Pidato Prof Iwan

30
UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 7 Januari 2008 di Yogyakarta Oleh: Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD FARMAKOTERAPI BERBASIS BUKTI: ANTARA TEORI DAN KENYATAAN

Transcript of Pidato Prof Iwan

Page 1: Pidato Prof Iwan

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besarpada Fakultas KedokteranUniversitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru BesarUniversitas Gadjah Mada

pada tanggal 7 Januari 2008di Yogyakarta

Oleh:Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD

FARMAKOTERAPI BERBASIS BUKTI:ANTARA TEORI DAN KENYATAAN

Page 2: Pidato Prof Iwan

3

BismillaahirrohmaanirrohiimAssalaamu’alaikum warrahmatullaahi wabarakaatuh

Yang saya hormati,

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas GadjahMada,Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada,Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada,Rektor, Wakil Rektor Senior, dan para Wakil Rektor Universitas GadjahMada,Dekan dan para Wakil Dekan di lingkungan Universitas Gadjah Mada,Segenap Sivitas Akademika Universitas Gadjah MadaPara Tamu Undangan, Teman Sejawat, para Dosen, Mahasiswa, dan sanakkeluarga yang saya cintai.

Pertama-tama perkenankanlah saya menyampaikan puji syukur ke hadiratAllah SWT yang telah senantiasa melimpahkan rahmat, nikmat, dan karuniaNyasehingga pada hari ini kita semua dapat berkumpul dalam keadaan sehat walafiat untuk mengikuti Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas GadjahMada. Selanjutnya saya ingin menghaturkan terima kasih yang tidak terhinggakepada Ketua dan Sekretaris Majelis Guru Besar yang telah memberikankesempatan kepada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan sayasebagai Guru Besar dalam Ilmu Farmakologi, di Balai Senat UniversitasGadjah Mada. Adapun pidato pengukuhan saya berjudul:

Farmakoterapi berbasis bukti: Antara teori dan kenyataan

Judul ini sengaja saya pilih setelah cukup lama saya berkontemplasi,merefleksi setiap langkah perjalanan hidup saya dalam memahami ilmu,menelaah, mengaplikasikan, bahkan mendiseminasikannya kepada paramahasiswa, teman sejawat, dan berbagai kalangan. Ini juga menjadi bagianpanjang dari perjalanan saya menyerap ilmu farmakoepidemiologi, yangternyata tidak pernah berujung, menembus batas waktu, jarak, dan ruang

Page 3: Pidato Prof Iwan

4

yang tak berdinding. Dimensi ilmu yang demikian luas dan tak bertepi membuatsaya merasa semakin jauh dari sempurna. Pengetahuan yang bisa saya serapternyata hampir tidak berarti dibandingkan dengan kekayaan ilmu yang adadi alam semesta ini. Saya menyadari, bahwa semakin banyak sayamemperoleh ilmu, semakin kelihatan kecil dan terbatas kemampuan saya.Allah maha besar dengan segala karuniaNya.

Sejarah pengembangan obat di dunia

Hadirin yang saya muliakan,

Sejarah panjang pengembangan obat sebenarnya telah dimulai sejakmanusia ada di muka bumi ini, yang semuanya berbasis pada pemanfaatanbahan alam. Pada pertengahan abad 20, konsep ilmiah tentang pengembanganobat berubah sedemikian pesat, dan antara lain dipicu oleh tragedi thalidomide,yang dapat dikatakan menjadi salah satu tonggak penting pengembangan obatdi dunia. Thalidomide merupakan suatu obat sedatif hipnotik yangdikembangkan di Jerman Barat sekitar tahun 1954 untuk mengatasi insomnia(D’Amato et al., 1994). Namun dalam perjalanannya obat ini banyakdisalahresepkan pada ibu hamil untuk mengatasi gejala mual dan muntah.Karena popularitasnya, dalam waktu 3 tahun setelah dipasarkan, obat tersebuttelah dikonsumsi secara besar-besaran di 46 negara di dunia (Matthews &McCoy, 2003). Belum genap 6 tahun menguasai pasar obat dunia, kisahtragis dan pilu muncul bersamaan. Bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yangpada saat hamil mengkonsumsi thalidomide ditemukan cacat, baik dalambentuk amelia (tidak memiliki tangan dan kaki), fokomelia (lengan dan kaki tidaklengkap), bibir sumbing (labioschisis), tanpa langit-langit (palatoschisis), tanpamata (anophthalmus), tanpa telinga (anotia), tanpa tempurung kepala(anencephali), hingga abnormalitas berbagai organ tubuh (Matthews &McCoy, 2003). Pada pertengahan tahun 1962 thalidomide dinyatakan ditarikdari peredaran di seluruh dunia. Yang paling tragis, untuk menghentikan tragediobat ini diperlukan waktu yang amat panjang, yaitu 8 tahun, dengan korbanlebih dari 10.000 bayi cacat di seluruh dunia (Clark et al., 2001).

Page 4: Pidato Prof Iwan

5

Dalam sejarah pengembangan obat, abad 18 disebut sebagai abadbotanikal (Somberg, 1996). Sejarah Mesir kuno dan Yunani membukukanadanya farmakope, yang mencakup kompendium dan dosis obat bahan alam(Bogner, 1996). Hingga awal abad 19, semua obat bersifat toksik, karenadapat menyembuhkan atau sekaligus menyebabkan kematian. Ilmu tentangpengobatan selalu dikaitkan dengan “empirisme” dan “mantra”. Carapembuatan obat bersifat sangat primitif sehingga perbedaan antara obat danracun menjadi sangat tipis. Deklarasi Paracelcus pun menjadi tepat, bahwayang membedakan antara obat untuk pengobatan dengan racun adalahdosisnya (Weatherall, 1990).

Sejumlah nama terukir dalam sejarah pengembangan obat. Ignaz SemmelWeis memperkenalkan teori antiseptik (yaitu menolong persalinan tanpa terlebihdahulu mencuci tangan dengan antiseptik dapat menyebabkan infeksi padaibu bersalin). Theodor Escherich yang menemukan bakterium coli, serta EmileRoux dan Alexandre Yersin yang berhasil mengisolasi bakteri penyebab difteriyang sangat mematikan, menjadi awal bagi penemuan obat dan terapetik.Nama lain yang perlu dicatat adalah Robert Koch, Joseph Lister, dan LouisPasteur (Facklam & Facklam, 1992).

Hingga paruh kedua abad 19 di antara berbagai obat yang ada di pasaran,beberapa ditemukan secara kebetulan sebagai sebuah keajaiban, antara lainquinin, digitalis, kokain, antipirin, dan aspirin.

Era 1920 hingga 1940 ditandai dengan penemuan penisilin secaraspektakular oleh Alexander Fleming. Sedangkan pada dekade 1950anpemahaman tentang teknologi dan instrumentasi baru, dikombinasikan denganpengetahuan tentang fisiologi tubuh manusia serta pengaruh struktur DNAterhadap manusia, melahirkan konsep pengembangan obat berbasisbioteknologi. Dalam tahun 1960an yang merupakan “the pharmaceuticaldecade of the century” (Frey and Lesney, 2000), pengetahuan danpemahaman tentang DNA sebagai materi genetik mulai banyak dibicarakan.Itu sebabnya ketika genderang perang terhadap penyakit kanker mulai ditabuhdi era 1970an karena dianggap menjadi penyebab utama kematian manusia,penemuan obat baru mulai bergeser ke arah rekayasa genetika. Industribioteknologi pun lahir di dekade ini.

Page 5: Pidato Prof Iwan

6

Hadirin yang saya muliakan,

Konsep biologi molekuler sangat kental mewarnai bangkitnya industrifarmasi di berbagai belahan dunia pada dekade 1980an. Orientasi industrifarmasi mulai bergeser dari “try and see empirical approach” ke arahkonseptualisasi molekul secara lebih tepat. Era komersialisasi penemuan obatpun dimulai. Penemuan obat berbasis bioteknologi yang relatif mahal membuatcukup banyak industri farmasi terpaksa gulung tikar karena bangkrut akibatkegagalan inovasinya. Strategi aliansi pun dilakukan untuk meningkatkan nilaitawar. Berdalih efisiensi, di dekade 1990an beberapa industri farmasi kelasmenengah dan atas dimerjer menjadi industri raksasa yang disegani. Peranobat sebagai komoditas komersial semakin tidak terhindarkan, dan iniberlangsung terus hingga saat ini. Di penghujung abad 20, di tengah persainganglobal yang sangat ketat, mulai lahir berbagai industri farmasi raksasa berkelas“multibillion-dollar industry”.

Pelajaran yang dapat dipetik adalah, bahwa ketika ilmu pengetahuan danteknologi masih sangat terbatas, pengembangan obat umumnya masihdidasarkan pada “takdir” dan “peluang”. Ketika ilmu pengetahuan semakinberkembang, pengembangan obat lebih mengarah pada target sel atau molekuldari masing-masing penyakit.

Data empirik sebagai pembenaran: “Doing more harm than good”

Hadirin yang saya muliakan,

Seperti halnya Ilmu Kedokteran, ilmu tentang obat dan terapetik jugaberkembang sangat pesat. Hipotesis dan teori yang berlaku di masa lalu secaracepat digantikan dengan teori baru yang lebih sempurna. Sebagai contoh,pemberian kompres dingin untuk menurunkan demam pada anak yang sudahdipraktekkan selama berpuluh-puluh tahun ternyata harus ditinggalkan.Demikian pula halnya dengan obat baru yang dapat saja segera ditarik dariperedaran karena terbukti memberikan efek samping yang berat.

Kematian pada sekitar 100 orang di tahun 1937 akibat mengkonsumsisulfanilamida dalam larutan diethylene glycol, menyebabkan obat ini segeraditarik dari peredaran. Kasus ini sempat menggemparkan masyarakat dunia

Page 6: Pidato Prof Iwan

7

dan berhasil melahirkan Food, Drug, and Cosmetic Act di Amerika Serikat.Melalui undang-undang ini maka setiap pengembangan obat baru secaramutlak harus melalui uji toksisitas pra klinik pada hewan uji.

Subacute myelo-optic neuropathy (SMON) yang mematikan akibatkliokinol, baru ditemukan sekitar tahun 1970an atau 40 tahun setelah obattersebut diproduksi. Masih pada dekade 1970an, dunia juga digemparkandengan banyak ditemukannya kejadian adenokarsinoma serviks dan vaginapada bayi perempuan yang lahir dari ibu yang menggunakan dietilstilbestrolselama masa kehamilannya. Sekali lagi, ini baru terdeteksi 20 tahun setelahobat tersebut dipasarkan dan merenggut ratusan nyawa tak berdosa.

Hadirin yang saya muliakan,

Salah satu kontribusi farmakoepidemiologi yang sangat bermakna adalahmelacak keterkaitan antara paparan suatu obat dengan kejadian efek sampingobat. Hal ini dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari risikoakibat obat. Ditemukannya sindroma okulomukokutaneus akibat praktololpada tahun 1970an menjadi sinyal untuk menghentikan peredaran obat tersebut5 tahun setelah dipasarkan. Di penghujung 1980 dilaporkan bahwa efekhepatotoksisitas yang mematikan ternyata berkaitan dengan penggunaan duaobat antiinflamasi non steroid (AINS) yaitu ticrynafen dan benoxaprofen.Selanjutnya zomepirac yang juga tergolong AINS diketahui menyebabkanreaksi anafilaktoid yang fatal. Penggunaan fenilbutazon, yang hingga kini masihberedar di Indonesia, juga tercatat menimbulkan diskrasia darah yang seriusdan mematikan. Di awal 1980an perforasi usus yang masif pada penderitaosteoartritis dilaporkan berkaitan dengan penggunaan sediaan lepas lambatindometasin. Masih berkaitan dengan AINS, acute flank pain syndromedisertai gagal ginjal akut terbukti berhubungan dengan penggunaan suprofen(Strom & Kimmel, 2007).

Masih ada pula daftar panjang obat yang risiko efek sampingnya jauhlebih besar daripada manfaatnya. Bendectin, suatu obat kombinasi untukmengatasi mual dan muntah pada wanita hamil ternyata bersifat teratogenikdan menimbulkan kecacatan pada bayi yang dikandung. Cacat pada bayijuga ditemukan jika selama kehamilan seorang ibu mengkonsumsi isotretinoin.Sementara itu berbagai studi kasus juga melaporkan kejadian hipertensi,

Page 7: Pidato Prof Iwan

8

kejang, dan stroke pada ibu yang menkonsumsi bromokriptin pasca persalinan.Fluoxetine, salah satu obat unggulan di bidang psikiatri, ternyata memberiefek dorongan bunuh diri pada penggunanya. Dexfenfluramin, suatuantiobesitas, sempat menjawab kegalauan sebagian besar penduduk duniayang mengalami masalah dengan pola makan yang tak tertahankan. Sayangnya,obat ini ternyata menyebabkan terjadinya lesi katup jantung (Conolly et al.,1997). Obat-obat tersebut di atas selanjutnya ditarik dari peredaran di berbagaibelahan dunia, meskipun di beberapa negara lainnya tetap saja dipasarkanseperti layaknya tidak pernah terjadi apapun sebelumnya.

Zelnorm (berisi tegaserod), diklaim sangat mujarab untuk mengatasiirritable bowel syndrome dan disetujui FDA pada bulan Juli 2002. Bahkandi tahun 2004 obat ini juga mendapat ijin untuk mengatasi konstipasi kronik.Hanya dalam tempo tidak lebih dari 3 tahun dilaporkan bahwa penggunaantegaserod berkaitan dengan kelainan kardiovaskular yang serius. Delapanbulan yang lalu, tepatnya 30 Maret 2007, tegaserod dihentikan peredarannyaoleh FDA, meskipun secara fantastik telah menembus pasar di 55 negara didunia (US-FDA, 2007).

Cisaprid, suatu obat gastrointestinal, terpaksa dihentikan peredarannyadi seluruh Amerika Serikat (Smalley et al., 2000), Eropa (Ferriman, 2000),dan Canada (Anonymous, 2001) karena menyebabkan terjadinya aritmiajantung dan telah merenggut lebih dari 386 nyawa pengguna obat ini di seluruhdunia. Sayangnya, obat ini tetap boleh diresepkan di Indonesia untuk ketentuankhusus. Suatu bukti bahwa masih ada para dokter yang merasa kehilangankepercayaan diri manakala suatu obat harus dihentikan peredarannya. Padahalmereka mengetahui bahwa risiko yang diakibatkan oleh cisaprid jauh melebihimanfaatnya.

Perilaku semacam ini ternyata banyak ditemui di kalangan dokter, yangsecara mudah meresepkan obat-obat baru tanpa terlebih dahulu memahamisifat obat secara rinci apalagi mempelajari hasil-hasil uji klinik yang menyertainyadari waktu ke waktu. Jangankan mengetahui farmakologi obat dan profilfarmakokinetikanya, isi kandungan obatpun banyak yang tidak mengetahui.Nama dagang ternyata lebih enak untuk dilafal, sedangkan isi obat biarlahpara farmakolog yang menghapal. Demikian mungkin yang terjadi.

Page 8: Pidato Prof Iwan

9

Perubahan paradigma dari empirical based menjadi evidence-basedmedicine: Bukti ilmiah sebagai dasar terapi rasional

Hadirin yang berbahagia,

Pada waktu yang lampau dalam menetapkan jenis intervensi pengobatan,seorang dokter umumnya menggunakan pendekatan abdikasi (didasarkanpada rekomendasi yang diberikan oleh klinisi senior, supervisor, konsulenmaupun dokter ahli) atau induksi (didasarkan pengalaman diri sendiri). Halini bukannya keliru, tetapi berbagai studi membuktikan bahwa teori abdikasidan induksi tidak selalu memberikan hasil yang terbaik bagi pasien. Sebagianbesar di antaranya justru mencelakakan. Sebut saja salah satunya yaituantimikroba atau antibiotika. Di pelayanan kesehatan primer, pemberianantibiotika seolah-olah sudah mendarah daging dan turun temurun(Dwiprahasto, 2001; Pavin et al., 2003). Akibatnya, resistensi bakteri yangsemula terjadi secara sporadis, dalam 2 dekade terakhir ini berubah menjadisistematis dan sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan, terutama dirumahsakit (Sandiumenge et al., 2006). Bukti-bukti ilmiah ini ternyata tidakpernah menyurutkan para dokter untuk tetap menerapkan konsep induksi(Dwiprahasto, 2004).

Kedua pendekatan terapi tersebut (abdikasi dan induksi) pada saat iniatau paling tidak, dalam 15 tahun terakhir seharusnya telah digantikan denganpendekatan Evidence-based medicine (EBM), yaitu didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini yang valid dan dapat dipercaya. Setiap upaya medikharuslah didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang memadai yang diambil darihasil-hasil uji klinik acak terkendali (RCT-randomized controlled clinicaltrial), kajian-kajian dalam bentuk meta analisis ataupun telaah sistematik(systematic review). Dengan berbasis hasil-hasil studi yang terbaik (bestevidence) maka akan diperoleh pilihan intervensi yang terbaik pula (bestoutcome), yang paling efikasius, aman, dan terjangkau.

EBM adalah penggunaan bukti ilmiah terbaru secara eksplisit, hati-hati,dan cermat untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan penatalaksanaanpenyakit pada individu (Straus et al., 2005). EBM adalah suatu prosessistematik untuk menemukan, menelaah/me-review, dan memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik.

