Pidato Wisudawan Terbaik
-
Upload
mufti-mukarromi -
Category
Documents
-
view
105 -
download
6
Transcript of Pidato Wisudawan Terbaik
Pidato Wisudawan Terbaik, Memukau tetapi Sekaligus “Menakutkan”Posted on 7 April 2013by rinaldimunir
Setiap acara wisuda di kampus ITB selalu ada pidato sambutan dari salah
seorang wisudawan. Biasanya yang terpilih memberikan pidato sambutan
adalah pribadi yang unik, tetapi tidak selalu yang mempunyai IPK
terbaik. Sepanjang yang saya pernah ikuti, isi pidatonya kebanyakan
tidak terlalu istimewa, paling-paling isinya kenangan memorabilia selama
menimba ilmu di kampus ITB, kehidupan mahasiswa selama kuliah,
pesan-pesan, dan ucapan terima kasih kepada dosen dan teman-teman
civitas academica.
Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan
ITB, tetapi wisudawan SMA di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya
menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan
pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens
High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan
yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat
menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya
membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya
jelaskan).Cuplikan pidato ini dikutip dari tulisan di blog
berikut: http://pohonbodhi.blogspot.com/2010/09/you-are-either-with-me-
or-against-me.html
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah
pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan
terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa
mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan
teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang
adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada
saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai
mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini
dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah
mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa
saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari
pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak
dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung
dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah
budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara
ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian
menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat
catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena
asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai
mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya
justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu.
Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik?
Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk
mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya
meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau
saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak
memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan
untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya
demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya
mulai ketakutan…….”
Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan
anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur,
tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena
selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan
kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti
hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia
merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat.
Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia
inginkan di dalam hidup ini.
Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan
kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua
mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di
himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah,
kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan
PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi,
lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar
nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu
mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia
nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun
dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya
didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.
Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali
dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi
kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi,
berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini
pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat
percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar
personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh
mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit
Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi
orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya
bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi
orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.
Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga
merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik
hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu
sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah.
Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua
membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di
sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara
kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan.
Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak
“penurut” ketimbang anak kreatif.
Baiklah, pada bagian akhir tulisan ini saya kutipkan teks asli (dalam
Bahasa Inggris) Erica Goldson di atas agar kita memahami pidato
lengkapnya. Teks asli pidatonya dapat ditemukan di dalam laman web
ini: Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech .