Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

21
BIOLOGI MOLEKULER TOXOPLASMA DAN APLIKASINYA PADA PENANGGULANGAN TOXOPLASMOSIS UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Biokimia pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. Dr. drh. Wayan Tunas Artama

description

tes

Transcript of Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

Page 1: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

BIOLOGI MOLEKULER TOXOPLASMA DAN APLIKASINYA PADA PENANGGULANGAN

TOXOPLASMOSIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Biokimia

pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof. Dr. drh. Wayan Tunas Artama

Page 2: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

2

BIOLOGI MOLEKULER TOXOPLASMA DAN APLIKASINYA PADA PENANGGULANGAN

TOXOPLASMOSIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Biokimia

pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada

pada Tanggal 6 Agustus 2009 di Yogyakarta

Oleh: Prof. Dr. drh. Wayan Tunas Artama

Page 3: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

3

BIOLOGI MOLEKULER TOXOPLASMA DAN APLIKASINYA PADA PENANGGULANGAN TOXOPLASMOSIS

Pendahuluan

Seperti kita ketahui bahwa saat ini lebih dari 5 milyar orang hidup di atas permukaan bumi dan kebanyakan dari mereka (hampir 2/3) hidup di daerah tropis; kurang lebih 3.434.534 jiwa tinggal di kota Yogyakarta yang kita cintai ini, namun hanya sedikit yang menyadari bahwa diantara kita tidak satupun yang bebas dari parasit. Manusia dapat terinfestasi berbagai jenis parasit, seperti flagelata, amuba, ciliata, cacing, tungau, caplak, kutu, dan bahkan hewan laboratorium yang dipelihara dalam kondisi yang begitu ketat juga dapat terinfeksi oleh protozoa atau parasit lainnya.

Saya ingin memulai paparan ilmiah ini dengan suatu review bahwa 20 tahun yang lalu kita telah berhasil mengeliminasi salah satu penyakit yang sangat berbahaya, yaitu smallpox, namun dengan keberhasilan itu, ternyata kini masih ada 6 jenis penyakit parasiter yang sangat serius melanda dunia, yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toxoplasmosis, filariasis, dan trypanosomiasis. Penyakit parasiter tersebut hampir semuanya kita jumpai di negara-negara tropis yang memiliki berbagai ragam masalah seperti penduduk yang padat, pertumbuhan penduduk relatif tinggi, jaminan kesehatan/health care rendah dan pemerintahnya belum dapat memberikan health service atau medical attention yang memadai pada masyarakatnya. Menurut data WHO diketahui sekitar 800 juta orang di derah tropis menderita malaria, 200 juta schistosomiasis, 200 juta leismaniasis, 120 juta filariasis, 13 juta trypanosomiasis dan lebih dari 300 juta menderita toxoplasmosis (WHO 2009).

Toxoplasmosis merupakan suatu penyakit zoonosis klasik yang dapat menyerang manusia, berbagai jenis mamalia termasuk hewan kesayangan seperti anjing, kucing dan burung serta hewan peliharaan seperti sapi, kambing, domba, babi, serta satwa exotics, dan hewan berdarah panas lainnya. Penyakit tersebut mempunyai dampak ekonomis yang penting karena dapat menimbulkan gangguan

Page 4: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

4

pertumbuhan dan fertilitas termasuk abortus. Toxoplasmosis sampai saat ini masih banyak menjadi perhatian, karena penyakit ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui sista di dalam daging, serta sayuran atau buah-buahan dan air yang tercemar oosista infektif. Pada wanita hamil yang mengalami infeksi primer dapat terjadi keguguran dan kelainan pada janin seperti hidrosefalus, mikrosefalus, anesefalus serta dapat mengakibatkan retardasi mental, retinokorioditis dan kebutaan. Toxoplasmosis dapat berakibat cacat seumur hidup, kematian pada bayi dan bahkan menjadi fatal bagi pengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV). Karena tingginya prevalensi penyakit ini di masyarakat maka perlu dikembangkan berbagai upaya diagnosis dini dan pencegahannya baik pada manusia maupun pada hewan.

Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang dijumpai di hampir seluruh dunia, termasuk sebagai opportunistic diseases pada immunocompromise patients (Jones et al., 2003). Penderita toxoplasmosis yang immunocompetent umumnya tidak menunjukkan gejala klinis karena adanya antibodi yang mampu mengeliminasi parasit. Infeksi dapat menimbulkan gejala yang cukup berat pada penderita gangguan sistem imun, seperti penderita Aquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), pemakai hormon kortikosteroid jangka panjang, dan penderita kanker yang sedang menjalani kemoterapi. Infeksi primer pada kehamilan trimester pertama dapat mengakibatkan keguguran, lahir mati, atau cacat bawaan seperti retinochoreoditis, hydrochepalus, tuli, dan retardasi mental pada bayi (Gandahusada, 1999; Priyana, 2000). Gejala toxoplasmosis dapat berlangsung beberapa minggu hingga akhirnya berkurang; ditandai dengan lesu, capai, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, disertai demam. Toxoplasmosis biasanya kurang diperhatikan karena gejala klinisnya menunjukkan kemiripan dengan penyakit lain, seperti flu. Kecurigaan terhadap toxoplasmosis baru akan timbul jika gejala klinis disertai pembesaran kelenjar limfe.

Berdasarkan data prevalensi toxopalsmosis, sebagian besar penduduk Indonesia pernah terinfeksi parasit Toxoplasma gondii. Pemeriksaan antibodi pada donor darah di Jakarta memperlihatkan bahwa 60% di antaranya mengandung antibodi terhadap parasit tersebut (Priyana, 2000). Penyebaran toxoplasmosis dapat disebabkan karena pola hidup yang kurang higienis, seperti kebiasaan makan

Page 5: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

5

dengan tangan dan makan daging setengah matang yang mengandung sista, tertelannya oosista infektif, atau infeksi transplasenta dari ibu ke fetus (Jones et al., 2003). Hewan yang merupakan hospes perantara seperti burung, ayam, tikus, anjing, domba, kambing, dan sapi juga memiliki potensi menularkan toxoplasmosis ke manusia.

Dampak negatif penyakit ini meliputi beban yang harus ditanggung oleh keluarga dan negara, akibat biaya pengobatan dan penurunan kualitas sumber daya manusia, sedangkan pada ternak berdampak pada kerugian ekonomi karena penurunan produksi. Pemberian obat seperti sulfonamide dan pyrimethamine dapat membunuh Toxoplasma pada stadium takizoit, tetapi pengobatan tersebut tidak efektif pada stadium bradizoit (Black and Boothroyd, 2000). Selain itu, obat-obat tersebut bersifat toksik sehingga tidak disarankan untuk digunakan dalam jangka waktu lama (Radke et al., 2007).

Berdasarkan atas kenyataan tersebut di atas maka, memahami biologi molekuler, pencegahan, dan pengobatan toxoplasmosis serta pengembangan diagnosis molekuler untuk dapat mengidentifikasi penyakit secara lebih dini kiranya sangat penting untuk dilakukan. Infeksi primer pada individu dengan sistem imun yang baik biasanya tidak menunjukkan gejala, sehingga uji serologis baik dilakukan untuk mengidentifikasi infeksi toxoplasma sedini mungkin pada wanita hamil. Pengobatan dengan pyrimethamine biasanya dihindari pada usia kehamilan 16 minggu pertama karena berpotensi teratogenik. Pertimbangan tersebut mendorong upaya pengembangan vaksin untuk mencegah toxoplasmosis (Golkar et al., 2005). Scorza et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian vaksin ternyata dapat mengendalikan multiplikasi takizoit dari Toxoplasma gondii. Protein yang disekresikan oleh Toxoplama gondii dapat digunakan sebagai vaksin maupun perangkat diagnostik toxoplasmosis (Daryani et al., 2006) sehingga dapat mengurangi resiko infeksi Toxoplasma.

Diagnosis toxoplasmosis sampai saat ini dilakukan dengan uji serologis dan deteksi molekuler. Beberapa uji serologis telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap T. gondii pada manusia dan hewan. Pemanfaatan teknologi rekombinan DNA dapat menyediakan protein imunogenik dalam jumlah besar sehingga pengembangan diagnostik berbasis molekuler dan

Page 6: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

6

pembuatan vaksin menjadi lebih menjanjikan, murah, dan terjamin keberlanjutannya. Protein yang diproduksi juga dapat digunakan sebagai bahan untuk antigen dalam memproduksi antibodi baik poliklonal maupun monoklonal yang sangat bermanfaat untuk diagnosis toxoplasmosis. Protein exretories/secretories (ESAs) adalah komponen antigen yang dapat dijumpai pada serum penderita. Protein ESA dihasilkan oleh organela sekretoris Toxoplasma yang berperan dalam proses perlekatan, invasi, dan berkembangnya parasit di dalam sel hospes. Protein granula padat (GRA) merupakan komponen utama penyusun vakuola yang melindungi takizoit, dinding sista, dan bradizoit terhadap respon imun humoral ataupun seluler dari hospes (Golkar et al., 2005). Vaksinasi dengan protein Granula Padat-1 (GRA-1) mampu menginduksi respon imun yang protektif terhadap infeksi T. gondii pada beberapa hewan uji karena dapat membangkitkan respon imun humoral dan seluler, baik sistemik maupun lokal (Bivas-Benita et al., 2003). Protein GRA-1 yang disekresikan oleh takizoit dan bradizoit dapat membangkitkan respon imun humoral pada mencit dan manusia pada fase infeksi kronis (Vercammen et al., 2000). Penelitian Scorza et al. (2003) juga menunjukkan bahwa ternyata pemberian vaksin DNA gra-1 dapat menstimuli sel T CD8+ yang berperan mengendalikan infeksi akut Toxoplasma gondii.

Toxoplasma gondii

Toxoplasma gondii termasuk anggota filum Apicomplexa, kelas Sprozoa, subkelas Coccidia, dan subordo Eimeria (Schwartzman, 2001). Toxoplasma gondii merupakan parasit intraselular obligat yang dapat menginfeksi semua vertebrata termasuk manusia dengan pola penyebaran yang luas di hampir semua negara di dunia. Toxoplasma gondii menginfeksi semua sel berinti, termasuk makrofag yang seharusnya berfungsi memfagositosis dan mengeliminasi patogen (Ahn et al., 2006). Toxoplasmosis akibat infeksi Toxoplasma gondii pada individu yang memiliki pertahanan tubuh (imunitas) yang baik biasanya tidak menunjukkan gejala yang menciri baik itu pada hewan, maupun manusia (Bivas-Benita et al., 2003), tetapi tidak demikian

Page 7: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

7

halnya pada janin yang terinfeksi melalui kongenital dan individu immunocompromised.

Siklus hidup

Toxoplasma gondii mempunyai induk semang (hospes) definitif (famili Felidae) dan hospes perantara (burung dan mamalia, termasuk manusia). Parasit ini mengalami proliferasi aseksual (schizogoni) dan seksual (gametogoni) di dalam sel epitel usus hospes definitif, kemudian membentuk oosista yang dikeluarkan bersama dengan feses kucing. Di dalam hospes perantara, terdapat dua stadia T. gondii, yaitu takizoit yang dapat menimbulkan infeksi akut dan bradizoit yang berada di dalam sista jaringan hospes dan akan menetap seumur hidup atau dormant di dalam sel hospes (Jones et al., 2003). Bradizoit atau sporozoit yang tahan terhadap pH asam dan enzim pencernaan akan masuk ke dalam sel-sel epitel usus dan beberapa jam kemudian menjadi takizoit. Enterosit atau limfosit intra epitel usus halus di invasi oleh takizoit dan kemudian menembus lamina propria, dan selanjutnya takizoit dapat menginvasi sel-sel lain disekitarnya (Ferguson and Dubremetz, 2007).

Infeksi akut ditandai dengan replikasi takizoit yang sangat cepat (Radke et al., 2007). Takizoit merupakan stadium parasit yang dapat membelah dengan cepat (sekitar 6-8 jam pasca infeksi) dan selama fase akut mampu menginfeksi semua sel yang berinti, kemudian berkembang biak dengan cara endodiogeni. Takizoit dengan cepat akan menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe atau melalui darah ke hati, menuju paru, dan kemudian beredar ke seluruh tubuh. Pada penderita toxoplasmosis yang immunocompetent, takizoit akan berdiferensiasi menjadi bentuk bradizoit di dalam jaringan hospes, seperti otak, jantung, otot lurik, serta retina dan dapat bertahan lama dalam jaringan tersebut. Infeksi biasanya dapat menjadi menahun dan merupakan infeksi laten (Dubey, 2007). Pada infeksi laten, replikasi takizoit melambat, sedangkan bradizoit mengalami perkembangan dan terjadi pembentukan sista jaringan yang merupakan awal dari dormansi parasit (Radke et al., 2007). Diferensiasi dari takizoit ke bradizoit terjadi dengan dimulainya pembentukan kekebalan protektif.

