Pluralitas

7
Kemajemukan: Kekuatan atau Ancaman? …. Sejarah telah membuktikan bahwa kehancuran iman dan agama disebabkan oleh kebodohan. Jangan sekali-kali berbuat bodoh…. [kutipan ungkapan dalam film tanda Tanya (“?”)] Banyak orang berkata bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan biasanya diidentikkan dengan keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya. Tak dapat dipungkiri bahwa kemajemukan tersebut disatu sisi dapat menghasilkan sebuah kekuatan yang kokoh, namun jangan lupa, kemajemukan dapat juga menjadi sebuah kelemahan yang memicu terjadinya disintegrasi. Kemajemukan menjadi kekuatan apabila kemajemukan tersebut dapat diakomodir sedemikian rupa sehingga menghasilkan nilai persatuan dan kesatuan yang menjunjung tinggi pluralitas. Di sisi lain, kemajemukan dapat menjadi ancaman apabila ego golongan begitu tinggi sedangkan pemahaman akan nilai pluralitas masih sangatlah rendah. Dengan demikian, kemajemukan bagaikan pisau bermata dua yang dapat mengarah/diarahkan pada sisi positif ataupun sisi negatifnya. Sejauh penulis mengamati dinamika kehidupan Indonesia dewasa ini, penulis mendapati berbagai macam persoalan yang berhubungan dengan kemajemukan. Persoalan yang berkaitan dengan kemajemukan tersebut seringkali diwarnai dengan isu-isu yang mengandung SARA. Menurut hemat penulis, maraknya isu-isu yang berbau SARA disebabkan belum mampunya masyarakat Indonesia menggali kesejatian makna realitas yang terungkap dalam sebuah kata pluralitas. Melihat fakta demikian, seakan-akan mind set yang ada adalah yang berbeda dianggap sebagai musuh yang harus dibumihanguskan. Hal ini menjadi ironi ketika falsafah dasar negara Indonesia adalah Pancasila yang mengusung semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dimana perbedaan seharusnya dipandang sebagai sebuah kewajaran yang justru menuntut kedewasaan setiap pribadi dan golongan untuk 1

Transcript of Pluralitas

Page 1: Pluralitas

Kemajemukan: Kekuatan atau Ancaman?

…. Sejarah telah membuktikan bahwa kehancuran iman dan agama disebabkan oleh kebodohan. Jangan sekali-kali berbuat bodoh…. [kutipan ungkapan dalam film tanda Tanya (“?”)]

Banyak orang berkata bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan biasanya diidentikkan dengan keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya. Tak dapat dipungkiri bahwa kemajemukan tersebut disatu sisi dapat menghasilkan sebuah kekuatan yang kokoh, namun jangan lupa, kemajemukan dapat juga menjadi sebuah kelemahan yang memicu terjadinya disintegrasi. Kemajemukan menjadi kekuatan apabila kemajemukan tersebut dapat diakomodir sedemikian rupa sehingga menghasilkan nilai persatuan dan kesatuan yang menjunjung tinggi pluralitas. Di sisi lain, kemajemukan dapat menjadi ancaman apabila ego golongan begitu tinggi sedangkan pemahaman akan nilai pluralitas masih sangatlah rendah. Dengan demikian, kemajemukan bagaikan pisau bermata dua yang dapat mengarah/diarahkan pada sisi positif ataupun sisi negatifnya.

Sejauh penulis mengamati dinamika kehidupan Indonesia dewasa ini, penulis mendapati berbagai macam persoalan yang berhubungan dengan kemajemukan. Persoalan yang berkaitan dengan kemajemukan tersebut seringkali diwarnai dengan isu-isu yang mengandung SARA. Menurut hemat penulis, maraknya isu-isu yang berbau SARA disebabkan belum mampunya masyarakat Indonesia menggali kesejatian makna realitas yang terungkap dalam sebuah kata pluralitas. Melihat fakta demikian, seakan-akan mind set yang ada adalah yang berbeda dianggap sebagai musuh yang harus dibumihanguskan. Hal ini menjadi ironi ketika falsafah dasar negara Indonesia adalah Pancasila yang mengusung semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dimana perbedaan seharusnya dipandang sebagai sebuah kewajaran yang justru menuntut kedewasaan setiap pribadi dan golongan untuk tidak bersikap eksklusif melainkan memiliki sikap inklusif.

