Pneumonia Anak
-
Upload
udyani-agustina -
Category
Documents
-
view
96 -
download
3
description
Transcript of Pneumonia Anak
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi saluran napas bawah merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang berkembang maupun di negara maju. Laporan
WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan
influenza. Di Indonesia, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor enam1.
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi pneumonia tahun
2013 sebesar 4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan
10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi
Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%). Period prevalensi
pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita dengan pneumonia yang
berobat hanya 1,6 per mil. Insiden tertinggi pneumonia balita terdapat pada
kelompok umur 12-23 bulan (21,7%)2. Melihat prevalensi pneumonia yang cukup
tinggi, maka diperlukan penanganan secara tepat dan cepat. Oleh karena itu
diperlukan pengetahuan yang lebih banyak mengenai pneumonia.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru, sebelah distal dari
bronkiolus terminalis (bronkiolus respirtorius dan alveoli) disertai konsolidasi
jaringan paru. Pneumonia termasuk dalam infeksi saluran pernapasan bagian
bawah3.
Pneumonia lobaris adalah pneumonia yang terlokalisasi pada satu lobus
paru atau lebih dimana lobus paru yang terkena mengalami konsolidasi.
Pneumonia atipikal adalah pneumonia dengan pola yang tidak termasuk dalam
pneumonia lobaris. Bronkopneumonia adalah peradangan pada bronkiolus disertai
peningkatan produksi eksudat mukopurulen yang menyebabkan obstruksi dari
saluran napas kecil dan menyebabkan konsolidasi pada lobulus yang berdekatan.
Interstisial pneumonitis adalah peradangan pada interstitsum, yang terdiri dari
dinding alveoli, kantung dan saluran alveolar, dan bronkiolus. Interstisial
pneumonitis biasanya disebabkan oleh infeksi virus akut, tetapi dapat menjadi
proses yang kronis3.
2.2 Epidemiologi
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi pneumonia tahun
2013 sebesar 4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan
10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi
2
Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%). Period prevalensi
pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita dengan pneumonia yang
berobat hanya 1,6 per mil. Lima provinsi yang mempunyai insiden pneumonia
balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Aceh (35,6%), Bangka
Belitung (34,8%), Sulawesi Barat (34,8%), dan Kalimantan Tengah (32,7%).
Insidens tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan
(21,7%)2.
2.3 Faktor Resiko
Faktor resiko pneumonia pada anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini4.
Tabel. 1 Faktor Resiko Pneumonia
Pranatal Perinatal Postnatal
Gizi ibu saat hamil
yang buruk
Ibu perokok
Ibu alkoholik
Infeksi pada ibu
BBLR
Asfiksia
Penggunaan ventilator
Tidak mendapatkan
ASI dini
Malnutrisi
Polusi udara didalam
maupun diluar rumah
Tidak mendapatkan
ASI ekslusif
Tidak mendapatkan
imunisasi
Sanitasi dan hygiene
lingkungan yang
buruk
Jumlah penduduk
yang padat
3
Menderita penyakit
lainnya
Defisiensi vitamin A
2.4 Etiologi
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh infeksi
virus, disamping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Di negara berkembang,
pneumonia lebih sering disebabkan oleh bakteri. Tabel etiologi pneumonia pada
anak sesuai dengan kelompok usia dapat dilihat pada tabel dibawah ini5.
Tabel 2. Etiologi Pneumonia pada Anak
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir (0 hari)
sampai 20 hari
Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptoccus group B Streptoccous group D
Listeria monocytogenes Haemophilllus influenzae
Streptococcus
pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu
sampai 3 bulan
Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae
tipe B
Virus Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
4
Virus Parainfluenza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial
Virus
Virus sitomegalo
4 bulan sampai
5 tahun
Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
5 tahun sampai
remaja
Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial
Virus
Virus Varisela-Zoster
2.5 Patofisiologi
5
Umumnya mikroorganisme terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
napas. Selanjutnya akan terjadi respon berupa empat tahap dari penumonia yaitu6:
1. Kongesti (4-12 jam), ditandai dengan adanya eksudat serosa yang masuk ke
dalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya), ditandai dengan tampakan paru yang
merah dan bergranula karena sel darah merah, fibrin, PMN, cairan edema,
dan mikroorganisme mengisi alveoli.
3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari), yaitu ditandai dengan paru yang tampak kelabu
karena deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat leukosit PMN di alveoli
dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
4. Resolusi (7-11 hari), ditandai dengan eksudat yang mengalami lisis, jumlah
makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin
menipis, mikroorganisme penyebab dan debris menghilang.
Pemberian antibiotik sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,
sehingga stadium khas yang telah diuraikan tadi tidak terjadi lagi. Beberapa
bakteri tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila
dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya
bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata diseluruh lapangan paru
(bronkopneumonia), dan pada anak yang lebih besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses kecil
sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil,
karena Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini
6
menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan
faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara
produksi koagulase dan virulensi bakteri. Staphylococcus yang tidak
menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Penumotokel
dapat menetap selama berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi
lebih lanjut5.
2.6 Manifestasi Kinis
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak
adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas,
gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi nonifeksi yang relatif lebih
sering, dan faktor patogenesis. Secara umum gambaran klinis pneumonia adalah
sebagai berikut5:
a. Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare, kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dinding dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
c. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti perkusi pekak,
suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil,
7
gejala biasanya lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan
auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.
2.7 Diagnosis
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan serologis
merupakan dasar untuk terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan pemeriksan laboratorium
penunjang yang memadai. Oleh karena itu, diagnosis pneumonia pada anak
umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukan keterlibatan
sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya
pnumonia adalah demam, sianosis, lebih dari satu gejala respiratori berikut:
takipnea, batuk, sesak, napas cuping hidung, retraksi dinding dada, ronki, dan
suara napas yang melemah5.
1. Pneumonia ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Napas dikatakan cepat jika7:
a. Pada anak berumur 2 bulan sampai 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
b. Pada anak berumur 1 tahun sampai 5 tahun: ≥40 kali/menit
2. Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini7:
a. Kepala terangguk-angguk
b. Pernapasan cuping hidung
c. Tarikan dinding dada bagian bawah
8
d. Foto dada menunjukan gambaran pneumonia
e. Napas cepat
Anak umur < 2 bulan: ≥ 60 kali/menit
Anak umur 2-11 bulan: ≥ 50 kali/menit
Anak umur 1-5 tahun: ≥ 40 kali/menit
Anak umur > 5 tahun: ≥ 30 kali/menit
f. Suara merintih (grunting) pada bayi
g. Pada auskultasi terdengar :
Crackles (ronki)
Suara pernapasan menurun
Suara pernapasan bronkial
h. Dalam keadaan sangat berat dapat dijumpai :
Tidak dapat menyusu atau makan dan minum, atau memuntahkan
semua makanan.
Kejang, letargis, dan tidak sadar.
Distres pernapasan berat.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma
umumnya leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi,
pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-
40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (<5.000/mm3)
menunjukan prognosis yang buruk. WBC dan jumlah granulosit lebih tinggi
9
pada pasien dengan infeksi bakteri dibandingkan pada mereka dengan infeksi
virus. Untuk leukosit dengan nilai cut-off 15,0 dan 20,0 x 103 memiliki
spesifisitas 86% dan 95% , untuk granulosit dengan cut-off 10,0 dan 15,0 x 103
memiliki spesifisitas 84 % dan 97%. Jumlah neutrofil mutlak (ANC) telah
diusulkan sebagai penanda untuk infeksi bakteri yang serius . ANC lebih dari
10.000/mm3 merupakan penanda infeksi bkteri dengan nilai sensitivitas (75%)
dan spesifisitas (75%). Pada infeksi Chlamydia pneumoniae kadang
ditemukan eosinofilia. Kadang-kadang terdapat anemia dengan laju endap
darah (LED) yang meningkat5,8.
b. C-Reactive Protein
C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh
hepatosit sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara
cepat distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor
nekrosis faktor (TNF). Secara klinis CRP digunakan untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri. Kadar CRP
lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri superfisialis daripada bakteri
profunda. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi
antibiotik5.
c. Uji Serologis
uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan
teteapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti titer antistreptolisin O, streptozim, atau
10
antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu.
Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen5.
Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat untuk
mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi bakteri atipik
seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV,
Sitomegalo, Campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B, dan Adeno,
peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis5.
d. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan kecuali untuk
pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorokan, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
Diagnosis dikatakan defenitif bila ditemukan mikroorganisme penyebab pada
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru5.
e. Pemeriksaan Roentgen Toraks
Foto roentgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan pada
foto toraks tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Secara umum
gambaran pada foto toraks adalah sebagai berikut5:
1. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi
2. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris,
11
atau biasanya terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, berbatas tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor
paru, dikenal sebagai round pneumonia.
3. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
2.8 Tatalaksana
Penetalaksanaan pneumonia menurut panduan WHO di bagi menjadi dua
yaitu tatalaksana pneumonia ringan dan pneumonia berat7:
a. Pneumonia ringan
1. Pasien dirawat jalan
2. Diberikan antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau amoksisilin (25mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3
hari. Untuk pasien pneumonia dengan HIV diberikan selama 5 hari.
3. Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa
kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak
memburuk atau tidak bisa minum atau menyusu.
4. Ketika anak kembali jika pernapasannya membaik (melambat), demam
berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai
seluruhnya 3 hari.
b. Pneuomonia Berat
1. Anak dirawat di rumah sakit
12
2. Terapi antibiotik :
a. Beri ampisilin atau amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM
setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam
pertama. Bila anak memberi respon baik maka diberikan selama 5
hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan dirumah atau dirumah sakit
dengan amoksisilin oral (15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5
hari berikutnya.
b. Bila keadaan memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kg BB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
c. Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau
ampisilin-gentamisin.
d. Sebagai alternatif diberikan, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM
atau IV sekali sehari).
e. Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan
buat foto dada.
f. Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan klosasilin (50
mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15
mg/kgBB/hari 3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik,
13
lanjutkan kloksasilin (atau diklosasilin) secara oral 4 kali sehari
sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, lalu klindamisin
oral selama 2 minggu.
3. Terapi oksigen
a. Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat.
b. Bila tersedia pulse oximetri, gunakan sebagai panduan untuk
terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen <
90%). Lakukan periode tanpa oksigen setiap harinya pada anak
yang stabil, hentikan pemberian bila saturasi tetap >90%.
Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna lagi.
c. Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
d. Pengggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk
menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau
masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia
secara terus-menerus setiap waktu.
e. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti
tarikan dinding dada bagian bawa ke dalam yang berat atau napas
>70/menit) tidak ditemukan lagi.
f. Sebaiknya memeriksa setiap 3 jam bahwa kateter atau prongs
tidak tersumbat oleh mukus dan berada ditempat yang benar serta
memastikan semua sambungan baik.
4. Perawatan penunjang
a. Bila anak disertai demam (≥ 39° C) beri parasetamol.
14
b. Bila ditemukan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat
c. Bila terdapat sekret kental ditenggorokan yang tidak dapat
dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat penghisap secara
perlahan.
d. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan rumatan sesuai
umur anak, tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan.
e. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
f. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan
cairan rumatan dalam jumlah sedikit tetapi sering, jika asupan
cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik
untuk meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan resiko
pneumonia aspirasi.
g. Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan
makanan. Beri makanan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan anak dalam menerimanya.
5. Pemantauan
a. Anak diperiksa perawat paling sedikit setiap 4 jam dan oleh
dokter paling sedikit 1 kali sehari.
b. Jika tidak ada komplikasi maka dalam 2 hari akan tampak
perbaikan klinis (bernapas tidak cepat, tidak adanya tarikan
dinding dada, bebas demam, anak dapat makan dan minum)
6. Kriteria pulang menurut idai
a. Gejala dan tanda pneumonia menghilang
15
b. Asupan per oral adekuat
c. Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan dirumah (peroral)
d. Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
kontrol
e. Kondisi rumah memadai perawatan lanjutan dirumah
2.9 Pencegahan
1. Pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan dan dilanjutkan dengan
pemberian PASI hingga usia 2 tahun dapat menurunkan kejadian dan
keparahan dari pneumonia9.
2. Pemberian vaksin terhadap Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenzae tipe b, yang merupakan dua bakteri yang paling sering
menyebabkan pneumonia pada anak-anak9.
3. Pemberian vaksin campak dan pertusis secara nyata mengurangi angka
kejadian pneumonia dan kematian pada anak-anak9.
4. Bayi dengan resiko tinggi diberikan profilaksis berupa antibodi monoklonal
untuk mencegah atau mengurangi resiko pneumonia berat yang disebabkan
oleh Respiratory syncytial virus (RSV)9.
5. Menjaga kebersihan lingkungan, penyediaan air bersih, kebiasaan memasak
air sebelum diminum, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun9.
6. Mengurangi jumlah polusi udara disekitar tempat tinggal9.
16
2.10 Komplikasi
Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sering menyebabkan pembentukan
cairan inflamasi yang terkumpul di dalam rongga pleura yang berdekatan,
menyebabkan efusi parapneumonia atau jika terlalu purulen akan menyebabkan
empiema. Diseksi udara di dalam jaringan paru-paru dapat menyebabkan
pneumatokel atau kantong udara. Pembentukan jaringan parut pada saluran napas
dan jaringan paru dapat menyebabkan pelebaran bronkus, sehingga menyebabkan
bronkiektasis dan peningkatan risiko infeksi3.
Pneumonia yang menyebabkan nekrosis jaringan paru dapat berkembang
menjadi abses paru. Bagian paru yang paling sering terkena adalah segmen
posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah. Abses paru sering
disebabkan oleh bakteri anaerob, kelompok Streptokokus, E. coli, Klebsiella
pneumoniae, P. aeruginosa , dan S. Aureus3.
2.11 Prognosis
Sebagian besar anak-anak yang mengalami peumonia sembuh dengan cepat
dan sempurna. Kelainan pada radiografi kembali normal dalam waktu 6 sampai 8
minggu. Dalam beberapa kasus, pneumonia dapat bertahan lebih dari 1 bulan atau
mungkin berulang. Pneumonia berat yang disebebabkan oleh adenovirus dapat
mengakibatkan obliterans bronkiolitis, merupakan suatu proses inflamasi subakut
di mana saluran udara kecil digantikan oleh jaringan parut. Sindrom paru
hiperlusen unilateral, atau Swyer-James Syndrome merupakan gejala sisa dari
17
pneumonia yang menyebabkan nekrosis jaringan paru dikaitkan dengan infeksi
adenovirus tipe 213.
18
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
a. Identitas Pasien
Nama lengkap : An. AI
Tempat dan tanggal lahir : Gunung Sari, 6 Februari 2014
Umur : 3 bulan 2 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Gunung Sari
Status dalam Keluarga : Anak Kandung
b. Identitas keluarga :
Ibu Ayah
Nama Ny. Widawati Tn. M Zunaini
Umur 23 th 28 th
Pendidikan/Berapa tahun SD/Tamat SMA/Tamat
Pekerjaan IRT Wiraswasta
c. Masuk RS tanggal : 2 Mei 2014
d. Diagnosis Masuk : Pneumonia
e. Keluar RS tanggal : 12 Mei 2014
f. Lama Perawatan : 10 hari
g. Keadaan saat KRS : Rawat jalan
19
3.2 Anamnesis (tanggal 2 Mei 2014, Heteroanamnesis dari ibu pasien)
a. Keluhan Utama: Sesak
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien diantar keluarganya ke RSUP NTB dengan keluhan sesak napas.
Sesak dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Menurut ibu pasien, sesak terjadi saat
pasien menarik napas dan saat sesak terdengar bunyi seperti suara grok-grok. Saat
sesak pasien tidak sampai kebiruan, dan pasien masih kuat menyusu, namun ibu
pasien tidak menghitung berapa kali pasien menyusu dalam sehari.
Pasien juga dikeluhkan mengalami demam sehari sebelum masuk rumah
sakit. Demam dirasakan tidak begitu tinggi, turun-naik dengan pola tidak
menentu. Saat pasien demam, ibu pasien tidak memberikan obat apapun dan tidak
dikompres. Demam tidak disertai menggigil dan kejang.
Selain itu, pasien juga dikeluhkan mengalami batuk sejak tanggal 26 maret
2014, yang disertai dahak, dahak masih bisa dikeluarkan dan berwarna putih
kental. Ibu pasien mengeluhkan batuk memberat saat pagi dan malam hari. Saat
batuk, pasien hanya digendong dan diberikan minyak kayu putih saja. Batuk
awalnya ringan dan jarang-jarang, tapi lama-kelamaan makin memberat sejak 1
bulan lalu. Menurut ibu pasien, batuk mengganggu tidur pasien, dan saat batuk
pasien kesulitan bernapas.
Pasien juga mengalami muntah sebelum masuk rumah sakit, muntah
sebanyak 2 kali, masing-masing berjumlah kira-kira seperempat gelas belimbing
(50 ml) dan berwarna putih. Muntah diawali batuk-batuk yang lama.
20
Menurut ibu pasien, pasien buang air besar lancar dan normal, sehari
pasien buang air besar 1-3 kali, dengan konsistensi lunak, berwarna kuning
kecoklatan, tidak ditemukan darah (buang air besar berwarna merah atau hitam),
tidak ditemukan lendir. Pasien buang air kecil lancar dan normal, 5-6 kali perhari,
setiap buang air kecil kira-kira berjumlah setengah gelas (100 ml), berwarna
kuning jernih, dan tidak berwarna merah seperti teh.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien pernah dirawat di RSUP NTB karena pneumonia berat 1,5 bulan
yang lalu. Pasien dirawat selama 18 hari. Pada saat itu pasien mengalami sesak
napas disertai batuk dan demam. Karena keluhan tersebut pasien di bawa ke
Puskesmas Gunung Sari dan selanjutnya dirujuk ke RSUP NTB.
d. Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial
Riwayat sesak pada keluarga yang tinggal serumah di sangkal.
Terdapat riwayat sesak napas pada keluarga lain yang tinggal tidak
serumah yaitu kakek dan sepupu pasien.
Riwayat sesak pada tetangga disekitar rumah pasien disangkal.
Terdapat riwayat kontak langsung dengan kakek pasien.
Riwayat kontak langsung dengan sepupu pasien disangkal.
Riwayat pengobatan pneumonia pada keluarga yang tinggal serumah,
tetangga sekitar dan teman-teman pasien disangkal.
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.
21
Riwayat kelainan darah (talasemia, hemofilia, leukemia) disangkal.
e. Riwayat Keluarga (Ikhtisar)
Pasien merupakan anak pertama dan anak tunggal dari perkawinan kedua
orang tuanya.
f. Riwayat Pengobatan
Pada saat sesak, batuk, demam 1,5 bulan yang lalu, pasien dibawa ke
Puskesmas Gunung Sari. Di Puskemas Gunung Sari, pasien diberikan terapi
berupa oksigen dan obat puyer. Setelah itu pasien di rujuk ke RSUP NTB di IGD
pasien mendapatkan pengobatan berupa oksigen, infuse, antibiotik, serta penurun
panas. Saat di bangsal anak pasien mendapatkan pengobatan berupa oksigen,
infuse, antibiotik, penurun panas, dan dilakukan nebulisasi.
g. Riwayat Pribadi
1. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Selama kehamilan ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan di
Puskesmas Gunung Sari, ibu pasien melakukan pemeriksaan sebanyak 3 kali dan
tidak ditemukan kelainan pada ibu dan janin. Saat hamil ibu pasien juga tidak
pernah menderita sakit, ibu pasien tidak pernah meminum obat-obatan atau jamu-
jamuan. Selama hamil ibu pasien rutin mengkonsumsi obat penambah darah yang
diberikan dari puskesmas. Pasien merupakan anak pertama, lahir spontan di
Puskesmas Gunung Sari, cukup bulan, ditolong bidan dan dokter, ibu pasien lupa
22
berat badan pasien saat lahir, lahir langsung menangis, pasien tidak berwarna
kebiruan atau kuning setelah lahir.
2. Riwayat Nutrisi
Saat ini pasien masih diberikan ASI dan ibu pasien belum memberikan
makanan lain selain ASI. Menurut ibu pasien, nafsu makan pasien tidak
mengalami penurunan saat sakit.
3. Perkembangan dan Kepandaian
Orang tua pasien menyatakan perkembangan anaknya cukup baik. Pasien
sudah bisa tengkurap dengan kepala diangkat, bereaksi terhadap suara, menatap
muka seseorang, dan tersenyum sacara spontan.
4. Vaksinasi
Ibu pasien menyatakan pasien baru mendapatkan imunisasi yang diberikan
dengan disuntik sebanyak dua kali di bagian paha yaitu saat pasien baru lahir dan
saat usia pasien 1 bulan. Pasien juga baru mendapatkan satu kali imunisasi yang
diberikan dengan cara diteteskan di mulut. Jadi pasien baru mendapatkan
imunisasi hepatitis B sebanyak 2 kali dan polio sebanyak 1 kali.
5. Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Keluarga pasien termasuk sosial-ekonomi rendah, bapak pasien bekerja
sebagai wiraswasta dengan penghasilan perbulan tidak tentu sekitar Rp.750.000 –
23
1.000.000 perbulan. Pasien tinggal bertiga bersama orang tua. Ayah pasien adalah
perokok aktif (8 batang perhari) dan sering merokok di dekat pasien. Pasien
tinggal di daerah persawahan yang jarak antar rumah cukup berjauhan. Rumah
pasien berdinding tembok, beratap genteng, lantai semen, terdapat ventilasi di atas
setiap pintu dan jendela, serta orang tua pasien rutin membuka jendela. Sirkulasi
udara baik, pencahayaan baik. Jarak dapur dengan kamar tidur pasien 3 meter,
memasak menggunakan kompor gas, Sumber air untuk MCK berasal dari air
sumur. Air minum juga berasal dari air sumur, dan sebelum dikonsumsi air
tersebut dimasak dulu. Kebiasaan menggunakan sabun untuk cuci tangan jarang
dilakukan oleh keluarga.
3. 3 Pemeriksaan Fisik (tanggal 6-05-2014)
a. Status Present
KU : Sedang
RR : 57 kali permenit
Nadi : 138 kali permenit
T ax : 37,0 °C
b. Status Gizi
Berat badan : 5 kg
Panjang badan : 57 cm
Kesimpulan status gizi : gizi baik
o BB/U = 0 SD sampai (2) SD gizi baik
o TB/U = 0 SD sampai (2) SD tinggi normal
24
o BB/TB = 0 SD sampai (-1) SD Normal
25
26
27
c. Status General :
Kepala dan Leher
1. Kepala
Bentuk : normosefali
Ubun-ubun besar : terbuka dan teraba datar
Rambut : berwarna hitam, tipis, dan distribusi jarang-jarang
2. Mata
a. Konjungtiva kanan dan kiri tidak tampak anemis
b. Sklera kanan dan kiri tidak tampak ikterus
c. Pupil kanan dan kiri isokor
d. Refleks pupil kanan dan kiri normal
e. Alis dan bulu mata tidak mudah dicabut
f. Kornea tampak jernih
3. Telinga
a. Bentuk: telinga kanan dan kiri tampak simetris, tidak ditemukan
deformitas
b. Sekret: tidak ditemukan adanya sekret pada telinga kanan dan kiri
c. Serumen: terlihat sedikit serumen pada telingan kanan
4. Hidung
a. Bentuk : hidung tampak simetris
b. Pernafasan cuping hidung: tidak ada
c. Tidak tampak sekret pada lubang hidung kanan dan kiri
28
5. Mulut
a. Bibir: mukosa bibir berwarna kemerahan dan basah dengan
bercak berwarna putih, tidak tampak sianosis.
b. Rongga mulut: bentuk lidah normal, berwarna kemerahan,
tampak bercak putih pada rongga mulut dan lidah pasien.
6. Leher
Tidak tampak pembesaran kelenjar getah pada leher pasien
Thorak
1. Inspeksi: pergerakan dinding dada tampak simetris antara kanan dan
kiri, tampak retraksi subcostal minimal
2. Palpasi: pergerakan dinding dada simetris
3. Perkusi: sonor di kedua lapang paru
4. Auskultasi :
i. Pulmo: terdapat rhonki basah halus di kedua paru pada
bagian basal paru, terdengar wheezing di kedua lapang
paru.
ii. Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
1. Inspeksi: perut tidak tampak distensi, tidak tampak adanya masa
2. Auskultasi: Bising usus normal
3. Perkusi: Timpani di semua kuadran
4. Palpasi: tidak teraba masa
29
Ekstremitas
Tungkai Atas Tungkai Bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral hangat Ya Ya Ya Ya
Edema Tidak Tidak Tidak Tidak
Sianosis Tidak Tidak Tidak Tidak
Kelainan
bentuk
Tidak Tidak Tidak Tidak
3.4 Resume
Pasien laki-laki, berusia 3 bulan, dengan berat badan 5 kg, status gizi baik,
datang dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Pasien
juga dikeluhkan demam sehari sebelum masuk rumah sakit, demam turun-naik
dengan pola tidak menentu. Selain itu, pasien juga dikeluhkan mengalami batuk
sejak tanggal 26 maret 2014, yang disertai dahak, dahak masih bisa keluar dan
berwarna putih kental. Pasien juga mengalami muntah sebelum masuk rumah
sakit, muntah sebanyak 2 kali, masing-masing berjumlah kira-kira seperempat
gelas belimbing (50 ml) dan berwarna putih. Sebelumnya pasien pernah dirawat di
RSUP NTB karena pneumonia berat 1,5 bulan yang lalu. Pasien dirawat selama
18 hari. Terdapat riwayat keluarga dengan keluhan serupa (sesak napas, demam,
batuk, dan batuk).
Didapatkan keadaan umum sedang, RR: 57 kali permenit, nadi: 138 kali
permenit, Tax: 37,0°C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan retraksi subcostal
30
minimal, rhonki basah halus di kedua paru pada bagian basal, dan wheezing di
kedua paru
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (tanggal 02-05-2014)
HGB 9,5 g/dl L 13,0 - 18,0
RBC 3,20 x 106/uL L 4,5 - 5,5
HCT 28,0 % L 40,0 - 50,0
MCV 87,5 fL 82,0 - 92,0
MCH 29,7 pg 27,0 - 31,0
MCHC 33,9 g/dl 32,0 - 37,0
WBC 12,90 x 103/uL 4,0 – 11,0
PLT 375 x 103/uL 150 – 400
3.6 Diagnosis Kerja
Pneumonia Berat
Pertussis Like Cough
Anemia Normokromik Normositer et Causa Defisiensi Besi Tahap
Awal
3.7 Diagnosis Banding
Bronkiolitis
3.8 Rencana awal
31
Rencana terapi :
a. O2 1 liter per menit
b. Infuse D5 ¼ NS 10 ttm/menit
c. Cefotaxime 3 x 175 mg
d. Combivent setiap 8 jam. Kemudian dilanjutkan dengan suction post
nebulisasi
e. klaritromisin 2 x 50 mg
f. Fisioterapi dada
3.9 Follow UP Pasien
Jumat, 02 Mei 2014
Subyektif
Batuk
muntah
Sesak
Pasien tidak
demam
pasien
masih mau
menyusu
Obyektif
Ku: sedang
Nadi: 138 x /
menit
RR: 57 x/menit
Tax: 37,0 °C
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Tampak retraksi
subcostal
Terdengar
rhonki basah
halus di kedua
paru
Terdengar
wheezing di
Assessment
Pneumonia lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
normokromik
normositer et causa
defisiensi besi
tahap awal
Planning
a. O2 1 liter per menit
b. Infuse D5 ¼ NS 10
ttm/menit
c. Cefotaxime 3 x 175
mg
d. Combivent setiap 8
jam. Kemudian
dilanjutkan dengan
suction post
nebulisasi
e. Klaritromisin 2 x 50
mg
f. Fisioterapi dada
32
kedua paru
Sabtu, 3 Mei 2014
Subyektif
Batuk
Sesak
Pasien tidak
demam
pasien
masih mau
menyusu
Obyektif
Ku : sedang
Nadi : 125 x /
menit
RR : 49 x/menit
Tax : 36,3 °C
SPO2: 98%
dengan oksigen
1 liter per menit
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Tampak retraksi
subcostal
minimal
Terdengar
rhonki basah
halus di kedua
paru
Terdengar
wheezing di
kedua paru
Assessment
Pneumonia lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
normokromik
normositer et causa
defisiensi besi
tahap awal
Planning
a. O2 1 liter per menit
b. Infuse D5 ¼ NS 10
ttm/menit
c. Cefotaxime 3 x 175
mg
d. Combivent setiap 8
jam. Kemudian
dilanjutkan dengan
suction post
nebulisasi
e. Klaritromisin 2 x 50
mg
Minggu, 4 Mei 2014
Subyektif
Batuk
Sesak
Pasien tidak
demam
pasien
Obyektif
Ku : sedang
Nadi : 137 x /
menit
RR : 52 x/menit
Tax : 36,7 °C
Assessment
Pneumonia lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
normokromik
Planning
a. O2 1 liter per menit
b. Infuse D5 ¼ NS 10
ttm/menit
c. Cefotaxime 3 x 175
mg
33
masih mau
menyusu
SPO2 : 97%
dengan oksigen
1 liter permenit
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Tampak retraksi
subcostal
minimal
Terdengar
rhonki basah
halus di kedua
paru
Terdengar
wheezing di
kedua paru
normositer et causa
defisiensi besi
tahap awal
d. Combivent setiap 8
jam. Kemudian
dilanjutkan dengan
suction post
nebulisasi
e. Klaritromisin 2 x 50
mg
Senin, 5 Mei 2014
Subyektif
Batuk
Sesak
Pasien tidak
demam
Pasien
masih mau
menyusu
Obyektif
Ku : sedang
Nadi : 132 x /
menit
RR : 54 x/menit
Tax : 36,5 °C
SPO2 : 98%
dengan oksigen
1 liter permenit
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Tidak tampak
Assessment
Pneumonia lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
normokromik
normositer et causa
defisiensi besi
tahap awal
Planing
a. O2 1 liter per menit
b. Infuse D5 ¼ NS 10
ttm/menit
c. Cefotaxime 3 x
175 mg
d. Combivent setiap 8
jam. Kemudian
dilanjutkan dengan
suction post
nebulisasi
e. Klaritromisin 2 x
50 mg
34
retraksi minimal
Terdengar
rhonki basah
halus
Terdengar
wheezing
Atelektasis
lobus superior
dextra
f. Dexamethasone 3
x 3 mg
g. Fisioterapi dada:
gentle clapping,
positioning lobus
superior dextra,
massage
Selasa 6 Mei 2014
Subyektif
Batuk
Sesak
Pasien tidak
demam
pasien
masih mau
menyusu
Obyektif
Ku : Sedang
Nadi : 138 x /
menit
RR : 58 x/menit
Tax : 37,0 °C
SPO2 : 98%
dengan oksigen 1
liter permenit
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Tampak retraksi
subcostal
minimal
Terdengar rhonki
basah halus
Terdengar
wheezing
minimal
Assessment
Pneumonia lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
normokromik
normositer et causa
defisiensi besi
tahap awal
Planning
a. O2 1 liter per menit
b. Infuse D5 ¼ NS 10
ttm/menit
c. Cefotaxime 3 x
175 mg
d. Combivent setiap 8
jam. Kemudian
dilanjutkan dengan
suction post
nebulisasi
e. Klaritromisin 2 x
50 mg
f. Dexamethasone 3
x 3 mg
Rabu, 7 Mei 2014
35
Subyektif
Batuk
berkurang
Sesak
berkurang
Pasien tidak
demam
pasien
masih mau
menyusu
Obyektif
Ku : Sedang
Nadi : 124 x /
menit
RR : 44 x/menit
Tax : 36,7 °C
SPO2 : 98%
dengan oksigen 1
liter permenit
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Tampak retraksi
subcostal
minimal
Terdengar rhonki
basah halus
Tidak terdengar
wheezing
Assessment
Pneumonia lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
normokromik
normositer et causa
defisiensi besi
tahap awal
Planning
a. O2 dilepas
b. Infuse D5 ¼ NS 10
ttm/menit
c. Cefotaxime 3 x
175 mg
d. Combivent setiap 8
jam. Kemudian
dilanjutkan dengan
suction post
nebulisasi
e. Klaritromisin 2 x
50 mg
f. Dexamethasone 3
x 3 mg
Kamis, 8 Mei 2014
Subyektif
Batuk
berkurang
Tidak sesak
Pasien tidak
demam
pasien
masih mau
menyusu
Obyektif
Ku : Sedang
Nadi : 121 x /
menit
RR : 41 x/menit
Tax : 37,3 °C
SPO2 : 97% tanpa
oksigen
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Assessment
Pneumonia lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
normokromik
normositer et causa
defisiensi besi
tahap awal
Planning
a. Infuse dilepas
b. Cefotaxime 3 x
175 mg
c. Klaritromisin 2 x
50 mg
d. Salbutamol/
metilprednisolon di
puyer 3 x 1
36
Tampak retraksi
subcostal
minimal
Terdengar rhonki
sedang
Terdengar
wheezing
minimal
Jumat, 9 Mei 2014
Subyektif
Batuk
berkurang
Tidak sesak
Pasien tidak
demam
pasien
masih mau
menyusu
Obyektif
Ku : Sedang
Nadi : 128 x /
menit
RR : 42 x/menit
Tax : 37,0 °C
SPO2 : 98% tanpa
oksigen
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Tampak bercak
putih di bibir dan
lidah
Tampak retraksi
subcostal
minimal
Tidak terdengar
rhonki
Terdengar
wheezing
minimal
Assessment
Pneumonia lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
normokromik
normositer et causa
defisiensi besi
tahap awal
Planning
a. Cefotaxime 3 x
175 mg
b. Klaritromisin 2 x
50 mg
c. Salbutamol/
metilprednisolon
dipuyer 3 x 1
d. Enystin drop 3 x
0,5 ml
e. Oral hygiene
37
Oral thrush
Sabtu, 10 Mei 2014
Subyektif
Tidak batuk
Tidak sesak
Pasien tidak
demam
pasien
masih mau
menyusu
Obyektif
Ku : Sedang
Nadi : 124 x /
menit
RR : 45 x/menit
Tax : 36,9 °C
SPO2 : 98% tanpa
oksigen
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Tidak tampak
retraksi
Tidak terdengar
rhonki
Tidak terdengar
wheezing
Assessment
Pneumonia lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
normokromik
normositer et causa
defisiensi besi
tahap awal
Planning
a. Cefotaxime 3 x
175 mg
b. Klaritromisin 2 x
50 mg
c. Enystin drop 3 x
0,5 ml
d. Salbutamol/
metilprednisolon
dipuyer 3 x 1
Senin, 12 Mei 2014
Subyektif
Tidak batuk
Tidak
Sesak
Pasien tidak
demam
pasien
masih mau
menyusu
Obyektif
Ku : baik
Nadi : 125 x /
menit
RR : 40 x/menit
Tax : 36,6 °C
Tidak tampak
napas cuping
hidung
Tidak tampak
retraksi
Assessment
Pneumonia
lobaris
Pertussis like
cough
Anemia
defisiensi besi
Planning
a. BPL
b. Kontrol ke poli
anak
c. Enystin drop 3 x
0,5 ml
d. Cefadroxil 2 x 2,5
ml
38
Terdengar rhonki
basah halus
Terdengar
wheezing minimal
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan pneumonia berat + pertussis like
cough + anemia normokromik normositer et causa defisiensi besi tahap awal.
Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru, sebelah distal dari bronkiolus
39
terminalis (bronkiolus respirtorius dan alveoli) disertai konsolidasi jaringan paru.
Pneumonia masih menjadi masalah kesehatan utama masyarakat indonesia karena
pneumonia merupakan penyebab kematian kedua tertinggi setelah diare diantara
balita. Secara garis besar pneumonia disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur.
Diagnosis pneumonia ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang telah dilakukan. Diagnosis pneumonia berat didapat berdasarkan
anamnesis bahwa pasien dikeluhkan menderita sesak napas sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit disertai demam dan muntah sejak sehari sebelum masuk
rumah sakit serta batuk sejak 1,5 bulan yang lalu. Sedangkan dari pemeriksaan
fisik didapatkan napas cepat (berjumlah 57 kali permenit), rhonki basah halus
serta wheezing di kedua lapang paru.
Penatalaksanaan pneumonia berat dilakukan dengan pemberian oksigen,
pemberian cairan intravena bertujuan untuk pemberian nutrisi parenteral (lansung
masuk ke dalam sistem sirkulasi), jalur pemberian obat. Pemberian antibiotik,
dipilih cefotaxime karena pada kasus ini pasien sebelumnnya pernah mengalami
pneumonia berat dan dirawat di rumah sakit. Cefotaxime merupakan antibiotik
alternatif yang dapat diberikan pada pneumonia berat atau pneumonia berulang.
Combivent dipilih karena memiliki efek bronkodilator yang lebih baik karena
memiliki dua mekanisme kerja yang berbeda yaitu memiliki efek antikolinergik
(ipratropium bromide) dan simpatomimetik (albuterol sufate).
Pertusis adalah batuk rejan atau whooping cough yang disebabkan oleh
Bordetella pertusis. Diagnosis pertussis like cough ditegakan berdasarkan gejala
klinis pasien yaitu demam, batuk yang sudah terjadi sejak 1,5 bulan yang lalu,
40
batuk kuat berturut-turut dalam satu ekspirasi, timbulnya suara whoop saat
inspirasi, batuk berdahak dan lengket, serta muntah pasca batuk. Penatalaksanaan
pertussis like cough adalah dengan pemberian antibiotik dari golongan makrolid.
Makrolid efektif untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
positif, bakteri intrasel, dan bakteri tanpa dinding sel. Eritromisin, Klaritromisin,
azitromisin, roksitromisin. Klaritromisin lebih dipilih karena memiliki efektivitas
klinis yang lebih baik.
Diagnosis anemia normokromik normositer et causa defisiensi besi tahap
awal ditegakan berdasarkan nilai HB pasien 9,5 g/dL dengan MCV, MCH,
MCHC masih dalam batas normal. Namun untuk penegakan diagnosis pasti dari
anemia defisiensi besi perlu dilakukan pemeriksaan Fe serum dan TIBC.
Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) menggambarkan
suplai besi ke eritroid sumsum tulang. Bila saturasi transferin (ST) < 16%
menunjukan suplai besi yang tidak adekuat, ST < 7% diagnosis anemia defisiensi
besi dapat ditegakan, nilai ST 7-16% dapat digunakan untuk diagnosis anemia
defisiensi besi jika nilai MCV rendah. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi
umumnya berupa pemberian preparat Fe secara peroral atau parenteral.
Pada kasus ini diperlukan pemantauan secara berkala untuk menilai ada
tidaknya komplikasi, menilai tanda klinis pasien. Pada kasus pneumonia berat
anak paling sedikit dipantau setiap 3 jam sekali oleh perawat dan 1 hari sekali
oleh dokter. Jika tidak ada komplikasi, maka dalam 2 hari telah tampak perbaikan
klinis berupa bernapas tidak cepat, tidak ada tarikan dinding dada, bebas demam,
anak mau makan dan minum atau mau menyusu.
41
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair., 2010, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru,
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya.
42
Riset Kesehatan Dasar., 2013, ‘Period Prevalence Pneumonia Balita, dan
Prevalensi Pneumonia Menurut Provinsi, Indonesia 2013’, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI,
Jakarta
Behrman RE, Vaughan VC, 1992, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Ed 12,
Jakarta: EGC.
Don, Massimilliano., 2009,’ Community-Acquired Pneumonia’,University of
Tampere: Italy
Setyanto, Budi, D., 2008, Buku Ajar Respirologi Anak Ed.1 , Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M., Patofisiologi Ed 6, Jakarta: EGC
WHO Indonesia., 2008, Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota, Alih bahasa: Tim
Adaptasi Indonesia, Jakarta: Depkes RI.
M, Korppi., 1993, ‘White Blood Cell and Differential Counts in Acute Respiratory
Viral and Bacterial Infections in Children ’ , Scand Journal Infection
Disease, no. 25, vol. 4, hh.435-40.
Bradley, John et al., 2011, ‘The Management of Community-Acquired Pneumonia
in Infants and Children Older Than 3 Months of Age: Clinical Practice
Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America’, Infectious Diseases Society of
America: San Diego
43
44