PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI - … · ataupun ditemukan pada masa pasca-kolonial....
Transcript of PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI - … · ataupun ditemukan pada masa pasca-kolonial....
Suatu Analisis Mengenai
Untuk Memenuhi Persyaratan
Pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
Ekspatriat di Jakarta Expat;
Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum)
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
Fredrik Lamser
116322016
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
dan Wacana Kolonial Kontemporer
Gelar Magister Humaniora (M.Hum)
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Suatu Analisis Mengenai
Untuk Memenuhi Persyaratan
Pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
i
Ekspatriat di Jakarta Expat;
Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum)
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
Fredrik Lamser
116322016
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
dan Wacana Kolonial Kontemporer
Gelar Magister Humaniora (M.Hum)
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Oleh:Fredrik Larnser
I lo322016
Telah disetujui oleh:
Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J.Pembimbing I Tanggal: 23/1) /,2 I..5
Dr. Katrin BandelPembimbing II
Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengenai Representasi danWacana Kolonial Kontemporer
TESIS
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tim Penguji
Ketua : Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.
Sekretaris/Moderator : Dr. G. Budi Subanar, S.J.
I ,
Anggota : 1. Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J.
OVT2. Dr. Katrin Bandel
Yogyakarta, 23 Juli 2015gcktur Program Pascasarjana
5(GSM PAS,
s'G'er"
rof. Dr hgustinus Supratiknya
TESIS
Ekspatriat di Jakarta Expat;
Suatu Analisis Mengenai Representasi danWacana Kolonial Kontemporer
Oleh:Fredrik LamserNIM: 116322016
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesispada tanggal 23 Juli 2015
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
redrik Lamser
PERNYATAAN KEASL IAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Fredrik LamserNIM : 116322016Program : Pascasarjana Ilmu Religi dan Budayalnstitusi : Universitas Sanata Dharrna
menyatakan dengan sesunggulanya bahwa tesis:
Judul : Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengcnai Representasi
dan Wacana Kolonial Kontemporer
Pembimbing : 1. Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J.2. Dr. Katrin Bandel
adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam Tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan maupun gagasan oranglain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimatatau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikanpengakuan pada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atau menirutulisan orang lain seolah-olah basil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksisesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana llmu Religi dan BudayaUniversitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora(M.Hum) yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 23 Juli 2015Saya Yang Menyatakan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN PERSETUJ UANPUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Fredrik LamserNIM :116322016
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan UniversitasSanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Ekspatriat di Jakarta Expat;
Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hakuntuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentukpangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di interneatau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupunmemberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di YogyakartaPada tanggal : 15 Desember 2015
Yang menyatakan,
Lamser
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
KATA PENGANTAR
Apa yang telah dimulai, sejatinya harus terselesaikan. Kata-kata inilah yang terus
bersemayam di alam pikiran penulis. Tidak mudah memang, berbagai lika-liku pun terjadi
dari proses perkuliahan hingga penulisan dan penyelesaian tesis. Selama hampir empat
tahun berada di ruang lingkup IRB, penulis mengalami petualangan yang sangat luar biasa
dan tentunya takkan pernah terlupakan. Atas kesemuanya itu, penulis sangat bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ingin menghaturkan terima kasih kepada mereka.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada para dosen di Program Magister Ilmu
Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Pak Supratiknya, Romo Budi Susanto,
Romo Benny Juliawan, Romo Bagus Laksana, Pak George Aditjondro, Mba Devy, dan
pada khususnya, Romo Budi Subanar yang senantiasa mengerti kondisi para mahasiswa
“elit”, yang mana penulis termasuk di dalamnya, matur sembah nuwun. Untuk kedua
dosen pembimbing penulis, Romo Baskara T. Wardaya dan Bu Katrin Bandel, terima
kasih atas kesabaran dan bimbingan selama proses penulisan. Begitu pula untuk Pak
Nardi, penulis sangat berterimakasih atas kesempatan selama belajar bersama di Erupsi
Akademia. Serta, penulis pun mengucapkan terimakasih untuk para staf, Mas Mul, Mba
Desy, dan Mba Dita.
Di samping itu, penulis juga berterimakasih kepada para sedulur di IRB; Mas
Doni, Kak Vini, Muji, Arham, Imran, Frans, Irfan, Mando, Zuhdi, Alwi, Kak Lisis, Mba
Gintani, Rendra, Darwis, dan semuanya yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini.
Kepada para rekan kampus Moestopo, KMK dan FISIP. Para peminum kopi sembari
diskusi; Kang Paijo, Kang Lilik, Kang Goro, Bung Kresna dan yang lainnya. Keluarga
Gladi; Romo Mateus Mali dan Ibu Retno Priyani, serta para saudara/i dimanapun berada.
Para penikmat alam; Rangga dan Suksma, serta petualang yang bertemu di perjalanan.
Terlebih ucapan istimewa penulis sampaikan kepada Sarah Monica.
Akhir kata, dengan penuh syukur yang mendalam, penulis sangat berterimakasih
kepada Bapak dan Mama yang memberikan doa, kepercayaan, dan segala dukungan tak
terhingga, serta seluruh keluarga yang senantiasa selalu memberi semangat. Terima kasih.
Salam,
Lamser.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
Lamser, Fredrik. 2015. Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengenai Representasi
dan Wacana Kolonial Kontemporer. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma.
ABSTRAK
Kolonialisme yang mewabah hampir di seluruh dunia telah menyisakan beragam
persoalan. Salah satu persoalan di antaranya adalah perpindahan manusia. Perpindahan
manusia ini menjadi sebuah fenomena yang terus berkelanjutan di masa sekarang. Hal ini
dapat dilihat dari kehadiran orang asing di Indonesia, khususnya ekspatriat. Ekspatriat
menjadi identitas seseorang saat berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu,
ekspatriat sebagai identitas melakukan suatu upaya konstruksi dengan cara mengkodifikasi
dan mengafirmasi orang kulit putih. Hal ini ditemukan atas representasi diri para ekspatriat
di dalam suatu media, yakni Majalah Jakarta Expat.
Dengan melakukan pembacaan terhadap pelbagai imaji dan teks yang tersajikan pada
Majalah Jakarta Expat, penelitian ini juga menemukan bahwa para ekspatriat tidak
memiliki perbedaan yang terlalu jauh dengan orang asing kulit putih di masa kolonial
tempo dulu. Hal itu terlihat dalam wacana kolonial yang masih dimainkan kembali oleh
para ekspatriat di dalam Majalah Jakarta Expat, baik dalam bentuk cover photo maupun
rubrik, termasuk artikel di dalamnya. Alhasil, kehadiran para ekspatriat masih memiliki
sifat kolonial (orientalistik) di masa pasca-kolonial.
Kata Kunci: Ekspatriat, Jakarta Expat, Representasi, Wacana Kolonial, Ruang Ketiga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
Lamser, Fredrik. 2015. Expatriate in Jakarta Expat; An Analysis of Representation and
Contemporary Colonial Discourse. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural
Studies, Sanata Dharma University.
ABSTRACT
Colonialism has been everywhere in the world along with its consequences. One of the
consequences can be found in the migration phenomenon. The movement process from
one place or country to another can be found until today. It can be seen from the existence
of foreigners in Indonesia, mainly expatriate. Expatriate has become an identity of a
person who stays or lives abroad. Therefore as an identity, expatriate has done a process of
construction through codification and affirmation of white people. This process can be
found in the self representation of expatriate in the Jakarta Expat Magazine.
The research is conducted through close reading of the text and images from the Jakarta
Expat Magazine. The research has found that today’s expatriate is not different from past
time colonial people. It is revealed through the colonial discourse reapplied by the
expatriate in the Jakarta Expat. It can be found in the many cover photo, rubric and article.
Consequently, the existence of expatriate is orientalistic in the postcolonial setting.
Keywords: Expatriate, Jakarta Expat, Representation, Colonial Discourse, Third Space.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................................ i
Lembar Persetujuan...................................................................................................... ii
Lembar Pengesahan ..................................................................................................... iii
Pernyataan Keaslian..................................................................................................... iv
Pernyataan Publikasi..................................................................................................... v
Kata Pengantar ............................................................................................................. vi
Abstrak ......................................................................................................................... vii
Abstract......................................................................................................................... viii
Daftar Isi........................................................................................................................ ix
Daftar Gambar............................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 10
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 10
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 11
F. Kerangka Teori ................................................................................................. 17
F.1. Representasi .............................................................................................. 17
F.2. Pascakolonial ............................................................................................ 22
F.2.1. Wacana Kolonial.................................................................................... 23
F.2.2. Ruang Ketiga ......................................................................................... 27
F. Metode Penelitian............................................................................................. 29
G. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 30
BAB II INDONESIA DAN ORANG ASING
A. Kehadiran Orang Asing di Nusantara .............................................................. 32
A.1. Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial ................................ 36
A.1.1. Orang Kulit Putih di Masa Kolonial ..................................................... 40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
A.1.2. Media di Masa Kolonial ........................................................................ 42
B. Indonesia di Masa Pasca-kolonial.................................................................... 46
B.1. Orang Kulit Putih; Bule atau Ekspatriat? ................................................. 48
B.1.1. Bule, siapa mereka? ............................................................................... 49
B.1.2. Ekspatriat, melampaui definisi! ............................................................. 57
B.2. Ekspatriat di Indonesia ............................................................................. 64
B.2.1. Perdebatan seputar ekspatriat ................................................................ 65
B.2.2. Media Ekspatriat; Majalah Jakarta Expat ............................................. 71
C. Catatan Penutup ............................................................................................... 74
BAB III EKSPATRIAT DI JAKARTA EXPAT
A. Kisah Para Ekspatriat....................................................................................... 76
B. Ekspatriat dalam Meet the Expats .................................................................... 95
B.1. Identitas Ekspatriat yang non-esensialis................................................... 96
B.2. Representasi Diri Ekspatriat ................................................................... 104
C. Ekspatriat, Melanggengkan Wacana Kolonial............................................... 111
C.1. Cover Photo sebagai Imaji Indonesia ..................................................... 111
C.2. Rubrik sebagai Wacana Pengetahuan..................................................... 130
D. Catatan Penutup ............................................................................................. 157
BAB IV EKSPATRIAT DAN WAJAH BARU KOLONIALISME
A. Analisis Wacana Kolonial Kontemporer Indonesia....................................... 159
A.1. Karakteristik Indonesia .......................................................................... 160
A.2. Stereotipe Indonesia ............................................................................... 170
B. Menafsirkan Ekspatriat .................................................................................. 176
B.1. Hibriditas Ekspatriat ............................................................................... 178
B.2. Ambivalensi Ekspatriat .......................................................................... 180
C. Catatan Penutup ............................................................................................. 184
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 185
B. Saran............................................................................................................... 189
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. An early mixed marriage ...................................................................................... 113
Gambar 2. Chatting on Facebook ........................................................................................... 120
Gambar 3. Pocongan Cilik...................................................................................................... 124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penjajahan yang berakhir pada pertengahan abad silam tidak serta merta memutus
rantai wacana dan praktek kolonialisme. Meskipun berbagai negara terjajah telah
mendapatkan kemerdekaan, namun pengaruh dan efek kolonialisme masih dapat dirasakan
ataupun ditemukan pada masa pasca-kolonial. Bagaikan suatu warisan, pengaruh dan efek
dari kolonialisme turun-temurun antar generasi. Bahkan, tidak hanya bagi pihak terjajah,
tetapi juga bagi pihak penjajah.
Kolonialisme telah berlangsung berabab-abad lamanya. Berbagai negara dan
bangsa, khususnya Asia dan Afrika, telah menjadi korban. Dengan berambisi keras untuk
melakukan aksi penaklukan hingga ke seberang benua dan melintasi samudera, Eropa
memulai praktek kolonialisme Barat. Karenanya, tibalah kolonialisme di bumi Indonesia –
yang sebelumnya dikenal dengan nama Nusantara.
Kehadiran kolonialisme di Indonesia memiliki serangkaian catatan historis.
Kolonialisme Eropa pernah menguasai perdagangan hingga melakukan penjajahan di
Indonesia lebih dari satu abad lamanya. Secara khusus, penjajahan yang terkait dengan
kekuasaan Eropa atas Asia dan Afrika di akhir abad ke 19 telah disertai dengan kenaikan
status sosial orang kulit putih dan seluruh ciri lahiriah mereka (Alatas, 1998:28). Oleh
karena itu, kolonialisme telah menciptakan suatu jenjang yang menempatkan status sosial
orang kulit putih lebih tinggi dibandingkan dengan pribumi di dalam masyarakat terjajah.
Indonesia sebagai negara terjajah turut mengalami kesenjangan sosial antara orang
kulit putih dengan pribumi. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Jan Jacob Rochussen (1845-1851), terjadi tindakan politik rasial dengan mempertegas
oposisi biner antara pihak penjajah dan terjajah, mengagung-agungkan keindahan kulit
putih dan superioritas moral serta intelektual bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit
cokelat.1 Dengan demikian, representasi ras telah menjadi bagian dari salah satu ciri
wacana dan praktik kolonialisme.
Sementara itu, pengaruh sikap superior orang kulit putih semakin nyata ketika
kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yakni, pertama, golongan
bangsa Eropa, terutama Belanda, kedua, golongan bangsa Timur Asing, misalnya, Cina
dan Arab, dan ketiga, golongan kaum pribumi.2 Ironis, meskipun kolonialisme telah
dinyatakan berakhir, namun ciri lahiriah putih dan non-putih masih menjadi nilai dan
tanda sebagai pembeda di dalam masyarakat. Pembedaan nilai dan tanda ini dapat dilihat
dari kehadiran para“expatriate”3 di Indonesia.
Pada umumnya istilah “ekspatriat” tampaknya belum begitu populer atau terdengar
akrab di kalangan masyarakat Indonesia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, kehadiran
orang kulit putih lebih sering dikenal maupun disebut sebagai “bule”. Bule menjadi
sebuah panggilan atau sapaan bagi orang kulit putih yang biasanya hadir ke Indonesia,
turis mancanegara, misalnya. Orang kulit putih seperti ini lazim ditemui di berbagai
tempat liburan, kota yang lebih cenderung menawarkan wisata dan sajian eksotis bagi para
pengunjungnya, seperti Bali, Lombok, Yogyakarta, dan lain sebagainya.
Namun demikian, tidak seperti para turis, terdapat juga orang kulit putih yang
kehadiranya di Indonesia sebagai pelajar atau mahasiswa. Mahasiswa semacam ini
1 C. Fasseur, “Cornerstone and Stumbling Block: Racial Classification and the Late Colonial State inIndonesia”, dalam Robert Cribb (ed.), (1994). The Late Colonial State in Indonesia: Political and EconomicFoundations of the Netherlands Indies 1880-1942, KITLV Press, Leiden. Hal. 31-34. (Lebih lanjut lihat,Vissia Ita Yulianto, Pesona Barat. Hal. 60)2 Kartodirjo, S. N. (1975). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Hal. 155-6.3 Dalam Bahasa Indonesia, kata “expatriate” diserap menjadi ekspatriat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
acapkali datang ke Indonesia dengan mengikuti program Darmasiswa yang diberikan oleh
pemerintah Indonesia, dan dapat ditemui pada beberapa kampus di Indonesia, seperti,
Universitas Indonesia, Univesitas Padjajaran, Universitas Gajah Mada, maupun
Universitas Sanata Dharma, serta berbagai perguruan tinggi lainnya. Oleh karena itu,
terkait dengan perdebatan istilah bule yang selalu ditujukan bagi orang kulit putih di
Indonesia, perlu kiranya membedakan kehadiran antara orang kulit putih yang ada di
tempat wisata dan lingkungan kampus, yakni dengan membahas tentang ekspatriat.
Berkaitan dengan definisi eskpatriat, penulis merujuk pada beberapa sumber,
diantaranya: Webster Dictionary (2008), yang menjelaskan bahwa berdasarkan pada
etimologinya ekspatriat berasal dari bahasa Latin, ex: out of, and patria: native country,
yang berarti seorang penduduk asli keluar dari negaranya. Sementara itu, New Oxford
Dictionary of English (2008) memberikan penjelasan bahwa terminologi expatriate, is
‘gone - out from one’s country’; as adjective (person) living outside his/her own country.
Artinya ekspatriat adalah seseorang yang tinggal di luar negara asalnya. Berbeda pula
dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan bahwa ekspatriat
adalah seseorang yang telah melepaskan status kewarganegaraannya, orang yang
meninggalkan negeri asalnya; warga negara asing yang menetap di sebuah negara, orang
yang terbuang maupun tenaga kerja asing.4 Dari beberapa pendefinisian di atas dapat
diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan mengenai definisi ekspatriat,
sehingga penulis beranggapan bahwa yang dimaksud dengan ekspatriat adalah identitas
seseorang yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya, dan bukan menjadi suatu
status kewarganegaraan seseorang.
4 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI). Edisi Digital KBBI Offline 1.5.1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Pada kenyataannya tidak semua orang yang sedang berada di luar negara asalnya –
baik untuk sementara waktu atau permanen – dapat menyandang identitas dan
merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Semisal, orang asing – atau dalam bahasa
pemerintah biasa disebut sebagai warga negara asing (WNA) – yang ada di Indonesia;
orang Eropa, Amerika, Australia, Afrika maupun Asia, mereka belum tentu mendapatkan
atau merepresentasikan diri sebagai seorang ekspatriat. Begitu pula sebaliknya dengan
orang Indonesia yang sedang berada di luar tanah air, mereka akan lebih cenderung
mendapatkan sebutan sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), imigran maupun orang-
orang diaspora5. Lantas, pertanyaan yang kemudian muncul atas fenomena tersebut
adalah, ada apa dengan identitas ekspatriat sebagai identitas seseorang yang sedang berada
di luar tanah airnya?
Sebagai langkah awal dalam menelusuri perihal ekspatriat, penelitian ini merujuk
pada beberapa sumber penelitian yang terkait. Pertama, sebuah penelitian yang telah
dilakukan oleh Anne-Meike Fechter pada satu dekade silam mengenai kehidupan
transnasional para ekspatriat di Indonesia. Sebagai seorang antropolog, Fechter (2007:vii)
beranggapan bahwa para ekspatriat di Jakarta hidup di dalam gelembung (expatriate
bubble), bahkan tentang siapa itu ekspatriat, ia mengemukakan bahwa persoalan identitas
ekspatriat belum memiliki kejelasan yang pasti, sehingga mendasarkan penggunaan istilah
tersebut sejauh para informannya menyebut diri mereka sebagai ekspatriat.
Senada dengan Fechter terkait dengan pendefinisian ekspatriat, Sian Reiko Upton
(1998) di dalam tesisnya tentang ekspatriat di Papua Nugini juga melakukan penelitian
terhadap delapan individu melalui narasi lisan para respodennya untuk mendapatkan suatu
5 Pemerintah Indonesia cenderung menempatkan warga negaranya yang sedang bekerja di luar negerisebagai Tenaga Kerja Indonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara tetangga; Malaysia, Hongkong,Taiwan, Arab Saudi dan lain sebagainya. Sementara itu, pemerintah juga menempatkan identitas orangIndonesia sebagai orang-orang diaspora, semisal, sebagaimana yang telah diakomodir oleh pemerintahterhadap WNI di Amerika, hal ini dapat dilihat pada laman http://www.diasporaindonesia.org/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
pengertian tentang ekspatriat. Secara umum, Upton menempatkan ekspatriat pada
karakterisasi sebagai orang asing yang sedang berada di negara lain dengan melihat
berbagai hal yang terdapat di dalamnya, seperti komunitas mereka, hubungan mereka
dengan penduduk setempat, maupun status orang asing di dalam sebuah negara pasca-
kolonial beserta pengalaman mobilitas.
Kedua penelitian di atas, yakni Fechter dan Upton, melakukan pencarian definisi
ekspatriat melalui narasi lisan. Menarik bahwa Fechter juga merujuk pada lingkaran
kapitalisme yang turut menjadi salah satu unsur pembawa seseorang untuk berada di
negara lain. Adanya perpindahan seseorang keluar negaranya dinilai telah membuat
seseorang menjadi orang asing dan membawa pada suatu identitas tertentu, yakni identitas
ekspatriat. Bahkan, tidak hanya sebatas karena perpindahan negara, akan tetapi kehadiran
ekspatriat di Jakarta juga telah dilingkupi suatu nilai sebagai seseorang yang dianggap
“expert”, dan“exclusive” apabila dibandingkan dengan pribumi maupun orang asing
lainnya. Fechter (2007:5) menjelaskan bahwa ekspatriat yang dianggap “expert”
merupakan suatu gagasan yang seringkali dihubungkan dengan ekspatriat perusahaan, per
definisi memiliki kemampuan yang lebih dan berkualitas dalam bekerja, sedangkan
ekspatriat yang “exclusive” lebih disebabkan mereka memainkan sebuah aturan di dalam
lingkup internasional yang eksklusif maupun menempatkan diri sebagai identitas global.
Di samping itu, merujuk pada sebuah pandangan lain, Robbert A. Cannon (1991)
dalam penelitian mengenai “Expatriate ‘experts’ in Indonesia and Thailand: Profesional
and Personal Qualities for Effective Teaching and Consulting”, berpendapat bahwa
ekspatriat yang dianggap “expert” adalah seseorang yang memerlukan berbagai kualitas
pribadi dan profesional untuk dapat menjadi efektif, seperti harus memiliki keahlian
tertentu, mampu membangun dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
terorganisir dengan baik dan mampu mentransfer informasi dan keterampilan yang
bermanfaat di negara tempat ia ditugaskan. Selanjutnya, Cannon juga menegaskan bahwa
seorang ekspatriat yang “expert” harus menunjukkan keahlian dengan beberapa unsur di
dalamnya, termasuk keahlian teknis, pengetahuan budaya, kemampuan bahasa dan
keahlian dalam hal pendidikan. Oleh karena itu, identitas ekspatriat bukan lagi hanya
sebatas mengenai perpindahan seseorang yang keluar dari negara asalnya, melainkan telah
dilingkupi oleh berbagai macam unsur wacana yang turut mengkonstruksi dan
mempengaruhi identitas, semisal “expert” dan “exclusive”, maupun seseorang yang
acapkali dianggap memiliki suatu nilai lebih jika dibandingkan dengan masyarakat
pribumi. Hal ini menjadi persoalan, karena kehadiran orang kulit putih dengan identitas
diri sebagai ekspatriat telah menghadirkan kembali suatu hubungan manusia yang tidak
setara di Indonesia pada masa pasca-kolonial.
Dalam konteks demikian, penulis juga telah mencoba untuk melakukan
penelusuran tentang beberapa penelitian terkait ekspatriat di Indonesia, dan hasilnya lebih
banyak didominasi oleh kajian seperti persoalan sumber daya manusia, bisnis, maupun
manajemen (Nevendorf, 2008; Musadieq, 2010; Apriyogo, 2013; Puspitasari, dkk, 2014;
Soares, 2014). Dalam hal ini, persoalan ekspatriat sebagai sebuah identitas maupun
representasi diri tampaknya kurang begitu mendapatkan perhatian dalam kajian ilmu
lainnya. Padahal, setidaknya bagi penulis, sebelum melangkah jauh ke dalam persoalan
bagaimana ekspatriat itu beraksi di dalam masyarakat maupun dalam kehidupan sosial, hal
yang perlu diketahui dan diperdalam adalah mengenai persoalan identitas serta bagaimana
upaya representasi dari identitas itu sendiri. Jadi, penelitian ini akan mengarah pada suatu
persoalan mengenai identitas ekspatriat, sekaligus representasi yang mereka lakukan di
dalam kehidupan sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Patut untuk disadari kembali bahwa cakupan identitas ekspatriat dalam lingkup
sosial telah meluas dari sekadar identitas etnis maupun kebangsaan sehingga telah
dihadapkan pada kompleksitas yang tidak mudah untuk dilacak, apalagi jika dibahas
hanya dalam satu sisi saja. Identitas ekspatriat terakumulasi dari beragam unsur perekat,
seperti berbagai kepentingan yang telah melampaui identitas kelahirannya, maupun
konstruksi identitas yang melanjutkan wacana di masa lampau, yang mana keberadaan
orang kulit putih acapkali terkait dengan superioritas, khususnya saat mereka tengah
berada di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia.
Berdasarkan dari penelitian Fechter dan Upton yang menelusuri siapa itu ekspatriat
berdasarkan pada para informannya, maka penelitian ini menelusuri ekspatriat melalui
representasi yang mereka hadirkan di dalam media. Mengapa media? Karena dalam
beberapa tahun belakangan ini para ekspatriat telah menarasikan dan merepresentasikan
identitas diri mereka melalui sebuah media. Secara khusus, media yang ingin dikaji dalam
penelitian ini adalah sebuah media berupa majalah bernama ‘Jakarta Expat’ (JE), yang
disajikan dari, oleh, dan untuk para ekspatriat di Jakarta, serta Indonesia pada umumnya.
Penulis beranggapan bahwa kemunculan Majalah JE adalah suatu bentuk ruang
yang mengambil peranan penting sebagai medium atas keberadaan orang asing untuk
melakukan konstruksi identitas. Melalui Majalah JE, kehadiran orang asing, pada
khususnya orang kulit putih mencoba untuk menghadirkan dan merepresentasikan diri
mereka sebagai ekspatriat di dalam kehidupan masyarakat – baik secara lokal maupun
global. Dengan kata lain, Majalah JE juga dapat dipahami sebagai ruang eksistensi
sekaligus legitimasi atas keberadaan para ekspatriat di dalam masyarakat, sehingga
membedakan dengan orang asing maupun orang kulit putih lainnya, yang mana biasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
disebut sebagai “bule”. Bahkan, para ekspatriat cenderung untuk menolak dan menyangkal
apabila mereka disebut sebagai bule.
Di samping menelisik representasi ekspatriat di dalam media, penelitian ini juga
menggunakan perspektif pasca-kolonial untuk melakukan pembacaan terhadap ragam
sajian yang disuguhkan ekspatriat di dalam Majalah JE. Hal ini penulis lakukan guna
memperlihatkan dan mengkritisi media seperti Majalah JE yang acapkali menyajikan
beragam wacana kolonial, baik itu berupa imaji maupun teks kepada para pembacanya,
yakni para ekspatriat. Wacana kolonial yang termuat di dalam Majalah JE secara implisit
telah memunculkan kembali ingatan tentang binerisme antara Barat dan Timur – penjajah
dan terjajah.
Pada Majalah JE, imaji dan teks yang mengandung wacana kolonial dapat dilihat
dari cover photo dan beberapa rubrik di dalamnya, seperti, Moment in History, Feature,
Observations, Culture, dan Literature. Cover photo, misalnya, Majalah JE menggunakan
sebuah foto sebagai pembungkus tema sebuah edisi majalah yang hendak tersajikan.
Dengan kata lain, Majalah JE berupaya untuk memperlihatkan dan menghadirkan imaji
Indonesia kepada para pembacanya melalui sebuah cover photo. Bahkan, foto yang
dijadikan sebagai sebuah cover photo juga disertai dengan suatu artikel terkait tema yang
sedang ditampilkan pada halaman muka Majalah JE.
Begitu pula dengan teks pada beragam rubrik dan artikel di dalam Majalah JE yang
dituliskan oleh para ekspatriat mengandung wacana kolonial kontemporer. Pada rubrik
Moment in History, misalnya, Majalah JE memberikan penjelasan mengenai momen-
momen sejarah di Indonesia pada masa kolonial. Sementara itu, pada rubrik Feature, para
ekspatriat mengungkapkan kisah mengenai suatu tempat tertentu yang terdapat di
Indonesia. Lalu, pada rubrik Observations, para ekspatriat menceritakan sebuah kisah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
perjalanan. Kemudian, pada rubrik Culture, para ekspatriat memberikan pemaparan
mengenai budaya yang terdapat di Indonesia. Dan pada rubrik Literature, para ekspatriat
memuat sebuah resensi atas suatu literatur yang berhubungan dengan Indonesia. Dengan
demikian, terdapat beragam wacana mengenai Indonesia atas rajutan teks yang tersajikan
di dalam Majalah JE.
Wacana mengenai citra Indonesia yang disajikan melalui Majalah JE telah
memberikan suatu deskripsi kepada para pembaca, yakni para ekspatriat. Deskripsi ini
mengantarkan kepada karakterisasi dan stereotipe mengenai Indonesia. Dalam konteks
Orientalisme, upaya para ekspatriat ini dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk
merekontruksi dan mereproduksi wacana kolonial tentang Timur seperti Indonesia.
Bahkan wacana kolonial ini diperbaharaui dengan melihat ragam kondisi Indonesia
kontemporer. Jadi, melalui Majalah JE, para ekspatriat kembali melanggengkan wacana
kekuasaan Barat dalam memberikan suatu narasi tentang Timur seperti Indonesia kepada
para pembaca Majalah JE, yakni sesama ekspatriat itu sendiri.
Terakhir, melalui penelitian ini penulis juga berupaya untuk memberikan sebuah
tafsiran terhadap identitas ekspatriat atas imaji dan teks, sejauh yang telah tersajikan di
dalam Majalah JE. Karena bukan menjadi sesuatu yang mustahil bahwa dari beragam
imaji dan teks yang termuat di dalam Majalah JE tercermin ambivalensi dan hibriditas
yang dialami oleh para ekspatriat saat tengah berada di Indonesia. Dengan demikian,
penelitian ini berupaya untuk mengetahui dan menemukan apa yang sesungguhnya terjadi
atas fenomena kehadiran para ekspatriat di Jakarta, baik seputar identitas, representasi
hingga ambivalensi dan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat saat berada di
Indonesia pasca-kolonial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang mengenai fenomena kehadiran ekspatriat, maka secara
sederhana terdapat beberapa rumusan pertanyaan yang akan dibahas dan dijawab dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana representasi diri ekspatriat di dalam Majalah Jakarta Expat?
2. Bagaimana wacana kolonial mengenai Indonesia dihadirkan melalui imaji dan
teks di dalam Majalah Jakarta Expat?
3. Bagaimana hibriditas dan ambivalensi pengalaman ekspatriat yang tercermin
pada beragam teks di dalam Majalah Jakarta Expat?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami kondisi realitas dengan menguraikan
kehadiran orang asing yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Selain itu,
penelitian ini juga bermaksud untuk menemukan wacana tersembunyi dari beragam imaji
dan teks tentang Indonesia yang disajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE. Oleh
karena itu, dengan memperlihatkan wacana mengenai Indonesia yang telah diberikan oleh
para ekspatriat, penelitian ini dapat menafsirkan dan mendapatkan pemahaman atas
kehadiran para ekspatriat di Indonesia di masa pasca-kolonial.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan suatu
kontribusi pengetahuan bagi khasanah ilmu pengetahuan humaniora, khususnya Kajian
Budaya. Berangkat dari persoalan mengenai ekspatriat di Jakarta, maka kita dapat
memahami dan menanggapi tentang adanya berbagai upaya representasi diri atas sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
identitas. Bahkan, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah eksplorasi atas
konstruksi identitas dan representasi, serta mengetahui ragam wacana yang terdapat di
dalamnya, terutama dengan cara suatu penelusuran melalui media seperti Majalah JE.
E. Tinjauan Pustaka
Pada tinjauan pustaka ini, penulis mencoba merujuk beberapa sumber penelitian
yang memiliki kesamaan dalam objek material. Pertama, penelitian Anne Meike Fechter
yang telah tertuang dalam sebuah buku, Transnational Lives: Expatriates in Indonesia
(2007). Di dalam penelitian ini, Fechter berupaya untuk melihat dan mengetahui kondisi
kehidupan ekspatriat di Jakarta dengan menggunakan metode etnografis yang mengarah
pada tema kehidupan transnasional. Melalui penelitiannya, Fechter menemukan bahwa
kehidupan para ekspatriat telah ditandai oleh suatu batas. Kehidupan transnasional para
ekspatriat telah ditandai oleh batas-batas sebanyak oleh ‘arus’, di mana pun ekspatriat itu
berada dan apa pun yang mereka lakukan menjadi batas kunci untuk memahami
kehidupan ekspatriat. Bagi Fechter, hal ini menjadi suatu gagasan yang tidak
dikonseptualisasikan sebagai berlawanan, tetapi saling tergantung satu sama lain.
Penelitian Fechter ini juga mengingatkan bahwa istilah ekspatriat tidak jelas dan
agak sarat nilai, sehingga ia melakukan penelusuran dengan menjelaskan bagaimana
beberapa informannya dalam menggunakan istilah ekspatriat sebagai identitas. Selain itu,
dengan memaparkan konstruksi ekspatriat dan hubungannya dengan Indonesia sebagai
negara dunia ketiga, Fechter menunjukkan berbagai cara para ekspatriat menegosiasikan
hubungan mereka dengan lingkungannya di Indonesia, dan bagaimana mereka
membangun sebuah 'gelembung Barat' yang spasial di dalam kehidupan sosial. Batas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
spasial itu muncul seperti dalam praktek perumahan ekspatriat dan melalui komunitas
mereka di Jakarta.
Di samping itu, Fechter juga membahas tentang batasan etnis dan kebangsaan,
dimana ekspatriat tidak hanya terpisah dari masyarakat Indonesia, tetapi telah membagi
masyarakat kulit putih itu sendiri. Ada ekspatriat yang terikat untuk eksis dalam
'gelembung' dan ada juga bentuk-bentuk hidup alternatif sebagai orang asing di Indonesia.
Dengan demikian, penelitian Fechter yang cukup komprehensif ini menjadi sangat
berguna untuk mengetahui dan memberikan suatu pemetaan serta gambaran tentang
bagaimana kondisi ekspatriat di Jakarta, khususnya melihat kehadiran dan kehidupan para
ekspatriat dalam perspektif transnasional.
Kedua, penelitian Sian Reiko Upton tentang Expatriates in Papua New Guinea:
Contructions of Expatriates in Canadian Oral Narratives (1998). Dalam penelitian berupa
tesis ini, Upton menyampaikan bahwa minat para ilmuwan sosial tentang globalisasi,
mobilitas, efek dari kolonialisme dan situasi antar budaya telah memberikan sedikit
perhatian kepada ekspatriat sebagai kelompok transnasional kontemporer. Secara khusus,
Upton melakukan penyelidikan terhadap delapan individu untuk mendefinisikan diri
mereka (orang asing) sebagai ekspatriat melalui narasi lisan dan melihat bagaimana
kehidupan mereka di Papua Nugini. Penelitian Upton menekankan bahwa karakterisasi
ekspatriat dapat dilihat dalam komunitas mereka, hubungan mereka dengan penduduk
setempat; status mereka sebagai orang asing di sebuah negara pasca-kolonial seperti Papua
Nugini maupun pengalaman mobilitas mereka yang sering berpindah ke berbagai negara.
Dalam penelitian ini, secara menarik Upton juga menguji gagasan ilmiah sosial
mengenai ekspatriat dan ide-ide identitas kontemporer terkait hubungannya dengan
mobilitas. Melalui narasi pribadi para ekspatriat, Upton menunjukkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
penggambaran ilmiah (Eric Cohen, 1977 dan Ulf Hanners, 1996), dinilai terlalu sederhana
untuk dapat mengakses kehidupan ekspatriat kontemporer maupun situasi yang kompleks
di mana mereka tinggal. Upton mengingatkan bahwa jika seorang ilmuwan sosial ingin
memahami hubungan global-lokal kontemporer, maka harus melakukan upaya kritis untuk
memeriksa asumsi tentang berbagai kelompok transnasional, dan meletakkannya secara
terbuka, serta melalui penyelidikan etnografi untuk dapat masuk ke dalam makna
pengalaman orang yang mengalami proses transnasional. Meskipun Upton telah berusaha
untuk menunjukkan apa yang dapat dilakukan untuk mengerti beberapa masalah yang ada
atas asumsi ilmiah sosial tentang ekspatriat, namun sebelum konseptualisasi baru dapat
dipetakan ia menyarankan diperlukan banyak penelitian yang lebih empiris. Oleh karena
itu, Upton menekankan bahwa untuk mengetahui para ekspatriat perlu untuk menceritakan
kisah pengalaman mereka, terutama mereka tidak dapat disamakan begitu saja karena
batasan definisi.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Robert A. Cannon tentang “Expatriate
‘Experts’ In Indonesia and Thailand: Profesional and Personal Qualities for Effective
Teaching and Consulting” (1991). Penelitian ini mencoba untuk melihat bagaimana para
ekspatriat “yang ahli”, pada khususnya Cannon melihat keberadaan para ekspatriat
Australia di Indonesia dan Thailand. Dalam penelitian ini Cannon menemukan bahwa para
ekspatriat “yang ahli” memerlukan berbagai kualitas pribadi dan profesional untuk dapat
menjadi efektif, seperti harus memiliki keahlian, mampu membangun dan menjaga
hubungan baik dengan orang-orang sekitar, terorganisir, dapat mentransfer informasi serta
keterampilan yang bermanfaat.
Selain itu, Cannon juga menegaskan bahwa tidak satu pun dari kualitas tersebut
dapat dipandang secara sederhana, tetapi memiliki beragam dimensi; statis dan dinamis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Dimensi statis yaitu, kodrat sebagai kualitas seseorang yang ahli. Cannon menunjukkan
bahwa ekspatriat dianggap sebagai “yang ahli” harus memiliki beberapa unsur, termasuk
keahlian teknis, pengetahuan budaya, kemampuan bahasa dan keahlian dalam pendidikan.
Sementara itu, dimensi dinamis berkaitan dengan kualitas kepemimpinan, keterampilan
berorganisasi, proses pembelajaran, komunikasi dan bahan yang diajarkan.
Selanjutnya, Cannon juga menunjukkan bahwa terdapat kesamaan yang luas antara
ekspatriat di Indonesia dan Thailand, termasuk beberapa perbedaan di dalamnya. Salah
satu perbedaannya adalah terkait kepentingan yang bersifat relatif untuk dapat
meningkatkan hubungan kualitas, sehingga Cannon menyarankan agar penelitian
selanjutnya dapat memvalidasi temuannya dan mengeksplorasi perbedaan tersebut.
Dengan demikian, penelitian ini dapat berguna bagi penulis untuk memperkuat
argumentasi perdebatan mengenai ekspatriat yang acapkali dilabeli sebagai seorang “yang
ahli”.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Mochammad Al Musadieq tentang
“Ekspatriat dan Industri Lintas Negara” (2010). Pada dasarnya penelitian Musadieq ini
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang karakteristik demografi dan culture shock
yang dialami oleh para ekspatriat saat ditugaskan di luar negaranya, seperti di Indonesia.
Berbekal dengan tiga puluh responden, Musadieq menyajikan penelitiannya secara
deskriptif dengan menggunakkan tabel distribusi frekuensi sebagai gambaran bahwa
kebanyakan dari mereka – yang disebut sebagai ekspatriat dalam penelitian ini –sedang
menjalankan tugas atau pekerjaan di luar negeri.
Dengan menggunakan perspektif ilmu administrasi, penelitian yang dilakukan
Musadieq mendapatkan hasil bahwa persoalan seputar informasi dan adaptasi para
ekspatriat adalah peranan kunci dalam pengembangan industri yang bersifat lintas negara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa kebanyakan dari respondennya
menjalankan tugas luar negeri yang pertama, sebagai representatif dan membawa keluarga
mereka dalam tugas. Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa para ekspatriat
tersebut tidak mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi dengan budaya lokal
Indonesia.
Sementara itu, tanpa mempersoalkan siapa itu ekspatriat, penelitian yang dilakukan
Musadieq menyisir berbagai orang asing yang ada di Malang dan Surabaya. Meskipun di
dalam penelitian ini terdapat orang kulit putih, diantaranya, orang-orang Selandia Baru,
Jerman, Inggris dan Kanada, namun dapat dilihat bahwa sebagian besar respondennya
adalah orang Jepang. Oleh karena itu, setidaknya penelitian ini dapat bermanfaat untuk
memberikan sebuah gambaran bahwa dari seorang peneliti sekalipun masih menempatkan
kehadiran orang asing di Indonesia sebagai ekspatriat.
Kelima, penelitian yang baru saja dilakukan oleh Hernani Agostinho Soares
berbentuk tesis tentang “Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Leste” (2013).
Penelitian Soares menjelaskan bahwa persoalan ekspansi bisnis perusahaan multinasional
di berbagai negara tidak terlepas dari tenaga kerja ekspatriat. Soares melakukan
penelitiannya terhadap dua puluh tujuh respoden, yang sebagian besar berasal dari
berbagai negara di wilayah Asia, serta menyertakan ekspatriat asal Amerika Serikat dan
Australia. Berbekal dari beragam pengertian siapa itu ekspatriat yang telah disediakan oleh
peneliti lain, seperti Hornby (1987), Hill (2001), Desler (2002), Gross (2005), dan lain-
lain, sayangnya Soares hanya meninjau berbagai definisi tersebut. Soares tidak melakukan
penggalian definisi identitas ekspatriat secara mendalam terhadap para respondennya.
Bahkan, secara sederhana Soares hanya menyimpulkan bahwa ekspatriat adalah seseorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
yang sedang tinggal dan bekerja pada salah satu perusahaan di luar negeri yang tidak
terdaftar sebagai warga negara.
Berangkat dari sebuah perspektif manajemen, penelitian Soares secara khusus
hanya bertujuan untuk membahas persoalan para ekspatriat yang berada di dalam lingkup
bisnis. Dalam penelitiannya, Soares lebih berupaya untuk menjelaskan beberapa faktor
yang mendukung para ekspatriat dalam melakukan proses adaptasi budaya, diantaranya,
individual, job, organization culture, dan job satisfaction. Meskipun demikian, pada
penelitian ini Soares juga menemukan bahwa para ekspatriat di Timor Leste mengalami
culture shock, mental isolation, recovery, dan adjustment. Hal ini terjadi karena Timor
Leste merupakan sebuah negara baru, yang mana memiliki banyak keterbatasan baik
kondisi keamanan, ekonomi, infrastruktur, maupun hukum. Dengan demikian, penelitian
yang telah dilakukan Soares ini cukup menarik untuk dapat melihat bagaimana keadaan
para ekspatriat di Timor Leste, yang mana bertetangga atau memiliki hubungan historis
dengan Indonesia.
Dari kelima tinjauan yang telah dipaparkan di atas, pada khususnya dari dua
penelitian, yakni Fechter dan Upton, dapat digarisbawahi bahwa persoalan identitas
sekaligus representasi ekspatriat selalu didasarkan pada para respondennya. Sementara
dalam penelitian lainnya, seperti, Cannon, Musadieq, dan Soares lebih cenderung
menempatkan persoalan ekspatriat sebagai bagian dari perputaran roda kapitalisme global
(industri lintas negara). Dengan demikian, melalui penelitian ini penulis berupaya untuk
menggali persoalan identitas ekspatriat melalui representasi diri yang mereka hadirkan di
dalam sebuah media, yaitu Majalah JE.
Representasi di dalam media menjadi suatu alternatif untuk melakukan sebuah
penelusuran, sekaligus dapat membedakan dari penelitian sebelumnya (Fechter dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Upton), sehingga mendapatkan pemahaman yang baru seputar identitas ekspatriat. Di
samping itu, tidak hanya berhenti pada pembahasan rerpresentasi diri ekspatriat, tetapi
melalui penelitian ini penulis juga berupaya membahas ragam wacana kolonial yang
acapkali muncul di dalam Majalah JE. Dengan demikian, dari persoalan representasi dan
wacana kolonial yang muncul, serta ambivalensi dan hibriditas yang dialami para
ekspatriat, maka penelitian ini mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap identitas
ekspatriat.
F. Kerangka Teori
Kehadiran para ekspatriat di Jakarta telah memperlihatkan kompleksitasnya.
Berawal dari kehadiran mereka sebagai orang asing di Indonesia. Kemudian secara
khusus, orang kulit putih melakukan konstruksi identitas sebagai ekspatriat sehingga
membedakannya dengan bule maupun orang asing lainnya. Tak pelak ketika mereka
melakukan upaya representasi di dalam suatu media seperti Majalah JE. Oleh karena itu,
guna mendapatkan jawaban-jawaban dari rumusan masalah yang telah diajukan, penelitian
ini menggunakan beberapa pendekatan teori, di antaranya adalah:
F.1. Representasi
Dalam pemahaman Kajian Budaya, suatu identitas diyakini berkaitan dengan
adanya upaya konstruksi melalui representasi. Identitas sebagai suatu konstruksi telah
memperlihatkan budaya yang tidak stabil dan tidak permanen. Oleh karena itu, identitas
acapkali mengalami perubahan yang didasarkan pada ruang dan waktu di mana seseorang
berada.
Namun demikian, seseorang tidak hanya berhenti pada perubahan yang telah
membuatnya memperoleh sebuah identitas, tetapi cenderung akan melakukan suatu upaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
representasi diri yang berhasrat untuk mendapatkan suatu pengakuan dari luar kediriannya.
Sebagaimana Stuart Hall (1991) mengatakan bahwa pada dasarnya suatu identitas selalu
dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Bahkan, ide atau gagasan tentang identitas
merupakan suatu hal yang kontradiktoris karena terdiri dari satu atau lebih wacana yang
berproses melewati atau membatasi yang lainnya.6
Selain itu, gagasan-gagasan teori Stuart Hall mengenai representasi telah banyak
dipaparkan di dalam bukunya, Representation: Cultural Representation and Signifying
Practices (1997).7 Dalam paparan teorinya, Hall menjelaskan bahwa representasi
berhubungan erat dengan produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran
seseorang. Bahkan, dalam sebuah proses produksi budaya, representasi menjadi penting
karena terkait dengan‘cultural circuit’ sehingga telah menghubungkan makna dan bahasa
bagi budaya (Hall, 1997:15). Guna memudahkan penjabaran teori menjadi lebih
sederhana, Hall menjelaskan bahwa representasi memiliki dua sistem yang membentuk
sebuah diskursus bagi banyak orang. Dua sistem yang dimaksudkan oleh Hall adalah
representasi mental dan makna pada tanda maupun bahasa.
Sistem pertama, yaitu representasi mental (mental representation) dimaknai
sebagai makna yang bergantung pada sistem konsep dan bentuk gambar yang dapat
mewakili atau merepresentasikan dunia. Sementara itu, sistem yang kedua adalah suatu
makna bergantung pada tanda maupun bahasa yang merepresentasikan konsep-konsep
tersebut. Dengan demikian, keberadaan para orang kulit putih, yang mana berupaya untuk
merepresentasikan diri mereka sebagai ekspatriat dapat dimaknai sebagai suatu diskursus,
dan tanda bahasa yang terkait pada suatu konsep identitas.
6 Hall, Stuart. (1991). Old and New Identities, Old and New Etnicities, dalam Anthony D. King (Ed),Culture, Globalization and the World-System Binghamton: The Macmillan Press Ltd. Hal. 49.7 Lihat du Gay, Hall. Et.All. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices.London. SAGE Publications. Hal. 15-25.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Selanjutnya, penjelasan mengenai representasi mental adalah sesuatu yang berada
dalam konsep pikiran seseorang. Dalam representasi mental, seseorang menghubungkan
antara kenyataan dengan konsep yang dimiliki dalam pikiran. Dengan kata lain, melalui
hal-hal nyata yang terlihat, maka dapat tercipta konsep mengenai hal tersebut tanpa
benar-benar berada dalam situasi yang dimaksudkan atau melihat benda yang dibicarakan
(Hall, 1997:17). Semisal, representasi mental mengenai kehadiran orang kulit putih
tentunya menjadi berbeda tergantung pada siapa yang memaknainya, apalagi mengenai
relasi antara subjek dengan objek. Hal tersebut disebabkan representasi mental bukanlah
sesuatu yang tetap, melainkan selalu berubah-ubah. Selain itu, dalam representasi
mental, kesamaan dalam memaknai sesuatu juga sangat erat kaitannya dengan shared
meanings atau shared conceptual map (Hall, 1997:18). Dalam hal ini Majalah JE dapat
dipahami sebagai sebuah sarana untuk dapat menyebarkan pengertian dan konsep
mengenai ekspatriat kepada para pembaca Majalah JE, yakni para ekspatriat itu sendiri.
Berikutnya, proses kedua dalam sistem representasi adalah bahasa. Semua
konsep dalam representasi mental harus dapat diwujudkan melalui suatu bahasa agar
dapat menghubungkannya dengan kenyataan dan mendapatkan makna. Bahasa dapat
diuraikan dengan kode-kode yang terdapat di dalamnya, sedangkan kode yang
dimaksud di sini adalah kode bahasa dan budaya (Hall, 1997:21). Para ekspatriat,
misalnya, berbagi kode yang sama dalam memproduksi maupun mengkonsumsi sesuatu
yang tersaji di dalam medianya. Hal ini dapat dilihat pada Majalah JE yang menghadirkan
sosok ekspatriat di setiap terbitan edisinya. Oleh karena itu, Majalah JE juga telah
memberikan kode-kode untuk memahami bagaimana kehidupan para ekspatriat dan
mengidentifikasi siapa ekspatriat itu, sehingga suatu representasi tidak pernah terlepas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
dari realitas sosial yang melingkupi hubungan subjek dengan objek – produsen media
dengan konsumen media.
Representasi juga merekatkan semua tanda menjadi suatu makna. Makna pun
bersifat subjektif, tidak pernah tetap, selalu berubah dan selalu bergerak. Mengenai
persoalan makna ini, Hall mengajukan tiga pendekatan untuk melihat bagaimana suatu
makna dapat bekerja melalui bahasa, yakni reflective approach, intensional approach,
dan constructionist approach.8 Namun demikian, pendekatan konstruksionis adalah
suatu pendekatan yang dapat dinilai lebih dekat dengan wilayah Kajian Budaya.
Karena suatu makna pada dasarnya tidak terkandung begitu saja dalam sebuah tanda,
tetapi dipahami sebagai sesuatu yang terkonstruksi ketika makna tersebut ditafsirkan
oleh penafsir yang juga memiliki serangkaian konsep sesuai dengan budaya yang
dimilikinya.
Dalam pendekatan konstruksionis atau yang biasa juga dapat disebut
sebagai konstruktivis menjelaskan bahwa suatu makna terkonstruksi di dalam
sebuah bahasa. Makna dibangun melalui sistem bahasa dengan menggunakan
konsep representasi. Hal ini dilakukan untuk membuat suatu kata menjadi penuh
makna dan dapat menyampaikannya kepada yang lain. Dalam pendekatan
konstruksionis ini, ekspatriat dapat dipahami oleh siapapun dalam kaitannya untuk
mengetahui dan mengerti apa dan siapakah ekspatriat yang dihadirkan dalam media.
Dengan kata lain, ekspatriat dapat dipahami sebagai konstruksi sosial. Oleh karena itu,
melalui pendekatan konstruksionis, Majalah JE dapat dipahami sebagai bagian dari sebuah
bangunan dan menjadi ruang representasi sekaligus melegitimasi ekspatriat.
8 Du Gay, Hall. Et.All. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London.SAGE Publications. Disarikan dari Hal. 24-6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Meskipun representasi bukan sebuah kebenaran tunggal, namun representasi akan
terus menjadi upaya konstruksi tanpa batas akhir. Representasi ekspatriat di dalam media
telah memperlihatkan konsep mereka terhadap diri dan lingkungannya, khususnya bagi
para pembaca Majalah JE. Dalam hal ini, ekspatriat membicarakan seputar diri mereka
dan membedakan diri mereka dengan orang lain. Karenanya, pembaca dapat mengetahui
bagaimana mereka menyikapi stereotipe-stereotipe yang ada di dalam masyarakat lokal
terhadap orang asing, seperti sebutan bule yang sering ditujukan kepada orang kulit putih.
Dengan demikian, representasi ini tentunya akan berkaitan dengan sistem representasi
yang ada di dalam suatu masyarakat.
Seperti yang telah penulis singgung sebelumnya, representasi tentunya selalu
terkait dengan identitas. Untuk dapat lebih memahami persoalan representasi, penulis
merujuk pada gagasan Stuart Hall yang telah mengajukan sebuah pertanyaan reflektif dan
memberikan dua cara untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut. Hall memaparkan
sebagai berikut:
“Who needs ‘Identity’? …. There are two ways of responding to the question. Thefirst is to observe something distinctive about the deconstructive critique to whichmany of these essentialist concepts have been subjected. …. A second kind ofanswer requires us to note where, in relation to what set of problems, does theirreducibilty of the concept, identity, emerge? I think the answer here lies in itscentrality to the question of agency and politics.” (Hall, 1996:2)
Dari uraian yang telah dipaparkan oleh Hall di atas, pemahaman mengenai
identitas selalu berupaya untuk menemukan sifat anti-esensialis, memperlihatkan suatu
proses konstruksi budaya, dan menyatakan bahwa tidak pernah ada konstruksi identitas
yang sempurna. Bagi Hall, cara pertama untuk menemukan jawaban dari pertanyaan,
‘Siapa yang membutuhkan Identitas?, adalah mengamati sesuatu yang bercirikan khusus
mengenai kritik dekonstruksi untuk membongkar konsep identitas yang esensial. Cara
kedua adalah mengetahui dari mana konsep identitas muncul. Oleh karena itu, Hall
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
memberikan sebuah jawaban, yakni meletakkannya pada sentralitas untuk kembali
mempertanyakan agensi dan politik. Politik, bagi Hall, dimaknai sebagai gerakan dari
penanda identitas yang menghubungkan sebuah lokasi politik. Sementara itu, Hall
mengungkapkan bahwa agensi adalah perantara untuk memberikan pengertian kepada
subjek atau identitas sebagai gagasan dari praktik sosial, atau untuk mengembalikan
sebuah pendekatan yang historis. Dengan kata lain, persoalan politik identitas muncul.
Di samping itu, Stuart Hall juga menegaskan bahwa identitas merupakan sesuatu
yang secara aktual terbentuk melalui proses tidak sadar yang melampaui waktu, bukan
kondisi yang terberikan begitu saja dalam kesadaran semenjak lahir. Di dalam identitas
terdapat sesuatu yang bersifat imajiner atau difantasikan mengenai keutuhannya, dimana
identitas menyisakan ketidaklengkapan, selalu dalam proses dan sedang dibentuk (Hall,
1996:4). Singkat kata, Hall mengemukakan bahwa identitas merupakan suatu proses yang
tidak pernah utuh atau sempurna dan tidak pernah akan berakhir.
Dengan demikian, gagasan yang telah diajukan oleh Hall untuk menguraikan
persoalan identitas dan representasi dapat diejawantahkan dalam penelitian ini, khususnya
dalam membahas fenomena orang kulit putih yang merepresentasikan diri sebagai
ekspatriat. Hal ini disebabkan ekspatriat sebagai identitas merupakan sebuah upaya dari
konstruksi sosial, yang mana di dalamnya juga terdapat berbagai muatan seperti imajinasi
dan fantasi akan orang kulit putih yang pernah hadir di Indonesia sebelumnya. Oleh
karena itu, setelah membahas persoalan identitas beserta representasinya, penelitian ini
selanjutnya melangkah untuk menganalisis ekspatriat dengan perspektif pascakolonial.
F.2. Pascakolonial
Bill Ashcroft, Gareth Griffins dan Helen Tiffin dalam buku The Empire Writes
Back: Theory and Practice in Post-colonial Literatures (1990:2), menjelaskan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
penggunaan istilah ‘pasca-kolonial’ adalah untuk merujuk pada seluruh budaya yang
terpengaruhi oleh proses imperial sejak saat terjadinya kolonisasi hingga hari ini. Oleh
karena itu, penulis menggunakan perspektif pascakolonial dalam penelitian ini untuk
menganalisis persoalan representasi ekspatriat dan beragam muatan wacana kolonial yang
terdapat di dalam Majalah JE, terutama didasarkan pada imaji dan teks mengenai
Indonesia yang tersajikan di dalam Majalah JE.
Di balik imaji dan teks tersembunyi wacana tertentu. Dengan melihat sajian yang
disuguhkan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE, dapat dicermati bahwa terdapat
kecenderungan wacana kolonial yang bertebaran. Ada yang mengangkat ingatan mengenai
kolonialisme di Indonesia, dan ada pula yang turut memberikan pandangan tentang
Indonesia masa kini, pasca-kolonial. Dengan kata lain, para ekspatriat tengah memberikan
dan menghasilkan pelbagai macam wacana kolonial kontemporer. Dengan demikian,
perspektif pascakolonial pada penelitian ini penulis pergunakan sebagai cara baca untuk
memahami, mengkritisi, dan menganalisis terkait wacana kolonial atas ragam imaji dan
teks mengenai Indonesia yang diberikan oleh para ekspatriat.
Selanjutnya, rujukan perspektif pascakolonial ini penulis bagi menjadi dua
pendekatan teori, yaitu Wacana Kolonial dan Ruang Ketiga. Pertama, teori Wacana
Kolonial ini dipergunakan untuk dapat menganalisis beragam konten yang tersaji di dalam
Majalah JE, seperti imaji dan teks. Kedua, teori Ruang Ketiga dipergunakan untuk dapat
memberikan tafsiran identitas ekspatriat atas ambivalensi dan hibriditas yang dialami oleh
para ekspatriat melalui teks yang termuat di dalam Majalah JE.
F.2.1. Wacana Kolonial
Dalam Kajian Pascakolonial, teori Wacana Kolonial ini berangkat dari pemikiran
Edward Said, Orientalism (1978), yang sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Michel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Foucault untuk dapat mengidentifikasi mekanisme Orientalisme. Ashchroft menegaskan
bahwa Said berupaya memperlihatkan bagaimana wacana kolonial dapat dioperasikan
sebagai instrumen kekuasaan para penjajah, bahkan wacana kolonial telah menjadi
kompleks tanda dan praktek yang mengatur eksistensi sosial dan reproduksi sosial dalam
hubungan kolonial (1998:42).
Selanjutnya, Bill Ashcroft juga menjelaskan bahwa teori wacana kolonial dalam
pandangan Said merupakan teori untuk menganalisis wacana kolonialisme dan penjajahan.
Selain itu, teori wacana kolonial juga dapat dijadikan sebagai suatu cara untuk
menemukan kekaburan wacana yang mendasari tujuan adanya penjajahan, baik politis dan
material, hingga menunjukkan ambivalensi dari wacana tersebut, yang mana turut
melakukan konstruksi subjek penjajah dan terjajah (1999:15).
Di samping itu, wacana kolonial juga dapat dimaknai sebagai suatu sistem laporan
yang dibuat oleh kolonial tentang masyarakat kolonial, yang di dalamnya termasuk perihal
kekuasaan dan hubungan antara keduanya, penjajah dan terjajah. Sistem ini menjadi suatu
pengetahuan tentang dunia terjajah (Anscroft, 1999:60). Oleh karena itu, Said berupaya
untuk menunjukkan sejauh mana ‘pengetahuan’ tentang ‘Timur’sebagaimana dihasilkan
dan diedarkan di Eropa itu merupakan pengiring ideologis dari ‘kekuasaan’ kolonial
(Loomba, 2000:43). Dengan demikian, teori wacana kolonial pada penelitian ini
digunakan untuk menemukan makna maupun rekonstruksi wacana mengenai Timur yang
tersajikan di dalam Majalah JE oleh para ekspatriat.
Merujuk pada pandangan John McLeod (2000:32) yang mengemukakan bahwa
teori wacana kolonial pada dasarnya adalah ingin memperlihatkan kolonialisme telah
mempengaruhi berbagai mode representasi. Untuk itu agar dapat memahami lebih jelas
wacana kolonial terkait dengan pengetahuan dunia terjajah, McLeod telah memberikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
penjelasan yang cukup sistematis dalam membaca wacana kolonial berdasarkan
karakteristik dan stereotipe tentang Orientalismenya Edward Said. McLeod memberikan
suatu pemetaan wacana kolonial tersebut sebagai berikut:9
Bentuk Orientalisme yang dirangkum oleh McLeod, diantaranya, pertama,
Orientalism construct is binary divisions, artinya oposisi biner menjadi cara pandang yang
paling fundamental dalam melihat dunia, membaginya menjadi dua, yaitu dunia Barat dan
Timur; di dalamnya terdapat perbedaan seperti, Barat yang beradab, rasional, maju,
sedangkan Timur yang primitif, irasional, berkembang atau terbelakang. Kedua,
Orientalism is a Western Fantasy, yakni menggambarkan Timur sebagai mimpi-mimpi
Barat, bahkan di dalamnya terdapat fantasi dan beragam asumsi yang memiliki perbedaan
radikal, seperti Timur sebagai tempat yang sangat berbeda dengan Barat. Ketiga,
Orientalism is an institution, dalam hal ini Timur ditempatkan sebagai suatu kajian ilmu
yang dipelajari di Barat, sehingga kalangan Barat mendapatkan pengetahuan tentang
Timur. Keempat, Orientalism is literary, maksudnya adalah para kalangan Barat
menjadikan Timur sebagai sumber literatur, dan membuatnya sebagai kumpulan tulisan di
berbagai bidang, seperti, filologi, lexikografi, sejarah, politik, ekonomi maupun novel
hingga lirik puisi. Dan kelima, Orientalism is legitimating, terkait dengan berbagai unsur
yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka menjadi suatu hal yang lumrah bagi Barat untuk
melakukan dominasi dan mendudukkan Timur, khususnya pada masa penjajahan atau
kolonialisme, yang mana Barat dapat membuat berbagai aturan kolonial di tanah Timur.
McLeod juga memberikan pemetaan mengenai stereotipe Orientalisme menjadi
beberapa bagian. Pertama, the Orient is timeless, yang mana Timur ditempatkan sebagai
subjek yang tidak mengalami kemajuan seperti Barat. Kedua, the Orient is strange, Timur
9 Disarikan dari John McLeod. (2000). Beginning Postcolonialism. United Kingdom: Manchester UniversityPress. Hal.40-6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
dianggap sebagai yang aneh atau asing, sehingga tidak normal dan berbeda dari kebiasaan
manusia Barat. Ketiga, the Orient makes assumptions about ‘race’, dalam representasi
Barat orang Timur sering diperlihatkan sebagai ras dengan beragam stereotipe maupun
karakter. Keempat, the Orient is feminine, Timur diibaratkan atau ditempatkan oleh Barat
sebagai perempuan yang memiliki sifat pasif, eksotik, dan menggoda. Serta yang kelima
adalah the Oriental is degenerate, Barat telah membuat Timur seakan butuh untuk
diperadabkan karena memiliki kemorosotan moral.
Adanya pandangan Edward Said tentang wacana kolonial juga telah mendapat
sambutan dari Homi K. Bhabha. Bagi Bhabha (1994:66) wacana kolonial dapat dipahami
sebagai sebuah fitur ketergantungan pada sebuah konsep 'ketetapan' dalam mengkonstruki
ideologi terhadap yang lain. Bahkan, ketetapan ini dijadikan sebagai tanda perbedaan
budaya, sejarah maupun ras dalam tatanan wacana. Dengan demikian, kolonialisme
dipahami sebagai sebuah mode paradoks representasi, yang di dalamnya terdapat beragam
wacana.
Selanjutnya, Bhabha (1994:70) menjelaskan bahwa tujuan wacana kolonial adalah
untuk menafsirkan posisi terjajah sebagai sebuah populasi ras yang dianggap rendah dan
berupa bentuk penaklukan sehingga dapat menetapkan berbagai sistem administrasi dan
aturan. Dengan demikian, Bhabha beranggapan bahwa wacana kolonial dapat dipahami
sebagai strategi untuk membedakan antara penjajah dan terjajah, dimana strategi ini
mengandung sejumlah ambivalensi dan pertentangan. Terkait dengan adanya ambivalensi,
Bhabha juga berupaya untuk mengajak kita agar memiliki suatu pemahaman baru, yakni
dengan melepaskan oposisi biner di masa pasca-kolonial – penjajah dan terjajah, Barat dan
Timur – dan masuk ke dalam Ruang Ketiga. Karenanya, melalui penelusuran di dalam
Ruang Ketiga ini terdapat suatu ruang pertemuan antar identitas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
F.2.2. Ruang Ketiga
Homi K. Bhabha mengemukakan bahwa dikotomi penjajah-terjajah telah
memasuki sebuah ‘ruang baru’ dengan munculnya kondisi pasca-kolonial. Dalam
masyarakat kontemporer, ruang baru tersebut dapat dimaknai sebagai penghilangan
dikotomi penjajah-terjajah secara eksplisit. Oleh karena itu, adanya kehadiran orang kulit
putih di masa pasca-kolonial yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat telah
memasuki ruang baru dalam perjumpaannya dengan masyarakat Indonesia.
Sementara itu, yang dimaksudkan oleh Bhabha mengenai ruang baru di masa
pascakolonial bukanlah sembarang ruang. Untuk dapat mengetahuinya secara jelas,
Bhabha telah mengajukan sebuah model liminalitas guna dapat menghidupkan ruang
persinggungan antara teori dan praktek kolonisasi dalam upaya menjembatani hubungan
timbal balik di antara keduanya. Adanya ruang liminal adalah sebuah ruang yang
menggambarkan tempat pertemuan antara penjajah-terjajah. Ruang ini menjadi tempat
proses interaksi simbolik yang melepaskan antara posisi atas (upper space) dan posisi
bawah (lower space), superior dan inferior. Ruang liminal ini selalu bergerak bebas,
temporal dan sebagai ruang yang memungkinkan untuk terciptanya hibriditas. Dengan
demikian, ruang liminal ini telah mencegah identitas berada di kedua ujung dari ketetapan
polaritas primordial masing-masing, sehingga ruang liminal menjadi bagian interstitial
atau celah sebagai identifikasi yang tetap membuka kemungkinan hibriditas budaya, dan
dimaksudkan untuk mencari pemaknaan identitas di masa pasca-kolonial.
Selanjutnya, bagi Bhabha, liminalitas memerlukan semacam ‘Ruang Ketiga’
(Third Space) yang terbentuk melalui penolakan terhadap oposisi biner, kepastian atau
determinasi pada salah satu titik biner. Bhabha (1994:35) berpendapat bahwa Ruang
Ketiga sebagai “zona ketidaktentuan di mana masyarakat muncul” (the zone of occult
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
instability where the people dwell). Di dalam Ruang Ketiga inilah struktur makna dan
referensi merupakan sebuah proses ambivalensi, yang menghancurkan cermin representasi
dan memperluas kode pengetahuan. Ruang Ketiga menciptakan kondisi wacana ucapan
yang memastikan bahwa makna dan simbol budaya tidak memiliki kesatuan atau
ketetapan primordial (fixity); bahkan tanda-tanda yang sama dapat digunakan, ditranslasi,
di-sejarah-ulangkan dan dibaca baru (Bhabha 1994:37).
Melalui Ruang Ketiga, pencarian identitas secara ideal berlangsung menjadi suatu
proses yang tidak pernah berhenti dan senantiasa mengalami perubahan yang selalu
mengalir. Ruang Ketiga ini dapat dilihat seperti gerak sebuah eskalator yang (sedang) naik
turun. Ruang pertama ialah ruang atas (upper space), sementara ruang kedua ialah ruang
bawah (lower space). Kedua ruang ini bergerak naik turun silih-berganti memasuki Ruang
Ketiga, yaitu terdapat ruang di antaranya (in between), sehingga gerakan ini merekayasa
suatu identitas, menjadi satu proses terkait hubungan secara simbolik antara ruang pertama
dan ruang kedua melalui ruang keluar masuk ’in between’, yaitu Ruang Ketiga.
Dalam Ruang Ketiga inilah wacana pascakolonial berlangsung memberikan
tafsiran terhadap bentuk dan imaji yang dibangun melalui interaksi simbolik; daripada
ruang pertama dan ruang kedua. Ruang Ketiga juga dapat dikatakan sebagai penelusuran
terhadap rasa keterasingan dari dalam, dunia yang serba hibrid dan serba sibuk dengan
kekeliruan imaji yang kabur dan tidak sepadan, sehingga dapat memberikan kontribusi
penting bagi pemahaman perbedaan budaya. Karena itu, Bhabha berpendapat bahwa
semua pernyataan dan sistem budaya yang dihasilkan dari Ruang Ketiga sebagai
konstruksi subjektivitas timbal-balik, di mana adanya konstruksi subjektif ini akan
menghasilkan sebuah timbal balik antara budaya etnis satu dengan yang lainnya (Sutrisno
dan Putranto, 2004:145). Pada akhirnya, pergerakan atau proses pencarian identitas terus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
berlangsung secara timbal-balas menuju kepada gerak kemodernan ataupun menuju gerak
kesadaran tradisionalis. Dengan demikian, perspektif pascakolonial ini, pada khususnya
Ruang Ketiga, dapat digunakan untuk menemukan dan memberikan tafsiran terhadap
identitas ekspatriat.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis teks terhadap media. Secara khusus,
merujuk pada Paula Saukko (2003:105), metode yang digunakan adalah postmodern texts
and analysis, yakni untuk melihat fenomena sosial dan budaya dari produk media
kontemporer dan wacana yang semakin patuh pada logika ‘posmodern’. Dengan
mengikuti Baudrillard (1983), Sauko menjelaskan bahwa media kontemporer dapat
dicirikan oleh sebuah ‘penanda mengambang’ (floating signifiers), yang mana tidak lagi
mengacu pada petanda tapi penanda lain seperti teks media. Selain menggambarkan cara
bagaimana menganalisis teks-teks posmodern, Sauko pun juga memeriksa gambar dalam
metode ini. Dengan demikian, metode analisis ini merujuk pada pembacaan teks secara
teliti dan berupaya untuk melakukan pengungkapan makna yang tersembunyi dari suatu
teks dan imaji, terutama dalam memahami bahwa pada dasarnya sebuah teks tidak berdiri
sendiri, melainkan memiliki keterkaitan dengan kondisi sosial.
Di samping itu, metode analisis teks juga digunakan untuk dapat menggali
representasi ekspatriat dan wacana kolonial yang terdapat dalam Majalah JE. Karena itu,
metode ini berupaya untuk menguraikan maupun menjelaskan berbagai proses representasi
para ekspatriat, karakteristik dan stereotipe mengenai Indonesia yang dihadirkan kepada
para pembaca, hingga dapat memberikan suatu tafsiran identitas ekspatriat melalui Ruang
Ketiga. Tanpa terkecuali, metode ini berupaya untuk menganalisis aspek material terkait
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
diskursus yang terbentuk secara lintas ruang dalam realitas kontemporer baik lokal
maupun global.
Selanjutnya, penelitian ini tersajikan dalam bentuk kualitatif yang dikumpulkan
dari teks media, dokumen, catatan lapangan, maupun beragam artikel lainnya. Secara
teknis, penelitian ini melakukan penggalian data berdasarkan sumber data yang terbagi
menjadi dua bagian. Pertama, data primer merupakan perolehan data yang berasal dari
Majalah JE. Data primer ini berupa imaji dan teks yang terdapat di dalam Majalah JE. Di
samping itu, penelitian ini juga melihat latar belakang kehadiran media dan persebarannya.
Kedua, data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari berbagai sumber bacaan, yang
terdiri dari buku, catatan atau artikel dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan
ekspatriat.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan serangkaian prosedur yang sistematis
sehingga menyediakan data yang signifikan bagi penelitian. Pada penelitian ini penulis
juga melakukan studi pustaka dengan mengumpulkan berbagai teks yang berkaitan dengan
memuat wacana seputar ekspatriat. Dengan demikian, ada bentuk pendokumentasian
untuk melakukan pengumpulan data, baik yang terekam dalam media, seperti tulis, cetak,
maupun internet untuk menjadi sumber informasi sekaligus data yang terkait dengan
kehidupan para ekspatriat di Jakarta.
H. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk lima bab. Bab I merupakan
pendahuluan dari penelitian yang mencakup latar belakang, perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan
sistematika penyajian penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Pada Bab II, penulis membahas tentang kehadiran orang asing di Indonesia pada
masa kolonial dan pasca-kolonial. Melalui bab ini juga penulis berupaya memperlihatkan
keberlanjutan kehadiran orang asing, khususnya orang kulit putih yang kini hadir sebagai
ekspatriat, memiliki pola kesamaan seperti yang pernah dilakukan oleh para kolonialis.
Selain itu, dalam bab ini penulis akan berupaya memaparkan perdebatan dan pemahaman
atas identitas orang kulit putih yang acapkali disebut sebagai bule maupun ekspatriat.
Pada Bab III, penulis menarasikan beragam data mengenai para ekspatriat yang
terdapat di dalam Majalah JE, baik itu seputar kisah kehadiran maupun latar belakangnya.
Selain itu, pada bab ini juga, penulis akan membahas persoalan identitas sekaligus
menganalisis representasi diri ekspatriat di dalam Majalah JE. Dan terakhir, penulis akan
memaparkan beragam sajian yang terdapat di dalam Majalah JE, dimulai dari cover photo
Majalah JE hingga ke beragam rubrik maupun artikel terkait dengan wacana kolonial
mengenai Indonesia.
Selanjutnya, pada Bab IV penulis melakukan sebuah upaya analisis terkait dengan
wacana kolonial kontemporer yang terdapat di dalam Majalah JE. Dalam bab ini, penulis
mengaplikasikan cara baca pascakolonial yang kritis terhadap teks yang disajikan oleh
para ekspatriat di dalam Majalah JE. Selain itu melalui Ruang Ketiga ala Homi Bhabha,
penulis pun memberikan suatu tafsiran bagi identitas ekspatriat dengan melihat adanya
hibriditas dan ambivalensi.
Dan terakhir, pada Bab V merupakan suatu rangkaian penutup dari penulis, yang di
dalamnya akan disampaikan kesimpulan, saran dan kritik, termasuk sebuah refleksi kritis
atas penelitian yang telah dilakukan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
BAB II
INDONESIA DAN ORANG ASING
Pada bab ini, penulis akan secara khusus membahas kehadiran orang asing kulit
putih di Indonesia. Hal ini diletakkan pada sebuah latar, yakni kolonialisme yang telah
dilakukan oleh bangsa Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Kolonialisme yang terjadi
bukan hanya sekadar praktik penjajahan, melainkan juga menghasilkan pelbagai wacana
terkait hubungan penjajah-terjajah. Selain itu, penulis juga membahas kehadiran orang
asing di masa kini, khususnya mengenai kehadiran para ekspatriat, karena terdapat
kesinambungan wacana dan praktik dari masa kolonial ke masa pasca-kolonial. Oleh
karena itu, penulis akan berupaya untuk menemukan dan memperlihatkan pola kesamaan
wacana atas dan praktik orang asing yang terjadi di masa kolonial dan pasca-kolonial.
A. Kehadiran Orang Asing di Nusantara
Alkisah bermula dari kedatangan bangsa Eropa pada awal abab ke-16 saat
melakukan ekspansi ke luar wilayahnya seperti Asia dan Afrika. Karenanya, kehadiran
bangsa Eropa telah memberikan pengaruh bagi perkembangan Nusantara. Bahkan,
ketertarikan berbagai bangsa Eropa, seperti Portugis, Inggris, dan khususnya Belanda telah
menjadikan Nusantara sebagai sebuah negara koloni.
Pada mulanya perdagangan menjadi titik berangkat kedatangan bangsa Eropa di
Nusantara (Ricklefs, 2008:30). Hal ini didasarkan pada kebutuhan suatu wilayah yang
tidak mampu menghasilkan pemenuhannya secara otonom, pada khususnya di wilayah
yang acapkali berganti musim, seperti Eropa. Berkat adanya perdagangan, berbagai
bangsa berhasil menciptakan arus lalu lintas transaksi antar komoditas, sehingga dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
memperjual-belikan segala yang dihasilkan oleh suatu wilayah dengan wilayah lainnya –
yang mana tidak dapat dihasilkan di wilayahnya sendiri.
Kesaksian pertama orang Eropa tentang Nusantara hingga saat ini masih tetap
merujuk pada Marcopolo, ketika ia singgah selama beberapa bulan di bandar-bandar
pantai utara Sumatra pada tahun 1291. Meskipun Marcopolo sudah mengunjungi
Nusantara beberapa abad sebelumnya, namun persinggungan sesungguhnya baru terjadi
pada awal abad ke-16, ketika orang-orang Portugis di bawah komando Alfonso de
Albuquerque menetap di bandar Malaka pada tahun 1511 (Lombard, 2008a:59). Oleh
karena itu, bagi banyak kalangan, kehadiran Portugis di Nusantara adalah suatu awal bagi
catatan sejarah Indonesia karena telah memberikan gambaran tentang dunia Nusantara
sebelum ada pengaruh Eropa mana pun.1
Bukti lain yang turut memaparkan bahwa kehadiran bangsa Eropa di Nusantara
yang pertama kali adalah Portugis, juga ditegaskan oleh João de Barros melalui karya
sejarahnya yang besar, Decadas da Asia, pada tahun 1539.2 Di antara negara-negara Eropa
lainnya, Portugis dinilai lebih unggul karena memiliki kemajuan teknologi perkapalan,
ilmu pengetahuan geografi dan astronomi yang memudahkan mereka untuk melakukan
petualangan dalam mengarungi samudera hingga membawa ke benua lain. Dan setibanya
kehadiran orang-orang Portugis di Nusantara, khususnya di wilayah bagian Timur yang
lebih dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah, adalah untuk kepentingan perdagangan.
1 J.C. van Leur dalam C.R. Boxer. Dalam Soedjatmoko (Editor). (1995). Historiografi Indonesia; SebuahPengantar. Jakarta: Gramedia. Hal. 189.2 João de Barros (kurang lebih pada tahun 1496-1570) dapat dinamakan sebagai sejarawan “kolonial” besaryang pertama dan seorang Orientalis perintis. Karya besarnya, Decades da Asia memaparkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Bangsa Portugis ketika menemukan dan menaklukan lautan-lautan danNegara-Negara Timur. Lihat C.R. Boxer, Beberapa Sumber Portugis untuk Historiografi Indonesia; SebuahPengantar, dalam Soedjatmoko (Editor). (1995). Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta:Gramedia. Hal. 190.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Selang Portugis, Belanda kemudian hadir mewarisi inspirasi dan strategi Portugis
di Nusantara. Tahun 1596 lazim dikenal, setidaknya oleh para sejarawan Eropa, sebagai
tahun yang menandai kedatangan armada Belanda di perairan Nusantara untuk pertama
kali di bawah pimpinan Cornelis de Houtman (Lombard, 2008a:61). Namun demikian,
terdapat perbedaan di antara keduanya, Belanda melakukan sesuatu yang tidak dilakukan
oleh Portugis sebelumnya. Belanda mendirikan tempat berpijak yang tetap di Nusantara,
yaitu di Pulau Jawa.3 Dengan demikian, dapat digarisbawahi bahwa apa yang telah
dilakukan oleh Belanda telah menandakan keberadaan orang asing yakni bangsa Eropa
menetap secara permanen di Nusantara – meskipun tidak selamanya.
Atas peristiwa menetapnya orang-orang asing di Nusantara, terjadi proses
peningkatan hubungan interaksi sosial antara para pedagang dengan pribumi – yang mana
lebih cenderung dilakukan oleh kalangan kerajaan. Interaksi ini merupakan tindak lanjut
dari hubungan perdagangan yang telah terjalin antar keduanya, khususnya pihak Belanda
dengan orang-orang Nusantara. Dan seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan
Belanda terhadap Nusantara, maka hubungan antar keduanya mengalami perubahan.
Selain itu, konstelasi yang terjadi di antara negara-negara Eropa turut
mempengaruhi keinginan Belanda untuk menguasai Nusantara guna menjadi sumber
perdagangan yang dapat menghasilkan laba. Keinginan Belanda semakin terbukti dengan
lahirnya politik praktik perdagangan (Company; perusahaan, selanjutnya lebih sering
dikenal atau disebut sebagai kompeni) yang diterapkan sebagai bentuk upaya peningkatan
pengaruh kekuasaan Belanda di Nusantara.
3 Hal ini menjadi perbedaan fundamental antara Portugis dengan Belanda; Belanda tidak hanya membukahubungan perdagangan, tetapi melakukan sebuah penjajahan yang berpusat di Pulau Jawa, yaitu di Batavia.Awalnya mendirikan pusat perdagangan di Banten pada tahun 1603, kemudian sebuah pos di Jaccatra padatahun 1611. Lihat Ricklefs (2008). Hal. 49.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Bergabungnya beberapa perseroan Belanda untuk membentuk Perserikatan
Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereenig-de Oost-Indische Compagnie), di Nusantara
telah menjadi pijakan awal bagi sepak terjang Belanda di Nusantara. Terlebih VOC
mendapatkan kewenangan berdasarkan surat izin (oktroi) yang diberikan oleh parlemen
Belanda (Staten Generaal) untuk melakukan peperangan, membangun benteng-benteng
pertahanan, mengadakan perjanjian-perjanjian di seluruh Asia, dan juga mendirikan pusat
penguasaan perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, sebagai salah satu negara
Eropa yang melakukan kolonisasi di Asia dan Afrika, Belanda mulai berambisi untuk
mendapatkan hasil bumi Nusantara dengan melakukan penjajahan terhadap pribumi,
bermula di pulau Jawa hingga merebak ke wilayah lain.4
Suatu momentum penting terjadi di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieterszoon
Coen yang telah membuat perubahan besar atas kedudukan Belanda di Nusantara. Di
bawah komando Jenderal Coen, Belanda dapat berhasil menaklukkan Jaccatra5, sehingga
menjadi pusat perdagangan yang strategis di pulau Jawa, dan dipersiapkan secara terbuka
untuk kalangan Eropa dan juga para pedagang Asia. Berkembang hingga tahun 1619, sang
Jenderal Coen kemudian mulai menjalankan politik migrasi dengan mendatangkan orang-
orang Belanda dan Cina ke Batavia (Blusse, 1988:148). Dikarenakan semakin maraknya
dominasi dan penguasaan perdagangan oleh para pendatang, pada khususnya para
pedagang Cina, Belanda sebagai pemegang tampuk kekuasaan pun mulai melakukan
upaya penggolongan di dalam kehidupan masyarakat. Penggolongan masyarakat ini
sengaja diperuntukkan bagi para pengusaha Eropa atau golongan orang kulit putih, dengan
tujuan agar dapat mengamankan berbagai kepentingan perdagangan kolonial di Nusantara.
Dengan demikian, penggolongan masyarakat yang dilakukan oleh Belanda adalah suatu
4 Pada tahun 1830 dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa. Untuk pertama kalinyaBelanda mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Lihat Ricklefs (2008). Hal. 259.5 Jaccatra kemudian berganti nama menjadi Batavia. Lihat dalam paparan Ricklefs (2008). Hal. 54-59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
langkah untuk pertama kalinya dalam mengidentifikasikan masyarakat ke dalam kelompok
atau golongan maupun berdasarkan identitas masing-masing di Nusantara.
A.1. Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial
Dari permulaan penduduk Batavia yang terdiri atas beragam golongan, hidup
terpisah menurut adat-istiadat masing-masing, dan saling bertemu di tengah-tengah
keramaian pasar telah membuat masing-masing golongan memahatkan tempatnya sendiri-
sendiri di dalam masyarakat. Pada awalnya pemerintah Hindia-Belanda menggunakan
kemajemukan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai suatu konsep ekonomi, namun
dalam perkembangannya diterapkan untuk maksud-maksud sosial dan politik (Blusse
1988:7). Dengan kata lain, pemerintah kolonial telah melakukan proyek identifikasi di
dalam masyarakat.
Seorang Sejarawan Niemeijer, misalnya, telah melakukan suatu upaya yang cukup
menarik dalam menyajikan alur cerita tentang kondisi kehidupan masyarakat kolonial
abad 17 di Batavia. Niemeijer menguraikan bahwa telah terjadi konfrontasi di dalam
masyarakat yang tinggal di Batavia, antara para pendatang dengan pribumi. Para
pendatang yang dimaksud adalah kalangan Eropa, India, Cina, maupun Melayu dan
beberapa yang berasal dari mancanegara lainnya, sedangkan kalangan pribumi merujuk
pada beberapa kerajaan di Jawa, yang mana acapkali melakukan perlawanan terhadap para
pendatang, khususnya ditujukan bagi orang-orang kulit putih (Niemeijer, 2012:30).
Seiring dengan laju kehidupan sosial di dalam masyarakat yang semakin beragam,
Belanda melakukan penggolongan masyarakat dengan menyematkan berbagai istilah-kata
dalam kehidupan sosial. Utamanya adalah orang Eropa sebagai kalangan dengan berstatus
tinggi di dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, ada pula beberapa sebutan bagi
orang Eropa yang tinggal selama beberapa tahun atau sementara di Batavia, yakni Trekker
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
sebagaimana disebut oleh orang Belanda (Blackburn, 2011:83), dan Blijvers untuk
menyebut penduduk tetap, yang melihat Hindia-Belanda sebagai rumah tercintanya
(Gouda, 2007:61). Selain itu, terdapat sebutan Inlander, istilah yang awalnya
diperuntukkan bagi kalangan pribumi, dan selanjutnya ditujukan bagi keturunan dari para
wanita Eropa dan Asia apabila mereka tidak lagi diakui oleh sang ayah yang Eropa. Istilah
inlander ini juga mengalami peyorasi dan berkonotasi merendahkan, yang bersangkutan
adalah orang yang status sosialnya ditempatkan lebih rendah dari status orang Eropa.
Kemudian, ada pula istilah Casado yang ditujukan bagi para penjajah portugis dan
Indo-Portugis, secara khusus diperuntukkan bagi orang Portugis yang menikah dan
menetap di wilayah Asia. Ketika Nusantara berada di bawah naungan pemerintah
HindiaBelanda, para casado ini mendapatkan porsi yang sangat terbatas dalam memainkan
peran dan aktifitas perdagangan. Sementara para peranakan Portugis yang masih dapat
berbicara bahasa portugis mendapatkan sebutan sebagai Mardijker.
Selain itu, terdapat juga istilah Mestizo yang ditujukan pada orang-orang berdarah
campuran, yaitu hasil pernikahan antara kalangan Eropa dengan Asia, khususnya dengan
pribumi. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan Inlander, akan tetapi
cenderung tidak berkonotasi untuk merendahkan mereka yang lahir dari hasil perkawinan
campur. Bahkan, ada juga istilah Masyarakat Merdeka, yaitu status masyarakat yang
dinyatakan sebagai orang bebas, mencakup para pengusaha Eropa, seperti Portugis yang
terlibat dalam aktifitas perdagangan di Nusantara maupun orang-orang Eropa yang bukan
atau tidak lagi menjadi pegawai VOC. Status ini juga telah mendikotomikan orang yang
bebas sebagai para pedagang dan pengusaha dengan orang yang menjadi budak di bawah
naungan suatu golongan masyarakat tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Untuk mempermudah kita dalam melihat kondisi beragamnya penduduk yang
didasarkan pada pengolongan masyarakat, berikut ini adalah sebuah pemetaan laju
perkembangan kependudukan di Batavia. Pemetaan ini sekiranya dapat memberikan
gambaran atas kondisi ruang masyarakat Batavia, yang mana ditempati oleh kalangan
bangsa Eropa, peranakan atau biasa disebut sebagai Mestizo, orang Cina, dan beberapa
kelompok kecil bangsa-bangsa Asia lainnya.
3679
2407
1783
867670
Diagram aneka golonganpenduduk utama, 1699
Cina
Merdeka
Eropa 4199
1038
1279
299 421
Diagram aneka golongan
penduduk utama, 1739
Cina
Merdeka
Eropa
Lain-lain
Intramuros Batavia 1699 dan 1739 (Blusse, 1998:155)
Sajian diagram di atas merupakan suatu ilustrasi untuk dapat melihat dinamika
penduduk di dalam kehidupan sosial Batavia. Berdasarkan diagram tersebut kita juga
dapat mengetahui bahwa kehadiran orang kulit putih di Batavia mengalami pasang surut.
Kondisi pasang surut tersebut tentunya telah menjadi perhatian serius bagi Belanda,
terutama karena laju pertumbuhan Kota Batavia semakin dipenuhi oleh kalangan Cina.
Padahal, jika ditelisik awal tujuan pembangunan Kota Batavia, Coen selaku pemegang
kekuasaan Belanda di Batavia menginginkan orang kulit putih untuk menjadi poros
kekuatan perdagangan.
Sejak didirikan, Batavia dimaksudkan untuk menjadi sebuah wilayah jajahan,
menempatkan kehadiran kalangan Eropa sebagai tulang punggung masyarakat yang baru
di tanah jajahan, didukung dan bertumpu dari ragam penduduk Asia, seperti India dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Cina, serta pribumi. Oleh karena itu, dari diagram di atas kita dapat mengetahui bahwa
para penduduk pribumi tidak berada dalam sebuah pemetaan maupun narasi kolonial
untuk diperhitungkan sebagai bagian yang cukup penting dari dinamika masyarakat.
Dalam narasi kolonial kalangan Eropa, Belanda selalu menjadi pusat perhatian
bagi perkembangan Kota Batavia. Orang Belanda tinggal di lingkungan yang terhormat
dan dikhususkan untuk orang Eropa saja, bahkan pemerintah Hindia-Belanda mengusir
pemilik rumah orang Indonesia dan Cina (de Vries, 1972:28). Sementara itu, golongan
penduduk lainnya seperti peranakan, orang-orang merdeka, maupun pribumi tinggal di
kampung masing-masing. Bahkan, penduduk pribumi tidak mendapatkan akses yang
terbuka untuk masuk ke dalam wilayah Batavia karena Pemerintah Hindia-Belanda
menutup pintu bagi orang-orang pribumi, khususnya orang Jawa sulit memasuki Batavia
dengan alasan mengingat mereka bisa disusupi oleh para infiltran dari Mataram dan
Banten – dua negara yang bermusuhan dengan Kompeni (Blusse, 1998:156). Oleh karena
itu, Batavia telah menjadi kota yang sangat tertutup bagi kalangan di luar orang kulit putih
atau golongan Eropa.
Selain mengenai dinamika kehadiran orang kulit putih di masa kolonial, terdapat
satu fakta menarik mengenai meningkatnya jumlah orang eropa secara besar-besaran
dalam waktu beberapa abad berikutnya. Menurut Lombard (2008:78), pada awal abad ke-
19, jumlah orang Eropa tidak lebih dari beberapa ribu saja, akan tetapi pada tahun 1850
mengalami peningkatan menjadi 22.000 orang. Selanjutnya, pada tahun 1872 orang-orang
Eropa berjumlah sebanyak 36.467 orang, tahun hingga membludak pada tahun 1905
menjadi 80.912 orang. Oleh sebab itu, kehadiran orang Eropa di telah memberikan
pengaruh yang signifikan bagi perkembangan masyarakat Hindia-Belanda di awal abad
ke-20, terutama dalam menguasai tanah perkebunan dan perindustrian serta perdagangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Dengan demikian, upaya penggolongan masyarakat yang sengaja diciptakan oleh Belanda
telah menjadi komponen penting untuk mengetahui dan memperlihatkan struktur, serta
stereotipe kehidupan sosial masyarakat atas hadirnya para pendatang, baik kalangan Eropa
maupun Asia yang berada di Batavia.
A.2. Orang Kulit Putih di Masa Kolonial
Beberapa kalangan menjelaskan bahwa kehadiran orang kulit putih di Batavia
memiliki beberapa persoalan, baik itu terhadap masyarakat Cina, Arab, Melayu maupun
Pribumi. Seorang Sejarawan Susan Blackburn, misalnya, memberikan penjelasan bahwa
orang Eropa sendiri sangat ambivalen terhadap standar kehidupan perkotaan, bahkan
sebagian besar orang Eropa di Batavia ingin mempertahankan status dominan kelompok
mereka di mata masyarakat (2011:50). Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dipahami
bahwa kehadiran orang Eropa di Batavia mengalami pergulatan di dalam kehidupan
masyarakat Batavia yang sudah majemuk, pada khususnya kalangan Barat ingin
mendapatkan posisi yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
Salah satu potret kehidupan masyarakat kolonial di Batavia pun dijelaskan oleh
Blackburn bahwa Orang Eropa jarang sekali bercerita mengenai penduduk Batavia
lainnya, bahkan satu-satunya kontak mereka dengan penduduk pribumi adalah dengan
para para pelayan. Sementara itu, orang Eurasia sangat tidak menyukai dominasi Trekker,
bukan karena tidak dapat bersaing dengan mereka, melainkan karena orang Eurasia tidak
dapat berbicara dalam bahasa Belanda yang baik serta tidak memiliki kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang baik, bahkan telah menghadapi peraturan diskriminasi.
Sementara itu, keberadaan orang Cina dan Arab dianggap sebagai pengusaha yang sukses
karena menginvestasikan kekayaannya dalam bidang properti. Sebaliknya, orang
Indonesia hanya menjadi pelayan dan melaksanakan tugas untuk orang Belanda, seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
membawa obor di malam hari dan melaksanakan tugas ronda.6 Dengan demikian, status
dan kedudukan masyarakat pribumi, secara sosial maupun politis berada di bawah orang
asing.
Sejarawan lainnya seperti Frances Gouda, setidaknya telah berupaya untuk
memberikan suatu deskripsi mengenai bagaimana praktik kolonial di Hindia-Belanda.
Dalam paparannya, Gouda menjelaskan bahwa kehadiran orang kulit putih, yakni Belanda
sebagai bangsa kecil mampu melakukan praktik kolonial dengan waktu yang cukup lama
di wilayah peradaban tua dunia seperti Indonesia. Meskipun Belanda dianggap sebagai
bangsa kecil karena tidak memiliki sarana kekuatan militer dan arogansi politik yang
digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa yang lebih berpengaruh di dunia, namun dalam
imajinasi imperium Belanda, ilmu pengetahuan “Oriental” telah menjadi alat kekuasaan,
mengingat pamer kekuatan tanpa ilmu pengetahuan hanya akan sama dengan sikap
menyerang Goliat yang membabi-buta (Gouda, 2007:87). Oleh karena itu, hal ini telah
menandakan bahwa wacana seperti Orientalisme telah berhasil memainkan kekuataan
yang luar biasa untuk dapat melanggengkan kekuasaan kolonial di tanah jajahannya.
Di samping itu, kolonialisme dengan sebuah wacana Orientalisme-nya telah
membentuk struktur-struktur pengetahuan manusia yang sudah ada, bahkan tidak ada
cabang pengetahuan yang luput oleh pengalaman kolonial dalam sejarah dunia penjajah
dan terjajah. Wacana Orientalisme telah memberikan dan memainkan pengaruh yang besar
bagi tatanan dunia, terlebih tak lekang digerus zaman sehingga tetap berlanjut di masa
pasca-kolonial. Namun demikian, penting kiranya untuk menelisik bentuk mekanisme
penyebaran Orientalisme di masa kolonial.
6 Disarikan dari Susan Blackburn. (2011). Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup - Komunitas Bambu.Hal 82-96.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
A.2.1. Media di Masa Kolonial
Penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada tahun 1436 telah membuat
dinamika dunia berubah sedemikian rupa. Media cetak telah menjadi alat kekuasaan untuk
suatu kepentingan tertentu. Pada masa kolonial, media pun digunakan untuk dijadikan
sebagai alat kekuasaan dalam mengkonstruksi wacana kolonialisme Eropa dan wilayah
koloninya.
Mulanya media yang hadir di masa pemerintahan Hindia Belanda adalah surat
kabar Bataviasche Nouvelles, terbit sejak tahun 1744. Surat kabar pertama ini lebih
cenderung sebagai warta periklanan yang melayani kepentingan perdagangan maupun
kepentingan komersial lainnya seperti kegiatan pelelangan hasil perkebunan, pengumuman
pemerintah jajahan, berita mutasi jabatan, lowongan pekerjaan serta informasi komersial
lainnya.7 Dalam hal ini produksi wacana mengenai tanah koloni, seperti peristiwa,
keadaan masyarakat maupun demografis, kurang mendapatkan perhatian dikarenakan
tujuan utama surat kabar adalah untuk menunjang keuntungan pemerintah Hindia Belanda
dan para pedagang.
Namun demikian, pada masa peralihan Belanda-Inggris terbit sebuah surat kabar
mingguan resmi, Java Government Gazette. Surat kabar ini terbit mulai tahun 1812 hingga
1816 di masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda, yang mana dipimpin oleh seorang
Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Berbagai berita, seperti rincian kehidupan di
Jawa mulai dari pertanian, perdagangan, perbudakan, peperangan, hingga laporan militer
disajikan kepada publik, bahkan persoalan yang terdapat di luar Jawa pun turut dimuat
dalam surat kabar ini.8 Oleh karena itu, surat kabar Java Government Gazette lebih
7 Bedjo Riyanto. Mempermainkan Realitas Dalam Realitas Main-Main. Dalam Budi Susanto S.J. (Ed).(2003). Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 25.8 Lebih lanjut dapat dilihat dalam catatan dan sumber buku Tim Hannigan. (2012). Raffles and the BritishInvasion of Java. Monsoon Books.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
komprehensif jika dibandingkan dengan Bataviasche Nouvelles, terutama dalam
membahas wilayah kolonial.
Satu abad berikutnya muncul The Colonial Magazine and Commercial Maritime
Journal, yang terbit pada tahun 1840.9 Sebagai sebuah media komunikasi di antara para
kolonial Eropa, media ini telah memainkan perannya dalam menyebarluaskan wacana
Orientalisme. Bahkan, setiap tahunnya, media ini mampu menghasilkan tiga volume
dengan ratusan halaman di dalamnya. Di dalam media cetak ini terdapat beragam tulisan
mengenai aktifitas kolonial, kondisi wilayah kolonial, keadaan maritim, laporan keuangan
perdagangan, jumlah populasi, karakter masyarakat koloni hingga persoalan geografi.
Dengan demikian, sebagai sebuah alat kekuasaan, para kolonial menghasilkan serangkaian
tulisan dan laporan yang terbungkus di dalam suatu media.
Sebagai contoh, guna menjelaskan suatu persoalan mengenai kolonialisme, The
Colonial Magazine, pada sebuah artikel berjudul, “Colonization of Ancient and Modern
Nations”, memaparkan bahwa kolonisasi merupakan pendudukan dan pengolahan tanah
yang terbuang dalam ketaatan kepada hukum utama surga, yang memutuskan bahwa
manusia harus berbuah dan berkembang biak, memenuhi bumi dan menaklukkannya.
Bahkan melalui artikel ini juga ditegaskan bahwa catatan paling awal dari ras kita
(kolonial) terdiri dari sejarah migrasi sebagai bentuk peradaban.10 Dengan demikian,
paham kolonialisme yang diproklamirkan oleh kalangan Eropa dapat dipahami sebagai
bentuk peradaban yang mengusung keunggulan ras mereka.
Terkait dengan kolonialisme yang terjadi di wilayah Nusantara, The Colonial
Magazine juga memuat beberapa artikel yang membahas tentang beragam kondisi, seperti
di Batavia, Sumatra, Java, Sulawesi, hingga Papua. Semisal pada sebuah artikel berjudul,
9 Dapat dilihat pada laman https://www.nla.gov.au/ferg/issn/14614243.html (Diakses 06 Februari 2015)10 The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal. (1840). Volume 1. Number. 1. Hal. 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
“Effect of Climate Upon Man”, terpaparkan bahwa meskipun pulau Jawa secara umum
dapat dianggap sehat, namun terdapat pengecualian pada wilayah pantai yang rendah dan
rawa di sekitar pulau, khususnya kota Batavia, yang mana dianggap sebagai pusat
penyakit di Timur. Hal ini dikarenakan lingkungan Batavia yang tertutup pohon-pohon
dan semak-semak sehingga mencegah sirkulasi udara bebas.11 Dalam hal ini dapat
dipahami bahwa para kolonial telah menempatkan wilayah kolonial sebagai tempat
berpenyakit yang dapat mengancam kehidupan mereka. Dengan kata lain, wilayah koloni,
seperti Batavia, dapat menyebabkan kematian para kolonial yang sedang berada di tanah
jajahan. Jadi, terdapat perbedaan yang sangat kontras antara kehidupan para kolonial di
negara mereka yang sehat, sedangkan di wilayah kolonial terdapat jenis penyakit
berbahaya, semisal malaria.
Di dalam The Colonial Magazine ini juga, para kolonial memaparkan beberapa
wilayah yang terdapat di Nusantara seperti, Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi dan Papua.
Disebutkan bahwa Batavia sebagai ibukota Jawa dikatakan berutang untuk industri
pertanian dan keterampilan mekanik kepada sebagian besar orang Cina yang telah
menetap di pulau Jawa.12 Selain itu, tidak hanya mengenai Batavia, tetapi tercatat juga
bahwa kehadiran Belanda bertujuan untuk menundukkan seluruh bagian dalam Sumatera
yang terletak di antara Padang di pantai barat, Siak, dan Indragiri di sebelah timur.13
Sementara itu, dipaparkan bahwa pulau besar Kalimantan (Borneo) telah
mengalami percampuran dengan pengungsi dari negara-negara atau wilayah lain, seperti,
orang China dengan rambut panjang, orang Makasar dengan gigi yang bersinar hitam dan
memakan sirih; dengan pekerjaan yang sama untuk budak wanita, begitu juga dengan
kemampuan yang sama laki-laki; banyak dari mereka bekerja untuk mengarahkan layar,
11 Ibid. Volume 3. Number 10. Hal. 171.12 The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal. (1841). Volume 5. Number 18. Hal. 192.13 Ibid. Volume 6. Number 24. Hal. 489.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
sehingga orang-orang ini telah banyak digunakan oleh Belanda, bahkan digunakan untuk
menyampaikan informasi.14
Selain itu, dalam The Colonial Magazine ini juga termuat penjelasan bahwa pada
lingkup yang lebih luas, Nusantara dikenal sebagai awal navigasi Belanda karena terdapat
populasi yang banyak, kuat, suka berperang, dan komersial, serta telah membuat kemajuan
peradaban daripada tetangga mereka, yang telah sepenuhnya bersujud, baik dalam pikiran
dan tubuh, hingga terkenal dapat melakukan otoritas kolonial Belanda, bahkan mereka
dapat meyakinkan bahwa kejahatan mereka tidak berasal dari pihak berwenang di Eropa.15
Dalam hal ini, para kolonial Belanda beranggapan bahwa wilayah Nusantara dapat diajak
untuk menjalin kerja sama, yang sebagaimana bahwa awal hubungan Belanda dengan
beberapa kerajaan di Nusantara adalah perdagangan. Namun demikian, ada wacana
menarik dari uraian di atas, para kolonial menegaskan bahwa kekacauan (penaklukan)
yang terjadi di wilayah kolonial bukan menjadi kejahatan pihak Eropa, melainkan lebih
dikarenakan karakter masyarakat Nusantara yang kuat dan suka berperang.
Berdasarkan beberapa uraian yang terdapat pada The Colonial Magazine and
Commercial Maritime Journal di atas, dapat dipahami bahwa kolonialisme Eropa bukan
hanya sekedar pada bentuk praktek perdagangan yang berujung hingga penaklukan,
melainkan juga mengkonstruksi pengetahuan tentang wilayah-wilayah kolonial. Belanda,
pada khususnya, sebagai pihak kolonial atas beberapa wilayah di Nusantara turut
mengkonstruksi pengetahuan yang subjektif terhadap kondisi maupun kehidupan
masyarakat Nusantara. Oleh karena itu, media di masa kolonial telah sangat berperan
untuk menciptakan dan menyebarluaskan wacana pengetahuan guna melangsungkan
penguasaan atas wilayah kolonial.
14 Ibid. Volume 6. Number 24. Hal. 452.15 Ibid. Volume 7. Number 28. Hal. 478.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
B. Indonesia di Masa Pasca-Kolonial
Terdapat suatu masa yang kelam dan turut mengubah kolonialisme Eropa di
Indonesia, yakni dekolonisasi. Dimulai dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942,
dekolonisasi menjadi masa-masa yang berat bagi para kolonialis di Indonesia. Orang
Eropa seperti Belanda maupun Eurasia (Indo) mendapatkan perlawanan dari pihak
pribumi. Bahkan para kolonialis tersebut mulai meninggalkan dan melarikan diri dari
Indonesia.
Ketika Indonesia sebagai negara meraih kemerdekaan pada tahun 1945, Soekarno
semakin menimbulkan pergolakan terhadap para kolonialis. Pergolakan ini memunculkan
gaung dekolonisasi hingga terjadi dimana-mana, mengusir dan menangkap orang Eropa
maupun Eurasia (Indo), hingga mengambil alih atau melakukan nasionalisasi perusahaan
kolonial di Indonesia. Puncak dari dekolonisasi yang terjadi pada akhir 1950an ini
mengakibatkan repatriasi secara besar-besaran ke Eropa.
Dalam kancah internasional, Soekarno pun tidak segan untuk menyerukan politik
dekolonialisasi bagi negara-negara terjajah yang telah dilakukan Barat selama berabad-
abad. Pada Sidang Umum PBB tahun 1960, melalui visi politik dekolonialisasi, Soekarno
menawarkan konsepsi Pancasila sebagai dasar pembangunan dunia ketiga, yakni untuk
“membangun dunia baru” (to rebuild world) sekaligus membangun dunia baru yang lebih
layak bagi negara pasca kolonial agar lebih sederajat dan seimbang posisinya dengan
negara Barat16. Oleh karena itu, dekolonialisasi menjalar ke berbagai bangsa mulai dari
Afrika, Asia, hingga ke Amerika Latin sebagai rangkaian dalam membangun dunia yang
berkeadilan bagi semua bangsa.
16 Lihat Bernhard Dahm. (1987). Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Diterjemahkan oleh Hasan BasriJakarta: LP3ES
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Sayangnya, gaung dekolonisasi terhadap penjajahan dan para kolonial tidak
bertahan lama. Setelah masa Soekarno usai dan Soehato mulai memimpin Indonesia
terjadi perubahan haluan. Dengan berdalih untuk meningkatkan ekonomi Indonesia,
Soeharto mengundang para investor asing ke Indonesia. Oleh karena itu, tidak hanya
aliran investasi yang masuk, tetapi orang asing juga turut mendatangi kembali Indonesia,
bahkan menetap untuk sementara waktu maupun permanen. Orang asing di Indonesia ini
acapkali disebut sebagai warga negara asing (WNA), sedangkan orang kulit putih di
Indonesia lebih cenderung disebut bule ataupun londo.
Meski demikian, mengenai sebutan atas keberadaan orang asing di Indonesia,
tampaknya telah mengalami pergeseran identitas menjelang akhir tahun 1990an. Sebuah
buku berjudul Expats in Indonesia (1997) ini setidaknya dapat memberikan pemahaman
mengenai kehadiran orang asing di Indonesia. Richard Mann dalam paparannya secara
umum menempatkan identitas orang asing di Indonesia sebagai ekspatriat. Dengan
demikian, istilah ekspatriat ini muncul dari mereka, yakni orang asing yang berada di
Indonesia.17
Paparan lain mengenai ekspatriat di Indonesia setelah masa Soeharto tumbang
datang dari seorang wartawan, Ishak Rafick. Di dalam bukunya, Rafick mengatakan
bahwa setidaknya terdapat tiga alasan yang turut mendorong dunia bisnis di tanah air
mendatangkan tenaga kerja asing atau yang biasa disebut ekspatriat pada era reformasi di
Indonesia, diantaranya; pertama, kebutuhan perusahaan untuk memperluas pasar ke
manca-negara, sekaligus mendekati sumber-sumber pembiayaan internasional. Kedua,
menganggap kehadiran ekspatriat yang dipekerjakan sebagai lambang bonafiditas. Ketiga,
sebagai suatu tekanan, hal ini biasanya terkait dengan pemberian bantuan atau pinjaman
17 Richard Mann. (1997). Expats in Indonesia; Guide to Living Conditions and Costs. Gateway Books.Berdasarkan data KITAS, Mann menyisir berbagai orang asing berdasarkan negara asal, seperti KoreaSelatan, Jepang, Hongkong, China, USA, India, Australia, Inggris, Thailand, Belanda, dan lain-lain. (Hal.12)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
dari lembaga-lembaga donor dari luar negeri kepada negara penerima donor seperti
Indonesia.18
Sejak Indonesia mendapatkan kemerdekaan hingga saat ini terjadi pasang-surut
mengenai kehadiran orang asing di Indonesia. Beragam identitas pun disematkan kepada
orang asing. Terutama beberapa kalangan menyebut orang asing berkulit putih sebagai
bule atau ekspatriat. Oleh karena itu, pada konteks kekinian tampaknya perlu mencermati
identitas orang asing, pada khususnya orang kulit putih di Indonesia.
B.1. Orang Kulit Putih, Bule atau Ekspatriat?
Pada zaman seperti saat ini, tampaknya bukan menjadi kemustahilan untuk dapat
melihat, bertemu maupun berinteraksi dengan orang asing, khususnya orang kulit putih.
Kehadiran mereka dapat dijumpai di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya,
maupun kota-kota wisata, seperti Jogjakarta, Bali, Lombok hingga Papua. Tak terkecuali
mereka pun telah hadir di berbagai ruang publik, seperti media televisi, media cetak dan
dunia maya seperti jejaring sosial dan internet.
Pembahasan mengenai kehadiran orang kulit putih di Indonesia masa pasca-
kolonial tentunya adalah suatu langkah yang cukup rumit. Orang kulit putih di Indonesia
seperti dua sisi mata uang, interlinkage, yang tidak dapat dilepaskan begitu saja salah
satunya. Di satu sisi, ada yang menyebut orang kulit putih sebagai bule, dan ekspatriat di
sisi lain. Oleh karena itu, untuk memperjelas kedua sisi tersebut, berikut ini adalah
penjelasan mengenai identitas orang kulit putih yang ada di Indonesia, yakni bule dan
ekspatriat.
18Rafick, Ishak. (2008). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta: Ufuk Press. Hal. 74-5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
B.1.1. Bule, Siapa Mereka?
Istilah khusus nan unik ini hanya terdapat di Indonesia. Bule telah menjadi kata
umum di kalangan masyarakat Indonesia yang biasanya disematkan bagi orang kulit putih.
Karenanya, penulis mencoba untuk menelisik apa yang dimaksudkan dari sebuah kata bule
terkait penggunaannya di dalam masyarakat. Pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI, 2008:38,230) memaparkan bahwa bule adalah pelafalan dari kata ‘bulai’, yang
berarti albino, yaitu putih seluruh tubuh dan rambutnya karena kekurangan pigmen (zat
warna). Di samping itu, Merriam Webster Dictionary, mendefinisikan bahwa albino
adalah an organism exhibiting deficient pigmentation; especially: a human being that is
congenitally deficient in pigment and usually has a milky or translucent skin, white or
colorless hair, and eyes with pink or blue iris and deep-red pupil.19 Oleh karena itu, dari
kedua penjelasan tersebut, bule dapat dimaknai sebagai seseorang yang memiliki
kekurangan pigmen, sehingga tubuhnya terbalut dengan kulit yang putih. Dengan kata
lain, secara visual, orang yang disebut bule memiliki perbedaan dengan orang Indonesia,
seperti, warna kulit, mata, dan rambut, atau bercirikan ras kaukasoid.
Terkadang penuturan istilah bule acapkali dimaknai oleh orang kulit putih sebagai
bentuk sarkasme maupun berbau rasis, sehingga orang kulit putih cenderung tidak
menginginkan untuk disebut sebagai bule. Sebagai contoh, hal ini dapat dibahas secara
eksplisit di artikel, “Don’t Call Me Bule!”20 yang dituliskan oleh Anne-Meike Fechter.
Pada artikel “Don’t Call Me Bule!” Fechter memaparkan bahwa mereka, yang adalah
orang asing kulit putih menolak untuk disebut sebagai bule. Oleh karena itu, pada artikel
ini lebih banyak memuat kegundahan para ekspatriat yang merasa terganggu oleh
19 Origin of Albino; Portuguese, from Spanish, from albo white, from Latin albus. First Known Use:1777Masehi. Lihat http://www.merriam-webster.com/dictionary/albino20 Lihat http://www.expat.or.id/info/dontcallmebule.html Artikel ini dituliskan oleh Anne-Meike Fechter ataspermintaan suatu organizing committee pada bulan Juli tahun 2003. [Our appreciation to Anne-MeikeFechter who wrote and contributed this article at the request of the organizing committee. July 2003].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
kebiasaan orang Indonesia ketika menyebut mereka sebagai bule. Hal tersebut dianggap
sebagai bentuk yang merendahkan dan menyakitkan, sehingga ekspatriat cenderung
menolak terhadap panggilan bule yang ditujukan padanya.
Di dalam artikel ini juga terdapat perdebatan cukup panjang di kalangan orang
kulit putih dalam menanggapi panggilan bule yang ditujukan pada mereka. Ada yang
mengganggap bahwa bule adalah kata yang biasa ditujukan bagi orang asing dengan kulit
putih, karena kulit mereka terlihat lebih terang dari kulit orang Indonesia. Ada juga
pandangan baik dari orang Indonesia maupun orang kulit putih yang mengganggap bahwa
istilah bule adalah sebuah kata netral, yang mana selama kata itu diucapkan secara sopan
dan tidak digunakan sebagai sebuah bentuk penghinaan. Selain itu, disebutkan juga bahwa
bagi sebagian besar orang Indonesia menganggap bahwa penyebutan bule sebagai
kebiasaan yang tidak bersalah dengan tidak ada niatan yang buruk. Orang asing yang
memiliki kulit putih acapkali dipanggil bule dalam situasi yang berbeda, seperti sapaan di
jalan, atau dalam percakapan informal dengan orang Indonesia. Jadi, bule adalah kata yang
netral dan juga sebagai kata fungsional – semacam sapaan untuk orang kulit putih.
Sebaliknya, meskipun kata bule memilki ragam variabel, orang kulit putih atau
ekspatriat cenderung menginginkan agar kata bule tidak terperangkap pada stereotipe
tentang orang asing, seperti, orang yang kaya, kasar, dan bodoh, yang bau keju dan tidak
memiliki moral. Karena bagi mereka, menjadi stereotipe seperti tersebut sangat
menjengkelkan, terutama bagi ekspatriat yang merasa bahwa mereka telah beradaptasi
dengan Indonesia secara lebih baik daripada para turis yang hanya sekedar berwisata.
Selanjutnya, orang kulit putih, yang dalam perdebatan artikel ini adalah ekspatriat,
juga tidak ingin kata bule digunakan sebagai kategori ras. Namun demikian, apabila dilihat
lebih cermat dalam artikel ini, penulis menilai bahwa pandangan rasis justru lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
dominan disampaikan oleh para ekspatriat terhadap perilaku masyarakat Indonesia. Hal
tersebut dapat dilihat ketika beberapa responden Fechter mengatakan bahwa orang
Indonesia sebagai pelaku rasis, dimana hal itu dikaitkan dengan menyebutkan kurangnya
pendidikan masyarakat Indonesia. Paparan tersebut termuat sebagai berikut:
“An additional sting for expatriates, however, might be that they feel insulted byIndonesians - people whom some consider to be politically backward, andintellectually less capable. In their responses, some expatriates therefore suggest thatIndonesians need more education.”
Secara eksplisit seorang responden Fechter juga mengatakan bahwa Indonesia
merupakan salah satu masyarakat yang paling rasis. Dengan beberapa uraian, responden
Fechter memberikan sebuah pandangan bahwa Indonesia terus-menerus merendahkan
orang lain (termasuk satu sama lain) terkait dengan suku, kelahiran, dan agama. Hal ini
dapat dilihat pada uraian berikut:
“…. Indonesia is one of the most racist societies in which I've ever had the pleasureof living. Indonesians are constantly denigrating others (including one another) bytribe, birthplace, and religion. While, admittedly, this is human nature at its worstand done everywhere, it still has no place in a pluralistic, democratic society.”
Selain itu, seorang responden (ekspatriat) dalam artikel ini juga memuat suatu
anggapan yang mengatakan bahwa Indonesia sebagai tempat yang paling rasis, sehingga
ekspatriat (yang kebanyakan orang kulit putih) telah mengalami rasisme secara pribadi.
Berikut adalah kutipan yang terdapat dalam artikel tersebut:
“However, that Indonesia seems racist to them because they have, for the first time,received racial insults themselves. This is pointed out to them, however, by otherparticipants: ‘I've heard many people describe Indonesia as the most racist placethey've ever been and although I would never argue that it isn't racist, I don't thinkits more racist than other places, but that it is probably the only place where expats(who are mostly white) have experienced racism personally directed at them. Youhave probably lived with racism all around you but until you moved to Indonesiaand became a victim of it you just didn't notice it.” (cetak miring dari penulis)
Dari kutipan di atas, khususnya pada kalimat yang diberi cetak miring dapat
dipahami bahwa kalangan Barat yang sesungguhnya sangat rasis, namun mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
seringkali menyangkalnya karena tidak merasakan rasisme yang ditujukan kepada mereka.
Akan tetapi, ketika kalangan Barat berada di Timur seperti Indonesia seoalah-olah mereka
telah merasa mendapatkan sebuah perlakuan rasis, terutama pada saat mendapatkan
panggilan bule yang ditujukan kepada mereka.
Meskipun artikel pendek ini, yang kurang lebih memuat sebanyak dua ribu kata,
berupaya mendamaikan persepsi tentang pemaknaan kata bule, baik di pihak orang kulit
putih maupun pribumi, namun pada akhirnya artikel ini menjadi ambigu. Setelah
memaparkan beragam pandangan, diskusi, dan perdebatan mengenai kata bule, artikel ini
mengatakan bahwa orang kulit putih maupun ekspatriat telah menerima penggunaan
istilah bule, akan tetapi perlu diingat kembali bahwa judul artikel ini telah diberikan
sebuah judul Don’t Call Me Bule!.
Artikel menarik lainnya tentang perdebatan kata bule terdapat pada tulisan Donny
Syofyan dengan judul Understanding The Word ‘Bule’.21 Sebagai penulis dari kalangan
Indonesia, Syofyan mencoba menyumbangkan gagasan tentang pemahaman kata bule.
Syofyan mengemukakan bahwa kata bule biasanya menunjuk pada orang kulit putih
seperti Eropa, Amerika atau Australia, dan terkadang juga ada beberapa orang yang
mengatakan bule Afrika (African bule) terkait dengan mereka yang berasal dari Afrika.
Namun demikian, dalam artikelnya, Understanding The Word ‘Bule’ Syofyan tidak
serta merta secara eksplisit menyebutkan orang asing sebagai ekspatriat. Syofyan – dengan
maupun tanpa sengaja – lebih memilih untuk menggunakan kata “foreigner” dalam
menyebut orang asing di Indonesia. Oleh karena itu, setidaknya perlu untuk menelusuri
lebih mendalam sejauh mana Syofyan memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai
kata bule di dalam artikel pendeknya.
21 Indonesia Expat Issue 116, p. 15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Pertama, Syofyan menjelaskan bahwa orang asing yang telah tinggal di Indonesia
dalam jangka waktu yang panjang dan hidup bertetangga dengan orang lokal masih saja
mendapatkan sebutan sebagai bule. Dalam hal ini, Syofyan menilai bahwa hal tersebut
dirasa cukup mengganggu mereka (orang kulit putih) mengingat tidak ada yang berubah
dalam hubungan bertetangga, sehingga penduduk setempat masih melihat mereka sebagai
orang asing dan belum diterima dalam kehidupan masyarakat lokal. Bahkan Syofyan juga
mengingatkan bahwa terdapat hal yang berbeda ketika orang asing memiliki teman-teman
Indonesia; pribumi tidak akan lagi menyebut orang asing sebagai bule ketika berteman
dengan orang Indonesia, meskipun terkadang jika pribumi ingin memperkenalkan teman
asingnya (yang kulit putih) kepada teman-teman lain namun masih juga sering
menggunakan kata bule.
Dari penjabaran poin pertama ini, penulis menganggap bahwa posisi Syofyan
dalam artikelnya bersikap mendua. Di satu sisi, Syofyan ingin memperlihatkan bahwa ada
keinginan dari orang kulit putih yang hadir di dalam masyarakat Indonesia untuk dianggap
sama dan tidak lagi dibedakan sebagai orang asing karena telah berada cukup lama dan
beradaptasi di Indonesia. Di sisi lain, posisi Syofyan tetap menempatkan bahwa kata bule
adalah kata netral bagi orang kulit putih ketika digunakan untuk memperkenalkan kepada
orang pribumi.
Kedua, Syofyan memaparkan bahwa masih ada pandangan di kalangan orang
Indonesia yang menganggap wisatawan asing dan para petualang yang sedang berkunjung
ke Indonesia disebut sebagai bule, seperti dengan sapaan “mister” dan “miss”. Syofyan
menganggapnya tidak hanya menjadi hal yang terdengar lucu, tapi akhirnya berubah
menjadi hal yang mengganggu orang asing, apalagi karena mereka berasal dari berbagai
negara dan hanya tinggal selama satu atau dua bulan di Indonesia. Dalam hal ini, Syofyan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
mencoba membuat perbandingan dengan Barat, dimana orang Barat tidak memberikan
istilah atau nama yang aneh kepada orang asing atau para pendatang baru. Di negara-
negara Barat, orang asing yang tinggal lebih dari satu atau dua bulan untuk bekerja atau
belajar tidak mendapatkan diri mereka benar-benar merasa terganggu seperti di Indonesia.
Hal ini terutama berlaku ketika banyak orang terus berulang-ulang berteriak “bule!” pada
mereka, padahal sebelumnya sudah saling kenal dan bertemu, sehingga suasana seperti itu
membuat orang asing merasa tidak nyaman.
Terkait hal di atas, penulis kembali mengkritisi poin kedua yang disampaikan oleh
Syofyan. Sebagai penulis Indonesia, Syofyan belum dapat melepaskan dikotomi antara
Barat dan Timur. Syofyan masih menempatkan Barat sebagai yang lebih baik. Hal itu
terlihat saat Syofyan membandingkan apa yang dialami oleh para pendatang asing di
Indonesia dengan para pendatang asing di negara-negara Barat. Selain itu, upaya Syofyan
untuk memperlihatkan perbandingan tersebut, baik sadar atau tidak, juga telah
menempatkan Barat sebagai yang superior dibandingkan dengan Indonesia, bahkan
menegaskan bahwa ketidaknyamanan menjadi bagian dari kehadiran orang asing ketika
berada di luar negara-negara Barat.
Ketiga, Syofyan mencoba pada suatu gagasan dengan mempertanyakan tentang
kemungkinan orang asing yang mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat setempat,
sehingga apakah kata “bule” akan menghilang? Mungkinkah itu terjadi di Indonesia? Bagi
Syofyan, penerimaan terhadap keberadaan orang asing, pada tingkat yang cukup serius
karena prasangka publik atas pekerjaan orang asing. Misalnya, banyak orang Indonesia
beranggapan bahwa kebanyakan orang asing kaya, sehingga mereka harus membayar lebih
mahal untuk suatu produk dan jasa yang mereka beli di negara Indonesia. Akan tetapi,
pada kenyataannya tidak semua orang asing adalah kaya. Contoh lainnya, sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
wisatawan, orang asing membayar tiket yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan
pengunjung Indonesia. Oleh karena itu, Syofyan merasa tidak menyenangkan ketika
menemukan suatu kejadian dimana setiap kali memasuki objek wisata para turis
mendapatkan diskriminasi antara wisatawan lokal dan mancanegara.
Tidak berhenti sampai disitu, berkaitan dengan wisata mancanegara, Syofyan
merujuk pada beberapa pengalamannya saat mengunjungi tempat-tempat wisata di luar
negeri, seperti di Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Di sana ia tidak pernah
melihat perbedaan harga antara orang asing dan penduduk setempat, yang ada hanya harga
khusus untuk mahasiswa dan orang tua pensiunan. Selanjutnya, Syofyan beranggapan
bahwa beberapa orang Eropa terutama mereka yang belum pernah mengunjungi Indonesia
akan memiliki beberapa prasangka terhadap Indonesia. Beberapa temannya yang berasal
dari Cekoslovakia, misalnya, berpikir bahwa Indonesia adalah negara dimana orang-
orangnya masih primitif, tinggal di rumah-rumah dalam hutan; tidak ada listrik dan tidak
ada koneksi internet. Sofyan menganggap bahwa kesalahpahaman seperti itu biasanya
terjadi pada orang yang selama ini hanya menetap di negara mereka dan tidak pernah pergi
ke luar negeri.
Persoalan lain dalam poin ketiga pada artikel Syofyan ini adalah mengenai
stereotipe. Stereotipe tersebut muncul saat Syofyan mengemukakan beberapa temannya
yang berpikir bahwa Indonesia adalah negara dimana orang-orangnya masih primitif,
tinggal di rumah-rumah dalam hutan; tidak ada listrik dan tidak ada koneksi internet, yang
mana Sofyan menganggap hal itu sebagai sesuatu kewajaran pada kalangan Barat yang
selama ini hanya menetap di negara mereka dan tidak pernah pergi ke luar negeri. Dalam
hal ini, penulis menanggapi bahwa pendapat Syofyan bukan menjadi suatu pembenaran
belaka atas ketidaktahuan kalangan Barat terhadap Indonesia sehingga masih saja terdapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
stereotipe tentang Indonesia sebagai yang primitif. Karena itu, Syofyan telah luput untuk
menyadari bahwa sebelum teman-temannya berkunjung ke Indonesia, terdapat wacana
pengetahuan yang telah disediakan kalangan Barat mengenai dunia Timur, yakni
Orientalism, seperti Asia, yang mana Indonesia termasuk di dalamnya.
Poin terakhir dalam artikel ini, dan sekaligus untuk pertama kalinya Syofyan
menggunakan kata “ekspatriat” sehingga bagi penulis menjadi hal yang sangat ganjil. Pada
dua paragraph terakhir dalam artikel ini, Syofyan menjelaskan bahwa ekspatriat
menganggap “bule” adalah istilah yang sangat kasar dan hal tersebut dapat memiliki arti
yang berbeda tergantung pada konteks penggunaannya. Beberapa orang Indonesia
mengemukakan bahwa “bule” adalah kata yang netral dengan arti positif dan mungkin
negatif. Bahkan Syofyan juga mengemukakan sebuah pendapat lain yang mengatakan
bahwa istilah“bule” adalah kata fungsional untuk menggambarkan orang kulit putih,
bahkan secara linguistik, orang kulit putih atau ekspatriat seharusnya tidak merasa
tersinggung ketika orang menyebut mereka “bule”.
Syofyan menjelaskan bahwa istilah “bule” lebih merupakan bahasa lisan untuk
sehari-hari yang digunakan dalam percakapan. Pada identitas lisan, sebagian masyarakat
Indonesia cenderung menganggap bahwa kata “bule” tidak menghina dan tidak
dimaksudkan untuk menjadi kasar. Dikarenakan istilah ini terikat erat pada wilayah oral,
orang-orang yang berpendidikan tidak akan menyebut orang kulit putih sebagai “bule”
dalam konteks formal, seperti saat rapat. Orang Indonesia yang terpelajar tidak akan
memanggil orang kulit putih sebagai '’bule” kecuali orang tersebut berniat untuk
menghina, karena yang umum terjadi ialah salah tafsir oleh orang Barat bahwa kata
tersebut bermaksud menghina.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Bagi penulis, penekanan yang disampaikan oleh Syofyan pada akhir artikelnya
menjadi semacam “formalitas” untuk memperkuat korelasi gagasan pada awal artikel
terkait istilah “bule” yang selalu diberikan pada orang kulit putih. Padahal pada paragraf-
paragraf sebelumnya, Syofyan tidak secara langsung menyebut orang asing adalah orang
kulit putih. Syofyan juga tidak menggunakan kata “expatriate” secara berkelanjutan, akan
tetapi lebih dominan menggunakan kata “foreigners” untuk menjelaskan orang asing atau
para pendatang di Indonesia.
Setelah melihat muatan artikel ini, penulis beranggapan bahwa posisi Syofyan
dengan beragam pendapat dan pandangannya, dalam upaya untuk memberikan
pemahaman tentang kata “bule”, sebagaimana judul artikelnya, ‘Understanding The Word
‘Bule’, merupakan sebuah penjelasan yang tidak begitu lengkap dan komprehensif. Selain
itu, Sofyan seharusnya melakukan problematisasi yang lebih terfokus pada orang asing
kulit putih atau ekspatriat, sehingga tidak meluas ketika menyebut orang asing sebagai
foreigners. Dengan demikian, pemahaman mengenai orang kulit putih mengenai sebutan
“bule” dan “ekspatriat” akan menjadi lebih jelas dan terang bagi kalangan umum.
B.1.2. Ekspatriat, melampaui definisi!
Sebagaimana yang telah disinggung pada bab sebelumnya, Bab I Pendahuluan,
terdapat beragam penjelasan mengenai pengertian ekspatriat secara etimologi. Merujuk
pada pandangan seorang Sosiolog, Eric Cohen, dalam artikel yang berjudul “Expatriate
Community” (1977), secara konvensional mengatakan bahwa:
Expatriate is conventionally reserved for Westerners who have lived abroad forvarying lengths of time, especially artists, colonials, and generally those with amission of one kind or another.22
Sementara itu, seorang Antropolog, Ulf Hanners (1996) menjelaskan bahwa:
22 Dalam Anne-Meike Fechter. (2007). Transnational Lives: Expatriates in Indonesia. England: Ashgate.Hal. 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Expatriates (or ex-expatriates) are people who have chosen to live abroad for someperiod, and who know when they are there that they can go home when it suitsthem...these are people who can afford to experiment, who do not stand to lose atreasured but threatened, uprooted sense of self.23
Dengan demikian, dari kedua upaya penjelasan maupun pemaparan di atas dapat
diketahui bahwa belum terdapat batasan yang ketat untuk dapat menyebut orang yang
keluar dari negara asalnya sebagai ekspatriat, terutama identitas ekspatriat yang tidak
terkait dengan suatu jenis ras tertentu. Meskipun dari pernyataan Cohen ekspatriat
merujuk pada orang-orang Barat, namun tampaknya perlu untuk menelusuri lebih lanjut
beragam wacana yang terdapat di dalamnya, khususnya orang asing kulit putih yang
merepresentasiskan diri sebagai ekspatriat.
Sebagai salah satu sumber rujukan pustaka dalam penelitian ini, yakni, Anne-
Meike Fechter yang melakukan studi tentang kehidupan transnasional ekspatriat di
Indonesia telah memberikan sumbangsih tentang beragam wacana seputar kehidupan
ekspatriat. Melalui sebuah penelititan, Fechter berupaya untuk dapat memahami ekspatriat
dengan melihat kondisi yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Bertolak pada sebuah artikel
milik Cohen (1977) yang berjudul 'Expatriate Community', Fechter (2007:1) ingin
mengingatkan kembali dengan memperlihatkan suatu pola hubungan relatif yang kontras
dengan keunggulan ekspatriat dalam imajinasi populer, meskipun hal tersebut sering
mengambil bentuk karikatur dan klise. Keberadaan klise ini lebih dikonstruksi oleh
ekspatriat sendiri terkait dengan pengasumsian suatu ‘kebiasaan eksotis’ dan ‘keyakinan
irasional’ yang ditujukan terhadap kalangan pribumi.
Meskipun Fechter tidak mencoba secara sistematis untuk meninjau istilah
‘ekspatriat’ yang longgar dan memiliki beberapa arti, namun ia berupaya membahas
keberadaan ekspatriat yang relevan dalam konteks sekarang. Fechter (2007:1) menjelaskan
23 Dalam Upton, S.R. (1998). Expatriates in Papua New Guinea: Contructions of Expatriates in CanadianOral Narratives. Hal. 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
bahwa kata ‘expatriate’ berasal dari bahasa Latin; ex yang berarti keluar dan patria yang
berarti negara asal. Selain itu, Fechter juga merujuk pada The New Oxford English
Dictionary (1999) mengenai asal usul penggunaan kata ekspatriat yang ada saat ini, yang
mana kata eskpatriat bermula pada pertengahan abad ke-18 atau dalam bentuk istilah
Latin, diartikan sebagai seseorang yang pergi atau keluar dari negaranya.
Di samping itu, Fechter (2007:1) setidaknya mendeskripsikan bahwa istilah
ekspatriat telah menjadi terkenal dalam beberapa hal. Pertama, semisal dalam tulisan yang
terdapat dalam Lost Generation, penulis Amerika yang tinggal di Paris setelah Perang
Dunia I, termasuk Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald dan Gertrude Stein. Sebuah
kutipan dari novel Hemingway, The Sun Also Rises, menunjukkan kiasan dari
kemerosotan moral yang terkait dengan keberadaan ekspatriat: “Anda seorang ekspatriat.
Anda telah kehilangan kontak dengan tanah kelahiran. Anda mendapatkan kedudukan
yang tinggi. Standar kepalsuan Eropa telah merusak Anda. Anda minum hingga mati.
Anda menjadi terobsesi dengan seks. Anda menghabiskan seluruh waktu hanya untuk
berbincang-bincang tanpa bekerja. Anda adalah adalah seorang ekspatriat, lihat?"24
Selajutnya, Fechter (2007:2) juga berupaya menunjukkan bahwa kata ekspatriat
sebagai sebuah penggunaan istilah, yang mana untuk konteks sekarang dinilai lebih
relevan berkaitan dengan kolonialisme. Bagi Fechter, belakangan ini hubungan kata-kata
'kolonial' dan 'ekspatriat' juga senantiasa digunakan satu sama lain dalam catatan
kehidupan kolonial. Hal itu dapat terlihat dalam sebuah deskripsi ketika para pria Inggris
yang telah berada terlalu lama dengan iklim tropis di Asia Selatan atau Asia Tenggara
telah mengalami penderitaan dunia yang melelahkan, mengalami keterasingan, dan
kecanduan alkohol. Deskripsi tersebut acapkali digambarkan dalam novel dan cerita
24 “You’re an expatriate. You’ve lost touch with the soil. You get precious. Fake European standars haveruined you. You drink yourself to death. You become obsessed by sex. You spend all your time talking, notworking. You are an expatriate, see?” (Hemingway 1926, Chapter 12). Dalam Fecther (2007). Hal. 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
pendek Anthony Burgess, Joseph Conrad dan Somerset Maugham. Asosiasi ini dikaitkan –
dan kadang-kadang kontinuitas – antara masa lalu kolonial dengan permukaan wacana
populer ekspatriat kontemporer; bersantai dan menghirup tonik saat matahari terbenam,
sehingga telah menjadi gambaran ikon dari kehidupan ekspatriat di daerah tropis saat ini.
Hal ini didasarkan pada kemungkinan pengaruh dari cara hidup petugas kolonial Inggris di
India, sehingga Fechter membahas pentingnya hubungan antara kedua kelompok tersebut;
petugas kolonial dan para pendatang yang menjadi ekspatriat.
Kedua, Fechter (2007:2) juga memaparkan bahwa sebuah makna dari istilah
“ekspatriat” dalam hal teknis juga digunakan dalam bidang manajemen sumber daya
manusia internasional. Dalam konteks ini, seorang ekspatriat ditempatkan sebagai
seseorang yang mengambil sebuah tugas internasional untuk majikan (perusahaan
multinasional) mereka. Sebagai orang tetap di dalam suatu perusahaan, langkah-langkah
ini kerapkali juga disebut sebagai transfer intra-perusahaan. Mereka sering disebut sebagai
'ekspatriat bisnis', yang mana perpindahan semacam ini mungkin saja terjadi. Bahkan
suatu model tradisional yang menetapkan bahwa seorang pekerja akan diberikan uang
insentif untuk kepindahannya dan kompensasi atas biaya ketidaknyamanan yang
ditimbulkan akibat adanya relokasi. Hal itu termasuk biaya perpindahan, tiket pesawat,
biaya perumahan, mobil dan supir, asuransi kesehatan, serta biaya sekolah anak-anak
mereka, ditambah lagi gaji yang lebih tinggi untuk mengakomodasi biaya dalam
mempertahankan gaya hidup luar negeri. Ekspatriat perusahaan ini secara khusus
berkaitan dengan tahapan yang berbeda dari 'siklus ekspatriat'; karena itu adalah pilihan
mereka, sebagai bentuk tugas dan repatriasi, remunerasi, dan berdasarkan pada evaluasi
keberhasilan atau kegagalan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Ketiga, terlepas dari kerangka pengertian yang sempit, Fechter (2007:3) juga
menjelaskan istilah ekspatriat yang sering muncul dalam representasi suatu media,
misalnya berkenaan dengan suatu peristiwa ketika orang Inggris pindah ke selatan
Spanyol, Perancis atau Italia secara sementara atau permanen. Bagi Fechter, hal ini terjadi
bukan hanya sebatas lansia yang biasa dianggap sudah pensiun atau sedang liburan, tetapi
juga orang-orang yang meninggalkan pekerjaan mereka dan menjual properti mereka di
Inggris guna mengejar kualitas hidup yang lebih baik di luar negeri, iklim yang lebih
hangat dan biaya hidup yang lebih rendah. Fechter menempatkan ekspatriat semacam ini
telah memperoleh profil yang relatif tinggi dalam imajinasi populer di Inggris, sebagian
hadir melalui beberapa serial di televisi, menyusul relokasi dan pemukiman luar negeri.
Seperti penampilan mereka dalam novel Peter Mayles, A Year in Provence, atau JG.
Ballard, Cocaine Nights, dan fitur berita lainnya, semisal tentang akses kesehatan bagi
warga yang lanjut usia di Spanyol.
Secara khusus, bertolak dari pengamatan di Indonesia, Fechter (2007:3) mulai
menemukan semacam kejelasan dari makna sebuah istilah ‘ekspatriat’. Ekspatriat dengan
berbagai hal yang disertai asosiasi mewah, secara lebih rinci membahas aspek bagaimana
warga Barat di Indonesia berhubungan dan berbicara tentang identifikasi mereka yang
asing vis-à-vis dengan orang Indonesia dan orang-orang di negara mereka. Berdasarkan
pada informannya di Indonesia, yang semuanya adalah orang Euro-Amerika, Fechter
menggambarkan bahwa diri mereka sebagai ekspatriat karena berada pada suatu
perusahaan berskala internasional, sehingga telah membuat seseorang menjadi ekspatriat.
Beberapa dari informannya tidak hanya menerima istilah ekspatriat, ‘but embraced it with
relish’. Ini adalah pengakuan mereka mengenai makna atas status pekerjaan, karena status
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
ini telah membuat mereka sampai pada batas tertentu yang membenarkan bahwa
keberadaan ekspatriat relatif mewah.
Keempat, Fechter (2007:3) mengemukakan bahwa pemberian label ‘ekspatriat’
juga telah menandakan mereka dalam mekanisme kapitalisme global, di mana mereka
tidak memiliki kontrol atas diri dan tidak dapat bertanggung-jawab atas kesenjangan yang
dihasilkan di dalam masyarakat. Dasar alasan ini diletakkan pada apa yang biasa disebut
‘hardship ideology’, yang juga menjadi dasar dalam suatu ‘paket ekspatriat’ karena
dikirim ke suatu negara yang “tidak nyaman”, sehingga menjadi wajar apabila
mendapatkan bayaran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara asal. Selain itu,
ideologi ini sering muncul berkaitan dengan konsep dari perusahaan ekspatriat, per
definisi, adalah mereka lebih terampil dan berkualitas untuk dipekerjakan daripada tenaga
kerja lokal, dan karena itu mereka layak digaji jauh lebih tinggi daripada penduduk
setempat. Bahkan ketika para perusahaan mereka memberikan pembenaran lebih lanjut
untuk suatu posisi istimewa ekspatriat dan persepsinya yang sering mendasar atas
perusahaan ekspatriat memiliki nilai yang tinggi.
Di samping itu, Fechter (2007:4) juga meninjau pemikiran Chambers (2005)
berkaitan pada fenomena ekspatriat yang mengacu sebagai ‘capital trap’, sehingga muncul
sinyal yang berjarak antara para profesional dengan masyarakat negara tempat mereka
bekerja. Meskipun terdapat beberapa kesamaan dengan ekspatriat perusahaan, akan tetapi
terdapat beberapa ekspatriat sebagai pekerja sosial yang enggan untuk merujuk diri
mereka sebagai ekspatriat. Hal ini disebabkan kecenderungan yang mengandung konotasi
negatif, seperti keserakahan, kebodohan, dan kurangnya minat pribadi untuk hidup
bersama masyarakat, hingga karakteristik mereka yang tidak ingin diidentifikasi. Hal ini
berkaitan dengan fakta bahwa terdapat para pekerja sosial yang masih cenderung untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
dapat mempertimbangkan misi dan motivasi mereka secara fundamental berbeda dengan
sektor korporasi, bahkan mereka lebih menekankan pada sisi humanistik dan bukan
berorientasi pada motif keuntungan.
Kelima, Fechter (2007:5) juga menyebutkan bahwa adanya kelompok lain yang
sebagian tumpang-tindih dengan para pekerja sosial, yaitu generasi muda yang belum
tentu berada di Jakarta karena dikirim melalui perusahaan, tetapi ada yang mengambil
pekerjaan atas inisiatif mereka sendiri. Ada kemungkinan mereka juga menerima gaji yang
kompetitif secara global dan memiliki gaya hidup yang nyaman, tapi tidak selalu
menggambarkan bahwa diri mereka dapat dan mau dikatakan sebagai ekspatriat. Fechter
menyarankan bahwa kelompok ini enggan untuk dihubungkan dengan para ekspatriat tua
dan budaya mereka, karena cenderung akan berkaitan dalam hal kelompok se-negaranya,
berorientasi hidup sosial, terlibat dalam organisasi masyarakat, dan pada umumnya dengan
apa yang mereka anggap sebagai sebuah gaya hidup kuno, yaitu, ekspatriat tradisional.
Bergeser pada suatu pandangan lain, Fechter (2007:5) mencoba melihat bagaimana
bentuk keprihatinan pengetahuan masyarakat Indonesia yang juga cenderung meremehkan
ekspatriat dengan menunjukkan keterlibatan ekspatriat yang tinggal di luar Jakarta,
semisal, pengusaha kecil, guru, seniman, dan mereka yang bekerja untuk sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Karena itu, Fechter melakukan kritik dengan menyampaikan
bahwa acapkali dalam pemahaman pribumi, istilah ekspatriat selalu diasosiasikan dengan
menunjukkan gaya hidup mewah, kurangnya memiliki kemampuan bahasa, arogansi,
kebodohan, dan mungkin sikap rasis.
Berbekal dengan beberapa definisi dan melihat kondisi realitas para ekspatriat
dalam perspektif transnasional di Indonesia, pada khususnya di Jakarta, akhirnya Fechter
mendapatkan beberapa temuan dan kesimpulan, diantaranya, pertama, kehadiran para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
ekspatriat bukanlah sebuah kelompok yang homogen (2007:15). Kedua, kehidupan para
ekspatriat berkaitan dengan sejarah, ras, kebangsaan, hingga gender (2007:34). Ketiga,
arus perpindahan global atau transnasionalisme yang dialami para ekspatriat dilingkupi
dengan hak-hak istimewa migrasi (2007:56). Keempat, ekspatriat perusahaan masih
dilingkupi oleh imajinasi kolonial (2007:80). Kelima, ekspatriat memproduksi identitas,
mengafirmasi, dan berkontestasi dalam kehidupan sosial (2007:100). Terakhir, Fechter
menolak mitos globalisasi mengenai identitas yang bersifat cair maupun yang dianggap
tidak ada lagi batasan dengan memperlihatkan kehidupan transnasional para ekspatriat
(2007:166). Dengan demikian, ekspatriat bukan lagi hanya sekedar pendefinisian semata,
melainkan terjadi suatu proses reproduksi wacana yang turut memapankan ekspatriat
sebagai suatu identitas.
B.2. Ekspatriat di Indonesia
Sebagaimana Loomba (2000:2) mengemukakan bahwa kolonialisme bukanlah
suatu proses identis dalam berbagai bagian dunia yang berbeda, tetapi di mana pun adanya
selalu terjadi hubungan-hubungan yang paling kompleks dan traumatik dalam sejarah
manusia antara penduduknya dengan para pendatang baru. Dalam hal ini, ekspatriat pun
merupakan pendatang baru di sebuah negara seperti Indonesia. Sebagai pendatang baru,
kehadiran para ekspatriat sudah tentu berhadapan dengan penduduk pribumi, sehingga
menghasilkan dinamika di dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan data mengenai Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)
yang diterbitkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi selama tahun 2013,
tercatat sebanyak 68.957 orang Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di Indonesia.25
Bahkan pada tahun 2013 sebuah survei dari lembaga perbankan seperti HSBC telah
25 Penjelasan diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Lihathttp://www.tribunnews.com/bisnis/2014/02/09/68957-ekspatriat-bekerja-indonesia-di-2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
menempatkan Indonesia di dalam daftar negara yang paling diminati oleh para ekspatriat,
dan berada di tempat paling atas untuk kriteria tempat dan peluang karir terbaik.26 Karena
itu, tidak mengherankan bahwa pada tahun 2014 jumlah ekspatriat di Indonesia masih
berjumlah 68.762 orang.27
Jumlah kehadiran para ekspatriat di Indonesia di atas telah menasbihkan sebuah era
kolonialisme modern. Kolonialisme modern tidak hanya mengambil upeti, harta benda,
dan kekayaan negara dari negara taklukannya, tetapi juga membangun kembali struktur
perekonomian mereka, menarik mereka ke dalam hubungan kompleks dengan negara-
negara induk, sehingga terjadi arus manusia dan sumber daya alam antara negara-negara
koloni dengan negara-negara kolonialnya (Loomba, 2000:3). Dengan demikian, kehadiran
para ekspatriat merupakan praktik atas arus manusia pada masa kolonialisme modern.
B.2.1. Perdebatan seputar ekspatriat
Ekspatriat telah menjadi fenomena budaya di tengah masyarakat kontemporer
Indonesia. Ekspatriat sebagai identitas para pendatang baru atau orang asing tampaknya
memang kurang begitu akrab di sebagian besar telinga masyarakat Indonesia. Namun
demikian, terdapat perdebatan yang cukup menarik untuk diikuti guna mengetahui
keberadaan para ekspatriat di Indonesia. Perdebatan mengenai kehidupan para ekspatriat
di Indonesia ini dipantik oleh dua Antropolog, yakni Anne-Meike Fechter dan Abdul
Kadir.
Hasil penelitian mengenai kehidupan ekspatriat di Indonesia yang disajikan oleh
Fechter dalam buku Transnational Live Expatriates in Indonesia, telah membuat seorang
Abdul Kadir tergugah untuk memberikan suatu tanggapan dalam sebuah artikel terkait
26 HSBC Expat Explorer Survey 2013. p. 8. (Expat Economic League Table; Household Income).27 http://ppid.depnakertrans.go.id/menaker-hanif-jumlah-tka-sebanyak-68-762-orang-pada-tahun-2014/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
masyarakat kulit putih di Indonesia.28 Kadir beranggapan bahwa buku tentang kehidupan
masyarakat kulit putih selama ini hanya diteliti oleh para sejarawan. Semenjak
dekolonisasi era Soekarno di tahun 1957, telah terjadi pengusiran orang kulit putih di
berbagai kota besar seperi Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Malang. Oleh
karena itu, karya penelitian Fechter telah mengundang rasa penasarannya untuk
mengetahui bagaimana masyarakat kulit putih saat ini dapat bertahan hidup di negara
tropis Indonesia, bahkan untuk melihat kembali hal yang membedakan kehidupan mereka
dengan masyarakat kulit putih di zaman kolonial.
Kadir pun mengkritisi bahwa buku tersebut turut menyajikan stereotipe tentang
orang Indonesia dari kacamata orang Barat yang selalu hampir sama dengan pandangan
yang dihasilkan Barat mengenai Indonesia. Kadir beranggapan bahwa kehadiran para
ekspatriat di Indonesia telah membantah pandangan globalisasi selama ini, di mana Arjun
Appadurai berargumen bahwa globalisasi telah membuat cairnya identitas. Baginya,
dengan adanya kehidupan transnasional telah membuat identitas pada batas-batas tertentu.
Identitas dari komunitas kulit putih yang mengaku paling kosmopolit dan internasional ini
justru telah menciptakan dan mempertegas batas-batas itu sendiri; batas antara orang kaya
dan miskin, antara mereka yang putih dan kulit gelap, dan antara yang ‘penjajah’ dan
‘terjajah’ tetap dipelihara, bahkan semakin dipertegas.
Atas adanya tanggapan yang diberikan oleh Kadir, Fechter selaku penyaji buku
pun terpancing untuk memberikan pandangannya dalam sebuah artikel bersambung –
menjadi dua bagian terpisah. Akan tetapi dalam artikel ini, pandangan yang diberikan
Fechter tidak terkait dengan ekspatriat di Jakarta. Dalam artikelnya tersebut, Fechter
28 Hatib Abdul Kadir, Menelisik Masyarakat Kulit Putih di Indonesia, sebuah review buku. Dapat dilihatpada laman berikut: http://etnohistori.org/menelisik-masyarakat-kulit-putih-di-indonesia-review-buku-transnational-lives-hatib-abdul-kadir.html (Diakses 07 April 2013)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
berupaya membahas tentang ekspatriat non-perusahaan yang hidup di Kota Yogyakarta.29
Fechter mengatakan bahwa banyak orang asing yang sebagian besar datang ke kota
Yogyakarta tidak dikirim oleh perusahaan, akan tetapi datang karena inisiatif sendiri.
Keputusan mereka untuk tinggal di Yogyakarta berbeda dengan para ekspatriat perusahaan
di Jakarta. Di Yogyakarta banyak ‘ekspatriat independen’ yang memiliki minat lebih
terhadap orang dan perusahaan dalam negeri. Mereka cukup mampu dalam memahami
budaya lokal dan berbahasa Indonesia, dan banyak yang bertekad untuk membangun
hubungan kerja yang erat dengan Indonesia, bahkan terkadang dengan tujuan untuk
menyatu bersama komunitas lokal. Dengan demikian, hal ini menjadi berbeda dengan para
ekspatriat di Jakarta yang seolah-olah tinggal dalam ‘gelembung’ dan menghindar dari
orang pribumi.
Pada artikel yang kedua, Fechter lebih berupaya untuk melihat perbedaan kondisi
ekspatriat di Yogyakarta dengan di Jakarta.30 Dibandingkan dengan ekspatriat di Jakarta,
bagi Fechter para ekspatriat di Yogyakarta kebanyakan tinggal dengan akomodasi yang
sederhana, meski lebih mahal dibandingkan rata-rata rumah-rumah orang Indonesia,
namun dinilai masih lebih murah dari akomodasi di negara asal mereka. Perbedaan lainnya
adalah ekspatriat yang berkeluarga, semisal rencana perjalanan, karena mereka sering
melakukan perjalanan bolak-balik antara Indonesia dengan negara asal dan juga lingkaran
sosial mereka. Oleh karena itu, mereka ditandai sebagai orang-orang yang selalu datang
dan pergi, karena mampu melakukan perjalanan ke Jakarta, Singapura atau ke negara asal
untuk alasan pekerjaan, sosial atau visa. Perbedaan ini terlihat jelas, namun mereka biasa
29 Anne-Meike Fechter, Etnografi Ekspatriat [Bule] di Yogyakarta Bagian 1. 25 April 2012. Dapat dilihatpada laman berikut: http://etnohistori.org/etnografi-ekspatriat-atau-bule-di-yogyakarta-bagian-1-oleh-anne-meike-fechter.html30 Anne-Meike Fechter, Etnografi Ekspatriat [Bule] di Yogyakarta Bagian 2. 27 April 2012. Dapat dilihatpada laman berikut: http://etnohistori.org/etnografi-ekspatriat-atau-bule-di-yogyakarta-bagian-2-oleh-anne-meike-fechter.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
tinggal dalam bentuk jangka waktu yang tidak lama, mereka pergi untuk sementara, tetapi
akan kembali demi mempertahankan kontak dengan mereka yang masih di sana. Menetap
di Yogyakarta biasanya dianggap sebagai pilihan sementara, yang mana dapat
dipertimbangkan kembali dan kemudian diubah lagi. Mengenai kontak awal mereka
dengan orang Indonesia, sebagian besar dari mereka datang untuk pertama kalinya sebagai
wisatawan atau untuk mengunjungi teman-teman. Seringkali mereka hanya kebetulan di
Indonesia untuk tujuan wisata. Bagaimanapun, Fechter beranggapan bahwa saat mereka
tinggal sementara waktu di Yogyakarta, terjadi pertemuan dengan beberapa orang asing,
dan setelah menyadari seperti apa kemungkinan tempat gaya dan hidup yang ditawarkan,
mereka dapat memutuskan untuk datang kembali.
Fechter melihat bahwa banyak posisi orang asing di Yogyakarta dapat
digambarkan ‘tinggal dalam waktu yang berselang’. Ini berarti bahwa mereka bukan
hanya bersandar pada kenyamanan, dan manfaat dari perbedaan atau dalam kekuasaan,
uang dan status yang ada di antara mereka sebagai warga negara-negara Barat dengan
Indonesia. Mereka tinggal dalam sebuah ‘selisih’ (gap) karena meraka tidak perlu
berintegrasi ke dalam komunitas lokal, sementara pada saat yang sama menjauhkan
mereka dari negara asal. ‘Gap’ menandakan keadaan kepemilikan nilai simbolis, serta
posisi material dan sosial yang memberikan mereka peningkatan peluang pribadi dengan
cara mengukir eksistensi mereka di Yogyakarta. Citra ‘gap’, bukan ‘gelembung’ juga
mengakui upaya mereka untuk terlibat dengan orang Indonesia. Sementara kekuatan
ekonomi mereka yang besar memungkinkan mereka untuk mempunyai kehidupan yang
relatif nyaman untuk tinggal di Yogyakarta. Selain itu, jarak sosial dan budaya juga
memberikan keuntungan yang mungkin tidak tersedia bagi mereka di negara asal mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Keuntungan tersebut muncul karena mereka adalah orang Barat yang berkulit
putih, dan dengan demikian seringkali dianggap unggul bagi orang Indonesia – sebuah
gagasan yang terkadang sama dimiliki oleh orang Barat dan orang Indonesia. Ide
superioritas didasarkan pada beberapa hal: lebih besar pada politik dan kekuasaan
ekonomi; kepemilikan sebagai negara-negara industri yang merupakan asal ‘teknologi
tinggi’, standar pendidikan yang tinggi, standar hidup yang tinggi; negara yang ditandai
dengan efisiensi, kerja keras dan keberhasilan. Hal ini menjadi alasan dasar bagi
munculnya kekaguman terhadap orang asing, hal ini yang menyebabkan pula mereka
mempunyai prestise tertentu dan mempunyai banyak perhatian yang lebih besar, sehingga
selalu mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Orang asing di Yogyakarta cenderung menganggap moral mereka sedikit lebih
tinggi jika dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta. Ekspatriat di Yogyakarta
cenderung sangat kuat menjaga jarak dan membedakan diri dari ekspatriat kaya di Jakarta.
Meskipun ekspatriat di Yogyakarta bangga berbeda dari ekspatriat perusahaan di Jakarta,
namun Fechter tetap menganggap bahwa sikap mereka juga agak ambigu. Orang asing di
Yogyakarta ketika melakukan kunjungan ke Jakarta secara simultan terpesona, ditolak,
dan sering tergoda oleh gaya hidup mewah yang menjadi penghibur rekan-rekan
perusahaan mereka di sana. Asumsi-asumsi mereka tentang posisi yang superior secara
moral lebih lanjut agak terganggu jika melihat relasi mereka dengan ‘budaya Indonesia’
yang sering dibedakan dari ekspatriat perusahaan di Jakarta.
Pada akhirnya Fechter mencoba untuk menjawab suatu pertanyaan mengenai
apakah orang asing Yogyakarta mampu menghindari ‘Hidup dalam gelembung’ seperti
ekspatriat di Jakarta? Fechter berpendapat bahwa gaya hidup mereka lebih cocok jika
diasosiasikan dengan ‘hidup dalam jarak’. Sesuai dengan motivasi mereka untuk tinggal,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
minat pribadi mereka dan kompetensi antar budaya sebagai orang asing di Yogyakarta.
Mereka tidak mengasingkan dirinya dan bergaya hidup eksklusif sebagaimana yang
dilakukan oleh ekspatriat di Jakarta. Meskipun kehidupan mereka tampak jauh lebih baik
terintegrasi dengan masyarakat lokal, keberadaan mereka yang nyaman mengandalkan
pada perbedaan dalam hal pendapatan dan status sosial antara diri mereka dan orang
Indonesia, hal ini sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang asing di Jakarta. Gaya
hidup orang asing di Yogyakarta, bagaimanapun, tidak menandai perbedaan yang
mencolok, serta mereka berusaha untuk memperbaikinya baik dengan cara yang substantif
maupun dengan cara membangun citra mereka.
