Plasenta Dan Membran Janin

70
PLASENTA DAN MEMBRAN JANIN Perkembangan plasenta manusia sama menariknya dengan embriologi janin. Plasenta adalah suatu organ yang luar biasa, terutama apabila kita melihat fungsinya. Selama keberadaannya yang singkat di dalam uterus, janin bergantung pada plasenta sebagai paru, hati, dan ginjalnya. Organ ini melaksanakan fungsi-fungsi tersebut sampai janin cukup matang sehingga dapat bertahan hidup di luar rahim sebagai organisme yang bernapas melalui udara. Walaupun peran plasenta dalam perkembangan manusia tidak tergantikan, namun studi tentang plasenta jauh tertinggal dibandingkan dengan studi tentang janin. Sejumlah ahli anatomi dan embriologi melakukan penelitian sepanjang tahun 1980-an untuk menyajikan beberapa pengetahuan dasar. Baru-baru ini para peneliti memahami bahwa pemeriksaan mikroskopik terhadap plasenta dapat memberikan banyak pengetahuan. Pemahaman baru ini timbul berkat upaya-upaya para ahli patologi plasenta seperti Benirschke, Driscoll, Fox, dan Naeye. Upaya mereka beserta banyak koleganya membuktikan bahwa pengamatan yang cermat terhadap plasenta terkadang dapat memberi petunjuk tentang etiopatogenesis sejumlah kelainan feto-maternal (Benirschke, 2000; Benirschke

Transcript of Plasenta Dan Membran Janin

PLASENTA DAN MEMBRAN JANIN

Perkembangan plasenta manusia sama menariknya dengan embriologi

janin. Plasenta adalah suatu organ yang luar biasa, terutama apabila kita

melihat fungsinya. Selama keberadaannya yang singkat di dalam uterus,

janin bergantung pada plasenta sebagai paru, hati, dan ginjalnya. Organ

ini melaksanakan fungsi-fungsi tersebut sampai janin cukup matang

sehingga dapat bertahan hidup di luar rahim sebagai organisme yang

bernapas melalui udara.

Walaupun peran plasenta dalam perkembangan manusia tidak

tergantikan, namun studi tentang plasenta jauh tertinggal dibandingkan

dengan studi tentang janin. Sejumlah ahli anatomi dan embriologi

melakukan penelitian sepanjang tahun 1980-an untuk menyajikan

beberapa pengetahuan dasar. Baru-baru ini para peneliti memahami

bahwa pemeriksaan mikroskopik terhadap plasenta dapat memberikan

banyak pengetahuan. Pemahaman baru ini timbul berkat upaya-upaya

para ahli patologi plasenta seperti Benirschke, Driscoll, Fox, dan Naeye.

Upaya mereka beserta banyak koleganya membuktikan bahwa

pengamatan yang cermat terhadap plasenta terkadang dapat memberi

petunjuk tentang etiopatogenesis sejumlah kelainan feto-maternal

(Benirschke, 2000; Benirschke dan Kauffman, 2000). Kelainan plasentasi,

patologi plasenta, dan efeknya pada kehamilan, serta efek penyakit ibu

pada plasenta, dibahas pada Bab 31 dan 32.

Boyd dan Hamilton (1970) menyajikan tulisan yang menarik tentang

sejarah riset plasenta. Ringkasan dari sejarah ini disajikan pada Bab 5

Williams Obstetrics edisi ke-20. Pembaca yang tertarik dapat melihat

ringkasan ini atau karya Boyd dan Hamilton (1970).

JARINGAN FETAL PADA SISTEM KOMUNIKASI FETO-MATERNAL

Dua sisi dari sistem komunikasi feto-maternal pada kehamilan manusia

dijelaskan pada Bab 2 dan 4 (lihat Gambar 2-2). Trofoblas vilus dan

ekstravilus adalah jaringan penghubung anatomis mudigah janin pada sisi

plasenta; sedangkan membran janin avaskular-amnion dan korion laeve

adalah jaringan penghubung anatomis janin pada sisi parakrin.

Sisi plasenta dari sistem ini menghubungkan ibu dengan janin sebagai

berikut: darah ibu (yang berasal dari pembuluh-pembuluh uteroplasenta)

langsung membasahi sinsitiotrofoblas, permukaan luar vilus trofoblastik;

darah janin terdapat di dalam kapiler janin, yang berjalan di dalam ruang

antarvilus pada vili. Plasenta jenis ini disebut tipe hemokorioeficlotdt; Sisi

parakrin pada sistem ini menghubungkan ibu dan janin melalui pertemuan

anatomis dan biokimiawi antara korion laeve (ekstraembrionik) dan

desidua parietalis (uterus ibu).

Dengan demikian, pada semua tempat terjadinya kontak langsung se-ke-

sel, jaringan maternal (desidua dan darah) berhadapan dengan sel

ekstraembrionik (trofoblas) dan bukan dengan sel mudigah atau darah

janin. Susunan ini sangat penting untuk komunikasi antara janin dan ibu

dan agar ibu dapat menerima konseptus (secara imunologis).

Peran plasenta dalam nidasi dan transfer nutrien dari ibu ke mudigah-janin

telah lama menarik perhatian. Sebagai hasilnya, keanekaragaman bentuk

dan fungsi plasenta berhasil dikenali seiring dengan ditemukannya sifat

metabolik, endokrin, dan imunologis trofoblas.

AWAL PERKEMBANGAN MANUSIA

Definisi berikut diambil dari Moore (1973, 1988).

1. Zigot: Sel yang terbentuk sebagai hasil fertilisasi ovum oleh

spermatozoa.

2. Blastomer: Pembelahan mitotik (cleavage) zigot menghasilkan sel

anak yang disebut blastomer.

3. Morula: Sel berbentuk bola padat yang terbentuk dari 16 atau lebih

blastomer.

4. Blastokista: Setelah morula mencapai uterus, terbentuk suatu rongga

berisi cairan yang mengubah morula menjadi blastokista.

5. Mudigah (embrio): Sel-sel pembentuk mudigah, yang berkelompok

sebagai suatu massa sel dalam (inner cell mass), menghasilkan

mudigah, yang biasanya disebut demikian apabila sudah terbentuk

lempeng embrionik bilaminar. Periode mudigah memanjang sampai

akhir minggu ke-7, saat struktur-struktur utama mulai ditemukan.

6. Janin (fetus): Setelah periode mudigah, konseptus yang tumbuh

disebut janin.

7. Konseptus: Kata ini digunakan untuk menyebut semua produk jaringan

hasil konsepsi—mudigah, janin, membran Janin, dan plasenta.

Konseptus mencakup semua jaringan, baik-embrionik maupun

ekstraembrionik, yang berkembang dari zigot.

FERTILISASI OVUM DAN PEMBELAHAN ZIGOT.

Bagi umat manusia, hanya sedikit (kalaupun ada), fenomena alami yang

lebih penting daripada penyatuan telur dan sperma. Fertilisasi terjadi di

tuba, fallopii; dan secara umum disepakati bahwa fertilisasi ovum harus

terjadi dalam beberapa menit atau tidak lebih dari beberapa jam setelah

ovulasi.

GAMBAR 5-1. Tahap praimplantasi manusia. A. Tahap duasel. Ovum yang sudah dibuahi dikelilingi oleh zona pelusida, yang difoto setelah difiksasi. Diambil dari tuba fallopii sekitar 1,5 hari setelah konsepsi. Nu-kleus yang berkilau terlihat melalui sitoplasma granular dan badan polar tampak di ruang perivitelinus (Carnegie Collection no. 8698; X 500). B. Blastula 58 sel dengan zona pelusida utuh ditemukan di rongga uterus 3 sampai 4 hari setelah konsepsi. Potongan tipis yang memperlihatkan massa sel luar (mungkin trofoblastik) dan massa, sel dalam (pembentuk mudigah) dan permulaan rongga segmentasi (Carnegie Collection no. 8794; X 600). C. Blastokista 107 sel yang ditemukan bebas di rongga uterus sekitar 5 hari setelah konsepsi. Terdapat selubung sel-sel trofoblastik yang membungkus blastokel yang berisi cairan dan massa sel dalam yang terdiri dari sel-sel pembentuk mudigah (Carnegie Collection no. 8663; X 600). (Dari Hertig dkk., 1954).

Karena itu, spermatozoa sudah harus ada di tuba fallopii pada saat

ovulasi. Sebagian besar kehamilan terjadi saat hubungan kelamin

berlangsung selama 2 hari sebelum atau pada hari ovulasi. Apabila hu-

bungan kelamin berlangsung pada hari sesudah ovulasi, kemungkinan

terjadi kehamilan kecil.

Setelah fertilisasi di tuba fallopii, ovum yang matang menjadi zigot—

sebuah sel diploid dengan 46 kromosom yang kemudian mengalami

segmentasi atau pembelahan (cleavage) menjadi blastomer. Pembelahan

mitotik pertama yang khas pada nukleus dari zigot yang mengalami

segmentasi menghasilkan pembentukan dua blastomer (Gambar 5-1).

Zigot Menalami pembelahan secara lambat selama 3 hari saat masih di

tuba fallopi, ovum manusia yang sudah dibuahi yang diambil dari rongga

uterus mungkin masih terdiri dari 12 sampai 16 blastomer. Seiring dengan

berlanjutnya pembelahan blastomer, terbentuk suatu bola sel padat

berbentuk seperti buah murbei yang disebut sebagai morula. Akumulasi

cairan bertahap di antara blastomer dalam morula menyebabkan

terbentuknya blastokista (Gambar 5-2). Massa padat sel-sel di salah satu

kutub blastokista, yang disebut massa sel dalam (inner cell mass), adalah

cikal bakal mudigah sedangkan massa sel luar akan menjadi trofoblas.

ZIGOT MANUSIA PADA TAHAP AWAL. Hertig dan rekan (1954)

mendapatkan bahwa pada zigot dua-sel, blastomer dan badan polar

berada bebas dalam cairan perivitelinus dan dikelilingi oleh suatu zone

pelusida yang tebal (Gambar 5-1A). Pada blastokista 58 sel, massa sel

luar yang merupakan progenitor trofoblas sudah dapat dibedakan dari

massa sel dalam yang membentuk mudigah (Gambar 5-2B). Blastokista

107 sel ternyata tidak lebih besar daripada sel pada tahap-tahap

pembelahan sebelumnya, walaupun terjadi penimbunan cairan (Gambar

5-1C). Blastokista ini berukuran garis tengah 0,153 x 0,155 mm sebelum

difiksasi dan setelah hilangnya

GAMBAR 5-2. Pembelahan zigot dan pembentukan blastokista. A sampai D memperlihatkan berbagai tahap pembelahan. Periode morula -dimulai pada tahap 12 sampai 16 sel dan berakhir setelah terbentuknya blastokista, yang terjadi apabila sudah terdapat 50 sampai 60 blastomer. E dan F adalah potongan blastokista. Zona pelusida telah menghilang pada tahap blastokista lanjut (5 hari). Badan polar yang diperlihatkan pada gambar A adalah sel-sel kecil nonfungsional yang akan mengalami de-generasi (Dari Moore, 1988).

zona pelusida. Delapan sel formatif atau pembentuk mudigah dikelilingi

oleh 99 sel trofoblastik.

IMPLANTASI. Tepat sebelum implantasi, zona pelusida menghilang dan

blastokista menyentuh permukaan endometrium; pada saat aposisi ini,

blastokista terdiri dari 107 sampai 256 sel. Blastokista melekat ke epitel

endometrium, dan implantasi paling sering terjadi di endometrium bagian

atas dan di dinding posterior uterus. Setelah terjadi erosi ringan pada sel-

sel epitel permukaan endometrium, trofoblas terbenam di dalam

endometrium, dan blastokista seluruhnya berada di dalam endometrium

serta terlindungi olehnya.

BIOLOGI TROFOBLAS. Dari semua komponen plasenta, trofoblas adalah

komponen yang struktur, fungsi, dan perkembangannya paling bervariasi.

Daya invasinya penting agar blastokista dapat melekat ke desidua rongga

uterus; perannya dalam pemberian nutrisi konseptus tercermin dari nama-

nya; dan fungsinya sebagai organ endokrin pada kehamilan manusia

penting bagi adaptasi fisiologis ibu dan pemeliharaan kehamilan.

DIFERENSIASI. secara morfologis, trofoblas bersifat selular atau sinsitial,

dan mungkin tampak sebagai sel-sel uninuklear atau sel raksasa

multinuklear. Saat implantasi, sebagiari dari sitotrofoblas yang paling

dalam atau sel Langhans yang bersambungan dengan endometrium dan

menginvasinya, menyatu untuk menjadi suatu membran multinuklear

amorf yang kontinu dan tidak terputus oleh ruang antarsel (sinsitium).

Tidak terdapat sel individual, yang ada hanya suatu lapisan kontinu;

sehingga disebut sebagai “sinsitiotrofoblas” atau sinsitium tunggal. Sifat

sinsitial sinsitiotrofoblas manusia yang sejati sudah dipastikan dengan

pemeriksaan mikroskop elektron. Namun, mekanism'e pertumbuhan sinsi-

tium ini masih belum jelas karena adanya kesenjangan antara

meningkatnya jumlah nukleus di sinsitiotrofoblas dan belum adanya bukti

(terbaik) mengenai replikasi inti sel intrinsik. Gambaran mitotik sama

sekali tidak dijumpai di sinsitium; dan hanya terbatas di sitotrofoblas.

PEMBENTUKAN SINSMUM. Ulloa-Aguirre dan rekan (1987). dengan

bangga membuktikan secara in vitro perubahan sitotrofoblas menjadi

sinsitium yang secara morfologis dan fungsional khas. Mereka me-

mastikan bahwa paling tidak sebagian dari proses ini melibatkan kerja

adenosin monofosfat siklik (cAMP). Berdasarkan metode isolasi dan

karakterisasi trofoblas manusia yang mereka ciptakan. Para peneliti lain

mengembangkan sistem untuk mengevaluasi implantasi blastokista in

vitro (Kliman dkk., 1986; Ringler dan. Strauss, 1990). Ekstrak sito-

trofoblas yang diletakkan di medium yang mengandung serum akan

bermigrasi menuju satu sama lain dan membentuk agregat. Akhirnya,

agregat menyatu dan terbentuk sinsitium dalam 3 sampai 4 hari. Sinsitium

juga akan terbentuk walaupun tidak terdapat serum, asalkan terdapat

komponen matriks ekstrasel yang berfungsi sebagai kisi-kisi untuk migrasi

sitotrofoblas. Sinsitium yang terbentuk invitro dilapisi oleh mikrovilus,

seperti yang terdapat in vivo. Agregasi sitrotofoblas bergantung pada

sintesis protein, dan melibatkan suatu molekul perekat sel. (cell adhesion

molecule) yang dependen kalsium, E-cadherin, untuk agregasinya.

Desmosom terbentuk di antara sel-sel; dan seiring dengan penyatuan

sitotrofoblas, ekspresi E-cadherin juga berkurang.

Sitotrofoblas adalah sel germinativum; sedangkan sinsitium, atau

komponen sekretorik, berasal dari sitotrofoblas. Dengan demikian,

sitotrofoblas adalah progenitor selular sinsitiotrofoblas. Setup sitotrofoblas

memiliki karakteristik berbatas tegas dan berinti tunggal; dan sering

dijumpai mitosis di antara sitotrofoblas. Namun, karakteristik ini tidak

dijumpai di sinsitium, tempat sitoplasma menjadi amorf tanpa batas sel

dan nukleus menjadi multipel dengan ukuran clan bentuk beragam. Tidak

adanya batas sel di sinsitium menyebabkan transpor harus melintasi

struktur ini. Dengan demikian, pengendalian transpor tidak bergantung

pada partisipasi masing-masing sel.

Coutifaris dan Coukos (1994) menyajikan ulasan singkat dan informatif

tentang proses implantasi pada manusia. Mereka menunjukkan bahwa

setelah aposisi dan melekatnya trofektoderm blastokista ke sel epitel

endometrium, implantasi dimulai dengan intrusi sitotrofoblas ke sel-sel

epitel endometrium. Proses invasi trofoblas ini difasilitasi oleh degradasi

matriks ekstrasel endometrium/desidua dan dikatalisis oleh aktivator

plasminogen tipe-urokinase, reseptor aktivator plasminogen urokinase,

dan metaloproteinase yang dihasilkan oleh sitotrofoblas tertentu pada

berbagai tahap implantasi/plasentasi. Fungsi sitotrofoblas menginvasi

endometrium ini amat mirip dengan apa yang terjadi pada metastasis sel-

sel ganas. Sewaktu sitotrofoblas bergerak menembus desidua, sejumlah

sel akan berikatan dengan berbagai komponen matriks ekstrasel sel-sel

stroma desidua. Hal ini mempermudah migrasi serta pembentukan

tambatan plasenta di desidua.

PENERIMAAN KONSEPTUS SECARA IMUNOLOGIS

Selama separuh abad terakhir, telah banyak dilakukan usaha untuk

menjelaskan mengapa tandur janin semialogenik dapat bertahan hidup.

Salah satu penjelasan paling awal didasarkan pada teori imaturitas

antigenik mudigah-janin. Hal ini ditolak oleh Billingham (1964) yang

memperlihatkan bahwa antigen-antigen transplantasi (HLA) sudah

ditemukan pada masa mudigah paling dini. Trofoblas adalah satu-satunya

sel konseptus yang berkontak langsung dengan jaringan atau darah ibu

dan jaringan ini secara genetic identik dengan jaringan janin. Penjelasan

lain didasarkan pada berkurangnya responsivitas imunologis wanita hamil.

Namun, tidak terdapat bukti untuk hal ini selain hanya sebagai suatu faktor

pendukung. Pada penjelasan ketiga, uterus (desidua) diperkirakan

sebagai suatu jaringan yang memiliki keistimewaan imunologis. Hal ini

jelas akan menyingkirkan adanya catatan-catatan kasus kehamilan

ektopik lanjut seperti dibahas pada Bab 34. Jelaslah, imunitas

transplantasi dapat terpicu dan diekspresikan di uterus seperti halnya di

jaringan lain. Dengan demikian, penerimaan dan kelangsungan hidup

konseptus haruslah dikaitkan dengan sifat imunologis trofoblas yang unik,

dan bukan desidua.

HASIL-HASIL PENELITIAN TERKINI. Bahwa jaringan ibu dapat menerima

dan mentoleransi “tandur” konseptus adalah suatu hal yang masih

menimbulkan teka-teki. Selain itu, plasenta kemungkinan besar

mengekspresikan gen-gen “baru” (Dizon-Townson dkk., 2000). Beberapa

aspek baru dalam ekspresi sistem HL di trofoblas, bersama dengan

kumpulan limfosit yang khas, mungkin dapat memberi penjelasan

mengenai hal ini.

IMUNOKOMPETENSI TROFOBLAS. Hampir 50 tahun yang lalu, Sir Peter

Medawar (1953) menyatakan bahwa solusi terhadap teka-teki alograf

janin mungkin dapat dijelaskan oleh adanya suatu netralitas imunologis.

Bahkan pada tahun 1932, Witebsky dan Reich telah menemukan bahwa

trofoblas manusia tidak memiliki antigen golongan darah. Kemudian,

banyak periset memfokuskan diri pada penentuan ekspresi antigen-

antigen kompleks histokompatibilitas mayor (major histocompatibility

complex, MHC) di trofoblas. Antigen leukosit manusia (human leukocyte

antigen, HLA), berdasarkan kesepakatan internasional, adalah analog

kompleks histokompatibilitas mayor pada manusia (lihat juga Bab 52, hal.

1551).

Antigen MHC kelas II tidak ditemukan di trofoblas pada semua tahap

gestasi (Weetman, 1999). Pada mencit, sebelum implantasi blastokista,

antigen MHC kelas I di trofektoderm diekspresikan dengan kadar rendah,

tetapi antigen-antigen ini lenyap pada saat implantasi, dan tidak akan

muncul kembali hingga kemudian di plasenta matang pada subpopulasi

trofoblas tertentu.

EKSPRESI HLA KELAS I TROFOBLAS. King dan Loke (1991)

mengemukakan dalil bahwa implantasi normal bergantung pada invasi

terkontrol trofoblas terhadap endometrium/desidua dan arteri spiralis ibu—

suatu mekanisme yang memungkinkan namun kemudian membatasi

invasi trofoblas. Mereka menyarankan bahwa sistem semacam itu

melibatkan limfosit granular besar (large granular lymphocyte, LGL) uterus

dan ekspresi unik gen HLA kelas I monomerik spesifik (atau

ketiadaannya) di trofoblas.

EKSPRESI GEN HLA-I. Gen-gen HLA adalah produk dari lokus-lokus

genetik MHC yang terletak di lengan pendek kromosom 6 (Hunt dan Orr,

1992). Terdapat 17 gen HLA kelas I, yang terdiri dari tiga gen klasik. Tiga

gen klasik tersebut HLA-A, -B, dan -C—mengkode antigen transplantasi

mayor kelas I(a). Tiga gen kelas I(b) lainnya, yang disebut HLA-E, -F, dan

-G juga mengkode antigen HLA kelas I. Sekuens DNA sisanya tampaknya

merupakan pseudogen atau fragmen gen parsial.

Keberadaan antigen (antigen) kelas I di sitotrofoblas dapat dijelaskan oleh

ekspresi sebuah gen tunggal untuk HLA-G. Karena HLA-G bersifat mo-

nomerik (atau hampir menyerupai demikian), antigen ini dianggap sebagai

bagian dari “diri” (self) sehingga seyogyanya tidak memicu respons imuno-

logis oleh sel-sel imun ibu terhadap trofoblas janin yang mengekspresikan

HLA-G (Kilburn dkk., 2000; Weetman, 1999). Ekspresi gen ini mungkin

dirangsang oleh hipoksia (Kilburn dkk., 2000). Untuk menjelaskan

ekspresi HLA-G, kita perlu memahami sifat populasi limfosit yang tidak

lazim pada desidua manusia.

LIMFOSIT GRANULAR BESAR (LGL) UTERUS. Sel-sel khusus ini

diperkirakan adalah sel limfoid, berasal dari sumsum tulang, dan

merupakan turunan sel natural killer (NK). Sel-sel ini terdapat dalam

jumlah besar hanya pada fase midluteal siklus pada waktu diharapkan

terjadinya implantasi (Johnson dkk., 1999). LGL ini memiliki fenotipe

tertentu yang ditandai oleh tingginya konsentrasi CD56 atau neural cell

adhesion molecule di permukaannya (Coke dan King, 1995).

Menjelang akhir fase luteal pada siklus ovulatorik nonfertil, inti sel LGL

mulai mengalami disintegrasi. Apabila terjadi implantasi blastokista, sel-sel

ini akan menetap di desidua selama minggu-minggu pertama kehamilan.

Namun, pada kehamilan aterm, LGL yang ada di desidua relatif sedikit.

Diperkirakan bahwa LGL terlibat dalam pengendalian invasi trofoblas. Sel-

sel ini mensekresikan sejumlah besar granulocyte/macrophage-colony

stimulating factor (GM-CSF), yang mengisyaratkan bahwa LGL pada

desidua trimester pertama berada dalam keadaan aktif. Hal ini mendorong

Jokhi dkk. (1994) berspekulasi bahwa GM-CSF mungkin berfungsi

terutama bukan untuk mendorong replikasi trofoblas tetapi lebih untuk

mencegah apoptosis trofoblas. Menurut teori ini, LGL dan bukan limfosit

T-lah yang terutama bertanggung jawab atas ketahanan imunologik di

desidua.

EKSPRESI HLA-G PADA TROFOBLAS MANUSIA.

Hipotesis ini melibatkan modifikasi dalam ekspresi antigen HLA-G kelas I

di trofoblas. HLA-G diekspresikan hanya pada manusia. Bahkan, antigen

HLA-G hanya ditemui pada sitotrofoblas ekstravilus di desidua basalis dan

korion laeve (McMaster dkk., 19905). HLA-G tidak terdapat di trofoblas

vilus, baik di sinsitium maupun sitotrofoblas. HLA-G diekspresikan di

sitotrofoblas yang berhubungan dengan jaringan ibu (sel desidua). Selama

kehamilan terjadi peningkatan suatu bentuk iso utama yang larut, HLA-G2

(Hunt dkk., 2000). Dihipotesiskan bahwa HLA-G secara imunologis

bersifat permisif terhadap ketidakcocokan antigen antara ibu dan janinnya

(LeBouteiller dkk., 1999). Bahkan, Goldman-Wohl dkk. (2000)

memberikan bukti adanya ekspresi abnormal HLA-G di trofoblas ekstra-

vilus pada wanita dengan preeklamsia.

EKSPRESI HLA PADA MUDIGAH MANUSIA. Seiring dengan

berkembangnya gestasi, sel-sel dari massa sel dalam blastokista (sel-sel

yang akan membentuk mudigah) secara bertahap membentuk antigen

HLA kelas I dan II. Yang terpenting, jaringan ini tidak berkontak langsung

dengan jaringan atau darah ibu.

IMPLANTASI DAN PERTUKARAN INTEGRIN. Melekatnya trofektoderm

blastokista ke permukaan endometrium melalui proses aposisi dan adhesi

serta kemudian intrusi dan invasi endometrium/desidua oleh sitotrofoblas

(implantasi) tampaknya bergantung pada dua faktor:

1. Pembentukan berbagai proteinase oleh trofoblas yang

menguraikan protein-protein matriks ekstrasel

endometrium/desidua.

2. Proses terpadu dan berselang-seling yang disebut integrin

switching (pertukaran integrin), yang mempermudah migrasi dan

kemudian melekatnya trofoblas di desidua.

Integrin, salah satu dari empat famili molekul perekat sel (cell adhesion

molecules, CAM), adalah reseptor permukaan sel yang memperantarai

perlekatan sel ke protein matriks ekstrasel (Frenette dan Wagner, 1996).

Dengan adanya sistem integrin, sel dapat berikatan ke protein matriks

ekstrasel yang berbeda-beda melalui beragam cara.

Ingatlah bahwa sel desidua akhirnya terbungkus secara sempurna oleh

suatu membrane perisel (matriks ekstrasel). “Dinding” di sefifar sel

desidua ini membentuk perancah tempat melekatnya trofoblas ekstravilus,

disebut sitotrofoblas penambat /anchoring cytotrophoblasts (Bab 4, h. 84).

Sel-sel ini mula-mula mengeluarkan proteinase tertentu yang menguraikan

matriks ekstrasel desidua. Setelah itu, terjadi ekspresi sekelompok khusus

integrin yang memungkinkan sel-sel ini melekat. Melalui pergiliran bolak-

balik dari kedua proses ini dan dengan “pertukaran integrin”, gerakan

sitotrofoblas ke dalam desidua menjadi agresif tetapi terkendali. Terjadi

lokalisasi spesifik sitotrofoblas pada desidua untuk membentuk perlekatan

plasenta ke dinding rongga uterus. Craven dkk. (2000) memberi bukti

bahwa proses serupa terjadi pada invasi trofoblas ke vena uterus.

PERLEKATAN TROFOBLAS PADA DESIDUA: FIBRONEKTIN

ONKOFETAL. Seperti dijelaskan oleh Feinberg dkk. (1991), molekul

fibronektin onkofetal (onfFN) dicirikan oleh sebuah glikopeptida unik pada

molekul fibronektin. Mereka menyebut onfFN sebagai trofouteronektin

atau lem trofoblas untuk mengisyaratkan peran penting protein ini dalam

migrasi dan perlekatan trofoblas ke desidua ibu. Mereka mendapatkan

bahwa onfFN terletak pada taut antara sitotrofoblas dengan matriks

ekstrasel. Yang paling penting, onfFN terletak di matriks ekstrasel yang

menghubungkan sitotrofoblas ekstravilus dan kolom-kolom sel

sitotrofoblastik dengan desidua uterus. Karena onfFN dibentuk oleh

trofoblas ekstravilus, termasuk yang terdapat di korion laeve, para peneliti

ini menyarankan bahwa onfFN mungkin berfungsi mempermudah

terlepasnya jaringan ekstraembrionik dari uterus saat persalinan. Dalam

penelitian yang lebih barn, Feinberg dan rekan (1994) memperlihatkan

bahwa transforming-growth factor- (TGF-) meningkatkan sintesis onfFN.

Hal ini sejalan dengan anggapan bahwa TGF- berkaitan erat dengan

berbagai aspek implantasi dan desidualisasi.

Lockwood dkk. (1991) serta peneliti lain menyelidiki hubungan adanya

onfFN pada sekret serviks dan vagina dengan persalinan aterm dan

prematur. Temuan mereka menyangkut kegunaan identifikasi onfFN untuk

meramalkan persalinan prematur yang akan dibahas lebih lanjut pada Bab

27 (h. 779). Kadar onfFN pada cairan vagina/serviks yang diperiksa

selama persalinan jelas meningkat. Satu kemungkinan yang diajukan

adalah bahwa hal ini mengisyaratkan adanya suatu jenis pemisahan ko-

rion laeve (trofoblas) dari desidua parietalis secara kimiawi, mekanik, atau

keduanya. Feinberg dkk. berspekulasi dengan menyatakan bahwa

"kebocoran" onfFN merupakan hasil dari reaksi enzimatik untuk

melepaskan onfFN. Aktivitas enzim yang masih berupa dugaan ini

mungkin berperan dalam proses persalinan. Alternatif lain, pemisahan

korion laeve dari desidua mungkin merupakan suatu konsekuensi mekanis

persalinan, artinya, korion laeve terlepas dari desidua oleh tekanan

pelucutan saat persalinan berlangsung. Bukti terkini menyatakan bahwa

pemeriksaan dalam juga dapat mempengaruhi kadar fibronektin janin

(McKenna dkk., 1999).

PERKEMBANGAN MUDIGAH DAN PLASENTA BLASTOKISTA TAHAP

AWAL. Pada penjelasan tentang tahap-tahap paling awal perkembangan

blastokista manusia, dinding vesikel blastodermik primitif ditandai oleh

adanya satu lapisan tunggal ektoderm (Gambar 5-1). Tujuh puluh dua jam

setelah fertilisasi ovum, blastula 58 sel telah berdiferensiasi menjadi 5 sel

penghasil mudigah dan 53 sel yang ditakdirkan membentuk trofoblas

(Hertig, 1962). Walaupun sebelum implantasi blastokista trofoblas belum

jelas terlihat, pada monyet sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas sudah dapat

ditemukan pada blastokista yang barn berimplantasi. Memang, telah

terdapat bukti bahwa gonadotropin korionik (hCG) sudah disekresi oleh

sel-sel blastokista manusia pada saat implantasi (Bab 6, h. 117).

Segera setelah blastokista melekat ke epitel endometrium, sitotrofoblas

berproliferasi secara pesat dan mulai menginvasi desidua di sekitarnya.

Sitotrofoblas ekstravilus yang akhirnya membentuk sel-sel “jangkar” di

desidua tetap menjadi sel-sel individual atau sitotrofoblas. Seiring dengan

tumbuh dan membesarnya blastokista dan trofoblas di sekitarnya yang

seluruhnya ditutupi oleh desidua, salah satu kutub dari massa ini meluas

ke arah rongga endometrium dan kutub lainnya tetap terbenam di dalam

endometrium/desidua. Kutub paling dalam mulai membentuk plasenta,

yaitu sitotrofoblas yang membentuk jangkar dan trofoblas vilus. Trofoblas

vilus adalah lapisan luar sinsitium dan lapisan dalam sitotrofoblas. Kutub

yang tumbuh ke arah rongga endometrium ditutupi oleh korion frondosum,

yang pada saat ini dibungkus oleh desidua (kapsularis). Seiring dengan

berlanjutnya pertumbuhan jarigan embrionik dan ekstraembrionik, aliran

darah ke korion yang menghadap ke rongga endometrium menjadi

terbatas, dan akibatnya sifat vilosa dari jaringan ini dan pasokan darahnya

menghilang. Bagian korion ini menjadi membran janin avaskular yang

menyentuh desidua parietalis, yaitu, korion laeve atau korion halus.

Dengan semakin membesarnya mudigah-janin, korion laeve menjadi

berhubungan langsung dengan keseluruhan desidua ibu (parietalis) yang

tidak ditempati oleh plasenta. Korion laeve terdiri dari sitotrofoblas dan sel

mesoderm (mesenkim) janin yang bertahan hidup dalam atmosfer yang

oksigennya relatif rendah.

Seiring dengan tumbuhnya janin, desidua kapsularis menyatu dengan

desidua parietalis. Namun, desidua kapsularis sebagian besar berkurang

akibat tekanan dan penurunan aliran darah. Daerah desidua tempat

menyatunya desidua kapsularis dan desidua parietalis disebut sebagai

desidua vera.

GAMBAR 5-3. Fotomikrograf berkekuatan rendah dan tinggi pandangan permukaan sebuah blastokista yang barn berimplantasi yang diperoleh pada hari ke-22 siklus endometrium, kurang dari 8 hari setelah konsepsi. Tempat implantasi sedikit meninggi dan berukuran 0,36 X 0,31 mm. Muara kelenjarkelenjar uterus tampak sebagai titik-titik hitam yang dikelilingi oleh halo (Carnegie Collection no. 8225). (Dari Hertig dan Rock, 1944).

Salah satu blastokista yang melakukan implantasi paling dini yang

ditemukan oleh Hertig dan Rock (1994) diperlihatkan pada Gambar 5-3.

Blastokista ini hanya berukuran 0,36 x 0,31 mm, dan diperkirakan, sedang

dalam proses menembus endometrium, dengan dinding luar blastokista

yang tipis masih terdapat di dalam uterus. Sebuah blastokista yang

sedang berimplantasi pada tahap perkembangan setara, 9 hari setelah

fertilisasi, diperlihatkan pada Gambar 5-4. Blastokista ini tampak telah

menggepeng selama proses penetrasi epitel uterus; pembesaran dan

multiplikasi trofoblas yang berkontak dengan endometrium saja sudah

menyebabkan peningkatan ukuran blastokista yang berimplantasi

dibandingkan dengan blastokista bebas.

PERKEMBANGAN MUDIGAH SETELAH IMPLAN.

Pada hari ke-9 pembentukan (Gambar 5-4), dinding blastokista yang

menghadap ke lumen uterus merupakan selapis sel gepeng. Dinding yang

berlawanan dan lebih tebal terdiri dari dua zona, trofoblas dan massa sel

dalam yang akan membentuk mudigah. Tujuh setengah hari setelah

fertilisasi, massa sel dalam disebut juga sebagai lempeng embrionik

berdiferensiasi menjadi sebuah lempeng tebal ektoderm primitif dengan

lapisan endoderm di bawahnya. Beberapa sel kecil muncul di antara

lempeng embrionik dan trofoblas, dan menutupi suatu ruang yang kelak

menjadi rongga amnion. Seiring dengan membesarnya mudigah, semakin

banyak jaringan maternal (desidua basalis) yang terinvasi, dan dinding-

dinding kapiler desidua superfisial mengalami erosi. Akibatnya, darah ibu

bocor ke dalam lakuna. Dengan semakin dalamnya invasi blastokista

pada desidua, untaian trofoblas bercabang untuk membentuk vilus primitif

padat yang melintasi lakuna. Vilus yang terletak di permukaan blastokista

kemudian menghilang kecuali yang di bagian yang tertanam paling dalam,

yaitu bagian yang akan menjadi plasenta.

Mesenkim embrionik pertama kali muncul sebagai sel-sel tersendiri di

dalam rongga blastokista. Saat sudah seluruhnya dilapisi oleh mesoderm,

rongga itu disebut vesikel korion, dan membrannya, yang sekarang

disebut korion, terdiri dari trofoblas dan mesenkim. Sel-sel mesenkim di

dalam rongga paling banyak ditemukan mengelilingi mudigah, tempat sel-

sel ini kemudian memadat untuk membentuk body stalk (tangkai tubuh),

yang berfungsi untuk menghubungkan mudigah ke korion nutrien dan

kemudian berkembang menjadi tali pusat.

Sinsitiotrofoblas selubung korion ditembus oleh suatu sistem saluran

komunikasi antar lakuna trofoblastik yang mengandung darah ibu. Pada

saat yang sama, reaksi desidua menguat pada stroma di sekitarnya, yang

ditandai oleh membesarnya sel-sel stroma desidua dan penimbunan

glikogen.

INVASI SITOTROFOBLAS KE PEMBULUH DESIDUA. Jaringan kapiler di

bagian paling superfisial endometrium diinvasi oleh sitotrofoblas.

Kemudian, arteriol dan arteri spiralis juga diinvasi, dan dinding.

GAMBAR 5-4. Potongan melalui bagian tengah sebuah mudigah yang sedang berimplantasi pada usia sekitar 9 hari. Terjadi regenerasi epitel endometrium. Lakuna muncul sebagai ruang-ruang jernih pada massa sinsitiotrofoblas. Tampak diskus embrionik bilaminar (Dari Hertig dan Rock, 1945).

dari pembuluh-pembuluh ini rusak. Fenomena ini akan dibahas secara

rinci karena sangat penting untuk memahami aliran darah uteroplasenta

pada manusia. Hamilton dan Boyd (1966) memuji Friedlander (1870) atas

penjelasannya yang pertama tentang perubahan struktural yang mencolok

pada arteri spiralis desidua basalis selama plasentasi. Saat implantasi,

arteri spiralis memperoleh sebuah lapisan sel di dalam endotel yang

berasal dari sitotrofoblas yang menginvasi. Selama invasi vaskular ini,

terjadi perubahan-perubahan degeneratif di dinding arteri yang mengenai

semua lapisan pembuluh. perubahan paling mencolok adalah yang

mengenai otot polos vaskular sehingga struktur ini menjadi tidak dapat

dikenali lagi.

Sitotrofoblas yang menginvasi arteri spiralis dapat masuk ke lumen

pembuluh sepanjang beberapa sentimeter; Hamilton dan Boyd meneliti

sitotrofoblas pada bagian miometrium pembuluh-pembuluh. ini. Mereka

juga menekankan bahwa berbagai perubahan vaskular ini tidak dijumpai

pada desidua parietalis—yaitu, bagian desidua yang disingkirkan dari

sitotrofoblas invasif. Menjelang aterm, sel-sel trofoblastik intralumen

berkurang jumlahnya. Namun pada kehamilan trimester kedua, trofoblas

ditemukan di semua arteri spiralis desidua pada tempat melekatnya

plasenta.

Hamilton dan Boyd memberi perhatian khusus pada beberapa segi

menarik dari pengamatan tersebut:

1. Sitotrbfoblas dilumen,pernbul-uh tampaknya tidak bereplikasi.

2. Anehnya, sel-sel ini tidak mudah dilepaskan oleh aliran darah.

3. Bahkan, sitotrofoblas ini tampaknya bermigrasi melawan arus dan

tekanan darah arteri.

4. Tidak tampak jelas perlekatan sel ini satu dengan yang lain.

5. Invasi jaringan vaskular ibu oleh trofoblas hanya mengenai arteri

spiralis tanpa melibatkan vena desidua.

Darah ibu memasuki ruang antarvilus dari arteri spiralis dalam semburan-

semburan mirip air mancur. Dengan demikian, darah ibu yang mengalir di

luar pembuluh ibu menyapu dan secara langsung membasahi

sinsitiotrofoblas. Permukaan maternal sinsitiotrofoblas terdiri dari struktur

mikrovilus kompleks yang selama kehamilan terns menerus mengalami

pelepasan dan pembentukan ulang.

Seiring dengan berlanjutnya invasi endometrium oleh trofoblas, arteri-

arteri spiralis desidua terbuka untuk membentuk lakuna, yang segera terisi

oleh darah ibu. Istilah hemokorioendotel yang digunakan untuk

menerangkan plasentasi manusia berasal dari kata-kata: hemo mengacu

kepada darah ibu, yang secara langsung membasahi sinsitiotrofoblas;

korio adalah untuk korion-plasenta, yang dipisahkan dari darah janin oleh

endotel di dinding kapiler janin

GAMBAR 5-5. Gambar potongan blastokista yang sedang berimplantasi. A. Pada 10 hari. B. Pada 12 hari setelah fertilisasi. Tahap perkembangan ini ditandai oleh komunikasi antarlakuna yang terisi oleh darah ibu. Perhatikan pada B bahwa telah muncul rongga-rongga besar di

mesoderm ekstraembrionik, membentuk awal selom ekstraembrionik. Juga perhatikan bahwa sel endoderm ekstraembrionik mulai terbentuk di bagian dalam yolk sac primitif (Dari Moore, 1988).

GAMBAR 5-6. Tampak median dari sebuah rekonstruksi lilin mudigah Mateer yang memperlihatkan rongga amnion dan hubungannya dengan membran korion dan yolk sac (X 500). (Dari Streeter, 1920).

yang melintasi ruang intravilus. Karakteristik dari tipe plasentasi ini

diterangkan pada Gambar 5-5 dan 5-6. Sewaktu lakuna-lakuna menyatu,

terbentuk suatu labirin rumit yang dipisahkan oleh kolomkolom

sitotrofoblas padat. Saluran-saluran labirin yang dilapisi oleh trofoblas dan

kolom sel padat ini masing-masing membentuk ruang antarvilus dan

tangkai vilus primer (primary villous stalk).

STRATUM GERMINATIVUM. Amnion dan yolk sac, berikut komponen

epitel dan mesenkimnya, diperlihatkan pada Gambar 5-5 dan 5-6. Pada

tahap ini, body stalk, yang merupakan tempat munculnya ujung kaudal

mudigah, juga sudah dapat dikenali.

ORGANISASI PLASENTA

ULTRASTRUKTUR TROFOBLAS. Dari penelitian mikroskop elektron oleh

Wislocki dan Dempsey (1955), diperoleh data yang memungkinkan kita

melakukan interpretasi fungsional atas struktur halus plasenta. Di

permukaan sinsitium tampak jelas mikrovilus, setara dengan "brush

border" yang terlihat pada mikroskop cahaya (Gambar 5-7). Keberadaan

vesikel, dan vakuol pinositotik berkaitan dengan fungsi absorptif dan

sekretorik plasenta. Lapisan dalam vilus—sitotrofloblas—menetap sampai

kehamilan aterm, walaupun sering tertekan ke lamina basalis trofoblas,

dan mempertahankan kesederhanaan ultrastrukturnya (Gambar 5-8).

VILI KORIONIK. Vilus pertama kali dapat dikenali dengan mudah pada

plasenta manusia sekitar hari ke-12 setelah fertilisasi. Saat korda

mesenkim—yang mungkin berasal dari sitotrofoblas—menginvasi kolom

trofoblas padat, terbentuk vilus sekunder. Setelah terjadi angiogenesis

dari inti mesenkim in situ, vilus yang terbentuk disebut vilus tersier. Sinus-

sinus vena ibu telah terbuka pada awal proses implantasi, tetapi sampai

hari ke-14 atau 15 setelah fertilisasi, darah arteri ibu belum masuk ke

ruang antarvilus. Pada sekitar hari ke-17, pembuluh darah janin sudah

berfungsi, dan telah terbentuk sirkulasi plasenta. Sirkulasi janin-plasenta

terbentuk sempurna saat pembuluh darah mudigah berhubungan dengan

pembuluh darah korion. Beberapa vili yang mengalami gagal

angiogenesis sehingga mengakibatkan sirkulasi kurang, akan meregang

dan membentuk vesikel. Proses pembentukan vesikel yang terjadi secara

berlebihan ini merupakan karakteristik terbentuknya mola hidatidosa (Bab

32, h. 931).

Proliferasi sitotrofoblas selular di ujung vilus menghasilkan kolom-kolom

sel trofoblastik, yang tidak diinvasi oleh mesenkim janin tetapi melekat ke

desidua pada lempeng basal. Dengan demikian, dasar ruang antarvilus

(sisi yang menghadap ke ibu) terdiri dari sitotrofoblas yang berasal dari

kolom-kolom sel, sinsitium perifer selubung trofoblastik, dan desidua

lempeng basal. Dasar lempeng korion, yang terdiri dari dua lapisan

trofoblas di sebelah luar dan mesoderm fibrosa di sebelah dalam, mem-

bentuk atap ruang antarvilus.

GAMBAR 5-7. Mikrograf elektron plasenta manusia pada trimester per-tama yang memperlihatkan sinsitiotrofoblas (S) yang berdiferensiasi balk, dengan banyak mitokondria (tanda panah hitam) dan kompleks Golgi (tanda panah putih). Sitotro

foblas (C) memiliki mitokondria yang besar (M) tetapi organel lain lebih sedikit. Di atas, tampak nyata tepi mikrovilus yang berasal dari sinsitium (S).

GAMBAR 5-8. Plasenta manusia aterm yang memperlihatkan sinsitium (S) yang padat-elektron, sel Langhans (sitotrofoblas) (L), sitotrofoblas transisional (T), clan endotel kapiler (E). Tanda panah menunjukkan desmosom. (Atas izin dr. Ralph M. Wynn).

GAMBAR 5-9. Vesikel korionik manusia pada usia ovulatorik 40 hari (Carnegie Collection no. 8537).

Pada awal kehamilan, vilus tersebar di seluruh perifer membran korion.

Blastokista yang keluar dari endometrium pada tahap perkembangan ini

tampak berbulu kasar (Gambrar 5-9). Vilus yang berkontak dengan

desidua basalis berproliferasi untuk membentuk korion frondosum (korion

berdaun, leafy chorion), yang merupakan komponen janin plasenta; vilus

yang berkontak dengan desidua kapsularis berhenti tumbuh dan

mengalami degenerasi kemudian menjadi korion laeve. Korion laeve

biasanya lebih bening daripada amnion walaupun ketebalannya jarang

melebihi 1 mm. Korion leave mengandung vilus hantu, dan desidua

melekat ke permukaannya.

Sampai menjelang akhir bulan ketiga, korion laeve dipisahkan dari amnion

oleh rongga eksoselom. Setelah itu, amnion dan korion berkontak secara

erat. Pada manusia, korion laeve dan amnion membentuk amniokorion

avaskular, tetapi kedua struktur ini merupakan tempat penting untuk

transfer molekul dan aktivitas metabolik. Keduanya membentuk sisi

parakrin dari sistem komunikasi fetomaternal.

KOTILEDON PLASENTA. Beberapa vili di korion frondosurn meluas dari

lempeng korionik ke desidua dan berfungsi sebagai vilus penambat.

Namun, sebagian besar vilus membentuk percabangan dan berakhir

secara bebas di ruang antarvilus tanpa mencapai desidua (Gambar 5-10).

Ketika plasenta matang, vilus muda yang pendek dan tebal mengalami

percabangan yang ekstensif, membentuk subdivisi-subdivisi yang semakin

halus dan vili-vili kecil yang jumlahnya semakin banyak (Gambar 5-11).

Setiap vilus utama (truncal villi, main stem villi) dan ramus-ramusnya

membentuk sebuah kotiledon (lobus) plasenta. Setiap kotiledon

diperdarahi oleh cabang (trunkal) arteri korionik; dan untuk setiap

kotiledon, terdapat sebuah vena, membentuk rasio arteri terhadap vena

terhadap kotiledon sebesar 1:1:1.

KERUSAKAN PADA "SAWAR" PLASENTA. plasenta tidak

mempertahankan integritas sirkulasi janin

GAMBAR 5-10. Foto pindaian mikroskop elektron vili plasenta pada usia gestasi 10 sampai 14 minggu. Perhatikan vilus utama yang lebih besar dan tunas-tunas sinsitium kecil dalam berbagai tahap pembentukan. Alur atau celah di permukaan jugs jelas terlihat, terutama pada dasar vilus yang berukuran besar (X 289) (Dari King dan Menton, 1975).

GAMBAR 5-11. Perbandingan viii korionik pada awal dan akhir kehamilan. A. Sekitar minggu ke-8 gestasi. Perhatikan sel-sel Langhans bagian dalam (sitotrofoblas) dan lapisan sinsitium sebelah luar. B. Placenta pada kehamilan aterm. Lapisan sinsitium tampak jelas, tetapi sel-sel Langhans (sitotrofoblas) sulit dikenali pada mikroskop cahaya dengan pembesaran rendah.

dan ibu secara mutlak. Hal ini terbukti oleh seringnya dijumpai pertukaran

sel antara ibu dan janin di kedua arah. Contoh klinis paling baik keadaan

ini adalah isoimunisasi antigen-D eritrosit dan timbulnya eritroblastosis

fetalis (Bab 39, h. 1185). Biasanya beberapa sel darah merah janin

ditemukan di darah ibu; tetapi pada keadaan-keadaan ekstrim yang jarang

terjadi, janin mengalami eksanguinasi ke dalam sirkulasi ibu. Leukosit

janin dapat bereplikasi di ibu dan leukosit yang mengandung kromosom Y

mungkin ditemukan pada wanita sampai 5 tahun setelah melahirkan anak

laki-laki (Ciaranfi dkk., 1977). Desai dan. Creger (1963) yang melabel

leukosit clan trombosit ibu dengan atabrin mendapatkan bahwa sel

berlabel atabrin melewati plasenta dari ibu ke janin.

UKURAN DAN BERAT PLASENTA. Crawford (1959) mengutarakan

bahwa jumlah total kotiledon tidak berubah sepanjang gestasi. Masing-

masing kotiledon terus tumbuh, walaupun tidak terlalu aktif pada minggu-

minggu terakhir. Berat plasenta cukup bervariasi, bergantung pada

bagaimana plasenta dipersiapkan. Apabila membran janin dan sebagian

besar tali pusat dibiarkan melekat dan bekuan darah ibu yang melekat

tidak dibersihkan, berat mungkin meningkat hampir 50 persen (Thomson

dkk., 1969).

PLASENTA PADA KEHAMILAN ATERM. Menurut Boyd dan Hamilton

(1970), plasenta pada kehamilan aterm rata-rata memiliki garis tengah

185 mm dan ketebalan 23 mm, dengan volume 497 ml dan berat 508 g;

tetapi ukuran-ukuran ini sangat bervariasi. plasenta manusia memiliki

bentuk beragam dengan tipe insersi tali pusat yang berlainan, yang akan

dibahas pada Bab 32. Dilihat dari permukaan maternal, jumlah daerah

konveks yang sedikit meninggi yang disebut lobus (atau apabila kecil,

lobulus) bervariasi dari 10 sampai 38. Lobus-lobus ini dipisahkan, meski

tidak seluruhnya, oleh alur yang memiliki kedalaman berbeda-beda, yang

disebut septum plasenta. Lobus disebut juga kotiledon.

PENUAAN PLASENTA. Ketika vili terus membentuk cabang dan

percabangan terminal menjadi lebih banyak dan lebih halus, volume dan

penonjolan sitotrofoblas berkurang. Saat sinsitium menipis dan

membentuk simpul, pembuluh. menjadi lebih menonjol dan terletak lebih

dekat ke permukaan. Stroma vilus juga memperlihatkan perubahan-

perubahan yang berkaitan dengan penuaan. pada plasenta awal

kehamilan, sel-sel jaringan ikat yang bercabang dipisahkan oleh banyak

matriks antarsel yang longgar. Di kemudian hari, stroma menjadi lebih

padat dan sel menjadi lebih berbentuk kumparan dan tersusun lebih rapat.

perubahan lain pada stroma melibatkan sel Hofbauer, yang kemungkinan

adalah makrofag janin. Sel-sel ini berbentuk hampir bulat dengan inti sel

vesikular dan seringkali menonjol serta sitoplasma yang bervakuol atau

sangat granular. Sel-sel ini secara histokimiawi memiliki ciri adanya lemak

intrasitoplasma dan mudah dibedakan dari sel plasma.

Beberapa perubahan histologic yang menyertai pertumbuhan dan

penuaan plasenta mengisyarat-

GAMBAR 5-12. Uterus wanita hamil yang memperlihatkan plasenta normal in situ. A. Lokasi potongan yang diperlihatkan pada. Gambar 5-13. B. Lokasi potongan 'yang diperlihatkan pada Gambar 5-14.

kan terjadinya peningkatan efisiensi transpor dan pertukaran untuk

memenuhi kebutuhan metabolik janin yang semakin meningkat. Di antara

perubahan-perubahan tersebut adalah berkurangnya ketebalan sinsitium,

pengurangan parsial sel sitotrofoblas, pengurangan stroma, dan

peningkatan jumlah kapiler serta mendekatnya pembuluh ini ke

permukaan sinsitium. Pada usia kehamilan 4 bulan, kontinuitas yang

tampak di antara sitotrofoblas terputus, dan sinsitium membentuk simpul-

simpul pada vili-vili kecil yang jumlahnya lebih banyak. Pada kehamilan

aterm, setubung vilus mungkin banyak berkurang menjadi suatu lapisan

tipis sinsitium dengan jaringan ikat minimal dan kapiler janin tampak

menempel ke trofoblas. Stroma vilus, sel Hofbauer, dan sitotrofoblas

tampak. jelas berkurang, dan vilus tampak terisi oleh kapiler berdinding

tipis.

Namun, perubahan-perubahan lain mengisyaratkan terjadinya penurunan

efisiensi plasenta dalam melakukan pertukaran. Perubahan-perubahan ini

mencakup penebalan membran basal kapiler trofoblas, obliterasi

pembuluh janin tertentu, dan pengendapan fibrin di permukaan vilus pada

lempeng korion dan basal serta pada tempat lain di ruang antarvilus.

SIRKULASI DARAH

PADA PLASENTA MATANG

Karena plasenta secara fungsional menggambarkan keterkaitan yang erat

antara jaringan kapiler janin dan darah ibu, maka anatomi makroskopik

plasenta terutama terdiri atas sambungan-sambungan vaskular.

Permukaan fetal plasenta ditutupi oleh am-

GAMBAR 5-13. Potongan membran janin dan uterus yang berlawanan dengan tempat plasenta di A pada Gambar 5-12 (A = amnion; K korion laeve; D = desidua parietalis; M miometrium).

nion transparan yang di bawahnya berjalan pembuluh-pembuluh korion

janin. Potongan melalui plasenta in situ (Gambar 5-12 sampai 5-14)

mencakup amnion, korion, vilus korion dan ruang antarvilus, lempeng

desidua, dan miometrium. Permukaan maternal plasenta (Gambar 5-15)

dibagi menjadi lobus-lobus ireguler oleh alur-alur yang dibentuk oleh

septum, yang terdiri dari jaringan ikat dengan sedikit pembuluh yang

terutama terdapat di bagian dasar. Septum berpangkal debar biasanya

tidak mencapai lempeng korion sehingga partisi yang dibentuknya tidak

sempurna.

SIRKULASI FETAL. Darah janin yang terdeoksigenasi, atau darah yang

”menyerupai-darah vena”, mengalir ke plasenta melalui dua arteri

umbilikalis. Pada taut antara tali pusat. dan plasenta, pembuluh-pembuluh

umbilikus bercabang berkali-kali di bawah amnion dan bercabang kembali

di dalam vilus yang terpecah-pecah, dan akhirnya membentuk jaringan

kapiler pada percabangan terakhir (Gambar 5-16). Darah dengan

kandungan oksigen yang jelas lebih tinggi, kembali dari plasenta ke janin

melalui sebuah vena umbilikalis.

Cabang-cabang pembuluh umbilikus yang berjalan di sepanjang

permukaan fetal plasenta (lempeng korion) disebut sebagai pembuluh

permukaan plasenta atau pembuluh korion. Pembuluh-pembuluh ini peka

terhadap zat-zat vasoaktif; tetapi secara anatomic, morfologis, histologis,

dan fungsional, pembuluh-pembuluh ini aneh. Arteri-arteri korion selalu

memotong vena korion. Identifikasi arteri dan vena korion mudah

dilakukan bila memahami hubungan yang menarik ini karena, seperti

disampaikan oleh Benirschke, keduanya hampir tidak mungkin dibedakan

secara histologis. Tepat sebelum atau segera sesudah memasuki

lempeng korion, kedua arteri umbilikalis dihubungkan oleh sebuah

penghubung transversal, anastomosis Hyrtl, yang hampir selalu terlihat.

Kedua arteri umbilikalis berpisah di lempeng korion untuk mendarahi

cabang-cabang kotiledon. Terdapat dua pola percabangan arteri korion

yang berlainan: menyebar / disperse (63 persen) dan magistral (37

persen). Pola distribusi pada tipe disperse adalah pola jaringan pembuluh

halus yang berjalan dari tempat insersi tali pusat ke berbagai kotiledon.

Pola magistral ditandai oleh arteri-arteri yang berjalan ke tepi placenta

tanpa banyak mengalami penyusutan diameter. Arteriarteri ini merupakan

end-artery, dan mendarahi satu kotiledon sewaktu percabangan

membelok ke bawah untuk menembus lempeng korion.

Arteri-arteri trunkal adalah cabang-cabang perforans dari arteri permukaan

yang menembus lempeng korion. Setiap arteri trunkal mendarahi satu

kotiledon. Otot polos pada dinding pembuluh ini berkurang sementara

kaliber pembuluh meningkat sewaktu pembuluh menembus lempeng

basal; pe-

GAMBAR 5-14. Potongan plasenta dan uterus melalui B di Gambar 5-12 (K = lempeng korion dengan pembuluh darah janin; D = desidua basalis; M = miometrium; P = vilus plasenta)

ngurangan otot polos, berlanjut sewaktu arteri batang bercabang menjadi

ramus-ramus; hal yang sama juga terjadi pada dinding vena.

Pada sekitar minggu ke-10 pascakonsepsi, pola kecepatan aliran darah

tali pusat yang berbentuk gelombang berubah mendadak (Fisk dkk., 1988;

Loquet dkk., 1988). Sebelum waktu ini, tidak dijumpai frekuensi akhir-

diastol”. Pada masa gestasi yang lebih lanjut, temuan ini akan dianggap

abnormal. Maulik (1996) memberikan uraian yang sangat baik tentang

temuan-temuan ini.

Lempeng korion “definitive” juga terbentuk pada minggu ke-8 sampai 10

sewaktu mesenkim lempeng korion primer dan lempeng amnion saling

menyatu. Hal ini terjadi akibat ekspansi kantung amnion, yang juga

mengelilingi tangkai penghubung dan alantois dan menyatukan struktur-

struktur ini untuk membentuk tali pusat (Kaufmann dan Scheffen, 1992).

Pembuluh-pembuluh korion juga memiliki hal aneh yang lain; ketebalan

dinding pembuluh-pembuluh ini asimetris, yaitu jauh lebih tipis pada sisi

yang berdampingan dengan amnion (sisi janin).

SIRKULASI MATERNAL. Homeostasis janin bergantung pada sirkulasi ibu

plasenta yang efisien. Oleh karena itu, para peneliti mencoba mendefinisi-

kan faktor-faktor yang mengendalikan aliran darah ke dan dari ruang

antarvilus. Suatu teori yang baik harus dapat menerangkan bagaimana (1)

darah dapat meninggalkan sirkulasi ibu; (2) mengalir ke ruang amorf (yang

dilapisi oleh sinsitium trofoblas dan bukan endotel kapiler); dan (3) kembali

melalui vena ibu tanpa menimbulkan pirau tipe arteriovena yang dapat

menghambat pertukaran darah ibu dengan vilus akibat kontak yang cukup

lama antara keduanya. Penjelasan yang logis tentang sirkulasi plasenta

yang sejalan dengan gambaran klinis dan eksperimentalnya (Gambar 5-

16) baru diketahui setelah Ramsey dan rekan (1963, 1966) melakukan

studi mengenai hal ini. Para peneliti ini tidak menggunakan teknik korosi

yang kasar seperti yang dilakukan peneliti sebelumnya, sebaliknya,

mereka membuktikan, dengan melakukan penyuntikan bahan

radiokontras secara hati-hati dan lambat dengan tekanan rendah (untuk

menghindari gangguan terhadap sirkulasi) bahwa pintu masuk arteri serta

pintu keluar vena tersebar secara acak di seluruh dasar plasenta.

Detil-detil fisiologis yang terdapat pada sirkulasi plasenta ibu adalah

sebagai berikut. Darah ibu masuk melalui lempeng basal dan terdorong ke

atas ke lempeng oleh puncak tekanan arteri ibu sebelum terjadi dispersi

ke lateral (Gambar 5-16). Setelah membasahi permukaan mikrovilus

ekstema vilus korion, darah ibu mengalir kembali melalui lubang-lubang

vena di lempeng basal dan masuk ke vena-vena uterus. Dengan demikian

darah ibu melintasi plasenta secara acak tanpa melalui saluran yang

sudah ada, didorong oleh tekanan arteri ibu. Secara umum arteri spiralis

berjalan tegak lurus, tetapi vena berjalan sejajar, terhadap dinding uterus,

membentuk suatu tatanan yang mempermudah vena menutup saat uterus

berkontraksi dan mencegah terperasnya darah ibu dari ruang antar-

GAMBAR 5-15. Permukaan maternal plasenta aterm. Tampak lobus-lobus berbatas tegas, bentuk ireguler yang bersebelahan ditambah sebuah lobus besar yang terpisah (suksenturiata).

vilus. Menurut Brosen dan Dixon (1963), terdapat sekitar 120 jalan masuk

arteri spiralis ke dalam ruang antarvilus placenta manusia pada kehamilan

aterm, yang mengeluarkan darah dalam semprotansemprotan yang

menggeser vilus di dekatnya, seperti dijelaskan oleh Borrell dan rekan

(1958).

Konsep Ramsey ditunjang oleh temuan berbagai studi arteriografik.

Jelaslah, semburan arteri spiralis dihubungkan dengan “danau”, dan

penutupan vena uteroplasenta dipengaruhi oleh tekanan yang terbentuk

pada awal kontraksi uterus. Ia mendapatkan bahwa pada kontraksi

miometrium terjadi perlambatan kemunculan medium kontras di vena

dinding uterus apabila penyuntikan dilakukan saat kontraksi berlangsung

kuat. Tekanan di ruang antarvilus mungkin cukup rendah sehingga darah

tidak dapat dikeluarkan melawan tekanan miometrium yang kuat. Ramsey

mengajukan bukti lain adanya aktivitas independen arteri (spiralis) utero-

plasenta, seperti ditunjukkan oleh munculnya semburan pada lokasi yang

berbeda-beda bahkan saat penyuntikan dilakukan di bawah kondisi te-

kanan miometrium minimal. Tidak semua arteri spiralis endometrium

selalu terbuka, demikian juga tidak semua arteri spiralis mengalirkan

darah ke dalam ruang antarvilus secara bersamaan.

Secara singkat, Ramsey menemukan bahwa darah ibu masuk ke ruang

antarvilus dalam semprotan-semprotan yang disebabkan oleh tekanan

darah ibu. Tekanan dari belakang ini mendorong darah dalam arus-arus

tersendiri ke arah lempeng korion sampai puncak tekanan berkurang.

Kemudian terjadi penyebaran ke lateral. Influks darah arteri yang berlanjut

menimbulkan tekanan terhadap isi ruang antarvilus, mendorong darah ke

pintu keluar pada lempeng basal, untuk kemudian dialirkan melalui vena-

vena uterus. Sewaktu uterus berkontraksi, baik aliran masuk maupun

aliran keluar berkurang, namun volume darah di ruang antarvilus diperta-

hankan, sehingga tetap terjadi pertukaran walaupun dalam kadar yang

lebih rendah.

Bleker dan rekan (1975) menggunakan sonografi serial selama persalinan

normal dan mendapatkan bahwa panjang, ketebalan, dan permukaan

plasenta meningkat sewaktu kontraksi. Mereka menyatakan bahwa

perubahan-perubahan ini disebabkan oleh peregangan ruang antarvilus

oleh darah sebagai konsekuensi gangguan aliran balik vena yang relatif

lebih besar daripada gangguan aliran masuk arteri. Dengan demikan,

sewaktu kontraksi volume darah yang tersedia untuk pertukaran sedikit

meningkat walaupun kecepatan aliran berkurang. Kemudian,

GAMBAR 5-16. Gambar skematik sebuah potongan pada plasenta aterm: 1. Hubungan korion vilus (C) dengan desidua basalis (D) dan sirkulasi fetoplasenta. 2. Darah ibu mengalir ke dalam ruang antarvilus dalam semprotan-semprotan berbentuk corong, dan terjadi pertukaran dengan darah janin sewaktu darah ibu mengalir mengelilingi vilus. 3. Darah arteri yang mengalir masuk mendorong darah vena ke dalam vena endometrium, yang tersebar di seluruh permukaan desidua basalis. Perhatikan pula bahwa arteri umbilikalis menyalurkan darah janin terdeoksigenasi ke plasenta dan bahwa vena umbilikalis menyalurkan

darah teroksigenasi ke janin. Kotiledon dipisahkan satu sama lain oleh septum plasenta (desidua). Setiap kotiledon terdiri dari dua atau lebih vilus batang utama dan cabang-cabangnya. (Berdasarkan Moore, 1988).

dengan menggunakan Doppler velocimetry, dibuktikan bahwa kecepatan

aliran diastolik di arteri spiralis berkurang selama uterus berkontraksi. De-

ngan demikian, faktor utama yang mengendalikan aliran darah di ruang

antarvilus adalah tekanan darah arteri, tekanan intrauterus, pola kontraksi

uterus, dan faktor yang bekerja secara spesifik pada dinding arteriol.

Ramsey dan Donner (1980) menyajikan sebuah ringkasan tentang studi

anatomis pembuluh darah uteroplasenta. Elemen-elemen stotrofoblastik

mula-mula terbatas di bagian terminal arteri uteroplasenta. Pada minggu

ke-16, sitotrofoblas pada banyak arteri di lapisan dalam miometrium. Pada

beberapa pembuluh penumpukan trofoblas dapat menyebabkan

berhentinya sirkulasi. Jumlah saluran arteri ke ruang antarvilus secara

bertahap dikurangi oleh sitotrofoblas dan oleh penetrasi dalam trofoblas

terhadap dinding arteri bagian proksimal. Setelah minggu ke-30, terbentuk

pleksus vena prominen yang memisahkan desidua basalis dari

miometrium (Gambar 5-16) yang ikut membentuk bidang pembelahan

untuk pemisahan plasenta.

AMNION

Amnion pada kehamilan aterm berupa sebuah membran yang kuat dan

ulet tetapi lentur. Amnion adalah membran janin paling dalam dan

berdampingan dengan cairan amnion. Struktur avaskular khusus ini

memiliki peran penting dalam kehamilan pada manusia. Pada banyak

kasus obstetrik, pecahnya selaput ketuban secara dini pada kehamilan

dini merupakan penyebab tersering pelahiran preterm (Bab 11, hal. 306).

Amnion adalah jaringan yang menentukan hampir semua kekuatan

regang membran janin. Dengan demikian, pembentukan komponen-

komponen amnion yang mencegah ruptur atau robekan sangatlah penting

bagi keberhasilan. kehamilan.

STRUKTUR. Bourne (1962) menjelaskan lima lapisan jaringan amnion

permukaan dalam, yang dibasahi oleh cairan amnion, adalah selapis rapat

sel epitel kuboid yang diperkirakan berasal dari ektoderm embrionik. Epitel

ini melekat erat ke sebuah membran basal yang dihubungkan ke lapisan

padat aselular, yang terutama terdiri dari kolagen interstisial tipe I, III, dan

V. Di sisi luar lapisan padat, terdapat sederet sel mesenkim mirip fibroblas

(yang pada kehamilan aterm tersebar luas). Sel-sel ini mungkin berasal

dari mesoderm diskus embrionik. Di amnion juga terdapat beberapa

makrofag janin. Lapisan paling luar amnion adalah zona spongiosa yang

relatif aselular yang bersebelahan dengan membran janin kedua, korion

laeve. Elemen penting yang “hilang” pada amnion manusia adalah sel otot

polos, saraf, pembuluh limfe, dan yang penting, pembuluh darah.

PERKEMBANGAN. Pada awal proses implantasi, terbentuk suatu ruang

antara massa sel mudigah dan trofoblas di dekatnya (Gambar 5-5). Sel-

sel kecil yang melapisi permukaan dalam trofoblas ini disebut sel

amniogenik, prekursor epitel amnion. Amnion manusia pertama kali dapat

diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau 8 perkembangan mudigah. Pada

awalnya, sebuah vesikel kecil (Gambar 5-5), yaitu amnion, berkembang

menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah.

Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menelan mudigah

yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion

(Benirshcke dan Kaufman, 2000).

Peregangan kantung amnion akhirnya menyebabkan amnion berkontak

dengan permukaan dalam korion laeve. Aposisi mesoblas korion laeve

dan amnion menjelang akhir trimester pertama kemudian menyebabkan

obliterasi selom ekstraembrionik. Amnion dan korion laeve, walaupun

sedikit melekat, tidak pernah berhubungan erat, dan biasanya mudah

dipisahkan, bahkan pada kehamilan aterm.

HISTOGENESIS SEL AMNION. Secara umum sekarang dianggap bahwa

sel-sel epitel amnion berasal dari ectoderm janin pada diskus embrionik.

Sel-sel ini tidak berasal dari delaminasi trofoblas. Hal ini patut dijadikan

bahan pertimbangan penting baik dari perspektif embriologis maupun

fungsional. Sebagai contoh, ekspresi gen HLA kelas I di amnion lebih

merupakan suatu istilah yang merujuk kepada ekspresi gen di sel

mudigah daripada ekspresi gen tersebut di trofoblas.

Selain sel epitel yang melapisi sisi paling dalam amnion (cairan amnion),

terdapat sebuah lapisan sel mirip-fibroblas (mesenkim), yang

kemungkinan juga berasal dari mesoderm mudigah. Pada awal

embriogenesis manusia, sel-sel mesenkim amnion terletak tepat di

samping permukaan basal epitel. Dengan demikian, pada saat ini

permukaan amnion adalah suatu struktur yang terdiri dari dua lapis sel

dengan jumlah sel epitel dan mesenkim kira-kira setara. Bersamaan

dengan pertumbuhan dan perkembangannya, terjadi pengendapan

kolagen di antara kedua lapisan sel ini. Hal ini menandai dimulainya

pembentukan lapisan padat amnion, yang juga menyebabkan terpisahnya

kedua lapisan sel amnion tersebut. Seiring dengan membesarnya kantung

amnion untuk menutupi plasenta dan kemudian korion frondosum pada

sekitar minggu ke-10 sampai 14, terjadi pengurangan kepadatan sel-sel

mesenkim secara progresif. Sel-sel ini terus saling memisah dan dalam

prosesnya menjadi tersebar secara jarang. Tampaknya bahwa pada awal

kehamilan sel-sel epitel amnion bereplikasi dengan kecepatan yang relatif

lebih besar daripada sel mesenkim. Pada kehamilan aterm, sel epitel

membentuk suatu epitel kontinu tanpa-celah di permukaan janin anin

amnion. Sementara itu, sel-sel mesenkim tersebar secara luas, dan

dihubungkan oleh jaringan kisi-kisi halus matriks ekstrasel disertai adanya

serat-serat tipis yang panjang.

SEL EPITEL AMNION. Sel epitel melapisi seluruh sisi dalam (cairan

amnion) membran amnion di semua bagian. Ini adalah sel-sel yang

biasanya dirujuk dan paling sering diteliti dalam penyelidikan tentang

cairan amnion. Permukaan apikal sel epitel dipenuhi oleh mikrovilus yang

berkembang sefnpurna, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat perpin-

dahan utama antara cairan amnion dengan amnion (Gambar 5-17). Sel-

sel epitel juga aktif secara metabolic; sebagai contoh, sel-sel ini

merupakan tempat sintesis inhibitor jaringan metaloproteinase-1 (Rowe

dkk., 1997).

SEL MESENKIM AMNION. Sel-sel mesenkim amnion pada lapisan

fibroblas amnion berperan penting dalam fungsi-fungsi utama amnion.

Sintesis kolagen interstisial yang membentuk lapisan kompak amnion,

yaitu sumber utama kekuatan regang membran ini, berlangsung di sel

mesenkim (Casey dan MacDonald, 1996). Sel-sel ini juga memiliki

kemampuan tinggi untuk mensintesis berbagai sitokin termasuk

interleukin-6 (IL-6), IL-S, dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-

1). Sintesis sel-sel ini meningkat sebagai respons terhadap toksin bakteri

dan interleukin-1. Kapasitas fungsional sel-sel mesenkim amnion ini

menjadi pertimbangan penting dalam studi mengenai cairan amnion untuk

mencari bukti adanya akumulasi mediator-mediator inflamasi yang

berkaitan dengan persalinan (GarciaVelasco dan Arici, 1999).

ANATOMI. Amnion yang membesar, menyatu dengan korion laeve.

Amnion plasenta menutupi permukaan fetal plasenta sehingga berkontak

dengan permukaan adventisial pembuluh korion, yang berjalan melintasi

lempeng korion dan bercabang-cabang ke dalam kotiledon. Amnion

umbilikalis menutupi tali pusat. Di bagian yang menyatu pada membran

plasenta kembar diamnionikdikorionik, amnion yang berfusi dipisahkan

oleh korion laeve yang berfusi; dan di samping suatu daerah kecil

membran janin yang terletak tepat di atas ostium

serviks, ini adalah satu-satunya tempat korion laeve yang terbalik tidak

berdampingan dengan desidua. Pada plasenta diamnionik-monokorionik,

tidak ada jaringan penyela di antara amnion yang menyatu dari masing-

masing janin kembar.

DAYA REGANG. Lebih dari 125 tahun yang lalu, Matthew Duncan (1868)

meneliti sifat gaya-gaya yang terlibat dalam ruptur membran janin. Pada

uji-uji kekuatan peregangan (tensile strength)—resistensi terhadap

robekan dan ruptur—ia mendapatkan bahwa desidua dan kemudian

korion laeve sudah “menyerah” jauh sebelum amnion robek. Memang,

membran-membran ini cukup elastis dan dapat mengembang sampai dua

kali lipat dari ukuran normal selama kehamilan (Benirschke dan Kauffman,

2000). Amnion merupakan penentu utama daya regang membran. Selain

itu, daya regang amnion hampir seluruhnya terletak di lapisan kompak,

yang terdiri dari kolagen interstisium tipe I, III, serta V dan VI (dalam

jumlah lebih sedikit) yang saling berikatan silang.

KOLAGEN INTERSTISIAL. Kolagen adalah makromolekul utama pada

sebagian besar jaringan ikat dan merupakan protein paling banyak di

tubuh. Kolagen I adalah kolagen interstisial utama di jaringan-jaringan

yang memiliki daya regang tinggi, misalnya tulang dan tendon. Di jaringan

lain, ko-

GAMBAR 5-17. Mikrograf elektron amnion manusia pada kehamilan aterm. Tampak epitel (E), dan mesenkim (M). Tanda panat tipis menunjukkan ruang antarsel. Tanda panah tebal menunjukkan spesialisasi membran plasma basal (Sumbangan drRalph M. Wynn).

lagen III dipercaya memiliki kontribusi unik terhadap integritas jaringan,

berfungsi untuk meningkatkan ekstensibilitas serta daya regang. Sebagai

contoh, rasio kolagen III terhadap kolagen I di dinding sejumlah jaringan

dengan daya regang tinggi—kantung amnion, pembuluh darah, kandung

I<emih, saluran empedu, uses dan uterus pada kehamilan—lebih besar

daripada di jaringan nonelastic. Di kulit janin, persentase kolagen III lebih

tinggi dibandingkan dengan kolagen I, dan dengan berkurangnya proporsi

kolagen III seiring dengan penambahan usia janin, ekstensibilitas kulit

juga berkurang setara. Karena di amnion hanya terdapat sedikit elastin,

maka kemungkinan besar kolagen III-lah yang memberikan sifat

ekstensibilitas terhadap membran ini. Ciri struktural lain yang unik dari

kolagen interstisial yang penting untuk integritas amnion adalah resistensi

terhadap penguraian proteolitik (Jeffrey, 1991).

SINTESIS KOLAGEN DI AMNION. Kolagen interstisial amnion—tipe I dan

Ill—diproduksi terutama di sel mesenkim (Casey dan MacDonald, 1996,

1997). Sel epitel, sebaliknya, terutama menghasilkan protein membran

basal, misalnya prokolagen IV, fibronektin, dan laminm. Temuan bahwa

metalotionein, suatu protein yang berafinitas tinggi terhadap Cu2+,

diekspresikan dalam jumlah besar di sel epitel amnion menimbulkan

hipotesis bahwa pada wanita yang merokok mungkin terjadi penurunan

sintesis kolagen (King dkk, 1997). Ini adalah mekanisme yang diajukan

untuk menerangkan meningkatnya risiko ketuban pecah dini. Kadmium,

yang terhirup melalui asap rokok, masuk ke cairan amnion dan akan

bekerja pada sel epitel amnion untuk menginduksi pembentukan

metalotionein dalam jumlah besar. Akibatnya, terjadi defisiensi Cu2+, yang

membatasi aktivitas lisil oksidase dan, akhirnya, menghambat

kemampuan sel mesenkim untuk membentuk kolagen.

McLaren dan rekan (1999) serta McParland dan rekan (2000) berhasil

mengidentifikasi perubahanperubahan khas dalam morfologi membran

janin pada lokasi ruptur. Mereka mendapatkan bahwa modifikasi dalam

diferensiasi sel di korion laeve pada lokasi spesifik ini mungkin

melemahkan membran janin. Masih belum diketahui apakah perubahan-

perubahan ini melibatkan kandungan kolagen interstisial.

FUNGS1 METABOLIK. Amnion jelas lebih dari sekedar membran

avaskular yang berfungsi menampung cairan amnion. Membran ini aktif

secara metabolis, terlibat dalam transport air dan zat terlarut untuk

mempertahankan homeostasis cairan amnion, dan menghasilkan berbaga

senyawa bioaktif menarik, termasuk peptida vasoaktif, faktor pertum-

buhan, dan sitokin.

PEPTIDA VASOAKTIF Sejumlah peneliti telah membuktikan bahwa

amnion memiliki kemampuan untuk mensintesis vasokonstriktor endotelin-

1 serta vasorelaksan parathyroid hormone-related protein (Cassey dkk.,

1991, 1992; Germain dkk., 1992). Epitel amnion juga menghasilkan

peptida natriuretik otak (BNP) dan corticotropin-releasing hormone (CRH).

dan kedua peptida ini juga merupakan pelumpuh otot polos (Itoh dkk.,

1993,1994; Riley dkk., 1991; Warren dan Silverman, 1995). Dengan

demikian, peptida vasoaktif yang diproduksi di amnion dapat memperoleh

akses ke tunika adventisia pembuluh korion. Temuan-temuan ini

mengisyaratkan bahwa amnion plasenta mungkin terlibat dalam proses

modulasi tones dan aliran darah di pembuluh korion.

Peptida vasoaktif amnion juga berfungsi di jaringan lain pada beragam

proses fisiologis, termasuk peningkatan replikasi sel dan metabolisme kal-

sium. Setelah disekresikan dari amnion, zat-zat bioaktif ini dapat masuk ke

cairan amnion sehingga tersedia bagi janin melalui proses menelan dan

gerakan toraks janin.

CAIRAN AMNION. Cairan yang normalnya jernih dan menumpuk di dalam

rongga amnion ini akan meningkat jumlahnya seiring dengan

perkembangan kehamilan sampai menjelang aterm, saat terjadi

penurunan volume cairan amnion pada banyak kehamilan normal. Pada

kehamilan aterm rata-rata terdapat 1000 ml cairan amnion, walaupun

jumlah ini dapat sangat bervariasi dari beberapa mililiter sampai beberapa

liter pada keadaan abnormal (oligohidramnion dan polihidramnion atau

hidramnion). Asal, komposisi, sirkulasi, dan fungsi cairan amnion dibahas

lebih lanjut pada Bab 11 dan 31.

TALI PUSAT DAN STRUKTUR TERKAIT PERKEMBANGAN. Yolk sac

dan vesikel umbilikalis (yang berasal dari yolk sac) merupakan struktur

yang cukup menonjol pada awal kehamilan. Pada awalnya, mudigah

adalah suatu lempeng datar yang terletak di antara amnion dan yolk sac

(Gambar 5-6). Karena permukaan dorsal tumbuh lebih cepat daripada

permukaan ventral, disertai memanjangnya neural tube, maka mudigah

menonjol ke dalam kantung amnion dan bagian dorsal yolk sac bergabung

ke badan mudigah untuk membentuk usus. Alantois menonjol ke dalam

pangkal tangkai tubuh dari dinding kaudal yolk sac atau, pada tahap se-

lanjutnya, dari dinding anterior usus belakang (hindgut).

Seiring dengan berkembangnya kehamilan, yolk sac menjadi semakin

kecil dan pedikulusnya relatif lebih panjang. Pada sekitar bulan ketiga,

amnion yang membesar menyebabkan eksoselom lenyap, menyatu

dengan korion laeve, dan menutupi lempeng plasenta yang menonjol dan

permukaan lateral tangkai tubuh, yang kemudian disebut korda umbilikalis

(tali pusat) atau funis. Sisa-sisa eksoselom di bagian anterior tali pusat

mungkin mengandung gulungan usus, yang terns berkembang di luar mu-

digah. Walaupun lengkung usus ini kemudian ditarik masuk, apeks usus

tengah tetap mempertahankan hubungannya dengan duktus vitelinus

yang sudah mengecil. Duktus berakhir di suatu kantung kisut yang sangat

vaskular dengan garis tengah 3 sampai 5 cm dan terletak di permukaan

plasenta antara amnion dan korion atau di membran tepat di luar batas

plasenta, tempat duktus ini kadang-kadang dapat terlihat saat aterm.

Tali pusat aterm pada keadaan normal memiliki dua arteri dan satu vena.

Vena umbilikalis kanan biasanya lenyap pada awal perkembangan janin,

sehingga yang tertinggal hanya vena kiri. Potongan di semua bagian tali

pusat biasanya memperlihatkan duktus vesikel umbilikalis yang kecil dan

berada di tengah serta dilapisi oleh satu lapisan sel epitel gepeng atau

kuboid. Pada potongan tepat setelah umbilikus, tetapi bukan di ujung

maternal tali pusat, kadang-kadang ditemukan duktus lain yang

merupakan sisa alantois. Bagian duktusvesikel umbilikalis yang terletak

intraabdomen, yang berjalan dari umbilikus ke usus, biasanya atrofik dan

lenyap, tetapi kadang-kadang tetap paten dan membentuk divertikulum

Meckeli. Anomali vaskular yang paling sering ditemukan adalah tidak ada-

nya satu arteri umbilikalis (Bab 32, hal. 926).

STRUKTUR DAN FUNGSI. Tali pusat, atau funis, berjalan dari umbilikus

janin ke permukaan fetal plasenta atau lempeng korion. Tampak luarnya

berwarna putih pucat, lembab, dan ditutupi oleh amnion, dan ketiga-

pembuluh. umbilikus dapat terlihat dari sini. Garis tengah tali pusat adalah

0,8 sampai 2,0 cm dengan panjang .rata-rata 55 cm dan rentang 30

sampai 100 cm. Secara umum panjang tali pusat yang kurang dari 30 cm

dianggap pendek secara abnormal (Benirschke dan Kauffman, 2000).

Berlipat dan berkelok-keloknya pembuluh, yang

GAMBAR 5-18. Potongan melintang tali pusat yang difiksasi setelah pembuluh darah dikosongkan. Vena umbilikalis, yang membawa darah teroksigenasi ke janin, terletak di tengah; di kedua sisi terdapat dua arteri umbilikalis yang membawa darah terdeoksigenasi dari janin ke plasenta. (Dari Reynolds, 1954).

lebih panjang daripada tali pusat itu sendiri, sering menyebabkan

gambaran nodular (atau simpul palsu) di permukaan tali pusat; hal ini

pada dasarnya adalah suatu varises. Matriks ekstrasel, yaitu suatu

jaringan ikat khusus, terdiri dari jeli Wharton (Gambar 5-18 dan 5-19).

Setelah fiksasi, pembuluh

Gambar 5-19. Potongan melintang tali pusat yang sama dengan yang diperlihatkan pada gambar 5-18 tetapi melalui sebuah segmen yang pembuluh darahnya belum dikosongkan. Foto ini mencerminkan keadaan in utero secara lebih akurat. (dari Reynolds, 1954)

umbilikus tampak kosong, tetapi Gambar 5-19 lebih jelas menggambarkan

keadaan in vivo, yang pembuluhnya tetap mengandung darah. Diameter

kedua arteri lebih kecil daripada diameter vena. Apabila difiksasi dalam

keadaan teregang normal, arteri umbilikalis memperlihatkan adanya

lipatan intima transversal (lipatan Hoboken) pada beberapa bagian lumen

(Chacko dan Reynolds, 1954). Mesoderm tali pusat, yang berasal dari

alantois, berfusi dengan mesoderm amnion.

Darah mengalir dari vena umbilikalis melalui dua rute—duktus venosus,

yang langsung mengosongkan isinya ke vena kava inferior, dan saluran-

saluran kecil ke sirkulasi hati janin—dan kemudian ke dalam vena kava

inferior melalui vena hepatika. Pada rute-rute alternatif ini, darah berjalan

melalui saluran yang resistensinya paling rendah. Resistensi di duktus

venosus dikendalikan oleh sebuah sfingter yang terletak di pangkal duktus

pada resesus umbilikalis dan dipersarafi oleh cabang saraf vagus.

Secara anatomis, tali pusat dapat dianggap sebagai suatu membran janin.

Pembuluh-pembuluh yang terdapat di tali pusat mempunyai ciri bentuknya

spiral atau terpuntir. Bentuk spiral ini mungkin searah jarum jam (dekstral)

atau berlawanan dengan jarum jam (sinistral). Spiral yang berlawanan de-

ngan arah jarum jam terdapat pada 50 sampai 90 persen kasus.

Diperkirakan bahwa pembentukan spiral ini bertujuan untuk mengurangi

kemungkinan “kusut”, yang terjadi pada semua silinder berongga yang

mengalami torsio. Boyd dan Hamilton (1970) mencatat bahwa puntiran-

puntiran ini sebenarnya bukan spiral sejati, tetapi lebih berupa heliks

silindris yang mempertahankan kelengkungan tertentu pada jarak yang

sama dari aksis sentral. Benirshcke dan Kauffman (2000) melaporkan

bahwa rata-rata heliks pada tali pusat berjumlah 11.