Pielonefritis
Click here to load reader
-
Upload
lee-song-hoo -
Category
Documents
-
view
1.933 -
download
1
Transcript of Pielonefritis
A. Defenisi
Pielonefritis adalah radang pada pielum dan nefron yang disebabkan oleh
infeksi pada ginjal, umumnya berasal dari infiltrasi bakteri dan pelvis tenis renis
kedalam parenkim ginjal, sehingga menyebabkan destruksi yang besar pada
ginjal.
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri piala ginjal, tubulus, dan jaringan
interstisial dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai kandung kemih
melalui uretra dan naik ke ginjal. Meskipun ginjal menerima 20% - 25% curah
jantung, bakteri jarang mencapai ginjal melalui darah; kasus penyebaran secara
hematogen kurang dari 3%.
Pielonefritis sering sebagai akibat dari refluks uretero vesikal, dimana
katup uretrovresikal yang tidak kompeten menyebabkan urin mengalir
baik(refluks) ke dalam ureter. Obstruksi traktus urinarius yang meningkatkan
kerentanan ginjal terhadap infeksi), tumor kandung kemih, striktur, hyperplasia
prostatik benigna, dan batu urinarius merupakan penyebab yang lain. Inflamasi
pelvis ginjal disebut Pielonefritis, penyebab radang pelvis ginjal yang paling
sering adalah kuman yang berasal dari kandung kemih yang menjalar naik ke
pelvis ginjal. Pielonefritis ada yang akut dan ada yang kronis (Tambayong. 200)
Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula
dan jaringan interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit
(paling umum adalah Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih
ke ureter dan ginjal akibat refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis
mencakup obstruksi urine atau infeksi, trauma, infeksi yang berasal dari darah,
penyakit ginjal lainnya, kehamilan, atau gangguan metabolik (Sandra M. Nettina,
2001).
B. Etiologi
Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus
besar) merupakan penyebab dari 90% infeksi ginjal diluar rumah sakit dan
penyebab dari 50% infeksi ginjal di rumah sakit. Infeksi biasanya berasal dari
daerah kelamin yang naik ke kandung kemih. Pada saluran kemih yang sehat,
naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah oleh aliran air kemih yang akan
membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di tempat masuknya ke
kandung kemih. Berbagai penyumbatan fisik pada aliran air kemih (misalnya
batu ginjal atau pembesaran prostat) atau arus balik air kemih dari kandung
kemih ke dalam ureter, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi
ginjal. Infeksi juga bisa dibawa ke ginjal dari bagian tubuh lainnya melalui aliran
darah.
Keadaan lainnya yang meningkatkan resiko terjadinya infeksi ginjal
adalah:
Kehamilan
kencing manis
keadaan-keadaan yang menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh
untuk melawan infeksi.
C. Patofisiologi
D. Gejala
Gejala biasanya timbul secara tiba-tiba berupa demam, menggigil, nyeri
di punggung bagian bawah, mual dan muntah. Beberapa penderita menunjukkan
gejala infeksi saluran kemih bagian bawah, yaitu sering berkemih dan nyeri
ketika berkemih. Bisa terjadi pembesaran salah satu atau kedua ginjal.
Kadang otot perut berkontraksi kuat. Bisa terjadi kolik renalis, dimana penderita
merasakan nyeri hebat yang disebabkan oleh kejang ureter.
Kejang bisa terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi atau karena lewatnya batu
ginjal.
Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih
sulit untuk dikenali. Pada infeksi menahun (pielonefritis kronis), nyerinya
bersifat samar dan demam hilang-timbul atau tidak ditemukan demam sama
sekali. Pielonefritis kronis hanya terjadi pada penderita yang memiliki kelainan
utama, seperti penyumbatan saluran kemih, batu ginjal yang besar atau arus balik
air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter (pada anak kecil).
Pielonefritis kronis pada akhirnya bisa merusak ginjal sehingga ginjal tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya (gagal ginjal).
E. Manifestasi klinis
Pielonefritis akut: pasien pielonefritis akut mengalami demam dan
menggigil, nyeri tekan pada kostovertebrel(CVA), Leokositosis, dan adanya
bakteri dan sel darah putih dalam urinselain itu gejala saluran urinarius bawah
seperti disuria dan sering berkemihumumnya terjadi. Infeksi saluran urinarius
atas dikaitkan dengan selimut antibodi bakteri dalam urin.
Ginjal pasien pielonefritis biasanya membesar disertai infiltrasiinterstisial
sel-sel inflamasi. Abses dapat di jumpai pada kapsul ginjal dan pada taut kartiko
medularis. Pada akhirnya, atrofi dan kerusakan tubulus serta glomerulus terjadi.
Ketika pielonefritis menjadi kronis, ginjal membentuk jaringan parut,
berkontraksi dan tidak berfungsi
Pielonefritis kronis:biasanya tanpa gejala infeksi, kecuali terjadi
eksaserbasi. Tada-tanda utama mencakup keletiah sakit kepala, nafsumakan
rendah, poliuria, haus yang berlebihan, dan kehilangan berat badan. Infeksi yang
menetap atau kambuh dapat menyebabkan jaringan parut progresif di ginjal
disertai gagal ginjal pada akhirnya.
F. Komplikasi
Pielonefritis kronik: penyakit ginjal stadium akhir(mulai dari hilangnya
progresifitas nefron akibat inflamasi kronik dan jaringan parut)hipertensi,
danpembentukan batu ginjal (akibat infeksi kronik disertai organisme pengurai-
urea, yang mengakibatkan terbentuknya batu).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
- Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya
ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang
pandang besar (LPB) sediment air kemih
- Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment
air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik
berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
2. Bakteriologis
- Mikroskopis : satu bakteri lapangan pandang minyak emersi. 102 -103
organisme koliform / mL urin plus piuria
- Biakan bakteri
- Tes kimiawi : tes reduksi griess nitrate berupa perubahan warna pada uji
carik
3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari
urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap
sebagai criteria utama adanya infeksi.
5. Metode tes
- Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes
Griess untuk pengurangan nitrat).
- Tes esterase lekosit positif: maka pasien mengalami piuria.
- Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang
mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
6. Penyakit Menular Seksual (PMS): Uretritia akut akibat organisme menular
secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes
simplek).
7. Tes- tes tambahan :
- Urogram intravena (IVU).
- Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan
untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus
urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau
hiperplasie prostate.
- Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi
yang resisten.
H. Penatalaksanaan
Pielonefritis Akut: pasien pielonefritis akut beresiko terhadap bakteremia
dan memerlukan terapi antimikrobial yang intensif. Terapi parentral di berikan
selama 24-48 jam sampai pasien afebril. Pada waktu tersebut, agens oral dapat
diberikan. Pasien dengan kondisi yang sedikit kritis akan efektif apabila
ditangani hanya dengan agens oral. Untuk mencegah berkembangbiaknya bakteri
yang tersisa, maka pengobatan pielonefritis akut biasanya lebih lama daripada
sistitis.
Maslah yangmungkin timbul dlam penanganan adalah infeksi kronik atau
kambuhan yang muncul sampai beberapa bulan atau tahun tanpa gejala. Setelah
program antimikrobial awal, pasien dipertahankan untuk terus dibawah
penanganan antimikrobial sampai bukti adanya infeksi tidak terjadi, seluruh
faktor penyebab telah ditangani dan dikendalikan, dan fungsi ginjal stabil.
Kadarnya pada terapi jangka panjang
Pielonefritis kronik: agens antimikrobial pilihan di dasarkanpada
identifikasi patogen melalui kultur urin, nitrofurantion atau kombinasi
sulfametoxazole dan trimethoprim dan digunakan untuk menekan pertumbuhan
bakteri. Fungsi renal yang ketat, terutama jika medikasi potensial toksik.
I. Pengobatan
- Terapi antibiotik untuk membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif.
- Apabila pielonefritis kronisnya di sebabkan oleh obstruksi atau refluks, maka
diperlukan penatalaksanaan spesifik untuk mengatasi masalh-masalah
tersebut.
- Di anjurkan untuk dering munum dan BAK sesuai kebutuhan untuk
membilas mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra, untuk wanita harus
membilas dari depan ke belakang untuk menghindari kontaminasi lubang
urethra oleh bakteri faeces.
J. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian pada klien pielonefritis menggunakan
pendekatan bersifat menyeluruh yaitu :
a. Data biologis meliputi :
1. Identitas Klien
2. Identitas penanggung
b. Riwayat kesehatan :
1. Riwayat infeksi saluran kemih
2. Riwayat pernah menderita batu ginjal
3. Riwayat penyakit DM, Jantung
c. Pengkajian fisik :
1. Palpasi kandung kemih
2. Infeksi darah meatus
Pengkajian warna, jumlah, bau dan kejernian urine
Pengkajian pada costovertebralis
d. Riwayat psikososial
Usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan persepsi terhadap kondisi penyakit
mekanisme kopin dan system pendukung
e. Pengkajian pengtahuan klien dan keluarga
Pemahaman tentang penyebab / perjalanan penyakit
Pemahaman tentang pencegahan, perawatan dan terapi medis
K. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d hipertermi, perubahan
membran mukosa, kurang nafsu makan
2. Nyeri akut b.d proses peradangan / infeksi
3. Hipertermia b.d demam, peradangan / infeksi
4. Ansietas b.d hematuria, kurang pengetahuan tentang penyakit dan tujuan
pengobatan
5. Gangguan pola tidur b.d hipertermi, nyeri
6. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
7. Resiko kekurangan volume cairan b.d intake tidak adekuat
L. Perencanaan
Dp. 1 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d hipertermi, perubahan
membran mukosa, kurang nafsu makan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien
merasa nafsu makan bertambah.
Batasan karateristik :
Subjektif : kram abdomen, melaporkan perubahan sensasi rasa, merasa kenyang
setelah mengingesti makanan, merasakan ketidakmampuan mengingesti
makanan.
Objektif : adanya bukti kekurangan makanan, bising usus hiperaktif,
konjungtiva dan membran mukosa pucat, tonus otot buruk.
Kriteria Hasil : menunjukkan status gizi : asupan makanan, cairan dan zat gizi.
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
1
2
3
Mandiri
Pantau / catat permasukan diet
Tawarkan perawatan mulut
sering/cuci dengan larutan (25%)
cairan asam asetat. Berikan permen
karet, permen keras, penyegar mulut
diantara makan
Berikan makanan sedikit tapi sering
Membantu dan mengidentifikasi
defisiensi dan kebutuhan diet.
Kondisi fisik umum, gajala uremik
(contoh : mual, anoreksia,
gangguan rasa) dan pembatasan
diet multiple mempengaruhi
pemasukan makanan.
Mambran mukosa menjadi kering
dan pecah. Perawatan mulut
menyejukkan, meminyaki dan
membantu menyegarkan rasa mulut
yang sering tidak nyaman pada
uremia dan membatasi pemasukan
oral. Pencucian dengan asam asetat
membantu menetralkan amonea
yang dibentuk oleh perubahan urea.
Meminimalkan anoreksia dan mual
sehubungan dengan status
uremik/menurunnya paristaltik
Menentukan kalori individu dan
4
5
6
Kolaborasi :
Konsul dengan ahli gizi/tim
pendukung nutrisi
Batasi kalium, natrium dan
pemasukan fosat sesuai indikasi
Awasi pemeriksaan labiratorium,
contoh; BUN, albumin serum,
transferin, natrium dan kalium.
kebutuhan nutrisi dalam
pembatasan,dan mengidentifikasi
rute paling efektif dan produknya,
contoh tambahan oral, makanan
selang hiperalimentasi
Pembatasan elektrolit ini
dibutuhkan untuk mencegah
kerusakan ginjal lebih lanjut,
khususnya bila dialisis tidak
menjadi bagian pengobatan, dan
atau selama fase penyembuhan.
Indikator kebutuhan nutrisi,
pembatasan, dan kebutuhan /
efektivitas terapi.
Dp. 2 : Nyeri akut b.d proses peradangan, infeksi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien merasa
nyaman dan nyerinya berkurang.
Batasan karakteristik: kegelisahan, perilaku melindungi, perilaku menjaga,
kandung kemih tegang
Subjektif : keletihan
Objektif : perubahan kemampuan untuk meneruskan aktifitas sebelumnya,
perubahan pola tidur, penurunan interaksi dengan orang lain, perubahan berat badan.
Kriteria Hasil : Tidak ada keluhan nyeri pada saat berkemih, kandung kemih tidak
tegang, tenang, tidak mengekspresikan nyeri secara verbal atau pada wajah, tidak
ada posisi tubuh, tidak ada kegelisahan, tidak ada kehilangan nafsu makan.
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
1
2
3
4
5
6
7
Mandiri :
Pantau intensitas, lokasi, dan factor
yang memperberat atau meringankan
nyeri
Berikan waktu istirahat yang cukup
dan tingkat aktivitas yang dapat di
toleran.
Anjurkan minum banyak 2-3 liter
jika tidak ada kontra indikasi
Pantau haluaran urine terhadap
perubahan warna, bau dan pola
berkemih, masukan dan haluaran
setiap 8 jam dan pantau hasil
urinalisis ulang
Berikan tindakan nyaman, seperti
pijatan punggung, lingkungan
istirahat
Berikan perawatan parineal
Kolaborasi :
Konsul dokter bila : sebelumnya
kuning gading urine kuning, jingga
Rasa sakit yang hebat menandakan
adanya infeksi
Klien dapat istirahat dengan tenang
dan dapat merilekskan otot – otot
Untuk membantu klien dalam
berkemih
Untuk mengidentifikasi indikasi
kemajuan atau penyimpangan dari
hasil yang di harapkan
Meningkatkan relaksasi,
menurunkan tegangan otot
Untuk mencegah kontaminasi
uretra
Temuan – temuan ini dapat
memberi tanda kerusakan jaringan
8
9
gelap, berkabut atau keruh. Pla
berkemih berubah, sering berkemih
dengan jumlah sedikit, perasaan
ingin kencing, menetes setelah
berkemih. Nyeri menetap atau
bertambah sakit
Berikan analgesic sesuia kebutuhan
dan evaluasi keberhasilannya
Berikan antibiotic. Buat berbagi
variasi sediaan minum, termasuk air
segar. Pemberian air sampai 2400
ml/hari
lanjut dan perlu pemeriksaan luas
Analgesic memblok lintasan nyeri
sehingga mengurangi nyeri
Akibat dari haluran urin
memudahkan berkemih sering dan
membantu membilas saluran
berkemih
Dp. 3 : Hipertermia b.d demam, peradangan / infeksi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam demam pasien
berkurang
Batasan Karakteristik : suhu tubu meningkat di atas rentang normal, frekuensi
napas meningkat, kulit hangat bila disentuh, kadang merasa mual.
Kriteria Hasil :hilangnya rasa mual, suhu tubuh kembali normal, nafas normal dan
suhu kulit lembab
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
1
Mandiri :
Pantau suhu pasien (drajat dan pola) ;
perhatikan menggigil/diaforesis
Pantau suhu lingkungan, batasi /
Suhu 38,90 – 41,10 C menunjukkan
proses penyakit infeksius akut
Suhu ruangan/jumlah selimut harus
2
3
4
5
tambahkan linen tempat tidur, sesuai
indikasi
Berikan kompres mandi hangat;
hindari penggunaan alkohol
Berikan selimut pendingin
Kolaborasi :
Berikan antipiretik, misalnya ASA
(aspirin), asetaminofen (tylenol)
diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
Dapat membantu mengurangi
demam. Catatan : penggunaan air
es/alkohol mungkin menyebabakan
kedinginan, peningkatan suhu
secara aktual. Selain itu alkohol
dapat mengeringkan kulit.
Digunakan untuk mengurangi
demam umumnya lebih besar dari
39,50-400 C pada waktu terjadi
kerusakan/ gangguan otak.
Digunakan untuk mengurangi
demam dengan aksi sentralnya
pada hipotelamus. Meskipun
demam mungkin dapat berguna
dalam membatasi pertumbuhan
organisme. Dan meningkatkan
autodestruksi dari sel-sel yang
terinfeksi
Dp. 4 : Ansietas b.d hematuria, kurang pengetahuan tentang penyakit dan
tujuan pengobatan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam cemas pasien
Hilang dan tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisa
Batasan Karakteristik : klien gelisah, tidak tenang, tanda vital abnormal, gelisah,
ketakutan, gangguan tidur.
Kriteria Hasil : tenang, gelisa berkurang, ketakutan berkurang, dapat beristirahat,
frekuensi nafas 12-24/menit
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
1
2
3
4
Beri kesempatan klien untuk
mengungkapkan perasaannya
Pantau tingkat kecemasan
Beri dorongan spiritual
Beri penjelasan tentang penyakitnya
Agar klien mempunyai semangat
dan mau empati terhadap
perawatan dan pengobatan
Untuk mengetahui berat ringannya
kecemasan klien
Agar klien kembali menyerahkan
sepenuhnya kepada tuhan YME
Agar klien mengerti sepenuhnya
dengan penyakit yang di alaminya.
Dp. 5 : Gangguan pola tidur b.d hipertermi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien merasa
tidur dengan nyenyak.
Batasan karakteristik :
Subjektif : ketidak puasan tidur, keluhan verbal tentang kesulitan untuk tidur,
keluhan verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan baik.
