PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERILAKU ... · Analisis data dilakukan dengan metode...
Embed Size (px)
Transcript of PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERILAKU ... · Analisis data dilakukan dengan metode...

PERILAKU KESEHATAN MEDIS PADA KELUARGA PENDERITA SKIZOFRENIA
YANG DIPASUNG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni
129114136
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iv
HALAMAN MOTTO
The most beautiful things
In the world cannot be seen or touched
They are felt with the heart.
Now here is my secret, it’s very simply: you can only see things clearly with your
heart.
What is essential is invisible to the eye.
- Antoine de Saint – Exupery, The Little Prince
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

v
All men have stars, but they are not the same things for different people.
For some, who are travelers, the stars are guides.
For others they are no more than little lights in the sky.
For others, who are scholars, they are problems…
But all these stars are silent.
You – You alone will have stars as no one else has them.
- Antoine de Saint – Exupery, The Little Prince
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vi
Everything can be taken from a man but one thing; the last of the human
freedoms — to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose
one's own way."
- Victor Frankl – Man’s Searching Meaning
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk
Tuhan yang Maha Penyayang.
Untuk Ibu, Ayah, Kakak dan seluruh kelurga dan sahabat yang
mendukung saya untuk menyelesaikan karya ini.
Untuk seluruh masyarakat dunia yang
menginspirasi dan mendorong saya untuk menyelesaikan karya ini.
Semoga karya ini bermanfaat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ix
PERILAKU KESEHATAN MEDIS PADA KELUARGA
PENDERITA SKIZOFRENIA YANG DIPASUNG
I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perilaku kesehatan medis yang dilakukan oleh
keluarga pasien skizofrenia selama ini dan melihat faktor-faktor apa yang akhirnya melatarbelakangi
keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan mengambil keputusan memasung pasien.
Wawancara semi terstruktur dilaksanakan terhadap tiga keluarga penderita skizofrenia yang dipasung,
satu narasumber dari pihak rumah sakit. Pendekatan penelitian dilakukan dengan desain studi kasus.
Analisis data dilakukan dengan metode analisis isi kualitatif (AIK), menggunakan pendekatan
deduktif, yakni analisis isi terarah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keluarga berhenti
menggunakan pengobatan medis dipengaruhi oleh: a) pengetahuan yang cenderung kurang ilmiah
mengenai penyebab skizofrenia b) persepsi yang negatif tentang keparahan dan manfaat penggunaan
pengobatan medis, c) pengalaman negatif saat melakukan pengobatan medis dan saat tanpa
pemasungan, dan d) pengalaman positif selama pasien dipasung.
Kata Kunci : Perilaku Kesehatan, Pemasungan, Skizofrenia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

x
HEALTH MEDICAL BEHAVIOR OF FAMILY LIVING A PERSON WITH
SCHIZOPRENIC PATIENT IN PASUNG: PHYSICAL RESTRAINT
I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni
ABSTRACK
This research was intended to observe health medical behavior that was treated by person
with a schizophrenia patient’s family all this time and to look at what factors that influence the family
quit using medical treatment and decided to physical restraint the patient. Semi-structured interviews
were held to three physical restrained schizophrenia patient’s family, one source from hospital side.
Research approach with study case research design. Data was analyzed using Qualitative Content
Analysis (QCA), using deductive approach, which is directional content analysis. This research result
showed the patient’s family that quit using medical treatment was affected by: a) knowledge that tends
to be less scientific about schizophrenia disease causes b) negative perception about severe condition
and medical treatment benefit, c) negative experience when using medical treatment and without
physical restrains, and d) positive experience when patient was physical restrained.
Keyword : medical behavior, physical restrained, schizophrenia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xii
KATA PENGANTAR
1. Sang Pencipta dari Negeri Awan, yang telah mengijinkan, mendukung
dan bekerjasama dengan penulis untuk melaksanakan penelitian ini.
Terimakasih untuk Inspirasinya.
2. Ibu, Bapak, Kakak, yang membiarkan penulis untuk mengambil
konsekuensi terhadap pilihannya. Terimakasih sudah mengijinkan penulis
untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
3. Dr. Tjipto Susana, sosok yang mengajarkan bahwa melakukan kesalahan
adalah sesuatu yang wajar dan menjadikan pembelajaran untuk menjadi
lebih baik. Terimakasih sudah menjadi role model untuk penulis.
4. Pangeran kecil, sahabat imajinatif yang selalu mengajarkan penulis untuk
menikmati dan menemani setiap proses dalam menyelesaikan tugas akhir
ini.
5. Sahabat Cabe’s, manusia di belakang layar yang menjadi alarm pengingat
untuk tidak pernah menyerah. Terimakasih untuk hari-hari yang berwarna
yang telah kalian tawarkan dan bagikan untuk hidup penulis.
6. Ovi dan Inel, duo manusia (deep conversation) yang selalu menjadi teman
untuk membagi isi pikiran-pikiran gila si penulis, ditambah beberapa
bumbu teoritis yang alhasil membuat kebiasaan over thinking penulis
menjadi berkurang. Terimakasih untuk waktu yang kalian habiskan
bersama penulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiii
7. Arin dan Tasya, duo room mate di Wirata yang selalu ikut menjadi team
horayy-horayy dan penyemangat untuk penulis. Terimakasih untuk
semangat yang kalian tularkan.
8. Untuk Banda Neira, John Mayer, Gabrielle Aplin, Monita Tahalea, Tulus,
Raisa dan banyak lagi yang memenuhi playlist skripsi penulis. Musik
kalian berhasil membuat penulis menyelesaikan tugas akhir. Terimakasih
untuk aransemen dan lirik yang mempengaruhi hidup penulis.
9. Chezmoi, X map satu-satunya yang hampir setiap hari penulis datangi
untuk mengerjakan skripsi (sampai setiap keluar dari chezmoi, gak pernah
disuruh datang kembali karena udah bosen liat penulis). Terimakasih
untuk kue-kue yang benar-benar membuat mood penulis jadi berseri-seri
setiap makan kuenya.
10. Untuk semua orang yang sudah memberikan warna dan pengaruh di
hidup penulis, yang tak bisa disebutkan satu persatu, penulis amat sangat
berterimakasih.
11. Terimakasih untuk Kamu. Silakan tulis nama Kamu sendiri
………………
Terimakasih sudah mewarnai hidupku.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiv
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.
Penulis meminta maaf atas segala kekurangan dan kelalauian yang telah
diperbuat, baik kata, maupun tulisan. Penulis menerima semua kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta, 12 Desember 2016
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ............................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................ vii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................. viii
ABSTRAK .................................................................................................................. ix
ABSTRACT ................................................................................................................... x
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............................... xi
KATA PENGANTAR ............................................................................................... xii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xv
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 12
1. Manfaat Teoritis ....................................................................................... 13
2. Manfaat Praktis ........................................................................................ 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 14
A. Skizofrenia
1. Definisi Gangguan Skizofrenia ................................................................ 14
2. Gejala Skizofrenia .................................................................................... 15
3. Kriteria Diagnostik untuk Skizofrenia ..................................................... 21
4. Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR ................................................ 21
5. Etologi Skizofrenia................................................................................... 23
B. Perilaku Kesehatan ......................................................................................... 30
C. Pelayanan Kesehatan ...................................................................................... 36
D. Keluarga ......................................................................................................... 38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xvi
E. Pemasungan ................................................................................................... 40
F. Perilaku Kesehatan Keluarga pada Penderita Skizofrenia ............................. 41
G. Kekhasan Studi Kasus ................................................................................... 42
BAB III. METODE PENELITIAN............................................................................ 46
A. Jenis dan Desain Penelitian ............................................................................ 46
B. Fokus Penelitian ............................................................................................. 47
C. Partisipan Penelitian ....................................................................................... 47
1. Karakteristik Subjek Penelitian ................................................................ 48
2. Jumlah Subjek Penelitian ......................................................................... 49
3. Lokasi Pengambilan Data ........................................................................ 49
D. Instrumen Penelitian....................................................................................... 49
E. Prosedur Pengumpulan Data .......................................................................... 51
F. Metode Analisis Data ..................................................................................... 52
G. Kredibilitas Penelitian .................................................................................... 53
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 54
A. Pelaksanaan Penelitian ................................................................................... 54
B. Profil Narasumber
1. Narasumber pertama ................................................................................ 56
2. Narasumber kedua .................................................................................... 57
3. Narasumber ketiga ................................................................................... 58
C. Hasil Penelitian .............................................................................................. 60
1. Faktor Predisposisi ................................................................................... 60
2. Faktor Pendukung .................................................................................... 69
3. Faktor Penguat ......................................................................................... 72
D. Dinamika Perilaku Kesehatan dalam Pemasungan ........................................ 77
BAB V. PENUTUP .................................................................................................... 85
A. Kesimpulan .................................................................................................... 85
B. Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 86
C. Saran .............................................................................................................. 87
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ......................................................................... 87
2. Bagi Praktisi Psikologi ............................................................................. 88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xvii
3. Bagi Pihak Rumah Sakit Jiwa .................................................................. 88
4. Bagi Keluarga yang Memiliki Anak Dipasung ........................................ 89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di
Indonesia, di mana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah
penderita skizofrenia. Hal ini ditemukan oleh dr. Danardi Sosrosumihardjo,
Spp. KJ dari kedokteran Jiwa FKUI/RSCM (Republika, 2000). Selain itu,
prognosis untuk penderita skizofrenia pada umumnya kurang
mengembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan
fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum muncul gangguan
tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya
cenderung memburuk. Sekitar 50% berada di antaranya, ditandai dengan
kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali
untuk waktu yang singkat (Arif, 2006). Hal tersebut membuat skizofrenia
menjadi salah satu gangguan mental yang sangat berat. Bila tidak segera
ditangani, gangguan ini akan sangat cepat mengganggu proses perkembangan
kepribadian pasien, sehingga mengakibatkan kerentanan yang berat dan
berujung pada kerusakan pada kepribadian individu (Arif, 2006).
Skizofrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi pasien, tapi
juga bagi orang-orang terdekatnya. Biasanya keluarga adalah orang yang
paling terkena dampak kehadirnya pasien skizofrenia. Selain dikarenakan
biaya perawatan yang tinggi, hampir 70% penderita adalah pasien di RSJ
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2
secara menahun. Akibatnya, kehadiran penderita cenderung dirasakan sebagai
beban keluarga (Arif, 2006). Pilihan keluarga untuk merawat dan tinggal
bersama pasien skizofrenia akan menimbulkan permasalahan yang akan
dialami oleh seluruh anggota keluarga. Perubahan yang dapat memicu
munculnya stress pada keluarga antara lain gejala skizofrenia yang
mengganggu, perubahan rutinitas dan aktivitas seluruh anggota keluarga
sehari-hari, ketegangan hubungan keluarga dengan lingkungan sosial,
kehilangan dukungan sosial, berkurangnya waktu luang dan kondisi keuangan
yang memburuk (Stengard dalam Wardhani, 2013).
Dampak-dampak yang dialami keluarga ini cenderung membuat
anggota keluarga menjauhkan diri dari penderita skizofrenia dan cenderung
menolak pasien skizofrenia (Koolaee & Eternadi, 2009). Penelitian Wardhani
(2013) menjelaskan bahwa perilaku keluarga terhadap pasien skizofrenia
yang menolakan berupa keluarga tidak mencari informasi, merawat dengan
merantai kaki, mengasingkan dan berperilaku kasar selama penderita
skizofrenia berada di rumah, dan keluarga menolak untuk menjenguk ke
rumah sakit jiwa. Kita ketahui, akibat dari perilaku keluarga yang cenderung
menjauhkan diri dari pasien skizofrenia akan memperburuk kondisi pasien.
Tetapi tidak jarang beberapa keluarga menyerah untuk menghadapi penderita
skizofrenia, sehingga cenderung menjauhinya, dan beberapa di antaranya
memilih untuk memasung pasien skizofrenia.
Menurut survei Kementerian Sosial pada 2008, dari sekitar 650 ribu
penderita gangguan jiwa berat di Indonesia, sedikitnya 30 ribu dipasung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3
Memasung pasien skizofrenia berarti keluarga melakukan segala tindakan
pengikatan dan pengekangan fisik yang dapat mengakibatkan kehilangan
kebebasan seseorang (Minas & Diarti, 2008 dalam Lestari, Choiriyyah, dan
Mathafi, 2013).
Pemasungan menjadi salah satu bentuk perilaku keluarga untuk
menangani penderita skizofrenia, padahal pemasungan jelas akan
memperparah penderitaan pasien skizofrenia. Dampak negatifnya, yaitu
penderita mengalami trauma, dendam kepada keluarga, merasa dibuang,
rendah diri, dan putus asa. Hal ini akan memunculkan depresi dan gejala
bunuh diri pada korban pemasungan (Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi,
2013). Hasil penelitian dari Divisi Psikiatri Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
mengenai dampak pemasungan menunjukan bahwa dalam kurun waktu 2006-
2007 terdapat 15 kasus pemasungan penderita skizofrenia di Samosir,
Sumatera Utara, dan Bireuen, Aceh. Pemasungan tersebut membuat kaki dan
tangan korban mengecil. Setelah diperiksa dengan saksama, otot dari pinggul
sampai kaki mengecil karena lama tidak digunakan. Dampak ini dijumpai
pada penderita yang sudah dipasung selama sepuluh tahun (Minas dan Diatri,
2008)
Berdasarkan penjelasan di atas, sudah pasti pemasungan melanggar
Hak Asasi Manusia (HAM) karena dipandang tidak manusiawi, dan
menambah siksaan fisik dan psikis. Pemasungan sangat bertolak belakang
dengan Undang-undang yang telah dibuat, yakni dalam Pasal 42 Undang-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan:
“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus
atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan
martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”.
Pada tahun 2010, pemerintah berusaha mengatasi masalah pemasungan
tersebut dengan mencanangkan program Indonesia Bebas Pasung. Program
tersebut berjalan cukup baik. Terjadi penurunan jumlah pemasungan di
Indonesia. Pada tahun 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data
penderita psikotik yang di pasung sebanyak 383 kasus, 238 pengalami
pembebasan, dan 145 masih tetap di pasung. Pada tahun 2011 ditemukan
1139 kasus, 990 bebas pasung dan 149 masih tetap di pasung. Pada tahun
2012 ditemukan 880 kasus, 524 bebas pasung dan 356 masih tetap pasung.
Pada tahun ini 2013 ditemukan 799 kasus, sebanyak 456 bebas pasung dan
343 masih di pasung (https://www.kemsos.go.id, 2013).
Upaya pemerintah mengatasi masalah pemasungan dengan
mencanangkan Indonesia Bebas Pasung sudah cukup baik karena berdasarkan
penelitian yang dilakukan Fitrikasari dan Hediati (2011) didapatkan hasil
bahwa pengobatan yang dilakukan dapat meningkatkan penilaian fungsi
pribadi dan sosial, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan berulangnya
kasus pemasungan setelah pasien kembali ke keluarganya atau terjadinya
kasus pemasungan yang baru, apabila keluarga masih punya kecenderungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5
untuk melakukan tindakan pemasungan, termasuk pada pasien yang sudah
mendapatkan pengobatan.
Berikut ini adalah hasil cerita singkat yang dijumpai penulis berkaitan
dengan permasalahan mengenai pemasungan di provinsi Bali. Permasalahan
yang diceritakan oleh seorang psikiater yang berkecimpung dalam Suryani
Institute for Mental Health, pada tanggal 14 Agustus, 2015. Seorang psikiater
mendapatkan informasi ini, ketika ia melakukan kegiatan penanganan pasien
skizofrenia yang dipasung:
”Beberapa orangtua terkadang sangat antusias dengan
kedatangan para psikiater dan perawat yang datang ke rumah-
rumah penderita yang dipasung untuk memberikan pengobatan,
bahkan beberapa diantara mereka meminta agar pengobatan
tersebut dilakukan dengan rutin agar anak mereka bisa pulih
kembali. Namun ketika psikiater melakukan pendekatan dengan
orang tua untuk melepas pasung, beberapa diantara orangtua
menunjukan sikap penolakan dan cenderung mengalihkan
pembicaraan “
Tidak hanya itu, salah satu team Suryani Institute for Mental Health
ikut menambahkan lagi komentarnya mengenai permasalahan program
pemerintah tersebut :
“Masalahnya tidak hanya membebaskan pasien
skizofrenia saja, tapi ada penanganan jangka panjang yang tidak
pernah orang bayangkan. Kebanyakan orang berpikir seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6
menangani sakit flu, setelah panas hilang pasien akan berfungsi
kembali dengan sendirinya”
Berdasarkan pemaparan di atas, serta hasil wawancara singkat yang
dilakukan, penulis melihat bahwa pemerintah sudah mencoba menangani
permasalahan pemasungan yang terjadi di Indonesia, dengan cara memberi
bantuan pengobatan kepada penderita skizofrenia yang dipasung. Namun,
tidak semua penanganan tersebut berjalan dengan lancar. Beberapa keluarga
memilih untuk tetap memasung anaknya dan tidak mau melepas pasien dan
membawa pasien berobat kembali kerumah sakit, walaupun pemerintah sudah
mengeluarkan jaminan kesehatan berupa pemberian fasilitas dan pengobatan
gratis melalui program bebas pasung.
Saat ini muncul pertanyaaan mengenai bagaimana pemanfaatan
jaminan kesehatan medis tersebut oleh keluarga yang mendapat pengobatan
medis, terutama keluarga yang berhenti melakukan pengobatan medis dan
tetap melakukan perilaku memasung, padahal pemerintah sudah
mengeluarkan dana untuk meluncurkan program pengobatan gratis tersebut.
Apakah pemerintah kurang memberi fasilitas yang memadai kepada keluarga,
sehingga keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan masih tetap
memasung anaknya? Apa yang melatarbelakangi perilaku tersebut sehingga
keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan tetap memasung?
Menurut Lewin (1954) dalam Notoadmodjo (2010), perilaku keluarga dalam
mengambil keputusan untuk pengobatan keluarganya dipengaruhi oleh
kepercayaan keluarga terhadap fasilitas kesehatan. Upaya atau tindakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7
seseorang untuk memanfaatkan sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia
yang sering dipaparkan dalam bentuk perilaku kesehatan.
Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan,
minuman, dan pelayanan kesehatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang
diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku kesehatan masyarakat adalah sebuah hasil dari interaksi yang
kompleks dan holistik oleh individu dengan lingkungan yang
mempengaruhinya beserta pelayanan kesehatan yang ada. Sehingga perilaku
kesehatan itu sangat dinamis dan mengikuti aspek-aspek yang
mempengaruhinya. Menurut Lawrence Green, 1980 dalam Notoatmodjo,
2010 menjelaskan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang dirangkum dalam akronim PRECED:
Predisposing, Enabling, dan Reinforcing Causes in Educational Diagnoses
and Evaluation. Precede ini adalah merupakan arahan dalam menganalisis
atau mendiagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi pendidikan
(promosi) kesehatan. Precede dapat diuraikan melalui 3 faktor, yakni faktor-
faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan
yang diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sikap
yang menggambarkan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap objek,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8
kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih
dahulu terhadap penyakit tersebut oleh keluarga pasien. Faktor pemungkin
(enabling factors), yang terwujud dalam sumber-sumber daya yang
mencakup fasilitas, biaya, waktu, tenaga, jarak tempuh, ketersediaan sarana
pelayanan kesehatan, ketersedian alat transportasi yang mempengaruhi
keluarga untuk menggunakan pengobatan medis. Faktor-faktor pendorong
atau penguat (renforcing factors), merupakan faktor sesudah perilaku yang
memberikan reward atau insentif berkelanjutan bagi perilaku dan
berkontribusi bagi persistensi atau pengulangan terhadap perilaku keluarga
pasien.
Munculnya fenomena pemasungan ini sebagai hasil dari perilaku
kesehatan masyarakat dalam bentuk tanpa melakukan pengobatan, membuat
penulis tertarik untuk melihat secara lebih dalam mengenai perilaku
kesehatan yang terfokus pada pengobatan medis yang dilakukan oleh
keluarga yang memiliki anak penderita skizofrenia yang dipasung. Perilaku
kesehatan medis mengkaji aktivitas dan respon keluarga berkaitan dengan
upaya pemeliharaan atau peningkatan kesehatan dengan cara melihat
pengalaman yang dirasakan selama proses pengobatan atau penyembuhan
menggunakan pengobatan medis hingga keluarga mengambil keputusan
untuk berhenti melakukan pengobatan dan memilih untuk melakukan
pemasungan. Respon keluarga terhadap perilaku kesehatan medis dapat
ditinjau dari beberapa faktor, yaitu predisposing factor, enabling, dan
reinforcing causes in educational diagnoses and evaluation pada keluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9
yang memiliki anak penderita skizofrenia yang di pasung. Faktor-faktor
tersebut akan dijadikan acuan bagi penulis dalam menganalisis atau diagnosis
perilaku kesehatan medis dari keluarga sehingga dapat dilakukan evaluasi dan
dapat memberikan intervensi yang sesuai.
Diharapkan hasil penelitian bisa membantu pemerintah dan pemberi
layanan kesehatan untuk memperbaiki program yang sudah dibentuk selama
ini, dengan melihat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses
pengambilan keputusan masyarakat mengenai penggunaan dari fasilitas
kesehatan medis. Sehingga layanan kesehatan bisa menentukan strategi
pendekatan yang lebih tepat dalam upaya mengubah perilaku kesehatan
medis masyarakatnya yang masih tetap memasung anaknya.
Dalam penelitian ini penulis akan melakukan penelitian terhadap
anggota keluarga yang memiliki anak atau saudara yang menderita gangguan
skizofrenia yang masih dipasung dan pernah mendapatkan penanganan dari
tim rumah sakit jiwa. Peneliti memilih anggota keluarga sebagai subjek
karena perilaku kesehatan pada pasien skizofrenia merupakan perilaku yang
dikondisikan oleh anggota keluarga pasien dan tidak dijalani, ataupun
dirasakan sendiri oleh pasien.
Sejauh ini belum ada penelitian yang membahas mengenai gambaran
perilaku kesehatan medis pada keluarga yang memiliki anak menderita
gangguan skizofrenia yang dipasung. Penelitian mengenai perilaku kesehatan
selama ini juga lebih banyak membicarakan tentang perilaku kesehatan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10
penderita penyakit yang tergolong berat dan berstadium lanjut. Nugroho
(2011) ingin melihat faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan
tuberkolosis paru di BP4 Tegal, dan disimpulkan faktor yang
melatarbelakangi drop out adalah lama pengobatan melewati tahap intensif
sehingga gejala hilang dan pasien merasa sembuh, pembiayaan pengobatan
tidak secara cuma-cuma, pasien tidak mengetahui tentang tahapan
pengobatan, tidak adanya pengawasan menelan obat, adanya kesulitan
transportasi menuju BP4, adanya efek samping obat, ketidaktahuan tentang
komplikasi penyakit. Chusairi (2004) melakukan penelitian terhadap
penderita kanker stadium akhir di poli perawatan paliatif, dan menghasilkan
simpulan bahwa gambaran perilaku kesehatan pada pasien poli perawatan
paliatif mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Penyakit yang berada
pada tahap terminal membuat mereka memutuskan cara pengobatan medis
maupun non-medis untuk memperingan beban sakit baik disease maupun
illnessnya (2) Para pasien poli perawatan paliatif sudah tidak banyak diminta
untuk memutuskan sendiri cara pengobatannya, namun pendapat keluarga
dan other person or significant person lebih berperan dalam pengambilan
keputusan health seeking behavior-nya (3) Pertimbangan faktor internal
seperti personal reference, kepercayaan dorongan spiritual dan sikap tetap
memberikan kontribusi positif dalam health seeking behavior (4)
Pertimbangan faktor eksternal seperti kondisi keuangan, budaya, waktu dan
fasilitas juga merupakan sesuatu hal yang tidak pernah diabaikan dalam
health seeking behavior. Beberapa peneliti juga sempat membahas mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11
perilaku keluarga terhadap pasien skizofrenia. Salah satunya yaitu penelitian
dari Wardhani (2013) yang melihat proses penerimaan keluarga terhadap
pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap. Hasil penelitian menunjukan
bahwa hanya satu dari tiga keluarga pasien yang mau menerima secara penuh
pasien skizofrenia. Hal tersebut dipengaruhi oleh permasalahan yang dihadapi
ketiga keluarga yaitu: 1) Pemahaman dan informasi terkait gangguan jiwa, 2)
Cara merawat pasien, 3) Penilaian lingkungan terhadap keluarga, 4) Penilaian
keluarga terhadap pasien.
Penulis sudah mencari jurnal online maupun jurnal cetak, namun
sejauh ini penulis hanya sedikit menemukan jurnal atau hasil penelitian yang
mengkaitkan pemasungan dengan perilaku kesehatan. Lestari, Choiriyyah,
Mathafi (2014) melakukan penelitian untuk melihat kecenderungan atau
sikap keluarga penderita gangguan jiwa terhadap tindakan pasung, dan
menghasilkan kesimpulan bahwa 50% keluarga penderita gangguan jiwa
yang datang ke poliklinik RSJ mempunyai sikap kurang mendukung terhadap
tindakan pasung karena alasan kasihan, menyiksa, dengan dipasung penderita
tidak bisa sembuh, bisa melukai, dan tidak bisa bergerak bebas. Sedangkan
keluarga yang mempunyai kecenderungan untuk memasung merasa bahwa
pasung baik dilakukan jika pasien mengamuk, jika kondisi ekonomi tidak
ada, dan bersifat sementara untuk mengendalikan emosi pasien. Sehingga
tidak mengamuk, membahayakan, dan mengganggu orang lain. Minas dan
Diatri (2008) menjelaskan bahwa sedikit aktivis dan organisasi yang tertarik
untuk meneliti penomena pemasungan, hal tersebut karena akses yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12
terjangkau. Diharapkan jika penelitian berfokus pada perilaku kesehatan
medis pasien, hasil ini dapat menambahkan informasi mengenai dinamika
perilaku yang dilakukan keluarga selama menggunakan pengobatan medis
dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan
keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis dan tetap
memasung pasien skizofrenia secara lebih mendalam, yang ditinjau dari
faktor predisposing, enabling, dan reinforcing causes in educational
diagnoses and evaluation pada keluarga yang memiliki anak penderita
skizofrenia yang di pasung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang, maka ditemukan dua pertanyaan
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku kesehatan
yang ditinjau dari faktor predisposing, enabling, dan reinforcing
causes in educational diagnoses and evaluation pada keluarga
yang memiliki anak penderita skizofrenia yang di pasung?
2. Bagaimana perilaku kesehatan medis dan dinamika perilaku
kesehatan medis pada keluarga yang memiliki anak menderita
gangguan skizofrenia yang dipasung?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran dari perilaku kesehatan
medis pada keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia
yang dipasung, pengalaman dan proses yang jelas selama melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13
pengobatan medis, serta mengetahui alasan keluarga dalam pengambilan
keputusan akhir untuk memasung.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber literatur terkait
dengan tema pemasungan dan perilaku kesehatan medis. Selain itu, terkait
dengan faktor minimnya penelitian mengenai kasus pemasungan, penulis
berharap penelitian ini bisa menjadi tambahan informasi jika nantinya
penelitian berikutnya ingin mengembangkan topik serupa.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Praktisi Psikologis
Diharapkan hasil dari penelitian mampu memberikan gambaran
permasalahan-permasalahan pada pasien skizofrenia yang ada di
lapangan, sehingga harapannya para praktisi psikologis bisa
memberikan penanganan yang sesuai dengan permasalahan yang
terjadi di lapangan.
b. Bagi Pihak Rumah Sakit Jiwa
Diharapkan hasil tersebut dapat membantu pihak rumah sakit untuk
memperbaiki program yang sudah dibentuk selama ini, dengan
melihat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan
keputusan masyarakat mengenai penggunaan dari fasilitas kesehatan.
Sehingga layanan kesehatan bisa menentukan strategi pendekatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14
yang lebih tepat dalam upaya mengubah perilaku kesehatan
masyarakatnya yang masih tetap memasung pasien.
c. Bagi Keluarga yang Memiliki Anak Dipasung
Diharapkan hasil penelitian bisa memberikan informasi dan
gambaran kepada keluarga, bahwa perilaku pemasungan tidak baik
untuk dilakukan kepada pasien skizofrenia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini, penulis pertama-tama akan menjelaskan apa yang dimaksud
dengan penyakit skizofrenia, gejala-gejala, kategorisasi jenis skizofrenia dan
etiologinya. Kemudian, penulis akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan
perilaku kesehatan medis, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
kesehatan medis. Selanjutnya, pembahasan akan menerangkan mengenai definisi
pemasungan dan jenis-jenisnya. Pada bagian terakhir, penulis akan menyampaikan
kerangka konsep penelitian ini.
A. Skizofrenia
1. Definisi Gangguan Skizofrenia
Bleuler dalam Semiun (2006) menjelaskan bahwa skizofrenia
diartikan sebagai “kepribadian terbelah”. Schizophrenia berasal dari
bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata, yakni schistos = terbelah dan
phren = otak. Dengan demikian, skizofrenia berarti otak terbelah atau
kepribadian terbelah.
World Health Organitation (2013) menjelaskan bahwa skizofrenia
adalah gangguan mental parah yang secara tipikal muncul pada usia
remaja akhir atau dewasa awal. Gangguan ini ditandai dengan distorsi
persepsi dan pikiran, serta emosi yang tidak sesuai. Gangguan ini juga
meliputi fungsi-fungsi dasar yang pada orang normal, memberikan
perasaan individualis, keunikan, dan pengarahan diri. Perilakunya benar-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16
benar terganggu selama tahap munculnya gangguan, yang mengarah pada
konsekuensi sosial yang tidak menyenangkan, kepercayaan salah yang
sangat kuat dan tanpa realita.
White mengatakan bahwa ciri yang sangat membedakan skizofrenia
dari psikosis-psikosis lain ialah sikap aneh terhadap kenyataan, kurangnya
perhatian untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan, perhatian untuk
menyesuaikan diri dengan kenyataan menjadi sekunder dibandingkan
perhatiannya terhadap hal-hal lainnya (White, 1948 dalam Semiun, 2006)
Berdasarkan beberapa pengertian skizofrenia yang telah diuraikan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah gangguan mental
parah yang cenderung muncul pada usia remaja akhir atau dewasa awal.
Gangguan ini ditandai dengan distorsi persepsi dan pikiran, serta emosi
yang tidak sesuai. Perilakunya benar-benar terganggu selama tahap
munculnya gangguan. Ditandai dengan sikap aneh terhadap kenyataan,
kurangnya perhatian untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan, perhatian
untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan menjadi sekunder
dibandingkan perhatiannya terhadap hal-hal lainnya.
2. Gejala-Gejala Skizofrenia
Gejala-gejala skizofrenia terbagi atas tiga katagori, yaitu gejala positif,
negatif, dan disorganisasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17
a. Gejala positif
Gejala positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi,
seperti halusinasi dan delusi atau waham. Gejala ini, sebagian
tersebarnya menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia.
1) Delusi atau dikenal juga dengan istilah waham, yaitu keyakinan
yang berlawanan dengan kenyataan, beberapa yang mendekati
delusi juga dianggap sebagai gejala-gejala positif yang umum
pada skizofrenia (Schneider, 1959 dalam Davison, 2006).
Gambaran delusi di bawah ini dikutip dari Mellor, 1970 dalam
Davison, 2006:
a) Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan berasal dari dirinya
dimasukkan ke dalam pikirannya oleh suatu sumber ekternal.
b) Pasien yakin bahwa pikiran mereka disiarkan dan
ditransmisikan sehingga orang lain mengetahui apa yang
mereka pikiran.
c) Pasien berpikir bahwa pikiran mereka telah dicuri, secara tiba-
tiba dan tanpa terduga, oleh suatu kekuatan eksternal.
d) Beberapa pasien yakin bahwa perasaan atau perilaku mereka
dikendalikan oleh suatu kekuatan ekstenal.
2) Halusinasi yaitu keadaan dimana penderita yang berhalusinasi
mengungkapkan pengalamannya tentang kenyataan secara salah
dan sama sekali tidak tepat, mendengar, mencium, atau melihat
segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Yustinus, 2006). Tipe–
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18
tipe halusinasi antara lain (dikutip dari Mellor, 1970 dalam
Davison, 2006):
a) Beberapa pasien skizofrenia menuturkan bahwa mereka
mendengarkan pikiram mereka diucapkan oleh suara lain.
b) Beberapa pasien mengklaim bahwa mereka mendengar suara-
suara yang saling bedebat.
c) Beberapa pasien mendengar suara-suara yang mengomentari
perilaku mereka.
b. Gejala negatif
Gejala negatif skizofrenia mencakup berbagai defisit behavioral,
seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas.
Gejala-gejala ini cenderung bertahan melampaui suatu episode akut
dan memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien skizofrenia.
Gejala ini juga penting secara prognostik, banyaknya gejala negatif
merupakan prediktor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (a.l.,
ketidakmampuan bekerja, hanya memiliki sedikit teman) dua tahun
setelah dirawat dirumah sakit (Ho, 1998 dalam Davison, 2006).
1) Avolition
Apati atau avolation merupakan kondisi kurangnya energi dan
ketiadaan minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa
yang biasanya merupakan aktivitas rutin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19
2) Alogia
Merupakan suatu gangguan pikiran negatif, alogia dapat terwujud
dalam beberapa bentuk. Seperti miskin isi percakapan, jumlah
percakapan yang memadai, namun hanya mengandung sedikit
informasi dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang.
3) Anhedonia
Ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan disebut
anhedonia. Ini tercermin dalam kurangnya minat dalam berbagai
aktivitas rekreasional, gagal untuk mengembangkan hubungan
dekat dengan orang lain, dan kurangnya minat dalam hubungan
seks. Pasien sadar akan gejala-gejala ini dan menuturkan bahwa
apa yang biasanya dianggap aktivitas yang menyenangkan
tidaklah demikian bagi mereka.
4) Afek Datar
Pada pasien yang memiliki afek datar hampir tidak ada stimulus
yang dapat memunculkan respons emosional. Pasien menatap
dengan pandangan kosong, otot-otot wajah kendur, dan mata
mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab
dengan suara datar dan tanpa nada. Afek datar terjadi pada 66
persen dari suatu sampel besar pasien skizofrenia (Sartorius, 1974
dalam Davison, 2006)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20
5) Asosialitas
Beberapa pasien mengalami ketidakmampuan parah dalam
hubungan sosial, yang disebut asodialitas. Mereka hanya memiliki
sedikit teman, keterampilan sosial yang rendah, dan sangat kurang
berminat berkumpul bersama orang lain. Manifestasi skizofrenia
ini sering kali merupakan yang pertama kali mucul, berawal dari
masa kanak-kanak sebelum timbulnya gejala-gejala yang lebih
psikotik.
c. Gejala Disorganisasi
Gejala disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan
perilaku aneh (bizarre).
1) Disorganisasi Pembicaraan juga dikenal sebagai ganguan berpikir
formal, dan merujuk pada masalah dalam mengorganisasikan
berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar
dapat memahaminya. Pembicaraan juga menjadi terganggu
karena suatu hal yang disebut asosiasi longgar, atau keluar jalur
(derailment), dalam hal ini pasien dapat lebih berhasil dalam
berkomunikasi dengan seorang pendengar namun mengalami
kesulitan untuk tetap pada satu topik. Ia tampak seolah terbawa
oleh aliran asosiasi yang muncul dalam pikiran yang berasal dari
suatu pemikiran sebelumnya. Para pasien memberikan deskripsi
atau kondisi tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21
2) Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat
meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak
dapat dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah
laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol,
menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan
perilaku seksual yang tidak pantas seperti melakukan manstrubasi
di depan umum. Mereka tampak kehilangan kemampuan untuk
mengatur perilaku mereka dan menyesuaikan dengan berbagai
standar masyarakat. Mereka juga menampilkan kesulitan
melakukan tugas-tugas sehari-hari dalam hidup.
d. Gejala Lain
Beberapa gejala lain skizofrenia yang tidak cukup tepat untuk
digolongkan ke dalam ketiga lategori yang telah disampaikan. Dua
gejala penting dalam kelompok ini adalah katatonik dan afek yang
tidak sesuai :
1) Katatonik
Beberapa abnormalitas motorik menjadi ciri katatonia. Para pasien
dapat melakukan suatu gerakan berulang kali, mengunakan urutan
yang aneh dan kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan,
yang sering kali tampaknya memiliki tujuan tertentu. Beberapa
pasien menunjukan peningkatan yang tidak biasa pada
keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat ringan, menggerakan
anggota badan secara liar, dan pengeluaran energi yang sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22
besar seperti yang terjadi pada mania. Di ujung lain spectrum ini
adalah imobilitas katatonik : pasien menunjukan berbagai postur
yang tidak biasa dan tetap dalam posisi demikian untuk waktu
yang sangat lama.
2) Afek yang tidak sesuai
Beberapa penderita skizofrenia memiliki afek yang tidak sesuai.
Respon-respon emosional individu semacam ini berada di luar
konteks, pasien dapat tertawa ketika mendengar kabar bahwa
ibunya baru meninggal atau marah ketika ditanya dengan
pertanyaan sederhana. Para pasien tersebut dengan cepat berubah
dari satu kondisi emosional ke kondisi emosional lain tanpa alasan
yang jelas. Meskipun gejala ini cukup jarang terjadi, namun bila
benar-benar terjadi, gejala ini memiliki kepentingan diagnostik
yang besar karena relatif spesifik bagi skizofrenia.
3. Kriteria diagnostik untuk skizofrenia
Berawal dari DSM-III dan berlanjut dalam DSM-IV dan DSM-IV-
TR, konsep skizofrenia mengalami perubahan besar dari definisi terdahulu
yaitu:
a. Characteristic sympthoms : terdapat dua atau lebih gejala-gejala
berikut ini dengan porsi waktu yang signifikan selama sekurang-
kurangnya satu bulan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23
1. Waham
2. Halusinasi
3. Disorganisasi bicara
4. Disorganisasi perilaku
5. Gejala-gejala negatif
b. Social/occupational dysfungtion: keberfungsian sosial dan pekerjaan
menurun sejak timbulnya gangguan.
c. Duration: gejala gangguan terjadi sekurang-kurangnya enam bulan,
sekurang-kurangnya satu bulan untuk gejala-gejala pada poin pertama.
Selebihnya gejala-gejala negatif atau gejala lain pada poin pertama
dalam bentuk ringan.
d. Para pasien mengalami gejala-gejala gangguan mood secara spesifik
dipisahan. Skizofrenia tipe skizoafektif, sekarang dicantumkan sebagai
gangguan skizoafektif di bagian yang berbeda sebagai salah satu
gangguan psikotik. Gangguan skizoafektif mencakup gangguan
gabungan gejala-gejala skizofrenia dan gangguan mood.
e. DSM-IV-TR mensyaratkan bahwa gangguan terjadi sekurang-
kurangnya enam bulan untuk diagnosis ini. Periode enam bulan
tersebut harus mencakup satu episode akut atau fase aktif selama
sekurang-kurangnya satu bulan, ditandai dengan adanya minimal dua
gejala. Sisa waktu yang diperlukan bagi diagnosis dapat terjadi
sebelum atau sesudah fase aktif. Berbagai masalah yang terjadi pada
fase ini mencakup penarikan diri dari hubungan sosial, kendala dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24
keberfungsian peran, afek yang tumpul atau tidak sesuai, kurangnya
inisiatif, cara bicara yang membingungkan dan tidak dapat dimengerti,
gangguan dalam kebersihan dan kerapian, keyakinan yang aneh atau
pikiran magis, dan pengalaman perseptual yang tidak wajar.
f. Beberapa gangguan pada DSM-II dianggap bentuk ringan skizofrenia,
sekarang didiagnosis sebagai gangguan kepribadian. Contohnya,
gangguan kepribadian skizotipal.
4. Kategori sizofrenia dalam DSM-IV-TR
a. Paranoid Type
Semiun (2006) menjelaskan bahwa penderita skizofrenia paranoid
memperlihatkan ide-ide referensi dan pengaruh, serta delusi dikejar-
kejar (delusion of persecution) dan kadang-kadang delusi kemegahan
(delusion of grandeur. Gangguan ini berkembang agak lambat dan
mungkin muncul sedikit dibandingkan reaksi-reaksi skizofrenia
lainnya. Ciri khas penderita paranoid adalah murung, mudah
tersinggung, dan curiga.
b. Disorganized Type
Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan oleh
Kraeplin disebut skizofrenia disorganisasi dalam DSMM-IV-TR. Cara
bicara mereka mengalami disorganisasi dan sulit dipahami oleh
pendengar. Pasien dapat bicara secara tidak runtut, menggabungkan
kata-kata yang terdengar sama dan bahkan menciptakan kata-kata baru,
sering kali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki afek datar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25
atau terus-menerus mengalami perubahan emosi yang dapat meledak
menjadi tawa atau tangis yang tidak dapat dipahami. Perilaku pasien
secara umum tidak terorganisir dan tidak bertujuan. Pasien kadang kala
mengalami kemunduran sampai ke titik yang tidak pantas, buang air
besar sembarangan, dan benar-benar mengabaikan penampilan
(Davison, 2006).
c. Catatonic Type
Skizofrenia katatonik cenderung bertingkah laku yang tidak
masuk akal dan selalu terjadi berulang-ulang, seperti misalnya
berjalan mondar-mandir tidak henti-henti, selain itu cenderung terus
mengulang kata-kata yang sama. Meskipun tingkah lakunya
menunjukan pengunduran diri dari kenyataan, tetapi kemungkinan
untuk sembuh jauh lebih besar dibandingkan dengan tipe-tipe
skizofrenia yang lain (Semiun, 2006). Dalam reaksi katatonik,
penderita berubah-ubah sikap antara keadaan stupor (seperti terbius)
dan keadaan gempar serta meledak-ledak. Dalam keadaan stupor,
penderita kehilangan segala semangatnya, tetap tidak bergerak
selama berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan pada kejadian-
kejadian tertentu bias lebih lama lagi. Ia tidak makan dan tidak
menunjukan usaha untuk menunjukan usaha ingin mengendalikan
buang air besar atau buang air kecil. Suatu hal yang mengherankan
bahwa meskipun ia tampaknya stupor, tetapi ia bisa mengetahui
semua yang terjadi di sekitarnya dan kadang-kadang dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26
memberikan bukti yang jelas atas apa yang diketahuinya. Kadang-
kadang negativisme bisa berubah menjadi sikap mudah dipengaruhi
dan penderita akan menirukan tingkah laku orang lain dan
mengulang secara mekanik kata-kata orang lain atau menjalankan
perintah orang lain secara otomatis. Selain itu, pada tahap cerea
flexibility, yaitu badan menjadi beku seperti lilin. Ia menderita
katalepsi, seperti berada dalam keadaan trance, seluruh badannya
menjadi kaku, atau bahkan tidak bias dibengkokkan. Jika ia
mengambil posisi tertentu maka ia bertingkah laku demikian bisa
sampai berjam-jam atau bahkan berhari-hari.
Dari keadaan stupor, penderita beralih kepada keadaan
gempar dan meledak-ledak, dan munculnya secara tiba-tiba tanpa
adanya peringatan. Ia seperti berada di bawah beban kegiatan yang
berat. Ia berbicara gempar dan meledak-ledak tanpa sebab dan tanpa
tujuan. Ia bias melakukan tingkah laku seksual yang tidak
terkendali, atau perbuatan agresif yang ditunjukan kepada dirinya
sendiri, atau terhadap orang-orang lain yang ada disekitarnya.
d. Undifferentiated Type
Skizofrenia yang tidak terperinci atau undifferentiated type
merupakan tipe yang tidak memiliki satu atau lebih dari semua
kriteria yang dikemukakan. Skizofrenia yang tidak terperinci tidak
memenuhi kriteria umum untuk didiagnosa skizofrenia, tidak
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27
katatonik, atau tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual
atau depresi pasca skizofrenia (Maslim, 1998 dalam Semiun 2006).
e. Residual Type
Orang-orang yang mengalami gangguan skizofrenia residual
adalah orang-orang uang sekurang-kurangnya memiliki riwayat
episode psikotik yang jelas pada masa lampau dan sekarang
memperlihatkan beberapa tanda skizofrenia, seperti emosi yang
tumpul, menarik diri dari masyarakat, bertingkah laku eksentrik, atau
mengalami gangguan pikiran, tetapi gejala-gejala ini pada umumnya
tidak begitu kuat. Selanjutnya, gejala-gejala seperti delusi dan
halusinasi mulai terjadi dan hanya samar-samar (Holmes, 1991 dalam
Semiun, 2006).
Untuk didiagnosisi sebagai skizofrenia residual harus
memenuhi semua persyaratan sebagai berikut: (1) gejala negatif dari
skizofrenia yang menonjol, misalnya psikomotor lambat, aktivitas
menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan tidak ada inisiatif,
kuantitas atau isi pembicaraan miskin, modulasi suara, posisi tubuh,
serta perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk; (2) Sedikitnya ada
riwayat satu episode psikotik yang jelas pada masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia; (3) Sedikitnya sudah
melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham (keyakinan atau pikiran yang salah
karena bertentangan dengan dunia nyata, serta dibangun atas unsur-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28
unsur yang tidak berdasarkan logika, curiga) dan halusinasi sangat
berkurang (minimal) dan timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia,
serta (4) Tidak terdapat dementia atau penyakit atau gangguan otak
organik yang lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat
menjelaskan disabilitas negatif tersebut (Maslim, 1998 dalam Semiun,
2006).
5. Etiologi Skizofrenia
a. Data genetik
Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasi bahwa suatu
predisposisi bagi skizofrenia diturunkan secara genetik. Metode
keluarga, kembar, dan adopsi digunakan dalam penelitian dan
menyimpulkan bahwa skizofrenia diturunkan secara genetik. Selain itu
para pasien yang memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga
mengalami banyak gejala negatif dibandingkan para pasien yang tidak
memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga (Malaspina, 2000 dalam
Davison, 2006), menunjukan bahwa gejala-gejala negatif dapat
mengandung komponen genetik yang lebih kuat. Dengan demikian,
data yang diperoleh melalui metode keluarga mendukung bahwa suatu
predisposisi terhadap skizofrenia dapat menurun secara genetik.
Meskipun demikian, berbagai studi yang lebih mutakhir terhadap anak-
anak yang orangtuanya menderita skizofrenia yang dibesarkan oleh
orangtua asuh dan orangtua adopsi, ditambah pemantauan terhadap
para kerabat anak-anak adopsi yang menderita skizofrenia, hampir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29
menghilangkan potensi pengaruh lingkungan yang membingungkan.
Faktor-faktor genetik hanya dapat menjadi pemberi predisposisi
terhadap skizofrenia. Diperlukan beberapa jenis stress untuk membuat
predisposisi menjadi patologi yang dapat diamati.
b. Faktor Biokimia
Peran faktor-faktor genetik dalam skizofrenia menunjukan
bahwa faktor-faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh
dan proses-proses biologis membuat faktor keturunan tersebut dapat
berpengaruh. Penelitian saat ini mengkaji beberapa neurotransmitter
yang berbeda, seperti norepinefrin dalam serotonin, dan salah satu
faktor yang paling mempengaruhi yaitu, dopamin.
Pada awalnya para peneliti berasumsi bahwa skizofrenia
disebabkan oleh kelebihan dopamin. Namun, seiring dilakukannya
berbagai studi lain, asumsi ini tidak mendapat dukungan, karena
jumlah dopamin tidak ditemukan dalam jumlah yang besar pada
penderita skizofrenia (Bowers, 1947 dalam Davison, 2006).
c. Otak
Analisis pasca kematian pada otak pasien skizofrenia merupakan
salah satu sumber bukti. Berbagai studi mengungkapkan adanya
abnormalitas pada beberapa daerah otak pasien skizofrenia, meskipun
abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antar studi, dan
terdapat banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling
konsisten adalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30
hilangnya beberapa sel otak. Beberapa temuan lain yang cukup
konsisten mengindikasikan abnormalitas struktur pada daerah
subkortikal temporalimbik, seperti hipokampus dan basal ganglia, dan
pada korteks prefrontalis dan temporal (Dwork, 1997; Heckers, 1997;
dalam Davison, 2006). Rongga otak yang lebar pada pasien skizofrenia
berkorelasi dengan kinerja yang lemah dalam berbagai tes
neuropsikologis, penyesuaian yang buruk sebelum timbulnya
gangguan, dan respon yang buruk dalam terapi pengobatan (Andresen
dkk., 1982; Weinberge dkk., 1980; dalam Davison, 2006)
d. Stres Psikologis
Stress psikologi berperan penting dengan cara berinteraksi dengan
kerentanan biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data
menunjukan bahwa sebagaimana pada banyak gangguan yang telah
dibahas, peningkatan stress kehidupan meningkatkan kemungkinan
kekambuhan (Hirsch dkk., 1996; Ventura dkk., 1989; dalam Davison,
2006). Para individu yang menderita skizofrenia tampak sangat reaktif
terhadap berbagai stressor yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-
hari
B. Perilaku Kesehatan Medis
Notoadmodjo (2007) menjelaskan bahwa perilaku kesehatan medis merupakan
suatu respon dari seseorang yang berkaitan dengan masalah kesehatan, penggunaan
pelayanan kesehatan medis, pola hidup, maupun lingkungan sekitar yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31
mempengaruhinya. Perilaku kesehatan medis adalah seluruh aktivitas atau kegiatan
seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati
(unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
medis. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari
penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari
penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan ke rumah sakit. Oleh
sebab itu perilaku kesehatan medis ini pada garis besarnya dikelompokan menjadi
dua, yakni:
1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh sebab itu
perilaku ini disebut perilaku sehat yang mencakup perilaku-perilaku dalam
mencegah atau menghindari penyakit dan meningkatkan kesehatan.
2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatan. Perilaku ini
mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena
masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari
masalah kesehatan. Tempat pencarian kesehatan ini adalah tempat atau
fasilitas pelayanan kesehatan modern atau profesional.
Lawrence Green (1981) dalam Notoatmodjo (2010) mencoba menganalisis
perilaku manusia dari tingkat kesehatan melalui teori PRECEDE dan PROCEED.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes),
selanjutnya faktor perilaku dan di luar perilaku tersebut dipengaruhi oleh 3 faktor
utama, yang dirangkum dalam akronim PRECEDE: Predisposing, Enabling, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32
Reinforcing Causes in Educational Diagnoses and Evaluation. Precede ini adalah
merupakan arahan dalam menganalisis, mendiagnosis dan evaluasi perilaku untuk
intervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Precede merupakan fase analisis dan
diagnosa masalah.
Sedangkan setelah diperoleh analisis dan diagnosa yang jelas, selanjutnya akan
dilakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang dirangkum dalam akronim
PROCEED: Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and
Environmental Development yang merupakan arahan dalam perencanaan,
inplementasi, dan evaluasi pendidikan kesehatan. Apabila Preceed merupakan fase
diagnosis masalah, maka Proceed adalah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
promosi kesehatan.
Peneliti akan berfokus pada proses diagnosa terhadap perilaku kesehatan medis
pada keluarga. Sehingga peneliti mencoba melihat dari teori Precede model, yang
diuraikan dari 3 faktor, yakni:
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam :
a. Pengetahuan, sikap, kepercayaan, mengenai penyakit dan tanggung
jawab individu terhadap penyakit tersebut
b. Pengalaman tentang pengobatan yang sama sebelumnya termasuk
efek samping dari obat tersebut
c. Persepsi mengenai sehat dan sakit, tingkat keparahan.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam:
a. Jarak tempuh ke tempat pelayanan kesehatan (dokter, bidan, apotek)
b. Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33
c. Ketersedian alat transportasi yang dapat dimanfaatkan untuk menuju
ke tempat pelayanan kesehatan
3. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factor) adalah
faktor sesudah perilaku yang memberikan reward atau insentif
berkelanjutan bagi perilaku dan berkontribusi bagi persistensi atau
pengulangan.
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan
ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi. Disamping itu ketersediaan
fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan
mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
Selanjutnya, peneliti akan berfokus pada dinamika kesehatan medis yang
dilakukan oleh keluarga pasien. Dinamika dari perilaku kesehatan medis akan
menekankan mengenai respon seseorang yang berkaitan dengan masalah kesehatan
dan respon terhadap penggunaan pelayanan kesehatan atau yang disebut dengan
perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan atau respon terhadap penyakit cenderung
berbentuk aktivitas atau kegiatan seseorang yang berkaitan dengan peningkatan atau
pemeliharaan kesehatan medis pasien. Perilaku kesehatan medis disini akan
dikelompokkan menjadi dua, yaitu perilaku pencarian kesembuhan atau pemecahan
masalah menggunakan pengobatan medis dan perilaku tidak mengobati atau tidak
mencari pengobatan medis. Perilaku kesehatan atau respon tersebut akan dikaitkan
dengan faktor-faktor yang membentuk respon perilaku tersebut, sehingga diperoleh
dinamika kesehatannya. Perilaku kesehatan pada penelitian ini dilakukan oleh
keluarga pasien. Hal tersebut dikarenakan perilaku kesehatan yang terjadi pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34
pasien skizofrenia cukup berbeda dari pasien-pasien yang terkena penyakit, yang
pada umumnya merasakan gejala dari sakit yang diderita. Pasien skizofrenia
cenderung tidak merasakan sakit atau merasakan sesuatu dalam tubuhnya, sehingga
tidak mampu secara mandiri untuk mengambil keputusan dalam mencari pengobatan.
Sehingga hasil penelitian ini lebih melihat bagaimana perilaku kesehatan yang
dilakukan oleh keluarga pasien dalam merespon sakit yang diderita oleh pasien,
karena perilaku kesehatan pasien merupakan perilaku yang dikondisikan oleh
keluarg
.
C. Pelayanan Kesehatan
Departemen kesehatan (2009) menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan
merupakan setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersamaan dalam
suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,
kelompok, ataupun masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah
dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak
macamnya Azwar (1996) menjelaskan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan
merupakan penggunaan fasilitas pelayanan yang disediakan baik dalam bentuk rawat
jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas kesehatan ataupun bentuk kegiatan
lain dari pemanfaatan pelayanan tersebut yang didasarkan pada ketersediaan dan
kesinambungan pelayanan, penerimaan masyarakat dan kewajaran, mudah dicapai
oleh masyarakat, terjangkau serta bermutu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35
Azwar (1996) juga menjelaskan bahwa suatu pelayanan kesehatan harus
memiliki berbagai persyaratan pokok yang memberi pengaruh kepada masyarakat
dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan.
Beberapa diantaranya persyaratan pokok pelayanan kesehatan:
1. Ketersediaan Fasilitas
Pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang tersedia di masyarakat
(acceptable) serta berkesinambungan (sustainable). Artinya semua jenis
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat ditemukan serta
keberadaanya dalam masyarakat adalah ada pada setiap saat dibutuhkan
2. Kewajaran dan Penerimaan Masyarakat
Pelayanan kesehatan yang baik adalah bersifat wajar (appropriate) dan dapat
diterima (acceptable) oleh masyarakat. Artinya pelayanan kesehatan tersebut
dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, tidak bertentangan dengan
adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan masyarakat, serta
bersifat tidak wajar, bukanlah suatu keadaan pelayanan kesehatan yang baik.
3. Mudah Dicapai oleh Masyarakat
Pengertian dicapai yang dimaksud disini terutama dari letak sudut lokasi
mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga distribusi sarana kesehatan
menjadi sangat penting. Jangkauan fasilitas membantu untuk menentukan
permintaan yang efektif. Bila fasilitas mudah dijangkau dengan
menggunakan alat transportasi yang tersedia maka fasilitas ini akan banyak
dipergunakan. Tingkat penggunaan di masa lalu dan kecenderungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36
merupakan indikator terbaik untuk perubahan jangka panjang dan pendek
dari permintaan pada masa akan datang.
4. Terjangkau
Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan yang terjangkau
(affordable) oleh masyarakat, dimana diupayakan biaya pelayanan tersebut
sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang
mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.
5. Mutu
Mutu (kualitas) yaitu menunjukan tingkat kesempurnaaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan dan menunjukan kesembuhan penyakit
secara keamanan tindakan yang dapat memuaskan para pemakai jasa
pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
D. Keluarga
Murdock dalam Silalahi dan Meinarno (2010) menjelaskan keluarga adalah
anggota yang terdiri dari lelaki dewasa, dan perempuan dewasa dengan kesepakatan
berhubungan seksual dan bisa mempunyai anak. Mereka juga tinggal dalam satu
rumah. Selain itu, Wilk dan Netting (1984), Hamel (1984) dan Carter (1984) dalam
Silalahi dan Meinarno (2010) menjelasakan bahwa keluarga adalah pengelompokan
kerabat yang tak harus tinggal satu tempat. Kondisi ini amat mungkin terjadi dalam
era modern saat ini, yang tingkat mobilitas tinggi dan letak kantor dengan rumah
amat jauh, sehingga sebuah keluarga bisa terpecah selama hari kerja dan berkumpul
kembali di akhir pekan. Selain itu, Silalahi dan Meinarno (2010) menjelaskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37
terdapat dua bentuk keluarga: yaitu 1) keluarga batih/ inti (nuclear family)
merupakan bentuk umum dari sebuah keluarga. Bentuk ini terlihat dari komposisinya
yang paling dasar, yakni ada ayah, ibu, dan anak yang semuanya sedarah.2) keluarga
besar (extended family), yaitu keluarga yang merujuk pada keluarga inti dengan
penambahan anggota keluarga selain anak, semisal paman, bibi, serta orangtua dari
pasangan suami istri (pasutri).
Murdock (1947), Georgas (2006) dalam Silalahi dan Meinarno (2010)
menjelaskan bahwa keluarga memiliki dua fungsi dasar, yakni sebagai 1)
Pendukung dalam seksualitas, dimana secara alamiah tubuh manusia sebagai salah
satu mamalia primate memiliki kemampuan menghasilkan hormon-hormon seks.
Bagi manusia yang memiliki seperangkat aturan sosial menjadikan seks sebagai area
yang privat dan dikendalikan oleh masyarakat. Bentuk pengendalian itulah yang
dinamakan pernikahan yang menjadi dasar terbentuknya keluarga. Selanjutnya
keluarga berfungsi untuk 2) memelihara anak. Menurut Mead (1936), Georgas
(2006) Koentjaraningrat (1991) Roopnarine (2005) dalam Silalahi dan Meinarno
(2010) menjelaskan bahwa memelihara anak jika dalam konteks sederhana adalah
hanya berkisar pada pemeliharaan fisik, seperti memberikan makan, menjaganya dari
gangguan luar yang berupa fisik, dan sebagiannya. Akan tetapi ada fungsi lain, yaitu
membentuk karakter dan perilaku anak untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas,
yakni masyarakat. Untuk itu, proses pemeliharaan anak juga mengandung sosialisasi
dan enkulturasi pada anak, secara khusus ditekankan oleh ibu, tetapi bisa juga pihak
lain seperti nenek, bibi, dan kakak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38
Berdasarkan beberapa informasi yang diperoleh mengenai pengertian dan
fungsi dari keluarga, dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan pengelompokan
kerabat yang cenderung tinggal dalam satu rumah, yang cenderung memiliki fungsi
untuk saling membantu dalam pemberian informasi, pemeliharaan fisik, seperti
memberikan makan, menjaganya dari gangguan luar yang berupa fisik, dan
sebagiannya. Fungsi lain keluarga, yaitu membentuk karakter dan perilaku anak
untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas, yakni masyarakat.
E. Pemasungan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pasung adalah alat untuk
menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang, dipasangkan pada kaki,
tangan, atau leher; sedangkan memasung artinya (1) membelenggu seseorang dengan
pasung; memasang pasung (2) memasukkan ke dalam kurungan (penjara); (3)
membatasi (menghambat) ruang gerak. Berdasarkan pengertian tersebut tentu saja
pemasungan itu merampas kebebasan seseorang dengan perlakuan yang tidak
manusiawi sehingga melanggar hak asasi manusia.
Menurut Suharto (2014), pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah
balok kayu pada tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan
pada suatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Pemasungan bisa
diartikan sebagai segala tindakan yang dapat mengakibatkan kehilangan kebebasan
seseorang akibat tindakan pengikatan dan pengekangan fisik walaupun telah ada
larangan terhadap pemasungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39
Di Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau
pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan
yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 2001, dalam
Minas & Diatri, 2008)
Berdasarkan beberapa pengertian pemasungan yang telah diuraikan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa pemasungan adalah tindakan untuk menghukum orang
terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang melakukan
tindak kekerasan yang dianggap berbahaya, dengan cara memasang sebuah balok
kayu pada tangan dan kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu
tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan, sehingga cenderung membatasi
atau menghambat ruang gerak.
F. Perilaku Kesehatan Medis Keluarga Pada Penderita Skizofrenia
Menurut penelitian Wuryaningsih, Yani, dan Helena (2013), skizofrenia
merupakan gangguan jiwa yang cenderung menahun dan butuh pengobatan yang
bertahap. Dalam hal ini keluarga menjadi satu-satunya sumber pendukung bagi
perawatan pasien gangguan skizofrenia ketika berada di tengah masyarakat
(Maldonado, Urizar, & Kavanagh, 2005; Thompson, 2007; dalam Wuryaningsih,
Yani, dan Helena, 2013). Menurut penelitian Wardhani (2013) perilaku kesehatan
keluarga yang memiliki penerimaan yang baik terhadap pasien skizofrenia
ditunjukan melalui kepasrahan, kepedulian dan menyerahkan penanganan
pengobatan sepenuhnya kepada rumah sakit, maupun pihak-pihak yang bersedia
membantu keluarga dalam mengatasi skizofrenia. Hal ini didukung penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40
Soekarta (2004) dalam Wuryaningsih, Yani, dan Helena (2013) yang menjelaskan
bahwa keluarga berupaya menyediakan waktu untuk berkomunikasi, sering
berbincang-bincang, bercanda, mengadakan rekreasi bersama dapat meringankan
beban psikologis. Keluarga berkomitmen dalam memberikan dukungan dan
mendampingi pasien untuk patuh dalam pengobatan.
Namun disisi lain, tidak jarang beberapa keluarga terkadang menganggap
kehadiran penderita dirasakan sebagai beban keluarga (Arif, 2006). Menurut
penelitian Drapalsky, et al (2008) menjelaskan bahwa keluarga sering merasa
kewalahan dan terbebani merawat pasien dengan gangguan jiwa berat yang memiliki
risiko perilaku kekerasan. Sekitar 36 % keluarga merasa terstigma karena memiliki
pasien gangguan jiwa di rumahnya dan 8% di antaranya enggan mencari bantuan
pelayanan kesehatan akibat stigma negatif dari lingkungan. Menurut penelitian
Wardhani (2013) bentuk perilaku penolakan kesehatan keluarga terhadap pasien
skizofrenia berupa keluarga tidak mencari informasi, merawat dengan merantai kaki,
mengasingkan dan berperilaku kasar selama penderita skizofrenia berada dirumah,
dan keluarga menolak untuk menjenguk ke rumah sakit jiwa. Pada tahap marah
perilaku keluarga berupa perkataan yang kurang menyenakan keluarga kepada orang
lain, pergi meniggalkan pasien skizofrenia dirumah sakit.
G. Keunikan kasus perilaku kesehatan medis yang mengambil keputusan
untuk memasung pasien di Bali.
Hasil penelitian Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi (2013) menjelaskan bahwa
penderita gangguan jiwa berat bisa kembali ke masyarakat, bekerja dan hidup normal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41
sebagaimana masyarakat pada umumnya. Hanya saja, proses pemulihan tersebut
tidak selalu berjalan lurus dan lancar, kadang ada proses naik turunnya. Agar proses
pemulihan berjalan dengan baik, diperlukan dukungan dari berbagai pihak, utamanya
dukungan dari keluarga (atau orang dekat), tenaga kesehatan, kawan sesama
penderita gangguan jiwa dan masyarakat sekitar. Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi
(2013) menambahkan bahwa keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan
pasien dan dianggap paling banyak tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak
memberi pengaruh pada pasien. Sehingga keluarga sangat penting artinya dalam
perawatan dan penyembuhan pasien.
Berikut adalah hasil cerita singkat yang dijumpai penulis berkaitan dengan
penanganan pasien skizofrenia di salah satu seminar bersama caregiver pasien
skizofrenia pada tanggal 20 Juni, 2015:
“Saya sebagai seorang ayah sekaligus caregiver
merasa sangat berperan dalam kesembuhan anak saya. Saya
merasa bahwa kuat atau lemahnya saya sebagai caregiver,
dan kuat lemahnya dukungan sosial terhadap anak saya
menjadi pengaruh terhadap kesembuhan anak saya. Semakin
kuat saya dan keluarga memberikan dukungan kepada anak
saya, saya merasa perubahan yang lebih positif pada anak
saya. Saya pernah menyerah menghadapi anak saya, dengan
tidak menghiraukannya. Tidak mengingatkan untuk
meminum obat lagi. Namun hal tersebut membuat penyakit
anak saya semakin sering kambuh, saat itu saya merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42
bahwa dukungan sosial sangat mempengaruhi kesembuhan
anak saya”
Hal tersebut menunjukan bahwa pasien skizofrenia bisa beraktivitas kembali,
namun membutuhkan penanganan yang khusus. Namun tidak jarang beberapa
penderita skizofrenia tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Salah satunya
adalah pemasungan. Kasus pemasungan sangat banyak terjadi di Indonesia. Menurut
survei Kementerian Sosial pada 2008, dari sekitar 650 ribu penderita gangguan jiwa
berat di Indonesia, sedikitnya 30 ribu dipasung. Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi
(2013) menjelaskan bahwa pemasungan berarti tanpa penanganan. Dalam kondisi
tanpa penanganan dan dipasung jelas akan memperparah penderitaan pasien
skizofrenia.
Penulis juga memperoleh informasi dari cerita singkat yang berkaitan dengan
permasalahan mengenai pemasungan di provinsi Bali. Permasalahan yang
diceritakan oleh seorang pengurus Badan Kesehatan Masyarakat di Rumah Sakit
Jiwa Bangli, pada tanggal 14 Agustus, 2015. Informasi ini didapatkan ketika ia
melakukan kegiatan penanganan pasien skizofrenia yang dipasung:
”Saya dan teman-teman sudah menginformasikan bahwa
anak mereka butuh perawatan dan pengobatan, kami juga
menjelaskan terdapat bantuan dana gratis untuk anaknya yang
menderita gangguan jiwa, saya mengatakan bahwa anaknya
bisa dirawat dirumah sakit dengan gratis selama tiga bulan
untuk penanganan awal, namun keluarga masih tetap
menolak dan membiarkan anaknya dipasung. Karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43
penolakan yang mereka lakukan akhirnya membuat kami
selalu turun kelapangan setiap dua bulan sekali untuk
pemerikasaan kesehatan pada anaknya”
Kasus tersebut menjadikan perilaku kesehatan medis keluarga penting untuk
diteliti karena terdapat perilaku kesehatan yang berbeda pada keluarga yang memiliki
gangguan skizofrenia yang mengalami pemasungan. Dua kasus tersebut menjelaskan
bahwa keluarga telah mengetahui bahwa penderita skizofrenia membutuhkan
bantuan kesehatan dan pengobatan, namun beberapa keluarga memilih untuk
berhenti menggunakan pengobatan dan tetap memasung penderita skizofrenia.
Padahal kita ketahui bahwa pada umumnya bila seseorang menderita penyakit
seharusnya mendapatkan pengobatan. World Health Organitation (2002), juga
menegaskan bahwa perawatan kesehatan yang dapat diberikan keluarga pada pasien
yaitu mendampingi pasien melakukan pengobatan, memberikan dorongan yang
positif, dan konsisten dalam merawat pasien. Namun berbeda dengan kasus
pemasungan yang terjadi. Keluarga telah mendapatkan informasi bahwa anaknya
sakit dan membutuhkan pengobatan, namun keluarga tetap melakukan pemasungan.
Penulis berasumsi bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab
keluarga tidak melanjutkan pengobatan medis dan memasung pasien. Notoatmojo
(2013) menjelaskan bahwa perilaku seseorang dalam menangani penyakit
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengetahuan, kepercayaan, sikap, sarana dan
prasarana, pengaruh yang diberikan oleh orang-orang dan budaya.
Sehingga dengan mengetahui proses selama perilaku kesehatan medis
berlangsung pada keluarga pasien dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44
membantu mengetahui bagaimana persepsi keluarga terhadap sakit yang diderita
oleh pasien. Hal tersebut diharapkan akan membantu melihat cara pandang keluarga
terhadap penyakit yang diderita oleh pasien dan cara keluarga mengatasi penyakit,
melalui jenis pengobatan yang dipilih. Selain itu, dengan melihat proses yang
dilakukan selama melakukan pengobatan medis, besar harapan penelitian ini akan
mengetahui hal-hal yang membentuk perilaku keluarga dalam mengambil keputusan
untuk memasung. Sehingga bisa membantu mengantisipasi perilaku pemasungan-
pemasungan yang akan terjadi pada penderita skizofrenia lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Poerwandari (2015) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan studi
interpretif yang tujuannya lebih kepada suatu usaha untuk menangkap esensi,
mengeksplorasi, dan menjelaskan suatu masalah secara mendalam dari sudut
pandang peneliti. Creswell (2013) menambahkan bahwa penelitian kualitatif
berusaha untuk mendeskripsikan dan menginterpretasi tujuan dan maksud dari suatu
fenomena ataupun pengalaman personal yang dialami oleh subjek penelitian.
Penelitian ini menggunakan analisis isi kualitatif (AIK), yaitu penafsiran secara
subjektif dari isi data yang berupa teks dengan proses klasifikasi sistematik berupa
coding dan pengidentifikasian berbagai tema dan pola. Selanjutnya jenis penelitian
yang digunakan adalah case study research atau penelitian studi kasus. Creswell
(2013) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan pendekatan kualitatif yang
penelitiannya bertujuan untuk mengeskplorasi kehidupan nyata, melalui
pengumpulan data yang detail dan mendalam yang melibatkan beragam sumber
informasi atau sumber informasi majemuk, dan melaporkan deskripsi kasus dan tema
kasus tersebut. Metode studi kasus juga menyediakan ide dan hipotesis yang baru
dan kesempatan untuk mempelajari fenomena yang langka. Beberapa peristiwa
tampaknya secara alamiah jarang terjadi, sehingga kita dapat mendeskripsikannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47
hanya melalui studi yang intensif terhadap kasus tersebut (Shaughnessy,
Zechmeister, & Zechmeister, 2012).
Pendekatan studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian ini karena
perilaku pemasungan pada penderita skizofrenia merupakan perilaku yang melanggar
Hak Asasi Manusia (HAM), dipandang tidak manusiawi, dan menambah siksaan
fisik dan psikis, namun perilaku tersebut tetap dilakukan oleh beberapa keluarga
yang memiliki anak skizofrenia. Hal tersebut menjadikan kasus ini sangat unik
karena keluarga mengetahui bahwa perilaku pemasungan tidak baik untuk dilakukan,
dan keluarga sudah mengetahui bahwa pasien harus diberikan penanganan medis,
tetapi keluarga tetap menolak mencari pengobatan. Harapannya peneliti mampu
memfokuskan pada sejumlah kecil masalah penting atau analisis tema, dan
memahami kompleksitas kasus tersebut melalui sudut pandang perilaku kesehatan
medis pada keluarga, sehingga penggunaan strategi kualitatif case study research
mampu mengumpulkan data secara detail mengenai kasus pemasungan tersebut dan
hasil analisis kasus pada penelitian ini bisa dijadikan pembelajaran terhadap kasus-
kasus pemasungan lainnya.
B. Fokus Penelitian
Creswell (2013) menjelaskan bahwa dalam merencanakan studi kasus, peneliti
sebaiknya mengembangkan matriks pengumpulan data, hal tersebut dikarenakan
banyaknya informasi yang dapat dikumpulkan tentang kasus tersebut. Sehingga
peneliti perlu menyusun batasan yang jelas untuk kasusnya. Sehingga fokus pada
penelitian ini adalah batasan penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48
Adapaun dua batasan pada penelitian ini adalah :
1. Melihat dinamika perilaku kesehatan selama menggunakan pengobatan
medis hingga berhenti pada keluarga yang memiliki anak skizofrenia
yang dipasung.
2. Melihat faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan keluarga yang
berhenti menggunakan pengobatan medis dan memilih untuk
memasung penderita skizofrenia.
Diharapkan dengan dibuatnya batasan penelitian ini, peneliti bisa
memperoleh data sesuai dengan ruang lingkup yang jelas dan tidak keluar
dari tujuan utama.
C. Partisipan Penelitian
1. Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek pada penelitian ini adalah keluarga yang
memiliki anggota keluarga (pasien) menderita skizofrenia, yang berhenti
menggunakan pengobatan medis dan dipasung. Perilaku memasung yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah membelenggu pasien dengan
memasang sebuah balok kayu pada tangan atau kaki pasien, memasukan ke
dalam kurungan, membatasi ruangan gerak pasien.
Pada penelitian ini, peneliti memilih keluarga sebagai narasumber
penelitian dengan alasan karena proses pemasungan yang dilakukan
keluarga adalah bentuk perilaku kesehatan yang dikondisikan oleh
keluarga, bukan keinginan penderita skizofrenia untuk dipasung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49
2. Jumlah Subjek Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah tiga keluarga. Hal tersebut
dikarenakan sejauh ini, subjek baru menemukan tiga keluarga yang
memiliki karakteristik yang telah peneliti tentukan sebelumnya. Selain itu,
dipengaruhi juga dengan keterbatasan responden yang bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.
Peneliti memilih tiga keluarga yang pernah menggunakan pengobatan
medis dan berhenti dan memilih untuk memasung anaknya sampai saat ini.
3. Lokasi Pengambilan Data
Lokasi pengambilan data adalah di daerah Bali. Alasan peneliti
menggunakan lokasi ini sebagai pengambilan data, sebab penulis cenderung
lebih mudah menemukan responden, lebih mudah melakukan pendekatan
terhadap keluarga, dan selain itu jumlah pemasungan yang tercatat cukup
tinggi di Bali.
D. Instrumen Penelitian
Data dari fenomena tersebut didapatkan dari wawancara mendalam
semi terstruktur secara personal dengan keluarga penderita skizofrenia yang
dipasung. Wawancara akan dilakukan dengan mengikuti alur cerita dari
partisipan.
Wawancara semi terstruktur digunakan untuk mendapatkan data
secara personal. Pertanyaan yang akan ditanyakan kepada partisipan adalah
mengenai proses dari pengambilan keputusan dalam memilih jenis pengobatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50
apa yang digunakan, hingga respon dan pengalaman keluarga terhadap jenis
pengobatan yang telah digunakan. Pertanyaan ini diharapkan menjadi sumber
awal informasi untuk memperoleh respon keluarga terhadap penyakit
skizofrenia yang diderita oleh pasien, sehingga peneliti memahami bagaimana
penyakit tersebut dipersepsikan oleh keluarga dan mengetahui bagaimana usaha
keluarga untuk menangani pasien. Selain itu, peneliti mencoba mencari tahu
mengenai pengalaman-pengalaman keluarga selama merawat pasien
skizofrenia selama melakukan pengobatan medis dan melihat bagaimana
keluarga mencari cara untuk mendapatkan kesembuhan dari sakit yang diderita
oleh anaknya, pertanyaan tersebut diharapkan mampu memaksimalkan data-
data mengenai proses pengobatan yang dilakukan oleh keluarga pasien. Peneliti
juga ingin menanyakan mengenai faktor-faktor yang membentuk perilaku
kesehatan keluarga, seperti faktor predisposisi (predisposing factors), yang
terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, mengenai penyakit dan
tanggung jawab individu terhadap penyakit tersebut. Faktor pemungkin
(enabling factors), yang terwujud dalam jarak tempuh, ketersediaan sarana
pelayanan kesehatan, ketersedian alat transportasi. Faktor-faktor pendorong
atau penguat (reinforcing factors), yaitu faktor sesudah perilaku yang
memberikan reward atau intensif berkelanjutan bagi perilaku dan berkontribusi
bagi persistensi atau pengulangan. Pertanyaan ini ingin mengetahui hal-hal apa
saja yang mempengaruhi keluarga untuk mengakhiri pengobatan medis dan
memilih untuk memasung pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51
E. Prosedur Pengumpulan Data
1. Peneliti mencari dan menentukan partisipan yang memiliki anak mengalami
pemasungan dan bersedia membagikan informasi kepada peneliti secara
personal.
2. Pembahasan dan penandatanganan informed consent. Informed consent
berisi identitas peneliti, tujuan penelitian, partisipan penelitian, metode
pengambilan data, hak dan kewajiban partisipan, metode penyimpanan
data, kerahasiaan data, tanggung jawab penelitian, dan penanggung jawab
penelitian. Peneliti juga membicarakan bahwa partisipan berhak
membicarakan apapun yang diinginkan sebanyak atau sesedikit yang
partisipan inginkan sejauh partisipan merasa nyaman. Partisipan juga
berhak menghentikan wawancara bila merasa tidak menginginkan lagi atau
merasa tidak nyaman.
3. Peneliti menggunakan teknik semi structured interview. Dalam teknik ini
peneliti memiliki gambaran faktor-faktor yang akan dikaji secara lebih
mendalam. Peneliti telah membuat panduan wawancara sebagai acuan.
Dimana wawancara dimulai dari aspek yang bersifat umum dan diarahkan
menjurus ke aspek pengalaman yang bersifat khusus.
4. Melakukan member checking agar frase-frase yang diolah maknanya, yang
diperoleh dari wawancara, tidak meleset dari pemaknaan personal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52
F. Metode Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilih-milihnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensitesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari, memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain (Bogdan, Biklen, dalam Moleong, 2010).
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah:
1. Pada tahapan pertama data mentah yang diperoleh dari hasil rekaman akan
diubah menjadi bentuk transkrip verbatim. Data mentah akan ditajamkan,
dalam artian data-data yang kurang relevan atau dipandang tidak terkait
akan dihilangkan. Hal tersebut akan membantu untuk menemukan tema-
tema umum yang diberikan pada proses kategorisasi. Pada penelitian ini,
peneliti mencoba untuk menajamkan data-data yang terkait dengan proses
dari pengambilan keputusan dalam memilih jenis pengobatan apa yang
digunakan, pengalaman keluarga terhadap jenis pengobatan, pengalaman
keluarga selama merawat pasien skizofrenia, bagaimana keluarga mencari
cara untuk mendapatkan kesembuhan dari sakit yang diderita oleh anaknya,
serta faktor-faktor yang membentuk perilaku kesehatan keluarga.
2. Setelah data yang relevan ditemukan, data akan disusun sedemikian rupa.
Peneliti akan melakukan penomeran pada baris-baris transkrip tersebut.
Kemudian mengidentifikasi permasalahan dalam masing-masing kasus,
kemudian mencari tema umum yang mendahului kasus tersebut. Pada
penelitian ini, peneliti berfokus pada beberapa kasus yang menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53
permasalahan utama, seperti respon keluarga terhadap jenis pengobatan
yang digunakan dan permasalahan yang dihadapi selama merawat pasien.
Hasil identifikasi permasalahan tersebut diharapkan mampu menemukan
tema-tema umum yang berkaitan dengan proses penanganan kesehatan
medis pasien dan faktor-faktor yang melatarbelakangi keluarga untuk
berhenti menggunakan pengobatan medis dan memasung pasien.
3. Analisis data dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan. Pada tahapan ini
penulis mencoba mencari maksud dan arti yang mungkin tidak nampak
jelas pada data dan mencoba mencari pola tertentu dari wawancara-
wawancara yang dilakukan dengan narasumber lainnya. Selain itu, peneliti
mencoba mengidentifikasi maksud dari tema-tema yang kurang jelas,
dengan cara membandingkan beberapa teori dan jurnal-jurnal terkait
dengan hasil penelitian. Sehingga besar harapan peneliti akan menghasilkan
daftar tema, yang berguna untuk mendeskripsikan permasalahan atau kasus
yang muncul dari hasil penelitian.
4. Selanjutnya, setelah ditemukan tema yang jelas, peneliti mencoba
menghubungkan tema-tema tersebut sehingga menemukan sebuah dinamika
perilaku. Pada penelitian ini, peneliti mencoba menghubungkan respon
perilaku yang dilakukan oleh keluarga selama menangani pasien skizofenia
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut bisa terbentuk,
agar terlihat dinamika perilaku kesehatan yang jelas terhadap keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54
G. Kredibilitas Penelitian
Untuk meningkatkan kredibilitas maka perlu dilakukan peningkatan
reliabilitas dan validitas. Reliabilitas dalam penelitian kualitatif adalah
konsistensi data. Untuk melihat konsistensi data, peneliti biasanya
menggunakan dua atau lebih sumber data sebagai acuan, misalnya interview,
interview significant other, dan data pelengkap lain juga digunakan untuk
memperkuat data (Newman, 2014). Pada penelitian kali ini, penulis
menggunakan interview semi terstruktur sebagai sumber data utama. Data ini
nantinya akan diperkuat dengan wawancara dengan significant other dalam
keluarga tersebut dan wawancara dengan pihak rumah sakit yang menangani
pasien-pasien pasung sebagai data pendukung penelitian dan membantu
memperoleh kejenuhan data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan dengan cara wawancara.
Sebelum wawancara dilaksanakan, peneliti telah beberapa kali berhubungan dan
berbicara dengan partisipan. Wawancara pertama dilaksanakan untuk menjelaskan
detil gambaran penelitian dan penandatanganan informed consent.
Tabel 1
Pelaksanaan Wawancara
Waktu Kegiatan Tempat Catatan
12 Juli 2016 Penandatanganan informed consent
Narasumber I.
Rumah Narasumber, Bali
13 Juli 2016 Penandatanganan informed consent
Narasumber III.
Rumah Narasumber, Bali
14 Juli 2016 Penandatanganan informed consent
Narasumber III.
Rumah Narasumber, Bali
15 Juli 2016 Wawancara pertama Narasumber I Rumah Narasumber, Bali
16 Juli 2016 Wawancara pertama Narasumber II Rumah Narasumber, Bali
20 Juli 2016 Wawancara pertama Narasumber
III
Rumah Narasumber, Bali
25 Juli 2016 Wawancara kedua Narasumber II Rumah Narasumber, Bali
25 Juli 2016 Wawancara kedua Narasumber I Rumah Narasumber, Bali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56
Waktu Kegiatan Tempat Catatan
27 Juli 2016 Wawancara Kedua Narasumber III Rumah Narasumber, Bali
29 Juli 2016 Wawancara Puskesmas Ubud Puskesmas Ubud, Bali
8 Agst 2016
Wawancara Pertama RSJ Bangli Rumah Sakit Jiwa Bangli
2 November Wawancara ketiga narasumber III Rumah Narasumber, Bali Member
checking
3 November Wawancara ketiga narasumber II Rumah Narasumber, Bali Member
checking
5 November Wawancara ketiga narasumber I Rumah Narasumber, Bali Menambahkan
data yang
kurang dan
member
checking
*) tempat tidak disertakan dengan rinci, untuk menjaga kerahasiaan partisipan
Ketika wawancara pertama dilaksanakan, partisipan menandatangani
informed consent. Peneliti memberikan informasi dalam informed consent yang
berkaitan dengan tujuan, prosedur, tanggung jawab penelitian, dan kerahasiaan data.
Peneliti juga menekankan hak partisipan untuk berhenti kapanpun partisipan
inginkan, untuk menjawab hanya pertanyaan yang ingin ia jawab, dan
memperhatikan kenyamanan partisipan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57
B. Profil Narasumber
1. Narasumber pertama
Narasumber pertama dengan inisial A adalah seorang pria berusia 48 tahun,
bekerja sebagai pegawai negeri sipil. A adalah anak pertama dari 4 bersaudara.
Adik bungsu A adalah pasien pasung yang menderita skizofrenia. A merupakan
kakak sulung yang paling dekat dengan pasien karena semenjak ayah pasien
meninggal dan ibu pasien sakit, A adalah anak yang bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dan mengurus pasien. A bercerita dengan sangat
terperinci dan sangat jelas mengenai riwayat pengobatan adiknya. Walaupun
beberapa kali A sempat menanyakan Ibu dan adik pasien mengenai beberapa
detail peristiwa yang pasien lupa. A sudah menikah dan mempunyai dua orang
anak.
Perilaku kesehatan yang dilakukan keluarga A kurang lebih dimulai
semenjak tahun 1996, saat pasien berusia 18 tahun, dan saat itu A berusia 28
tahun. Pengobatan yang dilakukan A dan keluarga sangat bervariatif, mulai dari
datang ke tempat pengobatan tradisional, pengobatan medis, hingga akhirnya
pada tahun 2004 keluarga memilih untuk memasung pasien. Bentuk pemasungan
yang dilakukan terhadap pasien adalah memasang sebuah balok kayu pada
tangan dan kaki pasien. A menambahkan bahwa dalam keluarganya bukan hanya
adiknya yang mengalami gangguan skizofrenia, tapi juga ibu subjek dan
beberapa saudara sepupu lainnya.
A memaparkan keluhan awal terhadap pasien yaitu mata pasien memerah dan
mengamuk. Keluarga sempat dua hingga tiga kali membawa pasien kerumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58
sakit namun tidak memberikan kesembuhan pada pasien. Berdasarkan data yang
diperoleh di puskesmas setempat, pasien didiagnosa menderita gangguan
skizofrenia hebefrenik. Data tersebut diperoleh dari buku saku puskesmas.
Namun peneliti kurang mampu membuktikan dengan data, karena hasil
rekamedis pasien hilang.
2. Narasumber kedua
Narasumber kedua dengan inisial I adalah seorang wanita berusia 35
tahun, bekerja sebagai buruh swasta. I adalah anak pertama dari 2 bersaudara.
Adik bungsu I adalah pasien pasung yang menderita skizofrenia. I merupakan
kakak sulung yang memenuhi kebutuhan keluarga dan pengobatan pasien selama
ini, karena ibu dan ayah I sudah tidak bekerja. I menceritakan riwayat
pengobatan adiknya didampingi oleh ibunya, karena I merasa lupa dengan
beberapa detail peristiwa dan pengobatan yang dijalani oleh pasien. I kini sudah
menikah dan mempunyai satu orang anak. I sempat merasa adik I akan
membahayakan anaknya bila ia tidak dipasung.
Perilaku kesehatan yang dilakukan keluarga I kurang lebih dimulai
semenjak tahun 2000, saat pasien berusia 12 tahun, dan saat itu I berusia 19
tahun. Pengobatan yang dilakukan I dan keluarga sama dengan pengobatan yang
dilakukan oleh narasumber A, yaitu mulai dari datang ke tempat pengobatan
tradisional, pengobatan medis, hingga akhirnya pada tahun 2008 keluarga
memilih untuk memasung pasien. Bentuk pemasungan yang dilakukan terhadap
pasien adalah mengurung pasien di dalam ruangan, dengan memborgol kedua
tangan pasien. I menambahkan bahwa dalam keluarganya bukan hanya adiknya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59
yang mengalami gangguan jiwa, tapi ibu subjek juga terkadang mengalami gejala
yang sama.
I memaparkan keluhan awal terhadap pasien adalah kejang-kejang,
berbicara tidak nyambung dan sering berkeluyuran. Berdasarkan hasil rekamedis,
pasien didiagnosa menderita gangguan skizofrenia hebefrenik. Hal tersebut
ditunjukan dari hasil observasi yang menunjukan bahwa pasien memiliki
halusinasi pendengaran dan positif memiliki hyperphobia. Selain itu, berdasarkan
riwayat pengobatan pasien sudah 6 kali keluar masuk rumah sakit jiwa dan
pasien terakhir kali dirawat di RSJ kurang lebih 8 tahun yang lalu.
3. Narasumber ketiga
Narasumber ketiga dengan inisial T adalah seorang wanita berusia 30
tahun, bekerja sebagai buruh swasta. T adalah anak kedua dari 2 bersaudara.
Kakak T adalah pasien pasung yang menderita skizofrenia. T merupakan adik
yang memenuhi kebutuhan keluarga dan pengobatan pasien selama ini, karena
ibu T sudah meninggal dan ayah T sudah tidak bekerja. T menceritakan riwayat
pengobatan adiknya didampingi oleh ayahnya, karena T merasa lupa dengan
beberapa detail peristiwa dan pengobatan yang dijalani oleh pasien. T hingga kini
belum menikah lantaran sibuk merawat ayah dan kakaknya. Selain itu T juga
sempat mengeluh tidak ada yang mau menikahi T karena keluarga T memiliki
riwayat gangguan skizofrenia.
Perilaku kesehatan yang dilakukan keluarga T kurang lebih dimulai
semenjak tahun 2004, saat pasien berusia 25 tahun, dan saat itu T berusia 18
tahun. Pengobatan yang dilakukan T dan keluarga sama dengan pengobatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60
yang dilakukan oleh narasumber A dan I, yaitu mulai dari datang ke tempat
pengobatan tradisional, pengobatan medis, hingga akhirnya pada tahun 2009
keluarga memilih untuk memasung pasien. Bentuk pemasungan yang dilakukan
terhadap pasien adalah memasang sebuah balok kayu pada tangan dan kaki
pasien.
Pasien pertama kali dibawa ke rumah sakit jiwa dengan keluhan pasien
sering mengamuk dirumah. Pasien membawa parang dan memotong semua
pohon sepanjang jalan di gang rumahnya, sehingga membuat takut warga sekitar.
Awalnya pasien hanya mengeluh sakit kepala, namun lama-kelamaan pasien
mulai sering berbicara sendiri, tidak pernah mau mandi, sesekali marah dan
mengamuk. Berdasarkan hasil rekamedis, pasien didiagnosa menderita penyakit
skizofrenia hebefrenik. Pasien mengalami halusinasi, yaitu ia sering mengatakan
melihat roh ibunya yang sudah meninggal. Selain itu, pasien juga mengalami
defisit perawatan diri, kesulitan dalam berkomunikasi, pasien tidak menyadari
orang-orang yang ada disekitarnya, emosinya kurang stabil, dan sulit diarahkan.
Selain itu berdasarkan riwayat pengobatan, pasien sudah 7 hingga 8 kali keluar
masuk rumah sakit jiwa dan pasien terakhir kali dirawat di RSJ kurang lebih 6
tahun yang lalu.
C. HASIL PENELITIAN
1. Perilaku Kesehatan Medis
Perilaku kesehatan yang terjadi pada pasien skizofrenia cukup berbeda
dari pasien-pasien yang terkena penyakit, yang pada umumnya merasakan gejala
dari sakit yang diderita. Pasien skizofrenia cenderung tidak merasakan sakit atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61
merasakan sesuatu dalam tubuhnya, sehingga tidak mampu secara mandiri untuk
mengambil keputusan dalam mencari pengobatan. Sehingga hasil penelitian ini
lebih melihat bagaimana perilaku kesehatan yang dilakukan oleh keluarga pasien
dalam merespon sakit yang diderita oleh pasien, karena perilaku kesehatan pasien
merupakan perilaku yang dikondisikan oleh keluarga. Pada bagian perilaku
kesehatan ini berisi pembahasan temuan peneliti, terkait respon keluarga pasien
skizofrenia terhadap permasalahan kesehatan yang diderita pasien melalui
penggunaan pelayanan kesehatan medis berupa seluruh aktivitas atau kegiatan
yang berkaitan dengan pemeliharaan atau peningkatan kesehatan medis.
Respon pertama keluarga ketika melihat salah satu keluarganya sakit
adalah membawa kerumah sakit, terlepas dari keluarga tau atau tidak tau
mengenai pengobatan medis, keluarga tetap membawa pasien skizofrenia berobat
kerumah sakit jiwa. Pasien sempat dirawat inap beberapa bulan dan dipulangkan
saat kondisi sudah membaik. Perilaku kesehatan keluarga untuk berobat kerumah
sakit terjadi beberapa kali, hal tersebut dikarenakan kondisi penderita yang sering
kambuh. Data rekamedis pasien tercatat bahwa pasien II sudah pernah sebanyak
6 kali keluar masuk rumah sakit jiwa, sedangkan subjek III 7 hingga 8 kali keluar
masuk rumah sakit jiwa. Namun pengobatan medis yang dilakukan oleh keluarga
tidak berjalan lancar, sehingga ketiga pasien berhenti menggunakan pengobatan
medis. Pasien dipulangkan dan ditangani tanpa pengobatan oleh keluarga.
Perilaku tersebut tidak memberikan kesembuhan dan justru memperparah
penyakit pasien. Permasalahan tersebut menjadi beban untuk keluarga, karena
sulitnya merawat pasien dengan penyakit skizofrenia. Sehingga keluarga pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62
akhirnya mengambil keputusan untuk memasung pasien sebagai perilaku
penanganan terhadap pasien skizofrenia.
2. Faktor – Faktor dari Perilaku Kesehatan Medis
Bagian ini akan membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
keluarga dalam merespon penyakit yang diderita oleh pasien skizofrenia. Peneliti
mencoba menganalisis melalui 3 faktor utama pembentuk perilaku kesehatan dari
teori Lawrence Green (1981) dalam Notoatmodjo (2010), yang dirangkum dalam
akronim PRECEDE: Predisposing, Enabeling, dan Reinforcing Causes in
Educational Diagnoses and Evaluation.
a. Faktor Predisposisi atau Predisposing Factors
Faktor predisposisi melihat kecenderungan individu untuk menggunakan
pelayanan kesehatan yang terwujud dalam: 1) Pengetahuan, sikap,
kepercayaan, mengenai penyakit dan tanggung jawab individu terhadap
penyakit tersebut, 2) pengalaman tentang pengobatan yang sama
sebelumnya termasuk efek samping dari obat tersebut, 3) persepsi
mengenai sehat dan sakit, tingkat keparahan.
1) Pengetahuan Tentang Penyebab Skizofrenia
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tiga narasumber
menjawab penyebab pasien menderita skizofrenia lebih mengarah
pada faktor-faktor yang bersifat non ilmiah yang berasal dari faktor
ekstenal dan internal. Faktor internal penyebab penyakit skizofrenia
adalah keturunan dan karma buruk di kehidupan sebelumnya.
Sedangkan faktor eksternal yang menjadi penyebab penyakit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63
skizofrenia adalah ilmu hitam dari orang lain dan jiwa pasien
dikendalikan oleh makhluk lain. Jawaban responden cenderung
bervariatif, hal tersebut dipengaruhi pula dengan faktor budaya di Bali
yang sangat meyakini hal-hal yang bersifat mistik dan kurang bisa
digeneralisasi dengan budaya lain. Informasi tersebut dapat
dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut:
“Badan halusnya dulu perbuatannya gak baik. Dia suka
membunuh dulunya dikehidupan sebelumnya. Dia harus
terima itu karmanya dikehidupan sekarang. Itu dosa
yang paling besar yaitu orang sakit jiwa. Dia lupa
ingatan, jiwanya sudah dimana-mana, rohnya sudah
kemana barangkali, gitu menurut kitab suci”
(Reponden I)
“Semua bilang anak saya sakit dicari liak (sebutan
untuk setan di Bali). Sudah berapa banyak tempat
berobat saya datangi, saya dengar, semua bilang dia
seperti itu. Dia diambil liak (sebutan untuk setan di
Bali). Saya gak bohong” (Reponden II)
“Ada yang iri warisan gitu dengan keluarga, kayak
sekarang, dimana aja kita bisa diguna-guna. Dia aja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64
anak pria satu-satunya mau gimana, kita anak cewek
pasti dikira akan keluar, makanya dia diguna-guna.”
(Reponden III)
Hasil wawancara diatas menunjukan rendahnya
pengetahuan narasumber mengenai penyebab penyakit
skizofrenia pada keluarga pasien. Hal tersebut cenderung akan
mempengaruhi perilaku kesehatan keluarga dalam menentukan
jenis pengobatan yang dipilih.
2) Persepsi tentang Keparahan Penyakit dan Manfaat Penggunaan
Pengobatan
Berdasarkan penelitian, seluruh narasumber memiliki
keyakinan bahwa skizofrenia merupakan penyakit yang sulit untuk
sembuh total dan bahkan tidak bisa disembuhkan. Hal tersebut dapat
dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut :
“Saya kalo ngeliat orang gitu, jarang ada yang sembuh
total” (Reponden I)
“Agak diam gitu dia, terus kan saya tau yang gitu gak
bisa sembuh total, nah kalo kumat harus dibawa kesana
lagi (Reponden II)”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65
“Tetep aja dia sakit, gak sembuh. Sudah terlalu keras
santetnya, sudah masuk ke urat-uratnya sudah gak bisa,
sudah masuk ke organ tubuhnya itu,” (Reponden III)
Selain itu, responden I terlihat sangat pasrah menghadapi
penyakit yang diderita oleh pasien skizofrenia, dan meyakini bahwa
pasien tidak akan bisa sembuh kembali. Hal tersebut dapat dibuktikan
dari kutipan wawancara sebagai berikut :
“Udah gak bisa sembuh. Pernah saya persembahkan
jiwanya dia ke pura dalam (Ritual kepercayaan untuk
mencabut nyawa manusia di Bali), daripada kesakitan,
mending dipersembahkan saja jiwanya ke pura saja.
Tidak mau juga, kalo mau cepet beres, biasanya kalo
cepet dipersembahkan jiwanya akan cepat meninggal,
biar dicabutlah nyawanya, tapi tidak bisa. Tapi kasian
juga dia hidup tapi sakit.”
Dari uraian tersebut dapat diasumsikan bahwa salah satu
predisposisi keluarga menghentikan pengobatannya dan memilih
memasung pasien karena keluarga memiliki persepsi bahwa pasien
tidak mungkin bisa sembuh. Selain persepsi keluarga terhadap
keparahan penyakit pasien, didukung pula dengan persepsi keluarga
mengenai manfaat penggunaan pengobatan yang dilihat dari hasil
evaluasi keluarga terhadap penggunaan pengobatan medis. Hampir
seluruh responden menjawab bahwa pengobatan medis tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66
menyembuhkan pasien tetapi hanya menenangkan dan membuat
pasien beristirahat. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan
wawancara sebagai berikut:
“Saya mau juga dia di Bangli (rumah sakit jiwa), tapi
nanti juga lagi dua bulan dibalikan, kambuh. Gitu aja
terus, saya jadi malas. Datang dari situ tanpa sesuatu
yang pasti. Disitu capek juga ngurus, disini juga
bingung” (Reponden I)
“Obatnya gak berfungsi, hanya meredam aja, biar dia
bisa tidur. Tapi gak menyembuhkan” (Reponden II)
“Saya dulu berusaha bawa kemana aja, tetangganya
yang nyuruh ke dokter, ke balian kami coba, tapi tetap
kayak gitu.” (Reponden III)
3) Pengalaman Buruk Menggunakan Pengobatan Medis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ketiga narasumber
menceritakan memiliki pengalaman kurang baik dengan rumah sakit
jiwa setempat. Subjek II dan III cenderung mengeluh dengan
kebijakan baru yang berlaku dirumah sakit jiwa, yaitu pasien harus
dipulangkan dari rumah sakit jiwa bila pasien telah dirawat selama
tiga bulan, terlepas pasien sembuh ataupun tidak. Namun bila pasien
kambuh kembali, keluarga diperbolehkan membawa pasien kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67
kerumah sakit. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara
sebagai berikut:
“Kan saya nanyak juga “Ini kalo gak sembuh kok sudah
dikembalikan?” Terus mereka bilang “Biar ada data,
nanti kalo lagi gitu dibawa lagi”. Kan jadi saya
bingung, lagi saya ngurus nanti, udah sih gratis, tapi
nanti jangka satu minggu lagi saya bawa kesana, kan
ngurus dia aja jadinya terus ya.” (Subjek II)
“Kalo sudah tiga bulan dipulangkan anaknya, mau
sembuh atau tidak anak tetap dipulangkan, saya juga
tidak mengerti sekarang dengan dokter disana. Dulu
anak saya satu tahun disana dia gak dipulangkan sama
rumah sakit.” (Subjek III)
Kebijakan baru tersebut juga dibenarkan oleh pihak rumah
sakit jiwa. Salah satu narasumber dari RSJ menjelaskan bahwa pasien
tidak diperbolehkan dirawat dirumah sakit lebih dari tiga bulan,
karena aturan baru yang dibentuk oleh BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial). Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan
wawancara sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68
“Itu aturan BPJS, Tiga bulan saja pasien ditanggung
oleh BPJS. Sehingga pasien harus dipulangkan terlebih
dahulu, biarpun hanya satu hari, harus pulang dulu.
Sehat atau tidak, pasien tidak ditanggung selama kurun
waktu itu (setelah 3 bulan). Sehingga dia harus pulang
sebentar, lalu dibawa lagi kesini tidak apa-apa, begitu.”
Hal tersebut menjadi salah satu permasalahan dari narasumber
II dan III karena merasa kelelahan harus membawa ke RSJ saat pasien
kambuh. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara
sebagai berikut :
“Bolak-balik bangli terus, dikembalikan, biar ada
pembukuan disana, pembukuan kalo dia sembuh. Kalo
lagi seminggunya sakit, baru bawa kesana. Kan capek
ngurusnya. ” (Subjek II)
“Dibawa pulang dalam waktu 3 bulan mau sembuh atau
enggak, harus pulang. Nanti kalo gimana lagi dibawa
kesana. Kalo nanti dia sudah pulang kita bawa kesana
susah juga, gak ada yang bawa kesana,lagi bawa kesana
lagi pulang.” (Subjek III)
Selain itu, subjek III juga mengeluh dengan kebijakan baru
yang berlaku dirumah sakit jiwa, yaitu keluarga tidak dijinkan
membeli obat tanpa mengajak pasien ke rumah sakit. Hal tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69
dirasa mempersulit keluarga karena jarak rumah pasien dan rumah
sakit sangat jauh. Hal tersebut dibuktikan dari kutipan wawancara
sebagai berikut:
“Saya sempat kesana buat nyari obat tapi tidak ngajak
anak, terus gak dikasi, kan rugi saya kesana sudah jauh-
jauh tapi tidak diikasi obat. nyari kesana gak ngajak
pasien gak di kasi obat” (Subjek III)
Permasalahan tersebut sempat membuat partisipan III
memberhentikan obat pada pasien, dan membiarkan pasien tanpa
pengobatan.
“Pulang dari rumah sakit terus saya kasi obat, lalu
setelah saya cari obat dan tidak dikasi membeli kesana
tanpa pasien, terus berhenti minum obat, kumat lagi
dia” (Subjek III)
Peraturan baru tersebut dibenarkan oleh pihak rumah sakit
jiwa, hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara dengan
narasumber:
“Terbentur aturan BPJS, dimana kita tidak boleh turun
ke lapangan, pasien harus datang ke Puskesmas dulu, itu
aturan jenjang rujukannya ke puskesmas dulu. Kalo
tidak ada obat di Puskesmas, ke rumah sakit dulu yang
tingkat dua, kalo rumah sakit gak ada, baru ke tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70
III, RSJ. Sehingga pasien harus kesini, pasien gak boleh
gak ikut, harus ikut”
Hal tersebut mempersulit pasien karena pasien tidak bisa
membeli obat kerumah sakit jiwa tanpa mengajak pasien. Sedangkan
pelayanan kesehatan di tingkat I (Puskesmas) dan tingkat II (Rumah
Sakit) tidak menyediakan obat gangguan jiwa. Hal tersebut juga
dijelaskan oleh narasumber dari pihak rumah sakit jiwa sebagai
permasalahan utama pengobatan pasien gangguan jiwa di Bali.
“Problem kalo ada aturan seperti itu (keluarga harus
membawa pasien kerumah sakit untuk membeli obat)
puskesmas tidak menyediakan obat. Aturan ada, tapi
infrastruktur tidak dipersiapkan, itulah kendalanya
sehingga banyak pasien yang meningkat, termasuk
pasung yang meningkat. Gangguan jiwa yang kumat
juga meningkat.” (Narasumber RSJ)
Namun hal tersebut tidak dirasakan oleh narasumber I karena
kebijakan tersebut belum dibentuk saat keluarga membawa pasien
kerumah sakit. Keluarga memiliki pengalaman kurang baik yang
berbeda dengan narasumber II dan III. Narasumber I menjelaskan
bahwa pasien mendapatkan perlakuan yang kurang baik di rumah
sakit. Hal tersebut dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai
berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71
“Pemerintah gak tanggung jawab, taruh di bangli dia
pulang sendiri. Pulang sendiri? Iya, berkelahi sama
temennya, bocor kepalanya. Dipukul bata, dirumah sakit
bangli. Jadi dia pulang numpang bemo” (Narasumber I)
Hal tersebut membuat keluarga trauma untuk membawa
pasien kembali kerumah sakit karena takut pasien akan diperlakukan
kurang baik, sehingga keluarga memilih untuk memasung pasien. Hal
tersebut dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber:
“Udah pernah kok dibawa ke Bangli (rumah sakit jiwa),
buktinya gitu, kan trauma. Dulu rajin dia kesini, dikasi
obat satu-satu, akhirnya kita sempet ke puskesmas gitu,
dikasi vitamin b12, sama obat satu saya lupa, saya
sempat ambil dulu. Di pasung akhirnya. Sempet disuruh
lepas, kan gak boleh di pasung itu, disuruh dibawa ke
bangli,saya gak mau, takut mati nanti anak orang ini,
akhirnya gak.”
4) Pengalaman Buruk Sebelum Pasien Dipasung
Berdasarkan hasil wawancara, semua narasumber mengaku
memiliki beberapa pengalaman buruk dengan pasien sebelum
dipasung. Seluruh narasumber mengeluhkan pasien skizofrenia
membahayakan, meresahkan, dan merugikan orang lain. Hal tersebut
dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72
“Dulu pernah lari dia ke kuburan, jabe Pura (sebutan
untuk bagian depan Pura), di Kediri, naik motor. Kesana
pakai celana aja, tidak pakai baju, kayak bertapa.
Datang banjar(warga), kesana semua mau dikroyok,
akhirnya dia kena denda karena berperilaku buruk di
dalam tempat suci, akhirnya kena denda 75ribu.”
(Narasumber I)
“Dulu sebelum saya nikah, kan rumah sepi, dia kan
bebas, terus dia narik neneknya yang sakit dari kamar,
terus sampai meninggal. ditarik dia sampai meninggal,
gak ada yang melihat waktu itu, dia langsung
meninggal. Sedang ada acara di desa, jadi rumah sepi.
Keras dia. Terus meninggal, nah setelah itu langsung
dipasung” (Narasumber II)
Sehingga dapat diasumsikan bahwa pengalaman buruk dengan
pasien menjadi salah satu predisposisi keluarga untuk memasung
pasien. Karena keluarga merasa khawatir dengan perilaku pasien.
b. Faktor Pendukung atau Enabling Factor
Enabling factors adalah kemampuan dan sumber daya yang
diperlukan yang memungkinkan terjadinya perilaku kesehatan. Enabling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73
factors terdiri dari kemudahan mencapai fasilitas kesehatan (biaya
transportasi, ketersediaan transportasi, jarak tempat tinggal).
1) Jarak Tempuh Menuju Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian, ketiga narasumber mengeluh
dengan jarak yang ditempuh dari rumah pasien menuju rumah sakit.
Keluarga merasa kesulitan harus membeli obat dan mengantar pasien
dengan jarak tempuh yang jauh. Hal tersebut, dibuktikan dari hasil
wawancara dengan narasumber:
“Obat itu kan hanya beredar di rumah sakit ya. kalo
gitu kurang terjangkau kami kalo harus ke bangli
(rumah sakit jiwa), rutin gitu.(Narasumber I)
Keluarga mengeluhkan jarak tempuh menuju rumah
sakit yang dirasa akan menghabiskan tenaga dan tidak
memberikan perubahan baik pada pasien.
“Iya biarkan saja, jauh sekali rumah sakit bangli.
Jugaan seginiaan juga. Sudah delapan kali kesana.
Mau disana dia tetap sakit kayak gini, dirumah juga
sama sakit kayak gini” (Narasumber II)
2) Biaya Pengobatan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, seluruh
narasumber mengaku menghabiskan banyak biaya untuk administrasi
pengobatan pasien. Ketiga narasumber menceritakan bahwa salah satu
penghambatan pasien melaksanakan pengobatan adalah biaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74
pengobatan. Narasumber I mengatakan bahwa biaya pengobatan pasien
cenderung mahal. Harga satu obat pasien adalah Rp.75.000,-
sedangkan pasien harus minum obat 3 kali dalam sehari, sehingga
menghabiskan Rp. 225.000,-. Hal tersebut dirasa berat dengan
keluarga, karena keluarga tidak bisa memanfaatkan akses jaminan
kesehatan gratis dengan Askes atau Jamkesmas pada obat-obat yang
akan dibeli. Hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara dengan
narasumber :
“Sehari 3 butir. Itu uang dulu. 75rb satu butir, banyak
sekali habis uang. Makanya dulu sampai rumah habis.
Dulu 250 per hari, konsumsi berapa bulan, gimana itu,
tanah sudah habis. Bapak dulu rasa sayangnya tinggi.
Sekarang mungkin udah mahal banget” (Subjek I)
“ Kalian ada jaminan kesehatan gitu? Ada dulu
ASKES, obat itu gak bisa dibeli pake askes, obat itu
harus dibeli cash.” (Subjek I)
Selain itu narasumber II dan III juga mengeluhkan
permasalahan biaya pengobatan pasien. Keluarga menghabiskan
banyak biaya untuk merawat pasien. Hal ini dibuktikan dari hasil
wawancara dengan narasumber:
“Situasi dulu saya gak punya apa. Ini rumah aja baru
semua, semua gak punya. Ngurus dia aja, sawah
semua habis buat ngurus Tana (orang gila) aja. Semua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75
habis, dulu ada tanah sekarang gak ada apa. belom
lagi bayar dibanjar, sekarang gak ada apa. Dulu
35juta uang tanah habis. Capek terus, gak bisa ngurus
lagi gimana lagi.”
Sehingga dapat dikatakan bahwa biaya yang dihabiskan oleh
keluarga menjadi salah satu faktor pendukung keluarga untuk
memasung pasien.
c. Faktor Penguat atau Reinforcing Factor
Faktor penguat adalah konsekuensi dari tindakan yang menentukan
apakah pelaku mendapat umpan balik positif atau negatif dan didukung
secara sosial sesudah umpan balik terjadi. Faktor penguat dengan demikian
meliputi dukungan sosial, pengaruh rekan sebaya, dan saran dan umpan
balik oleh penyedia layanan kesehatan.
1) Social Support untuk Memasung
Berdasarkan wawancara terhadap narasumber, hampir semua
narasumber memutuskan untuk memasung pasien atas dorongan dan
saran dari orang-orang disekitarnya. Narasumber I memasung
disarankan oleh dukun yang mengobati pasien, narasumber II dan III
memasung disarankan oleh kepala desa diwilayah setempat. Hal ini
dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76
“ Terus kata Balian (dukun) yang di Pejeng (nama
daerah) bilang lebih baik dipasung. Takutnya kalau
enggak membunuh, takutnya dia dibunuh. Baliannya
bilang gitu? Iya balian. Ngeliat kasus juga, orang
sakit jiwa membunuh kan gak bisa. Terus habis
dikasitau balian itu bagaimana? Iya, langsung.”
(Narasumber I)
“Kumat dia, main dia ke rumah guru-guru itu, kan
takut jadinya, wanita kan takut dia, usulin terus sama
gurunya itu ke kepala desa, kepala desa ke saya, terus
mencarikan bantuan terus (bantuan dana untuk
membuat temoat pasung).”(Narasumber III)
Sehingga dapat dikatakan bahwa besarnya pengaruh dukungan
sosial akan mempengaruhi keluarga untuk mengambil keputusan
memasung.
2) Bantuan untuk Pasien Pasung
Berdasarkan hasil penelitian, ketiga narasumber sempat
mendapatkan bantuan saat pasien dipasung. Pasien I sempat
memperoleh sumbangan sembako saat pasien dipasung.
Sedangkan subjek II dan III mendapat bantuan sembako dan dana
kurang lebih sebesar RP.12.000.000- dari pemerintah untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77
membuat ruangan pasung, yang disalurkan melalui kepala desa
setempat. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan
narasumber :
“Nah dulu akhirnya ada pengecekan dan katanya
tempatnya (ruangan pasung) terlalu kecil, akhirnya
dikasi sumbangan dana dari pemerintah, Cuma
diusulkan oleh klian (kepala desa). Sumbangannya 12
juta langsung jadi, cuma diminta kartu keluarga
langsung jadi” (Narasumber II)
“Oh pas buat tempat pasung itu bagaimana? Iya
dapat bantuan sedikit. 16 juta kira-kira, tapi gak cukup
juga. Oh siapa yang membantu untuk memperoleh
dana? Saya yang minta ke kepala desa setempat dan
kepala desa yang melanjutkan mengajukan bantuan ke
pemerintah”(Narasumber III)
Selain bantuan dana dari pemerintah, keluarga juga
mendapatkan bantuan sembako dari teman yang mengunjungi
rumah pasien. Hal ini dibuktikan oleh hasil wawancara dengan
narasumber :
“Ada biasanya banyak mahasiswa- mahasiswa
biasanya cowok-cowok waktu ini berlima, dapat dah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78
dia nengok Tana (nama pasien) diberi beras, mie,
dikasi sembako, amplop” (Subjek II)
“Terus pak candra (teman yang diceritakan
narasumber) sering kasi? iya sering dia kesini ngasi,
pribadi. Dikasi mie, dikasiani saya” (Subjek III)
Bantuan tersebut dirasa bermanfaat oleh narasumber II dan III,
dan mereka berharap pemerintah terus memberikan bantuan kepada
keluarga. Hal tersebut didukung oleh wawancara narasumber III yang
ingin mengajukan surat permintaan dana untuk membantu pasien
skizofrenia yang dipasung.
“Gimana ya, pemerintah kasilah bantuan dana untuk
ini, baru saja ya mengusulkan lagi, semoga dikasi
dana lah gitu, sudah cacat gini. Kemaren sudah difoto
sama kepala desanya, semoga turunlah dananya”
Namun berbeda dengan narasumber I. Ia merasa bahwa
bantuan dari pemerintah hanya pernah sekali diterima oleh keluarga,
selain itu keluarga tidak berharap mendapat bantuan kembali dari
pemerintah karena tidak ingin berfokus kembali dengan pasien
skizofrenia. Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara dengan
narasumber:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79
“Oh berarti sempat dapat bantuan ya, iya bahan,
material. Sekali itu saja. Puskesmasnya yang ngasik.
Entah pergawai puskesmas yang kesini atau saya yang
kesana. Saya udah gak berharap lagi sekarang, sudah
cukup ngurus begini”
3) Dampak Positif dari Pemasungan untuk keluarga dan pasien.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ketiga narasumber
menceritakan bahwa pemasungan memberikan dampak yang positif
pada keluarga dan lingkungan sekitar. Pemasungan dirasa
memberikan banyak perubahan positif pada keluarga pasien,
diantaranya adalah pasien tidak mengamuk, berkeliaran dan
meresahkan warga lagi dijalan. Hal tersebut dibuktikan dari kutipan
wawancara sebagai berikut :
“Dulu kami pikir menjauhkan itu, biar kami juga
punya lingkungan yang sehat. Sekarang tenanglah kita
disini, dulu teriak-teriak dia disini” (Subjek I)
“Selama ibunya ibu meninggal langsung dipasung,
kan diem dia dirumah jadi lebih baik lah. Kan gak
ngamuk dia jadinya. Kalo dulu kan lari kemana mana,
kan lari dia sampe kepura dalam, tiga pura sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80
dimasukin dia, kan harus dibayar dengan banten.”
(Subjek II)
Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga memperoleh dampak
yang positif selama melakukan perilaku pemasungan sehingga keluarga
enggan untuk melepas pasung pasien dan memperkuat perilaku keluarga
untuk memasung.
3. Dinamika Perilaku Kesehatan Medis
Pada bagian dinamika perilaku kesehatan, peneliti mencoba menjelaskan
mengenai respon yang dilakukan keluarga untuk menangani penyakit pasien
skizofrenia dan mengkaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
tersebut dan beberapa teori yang menguatkan hasil penelitian.
Respon awal ketiga narasumber pada penelitian ini yaitu merasa
kebingungan melihat perubahan tingkah pada pasien skizofrenia. Pasien
skizofrenia menunjukan gejala yang hampir sama, yaitu mengamuk, mata
memerah, dan sering berbicara sendiri. Keluarga mencoba melakukan
penanganan dengan berobat kerumah sakit. Namun disisi lain, keluarga merasa
bahwa penyakit pasien disebabkan oleh faktor lain, yaitu keturunan, ilmu hitam,
dan karma dikehidupan sebelumnya. Pengetahuan tersebut cenderung
mempengaruhi keluarga dalam mempertimbangkan treatment dan jenis
pengobatan apa yang akan diberikan oleh keluarga. Pengetahuan ketiga
narasumber mengenai penyebab skizofrenia yang cenderung kurang ilmiah
membuat keluarga juga mencoba melakukan penanganan dengan bantuan
pengobatan non medis, seperti dukun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81
Selama menggunakan pengobatan medis dan nonmedis, keluarga
meyakini penyakit skizofrenia sebagai penyakit yang parah dan sulit untuk
disembuhkan. Persepsi tersebut didukung pula dengan hasil evaluasi yang
dilakukan oleh keluarga terhadap manfaat penggunaan pengobatan medis.
Keluarga sudah berupaya untuk membawa pasien ke rumah sakit, namun
keluarga merasa pasien tidak memperoleh kesembuhan dan akan kambuh setelah
dibawa pulang kerumah. Selain itu, ketiga narasumber memiliki banyak
pengalaman negatif selama menggunaan pelayanan kesehatan medis. Dua
narasumber cenderung mengeluh dengan kebijakan baru yang berlaku dirumah
sakit jiwa, sedangkan satunya lagi mengeluh dengan penanganan buruk yang
diberikan kepada pasien. Wawan dan Dewi (2011) menjelaskan bahwa
pengalaman pribadi cenderung akan dijadikan sebagai dasar pembentukan sikap
seseorang. Hal tersebut didukung pula dengan analisa dari WHO (dalam
Notoatmodjo, 1993) yang menjelaskan bahwa sikap menggambarkan suka atau
tidak sukanya seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman
sendiri atau dari orang lain. Sikap membuat orang mendekati atau menjauhi
orang lain atau objek lain. Sehingga, penggunaan pelayanan kesehatan yang tidak
sesuai dengan harapan keluarga, serta ditambah pengalaman yang kurang baik
selama menggunakan pelayanan kesehatan, akhirnya keluarga memilih untuk
berhenti menggunakan pengobatan medis. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Zeithnial, Parasuraman, & Berr (1990) yang menunjukan bahwa
persepsi pasien terhadap manfaat pelayanan dipengaruhi oleh harapan terhadap
pelayanan yang diinginkan. Harapan ini dibentuk oleh apa yang konsumen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82
dengar dari konsumen lain, kebutuhan pasien, pengalaman masa lalu dan
pengaruh komunitas ekstenal. Pelayanan yang diterima dari harapan yang ada
mempengaruhi penggunaan terhadap pelayanan kesehatan.
Perilaku keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis di
dukung pula dengan beberapa faktor lain yang berasal dari sumber daya yang
dimiliki keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa keluarga pasien
skizofrenia menggunakan kendaraan bermotor untuk membawa pasien menuju
tempat pengobatan, dan jarak yang ditempuh dari tempat tinggal menuju rumah
sakit jiwa dirasa jauh oleh keluarga. Selain itu, keluarga sudah sangat banyak
menghabiskan biaya pengobatan untuk pasien dan kini tidak tersedia lagi biaya
untuk membawa pasien berobat. Hal tersebut menunjukan bahwa keluarga tidak
memiliki sumber daya yang memadai untuk membawa pasien berobat. Hal
tersebut didukung oleh penelitian Anis dalam Siswantoro (2010) yaitu tidak
tersedianya alat transportasi menuju tempat berobat dan tidak tersedianya biaya
untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang jauh dari rumah tempat tinggal
penderita dapat menjadi hambatan untuk terjadinya perilaku kepatuhan
pengobatan penderita. Seseorang yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada, mungkin bukan hanya karena dia tidak tahu akan bahaya penyakitnya
atau karena tidak percaya pada pelayanan kesehatan, tetapi karena rumahnya
jauh, sedangkan sarana transportasi umum untuk menuju Puskesmas atau
pelayanan kesehatan sulit dan mahal. Selain itu, Daulima dalam Widiastutik,
Winarni, dan Lestari (2016) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83
masalah ketersediaan ekonomi menjadi beban tersendiri bagi keluarga dan
penderita gangguan jiwa.
Dari uraian tersebut dapat diasumsikan bahwa beberapa faktor
predisposisi berpengaruh terhadap perilaku keluarga untuk berhenti
menggunakan pengobatan medis. Variabel dari faktor predisposisi yang terdiri
dari pengetahuan, persepsi, dan sikap yang cenderung negatif terhadap penyakit
pasien dan penggunaan jasa kesehatan, menjadi pencetus perilaku keluarga untuk
mengambil keputusan berhenti menggunakan pengobatan medis. Selain itu,
enabeling factor juga menjadi faktor pendukung keluarga untuk berhenti
menggunakan pengobatan medis. Biaya pengobatan, jenis transportasi yang
digunakan, jarak tempat tinggal dengan rumah sakit menjadi alasan lain keluarga
untuk berhenti menggunakan pengobatan. Azwar (dalam Siswantoro, 2012)
menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan yang baik salah satunya adalah mudah
dicapai (accessible), pengertian di sini adalah terutama dari sudut lokasi.
Pengaturan distribusi dan sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan
kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan sementara itu
tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.
Setelah kepulangan pasien dari rumah sakit dan dirawat dirumah tanpa
obat, pasien dirasakan menjadi beban keluarga, karena perilaku pasien yang
sangat meresahkan dan membahayakan keluarga dan warga sekitar. Keluarga
akhirnya mendapatkan dukungan dan saran dari beberapa tokoh dilingkungan
sekitar untuk memasung pasien. Dukungan untuk memasung pada pasien II dan
III berasal dari kepala desa setempat dan pasien I berasal dari salah satu dukun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84
atau orang pintar yang mengobati pasien. Hal tersebut menunjukan bahwa
lingkungan memiliki peran yang sangat besar dalam proses pengambilan
keputusan keluarga. Ditambah juga dukungan dari pemerintah melalui kepala
desa setempa yang memberikan bantuan dana kurang lebih sebesar Rp.
12.000.000-, untuk membuat ruangan pasung bagi pasien II dan III. Hal tersebut
menjadi faktor penguat keluarga untuk memasung pasien skizofrenia. selain itu,
pemasungan dirasa memberikan dampak yang positif pada keluarga dan
lingkungan sekitar, karena pasien tidak mengamuk, berkeliaran dan meresahkan
warga lagi dijalan. Hal tersebut merupakan umpan balik yang positif bagi
keluarga pasien, sehingga cenderung akan memperkuat perilaku keluarga untuk
tetap memasung pasien. Selain itu, dampak positif dari pemasungan adalah
keluarga pada pasien II dan III memperoleh bantuan sembako dari warga dan
pemerintah setempat.
Dari uraian tersebut dapat diasumsikan bahwa beberapa reinforcing
factor yang berpengaruh secara signifikan bagi keluarga untuk memperkuat
perilaku pemasungan dan tidak ingin melanjutkan penggunaan pengobatan
medis. Saran dari masyaratakat untuk memasung ditambah dengan bantuan dana
dari pemerintah untuk membuat ruangan yang layak untuk memasung, membuat
keluarga memperkuat untuk melakukan perilaku pemasungan. Selain itu, bantuan
sembako dari pemerintah dan warga untuk penderita pasung cenderung menjadi
penguatan positif bagi keluarga untuk mempertahankan perilaku tersebut dan
enggan untuk melepas pasung dan membawa pasien berobat kembali. Hal
tersebut didukung pula dengan teori dari Abraham Maslow dalam hiraki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85
kebutuhannya yang menyatakan bahwa individu akan memprioritaskan
kebutuhan dasarnya (kebutuhan untuk makan dan minum) sebagai kebutuhan
yang terpenting terlebih dahulu, sebelum kebutuhan-kebutuhan lainnya bisa
terpenuhi. (Geller, 1982; Neher,1991;Williams & Page, 1989 dalam Hufman,
Vernoy, & Vernoy, 2000). Selain itu, Abraham Maslow juga menjelaskan,
apabila kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang tidak terpenuhi, maka hal tersebut
akan mempengaruhi perilakunya, dan cenderung mengorbankan hal-hal penting
lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. (Hufman, Vernoy, & Vernoy,
2000). Sehingga, pengaruh bantuan sembako dari pemerintah dan warga menjadi
penting untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar pada keluarga, sehingga
bisa membentuk dan memperkuat perilaku pemasungan pada pasien.
Penjelasan diatas menunjukan bahwa penelitian mengenai perilaku
kesehatan yang dilakukan oleh keluarga pasien skizofrenia ini sesuai dengan teori
Precede Model (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010) yang menyimpulkan
bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan sebagiannya dari orang atau masyarakat
yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku
para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan
memperkuat terbentuknya perilaku pada pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat diambil beberapa
kesimpulan dari penelitian yang bertujuan untuk memahami perilaku
kesehatan sebagai berikut :
1. Respon keluarga dalam menanggapi penyakit skizofrenia pasien diawali
dengan membawa pasien berobat kerumah sakit jiwa. Namun pengobatan
medis yang dilakukan oleh keluarga tidak berjalan lancar, sehingga ketiga
pasien berhenti menggunakan pengobatan medis. Pasien dipulangkan dan
ditangani tanpa pengobatan oleh keluarga, namun justru memperparah
penyakit pasien. Sehingga akhirnya mengambil keputusan akhir untuk
memasung pasien sebagai bentuk perilaku penanganan terhadap pasien
skizofrenia.
2. Keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dipengaruhi oleh: a)
pengetahuan keluarga mengenai penyebab penyakit skizofrenia yang
bersifat non ilmiah, b) Keyakinan keluarga terhadap penyakit skizofrenia
yang sulit untuk sembuh total, dan akhirnya membentuk persepsi yang
negatif terhadap pengobatan yang akan dijalani, c) ditambah dengan hasil
evaluasi keluarga terhadap pengobatan medis yang merasa bahwa
pengobatan medis tidak berdampak pada pasien, sehingga membentuk
persepsi yang semakin negatif terhadap penggunaan pengobatan medis, d)
selain itu ketiga responden juga mengaku memiliki pengalaman yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88
kurang baik dalam menggunakan pengobatan medis. Hal tersebut akan
membentuk konsep yang negatif mengenai penggunaan pelayanan
kesehatan medis pada keluarga. Selain itu, e) jarak tempuh menuju rumah
sakit yang cukup jauh, f) tidak adanya biaya untuk pengobatan pasien, g)
sarana transportasi yang tidak memadai, juga menjadi pendukung
keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis.
3. Ketiga narasumber pada akhirnnya mengambil keputusan untuk
memasung karena a) memiliki pengalaman buruk seperti membahayakan,
merugikan, dan meresahkan keluarga dan warga sekitar saat merawat
pasien, b) selain itu keputusan keluarga untuk memasung diperkuat oleh
saran dari orang-orang yang dianggap penting dilingkungan terdekat
keluarga.
4. Dari uraian hasil penelitian, ketiga narasumber menjelaskan tidak mau
untuk melepas pasung pasien dan membawa ke rumah sakit kembali.
Selain dikarenakan faktor-faktor yang disampaikan pada kesimpulan
diatas, dipengaruhi juga dengan dampak dari perilaku memasung yang
cenderung menguntungkan keluarga pasien, yaitu: a) pasien tidak
berkeliaran dan jarang mengamuk setelah dipasung, b) responden II dan
III merasa terbantu dengan pertolongan yang diterima pasca pasien
dipasung. Selain bantuan dana yang diterima untuk membuat ruangan
pemasungan, keluarga juga memperoleh bantuan sembako dari
pemerintah dan warga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89
B. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan, khususnya dalam pencarian
partisipan sebelum mengambil data. Peneliti awalnya ingin mewawancarai
salah satu orangtua pasien, karena merasa orangtua adalah narasumber yang
terdekat yang mengasuh dan mengurus pasien selama ini. Namun penulis
menemukan kesulitan untuk mewawancarai orangtua pasien karena usia
orangtua pasien yang sudah tua. Sehingga penulis memilih saudara terdekat
pasien untuk menjadi narasumber. Hal tersebut dirasa menjadi kekurangan
penelitian karena informasi yang penulis peroleh menjadi kurang terperinci.
Namun diakhir wawancara penulis berusaha melakukan kroscek hasil
wawancara dengan orangtua pasien.
C. Saran
1. Bagi Penelitian Selanjutnya
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan
mengenai evaluasi terhadap pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas dan
rumah sakit jiwa di Bali, sehingga mampu mengetahui permasalahan
yang terjadi pada pelayanan kesehatan jiwa.
2. Bagi Praktisi Psikologi
Pendampingan untuk keluarga yang memiliki anak menderita
skizofrenia perlu untuk dilakukan. Hal itu akan meningkatkan edukasi
keluarga mengenai penyebab dan penanganan yang baik untuk merawat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90
pasien, sehingga bisa mengurangi perilaku kesehatan yang buruk, seperti
memasung atau tidak merawat pasien
3. Bagi Pihak Rumah Sakit Jiwa
Karena banyaknya keluhan yang dirasakan oleh keluarga pasien,
diharapkan pihak rumah sakit untuk 1) melakukan evaluasi terhadap
program yang selama ini sudah dijalani, agar pengobatan yang diberikan
bisa lebih diterima dengan baik oleh pihak pasien dan keluarga, 2)
merancang dan membuat program psikoedukasi mengenai penyebab
penyakit dan penanganan yang baik untuk pasien gangguan jiwa, 3)
menyediakan tenaga ahli di beberapa puskesmas ataupun rumah sakit
untuk membantu mempermudah pasien melakukan penanganan awal
terhadap penyakit kejiwaan, selain itu tersedianya tenaga ahli disetiap
puskesmas akan mempermudah suplay obat ke puskesmas dan rumah
sakit setempat.
4. Bagi Para Keluarga yang Memiliki Anak Dipasung
Keluarga diharapkan memberikan penanganan yang lebih baik untuk
merawat pasien skizofrenia dan berhenti memasung pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders
fourth edition text revision. In DSM-IV-TR. Arlington: American Psychiatric
Association.
Arif, I. S. (2006). Memahami dinamika keluarga pasien skizofrenia . Bandung: Refika Aditama.
Azwar,R.A. (1996). Menuju pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia.
Chusairi, A. (2004). Health seeking behavior para pasien poli perawatan palitatif studi
eksploratif terhadap lima pasien poli perawatan palitatif rsud dr. soetomo surabaya.
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 11-12.
Creswell, J. (2013). Research Design : Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed edisi ketiga.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Davison, G. C. (2006). Psikologi abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Departemen Kesehatan. (2009). Menuju masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.
Diakses dari www.depkes.go.id/resources/download/laporan/.../kinerja-kemenkes-2009-
2011.pdf pada tanggal 19 Oktober 2016.
Dewi, & Wawan. (2011). Teori dan pengukuran : pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Drapalski, A., Marshall, T., Seybolt, D., Medoff, D., Leith, J., & Dixon, L. (2008). Unmet needs
of families of adults with mental illness and preferences regarding family services.
Psychiatric Services,657.
Glanz, K., Rimer, B. K., & Viswanath. (2002). Health behavior and health education: Theory,
Research, adn Practice (3rd ed.). ((Eds), Ed.) San Francisco: Jossey-Bass.
Hariyanti, T., Harsono, & Prabandari, Y. S. (2015). Health seeking behaviour pada pasien
stroke. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(3), 242-246.
Huffman, K., Vernoy, J., Vernoy, M., & Vernoy, M. W. (2000). Psychology in action, 5th
Edition. Hoboken New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Koolaee, A. K., & Eternadi, A. (2009). The outcome of two family interventions for the mothers
of schizophrenia patients in iran. International Journal of Social Psychiatry, 56(6), 634-
646.
Kementrian Sosial. (2013). Indonesia bebas pasung: pencapaian program. Diunduh dari
http://sehat-jiwa.kemkes.go.id/detailkegiatandirektorat/7. pada tanggal 19 Oktober 2016
Lawrence, G. (1980). Health education planning a diagnnostic approach. Journal of Nutrition
Education and Behavior. doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0022-3182(86)80109-1
Lestari, P., Choiriyyah, Z., & Mathafi. (2014). Kecenderungan atau sikap keluarga penderita
gangguan jiwa terhadap tindakan pasung (studi kasus di rsj gondho hutomo semarang).
Jurnal Keperawatan Jiwa, 2(1), 14-23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Minas, H., & Diatri, H. (2008). Pasung: physical restraint and confinement of the mentally ill in
the community. International Journal of Mental Health Systems, 2(8).
Moleong, J. (2010). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Newman, L. (2000). Social reasearch method : qualitative and quantitative approaches.
Needham Heights: Allyn & Bacon.
Notoatmodjo, P. D. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho, R. A. (2011). Studi kualitatif : faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan
tuberkulosis paru. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 90.
Poerwandari, K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta:
LPSP3 Universitas Indonesia.
Republika (2000, 18 Maret). Pasien skizofrenia bisa sembuh. Diakses dari
http://www.republika.co.id/cetak/ read/172854. pada tanggal 10 Oktober 2016
Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 2. Yogyakarta: Kanisius.
Setiadi. (2006). Konsep dan proses keperawatan keluarga (1 ed.). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, J. S. (2012). Metode penelitian dalam
psikologi, Edisi 9. Jakarta: Salemba Empat.
Silalahi, K., & Meinarno, E. (2010). Keluarga indonesia: aspek dan dinamika zaman. Jakarta:
Rajawali Pers.
Siswantoro, T. (2012). Analisis pengaruh predisposing, enabling dan reinforcing factors
terhadap kepatuhan pengobatan tb paru di kabupaten bojonegoro. Jurnal administrasi
dan kebijakan kesehatan. 10(3).152-158.
Suharto, B. (2014). Budaya pasung dan dampak yuridis sosiologis (studi tentang upaya
pelepasan pasung dan pencegahan tindakan pemasungan di kabupaten wonogiri).
Indonesian Journal on Medical Science, 1(2).8-9
Sulianti, A. (2014). Tinjauan psikologi kesehatan pada penderita penyakit kaki gajah kronis di
kabupaten badung. Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 186-203.
Wardhani, R. S. (2013). Penerimaan keluarga pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap.
(Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 7-9.
World Health Organization. (1988). Schizophrenia information for families. Department of
Child and Adolescent Health and Development. Genava, Switzerland: WHO.
World Health Organization. (2002). The world health report. Reducing Risks, Promoting
Healthy Life. Genava, Switzerland:WHO.
Widiastutik, W., Winarni, I., & Lestari, R. (2016). Dinamika resilience keluarga penderita
skizofrenia dengan kekambuhan. The Indonesian Journal of Health Science, 144.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Wuryaningsih, E. W., Yani, A., & Helena , N. (2013). Studi fenomenologi : pengalaman
keluarga mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pasien pasca hospitalisasi rsj. Jurnal
Keperawatan Jiwa,182-184.
Zeithaml, V. A., Parasuraman, A., & Berr, L. L. (1990). Delivering quality service: balancing
customer perceptions and expectations. New York: The Free Press, 24.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI