PKL & Resistensi

22
3Perlawanan Malu-malu Jam 8.30 pagi, ketika Wasdap, 48 tahun, mendorong gerobag sotonya. Pagi itu, seperti biasa dia sedang memulai membuka dagangannya di bantaran sungai yang bersebelahan dengan Gedung Jamsostek Jalan Gatot Subroto Jakarta. bantaran sungai tempat biasa dia mendasarkan dagangannya. Waktu itu belum banyak orang di sana. Ketika dia sedang beranjak meninggalkan gerobag untuk mengambil air, tiba-tiba serombongan petugas operasi Tramtib datang. Tanpa sepatah kata pun gerobag yang penuh makanan itu diangkut ke mobil operasi. “Saya hanya bisa diam, tak mampu mempertahankan, selain memegang ember ini, “katanya. Teman-teman lain yang kebetulan belum mendirikan dagangannya juga tampak hanya membisu menyaksikan operasi tersebut. “Waktu yang saya pikirkan adalah bagaimana menarik kembali gerobak yang telah diangkut petugas tersebut. Karena di kantong saya tak ada uang sepeser pun untuk menebus gerobag tersebut, “ ujarnya. Atas kebaikan teman- temannya maka terkumpullah uang sebanyak Rp 250 ribu untuk menebus gerobag tersebut. Maka setelah terkumpul uang tebusan tersebut, pada siang harinya Wasdap berangkat ke kantor Kecamatan Setayabudi. Dia melihat gerobagnya teronggok bersama geobag-gerobag lain hasil operasi. “Makanan yang tadi penuh, ternyata waktu itu telah ludes entah siapa yang menghabisakan makan begitu banyak itu. Tapi tak apalah, yang penting saya bisa menarik kembali gerobag tersebut, “ katanya datar. Uang tebusan pun dia berikan kepada kepala seksi operasi penertiban, dan setelah mendapatkan basa-basi nasihat, dia mendorong gerobagnya ke rumahnya. Dan, esoknya dia kembali mengoperasikan barang dagangannya dengan gerobag tersebut dan masih di tempat semula. ambaran dari temuan di lapangan itu, menyiratkan tentang fenomena-fenomena empirik yang pada dasarnya akan selalu menjadi salah satu bentuk tindakan sosial setiap pedagang kaki lima. Mereka akan terus mempertahankan usahanya sebagai pedagang kaki lima dan mempertahankan lokasi usaha, karena pekerjaan dan lokasi G 29

Transcript of PKL & Resistensi

Page 1: PKL & Resistensi

3Perlawanan Malu-malu

Jam 8.30 pagi, ketika Wasdap, 48 tahun, mendorong gerobag sotonya. Pagi itu, seperti biasa dia sedang memulai membuka dagangannya di bantaran sungai yang bersebelahan dengan Gedung Jamsostek Jalan Gatot Subroto Jakarta. bantaran sungai tempat biasa dia mendasarkan dagangannya. Waktu itu belum banyak orang di sana. Ketika dia sedang beranjak meninggalkan gerobag untuk mengambil air, tiba-tiba serombongan petugas operasi Tramtib datang. Tanpa sepatah kata pun gerobag yang penuh makanan itu diangkut ke mobil operasi. “Saya hanya bisa diam, tak mampu mempertahankan, selain memegang ember ini, “katanya. Teman-teman lain yang kebetulan belum mendirikan dagangannya juga tampak hanya membisu menyaksikan operasi tersebut.

“Waktu yang saya pikirkan adalah bagaimana menarik kembali gerobak yang telah diangkut petugas tersebut. Karena di kantong saya tak ada uang sepeser pun untuk menebus gerobag tersebut, “ ujarnya. Atas kebaikan teman-temannya maka terkumpullah uang sebanyak Rp 250 ribu untuk menebus gerobag tersebut. Maka setelah terkumpul uang tebusan tersebut, pada siang harinya Wasdap berangkat ke kantor Kecamatan Setayabudi. Dia melihat gerobagnya teronggok bersama geobag-gerobag lain hasil operasi. “Makanan yang tadi penuh, ternyata waktu itu telah ludes entah siapa yang menghabisakan makan begitu banyak itu. Tapi tak apalah, yang penting saya bisa menarik kembali gerobag tersebut, “ katanya datar. Uang tebusan pun dia berikan kepada kepala seksi operasi penertiban, dan setelah mendapatkan basa-basi nasihat, dia mendorong gerobagnya ke rumahnya. Dan, esoknya dia kembali mengoperasikan barang dagangannya dengan gerobag tersebut dan masih di tempat semula.

ambaran dari temuan di lapangan itu, menyiratkan tentang fenomena-

fenomena empirik yang pada dasarnya akan selalu menjadi salah

satu bentuk tindakan sosial setiap pedagang kaki lima. Mereka akan

terus mempertahankan usahanya sebagai pedagang kaki lima dan

mempertahankan lokasi usaha, karena pekerjaan dan lokasi tersebut dianggap

berkait dalam mengembangkan keuntungan secara ekonomi.