Objektif : total waktu tidur kurang dari lama tidur normal, bangun 3 kali atau lebih di
malam hari
Kriteria Hasil : jumlah jam tidur tidak terganggu, perasaan segar setelah tidur atau
istirahat, terjaga denganwaktu yang sesuai
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
1
2
3
4
5
Mandiri :
Instruksikan tindakan relaksasi
Hindari mengganggu bila mungkin,
mis : membangun untuk obat atau
terapi
Tentukan kebiasaan tidur biasanya
dan perubahan yang terjadi
Dorong posisi nyaman, bantu dalam
megubah posisi
Kolaborasi :
Berikan sedatif, hipnotik, sesuai
indikasi
Membantu menginduksi tidur
Tidur tanpa gangguan pasien
mungkin tidak mampu kembali
tidur bila terbangun
Mengkaji perlunya
mengidentifikasi intervensi yang
tepat.
Perubahan posisi mengubah area
tekanan dan meningkatkan istirahat
Mungkin di berikan untuk
membantu pasien tidur/istirahat
selama periode dari rumah ke
lingkungan baru. Catatan : hindari
penggunaan kebiasaan, karena ini
menurunkan waktu tidur.
Dp. 6 : Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien toleran
aktifitas.
Batasan Karakteristik :
Subjektif : ketidaknyamanan, melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal
Objektif: denyut jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respon terhadap
aktivitas
Kriteria Hasil : mengidentifikasi aktifitas dan atau situasi yang menimbulkan
kecemasan yang berkontribusi pada intoleransi aktivitas.
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
1
2
Mandiri :
Bantu aktivitas perawatan diri yang
di perlukan. Berikan kemajuan
peningkatan aktifitas selama fase
penyembuhan.
Evaluasi respon pasien terhadap
aktifitas. Catat laporan dispnea,
peningkatan kelemahan/kelelahan
dan perubahan tanda vital selama
dan setelah aktivitas
Meminimalkan kelelahan dan
membantu keseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen
Menetapkan
kemampuan/kebutuhan pasien dan
memudahkan pemilihan intervensi.
Dp. 7 : Resiko kekurangan volume cairan b.d intake tidak adekuat
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam klien dapat
mempertahankan pola eliminasi secara adekuat
Batasan Karakteristik :
Subjektif :
Objektif : penurunan turgor kullit/lidah, konsentrasi urine meningkat, kulit/
mambran mukosa kering.
Kriteria hasil :tidak memiliki konsentrasi urine yang berlebih, memiliki
keseimbangan asupan Dan haluaran yang seimbang dalam 24 jam.
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
1
2
3
4
5
Mandiri :
Ukur dan catat urine setiap kali
berkemih
Pastikan kontinuitas kateter pirau/
akses
Tempatkan pasien pada posisi
telentang/tredelenburg sesui
kebutuhan
Pantau mambran mukosa kering,
torgor kulit yang kurang baik, dan
rasa haus
Kolaborasi :
Awasi pemeriksaan laboratorium
sesuai indikasi
Hb/Ht
Elektrolit serum dan Ph
Untuk mengetahui adanya
perubahan warna dan untuk
mengetahui input/output
Terputusnya pirau/ akses terbuka
akan memungkinkan eksanguinasi
Memaksimalkan aliran balik vena
bila terjadi hipotensi
Hipovolemia/cairian ruang ketiga
akan memperkuat tanda-tanda
dehidrasi
Menurun karena anemia,
hemodilusi atau kehilangan darah
aktual.
Ketidak seimbangan dapat
memerlukan perubahan dalam
cairan dialisa atau tambahan
pengganti untuk mencapai
6
Waktu pembekuan, contoh ACT,
PT/PTT, dan Jumlah trombosit
Berikan cariran IV (contoh, garam
faal)/ volume ekspender (contoh
albumin)selama dialisa sesuai idikasi
keseimbangan
Penggunaan heparin untuk
mencegah pembekuan pada aliran
darah dan hemofilter mengubah
koagulasi dan potensial darah aktif.
Cairan garam faal/dekstrosa,
elektrolit, dan NaHCO3 mungkin
diinfuskan dalam sisi vena
hemofelter Cav bila kecepatan
ultrafiltrasi tinggi digunakan untuk
membuang cairan ekstraseluler dan
cairan toksik. Volume ekspender
mungkin dibutuhkan
selama/setelah hemodialisa bila
terjadi hipotensi tiba-tiba nya!!
DAFTAR PUSTAKA
Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosa Keprawatan. Edisi 7. Jakarta : EGC
www.google.com
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia,dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. EGC. Jakarta