Page 8: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

8

Respon imun secara efektif dapat mencegah penyebaran takizoit, tetapi hal tersebut tidak terjadi pada janin yang terinfeksi secara kongenital dan pada individu dengan immunocompromised (Black and Boothroyd, 2000). Takizoit dapat menginvasi berbagai macam sel yang berinti, termasuk makrofag yang seharusnya mempunyai fungsi vital, yaitu mendegradasi dan mengeliminasi patogen yang masuk ke dalam tubuh kita. Pada proses invasi, terjadi invaginasi takizoit oleh membran sel hospes membentuk vakuola parasitoporus, sehingga takizoit intraseluler akan menetap dalam vakuola tersebut. Toxoplasma memiliki kemampuan untuk mengubah lingkungan molekuler sel hospes sehingga parasit tersebut dapat berkembang dan mendapat nutrisi untuk kelangsungan hidupnya. Parasit tersebut menggunakan mitokondria dan retikulum endoplasma sel hospes untuk keperluan replikasinya. Di dalam makrofag, vakuola parasitoporus mencegah proses asidifikasi (suasana asam) dan terjadinya fusi dengan lisosom, sehingga takizoit dapat melakukan multiplikasi dengan cepat karena terhindar dari mekanisme degradasi enzimatik dan pertahanan hospes (Radke et al., 2007). Bradizoit dapat menghindari sistem imun dan pengobatan karena terlindung dalam sista.

Invasi Toxoplasma gondii ke dalam sel hospes

Sebagai parasit intraseluler, Toxoplasma gondii menginfeksi sel, melakukan multiplikasi, dan keluar dari sel hospes, kemudian menginfeksi sel baru untuk kelangsungan hidupnya. Proses tersebut dapat menyebabkan kematian sel hospes dan secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan respon inflamasi sehingga terjadi kerusakan jaringan (Lavine and Arrizabalaga, 2008). Toxoplasma gondii menginvasi sel hospes untuk tujuan survival dan multiplikasi parasit. Invasi parasit ini dapat menyebabkan inisiasi lisisnya sel dan bahkan dapat menyebabkan kerusakan jaringan hospes. Proses invasi berlangsung secara aktif, cepat (kurang dari 30 detik), dan dinamis dengan wujud pergerakan parasit berupa spiral. Banyak faktor yang terlibat pada peristiwa invasi sel hospes dan multiplikasi intraseluler. Proses invasi parasit ke dalam sel hospes dimulai dengan pengenalan

Page 9: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

9

dan penempelan parasit pada sel target. Peristiwa tersebut melibatkan beberapa molekul permukaan parasit, seperti laminin, molekul lektin, protein permukaan parasit, serta reseptor-reseptor pada sel hospes. Excretory-Secretory Antigens (ESAs) yang terdiri dari protein mikronema, rhoptry, dan granula padat juga berperan penting dalam proses penempelan parasit pada sel target pada saat invasi. Oleh karena itu, proses sekresi dan invasi merupakan peristiwa yang sangat penting dalam infeksi Toxoplasma.

Proses invasi terdiri dari beberapa fase, yaitu penonjolan bagian apikal parasit, pergerakan bagian posterior, eksositosis rhoptry dan mikronema. Fase ini diikuti oleh sekresi protein dari granula padat yang berperan dalam perubahan struktur vakuola parasitoporus yang akan membentuk dinding sista. Penetrasi Toxoplasma gondii ke dalam sel hospes merupakan fenomena yang sangat kompleks. Organela sekretori diketahui mensintesis molekul-molekul protein yang bersifat antigenik yang dikeluarkan selama proses metabolisme dan pembentukan parasitoporus. Rhoptry yang berada di daerah apikal secara cepat mengeluarkan protein rhoptry, sedangkan granula padat melepaskan isinya yang mengandung berbagai jenis protein GRA ke dalam ruang vakuola setelah invasi. Rhoptry mensekresi isinya selama penetrasi, dan produk sekresinya dapat melisiskan plasmalemma sel hospes. Isi Rhoptry dikeluarkan selama fase awal invasi ke dalam sel hospes dan beberapa protein berasosiasi dalam pembentukan membran vakuola parasitoporus. Oleh karena bagian apek dari parasit ini mempunyai susunan molekul dan struktur yang sangat kompleks, maka sering juga parasit ini disebut dengan apicomplexa. Sekresi protein granula padat ke dalam lumen dan membran vakuola parasitoporus, dan mengubah molekul membran vakuola parasitoporus yang berperan penting dalam proses multiplikasi parasit di dalam sel hospes, merupakan suatu strategi escape mechanism dari parasit untuk menghindari respon imun humoral maupun seluler hospes (Craver and Knoll, 2007).