Melihat historisitas bangsa Indonesia, semangat untuk bersatu dalam kemajemukan sebenarnya telah muncul dalam perjuangan pergolakan Indonesia di masa kolonialisme. Peristiwa Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) merupakan bukti konkrit adanya kesadaran pemuda Indonesia saat itu untuk bersatu di dalam perbedaan. Perasaan senasib sepenanggungan menumbuhkan semangat untuk bersatu guna mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Penulis merasa perlu berterima kasih atas prakarsa pemuda saat itu, karena dengan adanya moment sumpah pemuda, lahirlah bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu di tengah keanekaragaman budaya (baca: bahasa) yang ada di tanah air. Menurut hemat penulis, perumusan Pancasila sebagai dasar negara tidak lepas dari adanya semangat untuk bersatu di dalam kemajemukan. Maka dari itu, semangat yang ada dalam Pancasila dan peristiwa sumpah pemuda seharusnya menjadi payung bersama dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai kemajemukan.

Tulisan ini merupakan usaha penulis guna menganalisis dinamika kehidupan rakyat Indonesia dewasa ini yang hidup di dalam kemajemukan. Hipotesis yang diajukan oleh penulis adalah kemajemukan yang ada di Indonesia belum mampu diakomodir secara baik dan tepat. Indikatornya adalah penulis sering menjumpai berbagai masalah sosial yang dilatarbelakangi oleh isu-isu yang mengandung SARA

1

Page 2: Pluralitas

(suku, agama, dan ras). Maka dari itu, melalui tulisan ini penulis ingin mengkaji dan sekaligus menuangkan pemikiran mengenai dinamika kemajemukan yang terjadi di Indonesia dalam secercah tulisan ini.

Sebuah miss-link

Sebagaimana telah disinggung di atas, para penggagas sistem dan bentuk negara Indonesia telah merumuskan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Pancasila merupakan norma paling mendasar dan sekaligus tertinggi (grand norm) yang berisikan nilai-nilai ketuhanan (monotheism), kemanusiaan (humanity), persatuan (nasionalism), demokrasi (democracy), dan keadilan sosial (socialism). Sejauh penulis memahami, semangat yang ada dalam pancasila adalah cita-cita ideal yang diambil dari khazanah tradisi pemikiran Barat. Namun sejauh penulis mengamati, semangat dalam pancasila tersebut belum mampu dicerna secara baik oleh kebanyakan orang Indonesia. Indikator belum dipahaminya semangat pancasila dengan baik adalah sering munculnya berbagai permasalahan yang selalu berbau SARA, entah disebabkan oleh adanya unsur politik praktis, kultur feodal yang masih kental, dsb. Inilah sisi kontradiktif yang menjangkiti bangsa ini. Justru ketika ideodalgi negara memegang prinsip keterbukaan yang mengakomodir segala keberbedaan (pluralitas), namun yang terjadi justru adalah konflik-konflik mengenai pluralitas itu sendiri.

Dari sini muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik diri penulis, yaitu: Sisi manakah yang harus dibenahi dari keruwetan kontradiktif tersebut? Menurut hemat penulis, munculnya masalah yang berbau SARA tersebut disebabkan karena sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang belum mampu mencerna nilai-nilai luhur pancasila tersebut dengan baik. Secara lebih lugas, hal ini terkait dengan masih rendahnya kualitas SDM. Kebanyakan orang Indonesia masih mudah jatuh (baca: dihasut) dengan provokasi-povokasi (pernyataan-pernyataan) yang belum tentu kebenarannya. Hal itu menandai juga dengan masih kentalnya budaya masa (ikut-ikutan) di negara ini. Budaya masa yang dimaksud oleh penulis adalah sebuah budaya dimana masyarakatnya belum mampu berpikir (kritis) secara mandiri. Terlebih lagi, adanya sikap yang belum berani untuk mengambil sikap/posisi kontra terhadap suatu hal yang salah. Kebanyakan orang justru memilih ikut menceburkan diri pada suatu sikap yang jelas-jelas keliru. Entah motivasinya untuk membiarkan kesalahan yang ada atau bahkan justru telah kehilangan kesadaran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sebagaimana terjadinya fenomena korupsi akut yang terjadi di negara ini, ketika lingkungan sekitar korupsi, maka aku pun harus ikut korupsi. Justru ketika aku tidak korupsi, maka aku akan dianggap aneh/salah oleh lingkungan sekitarku yang korupsi. Inilah banalitas kejahatan yang turut melanda negara ini.

Lalu dimanakah miss link-nya? Sebagaimana telah tersirat di atas, bahwa nilai-nilai yang ada dalam pancasila bukan merupakan produk khas budaya masyarakat Indonesia. Nilai-nilai dalam pancasila, pertama-tama, berasal dari tradisi pemikiran Barat yang telah mengalami masa pencerahan (Aufklarung). Tradisi pemikiran Barat berhasil menelurkan nilai-nilai tersebut karena mereka telah mengalami sebuah bentuk penyadaran akan pentingnya otonomi akal budi dalam memahami realitas. Miss link-nya adalah bangsa Indonesia belum memiliki kesadaran akan pentingnya peran akal budi dalam memahami realitas. Dengan kata lain, Indonesia belum mengalami masa pencerahan sebagaimana telah dialami oleh masyarakat Barat. Maka dari itu, nilai-nilai dari tradisi Barat yang coba ditanamkan

2

Page 3: Pluralitas

dalam Pancasila tak urung hanya menjadi slogan kosong yang tak mampu terpahami hakekatnya. Ada jurang yang belum dijembatani.

Fanatisme Sempit

Fanatisme sempit pada agama dan ideologi tertentu menciptakan sekat-sekat dalam dunia-kehidupan. Ketika manusia masih terkungkung dalam parsialitas perspektif (agama, budaya, suku, ras, ideologi), maka manusia seringkali jatuh untuk memutlakkan s(u)atu kebenaran saja dan bahkan cenderung menganggap yang lain bukan sebagai saudara melainkan musuh yang harus dibumihanguskan. Mengutip iklan kecap di TV: “kecapku selalu nomer satu”. Dengan kata lain, agamaku; budayaku; sukuku; ideologiku selalu yang kuanggap paling “benar” dan yang lain mungkin hanya sedikit benar atau bahkan tidak benar (salah) sama sekali. Inilah sisi yang harus dikritisi secara terus-menerus. Jika manusia hanya terkungkung dala s(u)atu perspektif dimensi, tidak mampu keluar darinya, dan bahkan hanya menelan secara mentah-mentah isi ajaran di dalamnya, maka dapat dipastikan bahwa kehidupan bersama sebagai bangsa yang plural akan kacau balau. Maka, agar terbebas dari kerangka perspektif yang parsial tersebut manusia harus menjadi individu yang mampu berpikir mandiri, bebas dan merdeka.

Pribadi yang berpikir secara mandiri adalah pribadi yang kuat dalam membuat distingsi-distingsi (pembedaan-pembedaan) terhadap segala sesuatu. Pribadi yang mampu berpikir mandiri adalah manusia yang “terbebas” dari keterkungkungan dimensi parsialitas hidupnya. Pribadi yang demikian tidak lagi terjebak dalam fanatisme sempit, melainkan mampu berpikir secara terbuka, mampu menerima yang lain (yang berbeda) serta mengakomodir perbedaan itu dalam suatu bentuk usaha penyelesaian konflik yang dialogis. Terlebih lagi, pribadi yang berpikir secara mandiri selalu dapat membaca situasi zaman dan menafsirkannya secara kontekstual dengan zaman dimana ia hidup.

Pribadi yang mampu berpikir secara mandiri tidak lagi terkotak-kotak dalam parsialitas agama, suku, ras, budaya dan ideologi tertentu melainkan semakin menyadari kepenuhan dirinya sebagai manusia yang utuh dan tak terbagi-bagi. Namun demikian, tesis menjadi manusia yang utuh dan tak terbagi-bagi tetap memiliki sisi paradoks dan self critic (kritik diri)-nya, yakni justru di dalam dimensi-dimensi parsialitasnya (agama, komunitas yang memegang iideologi tertentu, dsb) manusia terkadang justru menemukan identitas sosialnya. Tanpa adanya parsialitas (perspektif-perspektif) dimensi kemanusiaan tersebut seringkali manusia akan jatuh pada suatu kekosongan. Suatu kehidupan tanpa adanya titik pijak nilai dan makna. Apakah itu justru yang disebut menjadi manusia yang utuh? Hmm… tak tahulah…