GApalagi, selain memberi keuntungan tindakan sosial setiap pedagang kaki

lima mempertahankan usahanya juga karena usaha tersebut merupakan salah

satu usaha yang tidak permanen. Jika pedagang kaki lima merupakan usaha

yang tidak permanen, maka sewaktu-waktu pekerjaan itu jika tidak

29

Page 2: PKL & Resistensi

menguntungkan secara ekonomis akan mudah ditinggalkan atau berganti usaha

lain. Akan tetapi, jika pekerjaan itu menguntungan secara ekonomis, maka

sejumlah resiko akan dihadapi demi mengembangkan usaha tersebut. Jika

sejumlah resiko akan dihadapi demi mengembangkan usaha tersebut, maka

dibutuhkan sejumlah strategi bagi para pedagang kaki lima dalam mengatasi

resiko tersebut (bandingkan pada Broomley, 1978, Lukman, 1995, Munir, 1993,

dan Saleh, 1995).

Pengalaman informan Ny. Lia Abas , 49 tahun, tidak tamat SMP tetapi sukses menjadi pedagang kaki lima mendukung argumentasi tersebut. Empat orang anaknya (dua laki-laki dan dua perempuan) justru telah menampatkan jenjang tingkat tinggi . Seorang anak laki-laki tamatan S2 Ekonomi Universitas di Paris, seorang anak perempuan tamatan S2 di IKIP Jakarta, seorang anak laki-laki tamat S2 Ekonomi Universitas Jakarta, dan seorang anak perempuan tamat S1 Fakultas Hukum Trisakti )

Di lain pihak, disebutkan oleh sejumlah peneliti bahwa menekuni usaha

sebagai pedagang kaki lima tidak membutuhkan pendidikan yang terlalu tinggi.

Jika latar belakang pendidikan tidak menjadi persyaratan utama, maka

sebenarnya pekerjaan sebagai pedagang kaki lima bisa dilakukan oleh siapa

saja. Jika pekerjaan sebagai pedagang kaki lima bisa dilakukan oleh siapa saja,

maka para urbanis dari desa yang berlatar belakang petani pun bisa menekuni

usaha pedagang kaki lima (bandingkan pada Ali, 1989, Bairoh, 1973, Breman,

1980, dan Latief, 1977).

Lebih dari itu, berusaha sebagai pedagang kaki lima biasanya tidak

membutuhkan modal yang terlalu besar. Jika mengembangkan usaha pedagang

kaki lima tidak membutuhkan modal besar, maka dengan kemampuan modal

keuangan sendiri atau bantuan keluarga dapat mendorong seseorang menjadi

pedagang kaki lima. Jika seseorang membuka usaha sebagai pedagang kaki

lima hanya dengan modal sendiri, maka keberadaan pedagang kaki lima

sebenarnya keberadaan pedagang kaki lima bisa disikapi sebagai jenis usaha

yang mandiri. Jika seseorang membuka usaha sebagai pedagang kaki lima

dengan modal bantuan keluarga, maka resiko kerugian serta pengembangan

30

Page 3: PKL & Resistensi

usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga tersebut. Jika resiko kerugian

serta pengembangan usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga, maka

masing-masing anggota keluarga yang menekuni pekerjaan pedagang kaki lima

akan berusaha

mengembangkan strategi

bersama (bandingkan

pada Ernawati, 1995,

Jamuin, 2000, Ramli,

1992, Salim 1993, dan

Suharyanti.dkk, 1995)

Bertolak dari

pernyataan tersebut, pada

dasarnya

mengembangkan usaha

sebagai pedagang kaki

lima dianggap mempunyai

nilai strategis, sementara

ketika mereka harus

berhadapan dengan

resiko usaha – seperti

menghadapi operasi

penertiban—akan di cari

akan dicari sejumlah

strategi oleh masing-masing pelaku tindakan sosial tersebut. Yang telah

dilakukan informan Wasdap, juga tak jauh berbeda dengan yang dilakukan

informan lain.

Informan Toing misalnya, menempati lokasi di dalam kantin kantor

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), padahal sebelumnya dia telah

berusaha lebih dari sepuluh tahun membuka usahanya di luar kantor tersebut

dan sukses mengembangkan usahanya. Dia tidak bisa mengelak ketika pihak

Pemda Jakarta Selatan dan koperasi kantor LIPI membangun kantin (di dalam

31

Page 4: PKL & Resistensi

halaman kantor) dan mengajurkan sejumlah pedagang kaki lima yang ada di luar

kantor tersebut, untuk masuk dan menempati ruangan kantin yang baru.

Meskipun dia harus membayar uang sewa dan dan kebersihan setiap bulanya

sebesar Rp 600 ribu, namun agar tidak dianggap melanggar aturan yang ada,

dan bersama sejumlah pedagang kaki lima yang lain bersedia menempati lokasi

resmi yang baru tersebut. Sayangnya, ketika mencoba menempati lokasi yang

baru tersebut omset penjualannya menurun, maka informan Toing pun mencoba

siasat untuk mengatasi permasalahan yang dia hadapi. Dua gerobag gado-gado

yang semula sudah “dikandangkan” di rumahnya, kini kembali dioperasikan

kembali di tempat yang lama di luar kantor LIPI.

“Saya telah menjadi penjual gado-gado sejak tahun 1994. Dulu saya penjual gado-gado-gado keliling dari kampung ke kampung,” ujar Toing yang mengaku berasal dari kota Subang Jawa Barat. Dia terkenal dengan nama Toing Ganoli (gado-gado, nasi, lontong). Dia sudah 10 tahun menempati lokasi tersebut. Dia mempunyai dua gerobak gado-gado yang ditempatkan di sebelah timur dan barat kantor tersebut.

“Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang dipercaya untuk mewakili mereka jika suatu kali ada urusan dengan kelurahan. Bahkan kalau akan operasi penertiban, biasanya saya mah, udah tahu lebih dulu”, katanya menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi pamong praja, kemudian gerobaknya ditahan di kecamatan.

“Kalau sampai gerobak ditahan biasanya kami harus menebusnya, dua rata-rata saya bayar 400 ribu rupiah,” katanya, “Kalau mewakili teman-teman yang terkena operasi penertiban udah lebih dari sepuluh kali dah,” katanya

.”.......Kalau begini terus kayaknya, berat deh untuk bisa bertahan sampai satu bulan,” ujar informan mulai mengeluarkan keluhannya, “lihat tuh udah jam segini, dagangan saya masih belum habis separo.” Terlihat kantong plastik berisi kerupuk warna-warni yang baru berkurang seperempatnya saja. Nasi yang diletakkan di bakul plastik juga masih tampak utuh. Demikian juga lontong, tahu, ketimun, tomat, kol, terlihat masih memadati lemari kaca tempat penyimpanan bahan gado-gado.

“Dulu waktu masih di luar sana, siang begini, nasi udah habis, paling-paling tinggal sedikit lontong doang. Sekarang di sini, jangankah habis, terbeli juga kagak, “kata informan lebih lanjut. “......Tetapi, kita harus realistis. Coba bayangin kalau pendapatan kita berkurang. Dagangan kagak laku, apakah kita nggak coba cari jalan keluar?” tanyanya, “posisi saya kagak enak. Saya kan dekat dengan pengurus koperasi LIPI, juga orang-orang kelurahan. Tetapi di lain pihak saya juga dipercaya teman-teman di sini. Maka, mau tidak mau saya harus patuh untuk pindah ke dalam. Dengan pindah ke dalam berarti saya tidak ingin menentang arahan kelurahan, meskipun ada di antara teman-teman yang tidak bersedia masuk ke

32

Page 5: PKL & Resistensi

dalam itu urusan merekalah. Kenyataannya, setelah usaha di dalam ternyata tidak menguntungkan maka butuh cara untuk mengatasinya. Seperti yang saya lakukan sekarang ini...”.

Untuk itulah yang ditempuh oleh sejumlah pedagang kaki lima yang kini menempati kantin baru tersebut, mencoba membuka dagangannya kembali di luar kantin resmi. “Kita berusaha untuk tidak mengundurkan diri keluar jadi anggota koperasi kantin ini, iuran wajib setiap bulan seperti cicilan sewa tempat dan bayar kebersihan, listrik, dan air tetap akan kita penuhi. Bayar enam ratus ribu tiap bulan akan kita penuhi, meskipun pendapatan kita di sini sungguh sangat berkurang. Tetapi kita kan butuh duit agar tetap usaha ini tetap untung, “ katanya.

Maka, dengan cara yang ditempuh sekarang – yakni kembali membuka daganganya di luar kantin resmi-- informan justru bisa menutup kekurangan pendapatan yang diterima selama ini.

“Biarin dah dagangannya saya di dalem sini kagak untung, tetapi yang di luar itulah yang bisa nombokin,” katanya. Langkah yang ditempuh informan ini, sebenarnya merupakan keinginan bagi para pedagang yang lain, tetapi karena terbentur persoalan modal maka para pedagang yang lain tak bisa mengikuti jejak informan.

“Mereka salah strategi. Kalau saya modal tetap. Justru yang saya mencoba membagi jumlah persediaan dagangan. Misalnya, jatah untuk satu tempat ini saya bagi menjadi tiga tempat. Sehingga kalau di sini kagak laku kan bisa ditutup dari tempat yang lain,” ujarnya.

Menyimak gambaran tersebut, pada dasarnya pedagang kaki lima

mempunyai sejumlah strategi untuk menyiasati sejumlah aturan main yang ada.

Ekspresi penyiasatan tersebut tertuang dalam bentuk tindakan sosial yang

dianggapnya strategis. Akan tetapi aturan main yang mana yang harus disiasati

oleh para pedagang kali lima?

Kekuasaan “Atas Nama”Bagi aparat Pemda DKI menganggap bahwa keberadaan pedagang kaki lima

pada dasarnya telah diatur oleh oleh Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta

nomor 11 tahun 1988 (seperti yang telah diuraikan pada pembahasan terdahulu).

Akan tetapi, kalau diperhatikan secara seksama Perda ini sebenarnya tidak

secara spesifik mengatur keberadaan pedagang kaki lima, karena dalam Perda

tersebut secara umum lebih mengarah pada peraturan ketertiban umum. Akan

tetapi, ketika persoalan ketertiban umum menyangkut sarana ruang publik yang

33

Page 6: PKL & Resistensi

biasanya dijadikan lokasi usaha pedagang kaki lima, maka secara tidak langsung

keberadaan pedagang kaki lima juga terkait dengan Perda tersebut.

Perarturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 mengatur tentang sembilan tertib hukum yaitu, tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan. Isi Sementara Perarturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 mengatur tentang sembilan tertib hukum yaitu, tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 juga terdiri dari: XVI bab dan 32 pasal yang mengatur tentang ketentuan umum; tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan; ketentuan pidana; pembinaan; pengawasan; penyelidikan; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup

Bertolak dari Perda tersebutlah aparat Pemda – dengan

mengatasnamakan ingin menciptakan ketertiban umum -- mempunyai otorita

kekuasaan untuk menentukan keberadaaan pedagang kaki lima. Dengan

berpegang pada Perda itu pula aparat Pemda – dengan mengatasnamakan

penegakkan hukum dan aturan – mempunyai kewenangan untuk menertibkan,

mengatur, dan melarang usaha pedagang kaki lima.

Kepala Sub Bidang Tata Usaha Tramtib dan Linmas (Ketentraman, Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat) Kotamadya Jakarta Selatan, H. Muchtar.BA mengemukakan, ”Di Kotamadya Jakarta Selatan, telah ada Suku Dinas Tramtib dan Linmas tingkat 10 kecamatan dan 65 kelurahan di Daerah Ibukota Jakarta Selatan: Secara hierarkis, masing-masing tingkatan tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan tindakaan penertiban berdasarkan batas wilayah dan besar-kecilnya yang akan ditertibkan.

Pada tingkat Kotamadya, Suku Dinas Tramtib dan Linmas, misalnya memiliki kewenangan menelakukan penertiban di seluruh wilayah Kotamadya Jakarta Selatan, manakala pihak yang akan ditertibkan jumlahnya cukup besar sehingga membutuhkan aparat yang banyak. Pada tingkat Kecamatan, Seksi Tramtib memiliki kewenangan untuk melakukan peenrtiban dalam wilayah adminstrasi Kecamatan yang bersangkutan manakala pihak yang akan ditertibkan tersebut jumlahnya relatif terlalu tidak terlalu banyak. Demikian pula pada tingakt Kelurahan, Subseksi Tramtib juga memiliki kewenangan untuk

34

Page 7: PKL & Resistensi

emlakukan penertiban dalam lingkungan kerjanya dalam lingkup yang lebih kecil. Adapaun keseluruhan jumlah tenaga operasi lapangan Trambtib dan Linmas, di Kotamadya Jakarta Selatan terdapat 1170 personil, yang dibagi juga pada lima sampai sepuluh orang pada setiap Kecamatan dan Kelurahan.”

Dari sinilah terlihat bahwa isyu kekuasaan secara struktural fungsional

memainkan peranan. Bagi aparat Pemda, isyu kekuasaan bisa diekspresikan

dengan tindakan sosial seperti melakukan operasi penertiban. Operasi

penertiban tersebut, di satu sisi merupakan implementasi dari penerapan Perda

yang berlaku. Namun, di sisi lain, dengan operasi penertiban pula membawa

implikasi pada sangsi hukum bagi para pedagang kaki lima. Sangsi hukum yang

berlaku tidak semata-mata berupa tindakan menghentikan usaha pedagang kaki

lima, tetapi sangsi tersebut pada dasarnya juga bisa dalam bentuk “negosiasi-

negosiasi” yang kemudian berujung pada munculnya “uang tebusan” yang harus

dikeluarkan oleh para pedagang kaki lima. Besaran uang tebusan juga akan

tergantung dari keputusan aparat “penegak hukum” tersebut.

Kepala Sub Bidang Tata Usaha Tramtib dan Linmas (Ketentraman, Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat) Kotamadya Jakarta Selatan, H. Muchtar.BA juga mengemukakan, “meskipun tiada hari tanpa penertiban tetapi pelanggaran selalu ada. Untuk pelanggaran yang dilakukan pedangan kaki lima kan termasuk tindakan pidana ringan (tepiring). Maka kalau pedangan kaki lima melanggar akan kita lihat dia dagang apa? Kalau cuma dagang rokok yang lima puliuh ribu lah. Kalau jualan nasi tentu harus didenda lebih besar lagi.”

“Memang kami tahu pedagang kaki lima, adalah orang-orang kecil saja yang sementara mencari untuk perut keluarga, kalau kami tindak dengan kekuasaan yang ada pada kami, bagaimana anak istrinya makan, karena itu sebenarnya kami kasihan sama pedagang kaki limanya, kami berharap pedagang kaki lima sadar, karena ada aturan-aturan penggunaan ruang publik, kawasan-kawasan tertib lihat Perda no. 11/88, pasal 14, 15, 16 – 19 yang sudah kami sosialisasikan kepada pedagang kaki lima, hal-hal yang termasuk dalam Tertib Lingkungan dan Tertib Usaha. Seperti seluruh jalan Gatot Subroto, daerah pusat perkantoran, kawasan rawan usaha, tapi begitulah masih banyak pedagang kaki lima informal yang secara sembunyi-sembunyi melakukan usaha mereka. Terkadang mereka sangat tidak tahu diri, begitu kami tidak ada kawasan tertib kota dikotorkan dengan seluruh sampah mereka, wajarlah sesuai aturan hukum harus ditindak demi ketertiban sosial”.