Page 9: Pidato Prof Iwan

10

Secara lebih rinci EBM merupakan keterpaduan antara (1) bukti-buktiilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence);dengan (2) keahlian klinis (clinical expertise) dan (3) nilai-nilai yang adapada pasien (patient values). Tujuan utama EBM adalah membantu prosespengambilan keputusan klinik, baik untuk kepentingan pencegahan, diagnosis,terapetik, maupun rehabilitatif berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkini yangterpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian maka salah satu syarat utama untuk memfasilitasipengambilan keputusan klinik yang berbasis bukti adalah menyediakan bukti-bukti ilmiah yang relevan dengan masalah klinik yang dihadapi sertadiutamakan yang berupa hasil meta-analisis, review sistematik, dan RCT(Culpepper & Gilbert, 1999). Mengingat bahwa EBM merupakan suatu carapendekatan ilmiah yang digunakan untuk pengambilan keputusan terapi, makadasar-dasar ilmiah penelitian juga perlu diuji kebenarannya.

Uji klinik sebagai instrumen untuk membuktikan efficacy dan safetyobat serta filosofi uji klinik

Hadirin yang saya muliakan,

Pengembangan obat merupakan suatu proses yang kompleks, rumit, danmemerlukan waktu yang sangat panjang. Jika penelitian in-vitro di laboratoriumtelah berhasil memilah suatu bahan aktif yang diduga mempunyai khasiat, makatahap berikutnya adalah melakukan uji pra-klinik pada hewan uji. Tujuannyaadalah untuk menemukan bukti in-vivo tentang efek obat pada hewan ujiserta mencari tahu dosis yang masih memberi efek terapi (tetapi masih dapatditoleransi), dosis toksik, dan dosis letal. Hal ini penting untuk memprediksiefek terapi pada manusia (beserta dosis yang paling dianjurkan), sertamengamati kemungkinan efek samping. Uji teratogenik, karsinogenik, dan ujitoksikologi khusus pun dilakukan pada tahap ini untuk mengetahui apakahterdapat efek yang membahayakan, baik pada janin, organ, maupun jaringan.

Tahap selanjutnya yang paling penting dalam proses pengembangan obatadalah uji klinik. Terdapat 4 tahap uji klinik yang harus dilalui oleh sebuahobat. Tahap pertama disebut uji klinik fase I, dilakukan pada sukarelawansehat dan dalam jumlah yang terbatas. Tujuan utamanya adalah mengetahui

Page 10: Pidato Prof Iwan

11

hubungan antara dosis dan respons, dan dosis yang masih dapat ditoleransi,Uji farmakokinetika juga dilakukan untuk mengetahui nasib obat di dalamtubuh setelah pemberiannya. Pada uji ini dapat diketahui kapan suatu obatdiabsorpsi, didistribusikan ke seluruh tubuh, dimetabolisme, dan diekskresikan.Oleh sebab itu parameter kinetikpun digunakan seperti kadar puncak (Cmax),waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak (tmax), waktu paruh(t1/2), tetapan kecepatan eliminasi (Kel), area di bawah kurva (area underthe curve/AUC) dan metabolit aktif yang dapat ditemukan dalam darah. Waktuparuh, misalnya, sangat penting diketahui antara lain untuk menetapkan frekuensipemberian obat dalam sehari.

Tahap selanjutnya adalah uji klinik fase II, dilakukan pada penderitadengan diagnosis yang sesuai untuk indikasi obat, tetapi dengan jumlah subyekyang terbatas. Tujuan utamanya adalah mengetahui hubungan dosis dan efekobat pada penderita/pasien. Jika hasil uji klinik fase I dan II secara meyakinkanmemberi petunjuk tentang khasiat obat, maka tahap berikutnya adalahmelakukan uji klinik fase III atau uji klinik acak terkendali (RCT). Tahap inimenjadi bagian paling utama dari pengembangan obat karena pengujiandilakukan secara cermat pada penderita, dengan skala yang lebih besar.Berbagai variabel yang berpengaruh terhadap outcome dikendalikan secaraseksama, dan menggunakan parameter-parameter yang obyektif. Tujuannyaadalah untuk membuktikan bahwa jika terjadi perbaikan pada penderita, halini benar-benar disebabkan oleh obat uji, bukan variabel-variabel yang lain.

Setelah mendapat persetujuan (approval) dan obat diperbolehkanberedar di pasaran, industri farmasi sebenarnya masih memiliki kewajibanuntuk melakukan uji klinik fase IV atau Post Marketing Surveillance (PMS).Farmakoepidemiologi menyoroti PMS ini secara khusus, karena merupakanmekanisme penapisan terakhir untuk menjamin keamanan obat pada populasi.Ini mengingat pada uji klinik fase III (RCT) data tentang jenis dan angkakejadian efek samping hanya diperoleh dari subyek yang memenuhi kriteriainklusi saja, sehingga belum mewakili gambaran efek samping pada populasiyang sebenarnya. Peran PMS ini sangatlah besar karena efek samping yangserius umumnya baru terdeteksi pada fase ini. Penarikan obat dari pasaranumumnya didasarkan pada hasil uji klinik fase IV ini.

Page 11: Pidato Prof Iwan

12

Bukti ilmiah dari randomized controlled clinical trial. Haruskah?

Hadirin yang berbahagia,

Karena sifat dan tingkat validitas hasil yang paling dapat diandalkan, makaRCT dianggap sebagai standard baku emas (gold standard) dalammembuktikan adanya hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih.RCT juga dapat digunakan untuk menguji kebenaran dari hasil studiobservasional. Sebagai contoh, suatu studi observasional melaporkan bahwaterapi sulih hormon (hormone replacement therapy/HRT) dapat mencegahterjadinya aterosklerosis. Temuan ini kemudian dipatahkan oleh studi RCT(Anderson et al., 2003; Grady et al., 2002). Di Kanada, hasil RCT tersebutmenyebabkan penggunaan HRT pada wanita pasca menopause menurunsecara drastis (Austin et al., 2003). Demikian pula studi observasional dibidang neurologi yang menyatakan bahwa transplantasi fetal cell bermanfaatuntuk terapi Parkinson (Lindvall et al., 1994). Temuan hasil ini segera dibantahsetelah dilakukan RCT (Freed et al., 2000; Olanow et al., 2003).

Contoh lain adalah penggunaan heparin pada stroke akut. Beberapa studiobservasional (Furlan et al., 1982) dan rekomendasi berbagai ahli (Adamset al., 1994) menunjukkan bahwa heparin sangat bermanfaat pada penderitaiskemi serebral. Namun hasil RCT yang dilakukan dalam skala besar (19.435pasien) melalui International Stroke Trial (IST) menunjukkan bahwa risikoterjadinya komplikasi perdarahan akibat pemberian heparin ternyata jauh lebihbesar daripada manfaatnya dalam mencegah iskemi ulangan (TheInternational Stroke Trial, 1997).

Untuk mencegah stroke ulangan, suatu studi RCT yang dikenal denganWarfarin and Aspirin for Recurrent Stroke (WARSS) secara meyakinkanmenemukan bahwa warfarin ternyata tidak bermanfaat dalam mencegah strokeulangan. Temuan ini sekali lagi mematahkan rekomendasi para ahli yang selamabertahun-tahun sebelumnya menganjurkan penggunaan warfarin dalam terapistroke (Mohr et al., 2001).

Page 12: Pidato Prof Iwan

13

Bukti empirik: antara kebenaran dan pembenaran

Hadirin yang saya muliakan,

Dalam kenyataannya tidak semua obat dapat bernasib baik dan tetapbertahan di pasaran. Sebagai contoh, dari 548 obat yang disetujui oleh US-FDA selama kurun waktu 1975-1999, lebih dari 10% nya (56 dari 548 obat)menimbulkan efek samping yang serius hingga menyebabkan kematian. Sekitar3% akhirnya ditarik dari peredaran dan sisanya (8,2%) memerlukan perubahanlabel atau harus memberikan black box warning. Separuh dari obat yangditarik, baru beredar di masyarakat sekitar 2 tahun sedangkan separuh dariyang memerlukan perubahan label, efek samping serius baru terdeteksi rata-rata sekitar 7 tahun (Josefson, 2002). Itu artinya sangat banyak kasus-kasusefek samping obat yang serius atau bahkan mematikan, yang tidak pernahterdeteksi selama bertahun-tahun tanpa ada mekanisme monitoring yangmemadai.

Obat memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi memberikan efekterapi yang diharapkan, tetapi di sisi lain justru sering menimbulkan risikoyang mencelakakan. Sayangnya, bukti ilmiah mengenai efek obat yangmerugikan, sering datang sangat terlambat, disaat korban-korban telahberjatuhan. Itu pun kadang tidak membuat pemegang kebijakan di bidangobat mampu dengan serta merta menghentikan peredaran suatu obat.Pemegang kebijakan obat seolah tidak berdaya menghadapi hegemoni industrifarmasi yang secara intens memberikan tekanan politik, psikologis, dan tidakjarang intimidatif, dalam melanggengkan produk yang berbuah bencana.