Kultur Feodal

Contoh adanya kultur feodal dalam masyarakat Indonesia yang disoroti oleh penulis adalah pertama, atasan selalu benar dan wajib ditaati. Dengan kata lain, bawahan harus taat buta pada pimpinannya, sekalipun pimpinannya tersebut (pasti dapat) salah. Contoh kedua kultur feodal adalah masyarakat yang masih erat memegang mitos dan adat-istiadat leluhur tanpa mengkajinya kembali dengan lebih rasional, dsb. Inilah beberapa contoh kultur feodal yang dirasakan oleh penulis. Tingkah laku demikian masih kita jumpai hingga saat ini, seperti: pemberian sesajen pada makam atau tempat-tempat yang dianggap keramat, kepercayaan buta pada mitos-mitos tradisional, dsb.

3

Page 4: Pluralitas

Menurut hemat penulis, corak masyarakat feodal masih sangat minim dalam menggunakan rasionalitas. Dengan kata lain, alam pikir yang ada dalam masyarakat feodal (tradisional) masih merupakan alam pikir yang lebih memegang mitos daripada logos. Alam pikir masyarakat feodal lebih cenderung menggunakan jalan mistis untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya ketimbang menggunakan rasionalitasnya. Sebagai contoh: menggunakan dukun untuk memperlancar usaha ketimbang menggunakan logika untuk menganalisis strategi dagangnya, mencari kekayaan dengan jalan pintas (pesugihan) ketimbang berusaha keras untuk mencapai sukses, dsb. Praktek-praktek inilah yang menandai sebuah masyarakat tradisional (feodal), Manusia masih berpegang kuat pada mitos dan belum menggunakan kekuatan akal budi untuk memecahkan permasalahan hidupnya.

Seringkali penyakit budaya masa (ikut-ikutan) juga masih kental dalam corak masyarakat feodal ini. Corak masyarakat yang demikian cenderung mudah untuk dihasut dan diprovokasi. Menelan secara mentah isu yang ada tanpa mengkajinya dengan penalaran yang baik dan dialogis. Hal itu disebabkan karena mereka belum terbiasa untuk menyelesaikan masalah yang mengedepankan rasionalitas yang dialogis. Maka tak heran jika masyarakat feodal malah lebih cenderung mengedepankan otot daripada otak. Tawuran antar pelajar yang sering terjadi, kekerasan dalam kasus-kasus SARA, dsb. merupakan contoh konkrit bahwa masyarakat Indonesia masih kental dengan kultur feodalnya.

Ciri masyarakat feodal juga ditandai dengan belum adanya kemampuan berpikir secara mandiri (berpikir kritis) untuk mencerna/menganalisis suatu masalah dan berani mengambil sikap oposisi jika pendapat umum yang ada itu keliru. Menurut hemat penulis, sikap mental demikianlah yang menjadi hambatan bagi terciptanya suatu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai/semangat keberagaman. Ketidakmampuan untuk berpikir secara mandiri mengandaikan masih lemahnya semangat dialogis dan tidak berani mengambil sikap (o)posisi atas berbagai fenomena yang jelas-jelas dipenuhi unsur penindasan. Lemahnya kemampuan untuk berpikir secara mandiri membuat kita jatuh pada budaya massa yang pada akhirnya selalu berujung pada konflik dan kekerasan.

Perluasan Kesadaran

Pendidikanlah yang memperluas kesadaran manusia. Pendidikanlah yang memampukan manusia berpikir secara mandiri, logis dan sistematis. Pendidikanlah yang memampukan manusia keluar dari keterkungkungan dimensi perspektivalnya (suku, agama, ras, budaya, dan ideologi). Pendidikanlah yang memampukan seorang menjadi pribadi yang berpikir secara mandiri. Pribadi yang telah mampu berpikir secara mandiri tidak lagi menjadikan agama sebagai doktrin yang mutlak. Budaya tidak lagi memenjara sikap dan tindakan manusia dan ideologi tidak lagi ditelan secara mentah-mentah. Pribadi yang mampu berpikir secara mandiri adalah seorang manusia yang utuh yang telah mampu membebaskan pikirannya dari tidur dogmatisnya. Dengan demikian, pribadi yang berpikir secara mandiri adalah pribadi yang benar-benar matang dalam kemanusiaannya. Salam pencerahan dan mari kita lawan kebodohan. Setuju?

Email: [email protected]

4