Sangsi hukum, uang tebusan, besaran uang tebusan, bahkan juga

pertangungjawaban uang tebusan tersebut, ternyata berdasarkan hasil

35

Page 8: PKL & Resistensi

wawancara dan observasi di lapangan lebih menunjukkan gambaran yang

buram. Adanya pembayaran uang kebersihan dan keaman yang setiap minggu

dan bulan harus dikeluarkan pedagang kaki lima kepada petugas Pemda,

ternyata tidak berdasarkan Perda yang pasti. Dengan alasan bahwa para

pedagang kali lima termasuk golongan ekonomi lemah, maka mereka tidak

dihitung memberi kontribusi buat Pemda DKI Jakarta ini. “Ya, seperti di tingkat

RT-lah, warga disuruh bayar uang keamanan dan kebersihan, tetapi uang itu

tidak akan masuk ke kas daerah, “ ujar H. Muchtar.BA.

Atas dasar aliran keuangan yang tidak jelas itulah, maka aparat Pemda

mampu mempermainkan kekuasaannya yang tidak jelas pula batasannya.

Apalagi, pada tingkat Kecamatan, Seksi Tramtib memiliki kewenangan untuk

melakukan penertiban dalam wilayah administrasi kecamatan yang

bersangkutan manakala pihak yang akan ditertibkan tersebut jumlahnya relatif

terlalu tidak terlalu banyak. Demikian pula pada tingkat kelurahan, subseksi

Tramtib juga memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban dalam

lingkungan kerjanya dalam lingkup yang lebih kecil.

Jika demikian kenyataannya, maka aparat Pemda dari tingkat kotamadya

hingga tingkat kelurahan mempunyai posisi yang cukup strategis dalam

memainkan kekuasaan terhadap para pedagang kaki lima. Apalagi bagi para

pedagang kaki lima yang memang belum membentuk kelompok semacam

asosiasi seperti yang ada di jalan Gatot Subroto ini, menjadi “lahan yang subur”

bagi aparat Pemda untuk memerankan kekuasaannya. Bahkan seperti yang

ditemui di lapangan, ada sejumlah aparat Pemda yang hanya menggunakan

seragam (uniform) mampu memainkan kekuasannya. “Bagi tidak tahu itu

petugas dari kelurahan, kecamatan atau kotamadya, asal memakai seragam

Pemda, kami harus berusaha untuk memberi uang rokok, “ ujar informan Anton.

Apakah isyu kekuasaan hanya melekat pada aparat Pemda saja?

36

Page 9: PKL & Resistensi

Berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan ternyata

membuktikan bahwa para pedagang kaki lima secara tidak sadar telah

memerankan kekuasannya pula. Dengan mempertahankan lokasi usaha,

mendasarkan dagangannya di sela-sela tempat pejalan kaki, serta membatasi

kehadiran pedagang kaki lima yang lain, adalah bagian dari ekspresi kekuasaan

yang sedang mereka mainkan. Seperti juga yang terjadi pada lokasi depan Hotel

Kartika Chandra dan kantor SCTV jalan Gatot Subroto, di antara halte bus dan

jembatan penyeberangan yang biasanya dijadikan lalu-lalang karyawan kantor

sekitarnya, justru dipenuhi para pedagang kaki lima di sore hari. Kendati

sejumlah orang justru merasa tertolong dengan kehadiran para pedagang kaki

lima yang menjajakan makanan, karena sembari menunggu bus ke arah rumah

mereka bisa mengisi perut. Namun, tak jarang sejumlah orang juga merasa

terganggu lantaran ruang publik berupa jalan yang dilaluinya lebih banyak

dipenuhi pedangan kaki lima. Dan, atas nama ruang publik pula, para pedagang

37

Page 10: PKL & Resistensi

kaki lima mengklaim mempunyai hak untuk menggunakan kekuasaannya

berjualan di sana.1

Contoh pengalaman informan Wasdap, Toing, dan juga pedagang kaki

lima yang lain dapat dijadikan bukti kongkrit gambaran fenomena tersebut.

Bahkan gambaran yang lebih nyata dapat diperhatikan dari siasat-siasat yang

dimainkan oleh informan Rizal, penjual masakan Minang (Nasi Padang). Ketika

lokasi usahanya harus digusur, dia tidak ikut-ikutan dengan temannya yang

bersedia pindah memasuki kantin kantor LIPI. Dia justru hanya memindahkan

dasaran dagangannya ke seberang jalan Widya Chandra saja, dengan harapan

tidak meninggalkan pelanggan yang telah dia kuasai selama ini. Kendati, harus

dengan menggunakan mobil minibus, dia ternyata masih memainkan

kekuasaannya sebagai pedagang nasi Padang satu-satunya di lokasi tersebut.

1 Gambaran tersebut seolah mengingatkan kita tentang isyu kekuasaan yang pernah diungkapkan Bourdieu (1977). Dalam konsepnya tentang peran agen dan struktur sosial, Bourdieu memandang bahwa pada pikiran manusia ada skema-sekma yang bekerja secara tersirat, memberikan gambaran tentang sesuatu yang dilihatnya, ketika dia ada dalam lingkungan tertentu, terjadi interpretasi tertentu. Skema interpretasi ini penting agar orang dapat menyesuaikan diri di lingkungan barunya dan eksis disitu. Skema-skema interpretif ini bekerja tanpa disadari, memberikan gambaran bagaimana duia bekerja, bagaimana menanggapi dan menilai sesuatu di lingkungan dan mengarahkan tindakan. Disinilah memprodukkan habitus, artinya Habitus adalah produk kondisi-kondisi struktur dari individu dan sekaligus praktek-praktek sosialnya yang kemudian mereproduksikan kondisi-kondisi objektif eksitensi sosial dari agen. Jadi reproduksi sosial adalah proses, bukan mekanistis atau instrumen, arahnya pada habitus yang menjadi produk kondisi struktur dari individu. Bourdieu mengklarifiaksi dikotomi, mikro yang bekerja pada tingkat individu atau antarpribadi dan makro sebagai produk dan produser struktur sosial, serta melihat habitus bekerja dalam kaitan dengan field dan capital (Bourdieu, 1977:23 -24). Dalam kehidupan sosial sehari-hari Bourdieu (1977: 51-54) justru memandang adanya kontestasi kekuasaan. Apalagi, menurutnya, kebudayaan sebagai simbol dan makna yang membentuk dominasi sosial yang nyata sehari hari., di situlah tampak adanya kekerasaan simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam bentuk yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistansi, sebaliknya malahan mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus. Bahasa, makna dan sistem simbolik para pemiliki kekuasaan ditanamkan dalam benak individu-individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran (Bourdieu, 1977: 51-52). Bila Marxis melihat fungsi politis sistem simbolik pada kepentingan kelas dominan dengan problem kesadaran palsu yang terdapat dalam kelas-kelas yang terdominasi. Bourdieu mereduksikan relas-relasi kekuasaan menjadi relasi-relasi komunikasi. Karena itu fungsi politik dari sistem simbolik merupakan upaya sistematik untuk melegitimasi dominasi dengan memaksakan defenisi dunia sosial yang benar dan legitimit. Bordieu melihat sebenaranya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat ada saja konflik simbolik melalui penggunaan kepada kerasaan simbolik oleh yang dominan atas yang terdominasi.

38

Page 11: PKL & Resistensi

Jalan Widya Chandra. Jalan ini dibagi dua arah (dari dan ke arah jalan Gatot Subroto) sebelah kiri kantor LIPI. Jalan sebelah timur (dari Gator Subroto) dulu di samping kirinya tempat usaha sejumlah pedagang kaki lima, sementara di pinggir jalan sebelah barat tidak pernah dijadikan tempat berjualan. Sehari-hari biasanya tempat parkir taksi, dan mobil-mobil derek. Akan tetapi, setelah adanya relokasi sejumlah pedagang yang berjualan di jalan tersebut terpaksa harus digusur. Sebagian masuk ke dalam kios-kios yang disediakan LIPI, sedangkan sebagian yang lain mencari lokasi baru untuk membuka usahanya.Hampir sekitar dua minggu, sejak penggusuran jdia kedua samping jalan tersebut lengang dari sejumlah pedagang kaki lima. Para sopir tgak yang biasanya memanfaatkan kawan tersebut untuk makan dan melepas lelah juga tampak tidak sebanyak hari-hari sebelum penggusuran lokasi.

Akan tetapi, ketika memasuki minggu ke-3 setelah penggusuran. Suasananya tampak lain. Jalan Widya Chandra sebelah barat yang tidak pernah digunakan untuk berjualan, hari itu terlihat ada yang memanfatkannya untuk berjualan. Dialah Rizal yang berjualan masakan Minang (Padang) – yang tergusur dari warung sebelah timur jalan, tetapi tidak mengikuti jejak teman lain yang ikut masuk ke kompleks LIPI. Rizal ternyata memberanikan diri untuk berjualan kembali di sekitar jalan tersebut, meski sekarang menempati jalan sebelah Barat. Kalau dulu dia berjualan dengan mendirikan warung, kini dia ljustru menggunakan mobil minibus. Mobil tersebut “disulap” menjadi warung makanan. Jok kursi bagian belakang sengaja dilepas dan diganti dengan lemari makanan. Mobil diparkir di bahu jalan, sementara sebelah kiri mobil ditempatkan kursi-kursi plastik dan meja makan.

“Saya sengaja memberanikan diri membuka usaha di sini lagi, meskipun saya tahu tempat ini dilarang,” kata Rizal membuka percakapan, ““Sudah dua hari ini saya sendirilah yang berani buka dagangan di sini. Katanya besok tukang soto dan Pak Miing juga akan membawa gerobak gado-gadonya ke sini,” tambahnya lebih lanjut.

Gambaran tersebut mengarahkan pada argumentasi bahwa isyu kekuasaan

terdistribusi di semua relasi sosial. Kekuasaan terjalian dalam jaringan seluruh

tatanan sosial, karena itu kekuasaan lebih bersifat produktif, dimana kekuasaan

menghadirkan subjek. Kekuasaan berimbas pada pembentukan kekuatan,

menjadikan subjek tumbuh dan mencari dirinya, ketimbang menghalangi,

membuat subjek menyerah atau menghancurkan. Kekuasan muncul karena

adanya pengetahuan akan ruang yang digunakan. Bila Pemda memandang

ruang publik harus dibungkus dengan aturan hukum, maka pengetahuan yang

tertanam pada diri pedagang kaki lima ruang publik adalah lokasi yang berhak

diakses olehnya untuk mengembangkan usahanya.2 2 Sejalan dengan dengan pernyataan tersebut Foucault (1980: 136) mengatakan, ada hubungan timbal balik yang saling mendukung antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan tidak

39

Page 12: PKL & Resistensi

Menerabas “Aturan Main”Dari hasil wawancara dengan sejumlah informan dan observasi di lapangan,

terbangun kesan bahwa para pedagang kaki lima di Jalan Gatot Subroto selama

membuka usahanya merasa tidak aman dan rentan dengan sejumlah resiko.