Dari perdebatan di atas, dapat dilihat bahwa masih terdapat kesimpang-siuran
mengenai ekspatriat di Indonesia. Dengan menelisik masyarakat kulit putih di Indonesia,
Kadir beranggapan bahwa kehadiran ekspatriat saat ini memiliki asosiasi dengan latar
kolonial. Kadir menilai bahwa kehadiran ekspatriat di Indonesia pasca-kolonial memiliki
esensi yang masih sama dengan praktik kolonial, seperti penjagaan batas, baik secara fisik
maupun simbolik. Namun demikian, Fechter tidak serta merta untuk mengamini
pandangan yang telah diberikan oleh Kadir, namun sebaliknya ia mencoba untuk
memperlihatkan ekspatriat di luar Jakarta, yakni Yogyakarta. Dalam hal ini, penulis
beranggapan bahwa perdebatan yang terjadi antara Kadir dengan Fechter berujung pada
kebuntuan. Titik berangkat Kadir adalah mencoba untuk memberi resensi dan sedikit
memberi kritik atas karya penelitian Fechter yang telah dibukukan. Sementara itu, Fechter
memberikan tanggapan dengan beralih pada lokus yang berbeda, yakni ekspatriat di
Yogyakarta. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kehadiran para ekspatriat di Indonesia
perlu untuk digali lebih mendalam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
B.2.2. Media Ekspatriat; Majalah Jakarta Expat
Untuk pertama kalinya media ekspatriat berupa Majalah JE dijalankan oleh
Graham James dan Brian McGill sejak pertengahan tahun 2009.31 Tetapi dalam
perjalanannya Majalah JE tidak berjalan dengan mulus, sehingga pada tahun 2010 sempat
terhenti untuk sementara waktu dan diambil oleh Bartele Santema.32 Berbekal sebuah
tagline “Indonesia's Largest Expatriate Readership”, Majalah JE diproduksi dari, oleh,
dan untuk para ekspatriat dengan tujuan menyapa dan menjaring para ekspatriat di Jakarta.
Tidak puas hanya terbatas memproduksi sebuah majalah ekspatriat di Jakarta, pada
Juni 2012 manajemen yang sama pun berhasil menerbitkan Majalah Bali Expat (BE)
sebagai perpanjangan Majalah JE. Bali sengaja dipilih karena dirasa telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat, terutama terkait dengan kehadiran para ekspatriat di Bali
yang jumlahnya tidak sedikit – walaupun umumnya lebih didominasi oleh para wisatawan.
Meski demikian, setelah Majalah JE terbit sebanyak 110 edisi, dan Majalah BE sejumlah
39 edisi, pada Februari 2014 JE dan BE bergabung menjadi satu publikasi dwi-mingguan
bernama Majalah Indonesia Expat (IE). Majalah IE di upgrade guna didistribusikan ke
seluruh wilayah Indonesia.
Majalah IE terbit pertama kali dengan nomor edisi 111 untuk melanjutkan edisi
Majalah JE sebelumnya. Dengan tetap mencetak 15.000 eksemplar tiap dua minggu dan
30.000 eksemplar per bulannya, kini Majalah IE mulai tersebar dari Sumatera hingga ke
Papua. Khususnya, Majalah IE disebarluaskan di berbagai pulau di Indonesia, seperti
Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Majalah IE bukanlah
31 Graham James adalah seorang Australia. Pemilik Batavia Cafe di kawasan kota tua Jakarta. Batavia Caféadalah salah satu bangunan buatan Belanda pada tahun 1805 yang dibelinya pada tahun 1991.Ia juga pemiliklembaga Inggris Education Centre yang didirikan pada tahun 1972, Melbourne Institute of Business andTechnology. Sedangkan Brian McGill adalah penggagas sekaligus editor Jakarta Expat.32 Bartele Santema adalah seorang Belanda. Pemilik PT. Koleksi Klasik Indonesia, Bartele Gallery, beberapamedia seperti Newspaper Direct, Jakarta Expat, Bali Expat, Indonesia Expat, Golf Indonesia, dan jugapenulis buku ‘Bugil’ (Bule Gila).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
suatu publikasi baru, melainkan peluncuran kembali dan perubahan dari media yang sudah
ada dengan menawarkan sajian konten yang lebih beragam. Majalah IE hadir dengan nama
baru dan menampilkan sebuah nuansa baru.33
Tampaknya telah menjadi sebuah prestasi, dalam hitungan setengah dekade
Majalah JE telah berhasil bermetamorfosa menjadi Majalah IE. Majalah JE yang
merupakan embrio kini telah menjadi Majalah IE dan menjangkau para ekspatriat di
berbagai wilayah Indonesia. Dengan kata lain, majalah ini diproduksi dari Jakarta untuk
Indonesia, yang mana tujuan utamanya adalah para ekspatriat. Berikut ini adalah media
pack Majalah JE dan IE:
Media ekspatriat ini bernama JAKARTA EXPAT yang diterbitkan oleh PT.
Koleksi Klasik Indonesia sejak 29 Juli 2009. JE menyajikan media dengan berbahasa
Inggris dan disebarluaskan secara gratis sebanyak 15.000 eksemplar tiap dua minggu.
Dengan tampilan penuh warna diatas kertas AP 85 gr (glossypaper), JE pun mencetak
sebanyak 24 halaman pada tiap edisinya dan didistribusikan di kawasan Jakarta dan
sekitarnya.
JE menargetkan para pembacanya adalah penutur berbahasa Inggris yang bekerja
di Jakarta dan sekitarnya, dengan kebangsaan; Asia, Amerika, dan Eropa. Ekspatriat yang
ditujukan adalah mereka dengan latar belakang pekerjaan seperti, eksekutif, pemilik
bisnis, manajer, pengelola, seorang ahli, dan pelajar. Selain itu, JE mengangkat berbagai
topik atau konten dengan beragam bahasan, antara lain: Moment in History, Featured
Article, Meet the Expats, Feature Story, Expat Observations, Global Expatriat News,
Literature, Travel, Food & Drink, Lifestyle, Personal Tech and Apps, Properties, Light
33 Indonesia Expat 111th Edition, p.4.Written by Angela Richardson as Editor in Chief.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Entertainment, Clasifieds. Persebaran media JE terdapat di beberapa tempat, seperti yang
dapat dilihat di bawah ini:
Circulation based on number of venues 34
Category Venues Copies
Embassy 59 743
Organization 45 927
School/Courses 67 1627
Apartment 106 5.102
Public Spaces 220 4.281
Companies 143 1.958
Special Event/Marketing and Promotion 640 872
Grand Total 1280 15.000
Semenjak Majalah JE berubah menjadi IE, media ini lebih berupaya untuk
menyapa para ekspatriat di Indonesia secara luas. Namun, tidak banyak berbeda dengan
Majalah JE, IE tetap menjalankan misinya dari Jakarta di bawah naungan PT. Koleksi
Klasik Indonesia. Perbedaan yang terdapat pada Majalah IE hanya tipe kualitas cetak yang
berkurang, yaitu disajikan di atas kertas AP 70gr (glossy paper).
Namun demikian, Majalah IE menambahkan jumlah sajiannya sebanyak 32
halaman pada setiap edisinya dan memperluas area distribusi yang menjangkau berbagai
wilayah Indonesia, antara lain: Jakarta, Bali, Balikpapan, Bandung, Banjarmasin, Batam,
Bintan, Bogor, Gili Trawangan, Jogjakarta, Lombok, Palangka Raya, Samarinda, Soroako,
Surabaya, and Papua Barat. Dengan target pembaca yang masih sama dengan Majalah JE,
IE berupaya menjangkau pembaca dari berbagai negara dan bangsa; Indonesia, Amerika
Utara, Inggris, Australia, Selandia Baru, Eropa, Asia, Asia Tenggara, Afrika, Rusia, dan
34 Media Kit Jakarta Expat, Data as of: September 2012. p.3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Amerika Latin. Hal lain yang ditambah oleh IE adalah sajian topik, seperti, Business
Profile, Property Watch, dan Scams in the City.
Dalam hitungan tahun Majalah JE telah bertransformasi menjadi Majalah IE.
Dalam hal ini Majalah JE yang notabenenya adalah embrio sebuah media mengenai
ekspatriat menjadi perhatian penulis untuk menyelediki awal ketertarikan dan muatan
wacana yang tersajikan di dalamnya. Oleh karena itu, tanpa menghindari Majalah IE,
penulis lebih menekankan pembahasan mengenai ekspatriat dengan berangkat dari
Majalah JE.
C. Catatan Penutup
Kehadiran orang asing di Indonesia bukan lagi hanya dipandang sebagai sebuah
hubungan antar negara-bangsa, melainkan juga tercatat mempunyai beragam tujuan,
seperti perdagangan hingga perluasan kekuasaan yang menghasilkan penjajahan dan
berambisi pada tindakan penaklukan. Pada masa kolonial, kehadiran orang asing di
Indonesia, pada khususnya orang kulit putih telah mengkonstruksi identitas kedirian
mereka sehingga sangat berbeda dengan pribumi. Orang kulit putih menyandang identitas
mulai dari sebutan orang Eropa, Trekker, Blijvers, Kompeni, Londo ataupun Penjajah.
Kini, Indonesia di masa pasca-kolonial, kehadiran orang kulit putih acapkali
disebut sebagai bule, bahkan ada pula yang menolaknya dan berupaya merepresentasikan
diri mereka sebagai ekspatriat. Meskipun dalam definisinya ekspatriat tidak menjelaskan
dan menekankan pada suatu jenis ras tertentu secara khusus, namun pada kenyataan di
dalam masyarakat kontemporer saat ini, kehadiran para ekspatriat selalu cenderung
direpresentasikan oleh orang kulit putih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Selain itu, asosiasi mengenai sebutan bule sebagai ekspatriat lebih terbuka luas
karena dapat mengangkat prestise sebagai orang kulit putih di negara dunia ketiga seperti
Indonesia. Namun sebaliknya para ekspatriat lebih cenderung merasa enggan untuk
disebut sebagai bule karena kekhawatiran mereka yang diperlakukan secara tidak sopan
atau kasar maupun rasis. Bahkan, para ekspatriat pun tidak ingin hanya dianggap sebagai
seorang wisatawan yang sedang berlibur di Indonesia. Oleh karena itu, keinginan para
ekspatriat untuk tidak disamakan dengan bule merupakan sebuah penanda yang berarti
keinginan untuk tetap membedakan diri mereka, baik itu terhadap sesama orang asing
maupun pribumi.
Selanjutnya, setelah melihat bagaimana asal muasal media ekspatriat, maka pada
bab selanjutnya, Bab III, kita akan melihat bagaimana para ekspatriat dihadirkan dalam
Majalah JE. Karena Majalah JE bukan hanya diproduksi sebagai alat pemberi informasi
bagi para ekspatriat, namun juga dipergunakan sebagai ajang representasi diri ekspatriat.
Hal ini dapat dilihat dalam sajian rubrik Meet the Expats yang selalu dihadirkan dalam
Majalah JE pada setiap edisinya. Dengan demikian, kita dapat menelisik bagaimana proses
representasi diri ekspatriat melalui pembacaan kisah kehadiran para ekspatriat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
BAB III
EKSPATRIAT DI JAKARTA EXPAT
Pada bab ini, penulis bermaksud untuk menyajikan dan menarasikan beragam data,
dimulai dari kisah para ekspatriat hingga ke imaji dan teks yang memuat wacana kolonial
di dalam Majalah JE. Bahkan secara khusus, pada satu bab ini penulis akan menjawab satu
rumusan pertanyaan mengenai persoalan identitas dan representasi diri ekspatriat melalui
Majalah JE. Persoalan identitas dan representasi memang bukan perkara mudah. Stuart
Hall (1991:49) menjelaskan bahwa pada dasarnya suatu identitas selalu dinyatakan
sebagai bentuk representasi diri, bahkan ide atau gagasan tentang identitas merupakan
suatu hal yang kontradiktoris karena terdiri dari satu atau lebih wacana yang berproses
melewati atau membatasi yang lainnya. Oleh karena itu, untuk dapat lebih memahami
identitas ekspatriat sekaligus representasinya, pada bagian penulisan ini penulis akan
menyajikan beberapa teks mengenai kisah, pernyataan maupun pandangan yang
disampaikan oleh para orang asing seputar kedirian mereka, termasuk perihal keberadaan
mereka di Indonesia melalui sebuah media, yakni Majalah Jakarta Expat (JE). Hal ini
dikarenakan Majalah JE sebagai sebuah medium publik telah berlaku merepresentasikan
diri para orang asing, khususnya orang kulit putih sebagai ekspatriat, yang mana tersajikan
pada sebuah rubrik “Meet the Expats”.
A. Kisah Para Ekspatriat
Berdasarkan kisahnya, ada yang menjadi ekspatriat karena; berada di tengah
keluarga diplomat yang sering berpindah ke suatu negara, ajakan seorang rekan untuk
terlibat pada suatu peluang bisnis, pemberian tugas pekerjaan oleh perusahaan yang
notebenenya berskala internasional, aktifitas seniman yang memiliki kecenderungan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
melakukan perjalanan ke beberapa negara, mengajar di sekolah internasional, tertarik
untuk menetap pada suatu negara tertentu setelah melakukan perjalanan maupun liburan,
pernikahan, riset maupun penelitian. Selain itu, uniknya lagi, ada juga yang bertanya
kepada sang “adidaya pengetahuan” kontemporer, Google, untuk mencari “The cheapest
countries to holiday in for one year”, sehingga membawa seseorang tersebut ke negara
tertentu seperti Indonesia. Tanpa terkecuali, ada juga yang menganggap bahwa setelah
menjalani hidup lebih dari 40 negara, keberadaan dirinya di Indonesia sebagai sebuah
keniscayaan. Dengan demikian, terdapat beragam latar belakang yang turut mengkonstrusi
diri seseorang untuk dapat mendapatkan sebuah identitas hingga merepresentasikan diri
sebagai ekspatriat.
Dengan sebuah pertanyaan awal, seperti “Where do you come from?” dan
beberapa pertanyaan lanjutan lainnya, Majalah JE mulai menggali kisah kehidupan para
orang asing di Indonesia. Dan orang asing itu pun memberikan jawaban atas pertanyaaan
pemantik tersebut. Oleh karena itu, pada penulisan bab ini, penulis sengaja mengambil
beberapa cuplikan narasi seputar ekspatriat, yakni sebanyak dua puluh kisah ekspatriat,
yang kemudian dikelompokkan untuk dapat mengetahui dan mempetakan latar belakang
kehadiran mereka sebagai ekspatriat di Indonesia.
A.1. Keluarga Diplomat
Lahir di dalam sebuah keluarga diplomat tentunya telah membawa seseorang
mengunjungi banyak negara. Hal ini dikarenakan sang diplomat akan cenderung selalu
menyertakan atau membawa anggota keluarganya berpindah ke sebuah negara tempat ia
ditugaskan. Semisal, perjalanan yang dialami oleh Anna Feliciano dan Luke Rowe,
kehidupan keluarga mereka telah menjadi latar kehidupannya saat ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Anna Feliciano1 adalah seorang perempuan keturunan Australia dan Denmark
yang lahir di Canberra, Australia. Pertama kali ia datang ke Indonesia pada tahun 1975
karena mengikuti tugas sang ayah yang bekerja sebagai diplomat. Setelah menjalani
kehidupan di banyak negara, seperti di Rusia, Malaysia, Singapura, Australia, Ghana,
Filipina, Denmark, Singapura, Thailand, dan Amerika, ia pun datang kembali ke Indonesia
pada tahun 1991 untuk terlibat dalam sebuah konservasi satwa liar yang tetap dijalaninya
hingga saat ini. Oleh karena itu, ia merasa telah menjalani setengah hidupnya tinggal di
Indonesia, yakni sekitar 25 tahun. (JE edisi 63:10)
Selanjutnya, kisah sama juga dialami oleh Luke Rowe2, seorang Australia yang
lahir di Geneva, Swiss. Sebagai cucu dari seorang diplomat, sang kakek telah membawa
ayahnya berpindah ke banyak negara sehingga hal tersebut turut melibatkan dirinya
mengalami perjalanan ke berbagai negara. Ia datang ke Indonesia pertama kali pada tahun
1993 selama dua tahun. Kemudian ia memilih kembali ke Indonesia pada tahun 1997
karena melihat adanya suatu peluang pekerjaan di bidang niaga, khususnya real-estate. Ia
pun beranggapan bahwa properti Indonesia di masa depan akan mengalami peningkatan,
apalagi secara serempak perusahaan asing sedang melakukan ekspansi di Indonesia. Oleh
karena itu, ia masih merasa senang berada di Indonesia dan menikmati kelanjutan
1 “I am half Australian and half Danish. I’m officially an Australian, and I was born in Canberra. I believe Ifirst moved to Indonesia because my father was posted here as the Ambassador for Australia in 1975, thenmoved back to Indonesia with my husband and my four children in 1991 until now. So I think that makes atotal of 25 years… that’s half my life! …. Let’s start from the beginning. Born in Australia, moved to Russia,then to Malaysia, then Singapore then we moved back to Australia for a couple of years, until my father wasposted to Ghana. Following that we moved to Indonesia then to the Philippines where my father was postedas Ambassador. After that was Denmark. I moved back to the Philippines then moved to New York Citywhere I got married to my husband. Following that we moved to Singapore then Thailand then back toAmerica to a town called Darien, in Connecticut. Then back again to the Philippines. Lastly and finally backto Indonesia.”2 “I was born in Geneva, Switzerland. My grandfather was serving there as the Australian ambassador. Myfather was in Vietnam as a professional soldier. …. I first moved to Indonesia in 1993 until 1995. I chose tocome back to Indonesia in 1997. I have always specialized in commercial and residential real estate. …. Mylife is focused upon my family, specifically my wife and children. We continue to be happy here inIndonesia. …. .Thanks to my very challenging business life and being able to chase waves, I continue toenjoy living here in Jakarta. I have waited a long time for the Indonesian economy to build and grow in themanner that it is right now.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
hidupnya di Jakarta, terutama hal ini disebabkan telah menunggu lama untuk mendapatkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik seperti sekarang ini. (JE edisi 78:10)
Dari kedua kisah di atas, Anna Feliciano dan Luke Rowe, dapat dipahami bahwa
pengalaman pertama yang membawa mereka ke Indonesia adalah keluarga, yakni
keduanya sama-sama berada di dalam keluarga seorang diplomat. Oleh karena itu, mereka
telah mengalami perpindahan dari sebuah negara ke negara lainnya. Namun, perpindahan
yang dialami mereka tentu saja bukan sebatas pada perpindahan negara, melainkan telah
memberikan sentuhan bagi mereka, terutama dengan Indonesia. Hal ini dapat dicermati
ketika Anna Feliciano tergerak untuk terlibat dalam konservasi alam Indonesia, khususnya
Orang Utan, sedangkan Luke Rowe terlibat dalam perkembangan ekonomi dan bisnis
Indonesia, yakni di bidang niaga.
A.2. Bisnis
Di negara Dunia Ketiga seperti Indonesia, bisnis telah menjadi gravitasi bagi para
orang asing untuk turut serta dalam perkembangan suatu negara yang sedang hiruk pikuk
di alam pembangunan, atau dengan kata lain yakni modernisasi. Salah satunya adalah
Roberto Puccini3, seorang perancang mebel yang berasal dari Pisa, Perancis. Ia sengaja
memilih untuk pindah ke Asia, tepatnya pada 27 April 1994 mendarat di bandara Changi,
Singapura. Dalam kisahnya diceritakan bahwa sebelum pindah ke Indonesia ia telah
tinggal di Singapura selama 11 bulan sebagai perancang mebel dapur yang terbuat dari
3 “I’m from Pisa, you know of it? April 27th, 1994 I arrived in Changi Airport, Singapore. I was only going tostay for 11 months, but was so impressed with Singapore and decided to change my life. … When I wasliving in Singapore I had several rich customers from Indonesia who would always say, “Wow!” toeverything even though it was all artificial. I decided to come and see what Jakarta was like and boughtmyself a plane ticket. My friends all said, “It’s dangerous! Don’t go there!” but I didn’t listen. I visitedcompetitors and as it turned out, there were no Italian kitchen products here so I decided to set up shop. …It’s very hard to find people who really want to invest and develop, not just in furniture, but in the staff also.”(Cetak miring dari penulis)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
daur ulang kaca dan alumunium, memproduksinya di Italia dan menjualnya kepada para
konsumen di Asia.
Terkait dengan Indonesia, ia pun sengaja pindah ke Jakarta karena mendapatkan
pengalaman ketika menemui beberapa pelanggan kaya yang berasal dari Indonesia sering
berkata “Wow!”. Atas pengalaman ini, ia memberanikan diri untuk datang dan melihat
kondisi di Jakarta, serta mencoba untuk menemukan berbagai kompetitornya. Meskipun
teman-temannya berkata “It’s dangerous! Don’t go there”, namun ketika ia tiba di Jakarta
dan tidak menemukan produk furniture dapur ala Italia, akhirnya ia pun memberanikan
diri untuk mencoba membuka bisnis di Jakarta. Bahkan, ia pun menegaskan bahwa betapa
sulitnya menemukan orang yang sungguh-sungguh ingin berinvestasi, bukan hanya
mengenai mebel, melainkan juga pegawai. (JE edisi 52:8)
Pengalaman serupa juga dialami oleh Ian Smith4, seorang pria yang berasal dari
Sunderland, Inggris. Sejak pertengahan tahun 1994 Smith telah berada di Indonesia, dan
kini pun ia tengah bekerja sebagai salah satu direktur pada sebuah perusahaan
pengembangan permukiman. Bagi Smith, peluang bisnis telah membuat hidupnya berhasil
di Indonesia, sehingga ia pun tidak memiliki rencana untuk kembali ke Inggris dalam
jangka panjang, kecuali hanya untuk sekedar liburan. Terlebih karena Smith akan merasa
rindu dengan beragam hal seperti, kemacetan, banjir, golf, makanan, teman-teman dan
orang-orang sekitarnya. (JE edisi 57:8)
4 “From Sunderland in the North East of England. For a total of more than 16 years in 2 seperate periodssince mid-1994 until now. I’m a Chartered Surveyor and work in the real estate business. Like any real estatemarket, in the shorter term there will be ups and downs, but I believe over the longer term the trend will besteadily upwards. … I currently have no plans to return home to UK except for holiday. I’d miss the macet,the banjir, my friends, the golf, the food and the people although not necessarily in that order.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Hal sama juga dialami oleh Stephane Poggi5, seorang desainer muda berusia 34
tahun yang berasal dari Prancis. Pertama kali ia mendarat di Indonesia adalah pada tahun
2001. Awal mula kedatangan Poggi disebabkan oleh ajakan seorang teman yang
membutuhkan bantuannya untuk mengurus sebuah perusahan furniture yang khas
berdesain gaya Prancis. Sebagai lulusan interior design, akhirnya Poggi pun bekerja untuk
melakukan manajemen perusahaan temannya. Dan waktu yang berjalan cepat telah
membuat dirinya tidak merasa telah menghabiskan waktu selama tujuh tahun di Jakarta.
Dengan melihat peluang bisnis di Jakarta, kini Poggi pun memutuskan untuk fokus dan
membangun gerai design miliknya sendiri, Stephanoccelli Interior Design. Terkait dirinya
sebagai seorang designer interior, Poggi pun memiliki pandangan bahwa rumah kolonial
dan kuil tua China adalah sebuah bangunan atau ruang di Indonesia yang memiliki nilai
estetik, sehingga menjadi penting untuk dapat melihat dan mengerti bagaimana cara orang
hidup sebelum kehadiran manusia di masa kini. Bahkan, ia menganggap bahwa secara
kultural hal tersebut penting untuk mengerti masa lalu dan dapat digunakan untuk masa
depan. (JE edisi 66:10)
Dari ketiga kisah para pebisnis asing di atas, dapat dipahami bahwa kesemuanya
ingin mencoba meraih peruntungan di Indonesia. Namun, ada yang beberapa catatan yang
menarik untuk dicermati, semisal kisah Roberto Puccini ketika ia ingin berkunjung ke
Indonesia, yang mana beberapa temannnya berkata “It’s dangerous! Don’t go there!”.
Peringatan ini tentu saja bukan hanya sekedar sebuah peringatan, melainkan sebuah
pandangan dari mereka sebagai orang asing yang beranggapan bahwa Indonesia adalah
5 “I am French, 34 years old. I graduated from a French school and I am an interior designer. I landed inIndonesia in 2001. A friend of mine needed help to handle her furniture factory which was oriented in Frenchstyle design. After seven years of management, I decided to focus on my main activity and createdStephanoccelli Interior Design. I would say colonial houses or old authentic Chinese temples. To see andunderstand the way people lived before us is important. I think that culturally, it is important to understandthe past to be able to handle the future.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
sebuah negara yang berbahaya. Selain itu, Ian Smith juga memiliki pandangan mengenai
Indonesia, khususnya Jakarta, yang dianggap selalu mengalami macet dan banjir. Bahkan
Stephane Poggi, ketika ditanya mengenai salah satu bangunan estetik di Jakarta, ia pun
lebih memilih rumah kolonial dan kuil tua China daripada berbagai bangunan yang ada di
Jakarta. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Poggi cenderung menegasikan bangunan-
bangunan yang telah dibuat oleh orang Indonesia pasca-kolonial. Dengan kata lain,
bangunan yang dibuat orang Indonesia pasca-kolonial tidak mampu mengungguli nilai
estetik bangunan kolonial maupun kuil tua China.
A.3. Perusahaan
Dunia yang kini terhubung di bawah atap globalisasi tampaknya telah
memudahkan manusia untuk dapat berpindah dari satu negara ke negara yang lain.
Apalagi ketika sebuah perusahaan tempat seseorang bekerja mempunyai jaringan
internasional di berbagai negara belahan dunia. Hal ini yang terjadi pada Anna Rohm6
setelah tinggal hampir 6 tahun untuk bekerja di kawasan Timur Tengah, seperti, Uni
Emirat Arab, Mesir dan Yordania. Oleh karena itu, ia pun berkeinginan untuk mencoba
merasakan kehidupan di negara Asia lainnya. Dan Jakarta sebagai salah satu kota di Asia
yang memiliki ikatan dengan perusahaan tempat ia bekerja telah memudahkan dirinya
untuk datang ke ibukota Indonesia. (JE edisi 59:6)
Senada dengan pengalaman Mario Babin7, seorang CEO asal Kanada, yang bekerja
pada sebuah perusahaan di bidang pelayanan perpindahan dan kesehatan dengan jaringan
6 “I lived in the Middle East for almost 6 years in UAE, Egypt and Jordan. Having worked a good amount oftime in the Middle East I wanted to try out Asia. I came to Jakarta initially (besides the fact that it was Asia)because of the Mandarin Oriental Hotel chain.”7 “I’m originally from Montreal, Canada. I look after two companies; Global Assistance and Healthcare andGlobal Assistance Medical Centre. We have a network of correspondents around the world for emergencyassistance in 78 countries. I came here in 1995 for a year, and a year became a second year, and a second yearbecame a third year. …. I’ve been here for 16 years! Before Indonesia I was in Vietnam, Korea, Australia,China and Switzerland. …. Indonesia comes with the good and bad like every country. Everybody stresses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
korespodensi di 78 negara. Awal mula ia datang ke Indonesia pada tahun 1995 untuk
jangka waktu selama satu tahun, dan satu tahun menjadi tahun kedua, dan tahun kedua
menjadi tahun ketiga, hingga ia telah berada di Indonesia selama 16 tahun. Meskipun
sebelumnya ia pernah berada di Vietnam, Korea, Australia, China dan Swiss, namun
baginya Indonesia adalah sebuah negara yang menarik. Menurutnya, Indonesia sama
seperti setiap negara lainnya yang juga memiliki kebaikan dan keburukan. Di Jakarta, ia
melihat bahwa setiap orang mengalami stress karena kemacetan, akan tetapi jika dicermati
kembali dimana ia sedang berada, Jakarta merupakan sebuah tempat yang fantastik untuk
dijadikan sebagai tempat tinggal. Bahkan ia menyarankan bahwa hidup di Jakarta bisa
menjadi tempat yang indah dan sangat baik jika dapat belajar untuk mengelola stres. (JE
edisi 54:8)
Begitu pula dengan Jean-Baptiste Mounier8, seorang Prancis yang bekerja sebagai
seorang konsultan Informasi Teknologi (IT). Pekerjaan telah membawa dirinya ke
seberang lautan, yakni ke Indonesia. Dengan melihat kondisi Jakarta yang sangat padat, ia
pun beranggapan bahwa Jakarta membutuhkan hiburan, tempat bermain yang tidak berada
di ruang terbuka. Oleh karena itu, ia menciptakan sebuah permainan berbasis teknologi,
yang pada khususnya ditujukan untuk kalangan anak muda. Dalam hal ini, ia menyakini
bahwa tidak ada permainan di dalam ruang tertutup yang cukup untuk kalangan anak
muda di Jakarta. Bahkan, ia beranggapan bahwa orang Indonesia tidaklah gila untuk
melakukan aktifitas di luar ruangan. (JE edisi 51:8)
about traffic, but overall we have our ups and downs and if you look at where you are, it’s a fantastic place tolive. Life can be very good here if you learn to manage the stress. Once you manage the stress it’s a beautifulplace to be.”8 “I am come from France, Grenoble, near the Alps. I started in the overseas army by working at theEconomic Service of the French Embassy, in charge of the ITC market. For many years I was an ITConsultant. I am mainly involved in Web IT projects and more recently, we created Laser Game Indonesia!The idea came a long time ago because I like games and I was looking for this kind of entertainment not longafter I arrived in Jakarta. Of course, Jakarta needs entertainment, needs some playground, not much greenspace either… We believe that there are not enough indoor active games for the youngsters. What’s out thereare outdoor games and Indonesians are not too crazy on outdoor activities.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Dari ketiga kisah orang asing di atas, yang mana mereka bekerja pada perusahaan
berskala internasional dengan mudah dapat berpindah ke negara lain. Anna Rohm,
misalnya, memiliki keinginan untuk dapat merasakan bekerja dan tinggal di negara-negara
Asia lainnya seperti Indonesia. Begitu pula dengan Mario Babin yang tidak menduga
bahwa dirinya dapat tinggal di Indonesia bertahun-tahun. Bahkan Jean-Baptiste Mounier
yang terbawa hingga ke seberang lautan, dari Eropa ke Indonesia, hingga ia dapat
mewujudkan idenya untuk membuat sebuah permainan berbasis teknologi. Hal tersebut
didasarkan pada penilaiannya mengenai orang Indonesia yang membutuhkan sebuah
permainan di dalam ruangan.
A.4. Pengajar
Berkaitan dengan maraknya fenomena sekolah bertaraf internasional, pada
khususnya sekolah-sekolah yang ditujukan untuk anak-anak para ekspatriat, serta lembaga
pengajaran bahasa asing, seperti Bahasa Inggris, maka Native Teacher adalah salah satu
lowongan pekerjaan yang sangat banyak dicari di Indonesia pada saat ini, terutama di
Jakarta. Fenomena ini yang telah mendatangkan Catherine Parent9 untuk menetap di
Jakarta, yang mana sebelumnya ia tinggal di Lebanon dan Singapura. Bermula ia menjadi
seorang pengajar Bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus, dan pada saat ini ia telah
menjadi seorang pengajar di Jakarta International School. (JE edisi 56:8)
Pengalaman serupa juga terjadi pada Leonani dan Nani Nahooikaika10, dua
perempuan bersaudara dari Haleiwa, Hawai, yang datang ke Indonesia karena Nani
mendapatkan tawaran sebuah pekerjaan mengajar Hula. Dan kini keduanya bekerja
9 “I lived in Lebanon and Singapore and I also spent one year in Jakarta previously teaching English. … I amthe dance teacher and this is my fifth school year, so four years in total at JIS.”10 “We’re from Haleiwa. Nani was offered a job teaching hula in Indonesia. However, she refused to move toanother country alone, so she convinced me to move with her. We both teach hula at Hawaii A Club BaliResort in Anyer and are in charge of Hawaiian Activities at the Resort. We mainly teach hula to hotel staffand guests and are trying our best to bring the spirit of aloha from Hawaii to Indonesia. …. Life in Anyer isdifferent! Completely different from what life is like at home in Hawaii. Everything is very laid back.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
sebagai pengajar Hula di Hawaii A Club Bali Resort, Anyer, dan bertanggung jawab atas
berbagai aktifitas Hawaii di Resort. Pekerjaan utama mereka adalah mengajarkan hula
kepada staf hotel dan tamu, serta mencoba untuk membawa semangat aloha yang terbaik
dari Hawaii ke Indonesia. Bagi mereka, hidup di Anyer sepenuhnya berbeda dengan di
Hawaii, semuanya sangat bertolak belakang. (JE edisi 49:10)
Selain itu, ada juga Kristan Julius11, seorang Amerika yang telah tinggal di Jakarta
lebih dari 20 tahun. Sebagai seorang pengajar internasional, ia telah mengajar di beberapa
negara seperti Yugoslavia, Israel, dan Inggris. Baginya, setidaknya ada tiga hal yang
paling ia sukai tentang Jakarta. Pertama, mengenai orang Indonesia, karena menurutnya
tidak banyak orang yang bermurah hati di dunia ini sehingga ia banyak belajar tentang
bagaimana cara hidup dari orang-orang Indonesia. Kedua, kehidupan Jakarta dengan gaya
yang kacau, yaitu kehidupan malam sebagai kota pesta, yang mana komunitas ekspatriat
dan tuan rumah (orang Indonesia), keduanya saling tau bagaimana caranya membuat hal-
hal yang menyenangkan. Dan yang terakhir, tempat ia bekerja di Jakarta International
School (JIS), menjadi tempat yang sangat menakjubkan untuk bekerja dengan sesama
rekan dan orang muda. Meskipun ia sangat menyukai pekerjaan dan lingkungannya di
Jakarta, namun kenyataan tidak sesuai dengan harapannya untuk tetap tinggal di
Indonesia. Setetah 24 tahun mengajar di JIS, ia pun harus mengikuti sang suami yang
berpindah kerja ke Jerman sebagai seorang konsultan. (JE edisi 72:14)
11 “I’m originally from the United States, but I have been living and teaching internationally in formerYugoslavia, Israel, England and Indonesia for most of my adult life. … First would be the people- there areno more generous-hearted people in the world. I have learned so much about how to live a full life from youall. Second, Jakarta’s lively chaotic lifestyle-it’s a night city and a party town. Both the expatriate communityand our gracious hosts know how to have fun! And last but not least, Jakarta International School, it has beenthe most wonderful place to work with talented colleagues and the best young people imaginable. … I hadmy own “Graduation” party at EP with around 200 members of my Jakarta community last month. It waswonderful to see so many friends together in one place! After 24 years at JIS, my husband, Uwe, and I will beliving in Duesseldorf, Germany, where he has accepted a consultancy.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Dari ketiga pengajar ini dapat dipahami bahwa mereka memiliki kompetensi di
bidangnya masing-masing yang tidak dimiliki orang Indonesia. Karena itu, mereka
mendapatkan peluang untuk bekerja di Indonesia. Catherine Parent, misalnya, sebelumnya
ia pernah tinggal di Libanon dan Singapura hingga mendapatkan pekerjaan sebagai native
teacher di Jakarta dan menjadi seorang guru di JIS. Begitu pula pada Leonani dan Nani
yang berasal dari Hawaii untuk bekerja sebagai pengajar Hula di sebuah hotel kawasan
Anyer. Leonani dan Nani menjalankan pekerjaan mereka hingga ke Indonesia, baik untuk
sekedar hiburan maupun pertukaran budaya. Sementara itu, Kristan Julius yang telah
datang ke Indonesia sejak awal tahun 90an dan mengajar di sebuah sekolah bertaraf
internasional harus berhadapan dengan kenyataan yang mengharuskan dirinya pergi
meninggalkan Indonesia. Dalam hal ini, Kristan Julius sebagai seorang ekspatriat yang
telah lama tinggal di Indonesia juga belum dapat memastikan apakah ia dapat tinggal di
sebuah negara tertentu untuk selamanya atau hanya sementara.
A.5. Seniman
Seperti yang telah dipaparkan oleh Erik Cohen bahwa ekspatriat juga mencakup
para seniman, maka Laila Airlie Dempster12 adalah salah satunya. Tahun 1971 adalah awal
kedatangan dirinya ke Indonesia ketika menghadiri sebuah kongres Internasional gerakan
spiritual yang disebut Subud. Sebagai seorang seniman yang telah melanglang buana ke
banyak negara, ia merasa bahwa pekerjaan utamanya adalah mencakup seluruh dunia.
Dengan membuat karya lukis yang lebih dominan bertemakan tentang Indonesia, maka ia
pun mencoba untuk menyampaikan rasa cintanya kepada Indonesia, terutama terkait
12 “I came to Indonesia in 1971, to a big International congress of a world-wide spiritual movement calledSubud. … I have worked primarily as a portrait artist all over the world, though now, established since 1971in Jakarta, my work, aside from portraits also expresses my love for Indonesia, its people, traditions andlandscapes.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
dengan orang-orang Indonesia, tradisi suatu masyarakat, serta pemandangan alam yang
ada di Indonesia. (JE edisi 66:10)
Begitu pula dengan kisah seorang seniman Belanda, yaitu Gerard Mosterd13, yang
di dalam dirinya mengalir darah Jawa dari sang Ibu. Sebagai seorang koreografer yang
bergabung bersama kelompok ballet professional, ia telah menjadi seorang seniman yang
dapat berpergian ke berbagai negara. Di samping itu, ia pun mendirikan sebuah tempat
produksi bernama Kantor Pos yang ditujukan sebagai agensi pertukaran seniman di Asia
dan Eropa dengan menyelenggarakan suatu pertunjukan antar seniman. Baginya, nama
Kantor Pos sengaja dipilih untuk dapat mempersatukan Asia dan Eropa sebagaimana
dengan memperlihatkan pertukaran antara kedua benua, karena keduanya dinilai bagian
yang sama dari Eurasia, walaupun pada umumnya selalu dianggap sebagai dua identitas
yang berbeda. (JE edisi 70:14)
Berdasarkan kisah kedua seniman yang beraktifitas lintas negara di atas dapat
dikatakan bahwa mereka berupaya untuk sebuah pendokumentasian zaman, dan mencoba
untuk mempertemukan ragam karakter yang berbeda. Sebagaimana merujuk pada
pengertian seni, para seniman terus berupaya untuk menangkap situasi kondisi zaman
hingga menuangkannya ke dalam sebuah sajian karya. Dempster, misalnya, berupaya
memindahkan keindahan alam Indonesia ke atas kanvas. Sedangkan Mosterd mencoba
untuk menampilkan gerakan tubuh orang-orang Asia dan Eropa di atas sebuah panggung.
Bahkan upaya Mosterd tidak hanya berhenti sampai di situ, tetapi ia pun mencoba untuk
13 “I was born and raised in the Netherlands. My dad is a blond, my mum is black haired and almond eyedAsian, born in Medan within a mixed East Javanese family. … For eleven years I danced as a professionaldancer worldwide with ballet companies and felt the desire to create physical theatre productions myself. Istarted my production company about three years ago. Kantor Pos is an agency, exchanging Asian andEuropean performing arts. … The name is the Indonesian version of the Dutch word for post office, a placefor international exchange of information. The name unites Asia and Europe as well as expressing theexchange between both continents. Asia and Europe are part of the same Eurasian continent but commonlyregarded as two different identities.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
mempertemukan dua identitas yang berbeda, Asia dan Eropa. Dalam hal ini, ia menilai
bahwa di samping perbedaan fisik, terdapat kecenderungan untuk memadukan, atau dapat
dikatakan ingin menciptakan, suatu konsep maupun kondisi hibrid dan mimikri antara para
seniman Asia dan Eropa. Dengan kata lain, Gerard menyadari lebih dulu bahwa ia telah
mengalami hibriditas dalam kediriannya, yang mana dirinya terlahir dari pernikahan
seorang Belanda dengan perempuan Indonesia.
A.6. Liburan dan Petualangan
Sebagai tempat yang menarik di wilayah tropis, sudah tak terbantahkan lagi bahwa
Indonesia telah terbukti banyak menghadirkan para wisatawan dari berbagai mancanegara.
Cuny Schuurmans14 adalah seorang yang termasuk di dalamnya. Awal kedatangannya ke
Indonesia pada tahun 1987 adalah hanya untuk berlibur, hingga akhirnya ia merasa jatuh
cinta dengan Indonesia dan memutuskan untuk pindah secara permanen. Kemudian, ia pun
membuka usaha perjalanan, yang mana kebanyakan para pelanggannya adalah orang
asing, ekpatriat, dan berbagai perusahaan serta kedutaan. Meskipun telah cukup lama
menetap di Indonesia, namun hingga saat ini ia belum mengetahui apakah suatu saat nanti
akan kembali ke negara asalnya. Dalam hal ini ia merasa seperti telah kehilangan
‘sentuhan’ dengan negeri asalnya, yakni, Belanda, dan merasa bahwa Indonesia telah
menjadi rumah baginya.
Terkait perjalanan liburannya di Indonesia, Schuurmans menceritakan sebuah
kisah perjalanannya pada tahun 80an yang menempuh waktu 7 hari dengan menggunakan
14 “We came in 1987 for a holiday and we loved it so much so we decided, also due to family ties, to movehere permanently. ….Our clients are mostly foreigners, expats, both individuals and for companies. We alsoget many embassies booking through us. … Myself and my husband have done a lot of travelling, but wehaven’t yet visited Kalimantan. Once we took a 7-day trip by boat to Irian Jaya and spent a week there whichwas a great experience. You spend the first few days getting accustomed to how sparsely dressed everyone is!When we went there in the 80s, people had never seen a white person so they were so intrigued by us.Everyone would ask you for tobacco, not money. The women smoke and work and the men don’t seem to domuch at all! … We don’t know, although we don’t really feel at home in Holland anymore. We’ve lost touch.We definitely feel that home is here.” (Cetak miring dari penulis)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
perahu ke Irian Jaya dan menghabiskan waktu seminggu untuk berada di sana.
Selanjutnya, ia pun menceritakan bahwa pada hari-hari pertama di sana mencoba untuk
terbiasa dengan semua orang Irian yang jarang berpakaian. Di samping itu, orang-orang
Irian juga dideskripsikan begitu tertarik dengan kehadiran mereka karena tidak pernah
melihat orang kulit putih. Bahkan, diceritakan bahwa semua orang Irian lebih cenderung
akan meminta tembakau, bukan uang. (JE edisi 56:8)
Seirama dengan liburan, petualangan juga telah membawa Dave Metcalf15 ke
Indonesia. Sebagai seorang pengembara asal New Zealand, Metcalf telah mendatangi
lebih dari 28 negara di dunia. Tahun 2000 adalah waktu pertama kalinya ia tiba di
Indonesia karena ditempatkan di sebuah perusahaan. Namun, karena ia senang
berkecimpung di dunia petualangan dan fotografi, terutama ketika ia menyadari bahwa
Indonesia adalah salah satu negara di planet ini yang indah untuk dipotret, akhirnya ia rela
mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dan memutuskan untuk menjadi seorang
fotografer. Baginya tidak ada keindahan yang mampu menandingi Indonesia karena
terdapat keberagaman dari masyarakat, budaya, arsitektur, maupun pemandangan yang
luar biasa. Pengalamannya selama bertualang di Indonesia telah mendapatkan banyak hal
yang sangat menakjubkan, seperti keramah-tamahan hingga sikap saling menghormati dari
orang setempat. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa Indonesia adalah surga bagi
seorang fotografer yang menunggu untuk ditemukan. (JE edisi 74:10)
15 “I am originally from New Zealand. Thirty-three years ago I took my first overseas trip and I have neverstopped travelling ever since. The wanderlust has taken me to over 28 Countries and I have had someincredible experiences. …I first came to Indonesia in 2000 and moved here with my family in 2001. At thattime I was the Country Manager. I came up on an expat assignment. I became fed up with the corporateworld some time ago and had a plan to return to Indonesia one day and take up photography full time. Mytravel experiences while I lived here gave me an appreciation for Indonesia and its people, and a belief thatthis is one of the most photogenic countries on the planet. It has so much diversity from people, cultures,architecture, unusual landscapes, and people, who love having their photos taken. Wherever I have traveledin Indonesia I have experienced the most wonderful hospitality and respect, and yes, people generallyspeaking love to have their photo taken. … But for me, nothing rivals Indonesia. It is a photographer’sparadise waiting to be discovered, so please come join!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Dari kedua kisah di atas, Cuny Schuurmans dan Dave Metcalf, mereka dapat
dikatakan telah menambatkan hati di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara tropis
di dunia telah membuat mereka mendapatkan hal yang berbeda dibandingkan dengan
negara asalnya. Di Indonesia pula, mereka mendapatkan liburan dan petualangan yang
merubah jalan kehidupannya. Bahkan, Cunny Schuurmans telah memutuskan untuk
tinggal permanen di Indonesia, sedangkan Dave Metcalf masih ingin terus mengeksplorasi
Indonesia, yang dianggap sebagai surga dunia.
Berdasarkan kisah Schuurmans, berawal dari sebuah perjalanan liburan yang
membawanya ke Irian jaya telah meninggalkan bekas ingatan yang tidak terlupakan. Dari
paparan kisahnya, dapat dicermati bagaimana ia menceritakan pengalamannya sewaktu
berada di Irian Jaya; bertemu dengan suku yang jarang mengenakan pakaian, terlihat
penasaran dan tertarik dengan kehadiran mereka sebagai orang kulit putih, hingga
meminta tembakau kepada mereka, bukan uang. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa
Schuurmans menarasikan orang-orang Irian Jaya dengan menggunakan wacana kolonial.
Schuurmans menempatkan diri sebagai seorang yang modern, sedangkan orang Irian yang
jarang mengenakan pakaian ditempatkan sebagai yang terbelakang. Oleh karena itu,
pemposisian modern dan terbelakang adalah logika kolonial, yakni Barat (penjajah) adalah
bangsa modern, sedangkan Timur (terjajah) adalah bangsa yang terbelakang.
Begitu pula dengan Dave Metcalf yang tersihir atas eksotisme Indonesia.
Eksotisme yang dimiliki Indonesia bukan hanya terletak pada alam, melainkan pada
keragaman masyarakat, budaya, arsitektur, hingga pemandangan yang tidak biasa untuk
ditemukan dimanapun. Oleh karena itu, ia pun rela untuk meninggalkan pekerjaannya
sebagai seorang manajer. Bahkan ia dengan berani menyatakan bahwa Indonesia adalah
surga yang ditunggu untuk ditemukan oleh para fotografer. Dengan demikian, kedua kisah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
mereka, Schuurmans dan Metcalf, dapat dipahami sebagai kecenderungan orang asing
melihat Indonesia dari sisi binerisme dan eksotisme, yang mana hal tersebut merupakan
bagian dari karakteristik Timur dihadapan Barat.
A.7. Mencari Negara Baru (yang murah)
Tampaknya menjadi hal unik ketika ada seseorang mencari suatu negara yang
‘murah’ guna menjadi tempat persinggahan untuk jangka waktu sementara. Apalagi pada
akhirnya orang tersebut telah menetap dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan
belum memiliki rencana kepulangan ke negara asalnya. Hal itu yang telah dilakukan oleh
Robert McKinnon16, seorang pria Skotlandia yang mengalami permasalahan visa saat
berada di Australia hingga ia menemukan harga tiket yang termurah adalah ke Jakarta,
Indonesia. Meskipun pada awalnya ia tidak memiliki gambaran tentang negara Indonesia,
namun menjadi hal yang tidak terduga ketika menyadari bahwa dirinya telah berada di
Indonesia lebih dari 20 tahun. Menurutnya, sejak tahun 1998 Indonesia telah mengalami
perkembangan yang kuat dan sekarang menjadi tempat yang sangat baik untuk tinggal dan
bekerja, juga sebagai tempat yang aman untuk hidup. Oleh sebab itu, ia sudah membuat
rumah di Indonesia sehingga tidak berencana untuk pindah dari Indonesia. (JE edisi 60:6)
Kisah unik lainnya datang dari Tim Scott17, seorang Amerika yang datang ke
Indonesia berawal dari penelusurannya di Google untuk mencari negara yang termurah
16 “I had to leave Australia because of visa problems, honestly, and the cheapest ticket out was to Jakarta. Ihad no idea about the country. I have now been here 22 years. I have made my home here. … All countrieschange. Indonesia has grown stronger since 1998 and is now a very nice place to live and work. It is alsosafer place to live. Apart from the people, I’d say the diversity of the food.”17 “A Google search for “The cheapest countries to holiday in for one year” directed me to Asia, so I travelledthrough the Philippines, Thailand, Cambodia, Singapore and Indonesia. While visiting my good friend JamesSpeck in Singapore he turned me on to his friend across the street and she said she was going to have aposition open at the TV production company she works for in Jakarta. I sent a few emails, got an interviewand three months later I’m living in Kemang and overseeing the production of Indonesian Idol Season 6! …When I first arrived I was very surprised how well I could produce TV here without knowing the language.But understanding the culture is another thing! The biggest difficulty is the speed in which people work hereand the level of quality they will accept. You could say that the TV industry here is about 20 years behind theWest, so pushing for the ultimate best quality is very difficult and not something that the market is used to. I
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
sebagai tempat liburan untuk jangka waktu selama satu tahun. Karena itu, ia telah terbawa
ke Asia; mulai dari Filipina, Thailand, Kamboja, Singapura lalu sampai ke Indonesia.
Keberadaannya di Singapura adalah titik berangkat perjalanan hidupnya untuk berada di
Indonesia. Ketika ia mengunjungi teman baiknya, James Speck di Singapura, seorang
teman lainnya mengatakan bahwa terdapat lowongan pekerjaan di sebuah industri televisi
di Jakarta. Kemudian, ia pun mengirim beberapa surat elektronik hingga mendapatkan
sebuah panggilan wawancara. Dan tanpa diduga tiga bulan kemudian ia telah tinggal di
Kemang dan bekerja untuk mengatur produksi suatu program televisi.
Terkait pekerjaannya di industri televisi, Scott menceritakan bahwa ketika tiba
pertama kali ia sangat terkejut seberapa baik dapat menghasilkan sebuah program televisi
di Jakarta tanpa mengetahui bahasa. Akan tetapi, ia beranggapan lain bahwa kecepatan
adalah inti orang bekerja di Jakarta, sedangkan tingkat kualitas akan diterima begitu saja.
Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa industri televisi di Indonesia masih berada sekitar
dua puluh tahun di belakang Barat, sehingga untuk mendorong produksi dengan kualitas
terbaik adalah akhir yang sangat sulit dan bukan sesuatu yang dapat digunakan untuk
pasar.
Bagi Scott, hidup di Jakarta tidak pernah membosankan. Ia sangat menikmati
kehidupan dengan banyak orang, mall, maupun aktifitas malam, dan juga terkadang pergi
keluar kota, seperti Bali atau Bandung untuk beberapa kali dalam sebulan. Namun jika
sedang mengalami hari yang buruk dalam pekerjaannya, ia hanya akan pergi ke sebuah,
yakni kafe Eastern Promise di Kemang untuk sekadar melepaskan penat dan tertawa
dengan para ekspatriat lainnya. (JE edisi 79:10)
think I say, “This is good but it’s not good enough, it must be great!” five times a day. … Life in Jakarta isnever dull. I really enjoy the people, the malls and the nightlife but I need some blue sky and fresh air quiteoften. I try to sneak away to Bali or Bandung a couple times a month. If it’s an unusually bad day at workyou’ll find me at Eastern Promise in Kemang venting to the smirking, chuckling expats that have been heremuch longer than me.” (Cetak miring dari penulis)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Tanpa melalui perencanaan sebuah perjalanan, Robert McKinnon dan Tim Scott
akhirnya dapat tiba hingga bekerja di Jakarta, Indonesia. McKinnon, misalnya, dapat
dikatakan bahwa ia bertaruh nasib ketika memilih untuk memutuskan membeli tiket ke
Jakarta. Bahkan tanpa menduga, ia telah menghabiskan waktu selama 22 tahun hingga
telah membuat rumahnya sendiri. Begitu juga dengan yang dialami oleh Tim Scott,
penelusurannya di Google telah membawa dirinya dari benua Amerika hingga benua Asia.
Namun demikian, perpindahan Scott ke Indonesia tidak begitu saja melepaskan sisi
Amerika (Barat) di dalam dirinya. Hal ini terlihat dari pernyataan yang diberikan olehnya
ketika mengatakan bahwa industri televisi di Indonesia tertinggal 20 tahun dari Barat.
Bahkan, ia pun menegaskan bahwa kualitas terbaik dari sebuah produksi program televisi
adalah akhir. Dengan kata lain, ia beranggapan bahwa pasar di Indonesia lebih
mementingkan kuantitas daripada kualitas, sehingga menjadi wajar apabila orang-orang di
industri televisi, misalnya, bekerja dengan memakan waktu yang cukup banyak. Oleh
karena itu, representasi diri Scott sebagai ekspatriat yang merupakan bagian dari identitas
Barat mengandung wacana superior atau unggul dibandingkan dengan Timur seperti
Indonesia.
