PLTN MENJAMIN KETAHANAN PENYEDIAAN LISTRIK · PDF fileNaskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL,...

58
Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN 0 Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) Institut Energi Nuklir (IEN) Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Women In Nuclear (WIN) PLTN MENJAMIN KETAHANAN PENYEDIAAN LISTRIK NASIONAL Jakarta, Februari 2010 MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN Alamat Sekretariat Bersama Jl. Lebak Bulus Raya No 49 Jakarta Selatan 12440 Tlp : 021-7690709 Ex 174, HP 0811979407/ 0816937364 Fax 021-7691607/7513270

Transcript of PLTN MENJAMIN KETAHANAN PENYEDIAAN LISTRIK · PDF fileNaskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL,...

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  0

Himpunan MasyarakatNuklir Indonesia (HIMNI)

Institut Energi Nuklir(IEN)

Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL)

Masyarakat EnergiTerbarukan Indonesia (METI)

Women In Nuclear(WIN)

PLTN MENJAMIN KETAHANAN PENYEDIAAN

LISTRIK NASIONAL

Jakarta, Februari 2010

MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

Alamat Sekretariat Bersama Jl. Lebak Bulus Raya No 49 Jakarta Selatan 12440

Tlp : 021-7690709 Ex 174, HP 0811979407/ 0816937364 Fax 021-7691607/7513270

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  1

Pengarah: Sutaryo Supadi

Budi S Sudarsono

Nara Sumber: Adiwardojo Ali Herman Ibrahim Arnold Soetrisnanto AS Hikam Erwin S Sadirsan Markus Wauran Sofyan Yatim Tri Murni

Penyusun: Arnold Soetrisnanto Sukarno Suyudi Widjang H Sisworo

Gambar Sampul: PLTN aman dan ramah lingkungan

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  2

DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................... 3 SEJARAH & MILESTONE PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN .......................... 9 1. PENDAHULUAN ....................................... 10 2. KONDISI ENERGI DAN KELISTRIKAN ........... 13

- Kondisi Energi di Indonesia .......................... 13 - Kondisi Kelistrikan di Indonesia. ...…….……... 17 - Kendala Pengembangan Listrik Nasional ............. 20 - Perencanaan Energi Nasional (Reevaluasi CADES) 21

3. FAKTOR PEMBATAS PENYEDIAAN ......... 24 - Pemanfaatan Sumber Energi .......................... 24 - Lingkungan dan Perubahan Iklim ...................... 26 - Hambatan Lainnya ....................................... 27

4. PLTN SEBAGAI SOLUSI .......................... 28 - Perkembangan PLTN di Dunia ....................... 28 - Dasar Pembangunan PLTN di Indonesia ............... 30 - Organisasi Pembangunan PLTN ...................... 31 - Aspek Regulasi ....................................... 32 - Aspek Ekonomi ....................................... 33 - Aspek Teknologi ....................................... 34 - Aspek Politik, Sosial dan Budaya .......................... 36 - Kesiapan Infrastruktur ..................................... 38 - Rencana Pembangunan PLTN .......................... 40 - Aspek Transfer Teknologi .......................... 41 - Calon Tapak PLTN .......................... 41 - Penyiapan Sumber Daya Manusia ............. 43

5. ISU UTAMA TERKAIT PLTN .......................... 44 - Keselamatan .................................................... 44 - Limbah dan Dekomisioning .......................... 46 - Penerimaan Masyarakat .................................. 49

6. KESIMPULAN .................................................... 52 7. PENUTUP .................................................... 56 8. REFERENSI ……….…….......................... 57

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  3

RINGKASAN EKSEKUTIF

Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) bersama organisasi non-pemerintah lainnya yaitu Himpunan Masyarakat Nuklir (HIMNI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Institut Energi Nuklir (IEN), dan Women In Nuclear (WIN), telah melakukan kajian mengenai peran energi nuklir dalam sistem energi dan listrik nasional. Kajian tersebut dilakukan dengan memperhatikan aspek ketahanan energi, ekonomi, teknologi, sosial-budaya dan lingkungan.

Hasil kajian yang yang dituangkan sebagai pendapat tersebut akan dideklarasikan melalui forum “PERNYATAAN SIKAP”, agar dapat menggugah serta menyadarkan para pemangku kepentingan, bahwa saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sudah sangat diperlukan dan dapat segera dioperasikan di Indonesia, untuk mengatasi permasalahan keandalan sistem kelistrikan nasional.

Sebenarnya usaha ke arah pembangunan PLTN yang pertama sudah dimulai pada tahun 50-an, saat Presiden pertama Indonesia Soekarno memulai mewujudkan visi tentang energi nuklir, dengan membangun reaktor riset di kota Bandung, yang mulai dioperasikan pada tahun 1965. Kemudian oleh Prof. Soemitro Djojohadikusumo dan dilanjutkan oleh Prof. BJ Habibie, sebagai Meneg Ristek mulai membangun fasilitas riset nuklir terpadu di kawasan Puspiptek Serpong pada tahun 1983 dalam rangka persiapan pembangunan PLTN.

Di awal tahun 90-an, hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa PLTN sangat layak untuk dioperasikan di wilayah kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada tahun 2004. Studi pernencanaan energi CADES (Comprehensive Assessment of Different Energy Sources for Electricity Generation) pada tahun 2000 menyimpulkan bahwa nuklir bisa dioperasikan pada tahun

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  4

2016. Hasil studi ini sudah dikonfirmasi kembali pada tahun 2009 melalui studi Re-Evaluasi CADES untuk masa studi 2005-2050, dan energi nuklir tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik pada masa 2015-2019.

Ketersediaan sumber daya energi saat ini, terutama energi fosil seperti minyak bumi, gas bumi dan batu bara semakin terbatas dan menurun produksinya, mengingat cadangan terbukti batubara, gas alam, dan minyak bumi, secara berturut-turut hanya sebesar 0,55%; 1,39%; dan 0,43% dari cadangan dunia saat ini. Kondisi inilah yang mendasari ditetapkannya Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. Proporsi baru dalam Perpres ini akan mengubah peta penggunaan energi primer Indonesia dari sekitar 50% minyak bumi pada tahun 2005 menjadi hanya sekitar 20% pada tahun 2025, atau dari sekitar 5% Non-Fosil menjadi sekitar 15% Non-Fosil pada kurun waktu yang sama.

Di sektor kelistrikan, permintaan listrik terus meningkat, kesenjangan regional antara Jawa dan Luar Jawa belum dapat diatasi. Masih banyak kawasan industri dan kawasan ekonomi yang belum dapat dilayani oleh sistem kelistrikan nasional. Pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun ini meningkat menjadi 7% yang berarti pertumbuhan penyediaan listrik diperkirakan akan meningkat dari pertumbuhan rerata saat ini 9% menjadi sekitar 10,5% per tahun. Dengan asumsi pertumbuhan listrik yang konstan 7% per tahun seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 akan diperlukan sebesar 40.000 MW, termasuk untuk wilayah Jawa-Madura-Bali sebesar 30.000 MW, dan pada tahun 2027 akan memerlukan tambahan sekitar 70.000 MW.

Dalam hal ini pembangkitan PLTU Batubara di sistem Jamali tidak dapat dilakukan secara besar-besaran, karena terkendala oleh keterbatasan lahan, kurangnya infrastruktur transportasi dan permasalahan lingkungan. Kemampuan daya dukung pulau

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  5

Jawa ditinjau dari jumlah batubara yang digunakan hanya dapat membakar 40 juta ton/tahun. Kajian awal MPEL saat ini, maksimum daya dukung pulau Jawa adalah 70 juta ton/tahun. Berdasarkan studi Re-Evaluasi CADES, angka ini akan dicapai pada pada tahun 2015. Dan setelah itu batas daya dukung pulau Jawa akan terlewati, mengingat kebutuhan batubara terus meningkat hingga mencapai 206 juta ton pada tahun 2025.

Emisi CO2 di Jamali akan meningkat sangat pesat dari 97 juta ton pada tahun 2005 menjadi 478 juta ton pada tahun 2025 dan 3.322 juta ton pada tahun 2050. Penggunaan 4% energi nuklir, hanya mampu menekan emisi CO2 sebesar 9,1%. Sedangkan hasil optimasi dengan menggunakan opsi nuklir secara masif yaitu 38 GWe pada tahun 2025 dan 226 GWe pada tahun 2050, akan dapat mengurangi emisi CO2 secara signifikan sebesar 36,6% pada tahun 2025 dan 56,6% pada tahun 2050.

Presiden SB Yudhoyono dalam pertemuan pemimpin negara G-20 pada bulan Oktober 2009 yang lalu menyatakam bahwa perubahan iklim adalah masalah bersama yang harus diatasi dengan cara menurunkan emisi CO2. Pada kesempatan tersebut Indonesia berani mencanangkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26%. Dan dalam hal ini energi nuklir bisa dikategorikan sebagai energi dengan zero carbon emission, yaitu mampu menyediakan energi listrik dengan kapasitas daya besar tanpa meningkatkan emisi CO2.

Wilayah Jamali mempunyai kepadatan penduduk yang sangat besar, diperkirakan akan mencapai 1000 orang/km2 pada tahun 2025. Padahal sebagian besar energi di pulau Jawa harus didatangkan dari luar Jawa. Akibatnya wilayah ini akan menjadi daerah pengimport energi yang sangat besar. Bahkan lebih besar dibandingkan Jepang, jika penggunaan energi per kapita sudah mendekati Jepang. Di 5 negara yang mempunyai jumlah penduduk tertinggi di dunia yaitu China, India, Amerika Serikat,

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  6

Indonesia dan Rusia, hanya Indonesia saja yang belum memiliki PLTN.

Sudah ada sekitar 440 PLTN yang beroperasi di seluruh dunia atau sekitar 373 GWe yang tersebar di 32 negara. Jumlah ini menyumbang sekitar 15% pangsa listrik dunia. Selain itu masih ada sekitar 47 unit PLTN yang sedang dibangun, dan 133 unit PLTN yang sedang direncanaankan. Sebagian besar dari PLTN tersebut berada di kawasan Asia, yaitu di China, India, Korea, Taiwan dan Jepang, yang merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang kuat.

Saat ini beberapa negara mulai memikirkan kembali penggunaan energi nuklir. Berita aktual menunjukan bahwa Jerman akan membangun lebih banyak lagi PLTN dengan menerbitkan proposal pembatalan nuclear exit law. Beberapa negara di Eropa lainnya juga sependapat, seperti Inggris, Italia, Belgia, Swedia dan Perancis. Dan kelompok Greenpeace di Inggris tidak menyuarakan penolakan. Bahkan di Timur Tengah yang kaya minyak seperti Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait dan Qatar juga merencanakan pembangunan PLTN. Bahkan UEA sudah menyelesaikan proses tender dan menunjuk pemenang untuk segera membangun PLTN sebesar 4 x 1400 MWe.

Di Indonesia sendiri, pembangunan PLTN sudah mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, yaitu beberapa UU dan PP menyatakan bahwa PLTN dapat dibangun pada tahapan pembangunan ke 3 (2015-2019), untuk memenuhi 2% dari total energi primer nasional tahun 2025, atau sekitar 4000 Mwe. PLTN harus segera dibangun, jika persiapan dan pembangunan PLTN memerlukan waktu sekitar 8 tahun, maka Pemerintah sudah harus memutuskan rencana pembangunan PLTN paling lambat pada akhir tahun 2010.

Indonesia dari sisi regulasi ketenaganukliran internasional maupun nasional, boleh dikatakan sudah siap memasuki era

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  7

pemanfaatan energi nuklir dalam bentuk pembangunan PLTN. Dan di mata dunia internasional Indonesia sudah diakui menjadi 3 negara pertama yang mengakui dan mengadopsi Integrated Safeguards System yaitu mencakup Comprehensive Safeguards Agreement and Additional Protocol. Kekhawatiran tentang tekanan dunia internasional dan ancaman embargo seperti yang dialami oleh Iran dan Korea Utara, jika Indonesia mengembangkan energi nuklir menjadi tidak relevan lagi. Dan isu kekhawatiran kecelakaan PLTN seperti di Chernobyl dijamin tidak akan terjadi di Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri, transfer teknologi dan penggunaan komponen dalam negeri adalah salah satu keuntungan tidak langsung dari pengembangan industri nuklir di Indonesia. Selain itu ada peningkatan kemampuan iptek dan disiplin tenaga kerja Indonesia, sesuai dengan standard keselamatan industri nuklir yang sangat tinggi. Pengembangan industri nuklir di tanah air juga akan meningkatkan daya saing dan martabat bangsa di mata dunia internasional. Dan tentunya semua ini tidak bisa diukur dengan materi atau nilai ukur ekonomi semata.

Berdasarkan kajian Tim International Atomic Energy Agency (IAEA) tahun 2009, infrastruktur di Indonesia sudah siap menyongsong pembangunan dan pengoperasian PLTN, baik ditinjau dari manajemen organisasi, regulasi perizinan dan pengawasan, penyiapan SDM, penguasaan teknologi, dukungan industri nasional, penyiapan lokasi, pengolahan limbah nuklir, dan lain sebagainya. Demikian juga kerja sama dengan perusahaan pengembang PLTN juga sudah dilakukan untuk menjajagi kemungkinan kerjasama pembentukan konsorsium antara BUMN/swasta nasional/internasional agar biaya pembangunan PLTN tidak membebani APBN.

Yang diperlukan saat ini hanyalah keputusan pemerintah untuk memulai pembangunan PLTN yang pertama, dengan membentuk Tim Nasional yang akan mempersiapkan rencana

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  8

dan programnya. Sudah saatnya pemerintah Indonesia menyatakan kebijakan dan mengambil keputusan “Go Nuclear”, yang diyakini dapat menciptakan lapangan kerja dan mensejahterakan rakyat Indonesia di masa yang akan datang, dengan tersedianya listrik yang mencukupi, handal, ekonomis, dan ramah lingkungan. Sesuai UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang secara jelas menyatakan bahwa energi nuklir diharapkan sudah dapat memberikan sumbangan bagi pembangkitan energi listrik nasional.

Saat ini kita dihadapkan pada satu pilihan, apakah akan selalu dapat disediakan listrik yang cukup, terjangkau, handal serta ramah lingkungan, khususnya untuk Pulau Jawa yang padat penduduknya dan langka sumber daya energi, atau sebaliknya akan selalu terjadi krisis listrik. Dalam hal ini sejarah yang akan mencatatnya, serta anak dan cucu kita yang akan membuktikannya.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  9

SEJARAH & MILESTONE PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  10

PLTN MENJAMIN KETAHANAN PENYEDIAAN LISTRIK NASIONAL

1. PENDAHULUAN Pada tahun 50-an Presiden pertama Indonesia Soekarno sudah mulai mewujudkan visi tentang energi nuklir, dengan harapan Indonesia akan diakui oleh dunia internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Soekarno merealisasikan mimpinya dengan membangun reaktor riset di kota Bandung Jawa Barat, yang berhasil dioperasikan pada tahun 1965 dan masih berfungsi dengan baik hingga saat ini.

Kemudian oleh Prof. Soemitro Djojohadikusumo dan dilanjutkan oleh Prof. BJ Habibie, sebagai menteri negara Riset dan Teknologi telah mengembangkan program lanjutan yang dimulai pada tahun 1983 dengan membangun fasilitas riset nuklir terpadu di kawasan Puspiptek Serpong, dalam rangka persiapan pembangunan industri nuklir senilai sekitar USD 400 juta dan diselesaikan tahun 1993. Melalui sarana dan fasilitas tersebut riset teknologi nuklir untuk pengembangan industri nuklir seperti teknologi reaktor dan keselamatan nuklir dengan menggunakan reaktor riset berdaya 30 MWth, fabrikasi bahan bakar nuklir, pengelolaan limbah radioaktif, keselamatan radiasi dan lingkungan dilakukan dalam rangka persiapan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Kemudian di awal tahun 90-an, studi tapak dan kelayakan PLTN di Semenanjung Muria juga mulai dilakukan dan diselesaikan pada tahun 1996. Hasil studi menunjukkan bahwa rencana pembangunan PLTN sangat layak ditinjau dari aspek ketersediaan calon lokasi, aspek teknologi, ekonomi, keselamatan dan lingkungan. Selanjutnya Presiden Soeharto merencanakan Indonesia harus sudah memiliki dan mengoperasikan PLTN yang pertama di tahun 2004. Namun

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  11

karena menurunnya minat membangun PLTN di dunia akibat kecelakaan PLTN “Three Mile Island-2” di tahun 1979 dan “Chernobyl-4” di tahun 1986, serta krisis ekonomi dan politik yang menerpa dunia dan Indonesia pada saat tahun 1998, maka rencana tersebut menjadi terabaikan.

Wacana meninjau program nuklir di Indonesia muncul kembali tahun 2000 oleh Presiden Abdurachman Wahid yang memerintahkan agar melakukan kembali studi energi nasional pasca krisis dengan opsi nuklir. Studi perencanaan energi nasional “Comprehensive Assessment of Different Energy Sources for Power Generation” (CADES) dilakukan bersama BATAN, BPPT, DESDM, PLN, BPS dan RISTEK serta bantuan beberapa orang tenaga ahli dari International Atomic Energy Agency (IAEA). Studi yang komprehensif dan diselesaikan tahun 2002 ini menggambarkan posisi energi nuklir di antara potensi energi lainnya yang tersedia di Indonesia secara keseluruhan, yaitu batubara, minyak, gas, geothermal, biofuels dan energi terbarukan lainnya. Ternyata hasil studi menyatakan nuklir bisa masuk ke sistem kelistrikan Indonesia, khususnya wilayah kelistrikan Jawa-Madura-Bali di tahun 2016. Kemudian studi ini sudah dikonfirmasi kembali dengan melakukan re-evaluasi studi pada tahun 2008-2009 untuk masa 2005-2050.

Selain studi energi tersebut di atas, regulasi lainnya juga mendukung ke arah pembangunan PLTN. DESDM sudah menerbitkan Blue Print Energi Nasional 2005 dan sudah memasukan energi nuklir dalam komposisi energi nasional. Begitu juga dengan Perpres No 5 Tahun 2006 dan RUPTL yang dikeluarkan PT PLN (Persero) sudah merencanakan nuklir sebagai bagian dari sistem pembangkit listrik nasional. Dasar pertimbangan pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkit listrik yang lebih jelas dan tegas, tercantum pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  12

Nasional Jangka Panjang. UU ini menyebutkan antara lain bahwa PLTN akan dioperasikan pada tahun 2015–2019 dengan tingkat keselamatan yang tinggi. Setelah itu terjadilah kemunduran pada kebijakan energi nuklir nasional, yang mencapai puncaknya pada akhir tahun 2008 yaitu nuklir tidak tercantum lagi pada RUKN 2008-2027 DESDM maupun RUPTL 2009-2018 PT. PLN Persero. Hingga saat ini Indonesia hanya mampu membangun dan mengoperasikan 3 buah reaktor riset, yaitu di Bandung mulai tahun 1965, di Yogyakarta mulai tahun 1979 dan di Serpong mulai tahun 1987.

Mengingat kenyataan bahwa pada saat ini telah terjadinya krisis energi listrik secara nasional, serta belum tercapainya bauran energi sesuai Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, demikian juga dengan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional Tahun 2005-2025. Dan dengan keterbatasan cadangan dan ketersediaan sumber energi, serta memperhatikan isu kesehatan masyarakat dan keselamatan lingkungan, khususnya pemanasan global, maka Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) bersama organisasi non-pemerintah lainnya yaitu Himpunan Masyarakat Nuklir (HIMNI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Institut Energi Nuklir (IEN), dan Women In Nuclear (WIN), telah melakukan kajian mengenai peran energi nuklir dalam sistem energi dan listrik nasional. Kajian tersebut dilakukan dengan memperhatikan aspek ketahanan energi, ekonomi, teknologi, sosial-budaya dan lingkungan. Hasil kajian menyimpulkan bahwa energi nuklir merupakan bagian dari sumber energi nasional yang perlu diperhitungkan, dan perlu segera dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan energi dan memperkuat ketahanan energi nasional.

Dalam kesempatan ini, pendapat tersebut akan dideklarasikan melalui forum “PERNYATAAN SIKAP”, agar dapat menggugah serta menyadarkan para pemangku kepentingan,

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  13

bahwa PLTN sudah diperlukan sekitar tahun 2015-2019, sesuai perpres No.5 Tahun 2006 dan UU No.7 Tahun 2007. Sehingga dapat membantu mengatasi permasalahan keandalan sistem kelistrikan nasional seperti yang sedang terjadi saat ini. Oleh karena itu persiapan konkrit pembangunan PLTN harus segera dimulai saat ini juga.

Saat ini kita dihadapkan pada satu pilihan, apakah akan selalu dapat disediakan listrik yang cukup, terjangkau, handal serta ramah lingkungan, khususnya untuk Pulau Jawa yang padat penduduknya dan langka sumber daya energi, atau sebaliknya akan selalu terjadi krisis listrik. Dalam hal ini sejarah yang akan mencatatnya, serta anak dan cucu kita yang akan membuktikannya.

2. KONDISI ENERGI DAN KELISTRIKAN

- Kondisi Energi di Indonesia Sumber daya energi migas, batubara dan hidro yang dimiliki bumi Indonesia, telah memberikan kontribusi ekonomi yang besar bagi kehidupan dan pembangunan bangsa selama bertahun-tahun. Namun kenyamanan tersebut nampak semakin berkurang dari tahun ketahun. Gejala ini ditandai oleh makin sering terjadinya gangguan kekurangan pasokan energi dan listrik, serta besarnya pengeluaran negara berupa subsidi untuk sektor ini. Sementara potensi besar dari gas alam dan batubara serta energi baru dan terbarukan, yang seharusnya dapat mendukung sektor energi dan kelistrikan serta mengatasi beban subsidi, belum dapat berperan maksimal. Banyak permasalahan energi primer di Negara ini yang memerlukan penyelesaian dalam bentuk terobosan kebijakan yang berani.

Indonesia saat ini menghadapi masalah yang cukup sulit dalam hal penyediaan energi secara berkelanjutan. Sistem energi

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  14

Indonesia terlalu bergantung kepada minyak dengan pangsa lebih dari 50%, padahal Indonesia saat ini sudah menjadi negara pengimpor netto minyak, sehingga berakibat selalu naiknya harga BBM dan TDL dalam negeri.

Penggunaan energi per kapita di Indonesia masih sangat kecil, yaitu sekitar 3,5 SBM per kapita per tahun atau kira-kira sepertiga angka rerata ASEAN. Konsumsi energi listrik rerata per kapita juga sangat kecil, yaitu sekitar 700 kWh, dengan rasio elektrifikasi sekitar 60,9% pada tahun 2007. Sedangkan konsumsi energi listrik rerata per kapita di Malaysia sudah mencapai sekitar 3500 kWh. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain di dunia, khususnya di negara tetangga ASEAN. Dan pada kenyataannya pasokan energi nasional memang masih belum terjamin kecukupannya, yang tercermin dari banyaknya krisis energy dan listrik di beberapa daerah secara terus-menerus.

Di satu sisi Indonesia harus meningkatkan pemakaian energi sebagai engine of growth pertumbuhan ekonomi yang masih cukup besar, untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup rakyatnya, yang diperkirakan akan mencapai lebih dari 280 juta orang pada tahun 2025. Di sisi lain, ketersediaan sumber daya energi, terutama energi fosil seperti minyak bumi, gas bumi dan batu bara semakin terbatas dan selalu menurun produksinya (Tabel 1).

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  15

Tabel 1. Sumberdaya energi Indonesia (DESDM 2009)

Dengan rasio cadangan produksi seperti saat ini maka ketersediaan energi primer khususnya energi fosil hanya bisa bertahan maksimum sekitar 80 tahun. Cadangan energi primer Indonesia akan terkuras lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, karena kebutuhan listrik nasional akan terus meningkat. Selama ini masyarakat Indonesia mempunyai persepsi kuat bahwa bumi Indonesia kaya dengan cadangan sumber energi primer. Akan tetapi pada kenyataannya, cadangan terbukti batubara, gas alam, dan minyak bumi, secara berturut-turut hanya sebesar 0,55%; 1,39%; dan 0,43% dari cadangan dunia saat ini. Untuk itu diperlukan penyediaan energi dalam jumlah yang cukup, handal, ekonomis dan ramah lingkungan.

Saat ini ekplorasi uranium sebagai bahan bakar nuklir di Indonesia belum dilakukan secara maksimal. Baru 2 lokasi potensial yang sudah dieksplorasi, yaitu di daerah Kalan Kalimantan Barat sebesar 34.112 ton dan di daerah Kawat Kalimantan Timur sebesar 10.000 ton. Kira-kira jumlah ini dapat digunakan untuk membangkitkan 1000 MWe PLTN selama 170 tahun, atau 4000 MWe PLTN selama 40 tahun.

Masih banyak daerah lain di Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang mempunyai potensi yang cukup besar. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan eksplorasi mineral uranium dan

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  16

bahan bakar nuklir lainnya di wilayah Indonesia untuk mengetahui ketersediaan cadangan sumber daya energi nuklir nasional jangka panjang.

Kondisi inilah yang mendasari ditetapkannya Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. Proporsi baru ini akan mengubah peta penggunaan energi primer Indonesia dari sekitar 50% minyak bumi pada tahun 2005 menjadi hanya sekitar 20% pada tahun 2025, atau dari sekitar 5% Non-Fosil menjadi sekitar 15% Non-Fosil pada kurun waktu yang sama (Gambar 1).

Gambar 1. Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional

Dari uraian di atas terlihat bahwa Indonesia nampaknya masih mempunyai kecukupan energi khususnya dalam jangka pendek, namun jika diperhatikan kecenderungannya secara lebih detil dan dalam jangka yang lebih panjang, ketahanan energi Nasional nampak cukup mengkhawatirkan. Oleh sebab itu diperlukan perubahan kebijakan energi yang drastis agar ketahanan energi Nasional dapat menjadi berkesinambungan.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  17

Kondisi krisis energi harus dapat diantisipasi dan dicarikan solusi secepatnya. Salah satu solusinya adalah dengan memanfaatan energi alternatif lainnya, khususnya energi baru dan terbarukan seperti panas bumi, nuklir, air, biomas, angin, kelautan dan surya. Penganekaragaman sumber energi di dalam negeri masih sangat terbuka untuk dimanfaatkan, mengingat ketersediaan potensi pasokan sumber daya energi yang besar, khususnya energi baru dan terbarukan.

- Kondisi Kelistrikan di Indonesia. Permintaan listrik terus meningkat dan semakin membesar, kesenjangan regional antara Jawa dan Luar Jawa belum dapat diatasi. Masih banyak kawasan industri dan kawasan ekonomi yang belum dilayani oleh sistem kelistrikan nasional. Industri pengolahan bahan dasar mineral dan bahan baku, kegiatan industri dan kegiatan ekonomi lainnya masih menunggu ketersediaan pasokan listrik yang cukup. Kelistrikan nasional juga mempunyai tantangan untuk memanfaatkan energi baru dan terbarukan, dengan beban biaya yang lebih tinggi dibandingkan energi konvensional. Serta kemampuan perusahaan listrik negara yang terbatas, maka peranan sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penyediaan kelistrikan nasional saat ini mutlak diperlukan. Untuk memecahkan dan keluar dari semua permasalahan ini, sistem kelistrikan nasional menunggu aturan, kebijakan dan birokrasi manajemen yang lebih cepat dan lebih tepat.

Pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi, untuk 5 tahun yang akan datang, meningkat menjadi 7%, yang berarti pertumbuhan penyediaan listrik diperkirakan akan mencapai sekitar 10,5% per tahun. Meskipun pertumbuhan listrik dianggap tetap 7% per tahun seperti saat ini, tetapi pada tahun 2020 Indonesia diperkirakan tetap memerlukan tambahan kapasitas pembangkit listrik, di luar yang saat ini sedang dibangun, sebesar 40.000 MW. Untuk Jawa-Madura-Bali

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  18

(Jamali) yang mengkonsumsi 70% dari kebutuhan listrik nasional masih memerlukan tambahan lebih dari 30.000 MW. Proyeksi kebutuhan energi listrik sampai tahun 2027, Jamali memerlukan tambahan kapasitas terpasang sekitar 70.000 MW (Gambar 2).

Gambar 2. Proyeksi kebutuhan listrik di sistem Jamali (RUKN 2007)

Potensi cadangan energi primer di Jamali berupa panas bumi paling banyak hanya tersedia 4.000 MW. Sedangkan potensi tenaga air dalam bentuk sumber-sumber kecil yang masih tersisa hanya sekitar 1.000 MW. Potensi gas alam untuk tambahan kapasitas listrik tampaknya juga terbatas, karena sampai saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) yang sudah dan sedang dibangun, masih belum mendapat kepastian pasokan jangka panjang kebutuhan gas alamnya. Pemanfaatan energi primer yang masih terbuka adalah LNG, akan tetapi jika digunakan harga pasar internasional, maka biaya produksi kistriknya menjadi tidak kompetitif terhadap PLTU batubara. Dengan kondisi seperti ini gas/LNG, tenaga air, panas bumi, dan nuklir paling banyak hanya bisa menyediakan kebutuhan 40%-

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  19

nya saja, dan sisanya tetap harus disediakan oleh PLTU batubara.

Wilayah Jamali mempunyai kepadatan penduduk yang sangat besar, diperkirakan akan mencapai 1000 orang/km2 pada tahun 2025. Padahal sebagian besar energi di pulau Jawa harus didatangkan dari luar Jawa. Akibatnya wilayah ini akan menjadi daerah pengimpor energi yang sangat besar. Bahkan lebih besar dibandingkan Jepang, jika penggunaan energi per kapita sudah mendekati Jepang. Mengingat kepadatan penduduk yang 3 kali lebih besar dibandingkan Jepang yang hanya sekitar 340 orang/km2. Meskipun demikian, saat ini Jepang sudah mengoperasikan 55 unit PLTN. (Tabel 2).

Tabel 2. Perbandingan Jepang, Korea Selatan dan Jamali

Untuk suatu daerah yang langka energi dan mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi, maka secara alamiah harus juga menggunakan jenis energi yang mempunyai tingkat kepadatan energi yang juga tinggi seperti enrgi nuklir. Di 5 negara yang mempunyai jumlah penduduk tertinggi di dunia yaitu China, India, Amerika Serikat, Indonesia dan Rusia, hanya Indonesia saja yang belum memiliki PLTN.

- Kendala Pengembangan Listrik Nasional Dengan kondisi dan situasi energi di Indonesia saat ini, maka ketergantungan pada energi berbasis batubara tidak bisa dihindarkan, dengan segala resiko dan dampak yang

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  20

diakibatkannya, khususnya untuk Pulau Jawa. Salah satu yang harus dipertimbangkan adalah masalah transportasi batubara dari Luar Jawa ke sistem kelistrikan Jamali. Untuk pemenuhan pembangkitan PLTU batubara sebesar 56 MWe pada tahun 2025 di sistem kelistrikan Jamali, maka harus disediakan kebutuhan batubara sebanyak 206 juta ton per tahun. Untuk pengangkutannya diperlukan sekitar 5000 kapal per tahun. Persoalan manajemen logistik pengadaan cadangan batubara menjadi penentu keberhasilan penyediaan listrik yang berkelanjutan untuk sistem Jamali.

PLTU Batubara di sistem Jamali akan terkendala oleh lahan, logistik, dan permasalahan lingkungan. Pada akhir tahun 80-an ada pernyataan dari Kementrian Lingkungan Hidup bahwa kemampuan daya dukung pulau Jawa ditinjau dari jumlah batubara yang digunakan hanya dapat membakar 40 juta ton/tahun. Kajian awal MPEL pada tahun 2009 menyatakan, untuk emisi SO2, NO2 dan PM10 dari penggunaan batubara dengan menggunakan standar dari USEPA (United Stated Environment Protection Agency) maka maksimum daya dukung pulau Jawa adalah 70 juta ton/tahun. Berdasarkan studi CADES, angka ini akan dicapai pada tahun 2020, dan pada studi re-evaluasi CADES akan tercapai pada tahun 2015. Dan setelah itu batas daya dukung pulau jawa dengan cepat akan terlewati, mengingat kebutuhan batubara terus meningkat hingga mencapai 206 juta ton pada tahun 2025. MPEL telah mengirim surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup yang menanyakan tentang batasan penggunaan batubara untuk daya dukung lingkungan di pulau Jawa, tetapi besaran angka tersebut belum bisa diperoleh.

PLTU batubara menjadi penyumbang emisi CO2 yang cukup signifikan, yang mejadi salah satu penyebab pemanasan global dan perubahan iklim dunia. Perubahan iklim global dan emisi karbon adalah suatu kenyataan hasil penelitian para ilmuwan di

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  21

seluruh dunia, dan telah menjadi kenyataan yang mengancam kehidupan umat manusia di atas planet bumi. Presiden Yudhoyono dalam pertemuan pemimpin negara G-20 pada Oktober 2009 yang lalu juga menyatakan bahwa perubahan iklim adalah masalah bersama yang harus diatasi dengan cara menurunkan emisi CO2. Bahkan Indonesia pada kesempatan tersebut berani mencanangkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26%. Dan dalam hal ini energi nuklir bisa dikategorikan sebagai energi dengan zero carbon emission, yaitu mampu menyediakan energi listrik dengan kapasitas daya besar tanpa meningkatkan emisi CO2.

- Perencanaan Energi Nasional (Re-Evaluasi CADES) Dalam rangka mengevaluasi studi CADES tahun 2000-2002, BATAN pada tahun 2008-2009 dengan partisipasi antara lain MPEL, DESDM, ITB, UI, BPS dan PT. PLN, telah menyelesaikan studi Re-Evaluasi CADES dengan menggunakan data dan asumsi terkini. Hasil studi menunjukkan bahwa jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan di sektor energi dan ketenagalistrikan, serta sektor kegiatan ekonomi dan kependudukan, maka kebutuhan listrik di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali) akan meningkat dari 23,2 GWe pada tahun 2005 menjadi 518.7 GWe pada tahun 2050 (skenario dasar sesuai Perpres Nomor 5 Tahun 2006). Dan sebagian besar dari kebutuhan listrik tersebut akan sangat tergantung pada PLTU batubara, yang meningkat sangat pesat dari 8,3 GWe pada tahun 2005 menjadi 448,1 GWe pada tahun 2050, meskipun penggunaan PLTN sudah direalisasikan sebesar 2 GWe pada tahun 2020 dan 21 GWe pada tahun 2050 (Tabel 3).

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  22

  Tabel 3. Proyeksi pembangkit listrik skenario dasar di Jamali 2005-2050. ‘

Emisi CO2 di Jamali dengan skenario dasar dan asumsi tanpa upaya penurunan emisi meningkat sangat pesat dari 97 juta ton pada tahun 2005 menjadi 478 juta ton pada tahun 2025 dan meningkat sebesar 3.322 juta ton pada tahun 2050. Dengan melakukan upaya bauran energi sesuai Perpres Nomor 5 Tahun 2006 yaitu dengan penggunaan 4% energi nuklir, maka kemampuan untuk menekan emisi CO2 masih sangat kecil yaitu hanya sebesar 9,1%. Sedangkan hasil optimasi dengan menggunakan opsi nuklir secara masif yaitu 38 GWe pada tahun 2025 dan 226 GWe pada tahun 2050, akan dapat mengurangi emisi CO2 secara signifikan sebesar 36,6% pada tahun 2025 dan 56,6% pada tahun 2050 (Tabel 4).

Hasil optimasi dari beberapa skenario menunjukkan bahwa kontribusi nuklir lebih tinggi dari sasaran KEN, hal ini membuktikan bahwa sasaran KEN adalah merupakan batas

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  23

minimal yang harus dicapai dalam mewujudkan bauran energi yang optimal untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. PLTN mempunyai peran sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan energi nasional. Peran PLTN juga dapat diandalkan untuk mendukung rencana aksi pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim. Peran energi nuklir pada periode mendatang (setelah tahun 2025) diproyeksikan masih tetap merupakan bagian dari bauran sistem pasokan energi nasional yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi.

Penggunaan energi nuklir sangat diperlukan untuk mendukung terwujudnya keamanan pasokan energi (energy security of supply) nasional secara berkelanjutan, mengurangi laju pengurasan energi fosil yang cadangannya sangat terbatas, mendukung stabilitas pasokan energi listrik secara aman, handal, ekonomis, bersih dan berwawasan lingkungan, mendukung pengurangan dampak akibat pemanasan global.

Tabel 4. Perbandingan emisi CO2.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  24

Energi nuklir merupakan bagian dari sistem bauran energi yang optimal (optimum energy mix) simbiotik dan sinergistik dengan energi fosil dan terbarukan lainnya dalam memenuhi kebutuhan energi nasional sesuai sasaran KEN (Kebijakan Energi Nasional 2005-2025). Re-evaluasi studi CADES menunjukkan bahwa introduksi PLTN pada periode 2015-2019 (RPJMN ke 3) kedalam sistem jaringan kelistrikan Jamali merupakan solusi yang tepat untuk mendukung ketahanan pasokan energi nasional (energy security).

3. FAKTOR PEMBATAS PENYEDIAAN

- Pemanfaatan Sumber Energi Posisi energi dalam pembangunan bangsa dan negara adalah sebagai mesin penggerak roda pertumbuhan ekonomi. Tanpa upaya peningkatan ketersediaan energi yang cukup dan berkelanjutan, maka perekonomian nasional akan melamban, sehingga kesejahteraan masyarakat akan terus memburuk, dan jumlah penduduk miskin akan terus bertambah. Pembangunan ketahanan energi yang kokoh merupakan keharusan dan mutlak bagi Indonesia yang sedang berupaya keras meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyatnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa energi adalah salah satu penentu maju dan mundurnya peradaban dan eksistensi NKRI.

Cita-cita dan tujuan nasional untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur, sebagaimana telah ditetapkan sebagai visi pembangunan nasional 2005-2025 dalam UU No. 17 Tahun 2007, tidak akan terwujud tanpa upaya membangun kemandirian energi yang kokoh. Penggunaan minyak dan gas untuk pembangkit energi listrik, harus dibatasi karena sangat diperlukan untuk sektor transportasi, yang sampai saat ini masih sangat tergantung pada bahan bakar minyak (BBM) dan sebagai bahan baku untuk industri. Sebaiknya sektor transportasi di

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  25

masa mendatang lebih diarahkan ke penggunaan teknologi motor listrik. Selain itu pemanfaatan cadangan minyak bumi sebagai sumber hidrokarbon harus dilakukan secara optimal. Tidak lagi dieksplorasi secara besar-besaran sebagai sumber devisa, melainkan diarahkan sebagai bahan baku industri dalam negeri. Dengan demikian generasi yang akan datang tidak harus menderita akibat langka dan mahalnya minyak dan gas bumi untuk bahan baku di sektor industri.

Gas juga sangat diperlukan sebagai bahan baku pengembangan dan perluasan industri petrokimia, yang tidak saja dapat memberikan nilai tambah yang tinggi, tetapi juga akan membuka perluasan lapangan kerja. Di masa depan jumlah negara penghasil minyak dan gas dunia akan terus berkurang dan terkonsentrasi di wilayah Timur Tengah, Rusia, dan Laut Kaspia. Suatu wilayah di dunia yang rawan konflik, sehingga akan mempengaruhi dan mengganggu ketersediaan minyak dunia, dan pada akhirnya berujung pada kenaikan harga dan memicu krisis energi baru. Oleh sebab itu sepanjang ada energi alternatif yang lain yang bisa dikembangkan pemanfaatannya di Indonesia, maka cadangan minyak yang sudah menipis tersebut tidak harus dihabiskan dengan cara dibakar dan dikonversi menjadi energi listrik.

Pemanfaatan energi nuklir di Indonesia untuk penyediaan listrik di sistem Jamali secara berkelanjutan harus segera dimulai, karena konsumsi listrik Pulau Jawa meningkat pesat serta perannya yang sangat sentral sebagai pusat penggerak perekonomian nasional. Pemanfaatan PLTN di Pulau Jawa selain untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada BBM sekaligus juga untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil lainnya. Juga sebagai wujud dari pelaksanaan mekanisme pembangunan bersih dalam rangka mengatasi masalah peningkatan emisi karbon, penanggulangan perubahan iklim dunia dan pemanasan global.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  26

- Lingkungan dan Perubahan Iklim Pengoperasian PLTU batubara akan mengkonsumsi sejumlah besar batubara, yang jumlahnya bergantung pada besarnya daya yang dibangkitkan dan jenis batubara yang digunakan. Komponen utama batubara adalah karbon, yang juga merupakan sumber energi primer yg dimanfaatkan. Dari proses ini akan terbentuk sejumlah besar CO2 yang kemudian dilepaskan ke lingkungan. Peningkatan CO2 di atmosfer akan menimbulkan efek pemanasan global (global warming). Sampai saat ini selain teknologi CCS (carbon capture and storage) yang masih mahal, belum ada teknologi yang mampu untuk mengolah CO2 agar jumlah yang dilepaskan ke lingkungan dapat dikurangi.

Batubara juga mengandung sejumlah belerang (S) dan nitrogen (N) yg kadarnya bergantung pada asal dan jenis batubara. Pada proses pembakaran, kedua unsur teroksidasi menjadi SO2 dan NO2. Selain berasal dari batubara, NO2 juga terbentuk dari proses oksidasi N yang terdapat di udara. Selain dari N yang terdapat pada batubara, NO2 juga terbentuk dari oksidasi N bebas di udara.

Selain kedua gas tersebut, terbentuk pula debu dari sisa pembakaran dalam bentuk debu terbang (fly ash) dan debu endapan (bottom ash). Kedua jenis gas buang ini dan debu terbang dalam bentuk partikel halus (particulate matters) juga mempunyai potensi bagi penurunan kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan. Gas SO2 dan NO2 akan mengalami proses deposisi kering (dry deposition) dan deposisi basah (wet deposition) yang dapat menimbulkan hujan asam. Hujan asam dapat meningkatkan keasaman air permukaan, dan menimbulkan dampak pada kehidupan biota, juga dapat pula menyebabkan terbilasnya unsur hara tanah, yang pada gilirannya menurunkan kesuburan tanah dan menurunkan produksi pertanian. Untuk mengurangi lepasan SO2, NO2 dan debu terbang, PLTU batubara dipersyaratkan mempunyai sistem

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  27

pengelolaan gas buang berupa sistem FGD (Flue gas desulfurisation), yang dipakai untuk mengolah SO2. Untuk mengolah NO2 dipakai sistem SCR (Selective Catalytic Reduction) dan untuk mengolah debu terbang digunakan sistem ESP (Electrostatic precipitator). Dengan sistem tersebut, keluaran gas SO2, NO2 dan partikel debu dapat dikurangi sampai 10 – 20 %, namum secara kumulatif dalam region tertentu, jumlah gas buang SO2, NO2 dan partikel debu masih cukup berarti bagi timbulnya dampak yang cukup signifikan.

Selain itu, batubara juga mengandung berbagai unsur logam berat antara lain, arsen (As), khrom (Cr), tembaga (Cu), selenium (Se), timah hitam (Pb), termasuk pula sejumlah unsur radioaktif alam seperti radium (Ra-226), uranium (U-238) dan thorium (Th-234). Unsur-unsur inipun karena proses pembakaran batubara akan terlepas pula ke lingkungan, terutama melalui gas buang, abu terbang dan abu endapan. Lepasan unsur berbahaya ini secara kumulatif dalam jangka panjang juga mempunyai potensi bagi timbulnya dampak bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan.

- Hambatan Lainnya Energi baru dan terbarukan dalam bentuk energi primer tidak dapat dimanfaatkan baik untuk memenuhi kebutuhan domestik atau diekspor. Energi baru dan terbarukan harus terlebih dahulu dikonversikan mejadi energi sekunder sebelum digunakan baik untuk memenuhi konsumsi domestik maupun untuk ekspor.

Lokasi berbagai sumber energi terpisah secara geografis dan letaknya jauh dari pusat konsumen, khususnya energi baru dan terbarukan. Pemanfaatan setiap sumber energi tersebut memerlukan infrastruktur energi untuk mengakses ke pusat sumber energi primer hingga ke pusat pemakai energi sekunder. Infrastruktur energi baru dan terbarukan yang telah terintegrasi ke dalam sistem transmisi dan pengangkutan energi yang telah

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  28

ada, seperti jaringan tenaga listrik dan jaringan pipa gas, masih terbatas.

Penerapan kebijakan fiskal dinilai kurang berpihak pada upaya pemanfaatan energi alternatif non-fosil, antara lain energi baru dan terbarukan. Pemanfaatan energi baru dan terbarukan kurang berkembang terutama karena harga energinya yang tidak dapat bersaing dengan harga energi fosil. Untuk mengatasi hal tersebut, pemberlakuan insentif fiskal terhadap energi baru dan terbarukan antara lain pengurangan pajak, bea masuk, dll, perlu dilakukan agar pemanfaatan energi baru dan terbarukan dapat bersaing secara ekonomis.

4. PLTN SEBAGAI SOLUSI

- Perkembangan PLTN di Dunia. Akhir-akhir ini beberapa negara mulai memikirkan kembali pemanfaatan energi nuklir. Hal ini disebabkan oleh tingginya harga minyak bumi, keinginan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang berakibat pada laju pemanasan global, dan mengurangi ketergantungan pada pasokan migas dan batubara dari luar negeri.

Beberapa berita aktual yang pada dasarnya menunjukkan perubahan pemikiran terhadap pemanfaatan energi nuklir di negara-negara Eropa. Pada bulan Juni 2009 anggota parlemen dari partai pendukung Kanselir Jerman Angela Merkel menerbitkan proposal untuk membatalkan exit law, yaitu undang-undang untuk menutup semua PLTN yang beroperasi. Proposal itu juga memasukkan opsi untuk membangun lebih banyak lagi PLTN. Selama ini Jerman yang dikenal sebagai negara yang akan menghapus penggunaan energi nuklir di negaranya.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  29

Negara-negara Eropa lainnya juga mempunyai pendapat yang sama. Negara Perancis mengumumkan untuk membangun PLTN ke-61 dan menyatakan tidak perlu melakukan perubahan kebijakan energi menuju pemanfaatan energi terbarukan yang lebih mahal seperti angin dan surya. Bulan Juli lalu Perdana Menteri Inggris mengusulkan pembangunan 8 reaktor nuklir baru dalam kurun waktu 15 tahun, dan kelompok Greenpeace di Inggris tidak menyuarakan penolakan. Silvio Berloscuni, PM Italia juga berjanji untuk membatalkan keputusan untuk menghapus PLTN. Langkah semacam ini sudah terlebih dahulu dilakukan Swedia pada tahun 2005.

Di Timur Tengah yang notabene kaya akan minyak seperti UEA, Kuwait dan Qatar, telah merencanakan pembangunan PLTN, karena semata-mata menginginkan diversifikasi energi dan menyisakan cadangan minyaknya untuk generasi mendatang. Bahkan UEA sudah menyelesaikan proses tender dan menunjuk pemenang untuk membangun PLTN sebesar 4 x 1400 MWe. Selain itu perlu dicatat bahwa pada tanggal 13/10/2009 Greenpeace Inggris untuk pertama kalinya menyampaikan kebijakan baru untuk tidak menentang PLTN.

Dunia saat ini mengoperasikan sekitar 440 PLTN atau sekitar 373 GWe yang tersebar di 32 negara. Jumlah ini menyumbang sekitar 15% pangsa listrik dunia. Akibat pemanasan global, jumlah ini akan semakin bertambah, karena masih ada sekitar 47 unit PLTN yang sedang dalam masa konstrusi, dan masih ada 133 unit PLTN yang sedang dalam proses perencanaan. Sebagian besar dari PLTN yang sedang dibangun dan direncanakan berada di kawasan Asia, yaitu di China, India, Korea, Taiwan dan Jepang, yang merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang kuat dan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Berbeda dengan perubahan sikap yang menjadi lebih positif ke arah pemanfaatan energi nuklir seperti di negara lain, tetapi

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  30

sebaliknya pro-kontra pemanfaatan PLTN di Indonesia kembali muncul, dengan suara kontra yang lebih dominan pada kalangan tertentu. Tentu saja perlu dipahami bahwa tidak ada satu pun teknologi yang seratus persen bebas dari kemungkinan resiko kecelakaan. Namun perlu juga disadari bahwa dalam pengembangan teknologi, semakin besar risiko yang menyertai produk tersebut, semakin ketat dan tinggi standard keselamatan yang ditetapkan.

- Dasar Pembangunan PLTN di Indonesia UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, pasal 13 mengenai pembangunan PLTN komersial, menyatakan bahwa pada prinsipnya PLTN komersial dapat dibangun oleh BUMN, koperasi, atau swasta. Dan dalam UU Kelistrikan No 30 Tahun 2009, DESDM dinyatakan sebagai pihak pemerintah yang bertangungjawab secara teknis untuk pengembangan usaha listrik komersial oleh BUMN, koperasi, atau swasta.

Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional s/d 2025. Energi nuklir menjadi salah satu energi baru yang harus dikembangkan. Diterjemahkan dalam BluePrint Energi Nasional di DESDM, bahwa energi nuklir akan memenuhi 2% dari total energi primer nasional tahun 2025, atau sekitar 4000 MWe.

UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) secara jelas menyatakan bahwa energi nuklir diharapkan sudah dapat memberikan sumbangan bagi pembangkitan energi listrik nasional pada tahapan pembangunan ke 3 (2015-2019). Jika persiapan dan pembangunan PLTN memerlukan waktu sekitar 8 tahun, maka Pemerintah sudah harus memutuskan rencana pembangunan PLTN paling lambat pada akhir tahun 2010.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  31

- Organisasi Pembangunan PLTN Sesuai dengan UU Ketenaganukliran dan Ketenagalistrikan, maka penanggungjawab utama persiapan pembangunan PLTN komersial adalah DESDM. Diharapkan DESDM akan mempersiapkan pembentukan Tim Nasional untuk melakukan persiapan pembangunan PLTN. Tim tersebut akan melakukan keputusan untuk menentukan pemilik (owner) PLTN, dimana beberapa kemungkinan masih bisa diputuskan oleh Tim sesuai UU Ketenaganukliran yaitu PLTN dapat dioperasikan oleh BUMN atau perusahaan swasta atau kooperasi. Untuk itu pemilik PLTN dapat dilakukan oleh PT.PLN, atau anak perusahaannya, atau BUMN baru khusus untuk energi nuklir, atau perusahaan swasta (IPP), atau suatu konsorsium gabungan dari BUMN dan swasta.

BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) adalah Badan Pelaksana yang fungsinya diatur oleh UU No.10 Tahun 1997, yaitu sebagai lembaga litbang, lembaga promotor, konsultansi, dan penyusun kebijakan teknis penggunaan energi nuklir nasional dalam arti luas di luar aspek bisnis komersial, baik untuk sektor energi maupun non-energi. Sedangkan Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) sesuai UU No.10 Tahun 1997 mempunyai tugas sebagai lembaga regulasi, perijinan dan pengawasan di bidang nuklir.

Selain PT. PLN yang berminat mengembangkan PLTN di Indonesia, saat ini sudah ada beberapa perusahaan swasta nasional (IPP) yang juga berminat untuk ikut dalam pembangunan dan pengoperasian PLTN di Indonesia. Kerja sama dengan perusahaan pengembang PLTN juga sudah dilakukan untuk menjajagi kemungkinan kerjasama maupun pembentukan konsorsium. Karenanya perlu didorong kemungkinan terwujudnya kerja sama antara BUMN/swasta nasional/internasional agar biaya pembangunan PLTN tidak membebani APBN.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  32

- Aspek Regulasi Pengembangan PLTN dan industri nuklir pendukungnya selalu didasarkan pada aspek keselamatan sesuai standard Internasional. Untuk itu regulasi nasional dan internasional harus disiapkan oleh negara yang akan memasuki era energi nuklir. Demikian juga dengan Indonesia, banyak produk regulasi yang sudah diterbitkan maupun sedang dalam proses penyiapan.

Regulasi internasional tentang kegiatan kenukliran di Indonesia sudah disiapkan sejak tahun 1978 dengan diterbitkannya UU Nomor 8 Tahun 1978 tentang ratifikasi ”Non Proliferation Treaty” (NPT). Hingga penandatanganan keselamatan nuklir ”Convention on Nuclear Safety” pada tahun 2001. Dan masih puluhan regulasi internasional yang sudah ditandatangani, yang semuanya ditujukan untuk masalah standard keselamatan nuklir dan penggunaan nuklir hanya untuk tujuan damai.

Regulasi nasional tentang kegiatan kenukliran di Indonesia juga sudah disiapkan sejak tahun 60-an dengan diundangkannya UU Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketenaganukliran, yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Hingga diterbitkannya PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.

Dengan demikian sebenarnya Indonesia dari sisi regulasi ketenaganukliran internasional maupun nasional, boleh dikatakan sudah siap memasuki era pemanfaatan energi nuklir dalam bentuk pembangunan PLTN. Dan di mata dunia internasional, Indonesia sudah diakui menjadi 3 negara pertama yang mengakui dan mengadopsi Integrated Safeguards System yaitu mencakup Comprehensive Safeguards Agreement and Additional Protocol. Kekhawatiran tentang tekanan dunia internasional dan ancaman embargo seperti yang dialami oleh

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  33

Iran dan Korea Utara, jika Indonesia mengembangkan energi nuklir menjadi tidak relevan lagi.

- Aspek Ekonomi Banyak studi, termasuk salah satu yang dibuat baru-baru ini oleh The Nuclear Energy Agency of the OECD (OECD/NEA) dan IAEA, menunjukkan bahwa instalasi tenaga nuklir di sebagian besar negara sangat kompetitif bila dibandingkan secara ekonomi dengan jenis energi lainnya. Selain itu penggunaan energi nuklir telah mempertimbangkan perbandingan dengan alternatif-alternatifnya dari beberapa segi antara lain pendanaan, unjuk kerja dan keandalan, ketergantungan dari fluktuasi dalam ketersediaan dan harga pemasok, serta dampak lingkungan dan kesehatan.

Pembangunan PLTN membutuhkan biaya investasi yang besar, tetapi pada saat PLTN beroperasi hanya memerlukan biaya bahan bakar yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit yang lain. Hal ini dikarenakan oleh bahan bakar nuklir yang sangat kompak dan mempunyai kandungan energi yang lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar fosil ataupun minyak. Biaya bahan bakar yang rendah ini menjadikan biaya produksi listrik PLTN akan kompetitif terhadap pembangkit lain, serta lebih stabil karena tidak rentan terhadap perubahan harga bahan bakar dunia.

Di banyak negara biaya pembangkitan listrik PLTN sudah dapat bersaing dengan PLTU batubara maupun gas. Terlebih jika biaya lingkungan atau eksternalitas ikut diperhitungkan. Menurut perhitungan yang ada, biaya pembangkitan listrik PLTN sudah dapat ditekan menjadi sekitar 5-6 cent USD/kWh, dengan harga penjualan ke PLN (PPA-Power Purchase Agreement) sekitar 6 cent USD/kWh.

Meskipun secara ekonomi menguntungkan, tetapi untuk memulai pembangunan PLTN diperlukan investasi yang cukup

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  34

besar, mengingat biaya overnight-nya masih di sekitar 1800-2700 USD/kWe. Sehingga untuk pembangunan dua unit (twin) PLTN 2x1000 MWe diperlukan dana sekitar 3,6-5,4 billion USD. Untuk itu diperlukan jaminan pemerintah dan kemudahan lain, jika ingin mendatangkan investasi yang besar tersebut. Apalagi proses persiapan dan pembangunan PLTN hingga pengoperasian komersial memerlukan waktu yang cukup panjang sekitar 8-10 tahun.

Banyak model pendanaan pembangunan PLTN yang dapat dilakukan, tetapi yang perlu diperhatikan saat ini adalah model pendanaan yang tidak memberatkan posisi keuangan pemerintah atau anggaran negara, misalnya antara lain:

1. Pinjaman Pemerintah 2. Kredit Eksport Pemerintah 3. Investasi Perusahaan Swasta atau Konsorsium.

Tetapi melihat kondisi keuangan pemerintah saat ini dan beberapa tahun ke depan, maka pilihan ke 3 nampaknya yang menjadi paling memungkinkan untuk dilaksanakan, sehingga tidak membebani APBN. Dimana yang dimaksud dengan perusahaan swasta adalah bisa berbentuk konsorsium antara BUMN, Swasta Nasional dan Perusahaan Swasta Internasional.

- Aspek Teknologi PP No.43 Tahun 2006 tentang Perijinan Reaktor Nuklir, menyatakan dalam salah satu pasalnya bahwa PLTN komersial yang akan dibangun di Indonesia harus menggunakan teknologi teruji (proven technology), yang didefinisikan sebagai PLTN yang sudah dioperasikan secara komersial selama 3 tahun berturut-turut di negara asalnya dan mempunyai faktor kapasitas rerata 75%.

BATAN sudah memberikan masukan kepada pemerintah, bahwa teknologi yang digunakan sebaikya PLTN jenis PWR (Pressurized Water Reactor) dengan daya 900-1100 MWe. Jenis

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  35

teknologi ini sangat disukai dan digunakan oleh banyak negara. Jenis PWR lebih disukai karena relatif lebih mudah dioperasikan, dan area yang terkena radiasi terbatas hanya di dalam kubah reaktor, sehingga relatif lebih bersih dan lebih sederhana penanganan proses radiasinya. Dari sekitar 440 PLTN yang sudah dioperasikan di dunia saat ini, terdapat sekitar 260 berjenis PWR yang sudah dioperasikan atau sekitar 60%. Sebagian besar kapasitas per unit PWR adalah 1000 MWe seperti di Jepang, Korea, dan China, yang terbesar adalah 1600 MWe/unit seperti yang saat ini di bangun di Finlandia dan Prancis. Korea saat juga sedang membangun 2 unit PLTN jenis PWR berkapasitas 1400 Mwe, dan Jepang mengembangkan unit PLTN PWR berkapasitas 1250 Mwe.

Teknologi PLTN yang saat ini banyak dibangun di seluruh dunia, sudah termasuk dalam kategori generasi teknologi PLTN 3+, yang jaminan keamanannya sudah sangat tinggi. Hal ini sangat berbeda dengan PLTN jenis Three Mile Island dan Chernobyl yang masih mempunyai kategori generasi ke 2. Dan jenis PLTN seperti Chernobyl sudah tidak digunakan lagi di dunia, juga di Rusia, sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan digunakan di Indonesia. Sehingga kemungkinan kecelakaan seperti yang terjadi di kedua reaktor tersebut hampir dipastikan tidak akan terjadi.

Proses pendinginan PLTN (di kondensor) dapat menggunakan air laut, seperti semua PLTN yang saat ini dioperasikan di Jepang (54 unit) dan Korea (20 unit), dan di banyak PLTN di negara-negara lainnya. Teknologi pendinginan dengan air laut sudah mencapai tahapan ”state of the art”, dan juga digunakan di semua pembangkit PLTU/PLTGU yang saat ini dioperasikan di Indonesia.

Untuk jenis PLTN kecil berkapasitas 100-300 MWe, saat ini baru ada 1 jenis yang memenuhi kriteria ”proven technology” sesuai PP No.43, yaitu PHWR jenis ”Candu” (teknologi Canada

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  36

tahun 1970-an) buatan India dan sudah beberapa unit dioperasikan di India dengan kapasitas 150-250 MWe/unit. Sedangkan penggunaaan teknologi terkini untuk pembuatan PLTN kecil belum banyak berkembang. Meskipun demikian Korea Selatan sudah menghasilkan desain PLTN-Desalinasi bernama ”SMART” berkapasitas 100 MWe dan 40.000 M3/hari air bersih.

Selain itu banyak juga jenis PLTN kecil lainnya yang sudah masuk dalam ketegori generasi ke 4 tetapi masih dalam tahap pengembangan, misalnya PLTN 4S buatan/desain Jepang, dan PLTN Hyperion buatan/desain USA. Teknologi jenis ini yang sangat handal, aman dan ekonomis serta bebas limbah nuklir diperkirakan baru dapat dikategorikan teknologi teruji dan dapat dikomersialkan dalam waktu 4-5 tahun yang akan datang. Dan jenis PLTN semacam ini tepat sekali dibangkitkan di Luar Jawa.

Indonesia juga aktif terlibat di berbagai proyek penelitian nuklir dunia, tetapi dengan dana yang sangat terbatas maka hasilnyapun tidak terlalu dirasakan manfaatnya. Keterbatasan dana penelitian dapat dilihat pada kecilnya dana belanja litbang Pemerintah. Pada tahun 2004 dana litbang Indonesia hanya sebesar 0,05% GDP, dan tahun 2008 menurun menjadi 0,03% GDP. Bandingkan dengan tetangga dekat Malaysia yang mempunyai angka 0,69% GDP dan Vietnam sebesar 0,19% GDP masing-masing di tahun 2004.

- Aspek Politik, Sosial dan Budaya Pembangunan PLTN tidak dapat dipisahkan dari kebijakan strategis energi nasional yang tidak lagi menggunakan paradigma lama, yaitu sumberdaya energi sebagai sumber pendapatan nasional. Paradigma baru menyikapi sumber energi alternatif sebagai bagian penting dalam mempertahankan keamanan energi, yang sekaligus juga berarti keamanan nasional. Energi nuklir yang merupakan bagian dari energi baru

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  37

dan terbarukan, harus menjadi salah satu alternatif dalam konteks kebijakan energi gabungan (energy mix) yang dipilih oleh pemerintah Indonesia.

Pertimbangan di atas meniscayakan adanya kejelasan dan kepastian mengenai pembangunan PLTN. Walaupun pada saat ini kontroversi masih belum ada tanda-tanda akan segera berakhir atau mencapai titik temu, namun pemerintah harus segara menetapkan time frame dan time line-nya. Penundaan yang tanpa kejelasan akan mengakibatkan berbagai dampak, termasuk dampak politis bagi pemerintah, warga masyarakat dan stakeholders iptek nuklir sendiri.

Pembangunan PLTN tidak hanya dapat dipahami dari sisi ekonomis dan teknis, tetapi juga politis. Perkembangan mutakhir yang mengarah kepada semakin tingginya minat untuk membangun PLTN di berbagai negara, mengharuskan Pemerintah Indonesia untuk tampil ke depan, sebagai negara yang telah lama menguasai iptek nuklir, termasuk pengeloaan reaktor nuklir untuk riset. Posisi demikian akan membuat Indonesia semakin strategis dalm pergaulan antar-bangsa, sekaligus dalam kiprah penguasaan teknologi tinggi dan canggih (high and sophisticated technologies). Dengan pembangunan PLTN, maka kebijakan Iptek Nasional pun akan mendapat dorongan (boosting) untuk melakukan akselerasi dalam pembangunan masyarakat modern melalui aplikasi teknologi mutakhir seperti nuklir.

Sikap pemerintah yang tegas juga penting dipandang dari sisi politik, yaitu meredam potensi konflik yang ditimbulkan dari kontroversi seputar pembangunan PLTN. Dalam hal ini, Pemerintah perlu memfasilitasi dialog antar para pihak yang memiliki perbedaan pandangan dan ditujukan mencari titik temu serta solusi yang saling menguntungkan. Jika hal ini tidak dilakukan maka distrust dari warga masyarakat terhadap pemerintah akan makin membesar, apalagi bila diprovokasi oleh

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  38

pihak-pihak yang tertentu. Kebijakan pembangunan PLTN akan menjadi salah satu test case bagi pemerintah untuk membuat dan menerapkan kebijakan publik yang memiliki sensitivitas politik yang tinggi. Jika hal ini berhasil dilakukan, maka penerimaan publik terhadap kebijakan strategis yang serupa tentu akan lebih mudah, demikian pula sebaliknya.

Ditinjau dari percaturan politik internasional, tidak tertutup kemungkinan bahwa banyak negara besar maupun kecil, jauh atau dekat, yang tidak menginginkan Indonesia mempunyai PLTN, semata karena tidak ingin Indonesia sebagai negara berpenduduk ke-4 terbesar di dunia menjadi negara maju dengan ekonomi yang berkembang pesat, sehingga tidak lagi menjadi pasar bagi produk negara lain.

Ditinjau dari perkembangan politik dalam negeri, sangat disayangkan bila isu PLTN digunakan untuk mempertahankan citra selama jabatan pemerintahan tertentu berjangka pendek, serta digunakan untuk kepentingan politik sesaat. Seharusnya kepentingan nasional yang lebih besar dan berjangka panjang yang diprioritaskan.

- Kesiapan Infrastruktur Sesuai dokumen IAEA-TECDOC-151 berjudul Basic infrastructure for a nuclear power project, dan IAEA Nuclear Energy Series No. NG-T- 3.2, ada 19 aspek infrastruktur yang harus dipenuhi jika suatu negara akan membangun PLTN. Ke 19 aspek infrastruktur tersebut adalah sebagai berikut:

1. National Position 2. Nuclear safety 3. Management 4. Funding and financing 5. Legislative framework 6. Safeguards 7. Regulatory framework

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  39

8. Radiation protection 9. Electrical grid 10. Human resources development 11. Stakeholder involvement 12. Site and supporting facilities 13. Environmental protection 14. Emergency planning 15. Security and Physical protection 16. Nuclear fuel cycle 17. Radioactive waste 18. Industrial involvement 19. Procurement

Untuk meninjau status 19 infrastruktur persiapan pembangunan PLTN di Indonesia, pada bulan November 2009 yang baru lalu, telah dilakukan observasi, investigasi, analisis dan evaluasi oleh 5 orang tenaga ahli IAEA, yang berkunjung ke beberapa instansi pemerintah, BUMN dan swasta.

Hasil penilaian dari misi Integrated Nuclear Infrastructure Review (INIR) IAEA terhadap swa-evaluasi (self evaluation) 19 butir isu infrsatruktur saat ini Indonesia telah melaksanakan penyiapan infrastruktur nasional fase pertama (pertimbangan menuju penetapan pelaksanaan proyek), kecuali pembentukan tim nasional untuk persiapan pembangunan PLTN, dan telah dinyatakan siap untuk menuju fase kedua (persiapan pelaksanaan konstruksi PLTN). Saat ini untuk menindak-lanjuti fase kedua dan fase ketiga (implementasi pembangunan dan pengoperasian PLTN) masih menunggu keputusan dan konsistensi Pemerintah.

Informasi tentang kesiapan infrastruktur pembangunan PLTN di suatu negara sangat diperlukan dan dapat menjadi daya tarik bagi calon investor dan pemasok PLTN. Oleh karena itu menjadi tugas Pemerintah untuk menyiapkan infrastruktur yang berkualitas dan tepat waktu guna pendukung program energi

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  40

nuklir. Oleh karenanya program pengembangan infrastruktur nasional fase kedua dan ketiga perlu ditetapkan sehingga pemanfaatan PLTN sesuai yang diamanatkan Undang-Undang No 17 tahun 2007 tentang RPJPN dapat terlaksana.

- Rencana Pembangunan PLTN PLTN pertama di Indonesia paling tepat di bangun di Pulau Jawa berdasarkan economic of scale, mengingat kapasitas listrik terpasang di Jawa saat ini sudah mencapai sekitar 23 GWe (PLN+IPP+Captive), atau sekitar 70% dari total kapasitas nasional. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 7%, maka pembangkitan listrik di Jawa pada tahun 2027 diperkirakan akan memerlukan tambahan sekitar 70 GWe. Sehingga 20 tahun ke depan di Jawa harus dibangun tambahan lebih dari 50 GWe. Selain itu kesiapan jaringan kelistrikan dan kapasitas pembangkitan di Pulau Jawa yang sudah cukup besar akan dapat menerima PLTN yang per unitnya 1000 MWe, yang saat ini banyak dikembangkan dan tersedia di negara pemasok, tanpa mengganggu stabilitas jaringan.

Jika semua persiapan awal dapat diselesaikan sesuai standard/aturan yang berlaku dan keputusan pemerintah dapat dideklarasikan pada tahun 2010, maka tender PLTN dapat dilaksanakan pada tahun 2011, pembangunan unit 1 dan 2 (twin unit) dapat dimulai tahun 2012/2013, dan operasi komersial dapat dilakukan tahun 2018/2019. Mengingat pembangunan PLTN memerlukan waktu sekitar 8-10 tahun. Sedangkan untuk unit 3 dan 4 mengikuti perkembangan dan hasil pembangunan unit 1 dan 2, sehingga baru dapat dioperasikan tahun 2023/2024. Hal ini sesuai dengan UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), bahwa tenaga nuklir harus sudah dioperasikan untuk pembangkitan energi listrik di Indonesia pada tahap ke 3 pembangunan yaitu antara tahun 2015-2019.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  41

- Aspek Transfer Teknologi Jenis proyek untuk pembangunan PLTN yang pertama diusulkan menggunakan model "turnkey project", kemudian bisa dilanjutkan dengan sistem "component approach". Tujuan jangka panjang dari semua proses ini adalah kemampuan mengembangkan teknologi PLTN secara mandiri atau "design and technology self reliance". Tujuan ini dapat dicapai melalui kegiatan penyiapan SDM litbang dan SDM industri nasional untuk merebut teknologi melalui transfer teknologi, sehingga pemberdayaan industri nasional dapat dilakukan.

Sebenarnya pada saat ini, meskipun Indonesia belum mempunyai PLTN, tetapi sudah ada industri swasta di Indonesia yaitu PT. Siemens Indonesia yang sudah mampu melakukan pabrikasi dan mengekpor komponen PLTN ke Finlandia. Dimana saat ini sedang dibangun PLTN terbesar di dunia dengan kapasitas 1600 Mwe per unit. Dan komponen yang berupa kondensor tersebut dikerjakan langsung oleh tenaga kerja Indonesia.

Transfer teknologi dan penggunaan komponen dalam negeri adalah salah satu keuntungan secara tidak langsung dari pengembangan industri nuklir di Indonesia. Tentunya keuntungan secara tidak langsung lainnya adalah peningkatan kemampuan iptek dan disiplin tenaga kerja Indonesia, sesuai dengan standard keselamatan industri nuklir yang sangat tinggi. Selain itu pengembangan industri nuklir di tanah air juga akan meningkatkan daya saing dan martabat bangsa di mata dunia internasional. Dan tentunya semua ini tidak bisa diukur dengan materi atau nilai ukur ekonomi semata.

- Calon Tapak PLTN dan Interfacing Jaringan Listrik Penentuan lokasi tapak PLTN, khususnya di Pulau Jawa yang labil dan mempunyai banyak gunung berapi merupakan permasalahan yang harus diselesaikan dengan hati-hati. Studi

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  42

yang sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 70-an hingga saat ini menyimpulkan bahwa tapak terbaik adalah di utara Semenajung Muria Jawa Tengah, tepatnya di Ujung Lemah Abang, sekitar 7 km sebelah timur PLTU Tanjung Jati B.

Meskipun demikian masih ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan untuk updating studi serta mengkonfirmasi aspek keselamatan tapak dari berbagai aspek yang sudah direkomendasikan oleh IAEA sejak tahun 1997. Sehingga pemilihan tapak PLTN di Semenanjung Muria sudah memenuhi kaidah dan standard keselamatan internasional dari semua aspek yang dipersyaratkan, seperti geografi, geologi, seismologi, vulcanologi, hidrologi (termasuk tsunami), meteorologi, analisa lingkungan, dll. Sehingga sudah dapat disimpulkan bahwa tapak Muria sudah dapat dinyatakan aman dari dampak akibat gempa, tsunami, letusan gunung api, dll.

Sesuai dengan perkembangan persyaratan keselamatan nuklir, maka dokumen IAEA mengenai pemilihan tapak (Safety Requirement, Safety Guides, Technical Document) mengalami pemutakhiran. Mengacu dokumen yang terbarukan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:

a. Untuk di P. Jawa adalah sebagai berikut: 1. Provinsi Jawa Tengah (Semenanjung Muria) 2. Provinsi Banten (sekitar Teluk Banten)

b. Untuk calon tapak luar P. Jawa adalah Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Bangka Belitung (Babel). Dibandingkan dengan tapak-tapak lainnya, tapak di Babel mempunyai keunggulan dari segi penerimaan tapak (site acceptability), sehingga biaya konstruksi PLTN menjadi minimum.

Namun demikian masih harus dilakukan kegiatan lapangan untuk melengkapi dan memutakhirkan data guna penyusunan Site Eveluation Report sebagai persyaratan pengajuan izin tapak.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  43

Ditinjau dari interfacing jaringan listrik dapat dipertimbangkan:

1. PLTN Muria masuk ke jaringan listrik JAMALI (melalui Gardu Induk Pedan atau membangun Gardu Induk baru).

2. PLTN Banten masuk ke jaringan listrik JAMALI (melalui Gardu Induk Balaraja). Keuntungan: dekat dengan beban, lebih stabil dan mengurangi kerugian (losses)

3. PLTN Kaltim berpotensi untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kalimantan (melalui interkoneksi Kalimantan)

4. PLTN Babel berpotensi untuk dikembangkan masuk ke jaringan listrik JAMALI, Sumatera, Kalimantan dan ASEAN Grid.

- Penyiapan Sumber Daya Manusia Kegiatan ini bertujuan untuk menyiapkan tenaga terampil dengan kualitas tinggi untuk menangani program pembangunan PLTN pada setiap tahap. Penyiapan sumber daya manusia (SDM) dapat dikakukan dengan program pendidikan dan pelatihan baik formal maupun non-formal.

Pendidikan dan pelatihan telah dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) BATAN melalui kursus keahlian dalam kelas maupun kerja nyata (on the job training) di dalam dan luar negeri. Sekolah Tinggi Teknik Nuklir (STTN) Yogyakarta telah menghasilkan tenaga teknis terampil setingkat Diploma-3 (D-3). Kerjasama dengan perguruan tinggi juga menghasilkan SDM tingkat sarjana (S-1), pasca sarjana (S-2), dan doktor (S-3) di dalam (UI, ITB, UGM) dan di luar negeri.

Tim antar departemen (DESDM, BATAN, BAPETEN, RISTEK, PLN) telah menyusun program pengembangan sumber daya manusia PLTN, dan pada tahun 2008 telah diselesaikan dokumen naskah akademik dan konsep blue print, dan saat ini

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  44

sedang dalam penyusunan rancangan NTC (Nuclear Training Center).

Untuk kegiatan diklat kerja nyata yang berorientasi program, telah dilakukan kerjasama pengiriman SDM dengan badan internasional seperti IAEA maupun dengan negara-negara maju pengembang PLTN seperti Amerika Serikat, Kanada dan Jepang. Sedangkan untuk kegiatan yang berorientasi proyek, telah dilakukan kerjasama pengiriman SDM dengan perusahaan swasta pembuat PLTN seperti Westinghouse, General Electric, AECL, KHNP, Mitsubishi, Thosiba, Areva, Atomstroyeksport dll.

5. ISU UTAMA TERKAIT PLTN

- Keselamatan Seperti diketahui bahwa PLTN menerapkan teknologi maju yang dari waktu ke waktu terus berkembang untuk menuju tingkat keselamatan yang makin tinggi dan daya saing ekonomi yang lebih baik. Saat ini teknologi PLTN sudah berkembang mengarah ke Generasi ke 4. Teknologi muthakir ini memperhatikan capaian optimasi antara tuntutan keselamatan yang tinggi dengan filosofi ”fail to safe”, tetapi tetap tidak meningkatkan biaya ekonominya atau bahkan diusahakan lebih rendah biayanya. Selain itu teknologi fabrikasi bahan bakar telah sampai pada tingkat yang sukar untuk didaur-ulang, sehingga sukar untuk mengambil sisa uranium ataupun plutonium, hal ini berarti pula pembentukan limbah yang sangat minimal, sehingga memberikan jaminan tentang ”proliferation resistent” dan ”waste free”.

Dalam sistem PLTN, falsafah dan tradisi keamanan menekankan bahwa keselamatan adalah prioritas utama. Diterapkannya standar internasional yang tinggi, sistem jaminan mutu dan pengaturan yang efektif menjamin tingkat keamanan yang

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  45

tinggi. Peningkatan standar dan tingkat keselamatan PLTN dari 10-4 kemungkinan leleh teras/tahun (KLT/tahun) menjadi 10-6 KLT/tahun melalui desain maju dan sistem keselamatan pasif. Sebagai catatan bahwa reaktor Chernobyl yang mengalami leleh teras pada tahun 1976 hanya mempunyai tingkat keselamatan yang rendah yaitu 10-3 KLT/tahun. Sehingga kecelakaan seperti di Chernobyl dapat dihindarkan, jika Indonesia akan membangun PLTN.

Teknologi reaktor nuklir pada prinsipnya mengutamakan dan menekankan aspek keselamatan yang diterapkan pada setiap tahap kegiatannya dari awal konstruksi hingga akhir operasi. Prinsip keselamatan yang ketat diterapkan agar PLTN dapat beroperasi secara aman dan terkendali serta bahaya radiasi dapat ditekan serendah mungkin. Hal ini sejalan dengan konsensus Internasional untuk menggalang dan selalu memutakhirkan standar keselamatan dan prosedur keselamatan operasional.

Teknologi keselamatan PLTN menerapkan sistem pertahanan berlapis, yang mencegah insiden kecil menjadi kecelakaan dan mengungkung zat radioaktif yang timbul agar tetap berada dalam sistem pengungkung. Hal ini harus diterapkan secara konsekuen karena persyaratan yang ditetapkan pada sistem PLTN mempunyai prinsip dan standard internasional.

Disain suatu PLTN berpedoman pada filosofi “Defense in Depth” (pertahanan berlapis) untuk keselamatan yang terdiri atas: - Mampu mencegah insiden yang mungkin dapat menjalar

menjadi kecelakaan. - Mampu mendeteksi dini adanya insiden dan mematikan

reaktor secara otomatis. - Memiliki sistem keselamatan terpasang yang mencukupi

untuk mencegah terjadinya insiden dan untuk menanggulangi konsekuensinya.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  46

Selain itu teknologi nuklir juga menerapkan azas keselamatan yang diungkapkan dalam kalimat “As Low As Reasonably Achievable (ALARA)”, yaitu upaya keselamatan pada aplikasi teknologi nuklir harus dilakukan seoptimal mungkin, agar potensi bahaya serendah mungkin. Azas keselamatan tersebut meliputi: - Azas manfaat, aplikasi teknologi nuklir harus bermanfaat dan

manfaat tersebut harus lebih besar dari risikonya. - Azas optimasi, upaya pencapaian keselamatan tersebut harus

semaksimal mungkin dan dalam batas kewajaran. - Azas limitasi, untuk mencegah risiko bahaya radiasi terhadap

kesehatan, harus ditetapkan batas keselamatan dosis radiasi.

Azas tersebut menjadi acuan yang dianut secara internasional melalui IAEA, dan dituangkan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan (control). Pencegahan merupakan aktivitas pemanfaatan teknologi nuklir agar berlangsung secara aman, baik terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan. Sedangkan penanggulangan merupakan seluruh upaya dan tindakan untuk menghadapi dampak negatif bila upaya pencegahan tidak berhasil. Sehingga isu kekhawatiran kecelakaan PLTN seperti di Chernobyl dijamin tidak akan terjadi di Indonesia.

- Limbah dan Dekomisioning Limbah radioaktif dari PLTN, dan penggunaan radioisotop dalam pertanian, industri, riset dan kedokteran, telah menjadi subyek perhatian pemerintah, para pakar dan masyarakat umum. Saat ini teknologi pengelolaan limbah radioaktif telah mapan dan terus berkembang sesuai dgn kemajuan iptek dan tuntutan keselamatan. Awal 1960, organisasi pemerintah dan internasional, termasuk IAEA, telah mengembangkan dan menerapkan standar, kriteria, pedoman serta petunjuk praktis dalam pengelolaan dan penyimpanan limbah radioaktif secara aman. Sampai saat ini tahun 2000 hampir empat puluh tahun pengalaman dalam bidang ini telah dikumpulkan dan menjadi

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  47

acuan bagi negara yang ingin mengembangkan teknologi pengolahan limbah radioaktif.

Hampir semua negara di dunia, termasuk yang tidak menggunakan PLTN, juga menghasilkan limbah radioaktif yang berasal dari berbagai bidang aplikasi isotop dan radiasi. Jenis-jenis limbah yang dihasilkan mempunyai sifat fisik dan volume sangat berbeda, dan pada umumnya berasal dari aktivitas: 1. Penambangan dan pengolahan mineral uranium dan thorium

serta aktivitas yang terkait dengan daur bahan bakar nuklir; 2. Operasi yang berhubungan dengan daur bahan bakar, seperti

konversi dan pengayaan uranium, pabrikasi bahan bakar serta olah-ulang (reprocessing) bahan bakar bekas;

3. Operasi PLTN, termasuk bahan bakar bekas; 4. Dekontaminasi dan dekommisioning fasilitas nuklir; 5. Penggunaan radioisotop dan radiasi dalam bidang pertanian,

industri dan kedokteran.

Tidak seperti pembangkit batubara atau minyak yang menghasilkan limbah yang besar ke biosfer (udara, air dan tanah), jumlah limbah dari PLTN relatif kecil dan dapat dibatasi, disimpan dan diisolasi dari lingkungan manusia. Jumlah limbah dari PLTN jauh lebih sedikit dari pada PLTU batu bara, karena energi yang dihasilkan dari reaksi pembelahan uranium sangat tinggi dibandingkan bahan bakar yang lain, hal ini disebabkan oleh densitas energi uranium yang sangat tinggi.

Limbah nuklir berupa zat radioaktif mempunyai sifat meluruh dengan waktu, sehingga umurnya berkurang dengan waktu (waktu paruh t1/2), dan potensi bahaya radiasinya berkurang secara eksponensial terhadap waktu. Di samping membiarkan limbah meluruh dengan waktu, secara garis besar penanganan limbah radioaktif mengikuti tiga prinsip yaitu: pengurangan volume, pengolahan untuk mengubah menjadi bentuk stabil secara fisik maupun kimia yang disesuaikan dengan teknik transportasi dan penyimpanannya, untuk selanjutnya limbah

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  48

radioaktif ini dipindahkan ke tempat yang terisolasi dari lingkungan hidup.

Limbah suatu PLTN digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu limbah aktivitas tinggi (LAT), limbah aktivitas sedang (LAS) dan limbah aktivitas rendah (LAR). Sebagai gambaran, PLTN dengan daya 1000 MWe (tingkat pengkayaan 4%) selama setahun akan menghasilkan jumlah limbah LAT dalam bentuk bahan bakar bekas sekitar 30 ton, LAS terolah sekitar 300 ton dan LAR sekitar 450 ton.

Jika dilihat dari jumlah zat radioaktif, maka sebagian besar limbah radioaktif terdapat dalam bahan bakar bekas (98%). Bahan bakar bekas disimpan secara khusus di reaktor dengan kapasitas simpan yang dapat mengakomodasi seluruh bahan bakar selama masa operasi PLTN. Kemudian dapat disimpan secara tetap di tempat khusus (repository) bila dianut daur bahan bakar tertutup. Bila ditempuh daur terbuka maka bahan bakar bekas diproses untuk perolehan sisa uranium dan plutonium untuk difabrikasi kembali menjadi bahan bakar. Dari proses daur ulang ini akan terbentuk LAT sekitar 8 ton.

Potensi dampak dari limbah PLTU ini lebih besar ketimbang PLTN. Jumlah limbah PLTN ini relatif sangat kecil dibandingkan limbah PLTU batubara dengan daya yang sama. PLTU batubara dengan daya 1000 MWe selama 1 tahun memerlukan 3 juta ton batubara dan dari sini akan terebntuk limbah CO2 sekitar 7 juta ton, SO2 dan NO2 masing-masing sekitar 20.000 dan 4000 ton, debu sekitar 300.000 ton dan logam berat seperti Hg, As, Pb, Cd dan lainnya sekitar 400 ton.

Potensi bahaya limbah PLTN adalah jauh lebih kecil dari pada potensi bahaya operasi PLTN itu sendiri. Hal ini karena didukung oleh teknologi pengolahan limbah yang andal dan teruji. Sedangkan biaya pengendalian dan pembuangan limbah radioaktif dari PLTN sangat kecil jika dibandingkan dengan

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  49

nilai ekonomi total listrik yang diproduksi. Biaya pengolahan limbah nuklir biasanya sudah dimasukkan dalam biaya pembangkitan energi nuklir dan secara umum berkisar antara 2–6% dari harga listrik.

PLTN yang telah berakhir masa penggunaannya akan didekomisioning, yaitu upaya untuk menghilangkan residu potensi bahaya yg ditinggalkan oleh reaktor dan sarana pendukungnya setelah habis masa operasinya. Teknologi dekomisioning telah diterapkan di berbagai negara dan biaya dekommisioning sudah termasuk dalam perhitungan harga listrik. Sebagai contoh di Swedia, biaya sekitar 0,3 US sen per kWh telah disisihkan untuk menutupi seluruh biaya manajemen dan penyimpanan limbah serta dekomisioning.

- Penerimaan Masyarakat Pembangunan PLTN memang telah, sedang dan masih akan menciptakan pro dan kontra. Kendati demikian, Pemerintah yang telah memiliki komitmen serta menghadapi permasalahan energi di masa depan tidak dapat mengambil sikap “abu-abu” dan tidak tegas. Baik pihak yang menentang dan mendukung pembangunan PLTN sudah sewajarnya diberikan peluang untuk menyampaikan argumen masing-masing secara transparan, akuntabel, dan damai. Bagaimanapun juga, dalam alam demokrasi konflik kepentingan tidak dapat ditutupi dan direpresi sebagaimana pada masa sebelumnya. Dialog harus menjadi wahana bagi penyelesaian konflik, termasuk masalah pro-kontra pembangunan PLTN. Pihak-pihak yang berkonflik diharapkan memberikan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solutions), dan bukan hanya “waton suloyo” atau sekedar berbeda. Lebih buruk lagi apabila konflik tersebut menciptakan ketegangan sosial karena tidak ditemukannya solusi.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  50

Selama beberapa tahun terakhir, pro dan kontra seputar pembangunan PLTN di Muria telah mengakibatkan munculnya berbagai aksi dalam masyarakat yang menolak secara a-priori maupun dengan argumen rasional. Selain itu, kecurigaan yang muncul sebagai akibat dari rencana pembangunan PLTN tersebut telah sedemikian rupa, sehingga dikhawatirkan telah tidak proporsional serta politis. Sayangnya, dari pihak pendukung PLTN dan Pemerintah sendiri, tampak tidak konsisten dan terpadu di dalam menghadapi pihak penentang. Bahkan, dengan adanya ketidak jelasan keputusan untuk memberikan time line dan time frame bagi pembangunan PLTN, maka hal ini dibaca oleh pihak penentang sebagai sikap mundur (retreat) dari Pemerintah. Kendati pihak DPR, khususnya Komisi VII (energi, iptek, dan lingkungan hidup) telah memberikan dukungan yang cukup kuat terhadap pembangunan PLTN, namun hal ini tidak dimanfaatkan secara optimal sehingga terkesan ketidak paduan antara Pemerintah dan DPR dalam mengatasi masalah pro-kontra tersebut.

Di masyarakat sipil (civil society), kecenderungan yang tampak di permukaan adalah kuatnya penolakan masyarakat dan LSM serta kelompok cendekiawan, terutama di Jateng dan di lokasi PLTN. Bahkan sebagian ormas keagamaan telah menyampaikan penolakan terhadap PLTN dengan argumen keagamaan yang tentu saja memiliki pengaruh cukup kuat kepada warga masyarakat tradisional. Walaupun terdapat juga sejumlah kalangan dalam masyarakat sipil yang tidak menolak atau setidaknya diam terhadap rencana pembangunan PLTN, namun suara mereka cenderung tertenggelamkan oleh hingar-bingar pemberitaan di media yang lebih sering mengekspos pihak penentang

Sebuah panel diskusi telah diselenggarakan oleh MPEL dalam usaha untuk menjaring masukan dari masyarakat mengenai rencana pembangunan PLTN, khususnya dari aspek-aspek non-

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  51

teknis. Panel yang terdiri dari sejumlah pembicara dan tokoh masyarakat sebagai panelis yaitu Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hendarso Hadiparmono, anggota Komisi VII DPR-RI, Ir. Sarwono Kusumaatmadja, anggota Dewan Perwakilan Daerah–RI dan mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof. Dr. A. Syafii Maarif, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan Hilmi Panigoro, CEO PT Medco Energi Internasional Tbk. dan Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), dan dimoderatori oleh Parni Hadi Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik RRI, menyimpulkan bahwa mendukung pembangunan PLTN kecenderungan (trend) penggunaan energi ke depan akan bergeser dari energi bersumber pada sumber daya alam (resource based energy) ke energi bersumber pada teknologi (technology based energy) termasuk diantaranya energi nuklir. Untuk itu Panel mendukung upaya pembanguna PLTN di Indonesia. Isu persiapan pembangunan PLTN di Indonesia sudah terdengar sejak tahun 70-an, tetapi sampai saat ini belum ada realisasinya, untuk ini diperlukan suatu introspeksi para stake holders untuk mengkaji kembali persiapan dan kegiatan yang sudah dilakukan dan melangkah lagi dengan lebih pasti ke depan dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan benar. Semua aspek harus diperhatikan, khususnya yang menyangkut permasalahan community development masyarakat sekitar tapak PLTN. Dengan demikian maka Pemerintah akan lebih berani dan lebih tegar memutuskan untuk membangun PLTN yang pertama di Indonesia.

Apabila ketidak jelasan keputusan pembangunan PLTN semakin lama dan tanpa alternatif pemecahan yang jelas (misalnya pemindahan lokasi, dsb), maka akibatnya akan menurunkan tingkat kredibilitas dan legitimasi Pemerintah dalam kebijakan public yang sifatnya sensitif. Di samping itu, dikhawatirkan

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  52

terjadinya efek tarik kereta (band wagon effect) penolakan terhadap PLTN yang akan dibangun di tempat yang lain dengan alasan-alasan yang tidak jelas, namun dilakukan dengan pelibatan opini publik secara massif. Dengan demikian, bukan saja hal ini akan mempersulit pembuatan keputusan terkait pembangunan PLTN tetapi juga meningkatkan resiko politik yang harus diperhitungkan dalam proses tersebut.

Dalam kondisi demikian, maka upaya mencari titik temu dan dialog di antara warga masyarakat sipil menjadi sangat sulit dilakukan. Ujung-ujungnya, terjadilah semacam kondisi stalemate di dalam warga masyarakat, dengan pihak penentang untuk sementara berada di atas angin. Dengan akibat, hubungan Pemerintah dan masyarakat di lokasi pembangunan PLTN menjadi kurang harmonis dan bahkan senantiasa dibayang-bayangi kemungkinan terjadinya konflik terbuka yang bukan tidak mungkin menggunakan kekerasan.

Untuk itu perlu direncanakan penyelenggaraan sosialisasi pada generasi muda, karena merekalah yang pada saatnya nanti akan menikmati tersedianya listrik yang cukup, murah, handal, dan ramah lingkungan atau sebaliknya mereka akan selalu mengalami giliran pemadaman listrik, dan hidup dalam lingkungan yang tidak sehat.

6. KESIMPULAN a) Pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi

selama 5 tahun ini meningkat menjadi 7% yang berarti pertumbuhan penyediaan listrik diperkirakan akan meningkat dari pertumbuhan rerata saat ini 9% menjadi sekitar 10,5% per tahun.

b) Hasil studi Re-Evaluasi CADES tahun 2009 menyatakan bahwa jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan di sektor energi dan ketenagalistrikan, serta sektor kegiatan

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  53

ekonomi dan kependudukan, maka kebutuhan listrik di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali) akan meningkat dari 23,2 GWe pada tahun 2005 menjadi 518.7 GWe pada tahun 2050 (skenario dasar sesuai Perpres Nomor 5 Tahun 2006). Dan sebagian besar dari kebutuhan listrik tersebut akan sangat tergantung pada PLTU batubara, yang meningkat sangat pesat dari 8,3 GWe pada tahun 2005 menjadi 448,1 GWe pada tahun 2050, meskipun penggunaan PLTN sudah direalisasikan sebesar 2 GWe pada tahun 2020 dan 21 GWe pada tahun 2050.

c) Emisi CO2 di Jamali akan meningkat sangat pesat dari 97 juta ton pada tahun 2005 menjadi 478 juta ton pada tahun 2025 dan meningkat sebesar 3.322 juta ton pada tahun 2050. Penggunaan 4% energi nuklir, hanya mampu menekan emisi CO2 sebesar 9,1%. Sedangkan hasil optimasi dengan menggunakan opsi nuklir secara masif yaitu 38 GWe pada tahun 2025 dan 226 GWe pada tahun 2050, akan dapat mengurangi emisi CO2 secara signifikan sebesar 36,6% pada tahun 2025 dan 56,6% pada tahun 2050.

d) Presiden SB Yudhoyono dalam pertemuan pemimpin negara G-20 menyatakam bahwa perubahan iklim adalah masalah bersama yang harus diatasi dengan cara menurunkan emisi CO2. Pada kesempatan tersebut Indonesia berani mencanangkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26%. Dan dalam hal ini energi nuklir bisa dikategorikan sebagai energi dengan zero carbon emission, yaitu mampu menyediakan energi listrik dengan kapasitas daya besar tanpa meningkatkan emisi CO2.

e) PLTU Batubara di sistem Jamali akan terkendala oleh lahan, logistik, dan permasalahan lingkungan. Kemampuan daya dukung pulau Jawa ditinjau dari jumlah batubara yang digunakan hanya dapat membakar 40 juta ton/tahun. Kajian awal MPEL saat ini, maksimum daya dukung pulau Jawa

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  54

adalah 70 juta ton/tahun. Angka tersebut akan dengan cepat terlewati mengingat pada tahun 2025 di sistem kelistrikan Jamali akan dibutuhkan batubara sebanyak 206 juta ton per tahun.

f) Pulau Jawa yang kepadatan penduduknya diperkirakan akan mencapai 1000 orang/km2 pada tahun 2025, mempunyai sumber daya energi yang terbatas, padahal menjadi pusat penyediaan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan karakteristik yang demikian, maka kebutuhan listriknya hanya dapat dipenuhi oleh PLTP, PLTG, dan PLTN. Dengan keterbatasan PLTP dan PLTG maka solusi penggunaan PLTN tidak dapat diabaikan.

g) Banyak Negara di dunia menyadari pentingnya penggunaan PLTN. Kebijakan energi di Jerman, Prancis, Italia dan Inggris, akan membangun PLTN lebih banyak lagi. Demikian juga di UEA, Kuwait dan Qatar yang notabene kaya akan minyak. Bahkan UEA sudah menyelesaikan proses tender dan menunjuk pemenang untuk membangun PLTN sebesar 4 x 1400 MWe. Perlu dicatat bahwa pada tanggal 13/10/2009 Greenpeace Inggris untuk pertama kalinya menyampaikan kebijakan baru, tidak menentang PLTN.

h) PLTN harus segera dibangun di pulau Jawa, UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) secara jelas menyatakan bahwa PLTN diharapkan sudah dapat dioperasikan pada tahapan pembangunan ke 3 (2015-2019). Jika persiapan dan pembangunan PLTN memerlukan waktu sekitar 8 tahun, maka Pemerintah sudah harus memutuskan rencana pembangunan PLTN paling lambat pada akhir tahun 2010.

i) Berdasarkan kajian Tim IAEA tahun 2009, infrastruktur di Indonesia sudah siap menyongsong pembangunan dan

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  55

pengoperasian PLTN, baik ditinjau dari manajemen organisasi, regulasi perizinan dan pengawasan, penyiapan SDM, penguasaan teknologi, dukungan industri nasional, penyiapan lokasi, pengolahan limbah nuklir, dan lain sebagainya. Yang diperlukan hanyalah keputusan pemerintah untuk memulai pembangunan PLTN, dengan membentuk Tim Nasional yang akan mempersiapkan rencana dan programnya.

j) Indonesia dari sisi regulasi ketenaganukliran internasional maupun nasional, boleh dikatakan sudah siap memasuki era pemanfaatan energi nuklir dalam bentuk pembangunan PLTN. Dan di mata dunia internasional Indonesia sudah diakui menjadi 3 negara pertama yang mengakui dan mengadopsi Integrated Safeguards System yaitu mencakup Comprehensive Safeguards Agreement and Additional Protocol. Kekhawatiran tentang tekanan dunia internasional dan ancaman embargo seperti yang dialami oleh Iran dan Korea Utara, jika Indonesia mengembangkan energi nuklir menjadi tidak relevan lagi. Dan isu kekhawatiran kecelakaan PLTN seperti di Chernobyl dijamin tidak akan terjadi di Indonesia.

k) Tidak dapat dipungkiri, transfer teknologi dan penggunaan komponen dalam negeri adalah salah satu keuntungan tidak langsung dari pengembangan industri nuklir di Indonesia. Selain itu ada peningkatan kemampuan iptek dan disiplin tenaga kerja Indonesia, sesuai dengan standard keselamatan industri nuklir yang sangat tinggi. Pengembangan industri nuklir di tanah air juga akan meningkatkan daya saing dan martabat bangsa di mata dunia internasional.

l) Saat ini sudah ada beberapa perusahaan swasta nasional (IPP) yang juga berminat untuk ikut dalam pembangunan dan pengoperasian PLTN di Indonesia. Kerja sama dengan perusahaan pengembang PLTN juga sudah dilakukan untuk

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  56

menjajagi kemungkinan kerja sama maupun pembentukan konsorsium. Karenanya perlu didorong kemungkinan terwujudnya kerja sama antara BUMN/swasta nasional/internasional agar biaya pembangunan PLTN tidak membebani APBN.

m) Sudah saatnya pemerintah Indonesia menyatakan kebijakan dan mengambil keputusan “Go Nuclear”, yang diyakini dapat menciptakan lapangan kerja dan mensejahterakan rakyat Indonesia di masa yang akan datang, dengan tersedianya lsitrik yang cukup, handal, kompetitif, dan ramah lingkungan.

7. PENUTUP Sebagai penutup ke-5 LSM, yaitu Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL), Himpunan Masyarakat Nuklir (HIMNI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Institut Energi Nuklir (IEN), dan Women In Nuclear (WIN) menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

a) Menggugah Pemerintah, DPR, Instansi terkait serta masyarakat luas untuk mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh “PERNYATAAN SIKAP” ini yang murni didasari oleh pertimbangan obyektif secara teknis, ilmiah, serta komprehensif dari semua unsur yang mempengaruhi pembangunan PLTN.

b) Ke-lima LSM bersedia diundang untuk melakukan diskusi ilmiah secara detail guna melengkapi pemahaman yang diperlukan, serta terbuka untuk bekerjasama melakukan kajian yang bersifat memperdalam maupun memperluas issue tertentu.

Naskah Pernyataan Sikap Feb.2010: MPEL, HIMNI, METI, IEN, WIN

  57

8. REFERENSI 1) Naskah “Transformasi Pengembangan Kelistrikan”, Ali

Herman Ibrahim, 2009.

2) Naskah “Keniscayaan Pembangunan PLTN di Indonesia: Perspektif Politik dan Keamanan Negara”, AS Hikam, 2009.

3) Naskah “PLTN dan Aspek Lingkungan”, Sofyan Yatim, 2009.

4) NPP Infrastructure Evaluation Report, BATAN 2009.

5) Ringkasan Eksekutif Re-Evaluasi CADES, BATAN 2009.

6) World Nuclear Power Reactors, WNA 2009.

7) The Economics of Nuclear Power, WNA 2009.

8) Advanced Nuclear Power Reactors, WNA 2008.

9) Naskah “Status Persiapan Pembangunan PLTN”, Arnold Soetrisnanto, 2007.

10) Laporan Eksekutif Diskusi Panel, MPEL 2007.