Akan tetapi, masing-masing pedagang kaki lima justru telah mempersiapkan

sejumlah strategi untuk mengatasi resiko tersebut.

Katakanlah, ketika mereka harus menghadapi operasi penertiban

sehingga kemudian mereka merelakan gerobag dan barang daganganya

diangkut petugas penertiban, akan dilakukan siasat-siasat untuk mengatasinya.

Misalnya, mereka harus menjalin kerja sama dengan oknum petugas kelurahan

atau kecamatan tentang kapan pelaksanaan operasiakan dilakukan. Bahkan

kalau saja sampai terjaring operasi seperti pengalaman informan wasdap, Toing,

dan Anton pun mereka sudah siap menghadapinya.

“Saya telah menjadi penjual gado-gado sejak tahun 1994. Dulu saya penjual gado-gado-gado keliling dari kampung ke kampung,” ujar Toing yang mengaku berasal dari kota Subang Jawa Barat. Dia terkenal dengan nama Toing Ganoli (gado-gado, nasi, lontong).

“Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang dipercaya untuk mewakili mereka jika suatu kali ada urusan dengan kelurahan. Bahkan kalau akan operasi penertiban, biasanya saya mah, udah tahu lebih dulu”, katanya mengenang usaha sebelum dia memasuki kios permanen di dalam kantin LIPI. Informan menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi pamong praja, kemudian gerobaknya ditahan di kecamatan. “Kalau sampai gerobak ditahan biasanya kami harus menebusnya, dua rata-rata saya bayar 400 ribu rupiah,” katanya.

dapat dipisahkan dari rezim kekuasan . Pengetahuan terbangun dalam praktek kekuasaan dan ia membangun perkembangan, perbaikan dengan teknik baru kekuasaan, karena tidak ada sumber kekuasaan yang tunggal. Melainkan kekuasaan diyakini tersebar dimana-mana, dan konflik sebagai salah satu bentuk konsekuesinya. Bagi Foucault kekuasaan bukan institusi bukan juga struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki, melainkan suatu istilah untuk menyebut suatu situasi strategis yang kompleks dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu, Foucalt menawarkan sebuah model berpikir yang diatur secara dialektis melakukan strategi perlawanan. Bila perlawanan dilakukan dalam bentuk aksi lokal, yang radikal, maka perlawanan itu harus merusakan dan menghancurkan, merobahkan, struktur dan sistim yang ada, agar terjadi perubahan sesungguhnya. Bila perlawanan tidak radikal, seluruh struktur dan sistim tidak roboh, sehingga perlawanan disini hanya membutuhkan pengorganisasikan kembali sektor-sektornya.

40

Page 13: PKL & Resistensi

Bahkan, ketika harus digusur dari lokasi semula pun masing-masing pedagang

kaki lima juga mempunyai kiat untuk mengatasinya. Seperti yang dilakukan

informan Rizal misalnya, di lokasi tempat dia menjajakan dagangannya digusur.

Sementara teman-teman yang lain tak berani membuka usahanya, dia justru

hanya bergeser beberapa meter dari tempat semula dan membeanikan diri

membuka usaha dengan cara menggunakan mobil minibus.

“Saya sengaja memberanikan diri membuka usaha di sini lagi, meskipun saya tahu tempat ini dilarang,” kata Rizal membuka percakapan. “Sudah dua hari ini saya sendirilah yang berani buka dagangan di sini. Katanya besok tukang soto dan Pak Miing juga akan membawa gerobak gado-gadonya ke sini,” tambahnya lebih lanjut.

Rizal merasa tidak bisa menanggalkan sekitar lokasi tersebut, dengan pertimbangan bahwa jualan “masakannya” di sekitar lokasi ini telah memiliki langganan tetap. Maka dengan mobil minibusnya dia kembali membuka usahanya. “Saya buka usaha seperti ini tidak hanya di sini, di Pasar Santa Jakarta Selatan juga ada. Tetapi harus saya akui tidak selaris di sini,” katanya.

Tidak takut digusur? “Digusur ya pindah lagi. Dengan mobil seperti ini kan lebih praktis. Kemarin saya juga sudah didatangi petugas dari kelurahan dan kecamatan, dan diperingatkan untuk tidak berjualan. Tetapi ketika saya beri uang rokok Rp 250 ribu, mereka malah bilang: “ya sudah hati-hati saja, entar kalau ada operasi tolong menyingkir dulu”. Kemudian saya jawab, “siap pak!!!” Ternyata hari ini saya aman jualan lagi,” kata Rizal.

Langkah yang dilakukan Rizal tersebut, ternyata diikuti teman-teman lain yang sudah telanjur peindah ke dalam kompleks LIPI. Beberapa pertimbangan berjualan, menurut Rizal, di pinggir jalan adalah tuntutan pelanggan. “Sopir-sopir taksi, mobil derek, karyawan sango jongkok, katanya malas kalau harus masuk halaman kantro LIPI. Lagian kalau mengharapkan pelanggan kantor LIPI paling-paling hanya jam istirahat saja. Sedangkan di luar jam istirahat ‘kan ada juga pembeli yang harus dilayani,” katanya.