A.8. Keniscayaan
Siapa yang dapat mengetahui akhir dari perjalanan seseorang? Pertanyaan ini
kiranya yang melandasi kisah Dan Boylan18, seorang Amerika yang lahir di Boston. Ia
telah meninggalkan Boston di usia mudanya untuk bekerja dan tinggal di Hong Kong
18 “I was born in one of the most historic parts of the United States, the outskirts of Boston. I left Boston inmy 20s for Hong Kong and have worked, lived, and had some seriously close scrapes, in more than 40countries since. My trip has been fast and wild and I thank destiny I am still here. … I first visited in 1991when I was 20. As a journalist I covered 1998 and as a Fulbright Scholar I lived south of Blok M in 2001-2002. Those who love Jakarta love her because she is where genesis meets the apocalypse and it often feelslike Van Gogh has painted the street scenes that pass before me. Rumbling bajajs, old Javanese compassionin an Ibu’s eyes, saffron coloured water spraying from pipes as school children sing and the call to prayerwakes you long before sunrise. Jakarta is the biggest city in the tropics and one of the world’s greatest andshe has taught me so much over the years and I love her for her flaws as well as her beauty.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
selama beberapa waktu. Sebagai seorang jurnalis, pembuat film, dan pencipta puisi telah
membawanya menjalani lebih dari 40 negara dengan perjalanan waktu yang relatif
singkat. Pertama kali ia mengunjungi Jakarta adalah pada tahun 1991. Kedua kalinya
ketika ia bekerja sebagai jurnalis yang ditugaskan untuk meliput peristiwa 1998. Dan
ketiga, saat ia menerima beasiswa Fulbright pada tahun 2001. Oleh karena itu, ia merasa
bahwa keberadaannya di Indonesia adalah suatu keniscayaan.
Di samping itu, Boylan menganggap bahwa Jakarta merupakan sebuah kota
terbesar di wilayah tropis dan salah satu tempat terbaik di dunia, sehingga telah menjadi
inspirasinya. Ia pun mengatakan bahwa untuk mencintai Jakarta sama dengan seperti
mencintai seorang perempuan, karena awal mula pertemuan memberikan penyingkapkan
dan itu sering terasa seperti karya Van Gogh pada lukisan pemandangan jalan; kegaduhan
bajai, perasaan haru yang terlihat pada mata seorang perempuan tua, seruling pipa
berwarna kuning sebagai nyanyian anak sekolah, dan panggilan doa (Adzan Subuh) yang
membangunkan tidur sebelum matahari bersinar. (JE edisi 80:10)
Hal sama juga diamini oleh Warwick Purser19, seorang Australia yang kini telah
berstatus menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia. Ia telah mendapatkan Naturalisasi karena kontribusinya yang memperkenalkan
produk kerajinan lokal ke pangsa pasar Internasional, terlebih karena dirinya telah
menghabiskan waktu lebih dari empat puluh tahun tinggal di Indonesia. Berawal dari
19 “A one week honeymoon in Bali in 1969, aged 22. I was on my way to London to start work in a biginternational travel agency. The one week became two weeks, then three weeks because I kept delaying mydeparture. On the sixth week after totally falling in love with Indonesia I sent a message and advised thecompany in London I would not be taking up my new job. … To be honest in the beginning I recognized agood business opportunity as so little Indonesian craft product was finding its way to the internationalmarket. Out of Asia pioneered the large-scale export of Indonesian crafts and this found its way into some ofthe largest and most prestigious retailers in the world. Once I saw how the business so visibly changed thelives of the crafts people involved, and at times there were many thousands. … It was possibly the easiestdecision in my life because after forty years living here I had been “groomed” for it for a long time. I hadactually started the process to become an Indonesian citizen and had been warned it would take a long time. Iwas so lucky, when people at “the top” stepped in and the process was reduced to less than a month. I didn’task for special assistance and I was so honored when it was given.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
liburan bulan madu di Bali pada tahun 1969 telah membawa dirinya untuk pertama kali ke
Indonesia. Setelah berbulan madu, seharusnya ia melakukan perjalanan ke London untuk
mulai bekerja di sebuah biro perjalanan internasional. Namun waktu yang begitu cepat
berlalu, satu minggu menjadi dua minggu, lalu tiga minggu, dan ia pun selalu menunda
keberangkatannya, hingga minggu keenam dan setelah benar-benar merasa jatuh cinta
dengan Indonesia, pada akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan di
London. Selanjutnya, berdasarkan pengamatannya mengenai produk kerajinan Indonesia
yang masih sedikit menemukan jalan ke pasar internasional, maka ia pun mencoba sebuah
peluang untuk menjalankan bisnis eksportir di sekitar kawasan Asia Tenggara. Karena,
baginya perkembangan bisnis eksportir dapat mengubah kehidupan banyak orang yang
terlibat pada kerajinan tersebut. (JE edisi 84:10)
Poin menarik dari kisah Dan Boylan dan Warwick Purser adalah ketidak-terdugaan
mereka untuk tinggal di Indonesia. Awal kedatangan mereka di Indonesia sebelumnya
hanya sebuah persinggahan, namun seiring berjalannya waktu telah berubah menjadi
tempat mereka bernaung kehidupan. Bahkan, Warwick Purser pun telah mendapatkan
status kewarganegaraan Indonesia. Terkait hal ini, muncul satu pertanyaan tambahan
mengenai identitas ekspatriat. Apakah orang asing yang sudah mendapatkan naturalisasi
masih menyandang identitas sebagai ekspatriat? Pertanyaan ini akan penulis bahas dalam
analisis mengenai identitas dan representasi diri para ekspatriat di dalam Majalah JE.
B. Ekspatriat dalam Meet the Expats
Melalui sajian dalam rubrik Meet the Expats pada Majalah JE di atas kita telah
melihat latar belakang para pendatang atau orang asing melakukan sebuah upaya
representasi diri sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, Majalah JE telah berperan aktif dan
kreatif dalam menghadirkan hingga memaknai ekspatriat sebagai identitas orang asing
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
kulit putih di Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan mengenai identitas beserta
representasi ekspatriat ini penulis lakukan sebagai berikut:
B.1. Identitas Ekspatriat yang non-esensialis
Ekspatriat sebagai gagasan identitas senyatanya telah menjadi suatu hal yang
problematis dan memiliki beragam kompleksitas. Kompleksitas identitas ekspatriat dapat
dicermati dari berbagai proses wacana yang terkandung di dalamnya seperti yang termuat
di dalam Majalah JE. Melalui Majalah JE, identitas ekspatriat terkonstruksi dengan
menggunakan logika perbedaan terhadap sesama orang asing, sehingga terdapat proses
penginklusian dan pengeksklusian sesama orang asing maupun orang kulit putih yang
sedang berada di Indonesia.
Adanya proses penginklusian di dalam identitas eskpatriat ini tentunya menjadi
telah terkait dengan wacana ras. Wacana ras seakan menjadi senjata mutakhir untuk
mendapatkan legitimasi di dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk, dan
menegaskan bahwa mereka memiliki perbedaan yang cukup signifikan dari kebanyakan
orang lainnya. Meskipun ada yang dieksklusikan, namun pada kenyataannya terjadi
pembiasan identitas, semisal terhadap orang kulit putih yang acapkali disebut bule. Alih-
alih alasannya hanya lebih didasarkan pada asal dan rentan waktu keberadaan orang asing
yang sedang berada di luar negaranya, seperti di Indonesia.
Berdasarkan data yang terdapat di dalam Majalah JE, identitas ekspatriat seakan
telah menjadi milik kepunyaan orang kulit putih. Hal ini terlihat dari rubrik Meet the
Expats, yang mana kesemuanya adalah adalah orang kulit putih; Anna Feliciano, Luke
Rowe, Roberto Puccini, Ian Smith, Stephane Poggi, Anna Rohm, Mario Babin, Jean-
Baptiste Mounier, Catherine Parent, Leonani dan Nani Nahooikaika, Kristan Julius, Laila
Airlie Dempster, Gerard Mosterd, Cuny Schuurmans, Dave Metcalf, Robert McKinnon,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Tim Scott, Dan Boylan, dan Warwick Purser. Oleh karena itu, identitas ekspatriat
terkonstruksi atas dasar kehadiran orang kulit putih, khususnya mereka yang ingin
mendapatkan pandangan berbeda dengan orang asing lainnya. Bahkan mereka tidak
tanggung-tanggung merepresentasikan diri sebagai ekspatriat melalui sebuah media yang
hegemonik, sehingga berbeda dari orang asing (imigran) lainnya maupun orang kulit putih
kebanyakan (bule). Media ini tidak hanya berupa sebuah Majalah JE, akan tetapi juga
disebarluaskan di dunia maya melalui sebuah laman www.jakartaexpat.biz yang kini telah
bertransformasi menjadi www.indonesiaexpat.biz.
Pada perkembangannya, wacana identitas ekspatriat telah terbungkus dengan
berbagai wacana lainnya, semisal kisah atau latar belakang kehidupan para ekspatriat,
semisal, keluarga, bisnis, perusahaan, pengajar, seniman, liburan dan petualangan bahkan
hingga ada yang memaknainya sebagai sebuah keniscayaan. Padahal ekspatriat sebagai
identitas bukan merupakan suatu hal yang penuh dan selamanya utuh (fixity). Sebagai
identitas yang juga memasuki dalam lingkup tatanan global, ekspatriat juga dapat
dikatakan menjadi suatu proyek identitas untuk mempertahankan status diri mereka saat
sedang berada diluar negaranya. Hal ini lebih disebabkan pada zaman globalisasi seperti
saat ini, wacana identitas telah berkeliaran bebas kepada siapa saja yang bersedia dan
berkeinginan untuk menggunakan atau merepresentasikannya. Dalam lingkup global, tidak
tertutup kemungkinan juga bahwa identitas ekspatriat dapat menjadi suatu identitas
hegemoni, yang mana seseorang tidak menginginkan untuk kembali pada ikatan
primordial. Bahkan, ekspatriat sebagai sebuah wacana yang mengglobal terus melakukan
suatu upaya konstruksi guna memapankan identitasnya sebagai wujud jati diri. Oleh
karena itu, ekspatriat telah menjadi suatu identitas yang tidak terberikan begitu saja, tetapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
terkonstruksi atas keberadaan diri seseorang secara otonom maupun kelompok yang
sedang berada di luar negara atau tanah airnya.
Terkait mengenai identitas ekspatriat yang selalu berupaya melakukan konstruksi
secara terus menerus, dapat dipahami bahwa identitas tersebut bukanlah sesuatu yang telah
berakhir atau mencapai puncak ketetapannya, sehingga bukan menjadi hal yang mudah
untuk melakukan proses pelacakannya. Apalagi jika dikaitkan dengan beragam
pendefinisian tentang ekspatriat yang belum memiliki kepastian, terutama mengenai
karakteristik ekspatriat sebagai sebuah identitas yang bukan terberikan sejak manusia
lahir.
Merujuk kembali pada pembahasan di dalam Bab I, baik Fechter maupun Upton,
keduanya saling mendasarkan identitas ekspatriat kepada para respondennya masing-
masing. Selain itu, penelitian yang telah mereka lakukan juga telah memposisikan
identitas ekspatriat bagi orang asing kulit putih. Fechter (2007:3), misalnya, seluruh
respondennya adalah Euro-Amerika yang sedang berada di Indonesia. Sementara itu,
Upton (1998) lebih memfokuskan pada orang-orang Kanada yang tengah berada di Papua
Nugini. Dengan demikian, dari kedua penelitian Fechter dan Upton, identitas ekspatriat
muncul sebagai bentuk identitas para pendatang atau orang asing kulit putih di sebuah
negara tertentu.
Namun demikian, kemunculan pembedaan tersebut tentunya disebabkan karena
adanya mobilitas perpindahan manusia. Perpindahan manusia adalah salah satu unsur
utama yang membuat seseorang dapat menjadi ekspatriat. Perpindahan manusia ini telah
menciptakan suatu relasi wacana identitas yang membedakan antara pribumi dengan non-
pribumi. Pembedaan ini menjadi semakin terlihat jelas saat dimunculkan dalam bentuk
representasi, karena di dalamnya terdapat proses identifikasi. Artinya, terjadi suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
konstelasi identitas, dimana para pendatang ingin mempertahankan identitasnya agar tidak
hilang ketika berhadapan dengan masyarakat lokal.
Terjadinya konstruksi identitas ekspatriat dapat dipahami sebagai salah satu bentuk
upaya yang dapat menjanjikan ketetapan identitas bagi mereka sehingga telah
memunculkan batas spasial. Dalam hal ini, ekspatriat sebagai sebuah identitas telah
melakukan pembedaan sesama orang asing di Indonesia. Dengan demikian, konstruksi
suatu identitas tidak dapat terpisahkan dari proses identifikasi dan pembedaan.
Merujuk pada pandangan Stuart Hall (1996:1) yang telah mengajukan sebuah
pertanyaan untuk merefleksikan suatu identitas, yaitu Who needs ‘Identity’?, maka jika
dikaitkan dengan persoalan ekspatriat, pertanyaannya pun akan berubah menjadi, “Siapa
yang butuh identitas ekspatriat?”. Atas pertanyaan bernuansa esensialis ini, Hall juga
menyediakan dua cara untuk dapat menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Pertama,
mengamati sesuatu yang bercirikan khusus untuk membongkar konsep identitas yang
esensial dengan melakukan kritik dekonstruksi (1996:2). Dalam hal ini dapat dipahami
bahwa ekspatriat sebagai gagasan merupakan suatu identitas yang kembali dimunculkan
dalam dunia kontemporer. Ciri khas dari identitas ekspatriat ini adalah perpindahan negara
atau keluar dari tanah airnya. Oleh karena itu, identitas ekspatriat bukan sebuah konsep
identitas yang esensial.
Sebelumnya Fechter telah mengingatkan sebuah artikel lama milik Erik Cohen
(1977) yang memaparkan bahwa ekspatriat ditujukan bagi orang Barat yang telah tinggal
di luar negeri untuk jangka waktu panjang, terutama seniman, kolonial dan mereka yang
umumnya memiliki misi dari satu jenis atau lebih.20 Dari penjelasan ini dapat dipahami
bahwa konstruksi identitas ekspatriat bukanlah suatu hal yang baru terjadi pada era
20 Dalam Fecther, A. M. (2007). Transnational Live Ekspatriat in Indonesia. England: Ashgate. Hal. 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
kontemporer saat ini, apalagi ketika terkait dengan persoalan esensialis semata, melainkan
di dalamnya terdapat kandungan historis, yakni kolonialisme Barat. Sebagaimana Cohen
juga menekankan bahwa seorang ekspatriat memiliki keterkaitan erat dengan kolonialisme
Barat di negara-negara Asia di masa kolonial (1977:8). Oleh karena itu, peninjauan
kembali terhadap sejarah kolonial dan melihat kondisi kontemporer ekspatriat menjadi
kunci untuk memahami persamaan maupun perbedaan di masa kolonial hingga pasca-
kolonial.
Seiring laju globalisasi, fenomena ekspatriat pun semakin ramai dalam lingkup
masyarakat global. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sebuah lembaga perbankan
internasional seperti HSBC telah melakukan survei mengenai kehidupan ekspatriat sejak
beberapa tahun terakhir.21 Dalam pandangan lembaga ini, ekspatriat ditempatkan sebagai
salah satu identitas global terkait dengan keberadaan orang-orang yang sedang bekerja di
luar negaranya. Dengan demikian, suatu upaya untuk mendekonstruksi identitas ekspatriat
adalah mendasarkan kembali pengertian gagasan ekspatriat secara sadar dan mendasar,
yakni hanya sebatas pada identitas seseorang saat sedang berada di luar negara asal atau
tanah airnya.
Merujuk kembali kepada pengertian etimologinya, ekspatriat yang berasal dari
bahasa Latin; ex yang berarti keluar, dan patria yang berarti tanah air, maka dapat
dipahami bahwa patria di sini menjadi penanda bagi bangsa-bangsa yang menganggap
tanah airnya sebagai fatherland. Bahkan, Merriam Webster pun memberikan penjelasan
mengenai kata dasar ekspatriat, yakni, patria, yang dalam etimologi bahasa Spanyol
memiliki makna “patria from feminine of patrius of a father, from patr-, pater father”,
21 Dapat dilihat pada laman https://www.expatexplorer.hsbc.com
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
dan pertama kali diketahui penggunaannya pada tahun 1768.22 Oleh karena itu, penulis
menganggap bahwa penggunaan identitas ekspatriat hanya menjadi berlaku bagi bangsa-
bangsa, pada khususnya kalangan Barat, yang menganggap tanah airnya sebagai
fatherland, atau dengan kata lain berpaham patriarki. Hal ini yang menjadi pembedaan
dengan bangsa-bangsa Timur, seperti Asia, termasuk Indonesia yang menganggap tanah
airnya sebagai ‘Ibu Pertiwi’, atau dalam istilah lainnya disebut sebagai motherland.
Kedua, jenis jawaban tentang siapa yang membutuhkan identitas ekspatriat ini
mengharuskan kita untuk mengetahui dari mana konsep identitas muncul? Stuart Hall
memberikan sebuah cara untuk menemukan jawaban, yakni meletakkannya pada
sentralitas untuk kembali mempertanyakan agensi dan politik. Politik, bagi Hall, dimaknai
sebagai gerakan dari penanda identitas yang menghubungkan sebuah lokasi politik,
sedangkan agensi adalah perantara untuk memberikan pengertian kepada subjek atau
identitas sebagai gagasan dari praktik sosial, atau untuk mengembalikan sebuah
pendekatan yang historis (1996:2). Dalam hal ini, para ekspatriat mencoba untuk
meletakkan identitas diri mereka pada persoalan lokasi, yakni ketika mereka sedang
berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu, negara atau tanah air (patria) telah
menjadi penanda utama bagi identitas seorang ekspatriat. Namun tidak hanya berhenti
pada persoalan identitas saja, tetapi terdapat agensi yang berperan untuk memberikan
hingga menyerbaluaskan gagasan mengenai identitas ekspatriat ke dalam lingkup sosial.
Dalam persoalan ekspatriat ini, agensi yang dimaksudkan adalah Majalah JE yang telah
memproduksi sebuah media dan menjadi perantara untuk memberikan pengertian sebuah
identitas ekspatriat, baik itu berupa majalah maupun yang termuat pada semua laman di
22 Dapat dilihat pada laman http://www.merriam-webster.com/dictionary/expatriateBandingkan dengan penjelasan mengenai patria dalam http://en.wiktionary.org/wiki/patria
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
internet. Dengan demikian, pertautan antara politik dan agensi acapkali melingkari
konstruksi identitas ekspatriat.
Sebagaimana ekspatriat yang juga dibubuhi oleh politik wacana, seperti gerakan
perpindahan manusia yang berada di dalam lingkup kapitalisme global, maka identitas
ekspatriat dikonstruksi dengan membuat sebuah ruang yang membedakan dengan banyak
orang asing lainnya. Sementara itu, menurut Fechter, pemberian label kepada seseorang
sebagai ekspatriat telah menandakan melekatnya mereka di dalam mekanisme kapitalisme
global (2007:3). Artinya, seseorang yang bekerja pada sebuah perusahan berskala
internasional (multinasional corporation) adalah agensi utama dalam memberikan
identitas seseorang sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, perusahan multinasional ini telah
membuka kran perpindahan manusia dari negara asal atau tanah airnya, seperti yang
dialami oleh beberapa ekspatriat yang termuat di dalam Majalah JE; Ian Smith, Anna
Rohm, Mario Babin, dan Dave Metcalf. Alhasil, suatu perusahan multinasional telah turut
andil menciptakan dan menandakan seseorang sebagai ekspatriat.
Di Indonesia, misalnya, dapat diketahui bahwa kehadiran orang asing bukan hanya
terdiri dari orang kulit putih saja, melainkan juga terdapat orang-orang dari Asia maupun
Afrika yang bukan putih. Selain itu, orang kulit putih itu sendiri pun terbagi dalam
beberapa bagian, seperti wisatawan, pelajar, pejabat negara, maupun para pekerja sosial
yang memang sering berpindah ke berbagai negara. Namun demikian, pada praktiknya
para ekspatriat di Indonesia, khususnya dilihat melalui Majalah JE, telah direpresentasikan
oleh orang kulit putih, baik itu berlabelkan yang ahli, para pebisnis, atau siapapun mereka
yang memiliki keterkaitan dengan kapitalistik.
Berdasarkan pada data yang telah tersajikan, kita telah mengetahui bahwa latar
belakang kisah kehidupan para ekspatriat adalah karena adanya perpindahan negara;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
berasal dari berbagai negara, seperti Amerika, Australia, Prancis, Inggris, Kanada, Hawaii,
Belanda, Selandia Baru, Skotlandia, yang kesemuanya masuk dalam kategori kalangan
Barat. Di samping itu, perjalanan ke berbagai negara yang telah dilalui oleh para ekspatriat
pun jumlahnya tidak sedikit, seperti yang dialami oleh Dan Boylan telah mengunjungi
sedikitnya 40 negara, Dave Metcalf yang telah berpergian tidak kurang dari 25 negara,
maupun Anna Feliciano melebih 10 negara. Dengan demikian, secara sederhana, sekaligus
untuk menjawab sebuah pertanyaan esensialis, siapa yang membutuhkan identitas
ekspatriat, mereka adalah yang sedang berada di luar tanah airnya, terutama untuk
mempertahankan identitas primordial mereka yang tengah terancam bahkan tercerabut
ketika berada di lingkungan yang sangat berbeda seperti di Indonesia. Dengan kata lain,
Hall menjelaskan persoalan ini sebagai bentuk keberadaan identitas kultural yang bukan
pada persoalan esensial, melainkan terkait pada sebuah posisi (1990:226).
Posisi identitas ekspatriat di Indonesia ini yang kemudian menjadi persoalan.
Persoalannya tidak lain adalah mengenai status para ekspatriat dihadapan masyarakat lokal
atau pribumi. Para ekspatriat sebagai orang asing kulit putih menciptakan gelembung
Barat sebagai batas spasial (Fechter, 2007), dan menginginkan bentuk relasi sesama
ekspatriat untuk dapat saling menghubungkan dan menjaring berbagai kepentingan, seperti
peluang ekonomi, politik, sosial, budaya, serta menciptakan ketetapan identitas dan posisi
mereka sebagai ekspatriat dihadapan yang lain – orang diluar diri mereka, seperti orang
asing lainnya yang ada di Indonesia maupun masyarakat pribumi. Oleh karena itu, lewat
Majalah JE para ekspatriat bukan hanya berupaya untuk mengkonstruksi maupun
merepresentasikan diri ke atas mimbar media, melainkan juga menyebarluaskan gagasan
dan wacana seputar ekspatriat, baik dalam skala lokal maupun global.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
B.2. Representasi Diri Ekspatriat
Setelah membahas persoalan mengenai identitas ekspatriat, maka langkah
berikutnya yang akan penulis lakukan adalah menguraikan proses representasi diri
ekspatriat di dalam Majalah JE. Di dalam dunia kontemporer seperti saat ini, Majalah JE
dapat dipahami sebagai perangkat yang berperan dalam memberikan beragam wacana
tanpa henti kepada para pembacanya, yang tidak lain adalah ekspatriat itu sendiri. Dengan
kata lain, Majalah JE telah menjadi sebuah ruang bagi para orang kulit putih untuk
merefleksikan dirinya sendiri atas representasi diri para ekspatriat yang tersajikan melalui
suatu media.
Di dalam pemahaman Kajian Budaya, media pun memiliki makna sebagai salah
satu unsur yang turut serta dapat mempengaruhi dan membentuk subjek. Media telah
menjadi suatu wahana untuk dapat mengartikulasikan dan merepresentasikan sebuah
identitas kolektif. Oleh karena itu, dengan menyediakan beragam isi atau substansi di
dalamnya, media tidak kalah pentingnya dalam ikut berperan sebagai pembawa pelbagai
gagasan melalui imaji dan teks serta ideologi yang disuguhkan kepada para pembaca
Majalah JE, yaitu para ekspatriat.
Dengan sebuah tagline yang cukup sederhana, “Indonesia’s Largest Expatriate
Readership”, Majalah JE terus berupaya untuk menyapa dan menjaring para ekspatriat di
Jakarta, dan Indonesia pada umumnya. Sementara itu, pembaca Majalah JE akan
dihadapkan pada sebuah situasi negosiasi yang menjadi penentuan mengenai identitas
dirinya saat sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Hal ini terutama terkait dengan
seseorang yang sering berpindah negara, yang mana dirinya akan cenderung mengalami
‘kesadaran mendadak’ atas perubahan identitasnya ketika berhadapan dengan yang lain
(pribumi-non-pribumi atau native-foreigner). Oleh karena itu, melalui Majalah JE yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
diperuntukkan bagi para ekspatriat, maka dapat dipahami bahwa media dapat menjadi
peredam kegalauan identitas seseorang yang sedang berada di luar negaranya.
Pada ranah praktis, tidak adanya media khusus ekspatriat yang cukup kuat dan
berperan selain Majalah JE juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-
kategori identitas orang asing. Apakah memang tidak ada kekuatan dominan selain
Majalah JE untuk para ekspatriat di Indonesia? Sebelumnya di wilayah Jogjakarta pernah
terbit media yang serupa, yaitu Jogjamag,23 dengan tagline “for tourists and expats”.
Namun kurang dari setahun media Jogjamag merubah target pembacanya yakni hanya
para turis, dan tagline-nya pun berganti menjadi “your guide to discovering Yogyakarta”.
Oleh karena itu, adanya Majalah JE yang kini telah bertransformasi menjadi Majalah
Indonesia Expat (IE) merupakan satu-satunya media sebagai medium bagi para ekspatriat
di hampir seluruh seantaro Indonesia.
Mengenai representasi diri ekspatriat melalui media, penulis ingin memulai dengan
memperlihatkan bahwa Majalah JE telah memainkan perannya sebagai sebuah ruang
representasi identitas eskpatriat. Pada setiap edisinya yang tertuang di dalam rubrik Meet
the Expats, Majalah JE selalu menyajikan sosok seorang ekspatriat dengan mengulas
berbagai latar belakang kehidupannya. Rubrik Meet the Expats ini dimulai dengan
mengungkapkan asal negara, bagaimana kisah mereka sampai tiba di Indonesia,
membahas seputar aktifitas keseharian atau pekerjaan, hingga merujuk pada pandangan
atau kesan selama mereka berada di Indonesia.
Pada dasarnya, orang asing tidak melulu – secara langsung dan terbuka –
merepresentasikan dirinya sebagai ekspatriat di dalam masyarakat. Namun demikian,
dengan adanya suatu media, seseorang telah mendapatkan sebuah ruang untuk dapat
23 Dapat dilihat pada laman http://www.jogjamag.com
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, meminjam kerangka pikir
McLuhan (1999), the medium is the message, maka dapat dipahami bahwa Majalah JE
berupaya untuk menyampaikan pesan dengan merepresentasikan orang asing kulit putih
yang termuat di dalam rubrik “Meet the Expats” sebagai ekspatriat. Alih-alih, Majalah JE
telah memberikan pesan kepada para pembacanya tentang siapa dan bagaimana latar
kehidupan seorang ekspatriat di Indonesia.
Berangkat dari pemahaman bahwa Majalah JE telah menjadi suatu ruang bagi
representasi para ekspatriat, maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai proses
produksi budaya. Menurut Stuart Hall (1997:15) representasi menjadi penting karena
terkait ‘cultural circuit’, dan menegaskan bahwa representasi telah menghubungkan
makna dan bahasa bagi budaya, bahkan representasi dengan dua sistemnya membentuk
sebuah diskursus bagi banyak orang. Hal ini dapat terlihat pada Majalah JE yang telah
menjalankan dua fungsi sistem representasi. Pertama, Majalah JE sebagai pemberi makna
identitas, yakni menekankan pada asal muasal seorang ekspatriat. Sebagaimana yang
dilakukan Majalah JE sebagai berikut:
Where do you come from?I am half Australian and half Danish. I’m officially an Australian, and I was born inCanberra. (Anne Feliciano, JE edisi 63:10)Where are you originally from?From Sunderland in the North East of England (Ian Smith, JE edisi 57:8)Where are you from?I’m originally from Montreal. (Mario Babin, JE edisi 54:8)Where are you from?I am come from France, Grenoble, near the Alps. (Mounier, JE edisi 51:8)Let’s start with the basics, where are you from?I’m originally from the United States (Kristan Julius, JE edisi 72:14)
Dari pertanyaan dan jawaban di atas dapat dicermati bahwa asal negara menjadi
sebuah langkah awal untuk dapat merepresentasikan diri orang asing sebagai ekspatriat.
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada awal bab ini, mengenai kisah para ekspatriat,
para ekspatriat cenderung akan mendapatkan pertanyaan pembuka mengenai asal negara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
mereka masing-masing dari pihak Majalah JE. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
pemberi makna identitas seseorang untuk dapat menyandang diri sebagai ekspatriat adalah
mereka yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya.
Di samping itu, pemilihan suatu kata tertentu telah merelativasi kepastian identitas
berdasarkan asal usul kewarganegaraan. Hal ini dapat dicermati dalam pemilihan kata
yang merumuskan sebuah pertanyaan, “where are you come from?”. Kata “where” di sini
telah mengarahkan pada asal muasal seseorang, sehingga jawaban yang tersirat maupun
yang tersurat dari pertanyaan tersebut adalah kata“originally”. Kata “originally” ini
menjadi asosiasi dari sebuah rumusan pertanyaan yang diajukan oleh pihak Majalah JE
kepada setiap ekspatriat. Jadi, dalam rubrik Meet the Expats ini, Majalah JE berupaya
untuk merepresentasikan ekspatriat, berawal dari asal wilayah atau kota hingga status
kewarganegaraan.
Kedua, Majalah JE telah merepresentasikan diri para ekspatriat, baik sebagai
konsep maupun bahasa mengenai seorang yang telah menjadi ekspatriat saat berada di luar
negara atau tanah airnya. Konsep mengenai ekspatriat bukan hanya terbatas pada
kepergian seseorang dari negara asalnya, melainkan juga terletak pada rentan waktu
keberadaan di sebuah negara. Sebagaimana yang dilakukan oleh Majalah JE untuk
melakukan penyelidikan atas keberadaan para ekspatriat di Indonesia:
How long have you lived in Indonesia?a total of 25 years… that’s half my life! (Anne Feliciano, JE edisi 63:10)How long have you been in Indonesia?For a total of more than 16 years in 2 seperate periods since mid-1994 untilnow. (Ian Smith, JE edisi 57:8)How long have you been a resident of Jakarta?24 wonderful years! (Kristan Julius, JE edisi 72:14)How long have you been in Indonesia?I came here in 1995…. I’ve been here for 16 years! (Babin, JE edisi 54:8)How long have you been living in Indonesia?15 years now. (Cuny Schuurmans, JE edisi 56:8)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Dari pertanyaan dan jawaban yang tertera di atas, dapat dicermati bahwa terdapat
persoalan rentan waktu yang bermaksud untuk direpresentasikan. Perihal rentan waktu
keberadaan para ekspatriat ini dapat dipahami bukan hanya sebatas angka, melainkan lebih
sebagai sebuah bahasa yang menandakan bahwa mereka telah cukup lama pergi dari
negara atau tanah air mereka masing-masing. Pengajuan pertanyaan “How long ….. ?”
menjadi sebuah penanda waktu bagi identitas ekspatriat. Selain itu, lokasi keberadaan para
ekspatriat juga menjadi petanda diri mereka, seperti di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Oleh karena itu, rentan waktu dan keberadaan mereka di sebuah negara tertentu telah
menjadi sebuah diskursus.
Di samping itu, representasi diri ekspatriat juga dapat dicermati sebagai sebuah
tanda yang membedakan dengan orang asing lainnya. Ekspatriat sebagai tanda,
sekaligus bahasa, dikodifikasi dan diartikulasikan melalui sebuah Majalah JE dengan
cara merepresentasikan diri orang asing. Terutama, makna yang dikonstruksikan atas
upaya representasi ekspatriat ini adalah terkait dengan keberadaan orang kulit putih.
Hal ini dengan jelas dapat terlihat dari dua puluh sampel yang diambil dari Majalah JE
pada rubrik Meet the Expats, yang mana kesemuanya adalah orang kulit putih. Oleh
karena itu, dengan menggunakan sebuah pendekatan konstruktivis, Majalah JE telah
menghadirkan kembali (to represent) suatu pemaknaan mengenai orang asing yang
sedang berada di luar negaranya, terutama mengenai ekspatriat sebagai representasi diri
orang kulit putih sehingga berbeda dengan keberadaan para orang asing lainnya.
Terkait Majalah JE, kontestasi media selalu memiliki keterkaitan dengan wacana
(discourse) dalam menggunakan bahasa (language) sehingga dapat menghasilkan suatu
pemaknaan. Bagi Hall (1992:64), media bukan hanya direproduksi atas suatu realitas,
melainkan berupaya untuk mendefinisikan sesuatu makna, bahkan definisi atas realitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
dipertahankan dan diproduksi melalui semua praktek-praktek linguistik (dalam arti luas)
dengan cara yang selektif mewakili definisi kenyataan. Artinya, dalam hal ini Majalah JE
yang dihasilkan dan disebarluaskan kepada para ekspatriat di Jakarta, dan kini mulai
merambah hampir ke seluruh wilayah Indonesia, merupakan suatu upaya dalam
menciptakan sebuah pemaknaan atas keberadaaan para ekspatriat. Oleh karena itu,
Majalah JE telah menyediakan suatu gagasan identitas bagi mereka, yang mana adalah
orang kulit putih, ketika menjadi orang asing saat berada di luar tanah airnya.
Kenyataannya, Majalah JE tidak hanya sebatas pada memproduksi suatu media,
akan tetapi telah menciptakan wacana kekuasaan lewat bahasa dengan memunculkan
kesadaran tentang keberadaan seseorang dan identitas di tengah masyarakat yang plural.
Majalah JE sebagai alat penyebaran kekuasaan wacana mengenai ekspatriat telah
membuat upaya perbedaan atas berbagai stereotipe terhadap orang asing maupun orang
kulit putih, seperti bule dan turis. Dengan kata lain, Majalah JE merupakan sebuah bentuk
upaya merekonstruksi maupun mendekonstruksi stereotipe tentang kehadiran orang kulit
putih yang selama ini berkeliaran bebas dengan berbagai prasangka di dalam konsep
maupun praktik masyarakat Indonesia. Bahkan, Majalah JE sebagai sebuah media telah
berperan dan melakukan suatu upaya konstruksi serta memproduksi wacana pengetahuan
tentang ekspatriat.
Berdasarkan data yang telah dipaparkan, yakni melalui delapan latar belakang dan
dua puluh kisah para ekspatriat yang tersajikan di dalam rubrik Meet the Expats, kita dapat
mengetahui bagaimana kehadiran orang asing, pada khususnya orang kulit putih di
Indonesia telah mengalami representasi diri sebagai ekspatriat melalui Majalah JE.
Representasi ini pada dasarnya telah melakukan proses identifikasi terhadap keberadaan
para orang asing di Indonesia, sehingga Majalah JE telah memainkan peran sebagai sarana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
pemberi informasi untuk memberikan gambaran dan menyebarkan representasi diri
ekspatriat, yang mana tentunya telah dibentuk atau diimajinasikan oleh media itu sendiri.
Dengan demikian, penulis menarik kesimpulan bahwa para ekspatriat yang tersajikan di
dalam Majalah JE merupakan salah satu bentuk upaya representasi atas konstruksi
identitas ekspatriat, terutama mengenai keberadaan diri mereka sebagai orang asing kulit
putih di sebuah negara yang non putih seperti Indonesia.
Di samping itu, pada era kontemporer saat ini, media juga dapat diyakini bukan
hanya sebagai medium pengantar pesan informasi sosial di dalam suatu masyarakat,
melainkan juga sebagai alat penundukkan dan pemaksaan konsensus oleh sekelompok
orang yang secara ekonomi dan politik dominan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
Bab II, mengenai awal mula Majalah JE sebagai media yang diproduksi dari, oleh, dan
untuk para ekspatriat merupakan suatu upaya untuk merepresentasikan dan membuat
legitimasi atas identitas ekspatriat di dalam masyarakat Indonesia.
Dominasi kelas kapitalis juga dapat terlihat dari sebagian besar representasi
ekspatriat yang tersajikan dalam Majalah JE. Ekspatriat yang dihadirkan lebih cenderung
mengarah pada kalangan kelas pebisnis, seperti, Luke Rowe, Roberto Puccini, Ian Smith,
Stephane Poggi, Anna Rohm, Mario Babin, Jean-Baptiste Mounier, Cuny Schuurmans,
Tim Scott, dan Warwick Purser. Bahkan dengan melihat dari titik persebarannya, Majalah
JE pun lebih banyak menempatkan sasarannya kepada para ekspatriat yang berorientasi
pada kelas ekonomi atas, seperti dominannya peredaran di apartemen, sekolah
internasional, perusahaan multinasional dan ruang publik: café, bar, resto, dll. Dengan kata
lain, hal ini senada dengan yang telah diingatkan oleh pandangan Marxisme mengenai
media sebagai sebuah pendekatan ekonomi politik terhadap media dan budaya yang lebih
berpusat pada hal produksi dan distribusi daripada menafsirkan teks (Kellner, 2006:xxvi).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Oleh karena itu, hubungan identitas ekspatriat terhadap media merupakan sebuah
persoalan sebagai orang kulit putih yang memiliki kesamaan, khususnya mereka yang
berada pada posisi kelas ekonomi atas, seperti para pemilik modal maupun yang memiliki
keterkaitan dengan kapitalisme global.
Aktifitas ekspatriat yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi politik juga telah
ditegaskan oleh Alejandro Portes (2003:43) dalam penelitiannya yang menyimpulkan
bahwa semua bukti empiris menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi, politik dan sosial
budaya menghubungkan komunitas ekspatriat dengan negara-negara asal mereka muncul
atas inisiatif para imigran itu sendiri.24 Keberadaan para pendatang di suatu wilayah atau
dalam konteks luasnya di suatu negara adalah membawa suatu kepentingan tertentu, baik
untuk dirinya sendiri, kelompok, maupun negara tempat ia berasal. Dengan kata lain, para
ekspatriat bekerja di luar negaranya dan membawa keuntungan yang didapatkan olehnya
untuk dibawa kembali ke negara asalnya. Oleh karena itu, kehadiran orang asing kulit
putih yang mererpresentasikan diri sebagai ekspatriat merupakan sebuah keniscayaan atas
kepentingan ekonomi dan politik maupun budaya ketika mereka berada di negara dunia
ketiga seperti Indonesia.
C. Ekspatriat, Melanggengkan Wacana Kolonial
C.1. Cover Photo sebagai Imaji Indonesia
Pada bagian ini, penulis akan memulai dengan menampilkan beberapa cover photo
yang terdapat pada halaman muka Majalah JE. Dalam hal ini, penulis memilih beberapa
cover photo untuk memperlihatkan bagaimana Majalah JE berupaya untuk menghadirkan
24 Portes, Alejandro. (2003). Conclusion: Teoretical convergencies and empirical evidence in the study ofimmigrant transnationalism. International Migration Review 37: 874-92. Dalam Andoni Alonso and Pedro J.Oiarzabal (Eds). Diasporas in the New Media Age: Identity, Politic and Community. Reno & Las Vegas:University of Nevada Press. Hal. 43.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
imaji Indonesia kepada para pembacanya. Dalam setiap edisinya, JE selalu memberikan
sebuah foto yang dijadikan cover photo media sebagai ‘pembungkus’ tema yang sedang
tersaji. Foto juga dibubuhi suatu artikel terkait dengan tema yang sedang ditampilkan pada
muka media. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, dan sebelum menguraikan isi muatan
artikel, penulis akan terlebih dahulu berupaya untuk mengungkapkan pesan yang terdapat
dalam cover photo Majalah JE tersebut.
Sebagaimana Barthes mengatakan bahwa foto tidak pernah dapat berdiri sendiri,
sehingga suatu tulisan berfungsi menjelaskan atau memberi komentar pada foto tersebut
(Sunardi, 2004;159). Hal ini yang terjadi dan akan dibahas pada persoalan beberapa cover
photo Majalah JE. Dikarenakan foto yang dijadikan cover photo Majalah JE diiringi oleh
teks yang turut memberikan dan membangun makna foto. Bahkan, tidak tanggung-
tanggung, Majalah JE pun memberikan teks maupun tulisan yang kiranya jauh dari makna
foto itu sendiri.
Dengan menggunakan pendekatan semiotika, kita akan melihat bagaimana sebuah
foto memiliki kompleksitas di dalamnya, terutama terkait dengan teks yang turut
membangun struktur makna. Merujuk pada pandangan Roland Barthes yang menjelaskan
bahwa foto berita (press) adalah pesan yang dibangun oleh beberapa elemen, seperti teks,
judul, penjelasan maupun sumber pemancar foto (1977:15). Oleh karena itu, dengan
menggunakan semiotika fotografi yang telah disediakan oleh Barthes, maka penulis
berupaya untuk dapat mengungkapkan relasi makna maupun pesan foto yang tersajikan
sebagai cover photo dalam Majalah JE. Beberapa cover photo Majalah JE dapat dilihat
sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Gambar 1
An early mixed marriage in 1845between a Dutch KNIL soldier
and a girl from Purworedjo.Cover Photo
Jakarta Expat42th Edition
Ketika melihat potret yang dijadikan cover photo pada Majalah JE ini, penulis
menjadi teringat pada sebuah buku, “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda” karya
Reggie Baay yang terbit pada tahun 2010. Berselang setahun dari terbitnya buku tersebut,
foto ini dimunculkan kembali oleh JE pada edisinya ke 42 yang disertai dengan judul
‘Better Late than Never’. Dari judul tersebut terdapat pula uraian yang disampaikan
melalui suatu narasi untuk menjelaskan bagaimana suatu proses pernikahan campur antara
orang asing dengan orang Indonesia. Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa para
pembaca Majalah JE mendapatkan suatu pemahaman mengenai pernikahan campur di
Indonesia. Apalagi terkait dengan pernikahan campur bukanlah suatu hal yang baru terjadi
pada saat ini, melainkan sebelumnya pernah terjadi di masa kolonial Hindia Belanda.
Pesan Fotografis Gambar 1
a. Elemen fotografis
Pada Gambar 1, cover photo tersebut dapat diketahui bahwa sumber pemancarnya
adalah Majalah JE, yang mana di dalamnya terdapat redaksi dan editor. Sementara pihak
penerimanya adalah publik yang membaca, yaitu target pembaca Majalah JE adalah para
ekspatriat. Foto ditransmisikan melalui Majalah JE edisi 42 yang terbit pada 27 April-11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
May 2011, dengan judul “Better Late than Never!”. Foto yang ditransmisikan adalah
perkawinan campur antara orang asing atau pihak kolonial dengan pribumi, dengan sebuah
objek (scene) sebuah keluarga, yang terdiri dari ayah dan ibu dengan dua orang anaknya.
Dengan demikian, analogon (turunan atau salinan) dalam cover photo ini adalah imaji
fotografi yang ditampilkan pada foto, dimana foto ini memiliki pesan denotatif yang
menyampaikan citra tentang pernikahan campur, sedangkan pesan konotatifnya adalah
kode kultural maupun stereotipe dari pernikahan campur.
b. Rangkaian Prosedur Konotatif
Pertama, trick eEffects pada foto ini telah menggagalkan keutuhan sebuah keluarga
karena sang ayah berpaling muka dengan tidak menghadap pada kamera. Selain itu,
terdapat juga penanda pada adegan tidak adanya senyum dari objek foto. Hal ini
menimbulkan pemahaman kesadaran yang menjadi tanda (sign) dan selanjutnya dapat
dikodekan bahwa pernikahan campur dianggap sebagai hal yang belum bisa diterima di
dalam masyarakat; baik dari kalangan pribumi maupun Eropa, dimana pada masa kolonial
perempuan pribumi diposisikan sebagai gundik bagi kalangan Eropa. Oleh karena itu,
pada trick effects ini, foto bisa juga menimbulkan rasa penolakan dari kalangan Eropa
ketika sang ayah tidak menghadap pada lensa pemotret.
Kedua, pose pada foto ini dengan jelas menggambarkan sebuah keluarga yang
utuh, terdiri dari seorang ayah dan ibu serta kedua anaknya. Namun, ada ketimpangan
dalam foto tersebut: sang ayah mengenakan seragam tentara lengkap, sang ibu hanya
mengenakan pakaian perempuan khas Jawa, sang anak yang paling besar menggunakan
pakaian bergaya Eropa dengan topi bundar dan sepatu sebagai penandanya, sedangkan
sang anak yang paling kecil dibiarkan telungkup tanpa mengenakan selembar pakaian
apapun. Dengan berpalingnya wajah sang ayah dari lensa kamera, ia yang berasal dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
kalangan Eropa seakan tidak ingin memperlihatkan dirinya secara utuh karena telah
menikah dengan perempuan pribumi. Bahkan, foto yang dilatarbelakangi dengan sebuah
rumah kayu khas pedesaan Jawa semakin menguatkan pesan konotatif mengenai kondisi
pribumi yang miskin.
Ketiga, daya tarik objek pada foto ini ditandai oleh dua penanda, yakni penanda
pertama ada pada perempuan Jawa yang – sadar – melihat kamera, dan penanda kedua
pada seorang laki-laki Belanda yang berprofesi sebagai tentara dengan berseragam
lengkap namun berpaling muka dari kamera. Dengan demikian, foto telah menjadi sebuah
sintaksis karena komposisi objeknya terdiri dari sebuah keluarga dan juga menangkap latar
berupa rumah tradisional yang terbuat dari kayu.
Keempat, fotogenia pada foto yang dicetak portrait tersebut telah menjadikan
gambar terlihat lebih sempit. Foto menjadi terfokus pada objek sehingga hanya
menangkap sedikit ruang di belakang objek. Kelima, estetisisme foto menjelaskan tentang
pernikahan campur melalui sebuah foto yang dimuat kembali di dalam sebuah Majalah JE.
Unsur-unsur yang ada pada foto tersebut dikodekan dalam sebuah gambar yang termuat
dalam cetakan media sebuah majalah. Dan terakhir, keenam, sintaksis pada foto ini,
penanda konotasi hanya terdapat pada satu foto tunggal yang termuat di dalam Majalah
JE. Hal itu dikarenakan tidak terdapat foto lain yang dapat membentuk suatu rangkaian
kejadian saling terhubung dan berkesinambungan di dalam media.
c. Teks dan Imaji
Jakarta Expat pada edisi 42 yang terbit 27 April-11 May 2011 memberikan
keterangan foto sebagai “An early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL
soldierand a girl from Purworedjo” sertajudul “Better Late than Never!”. Pesan teks ini
telah membuat suatu denotasi terhadap pembacanya, sehingga imaji tidak lagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
mengilustrasikan kata-kata sebagai sesuatu yang jauh dari luar konteks foto tersebut. Hal
ini yang terjadi pada foto“An early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier
and a girl from Purworedjo” ketika dihadirkan sebagai sebuah cover photo Jakarta Expat
edisi 42.
d. Dari cover photo menuju artikel
Setelah melihat apa saja pesan yang terkandung di dalam cover photo tersebut,
selanjutnya perlu untuk memperhatikan uraian pada artikel berjudul “Better Late than
Never!” yang turut membangun foto tersebut. Artikel ini berangkat dari kisah yang
dialami oleh Anthony Sutton ketika ingin menikahi seorang perempuan Indonesia. Ia
merasa bahwa kiranya terdapat begitu banyak rintangan yang akan dihadapi apabila
menikah dengan orang Indonesia, seperti, konversi agama, orang tua, upacara pernikahan,
kelahiran bayi, dua kali pembayaran pajak fiskal, dan KITAS. Ia yang telah menghabiskan
waktu dari dua dekade di Indonesia merasa bahwa pemerintah Indonesia tetap saja tidak
berusaha untuk membuat hidup ekspatriat menjadi lebih mudah, terutama berkaitan
dengan hal pernikahan campur.
Melalui artikel ini, Sutton menyampaikan beragam pandangan terkait dengan
kebijakan pemerintah Indonesia terhadap keberadaan orang asing. Awalnya ia merasa
senang ketika pada tahun 2006 pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa setiap anak
yang lahir dari perkawinan campur memiliki kewarganegaraan ganda hingga usia 18
tahun. Selanjutnya, pada bulan April tahun 2011 pemerintah Indonesia kembali
mengeluarkan peraturan imigrasi bagi para ekspatriat yang berhak untuk mendapatkan
residensi secara permanen setelah menjalani periode kualifikasi, sehingga para ekspatriat
dapat bekerja tanpa perlu sponsor dan tidak harus melapor ke berbagai kementerian
pemerintah Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Dari segala peraturan yang telah ada, Sutton menegaskan bahwa belum ada
peraturan mengenai pernikahan campur di Indonesia. Ia juga menyertakan berbagai rumor
mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk pernikahan campur di Indonesia, seperti,
biaya sekitar 3000 dolar pertahun dan itu tidak termasuk bagi wanita asing yang menikah
dengan orang Indonesia. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa diperlukan deposito
sekitar 500 juta rupiah yang harus dibayarkan oleh orang asing ketika ingin menikah
dengan perempuan Indonesia.
Bagi Sutton, meskipun Indonesia telah turut meratifikasi seluruh tumpukan
konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang kesetaraan gender dan hak-hak anak,
namun ia tetap menyebutkan bahwa 'Indonesia masih membuat hidup ekspatriat sangat
sulit dalam persoalan perkawinan campur antar bangsa, seperti, isu atas warisan,
kebangsaan dan kepemilikan properti maupun anak’. Atas kondisi tersebut ia memaparkan
berbagai informasi mengenai beberapa organisasi yang memfasilitasi pernikahan campur
di Indonesia, seperti, Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (Perca), Tim Advokasi
Perwakinan Campur (TAPC), dan Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB). Secara khusus,
ia juga menegaskan bahwa APAB yang dibentuk pada tahun 2002 dengan tujuan
mengubah undang-undang berkaitan dengan kewarnegaraan telah berhasil mengubah
Undang-Undang Kewarganegaraan yang telah disahkan oleh pemerintah Indonesia pada
tahun 2006.
e. Insignifikasi Fotografis dengan Artikel
Foto an early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl
from Purworedjo telah memberikan penanda bahwa pernikahan campur telah terjadi di
masa kolonial. Penanda ini yang menjadi proses dialektis dalam menjembatani suatu
pernikahan campur yang terjadi saat ini antara ekspatriat dengan orang Indonesia. Foto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
yang ditampilkan seakan dipahami sebagai denotasi yang murni atas kondisi realitas,
sehingga foto tersebut telah memberi deskripsi atas kondisi sosial. Padahal secara
pemahaman konotasi, pernikahan campur memiliki beragam latar belakang.
Foto ini juga bukan merupakan suatu foto traumatis karena terdapat artikel pada
foto yang memaparkan tentang pernikahan campur di Indonesia. Konotasi yang dimuat
dalam Majalah JE bersifat ‘perseptif’ yang merupakan bersifat pengandaian. Mode
konotasi lain yang bersifat khusus adalah konotasi ‘kognitif’ yang penandanya terbatas
pada bagian-bagian analogon tertentu. Dengan demikian, pembaca dapat melihat lebih
mendalam terhadap pemaknaan foto melalui pengetahuan teori fotografi. Melalui foto ini
dapat dipahami bahwa Majalah JE berupaya untuk menghubungkan keberadaan objek foto
pernikahan campur pada masa kolonial dengan kondisi saat ini.
f. Kekeliruan Teks pada Imaji
JE memberikan teks foto pada edisi 42 dengan keterangan “an early mixed
marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo. Seperti yang
telah penulis sampaikan sebelumnya bahwa foto ini mengingatkan pada cover buku
Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Baay menjelaskan bahwa foto
tersebut adalah Djoemiha bersama keluarganya. Dan foto tersebut dibuat sekitar tahun
1918.
Menurut penjelasan yang disediakan oleh Baay dapat diketahui bahwa foto
tersebut memuat potret Djoemiha Noerwidjojo yang berasal dari Gombong dan
diperkirakan lahir pada tahun 1891. Djoemiha meninggalkan kampung halamannya dan
pergi mencari pekerjaan ke Bandung pada 1908. Djoemiha pun akhirnya bekerja di sebuah
warung makan di tepi jalan antara Cimahi dan Bandung.Sang laki-laki dalam foto adalah
Alfred Wilhem, lahir di Hamburg, Jerman pada 12 Oktober 1886. Pertama kalinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Wilhem tiba di Batavia pada tahun 1910 saat bekerja pada sebuah perusahaan Jerman.
Setelah berhenti dari pekerjaannya, ia pun ingin mencoba peruntungannya di koloni
Belanda. Wilhem mengajukan permohonan menjadi warga negara Belanda dan
memutuskan untuk bergabung dengan KNIL. Lalu Wilhem ditempatkan dalam pasukan
Zeni di Cimahi. Dan di Cimahi pula Wilhem dan Djoemiha dipertemukan di sebuah
warung makan. Selanjutnya, Wilhem meminta Djoemiha untuk menjadi moentji (sebutan
bagi nyai atau gundik pribumi di dalam tangsi-tangsi tentara kolonial), hingga pada tahun
1915 dan 1916 mereka memperoleh dua orang anak yaitu sepasang anak laki-laki dan
perempuan (Baay, 2010:247).
Dari pemaparan yang disajikan oleh Baay, maka dapat diketahui bahwa teks foto
yang terdapat pada JE edisi ke 42 tersebut adalah sebuah kekeliruan. Majalah JE
mendeskripsikan foto hanya sebagai “an early mixed marriage in 1845 between a Dutch
KNIL soldier and a girl from Purworedjo. Padahal, jika merujuk kepada masa kolonial
pergundikan tidak sama dengan sebuah pernikahan. Pergundikan tidak tercatat sebagai
pernikahan yang sah dalam hukum. Bahkan, mengenai persoalan pergundikan, perempuan
pribumi tidak mendapatkan hak yang penuh sebagai istri maupun seorang ibu atas anak
yang lahir dari suami yang bukan pribumi. Oleh karena itu, artikel yang disematkan pada
foto an early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from
Purworedjo merupakan sebuah absurditas.
Sementara itu, jika merujuk pada Baay diketahui bahwa penjelasan mengenai foto
tersebut dapat dipahami dengan cukup baik; mulai dari keterangan objek di dalam foto,
awal muasal pertemuan hingga kisah perjalanan hidup. Selain itu, Baay juga telah
melakukan upaya dokumentasi dengan cukup baik mengenai pergundikan yang dialami
Djoemiha. Dengan demikian, Majalah JE telah mengalami kesalahan, yang mana sumber
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
maupun narasi atas cover photo tidak disampaikan secara lugas dan terbuka kepada para
pembaca.
Gambar 2
Chatting On FacebookBy Alim Boeana
Cover PhotoJakarta Expat
78th Edition
Pada mulanya cover photo Majalah JE ini tidak memuat penjelasan atau suatu
artikel pada edisi terbitnya. Namun pada dua edisi selanjutnya, JE memberikan penjelasan
terkait foto tersebut karena telah mendapat tanggapan maupun komentar dari para
pembaca. Tanggapan itu muncul sebagai reaksi dari cover photo tersebut yang telah
memperlihatkan suku Dani tengah berada di hadapan teknologi, yaitu laptop;
mempertontonkan suku Dani yang masih tradisional dengan modernitas. Beberapa
pembaca menyebutnya sebagai tindakan‘eksploitatif’ dan menuduh ‘rasis’, sehingga
meminta JE untuk segera menarik sirkulasi dan menyatakan permintaan maaf secara resmi
kepada rakyat Papua.
Atas adanya tanggapan tersebut, pihak Majalah JE lebih beranggapan lain dengan
mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah menulis komentar terkait
dengan penyajian cover tersebut. Majalah JE yang diwakilkan oleh Mark Twain,
kemudian memberikan penjelasan mengenai latar belakang pemuatan foto tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Berikut ini adalah penyampaian klarifikasi yang diberikan oleh pihak Majalah JE terkait
dengan penampilan foto masyarakat suku Dani sebagai cover photo:
“This photo was taken by a professional photographer, Alim Boeana, who in 2002was assigned to a documentary for Russian television in Papua about the Dani tribe.Upon filming this documentary, the leader of the tribe, Yale, who is quite a worldlyman and has travelled outside of Indonesia several times to Japan, took thephotographer’s laptop from one of the houses to show his fellow tribesmen. Alimthen saw an opportunity to take a beautiful photograph of Yale and his tribesmenand women, with the aim being to show a contrast between old and new, modernand traditional. Nothing more, nothing less.” (JE edisi 80:3)
Dari pernyataan klarifikasi di atas, pihak Majalah JE mencoba untuk menegaskan
bahwa mereka memperlakukan masyarakat adat Papua dengan hormat, memperlakukan
siapa pun dengan sama– dengan tidak ada perbedaan sama sekali. Bahkan, Majalah JE
beranggapan bahwa memang terkadang sebuah foto tidak sesuai dengan keinginan semua
orang, sehingga JE menginginkan agar para pembaca masih bisa menikmati keindahannya
apa adanya. Selain itu, JE juga menegaskan bahwa bukan menjadi hal terbaik ketika
semua orang harus berpikir sama; karena dengan adanya perbedaan pendapat maka akan
dapat berpacu. Dalam hal ini, penulis memiliki pandangan yang berbeda dengan
pernyataan yang disampaikan oleh pihak Majalah JE. Oleh karena itu, penulis berupaya
untuk membongkar guna mengetahui wacana dibalik sebuah foto dengan cara sebagai
berikut:
Pesan Fotografis Gambar 2
a. Elemen Fotografis
Pada Gambar 2, dapat diketahui bahwa sumber pemancar pesan adalah Majalah JE,
yang di dalamnya terdapat redaksi dan editor. Sementara pihak penerimanya adalah publik
yang membaca Majalah JE yakni para ekspatriat. Saluran transmisi gambar ini adalah
Majalah JE edisi 78, yang terbit untuk jangka waktu 26 September – 09 Oktober 2012, dan
diberikan sebuah judul “Chatting on Facebook”. Gambar yang ditransmisikan pada foto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
ini adalah masyarakat suku Dani dihadapkan pada modernitas – dengan memperlihatkan
barang teknologi berupa laptop. Objek (scene) dalam cover photo ini adalah masyarakat
suku Dani yang terdiri dari beberapa laki-laki, perempuan, anak-anak, dan seekor anjing,
beserta rumah tradisional dengan latar alam. Oleh karena itu, dengan melihat berbagai
elemen dalam foto ini, maka analogonnya dapat dipahami mengandung pesan konotatif.
b. Rangkaian Prosedur Konotatif
Pertama, trick effects pada foto mengambil kondisi masyarakat suku Dani yang
bermukim di alam terbuka dengan latar rumah tradisional. Hal ini dapat terlihat dari latar
foto yang berupa pepohonan dan bukit. Selain itu, terdapat juga penanda pada adegan
keheranan atau kebingungan dari masyarakat suku Dani ketika melihat sebuah produk
teknologi berupa laptop. Masyarakat suku Dani yang terlihat tidak mengenakan pakaian
juga dapat menjadi tanda yang dapat dikodekan bahwa masyarakat suku Dani masih hidup
dalam kondisi primitif.
Kedua, pose foto ini menggambarkan sebuah mayarakat suku Dani yang terdiri
dari seorang pemimpin suku dan anggotannya. Masyarakat suku Dani secara serempak
tertuju pada laptop dibandingkan menghadap pada lensa kamera. Selain itu, foto juga
dilatarbelakangi dengan beberapa rumah tradisional suku Dani yang terbuat dari kayu
beratap jerami.
Ketiga, daya tarik objek pada foto ini telah ditandai oleh dua penanda, yakni
penanda pertama pada barang teknologi, yaitu laptop, dan penanda kedua pada masyarakat
suku Dani. Dengan demikian, foto ini menjadi sintaksis karena komposisi objeknya tidak
tunggal.
Keempat, fotogenia pada foto yang dicetak landscape ini telah memberikan
gambar lebih luas. Foto memperlihatkan kondisi tempat tinggal masyarakat suku Dani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Bahkan foto juga menangkap keadaan ruang di belakang objek, dimana terdapat kawasan
hutan dan perbukitan yang hijau.
Kelima, estetisme foto ini tengah menggambarkan bahwa masyarakat suku Dani
belum tersentuh dengan modernitas. Hal ini dapat dicermati dari tindakan yang
memperlihatkan barang teknologi berupa laptop. Oleh karena itu, unsur-unsur yang ada
pada foto kemudian dikodekan dalam sebuah gambar yang termuat dalam cetakan media
melalui sebuah publikasi majalah.
Keenam, tidak terdapat sintaksis pada foto ini karena tidak memuat foto lain yang
membentuk suatu rangkaian kejadian untuk dapat saling berkesinambungan pada Majalah
JE. Dengan demikian, penanda konotasi hanya terdapat pada satu foto tunggal yang
termuat dalam Majalah JE saja.
c. Teks dan Imaji
Majalah JE edisi 78, yang terbit 26 September – 09 Oktober 2012 ini telah
memberikan keterangan foto dengan judul “Chatting on Facebook”. Pesan teks tersebut
telah membuat suatu konotasi terhadap para pembaca Majalah JE, sehingga foto yang
mengilustrasikan kata-kata sebagai sesuatu yang menimbulkan beragam pandangan
mengenai konteks foto tersebut. Efek konotasi pada foto ini semakin jelas telah
memunculkan konotasi karena diberikan judul Chatting on Facebook. Judul atas foto
tersebut telah membuat makna yang terbuka sehingga teks telah menduplikasi suatu imaji.
Meskipun teks tercantumkan dalam imaji, namun petanda konotatifnya memungkinkan
berkembang dan mengeksplisitkan sesuatu dari proyeksi imaji tersebut. Bahkan, teks pada
foto ini telah memproduksi petanda secara retroaktif yang diproyeksikan ke dalam imaji,
sehingga pesan konotatif dalam imaji foto ini adalah perbenturan pandangan yang
tradisional dengan modern.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
d. Insignifikasi Fotografis
Foto Chatting on Facebook telah memberikan penandaan bahwa masyarakat suku
Dani masih hidup dalam keadaan primitif. Hal tersebut terjadi dengan memperlihatkan
Suku Dani yang tidak mengenakan pakaian sebagaimana mestinya masyarakat modern.
Penandaan ini yang menjadi proses dialektis dalam memberikan imaji bahwa masih
terdapat masyarakat primitif di Indonesia.
Di samping itu, pemberian judul foto “Chatting on Facebook” pada Majalah JE ini
juga mengarahkan pada suatu konotasi tertentu. Facebook, sebagaimana pengertian
fungsinya, merupakan seperangkat media sosial pada perangkat teknologi modern yang
dapat menghubungkan tiap individu secara global. Dalam kasus foto ini, “Chatting on
Facebook” dapat dipahami bahwa Majalah JE berupaya untuk mengkoneksikan
masyarakat suku Dani dengan dunia secara global. Oleh karena itu, pemberian judul foto
“Chatting on Facebook”, yang mana memuat sebuah potret masyarakat suku Dani
meniscayakan komodernan berupa teknologi, seperti laptop, dapat bertemu dan digunakan
oleh sebuah masyarakat tradisional.
Gambar 3
Pocongan Cilikby Melanie Wood
Cover PhotoJakarta Expat
80th Edition
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Cover photo Majalah JE pada edisi ini memperlihatkan seorang anak yang terikat
dalam kain kafan. Di samping itu, foto ini diambil oleh redaksi dari sebuah blog milik
ekspatriat, yaitu Melanie Wood, tanpa memberikan deskripsi tentang foto tersebut. Namun
demikian, jika kita melihat dalam blog Melanie Wood, terdapat sedikit penjelasan
mengenai latar belakang pengambilan foto tersebut.Wood memaparkannya sebagai
berikut:
“This boy bound in a burial shroud and slung into a black tent, magicallydisappeared during a whip-cracking, fire-breathing performance in Suropati Park,Menteng, Jakarta. When the black tent collapsed under a bullwhip blow, the interredboy had vanished.”25
Terkait dengan latar belakang foto yang dijadikan cover photo ini, secara khusus
dijelaskan bahwa pada edisi ini ditujukan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan
hantu, mistik dan misteri di Indonesia. Sebagaimana sang editor Majalah JE, Angela
Richardson menuliskannya sebagai berikut:
“Cultures in Indonesia have a very strong affiliation with the mystic world and thebelief in spirits and ghosts is very common and can actually become a part of day today life. In Bali, paying homage to spirits happens daily by way of presentingbeautifully craftedofferings to their Gods. Java may not be known for such beliefsanymore, but that doesn’t mean the faith in an unseen world is not there. It is acommon belief that when the call to prayer is heard at sundown (Maghrib),apparitions can become visible to the human eye. Of course seeing is believing... AtJakarta Expat HQ we often experience out of norm phenomena, and from researchwe’ve discovered that the back of our office sits on top of an old graveyard. Afterthe call to prayer at around 6pm we often hear strange noises coming from certainparts of the office and there have been reports of staff members seeing an apparitionof a young lady with long, thick black hair. I myself have not seen anything,however the strangest part of this story is that every single day we find a singlestrand of long, thick black hair on top of a certain cabinet which we cannot explain.Nobody has the same length or colour hair and yet we find it in the same placeevery day! A ghost story or an issue with the cleaning lady, perhaps? This storybrings us to our theme this issue – Ghosts, Magic and Mystery.” (JE edisi 80:2)
Bertolak dari kata pengantar yang disajikan oleh editor Majalah JE di atas dapat
dipahami bahwa Angela Richardson sebagai seorang ekspatriat beranggapan bahwa
25 Pocongan Cilik oleh Melanie Wood dapat dilihat di www.gangs-of-indonesia.com (Diakses 29 Agustus2014)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
budaya di Indonesia masih dipercaya memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan dunia
mistik atau kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, ia
pun memberikan beberapa contoh, semisal, di Bali masih terdapat aktifitas memberikan
penghormatan kepada roh-roh yang terjadi setiap hari dengan menyajikan suatu
persembahan, dan di Jawa terdapat kepercayaan umum bahwa ketika adzan terdengar saat
matahari terbenam (Maghrib) penampakan bisa terlihat dengan mata manusia.
Dalam hal ini, penulis berbeda pendapat dengan editor Majalah JE, Angela
Richardson, karena budaya dan mistik tidak begitu sederhana seperti yang ia paparkan.
Pertama, kebudayaan masyarakat Bali yang selalu memberikan suatu persembahan
merupakan bagian dari ritual agama Hindu untuk memohon berkah kepada para dewa.
Persembahan ini merupakan bagian ibadah dari masyarakat Bali yang beragama Hindu.
Jadi bukan semata-mata ditujukan kepada roh-roh tertentu.
Begitu pula dengan beberapa masyarakat di wilayah Jawa yang memiliki
kepercayaan umum bahwa saat matahari terbenam dan ketika adzan dikumandangkan
dapat terlihat penampakan hantu adalah tidak benar. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa
pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya, terbenamnya matahari merupakan sebuah
peringatan bahwa langit mulai gelap, bahkan menjadi sebuah kewajiban bagi umat Muslim
untuk menunaikan shalat Magrhib, terutama hal ini dikarenakan hampir seluruh penduduk
masyarakat Jawa dan Indonesia beragama Muslim.
Di samping itu, pengalaman para pegawai Majalah JE setelah adzan Mahgrib yang
sering mendengar suara-suara aneh dari bagian-bagian tertentu di kantor mereka,
merupakan bentuk kesadaran mereka atas ambivalensi yang mereka alami sebagai orang
asing ketika berada di Indonesia. Ambivalensi ini merupakan sikap kemenduaan mereka,
yang mana di satu sisi ingin mempercayai adanya penampakan hal gaib seperti hantu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
karena menemukan seuntai rambut hitam tebal di atas lemari yang tidak bisa menjelaskan,
namun di sisi lain ingin menyangkal kejadian yang mereka alami. Dengan demikian,
ambivalensi ini dapat dipahami bahwa mereka sebagai ekspatriat tidak melulu berada pada
ketetapan identitas yang utuh sebagai pihak Barat, yakni yang selalu menggungulkan
rasionalitas, akan tetapi keutuhan identitas mereka dapat tergoyahkan dengan hal-hal
irasionalitas yang terdapat pada masyarakat Timur.
Pesan Fotografis Gambar 3
a. Elemen Fotografis
Elemen fotografis dalam foto ini tidak jauh berbeda dengan kedua gambar yang
telah dibahas sebelumnya. Sumber pemancar pesan pun masih sama, yaitu Majalah JE,
beserta redaksi dan editor. Pihak penerima adalah publik yang membaca Majalah JE yakni
para ekspatriat. Gambar ini termuat dalam saluran transmisi Majalah JE edisi 80, yang
terbit 24 Oktober – 06 November 2012, dengan judul “Pocongan Cilik”. Gambar yang
ditransmisikan adalah hal mistik yang ditampilkan melalui salah satu sosok hantu yang
terdapat di Indonesia, yaitu pocong. Objek (scene) dalam foto ini adalah seorang anak
kecil yang terbungkus kain kafan. Dengan demikian, analogon dalam cover photo ini
mengandung pesan konotatif.
b. Rangkaian Prosedur Konotatif
Pertama, trick effects. Foto ini sengaja diambil oleh redaksi dari sebuah blog milik
ekspatriat, yaitu Melanie Wood. Dan menjadi aneh ketika Majalah JE tidak memuat suatu
penjelasan tentang foto ini. Namun jika dicermati dalam blog milik Wood maka dapat
diketahui penjelasan tentang latar belakang pengambilan foto tersebut. Wood menjelaskan
bahwa pengambilan foto tersebut pada sebuah acara yang bernuansa mistik di Taman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Suropati, Menteng, Jakarta. Dengan demikian, trick effects pada foto ini adalah sebuah
pocong cilik dengan nuansa mistik.
Kedua, pose pada foto ini menggambarkan seorang anak kecil laki-laki yang
sedang terikat dalam kain kafan. Dalam foto ini juga terlihat bahwa sang anak tidak
menghadap lensa kamera sang fotografer.
Ketiga, daya tarik objek pada foto ini adalah tunggal. Meskipun pada bagian
belakang objek terlihat beberapa orang yang samar-samar (blur), namun objek tersebut
tidak dapat membangun sebuah foto menjadi sintaksis yang terdiri dari beragam objek.
Keempat, fotogenia pada foto yang dicetak portrait ini telah memberikan gambar
menjadi lebih sempit hingga tidak dapat memperlihatkan kondisi maupun lokasi di sekitar
kejadian. Selain itu, foto ini juga menjadi terbatas karena hanya memperlihatkan sang
anak yang dijadikan sebagai fokus pada lensa kamera.
Kelima, estetisisme foto ini menggambarkan bahwa masih terdapat hal mistik di
dalam masyarakat Indonesia. Unsur-unsur yang ada pada foto ini, seperti pocong
dikodekan dalam sebagai afiliasi yang sangat kuat dengan dunia mistik dan kepercayaan
tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari.
Keenam, tidak ada sintaksis pada foto ini karena tidak terdapat foto lain yang
membentuk suatu rangkaian kejadian yang saling berkesinambungan telah membuat
penanda konotasi hanya terdapat pada satu foto tunggal, yaitu yang termuat dalam Majalah
JE, foto pocongan cilik.
c. Teks dan Imaji
Majalah JE pada edisi 80, terbit 24 Oktober - 06 November 2012, memuat sebuah
foto dengan keterangan judul “Pocongan Cilik”. Pesan teks ini telah membuat suatu
konotasi terhadap pembacanya, sehingga imaji mengilustrasikan kata-kata sebagai sesuatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
yang menimbulkan beragam pandangan mengenai konteks foto. “Pocongan” telah
menjadi sebuah konotasi mengenai masyarakat Indonesia yang masih dilingkupi nuansa
mistik, sedangkan “cilik” mengkonotasikan sifat maupun kondisi kekanak-kanakan.
Dalam hal ini, teks yang tercantumkan dalam imaji berkembang dan mengeksplisitkan
sesuatu dari proyeksi imaji. Dengan demikian, teks pada foto ini memproduksi petanda
secara retroaktif yang diproyeksikan ke dalam imaji, sehingga pesan konotatif dalam imaji
tersebut adalah mengenai karakteristik dan stereotipe Indonesia, yakni mistik atau
irasional dan diposisikan sebagai subjek yang masih belum dewasa.
d. Insignifikasi Fotografis
Foto Pocongan Cilik telah memberikan penanda bahwa masyarakat Indonesia
memiliki kepercayaan terhadap hal mistik dan hantu. Penanda ini yang menjadi proses
dialektis dalam memberikan imaji mengenai Indonesia yang mempercayai hal-hal tidak
kasat mata. Meskipun foto ini diambil dalam sebuah acara yang bernuansa mistik, namun
pendokumentasian dalam sebuah foto, terutama ketika menjadi sebuah cover photo media,
telah memberikan afiliasi terhadap dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu
dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat Indonesia.
Dari ketiga foto yang tersajikan sebagai cover photo pada Majalah JE, dapat
diketahui bahwa setidaknya terdapat tiga unsur terkait wacana kolonial. Pertama, Majalah
JE menghadirkan kembali stereotipe tentang pribumi melalui sebuah foto pernikahan
campur, sehingga para ekspatriat telah menghubungkan kepada wacana Timur yang
feminin, memiliki sifat pasif ataupun menggoda Barat. Kedua, Majalah JE menampilkan
foto suku Dani yang dikontraskan dengan modernitas, sehingga telah menempatkan
Indonesia sebagai negara yang masih memiliki masyarakat primitif. Dengan kata lain,
melalui Majalah JE, para ekspatriat telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
Timur yang tidak mengalami kemajuan seperti Barat. Dan yang terakhir, Majalah JE
memberikan sajian tentang masyarakat Indonesia yang masih menyimpan kepercayaan
terhadap sesuatu hal yang mistis, atau dalam pandangan Orientalisme, hal ini telah
menempatkan Indonesia sebagai yang aneh atau asing jika dibandingkan dengan Barat
yang mengunggulkan sisi rasionalitas. Oleh karena itu, sebuah foto bukan hanya sekedar
hasil fotografi, melainkan dibalik sebuah foto terdapat muatan wacana yang tersembunyi.
Selain itu, ketiga foto yang telah diuraikan di atas juga dapat dipahami bahwa
Majalah JE tengah menghadirkan wacana kolonial kontemporer. Namun demikian,
persoalan wacana kolonial kontemporer ini akan penulis bahas pada bab selanjutnya untuk
di analisis lebih mendalam. Dan sebelum melangkah pada bab selanjutnya, terlebih dahulu
penulis akan menyajikan ragam rubrik yang terdapat di dalam Majalah JE. Hal ini
dikarenakan penulis mencermati adanya wacana kolonial dalam berbagai rubrik maupun
artikel yang tersajikan di dalam Majalah JE. Oleh karena itu, rubrik maupun artikel yang
termuat di dalam Majalah JE ini akan dipergunakan sebagai data dalam membahas analisis
wacana kolonial kontemporer pada bab selanjutnya.
C.2. Rubrik sebagai Wacana Pengetahuan
Penulis beranggapan bahwa Majalah JE sebagai sebuah media bagi para ekspatriat
sangat sadar mengenai posisi dan status Indonesia yang notabenenya adalah negara dunia
ketiga dan pernah terjajah. Hal ini dapat dicermati melalui beragam rubrik, seperti Moment
in History, Feature, Observations, Culture, dan Literature, yang masing-masing
didalamnya menyajikan artikel dengan memuat seputar Indonesia di masa kolonial. Oleh
karena itu, beberapa artikel yang terdapat pada rubrik Majalah JE ini sengaja penulis
hadirkan kembali guna memperlihatkan bahwa para ekspatriat masih melanggengkan
wacana kolonial tentang Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
C.2.1. Moment in History:
Pada rubrik Moment in History ini, Antony Sutton sebagai seorang ekspatriat
acapkali memberikan kontribusi tulisan kepada Majalah JE. Tulisan yang dihasilkan oleh
Sutton lebih banyak memuat tentang Indonesia dengan corak tulisan bernuansa sejarah.
Sebagaimana tulisan-tulisan Sutton dapat dicermati pada dua artikel, They Came to Java
dan Educating the Past di bawah ini.
a. They Came to Java26
Pada artikel ini, dapat dipahami bahwa Antony Sutton bukan hanya ingin
menceritakan bagaimana kehadiran orang asing di Jawa, melainkan juga bermaksud
memberikan beberapa pandangan mengenai Jawa di masa lampau, yang mana kesemuanya
bermuara pada sisi eksostisme Jawa. Hal ini dapat dicermati ketika Sutton memulai narasi
artikel ini dengan mengutip sebuah pandangan dari seorang Alfred Wallace, yang
berpendapat bahwa pada abad ke-19 Jawa merupakan “… pulau tropis terbaik di dunia.”
Selain Wallace, Sutton juga menyebutkan nama yang tidak begitu terkenal, yakni Nicolo
Conti yang pernah berkunjung ke Jawa di abad ke-15 sebagai bagian dari sebuah
perjalanan yang berlangsung selama 25 tahun, dan tidak terlalu terkesan dengan orang-
orang yang ditemuinya di Jawa, sehingga Conti mendeskripsikan bahwa mereka yang di
Jawa 'lebih kejam dan tidak manusiawi daripada bangsa lain; dirasa berdosa karena
mengkonsumsi tikus, anjing dan kucing’.27
Di samping itu, Antony Sutton pun bernostalgia atas pengalaman dirinya pada
tahun 1980an ketika melakukan sebuah perjalanan ke Gunung Bromo. Bahkan, Sutton
26 Jakarta Expat 42th Edition, p.14. Written by Antony Sutton.27 “For the first time in Java I was able to relate to Alfred Wallace, the famed Botanist and long beardgrower who opined, back in the 19th Century that Java was ‘… the finest tropical island in the world.’ ….Not so well known was Nicolo Conti who visited in the 15th Century as part of a journey that lasted 25years. He also was none too impressed by the people he met on Java, describing them as ‘more inhuman andcruel than any other nation.’Among their perceived sins was the consumption of ‘mice, dogs and cats’.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
menyandingkan dirinya dengan seorang John Whitehead, yang mana pada satu abad
sebelumnya pernah berada di Bromo untuk melihat ‘salah satu pemandangan terbaik di
Jawa.’ Selain itu, pada artikel ini Sutton juga mengutip catatan perjalanan dari seorang
petualang America, Eliza Scidamore, ketika berkunjung ke Jawa pada akhir abad ke-19
dan tidak terkesan dengan masyarakat Batavia sebagai masyarakat kolonial dengan
propinsi yang sempit, konservatif dan pusat perdagangan. Karena itu, Scidamore tidak
terkesan dengan Belanda, tetapi terkesan dengan orang-orang Jawa dan menganggap Jawa
sebagai ‘bunga dari ras Melayu’, dengan ‘suara yang lembut, sopan santun’.28
Terkait dengan uraian artikel di atas, dapat dipahami bahwa Sutton mencoba
mengajak pembaca untuk melihat gambaran tentang Indonesia di masa lampau, khususnya
Jawa. Dalam hal ini, Sutton bukan hanya ingin menyampaikan kembali mengenai kisah
kedatangan awal mula para orang kulit putih di Indonesia, melainkan mereproduksi
kembali ingatan atau memori tentang orang kulit putih yang pernah hadir di Indonesia
dengan beragam pandangannya. Beberapa diantaranya telah terlihat di atas, seperti
Wallace yang mengemukakan bahwa Jawa merupakan ‘pulau tropis terbaik di dunia’,
Scidamore menganggap Jawa sebagai ‘bunga dari ras melayu’, maupun pandangan Conti
yang mendeskripsikan bahwa Jawa ‘lebih kejam dan tidak manusiawi daripada bangsa
lain; dirasa berdosa karena mengkonsumsi tikus, anjing dan kucing’. Oleh karena itu,
muatan wacana kolonial yang muncul melalui artikel ini adalah esksotisme Jawa, bahkan
di samping itu pandangan Conti telah memberikan sebuah wacana mengenai Jawa
28 “In the 1980’s I ascended Mount Bromo in a mini bus from Malang. A century earlier John Whiteheadarose at 5.30 am in the hill station of Tosari and set out on ponies to see ‘one of the finest sights in Java.’ …American travel writer Eliza Scidamore decried Java as ‘finished’ when she visited towards the fag end ofthe 19th Century. She was unimpressed by Batavian colonial society, ‘narrow, provincial, colonial,conservative and insular.’ As unimpressed by the Dutch she was impressed by the Javanese. Among thebeatitudes she imbued them with they were the ‘flower of the Malay race’, with ‘gentle voices, gentlemanners’.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
sebelum kehadiran kalangan Eropa ditempatkan sebagai masyarakat yang barbar dan tidak
beradab.
Sementara itu, meskipun melalui tulisan ini Sutton lebih cenderung untuk
mengutip beberapa pandangan; Wallace, Conti, Scidamore, namun bukan berarti ia tidak
memiliki peran untuk menghadirkan kembali wacana kolonial tentang Timur yang pernah
dikonstruksi di masa kolonial. Dalam hal ini, Sutton telah berkontribusi untuk
menghadirkan wacana kolonial, seperti eksotisme ke hadapan para pembaca Majalah JE di
masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, posisi Sutton dalam artikel ini tidak bebas nilai,
tetapi ia terlibat dalam menghasilkan wacana kolonial kontemporer ketika menuliskan
pengalamannya saat berkunjung ke Bromo untuk melihat pemandangan Jawa, bahkan
menyandingkan dirinya dengan John Whitehead.
b. Educating the Past29
Melalui artikel ini, Sutton kembali menyajikan kisah tentang Indonesia, pada
khususnya tentang bidang pendidikan. Dari judul artikel ini saja, Educating the Past, dapat
dipahami bahwa Sutton telah memperlakukan Indonesia perlu mendapatkan pendidikan,
bukan di masa sekarang, namun berangkat dari masa lalu. Ia mulai membuka artikelnya
dengan mengatakan bahwa beban historis Indonesia adalah untuk mengejar ketinggalan
setengah abad terakhir pada zaman globalisasi saat ini, dimana infrastruktur pendidikan di
Indonesia saat ini sedang berjuang untuk mengejar tahun 1970an. Bahkan Sutton juga
menegaskan bahwa dalam bidang pendidikan, Indonesia melupakan konsep seperti
internet, berpikir kreatif dan pengabdian. Sementara itu, ia menyampaikan kondisi ironis
tentang dunia pendidikan Indonesia, yang mana banyak siswa masih duduk untuk belajar
29 Jakarta Expat 94th Edition, p.14 written by Antony Sutton.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
hafalan, sementara para guru dinilai masih terpusat pada seputar pengalaman mengajar
dan terus melakukan pengumpulan daftar fakta, tanggal, dan rumus untuk diingat.30
Berdasarkan uraian yang diberikan Sutton dapat dicermati bahwa ia berupaya
untuk memperlihatkan kondisi yang kontras mengenai pendidikan Indonesia pada era
globalisasi saat ini. Dengan kata lain, Sutton menganggap bahwa sistem pendidikan
Indonesia masih jauh mengalami perkembangan dengan sistem pendidikan skala
internasional. Oleh karena itu, Sutton mencoba untuk memperbandingkan kondisi
pembelajaran Indonesia dengan negara lain yang dinilai memiliki perbedaan cukup
signifikan.
Selanjutnya, Sutton pun menuliskan bahwa para siswa di negara lain (tanpa
menyebutkan sebuah negara tertentu) diajarkan untuk merasa nyaman dan diberikan
beberapa pelajaran bahasa yang berbeda sebelum waktu istirahat pertama. Sedangkan di
Indonesia, sistem pengajaran masih ditentukan oleh gagasan lama, yaitu perintah guru
terhadap murid, bahkan dengan ekstrim ia menyebutkan sebagai bentuk hubungan tuan
dan budak (dictated by old notions of master and servant). Bahkan, ia mengambil contoh
pengusiran lima siswa dari sebuah sekolah di Sulawesi yang memiliki keberanian untuk
bersenang-senang dan mempostingnya secara online di internet. Padahal pemerintah
Indonesia telah berusaha dengan niat yang mulia untuk menghabiskan 20% dari anggaran
untuk pendidikan.31
30 “Indonesia’s historical baggage over the last century and a half means that as we tip headlong into thisnew fangled thing people call globalization, Indonesia’s educational infrastructure is struggling to catch upto the 1970s. Forget concepts like the Internet, creative thinking and meritocracy, many students are stillbeing sat in lines to learn rote while the teacher, the epicentre of the learning experience, drones on and on,listing facts, dates and formulae to be remembered.”31 “While students in other countries are being taught to be comfortable in several different languages beforefirst break, thinking here is dictated by old notions of master and servant. Witness the recent expulsion offive students from a school in Sulawesi for having the temerity to have some fun and post it online. Thegovernment strives for its noble intention of spending 20% of its budget on education.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Setelah melihat kondisi pendidikan pada saat ini, Sutton mencoba untuk kembali
ke masa lalu dengan merujuk catatan sejarah pada akhir abad ke-19. Sutton menganggap
bahwa pendidikan Indonesia dianggap cukup baik hanya untuk putra dan putri penguasa
kolonial Belanda dan keturunan Eurasia. Sementara elit pribumi hanya diajarkan untuk
mengambil alih tugas Belanda, dan orang-orang di kampung sengaja diabaikan. Misalnya,
pada tahun 1853 di Surabaya, ada upaya yang dilakukan untuk mendidik rakyat dengan
membuka Maatschappij tot Nut van het Algmeen (Lembaga Kesejahteraan Umum)
sebagai sekolah dasar dengan tujuan mengajar anak-anak Jawa mengenai beberapa dasar
pengetahuan, tapi sekolah itupun ditutup tujuh tahun kemudian. Bagi Sutton, meskipun
ekspansi pendidikan dimulai dari tahun 1870an hingga 1896; Surabaya membuat dua belas
sekolah dasar, delapan diantaranya dijalankan pemerintah, sementara dua lainnya adalah
sekolah Katolik, namun ia menggangap bahwa sebagian besar masyarakat belajar di
pesantren tradisional, dimana terdapat Kyai yang dihormati untuk mengajarkan para siswa
cara membaca Alquran.32
Dari pembacaan atas artikel yang ditulis bergaya satire di atas dapat diketahui
bahwa Sutton mengingatkan kembali bahwa pendidikan atau dalam arti lainnya adalah
pengetahuan menjadi sebuah persoalan yang dinilai sebagai faktor utama bagi kemajuan
suatu bangsa. Namun demikian, secara implisit, narasi yang disampaikan oleh Sutton
melalui artikel ini masih menempatkan pendidikan Indonesia berada di bawah taraf
pendidikan Barat. Selain itu, ia menganggap bahwa pendidikan di Indonesia sebagai
sebuah ironi, dimana sejak masa kolonial Belanda, pendidikan hanya dapat diraih oleh
32 “At the end of the 19th century, education was considered good enough only for the sons and daughters ofthe Dutch colonial masters and their Eurasian offspring. … Despite the ‘expansion’ of the 1870s, by 1896Surabaya boasted a grand total of 12 primary schools, eight of which were government run, with attendanceextended to five years, while two were Catholic. For the vast majority of the population any learning camein the traditional pesentran where respected kyai taught students how to read the Koran.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
sekelompok masyarakat, bahkan dengan tegas dikatakan bahwa orang-orang kampung
tidak mendapatkan perhatian akses pendidikan.
Di samping itu, Sutton juga menilai bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
lebih cenderung untuk belajar di pesantren kepada seorang Kiai yang mengajarkan cara
membaca Alquran. Dalam hal ini, Sutton tampaknya belum begitu mengetahui, atau
memang sengaja mengingkari, bahwa pembelajaran di pesantren bukan hanya untuk
mengetahui cara membaca Alquran, melainkan juga mempelajari beragam ilmu, seperti
ilmu alam, ilmu sosial, bahasa, hingga filsafat. Dengan demikian, melalui artikel ini dapat
diketahui bahwa ketika Sutton menyatakan bahwa Indonesia masih harus mengejar
ketertinggalan lima puluh tahun yang hilang untuk dapat sejajar dengan pendidikan ala
Barat, sehingga hal ini merupakan penanda dari suatu wacana kolonial kontemporer yang
muncul di masa pasca-kolonial.
C.2.2. Feature:
a. Building in the Dutch East Indie in the Colonial Period33
Pada tulisan ini, Heringa memulai narasinya dengan mengatakan bahwa para
wisatawan selalu terkesan dengan kekayaan arsitektur di Indonesia, di samping struktur
asli bangunan tradisional, candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Prambanan dan
Borobudur, Keraton Kerajaan Jawa di Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon, Masjid sebagai
rumah ibadah umat Muslim, Kuil maupun rumah-rumah Cina di kota-kota pesisir Jawa.
Selain itu, ada juga warna-warni peninggalan kolonial; dari abad ke-17 benteng
Perusahaan Hindia Belanda pada abad 17 di Maluku, gudang tua Belanda di Jakarta,
rumah-rumah dinas pada abad 18, proyek teknik sipil bergaya neo-klasik abad 19, gedung-
gedung publik, pabrik-pabrik dan stasiun kereta api tak lama setelah pergantian abad, serta
33Jakarta Expat 66th Edition, p.4. This article was taken from Ir. F.J.L. Ghijsels, Architect in Indonesia,
initiated by R.W. Heringa, who is the grandson of F.J.L. Ghijsels.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
struktur modernistik tahun dua puluhan dan tiga puluhan, serta 'pengembangan kembali
arsitektur' di tahun lima puluhan.34
Bertolak dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa atas nama ‘estetika’
kekayaan arsitektur bangunan yang terdapat di Indonesia, seperti rumah tradisional
penduduk pribumi, candi, keraton, maupun bangunan kolonial Belanda, Heringa
bermaksud ingin menyampaikan sisi lain dari keindahan alam di Indonesia. Dengan kata
lain, ia beranggapan bahwa estetika dari kekayaan arsitektur bangunan yang dimiliki
Indonesia merupakan bagian dari sisi eksotisme.
Namun demikian, Heringa tidak serta merta langsung menganggap bahwa
kekayaan arstitektur yang dimiliki Indonesia adalah murni karya pribumi Indonesia, tetapi
ia berupaya untuk menunjukkan percampuran yang terjadi di zaman kolonial Belanda.
Dalam hal ini, Heringa menekankan bahwa para arsitek di masa kolonial telah
memberikan sumbangsih atas kekayaan arsitektur bangunan Indonesia yang acapkali
memberikan kesan pada para wisatawan. Bahkan Heringa, lebih lanjut, menyatakan bahwa
Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels (1882-1947) secara khusus telah memainkan peranan
penting dalam hal pembangunan di Hindia Belanda, melihat karir Ghijsels dalam jangka
waktu 20 tahun yang menghasilkan berbagai puluhan desain, banyak bangunan dirancang
dan dibangun, seperti Stasiun Kereta Api Kota Batavia dan Hotel des Indes, yang mana
sebagian besar hingga saat ini dikagumi oleh banyak orang.35
34 “Travellers in Indonesia are always impressed by the richness of its architecture. Besides traditional nativestructures, there are Hindu and Buddhist temples, such as the Prambanan and the Borobudur, the kratons(palaces) of Javanese royalty in Yogyakarta, Surakarta and Cirebon, Islamic prayer houses and mosques,Chinese temples and houses in the coastal towns of Java. There is also the colourful colonial inheritance: the17th century Dutch East Indies Company forts in the Moluccas, the old Dutch warehouses in Jakarta, 18thcentury country houses, neo-classical 19th century civil engineering projects, public buildings, factories andrailway stations dating from shortly after the turn of the century, modernistic structures from the twentiesand thirties and the ‘redevelopment architecture’ of the fifties.”35 “Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels (1882 – 1947), in particular, played an important role in this. Hisactive career covered a period of 20 years during which he produced dozens of designs. Many of the
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Di samping itu, Heringa juga mencoba untuk membuat periodisasi mengenai
aktifitas pembangunan di zaman kolonial, seperti Pencerahan Dog Kennel, zaman
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah pimpinan Daendels, dan peran arsitek swasta.
Pada masa Pencerahan Dog Kennel, misalnya, Heringa memaparkan bahwa arsitektur
kolonial pada abad kesembilan belas ditandai oleh gaya bangunan Neo-klasik. Kemudian,
pada zaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah pimpinan Daendels, Heringa
menguraikan bahwa Departemen Pekerjaan Umum (Departemen van Burgelijke Openbare
Weken - BOW) bertanggung jawab untuk semua konstruksi sipil di bawah kendali
pemerintah Hindia Belanda. Dan terakhir, mengenai peran arsitek swasta, Heringa
memberikan penjelasan bahwa biro arsitek swasta pertama kalinya didirikan menjelang
akhir hingga dekade pertama abad dua puluh. Biro ini memiliki gaya arsitektur tradisional
berdasarkan campuran dari arsitektur klasik Barat dan ornamen Jawa Kuno, yang mana
pada saat ini masih dapat terlihat pada bangunan beberapa bank, perusahaan asuransi,
rumah perdagangan, dan lembaga-lembaga Katolik Roma di Indonesia.36
Dari artikel ini dapat dicermati bahwa Heringa berupaya untuk mengingatkan
kembali berbagai bangunan peninggalan semasa kolonial dan perkembangan arsitektur di
Indonesia. Dari paparan artikel ini, penulis beranggapan bahwa Heringa ingin
memperlihatkan kembali bahwa kekayaan arsitektur yang dimiliki oleh Indonesia saat ini
tidak terlepas dari tindak tanduk pemerintah kolonial Belanda. Dengan kata lain, Indonesia
sebagai negara kolonial Belanda dianggap sebagai tidak mampu menghasilkan sebuah
buildings Ghijsels designed were built and the majority of these can still be admired today, including theRailway Station Kota Batavia and the Hotel des Indes.”36 “Nineteenth-century colonial architecture was typified by Neo-classical building styles. Since the days ofGovernor General Daendels, the Department of Public Works (Department van Burgelijke Openbare Weken– BOW for short) had been responsible for all civil construction under government control. The first privatearchitects’ bureaux were founded towards the end of the first decade of this century. … The bureau’straditional architectural style, based on an amalgam of classical western architecture and Old Javaneseornamentation, found favour with a number of Indonesian banks, insurance companies, trading houses, andRoman Catholic institutions.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
karya arsitektur modern yang otonom. Hal ini yang diperlihatkan oleh Heringa bahwa
beberapa bangunan peninggalan kolonial pada saat ini memiliki kesan arsitektur klasik
(kolonial) sehingga memberikan kesan kehadapan para wisatawan. Dengan demikian,
beberapa bangunan yang dimiliki Indonesia pada saat ini dapat dikatatan sebagai hasil dari
proses mimikri atau peniruan dari arsitektur bergaya Eropa, khususnya pada periode biro
arsitek swasta yang telah dipaparkan oleh Heringa. Dalam hal ini, Indonesia ditempatkan
sebagai bangsa yang telah mengalami percampuran estetika maupun gaya arsitektur
dengan kalangan Eropa, sehingga memberikan sebuah pemahaman bahwa bangunan yang
ada di Indonesia bukan hasil penciptaan murni dari pribumi Indonesia.
b. The Jaksa Position & Jalan Palatehan37
Lewat artikel ini, seorang ekspatriat bernama Kenneth Yeung berupaya untuk
mendeskripsikan perubahan yang terjadi di Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan dalam
beberapa dekade terakhir, yang mana kedua tempat ini telah melayani kebutuhan
wisatawan asing dan ekspatriat di Jakarta. Jalan Jaksa digambarkan sebagai jalan sempit di
daerah Menteng yang menjadi satu-satunya tempat bagi para backpacker di Jakarta,
bahkan populer bagi kalangan ekspatriat yang membutuhkan bir murah. Sedangkan
Palatehan, di Blok M, digambarkan sebagai tempat yang menghantui para pria Barat untuk
mencari perempuan yang dapat menemani.38
Yeung mencoba untuk memberikan gambaran singkat mengenai kedua jalan yang
cukup populer bagi para orang asing di Jakarta, baik itu para backpacker maupun para
ekspatriat, yakni Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan. Bahkan, Yeung memberikan
kepopuleran dan kekhasan yang dimiliki dari kedua jalan ini. Jalan Jaksa sebagai tempat
37 Jakarta Expat 71th Edition, p.4.Written by Kenneth Yeung.38 “Jalan Jaksa and Jalan Palatehan have been serving the needs of tourists and expatriates in different waysfor decades. Jaksa, a narrow street in Menteng, is Jakarta’s sole backpacker strip and is also popular amongexpats requiring cheap beer. Palatehan, in Blok M, is the main haunt for Western men seeking femalecompany.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
minum bir yang murah bagi para ekspatriat, sedangkan Jalan Palatehan maupun Blok M,
sebuah kawasan yang dapat dijadikan para ekspatriat untuk mencari perempuan lokal.
Dan, melalui artikel ini Yeung juga mencoba untuk memberikan sejarah singkat kedua
jalan tersebut. Jalan Jaksa, misalnya, dijelaskan bahwa kawasan ini mendapatkan
keringanan pajak tertentu karena status khusus sebagai lokasi pariwisata, terutama
dikarenakan tidak semua orang asing di Jalan Jaksa adalah orang Barat.
Di samping itu, terdapat beberapa pencari suaka dari Timur Tengah dan Pakistan,
serta rombongan dari Afrika yang sering dikucilkan karena distereotipekan sebagai
gangster terkait keterlibatan mereka dengan obat-obatan terlarang dan kasus penipuan.
Oleh karena itu, para pegawai Imigrasi sesekali merazia Jalan Jaksa, menargetkan para
orang asing agar dapat menunjukkan valid visa.39
Pada artikel Yeung ini terdapat persoalan stereotipikal. Hal ini dapat dicermati
ketika Yeung mencoba untuk mengungkapkan bahwa tidak semua orang asing yang
berkunjung ke Jalan Jaksa adalah kalangan Barat, tetapi terdapat orang-orang Timur
Tengah, seperti Pakistan sebagai pencari suaka, dan banyak orang Afrika yang
distereotipekan sebagai kelompok kriminal. Dalam hal ini, Yeung secara implisit telah
mendikotomikan dirinya sebagai bagian dari Barat sehingga membedakannya dengan
orang-orang Timur Tengah maupun Afrika yang tidak lain telah diidentifikasi sebagai
Timur. Oleh karena itu, melalui artikel ini dapat diketahui bahwa terdapat persoalan
stereotipe mengenai Barat dan Timur yang diberikan oleh Yeung sebagai seorang
ekspatriat kepada para ekspatriat lainnya, yakni para pembaca Majalah JE.
39 “Not all foreigners on Jaksa are Westerners. Some are asylum seekers from the Middle East and Pakistan.There’s a strong contingent of Africans, often unfairly ostracized and stereotyped as gangsters due to theinvolvement of a few in drugs and scams. …. Immigration officials occasionally raid Jaksa, targeting anyforeigner unable to produce a valid visa.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
C.2.3. Observations:
a. A Million Dollar Treasure West Java40
Ide dasar dari artikel yang dituliskan oleh Bartele Santema ini adalah sebuah
perjalanan dirinya dalam mencari sebuah peta tua. Ia memulai narasinya dengan
mendeskripsikan anak-anak kampung yang mengintip dari balik jendela rusak. Dan tanpa
rasa sungkan, ia pun mengatakan sebuah perkampungan miskin karena terdapat banyak
rumah yang hanya terbuat dari rotan dan bambu. Karenanya, ia merasa cukup beruntung
memiliki mobil bermesin penggerak empat roda (double gardan) sehingga dapat berjalan
ke atas bukit curam, penuh dengan lubang dan hujan kecil yang telah membuat jalan licin
dan bahkan lebih berbahaya. Selain itu, ia pun menceritakan membawa dua keponakannya
yang sedang berlibur di Indonesia untuk mencari sebuah harta, yang mungkin bernilai
setengah juta dolar, bahkan memberikan nama perjalanan pencarian harta ini adalah
'misteri' paman Bartele di Timur Jauh.41
Pada artikel berjudul “A Million Dollar Treasure West Java” ini, setidaknya
terdapat dua persoalan yang telah dihasilkan oleh Santema, yakni, perkampungan miskin
dan Timur Jauh. Pertama, mengenai kondisi perkampungan miskin, Santema mengatakan
bahwa terdapat banyak rumah yang terbuat dari bambu dan rotan, bahkan di balik barisan
jendela yang rusak anak-anak mengintip untuk melihat dirinya yang tengah mengendarai
sebuah mobil. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa ia telah membandingkan dua hal
berbeda secara bersamaan, yakni, ia merasa sebagai seorang yang kaya karena memiliki
40 Jakarta Expat 50th Edition, p.11.Written by Bartele Santema.41 “The kids in the kampong peeked from behind broken windows. It was a poor kampong and a lot of thehouses were made of just rotan and bamboo. I was lucky to have a 4x4 car, the road up the hill was steep,full of potholes and a slight rain made it slippery and even more dangerous. I brought my two nieces, whowere in Indonesia for a holiday. I explained to them that the treasure I was looking for was probably worthhalf a million dollars. They both stared motionless and empty eyed to the slippery road in front of them. Myniece Aaltje had not seen much of me in her young life, and I am sure she viewed the ‘mystery’ uncleBartele in the Far East.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
mobil, sedangkan penduduk setempat dianggap sebagai orang yang miskin. Kedua,
mengenai Timur Jauh, imaji ini muncul dalam pikiran Santema yang sedang mengajak
kedua keponakannya untuk mencari sebuah harta. Imaji ini adalah fantasi Santema yang
menganggap dirinya sama seperti seorang pemburu harta karun layaknya pada beberapa
abad silam, yang mana Barat menjelajah hingga ke Timur Jauh untuk mendapatkan suatu
harta tertentu. Dengan demikian, Santema telah menempatkan dirinya sebagai pihak Barat
yang sedang berburu harta di Indonesia.
Harta yang dimaksudkan oleh Santema pada artikel ini adalah peta tertua Indonesia
yang dibuat oleh orang Sunda dan diperkirakan telah berumur lebih dari 400 tahun.
Menurutnya, karena harta ini adalah benda pusaka atau peninggalan suci, maka tak
seorang pun mampu membelinya, bahkan seorang pemburu harta sekalipun tidak tahu
dimana peta ini berada. Dan, ia kembali merasa telah beruntung karena dapat mengetahui
keberadaan peta ini dari seorang temannya, David Parry.
Singkat cerita, pada akhir artikel ini, Santema menyatakan bahwa untuk saat ini
tidak banyak yang bisa dilakukan untuk peta tertua Indonesia ini sehingga ia membiarkan
saja membusuk di pedalaman kampung. Meski demikian, ia tetap mempertanyakan apakah
peta tua akan benar-benar membusuk? Hingga ia pun mengalami keheranan karena
ternyata peta tua ini dipercaya dapat memperbaiki dirinya sendiri, dan jujur, untuk suatu
barang yang telah lama, peta masih dalam kondisi yang luar biasa. Bahkan, di akhir artikel
ini, Santema mengajak para pembaca artikelnya dengan mengatakan bahwa “mari kita
berharap bahwa setidaknya sedikit dari sihir Indonesia yang terkenal dapat bekerja untuk
menjaga benda peninggalan suci yang indah”.42
42 “So for now, not much else to do then just let the oldest map of Indonesia rot away in that far awaykampong. But is it really rotting away? Apparently the map can repair itself and to be honest, the map is inremarkable condition for something stuffed away that long. Let’s hope that at least a little bit of the famousIndonesian magic works for that beautiful sacred relic...”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
Secara eksplisit, Santema telah memberikan sebuah deskripsi mengenai hal mistik
yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, sihir yang dipercaya oleh
masyarakat Indonesia telah membuat Santema dalam mengalami kemenduaan, antara
ingin mempercayai dan menyangkal. Namun demikian, Santema sebagai seseorang yang
berasal dari Eropa, telah mengalami ambivalensi saat di Indonesia. Hal ini dapat dicermati
ketika Santema berupaya mengajak para pembaca artikelnya untuk berharap agar sihir
Indonesia dapat bekerja untuk menjaga suatu benda peninggalan suci. Dengan demikian,
kondisi yang dialami oleh Santema melalui artikel ini adalah sebuah pencarian diri di
dalam ruang antara (in between), karenanya ia berada pada sikap ambivalen.
b. East is West, and West is, Well... 43
Pada artikel ini Dachlan Cartwright mengawali tulisannya dengan mengutip
beberapa kalimat dari seri novel Athony Burgess, The Long Day Wanes alias The Malayan
Trilogy. Novel yang berlatar di Malaysia ini sengaja dipilih oleh Cartwright untuk
mencoba memberikan deskripsi kepada para pembaca tentang Timur dihadapan Barat.
Oleh karena itu, beberapa kalimat dari novel pertama dari trilogi karya Burgess, Time for a
Tiger, disajikan kembali oleh Cartwright sebagai berikut:
‘East? They wouldn’t know the East if they saw it…That’s where the East is, there,’he waved his hand wildly into the black night. ‘Out there, west. You wasn’t there,so you wouldn’t know. Now I was. Palestine Police from the end of the war until wepacked up. That was the East. You was in India, and that’s not the East any morethan this is…’ ”
Berdasarkan kutipan di atas, Timur menjadi sebuah pertanyaan. Timur tidak
diketahui. Sementara itu, barat tidak dipertanyakan. Timur berada diluar barat. Dalam hal
ini Timur menjadi subjek (Timur menggunakan huruf ‘T’ besar), sedangkan barat hanya
menjadi penunjuk arah (barat menggunakan huruf ‘b’ kecil). Dengan demikian, terdapat
43Jakarta Expat 74th Edition, p.6.Written by Dachlan Cartwright. He is a retired teacher and librarian from
Bandung Institute of Technology.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
kontradiksi mengenai Timur sebagai subjek, dan barat sebagai sebuah arah. Kontradiksi
ini pun semakin ditegaskan oleh Cartwright dengan memberi contoh sebagai berikut:
This illustrates the contradiction between cultural perception and geography, whichplaces Australia and New Zealand, far to the “East of Suez”, in the “West”, andsouthwest Asian countries, and, until recently, even North African countries as farwest as Morocco, in the “Near” or “Middle” “East.”
Dalam hal ini yang hendak disampaikan oleh Cartwright adalah kontradiksi antara
persepsi budaya dan geografi. Secara geografi, ia memberikan contoh seperti Australia dan
Selandia Baru, jauh ke “Timur dari Suez”, di “Barat”, dan negara-negara Asia barat daya,
dan, sampai saat ini, bahkan negara-negara Afrika utara sejauh barat Maroko, di “Dekat”
atau “Tengah” “Timur”. Dengan demikian, terdapat pembedaan antara “Timur” sebagai
sebuah subjek dengan “timur” sebagai penanda arah, yang mana dalam geografi dikenal
delapan arah mata angin, seperti, utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, dan
barat. Sementara itu, kontradiksi dalam persepsi budaya dipaparkan Cartwright sebagai
berikut:
Traditionally, the “West” was seen as thrusting, rationalist, materialistic andtechnically superior, whereas the “East” was timeless, spiritual, exotically mystical,and technically backward.
Di sini, Cartwright menjelaskan bahwa secara tradisional, "Barat" dipandang
sebagai memberi dorongan, rasionalis, materialistis dan lebih unggul, sedangkan "Timur"
adalah abadi, spiritual, mistik yang eksotis, dan terbelakang. Jelas bahwa pembedaan
dalam persepsi budaya antara Barat dan Timur ini bukan berdasarkan posisi geografis,
melainkan pada persoalan karakterisasi. Sayangnya, pada tulisan ini, Cartwright tidak
menyinggung asal muasal kontruksi mengenai kontradiksi persepsi budaya yang telah
memiliki karakter masing-masing. Padahal, karakter Barat dan Timur merupakan hasil
suatu konstruksi. Dalam perspektif kolonialisme, kontruksi persepsi budaya antara Barat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
dan Timur adalah mekanisme yang telah dibuat oleh Barat. Hal ini dapat diketahui melalui
sebuah kajian ilmu Orientalisme yang telah diproduksi oleh Barat di masa kolonial.
Demi upaya menegaskan kembali tentang Timur, Cartwright pun mengambil
sebuah contoh lain tentang peristiwa perayaan Tahun Baru 2000, dimana saat sekelompok
pelajar dari Bandung Internasional School sedang berlibur di Bali. Dideskripsikan bahwa
para pelajar bangun pagi-pagi dan berlari ke Pantai Kuta untuk menyaksikan matahari
terbit di milenium baru. Namun setelah beberapa saat dan menyadari tidak juga melihat
adanya matahari, salah seorang pelajar jenius menyadari bahwa Pantai Kuta ternyata
menghadap ke barat. Dari contoh ini, Cartwright pun memberikan sebuah pandangan
dengan mengatakan bahwa bisa saja agar adil, para pelajar membuat pernyataan antar
budaya, seperti pemahaman di sekolah mereka, bahwa antara "Timur" dan "Barat"
memiliki perbedaan makna yang sedikit, atau para pelajar bisa saja lebih mengatakan
sebagai Millennially Apocalypse, yang mana dalam eskatologi Islam dipercaya sebagai
salah satu tanda dari akhir dunia matahari akan terbit di barat.44
Tidak cukup dengan beberapa contoh di atas, selanjutnya Cartwright pun mencoba
untuk memperkenalkan teks dari The Ballad of East and West, puisi dari Robert Kipling.
Pada artikel ini, Cartwright menyajikan teks Kipling untuk mendeskripsikan Timur adalah
Timur, dan Barat adalah Barat, sehingga Timur dan Barat tidak pernah bertemu, hingga
bumi dan langit dihadapkan pada kiamat sebagai hari penghakiman Tuhan. Tapi, tidak ada
44 “At New Year in 2000, a group of Bandung International School students, holidaying in Bali, rose earlyand jogged to Kuta Beach to watch the sun rise on the new millennium. Yes, Kuta Beach… After a while,and no sun, one of these expensively educated geniuses realized that Kuta faces west. To be fair, they couldhave been making an intercultural statement. They could have been saying that, in our school, the differencebetween “east” and “west” has little significance. Or they could have been even more millenniallyapocalyptical. In Islamic eschatology, one of the signs of the end of the world in that the sun will rise in thewest...”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
batasan antara Timur maupun Barat, baik dari keturunan maupun kelahiran, ketika dua
orang berdiri saling berhadapan saat akhir dunia datang.45
Namun demikian, setelah Cartwright menyajikan persepsi budaya dan geografi
antara Barat dan Timur, ia pun mencoba mengajak para pembaca Majalah JE untuk keluar
dari konteks persepsi budaya dan menjalankan misi untuk mengambil dan memadukan
yang terbaik dari Timur dan Barat agar dapat menjadi toleran, hormat dan memiliki rasa
budaya global. Kecuali jika semua hal dibalik. Oleh karena itu, Cartwright merujuk
kembali pada peristiwa milenium sebelumnya, yang mana para pencari dan peziarah,
termasuk tokoh-tokoh seperti Paracelsus, Blavatsky, Gurdjieff, Ouspensky, dan Husein
Rofe telah membuat ‘Journey to the East’ untuk mencari kebajikan di Asia yang bisa
menerangi mereka tentang arti kehidupan.46
Pada artikel ini, dapat dipahami bahwa Cartwright sebagai orang Barat menyadari
keberadaan dirinya yang sedang berada di Timur. Meskipun Carthwright secara sengaja
mengangkat kembali tema binerisme terkait dengan Barat dan Timur, namun penegasan
atas oposisi biner yang ia sampaikan tentunya telah mengantarkan para pembaca untuk
mengingatkan atau menegaskan kembali bahwa Indonesia adalah Timur. Sementara itu,
terlepas dari persoalan binerisme, Cartwright mengakui kondisi pasca-kolonial di
Indonesia. Karenanya ia pun berani untuk mengajak para pembaca artikelnya guna
mengambil dan memadukan yang terbaik dari Timur dan Barat. Dengan kata lain, melalui
sebuah artikel ini, Cartwright berupaya mengajak para pembaca Majalah JE, yakni para
45 “Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet, Till Earth and Sky stand presently atGod’s great Judgment Seat; But there is neither East nor West, Border, nor Breed, nor Birth, When twostrong men stand face to face, tho’ they come from the ends of the earth!”46 “So let’s not take the first line out of context, and surely our mission, including the “strong men andwomen” who read Jakarta Expat, is to take and blend the best of “East” and “West” into a tolerant,respectful and flavor some global culture. Unless the whole thing gets reversed. Over the previousmillennium, a host of seekers and pilgrims, including figures like Paracelsus, Blavatsky, Gurdjieff,Ouspensky and Husein Rofe, made the ‘Journey to the East’, seeking in Asia sages who could enlightenthem on the meaning of life.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
ekspatriat untuk melakukan suatu proses hibriditas antara Barat dengan Timur di dalam
masyarakat Indonesia.
C.2.4. Culture:
a. Islam in The Netherlands East Indies 47
Melalui artikel ini, Hans Rooseboom berupaya untuk memaparkan kisah mengenai
Islam di masa Hindia Belanda. Rooseboom mengawali artikel ini dengan menuliskan
bahwa penyebaran Islam di Indonesia datang melalui sepanjang rute perdagangan kuno,
yakni Malabar dan Coromandel, yang mana terletak di sekitar pesisir barat daya dan
tenggara India, sekitar jalur perdagangan kuno. Dimana kedua daerah ini telah menjadi
pusat penting bagi perdagangan yang menghubungkan wilayah Asia Timur dengan Timur
Tengah dan Eropa. Serupa dengan penyebaran agama Hindu, yang mana pada beberapa
abad sebelumnya telah dibawa ke Indonesia dengan jalur perdagangan kuno yang sama,
Islam telah diperkenalkan ke Nusantara oleh para pedagang dari bagian India.48
Berdasarkan uraian di atas, Rooseboom telah berlaku anakronik ketika ia
memaparkan Islam datang ke Indonesia. Padahal kedatangan Islam pada saat itu adalah ke
kepulauan Nusantara, sedangkan konsep maupun nama Indonesia belum ada pada saat itu.
Sementara itu, konsep Nusantara ini pun muncul atas ambisi Kerajaan Majapahit untuk
menyatukan kerajaan-kerajaan di luar Jawa. Oleh karena itu, konteks yang disampaikan
oleh Rooseboom mengenai kehadiran Islam di Indonesia tidak ditempatkan pada
pemahaman waktu yang sesuai.
47Jakarta Expat 96th Edition, p.14. Written by Hans Rooseboom. He is a long term resident of Jakarta.
48 “Islam came to Indonesia by way of Malabar and coromandel, the respectively south-western and south-eastern coasts of india, along the age-old trade routes. Both regions were important centres of trade, stagingposts so to speak, connecting the eastern Asian regions with the Middle East and Europe. Similar to thespread of Hinduism, which several centuries previously had been brought to Indonesia along the same traderoutes, Islam was introduced to the archipelago by traders from the Indian subcontinent.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
Selanjutnya, melalui artikel ini, Rooseboom menguraikan dua hal seputar Islam di
masa kolonial Belanda, yakni, persoalan jumlah penduduk Muslim di Nusantara dan para
Jamaah Haji yang pergi ke Mekah. Mengenai persoalan jumlah penduduk Muslim di masa
kolonial, Rooseboom merujuk pada data sensus penduduk tahun 1905 yang
memperkirakan jumlah penduduk Nusantara berjumlah 37 juta, dimana sekitar 35 juta,
atau hanya di bawah 95% adalah Muslim, 29,6 juta terdapat di pulau Jawa, sedangkan
sebanyak 5,4 juta berada di luar pulau Jawa.49
Bagi Rooseboom, persoalan jumlah penduduk Islam ini memiliki hubungan
dengan dinamika Jamaah Haji yang berangkat ke Mekah. Rooseboom menguraikan bahwa
pada tahun 1859 jumlah Jamaah Haji diperkirakan sekitar 2.000, tahun 1886 sebanyak
5.000, lalu meningkat menjadi sekitar 7.000 selama dekade berikutnya, hingga pada tahun
1914 jumlah Jamaah Haji dari Nusantara meningkat menjadi 28.000, bahkan ia pun
melompat jauh hingga satu abad selanjutnya, yakni memberikan data mengenai Jamaah
Haji yang berangkat ke Mekah pada tahun 2012 berjumlah lebih dari 200.000.50
Terkait dengan keberangkatan penduduk Muslim ke Mekah di masa kolonial,
Rooseboom membuat sebuah kesimpulan bahwa para Jamaah Haji telah memberikan
pengaruh pada perubahan masyarakat. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan pada
peristiwa di tahun 1917 mengenai kemunculan berbagai sikap intoleransi dan perselisihan
antar agama yang menjadi persoalan umum. Oleh karena itu, sikap intoleransi ini telah
memperkuat kecemasan yang berkepanjangan di kalangan penduduk Eropa dan
pemerintah kolonial. Para Jamaah Haji yang telah pulang dari Mekah dicurigai berkomplot
49 “The population census of 1905 estimates the total population of the archipelago at 37 million, of whichsome 35 million, or just under 95%, were Muslims—29.6m on java and 5.4m on the outer islands.”50 “Whereas in 1859, the yearly number of pilgrims was estimated to be 2,000, the corresponding figure in1886 was 5,000, increasing to some 7,000 during the following decade. In 1914 the number of pilgrims fromthe archipelago had increased to 28,000, and the 2012 number was over 200,000.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
untuk melawan sistem politik Belanda dan menabur benih intoleransi serta fanatisme
agama.51
Melalui artikel ini Rooseboom ingin mengatakan bahwa terdapat korelasi antara
meningkatnya jumlah haji di Indonesia dengan sikap intoleransi dan fanatisme di dalam
masyarakat kolonial Belanda. Dengan kata lain, Rooseboom menilai bahwa para Jamaah
Haji telah terlibat menumbuhkan sikap intolerensi dan fanatisme di dalam kehidupan
masyarakat. Bahkan, melalui artikel ini, Rooseboom ingin memberikan suatu wacana
mengenai Islam di masa kolonial, yakni sebagai sumber kekhawatiran bagi pemerintah
kolonial Belanda dan para penduduk Eropa. Dengan demikian, Islam di masa kolonial
telah memberikan dinamika yang cukup signifikan terhadap kehidupan kolonial Belanda,
terutama pada awal abad ke-20.
b. Bandung Heritage Walk52
Melalui artikel ini, Bob Holland menarasikan tulisannya dengan latar semasa
kolonial. Secara tegas, ia pun secara langsung mengawali tulisannya dengan menyatakan
bahwa semuanya dimulai pada awal 1800an ketika penjajahan Belanda, yang dipimpin
oleh Gubernur Jenderal Daendels, memutuskan untuk membangun jalan di seluruh Jawa
dan disebut sebagai Jalan Raya Pos, yang sebagian besar dibangun untuk tujuan
pertahanan. Di samping itu, tujuan utama pembangunan jalan ini untuk membuka akses ke
banyak daerah tertinggal di Jawa, termasuk lembah Bandung– yang sekarang menjadi
tempat tinggal lebih dari sepuluh juta orang.53
51 “These observations, dating from 1917, conclude with the remark that the reverse side of this change wasthat intolerance grew and religious strife became more common. This, in turn, strengthened the lingeringanxiety among the European section of the population and the colonial government. Returning hajjis weresuspected of plotting against the political system and sowing intolerance and fanaticism.”52 Jakarta Expat 101st Edition, p.6.Written by Bob Holland.53 “It all started back in the early 1800s when Dutch colonialists, led by Governor General Daendels,decided to build a road across Java called the Grote Postweg, which was mainly constructed for defencepurposes. This major undertaking opened up access to many underdeveloped areas of Java, including theBandung Basin - now home to over ten million people.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Berdasarkan teks di atas, Holland sebagai seorang ekspatriat telah berlaku
mengagung-agungkan keunggulan kolonial. Dalam hal ini, kolonial Belanda dinilai telah
berjasa dalam pembangunan jalan di pulau Jawa untuk membuka akses ke banyak daerah
tertinggal. Sebaliknya, dengan dalih membuka akses maupun sebagai tujuan pertahanan,
pada kenyataannya pembangunan Jalan Raya Pos yang dilakukan kolonial Belanda adalah
untuk mempercepat dan memperlancar arus perpindahan barang dari pelosok daerah di
Jawa ke pelabuhan di utara, yang mana selanjutnya akan dibawa oleh kolonial Belanda ke
Eropa. Oleh karena itu, pada artikel ini Holland telah menyembunyikan wacana arus
perdagangan di balik pembangunan jalan yang diprakarsai kolonial Belanda.
Sementara itu, dalam narasi perjalanan Holland mengelilingi Kota Bandung, yang
di mulai dari titik 0 km, di depan Hotel Savoy Homann, Jalan Asia Afrika, mengatakan
bahwa Daendels telah memproklamirkan Bandung sebagai tempat yang akan dibentuk
menjadi pusat layanan wisatawan sepanjang jalan trans Jawa. Bahkan, Holland pun
memaparkan berbagai bangunan, seperti, Hotel Preanger yang dibangun pada tahun 1929
dirancang oleh seorang Arsitek Belanda kelahiran Jawa, yakni Wolff Schoemaker, yang
kemudian menjadi pengajar di Bandoengsche Technische– sekarang menjadi Institut
Teknologi Bandung. Kemudian Holland memaparkan beberapa bangunan yang terkait
dengan nama Schoemaker, seperti, di Jalan Braga terdapat gedung tua Majestic Cinema,
yang sekarang telah menjadi Museum Konferensi Asia Afrika, dan Societeit Concordia
Club House yang sekarang disebut sebagai Gedung Merdeka.54
54 “Our walk started from the 0km marker, opposite the Savoy Homann on Jalan Asia Afrika. This landmarkis where Daendels first proclaimed the place from which Bandung would be established as a new centre toservice travellers along the Trans-Java road. Nearby is the Preanger Hotel, which was built in 1929 by aJava-born Dutch architect, Wolff Schoemaker, who went on to be lecturer at the Bandoengsche Technische -now the Bandung Institute of Technology.Our small tour group walked to other buildings close by, many ofthese also associated with Schoemaker’s name. On Jalan Braga we visited the old Majestic Cinema, now theAsian-African Conference Museum, and what used to be the Societeit Concordia Club House, now calledGedung Merdeka”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Holland pun kembali menekankan bahwa kota Bandung telah dibangun oleh
kolonial Belanda, yakni Daendels, dan dimaksudkan sebagai sebuah pusat kota untuk
melayani para wisatawan. Di samping itu, Holland juga memaparkan bahwa beberapa
bangunan tua di kota Bandung, seperti Hotel Preanger, Musium KAA dan Gedung
Merdeka, dibangun oleh seorang arsitek Belanda kelahiran Jawa, Wolff Schoemaker.
Dalam hal ini, Holland telah berupaya untuk mengingatkan peran kolonial Belanda dalam
membangun kota Bandung. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kolonial Belanda
diposisikan sebagai pihak yang telah banyak membangun dan merubah kota Bandung,
awal mula adalah sebuah lembah, dan kini telah menjadi sebuah kota metropolis. Dengan
kata lain, Holland ingin berupaya menegaskan kembali keunggulan Belanda di masa
kolonial.
Lepas dari masa kolonial dan melaju ke masa pasca-kolonial, Holland memaparkan
sebuah perjalanan bersama teman-temannya saat mengelilingi kota Bandung. Holland
menyadari bahwa meskipun ia telah tinggal di Bandung selama bertahun-tahun, namun ia
jarang berkelana ke jantung kota Bandung untuk melihat lebih dekat apa yang ada di sana.
Holland pun menduga bahwa hal ini adalah kasus umum bagi banyak ekspatriat lain yang
tinggal di Bandung – kota yang dulu dikenal sebagai Paris of Java. Sementara itu, para
orang asing dinilai lebih sering duduk di depan Hotel Savoy Homann untuk menikmati bir
dingin di sore hari atau menghadiri beberapa acara malam, sehingga tidak pernah
mengambil waktu untuk menjelajahi ikon bangunan kota Bandung.55
55 “Having lived in Bandung for many years, I have rarely ventured into the heart of Bandung to take acloser look at what’s there. And I suspect this is the case for many other expats living in Bandung andweekend visitors from Jakarta who have been deterred by the heavy traffic congestion downtown; missingout on discovering the fascinating early history of the city and its significant heritage – the city once knownas the Paris of Java. Whilst we had often sat out in the front of the Savoy Homann to enjoy a cold beer in theafternoon, or attended some evening events there. I had never taken time to explore this iconic building andthe many others like it nearby. ”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
Melalui artikel ini Holland mencoba untuk memberikan sebuah asumsi atas
keberadaan para ekspatriat di kota Bandung yang lebih sering duduk di depan Hotel Savoy
Homman daripada melihat kota Bandung. Dengan kata lain, para ekspatriat dinyatakan
sebagai sebuah kelompok yang enggan berbaur dengan masyarakat sekitar. Para ekspatriat
lebih cenderung untuk memilih duduk bersama ekspatriat lainnya di sebuah tempat yang
sering dijadikan sebagai tempat berkumpul, seperti Hotel Savoy Homman. Selain itu,
Holland pun menyampaikan perihal gaya hidup para ekspatriat yang lebih sering bersantai
untuk menikmati sebuah bir dingin. Dengan demikian, melalui artikel ini setidaknya
terdapat dua persoalan, pertama, cara pandang Holland yang telah mengagung-agungkan
keunggulan kolonial, atau dalam wacana kolonial disebut sebagai superioritas Barat. Dan
kedua, Holland telah memberikan deskripsi tentang gaya hidup para ekspatriat di
Bandung.
C.2.5. Literature:
a. Unravelled Raffles56
Terry Collins melalui artikel ini pada dasarnya berupaya untuk mengingatkan
kembali para pembaca Majalah JE tentang Sir Thomas Stamford Raffles. Berawal dari
adanya jajak pendapat yang dilakukan oleh BBC pada tahun 2002, yang mana
menempatkan sang petualang dan penjelajah seperti Walter Raleigh terdaftar dalam 100
Britons Greatest, telah membuat Collins untuk mencoba mempertanyakan mengapa
Raffles tidak masuk ke dalam daftar tersebut. Oleh karena itu, Collins pun sengaja
membaca sebuah buku biografi Raffles karya Tim Hannigan, dengan tujuan ingin berbagi
gagasan bahwa Raffles adalah manusia hebat; menemukan Borobudur, mendirikan
56 Jakarta Expat 84th Edition, p.6.Written by Terry Collins.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
Singapura dan memiliki sebuah hotel yang dinamakan Raffles sehingga terlihat menjadi
kebanggaan yang cukup.57
Melalui buku biografi Raffles karya Hannigan, Collins mengupas kisah perjalanan
Raffles dan menguraikan berbagai kisah tentang Raffles, seperti, pernah menjadi Letnan
Gubernur Jawa, petugas East India Company, berlayar ke Penang dan menjadi asisten
sekretaris Gubernur Penang (Malaysia), pernikahan Raflles dengan Olivia pada bulan
April 1805, hingga tugas Raffles untuk mengumpulkan informasi tentang Jawa.
Menurut Collins, Hannigan telah melakukan sebuah –mekanisme nilai tukar –
penulisan biografi yang memukai tentang Raffles. Melalui sebuah buku karya Hannigan,
Collins melihat kekayaan latar belakang tentang sejarah Jawa di masa sebelumnya, mulai
dari kehidupan di kesultanan, kerajaan Mataram, Majapahit hingga tentang bagaimana
agama-agama tiba seiring dengan kedatangan para pedagang, yang mana orang Jawa
masih relevan dengan hal mistisisme. Bahkan, di akhir artikel ini, Collins merasa tidak
mampu memuji Hannigan yang telah bekerja sangat cukup, tetapi ia memiliki satu
peringatan tentang buku ini dengan mengatakan bahwa sebuah buku dengan begitu banyak
kekayaan untuk siapapun yang tertarik mengenai Raffles dan Indonesia akan sangat
menguntungkan dari sekedar indeks.58
Melalui artikel ini, Collins bukan hanya berupaya untuk melakukan resensi atas
sebuah buku mengenai biografi Raffles karya Hannigan, melainkan ia juga bermaksud
57 “Our heroes were the adventurers and explorers such as Walter Raleigh who brought us tobacco, potatoesand gold he’d pirated off Spanish buccaneers. In 2002 he was listed in a BBC poll of the 100 GreatestBritons. But Sir Thomas Stamford Raffles wasn’t. Until reading Tim Hannigan’s new published biography,I’d continued to share the notion that Raffles was a great man; discovering Borobodur, founding Singapore,and having a hotel named after him seemed to be credit enough.”58 “Hannigan has done us a great service with his – erm– spellbinding biography. It is packed with a wealthof background about the earlier history of Java, life in the sultanates with their intrigues, of the Mataram andMajapahit kingdoms, about how religions arrived with ill-educated traders, and the still relevant Javanesemysticism, with footnotes where appropriate. I cannot praise Hannigan’s work highly enough, but have onecaveat: a book with such riches for anyone with a smidgeon of interest in Raffles and Indonesia wouldgreatly benefit from an index.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
untuk menyampaikan bahwa buku ini memuat sejarah Jawa dan Indonesia. Hal ini terlihat
pada bagian akhir artikel yang disajikan oleh Collins, yakni memberikan sedikit deskripsi
mengenai Jawa. Collins menyinggung sejarah Jawa pada masa lampau, seperti, masa
kerajaan Mataram, Majapahit hingga persoalan orang Jawa yang dinilai masih hidup
dalam mistisisme sebelum para pedagang datang membawa agama. Dalam hal ini, Collins
sebagai seorang ekspatriat telah berlaku sama seperti para penulis ekspatriat lainnya yang
telah banyak dibahas sebelumnya. Collins –dengan maupun tanpa kesadaran– ingin
mengingatkan kembali stereotipe tentang masyarakat Jawa yang berkaitan dengan hal
mistik di masa lampau.
Di samping itu, sebagaimana karya termasyhur Raffles, Histrory of Java, telah
menjadi sebuah literatur bagi Barat untuk memahami Jawa. Begitu pula dengan upaya
Collins dalam meresensi sebuah buku ini, yakni berupaya untuk menjadikan biografi
Raffles karya Hannigan ini sebagai sebuah literatur untuk mengetahui kisah Raffles di
Timur; Singapura maupun Indonesia. Dengan kata lain, berbekal sebuah biografi Raffles,
Hannigan sebagai penulis buku, dan diresensi oleh Collins, masih menjadikan Timur
sebagai sumber literatur bagi kalangan Barat.
b. INDONESIA ETC. Exploring the Improbable Nation59
Melalui artikel ini, Collins kembali melakukan sebuah upaya resensi dan
memberikan pendapat atas sebuah buku karya Elizabeth Pisani. Bagi Collins, karya Pisani
ini dinilai telah memuat sebuah kisah perjalanan tentang Indonesia dengan menarik. Dan,
buku setebal hampir 400 halaman ini pun diulas oleh Collins dengan gaya bahasa satire.
Sebelum membaca buku karya Pisani, Collins merasa telah mempelajari dan
memahami Indonesia, yang menurut dirinya berkilauan samar-samar di dalam kesadaran.
59Indonesia Expat 120th Edition, p.15. Written by Terry Collins.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Akan tetapi, setelah membaca buku karya Pisani, ia seolah-olah merasa telah memperoleh
deskripsi yang tampak jelas. Berangkat dengan menjelaskan kisah Pisani yang berkunjung
ke Indonesia, Collins menempatkan dirinya sebagai penerus informasi untuk memberikan
deskripsi mengenai Indonesia kepada para pembaca Majalah JE, khususnya para orang
asing atau para ekspatriat yang sedang berada di Indonesia.
Collins memaparkan bahwa Pissani telah bertemu banyak budaya yang masih
sangat berakar pada adat istiadat dan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun, namun
terdapat orang-orang desa yang mendokumentasikan sebuah ritual pengorbanan ke dalam
ponsel (yang mana) menampilkan pemimpin bangsa yang sakit kepala. Karena itu, Pisani
mengajukan sebuah pertanyaan, jika yang tradisional dan modern hidup berdampingan di
Indonesia, hukum mana yang seharusnya digunakan? Bahkan, karena adanya sistem klan,
ditunjukkan bahwa 'korupsi' banyak terjadi sebagai bentuk gambaran 'patronase', seperti
'posisi' tertentu telah dipesan untuk para anggota klan, dan adanya pertukaran barang
penghormatan – dari babi ke kerbau di pesta pernikahan dan pemakaman di daerah
pedesaan, uang tunai untuk di kota-kota dan pusat pemerintahan – secara tradisional yang
merupakan simbol penghormatan terhadap posisi dalam suatu hirarki.60
Pada artikel ini, Collins cenderung lebih banyak mengutip tulisan Pisani untuk
memperlihatkan gambaran mengenai Indonesia. Dengan mengutip teks yang disediakan
oleh Pisani, Collins pun telah mendeskripsikan budaya Indonesia, seperti orang-orang
yang bersinggungan dengan sebuah teknologi modern; telepon genggam. Bahkan,
deskripsi tradisional dan modern telah berupaya untuk menunjukkan bagaimana kondisi
60 “Many of the cultures she meets are still very much rooted in adat, the traditions carried down through thegenerations, yet “villagers film a ritual sacrifice on their mobile phones [which] presents the nation’sleaders with a headache. If ancient and modern Indonesia co-exist, which should they make laws for?” Sheobserves the clan system and suggests that what many call ‘corruption’ may be best described as‘patronage’. Certain ‘positions’ are ‘reserved’ for members of the clan, and the exchange of items of‘homage’ — from pigs to buffaloes at weddings and funerals in rural areas, to cash in cities and governmentcentres — are traditionally a symbol of respect for the positions in a hierarchy.” (Cetak miring dari penulis)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
masyarakat kontemporer Indonesia. Selain itu, Collins, juga memberikan deskripsi
mengenai masalah di Indonesia yang cenderung kausalitas, seperti korupsi karena adanya
sistem patronasi, posisi tertentu telah dipesan untuk anggota klan, dan hewan sebagai nilai
pertukaran, sedangkan uang berlaku untuk di kota dan pemerintahan.
Selanjutnya, mengenai birokrasi, Collins pun masih meneruskan tulisan Pisani
dengan menyampaikan bahwa suatu alasan sering dikatakan sebagai ‘belum dapat
petunjuk’, yang dapat diartikan sebagai ‘saya belum menerima instruksi’, atau disebut juga
istilah lainnya ‘Asal Bapak Senang (ABS) –‘asalkan bapak senang'. Sementara itu, dalam
bidang politik, reformasi telah mengirimkan sistem demokrasi hampir ke semua orang di
pelosok daerah dan membongkar rezim Orde Baru Suharto yang terpusat, yang mana
hampir semua punya kenalan yang dapat membantu (nepotisme, kolusi, korupsi).61
Bertolak dari uraian di atas, Collins yang mengambil beberapa cuplikan dari Pisani
telah menguraikan deskripsi Indonesia pasca-kolonial, seperti budaya, tradisi, ritual,
sosial, ekonomi, birokrasi hingga politik. Berangkat dari kisah yang dituliskan oleh Pisani,
Collins pun menyakini bahwa masih terdapat banyak kisah tentang pengalaman orang
asing di Indonesia. Oleh karena itu, Collins berpendapat masih banyak kisah kontemporer
tentang Indonesia yang belum dipublikasikan, bahkan ia juga menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara yang sangat berbeda dari yang dipikirkan oleh para orang asing,
yang mana selama ini sudah merasa tahu.
Namun demikian, pada resensi yang disediakan oleh Collins ini, setidaknya bagi
penulis terdapat lima hal mengenai Indonesia pada masa kontemporer yang hendak
diberikan kepada para pembaca. Pertama, masyarakat tradisional Indonesia yang gagap
61 “In bureaucracies, that translates as the excuse that “belum dapat petunjuk” — ‘I haven’t receivedinstructions yet’ and Asal Bapak Senang (ABS) — ‘as long as father is happy’. ….Within the politicalsphere, following reformasi and the dismantling of Suharto’s centralised Orde Baru, there is now “so muchdemocracy around that almost everyone has someone somewhere in the system delivering for them.” (Cetakmiring dari penulis)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
dengan modernitas; pendokumentasian sebuah ritual ke dalam telepon genggam. Kedua,
stereotipe negatif budaya Indonesia pada lingkup birokrasi;sistem patronase. Ketiga,
masyarakat Indonesia yang ‘malas’; alasan ‘belum dapat petunjuk’ Keempat, perubahan
sistem demokrasi pasca reformasi; euphoria masyarakat Indonesia yang menjalankan
sistem desentralisasi. Dan terakhir, sebagaimana judul buku yang diberikan oleh Collins,
“Indonesia, dan lain-lain, menjelajahi bangsa yang mustahil”, atau dengan kata lain,
Indonesia telah dianggap sebagai sebuah bangsa yang lengkara.
D. Catatan Penutup
Jakarta sebagai sebuah kota metropolis yang dipenuhi oleh banyak pendatang,
tidak mengecualikan para orang asing untuk dapat merepresentasikan identitasnya di
dalam masyarakat. Dalam hal ini, pada khususnya orang kulit putih berupaya untuk
merepresentasikan identitas diri mereka sebagai ekspatriat. Kisah perjalanan hidup telah
menjadi bagian dari identitas mereka hingga dapat merepresentasikan diri sebagai
ekspatriat. Meskipun kehadiran orang kulit putih di Indonesia bukan suatu hal yang terjadi
untuk pertama kali, namun kehadiran mereka sebagai ekspatriat pada saat ini telah
mengingatkan kembali pada orang kulit putih di masa kolonial tempo dulu. Hal ini
disebabkan karena para ekspatriat melanjutkan wacana yang serupa dengan para
pendahulunya, yakni para kolonialis.
Berdasarkan ragam sajian yang termuat di dalam Majalah JE, para ekspatriat telah
menempatkan citra Indonesia sama dengan yang pernah dilakukan oleh para kolonial. Para
ekspatriat masih menggunakan wacana orientalisme untuk dijadikan sebagai bekal
pengetahuan dalam memandang maupun memahami karakter dan stereotipe tentang
Indonesia. Dengan kata lain, melalui Majalah JE para ekspatriat masih menempatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
Indonesia berada di bawah posisi mereka, sebagai bagian dari negara dunia ketiga yang
pernah terjajah. Hal ini dapat dicermati, baik melalui cover photo Majalah JE maupun
beragam teks yang mengandung wacana kolonial mengenai Indonesia. Oleh karena itu,
persoalan ini, yang mana merupakan pertanyaan kedua dalam rumusan masalah penelitian
ini, mengenai wacana kolonial mengenai Indonesia yang dihadirkan melalui imaji dan teks
di dalam Majalah Jakarta Expat akan dibahas pada bab selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
BAB IV
EKSPATRIAT DAN WAJAH BARU KOLONIALISME
Pada satu bab penulisan ini, penulis akan menjawab dua pertanyaan tersisa yang
telah diajukan pada rumusan masalah penelitian. Pertama, penulis berupaya untuk
melalukan analisis wacana kolonial mengenai karakteristik dan streotipe Indonesia yang
muncul dari imaji dan teks di dalam Majalah JE. Kedua, penulis berupaya untuk
memberikan tafsiran terhadap ekspatriat melalui Ruang Ketiga ala Homi Bhabha atas
representasi diri ekspatriat maupun wacana kolonial yang termuat di dalam Majalah JE.
Dan melalui Ruang Ketiga ini pula, berdasarkan sajian teks yang termuat di dalam
Majalah JE penulis akan menguraikan persoalan hibriditas dan ambivalensi yang dialami
oleh para ekspatriat.
A. Analisis Wacana Kolonial Kontemporer
Berbicara mengenai imaji dan teks sudah tentu melibatkan wacana yang
terkandung maupun yang tersembunyi di dalam wacana itu sendiri. Wacana memainkan
suatu peran dalam menciptakan hingga mengatur suatu pemahaman atas mekanisme
pengetahuan. Bahkan, wacana di dalam sebuah media tidak hanya dapat dipahami sebagai
serangkaian kata atau proposisi dalam teks, akan tetapi telah menjadi sesuatu yang
memproduksi yang lain, seperti sebuah gagasan, konsep atau efek (Eriyanto, 2001:65).
Oleh karena itu, analisis wacana kolonial kontemporer ini berupaya untuk memperlihatkan
wacana dan menemukan makna yang tersembunyi atas imaji dan teks yang tersajikan oleh
para ekspatriat di dalam Majalah JE.
Secara khusus, penulis menemukan beragam wacana kolonial kontemporer pada
beberapa rubrik yang tersajikan di dalam Majalah JE, di antaranya Moment in History,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
Feature, Observations, Culture, dan Literature. Penulis berpendapat bahwa kelima rubrik
tersebut memiliki kandungan wacana kolonial yang bersumber dari beragam kajian ilmu
maupun hasil catatan perjalanan dan penelitian para Orientalis – baik di masa kolonial
maupun pasca-kolonial. Dengan kata lain, hal semacam ini dapat dikatakan sebagai“The
Orient became an object suitable for study in academy” (Said, 1978:7). Artinya, Timur
menjadi ragam sumber pengetahuan yang dilembagakan secara formal oleh kalangan
Barat. Pengetahuan tentang Timur tertuang ke dalam berbagai disiplin ilmu, seperti
antropologi, sosiologi, sejarah dan lain-lain. Oleh karena itu, dengan beragam rubrik
maupun artikel, Majalah JE telah memberikan citra mengenai Indonesia kepada para
pembacanya, yakni para ekspatriat, guna mendapatkan deskripsi maupun pemahaman
tentang Indonesia.
A.1. Karakteristik Indonesia
Berbagai karakteristik mengenai Indonesia dapat ditemukan pada beberapa rubrik
maupun artikel yang tersajikan di dalam Majalah JE. Pada rubrik Moment in History,
misalnya, sejarah dinilai telah menjadi elemen yang sangat penting sebagai salah satu
unsur untuk memahami sebuah objek seperti Indonesia. Dengan memberikan sebuah
artikel, para ekspatriat telah memberikan serpihan-serpihan dari kajian ilmu tentang Timur
(Orient). Meskipun sebuah artikel yang termuat pada rubrik Moment in History ini adalah
suatu bentuk tulisan populer, yang mana dituangkan ke dalam suatu media populer seperti
Majalah JE, namun wacana yang tersembunyi di balik artikel ini juga menggunakan
mekanisme pengetahuan Orientalisme. Dengan demikian, artikel yang termuat di dalam
rubrik Moment in History ini dapat dikatakan sebagai suatu upaya wacana kekuasaan
Barat terhadap Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
Pada artikel They Came to Java yang termuat di dalam rubrik Moment in History
ini, Anthony Sutton mencoba untuk memperlihatkan bagaimana kalangan Barat dapat
berfantasi ria dalam memandang Indonesia. Sutton, dengan mengutip pandangan Alfred
Wallace, memaparkan bahwa pada abad ke-19 Jawa merupakan sebuah pulau tropis
terbaik di dunia. Akan tetapi, jika kita menelisik lebih mendalam kisah perjalanan selama
kehidupan Wallace, sebagaimana yang tertuang dalam biografinya, ia hanya mengunjungi
Amazon dan beberapa kawasan di Asia Tenggara. Sementara itu, kawasan tropis lainnya
seperti Afrika absen dari rekening penjelajahan sang petualang Wallace. Oleh karena itu,
Wallace sebagai seorang Barat secara tidak sadar telah memfantasikan Jawa sebagai pulau
tropis terbaik di dunia, sehingga telah meniadakan pulau tropis lainnya. Begitu pula
dengan fantasi Sutton yang turut menceritakan pengalamannya saat mengunjungi Bromo
pada tahun 1980an, dan menyandingkan hal tersebut dengan seorang petualang John
Whitehead, hingga keduanya sama-sama menilai bahwa Jawa adalah tempat eksotis di
wilayah tropis. Dengan demikian, dalam hal ini Sutton masih menggunakan sudut pandang
yang sama dengan Wallace, yakni berkelanjutan dalam memberikan suatu sisi eksotisme
tentang dunia Timur, seperti Indonesia melalui pulau Jawa.
Di samping itu, bergerak mundur pada kisah di abad-abad sebelumnya, Sutton pun
kembali memaparkan bahwa abad ke-16 adalah sebuah awal perlombaan untuk
mendapatkan kepulauan Rempah di Nusantara. Karena itu, kehadiran Belanda maupun
Inggris yang menjadikan Banten sebagai wilayah menetap kedua negara kolonial ini
seakan telah menjadi lumrah. Namun demikian, pada artikel ini Sutton tidak serta merta
menyinggung atau memberikan suatu penjelasan mengenai bagaimana bentuk kehidupan
kolonialis di negara kolonial. Dengan kata lain, Sutton telah abai terhadap praktik kolonial
sehingga tidak menarasikan apapun yang berkaitan dengan kondisi kehidupan para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
kolonialis Eropa, seperti Belanda dan Inggris saat berada di seberang lautan negara-negara
Barat seperti di Timur. Oleh karena itu, atas adanya artikel ini penulis menarik sebuah
kesimpulan bahwa Sutton telah memberikan beberapa wacana kepada para pembaca
Majalah JE, di antaranya, legitimasi negara-negara Barat yang berlomba untuk
mendapatkan Timur (kolonialisme), melalukan dominasi dan menduduki Nusantara karena
menyimpan kekayaan alam yang dapat menyediakan keuntungan bagi Barat, hingga Barat
dianggap lumrah untuk dapat membuat berbagai aturan kolonial di tanah Timur.
Selain itu, dengan mengutip catatan perjalanan Nicolo de Conti, Sutton pun telah
mereproduksi kembali suatu ingatan kepada para pembaca Majalah JE bahwa pada
beberapa abad sebelumnya, yakni di abad ke-15, Jawa dideskripsikan sebagai wilayah
yang lebih kejam dan tidak manusiawi daripada bangsa lain; dirasa berdosa karena
mengkonsumsi tikus, anjing dan kucing. Meskipun Sutton tidak mengafirmasi persepsi
tersebut, namun ia tampaknya berupaya untuk memberikan sebuah deskripsi mengenai
Jawa sebelum kedatangan bangsa Eropa (Barat), yang mana masyarakat Jawa hidup dalam
keadaan barbar bahkan dikatakan primitif. Dalam hal ini muncul wacana mengenai Timur
yang seolah-olah butuh untuk diajarkan dan diperadabkan karena memiliki kemorosotan
moral, sehingga kolonialisme telah menjadi dalih bagi para kolonialis Barat untuk
melakukan penaklukan dan penjajahan.
Melalui artikel They Came to Java ini juga, penulis mencermati bahwa gagasan
pokok Sutton adalah bertujuan untuk mendeskripsikan Indonesia sebagai suatu realitas
yang berbeda dari Barat. Dalam hal ini, Sutton merekonstruksi imaji Indonesia melalui
fantasi dengan menjadikan Timur sebagai sesuatu yang tidak sama dengan Barat. Dengan
kata lain, fantasi yang dilakukan oleh Sutton melalui artikel ini telah memberikan sebuah
kesamaan dirinya seperti dengan yang telah dilakukan oleh para Orientalis Barat pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
beberapa abad yang silam. Sutton sebagai seorang ekspatriat telah menggunakan fantasi
dirinya sebagai bagian dari bentuk mekanisme wacana Orientalisme untuk menciptakan
suatu asumsi maupun deskripsi tentang Timur yang sangat berbeda dengan Barat, yang
mana pada artikel ini membahas tentang Jawa.
Selanjutnya, pada artikel Sutton yang lain, Educating the Past, penulis mencermati
bagaimana Sutton telah memberikan suatu deskripsi mengenai Indonesia sebagai bagian
dari Timur yang memiliki perbedaan fundamental dengan Barat. Dengan mengangkat
tema seputar dunia pendidikan, pada artikel Educating the Past ini Sutton mencoba untuk
mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki ketertinggalan dari Barat. Berdasarkan
kacamata Sutton, Indonesia dinilai masih menjalankan sistem pendidikan yang lama,
seperti belajar hafalan maupun mengingat rumus. Sementara itu, pendidikan di Barat
dinilai telah mengalami perkembangan maju dengan mengajarkan para siswa untuk
berpikir kreatif, menggunakan layanan internet, hingga mendapatkan pelajaran bahasa
yang berbeda. Oleh karena itu, pada artikel ini Sutton telah merekonstruksi kembali
oposisi biner antara Barat dan Timur, yang mana Barat dianggap sebagai bangsa maju,
sedangkan Timur sebagai bangsa yang sedang berkembang maupun tertinggal.
Sutton juga mengatakan bahwa pada saat ini pendidikan Indonesia masih
menanggung beban historis untuk mengejar ketinggalan waktu setengah abad terakhir.
Bertolak dari sejarah pendidikan Indonesia, yakni pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, Sutton mengingatkan kembali bahwa pendidikan Indonesia belum mencakup
semua golongan masyarakat. Pada akhir abad ke-19, Sutton memaparkan bahwa
pendidikan hanya dapat diterima oleh masyarakat keturunan Eropa maupun Eurasia dan
kalangan elit pribumi, sedangkan orang-orang kampung di pedesaan, bahkan di pedalaman
diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, pada masa kolonial kalangan Eropa “merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
berhak” untuk mendapatkan superioritas mereka karena kalangan pribumi tidak
mendapatkan pendidikan seperti kalangan Barat. Dengan kata lain, Sutton ingin
memperlihatkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia telah memiliki masalah sejak masa
kolonial, sehingga pada saat ini masih tetap berada di bawah standar pendidikan Barat.
Meskipun Sutton pada artikel Educating the Past menyadari bahwa dampak kolonialisme
masih dapat dirasakan hingga saat ini, namun kesadaran Sutton belum cukup kritis karena
tidak memberikan kritik atas aksi kolonialisme Belanda di Indonesia. Sutton seakan hanya
memaparkan tanpa menindaklanjuti atas kondisi yang dialami Indonesia pada masa pasca-
kolonial. Dengan demikian, Sutton telah menegaskan kembali batasan antara Barat dan
Timur melalui bidang pendidikan.
Mengenai rubrik Feature, khususnya artikel Building in the Dutch East Indie in the
Colonial Period turut memainkan wacana kolonial dengan memberikan karakteristik
mengenai Indonesia. Pada artikel ini Heringa lebih banyak memberikan sajian tentang
berbagai bangunan peninggalan kolonial Belanda. Meskipun artikel ini sempat
menyinggung tentang Candi Prambanan dan Borobudur, bangunan Keraton hingga
Masjid, namun bangunan pemerintahan kolonial Belanda tetap menjadi fokus perhatian
Heringa yang utama dalam artikel ini. Fokus tersebut merupakan sebuah bentuk upaya
pembuktian bahwa Barat dinilai lebih unggul daripada pribumi Indonesia mengenai
persoalan arsitektur. Terutama, Heringa berupaya untuk mengungkapkan bahwa Ir. Frans
Johan Louwrens Ghijsels (1882-1947), dinilai telah sangat berperan penting dalam hal
pembangunan gedung-gedung di Hindia Belanda, seperti Stasiun Kereta Api Kota Batavia,
dan Hotel des Indes di Jakarta. Oleh karena itu, melalui artikel ini Heringa berupaya untuk
mengajak para pembaca untuk mengingat kembali peninggalan pemerintah Hindia
Belanda di Indonesia yang telah memiliki pengaruh besar dalam hal modernisasi, bahkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
menyimpan suatu nilai yang tinggi dalam seni arsitektur. Dengan kata lain, pada artikel ini
Heringa ingin menegaskan kembali perbedaan antara Barat dengan Timur lewat persoalan
arsitektur.
Selanjutnya pada rubrik Observations, terutama artikel berjudul East is West, and
West is, Well..., yang dituliskan oleh Dachlan Cartwright turut memiliki kandungan
wacana kolonial serupa dengan sebelumnya. Dari judul artikel ini saja telah menegaskan
secara lugas bahwa kata-kata ‘East is West’, dapat dipahami Timur adalah Barat.
Sementara itu dari kata-kata ‘West is, Well…’, penuh interpretasi yang kompleks. “West
is,” yang diakhiri tanda koma dapat dipahami upaya dalam mendefiniskan Barat,
sedangkan “Well…” yang diikuti dengan tanda titik-titik ini dapat dipahami “Baiklah”,
sebuah kata aksensuasi maupun ketegasan yang hendak dijabarkan. Dalam hal ini
Cartwright mencoba untuk membandingkan Timur yang berbeda dengan Barat.
Penjelasan mengenai Timur pun semakin dipertegas ketika Cartwright mengutip
beberapa kalimat milik Anthony Burgess (1956) dari novel Time for a Tiger, dengan
menuliskan, “Timur? ... Di situlah Timur, di situ. … Di luar sana, Barat. Kamu tidak ada
di sana, sehingga kamu tidak akan tahu....". Oleh karena itu, melalui artikel ini Cartwright
mencoba untuk mengawali sebuah persoalan geografi mengenai Barat dan Timur kepada
para pembaca Majalah JE.
Namun demikian, sebuah upaya Cartwright dengan mengutip beberapa teks “The
Ballad of East and West”, dari puisi Rudyard Kipling semakin menunjukkan bahwa
terdapat batasan pada Barat dan Timur yang tidak akan pernah bertemu pada dunia nyata,
bahkan hingga bumi dan langit dihadapkan pada hari kiamat. Dalam hal ini Carthwright
mencoba untuk memperlihatkan bahwa persoalan Barat dan Timur tidak hanya terletak
dan sebatas pada persepsi geografi, tetapi terdapat perbedaan dalam persepsi budaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
Secara tradisional, Barat dipandang sebagai pemberi, rasionalis, materialistis dan lebih
unggul, sedangkan Timur dipandang sebagai yang abadi, spiritual, mistik, eksotis, dan
terbelakang. Dengan demikian, rujukan teks yang sengaja dipilih dan dihadirkan oleh
Cartwright dalam artikel ini merupakan suatu upaya untuk membahas kembali persoalan
binerisme antara Barat dan Timur di masa pasca-kolonial. Binerisme ini menjadi
pembedaan yang sangat fundamental maupun radikal untuk dapat memahami bentuk dan
karakteristik antara Barat dan Timur, yang mana dalam hal ini menyangkut para ekspatriat
sebagai bagian dari Barat yang tengah berhadapan dengan Indonesia sebagai Timur.
Terkait persepsi budaya di masa pasca-kolonial, Cartwright pun mencoba untuk
menyajikan suatu kejadian yang menarik mengenai sebuah peristiwa yang dialami
sekelompok pelajar pada saat perayaan tahun baru di Bali. Dari peristiwa ini, Cartwright
mencoba untuk memberikan suatu deskripsi bahwa para pelajar memiliki pemahaman
yang sedikit atas persoalan antara Barat dan Timur di masa pasca-kolonial. Dengan kata
lain, wacana tentang persepsi budaya antara Barat dan Timur yang diberikan oleh
Carthwright ini telah menjadi suatu rangkaian tanda dan praktek dalam merekonstruksi
wacana tentang Indonesia yang adalah Timur di hadapan Barat. Bahkan hal ini dapat
terlihat dari sebuah ajakan Cartwright yang ditujukan kepada para pembaca Majalah JE
untuk keluar dari konteks persepsi budaya, dengan memadukan yang terbaik dari Timur
dan Barat agar dapat menjadi toleran, hormat, dan memiliki rasa budaya global. Oleh
karena itu, ajakan Cartwright ini telah mengarahkan para ekspatriat kepada berbagai tanda
maupun wacana mengenai Barat maupun Timur.
Dengan melihat kembali pada judul artikel yang diberikan oleh Cartwright ini,
East is West, and West is, Well…, maka dapat dipahami terdapat kontradiksi antara Barat
dan Timur. Kontradiksi ini dapat dipahami bukan hanya sekedar teks atau permainan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
pada sebuah artikel, melainkan telah mengkonstruksi suatu wacana yang berefek kepada
para pembaca Majalah JE. Wacana yang dimaksudkan pada artikel ini adalah gagasan
maupun konsep mengenai Barat dan Timur. Oleh karena itu, wacana kolonial mengenai
Barat dan Timur bukan hanya terjadi di masa kolonial, melainkan melalui sebuah artikel
seperti East is West, and West is, Well… yang tersajikan di dalam Majalah JE ini tetap
dilanggengkan oleh seorang ekspatriat seperti Cartwright di masa pasca-kolonial.
Selain itu, wacana kolonial yang turut memberikan karakteristik mengenai
Indonesia juga terdapat pada rubrik Literature. Pada rubrik ini, terdapat dua artikel yang
dituliskan oleh Terry Collins, yakni Unravelled Raflles dan Indonesia, Etc. Exploring the
Improbable Nation. Kedua artikel tersebut merupakan ulasan mengenai sebuah buku yang
terkait dengan Indonesia.
Pada artikel yang pertama, Unravelled Raflles, Terry Collins mencoba untuk
memberikan sebuah resensi mengenai buku biografi Sir Thomas Raffles karya Tim
Hannigan, “Raffles and the British Invansion”, yang terbit pada tahun 2012. Collins, yang
notabenenya adalah seorang ekspatriat berkebangsaan Inggris, menjelaskan bahwa Raffles
memiliki serangkaian catatan dengan sejarah Indonesia. Di samping itu, berdasarkan
berdasarkan pembacaan biografi Raffles karya Hannigan, Collins berupaya menyampaikan
beragam argumentasi dan menyatakan bahwa Raffles adalah sosok manusia yang hebat
pada masa kolonial Inggris. Dengan kata lain, Collins ingin menyampaikan bahwa Raffles
sebagai seorang Inggris sekaligus Orientalis Barat adalah tokoh yang penting dalam
memberikan seluk beluk pengetahuan tentang Jawa.
Hal serupa juga dilakukan oleh Collins pada sebuah artikel berupa resensi sebuah
buku berjudul “Indonesia Etc.: Exploring the Improbable Nation” karya Elizabeth
Pizzani. Dalam hal ini, Collins kembali memberikan sebuah resensi sekaligus memainkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
perannya sebagai penerus informasi untuk mendeskripsikan isi buku tersebut. Resensi
yang dibuat Collins ini pada dasarnya diperuntukkan bagi para ekspatriat yang sedang
berada di Indonesia agar dapat mengetahui tentang karakteristik Indonesia. Dengan
demikian, artikel yang dituliskan oleh Collins ini dapat menjadi bekal bagi para ekspatriat
untuk memperoleh suatu deksripsi tentang Indonesia dan masyarakat di dalamnya, terlebih
menjadi tertarik untuk membaca buku “Indonesia Etc.: Exploring the Improbable Nation”
karya Elizabeth Pizzani.
Dari kedua uraian artikel yang dituliskan Collins di atas, dapat dipahami bahwa
rubrik Literature yang tersajikan oleh ekspatriat di dalam Majalah JE ini adalah sebuah
upaya untuk meneruskan informasi atau menyebarkan wacana mengenai Indonesia lewat
suatu literatur. Di samping itu, buku-buku yang telah diulas oleh Collins, yakni Unravelled
Raflles dan Indonesia, Etc. Exploring the Improbable Nation, telah memberikan suatu
karakteristik mengenai Indonesia, yang mana masih menjadi sumber literer bagi Barat.
Oleh karena itu, Collins melalui artikel-artikelnya turut memainkan wacana kolonial
dengan memaparkan buku-buku mengenai Indonesia yang ditulis kalangan Barat.
Selanjutnya, merujuk pada gambar lainnya, yakni Gambar 2, stereotipe tentang
Indonesia juga telah dimunculkan melalui sebuah foto masyarakat suku Dani yang
diberikan sebuah judul Chatting on Facebook. Dimuatnya foto ini sebagai cover photo
Majalah JE pada edisi 78 telah menuai kritik dari para pembaca. Beberapa pembaca
mengatakan bahwa Majalah JE telah melakukan tindakan ‘eksploitatif’ dan ‘rasis’ karena
telah memuat foto masyarakat suku Dani tengah berhadapan dengan sebuah laptop. Dalam
hal ini, sebuah perdebatan muncul mengenai stereotipe rasis tentang masyarakat
Indonesia, pada khususnya masyarakat suku Dani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya mengenai stereotipe Timur, Majalah
JE lebih cenderung untuk mengalihkan tuduhan eksploitatif dan rasis kepada persoalan
pandangan yang berbeda. Alih-alih pihak Majalah JE yang diwakili oleh Mark Twain
memberikan pernyataan bahwa terkadang sebuah foto tidak sesuai dengan keinginan
semua orang. Namun demikian, merujuk kepada perspektif Orientalisme yang telah
dibedah oleh Edward Said, maka kita dapat memahami bahwa Barat telah
merepresentasikan Timur sebagai ras yang berbeda. Dalam hal ini terlihat bahwa Majalah
JE mencoba untuk merepresentasikan masyarakat suku Dani kepada para pembacanya.
Bahkan, persoalan stereotipe ras ini terhubung dengan pembedaan yang fundamental
antara Barat dengan Timur, yakni Barat sebagai pihak yang beradab maupun modern,
sedangkan Timur ditempatkan sebagai yang primitif maupun tradisional.
Wacana kolonial mengenai karakteristik Indonesia tidak hanya terdapat pada
artikel dan foto, tetapi juga termuat dari kisah para ekspatriat. Dalam kisah Laila Airlie
Dempster, misalnya, dengan membuat karya lukis yang lebih dominan bertemakan tentang
Indonesia, ia mencoba untuk merepresentasikan Indonesia, terutama mengenai orang-
orang Indonesia, tradisi suatu masyarakat, serta pemandangan alam. Begitu pula dengan
Dave Metcalf, setelah berkecimpung di dunia fotografi dan petualangan ia menyadari
bahwa Indonesia adalah salah satu negara di planet Bumi yang indah untuk dipotret.
Bahkan Metcalf dengan berani berpendapat bahwa tidak ada keindahan yang mampu
menandingi Indonesia, karena di dalamnya terdapat keberagaman masyarakat, budaya,
arsitektur, maupun pemandangan yang luar biasa. Oleh karena itu, pandangan yang telah
diberikan oleh Dempster dan Metcalf dapat dipahami sebagai kecenderungan orang asing
dalam mengenali suatu karakteristik Indonesia, yakni pada sisi eksotisme.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
A.2. Stereotipe Indonesia
Serupa dengan cara mencermati karakteristik Indonesia melalui imaji dan teks,
maka persoalan stereotipe Indonesia ini juga menempuh yang sama. Pada artikel The
Jaksa Position & Jalan Palatehan, Kenneth Yeung berupaya untuk memberikan deskripsi
atas kondisi perubahan kedua jalan ini, yang mana telah terkenal sebagai tempat yang
melayani kebutuhan para wisatawan asing dan ekspatriat di Jakarta dalam beberapa
dekade terakhir. Dengan kata lain, Yeung secara implisit ingin menyampaikan bahwa
Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan merupakan sebuah tempat bagi keberadaan para orang
asing di Jakarta. Bahkan, dengan memberikan catatan tentang kondisi masa lampau kedua
jalan ini, Yeung juga ingin memberikan ragam wacana yang menarik bagi para orang
asing selama berada di Jakarta, seperti kalangan Barat dapat menikmati berbagai suguhan
khas ‘Timur’; penginapan dan bir yang murah maupun hiburan malam di sekitar Jalan
Palatehan.
Di samping itu, melalui artikel The Jaksa Position & Jalan Palatehan ini, Yeung
juga telah memberikan sebuah deskripsi mengenai keberadaan para orang asing. Yeung
menarasikan bahwa tidak semua orang asing di Jalan Jaksa adalah orang Barat, tetapi
terdapat banyak pencari suaka dari Timur Tengah dan Pakistan maupun orang Afrika.
Bahkan Yeung meneruskan suatu wacana mengenai stereotipe orang Afrika sebagai
kelompok kriminal karena terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang dan kasus
penipuan. Dalam hal ini Yeung acuh dalam mempertanyakan dari mana asal stereotipe
tersebut. Oleh karena itu, stereotipe ini menjadi sebuah pertanyaan, siapa yang telah
memberikan stereotipe negatif kepada orang-orang Afrika di Jalan Jaksa? Apakah
stereotipe itu datang dari orang Indonesia?.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
Penulis beranggapan bahwa persoalan stereotipe mengenai ras adalah bagian dari
mekanisme pengetahuan Orientalisme. Sebagaimana Orientalisme telah mendeskripsikan
bahwa Timur memiliki beragam karakter maupun stereotipe, sehingga dalam hal ini
Yeung telah terperangkap pada wacana Orientalisme terkait stereotipe orang Afrika
sebagai kelompok kriminal. Dengan demikian, melalui artikel The Jaksa Position & Jalan
Palatehan ini terdapat sebuah wacana kolonial kontemporer yang telah diberikan oleh
Yeung, yakni stereotipe mengenai orang-orang Afrika, atau dengan kata lain mengenai
karakter dari ras Afrika – di masa pasca-kolonial.
Selanjutnya, pada rubrik Observations, penulis mencermati bahwa sebuah artikel,
A Million Dollars Treasure West Java, juga bermaksud untuk memperlihatkan stereotipe
mengenai Indonesia. Pada artikel ini Santema telah mereproduksi wacana kolonial dengan
mengatakan bahwa Indonesia tidak mengalami perubahan pesat layaknya negara-negara
Barat, khususnya mengenai rasionalitas. Dengan menceritakan kisah perjalanan dalam
pencarian sebuah peta tua Indonesia, Santema menganggap bahwa peta tua yang masih
dalam kondisi baik dianggap sebagai bentuk ‘abadi’ milik bangsa Timur. Abadi yang
dimaksudkan oleh Santema pada artikel ini adalah buah dari kebingungan dirinya ketika
melihat sebuah peta yang telah berumur ratusan tahun masih dapat terjaga dengan kondisi
baik tanpa bantuan seorang ahli yang menjaga, sehingga ia menyatakan bahwa peta tua ini
dianggap mampu menjaga dan memperbaiki kerusakannya secara sendiri melalui hal
mistik. Dengan kata lain, melalui artikel ini Santema memberikan suatu wacana tentang
Indonesia yang dianggap sebagai yang aneh maupun irasional. Dengan demikian, artikel
yang disajikan oleh Santema ini telah memberikan sebuah wacana kolonial kontemporer
kepada para pembaca Majalah JE, yakni dengan memaparkan bahwa masih terdapat
keanehan atau irasional di dalam masyarakat Indonesia pada masa kini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
Pada rubrik lainnya, yakni Culture, para ekspatriat kembali beraksi dalam
memberikan stereotipe mengenai Indonesia. Pada artikel yang berjudul Islam in the
Nehterlands East Indies, misalnya, Hans Rooseboom berupaya untuk memaparkan tentang
Islam di masa kolonial Hindia Belanda hingga Indonesia pada konteks kekinian. Melalui
artikel ini, Rooseboom secara rinci menguraikan beberapa peristiwa seputar Islam di
Indonesia, seperti awal mula kehadiran Islam di Nusantara, jumlah penduduk Muslim pada
masa kolonial, hingga persoalan Jamaah Haji yang pergi ke Mekah.
Dalam konteks kolonial, Rooseboom memaparkan bahwa pada tahun 1917 muncul
suatu perubahan terkait kemunculan sikap intoleransi dan perselisihan antar agama,
sehingga menimbulkan kecemasan di kalangan penduduk Eropa dan pemerintah kolonial.
Menurutnya, perubahan ini sebagai ulah para Jamaah Haji yang telah pulang dari Mekah.
Jamaah Haji dianggap telah membawa masyarakat pada gerakan separatisme maupun
pemberontakan. Bahkan, ia pun memberikan suatu sindiran dengan mengatakan bahwa
meskipun terdapat peningkatan jumlah Jamaah Haji setiap tahun, mulai dari tahun 1859
hingga tahun 2012, namun pada kenyataan tidak turut menyebabkan intoleransi dan
fanatisme agama berkurang di Indonesia. Dengan demikian, pandangan Rooseboom ini
telah dapat dicermati telah memiliki kandungan wacana kolonial, yaitu tidak mengalami
perkembangan yang dinamis, bahkan secara khusus masyarakat Timur masih
distereotipekan sebagai pelaku tindak kekerasan, salah satu diantaranya adalah persoalan
konflik agama.
Stereotipe mengenai Indonesia lainnya juga dapat dicermati pada sebuah cover
photo yang menjadi muka Majalah JE. Cover photo Majalah JE, sebagaimana disajikan
pada bab sebelumnya, Bab III, turut memberikan sumbangan mengenai wacana kolonial.
Oleh karena itu, sebuah foto yang dijadikan sebagai cover photo Majalah JE bukan hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
sekedar sebagai pembungkus media, melainkan telah memberikan suatu tanda yang
menghubungkan kepada penanda dan petanda.
Pada Gambar 3, misalnya, Majalah JE memuat sebuah foto Pocongan Cilik yang
dijadikan sebagai cover photo untuk dihadirkan kepada para pembaca. Foto tersebut telah
menjadi petanda mengenai hantu, sehingga memberikan penanda bahwa masyarakat
Indonesia masih memiliki kepercayaan terhadap hal mistik dan gaib. Dengan kata lain,
foto tersebut telah mengantarkan kepada wacana mengenai Indonesia sebagai sebuah
negara yang masih dilingkupi hal aneh kepada para pembaca Majalah JE. Dalam hal ini
muncul pertentangan antara Barat dan Timur, yang mana Barat selalu menempatkan
dirinya sebagai yang normal sedangkan Timur dianggap masih memiliki serangkaian hal
aneh yang terdapat di dalam masyarakatnya.
Selain memberikan sebuah foto Pocongan Cilik untuk dijadikan cover photo
Majalah JE pada edisi 80, para ekspatriat secara komprehensif juga mengulas berbagai hal
yang berhubungan dengan hantu, mistik dan misteri di dalam masyarakat Indonesia. Sang
editor Majalah JE, Angela Richardson, melalui catatan editorial secara eksplisit
mengatakan bahwa budaya Indonesia masih memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan
dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa contoh pun disebutkan oleh sang editor untuk mendeskripsikan hal mistik dan
hantu masih yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia, seperti, masyarakat Bali
menyajikan suatu persembahan, dan masyarakat Jawa yang mempercayai penampakan
hantu dapat terlihat ketika saat matahari terbenam. Oleh karena itu, cover photo Majalah
JE yang memuat foto pocongan cilik ini dapat dipahami bukan hanya sebagai sebuah
karya fotografi, melainkan telah mengantarkan para ekspatriat kepada sebuah stereotipe
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
tentang Indonesia, yakni sebagai bangsa Timur yang aneh berbeda dari kebiasaan
kalangan Barat.
Kemudian, melalui kisah kehadiran para ekspatriat di Indonesia kita juga dapat
mengetahui bagaimana stereotipe mengenai Indonesia di dalam persepsi orang asing.
Semisal kisah Roberto Puccini yang ingin datang ke Indonesia, yang mana beberapa
temannnya berkata “It’s dangerous! Don’t go there!”. Dalam hal ini, teman-teman Puccini
yang merupakan kalangan Barat telah memiliki sebuah wacana tentang Indonesia.
Ironisnya, wacana yang ada di dalam benak orang asing mengenai Indonesia adalah
tempat berbahaya. Teman-teman Puccini tersebut, entah sudah pernah atau belum ke
Indonesia, tanpa ragu untuk memperingatkan dengan keras agar ia tidak pergi ke
Indonesia. Oleh karena itu, dari kisah Puccini ini dapat dipahami bahwa masih terdapat
stereotipe negatif mengenai Indonesia yang bersemayam di dalam pikiran orang asing.
Setelah mengetahui beragam wacana kolonial yang menyelimuti Indonesia, dapat
diketahui bahwa pada dasarnya para ekspatriat telah memoles kembali wajah Barat di
masa pasca-kolonial. Dengan menggunakan wacana Orientalisme dalam memandang
maupun menempatkan Timur seperti Indonesia, para ekspatriat telah melanjutkan
kekuasaan wacana kolonial. Para ekspatriat terus mereproduksi wacana kolonial untuk
disajikan kepada para pembacanya, bahkan semakin diperbaharui dengan melihat kondisi
kontemporer Indonesia. Oleh karena itu, wacana yang termuat pada rubrik dan beragam
artikel di dalamnya, cover photo maupun kisah para ekspatriat, telah memberikan kembali
karakteristik maupun stereotipe mengenai Timur di masa pasca-kolonial, yakni melalui
suatu cara Barat dalam merepresentasikan Timur (McLeod, 2000:40).
Selain itu, pemaparan di atas juga dapat dipahami sebagai bentuk dari Latent
Orientalism, yang berarti semacam cetak biru, dan Manifest Orientalism, yang tidak lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
hanya mempersoalkan perbedaan antara Barat dan Timur, sehingga dunia masih saja
dibangun dari rancangan fundamental yang sama (McLeod, 2000:43). Dalam hal ini, perlu
untuk dipahami bahwa Majalah JE telah berhasil memainkan perannya sebagai sebuah
media untuk disajikan kepada para ekspatriat, dengan memberikan beragam arus wacana
informasi dan pengetahuan, tanpa terkecuali mengenai Indonesia. Oleh karena itu, makna
yang terkandung pada Majalah JE tidak bebas nilai dari wacana kolonial, terutama ketika
terutama dikarenakan para ekspatriat tetap mencari dan mengkonstruksi segala perbedaan
yang terdapat pada keduanya, Barat dan Timur.
Akhirnya, setelah menganilisis wacana kolonial kontemporer yang tersajikan oleh
para ekspatriat di dalam Majalah JE, dapat diketahui bahwa muncul wacana yang serupa
seperti yang pernah dilakukan oleh para kolonialis dalam menghadirkan karateristik dan
stereotipe tentang Timur, khususnya dalam kasus ini adalah Indonesia. Barat, melalui para
ekspatriat, kembali merekonstruksi karakteristik atas perbedaan yang radikal dan berbagai
stereotipe tentang kehidupan masyarakat di luar Barat. Hal ini dapat dilihat dari wacana
yang diusung oleh para ekspatriat melalui Majalah JE dalam memberikan citra mengenai
Indonesia di masa pasca-kolonial. Para ekspatriat mereproduksi wacana kolonial dengan
kondisi kontemporer di Indonesia, baik melalui foto yang dijadikan sebagai cover photo,
ragam rubrik yang didalamnya memuat suatu artikel, hingga pandangan yang diberikan
oleh para ekspatriat mengenai kisah kehadiran mereka di Indonesia, yang mana
kesemuanya tersajikan di dalam Majalah JE.
Dari pemaparan mengenai karakteristik dan stereotipe tentang Indonesia yang telah
dibahas tersebut, maka persoalan yang muncul terkait wacana kolonial kontemporer ini
adalah bagaimana kondisi para ekspatriat di masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, guna
mendapatkan jawaban atas persoalan tersebut, penulis berupaya untuk melakukan suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
langkah lanjutan guna memeriksa hingga menemukan kondisi sebenarnya atas kehadiran
para ekspatriat maupun atas sajian tentang Indonesia yang termuat di dalam Majalah JE.
Dan selanjutnya, langkah yang penulis lakukan adalah membawa persoalan ekspatriat ke
dalam teori Ruang Ketiga Homi K. Bhabha, terutama guna memberikan tafsiran atas
identitas ekspatriat di masa pasca-kolonial.
B. Menafsirkan Ekspatriat
Pada dasarnya pilihan penulis untuk menggunakan teori Ruang Ketiga ini adalah
sebuah upaya dalam memberikan suatu tafsiran atas kehadiran orang kulit putih dengan
identitas mereka sebagai ekspatriat di Jakarta. Hal ini dikarenakan kehadiran para
ekspatriat telah membuat sekat atau batasan di dalam masyarakat majemuk Indonesia,
pada khususnya di Jakarta. Kembali merujuk pada pandangan Fechter yang mengatakan
bahwa ekspatriat di Jakarta hidup di dalam gelembung (expatriate bubble), maka dapat
dipahami bahwa kehadiran mereka telah membuat pembedaan di dalam masyarakat, baik
sesama orang asing yang sedang berada di Indonesia maupun terhadap pribumi. Oleh
karena itu, para ekspatriat telah melakukan suatu upaya pembedaan (differensiasi) dan
membuat identifikasi (identification) di dalam masyarakat.
Menurut Bhabha (1994:34), persoalan pembedaan merupakan suatu proses
pengucapan (enounciation) budaya sebagai pengetahuan yang berwenang untuk
membangun sistem identifikasi budaya. Identitfikasi budaya menjadi suatu proses
pencarian yang mendasarkan pada pemahaman binerisme antara yang lampau dan saat ini,
maupun modern dan tradisonal (Bhabha, 1994:35). Dalam hal ini, para ekspatriat berupaya
untuk menemukan identitas diri yang utuh melalui sebuah upaya identifikasi dengan
melihat kembali identitas orang asing di masa lampau dan menghadapkan pada kondisi
kontemporer. Oleh karena itu, pada sub bab bagian ini penulis berupaya untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktek, serta melakukan pencarian
identitas yang mana senantiasa selalu mengalami perubahan dan menolak keutuhan suatu
posisi di dalam Ruang Ketiga.
Dalam masa pasca-kolonial, menurut Bhabha (1994;35) Ruang Ketiga merupakan
suatu ruang baru yang dapat dimaknai sebagai penghilangan dikotomi penjajah-terjajah,
sehingga terdapat zona ketidaktentuan di mana masyarakat muncul. Artinya, jika
sebelumnya di masa kolonial terdapat persoalan binerisme identitas yakni, penjajah dan
terjajah terlihat sangat gamblang, yakni orang kulit putih sebagai pihak penjajah atau
pelaku kolonialisme dan pribumi sebagai pihak yang terjajah, maka di masa pasca-
kolonial identitas keduanya terlihat samar-samar dan kurang begitu jelas. Oleh karena itu,
Bhabha menekankan bahwa di dalam Ruang Ketiga terdapat suatu ruang yang
memungkinkan untuk terciptanya hibriditas dengan tujuan untuk mencegah identitas
berada di kedua ujung dari ketetapan polaritas primordial masing-masing.
Di samping itu, melalui Ruang Ketiga ini juga struktur makna dan referensi
merupakan sebuah proses ambivalensi, yang berupaya untuk menghancurkan cermin
representasi dan memperluas kode pengetahuan. Meski demikian, apakah dengan adanya
hibriditas maupun ambivalensi tetap menghilangkan oposisi biner antara ekspatriat sebagai
representasi Barat dengan Indonesia yang direpresentasikan sebagai Timur? Guna
menulusuri pertautan identitas yang terjadi di dalam Ruang Ketiga, maka penulis berupaya
untuk melakukan analisis terhadap berbagai kondisi dan pengalaman ekspatriat dari
beragam kisah para ekspatriat, pada khususnya terkait dengan persoalan hibriditas dan
ambivalensi, maupun wacana kolonial yang termuat pada beragam rubrik dan artikel di
dalam Majalah JE.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
B.1. Hibriditas Ekspatriat
Hibriditas di masa pasca-kolonial merupakan hasil dari negosiasi dua ketetapan
yang berbeda. Dalam hal ini, para ekspatriat telah mengalami sebuah pertautan dengan
yang Liyan di luar diri mereka, yakni masyarakat Indonesia. Hibriditas ini yang telah
dialami oleh Kristan Julius, seorang Amerika yang telah menetap di Jakarta dalam rentang
waktu lebih dari 20 tahun. Dari perjalanan dan pengalaman Kristan Julius selama tinggal
di Indonesia, ia berpendapat bahwa tidak banyak orang yang bermurah hati di dunia ini
sehingga ia pun belajar tentang bagaimana cara hidup dari orang-orang Indonesia. Dengan
kata lain, sebagai seorang ekspatriat, ia telah mencoba untuk mempelajari cara hidup
orang Indonesia sehingga mengambil salah satu bentuk ciri masyarakat Timur yang tidak
dimiliki Barat. Dengan demikian, persinggungan yang dialami Kristan Julius ketika berada
di Indonesia telah mengantarkan dirinya pada suatu hibriditas.
Hibriditas serupa juga dialami oleh dua perempuan bersaudara dari Hawaii, yakni
Leonani dan Nani saat bekerja di Indonesia. Mereka tidak hanya bekerja untuk sekedar
mengajarkan Hula di Indonesia, akan tetapi turut terlibat dari sebuah pertukaran budaya.
Wacana pertukaran budaya ini dapat dipahami sebagai bentuk ruang pertemuan antara
Barat dengan Timur di masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, praktik pertukaran budaya
telah menjadi sebuah ajang terciptanya hibriditas dari dua entitas yang berbeda.
Selanjutnya, Cuny Schuurmans pun turut mengalami hibriditas selama berada di
Indonesia. Bertolak dari pengalaman dirinya yang datang ke Indonesia pada tahun 1987, ia
merasa telah jatuh cinta dengan Indonesia hingga akhirnya memutuskan untuk pindah
secara permanen. Bahkan hal ini semakin dipertegas oleh Schuurmans dengan mengatakan
bahwa meskipun dirinya adalah seorang Belanda, namun hingga saat ini ia belum
mengetahui apakah suatu saat nanti akan kembali ke negara asalnya, terutama karena ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
merasa seperti telah kehilangan ‘sentuhan’ dengan negeri asalnya, dan merasa bahwa
Indonesia telah menjadi rumah baginya. Sentuhan yang dimaksudkan Schuurmans telah
menandakan bahwa dirinya bukan lagi seorang Barat yang utuh, melainkan ia telah
mendapatkan sebuah sentuhan dengan Indonesia. Hal ini dibuktikan bahwa ia telah berada
di Indonesia untuk waktu yang cukup lama.
Begitu juga dengan yang dialami oleh Tim Scott, seorang Amerika yang sengaja
pindah ke benua Asia. Setelah Scott bekerja pada sebuah industri televisi di Indonesia, ia
pun harus mengalah untuk mengikuti ritme dan cara kerja orang Indonesia dalam
memproduksi sebuah program televisi. Ia mengemukakan bahwa kualitas terbaik dari
sebuah produksi program televisi di Indonesia adalah pencapaian akhir. Hal ini disebabkan
pasar Indonesia lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, sehingga menjadi wajar
apabila orang-orang di industri televisi bekerja dengan menghabiskan waktu yang cukup
banyak. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa Scott telah menempatkan orang Indonesia
berada di posisi bawah dibandingkan dengan kalangan Barat. Meskipun dalam hal ini
Scott telah merendahkan cara kerja orang Indonesia yang kurang begitu mengedepankan
kualitas, namun ia pun telah bersinggungan dengan Ruang Ketiga pascakolonial, yakni
ketika ia mengalami hibriditas dengan bekerja sesuai dengan cara kerja orang Indonesia.
Berdasarkan persoalan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat saat berada di
Indonesia, dapat diketahui bahwa terjadi persinggungan dua kultur yang tidak sama. Para
ekspatriat sebagai representasi Barat telah memasuki ruang lingkup yang berbeda ketika
berada di Indonesia, sehingga terjalin hubungan antara para ekspatriat saat berada di
Indonesia. Oleh karena itu, terciptanya suatu pembentukan identitas yang baru bagi para
orang asing, khususnya mereka yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat telah turut
menyertakan identitas kultur Indonesia dalam narasi seputar kedirian mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
B.2. Ambivalensi Ekspatriat
Bhabha menjelaskan ambivalensi merupakan kemenduaan atau ambiguitas atas
adanya pertemuan dua identitas yang berbeda. Ambivalensi muncul sebagai suatu proses
pencarian dalam Ruang Ketiga untuk menemukan identitas yang tidak benar-benar utuh
dan berada dalam ketetapan masing-masing. Seperti yang disinggung sebelumnya, jika
pada masa kolonial terdapat identitas yang biner, penjajah dan terjajah, maka pada masa
pasca-kolonial dengan menggunakan pemahaman Ruang Ketiga, identitas penjajah dan
terjajah telah dihilangkan guna melakukan pencarian identitas yang baru. Pencarian
identitas di Ruang Ketiga berupaya untuk menemukan dan menunjukkan bahwa identitas
tidak dapat terlepas dari suatu kondisi ambivalensi. Oleh karena itu, perspektif
pascakolonial Homi Bhabha, khususnya Ruang Ketiga, mencoba untuk mengungkapkan
kontradiksi yang melekat dalam wacana kolonial, menyoroti kondisi ambivalensi dan
dapat melihat struktur tekstual pada teks kolonial, yang mana ambivalensi telah
mendestabilkan klaim akan otoritas mutlak atau keaslian yang tidak dapat diragukan.
Pertama, ambivalensi yang dialami oleh seorang ekspatriat dapat dilihat pada
artikel A Million Dollar Treasure West Java tulisan Bartele Santema. Santema, selaku
penulis artikel ini, yang notabenenya adalah seorang Barat sekaligus pimpinan Majalah JE,
telah berada pada posisi ambivalensi ketika mempercayai sesuatu yang dianggap sebagai
hal mistik, yakni irasional yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan, di dalam
teks yang disajikan, Santema secara eksplisit menuliskan beberapa kalimat untuk
mengajak para pembaca untuk mempercayai mistik atau hal gaib di Indonesia, seperti
kasus yang terjadi pada peta tua Indonesia, yang mana masih dianggap dapat bekerja
untuk menjaga suatu benda peninggalan suci. Oleh karena itu, sebagai seorang ekspatriat,
Santema telah mengalami ambivalensi saat dirinya melakukan identifikasi sebagai yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
rasional dengan yang hal irasional seperti kepercayaan masyarakat Indonesia yang masih
mempercayai hal mistik.
Ambivalensi yang dialami Santema adalah sebuah pencarian diri di dalam ruang
antara (in between). Santema sebagai ekspatriat yang berasal dari Barat berhadapan
dengan masyarakat Timur yang telah distereotipekan oleh para Orientalis sebagai bagian
dari bangsa Timur yang masih hidup dalam alam mistik dan mempercayai hal-hal gaib.
Dengan demikian, ambivalensi yang dialami oleh Santema telah tersirat maupun tersurat
secara jelas dari teks yang disajikan oleh dirinya terkait sebuah perjalanan saat melakukan
pencarian peta tua Indonesia di tanah pasundan.
Kedua, ambivalensi yang dihadirkan oleh para ekspatriat juga dapat dilihat pada
Majalah JE edisi 80 yang secara khusus membahas tentang hantu, gaib, dan misteri di
Indonesia. Selain pemasangan foto Pocongan Cilik yang dijadikan cover photo majalah JE
edisi 80, para ekspatriat juga turut memberikan penegasan atas ambivalensi yang telah
dialami. Hal ini dapat dilihat ketika para ekspatriat merasa ragu atau berada pada sikap
kemenduaan dalam mempercayai hal gaib atau mistik yang terdapat di dalam masyarakat
Indonesia.
Melalui catatan editorial Majalah JE yang diberikan oleh sang editor, Angela
Richardson, secara terang menuliskan bahwa budaya di Indonesia masih memiliki afiliasi
yang sangat kuat dengan dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan, mereka (dalam hal ini para ekspatriat yang bekerja di
Majalah JE) juga turut menyampaikan pengalamannya yang terkadang mengalami
fenomena hantu dan gaib yang terjadi di kantor Majalah JE. Dari penjelasan ini, kita dapat
memahami bahwa mereka, yakni para ekspatriat telah mengalami ambivalensi atas
fenomena hantu ataupun hal gaib di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
Berdasarkan kemenduaan atau ambiguisitas yang dialami oleh para ekspatriat dari
kedua teks di atas, kita telah melihat ambivalensi dihasilkan pada suatu ruang antara (in
between) di dalam Ruang Ketiga di masa pasca-kolonial. Di satu sisi, para ekspatriat tidak
ingin melepaskan rasionalitasnya, namun di sisi lain ingin mempercayai bahwa terdapat
suatu hal yang tidak dipahami sepenuhnya secara rasional. Dengan demikian, ambivalensi
merupakan sebuah kondisi yang telah melepaskan keutuhan identitas, sehingga berada di
antara dua pertautan wacana.
Ambivalensi yang telah dialami oleh para ekspatriat merupakan suatu bentuk
pembuktian bahwa Barat tidak melulu berada pada posisi atas (upper space) dan
menempatkan masyarakat Indonesia pada posisi bawah (lower space). Dengan kata lain,
ambivalensi yang dialami oleh para ekspatriat telah membuat identitas kalangan Barat
tidak melulu utuh dan berada pada ketetapannya. Bagaimanapun, identitas acapkali
berubah-ubah dan bernegosiasi pada ruang dan waktu tempatnya bernaung. Dengan
demikian, pelacakan terhadap ekspatriat melalui Ruang Ketiga ini telah memberikan suatu
tafsiran bahwa identitas ekspatriat juga mengalami perubahan maupun keambiguan ketika
berhadapan langsung atau secara empiris dengan pribumi, terutama ketika mereka berada
di luar lingkungan asalnya, seperti saat sedang berada di luar tanah airnya atau bangsa dan
negara yang berbeda.
Setelah menelusuri identitas ekspatriat dalam Ruang Ketiga dan melihat
ambivalensinya, maka kita dapat memahami bahwa titik tolak konstruksi identitas maupun
representasi diri ekspatriat sesungguhnya adalah wacana orientalisme. Dalam wacana
orientalisme ini dipaparkan bagaimana karakter dan stereotip masyarakat Timur. Dengan
kata lain, mekanisme Orientalisme maupun wacana kolonial telah dipergunakan oleh para
ekspatriat untuk melakukan identifikasi hingga dapat menempatkan dan meneguhkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
identitas diri mereka sebagai ekspatriat. Oleh karena itu, ambivalensi yang dialami oleh
para ekspatriat adalah efek wacana kolonial yang telah mereka konsumsi sebagai
pengetahuan dalam memahami Timur.
Akhirnya, identitas ekspatriat adalah bukan semata hanya persoalan identitas yang
esensialis, melainkan suatu bentuk upaya hasil kontruksi. Ekspatriat sebagai identitas tidak
selalu berada pada ketetapannya yang utuh. Terutama, ketika para ekspatriat juga
mengalami proses ambivalensi karena telah bergerak maju mundur dengan mengangkat
kembali wacana kolonial dan menghadapkannya pada kondisi kontemporer Indonesia.
Dengan kata lain, ekspatriat yang mencoba untuk melampaui wacana kolonial namun tetap
berada pada posisi atau sikap yang ambivalen ketika berhadapan dengan realitas
masyarakat yang berbeda. Dengan demikian, ambivalensi yang terjadi pada ekspatriat
telah menandakan bahwa mereka sebagai representasi Barat tidak memiliki identitas yang
utuh selamanya.
Bagaimanapun, suatu identitas seperti ekspatriat juga turut mengalami proses
kemenduaan atau keambiguaan saat berhadapan dengan yang lain di luar kedirian mereka.
Suatu proses negosiasi atas identitas tidak dapat dihindarkan atau dilepaskan begitu saja di
dalam sebuah realitas, seperti kondisi para ekpatriat saat berhadapan dengan kehidupan
masyarakat Indonesia. Dengan demikian, penulis memberikan sebuah tafsiran bahwa
kehadiran orang kulit putih yang merepresentasikan identitas diri mereka sebagai
ekspatriat di Indonesia pasca-kolonial masih menggunakan kerangka historis kolonialisme.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
C. Catatan Penutup
Adanya beragam sajian, baik berupa foto yang dijadikan cover photo maupun teks,
yang mana disediakan oleh para ekspatriat mengenai Indonesia di dalam Majalah JE telah
mereproduksi maupun merekonstruksi wacana kolonial dengan melihat beragam kondisi
kontemporer Indonesia untuk menjadi suatu bekal pemahaman bagi keberadaan mereka.
Oleh karena itu, serangkaian imaji dan teks yang tersajikan di dalam Majalah JE telah
membuktikan bahwa para ekspatriat menghadirkan suatu wacana kolonial kontemporer
mengenai Indonesia di masa pasca-kolonial.
Kini di masa pasca-kolonial para ekspatriat membuat suatu episode baru dengan
kembali memberikan kararakteristik dan stereotipe tentang Indonesia yang masih
diposisikan bahkan ditegaskan sebagai Timur. Melalui Majalah JE, para ekspatriat
kembali merepresentasikan Indonesia kepada kalangan Barat, yakni para pembaca, yang
adalah ekspatriat itu sendiri. Dalam hal ini para ekspariat dapat dikatakan masih memiliki
simtom wacana kolonial, sehingga mereka masih selalu berfantasi dalam memandang
realitas Timur seperti Indonesia yang berbeda dan berada di luar mereka yang Barat.
Di samping itu, pencarian identitas ekspatriat yang telah memasuki ruang baru di
masa pasca-kolonial telah menemukan bahwa mereka juga mengalami hibriditas dan
ambivalensi. Melalui penelusuran beragam teks kisah para ekspatriat, rubrik maupun
artikel hingga cover photo, telah memahami bahwa hibriditas dan ambivalensi yang
dialami para ekspatriat adalah sebuah proses pencarian diri yang tidak pernah mencapai
ketetapannya. Dengan kata lain, dengan merepresentasikan diri sebagai ekspatriat melalui
Majalah JE, mereka tetap memainkan wacana masa lampau sebagai rujukan identitas diri
mereka, sehingga kehadiran para ekspatriat masih memiliki sifat kolonial (orientalistik) di
masa pasca-kolonial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melalui penelitian ini, penulis memperoleh pemahaman bahwa persoalan identitas
merupakan fenomena unik sekaligus rumit. Identitas dapat dikatakan unik karena terdapat
pelbagai wacana yang melingkupi di dalamnya sehingga selalu mengalami perubahan
yang tidak pasti. Sementara itu, identitas menjadi pembahasan yang rumit karena identitas
terkait erat dengan bagaimana representasi yang dilakukan untuk dapat menyatakan dan
meneguhkan identitas kediriannya. Dan hal ini yang telah terjadi pada persoalan ekspatriat
sebagai identitas orang asing yang sedang berada di luar tanah airnya seperti di Indonesia.
Oleh karena itu, penelitian ini telah menemukan bahwa tidak terdapat suatu identitas yang
utuh, bahkan kehadiran orang kulit putih yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat
melalui sebuah media, yakni Majalah JE adalah hanya sebuah upaya untuk mengkontruksi
dan membuat legitimasi atas identitas diri yang selalu berubah-ubah.
Di dalam Majalah JE, ekspatriat sebagai identitas yang terus dikonstruksi dan
direpresentasikan oleh orang kulit putih telah menepikan kehadiran orang asing lainnya di
Indonesia. Dalam hal ini, persoalan ras masih menjadi titik tolak untuk dapat menginklusi
dan mengeksklusi orang asing sebagai ekspatriat. Dikarenakan ekspatriat sebagai identitas
belum memiliki batasan yang sangat jelas, maka penelitian ini telah mendapatkan sebuah
temuan bahwa ekspatriat sebagai identitas merupakan konstruksi dan dihadirkan oleh
orang kulit putih melalui sebuah media. Bahkan, secara etimologis, ekspatriat mengalami
penyempitan makna, yakni lebih dikhususkan bagi orang kulit putih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
Para ekspatriat kulit putih menggunakan Majalah JE sebagai medium untuk dapat
mengkonstruksi dan berupaya untuk memapankan identitas kediriannya dengan cara
merepresentasikan diri sebagai eskpatriat. Sebagai sebuah media, Majalah JE menjadi
suatu ruang kontestasi wacana seputar identitas kedirian orang asing, khususnya orang
kulit putih untuk mendapatkan identitas ekspatriat. Jadi, melalui Majalah JE terjadi
pengkodifikasian orang kulit putih sebagai ekspatriat, sehingga menegasikan orang asing
lainnya yang sedang berada di Indonesia.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab I dan II, kehadiran orang asing di
Indonesia telah memberikan pengaruh di dalam tatanan kehidupan masyarakat, terutama
ketika kolonialisme mewabah hampir ke seluruh wilayah di dunia. Para kolonial Eropa,
yakni orang kulit putih telah melakukan praktik kolonial dan menciptakan status sosial
mereka lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Kini, kehadiran ekspatriat
yang direpresentasikan oleh orang kulit putih pun kembali kepada wacana masa lalu
kolonial, sehingga membuat pembedaan dan menciptakan ketidaksetaraan di dalam
masyarakat. Dengan demikian, dalam tatanan wacana maupun praktik tidak terdapat
perbedaan yang sangat signifikan antara para kolonial di masa lampau dengan kehadiran
ekspatriat di masa pasca-kolonial.
Secara khusus, pada Bab III, penelitian ini telah berupaya memberikan pemaparan
bagaimana identitas sekaligus representasi diri ekspatriat dilakukan melalui Majalah JE.
Di dalam majalah JE, para ekspatriat telah menciptakan sebuah ruang eksistensi sekaligus
mengkonstruksi pemahaman mengenai siapa itu ekspatriat. Bahkan, setelah mengkaji
sebuah pertanyaan esensialis mengenai identitas, ekspatriat dapat dipahami sebagai
identitas yang bersifat anti-esensialis. Representasi yang dilakukan oleh para ekspatriat di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
dalam Majalah JE hanya merupakan artikulasi untuk memberikan deskripsi yang telah
dibentuk atau diimajinasikan oleh media itu sendiri.
Selain itu, melalui majalah JE pula, penelitian ini menemukan bahwa ekspatriat
turut mereproduksi wacana kolonial mengenai Indonesia. Sebagaimana yang telah
dipaparkan pada Bab III dan menyambung pada Bab IV, para ekspatriat acapkali
menghadirkan wacana kolonial mengenai dunia Timur seperti Indonesia. Munculnya
beragam imaji dan teks mengenai Indonesia yang dihadirkan oleh para ekspatriat di dalam
majalah JE ini merupakan suatu wacana kolonial kontemporer di masa pasca-kolonial.
Oleh karena itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa para ekspatriat masih memiliki dan
menghadirkan kembali sikap orientalistik.
Orientalistik yang dilakukan para ekspatriat terlihat secara jelas pada pembahasan
Bab IV setelah menganalisis wacana kolonial yang tersembunyi di balik imaji dan teks di
dalam majalah JE. Dalam hal ini para ekspatriat tidak hanya merekonstruksi wacana
kolonial mengenai karakteristik dan stereotipe dunia Timur seperti Indonesia, tetapi juga
berupaya untuk mereproduksi dengan melihat kondisi Indonesia pada konteks kekinian.
Dengan demikian, meskipun kolonialisme telah dinyatakan berakhir, namun dengan
kehadiran para ekspatriat yang masih melihat dunia seperti papan catur, hitam dan putih,
atau dalam wacana Orientalisme hal ini biasa dikatakan sebagai oposisi biner, Barat dan
Timur, dapat dikatakan sebagai bentuk atau ciri wacana kolonial kontemporer di dalam
arus zaman saat ini.
Selanjutnya, dengan menggunakan Ruang Ketiga, penelitian ini telah berupaya
untuk melepaskan binerisme peninggalan kolonialisme. Melalui Ruang Ketiga dan
menelusuri teks yang terdapat pada Majalah JE, penelitian ini menemukan bahwa
ekspatriat sebagai identitas yang direpresentasikan oleh orang kulit putih tidak juga berada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
pada ketetapannya. Di masa pasca-kolonial, dengan bergerak maju mundur, dari masa
kolonial hingga ke masa pasca-kolonial, para ekspatriat dihadapkan pada suatu proses
negosiasi. Alih-alih, para ekspatriat yang mencoba untuk melampaui masa lampau masih
terjebak pada identitas historis (kolonialisme).
Wacana tentang dunia Timur yang telah dikonstruksi oleh para orientalis di masa
kolonialisme, yakni Orientalisme, tetap dipergunakan oleh ekspatriat sebagai landasan
untuk dapat mengenali dan memahami tentang Indonesia. Dengan berbekal catatan atau
pengetahuan tentang Timur, ekspatriat menyajikan kembali dengan pelbagai rubrik seperti
Moment in History, Feature, Observations, Culture, dan Literature kepada para pembaca
Majalah JE, yakni para ekspatriat. Jadi, ekspatriat menjadi serupa dengan para orientalis di
masa kolonial yang telah membuat serangkaian mekanisme pengetahuan tentang dunia
Timur untuk disajikan kepada kalangan Barat, sehingga wacana Orientalisme masih
berkelanjutan di masa pasca-kolonial.
Selain itu, pada analisis Ruang Ketiga, penelitian ini juga telah menemukan bahwa
ekspatriat mengalami hibriditas dan ambivalensi ketika berhadapan langsung dengan
realitas masyarakat Indonesia. Hibriditas dan ambivalensi ini menjadi penanda bahwa
ekspatriat mengalami atau berada pada suatu kondisi negosiasi maupun bersifat
kemenduaan saat bersinggungan dengan kehidupan masyarakat Timur seperti Indonesia.
Dengan demikian, struktur makna yang telah terbangun dalam wacana Orientalisme
menjadi suatu hal yang patut digugat kebenarannya. Terutama, hal ini disebabkan wacana
Orientalisme sesungguhnya hanya merupakan konstruksi pengetahuan tentang Timur guna
melanggengkan kekuasaan Barat pada masa kolonialisme.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
B. Saran
Akhir kata dari penelitian ini, penulis menyadari bahwa untuk menguraikan
konstruksi, baik itu dalam persoalan identitas, representasi, maupun mengungkapkan suatu
makna dari wacana yang tersembunyi dari teks masih jauh dari kesempurnaan. Penelitian
yang dilakukan ini merupakan sebuah kegelisahan penulis yang dapat ditindaklanjuti
untuk membawa persoalan atau fenomena ekspartiat lebih mendalam dan melihatnya
dengan ragam sisi. Selanjutnya, kesimpulan-kesimpulan yang ditemukan dalam penelitian
ini diharapkan dapat memantik diskusi lebih jauh. Penulis juga menyarankan agar perlu
untuk melihat beragam wacana yang telah merebak melalui perangkat media, baik
teknologi maupun cetak, yang mana selalu menyuguhkan infomasi hingga menyebarkan
wacana di dalam arus –liar– perkembangan zaman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alatas, S. H. (1988). Mitos Pribumi Malas. Jakarta: LP3ES.
Alonso, Andoni and Pedro J. Oiarzabal (Eds). (2010). Diasporas in the New Media Age:
Identity, Politics and Community. Reno & Las Vegas: University of Nevada Press.
Anthony D. King (Ed). (1991).Culture, Globalization and the World System, Binghamton:
The Macmillan Press Ltd.
Aschroft, Bill and Pal Ahluwalia. (1999). Edward Said. New York: Routledge.
Aschroft, Bill. Et.all. (1998). Key Concepts in Post-Colonial Studies. London & New
York: Routledge.
Ashcroft, Bill. Et.all. (1990). The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-
colonial Literatures. London: Routledge.
Baay, Reggie. (2010). Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Barthes. Roland. (1977). Image/Music/Text; Essay selected and translated by Stephen
Heath. London: Fontana Press.
Bhabha, H. K. (1994 ). The Location of Cultue . New York : Routledge.
Blackburn, Susan (2011). Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup - Komunitas
Bambu.
Blusse, L. (1988). Persekutuan Aneh (Bahasa Indonesia ed.). Jakarta: Pustazet Perkasa.
Bongie, Chris. (1991) Exotic Memories: Literature, Colonialism, and the Fin de Siecle.
Standford: Standford University Press.
Burges, Anthony. (1956). Time for a Tiger. United Kingdom: Heinemann.
Dahm, Bernhard. (1987). Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES
Desler, Gary. (2002). Human Resource Management, International Edition, 8th Ed. New
Jersey: Prentice Hall, Inc., Upper Saddle River.
Du Gay, Hall. Et.all. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying
Practices. London: SAGE Publications.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Fanon, Frantz. (1986). Black Skin, White Masks. Translated by Charles Lam
Markmann. United Kingdom: Pluto Press.
Fecther, A. M. (2007). Transnational Live Ekspatriat in Indonesia. England: Ashgate.
Gouda, Frances. (2007). Dutch Culture Overseas; Praktik Kolonial Di Hindia Belanda,
1940-1942. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Grossm, Yvone (2005).Common Problems Associated with the Repatriation Process. Sam
Houston State University
Gurevitch, M. T. Bennet, J. Curran and J. Woolacott (Eds.). Culture, Society and the
Media. London: Metheun.
Hall, Stuart (Ed). (1980). Culture, Media, Language: Working Papers in Cultural
Studies, 1972-1979. London: Hutchinson.
Hall, Stuart. (1990). Identity: Community, Culture and Difference. London: Lawrence and
Wishart.
Hall, Stuart and Du Gay, P (Eds). (1996). The Questions of Cultural Identity. London:
SAGE Publications
Hannigan, Tim. (2012). Raffles and the British Invasion of Java. Monsoon Books.
Hill, Charles W.L (2002). Global Business. Second Edition. McGrow-Hill.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional.
Kartodirjo, S. N. (1975). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Kellner, M. G. (2006 ). Media and Cultural Studies (Revised Edition). USA: Blackwell
Publishing.
Lombard, Dennys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1, Batas-Batas
Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Loomba, Ania. (2000). Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge.
Mann, Richard. (1997). Expats in Indonesia; Guide to Living Conditions and Costs.
Gateway Books.
McLeod, John. (2000). Beginning Postcolonialism. United Kingdom: Manchester
Univesity Press.
McLuhan, Marshal. (1999). Understanding Media, the Extension of Man. London: The
MIT Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Niemeijer, H. E. (2012). Batavia, Masyarakat Kolonial abad XVII . Jakarta: Masup
Jakarta.
Phillpot, Simon. (2000). Rethingking Indonesia. London: Macmillan Press Ltd.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi
Rafick, Ishak. (2008). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta: Ufuk Press
Said, Edward. (1978). Orientalism. New York: Vintage Books.
Said, Edward. (1993). Culture and Imperialism. London: Chatto & Windus Ltd.
Sauko, Paulo. (2003). Doing Research in Cultural Studies. London: SAGE Publications.
Soedjatmoko (Ed). (1995). Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Sunardi, St. (2004). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik.
Susanto, Budi (Ed). (2003). Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Sutrisno, Mudji dan Hendra Putranto (Ed). (2004). Hermeneutika Pascakolonial Soal
Identitas. Yogyakarta: Kanisius
Taylor, Jean Gelman. (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven: Yale
University Press.
Wallacott, Janet (ed.), Et.all. (1992). Culture, Society, and the Media. London:
Methuen.
Yulianto, Vissia Ita. (2007). Pesona ‘Barat’ di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Young, J.C. R. (2004). White Mythologies: Writing History and the West. London and
New York: Routledge.
Penelitian dan Jurnal
Al Musadieq, Mochammad. (2010). Ekspatriat dan Industri Lintas Negara. Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya Malang.
Apriyogo, Dwi. (2013). Strategi Pengembangan Ekspatriat dalam Internasionalisasi PT.
Semen Indonesia (Persero) Tbk. Program Pascasarjana Universitas Airlangga
Surabaya.
Cannon, R. A. (1991). Expatriate ‘Expert’ In Indonesia and Thailand: Professional
And Personal Qualities for Effective Teaching and Consulting. International
Review of Education. Springer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hornby. (1987). The Case of the Aggrieved Expatriate: Case Analyses.
HSBC Expat. (2013). HSBC Expat Explorer Survey.
Nevendorff, Laura. (2008). Hubungan Kepemimpinan Ekspatriat dengan Budaya
Organisasi di Lembaga Donor IHPCP-AusAID di Jakarta, Indonesia. Skripsi
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Jakarta.
Puspitasari, Intan, dkk. (2014). Analisis Gaya Kepemimpinan Lintas Budaya Ekspatriat
(Studi Penelitian pada PT. Haier Sales Indonesia, Jakarta Utara). Dalam Jurnal
Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 8 No. 1 Februari 2014 Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya Malang.
Soares, Hernani Agostinho. (2013). Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Leste.
Program Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Kristen Satya Wacana
Semarang.
Upton, S.R. (1998). Expatriates in Papua New Guinea: Constructions of Expatriates in
Canadian Oral Narratives. The Faculty of Graduate Studies, Department of
Anthropology and Sociology University of British Columbia.
Media/Majalah
Jakarta Expat 42th Edition
Jakarta Expat 49th Edition
Jakarta Expat 50th Edition
Jakarta Expat 51th Edition
Jakarta Expat 52th Edition
Jakarta Expat 54th Edition
Jakarta Expat 56th Edition
Jakarta Expat 57th Edition
Jakarta Expat 59th Edition
Jakarta Expat 60th Edition
Jakarta Expat 63th Edition
Jakarta Expat 66th Edition
Jakarta Expat 71th Edition
Jakarta Expat 72th Edition
Jakarta Expat 74th Edition
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jakarta Expat 78th Edition
Jakarta Expat 79th Edition
Jakarta Expat 80th Edition
Jakarta Expat 84th Edition
Jakarta Expat 94th Edition
Jakarta Expat 96th Edition
Jakarta Expat 101st Edition
Indonesia Expat 111th Edition
Indonesia Expat 116th Edition
Indonesia Expat 120th Edition
Situs Internet
http://en.wiktionary.org
http://ppid.depnakertrans.go.id
http://www.alfredwallace.org
https://www.expatexplorer.hsbc.com
http://www.expat.or.id
http://www.etnohistori.org
http://www.gangs-of-indonesia.com
http://www.indonesia.go.id
http://www.investor.co.id
http://www.indonesiaexpat.biz
http://www.jakartaexpat.biz
http://www.jogjamag.com
http://www.kerajaannusantara.com
http://sains.kompas.com
http://www.merriam-webster.com
https://www.nla.gov.au
http://www.savoyhomann-hotel.com
http://www.tribunnews.com
http://www.wallace-online.org
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI). Edisi Digital KBBI Offline 1.5.1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI