Plant Survey Debu
-
Upload
vina-subaidi -
Category
Documents
-
view
376 -
download
0
Transcript of Plant Survey Debu
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, peningkatan ini
sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi negara. Dengan majunya industri maka terbukalah
lapangan kerja buat masyarakat, daerah di sekitar perindustrian juga berkembang dalam
bidang sarana transportasi, komunikasi, perdagangan dan bidang lain. Semua hal ini akan
meningkatkan taraf ekonomi dan sosial masyarakat. Di lain pihak kemajuan ekonomi
perangsang timbulnya industri baru yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas.1
Meskipun perkembangan industri yang pesat dapat meningkatkan taraf hidup, tetapi
berbagai dampak negatif juga bisa terjadi pada masyarakat. Salah satu dampak negatif adalah
terhadap paru para pekerja dan masyarakat di sekitar daerah perindustrian. Hal ini disebabkan
pencemaran udara akibat proses pengolahan atau hasil industri tersebut. Berbagai zat dapat
mencemani udara seperti debu batubara, semen, kapas, asbes, zat-zat kimia, gas beracun, dan
lain-lain.1
Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang
kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu
dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan daya dukungan bagi
mahluk hidup untuk hidup secara optimal.2
Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu
mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan Pembangunan Kesehatan
Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari
sepuluh program unggulan.2
Debu di sekitar tempat kerja yang berasal dari pabrik industri, misalnya, dapat
menyebabkan sesak nafas hingga sakit pernafasan atau penyakit paru yang serius. Penyakit
paru ini termasuk penyakit yang banyak diderita masyarakat kita. Ada beberapa jenis debu
yang di antaranya bisa menyebabkan penyakit pernafasan atau paru. Yakni debu organik dan
anorganik.3
Banyak jenis debu yang secara tidak sengaja terhirup oleh para pekerja pabrik. Debu ini
lama kelamaan merusak paru dan menimbulkan apa yang disebut dengan penyakit paru kerja,
dan tergantung dari jenis debunya, maka nama penyakit disesuaikan dengan bahan
penyebabnya antara lain seperti asbestosis, byssinosis, silikosis atau lainnya.3
Debu organik dapat menyebabkan penyakit pernafasan. Ini karena kepekaan dari
saluran nafas bagian bawah terutama alveoli terhadap debu meningkat. Kepekaan inilah yang
mengakibatkan penyempitan saluran nafas, hingga dapat menghambat aliran udara yang
keluar masuk paru dan akibatnya sesak nafas.3
Banyak jenis debu organik dihasilkan oleh industri tekstil mulai dari proses awal yakni
pembuatan biji kapas sampai penenunan. Waktu untuk timbulnya penyakit ini cukup lama.
Waktu yang terpendek adalah 5 tahun. Berdasarkan penelitian, angka kesakitan bisa
mencapai 60% dan angka tertinggi terjadi pada mereka yang bekerja di bagian pemintalan.3
Debu anorganik bila terhirup dalam jumlah banyak dapat menimbulkan gangguan paru
pula. Debu ini banyak menyerang para pekerja di pabrik semen, asbes, keramik, tambang
emas atau besi. Debu ini mengandung partikel-partikel besi, timah putih, asbes dan lainnya.
Kemampuan debu untuk bisa masuk ke dalam paru tergantung dari besar kecilnya partikel
tersebut.3
Bila partikel debu yang masuk ke dalam paru berukuran diameter 5-10 µ, ia akan
tertahan dan melekat pada dinding saluran pernafasan bagian atas. Sedangkan yang berukuran
3-5 µ akan masuk lebih dalam dan tertimbun pada saluran nafas bagian tengah. Partikel debu
berukuran 1-3 µ akan masuk lebih dalam lagi sampai ke alveoli dan mengendap. Sedangkan
yang ukurannya lebih kecil dari 1 µ tidak mengendap di alveoli karena teramat ringan dan
terpengaruh adanya peredaran udara.3
Melihat kenyataan di atas, tidak boleh menganggap sepele terhadap debu. Untuk
mencegah dan mengurangi risiko bahayanya, perlu dipikirkan aspek higiene di tempat kerja.3
1.2 Masalah
Terdapatnya bahaya potensial yang dapat mengganggu kesehatan pekerja yang
bekerja di PT. Bina Busana Internusa.
1.3 Tujuan
1.3.1.Tujuan Umum
Diketahui dan dipahaminya kinerja program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
di PT. Bina Busana Internusa.
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Diketahuinya alur produksi di PT. Bina Busana Internusa.
2. Diketahuinya bahaya potensial yang dominan dan resiko kecelakaan kerja di PT.
Bina Busana Internusa.
3. Diketahuinya masalah akibat debu kain di lingkungan kerja PT. Bina Busana
Internusa.
4. Diketahuinya masalah dalam pelaksanaan program Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) di PT. Bina Busana Internusa.
5. Diketahuinya usaha-usaha yang telah dilakukan oleh perusahaan dalam mengatasi
masalah yang ada akibat bahaya potensial debu kain yang didapatkan di PT. Bina
Busana Internusa.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Mahasiswa
1. Meningkatkan pengetahuan mengenai kedokteran kerja.
2. Mengetahui masalah bahaya potensial di lingkungan kerja dan penggunaan alat
pelindung diri.
1.4.2 Manfaat bagi Perusahaan
Memperoleh masukan yang dapat dimanfaatkan bagi program pencegahan timbulnya
kecelakaan atau gangguan akibat bahaya potensial debu kain di lingkungan kerja.
1.4.3 Manfaat bagi Universitas
1. Sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” dalam pengabdian dalam masyarakat.
2. Meningkatkan saling pengertian dan kerja sama antara mahasiswa, staf pengajar,
pimpinan fakultas dan universitas.
1.5. Metodologi
Penilaian dilakukan dengan metode observasional deskriptif.
BAB II
HASIL KUNJUNGAN
2.1. Profil Perusahaan
Berdiri : 10 november 1989
Produk : mens shirt
: hospital uniform
: office uniform
: working uniform
Lokasi : Pabrik I
Kawasan Berikat Nusantara Jl. Madura III Blok D No. 19A
Cakung, Cilincing, Jakarta 14140 Indonesia
: Pabrik II
Jl. Pulo Buaran II blok Q No. 1
Pulogadung, Jakarta 13920, Indonesia
Luas wilayah : Pabrik I : 5.400 m2
Pabrik II : 1.680 m2
Telepon : Pabrik I : 021-440308
: Pabrik II : 021-46820820
Fax : Pabrik I : 021-46820820
: Pabrik II : 021-4626086
Kapasitas / tahun : Pabrik I : 18 lajur = 1.920.000 potong / tahun
: Pabrik II : 8 lajur = 840.000 potong / tahun
Pekerja : Pabrik I : 984 orang
: Pabrik II : 582 orang
: Penjual II : 582 orang
: Penjualan : 399 orang
: Administrasi : 59 orang
Pasar : Jepang
: Inggris
: Pasar Lokal
Pembeli : Nagai, Cosalt, departement store, institusi
(Sumber kunjungan lapangan di PT BBI dan Wawancara dengan Manager Human Resource
Departement serta company profile PT BBI)
2.2. Gambaran Umum
2.2.1. Sejarah Singkat Perusahaan
Pada tanggal 16 oktober 1989 berdiri PT Mitracorp Pasifik Nusantara, yang
merupakan head office dari beberapa anak perusahaan, diantaranya adalah PT Bina Busana
Internusa dan PT Kharismitra Sukses. PT Bina Busana Internusa berdiri pada tanggal 10
november 1989, yang memproduksi kemeja Valino dan produksi garmen lainnya. PT
Kharismitra Sukses berdiri pada tanggal 6 april 1990 dan bergerak sebagai marketing dan
distribution kemeja Valino.
Pada tanggal 2 januari 1997 PT Bina Busana Internusa dan PT Kharismitra Sukses
digabungkan menjadi PT Bina Busana Internusa, PT Bina Busana Internusa memiliki 2 buah
pabrik.
PT Bina Busana Internusa I
Lokasi : jl. Madura III Blok D No. 19A kawasan berikut Nusantara Cakung Cilincing
Jakarta 14140, Indonesia.
Pada saat ini PT Bina Busana Internusa I memproduksi seragam rumah sakit yang di
pesan oleh Nagai Leben Jepang dan pakaian kerja oleh Cosalt Inggris, space yang
dipergunakan untuk lokasi ini adalah 5.400 m2, dengan kapasitas produksi 18 line dan
menghasilkan 1.920.000 pieces pertahun mempekerjakan sebanyak 984 orang untuk
bagan produksi, 3 orang bagian marketing dan 3 orang untuk tenaga administrasi. Untuk
sementara ini PT BBI I hanya menerima pesanan dari Nagai Leben dan Cosalt Inggris
serta beberapa pekerjaan yang bersifat subkontraktor.
PT Bina Busana Internusa II
Lokasi : Jl. Pulo Buaran II Blok Q No. I Kawasan Industri Pulo Gadung, Pulo Gadung
Jakarta 13920, Indonesia
PT Bina Busana Internusa II memproduksi kemeja Valino, Harry Martin, Cristian
Kent, Vissuto, Sierra Morena, Compagnon, dan Bergamo. Kemudian di distribusikan ke
departement store yang ada di seluruh Indonesia. Untuk sementara ini counter Valino
memiliki 133 outlet, Harry Martin 154 outlet, Christian Kent 17 outlet, Vissuto 12 outlet,
Sierra Morena 59 outlet, Compagnon 30 outlet, dan Bergamo 8 outlet. Luas untuk lokasi
ini adalah 1.680 m2. Kapasitas produksi mempunyai 8 line serta dapat memproduksi
sekitar 840.000 pieces pertahun. Mempekerjakan sebanyak 582 untuk bagian produksi,
601 orang bagian marketing, dan 61 orang untuk tenaga administrasi, untuk sementara ini
kemeja yang di produksi oleh PT BBI II hanya didistribusikan ke departement store dan
institusional.
2.2.2. Falsafah Perusahaan
Komitmen PT Bina Internusa adalah memberikan pelayanan terbaik kepada
pelanggan. Selain itu juga mempunyai visi ke depan sebagai perusahaan yang memimpin
produksi kemeja formal pria di tahun 2015, dengan tekad menjadi yang terbaik dan terbesar
sebagai produsen kemeja yang berstandar internasional. Gabungan antara pelayanan yang
handal, profesionalisme, teknologi serta didukung oleh pengelolaan usaha serta pemasaran
yang mengena pada sasaran.
PT Bina Busana Internusa mendukung sepenuhnya pembangunan di Indonesia dengan
memberikan pelayanan terbaik serta menghasilkan produk yang bermutu tinggi, PT Bina
Busana Internusa berusaha meningkatkan citra sebagai perusahaan yang bergerak di bidang
garmen yang terkemuka dengan memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Sesuai
dengan motto perusahaan “Menjadi No. I dengan Memberikan Pelayanan yang Terbaik
Kepada Pelanggan dan Pelanggan Adalah Aset Perusahaan “.
Untuk mewujudkan PT Bina Busana Internusa akan memperbanyak produknya yang
banyak di jual di seluruh Indonesia. Pada saat ini produksi kemeja yang dihasilkan oleh PT
Bina Busana Internusa adalah : Valino, Harry Martin, Christian Kent, Vissuto, Sierra
Morena, Compagnon, dan Bergamo. Banyaknya produk kemeja yang diproduksi oleh PT
Bina Busana Internusa dengan demikian kebutuhan kemeja yang diinginkan oleh konsumen
dari seluruh lapisan masyarakat akan terpenuhi.
2.2.3. Alur Poduksi
Adapun alur produksi dari PT. Bina Busana Interusa adalah sebagai berikut :
1. Pembuatan Sampel
Alur produksi PT. Bina Busana Interusa dimulai dengan pembuatan sampel. Sampel
berupa model pakaian diajukan ke design product developer. Jika disetujui, sampel
tersebut akan dibuatkan pola dan modelnya.
2. Pemesanan Bahan
Melalui bagian marketing, PT. BBI memesan bahan dalam jumlah yang telah ditentukan
ke host yang selanjutnya bahan yang telah datang disimpan di gudang penyimpanan. Di
dalam gudang terasa panas dengan ventilasi yang kurang.
3. Inspeksi Bahan
Inspeksi dilakukan di gudang penyimpanan. Bahan harus memenuhi 28 persyaratan untuk
memenuhi standar. Jika ditemukan cacat pada bahan maka akan ditandai dengan stiker
tanda panah merah. Petugas pada tahap ini berjumlah tiga orang. Sarana yang digunakan
adalah meja dengan tinggi kurang lebih 1 meter dengan kemiringan 45°. Bahan yang akan
diperiksa ditaruh diatas meja yang secara otomatis bahan akan melewati meja dan
tergulung kembali. Pekerja menginspeksi bahan secara seksama untuk melihat adanya
cacat. Hal ini dilakukan dalam waktu yang singkat dan berulang-ulang sehingga akan
terdapat gerakan bola mata yang repetitif. Pekerja melakukan inspeksi dalam posisi
berdiri tegak dengan pencahayaan bersumber dari lampu neon 40 watt yang ada dibalik
meja dan ruangan. Setelah bahan melewati proses inspeksi, kemudian bahan yang
memenuhi syarat akan masuk ke dalam proses produksi.
4. Proses Pembuatan Pola
Proses pembuatan pola dilakukan oleh 12 pekerja. Enam pekerja membentuk pola bahan
dengan pensil dan penggaris secara manual sesuai model pakaian yang akan diproduksi.
Kegiatan ini dilakukan dengan posisi duduk dan berdiri. Enam pekerja lainnya
menggunakan mesin jahin dalam posisi duduk tanpa sandaran.
5. Cutting
Proses selanjutnya adalah cutting dan marker. Area pemotongan ini mengharuskan
seluruh pekerjanya menggunakan masker, namun ada beberapa pekerja yang tidak
memakainya. Proses cutting menggunakan mesin cutting, dimana alat cukup tajam dan
pekerja melakukan proses ini dengan cepat dan repetitif. Pekerja dilengkapi sarung tangan
dari bahan stainless yang digunakan pada tangan kiri. Proses cutting terbagi mejadi dua
macam, yaitu untuk kain polos dan bermotif.
a. Bila bahan polos langsung menuju proses numbering
b. Bila bahan bermotif, maka akan melalui proses matching dan numbering
6. Proses Pembuatan Manset dan Interlining
Pada proses ini, dilakukan pemotongan dengan mesin berat. Kemudian dilakukan pressing
dengan menggunakan mesin yang mengeluarkan panas. Mesin yang berat tersebut
dijalankan oleh pekerja laki-laki dengan posisi berdiri terus menerus, kepala dan badan
menunduk sekitar 20° dengan alat pelindung diri berupa sarung tangan stainless.
Proses interlining adalah proses pembuatan kerah dimana kain yang telah dipotong
ditempelkan dengan bahan yang keras untuk membentuk kerah. Proses selanjutnya adalah
merekatkan kedua bahan tersebut. Proses perekatan pertama dilakukan dengan solder di
beberapa titik kemudian disetrika dan terakhir direkatkan secara permanen dengan
pressing machine yang menggunakan panas yang tinggi.
7. Proses Sewing
Proses sewing dilakukan dengan menggunakan mesin jahit biasa. Pada proses penjahitan
terdapat dua macam proses, yaitu front back dan assembling. Pada proses front back
dilakukan penjahitan untuk keperluan aksesoris seperti pembuatan kantong kemeja.
Kemudian pada proses assembling dilakukan penjahitan untuk menyatukan pakaian
dengan komponen lainnya. Penjahit bekerja dengan posisi duduk membungkuk dengan
kursi tanpa sandaran. Untuk mengatur kesesuaian antara tinggi meja dan kursi agar
menghasilkan posisi yang ergonomis, terdapat alat pengatur ketinggian pada meja jahit
dan kursi yang terlalu pendek disambung dibagian terbawah kaki kursi. Pekerja
menggunakan seragam berupa kain berbahan katun yang cukup menyerap keringat,
ditambah penutup kepala, apron dan masker, mesin jahit juga dilengkapi dengan needle
gate untuk melindungi tangan dari tusukan jarum. Pada proses ini juga dilakukan
pembersihan bahan yang terdapat noda dengan menggunakan etanol dan benzen yang
disemprotkan, alat semprot menghasilkan bising, sehingga pekerja dilengkapi dengan alat
penutup telinga.
8. Proses Finishing dengan Mesin Kebut
Setelah pakaian selesai dijahit, kemudian dilakukan pembersihan baju dari sisa-sisa
benang dengan menggunakan mesin kebut, yaitu berupa boks dengan ukuran 75 x 100
cm. Mesin tersebut dapat menarik sisa debu dan benang. Pakaian dimasukkan ke dalam
mesin dan ditahan oleh kedua tangan pekerja tersebut. Mesin kebut menghasilkan bising
sehingga pekerja dilengkapi dengan alat penutup telinga.
9. Proses Ironing
Proses ironing dilakukan dengan setrika listrik. Sarana yang digunakan adalah meja
setrika ukuran 60 x 100 cm dengan jarak antar pekerja kurang lebih 1 meter.
10. Proses Packing
Pakaian yang telah disetrika kemudian dilipat dan dimasukkan kedalam polybag, kemudia
pakaian yang telah dibungkus dimasukkan kedalam kardus besar.
11. Quality Control
Sebelum pengiriman beberapa kardus akan diambil secara random untuk dilakukan
pengecekan ulang.
Diagram 1 Alur Produksi
2.3. Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja di PT BBI II
2.3.1 Program kesehatan Kerja
Perusahaan memiliki sebuah klinik yang terletak di dalam pabrik. Klinik perusahaan
memberikan pelayanan mulai dari hari senin, rabu dan jumat. Klinik ini melayani pengobatan
biasa dan kecelakaan kerja kepada para pekerja. Pelayanan dilakukan selama jam kerja. Di
luar jam kerja poliklinik, pelayanan kesehatan bagi pekerja hanya berupa penyediaan obat-
obatan simptomatik yang dipegang oleh line manager. Bila diperlukan tatalaksana lanjutan
kecelakaan kerja, pekerjaan dirujuk ke RS dengan surat pengantar. Perusahaan bekerjasama
dengan RS Mediros dan RS St. Carolus sehingga jika pekerja berobat ke kedua rumah sakit
tersebut, biaya pengobatan pekerja akan di tanggung oleh perusahaan sesuai dengan
golongan/pangkat. Sementara jika pasien dibawa ke RS lain seperti RS Persahabatan yang
letaknya tidak jauh dari pabrik maka penggantian biaya diberlakukan melalui sistem
reimbursment yaitu biaya di tanggung dahulu oleh karyawan, yang kemudian diganti oleh
perusahaan. Untuk kasus gawat darurat yang terjadi di pabrik, pertama-tama keadaan umum
pasien pasien distabilkan terlebih dahulu kemudian dirujuk ke rumah sakit rujukan.
Pada saat kunjungan dilakukan, klinik sedang beroperasi. Di klinik terdapat data-data
penyakit dan data jumlah kunjungan pekerja ke poliklinik serta data kecelakaan kerja. Klinik
Pembuatan sampel
Pemesanan bahan
Inspeksi bahan
Pembuatan polaCutting
Pembuatan manset dan interlining
sewing Finishing
Ironing Packing
Quality control
perusaan dijalankan oleh seorang dokter umum yang datang dua hari sekali dengan jam kerja
08.00-12.00 dan setiap hari ada satu perawat yang bertugas.
Program klinik perusahaan meliputi juga pemeriksaan kesehatan setiap enam bulan
berupa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin dan
kimia darah serta pemeriksaan penunjang lain seperti rontgent thoraks, dan pemeriksaan
elektrokardiografi. Pemeriksaan kesehatan telinga dengan alat khusus (audiometri dan
otoskop) tidak dilakukan.
Kantin perusahaan ada dua buah. Namun untuk makan siang pekerja perusahaan
menggunakan sistem katering yang dibayar oleh perusahaan. Menu pekerja tergantung pihak
katering yang berupa makanan pokok. Untuk pekerja yang lembur tidak mendapatkan
makanan tambahan. Untuk air minum pekerja disediakan dispenser di beberapa tempat.
Salah satu kekurangan yang ditemukan adalah perusahaan belum memiliki data
penyakit tersering yang terjadi di perusahaan. Di samping itu, tidak terdapat sistem pelaporan
kesehatan pekerja, yang ada hanyalah laporan jumlah kunjungan pekerja ke klinik
perusahaan. Asuransi kesehatan juga tidak disediakan oleh pihak perusahaan bagi para
pekerjanya. Selain itu, program-program kesehatan kerja belum dilaksanakan oleh
perusahaan.
2.3.2 Sanitasi dan Lingkungan
PT BBI merupakan suatu kompleks bangunan yang terdiri dari 1 bangunan utama, 1
bangunan tempat produksi, dan 1 gudang penyimpanan yang terpisah dari 2 bangunan
sebelumnya (dipisahkan oleh jalan umum). Pada bangunan utama terdapat kantor yang
mengurusi administrasi dan marketing, factory outlet, dan tempat ibadah. Bangunan utama ini
cukup tertata rapi dan bersih serta sebagian besar ruangan menggunakan air conditioner.
Sementara bangunan tempat produksi merupakan bangunan lantai 2 dimana selain terdapat
ruangan tempat berlangsungnya proses produksi, juga terdapat klinik (di lantai 2), dan kantin
(di lantai 1). Kesan kebersihan pada keseluruhan ruangan tempat produksi cukup baik. Alat-
alat produksi di bangunan produksi lantai 1 tertata dengan cukup rapi dengan ruang gerak
pekerja yang cukup leluasa (kurang lebih 1 meter).
Hal ini disebabkan karena jumlah pekerja di ruangan ini relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah pekerja di lantai 2. Sementara itu, alat-alat produksi di lantai 2
walau tersusun rapi cukup rapi namun jarak antara alat cukup dekat (kurang lebih setengah
meter) sehingga ruang gerak pekerja agak terbatas. Lingkungan di sekitar kompleks
bangunan utama dan bangunan tempat produksi cukup bersih. Pada halaman sekitar terdapat
taman kecil yang bersih.
Perusahaan menyediakan fasilitas toilet di kedua lantai produksi, masing-masing
terdiri dari dua toilet besar laki-laki dan dua toilet perempuan. Setiap toilet berukuran 1x 1,5
x 2 m. Masing-masing toilet besar terdiri dari 3 ruangan. Toilet tersebut terlihat kurang bersih
dan terkesan kurang terurus. Dinding toilet dilapisi keramik. Jumlah kakus dalam toilet laki-
laki adalah tiga jamban, dan di dalam toilet perempuan terdapat tiga jamban. Penerangan dan
pertukaran udara dalam toilet cukup baik. Lantai dan dinding toilet terlihat bersih, pintu
jamban dapat dibuka-tutup dengan mudah. Terdapat satu wastafel di tiap toilet. Data
mengenai septic tank tidak diketahui. Di gudang tempat penyimpanan kain, toilet juga
berfungsi sebagai tempat untuk mencuci kain untuk melihat apakah kain ini lintur atau tidak.
Di gudang, tidak terdapat perbedaan antara toilet laki-laki dan perempuan.
Pertukaran udara di dalam bangunan pabrik secara keseluruhan masih kurang. Langit-
langit bangunan pabrik cukup tinggi, namun jumlah exhaust fan masih kurang yaitu 6 buah
setiap lantai (diameter 30 cm) untuk ruangan yang berukuran kurang lebih 60 x 20 m 2. Pihak
perusahaan juga menyediakan fasilitas air minum melalui “dispenser” (berisi guci keramik)
yang tersedia di beberapa sudut ruangan yang terdiri dari 2 buah di setiap lantai. Galon
tampak kurang bersih dan gelas minum bersih yang tersedia sedikit.
Sarana penerangan di dalam ruangan pada siang hari berupa bagian langit-langit yang
transparan sehingga memungkinkan masuknya cahaya matahari. Selain itu juga disediakan
lampu-lampu meskipun hanya dinyalakan sebagian dengan mempertimbangkan efektivitas
biaya. Jumlah lampu yang ada cukup banyak, namun penerangan pada malam hari tidak
dapat kami nilai karena kunjungan dilakukan pada siang hari.
2.3.3 Bahaya faktor resiko
2.3.3.1. Inspeksi bahan
Pada bagian ini terdapat berbagai bahaya potensial yang dapat timbul, baik dari segi
fisik, kimia, ergonomi, maupun psikologis. Yang pertama adalah bahaya potensial dari debu,
baik debu yang berada di dalam ruangan maupun debu bahan. Debu yang berasal dari bahan
berupa debu kain alami (bahan katun) dan debu sintetik (polyester). Bahaya fisik lain adalah
cahaya berlebih dari lampu neon TL 40 watt yang dapat menyilau mata. Kondisi gudang yang
kurang ventilasi juga menyebabkan terbatasnya sirkulasi udara bagi para pekerja di tempat
ini.
Bahaya potensial kimia berasal dari zat kimia dari bahan baku berupa formaldehid
yang berasal dari bahan baku. Sedangkan dari segi ergonomi, bahaya potensial yang ada
diakibatkan oleh posisi pekerja yang berdiri lama dengan posisi kepala menengadah dan
menunduk yang lama, gerakan repetitif bola mata dn gerakan fokus bola mata yang cukup
lama dalam mengamati bahan. Dari segi psikologis didapatkan bahaya stress dan kebosanan
karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan muskuloskeletal (seperti
Low Back Pain), dehidrasi, ISPA, sefalgia, dispepsia, gangguan penglihatan berupa
penurunan visus dan kelelahan otot mata dan varises tungkai. Resiko kecelakaan kerja berupa
tangan terjepit mesin inspeksi atau tersengat listrik mesin. Upaya yang harusnya dilakukan
dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker penutup kepala,
meskipun tidak semua pekerja menggunakannya. Peraturan yang terdapat di bagian ini
berupa standar operasional mesin. Fasilitas yang tersedia lamp neon TL 40 watt sebanyak 1
buah pada mesin inspeksi dan 20 buah di langit-langit, serta penyediaan sarana air minum.
2.3.3.2. Proses Cutting
Bagian cutting dikerjakan oleh 10 orang pekerja. Pada alur produksi ini, bahaya fisik
yang dapat terjadi berupa kebisingan dari mesin pemotong. Suara mesin pemotong dengan
frekuensi 84 dB dapat menyebabkan gangguan pendengaran berupa tinnitus maupun tuli
perseptif. Bahaya fisik lain berupa debu kain alami dan sintetik, sirkulasi udara terbatas,
vibrasi mesin cutting, dan listrik dari mesin pemotong. Bahaya kimia berasal dari pelarut
benzene yang digunakan sebagai pembersih jika ada noda pada kain. Bahaya dari ergonomi
yaitu posisi berdiri yang lama, posisi kepala yang menunduk lama, dan gerakan repetitif
memotong lkain. Sedangkan dari bahaya psikologis yang dapat timbul adalah stres dan
kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan muskoloskeletal
(termasuk upper dan low back pain), dehidrasi, ISPA, dispepsia, gangguan pendengaran,
varises tungkai, hiperkeratosis tangan dan dermatitis kontak iritan. Resiko kecelakaan kerja
yang mungkin terjadi adalah tangan terpotong, tangan terjepit gunting atau tangan tersengat
listrik mesin potong.
Upaya yang harus dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa masker, penutup kepala, penutup telinga, serta sarung tangan logam dan fasilitas
seperti kipas angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulais udara, lampu untuk
penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum.
Hal-hal yang sudah dilakukan di perusaan ini yaitu penggunaan alat pelindung diri
berupa masker dan sarung tangan yang terbuat dari logam. Semua pekerja menggunakan alat
pelindung diri ini. Peraturan yang terdapat di bagian ini berupa standar operasional mesin dan
kebijakan menggunakan alas kaki. Fasilitas yang tersedia berupa lampu TL 40 watt sebanyak
96 buah, exhaust fan diameter 30 cm (10 buah setiap lantai), kipas angin diameter 30 cm (10
buah setiap lantai), penyediaan sarana air minum (2 buah setiap lantai).
2.3.3.3. Proses Quality Control Pola
Bagian ini dikerjakan oleh 5 orang pekerja. Bahaya fisik yang dapat timbul berupa
debu alami dan sintetik. Bahaya ergonomi yang ada berupa posis berdiri lama, posisi
setengah membungkuk, gerakan repetitif tangan dalam membolak-balik bahan, dan gerakan
repetitif bola mata dalam mengamati bahan. Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi
adalah gangguan muskuloskeletal, low dan upper back pain, cefalgia, ulnar twist serta carpal
tunner syndrome, varises tungkai, dan hiperkeratosis tangan. Tidak ada resiko kecelakaan
kerja yang dapat terjadi pada tahap ini. Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini
adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker, dan hanya 1 orang yang tidak memakai
masker kain ini.
2.3.3.4. Proses Numbering
Bagian ini dikerjakan oleh 2 orang pekerja. Bahaya fisik yang ada berupa debu kain
alami dan sintetik. Dari segi ergonomi, bahaya yang timbul berasal dari posisi berdiri yang
lama, posisi kepala dan badan menunduk lama, dan gerakan repetitif tangan menempelkan
stiker angka. Dari segi psikologis, gangguan yang timbul berasal dari rasa bosan karena jam
kerja yang lama tanpa ganti shift, dan dapat timbul stres. Gangguan kesehatan yang mungkin
terjadi adalah gangguan muskuloskeletal, upper and low back pain, ulnar twist serta carpal
tunnel syndrome dan gangguan pengelihatan berupa kelelahan mata.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa masker dan sarung tangan kain, dan para penkerja sudah menggunakannya. Fasilitas
yang tersedia sudah berupa TL 40 watt sebanyak 96 buah, exhaust fan diameter 30 cm (10
buah setiap lantai), penyediaan sarana air minum (2 buah setiap lantai).
2.3.3.5. Proses Pembuatan Manset
Bagian ini dikerjakan oleh 5 orang pekerja. Bahaya potensial fisika berasal dari
vibrasi mesin pembuat manset, cahaya yang kurang terang, aliran listrik, dan sirkulasi udara
yang kurang terbatas. Dari segi ergonomi, bahaya yang timbul berasal dari posisi duduk lama,
posisi kepala menunduk lama, gerakan repetitif mendorong dan menarik tangan, dan ruang
gerak yang sempit. Dari segi psikologi dapat timbul stres dan rasa bosan karena jam kerja
yang lama tanpa ganti shift.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan musculoskeletal,
dehidrasi, low dan upper back pain, dan kelelahan otot mata. Resiko kecelakaan kerja yang
mungkin terjadi berupa tangan tergores atau terjepit mesin pembuat manset, atau tersengat
listrik mesin pembuat manset.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa masker, serta sarung tangan logam dan fasilitas seperti kipas angin atau exhaust fan
untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan penyediaan
sarana air minum. Hal- hal yang sudah dilakukan di perusahaan ini yaitu penggunaan alat
pelindung diri berupa masker dan sarung tangan yang terbuat adari logam. Peraturan yang
terdapat di bagian ini berupa standar operasional mesin. Fasilitas yang tersedia berupa TL 40
watt sebanyak 96 buah, exhaust fan diameter 30 cm (10 buah setiap lantai), kipas angin
dengan diameter 30 cm (10 buah setiap lantai), penyediaan sarana air minum (2 buah setiap
lantai).
2.3.3.6. Proses Pembuatan Interlining
Pembuatan interlining terdiri dari proses pembuatan pola kerah dengan mesin plong
(1 pekerja), perekatan sementara dengan solder (8 pekerja), dan penempelan kerah ke kain
bahan dengan mesin press (4 pekerja).
Proses pertama, yakni pembuatan pola kerah dengan mesin plong mempunyai
berbagai bahaya potensial yaitu fisika, ergonomi dan psikologi. Bahaya potensial fisika yaitu
debu dari kain berupa debu kain alami dan sintetik, sirkulasi udara yang terbatas, bising,
panas dan listrik dari mesin plong. Bahaya potensial ergonomi adalah posisi berdiri lama dan
setengah membungkuk, ruang gerak yang sempit, dan gerakan repetitif mengangkat benda
berat. Sedangkan bahaya potensial psikologi adalah stres akan bahaya yang mungkin timbul
dari mesin plong.
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan musculoskeletal akibat
posisi ergonomi yang salah, dehidrasi karena suasana yang panas disekitar mesin, gangguan
pendengaran karena bising yang dihasilkan oleh mesin plong, dan varises tungkai akibat
posisi berdiri yang lama selama bekerja. Kecelakaan kerja yang mungkin timbul adalah jari
dan tangan tergores, terjepit, terpotong, dan tesengat listrik mesin plong.
Proses berikutnya adalah perekatan sementara dengan solder. Proses ini memiliki
bahaya potensial yang serupa dengan proses sebelumnya. Bahaya potensial fisika berupa
panasdan listrik yang dihasilkan oleh alat solder. Bahaya potensial kimia adalah dari debu
kain alami dan sintetik. Bahaya potensial ergonomi adalah posisi berdiri lama, dan posisi
setangah membungkuk. Bahaya psikologi adalah stres akan bahaya yang ditimbulkan alat
solder. Berikutnya adalah proses penempelan kerah ke kain bahan dengan mesin press.
Bahaya potensial fisika adalah panas yang dihasilkan oleh mesin press yaitu sekitar 1600 C
dan listrik dari mesin press. Bahaya kimia berasal dari debu kain alami dan sintetik. Bahaya
potensial ergonomi adalah posisi berdiri lama, posisi setengah membungkuk, dan gerakan
repetitif memasukan dan mengambil kerah dari mesin press. Dan bahaya potensial psikologi
yang terjadi adalah stres akibat panas yang ditimbulkan mesin press dan bahaya mesin press.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa masker, penutup kepala, penutup telinga, dan fasilitas seperti kipas angin dan exhaust
fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan penyediaan
sarana air minum. Alat pelindung yang digunakan oleh pekerja adalah sarung tangan,
sebagian menggunakan masker. Dilingkungan sekitar pekerja terdapat Exhaust fan dengan
diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin diameter 30 cm sebanyak 10
buah setiap lantai, dan penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap lantai untuk
mengatasi dehidrasi. Kemudian terdapat standar operasional yang tertempel di mesin plong,
dan mesin press.
2.3.3.7. Proses Sewing
Proses sewing terdiri dari kurang lebih 100 pekerja. Proses ini memiliki bahaya
potensial fisika meliputi sirkulasi udara yang terbatas akibat banyaknya pekerja dan
kurangnya ventilasi, bising dan vibrasi yang berasal dari mesin jahit, debu kain alami dan
sintetik dan listrik dari mesin jahit. Bahaya potensial kimia berasal dari etanol dan pelarut
benzene. Bahaya potensial ergonomi yang ada adalah posisi duduk lama dengan posisi badan
setengah membungkuk, posisi kepala menunduk saat menjahit, gerakan repetitif kaki
menginak pedal mesin jahit, gerakan repetitif tangan menarik dan mendorong kain, dan posisi
jari tangan yang menekan selama menjahit karena memerlukan presisi yang baik, dan ruang
gerak yang terbatas. Sedangkan bahaya potensial psikologi yang dapat terjadi adalah stres
akibat tuntutan ketelitian dan konsentrasi yang tinggi.
Gangguan kesehatan yang dapat timbul adalah gangguan musculoskeletal, low back
pain, dehidrasi, carpal tunner syndrome, dermatitis kontak iritan dan kelelahan pada mata.
Resiko kecelakaan kerja yang dapat timbul berupa tangan tertusuk jarum mesin jahit, tangan
tersengat listrik dari mesin jahit dan terjatuh dari kursi.
Upaya yang harus dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa masker, penutup kepala, penutup telinga, dan fasilitas seperti kipas angin atau exhaust
fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan penyedia
sarana air minum. Alat pelindung diri yang di gunakan adalah masker dan penutup kepala
yang terbuat dari kain, namun sebagian kecil pekerja tidak menggunakan masker. Sarana
yang disediakan adalah exhaust fan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas
angin diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, dan penyediaan sarana air minum
sebanyak 2 buah setiap lantai. Selain itu terdapat standar operasional mesin ada dan tertempel
pada mesin dan terdapat aturan penjahitan merk pakaian.
2.3.3.8. Proses Finishing
Proses finishing dengan mesin kebut oleh 1 pekerja. Bahaya potensial fisika berupa
bising, vibrasi dan listrik dari mesin kebut, debu kain alami dan sintetik. Bahaya potensial
ergonomi berupa posisi berdiri lama, gerakan yang repetitif, dan posisi tangan terangkat 900.
Bahaya potensial psikologi dapat berupa kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti
shify. Gangguan kesehatan yang dapat timbul berupa gangguan musculoskeletal, dehidrasi,
low back pain, dan gangguan penglihatan berupa penurunan visus dan kelelahan mata. Resiko
kecelakaan kerja yang ada berupa tangan tersetrum listrik mesin kebut, dan tangan tertusuk
jarum.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pelindung diri berupa masker,
penutup kepala, penutup telinga, serta sarung tangan dan fasilitas seperti kipas angin atau
exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan
penyediaan sarana air minum. Sarana yang disediakan berupa exhaust fan diameter 30 cm
sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin dengan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap
lantai, penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap lantai. Terdapat standar
operasional untuk mengoperasikan mesin kebut.
2.3.3.9. Proses Quality Control Pakaian Jadi
Proses Quality control pakaian jadi sebanyak 2 pekerja. Bahaya potensial fisika
berupa pencahayaan dan debu kain alami dan sintetik. Bahaya potensial ergonomi berupa
gerakan repetitif tangan memegang dan memeriksa pakaian, posisi berdiri lama, posisi kepala
dan punggung membungkuk lama. Dari segi psikologi, bahaya potensial yang ada berupa
kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift dan stres yang mungkin timbul.
Gangguan kesehatan yang mungkin timbul berupa gangguan musculoskeletal, dehidrasi, low
back pain dan upper back pain, varises tungkai, dan keluhan otot mata. Tidak ada resiko
kecelakaan kerja yang ada pada tahap ini.
Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa maker, penutup kepala, dan fasilitas seperti kipas angin atau exhaust fan untuk
memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air
minum. Hanya sebagian pekerja yang menggunakan masker dan penutup kepala. Sarana yang
disediakan berupa exhaust fan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin
dengan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, penyediaan sarana air minum
sebanyak 2 buah setiap lantai. Terdapat checklist untuk menilai dalam proses quality control.
2.3.3.10. Proses Ironing
Proses ironing pakaian jadi terdiri dari 8 pekerja, mempunyai bahasa potensial berupa
fisika, kimia, ergonomi, dan psikologi. Bahaya potensial fisika adalah suhu panas, sirkulasi
udara terbatas, listrik, debu kain alami dan sintetik, dan kelembapan. Bahaya potensial kimia
berupa etanol dan pelarut benzene sebagai pembersih. Bahaya potensial ergonomi adalah
gerakan repetitif menarik dan mendorong lengan saat menyetrika, posisi berdiri lama, posisi
membungkuk lama, posisi kepala menunduk lama, dan ruang gerak yang sempit. Dari segi
psikologi, bahaya potensial yang ada adalah kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa
ganti shift, dan stres. Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan
musculoskeletal, dehidrasi, tension typ headache, dan low back pain. Resiko kecelakaan kerja
yang mungkin terjadi adalah tangan terkena luka bakar akibat setrika listrik.
Upaya yang harusnya dilakukan pada tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri
berupa masker, penutup kepala, serta sarung tangan kain dan fasilitas seperti kipas angin atau
exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan
penyediaan sarana air minum. Alat pelindung diri yang digunakan adalah sarung tangan dan
masker kain, semua pekerja menggunakan APD ini. Sarana yang disediakan adalah lampu,
exhaust fan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin dengan diameter 30
cm sebanyak 10 buah setiap lantai, penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap
lantai. Terdapat standar operasional dalam proses ironing.
2.3.3.11. Proses Packing
Proses packing, terdiri dari 8 pekerja. Bahaya potensial fisika meliputi panas dan debu
kain sintetik dan alami. Bahaya potensial kimia meliputi bahan pembersih yaitu etanol dan
pelarut benzene. Bahaya potensial ergonomi meliputi gerakan repetitif memasukan pakaian
kedalam plastik, gerakan repetitif membungkuk saat memasukan pakaian yang sudah
terkemas ke dalam kardus, posisi berdiri lama, gerakan repetitif mengangkat beban hasil
produksi dari membungkuk sampai berdiri. Bahaya potensial psikologi yang dapat timbul
berupa kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift, dan stres sebagai bahaya
potensial psikologi.
Gangguan kesehatan yang dapat timbul adalah gangguan musculoskeletal, seperti low
back pain dan upper back pain, dan dermatitis kontak iritan. Resiko kecelakaan kerja yang
dapat timbul adalah terjatuh saat mengangkat dan memindahkan beban. Upaya yang harusnya
dilakukan pada tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker kain dan
fasilitas seprti kipas angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk
penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum.
Alat pelindung diri yang disediakan adalah masker kain. Sarana yang disediakan adalah
lampu, exhaust fan, kipas angin, dan penyediaan sarana air minum. Terdapat aturan pelipatan
dan tampilan produk dan aturan alur barang produksi setelah packing.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
3.1.1 Definisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Keselamatan kerja adalah suatu usaha untuk dapat melaksanakan pekerjaan tanpa
kecelakaan, memberikan suasana atau lingkungan kerja yang aman sehingga dapat dicapai
hasil yang menguntungkan dan bebas dari segala macam bahaya.
Menurut Suma’mur kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan /
kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja / masyarakat pekerja memperoleh
derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun social dengan usaha preventif
atau kuratif terhadap penyakit/gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan
dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum..
Untuk mengetahui sejauh mana program K3 telah diimplementasikan di perusahaan,
maka manajemen perusahaan harus melakukan audit atau evaluasi di setiap unit kerja yang
ada. Hal ini sesuai dengan peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 pada
BAB III pasal 4 bahwa perusahaan wajib mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja
program Keselamatan dan Kesehatan kerja serta melakukan tindakan perbaikan dan
pencegahan.
3.1.2 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Hakikat dan tujuan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yaitu bahwa faktor
K3 berpengaruh langsung terhadap efektifitas kerja pada tenaga kerja dan juga berpengaruh
terhadap efektifitas kerja pada tenaga kerja dan juga berpengaruh terhadap efisiensi produksi
dari suau perusahaan industri sehingga dengan demikian mempengaruhi tingkat pencapaian
produktifitasnya. Karena pada dasarnya tujuan K3 adalah untuk melindungi para tenaga kerja
atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan dan untuk menciptakan tenaga kerja
yang sehat dan produktif sehingga upaya pencapaian produktifitas yang semaksimalnya dari
suatu perusahaan industry dapat lebih terjamin.
3.2 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Menurut peraturan menteri tenaga kerja RI (1996;2) adalah : ‘’bagian dari system
manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung
jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan,
penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja guna tercapainya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Tujuan dan sasaran SMK3 adalah menciptakan suatu system K3 di tempat kerja
dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang
terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja
serta terciptanya tempat yang aman, efisien dan produktif.
Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih
dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan
produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran,
pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan SMK3.
Pengelolaan SMK3 ini memiliki pola ‘total loss control’ yaitu suatu kebijakan untuk
menghindarkan kerugian bagi perusahaan, property, personil di perusahaan dan lingkungan
melalui penerapan SMK3 yang mengintegrasikan sumber daya manusia, material, peralatan,
proses, bahan, fasilitas dan lingkungan dengan pola penerapan prinsip manajemen yaitu
planning, do, check, dan improvement.
3.3 Masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Kinerja (performa) setiap pekerja merupakan resulatan dari tiga komponen kesehatan
kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja yang dapat menjadi beban
tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka dapat dicapai suatu
derajat kesehatan kerja yang optimal dan meningkatkan produktivitas. Sebaliknya bila
terdapat ketidakserasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit
ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.
3.3.1. Kapasitas Kerja
Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan.
Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-40% masyarakat pekerja kurang
kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekuramgan zat besi tanpa anemia.
Kondisi kesehatan seperti ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan
produktivitas yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja
yang ada sebagian besar masih diisi oleh pekerja yang mempunyai banyak keterbatasan,
sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering mendapat kendala terutama
menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.
3.3.2. Beban Kerja
Pola kerja yang berubah – ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat
terjadinya perubahan pada bioritmik ( irama tubuh ). Faktor lain yang turut memperberat
beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan social bagi pekerja yang masih relative
rendah, hingga pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secar berlebihan. Beban psikis ini
dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stress.
3.3.3. Lingkungan Kerja
Lingkunagan Kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan
kerja, dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja ( Occupational Accident), Penyakit A kibat K
erja dan Pernyakit Akibat Hubungan Kerja ( Occupational Disease & Work Related
Diseases).
3.3.3.1. Lingkungan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja yang Ditimbulkan
Penyakit akibat kerja dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh
pemajanan dilingkungan kerja.Untuk mengatasi permasalahan ini maka langkah awal yang
penting adalah identifikasi bahaya yang timbul, kemudian dievaluasi, dan dilakukan
pengendalian. Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di lingkunagan
kerja ditempuh tiga langkah utama, yakni :
1. Pengenalan lingkungan kerja .
Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan mengenal (
walk through inspection) , dan ini merupakan langkah dasar yang pertama-tama dilakukan
dalam upaya kesehatan kerja.
2. Evaluasi lingkungan kerja.
Merupakan tahap penilaian larakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya yang
mungkin timbul sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam mengatasi
permasalahan.
3. Pengendalian lingkungan kerja.
Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap zat/bahan
yang berbahaya di lingkungan kerja. Ada dua jenis pengendalian lingkungan kerja, yaitu
pengendalian lingkungan ( enviromental Control Measures) berupa penggunan alat
pelindung perorangan, pembatas waktu lamanya pekerja terpajan terhadap bahaya
potensial, serta keberhasilan perorangan dan pakaiannya.
3.4 Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar
3.4.1 Pengertian
Pelayanan kesehatan kerja dasar adalah upaya pelayanan yang diberikan pada masyarakat
pekerja secra minimal dan paripurna oleh institusi pelayanan kesehatan kerja dasar.
3.4.2 Tujuan
Tujuan diselenggarakan pelayanan kesehatan kerja dasar pada masyarakat pekerja adalah
untuk menigkatkan produktivitas kerja masyarakat pekerja, dan terciptanya kondisi kerja
yang aman, sehat dan produktif tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat
sekelilingnya.
3.4.3 Ruang Lingkup
Pelayanan kesehatan kerja dasar mencakup upaya pelayanan paripurna (peningkatan
kesehatan kerja, pencegahan dan penyembuhan PAK & PAHK serta pemulihan PAK &
PAHK) yang meliputi :
1. Pemeriksaan dan seleksi kesehatan calon pekerja
2. Peningkatan mutu dan kondisi tempat kerja
3. Penyerasian kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja
4. Pemeliharaan kesehatan , konseling dan rehabilitasi medis
5. Pembentukan dan pembinaan partisipasi masyarakat pekerja dalam pelayanan kesehatan
kerja.
3.4.4 Insitusi Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar
Suatu lembaga yang terlibat dalam memberkan pelayanan kesehatan kerja dasar yang
meliputi : Pos UKK, Poliklinik Perusahaan dan Puskesmas. Poliklinik Perusahaan
merupakan bagian yang sangat penting karena secara structural merupakan bagian dari
perusahaan dan bertanggung jawab kepada pimpinan perusahaan dan Puskesmas.
3.4.5 Jenis Pelayanan Kesehatan Kerja
Jenis pelayananan Kesehatan Kerja dan pelayanan minimal yang diberikan dapat
dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1. Pelayananan minimal kesehatan kerja
Jenis Pelayananan Pelayanan Minimal Kesehatan Kerja
Promotif Konsultasi
Penyuluhan tentang SOP kerja, risiko pekerjaan dan
pencegahannya, hygiene, dan pemakaian APD.
Prilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam bekerja
Inventarisasi pekerjaan agar dapat mengetahui ridiko yang
mungkin timbul
Memberikan masukan tentang kesehatan kerja pada manajemen
Promosi kesehatan umum
Sanitasi industry, good house keeping dan potensi risiko di tempat
kerja
Identifikasi, penillaian dan control terhadap risiko
Pelatihan P3K
Pencatatan dan pelaporan
Jenis Pelayanan Pelayanan Minimal Kesehatan Kerja
Preventif Identifikasi dan pengukuran potensi risiko kesehatan di tempat
kerja
Merekonebdasikan perbaikan lingkungan kerja
Penyediaan contoh dan penggunaan APD
Pemeriksaan kesehatan : sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan
pemerikasaan khusus
Prosedur tanggap darurat
Pemantauan kondisi tempat kerja
Surveilans PAK, PAHK, KK dan penyakit umum
Pemeriksaan kualitas air minum dan kebersihan kantin
Pencatatan dan pelaporan
Kuratif Penyakit umum, PAK, PAHK, dan KK
Klinik gawat darurat
Deteksi dini PAK, PAHK, dan KK
Melakukan upaya rujukan
Pencatatan dan pelaporan
Rehabilitatif Melakukan evaluasi tingkat kecacatan pekerja
Rekomendasi terhadap penempatan kembali pekerja susai
kemampuannya
Pencatatan dan pelaporan
3.5 Manajemen Risiko
Penerapan Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di tempat kerja merupakan upaya
utama dalam mewujudkan lingkungan kerja yang aman, nyaman dan sehat serta melindungi
dan meningkatkan pemberdayaan pekerja yang sehat, selamat dan berkinerja tinggi dalam
aspek higiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja, bukan merupakan
cara yang tepat untuk mengatasi kemungkinan terjadinya akibat negatif di tempat kerja.
Berkaitan dengan uraian diatas, strategi penerapan manajemen risiko sesungguhnya
sangat dibutuhkan dalam mencapai dan mempertahankan keunggulan suatu organisasi.
Berbagai pendekatan sering dilakukan dalam menghadapi risiko dalam organisasi atau
perusahaan misalnya:
a. Mengabaikan risiko sama sekali, karena dianggap merupakan hal yang diluar kendali
manajemen. Pendapat tersebut, merupakan cara pendekatan yang tidak tepat, karena tidak
semua risiko berada diluar jangkauan kendali organisasi / perusahaan.
b. Menghindari semua kegiatan atau proses produksi yang memiliki risiko. Hal ini
merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan, karena semua aktivitas ditempat
kerja sampai tingkat tertentu selalu mengandung risiko.
c. Menerapkan Manajemen Risiko, dalam pengertian umum, risiko tinggi yang dihadapi
sebenarnnya merupakan suatu tantangan yang perlu diatasi dan melalui suatu pemikiran
positif diharapkan akan memberikan nilai tambah atau imbalan hasil yang tinggi pula.
Pada prinsipnya manajemen risiko merupakan upaya mengurangi dampak negatif
risiko yang mengakibatkan kerugian pada asset organisasi baik berupa manusia, material,
mesin, metoda, hasil produksi maupun finansial. Secara sistematik dilakukan pengendalian
potensi bahaya serta risiko dalam proses produksi melalui aktivitas :
a. Identifikasi potensi bahaya
b. Penilaian risiko sebagai akibat manifestasi potensi bahaya
c. Penentuan cara pengendalian untuk mencegah atau mengurangi kerugian
d. Penerapan teknologi pengendalian
e. Pemantauan dan pengkajian selanjutnya
3.6 Potensi Bahaya dan Risiko
Potensi bahaya atau hazard merupakan segala hal atau sesuatu yang mempunyai
kemungkinan mengakibatkan kerugian pada manusia, harta benda maupun lingkungan.
Ditempat kerja, potensi bahaya sebagai sumber risiko khususnya terdapat keselamatan
dan kesehatan di perusahaan akan selalu dijumpai, antara lain berupa :
1. Faktor fisik : kebisingan, cahaya, radiasi, vibrasi, suhu, debu.
2. Faktor kimia : solven, gas, uap, asap, logam berat.
3. Faktor biologik : tumbuhan, hewan, bakteri, virus.
4. Aspek ergonomi : desain, sikap dan cara kerja.
5. Stresor : tekanan produksi, beban kerja, monotoni, kejemuan.
6. Listrik dan sumber energi lainnya.
7. Mesin, peralatan kerja, pesawat.
8. Kebakaran, peledakan, kebocoran.
9. Tata rumah tangga (house keeping).
10. Sistem Manajemen peusahaan.
11. Pelaksana / manusia : perilaku, kondisi fisik, interaksi.
Risiko adalah manifestasi atau perwujudan potensi bahaya (hazard event) yang
mengakibatkan kemungkinan kerugian menjadi lebih besar, tergantung dari cara
pengelolaannya, tingkat risiko mungkin berbeda dari yang paling ringan atau rendah sampai
ke tahap yang paling berat atau tinggi. Melalui analisis dan evaluasi semua potensi bahaya
dan risiko, diupayakan tindakan minimalisasi atau pengendalian agar tidak terjadi bencana
atau kerugian lainnya.
Rincian langkah umum yang biasanya dilaksanakan dalam penilaian risiko meliputi :
1. Menentukan personil penilai
Penilai risiko dapat berasal dari intern perusahaan atau dibantu oleh petugas lain
diluar perusahaan yang berkompeten baik dalam pengetahuan, kewenangan maupun
kemampuan lainnya yang berkaitan. Tergantung dari kebutuhan, pada tempat kerja yang
luas, personil penilai dapat merupakan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang.
2. Menentukan obyek/bagian yang akan dinilai
Obyek atau bagian yang akan dinilai dapat dibedakan menurut bagian / departemen,
jenis pekerjaan, proses produksi dan sebagainya. Penentuan obyek ini sangat membantu
dalam sistematika kerja penilai.
3. Kunjungan / Inspeksi tempat kerja
Kegiatan ini dapat dimulai melalui suatu “walk through survey / Inspection” yang
bersifat umum sampai kepada inspeksi yang lebih detail. Dalam kegiatan ini prinsip
utamanya adalah melihat, mendengar dan mencatat semua keadaan di tempat kerja baik
mengenai bagian kegiatan, proses, bahan, jumlah pekerja, kondisi lingkungan, cara kerja,
teknologi pengendalian, alat pelindung diri dan hal lain yang terkait.
4. Identifikasi potensi bahaya
Berbagai cara dapat dilakukan guna mengidentifikasi potensi bahaya di tempat kerja,
misalnya melalui :
a. Inspeksi/survei tempat kerja rutin.
b. Informasi mengenai data kecelakaan kerja dan penyakit serta absensi.
c. Laporan dari Panitia pengawas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (P2K3) atau
supervisor atau keluhan pekerja.
d. Lembar data keselamatan bahan (material safety data sheet), dan lain sebagainya.
Selanjutnya diperlukan analisis dan penilaian terhadap potensi bahaya tersebut untuk
memprediksi langkah atau tindakan selanjutnya terutama pada kemungkinan potensi
bahaya tersebut menjadi suatu risiko.
5. Mencari informasi / data potensi bahaya
Upaya ini dapat dilakukan misalnya melalui kepustakaan, mempelajari MSDS,
petunjuk teknis, standar, pengalaman atau informasi lain yang relevan.
6. Analisis Risiko
Dalam kegiatan ini, semua jenis resiko, akibat yang bisa terjadi, tingkat keparahan,
frekuensi kejadian, cara pencegahannya, atau rencana tindakan untuk mengatasi risiko
tersebut dibahas secara rinci dan dicatat selengkap mungkin. Ketidaksempurnaan dapat
juga terjadi, namun melalui upaya sitematik, perbaikan senantiasa akan diperoleh.
7. Evaluasi risiko
Memprediksi tingkat risiko melalui evaluasi yang akurat merupakan langkah yang
sangat menentukan dalam rangkaian penilaian risiko. Kualifikasi dan kuantifikasi risiko,
dikembangkan dalam proses tersebut. Konsultasi dan nasehat dari para ahli seringkali
dibutuhkan pada tahap analisis dan evaluasi risiko.
8. Menentukan langkah pengendalian
Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi
kelangsungan kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah
pengendalian yang dipilih dari berbagai cara seperti :
a. Memilih teknologi pengendalian seperti eliminasi, substitusi, isolasi, engineering
control, pengendalian administratif, pelindung peralatan/mesin atau pelindung diri.
b. Menyusun program pelatihan guna meningkatka pengetahuan dan pemahaman
berkaitan dengan risiko
c. Menentukan upaya monitoring terhadap lingkungan / tempat kerja.
d. Menentukan perlu atau tidaknya survailans kesehatan kerja melalui pengujian
kesehatan berkala, pemantauan biomedik, audiometri dan lain-lain.
e. Menyelenggarakan prosedur tanggap darurat / emergensi dan pertolongan pertama
sesuai dengan kebutuhan.
9. Menyusun pencatatan / pelaporan
Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam penilaian risiko harus dicatat dan disusun
sebagai bahan pelaporan secara tertulis. Format yang digunakan dapatdisusun sesuai
dengan kondisi yang ada.
10. Mengkaji ulang penelitian
Pengkajian ulang perlu senantiasa dilakukan dalam periode tertentu atau bila terdapat
perubahan dalam proses produksi, kemajuan teknologi, pengembangan informasi terbaru
dan sebagainya, guna perbaikan berkelanjutan penilaian risiko tersebut.
3.7. Potensi Bahaya dan Resiko Terhadap Debu
3.7.1. Definisi Debu
Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di
udara (Suspended Particulate Matter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500
mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di ruang gedung (indoor and out
door pollution) debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk
menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap keselamatan dan
kesehatan kerja.
Debu industri yang terdapat di udara dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Deposit Particulate Matter
Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya sementara di udara. Partikel
ini akan segera mengendap karena daya tarik bumi.
2. Suspended Particulate Matter
Suspended particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah
mengendap. (Pudjiastuti, 2002).
Debu terdiri dari 2 golongan, yaitu padat dan cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel
padat dapat menjadi 3 macam :
a. Dust
Dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar.
Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam sistem pernafasan,
umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup ke dalam paru-paru
b. Fumes
Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari
bentuk gas, biasannya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain dan
biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat seperti logam
(Cadmium) dan timbal ( Plumbum).
c. Smoke
Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak sempurna
dan berukuran sekitar 0,5 mikron.
3.7.2. Sifat-sifat Debu
Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan elektris, tidak berdifusi, dan
turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal
dari bahan baku atau hasil produksi (Depkes RI, 1990). Sifat-sifat debu adalah sebagai
berikut :
1. Sifat Pengendapan yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi
bumi.
2. Permukaan cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh
lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu
di tempat kerja.
3. Sifat Penggumpalan. Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu
basah maka debu satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk gumpalan.
Tingkat kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di udara mempermudah
debu membentuk gumpalan.
4. Debu Listrik Statik. Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain
yang berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya
penggumpalan.
5. Sifat Opsis. Opsis adalah partikel yang basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar
yang dapat terlihat dalam kamar gelap.
Partikel debu melayang (Suspended Particulated Matter) adalah suatu kumpulan
senyawa dan bentuk padatan maupun cair yang tersebar di udara dengan diameter yang
sangat kecil, kurang dari 1 mikron sampai maksimal 500 mikron. Ukuran partikel debu yang
membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai 10 mikron. Partikel
debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relative lama dalam keadaan
melayang-layang dan dapat masuk melalui saluran pernafasan. Konsentrasi debu dengan
ukuran 5 mikron akan dikeluarkan seluruhnya bila jumlah yang masuk ke saluran nafas
kurang dari 10 partikel, sedangkan seluruhnya bila yang masuk 1.000 partikel maka 10% dari
jumlah tersebut akan ditimbun di dalam jaringan paru (WHO, 1990).
Debu yang berukuran antara 5 – 10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun
pada saluran nafas bagian atas; yang berukuran antara 3 – 5 mikron tertahan dan tertimbun
pada saluran nafas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1 – 3 mikron disebut debu respirabel
merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bronkhiolus
terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang dari 1 mikron tidak mudah
mengendap di alveoli, debu yang ukurannya antara 0,1 – 0,5 mikron berdifusi dengan gerak
Brown keluar masuk alveoli; bila membentur alveoli ia dapat tertimbun disitu. Meskipun
batas debu respirabel adalah 5 mikron, tetapi debu dengan ukuran 5 – 10 mikron dengan
kadar berbeda dapat masuk ke dalam alveoli. Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan
dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter kubik udara. Bila
jumlahnya 1.000 partikel per milimeter kubik udara, maka 10% dari jumlah itu akan ditimbun
dalam paru (WHO, 1990).
3.7.3. Jenis debu
Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu :
1. Debu organik adalah debu yang berasal dari makhluk hidup (debu kapas, debu daun-
daunan, tembakau dan sebagainya).
2. Debu metal adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam (Pb, Hg, Cd,
dan Arsen).
3. Debu mineral ialah debu yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks ( SiO2, SiO3,
dan lain-lain).
Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain debu fisik (debu tanah,
batu, dan mineral), debu kimia (debu organik dan anorganik), dan debu biologis (virus,
bakteri, kista), debu eksplosif atau debu yang mudah terbakar (batu bara, Pb), debu radioaktif
(uranium, tutonium), debu inert (debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain).
3.7.4. Pengaruh Partikel Debu Terhadap Pernapasan
Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran
pernafasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut:
1. Partikel diameter > 5,0 mikron terkumpul di hidung dan tenggorokan., ini dapat
menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis.
2. Partikel diameter 0,5 – 5,0 mikron terkumpul di paru – paru hingga alveoli, ini dapat
menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma.
3. Partikel diameter < 0,5 mikron terkumpul di alveoli dan dapat terabsorbsi ke dalam darah.
Gambar 1 Saluran pernafasan
3.7.5. Pengendalian Debu
Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu pencegahan
terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap manusia yang terkena
dampak.
1. Pencegahan Terhadap Sumbernya
Pengontrolan debu di ruang kerja terhadap sumbernya antara lain dengan mengisolasi
sumber agar tidak mengeluarkan debu di ruang kerja dengan ‘Local Exhauster’ atau
dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
2. Pencegahan Terhadap Transmisi
a. Memakai metode basah yaitu,penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet Drilling).
b. Dengan alat berupa Scrubber,Elektropresipitator,dan Ventilasi Umum.
3. Pencegahan terhadap Tenaga Kerja
Antara lain dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker, sarung
tangan.
3.7.6. Dampak Pencemaran Udara Oleh Debu
Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan
gangguan sebagai berikut:
1. Gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna
bangunan dan pengotoran.
2. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori pori tumbuhan
sehingga mengganggu jalannya fotosintesis.
3. Merubah iklim global regional maupun internasional.
4. Menganggu perhubungan/ penerbangan yang akhirnya menganggu kegiatan sosial
ekonomi di masyarakat.
5. Menganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan
pernafasan dan kanker pada paru-paru.
Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada: solubity (mudah larut), komposisi
kimia, konsentrasi debu, dan ukuran partikel debu.
3.7.7. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Gangguan Paru
Gangguan saluran pernafasan akibat inhalasi debu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain :
1. Faktor debu itu sendiri yaitu ukuran partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi,
lama perjalanan dan faktor individu berupa mekanisme pertahanan selain itu faktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya gangguan paru dapat berupa jenis debu, ukuran partikel,
konsentrasi partikel, lama pajanan, dan kerentanan individu.
2. Masa kerja menunjukkan suatu masa berlangsungnya kegiatan seseorang dalam waktu
tertentu. Seseorang yang bekerja di lingkungan industri yang menghasilkan debu akan
memiliki resiko gangguan kesehatan. Makin lama seseorang bekerja pada tempat yang
mengandung debu akan makin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama
gangguan saluran pernafasan.
3. Umur merupakan salah satu karateristik yang mempunyai resiko tinggi terhadap
gangguan paru terutama yang berumur 40 tahun keatas, dimana kualitas paru dapat
memburuk dengan cepat. Menurut penelitian Juli Soemirat dan kawan-kawan dalam
Rosbinawati (2002), mengungkapkan bahwa umur berpengaruh terhadap perkembangan
paru-paru. Semakin bertambahnya umur maka terjadi penurunan fungsi paru di dalam
tubuh. Menurut hasil penelitian Rosbinawati (2002) ada hubungan yang bermakna secara
statistik antara umur dengan gejala pernapasan. Faktor umur berperan penting dengan
kejadian penyakit dan gangguan kesehatan.
4. Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja terhadap
bahaya yang dapat mengganggu kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Alat yang
dipakai adalah masker, baik yang terbuat dari kain atau kertas wol.
5. Riwayat merokok merokok merupakan faktor pencetus timbulnya gangguan pernapasan,
karena asap rokok yang terhisap dalam saluran nafas akan mengganggu lapisan mukosa
saluran napas. (Antaruddin, 2003).
6. Riwayat penyakit penyakit merupakan faktor yang dianggap juga sebagai pencetus
timbulnya gangguan pernapasan, karena penyakit yang di derita seseorang akan
mempengaruhi kondisi kesehatan dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang pernah atau
sementara menderita penyakit sistem pernafasan, maka akan meningkatkan resiko
timbulnya penyakit sistem pernapasan jika terpapar debu.
3.8. Jenis Penyakit Akibat Kerja
Gejala penyakit akibat masuknya debu ke paru antara lain batuk disertai bersin, pilek
dan berlendir sebagai reaksi tubuh serta sesak nafas. Otot polos sekitar saluran nafas
terangsang dan menimbulkan penyempitan. Semakin lama seorang pekerja pada lingkungan
kerja debu, endapan debu di paru semakin tinggi. Gangguan fungsi paru menjadi lebih tinggi
bila pekerja merokok. Keadaan menjadi lebih buruk bila ventilasi udara kurang baik,
disamping daya tahan tubuh dan gizi yang kurang, tidur kurang dari 8 jam perhari dan adanya
penyakit lain.
Pneumoconiosis adalah kondisi pada paru yang merupakan hasil pengumpulan debu
mineral pada paru dan sebagai reaksi jaringan paru terhadap paparan debu. Paparan debu
kapas yang terjadi di perusahaan garmen disebut byssinosis. Sedang bila debu silica maka
disebut silicosis. Bila penyebabnya debu asbes disebut asbestosis. Jadi macam
pneumoconiosis tergantung jenis debu yang terhirup.
Pneumokoniosis disebabkan oleh debu mineral pembentukan jaringan parut (Silikosis,
antrakosilikosis, asbestosis) Gejala penyakit ini berupa sakit paru paru, namun berbeda
dengan penyakit TBC paru.
Silikosis adalah penyakit yang paling penting dari golongan penyakit
Pneumokonioses. Penyebabnya adalah silika bebas (SiO2) yang terdapat dalam debu yang
dihirup waktu bernafas dan ditimbun dalam paru paru dengan masa inkubasi 2-4 tahun.
Pekerja yang sering terkena penyakit ini umumnya yang bekerja di perusahaan yang
menghasilkan batu-batu untuk bangunan seperti granit, keramik, tambang timah putih,
tambang besi, tambang batu bara, dan lain lain.Gejala penyakit ini dapat dibedakan pada
tingkat ringan sedang dan berat.
Pada tingkat Ringan ditandai dengan batuk kering, pengembangan paru-paru.Pada
tingkat sedang terjadi sesak nafas tidak jarang bronchial, ronchi terdapat basis paru paru.
Pada tingkat berat terjadi sesak napas mengakibatkan cacat total, hypertofi jantung kanan,
kegagalan jantung kanan.
Anthrakosilikosis ialah pneumokomiosis yang disebabkan oleh silika bebas bersama
debu arang batu. Penyakit ini mungkin ditemukan pada tambang batu bara atau karyawan
industri yang menggunakan bahan batu bara jenis lain. Gejala penyakit ini berupa sesak
nafas, bronchitis chronis batuk dengan dahak hitam (Melanophtys).
Asbestosis adalah jenis pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu asbes dengan
masa latennya 10-20 tahun. Gejala yang timbul berupa sesak nafas, batuk berdahak/riak
terdengan rhonchi di basis paru, cyanosis terlihat bibir biru. Gambar radiologi menunjukan
adanya titik titik halus yang disebut “Iground glass appearance”, batas jantung dengan
diafragma tidak jelas seperti ada duri duri landak sekitar jantung (Percupine hearth), jika
sudah lama terlihat penumpukan kapur pada jaringan ikat.
Berryliosis, Penyebabnya adalah debu yang mengandung Berrylium, terdapat pada
pekerja pembuat aliasi berrylium tembaga, pada pembuatan tabung radio, pembuatan tabung
Fluorescen pengguna sebagai tenaga atom.
Byssinosis disebabkan oleh debu kapas atau sejenisnya dikenal dengan : Monday
Morning Syndroma”atau”Monday Fightnesí” Sebag gejala timbul setelah hari kerja sesudah
libur, terasa demam, lemah badan, sesak nafas, baruk-batuk, “Vital Capacity” jelas menurun
setelah 5-10 tahun bekerja dengan debu.
Stannosis Penyebab debu bijih timah putih (SnO) sedangkan Siderosis disebabkan
oleh debu yang mengandung (Fe202).
3.9. Pengendalian/Pencegahan
Untuk mencegahnya, pekerja yang terpapar debu harus memakai masker. Sedang bila
paparan debu bahan kimia berbahaya diperlukan penggunaan respirator dengan atau tanpa
cartridge. Untuk perusahaan garmen, alat pelindung diri yang perlu dipakai adalah masker
biasa. Untuk para pekerja, termasuk yang terpapar debu harus diperiksa kesehatan secara
berkala dan khusus. Untuk pengguna respirator khusus pemeriksaan fungsi paru (spirometri)
menjadi keharusan guna selalu memberikan kesehatan paru yang setinggi-tingginya
disamping pekerja mengelola hidup dengan lifestyle yang baik.
Pengontrolan debu di ruang kerja terhadap sumbernya antara lain :
a. Isolasi sumber agar tidak mngeluarkan debu di ruang kerja dengan “ Local Exhauster”atau
dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
b. Subtitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan debu.
Pencegahan terhadap transmisi, yaitu :
(a) Memakai metoda basah yaitu, penyiraman lantai, pengeboran basah, (wet drilling).
(b) Dengan alat (scrubber, elektropresipitator, ventilasi umum).
Pencegahan terhap tenaga kerjanya antara lain dapat menggunakan Alat Pelindung
Diri (APD) yaitu dengan menggunakan masker.
BAB IV
PEMBAHASAN
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul karena hubungannya dengan kerja
atau yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Menurut Keppres RI no 22 tahun
1993 tentang penyakit yang timbul karena hubungan kerja terdapat 31 jenis penyakit. Secara
khusus terdapat 6 jenis penyakit yang mengenai paru tenaga kerja dalam peraturan tersebut.
Penyakit tersebut meliputi Pneumokoniosis, Penyakit paru & saluran napas oleh debu logam
berat, disebakan oleh debu kaps, vlas, henep dan sisal, Asma akibat kerja, Alveolitis alergika
akibat debu organik, Kanker paru atau mesothelioma oleh asbes dan Penyakit infeksi oleh
virus, bakteri atau parasit yang didapat pada pekerjaan berisiko terkontaminasi.
Berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2002,
penyakit paru akibat kerja di bidang industri merupakan penyakit akibat kerja nomor satu
yang dikaitkan dengan frekuensi, tingkat keparahan dan kemampuan pencegahannya.
Kejadian penyakit paru ini disebabkan oleh paparan iritasi atau bahan toksik yang dapat
menyebabkan gangguan pernapasan akut maupun kronis. Adanya kebiasaan merokok pada
pekerja akan semakin memperparah penyakit paru yang diderita. Penelitian tersebut
menemukan total pembiayaan kesehatan terhadap penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja
mencapai US$ 170 milyar per tahunnya.
Oleh karena itu perlunya aturan yang mengatur tentang kesehatan terutama bagi tenaga
kerja. Dimulai dari Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (yang
biasanya disingkat menjadi UU Kesehatan) antara lain mengatur hak dan kewajiban setiap
warga negara dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; tugas dan tanggung
jawab pemerintah; pelaksanaan upaya kesehatan yang harus secara menyeluruh (paripurna),
terpadu dan berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Dalam pasal 23 UU Kesehatan
tersebut dinyatakan bahwa upaya kesehatan kerja merupakan salah satu dari 15 upaya
kesehatan, yang diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal sejalan
dengan perlindungan tenaga kerja. Upaya kesehatan kerja wajib dilakukan di setiap tempat
kerja, dan mencakup pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja serta
penerapan syarat – syarat kesehatan kerja. 2
Dari 11 (sebelas) proses pengerjaan industri, 10 diantaranya terpapar dengan hazard
(potensi bahaya) debu dan akibat yang ditimbulkan jika terpapar oleh hazard debu pada para
pekerja industri PT. BBI adalah masalah kesehatan pada paru – paru. Paparan hazard debu
yang berlangsung lama secara terus – menerus terhadap para pekerja di industri garmen ini
dapat memicu gangguan kesehatan yang dapat menyebabkan penurunan kinerja produktivitas
perusahaan.
4.1 PELAYANAN KESEHATAN
Dalam rangka mengatasi masalah kesehatan kerja, PT. BBI menyediakan sebuah poli
klinik di dalam lokasi yang berada di lantai 2. Beranggotakan 1 orang perawat untuk
menangani semua jenis penyakit baik yang bersifat biologis maupun fisik (kecelakaan) pada
seluruh karyawan PT. BBI. Dibantu oleh 3 orang yang bertugas sebagai petugas P3K. Yang
mana, ketiga orang ini bukanlah orang yang berlatar belakang pendidikan medis, namun
hanya karyawan biasa yang diberi pelatihan khusus oleh perawat untuk melakukan
pertolongan pertama bagi luka-luka dan masalah kesehatan akibat kecelakaan kerja.
Gambar 2 Poliklinik PT. BBI
Sedangkan untuk kotak P3K itu sendiri, tersebar diberbagai macam lokasi untuk
mempermudah pencapaian bila kecelakaan kerja terjadi. Jika terjadi kecelakaan dan
gangguan kesehatan saat bekerja pada seorang pekerja dan dianggap ringan maka pekerja
tersebut dapat melakukan pengobatan dini dengan menggunakan kotak P3K yang telah
tersedia tanpa perlu memanggil petugas P3K atau melakukan pengobatan ke poli klinik.
Namun, terkadang saat pekerja yang terkena kecelakaan saat bekerja dan mengalami
gangguan kesehatan sehingga membutuhkan bantuan petugas kesehatan namun tak tertangani
dengan baik karena ketidakhadiran petugas kesehatan, maka pekerja tersebut dapat
melakukan pengobatan dini secara mandiri melalui kotak P3K yang tersedia.
Gambar 3 Lantai 2 PT. BBI
Idealnya, untuk perusahaan yang memiliki jumlah karyawan lebih dari 500 orang,
minimal harus mempunyai 1 orang dokter perusahaan yang selalu ada setiap hari dengan jam
kerja 6 jam/hari. Dokter perusahaan tersebut dibantu oleh sedikitnya 2 perawat yang selalu di
setiap hari jam kerja. Dan juga disetiap bagian-bagian produksi mempunyai kader-kader
kesehatan yang sudah terlatih sebagai perpanjangan tangan dokter. Untuk PT. BBI sendiri,
petugas pelayanan kesehatan yang terdapat adalah 1 orang dokter yang datang setiap 2 hari
sekali dan 1 orang perawat yang selalu ada setiap hari dengan 3 orang kader kesehatan yang
tidak berasal dari tiap-tiap bagian produksi.
Sedangkan untuk rujukan, perusahaan bekerjasama dengan RS Mediros dan RS. St.
Carolus sehingga jika pekerja berobat ke dua rumah sakit tersebut, biaya pengobatan pekerja
akan di tanggung oleh perusahaan sesuai dengan golongan / pangkat. Sementara jika pasien
dibawa ke RS lain seperti RS Persahabatan yang letaknya tidak jauh dari pabrik maka
penggantian biaya diberlakukan melalui sistem reimbursment yaitu biaya di tanggung dahulu
oleh karyawan, yang kemudian diganti oleh perusahaan.
Untuk pemeriksaan kesehatan karyawan, idealnya dilakukan setiap 1 bulan untuk
pemeriksaan rutin dan setiap 3 bulan untuk pemeriksaan yang membutuhkan bantuan alat
seperti audiometric, rontgen, dan lain sebagainya. Pada PT. BBI ini, walau sudah mempunyai
aturan pemeriksaan setiap bulan, namun dalam pelaksanaannya masih belum sempurna.
4.2 BAHAYA POTENSIAL DEBU
Ketika bernapas, udara yang mengadung debu masuk ke dalam paru-paru. Tidak
semua debu dapat tertimbun di dalam jaringan paru-paru, karena tergantung besarnya ukuran
debu tersebut. 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian atas, 3-5 mikron
akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian tengah, 1-3 mikron sampai dipermukaan
alveoli, 0,5-0,1 mikron hinggap dipermukaan alveoli/selaput lendir sehingga menyebabkan
vibrosis paru, 0,1-0,5 mikron melayang dipermukaan alveoli. Depkes mengisaratkan bahwa
ukuran debu yang membahayakan berkisar 0,1 sampai 10 mikron.
Menurut berbagai penelitian debu-debu tersebut tekontaminasi bakteri, bakteri
tersebut mengeluarkan endotoksin yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan seperti
batuk, pilek, sesak napas, dll. Bakteri yang sering ditemukan adalah golongan enterobacter
aglomerans. Pernah pula ditemukan bakteri pseudomonas syringae, pseudomonas stuszeril.
Debu-debu kapas ini juga dapat menyebabkan teraktifasinya pelepasan histamin dalam tubuh.
Hal ini akan mengakibatkan ganguan berupa sesak napas.
Sesuai dengan undang-undang nomor 1 tahun 1970 pasal 3 ayat 1 tentang memberi
alat-alat perlindungan diri pada para pekerja, mencegah dan mengendalikan timbul atau
menyebar luasnya suhu, asap, gas, hembusan angin, cuaca, debu, radiasi, suara, dan getaran,
serta mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja.
Maka semua perusahaan dan industri harus memberikan alat pelindung diri pada
setiap pekerjanya serta mencegah dan mengendalikan semua hazard yang ada di perusahaan
atau industri tersebut dan mencegah terjadinya penyakit yang di akibatkan oleh hazard.
Hazard di sini yaitu hazard debu yang sedang penulis teliti.
Melalui metode observasional deskriptif yang peneliti lakukan pada plant survei kali
ini. Peneliti mendapatkan bahaya potensial fisik organik yang di alami pekerja PT. BBI. Debu
organik tersebut sebagian besar berasal dari bahan baku yaitu debu kain.
Sama seperti industri lainnya, PT. BBI juga salah satu industri yang tak terhindarkan
dari hazard debu. Dari seluruh bagian-bagian produksi, hampir seluruhnya menjadi sumber
debu. Karena setiap bagian produksi berhubungan dengan kain yang merupakan sumber debu
Langkah pengendalian
1. Eliminasi
Untuk mengurangi kadar debu yang ada di dalam pabrik, pabrik harus memiliki
ventilasi yang baik Menurut keputusan mentri kesehatan republik indonesia nomor
1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran
dan industri syarat untuk ruangan kerja yang tidak ber AC harus memiliki lubang
ventilasi minimal 15% dari luas lantai dengan menerapkan sistem ventilasi silang. Untuk
lantai satu ventilasi kurang dari 15% luas lantai sedangkan untuk lantai dua ventilasi lebih
dari 15% luas lantai ditambah dengan pemasangan exhause fan. Di dalam pabrik PT.BBI
telah terpasang exhause fan dengan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantainya.
Namun hal ini masih dirasa kurang untuk lantai satu.
2. Isolasi
Setelah dilakukan pengamatan terdapat beberapa bagian produksi yang lebih banyak
debu. yaitu inspeksi bahan, cutting, pembuatan manset dan interlining, sewing, dan
finishing. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan pemisahan bagian produksi yang terdapat
debu lebih banyak untuk mengisolasi debu. Dan untuk membersihkan lantai
menggunakan vacum cleaner. Di PT. BBI pembersihan lantai dibersihkan setiap hari
menggunakan vacum cleaner dan setelah itu lantai di pel.
Gambar 4 Denah PT. BBI
Poliklinik
Sew
ing
Sew
ing
Sew
ing
Finishing
PackingIroning
Quality control
Hasil produksi
Pembuatan pola
Inspeksi bahan
Cuting
Cuting
Num
bering
Inter lining dan pembuatan kerah
Lantai I
Sew
ing
3. Alat perlindungan diri
Pihak PT. BBI telah menyediakan masker untuk para karyawannya. Tetapi masker
yang disediakan belum memenuhi syarat. Untuk pabrik yang belum diukur kadar
debunya semestinya menggunakan respirator sebenarnya di pabrik PT. BBI sudah
disediakan respirator tetapi jumlahnya belum memadai.
Gambar 5 APD masker
4. Administratif
Adanya tanda untuk menghindari daerah yang terdapat hazard tanpa alat
pelindung diri dan adanya prosedur cara pemakaian alat pelindung diri yang
dibutuhkan untuk area tersebut mutlak harus dimiliki oleh perusahaan. Untuk hal ini
PT. BBI telah membuat tanda bahaya dan tata cara mengenakan alat pelindung diri
tetapi tetap ada pekerja yang tidak mematuhi peraturan tersebut
5. Untuk para pekerja
Pemeriksaan kesehatan sebelum penerimaan dan adanya pelatihan tetang bahaya
hazard dan pentingnya penggunaan alat pelindung diri dengan baik dan benar,
pemeriksaan rutin setelah pekerja dipekerjakan oleh perusahaan, dan pemeriksaan
khusus bila dipeerlukan. Dan bila ada pekerja yang telah menderita penyakit akibat
hazard tersebut pekerja dipindah tempatkan ke bagian produksi yang lain. Hal ini
telah dilaksanakan oleh PT.BBI tetapi untuk pelatihan pentingnya penggunaan alat
pelindung diri dengan baik dan benar belum maksimal karena masih ada pekerja yang
tidak menggunakan alat pelindung diri.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk kecelakaan kerja paling banyak adalah tergunting. Bagian tubuh yang sering terkena adalah jari tangan. Dan bagian produksi yang sering mengalami kecelakaan tergunting adalah proses cutting yang menggunakan gunting secara manual. Pencegahan yang dilakukan selama ini belum ada, karyawan tak menggunakan pelindung jari saat proses menggunting. Menurut kepala bagian, pelindung tangan untuk proses manual tidak disediakan. Pelindung tangan hanya disediakan untuk proses dengan menggunakan mesin.
Gambar 6 Pekerja di lantai 1 PT. BBI
Sedangkan untuk jenis kecelakaan kedua terbanyak adalah tertusuk jarum. Bagian tubuh
yang terkena biasanya jari dan bagian produksi yang sering mengalami adalah sewing.
Pencegahan yang dilakukan selama ini juga belum ada, karyawan tak menggunakan
pelindung jari saat proses memasukan jarum atau menjahit. Menurut kepala bagian, padahal
alat pelindungnya sudah disediakan walau dalam jumlah yang masih terbatas.
Gambar 7 Pekerja sewing di PT. BBI
Untuk kecelakaan kerja yang terbanyak nomor 3 adalah terkena setrika/ solder. Bagian
tubuh yang sering terkena adalah telapak tangan dan bagian produksi yang sering mengalami
adalah bagian reksi. Selama ini pencegahan yang dilakukan sudah ada dan menurut kepala
bagian pelindung tangan seperti sarung tangan memang disediakan tapi kebanyakan para
karyawan tidak mengenakannya.
Gambar 8 Pekerjaan ironing
Sedangkan untuk nomor 4 dan 5 adalah tangan terjepit mesin dan tangan tertusuk obeng.
Bagian poduksi yang sering mengalami adalah bagian interlining dan bagian perbaikan
mesin.
Gambar 9 Pekerjaan pressing
Untuk jenis penyakitnya sendiri, batu/pilek dan Alergi menempati urutan nomor 1 dan 2
dalam penyakit yang sering mengenai karyawan. Dilihat dari korelasi antara indutri pakaian
yang sarat akan debu, maka wajar saja apabila 2 penyakit tersebut paling banyak dialami oleh
karyawan. Untuk urutan momor 3 ditempati oleh penyakit pusing. Mungkin pusing yang
dialami oleh karyawan dapat disebabkan oleh hazard bising yang selalu terdengar terus-
menerus selama mereka bekerja. Sedangkan untuk nomor 4, ditempati oleh penyakit pegal
dan maag. Penyakit pegal mungkin disebabkan oleh posisi sewaktu bekerja yang tidak
nyaman atau pekerjaan yang repetitif.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. PT. Bina Busana Internusa (PT. BBI) adalah perusahaan nasional yang bergerak dalam
bisnis pakaian dan berpengalaman lebih dari 10 tahun.
2. Alur produksi dari PT. Bina Busana Interusa meliputi pembuatan sampel, pemesanan
bahan, inspeksi bahan, proses pembuatan pola, cutting, proses pembuatan manset dan
interlining, proses sewing, proses finishing dengan mesin kebut, proses ironing, proses
packing, dan quality control.
3. Hazard debu yang membahayakan kesehatan umum adalah debu yang ukurannya berkisar
antara 0,1 mikron sampai 10 mikron.
4. Konsentrasi debu dengan ukuran 5 mikron akan dikeluarkan seluruhnya bila jumlah yang
masuk ke saluran nafas kurang dari 10 partikel, bila masuk 1.000 partikel maka 10% dari
jumlah tersebut akan ditimbun di dalam jaringan paru.
5. Masalah yang timbul adalah untuk lantai satu ventilasi kurang dari 15% luas lantai
walaupun dengan penambahan exhause fan.
6. Sudah disediakannya masker untuk karyawan akan tetapi masker yang disediakan belum
memenuhi syarat dikarenakan untuk pabrik yang belum diukur kadar debunya semestinya
menggunakan respirator yang sebenarnya dengan jumlah yang memadai.
7. Pada dasarnya pengendalian hazard debu dapat dilakukan terhadap sumbernya,
perjalanannya dan penerimanya, selaian itu dapat juga dengan melakukan pengendalian
secara teknis, pengendalian secara administratif, dan langkah terahir adalah dengan
menggunakan alat pelindung diri.
8. Pencegahan penyakit pernafasan akibat debu di tempat kerja dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kesehatan sebelum penerimaan dan adanya pelatihan tetang bahaya hazard
dan pentingnya penggunaan alat pelindung diri dengan baik dan benar, pemeriksaan rutin
setelah pekerja dipekerjakan oleh perusahaan, dan pemeriksaan khusus bila diperlukan.
Hal ini telah dilaksanakan oleh PT.BBI akan tetapi belum maksimal karena masih ada
pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung diri.
9. Di klinik PT. BBI hanya terdapat 1 orang perawat beserta 3 orang kader kesehatan yang
membantu, tidak ada dokter umum.
5.2. Saran
1. Untuk meminimalisir resiko kerja, perusahaan PT. BBI hendaknya menambah alat
pelindung diri bagi karyawannya, terutama alat pelindung tangan, karena resiko kerja
pada tangan cukup besar prevalensinya. Pihak perusahaan juga senantiasa mengingatkan
dan memberi motivasi bagi karyawannnya untuk senantiasa menjaga kesehatannya
dengan selalu menggunakan alat pelindung diri setiap saat bekerja.
2. Sebagai perusahaan yang tergolong besar dengan karyawan yang berjumlah lebih dari
500 orang, idealnya perusahaan menyediakan setidaknya 1 dokter perusahaan yang selalu
ada setiap hari dengan jam kerja 6 jam/hari. Dokter perusahaan tersebut dibantu oleh
sedikitnya 2 perawat yang juga selalu ada setiap harinya. Dan juga disetiap bagian-bagian
produksi mempunyai kader-kader kesehatan yang sudah terlatih sebagai perpanjangan
tangan dokter.
3. Untuk pemeriksaan kesehatan karyawan, idealnya dilakukan setiap 1 bulan untuk pemeriksaan
rutin dan setiap 3 bulan untuk pemeriksaan yang membutuhkan bantuan alat seperti audiometric,
rontgen, dan lain sebagainya.
4. Perusahaan melakukan tindakan pengendalian atau Pengontrolan debu di ruang kerja
berdasarkan sumber dan tempatnya. Serta memperhatikan ventilasi udara yang masih kurang
memadai.
5. Perusahaan melakukan pengendalian terhadap mesin-mesin, tidak hanya mengendalikan dengan
memperbaiki mesin-mesin dikala rusak saja.
6. Menata ruangan dengan sebaik-baiknya, untuk menghindari resiko kerja yang berlebihan,
misalnya paparan bising, dan pengapnya udara jika satu ruangan dipakai untuk beberapa fungsi
pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
1 Yunus, Faisal. Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan Pengendaliannya. Diunduh dari : http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/14DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.pdf/14DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.html. Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997
2 Departemen Kesehatan RI. Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Diunduh dari : http://www.depkes.go.id/downloads/Udara.PDF
3 RSUD Kota Prabumulih. Bahaya Debu Bagi Kesehatan Pernapasan. Diunduh dari : http://www.rs-prabumulih.org/index.php/arsip/artikel-kesehatan/240-bahaya-debu-bagi-kesehatan-pernapasan. 1 Nopember 2010
4 http://www.smallcrab.com/kesehatan/520-5-macam-penyakit-akibat-pencemaran-partikel-debu-di-udara
5 Pusat Kesehatan Kerja. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pelayanan LINEN di Rumah Sakit. Diunduh dari : www.depkes.go.id/index.php. 31 Agustus 2007
6 Jamaludin. Budaya Keselamatan, Dimulai Dari yang Kecil. Diunduh dari : www.sinarharapan.co.id. 31 Agustus 2007
7 Roslan R. Kesehatan Kerja dan Dampaknya terhadap Dunia Industri dan Produktivitas Pekerja. Diunduh dari : www.bppsdmk.depkes.go.id. 31 Agustus 2007
8 Departemen Kesehatan RI. Peningkatan Produktivitas Kerja melalui Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Diunduh dari : www.bppsdmk.depkes.go.id. 31 Agustus 2007
9 Pudjiastuti W. Debu sebagai Bahan Pencemar yang Membahayakan Kesehatan Kerja. Diunduh dari : www.depkes.go.id/downloads/debu.pdf. 2002
10 SNI. Pengukuran Kadar Debu Total di Udara Tempat Kerja. Diunduh dari : www.bsn.or.id/SNI/download/debu.pdf. 31 Agustus 2007