Kasus phenylpropanolamine (PPA) yang marak di penghujung tahun 2000menjadi salah satu contoh yang mengemuka. Obat ini telah dikembangkansejak awal abad 19 sebagai salah satu komponen obat flu. Beberapa kasusperdarahan intrakranial sejatinya telah mulai dilaporkan sejak tahun 1979 hingga1992. Namun demikian, tidak satupun industri farmasi bergeming, apalagipemegang kebijakan obat. Baru pada akhir Desember 2000 ketika penelitidari Yale University (Kernan, et al., 2000) secara meyakinkan menemukanbukti hubungan antara PPA dengan terjadinya stroke perdarahan, seluruh duniapun terperanjat. Hampir semua pemegang kebijakan obat di berbagai negaramerespons bak pahlawan kesiangan, untuk menghentikan sementara peredaran

Page 13: Pidato Prof Iwan

14

obat yang mengandung PPA. Kepanikan hanya terjadi sesaat, dan PPA puntetap digelontor di pasaran melalui obat-obat flu dalam dosis yang lebih kecil.Dan risiko stroke pun diserahkan sepenuhnya pada pengguna obat flu yangmengandung PPA.

Hal lain yang lebih mengejutkan di awal tahun 2007 ini adalah bahwasebagian besar obat bebas (over the counter) yang ada di pasaran ternyatatidak memiliki bukti manfaat dan keamanan yang dapat diandalkan, khususnyauntuk anak di bawah usia 12 tahun. Sebagian besar uji klinik menunjukkanbahwa efek obat batuk dan pilek (antara lain berisi ekspektoran, antihistamin,dan dekongestan) tidak lebih baik dibanding plasebo jika diberikan padaanak (Sharfstein, et al., 2007).

Sementara di Amerika Serikat sendiri sejak Januari 2000 dilaporkan lebihdari 750.000 pengaduan berkaitan dengan penggunaan obat batuk dan flupada anak. Dalam kurun waktu 2004-2005 saja ada lebih dari 1500 kasuskunjungan ke unit gawat darurat yang berkaitan dengan penggunaan obatbatuk dan flu pada anak (Anonymous, 2005). Salah satu di antaranya adalahterjadinya aritmia jantung akibat dekongestan, halusinasi akibat antihistamin,serta penurunan kesadaran dan ensefalopati akibat penggunaan antitusif. US-FDA pun mencatat lebih dari 123 kematian pada anak di bawah usia 6 tahunyang berkaitan dengan penggunaan obat batuk dan flu, yaitu akibat dosisyang berlebihan, cara dan frekuensi penggunaan yang keliru, atau terjadiinteraksi antar obat yang diminum (FDA, 2007).

Hal ini dapat terjadi mengingat hingga tahun 2000 penggunaan obat padaanak umumnya hanya didasarkan pada data pasien dewasa. Yang dilakukanselama ini hanyalah menyesuaikan dosis menjadi seperempat hingga separuhdosis dewasa, bukannya didasarkan pada hasil uji klinik secara khusus padapasien anak. Mengantisipasi permasalahan yang semakin besar, US-FDA pada18 dan 19 Oktober 2007 yang lalu menggagas pertemuan untuk menelaahpenggunaan obat-obat flu pada anak yang diwakili oleh the PediatricCommittee dan the Nonprescription Drug Advisory Committee. Sepuluhhari sebelum pertemuan dilaksanakan, beberapa industri farmasi di AmerikaSerikat secara serentak menarik produk-produk obat flu untuk anak di bawahusia 2 tahun (Joshua, et al., 2007) Hasil pertemuan tersebut kemudianmenyepakati untuk menelaah ulang penggunaan obat flu pada anak, khususnya

Page 14: Pidato Prof Iwan

15

di bawah usia 2 tahun. Sebagian besar kemudian melabel ulang obat flu yangmengandung antihistamin, dengan peringatan “tidak digunakan untukmenidurkan anak”. Satu bukti lagi menghadang dihadapan kita, bahwapenggunaan obat flu pada anak di bawah 2 tahun selama ini sama sekali tidakdidasarkan pada hasil penelitian yang valid, apalagi menggunakan kaidah ujiklinik yang baku untuk populasi anak.

Hadirin yang saya muliakan,

Obat dan efeknya memang tergolong unik. Paling tidak, terdapat 4 kategorisifat obat jika ditelaah berdasarkan manfaat dan risikonya (Strom, 2006).Pertama, disebut sebagai efek yang memang diharapkan (anticipatedbeneficial effect). Ini lazim dijadikan sebagai indikasi penggunaannya. Kedua,disebut sebagai efek samping yang diketahui dan dikenal saat tahap uji klinikdilakukan (anticipated harmful effect). Informasi mengenai efek sampinginilah yang selalu dicantumkan pada label obat yang dipasarkan. Tujuannyaadalah untuk memberikan peringatan, bahwa beberapa efek samping tersebutdapat terjadi pada sebagian orang yang menggunakan. Semua obat yangdikembangkan di dunia, masuk dalam kedua kategori tersebut. Yang ketigadisebut sebagai efek yang membahayakan tetapi tidak pernah disadari(unanticipated harmful effects). Dalam kategori ini termasuk obat-obat yangmemberikan efek samping yang serius, tetapi baru diketahui dan dikenali setelahobat dipasarkan secara luas di masyarakat. Sebagai contoh adalah anemiaaplastika akibat penggunaan khloramfenikol, gagal jantung pada penggunaanrofecoxib, dan nyeri otot (rhabdomyolisis) akibat penggunaan obat penurunkadar kolesterol.

Yang keempat disebut sebagai efek menguntungkan yang tidak diduga(unanticipated beneficial effects). Efek ini tidak ditemukan saat uji in-vitro,uji pra klinik, maupun uji klinik. Sebagai contoh adalah aspirin, yang tidakdianjurkan lagi sebagai AINS karena efek perdarahan lambung yang cukupberat. Namun dalam perjalanannya diketahui bahwa penggunaan aspirin jangkapanjang dalam dosis subterapetik dapat mencegah terjadinya penyakit jantungkoroner (Sanmuganathan et al., 2001).

Page 15: Pidato Prof Iwan

16

Bukti ilmiah: antara kebenaran dan pembenaran

Hadirin yang berbahagia,

Sama halnya dengan benda-benda yang ada di dunia ini, bukti ilmiahternyata tidak pernah kekal. Bukti ilmiah yang lama selalu digantikan denganyang baru, dan bukti ilmiah yang barupun tinggal menunggu waktu untuk segeratutup buku, jika muncul bukti ilmiah yang lebih valid. Namun, tidak demikianhalnya dengan sifat manusia yang selalu bangga dan puas hanya dengan buktiilmiah yang dulu pernah dipelajarinya. Mencari bukti ilmiah baru dari hasil-hasil penelitian mutakhir seolah menjadi barang mewah dan bukan bersifatwajib. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila banyak praktek-praktekfarmakoterapi yang akhirnya lebih mengandalkan intuisi, pengalaman, danpengetahuan yang di masa lampau memang benar, tetapi harus dikoreksi dimasa ini.

Dalam kancah peresepan misalnya, vitamin seolah menjadi bagian wajibyang harus dituliskan di resep. Peresepan vitamin bahkan meningkat secaradramatik sejak dalam komunikasi horisontal dikemas sebagai antioksidan dantersedia dalam berbagai bentuk suplemen. Namun hingga saat ini tidak satupunbukti ilmiah yang ada mendukung teori bahwa pemberian suplemen vitamin(beta karoten, vitamin A, vitamin E, dan vitamin C) mampu mencegah terjadinyapenyakit. Dari hasil meta analisis terhadap berbagai RCT yang ada (Bjelakovicet al., 2007), suplemen vitamin juga tidak mempercepat penyembuhan padaorang yang sakit. Hasil telaah sistematik (systematic review) terhadap berbagaiRCT menemukan bahwa penggunaan suplemen vitamin C atau vitamin E ataukoenzim Q10 ternyata tidak mampu mencegah terjadinya kanker apalagimenyembuhkan (AHRQ, 2003)

Penggunaan antibiotika dalam praktek sehari-hari bagaikan ikon bagiperesepan moderen. Boleh dikata, praktek peresepan antibiotika ini sudahmenjadi semacam ritual bagi hampir semua dokter. Bahkan di pelayanankesehatan primer, baik Puskesmas maupun dokter praktek swasta, lebih dari90% pasien dengan keluhan batuk pilek mendapatkan antibiotika. Padahallebih dari 87% pasien batuk pilek umumnya viral infection yang tidakmemerlukan antibiotika (Dwiprahasto, 2006). Hasil meta analisis menunjukkanbahwa antibiotika tidak lebih baik dibanding plasebo dalam hal meredakan

Page 16: Pidato Prof Iwan

17

gejala batuk dan pilek. Pada dewasa, risiko terjadinya efek samping padakelompok yang mendapat antibiotika hampir dua kali lebih besar daripadakelompok yang mendapat plasebo (Kenealy, 2005). Namun demikian buktiilmiah inipun tidak menyurutkan para dokter untuk tetap meresepkanantibiotika.

