Plexus Brachialis Injury

24
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Plexus brachialis adalah anyaman serat saraf yang berjalan dari tulang belakang C5-T1, kmeudian melewati bagian leher dan ketiak, dan akhirnya ke seluruh lengan (atas dan bawah). Serabut saraf yang ada akan didistribusikan ke berberapa bagian lengan. Trauma pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang dipaksakan pada kepala dan leher, selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu. Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah, atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan terbatas, atau bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja, banyak cedera pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak selama proses persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek. Klasifikasi trauma fleksus brakialis dibedakan menjadi dua yaitu paralisis erb-duchene dan paralysis klumpke. 1

description

pbi

Transcript of Plexus Brachialis Injury

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Plexus brachialis adalah anyaman serat saraf yang berjalan dari tulang belakang C5-T1,

kmeudian melewati bagian leher dan ketiak, dan akhirnya ke seluruh lengan (atas dan

bawah). Serabut saraf yang ada akan didistribusikan ke berberapa bagian lengan. Trauma

pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang dipaksakan pada kepala dan leher,

selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan

diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu.

Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah, atas

dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan terbatas, atau

bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja, banyak cedera

pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak selama proses

persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek. Klasifikasi

trauma fleksus brakialis dibedakan menjadi dua yaitu paralisis erb-duchene dan paralysis

klumpke.

1

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Anatomi Plexus Brachialis

Ramus anterior saraf spinal C5 sampai T1 bergabung membentuk pleksus brakialis. C5 dan

C6 berbgabung membentuk trunk superior, C7 membentuk trunk medial, dan C8 dan T1

bergabung membentuk trunk inferior. Cord medial merupakan divisi anterior dari trunk

inferior. Divisi anterior yang berasal dari upper dan middle trunk membentuk cord

lateral.Divisi posterior berasal 3 trunk membentuk posterior cord. Dari ketiga cord tersebut

keluar cabang saraf yang menginervasi anggota gerak atas antara lain n muskulokutaneus

berasal dari cord lateral, n medianus berasal dari cord lateral dan medial, n radialis dari cord

posterior, n aksilaris dari cord posterior dan n ulnaris dari cord medial.

Long thorasic dan dorsal scapular berasal langsung dari root saraf spinal. Hanya n

suprascapular (C5 C6) yang berasal dari trunk.

Saraf spinal keluar dari foramina vertebralis dan melewati scalenus anterior dan medial,

kemudian antara klavikula dan rusuk pertama didekat coracoid dan caput humerus. Pleksus

pada bagian praosimal bergabung di prevertebral dan oleh axillary sheath di mid arm.

II.2 Definisi

Pengertian fleksus brachialis dan trauma fleksus brachialis

Fleksus brakialis adalah sebuah jaringan saraf tulang belakang yang berasal dari

belakang leher, meluas melalui aksila (ketiak), dan menimbulkan saraf untuk ekstremitas

atas. Pleksus brakialis dibentuk oleh penyatuan bagian dari kelima melalui saraf servikal

kedelapan dan saraf dada pertama, yang semuanya berasal dari sumsum tulang belakang.

2

Serabut saraf akan didistribusikan ke beberapa bagian lengan. Jaringan saraf

dibentuk oleh cervical yang bersambungan dengan dada dan tulang belakang urat dan

pengadaan di lengan dan bagian bahu.

Trauma lahir pada pleksus brakialis dapat dijumpai pada persalinan yang

mengalami kesukaran dalam melahirkan kepala atau bahu. Pada kelahiran presentasi verteks

yang mengalami kesukaran melahirkan bahu, dapat terjadi penarikan balik cukup keras ke

lateral yang berakibat terjadinya trauma di pleksus brakialis. Trauma lahir ini dapat pula

terjadi pada kelahiran letak sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.

Gejala klinis trauma lahir pleksus brakialis berupa gangguan fungsi dan posisi otot

ekstremitas atas. Gangguan otot tersebut tergantung dari tinggi rendahnya serabut syaraf

pleksus braklialis yang rusak dan tergantung pula dari berat ringannya kerusakan serabut

syaraf tersebut. Paresis atau paralisis akibat kerusakan syaraf perifer ini dapat bersifat

temporer atau permanen. Hal ini tergantung kerusakan yang terjadi pada serabut syaraf di

pangkal pleksus brakialis yang akut berupa edema biasa, perdarahan, perobekan atau

tercabutnya serabut saraf.

Sesuai dengan tinggi rendahnya pangkal serabut saraf pleksus brakialis, trauma

lahir pada saraf tersebut dapat dibagi menjadi paresis/paralisis (1) paresis/paralisis Duchene-

Erb (C.5-C.6) yang tersering ditemukan (2) paresis/paralisi Klumpke (C.7.8-Th.1) yang

jarang ditemukan, dan (3) kelumpuhan otot lengan bagian dalam yang lebih sering ditemukan

dibanding dengan trauma Klumpke.

Anatomi dari anyaman ini, dibagi menjadi :  Roots, Trunks, Divisions, Cords, dan

Branches maka cedera di masing-masing level ini akan memberikan cacat/trauma yang

berbeda-beda.

1.    Roots : berasal dari akar saraf di leher dan thorax pada level C5-C8, T1

2.    Trunks : dari Roots bergabung menjadi 3 thrunks

3.    Divisions : dari  3 thrunks masing-masing membagi 2 menjadi 6 division

4.    Cords :  6 division tersebut bergabung menjadi 3 cords

5.    Branches : cords tersebut bergabung menjadi 5 branches, yaitu : n.musculocutaneus,

n.axilaris,n.radialis,n. medianus, dan n.ulnaris

Trauma pada pleksus brakialis yang dapat menyebabkan paralisis lengan atas

dengan atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis dapat terjadi

pada seluruh lengan. Trauma pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang

dipaksakan pada kepala dan leher, selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila

3

lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan

berlebihan pada bahu.

Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan

bawah, atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan

terbatas, atau bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja,

banyak cedera pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi

dampak selama proses persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau

robek. Secara garis besar macam-macam plesksus brachialis yaitu :

a.    Paralisis Erb-Duchene

Kerusakan cabang-cabang C5 – C6 dari pleksus brakialis menyebabkan

kelemahan dan kelumpuhan lengan untuk fleksi, abduksi, dan memutar lengan keluar serta

hilangnya refleks biseps dan morro. Gejala pada kerusakan fleksus ini, antara lain hilangnya

reflek radial dan biseps, refleks pegang positif. Pada waktu dilakukan abduksi pasif, terlihat

lengan akan jatuh lemah di samping badan dengan posisi yang khas.

Pada trauma lahir Erb, perlu diperhatikan kemungkinan terbukannya pula serabut

saraf frenikus yang menginervasi otot diafragma. Secara klinis di samping gejala kelumpuhan

Erb akan terlihat pula adanya sindrom gangguan nafas. Terjadi waiters-tip position yaitu

rotasi medial pada sendi bahu menyebabkan telapak tangan mengarah ke posterior.

Lesi pada kelumpuhan Erb terjadi akibat regangan atau robekan pada radiks

superior pleksus brachialis yang mudah mengalami tegangan ekstrim akibat tarikan kepala ke

lateral, sehingga dengan tajam memfleksikan pleksus tersebut ke arah salah satu bahu.

Mengingat traksi dengan arah ini sering dilakukan untuk melahirkan bahu pada presentasi

verteks yang normal, paralisis Erb dapat tejadi pada persalinan yang terlihat mudah. Karena

itu, dalam melakukan ekstraksi kedua bahu bayi, harus berhati-hati agar tidak melakukan

flaksi lateral leher yang berlebihan. Yang paling sering terjadi, pada kasus dengan persentasi

kepala, janin yang menderita paralisis ini memiliki ukuran khas abnormal yang besar, yaitu

denga berat 4000 gram atau lebih.

Penanganan pada kerusakan fleksus ini, antara lain meletakkan lengan atas dalam

posisi abduksi 900 dalam putaran keluar, siku dalam fleksi 900 dengan supinasi lengan bawah

dan ekstensi pergelangan tangan, serta telapak tangan menghadap depan. Kerusakan ini akan

sembuh dalam waktu 3-6 bulan. Penanganan terhadap trauma pleksus brakialis ditujukan

untuk mempercepat penyembuhan serabut saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan

komplikasi lain seperti kontraksi otot. Upaya ini dilakukan antara lain dengan jalan

4

imobilisasi pada posisi tertentu selama 1 – 2 minggu yang kemudian diikuti program latihan.

Pada trauma ini imobilisasi dilakukan dengan cara fiksasi lengan yang sakit dalam posisi

yang berlawanan dengan posisi karakteristik kelumpuhan Erb.

b.    Paralisis Klumpke

Kerusakan cabang-cabang C7 – Th1 pleksus brakialis menyebabkan kelemahan

lengan otot-otot fleksus pergelangan, maka bayi tidak dapat mengepal. Secara klinis terlihat

refleks pegang menjadi negatif, telapak tangan terkulai lemah, sedangkan refleksi biseps dan

radialis tetap positif. Jika serabut simpatis ikut terkena, maka akan terlihat sindrom Horner

yang ditandai antara lain oleh adanya gejala prosis, miosis, enoftalmus, dan hilangnya

keringat di daerah kepala dan muka homolateral dari trauma lahir tersebut. Penanganan pada

kerusakan fleksus brachialis adalah melakukan fisioterapi. Kerusakan akan sembuh dalam

waktu 3-6 minggu. Ibu dari bayi harus diingatkan agar berhati-hati ketika mengangkat bayi

sehingga trauma tidak bertambah parah. Dalam minggu pertama, membalut lengan untuk

mengurangi rasa nyeri. Bila ibu dapat merawat bayinya dan tidak ada masalah lain, bayi bisa

dipulangkan dan menganjurkan ibu untuk kunjungan ulang 1minggu lagi untuk melihat

kondisi bayi dan latihan pasif. Melakukan tindak lanjut setiap bulan dan menjelaskan bahwa

sebagian besar kasus sembuh 6-9 bulan.

c.    Paralisis otot lengan bagian dalam

Kerusakan terjadi pada serabut pleksus brakialis lebih luas dan lebih dalam, yang

berakibat fungsi ekstremitas atas akan hilang sama sekali. Ekstremitas atas akan terkulai

lemah, sedangkan semua refleks otot menghilang. Pada keadaan ini sering dijumpai adanya

defisit sensoris pada lengan. Pada kasus trauma pleksus brakialis, pemeriksaan radiologik

dada dan lengan atas dapat dianjurkan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya fraktur

klavikula atau fraktur lengan atas, di samping untuk mencari komplikasi lain seperti

kelumpuhan otot diafragma.

Prognosis trauma pleksus brakialis tergantung pada berat ringannya trauma

tersebut. Pada trauma ringan berupa edema atau perdarahan kecil dan tidak terdapat

kerusakan serabut saraf, maka gangguan fungsi lengan hanya bersifat sementara. Fungsi otot

akan kembali normal dalam beberapa hari setelah edema atau perdarahan lokal hilang. Pada

trauma lahir yang lebih berat, yang menyebabkan rusaknya atau tercabutnya serabut saraf dan

rusaknya selaput saraf, secara klinis akan dapat menimbulkan paralisis yang menetap. Pada

kasus demikian perlu dilakukan pemeriksaan neurologik. Usaha pengobatan fisioterapi atau

tindakan operatif terhadap kerusakan berat serabut saraf ini, agaknya belum menunjukkan

5

hasil yang memuaskan. Paralisis ini bersifat sementara. Ada empat jenis cedera pleksus

brakialis:

a.      Avulsion, jenis yang paling parah, di mana saraf rusak di tulang belakang;

b.      Pecah, di mana saraf robek tetapi tidak pada lampiran spinal;

c.      Neuroma, di mana saraf telah berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri, tetapi

jaringan parut telah berkembang di sekitar cedera, memberi tekanan pada saraf dan

mencegah cedera saraf dari melakukan sinyal ke otot-otot.

d.      Neurapraxia atau peregangan, di mana saraf telah rusak tetapi tidak robek. Neurapraxia

adalah jenis yang paling umum dari cedera pleksus brakialis.

II.3 Etiologi

Ada banyak kemungkinan penyebab lesi pleksus brakialis. Trauma adalah penyebab yang

paling sering, selain itu juga kompresi lokal seperti pada tumor, idiopatik, radiasi, post

operasi dan cedera saat lahir.

Etiologi trauma fleksus brakhialis pada bayi baru lahir. Trauma fleksus brakhialis pada

bayi dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain:

1) Faktor bayi sendiri : makrosomia, presentasi ganda, letak sunsang, distosia bahu,

malpresentasi, bayi kurang bulan

2) Faktor ibu : ibu sefalo pelvic disease (panggul ibu yang sempit), umur ibu yang sudah tua,

adanya penyulit saat persalinan

3) faktor penolong persalinan : tarikan yang berlebihan pada kepala dan leher saat menolong

kelahiran bahu pada presentasi kepala, tarikan yang berlebihan pada bahu pada presentasi

bokong.

II.4 Patofisiologi

Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau kompresi.

Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada prevertebral fascia

dan mid fore arm akan melukai pleksus.

6

Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah.

Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan menjepit

jaringan saraf sekitarnya.

Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau

kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada

prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus. 

Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh

darah. Cedera pleksus brakialis dianggap disebabkan oleh traksi yang berlebihan diterapkan

pada saraf. Cedera ini bisa disebabkan karena distosia bahu, penggunaan traksi yang

berlebihan atau salah arah, atau hiperekstensi dari alat ekstraksi sungsang. Mekanisme ukuran

panggul ibu dan ukuran bahu dan posisi janin selama proses persalinan untuk menentukan

cedera pada pleksus brakialis. Secara umum, bahu anterior terlibat ketika distosia bahu,

namun lengan posterior biasanya terpengaruh tanpa adanya distosia bahu. Karena traksi yang

kuat diterapkan selama distosia bahu adalah mekanisme yang tidak bisa dipungkuri dapat

menyebabkan cedera, cedera pleksus brakialis

Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan

menjepit jaringan saraf sekitarnya. 

II.5 Klasifikasi Lesi

1. Lesi Upper Plexus

Erb-Duchenne Paralysis (C5 C6)

Kelemahan atau paralisis pada bahu dan bicep, kadang disertai trauma pada root C7 yang

menyebabkan

paralisa lengan bawah.

2. Lesi Lower Plexus

Dejerine-Klumpke’s Paralysis (C8 T1)

7

Kadang disertai kerusakan root C7, paralisis pada otot intrisik tangan dan fleksor jari yang

menyebabkan kehilangan fungsi tangan dan lengan bawah. Sering terjadi sympathetic palsy –

Horner’s syndrome

3. Lesi Total Brachial

Erb-Klumpke Paralysis (C5 – T1)

Komplet paralisis dan anestesi dari lengan

4. Lesi Posterior Cord

Mengenai root C5 C6 C7 C8, paralisis pada deltoid, ekstensor elbow, ekstensor wrist,

extensor fingers.

II.6 Gambaran Klinis

Terdapat riwayat trauma yang melibatkan ekstensi servikal, rotasi, lateral bending, dan

depresi atau hiperabduksi dari bahu. Pasien juga mengeluhkan kelemahan, kehilangan

sensori, parasetesia pada lengan.

Mekanisme trauma dapat berupa tarikan, luka tembus, hantaman atau kompresi

Pemeriksaan dilakukan pada tulang leher, bahu, kalvikula, skapula serta sendi untuk luas

gerak sendi, alignment, dan tender point.

Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan motorik, pemeriksaan sensorik dan reflek

tendon dalam

Pemeriksaan sensorik dapat berupa light touch sensation, pinprick sensation, 2-point

discrimination, vibrasi dan proprioseptif

Evaluasi juga dilakukan untuk memeriksa joint instability, dan winging skapula, pola atrofi

otot dibandingkan dengan sisi yang sehat, tanda-tanda sindrom Horner, serta pemeriksaan

untuk spinal cord dan brain injury.

8

II.7 Diagnosa Banding

Guilain-Barre Syndrome

Multiple Sclerosis

Spinal Cord Injury

Traumatic Brain Injury

II.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Radiografi

1. Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada vertebra servikal

2. Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau humerus.

3. Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma pada kasus

paralisa saraf phrenicus.

EMG – NVC

1. Pemeriksaan NCV untuk mengetahui system motorik dan sensorik, kecepatan hantar saraf

serta latensi distal.

SNAPs (sensory nerve action potentials) berguna untuk membedakan lesi preganglionic atau

lesi postganglionic. Pada lesi postganglionic, SNAPs tidak didapatkan tetapi positif pada lesi

preganglionic.

2. Pemeriksaan EMG dengan jarum pada otot dapat tampak fibrilasi, positive sharp wave

(pada lesi axonal), amplitudo dan durasi.

SSEP (Somatosensory evoked potensials)

Berguna untuk membedakan lesi proksimal misalnya pada root avulsion

MRI dan CT SCAN

Untuk melihat detail struktur anatomi dan jaringan lunak saraf perifer.

9

II.9 Penatalaksanaan

BEDAH

Regangan dan memar pada pleksus brakialis diamati selama 4 bulan, bila tidak ada

perbaikan, pleksus harus dieksplor. Nerve transfer (neurotization) atau tendon transfer

diperlukan bila perbaikan saraf gagal.

1. Pembedahan Primer

Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury pada plexus

serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat ringan lesi.

1. Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf.

2. Neuroma excision : Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali

dengan teknik end-to-end atau nerve grafts

3. Nerve grafting: Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan

tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan medial antebrachial

cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n interosseus posterior

4. Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada kasus avulsi

pada akar saraf spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan : hypoglossal nerve, spinal

accessorynerve,phrenic nerve, intercostal nerve, long thoracic nerve dan ipsilateral C7 nerve.

Intraplexual neurotization menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal

cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi.

2. Pembedahan Sekunder

Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini tergantung saraf yang

terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled muscle transfers, free muscle transfers,

joint fusions and rotational, wedge or sliding osteotomies.

10

REHABILITASI PASKA TRAUMA PLEKSUS BRAKIALIS

Paska operasi Nerve repair dan graft.

Setelah pembedahan immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu. Terapi rehabilitasi

dilakukan setelah 4 minggu paska operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota

gerak atas untuk mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik diberikan pada minggu

ketiga sampai ada perbaikan motorik. Pasien secara terus menerus diobservasi dan apabila

terdapat tanda-tanda perbaikan motorik, latihan aktif bisa segera dimulai. Latihan

biofeedback bermanfaat bagi pasien agar otot-otot yang mengalami reinnervasi bisa

mempunyai kontrol yang lebih baik.

Paska operasi free muscle transfer

Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dengan bahu abduksi 30, fleksi 60 dan

rotasi internal, siku fleksi 100. Pergelangan tangan posisi neutral, jari-jari dalam posisi fleksi

atau ekstensi tergantung jenis rekonstruksinya.

Ekstremitas dibantu dengan arm brace dan cast selama 8 minggu, selanjutnya dengan sling

untuk mencegah subluksasi sendi glenohumeral sampai pulihnya otot gelang bahu.

Statik splint pada pergelangan tangan dengan posisi netral dan ketiga sendi-sendi dalam

posisi intrinsik plus untuk mencegah deformitas intrinsik minus selama rehabilitasi.

Dilakukan juga latihan gerak sendi gentle pasif pada sendi bahu, siku dan semua jari-jari,

kecuali pada pergelangan tangan.

Pemberian elektro stimulasi pada transfer otot dan saraf yang di repair dilakukan pada target

otot yg paralisa seperti pada otot gracilis, tricep brachii, supraspinatus dan infraspinatus.

Elektro stimulasi intensitas rendah diberikan mulai pada minggu ketiga paska operasi dan

tetap dilanjutkan sampai EMG menunjukkan adanya reinervasi.

Enam minggu paska operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot dan

tendon, dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Sendi

metacarpal juga digerakkan pasif untuk mencegah deformitas claw hand.

Ortesa fungsional digunakan untuk mengimobilisasi ekstremitas atas. Dapat digunakan tipe

airbag (nakamura brace) untuk imobilisasi sendi bahu dan siku.

11

Sembilan minggu paska operasi, ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling dipakai untuk

mencegah subluksasi bahu.

Setelah Reinervasi

Setelah EMG menunjukkan reinervasi pada transfer otot, biasanya 3 - 8 bulan paska operasi,

EMG biofeedback dimulai untuk melatih transfer otot menggerakkan siku dan jari.

Teknik elektromiografi feedback di mulai untuk melatih otot yang ditransfer untuk

menggerakkan siku dan jari dimana pasien biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya

secara efektif.

Pada alat biofeedback terdapat level nilai ambang yang dapat diatur oleh terapis atau pasien

sendiri. Saat otot berkontraksi pada level ini, suatu nada berbunyi, layar osciloskop akan

merekam respons ini. Level ini dapat diatur sesuai tujuan yang akan dicapai.

Lempeng elektroda ditempelkan pada otot, kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan

ototnya. Pada saat permulaan biasanya EMG discharge sulit didapatkan, tetapi dengan latihan

yang kontinu, EMG discharge otot akan mulai tampak.

Latihan EMG biofeedback dilakukan 4 kali seminggu dan tiap sesi selama 10 - 70 menit, dan

latihan segera dihentikan bila ada tanda-tanda kelelahan..

Efektivitas latihan biofeedback tidak dapat dicapai bila pasien tidak mempunyai motivasi dan

konsentrasi yang cukup.

Reedukasi otot diindikasikan saat pasien menunjukkan kontraksi aktif minimal yang tampak

pada otot dan group otot. Tujuan reedukasi otot untuk pasien adalah mengaktifkan kembali

kontrol volunter otot. Ketika pasien bekerja dengan otot yang lemah, intensitas aktivitas

motor unit dan frekuensi kontraksi otot akan meningkat. Waktu sesi terapi seharusnya pendek

dan dihentikan saat terjadi kelelahan dengan ditandai penurunan kemampuan pasien

mencapai tingkat yang diinginkan.

Pemanasan, ultrasound diatermi, TENS, interferensial stimulasi, elektro stimulasi dapat

dipergunakan sesuai indikasi. Dilakukan juga penguatan otot-otot leher dan koreksi imbalans

otot-otot ekstremitas atas.

12

Terapi Okupasi

Terapi okupasi terutama diperlukan untuk :

Memelihara luas gerak sendi bahu, membuat ortesa yg tepat untuk membantu fungsi tangan,

siku dan lengan, mengontrol edema defisit sensoris.

Melatih kemampuan untuk menulis, mengetik, komunikasi.

Menggunakan teknik-teknik untuk aktivitas sehari-hari, termasuk teknik menggunakan satu

lengan, menggunakan peralatan bantu serta latihan penguatan dengan mandiri.

Terapi Rekreasi

Terapi ini sebagai strategi dan aktivitas kompensasi sehingga dapat menggantikan berkurang

dan hilangnya fungsi ekstremitas.

Ortesa pada paska Trauma Pleksus Brakialis

Pada umumnya penderita dengan injury pleksus brakialis akan menggunakan lengan disisi

kontralateral untuk beraktivitas. Pada beberapa kasus, penderita memerlukan kedua tangan

untuk melakukan aktivitas yang lebih kompleks. Untuk itu orthosis didesain sesuai kebutuhan

penderita

Orthosis untuk penderita injury pleksus brakialis dibuat terutama untuk mensuport bagian

bahu dan siku

13

Sedangkan untuk prehension tangan, umumnya terbatas pada metode kontrolnya sehingga

tidak banyak didesain. Beberapa orthosis digerakkan menggunakan sistem myoelektrik,

sehingga penderita mampu melakukan gerakan pada pergelangan tangan dan pinch pada jari-

jarinya

Orthosis ini dapat membantu penderita paska trauma untuk melakukan aktivitas sehari-hari

seperti makan dan minum dari gelas atau botol, menyisir rambut, menggosok gigi, menulis

menggambar, membuka dan menutup pintu, membawa barang-barang.

14

II.10 Komplikasi

a.    Kontraksi otot yang abnormal (kontraktur)atau pengencangan otot-otot, yang mungkin

menjadi permanen pada bahu, siku atau pergelangan tangan

b.    Permanen, parsial, atau total hilangnya fungsi saraf yang terkena, menyebabkan

kelumpuhan lengan atau kelemahan lengan

15

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Plexus brachialis adalah anyaman serat saraf yang berjalan dari tulang belakang C5-T1,

kmeudian melewati bagian leher dan ketiak, dan akhirnya ke seluruh lengan (atas dan

bawah). Serabut saraf yang ada akan didistribusikan ke berberapa bagian lengan. Trauma

pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang dipaksakan pada kepala dan leher,

selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan

diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu.

Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah,

atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan terbatas, atau

bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja, banyak cedera

pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak selama proses

persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek. Klasifikasi

trauma fleksus brakialis dibedakan menjadi dua yaitu paralisis erb-duchene dan paralysis

klumpke.

16

DAFTAR PUSTAKA

Chusid J.G., Neuroanatomi korelatif dan Neurologi fungsional, Bagian satu, Gadjah

mada University Press, 1990, p. 208 – 26.

Churchill Livingstone, NewYork, 1986, p. 430 – 7.

deGroot J., ed : Sandy Qlintang, dr., Neuroanatomi korelatif, edisi 21, Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, 1997, p. 300 – 5.

Hein, H.A., Brachial Plexus Palsy : A Perspective on C urrent Management, available

from: www.virtualhospital.com , last updated : September 2003.

http://id.wikipedia.org/wiki/Plexus_brachialis.

Knecht C.D., Raffe M.R., Disease of the Brachial Plexus in : Textbook of Small

Animal Orthophaedics, available from: www.inviso.com , taken on January 29, 2005.

Lindsay, K.W., The Brachial Plexus Sindrome in : Neurology and Neurosurgery

illustrated.

Mardjono, M. Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Netter, F.H; Interactive Atlas of Clinical Anatomy, DxR Development Group Inc.

1997-1998.

Shenaq S.M., Hand, Brachial Plexus Surgery, available from : www.emedicine.com ,

last updated : October 7, 2002, taken on January 29, 2005

17