“Lihat tuh, penjual ayam dan pecel lele, mie ayam Pak Abu, atau juga Bang Toing, dulu larisnya kayak apa. Sekarang jangankan laris, untung saja kagak kali. Padahal mereka harus bayar cicilan warung tempat dan uang sewa lokasi setiap bulan. Apa nggak berat tuh. Apalagi itu tuh, penjual gorengan, kok ya ikut-ikutan pindah. Duit dari mana dapet nyicil uang sewa bulannya”.

Informan juga membandingkan pendapatannya sekarang dengan ketika masih berjualan di sebelah timur jalan. “Meski baru dua hari, saya udah merasakan perbandingan pendapatannya. Kemarin saya bisa dapet uang sampai satu juta dua ratus, padahal dulu setiap hari paling besar dapet 950 ribu. Pagi ini juga sudah dapet 500-an ribulah. Lumayan kan?,” katanya.

41

Page 14: PKL & Resistensi

Yang menarik dari gambaran tersebut adalah, ketika aparat Pemda

memperingatkan untuk tidak membuka usaha di ruang publik, ketika operasi

penertiban, atau bahkan ketika eksekusi penggusuran dilakukan, tidak

ditanggapi dengan perlawanan berupa ekspresi kekerasan. Mereka seolah patuh

dan mengindahkan sejumlah “aturan main” tersebut. Akan tetapi, setelah

peringatan, operasi

penertiban, dan

bahkan eksekusi

penggusuran

berlangsung, mereka

kembali menerabas

“aturan main”

tersebut. Dari sinilah

terlihat adanya

bentuk perlawanan

yang diekspresikan

secara malu-malu.

Perlawanan

tersebut malu-malu

tersebut, yang secara

konseptual terkait

dengan pengertian

resistansi berupa kiat-

kiat atau cara-cara

dominasi antara satu

pihak kepada pihak yang lain. Sebaliknya pihak yang lain dengan taktiknya

melawan pihak yang dominasi. Atau juga pihak yang dominasi dapat

menggunakan starteginya untuk mempertahankan fungsinya. Resistansi tidak

hanya ditemukan didalam hubungan –hubungan ekonomi (hubungan kerja), tapi

juga dalam hubungan-hubungan sosial lainnya, yang ditemukan dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini resistansi lebih kearah interaksionis simbolik

42

Page 15: PKL & Resistensi

yang memusatkan perhatian pada makna dan simbol terhadap tindakan dan

interaksi manusia. Atau dengan kata lain, resistansi muncul sebagai salah satu

bentuk kekuatan yang mendorong kehidupan masyarakat menciptakan gerakan

perubahan. Jika mengacu pada pendapat Chris Barker (2000: 358), maka dua

kekuatan mengrongrong kehidupan masyarakat untuki berubah, yakni masalah

ekonomi dan kekuasaan. Keduanya merupakan simbol kekuatan yang

melahirkan perubahan dalam masyarakat. Apakah perubahan itu dinamik atau

statis, tergantung kekuatan resistansi tersebut. 3

Untuk itulah, jika kita coba perhatikan sejumlah tindakan sosial yang

dilakukan para pedagang kaki lima berupa ekspresi perlawanan malu-malu ini

kita golongkan dalam bentuk resistansi non-violent. Di satu sisi, mereka juga

menyadari bahwa usaha yang dialakukan adalah bertentangan dengan aturan

main yang ada. Akan tetapi, di sisi lain mereka harus mempertahankan ranah

sosial melalui habitus-habitusnya, karena capital yang telah mereka miliki juga

harus dipertahankan. Pedagang kaki lima juga mengerti bahwa bahwa ruang

publik, bahu jalan, halte bus adalah lokasi terlarang untuk membuka usaha.

Mereka juga paham jika operasi penertiban akan selalu dilakukan serta reskio-

resiko yang bakal menimpanya. Akan tetapi mereka juga mempunyai

pengetahuan untuk menyiasati resiko-reskio tersebut, demi mempertahankan

eksistensinya.

3 Bennett (1998: 171) bahkan melihat perlawanan pada dasarnya adalah hubungan defensif, dengan kekuasaan budaya yang diadaptasi oleh kekuatan sosial subordinat dalam situasi di mana bentuk-bentuk kekuasaan budaya tersebut muncul dari suatu sumber yang jelas dialami sebagai sesuatu yang bersifat ekstranal. Perlawanan dalam hal ini berakar pada kondisi budaya kelas pekerja, yang berhadapan dengan budaya kelas berkuasa. Bentuk perlawanan menurut Bennett secara samar-samar sebagai respons atas kekuasaan. Demikian juga pendapat De Certeau (1984) yang membedakan antara strategi kekuasaan dengan taktik perlawanan. Strategi adalah instrumen yang digunakan kekuasaan yang menciptakan suatu ruang bagi dirinya dan terpisah dari lingkungannya untuk mengoperasikan objek kehendaknya. Jadi kekuasan suatu perusahan ada pada ruang dan sarana bagi dirinya yang digunakan untuk bertindak secara terpisah dari pesaing, musuh, klien , dll. Sebaliknya taktik adalah permainan jebakan, tipu daya, pemalsuan kehidupan sehari-hari dengan menggunakan sumberdaya yang ada serta berusaha menciptakan ruang yang dapat ditinggalkan.

43