang, tanpa uang manusia tidak ada harganya, dalam
katagori hidup ya keduanya memang pekerjaan, apapun pekerjaan
itu harus dihargai karena pekerjaan itulah yang akan menghasilkan
uang, nah gitu.”
3. Apakah Bapak/Ibu menerapkan batas dan kendali yang
tegas pada anak?
“Ya, contohnya seperti merokok, pertama sebagai seorang anak
pelajar kan tidak boleh merokok dengan bebas, tidak boleh
merokok secara bebas dan ya rokok itu tidaklah haram bagi saya,
tapi nanti saja kalau anak sudah cukup umur atau ketika sudah
bekerja. Kedua misalkan ia bergadang, saya harus batasi, jika
waktu belajar anak itu jam 9 harus masuk kedalam rumah jika pergi
keluar. Kalo misalkan malam sabtu atau malam minggu boleh
pergi main tapi ya nggak boleh juga sampe terlalu larut malam,
kaya gitu-gitu lah.”
4. Apakah Bapak/Ibu meminimalisir atau bahkan
menghindari perdebatan verbal dengan anak?
“Iya, karena perdebatan itu bagi saya nggak menghasilkan apa-apa,
tapi malah menghasilkan emosi ya, jadi nggak lagi perdebatan
dengan anak, tapi hanya pendapat saja yang bisa diambil.
Komunikasi sering dilakukan karena saya orangnya banyak
omong, saya nggak bisa diam, ngomong mulu.”
5. Apakah Bapak/Ibu sering memukul anak?
“Pernah ya, tapi sekali tuh, tapi kalo ke anak yang kecil itu malah
sering, saya pukul pake handuk gitu kalo terus-terusan nangis.
Kalo yang besar pernah juga sekali karena pas disuruh tau-tau
pergi tapi sesuatu yang diperintahkan orang tua nggak dilakuin
dulu, nggak dikerjakan dulu, nah itu waktu itu.”
6. Apakah Bapak/Ibu memaksakan aturan secara kaku
tanpa menjelaskan alasannya kepada anak?
“Saya selalu menjelaskan dulu sebelum saya menegaskan, itu saya
jelaskan dulu aturan bahwa seperti misalkan “hei kamu itu kan
manusia, kamu punya aturan di rumah dimanapun kamu berada itu
selalu ada aturannya, sesuai dimana kamu berada. Saya gitukan,
cuman kalo kadang dia diabaikan kadang saya keras, kaya gitu.”
7. Apakah Bapak/Ibu menunjukkan amarah pada anak
ketika sedang emosi?
“Pernah, hanya sekarang-sekarang ini saya sering menahan ya,
karena mungkin saya berpikir emosi itu nggak meyelesaikan
masalah ya. Kalo memang anak sudah kelewatan ya sedikit aja
emosi, tapi udah enggak sih sekarang.”
Pola Asuh Otoritatif
1. Apakah Bapak/Ibu mendorong anak untuk mandiri
namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakan anak?
“Memang saya mengajarkan untuk mandiri itu kan dari kecil
sebenernya. Dari ketika dia umur 4 tahun, tapi memang keinginan
itu enggak sesuai dengan apa yang kita mau ya, ya kadang
melenceng gitu, saya itu sering mengajarkan kemandirian udah
dari kecil, dari 4 tahun itu saya mengajarkan. Contohnya dalam
suatu hal misalkan memakai baju, mengambil baju, bersih-bersih,
karena kan orang tuanya nggak melihat, jadi anak harus bisa
misalkan pake baju itu harus pake warna baju nya ini dan itu,
segala macem. Pake baju itu anak harus perhatikan sendiri karena
orang tuanya kan nggak melihat, anak diajarin harus tau, kaya
gitu.”
2. Apakah Bapak/Ibu memberikan kebebasan anak dalam
berpendapat dan didengarkan?
“Selama ini saya enggak pernah ngasih kebebasan, belum, saya
selama ini belum ngasih kebebasan, bahkan kebebasan itu memang
tidak ada bagi saya. Karena hidup itu tidak ada kebebasan, karena
sejak lahir itu kan memang udah ada aturan kan bahwa manusia itu
misalkan dari lahir dia harus makan, harus nyusu, harus
dimandikan, jadi segala sesuatu bagi saya nggak pernah
membebaskan sesuatu, saya nggak pernah. Dalam pengambilan
keputusan selama ini nggak pernah kasih kebebasan, contoh nih ya
anak masuk ke pemasaran nih ya itu karena kemauan saya, dan
anaknya mau-mau aja.”
3. Apakah Bapak/Ibu memberikan kebebasan kepada
anak tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan
anak dalam menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupnya?
“Sama kaya jawaban sebelumnya kurang lebih gitu, anak nggak
dikasih kebebasan tapi dikekang banget juga enggak.”
4. Apakah Bapak/Ibu bersikap hangat dan penyayang
terhadap anak?
“Wah saya itu sangat penyayang orangnya, romantis sekali.
Bahkan terhadap siapapun, kalo sifat romantis memang dari kecil.
Penyayang sifat saya.”
5. Apakah Bapak/Ibu merangkul anak dengan mesra dan
berkata seperti “kamu tahu kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana
kamu bisa menangani situasi tersebut lebih baik lain
kali”?
“Iya kurang lebih begitu saya, contoh merangkul anak ya seperti
bilangin misalkan contohnya nih yang saya buat contoh saya
sendiri ya, karena memang saya dan istri saya orang yang nggak
melihat, jadi saya sering bilangin dengan kasih sayang saya itu
“kamu sebagai anaknya orang nggak berada kamu nggak boleh
merasa rendah diri atau berkecil hati karena orang tua nggak
melihat, tapi kamu harus penuh semangat, jadikan orang tuamu ini
semangat kamu dalam hidup kamu. Makannya segala sifat dan
tindakan kamu itu harus berpikir dulu, tidak boleh semaumu
sendiri, harus tetep kembali pada aturan, kaya gitu.”
6. Apakah Bapak/Ibu menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif anak?
“Tidak ya, saya selama ini perilaku sering saya perhatikan, saya
perhatikan kalo perilaku yang kalo sekiranya perilaku itu menurut
saya nggak bagus diajaran agama itu juga nggak bagus saya
langsung tegas bilang nggak boleh seperti itu dengan
penjelasannya. Saya perhatiin dulu anak itu, kalo perilaku yang
baik ya seneng didukung terus.”
7. Apakah Bapak/Ibu melibatkan anak dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga dan
memberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat?
“Ya pernah, saya kalo anak namanya udah gede kan kita juga
nggak boleh tidak dilibatkan, jadi saya sering nanya kaya
sebenernya mau mu apa? supaya kita enak dalam keluarga itu agar
tidak ada pertengkaran, tidak ada berselisih pendapat, katakan aja
kalo memang kamu maunya seperti ini bagaimana, supaya
keluarga ini yang jelas bisa damai tidak ada perbedaan pendapat
dengan sifat-sifat kamu, begitu.”
8. Apakah Bapak/Ibu memberikan tuntutan yang
mengacu pada harapan dan aturan yang diterapkan
yang masuk akal dan jelas terhadap tingkah laku anak?
“Ya seperti yang saya ungkap diawal ya iya diberi penjelasan yang
masuk akal. Jawabannya sama ya gitu-gitu daong mbak.”
9. Apakah Bapak/Ibu menerapkan aturan secara jelas dan
konsisten tanpa paksaan terhadap anak?
“Iya, seperti contohnya saya itu mengajarkan disiplin, karena
dalam hidup itu waktu adalah menjadi ukuran, bahkan saat saya
tidur pun juga saya pegang jam dan selalu bawa hp kan, karena
ketika dimana saya bangun atau saya terbangun itu saya selalu
menekan tombol jam ya, supaya tau waktu, ya saya mengajarkan
ke anak seperti itu. Jadi cuman hasilnya nggak sebaik sesuai
dengan yang aku inginkan gitu loh.”
Pola Asuh Memanjakan
1. Apakah Bapak/Ibu sangat terlibat dengan anak dan
tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka?
“Saya terlibat dan bahkan mengontrol, selalu mengontrol. Dan
saya juga menuntut karena alesan saya sebagai orang tua kembali
lagi ke keterbatasan saya ya, bahwa saya adalah orang yang punya
batasan jadi artinya keterbatasan saya tidak melihat ini jadi saya
harus menuntut anak seperti “kamu harus lebih baik” karena segala
sesuatu itu kamu yang ambil contoh dan bukan dari orang lain tapi
dari keluarga kamu, kenapa orang tua kamu menjadi lemah seperti
ini karena mungkin kurang ilmu atau kebodohan yang membatasi
orang tua kamu sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang kamu
inginkan, kaya gitu, jadi saya selalu menuntut kamu harus begini,
kamu harus begitu, supaya anak bisa sukses nantinya di kemudian
hari.”
2. Apakah Bapak/Ibu membiarkan anak melakukan apa
yang ia inginkan dan menuruti semua kemauan anak?
“Membiarkan itu nggak pernah saya, bahkan saya selalu
mengontrol, bahkan misal dia nonton film nih ditanya “kamu
nonton kemana? Misalkan anak bilang ke Mall Cinere, terus tanya
lagi, apa film yang ditonton? Tiba-tiba kebuka rahasia ternyata dia
nontonnya disono di Mall Cilandak sono, saya omelin itu anak,
saya marahin. Jadi saya nggak pernah membiarkan, harus tetep ada
aturannya, anak harus sungguh-sungguh kalo pergi ke Cinere ya
harus ke Cinere Mall, gitu kalo saya. Kalo menururti semua
kemauan anak tidak pernah, harus punya batas dan ukuran.
Pertama misalkan dia minta sesuatu yang tidak aku mampu beli ya
harus anak inget uangnya cukup nggak, gitu misalkan seperti itu.”
3. Apakah Bapak/Ibu memberikan kebebasan secara
berlebihan yang tidak sesuai untuk perkembangan
anak?
“Kurang lebih kan sama kaya tadi saya bilang kan, kalo selama ini
saya enggak pernah ngasih kebebasan, belum, karena hidup itu
tidak ada kebebasan karena sejak lahir itu kan memang udah ada
aturan kan. Cuma ya kalo anak mau melakukan sesuatu yang
positif ya dikasih kebebasan maksudnya diperbolehkan kan gitu.”
Pola Asuh Mengabaikan
1. Apakah Bapak/Ibu tidak memberikan perhatian
terhadap anak?
“Wah saya sangat memberikan perhatian ya ke anak, bahkan dulu
waktu saya kerja saya bawa anak, saya bawa pijet muter-muter ke
Bintaro, kemana-mana saya bawa, bahkan sampe dia tidur di mobil
dan saya pangku aja gitu, anak saya bawa-bawa dulu saking
perhatiannya. Kan saya pijet bisa dipanggil juga, pijet udah sampe
ke daerah Kelapa Gading, ke Serpong, kemana-mana saya ini
bahkan sampe ke Sukabumi, sampe Makassar juga malah, ke
Makassar kemaren itu sekitar tahun 2010-2014, itu saya sering ke
Makassar tuh karena ada pelanggan saya yang pejabat dulu disono,
jadi sering dipanggil pijet kesono.”
2. Apakah Bapak/Ibu orang tua yang sangat tidak terlibat
dalam kehidupan anak?
“Tidak ya, saya selalu terlibat dengan anak, meskipun nggak
sepenuhnya, anak ada juga punya prinsip sendiri kan, dan punya
kebutuhan, tidak semua harus dicampuri kan, kaya gitu.”
E. TRANSKRIP TIPE POLA ASUH ORANG TUA
SUBYEK (ANAK)
Pola Asuh Otoriter
1. Apakah Bapak/Ibumu membatasi kamu untuk
melakukan sesuatu dan menghukum apabila kamu
melakukan suatu kesalahan?
“Iya, ya pasti itu. Kaya ngelarang apa ya, ngelarang buat jarang
keluar gitu. Buat jarang-jarang main, jangan keseringan gitu-gitu.
Cuma kalo udah kelewatan pasti diomelin. Tapi diomelin doang si
paling”
2. Apakah Bapak/Ibumu mendesak kamu untuk
mengikuti arahan dan menghormati pekerjaan dan
upaya yang dilakukan oleh Bapak/Ibumu?
“Iya, menghormati aja sih namanya anak sama orang tua, selagi
halal aja kan juga emangnya kenapa gitu.”
3. Apakah Bapak/Ibumu menerapkan batas dan kendali
yang tegas pada kamu?
“Iya juga pasti. Ya kaya disuruh buat jangan pergi keluar terus,
sering-sering belajar, solat jangan sampe ditinggal. Gitu sih.”
4. Apakah Bapak/Ibumu meminimalisir atau bahkan
menghindari perdebatan verbal denganmu?
“Enggak sih, kalo ada apa-apa bilangin. Kalo salah pasti
ngomong.”
5. Apakah Bapak/Ibumu sering memukulmu?
“Enggak sih nggak sering pukul. Tapi pernah karena apa ya pas
bandel gitukan bulan puasa minum soalnya nggak kuat”
6. Apakah Bapak/Ibumu memaksakan aturan secara kaku
tanpa menjelaskan alasannya kepadamu?
“Enggak juga dah, pasti dikasih penjelasan. Contohnya kaya lagi
apaya, ya kalo lagi salah, terus dijelasin juga kesalahannya apa
negatif nya apa.”
7. Apakah Bapak/Ibumu menunjukkan amarah padamu
ketika sedang emosi?
“Kadang iya, kadang juga enggak hahaha. Kalo keluar malem si
bapak biasanya marah.”
Pola Asuh Otoritatif
1. Apakah Bapak/Ibumu mendorong kamu untuk mandiri
namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakanmu?
“Iya, kaya belajar beres-beres rumah itu dijarain buat bantu orang
tua. Dan ya bisa bantuin”
2. Apakah Bapak/Ibumu memberikan kebebasan kamu
dalam berpendapat dan didengarkan?
“Iya. Kalo berpendapat dan buat didengerin boleh asal ya jangan
kasar-kasar aja ngomongnya.”
3. Apakah Bapak/Ibumu memberikan kebebasan kepada
kamu tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan
dalam menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupmu?
“Iya memberikan, pasti juga ngarahin. Contohnya ya kaya sekolah
kan disuruhnya ambil pemasaran tapi ditanya lagi mau atau enggak
gitu. Ya mau-mau aja.”
4. Apakah Bapak/Ibumu bersikap hangat dan penyayang
terhadapmu?
“Iya penyayang. Contohnya ya gitu dah kalo bisanya belom makan
pasti disuruh makan, diperhatiin.”
5. Apakah Bapak/Ibumu merangkul dengan mesra dan
berkata seperti “kamu tahu kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana
kamu bisa menangani situasi tersebut lebih baik lain
kali”?
“Iya kurang lebih sama kaya gitu dah, pokonya namanya orang
tua ya sayang, anaknya diperhatiin juga.”
6. Apakah Bapak/Ibumu menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif kamu?
“Iya nunjukkin. Biasanya dibaik-baikin terus dikasih duit buat
jajan hahaha.”
7. Apakah Bapak/Ibumu melibatkan kamu dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga dan
memberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat?
“Belom pernah sih. Cuma ikutin aja orang tua kaya gimana selama
ini mah.”
8. Apakah Bapak/Ibumu memberikan tuntutan yang
mengacu pada harapan dan aturan yang diterapkan
yang masuk akal dan jelas terhadap tingkah lakumu?
“Iya memberikan. Contohnya kaya apa ya bingung, kaya dijelasin
biasa, dibilangin positif negatifnya juga gitu. Kalo tuntutan paling
belajar yang bener aja sama sholat sih nggak boleh ditinggal.”
9. Apakah Bapak/Ibumu menerapkan aturan secara jelas
dan konsisten tanpa paksaan terhadapmu?
“Iya begitu ada aturan dijelasin juga. Kaya saya paling nggak boleh
pulang malem-malem, apalagi perginya juga nggak bilang-bilang.
Orang tua khawatir aja, harus bilang katanya biar nggak bingung
juga kalo misalnya nggak pulang-pulang. Nanti di telephone juga
kalo kelamaan.”
Pola Asuh Memanjakan
1. Apakah Bapak/Ibumu sangat terlibat dan tidak terlalu
menuntut atau mengontrolmu?
“Apa ya melibatkan juga, mengontol juga mengontrol sih. Tapi
nggak menuntut harus apa kecuali ya kewajiban kaya sekolah
harus sekolah gitu-gitu doang.”
2. Apakah Bapak/Ibumu membiarkanmu melakukan apa
yang kamu inginkan dan menuruti semua kemauanmu?
“Nggak juga. Kalo positif pasti didukung, tapi kalo negatif enggak.
Contohnya paling positifnya kaya ikut acara-acara di luar gitu sih.
Boleh keluar asal diliat itu negatif apa enggak, kalo positif ya boleh
kaya ikut panitia 17-an. Menuruti semua enggak juga, harus diliat
penting apa enggak atau butuh apa enggak gitu.”
3. Apakah Bapak/Ibumu memberikan kebebasan secara
berlebihan yang tidak sesuai untuk perkembanganmu?
“Enggak. Biasa aja kalo positif ya kan nggak dimarahin, kalo
negatif baru nggak boleh.”
Pola Asuh Mengabaikan
1. Apakah Bapak/Ibumu tidak memberikan perhatian
terhadapmu?
“Iya memberikan. Contohnya kaya makan. Kalo belom makan
pasti disuruh makan. Saya kan susah kalo urusan makan,
makannya jadi emang masih harus disuruh dulu. Susah karena
meles aja gitu.”
2. Apakah Bapak/Ibumu adalah orang tua yang sangat
tidak terlibat dalam kehidupanmu?
“Terlibat. Namanya juga orang tua kan ngurusin ini itu anaknya,
itu terlibat kan artinya mbak.”
3) KEMANDIRIAN ANAK
A. TRANSKRIP KEMANDIRIAN SUBYEK (ORANG
TUA)
1. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh Bapak/Ibu,
bagaimana cara agar anak dapat menjadi pribadi yang
mandiri?
“Ya itu saya selalu mengajarkan anak itu kalo hidup tidak selalu
dengan orang tua, ketika sekarang orang tuamu ada, tapi besok
orang tua pasti kemana, bisa mati kan kaya gitu. Jadi makannya
dari sekarang kamu harus belajar mandiri untuk hidup. Bukan
untuk melupakan orang tua, tapi untuk menggapai masa depan
kamu sendiri, karena suatu ketika kamu akan berpisah dengan
orang tua, entah itu mati, atau entah itu kamu akan kerja jauh dari
orang tua, kaya gitu.”
2. Apakah keterbatasan dalam hal pengawasan menjadi
kendala Bapak/Ibu dalam perkembangan kemandirian
atau perkembangan keseluruhan anak?
“Keterbatasan memang iya, kerena dia udah gede ya kadang dia
main kemana saya nggak bisa ngawasin, kalo dulu waktu masih
kecil bisa, pernah ketika dia pergi itu saya cari tuh pake ojek
malem-malem, saya kelilingin itu setiap warnet, saya samperin itu,
ternyata tidak ada, eh taunya dia tidur di musholla. Ya gitu pernah,
tapi sekarang agak kendala ya memang ketika dia kemana saya
nggak bisa mencari.”
3. Bagaimana sikap Bapak/Ibu apabila anak tidak dapat
mandiri?
“Ya saya memang aktif ya untuk selalu bicara, saya nggak pernah
diem, selalu ngomong terus, anak harus begini, anak nggak boleh
seperti ini, ini salah, saya bilang kamu akan lemah dan kamu akan
ditinggal sama yang lain kalo kamu seperti ini. Jadi kamu harus
punya sikap yang bisa membawa hidupmu sendiri. Saya selalu
ngomong, dikasih tau anak itu.”
4. Menurut Bapak/Ibu apakah anak sudah mandiri?
Mandiri dalam hal apa?
“Misalkan mandiri itu ya dia udah bisa mandiri ya, contohnya pas
terpaksa orang tua nggak bisa masak, dia bisa masak. Masaknya
bikin nasi goreng, goreng telur sendiri gitu dia bisa. Itu sudah
cukup saya anggep bisa mandiri.”
5. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu untuk tidak
bergantung kepada orang lain, terutama orang tua dan
orang-orang disekitarnya serta dapat bertanggung jawab
atas semua hal yang telah dilakukan anak?
“Sementara belom, belom mampu dia terkadang tidak bergantung
terhadap orang tua, dia belom bisa sementara sekarang ini. Ya
contohnya kembali ke awal ya, menghukum dia, dia pernah
terkadang pulang subuh itu, saya hukum nggak boleh masuk ke
rumah. Sampe 2 atau 3 hari itu perginya. Terus dia pulangnya sakit
karena dia nggak makan, jadinya sakit. Dia nggak makan, dia
nggak minum juga katanya. Begitu.”
6. Menurut Bapak/Ibu apakah anak sudah dapat bebas
untuk memilih, dan menjadi manusia yang dapat
memerintah, menguasai, mengendalikan serta
menentukan dirinya sendiri?
“Memilih iya saya mempersilahkan, tapi dengan catatan sesuai
dengan artinya pengawasan saya dan pendapat saya, kalo memang
pilihannya itu saya anggap nggak tepat tetep saya nggak
membebaskan. Gitu, nggak mengijinkan.”
7. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu untuk
mengendalikan atau mengatur pikiran, perasaan dan
tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri
untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan ragunya?
“Iya mampu, udah mampu. Dia mampu anak saya itu. Mengatur,
mengendalikan emosi, itu mampu. Contohnya ketika saya marah
itu dia nggak pernah menunjukkan emosi, itu nggak pernah. Dia
selalu bisa menahan itu, bisa.”
8. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu dalam
menentukan nasib, kreatif dan inisiatif, dapat mengatur
tingkah laku, bertanggung jawab, menahan diri,
membuat keputusan-keputusan sendiri, serta mampu
mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain?
“Sebetulnya kalo keputusan seperti itu saya belum meneliti ya,
maksudnya belum menilai. Belum sampe situ saya, jadi anak
masih dengan keputusan saya.”
9. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu untuk tidak
mudah terpengaruh oleh penilaian, pendapat dan
keyakinan orang lain?
“Belom, belom mampu dia. Belum mampu ya karena lingkungan
itu sangat berat ya, keras tantangannya. Sekuat apapun orang tua
menanamkan saat di rumah, tapi ketika dia di luar kaya contoh nih
misalkan sholat. Saya bilang kamu sebagai orang beragama islam,
kamu harus tanggung jawab pertama apa? kan solat, ketika
waktunya masuk sholat kamu harus sholat. Nah tapi kadang
temennya semua orang nggak ada yang sholat, dia kadang jadi
nggak solat juga. Kaya gitu.”
10. Apakah Bapak/Ibu dalam pengasuhan banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional?
“Saya mengatakan jangan tapi sebelumnya saya selalu
menjelaskan dulu, bahkan saya tidak selalu emosi, karena emosi
saya itu kadang disaat penjelsan-penjelasan yang saya sering
berikan tapi dia tidak pake ya. Jadi ya itulah saya selalu
memberikan alasan sebelumnya, sebelum saya bilang jangan itu
saya selalu menberikan resiko seperti apa nantinya, misalkan kamu
bergadang, kamu dapet dampaknya apa ketika kamu keterbiasaan.
Misalkan nih ya misalkan anak kerja, jangankan bekerja, kadang
makan aja nggak terpikirkan kan, karena ngantuk saat siang. Kalo
malem bergadang pasti siangnya ngantuk. Ya seperti itulah,
makannya saya bilang jangan bergadang, itu resikonya, itu contoh
ya hanya sebatas contoh.”
11. Apakah Bapak/Ibu cenderung menjadi orang tua yang
sering membanding-bandingkan anak dengan saudara
kandungnya atau anak lainnya?
“Kalo sama sodara kandung saya tidak pernah, tapi kalo sama
orang lain kadang pernah, tapi saya ambil contoh yang baik,
misalkan anak si itu rajin, anak itu dia pinter, terus misalkan
berangkat sekolah dia mau bawa bekal. Ya itulah cuma gitu-gitu
doang membandingkannya.”
B. TRANSKRIP KEMANDIRIAN SUBYEK (ANAK)
1. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh Bapak/Ibu,
bagaimana cara agar kamu dapat menjadi pribadi yang
mandiri?
“Caranya belajar aja sih yang penting, terus coba belajar ngertiin
keadaan orang tua, kalo disuruh bantuin orang tua ya kerjain aja.”
2. Apakah keterbatasan dalam hal pengawasan menjadi
kendala Bapak/Ibu dalam perkembangan kemandirian
atau perkembanganmu?
“Enggak sih sama aja kaya orang tua yang lain, ya kalo nggak liat
pun tapi kan juga orang tua bisa ngajarin ini itu.”
3. Bagaimana sikap Bapak/Ibu apabila kamu tidak dapat
mandiri?
“Kalo nggak bisa mandiri paling dibilangin sih. Terus dijarin lagi
palingan.”
4. Menurut kamu apakah kamu termasuk anak yang
mandiri? Mandiri dalam hal apa?
“Kalo mandiri nggak juga sih ya, cuci baju aja masih dicuciin.
Makan juga kadang masih harus disuruh-suruh dulu baru makan.”
5. Menurutmu apakah kamu mampu untuk tidak
bergantung kepada orang lain, terutama orang tua dan
orang-orang disekitarmu serta dapat bertanggung jawab
atas semua hal yang telah kamu lakukan?
“Kalo sama orang tua iya masih bergantung ya, kan masih ada
yang merhatiin juga, masih sekolah juga. Tapi kalo sama orang
lain mah enggak sih.”
6. Menurutmu apakah kamu sudah dapat bebas untuk
memilih, dan menjadi manusia yang dapat memerintah,
menguasai, mengendalikan serta menentukan dirimu
sendiri?
“Belom sih belom mampu. Masih 17 juga belom ngerti semua juga
baik apa bener gitu, masih tanya-tanya ke orang tua.”
7. Menurutmu apakah kamu mampu untuk mengendalikan
atau mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri
secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi
perasaan-perasaan malu dan ragumu?
“Belom mampu, karena ya belom bisa aja gitu nggak tau kenapa.
Masih kecil juga mungkin kali.”
8. Menurutmu apakah kamu mampu dalam menentukan
nasib, kreatif dan inisiatif, dapat mengatur tingkah laku,
bertanggung jawab, menahan diri, membuat keputusan-
keputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah
tanpa ada pengaruh dari orang lain?
“Tingkah laku insyaAllah udah bisa diatur dikir-dikit, kaya baik-
baik aja nggak nakal. Kalo menahan diri bisa kadang-kadang, yang
lainnya belom mampu karena belom bisa.”
9. Menurutmu apakah kamu mampu untuk tidak mudah
terpengaruh oleh penilaian, pendapat dan keyakinan
orang lain?
“Iya mampu kan punya pendirian juga, orang tua bilangin yang
baik juga, jadi kalo ada yang negatif ya nggak diikutin gitu.”
10. Apakah Bapak/Ibumu dalam pengasuhan banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada kamu
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional?
“Kalo melarang pasti ada penjelasan. Kaya kalo mau dateng ke
tempat acara yang nggak jelas-jelas gitu, ngikut-ngikut temen yang
nggak jelas itu dilarang. Terus juga kaya pergi sama temen yang
jauh-jauh tapi nggak bilang dulu. Nanti diomelin terus dijelasin
kalo itu nggak bagus, begitu sih.”
11. Apakah Bapak/Ibumu cenderung membanding-
bandingkan kamu dengan saudara kandungmu atau
teman-teman mu yang lainnya?
“Kadang iya. Kaya bandingin nakalnya gitu sih, banding-
bandingin yang baik, positif nya temen palingan. Tapi saya nggak
nakal banget, kaya baisa aja sih sebenernya mah.”
C. TRANSKRIP ASPEK-ASPEK KEMANDIRIAN
SUBYEK (ORANG TUA)
1. Emosi: Apakah Anak mampu mengontrol emosi dan
secara emosi tidak bergantung kepada orang tua?
“Kadang masih susah kayanya ya, emosi anak itu ketika dia
bangun tidur dikasih makan, terus minumnya terlambat dibawain
sedikit, dia bisa emosi. Tapi dia nggak sampe marah, enggak. Yang
besar ini emang kalo makan masih dilayanin kalo mau pergi ke
sekolah, soalnya kalo nggak dilayani ya nggak pernah makan
mbak. Makan paling sekali itu kalo siang, tapi kalo siang dia ambil
sendiri, gitu.”
2. Ekonomi: Apakah Anak mampu mengatur ekonomi dan
tidak bergantung kebutuhan ekonomi pada orang tua?
“Ya belum ya, kalo mandiri otomatis dia udah bisa mengatur
keuangannya sendiri dengan baik. Misalkan ketika saya panggilan
pijet terus dia saya ajak, dari pada pake gojek atau pake orang lain
saya minta anter dia dengan kasih uang ke anak sendiri gitu kan.
Nah itu dia memang cenderung lebih boros. Belum bisa mengatur
keuangan, jadi dikatakan mandiri secara ekonomi belom dia itu.”
3. Intelektual: Apakah Anak mampu mengatasi berbagai
hambatan atau masalah yang dihadapi?
“Kalo kaya kemampuan berpikir anak termasuk belom bagus ya,
kategori belom, belom termasuk. Karena kadang dia nggak bisa
mementingkan sesuatu yang lebih baik atau yang tidak baik itu dia
belom bisa mengambil pilihan. Contohnya kan kalo ada yang lebih
penting kaya misalkan pelajaran sama main. Dia belom bisa
memilih. Ya kalo mandi dia bisa sendiri, tapi kalo pakaian saya
yang nyuci, saya yang lipetin, gitu. Kalo belajar ya anak belajar
sendiri ya, karena saya nggak bisa melihat kan, kalo saya yang
ajarin nanti malah salah hahaha.”
4. Sosial: Apakah Anak mampu untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau
menunggu aksi dari orang lain?
“Sosial dia bagus, bahkan terhadap masyarakat lingkungan gitu ya
dia kemaren jadi panitia 17-an gitu, dia belain siang malem nggak
tidur. Dia mau modal uang atau mau modal tenaga, segalanya dia
mau. Dia pinter bergaulnya. Kalau temennya ada kesulitan wah dia
paling cepet tuh, sering saya omelin tuh kalo dengan orang tua dan
keluarga nggak memperhatikan, malah orang lain dia perhatikan,
wahhhh kalo dia temennya lagi kesulitan misalkan motor
temennya itu mogok dimana gitu kan misal di Tanggerang ya, ya
disamperin sama dia.”
E. TRANSKRIP ASPEK-ASPEK KEMANDIRIAN
SUBYEK (ANAK)
1. Emosi: Apakah Kamu mampu mengontrol emosi dan
secara emosi tidak bergantung kepada orang tua?
“Ambil keputusan belom bisa sih, kaya masih egois. Nah itu
ngontrol emosi belom bisa juga soalnya masih suka emosian,
belom bisa ngatur aja kaya susah aja gitu. Nyelesain masalah
sendiri belom mampu kalo nyelesain masalah sendiri, tapi nggak
buat masalah juga sih, baik-baik aja juga.”
2. Ekonomi: Apakah Kamu mampu mengatur ekonomi
dan tidak bergantung kebutuhan ekonomi pada orang
tua?
“Belom mampu. Masih boros iya, cuma ya bisa buat nggak minta
duit terus juga sih. Kalo sekolah kan dikasih uang jajan tapi ya abis
terus. Tapi kalo udah dikasih terus abis ya nggak minta lagi
udahannya. Belum bisa ngatur dan gunain duit dengan baik sih,
sama kaya jawaban yang tadi itu karena masih suka boros, tapi
nggak minta terus-terusan juga. Kalo bergantung ekonomi iya
masih, karena kan masih sekolah, terus juga belom kerja jadi ya
masih minta sama orang tua, belom punya penghasilan sendiri.”
3. Intelektual: Apakah Kamu mampu mengatasi berbagai
hambatan atau masalah yang dihadapi?
“Ngatasin hambatan belom mampu, tapi sedikit-sedikit bisa
selesain kaya tugas sekolah ya bisa. Kalo nggak bisa tanya ke
temen atau orang tua aja sih. Tapi keseringan kalo tugas tanyanya
ke temen. Kalo urus diri sehari-hari ya kalo mandi mampu lah
sendiri, kalo makan juga mampu, tapi kadang makan suka males
kan kalo pagi itu disuruh sarapan, terus biasanya ya disendokin gitu
biar mau makan. Terus juga kalo rapihin baju mah bapak yang
rapihin, tapi kalo nyapu atau ngepel iya saya bisa. Belajar juga bisa
sendiri tapi ya harus sering diingetin kalo waktunya belajar.
Kerjain pekerjaan rumah mampu kaya tadi itu nyampu sama
ngepel bisa, kan diajarin juga. Selesain masalah sekolah iya
mampu, kalo ada PR dari sekolah ya bisa ngerjain. Tapi kalo
nggak bisa atau susah gitu ya tinggal tanya aja ke temen, atau
ngerjain bareng-bareng nanti di sekolah.”
4. Sosial: Apakah Kamu mampu untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau
menunggu aksi dari orang lain?
“Iya bisa interaksi, biasa ajasi kaya main bareng temen bisa, kalo
ada acara suka ikutan kan kaya karang taruna, tapi karang taruna
aktifnya cuma acara-acara tertentu doang, kaya waktu 17-an gitu
kemaren jadi panitia lomba. Kalo bantu temen kesulitan ya
bantuin, kalo kita bantu kan temen juga bantuin kita nantinya,
begitu sih.”
Lampiran 4
TRANSKRIP WAWANCARA KELUARGA III
1) IDENTITAS DIRI
A. Identitas Diri Suami
1. Nama S
2. Jenis Kelamin Laki-laki
3. Usia 53 tahun
4. Pekerjaan Pedagang Kerupuk
B. Identitas Diri Istri
1. Nama S
2. Jenis Kelamin Perempuan
3. Usia 48 tahun
4. Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
C. Alamat Jl. H. Saumin, Cinere, Kecamatan
Cinere, Kota Depok, Jawa Barat
16514
D. Waktu Wawancara Tanggal 26/09/2019, pukul 08.10-
09.15 WIB
E. Tempat Wawancara Rumah tempat tinggal
A. Identitas Diri Anak
1. Nama NH
2. Jenis Kelamin Perempuan
3. Usia 22 tahun
4. Pekerjaan Belum bekerja
B. Alamat Jl. H. Saumin, Cinere, Kecamatan
Cinere, Kota Depok, Jawa Barat
16514
C. Waktu Wawancara Tanggal 26/09/2019, pukul 09.15-
09.50 WIB
D. Tempat Wawancara Rumah tempat tinggal
2) POLA ASUH ORANG TUA
A. TRANSKRIP TIPE POLA ASUH ORANG TUA
SUBYEK (ORANG TUA)
Pola Asuh Otoriter
1. Apakah Bapak/Ibu membatasi anak untuk melakukan
sesuatu dan menghukum anak apabila anak melakukan
suatu kesalahan?
“Oh nggak sekejam itu saya mbak, jadi kan diambil alternatifnya
aja. Kalo semisal masih bisa dibilangin kalo enggak ya istilahnya
itu kita kasih penekanan lah ke anak. Kaya seperti kurangin
mainnya, kurangin sehari-hari kalo main handphone. Biasa sih
kalo sekarang anak itu main handphone terus, karena teknologi
makin maju juga kan, tapi harus tau waktu. Jadi dibatesin sama
dibilangin aja. Kan kalo kita juga asal pukul kan yang rugi ya kita
sendiri sebagai orang tua.”
2. Apakah Bapak/Ibu mendesak anak untuk mengikuti
arahan dan menghormati pekerjaan dan upaya yang
dilakukan oleh Bapak/Ibu?
“Wah iya harus mbak, namanya pemasukan orang tua itu tidak
banyak dan sebagai anak harus bisa memahami orang tuanya lah
ya. Contohnya keadaan orang tua istilahnya ekonomi sempit,
pertama gimana caranya supaya bisa menghemat, kedua anak juga
bisa menyadari lah gimana kelemahan orang tuanya.”
3. Apakah Bapak/Ibu menerapkan batas dan kendali yang
tegas pada anak?
“Kalo nggak keluar dan masih dalam tahap-tahap kebaikan sih kalo
saya ya tak dorong aja, ya nama istilahnya kalo anak keluar dari rel
ya mau nggak mau kita kan namanya sebagai orang tua kan harus
mengingatkan. Contohnya main berlebihan, itu kan kalo main
berlebihan kayanya ya kurang pas, harusnya kan kita harus bisa
menggunakan waktu sebaik mungkin.“
4. Apakah Bapak/Ibu meminimalisir atau bahkan
menghindari perdebatan verbal dengan anak?
“Kalo saya sih kalo perdebatan sih enggak ya. Cuma ya arahan-
arahan aja. Kebetulan juga anak-anak itu nggak suka membantah
dua-duanya. Anak-anak dengerin orang tua aja, terus juga selagi
kita bisa menempatkan diri sebagai orang tua sebisa mungkin anak
lebih tau dan mengikuti.”
5. Apakah Bapak/Ibu sering memukul anak?
“Tidak pernah. Ya soalnya kalo memukul itu kayanya juga apaya
ujung-ujungnya bisa jadi kebiasaan. Kan namanya mukul kadang
kalo pernah pukul terus jadinya pengen mukul lagi kan jadinya,
nah jeleknya disitu takut bisa jadi kebiasaan.”
6. Apakah Bapak/Ibu memaksakan aturan secara kaku
tanpa menjelaskan alasannya kepada anak?
“Oh kalo saya tak jelasin dulu, efekya gini gitu, jadi jangan sampe
lah kejadian nggak enak, setidak-tidaknya kita harus menjaga diri
jangan sampe kena terpengaruh yang kurang baik dan tidak enak
lah. Contohnya aturan dalam keluarga itu jalin kerukunan, kita
jalin rasa kita sebagai orang tua ke anak, ya kita anggap aja ya
biasa-biasa aja mbak orang tua dan anak. Jadi ada humornya, juga
ada keritikan atau arahan, sebagai orang tua kan harus bisa
mengarahkan sebaik mungkin ke anak.”
7. Apakah Bapak/Ibu menunjukkan amarah pada anak
ketika sedang emosi?
“Ya namanya orang tua kan terkadang kalo lagi diselimutinya
banyak urusan ya kadang-kadang lah mbak, namanya juga
manusia. Namanya manusia kan nggak sempurna, nunjukkin
emosi ya sekedarnya aja, namanya kadang-kadang kurang kontrol
sebagai orang tua, ya tapi biasa aja sih nggak gimana.”
Pola Asuh Otoritatif
1. Apakah Bapak/Ibu mendorong anak untuk mandiri
namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakan anak?
“Kalo kemandirian memang kita wajib ya mbak, namanya entar
menjelang dewasa kan makin kesononya kita itu makin punya
tanggungan sendiri. Contohya ya kaya semacem kita mengajarkan
anak untuk mau mencuci bajunya sendiri, terus mau membantu
nyuci-nyuci piring, anak diajarin tapi anak-anak ya spontanitas aja
ngeliat orang tua, kebetulan juga anak-anak saya tau semua kaya
gimana caranya. Jadi kita orang tua nggak harus meragakan harus
gini-gitu, paling juga kasih keritikan aja gimana sih caranya biar
bisa bersih, nah disitu kita harus teleten kan. Jadi anak-anak punya
kesadaran sendiri.”
2. Apakah Bapak/Ibu memberikan kebebasan anak dalam
berpendapat dan didengarkan?
“Saya sih asal anak itu bener ya tak ikuti aja kan, yang penting kan
enggak jadi pengaruh ke jelek sih tak ikutin apa maunya anak kaya
gimana, dia bilang begini-begitu oh yaudah kalo begitu ya
terserah.”
3. Apakah Bapak/Ibu memberikan kebebasan kepada
anak tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan
anak dalam menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupnya?
“Sementara ini kayanya juga cuman berjalan sesuai dengan
keadaan aja. Jadi kan kita enggak menentukan harus ini dan itu,
kan ya enggak. Kalo mengarahkan namanya juga sebagai orang tua
pasti tetep mengarahkan anaknya.”
4. Apakah Bapak/Ibu bersikap hangat dan penyayang
terhadap anak?
“Wah namanya kita punya anak, anak-anak kita semua sendiri,
kalo rugi juga ya rasain rugi kan ya kita sendiri sebagai orang tua.
Ya kasih sayang tetep aja ada, kaya makan bareng, bercanda, dan
itukan istilahnya sudah melebihi dari kasih sayang kan. Namanya
kita makan bareng rasanya itu kan luar biasa, belom tentu itu setiap
satu keluarga bisa makan bareng.”
5. Apakah Bapak/Ibu merangkul anak dengan mesra dan
berkata seperti “kamu tahu kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana
kamu bisa menangani situasi tersebut lebih baik lain
kali”?
“Ya begitu omongan aja, merangkul dengan kasih sayang itu ya
kan tetep ada, kaya mengajak bercanda atau pokonya ngapain
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sehari-hari lah. Kalo keluar
dari batas ya berdoa jangan sampe gitu.”
6. Apakah Bapak/Ibu menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif anak?
“Kalo saya terus terang kalo kemauan anak dalam kebaikan ya tak
dukung, kalo dalam kemauan ya maunya apa dulu, seandainya dia
punya keinginan apa atau tujuannya arah sekolahnya atau
pelajarannya mau gimana ya tak ikutin. Ya pokonya dukung terus
selagi baik.”
7. Apakah Bapak/Ibu melibatkan anak dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga dan
memberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat?
“Ya kalo setiap itu ya kadang-kadang namanya anak punya
pendapat, pendapatnya gimana didengerin, langkah-langkahnya
gimana, kebetulan kan anak-anak saya itu istilahnya kan udah bisa
membedakan anatara yang bagus sama antara yang jelek kan, dan
namanya musyawarah keluarga itu ada, hukum keluarga kan ya
ada.”
8. Apakah Bapak/Ibu memberikan tuntutan yang
mengacu pada harapan dan aturan yang diterapkan
yang masuk akal dan jelas terhadap tingkah laku anak?
“Kalo itu si enggak, kalo saya sih nggak nuntut tapi kasih
masukkan aja, istilahnya buat anak bisa lebih mandiri. Lebih bisa
intropeksi diri gitu, gimana melangkah untuk kebaikannya nanti.”
9. Apakah Bapak/Ibu menerapkan aturan secara jelas dan
konsisten tanpa paksaan terhadap anak?
“Sesuai dengan kemampuan anak aja sih kalo saya, kalo
kemampuan anaknya cuman segitu ya kita nggak bisa
memaksakan kan, terus ya namanya aturan kita sebagai kepala
keluarga ya kita harus sejelas mungkin, entar kalo nggak jelas kita
juga nantinya yang nggak bisa jadi tuntunan buat anak-anak kan,
nggak bisa jadi contoh anak.”
Pola Asuh Memanjakan
1. Apakah Bapak/Ibu sangat terlibat dengan anak dan
tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka?
“Kalo terlibat mengontrol itu pasti sehari-hari gimana baiknya,
namanya kita kepala rumah tangga kan jangan sampe lah istilahnya
entar tau-tau anak ada masalah, setiap hari kita nggak lepas dari
kontrol. Contohnya ya saatnya belajar itu kan kita harus
mengingatkan belajar, contohnya lagi mau ngaji kita harus
mengingatkan, saat-saat bangun tidur itu harus jam berapa biar
nggak kesiangan atau apa gitu kan, terus kalo saatnya tidur itu jam
berapa seharusnya, kan setiap hari begitu itu bisa dikatakan setiap
hari kita mengontrol anak kan.”
2. Apakah Bapak/Ibu membiarkan anak melakukan apa
yang ia inginkan dan menuruti semua kemauan anak?
“Kalo membiarkan, menuruti, ngikutin kemauan anak sih ya itu
tadi kembali lagi tergantung kemauannya itu baik atau enggak,
kalo kemauannya baik ya tak ikutin, kalo jelek ya tak arahkan ya.
Contoh baiknya seandainya main ke tempat temen kaya ngajak
kegiatan belajar atau ngikutin kegiatan-kegiatan yang jelas, itu kan
tetep aja kita bisa kasih peluang ke anak lah. Selagi baik ya
didukung terus kan begitu. Kalo kemauan barang juga dilihat lagi
perlu atau enggak, kalo emang perlu dan ada uangnya ya dikasih,
kalo enggak perlu ya dibilangin.”
3. Apakah Bapak/Ibu memberikan kebebasan secara
berlebihan yang tidak sesuai untuk perkembangan
anak?
“Ya kalo berlebihan sih ya enggak, tapi kalo kurang kontrol juga
kan namanya anak pemikirannya masih belum saatnya kesitu, kan
kurang bagus juga. Contohnya ya sehari-hari kalo kembali lagi kan
ujungnya kaya main sama temen itu kalo mainnya hanya sekedar
main aja ya nggak tak permasalahkan, main boleh asal tau waktu
juga, itu aja.”
Pola Asuh Mengabaikan
1. Apakah Bapak/Ibu tidak memberikan perhatian
terhadap anak?
“Ya kalo perhatian yang pasti namanya kita sama anak itu
perhatian. Contoh perhatiannya ya itu tadi setiap berangkat sekolah
ongkosnya dikasih sekian, itu bagaimana biar nggak habis, kalo
jajan juga jangan asal jajan, kesehatan juga kita perlu dijaga kan,
kalo jajan sembarangan nanti efeknya nggak bagus terus jadi kita
yang rugi sendiri.”
2. Apakah Bapak/Ibu orang tua yang sangat tidak terlibat
dalam kehidupan anak?
“Iya pastilah terlibat. Namanya juga anak sendiri, diurusin, dikasih
makan, dikasih perhatian, ya begitulah mbak.”
B. TRANSKRIP TIPE POLA ASUH ORANG TUA
SUBYEK (ANAK)
Pola Asuh Otoriter
1. Apakah Bapak/Ibumu membatasi kamu untuk
melakukan sesuatu dan menghukum apabila kamu
melakukan suatu kesalahan?
“Kalo salah sih nggak dihukum, tapi cuma dikasih tau aja kalo
salah. Paling ya mengingatkan aja kalo itu salah, jangan gini gitu,
cuma mengingatkan aja sih mbak.”
2. Apakah Bapak/Ibumu mendesak kamu untuk
mengikuti arahan dan menghormati pekerjaan dan
upaya yang dilakukan oleh Bapak/Ibumu?
“Iya pasti kalo menghormati iya, tapi kalo mendesak sih enggak,
cuma ngarahin anak aja. Ya misalnya sama kaya tadi kalo berbuat
salah diarahin yang baik.”
3. Apakah Bapak/Ibumu menerapkan batas dan kendali
yang tegas pada kamu?
“Kalo tegas sih kadang iya agak tegas, kadang-kadang ada
bercandanya juga sih. Kalo misal waktu masih sekolah itu kan
pulangnya agak telat terkadang karena kerja kelompok, terus
karena lupa bilang jadi nggak bilang dulu kalo telat, paling nanti
pulangnya ditanya dari mana kok telat pulangnya, lain kali kalo
ada apa-apa bilang dulu ya. Gitu sih.”
4. Apakah Bapak/Ibumu meminimalisir atau bahkan
menghindari perdebatan verbal denganmu?
“Kalo debat sih nggak pernah. Komukasinya baik sama Bapak
ataupun Ibu.”
5. Apakah Bapak/Ibumu sering memukulmu?
“Enggak, bapak nggak mukul. Cuma ya itu tadi kalo berbuat salah
ya paling dibilangin, diarahin lagi kalo itu nggak baik.”
6. Apakah Bapak/Ibumu memaksakan aturan secara kaku
tanpa menjelaskan alasannya kepadamu?
“Nggak pernah maksa sih, terus kalo ada aturan selalu ada
penjelasannya kenapa nggak boleh. Kalo buat salah ya dibilangin
aja. Gitu-gitu aja mbak. Salahnya dulu kalo sekolah pernah
mampir-mampir jadinya suka diomelin doang paling, orang tua
maunya kalo mampir ya bilang dulu gitu jadi nggak khawatir.”
7. Apakah Bapak/Ibumu menunjukkan amarah padamu
ketika sedang emosi?
“Kadang kalo lagi kesel ya marah, tapi nggak pernah main tangan.
Cuma dari omongan aja kaya ngasih tau.”
Pola Asuh Otoritatif
1. Apakah Bapak/Ibumu mendorong kamu untuk mandiri
namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakanmu?
“Mendorong iya, paling kaya mengerjakan sesuatu kalo disuruh ini
harus begini, harus begitu. Contohnya kalo nyuci baju kalo ada
yang kotor itu langsung dicuci biar nggak numpuk kebanyakan,
biar nggak males ngerjainnya.”
2. Apakah Bapak/Ibumu memberikan kebebasan kamu
dalam berpendapat dan didengarkan?
“Iya. Paling kalo misal cerita ke orang tua ya orang tua dengerin
terus kasih pendapat juga aja sih, kaya bingung pilih kerja atau
takut nggak keterima kerja gitu, ya paling orang tua kasih tau buat
berpikir positif aja dulu gitu.”
3. Apakah Bapak/Ibumu memberikan kebebasan kepada
kamu tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan
dalam menentukan keputusan yang tepat dalam
hidupmu?
“Iya. Tapi bebas sih nggak sepenuhnya bebas banget enggak, orang
tua masih mengkontrol.”
4. Apakah Bapak/Ibumu bersikap hangat dan penyayang
terhadapmu?
“Iya. Ya contohnya layaknya umum orang tua sih paling kasih
perhatian kaya diingetin makan, terus ajak anaknya bercanda.”
5. Apakah Bapak/Ibumu merangkul dengan mesra dan
berkata seperti “kamu tahu kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana
kamu bisa menangani situasi tersebut lebih baik lain
kali”?
“Iya, merangkulnya lebih keomongan kaya gitu sih. Kalo tindakan
biasa aja nggak yang gimana-gimana, paling ya bercandain anak
gitu.”
6. Apakah Bapak/Ibumu menunjukkan kesenangan dan
dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif kamu?
“Iya. Kalo saya ngelakuin sesuatu yang baik pasti didukung.
Nunjukkinnya kaya dipuji, kalo ngerjain sesuatu bener orang tua
bilang nah iya begitu bener, tapi kalo salah ya paling diingatkan
lagi.”
7. Apakah Bapak/Ibumu melibatkan kamu dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga dan
memberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat?
“Iya. Kalo ada masalah gitu kan bilang ke orang tua, misal ada
keperluan sekolah tapi orang tua bilang nggak ada uang, nah
ditanya punya simpenan apa enggak, kalo ada ya pake uang sendiri
aja dulu gitu. Musyawarah sama orang tua pasti saling
mendengarkan.”
8. Apakah Bapak/Ibumu memberikan tuntutan yang
mengacu pada harapan dan aturan yang diterapkan
yang masuk akal dan jelas terhadap tingkah lakumu?
“Iya memberikan, paling ya kalo anak perempuan kalo udah sore
jangan keluar main, harus udah ada di rumah. Gitu-gitu aja sih
mbak.”
9. Apakah Bapak/Ibumu menerapkan aturan secara jelas
dan konsisten tanpa paksaan terhadapmu?
“Iya jelas. Misal kalo udah waktunya bangun pagi ya harus bangun
gitu.”
Pola Asuh Memanjakan
1. Apakah Bapak/Ibumu sangat terlibat dan tidak terlalu
menuntut atau mengontrolmu?
“Kalo mengontrol iya, tapi kalo menuntut harus begini begitu sih
nggak terlalu ya. Kontrol ya kalo saya kan di rumah aja ya kalo
sekarang ini, paling kontrol jangan nonton tv terus atau main
handphone terus.”
2. Apakah Bapak/Ibumu membiarkanmu melakukan apa
yang kamu inginkan dan menuruti semua kemauanmu?
“Kalo melakukan sesauatu yang baik sih pasrti ini iya didukung.
Kalo menuruti semua kemauan nggak juga, karena nggak pernah
minta yang aneh-aneh juga sih. Kalo mau beli sesuatu diliat lagi
itu kebutuhan atau enggak, terus ya sama kalo emang ada uangnya
iya dibolehin atau enggak dikasih.”
3. Apakah Bapak/Ibumu memberikan kebebasan secara
berlebihan yang tidak sesuai untuk perkembanganmu?
“Nggak pernah sih, saya selalu dikontrol.”
Pola Asuh Mengabaikan
1. Apakah Bapak/Ibumu tidak memberikan perhatian
terhadapmu?
“Selalu memberikan, kaya diingetkan makan, diingetkan bangun,
diingetkan waktu. Gitu sih mbak.”
2. Apakah Bapak/Ibumu adalah orang tua yang sangat
tidak terlibat dalam kehidupanmu?
“Nggak sih karena orang tua kan mengurusi anak, kasih perhatian
ke anak juga itu kan artinya terlibat kan mbak.”
3) KEMANDIRIAN ANAK
A. TRANSKRIP KEMANDIRIAN SUBYEK (ORANG
TUA)
1. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh Bapak/Ibu,
bagaimana cara agar anak dapat menjadi pribadi yang
mandiri?
“Caranya ya kita harus memberi apa ya hampir kaya tadi kan
mbak, contohnya kaya tadi tetep aja ujungnya kita kasih arahan
biar anak bisa mandiri, kaya bilangin ini dicuci bersih gimana, ini
harus dibersihin gimana, entar kalo ingin pergi main harus gimana
gitu, kan itu udah istilahnya mengajarkan kemandirian, jadi kan
dalam keadaan orang tua yang terbatas dan apa yang dibutuhkan
orang tua dia sudah tanggap sendiri.”
2. Apakah keterbatasan dalam hal pengawasan menjadi
kendala Bapak/Ibu dalam perkembangan kemandirian
atau perkembangan keseluruhan anak?
“Ya kalo keterbatasan namanya manuisa tetep ada, tapi kan
setidak-tidaknya namanya kita orang tua itu tetep berusaha
semaksimal mungkin buat bisa mengawasi anak kan.
Pengawasannya ya seolah-olah kalo anak-anak pada bercanda
terus teriak-teriak itu kan termasuk mengganggu lingkungan toh,
lagi pula juga teriak-teriak itu nggak baik didengar kan gitu kan,
begitu ya sesaat aja kan kadang namanya kita manusia ya wajar.”
3. Bagaimana sikap Bapak/Ibu apabila anak tidak dapat
mandiri?
“Ya pelan-pelan ya mbak, sedikit demi sedikit namanya kita
sebagai orang tua harus punya ketelatenan gimana bisa anak
mandiri, kita harus punya ketelatenan juga kesabaran dan terus
membimbingan kan gitu.”
4. Menurut Bapak/Ibu apakah anak sudah mandiri?
Mandiri dalam hal apa?
“Kalo bagi saya itungannya juga sudah agak mandiri, walaupun ya
belom sepenuhnya. Ketika anak saatnya belajar, saatnya berangkat
sekolah, saat ini itu kotor, istilahnya anak kan bisa mengerjakan,
itu penyesuaian aja seiring jalannya waktu. Kedua anak saya
hampir sama begitu.”
5. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu untuk tidak
bergantung kepada orang lain, terutama orang tua dan
orang-orang disekitarnya serta dapat bertanggung jawab
atas semua hal yang telah dilakukan anak?
“Kalo tergantung ke orang lain sih ya enggak, kita punya prinsip
harus bisa mandiri, jangan sampai menggantungkan diri ke orang
lain, kita berusaha semaksimal mungkin agar ada rasa
kemandirian. Kalo ke orang tua mampu juga udah bisa, kalo hal-
hal sederhana kaya bantu aja.”
6. Menurut Bapak/Ibu apakah anak sudah dapat bebas
untuk memilih, dan menjadi manusia yang dapat
memerintah, menguasai, mengendalikan serta
menentukan dirinya sendiri?
“Kalo menjelang mau dewasa ya terserah anak kalo saya sih, diliat
lagi kemauannya dia, yang penting kan bisa menjaga gitu kan.
Mengendalikan diri sendiri ya bisa wong sudah 20an tahun. Kalo
anak kedua juga udah termasuk ya hampir sama kaya kakaknya,
hampir seiring. Kita sebagai kepala keluarga atau kepala rumah
tangga bisa memberi masukan dan memberi arahan supaya anak
itu bisa penyesuaian dengan keadaan.“
7. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu untuk
mengendalikan atau mengatur pikiran, perasaan dan
tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri
untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan ragunya?
“Bagaimana itu ya, kalo masalah mengatur tindakan diri sendiri sih
ya itu tadi lah sesuai dengan kemampuannya dia, yang penting kan
nggak meruguikan orang lain dan nggak memaksakan diri sendiri.
Kalo kemauannya itu sendiri gimana, sesuai dengan keinginannya
dan bisa penyesuaian ya saya sih terserah aja.”
8. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu dalam
menentukan nasib, kreatif dan inisiatif, dapat mengatur
tingkah laku, bertanggung jawab, menahan diri,
membuat keputusan-keputusan sendiri, serta mampu
mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain?
“Ya anak saya walaupun istilahnya kumpul gini terus di rumah
tetep aja sih dia tanya orang tua gimana baiknya, kalo dikira belom
pas ya kita memberi masukan.”
9. Menurut Bapak/Ibu apakah anak mampu untuk tidak
mudah terpengaruh oleh penilaian, pendapat dan
keyakinan orang lain?
“Asal pendapat itu baik, ada manfaatnya kalo bagi saya sih
terserah-terserah aja, kalo misalnya pengaruh-pengaruh yang
nggak ada artinya jangan sampe kena pengaruh yang nggak ada
artinya itu. Anak nggak mudah terpengaruh yang saya liat
walaupun hidupnya ya ginilah.”
10. Apakah Bapak/Ibu dalam pengasuhan banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional?
“Kalo melarang sih ya enggak, paling ditanyain dulu apa
maksudnya gimana, tujuannya gimana, selama kalo maksud dan
tujuannya itu nggak merugikan kita sih nggak masalah dan kalo
nggak merugikan orang lain ya nggak apa-apa.”
11. Apakah Bapak/Ibu cenderung menjadi orang tua yang
sering membanding-bandingkan anak dengan saudara
kandungnya atau anak lainnya?
“Oh enggak, saya enggak. Gak mau bandingin, karena itu termasuk
gimana ya kayanya kurang baik lah, kalo dari penilaian saya
membanding-bandingkan anak otomatis kan menyakiti anak dan
jangan sampe begitu. Sesuai dengan keadaan anak masing-masing
aja kalo saya, ngapain juga ya kan membanding-bandingkan. Kita
juga sudah mengarahkan keluarga sendiri aja itu udah bagus.
Terima anak apa adanya aja mbak.”
B. TRANSKRIP KEMANDIRIAN SUBYEK (ANAK)
1. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh Bapak/Ibu,
bagaimana cara agar kamu dapat menjadi pribadi yang
mandiri?
“Ya paling ngajarin masak, nyuci baju, bersih-bersih rumah itu
diajarin biar sekalian nggak terus menyusahkan orang tua. Kalo di
luar dibilangin harus berpikir positif, jangan dengerin orang-orang
itu lakukin aja yang menurut kamu baik gitu.”
2. Apakah keterbatasan dalam hal pengawasan menjadi
kendala Bapak/Ibu dalam perkembangan kemandirian
atau perkembanganmu?
“Enggak sih selalu dikontrol, kalo pengawasan nggak jadi kendala
karena orang tua selalu tau sih, karena kalo ada apa-apa saya selalu
bilang. Saya mau pergi kemana itu selalu bilang.”
3. Bagaimana sikap Bapak/Ibu apabila kamu tidak dapat
mandiri?
“Tetep mendorong anaknya terus, tetep diajarin terus.”
4. Menurut kamu apakah kamu termasuk anak yang
mandiri? Mandiri dalam hal apa?
“Kalo menurut saya sih belom mandiri, kaya gimana ya masih
kurang aja gitu. Belomnya juga karena merasa belom bisa
membahagiakan orang tua sih.”
5. Menurutmu apakah kamu mampu untuk tidak
bergantung kepada orang lain, terutama orang tua dan
orang-orang disekitarmu serta dapat bertanggung jawab
atas semua hal yang telah kamu lakukan?
“Kalo masih bergantung ke orang tua iya, tapi kalo ke orang lain
sih enggak mbak.”
6. Menurutmu apakah kamu sudah dapat bebas untuk
memilih, dan menjadi manusia yang dapat memerintah,
menguasai, mengendalikan serta menentukan dirimu
sendiri?
“Kalo memilih ya udah terserah sendiri tapi kan bilang dulu ke
orang tua, ya kalo dibolehin baru deh. Mengedalikan diri juga
insyaAllah sudah mampu contohnya nahan emosi sih paling, terus
cara nahannya kalo marah ya diem aja, tapi diemnya sambil mikir
kaya oh iya salah nya begini. Intropeksi diri gitu kalo marah.”
7. Menurutmu apakah kamu mampu untuk mengendalikan
atau mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri
secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi
perasaan-perasaan malu dan ragumu?
“Iya sudah mampu, gitu-gitu aja kan mbak. Mengendalikan iya
udah bisa kaya mengendalikan emosi, terus juga intropeksi itu kan
berpikir jadinya.”
8. Menurutmu apakah kamu mampu dalam menentukan
nasib, kreatif dan inisiatif, dapat mengatur tingkah laku,
bertanggung jawab, menahan diri, membuat keputusan-
keputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah
tanpa ada pengaruh dari orang lain?
“Ada mampu ada yang enggak mbak. Contoh yang mampu itu
ngatur tingkah laku iya udah bisa, menahan diri juga bisa, taggung
jawab juga bisa InsyaAllah. Tapi kalo yang lainnya kayanya belom
mampu mba masih perlu pengaruh atau bantuan orang tua.”
9. Menurutmu apakah kamu mampu untuk tidak mudah
terpengaruh oleh penilaian, pendapat dan keyakinan
orang lain?
“Enggak sih nggak mudah terpengaruh, berusaha untuk tetep jadi
diri sendiri aja terus sih kalo saya.”
10. Apakah Bapak/Ibumu dalam pengasuhan banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada kamu
tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas dan
rasional?
“Ya kadang ngomong jangan tapi selalu dikasih penjelasan,
contohnya kalo salah pasti dibilangin. Yang dilarang itu ya
keburukan-keburukan sih paling kaya pingin main malem itu pasti
nggak boleh.”
11. Apakah Bapak/Ibumu cenderung membanding-
bandingkan kamu dengan saudara kandungmu atau
teman-teman mu yang lainnya?
“Tidak pernah sih mba.”
D. TRANSKRIP ASPEK-ASPEK KEMANDIRIAN
SUBYEK (ORANG TUA)
1. Emosi: Apakah Anak mampu mengontrol emosi dan
secara emosi tidak bergantung kepada orang tua?
“Ya dibilang mampu ya sebagian ada yang mampu, sebagian ada
yang enggak. Emosinya ya sebagai anak dalam pemikirannya
mungkin kurang ya jadi keadaan emosi ya pastilah kalo ada yang
nggak sesuai sama keinginan dia. Tapi ya mampu mengontrol.
Kalo untuk pelajaran anaknya bisa berpikir sendiri, toh kalo
misalnya dia nggak bisa-bisa ya ada sebagian tanya ke orang tua,
tapi kalo bapaknya nggak gatau ya mau gimana, ya anak cari solusi
sendiri.”
2. Ekonomi: Apakah Anak mampu mengatur ekonomi dan
tidak bergantung kebutuhan ekonomi pada orang tua?
“Kebetulan kalo misalnya dikasih ongkos sekolah sekian ya dia
bisa nyisih-nyisihkan, entar kalo seandainya dia ini perlu pensil
atau yang lainnya itu kadang-kadang seandainya minta orang tua
ya dia nggak begitu itu lah, bisa mengurangi beban orang tua. Kalo
boros ya enggak juga, ya biasalah anak-anak. Kalo bergantung
dalam keadan yang seperti sekarang ya masih ya mbak, anaknya
belom kerja juga, kecuali ya menjelang-jelang dewasa kaya anak
pertama itu kan kadang ada sampingan kaya bikin kue, atau misal
disuruh tetangga minta anterin kemana itu kan dia bisa
menghasilkan juga. Itu udah bisa membantu waupun sedikit-
sedikit. Setidak-tidaknya kan meringankan beban orang tua.”
3. Intelektual: Apakah Anak mampu mengatasi berbagai
hambatan atau masalah yang dihadapi?
“Kalo pendidikan yang gede sama yang kecil itu ya kalo yang saya
liat lebih bagusan yang kecil, cara daya tangkep dan berpikirnya
bagus. Kalo kegiatan sehari-hari iya dua-duanya udah mampu
ngerjain sendiri. Kalo masalah pembelajaran di sekolah kayanya
kebetulan sih keliatannya ya mampu semuanya, kalo di sekolah
anak saya juga nggak pernah yang namanya ribut terus orang
tuanya dipanggil atau gini-gitu nggak pernah. Baik-baik aja kalo di
sekolah.”
4. Sosial: Apakah Anak mampu untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau
menunggu aksi dari orang lain?
“Ya kalo pergaulan ya mampu lah, bisa. Contohnya kalo ada
kegiatan bisa saling meringankan, kalo ada tetangga ada acara apa
dia bantu, itu rasa kesosialan kan, dan itu meringankan orang lain.
Selama ini kayanya juga dia bisa menjalankan, dimintain tolong
kaya ayo bantu kesana ada acara gini kita bareng-bareng yuk bantu.
Paling cuma gitu-gitu kalo disini sih, anak sadar dan mau juga kalo
diminta bantuan.”
C. TRANSKRIP ASPEK-ASPEK KEMANDIRIAN
SUBYEK (ANAK)
1. Emosi: Apakah Kamu mampu mengontrol emosi dan
secara emosi tidak bergantung kepada orang tua?
“Kalo ngambil keputusan sendiri belom, masih suka nanya-nanya
sama minta masukan dan arahan dari orang tua. Nahan emosi iya
mampu nahan, karena emang jarang emosi juga sih mbak. Terus
caranya kalo lagi emosi ya diem aja sambil mikir. Kalo ada
masalah selalu tanya sih kalo misal ada masalah, masih minta
arahan.”
2. Ekonomi: Apakah Kamu mampu mengatur ekonomi
dan tidak bergantung kebutuhan ekonomi pada orang
tua?
“Masih bergantung karena belom kerja, udah ngelamar juga tapi
ya belom diterima. Jadi masih bergantung, tapi bantu-bantu orang
tua di rumah aja kaya masak, nyapu, ngepel gitu. Gunain sama
ngatur uang iya bisa, paling kalo umpamanya belanja terus masih
ada sisanya ya bisa nyimpen terus bisa buat belanja besokanya lagi
gitu sih. Jadi sekarang iya masih bergantung sama orang tua,
karena belom kerja juga tapi dari hasil bantu tetangga atau bikin
apa gitu sedikit-sedikit insyaAllah bisa meringankan walaupun
sedikit ya disyukuri.”
3. Intelektual: Apakah Kamu mampu mengatasi berbagai
hambatan atau masalah yang dihadapi?
“Belom kayanya, saya sendiri cenderung mengikuti apa arahan dan
yang dikatakan orang tua sih. Selama ini juga nggak ada masalah
yang gimana juga. Urus diri sehari-hari ya udah bisa itu semua,
karna diajarin juga kan dari kecil. Terus juga makin besar ya makin
bisa jadinya. Bantu kerjain pekerjaan rumah bantu orang tua di
rumah iya udah mampu kaya yang tadi udah diceritain kan mbak,
sama kaya tadi. Waktu pas sekolah juga saya mampu kerjain tugas
atau belajar, ya pasti ada juga susahnya tapi ya dijalanin aja.”
4. Sosial: Apakah Kamu mampu untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau
menunggu aksi dari orang lain?
“Iya mampu interaksi, kaya tegur sapa sama orang ya. Kalo
berteman iya main sama temen gitu aja ya paling mampu juga.
Terus kalo ada yang butuh bantuan misal temen atau tetangga
minta dianterin kemana ya kebetulan sayanya bisa saya anter.”
Lampiran 5
PEDOMAN OBSERVASI
Tujuan dilakukannya observasi antara lain adalah untuk
memperoleh informasi dan data baik mengenai data kondisi fisik
maupun non fisik yang terkait dengan pola asuh orang tua
penyandang tunanetra penjual kerupuk. Berikut terdapat dua aspek
yang diobservasi, yaitu aspek pola asuh orang tua, dan aspek
kemandirian anak.
1) POLA ASUH ORANG TUA
a. Tipe Pola Asuh Orang tua
Aspek Pertanyaan
Pola Asuh
Otoriter
1. Orang tua membatasi anak untuk
melakukan sesuatu dan menghukum
anak apabila anak melakukan suatu
kesalahan?
2. Orang tua mendesak anak untuk
mengikuti arahan dan menghormati
pekerjaan dan upaya yang
dilakukannya?
3. Orang tua menerapkan batas dan
kendali yang tegas pada anak?
4. Orang tua meminimalisir atau bahkan
menghindari perdebatan verbal dengan
anak?
5. Orang tua sering memukul anak?
6. Orang tua memaksakan aturan secara
kaku tanpa menjelaskan alasannya
kepada anak?
7. Orang tua menunjukkan amarah pada
anak ketika sedang emosi?
Pola Asuh
Otoritatif
1. Orang tua mendorong anak untuk
mandiri namun masih menerapkan
batas dan kendali pada tindakan anak?
2. Orang tua memberikan kebebasan anak
dalam berpendapat dan didengarkan?
3. Orang tua memberikan kebebasan
kepada anak tetapi tetap memberi
batasan untuk mengarahkan anak dalam
menentukan keputusan yang tepat
dalam hidupnya?
4. Orang tua bersikap hangat dan
penyayang terhadap anak?
5. Orang tua merangkul anak dengan
mesra dan berkata seperti “kamu tahu
kamu tak seharusnya melakukan hal itu.
Mari kita bicarakan bagaimana kamu
bisa menangani situasi tersebut lebih
baik lain kali”?
6. Orang tua menunjukkan kesenangan
dan dukungan sebagai respons terhadap
perilaku konstruktif anak?
7. Orang tua melibatkan anak dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga
dan memberikan kesempatan untuk
mengemukakan pendapat?
8. Orang tua memberikan tuntutan yang
mengacu pada harapan dan aturan yang
diterapkan yang masuk akal dan jelas
terhadap tingkah laku anak?
9. Orang tua menerapkan aturan secara
jelas dan konsisten tanpa paksaan
terhadap anak?
Pola Asuh
Memanjakan
1. Orang tua sangat terlibat dengan anak
dan tidak terlalu menuntut atau
mengontrol mereka?
2. Orang tua membiarkan anak melakukan
apa yang ia inginkan dan menuruti
semua kemauan anak?
3. Orang tua memberikan kebebasan
secara berlebihan yang tidak sesuai
untuk perkembangan anak?
Pola Asuh
Mengabaikan
1. Orang tua tidak memberikan perhatian
terhadap anak?
2. Orang tua yang sangat tidak terlibat
dalam kehidupan anak?
2) KEMANDIRIAN ANAK
a. Kemandirian
Pertanyaan Kemandirian
1. Dalam keterbatasan yang dimiliki bagaimana cara agar
anak dapat menjadi pribadi yang mandiri?
2. Apakah keterbatasan dalam hal pengawasan menjadi
kendala dalam perkembangan kemandirian atau
perkembangan keseluruhan anak?
3. Bagaimana sikap orang tua apabila anak tidak dapat
mandiri?
4. Apakah anak sudah mandiri? Mandiri dalam hal apa?
5. Apakah anak mampu untuk tidak bergantung kepada orang
lain, terutama orang tua dan orang-orang disekitarnya serta
dapat bertanggung jawab atas semua hal yang telah
dilakukan anak?
6. Apakah anak sudah dapat bebas untuk memilih, dan
menjadi manusia yang dapat memerintah, menguasai,
mengendalikan serta menentukan dirinya sendiri?
7. Apakah anak mampu untuk mengendalikan atau mengatur
pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta
berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu
dan ragunya?
8. Apakah anak mampu dalam menentukan nasib, kreatif dan
inisiatif, dapat mengatur tingkah laku, bertanggung jawab,
menahan diri, membuat keputusan-keputusan sendiri, serta
mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang
lain?
9. Apakah anak mampu untuk tidak mudah terpengaruh oleh
penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain?
10. Apakah orang tua dalam pengasuhan banyak
mengeluarkan kata “jangan” (melarang) kepada anak tanpa
disertai dengan penjelasan yang jelas dan rasional?
11. Apakah orang tua cenderung menjadi orang tua yang
sering membanding-bandingkan anak dengan saudara
kandungnya atau anak lainnya?
b. Aspek-Aspek Kemandirian
Aspek Pertanyaan
Emosi Apakah Anak mampu mengontrol emosi dan
secara emosi tidak bergantung kepada orang tua?
Ekonomi Apakah Anak mampu mengatur ekonomi dan
tidak bergantung kebutuhan ekonomi pada orang
tua?
Intelektual Apakah Anak mampu mengatasi berbagai
hambatan atau masalah yang dihadapi?
Sosial Apakah Anak mampu untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung
atau menunggu aksi dari orang lain?
Lampiran 6
HASIL OBSERVASI
Pada tanggal 14/02/2019, Pukul 19.30-20.00 WIB,
Observasi pertama, melihat Bapak L di Alfamart Gandul, penulis
bertemu sapa untuk menyampaikan keinginan penulis dalam
mengajak Bapak L menjadi informan penelitian skripsi penulis. Di
depan toko modern mini ini Bapak L sedang berjualan dengan cara
menunggu pembeli. Keadaan di depan toko modern ini ramai
karena tepat berada didepan jalan besar, namun saat penulis
melakukan pengamatan belum terlihat pembeli yang menghampiri,
Bapak L terlihat akrab dengan orang sekitar atau penjual makanan
sekitar toko.
Pada tanggal 05/05/2019, Pukul 13.00-13.30 WIB,
Observasi kedua, penulis bertemu Bapak L yang kedua kali untuk
lebih detail menjelaskan tujuan dan maksud penelitian. Bapak L
dengan ramah menerima penulis untuk masuk ke dalam rumah,
pada saat ini Bapak L sedang mengasuh anak bungsunya, beliau
dan anak sedang bermain bersama. Ketika anak bungsunya rewel
Bapak L terlihat cekatan dalam bertindak seperti langsung
menggendong anaknya, dan terlihat betul-betul menyayangi anak
seperti anak dipangku dan diberikan minum susu. Bapak L juga
dalam pengawasan anak bungsunya terlihat mengawasi seperti
memasang papan kayu tepat di depan pintu agar anak tidak bisa
keluar dengan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Pada saat
penulis datang istri dari Bapak L atau Ibu R sedang memasak untuk
makan siang keluarganya tersebut, terlihat bahwa Ibu R dapat
menjalankan tugasnya sebagai ibu yang mengurusi kebutuhan
keluarga.
Selanjutnya penulis melakukan pertemuan ketiga dengan
Bapak L pada tanggal 20/09/2019, Pukul 10.15-11.20 WIB, untuk
melakukan wawancara pertama dengan informan orang tua
pertama, yaitu Bapak L. Wawancara dilakukan di rumah tempat
tinggal Bapak L. Pada saat pelaksanaan wawancara ini penulis juga
melakukan observasi. Saat penulis datang ke rumah Bapak L,
Bapak L sedang menunggu pasien atau pelanggannya seperti yang
biasa dilakukannya, sedangkan Ibu R sedang mencuci pakaian.
Pada saat kedatangan yang kedua kali ini penulis melihat situasi
yang sama dengan kedatangan sebelumnya, keluarga ini cenderung
tertutup dengan lingkungan sekitar, rumahnyapun selalu tertutup
rapat berbeda dengan tetangganya yang membuka pintu rumah dan
bercengkrama dengan tetangga lainnya atau menimang anak
bermain diluar rumah, hal mungkin sebagai penerapan
pengawasan yang dilakukan agar anak tidak keluar rumah tanpa
sepengetahuan orang tua. Rumah Bapak L yang juga sebagai
tempat beliau membuka usaha panti pijat berada di wilayah yang
cukup terpencil, artinya sulit terlihat dan diketahui khalayak orang
karena plang/baliho alamat ini juga jauh dari keramaian.
Pada tanggal 23/09/2019, Pukul 15.20-16.20 WIB,
Wawancara kedua dengan informan orang tua kedua, yaitu Bapak
S. Pada saat pelaksanaan wawancara ini, penulis juga melakukan
observasi. Wawancara dilakukan di rumah tempat tinggal Bapak
S. Sama dengan Bapak L, Rumah Bapak S juga dijadikan sebagai
tempat beliau membuka usaha panti pijat, alamat rrumah atau panti
pijat ini lebih mudah untuk ditemukan karena plang/baliho alamat
ini terpampang didekat jalan raya, dimana kyalayak orang bisa
melihat. Pada saat penulis datang Bapak S sedang bercengkrama
dengan anaknya RE yang baru saja pulang dari sekolah dan istrinya
Ibu W sedang mengasuh anak sambil bercengkrama dengan
tetangga sebelah rumah, beliau terlihat ramah terhadap
tetangganya dan juga penulis. Kesadaran anak RE juga terlihat
ketika memberikan minuman kepada penulis tanpa ditugaskan dari
orang tuanya, RE juga segera bergegas keluar rumah karena sadar
bahwa rumahnya tidak cukup memuat orang yang banyak, RE
memiliki kesadaran bahwa di rumahnya sedang ada tamu.
Selanjutnya ketaatan atau menuruti perintah orang tua juga terlihat
ketika penulis berkeinginan untuk juga mewawancarai. RE juga
terlihat akrab dan berteman baik dengan teman sebayanya.
Selanjutnya pada tanggal 23/09/2019, Pukul 17.10-17.40
WIB, observasi kelima di lingkungan tempat tinggal informan
orang tua subyek L. Penulis datang untuk yang ketiga kalinya,
observasi ini dilakukan berbeda hari dengan pelaksanaan
wawancara, penulis mengamati situasi dan kondisi tempat tinggal
Bapak L, dan obseravasi terhadap tetangganya. Masih sama
dengan kedatangan sebelumnya, pada saat kedatangan ketiga ini
rumah Bapak L juga tertutup rapat dan lingkungannya terlihat sepi.
Penulis juga melakukan observasi lingkungan dengan menanyakan
beberapa pertanyaan kepada tetangga sebelah rumah Bapak L.
Walaupun Bapak L dan keluarga jarang sekali bercengkrama dan
keluar rumah, keluarga Bapak L dipandang sebaagai keluarga yang
baik dan ramah. Tetangganya juga menyampaikan bahwa dengan
keterbatasan kondisi orang tua yang tidak dapat melihat tetapi
dalam mengurus anak mampu terlihat dengan mampu
membersarkan anak-anaknya tanpa bantuan dari orang lain. cara
orang tua dalam mengasuh anaknya sama seperti orang tua yang
memiliki kondisi yang normal lain biasanya, tetangga Bapak L
melihat bahwa orang tua terlihat lebih hati-hati dalam mengasuh
anaknya, sepengetahuan tetangga orang tua terlihat tidak pernah
kasar atau main tangan kepada anaknya.
Pada tanggal 26/09/2019, Pukul 08:10-09:15 WIB,
Wawancara keempat dengan informan orang tua ketiga, yaitu
Bapak S. Wawancara dilakukan di rumah tempat tinggal Bapak S.
Pada saat pelaksanaan wawancara ini, penulis juga melakukan
observasi. Berbeda dengan informan orang tua sebelumnya,
penulis ketika ingin bertemu dengan Bapak S sedikit mengalami
kusulitan karena Bapak S sangat jarang berada di rumah karena
berjualan kerupuk keliling dari pagi hingga malam hari, waktu
yang dimiliki hanya pagi hari sebelum berangkat berjualan sekitar
jam 8 pagi, beliau hanya pulang kerumah untuk beristirahat dan
makan siang lalu lanjut untuk berjualan kembali hingga malam
hari. Penulis mengamati bahwa orang tua mengajarkan disiplin
waktu yang baik kepada anak seperti memberikan contoh dengan
orang tua yang siap dalam beraktifitas di pagi hari, hal lainnya
adalah ketika penulis datang anak terlihat sedang membantu
pekerjaan orang tuanya seperti menyapu halaman rumah dan
menjemur pakaiann. Kesadaran anak terhadap orang lain juga
ditunjukkan dengan membuatkan penulis teh manis hangat tanpa
diberikan tugas oleh orang tuanya, dan juga memperlihatkan sopan
santun dengan mempersilahkan penulis untuk minum dan masuk
ke dalam rumah.
Wawancara keenam dengan informan anak ketiga, yaitu
anak WNH dari informan orang tua subyek L. Sehubung karena
anak WNH sudah berumah tangga, penulis melakukan wawancara
secara terpisah dengan orang tua subyek L pada tanggal
26/09/2019, pukul 14:40-15:40 WIB. Wawancara dilakukan di
rumah tempat tinggal WNH di daerah Depok, penulis juga
melakukan observasi pada saat pelaksanaan wawancara. Pada saat
penulis datang, kondisi anak WNH sedang cuti bekerja karena
sudah hamil besar, suaminya juga berada di rumah karena memang
sudah dekat dengan waktu persalinan. Anak WNH terlihat sudah
dewasa dan mandiri, terlihat dari gaya berbicara, cepat tanggap
dalam menjawab pertanyaan, dan mampu untuk memiliki rumah
tangga serta berpenghasilan.
Pada tanggal 26/09/2019, pukul 13.00-13.45 WIB,
Observasi kedelapan di lingkungan tempat tinggal informan orang
tua subyek S subyek anak RE. Observasi ini dilakukan dengan
mengamati situasi dan kondisi tempat tinggal Bapak S, dan
observasi terhadap tetangga Bapak S. Karena sebelumnya penulis
melewati rumah Bapak S dipagi hari ketika sebelum ke rumah
informan Bapak S subyek anak NH, penulis melihat bahwa rumah
masih sepi sama dengan tetangga lainnya. Pintu-pintu masih
tertutup dengan rapat, dan ketika penulis datang kembali siang hari
rumah dan lingkungan tempat tinggal juga terlihat masih sepi,
dimungkinkan sedang istirahat ataupun sedang menjalani aktivitas
di luar rumah. Penulis juga melakukan observasi lingkungan
dengan menanyakan beberapa pertanyaan kepada tetangga sebelah
rumah Bapak S yang membuka warung kelontong, menurutnya
keluarga Bapak S baik dan rukun, orang tua dapat mengasuh anak
dengan baik seperti orang tua normal lainnya, walaupun dahulu
ketika anak subyek RE masih kecil tetangganya ini membantu
dalam menyuapi makan. Semakin besar subyek anak RE, dia sudah
mampu makan sendiri dan juga dapat membantu orang tua dengan
membantu pekerjaan orang tua seperti menyapu maupun
membantu adiknya untuk makan dan mandi. Menurut tetangganya
anak memiliki perilaku yang sopan kepada orang tua dan tetangga,
namun anak bungsunya yang masih usia 4 tahun memang lebih
manja dan ngambek tapi masih wajar dengan anak seusianya.
Karena pagi hari pada tanggal 26/09/2019 penulis sudah
datang dan mengamati lingkungan sedikit, pada pukul 13.50-
14.00 WIB penulis datang kembali untuk melakukan, Observasi
kesembilan di lingkungan tempat tinggal informan orang tua
subyek S subyek anak NH. Observasi ini dilakukan dengan
mengamati situasi dan kondisi tempat tinggal Bapak S, dan
obseravasi terhadap tetangga Bapak S. Sama seperti kedatangan
pagi hari, kedatangan siang hari juga menggambarkan situasi dan
kondisi lingkungan yang terlihat sepi, dimungkinkan orang-orang
sedang beristirahat dan beraktivitas di luar rumah. Penulis juga
melakukan observasi lingkungan dengan menanyakan beberapa
pertanyaan kepada tetangga sebelah rumah Bapak S yang
kebetulan keluar rumah dan hendak pergi. Sehubungan tetangga
ini juga belum lama tinggal bertetangga jadi belum terlalu
mengetahui keluarga Bapak S seperti apa, tetapi selama
tetangganya ini tinggal bertetangga keluarga Bapak S baik, ramah,
dan terkadang juga suka memberikan makanan. Karena anak dari
Bapak S sudah besar, Bapak S terlihat tidak kesusahan dalam
mengasuh anaknya, bahkan anak sudah mampu untuk membantu
orang tuanya seperti membeli sayur mayur dan lainnya. Orang tua
juga tidak pernah terlihat kasar atau main tangan kepada anak,
orang tua dan anak saling membantu dalam pekerjaan di rumah.
Lampiran 7
DOKUMENTASI
Gambar Peneliti Bersama
Dengan Informan I Keluarga I
Subyek (Orang Tua)
Gambar Peneliti Bersama Dengan
Informan II Keluarga I Subyek
(Anak)
Gambar Lingkungan Tempat
Tinggal Keluarga I
Gambar Tempat Tinggal Dan
Sumber Kehidupan Keluarga I
Gambar Peneliti Bersama
Dengan Tetangga Keluarga I
Gambar Peneliti Bersama Dengan
Informan III Keluarga II Subyek
(Orang Tua)
Gambar Peneliti Bersama
Dengan Informan IV Keluarga II
Subyek (Anak)
Gambar Lingkungan Tempat
Tinggal Keluarga II
Gambar Tempat Tinggal Dan
Sumber Kehidupan Keluarga II
Gambar Peneliti Bersama Dengan
Tetangga Keluarga II
Gambar Peneliti Bersama
Dengan Informan V Keluarga III
Subyek (Orang Tua)
Gambar Peneliti Bersama Dengan
Informan VI Keluarga III Subyek
(Anak)
Gambar Lingkungan Tempat
Tinggal Keluarga III
Gambar Tempat Tinggal Dan
Sumber Kehidupan Keluarga III
Lampiran 8
Lampiran 9