Ketika obat penghambat COX-2 mulai diperkenalkan di awal tahun 2000,dunia kedokteran merasa lega karena telah datang obat pahlawan untuk terapiarthritis rhematoid jangka panjang yang aman. Bagaimana tidak, selama initerapi rhematoid arthritis umumnya lebih bertumpu pada penggunaan AINS,yang risiko efek sampingnya tidak ringan, yaitu perdarahan gastrointestinal.Rofecoxib (suatu penghambat COX-2), secara meyakinkan menunjukkanrisiko perdarahan gastrointestinal yang lebih rendah dibanding AINS(Bombardier et al., 2000). Melalui studi meta analisis yang melibatkan lebihdari 28.000 pasien, rofecoxib juga mampu menepis isu efek sampingkardiovaskuler (Konstam et al., 2001). Namun, praktisi medik sempat gundahketika di pertengahan tahun 2002 suatu meta analisis pada lebih dari 200.000subyek menunjukkan peningkatan risiko penyakit jantung koroner jikarofecoxib digunakan pada dosis lebih dari 25 mg (Ray et al., 2002). Badaiberikutnya pun menerpa lebih dahsyat ketika di awal tahun 2004 studi yangmelibatkan lebih dari 39.000 subyek secara meyakinkan menemukan bahwarisiko kardiovaskuler pada pengguna rofecoxib hampir 2 kali lebih besardaripada AINS (Juni et al., 2004). Rofecoxib pun tumbang. Tepat tanggal30 September 2004, obat ini ditarik dari peredaran di seluruh dunia olehprodusennya. Sekali lagi, bukti ilmiah sehebat apapun, ia tidak pernah kekal,suatu saat pasti rapuh dan akhirnya mati ditelan jaman.

Tantangan dalam aplikasi bukti ilmiah

Hadirin yang saya muliakan,

Kurangnya akses informasi terhadap bukti ilmiah terbaru, khususnyatentang obat dan farmakoterapi, tampaknya tetap akan menghantui paraprofesional kesehatan di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia.Meskipun hampir seluruh jurnal biomedik dan buku-buku teks kedokterantelah tersedia dalam bentuk elektronik dan sangat mudah diakses melalui

Page 17: Pidato Prof Iwan

18

internet, namun kendala biaya, bahasa, perangkat komputer dan fasilitas aksesinternet tampaknya belum akan teratasi hingga 10-15 tahun ke depan. Tenagaprofesional kesehatan yang tinggal di daerah terpencilpun akan semakinterisolasi dari kebaharuan bukti ilmiah dan ini akan semakin menjauhkanmereka dari konsep-konsep farmakoterapi berbasis bukti yang mutakhir.

Ironisnya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagaipeluang untuk secara gencar membanjiri para dokter dengan informasi tentangproduk obat mereka. Informasi ini umumnya unbalanced, cenderungmisleading atau dilebih-lebihkan, dan lebih berpihak pada kepentingankomersial. Penggunaan informasi seperti ini jika ditelan begitu saja akan sangatberisiko dalam proses terapi (Mulrow & Oxman, 1997).

Keterbatasan informasi inilah yang dalam perkembangan penggunaan obatsering menjadikan off-label use of drug sangat marak dalam praktek sehari-hari. Off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi yangdirekomendasikan. Obat yang sering digunakan secara off label antara lainadalah antihistamin, antikonvulsan, antibiotika, serta obat batuk dan flu.Berbagai obat kardiovaskuler pun tergolong sangat sering digunakan secaraoff label, antara lain adalah antiangina, antiaritmia, dan antikoagulan.Gabapentin yang hanya diindikasikan untuk adjunctive therapy pada partialseizures dan untuk postherpetic neuralgia ternyata telah digunakan secaraoff label untuk kondisi lainnya, termasuk di antaranya monoterapi padaepilepsi, restless leg syndrome, bipolar disorder, migrain, dan kejang karenagejala putus alkohol (Radley et al., 2006).

Penggunaan obat di luar dosis yang direkomendasikan, termasuk puladalam kategori ini. Praktek-praktek kefarmasian di apotek juga terlalu banyakyang tergolong dalam off label use. Menggerus tablet untuk dijadikan puyer,kapsul, bahkan sirup untuk sediaan anak, atau menggerus tablet atau kapletuntuk dijadikan salep dan krim adalah bentuk off label use yang sangat umumditemukan, terjadi secara turun menurun, berlangsung puluhan tahun, tanpaada yang sanggup menghentikannya. Melestarikan penyimpangan, menikmatikekeliruan, dan mengulang-ulang kesalahan, tampaknya sudah menjadi bagiandari hedonisme peresepan. Yang satu mengajarkan dan yang lain mengaminisambil menirukan. Itulah cara termudah untuk mendiseminasikan informasiyang tidak berbasis bukti. Menulis resep seolah telah menjadi prosesi ritual,

Page 18: Pidato Prof Iwan

19

yang tampaknya tidak bisa (tidak perlu) dikoreksi. Tulisan yang sulit dibacaseolah menjadi bagian dari sakralisasi peresepan. Padahal bahaya mengintaidi mana-mana. Resep yang sulit dibaca akan membuat pembacanya (asistenapoteker dan apoteker) mencoba menduga, menebak, dan akhirnyamemaksakan diri untuk menerjemahkannya dalam bahasa sendiri yang dapatberdampak fatal jika keliru. Terlalu banyak nama dagang obat yang miripsatu sama lain, tetapi isinya sama sekali berbeda. Losec® yang berisiomeprazole (untuk gangguan lambung) sering keliru dibaca sebagai Lasix®yang berisi furosemida (diuretika). Feldene® yang merupakan suatu AINSsering keliru terbaca sebagai Seldane® yang berisi terfenadine (suatuantihistamin). Sotatic® yang berisi metoclopramide (obat antimuntah) telahsering keliru dibaca menjadi Cytotec® (berisi misoprostol), yang dapatmenyebabkan terjadinya aborsi jika diberikan pada ibu hamil.

Kebiasaan keliru menuliskan aturan resep 3 kali sehari (signa 3 dd 1)seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti menjadi diminum tiap 8 jam.Demikian juga untuk obat yang diberikan 2 kali sehari, seharusnya ditulisdiminum tiap 12 jam dan seterusnya. Menulis resep dalam bentuk campuran(beberapa jenis obat digerus dijadikan satu sediaan puyer atau bahkan sirup)perlu segera dikoreksi, karena termasuk off label use. Jika praktek-praktekprimitif semacam ini tetap saja dipertahankan maka keselamatan pasien(patient safety) tentu akan menjadi taruhannya.

Hadirin yang saya muliakan,

Di penghujung pidato ini, saya ingin mengajak semua tenaga profesionalkesehatan untuk senantiasa mengacu pada bukti-bukti ilmiah terkini. “Keepingup to date” bukanlah sekedar slogan tapi merupakan prasyarat fundamentaldalam implementasi EBM. Memang tidak semua hasil uji klinik obat dapatlangsung diterima sebagai bukti ilmiah yang valid. Hasil uji klinik obat tetapharus ditelaah secara kritis untuk mengetahui validitas metode dan hasilnya.Harus pula dipertimbangkan secara seksama apakah hasil tersebut dapatdiaplikasikan dalam praktek medik sehari-hari. Sekedar menghilangkan gejalabukan lagi menjadi bagian akhir dari proses farmakoterapi berbasis bukti.Menerapkan praktek peresepan yang benar, tepat, sesuai dengan kaidah-kaidah peresepan baku, dan didasarkan pada sifat farmakologi obat secara

Page 19: Pidato Prof Iwan

20

spesifik dan adekuat harus menjadi komitmen semua dokter. Para dokterdan tenaga profesional kesehatan juga harus secara konsisten menerapkankonsep-konsep patient safety, yang mengisyaratkan setiap tindakan medikdan terapetik selain efikasius juga harus aman. Jika karena keterbatasan yangada membuat seorang dokter tidak yakin akan hasil terapi yang diberikan,paling tidak ia harus yakin bahwa terapi yang diberikan tidak akan mencederaiatau mencelakakan pasien. “Primum non nocere; First, do no harm”.

Para hadirin yang saya muliakan,Perkenankanlah pada akhir pidato pengukuhan ini saya menyampaikan

penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia,dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional, atas kepercayaan yang diberikankepada saya untuk menduduki jabatan Guru Besar dalam Ilmu Farmakologidi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor, Ketua danSekretaris Senat Akademik, serta para Anggota Senat Akademik UniversitasGadjah Mada, Ketua dan Sekretaris beserta segenap anggota Majelis GuruBesar UGM yang telah menyetujui pengusulan dan menerima saya sebagaiGuru Besar.

Pengusulan Guru Besar saya tentu tidak akan pernah terlaksana tanpaijin dan perkenan dari Dekan, segenap Pengurus Fakultas dan Senat FakultasKedokteran UGM. Oleh karena itu saya ingin menghaturkan rasa terima kasihyang setulus-tulusnya.

Ungkapan bangga disertai penghargaan yang tinggi saya persembahkankepada guru-guru saya di SD Negeri Serayu, SMP Negeri 8, dan SMA NegeriI Teladan Yogyakarta yang telah mengantar saya ke jenjang akademik tertinggiini. Kepada para Guru Besar, dosen, dan segenap karyawan di FK UGM,saya berhutang budi atas semua pembelajaran yang telah diberikan kepadasaya sejak saya mahasiswa.

Terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Budiono Santoso PhD atasbimbingannya saat saya bekerja di Bagian Farmakologi Klinik. Terima kasihyang tulus juga saya tujukan kepada Prof. Anthony J. Smith, Prof. David A.Henry, dan Prof. Dick Heller yang telah membimbing saya menyelesaikanpendidikan master di bidang Farmakoepidemiologi di University of

Page 20: Pidato Prof Iwan

21

Newcastle, Australia. Secara khusus, perkenankan pula saya mengucapkanterima kasih kepada Prof. dr. Suhartono Ds SpOG(K) dan mbak Evi atas segalakebaikan, dukungan, dan bantuan saat saya menyelesaikan program ini.

Rasa hormat dan terima kasih juga saya haturkan kepada Prof. Dr. dr.Noerhajati S., Prof. dr. HNE Marsetyawan PhD, Prof Dr. dr. Sri Kadarsih,dan Dra E. Sutarti SU, Pengelola Pusat Kedokteran Tropis pada saat ituyang memfasilitasi saya dalam menyelesaikan pendidikan PhD saya di LondonSchool of Hygiene & Tropical Medicine. Kepada Prof. BM. Greenwood,dr. D. Chandramohan, PhD., dan Prof. SJ. Pocock, saya ucapkan terimakasih atas bimbingannya sehingga saya berhasil menyelesaikan pendidikanDoktor. Rasa hormat saya sampaikan pula kepada Bapak Fani Habibie, DutaBesar Indonesia untuk Inggris. .

Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada almarhum Prof WilliamInman dari Drug Safety Research Unit, Southampton England, Prof. BLStorm dan Prof. S. Edlavitch dari International Society for Pharmaco-epidemiology, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untukmemperdalam ilmu Farmakoepidemiologi.

Kepada guru-guru saya di Clinical Epidemiology and Biostatistics UnitFK UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Prof. dr. Tonny Sadjimin MSc, MPH, PhD,Prof. dr. M. Hakimi PhD, SpOG(K), Prof. dr. M Anwar MMedSc, SpOG(K),Prof. dr. H. AH Asdie SpPD(K), Prof. dr. Makmuri Muchlas, SpKJ, PhD,Prof. Dr. dr Moch. Sya’bani MMedSc, SpPD(K-Nef), Prof. Dr. dr. RusdiLamsudin MMedSc, SpS(K), Prof. dr. Soesanto Tjokrosonto MSc,MCommH, PhD, saya ucapan terima kasih atas semua pembelajaran yangberharga. Kepada segenap anggota Board of Fellow di CE&BU serta dr.Osman Sianipar, SpPK, DMM, MSc, dr. Heru Prajatmo SpOG, MKes, dr.Endro Basuki, SpBS, dan Dra. Siwi Padmawati, MSc saya ucapkan terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya selama saya menjadi Direktur CE&BUperiode 2002-2006. Begitu juga kepada segenap supporting staff CE&BU.Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada para direktur CEU dikawasan asia-pacific yang selama lebih dari 10 tahun bersama-samamengembangkan INCLEN-SEA.

Kepada DR. dr. Radjiman, Prof. Dr. dr. Soenarto Sastrowijoto SpTHT,dan dr. Yati Soenarto, PhD, SpA(K) saya ingin menyampaikan rasa hormat

Page 21: Pidato Prof Iwan

22

dan terima kasih atas setiap dorongan, nasehat, dan masukan yang sangatberharga bagi perjalanan hidup saya.

Ucapan terima kasih juga secara khusus ingin saya sampaikan kepadadr. Sri Endarini, MPH, Direktur Utama RSUP Dr. Sardjito yang telah banyakmemberikan keteladanan kepada saya tentang bagaimana membangunkepemimpinan sebuah rumah sakit yang demikian besar dan kompleks secaraarif. Terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap Direktur RSUP Dr.Sardjito beserta jajarannya atas kepercayaan yang diberikan kepada sayaselama ini.

Kepada dr. Widyastuti Suroyo, MPH, Dr. Philip Stokoe, PhD, DirjenPOM, Departemen Kesehatan RI, Badan POM, PMPK FK UGM khususnyakepada Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, Dinas Kesehatan Propinsidan Kabupaten/Kotamadya, World Bank, Asia Development Bank, danUSAID, saya mengucapkan terima kasih.

Suhu A. Suharyanto selama lebih dari 15 tahun telah mengajarkan kepadasaya sikap-sikap keteladanan seorang ksatria Shao Lin yang berjiwa teguh,tangguh, dan berkarakter tetapi bersikap welas asih. Beliau beserta SuboEmy selalu menjadi pelita bagi perjalanan hidup saya selama ini. Kepada dr.Johan Kurnianda SpPD, HONK saya ucapkan terima kasih yang takterhingga. Semua jasa dan kebaikan beliau akan selalu saya ingat dalam hatisanubari saya.

Ucapan terima kasih secara khusus juga ingin saya sampaikan kepadaibu Nani dan Bapak Dr (Hon) Sutiyoso, Ibu dan Bapak H. Fauzi Bowo,Gubernur DKI yang telah banyak membantu dan memberi harapan baru dalamhidup saya. Demikian juga kepada segenap staf YKI Wilayah DKI Jakarta,Ibu Suharto, dr. Ulfana, dr. Yati dan Ibu Neneng..

Kepada kepala Bagian Farmakologi FK UGM Dr. Mustofa Apt, MKes,beserta segenap staf, Prof. dr. Ngatidjan MSc, SpFK, Dr. Med. dr.Widharto, SpFK, dr. Budhiarto (alm), Dr. Med. dr. Indwiani Astuti, dr. SetyoPurwono, SpPD, Dra. Erna Kristin, MSi, Dra. Yuliastuti, MKes, Dra. MaulinaDyah, MKes, dr. Eti Nurwening, MKes, dr. Jarir Atthobari, PhD, dr. WoroRukmi, MKes, dan dr. Dwi Aris Agung, saya ucapkan terima kasih yangtiada terkira atas kepercayaan dan ketulusan untuk mengusulkan saya menjadiGuru Besar di bidang Farmakologi. Ucapan terima kasih juga saya haturkan

Page 22: Pidato Prof Iwan

23

kepada Prof dr. Iwan Darmansyah SpFK(K) dan Prof. Dr. dr. HerrySastramiharja SpFK(K).

Kepada almarhum eyang Kismosedewo, terima kasih yang tulus atassetiap pelajaran hidup yang telah Eyang berikan kepada saya. “Jadilah dokteryang baik, tetapi janganlah mencari kekayaan dari menolong orang yang sakit”,pesan Eyang ini senantiasa saya ingat.

Tiada ungkapan yang lebih baik dan layak yang bisa saya haturkan kepadaalmarhum ayah saya R. Oetomo Moestidjo yang banyak memberikan maknadan keteladanan dalam hidup saya. Terima kasih ayah, semoga Allah SWTmenempatkanmu secara layak di sisiNya. Ibunda Sri Hartati, seorang ibusejati yang senantiasa menjadi ibu sekaligus teman, bak dian yang tak kunjungpadam di sanubari saya. Terima kasih ibu, doamu siang dan malam, puasadan laku prihatinmu telah mewujudkan sesuatu yang tidak pernah saya impikansebelumnya, menjadi Guru Besar di Universitas yang sangat terhormat ini.

Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada Keluarga BesarKismosedewo, yang selalu saya banggakan. Almarhum Om dan tante Wibowoadalah figur seorang pemimpin dermawan dan berbudi luhur yang telah banyakmemberi suri tauladan bagi saya saat saya mempersiapkan diri melanjutkanprogram S2.

Kepada saudara-saudara saya, Mbak Ida dan mas Hari, mas Bambangdan mbak Ade, mbak Ratna dan mas Dadik, mbak Ita dan mas Untung, Yantidan Agung beserta semua keponakan yang sangat saya cintai, terima kasihatas semua dorongannya selama ini. Kepada bapak Mertua Prof M. Ramlanbeserta almarhumah ibu Harni, saya mengucapkan terima kasih atas semuabimbingannya selama ini. Demikian pula kepada kakak ipar saya mas Adidan mbak Rini, mas Wiwik dan mbak Titi, serta putra-putrinya.

Penghargaan dan ungkapan terima kasih setinggi-tingginya juga sayasampaikan kepada istri saya tercinta dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD yangdengan segala pengertian, perhatian, kesetiaan, pengorbanan, kerelaan, danketulusikhlasan telah memberikan dorongan serta mendampingi saya siangdan malam, dalam suka dan duka selama lebih dari 18 tahun. Kepada anaksemata wayang saya, Putri Karina Larasati, terima kasih atas segala kesabaran,pengorbanan, pengertian dan kehangatan yang selalu engkau berikan. Petuahseorang anak yang tak terduga sering menyadarkan saya betapa sering hari-

Page 23: Pidato Prof Iwan

24

hari ceriamu tidak terdampingi oleh bapak yang selalu sibuk. Semoga engkaumenjadi putri yang solehah, bermartabat, rendah hati, berjiwa sosial, danberbudi luhur, serta bermanfaat bagi keluarga, agama, dan masyarakat.

Meskipun ingin rasanya saya menyampaikan ucapan terima kasih denganmenyebut satu per satu orang ataupun lembaga, namun hanya ruang danwaktulah yang membatasi saya. Pada kesempatan yang amat berbahagia inisaya berdoa semoga buah amalan kebaikan bapak, ibu, dan saudara sekaliankepada saya dilipatgandakan oleh Allah SWT. Akhir kata, teriring ungkapanmohon maaf apabila ada banyak hal yang mungkin kurang berkenan ataspidato pengukuhan ini.

Billahittaufiq wal hidayah,Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

DAFTAR PUSTAKAAdams Jr., H.P., Brott, T.G., Crowell, R.M., Furlan, A.J., Gomez, C.R., Grotta,

J. et al., 1994. Guidelines for the management of patients with acuteischemic stroke. A statement for healthcare professionals from a specialwriting group of the Stroke Council, American Heart Association.Circulation 90: 1588–1601.

AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality), 2003. Effect ofsupplemental use of antioxidants vitamin C, vitamin E, and coenzyme Q10for the prevention and treatment of cancer. Evidence Report/TechnologyAssessment no. 75. AHRQ Publication no. AHRQ 03-E047.

Anderson, G.L., Judd, H.L., Kaunitz, A.M., et al., 2003. Effects of estrogenplus progestin on gynaecologic cancers and associated diagnosticprocedures: the Women’s Health Initiative randomized trial. JAMA 290:1739–1748.

Anonymous, 2001. Lessons from cisapride (Editorial). CMAJ 164(9): 1269.Anonymous, 2007. Infant deaths associated with cough and cold medications-

two states, 2005. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 56: 1-4.Antes, G. 1998. Evidence-based medicine. Internist 39: 899–908.Austin, P.C., Mamdani, M.M., Tu, K., Jaakkimainen, L., 2003. Prescriptions

for estrogen replacement therapy in Ontario before and after publicationof the Women’s Health Initiative Study. JAMA 289: 3241–3242.

Page 24: Pidato Prof Iwan

25

Bjelakovic, G., Nikolova, D., Gluud, et al. 2007. Mortality in randomized trialsof antioxidant supplements for primary and secondary prevention.Systematic review and meta analysis. JAMA 297: 842-857.

Bombardier, C., Laine, L., Reicin, A., et al., 2000. Comparison of uppergastrointestinal toxicity of rofecoxib and naproxen in patients withrheumatoid arthritis. N.Engl.J.Med 343: 1520-1528.

Clark, T.E., Edom, N., Larson, J., 2001. Thalomid® capsules: A review of thefirst 18 months of spontaneous postmarketing adverse event surveillance,including off-label prescribing. Drug Safety 24: 87–117.

Conolly, H.M, Crary, J.L., McGoon, M.D., 1997. Valvular heart diseaseassociated with fenfluramine-phentermine. N.Engl.J.Med. 337: 581-588.

Culpepper, L, Gilbert, T.T., 1999. Evidence and primary care: Evidence andethics. Lancet 353: 829-831.

D’Amato, R.J., Loughnan, M.S., Flynn, E., Folkman, J., 1994 Thalidomide isan inhibitor of angiogenesis. Proc Natl Acad Sci USA 91: 4082–4085.

Dwiprahasto, I. dan Kristin, E., 2003. Improving the use of antibiotics in primaryhealth centres through a problem-based learning pharmacotherapy trainingapproach. B.I.Ked. 35(3): 112-120

Dwiprahasto, I., 2004. Ketersediaan obat di kabupaten dan mutu peresepan dipusat pelayanan kesehatan primer. B.I.Ked. 36(2): 89-96.

Dwiprahasto, I., 2006. Peningkatan mutu penggunaan obat di puskesmas melaluipelatihan berjenjang pada dokter dan perawat. JMPK 9(2): 94-101.

Facklam, H., Facklam, M., 1992. Healing Drugs: The History ofPharmacology. Facts on File, Inc., New York.

Ferriman, A., 2000. UK license for cisapride suspended. BMJ 321: 259.Freed, C.R., Greene, P.E., Breeze, R.E., et al., 2000. Transplantation of

embrionic dopamine neurons for severe Parkinson’s disease. N.Engl.J.Med. 344: 710–719.

Furlan. A.J., Cavalier, S.J., Hobbs, R.E.., 1982. Hemorrhage and anticoagulationafter nonseptic embolic brain infarction. Neurology 32: 280–282.

Grady, D., Herrington, D., Bittner, V., et al., 2002. Cardiovascular diseaseoutcomes during 6.8 years of hormone therapy: Heart & Estrogen/progestinReplacement Study follow-up. JAMA 288: 49–57.

Josefson, D., 2002. Doctors warned to be wary of new drugs. BMJ 324 (7346):1113.

Juni, P., Nartey, L., Reichenbach, S., Sterchi, R., Dieppe, P.A., Egger, M.,2004. Risk of cardiovascular events and rofecoxib: cumulative meta-analysis. Lancet 364(9450): 2021-2029.

Page 25: Pidato Prof Iwan

26

Kernan, W.N., Viscoli, C.M., Brass, L.M., et al. 2000. Phenylpropanol-amineand the risk of hemorrhagic stroke. N.Engl.J.Med. 343: 1826-1832.

Lindvall, O., Sawle, G.V., Widner, H. 1994. Evidence for long-term survivaland function of dopaminergic grafts in progressive Parkinson’s disease.Ann. Neurol. 35: 172–180.

Konstam, M.A., Weir, M.R., Reicin, A., Shapiro, D., et al, B.J., 2001.Cardiovascular thrombotic events in controlled, clinical trials of rofecoxib.Circulation 104: 2280-1188.

Matthews, S.J., McCoy, C., 2003. Thalidomide: A review of approved andinvestigational uses. Clin. Ther. 25: 342–395.

Mohr, J.P., Thompson, J.L., Lazar, R.M., et al., 2001. A comparison of warfarinand aspirin for the prevention of recurrent ischemic stroke. N.Engl. J.Med. 345: 1444–1451.

Mulrow, C., Oxman, A.D., 2002. The Cochrane handbook. In: The CochraneLibrary, Update Software, Oxford.

Olanow, C.W., Goetz, C.G., Kordower, J.H., et al., 2003. A double-blindcontrolled trial of bilateral fetal nigral transplantation in Parkinson’s disease.Ann. Neurol. 54: 403-414.

Pavin, M., Nurgozhin, T., Hafner, G., 2003. Prescribing practices of rural primaryhealth care physicians in Uzbekistan. Trop. Med. & Int. Health 8: 182-190.

Radley, D.C., Finkelstein, S.N., Staffor, R.S., 2006. Off-label prescribing amongoffice-based physicians. Arch. Intern. Med. 166: 1021-1026.

Ray, W.A., Stein, C.M., Daugherty, J.R., et al 2002. COX-2 selective non-steroidal anti-inflammatory drugs and risk of serious coronary heart disease.Lancet 360: 1071-1073.

Sandiumenge, A., Diaz, E., Rodriguez, A., et al. 2006. Impact of diversity ofantibiotic use on the development of antimicrobial resistance. J. Antimicrob.Chemother., 57: 1197-1204.

Sanmuganathan, P.S., Ghahramani, P., Jackson, P.R., et al. 2001. Aspirin forprimary prevention of coronary heart disease: safety and absolute benefitrelated to coronary risk derived from meta-analysis of randomized trial.Heart 85: 265-271.

Sharfstein, J.M., Nort, M., and Serwint, J.R., 2007. Over the counter but nolonger under the Radar-Pediatric cough and cold medications.N.Eng.J.Med., 357(23): 2321-2324.

Smalley, W., Shatin, D., Wysowski, D.K., et al., 2000. Contraindicated use ofcisapride. Impact of Food and Drug Administration Regulatory Action.JAMA 284(23): 3036-3039.

Page 26: Pidato Prof Iwan

27

Straus, S.E., Richardson, W.S., Glasziou, P., Haynes, R.B., 2005. Evidence-Based Medicine. How to Practice and Teach EBM. 3rd Ed. Elsevier,Edinburgh.

Strom, B.L. and Kimmel, S.E., 2006. Textbook of Pharmacoepidemiology.John Wiley & Sons, Chischester.

International Stroke Trial Collaborative Group, 1997. The International StrokeTrial (IST): a randomised trial of aspirin, subcutaneous heparin, both, orneither among 19435 patients with acute ischaemic stroke. Lancet 349:1569-1581.

US-FDA, 2007. FDA Announces Discontinued Marketing of GI Drug,Zelnorm, for Safety Reasons. http://www. fda.gov/cder/drug/advisory/tegaserod.htm, Diakses tgl 3 November 07.

Weatherall, M., 1990. In Search of a Cure: A History of PharmaceuticalDiscovery. New York, Oxford University Press.

Page 27: Pidato Prof Iwan

28

Pendidikan:

1980 – 1987 Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran UGM1990 – 1992 MMedSc in Pharmacoepidemiology, Newcastle University,

New South Wales, Australia1997 - 2001 PhD, London School of Hygiene and Tropical Medicine,

England.

Riwayat Pekerjaan:

1. Wakil Dekan Bidang Akademik & Kemahasiswaan FK UGM (2004-sekarang)

2. Ketua, Komite Sistem Informasi, Universitas Gadjah Mada (2006-sekarang)3. Ketua, Pengurus Besar (PB) Ikatan Farmakologi Indonesia (IKAFI) (2006-

sekarang)4. Ketua, Komite Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta (2004-sekarang)5. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Perhimpunan Rumah

Sakit Indonesia (PERSI) (2006-sekarang)6. Director, Clinical Epidemiology & Biostatistics Unit (CE&BU) FK UGM/

RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta (2000-2006)

Nama : Iwan DwiprahastoTempat/tanggal lahir : Surabaya, 8 April 1962Jabatan : Guru BesarAlamat Rumah : Sukoharjo Indah

Blok K 138, Ngaglik,Sleman, Yogyakarta

Alamat Kantor : Bagian Farmakologi& Toksikologi FK UGM

E-mail : [email protected] :

Istri : dr. Adi Utarini, MSc,MPH, PhD

Anak : Putri Karina Larasati

RIWAYAT HIDUP

Page 28: Pidato Prof Iwan

29

7. Board of Governor, International Clinical Epidemiology Network (INCLEN)2000-2006)

8. Kepala Bagian Farmakologi & Toksikologi FK UGM (2002-2004)9. Ketua, Unit Penelitian Fakultas Kedokteran UGM (2000-2004)10. Excutive Secretary, Clinical Epidemiology & Biostatistics Unit (CE&BU)

FK UGM/RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta (1996-2000)11. Editor, Berkala Ilmu Kedokteran, Fakultas Kedokteran UGM (2000-

sekarang)12. Editor, Indonesian Journal of Clinical Epidemiology and Biostatistics (1998-

sekarang)13. Editor, Majalah Farmasi Indonesia (2004-sekarang)14. Editor, Majalah Yarsi (2005-sekarang)15. Tim Ahli DPHO PT Askes Indonesia (2003-sekarang)16. Tim Ahli Menteri Kesehatan RI untuk Evaluasi Harga Obat di Indonesia

(2004-sekarang)17. Tim Ahli Health & Technology Assessment, Badan POM (2000-2003)18. Tim Ahli Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) (2000-sekarang)19. Tim Ahli Pestisida pada Badan POM (2002-2004)20. Pharmaceutical Task Force, Health Project IV, World Bank (1996-1997)21. Pharmaceutical Task Force, Health Project III, World Bank (1993-1995)

Penghargaan Akademik:

1. Beasiswa International Development Program, Australia2. Beasiswa University Research for Graduate Education, Centre for Tropical

Medicine3. Dosen Teladan UGM 1997

Keanggotaan Perkumpulan Profesi:

1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)2. Ikatan Farmakologi Indonesia (IKAFI)3. International Clinical Epidemiology Network (INCLEN)4. International Society for Pharmacoepidemiology (ISPE)5. Souteast Asian Clinical Epidemiology Network (SEACLEN)6. Indonesian Clinical Epidemiology Network (IndoCLEN)7. Perhimpunan Dokter Manajemen Medik Indonesia (PDMMI)8. Indonesian Health Care Quality Network (IHQN)

Page 29: Pidato Prof Iwan

30

Publikasi (5 tahun terakhir) :1. Prawirohardjono W, Dwiprahasto I, Astuti I, Hadiwandowo S, Kristin E,

Mustofa and Kelly MF, 2002. The administration to Indonesians ofmonosodium L-Glutamate in Indonesian foods: An assessment of adversereactions in a randomized double-blind, crossover, placebo-controlled study.J. Nutrition 130(4):1074S-1076S.

2. Purwanto H, Sadjimin T & Dwiprahasto I, 2002. Lactation and the riskof breast cancer. Gan To Kagaku Ryoho 27 (Suppl 2):474–481.

3. Maryani E, Dwiprahasto I, Hendrartini Y, 2003. Analisis biaya pemakaianobat dan alat kesehatan habis pakai pada operasi jantung koroner di RumahSakit Jantung Harapan Kita. Sains Kesehatan 15(2):

4. Narang ES, Dwiprahasto I, 2002. The Immunogenicity of low doseintradermal recombinant hepatitis B vaccination, compared to standar dose.Berkala Penelitian Pasca Sarjana 11(3C):339-346.

5. Dewi Prawitasari, Dwiprahasto I, Sulanto Saleh Danu, 2002. Pengaruhketersediaan obat terhadap pola penggunaan obat pada terapi lima penyakitdi puskesmas kota Palangkaraya. JMPK 5(02):83-92.

6. Nurul Fathoni, Ali Ghufron Mukti, Dwiprahasto I, 2002. Pengaruhpenerapan standar terapi dan regulasi terhadap pola peresepan di RumahSakit Pupuk Kaltim. JMPK 4(2):101-109.

7. Kuswibawati L, Dwiprahasto I, Kristin E., 2002. Pengaruh pemberianrifampisin terhadap profil farmakokinetika glipizid pada orang sehat. BIKed34(1):9-14.

8. Hartawan S, Dwiprahasto I, 2003. Evaluasi penggunaan antibiotika pascapengembangan Formularium 2002 di RSUD Wangaya Denpasar Bali.JMPK 6(03):125-130.

9. Dwiprahasto I, 2003. Kebijakan penggunaan antibiotika profilaksi untukmencegah infeksi luka operasi di rumah sakit. JMPK 6(1)3-9.

10. Soenarto Sastrowijoto, Mohammad Hakimi, Dwiprahasto I., 2003. Aspekkualitas penelitian interdisipliner. Warta Penelitian Universitas Gadjah Mada.pp 37-46

11. Dwiprahasto I, Erna Kristin, 2003. Improving the use of antibiotics inprimary health centres through a problem-based learning pharmacotherapytraining approach. BIKed 35(3): 165-171.

12. Putri RS, Dwiprahasto I, 2004. Mutu klinik bedah elektif kamar operasiRS Dr. Sardjito Yogyakarta. BKK X(2):77-83.

Page 30: Pidato Prof Iwan

31

13. Raini M, Dwiprahasto I, Sukasediati N, 2004. Pengaruh istirahat terhadapaktivitas kolinesterase petani penyemprot pestisida organofosfat. BuletinPenelitian Kesehatan 32:105-111.

14. Dwipahasto I, 2004. Penggunaan Obat Pada Kehamilan danMenyusui. Obat pada Kehamilan. Bagian Farmakologi &Toksikologi. FK UGM, Yogyakarta.

15. Dwiprahasto I, 2004. Risk predictor for malaria in pregnancy and therole of chloroquine in low endemic area. BIKed 36(1):45-52

16. Dwiprahasto I, 2004. Kepemimpinan klinik-peran dan tantanganmanajemen rumah sakit dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan.JMPK 7(3):105-108.

17. Dwiprahasto I, 2004. Ketersediaan obat di kabupaten dan mutu peresepandi pusat pelayanan kesehatan primer. BIKed 36(2):89-96.

18. Dwiprahasto I, 2004. Medical Error di rumah sakit dan upaya untukmeminimalkan risiko. JMPK 7(1):13-17.

19. Riyasa I K, Asdie AH, Dwiprahasto I, Zulaela, 2004. Gangguan nyenyaktidur pada pasien kanker mamae yang mendapat therapi operasi dan ataukombinasi. Sains Kesehatan 17 (1):53-64.

20. Dwiprahasto I, 2005. Kebijakan untuk meminimalkan risiko terjadinyaresistensi bakteri di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit. JMPK, 8(4):177-181.

21. Wijanarka A, Dwiprahasto I, 2005. Implementasi clinical governance:pengembangan indicator klinik cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat.JMPK 8(4): 213-220.

22. Manuaba RW, Dwiprahasto I, 2005. Potensi risiko pada tindakan bedahurologi. BIKed 37(3)137-142.

23. Suswardana, Dwiprahasto I, Radiono S, 2006. Potensi sampo minyakmimba 5% untuk terapi ketombe derajat sedang. Sains Kesehatan 19(1):87-97