Page 10: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

10

Genom Toxoplasma

Genom adalah semua masa DNA yang terdapat dalam satu organisme hidup, sedang gen adalah unit terkecil dari genom yang mengkode suatu protein. Ukuran genom organisme tingkat rendah pada umumnya lebih kecil daripada genom organisme tingkat tinggi, namun demikian beberapa organisme tingkat rendah seperti amoeba dubia memiliki genom yang relatif tinggi, yaitu 6,7 x 1011 bp atau kira-kira 200 kali lebih besar dari genom manusia yang besarnya 3,5 x 109 bp (Devlin, 2006). Genom Toxoplasma gondii besarnya 8 x 107 bp (Black and Boothroyd, 2000), terdiri dari genom inti dan genom organela (extra chromosomal DNA). Genom toxoplasma tersebut memiliki 73.000 gen yang mengkode protein-protein dari toxoplasma, namun sebagian besar dari gen-gen tersebut belum diidentifikasi ataupun dikarakterisasi. Gen-gen tersebut antara lain adalah gen yang mengkode protein membran, seperti sag-1 (P30), sag2a (P22), gra-1 (GRA-1), rhop-2 (Rhoptry-2), mic-3 (Micronema-3), dan gen-gen yang mengkode protein ESA lainnya.

Protein GRA

Protein GRA dengan berat molekul 20-40 kDa disekresikan oleh sel parasit dan memiliki sekuen N-terminal yang hidrofobik sebagai signal peptide. Protein hasil sekresi granula padat (GRA) merupakan antigen yang penting sebagai komponen utama penyusun vakuola pada takizoit dan dinding sista bradizoit (Lebrun et al., 2007, Widayanti et al., 2008). Granula padat dinamai berdasarkan densitasnya ketika diamati di bawah transmission electron microscope (Craver and Knoll, 2007). Protein granula padat berperan penting dalam perkembangan parasit sepanjang siklus hidupnya yaitu mengatur sekresi dan memfasilitasi nutrisi dari inang yang dibutuhkan untuk pertumbuhan parasit, agar dapat masuk ke dalam vakuola parasitoporus. Protein GRA dapat dijumpai dalam lumen vakuola parasitoporus setelah invasi. Protein ini akan menuju target ke lokasi yang spesifik setelah pelepasannya dari dalam vakuola. Banyaknya organela granula padat dan tingginya protein GRA pada subkelas

Page 11: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

11

Coccidia (T. gondii, Neospora dan Sarcocystis), berkaitan dengan peranan penting organela tersebut dalam perkembangan sista.

Peranan granula padat pada proses invasi terjadi pada fase kedua setelah proses inisiasi dan penempelan parasit pada sel target dari proses yang sangat kompleks pada bagian apikal parasit. Isi granula padat berupa protein GRA akan bergerak menuju ruang dan membran vakuola parasitoporus. Fungsi protein ini adalah mengubah permeabilitas membran plasma sel hospes dan membran vakuola parasitoporus sehingga menguntungkan perkembangan parasit intraselular. Protein GRA juga berperan dalam perubahan struktur vakuola parasitoporus serta membentuk dinding sista yang berasal dari komponen-komponen protein granula padat. Protein GRA yang terdiri dari GRA-1, GRA-2, GRA-4, dan GRA-6 akan menyebar ke dalam ruang vakuola dan berinteraksi dengan jaringan membran tubular yang menghubungkan membran plasma parasit dengan membran vakuola. Protein GRA-5 akan bergabung dengan membran vakuola, sedangkan GRA-3 akan bergabung dengan jaringan membran tubular maupun membran vakuola. Pada akhirnya hanya GRA-1 yang tersisa di dalam lumen vakuola ketika disekresikan ke dalam vakuola parasitoporus. Jumlah protein GRA-1 lebih banyak dibandingkan dengan protein GRA yang lain dan merupakan protein pengikat kalsium yang diedarkan ke lumen vakuola dan berinteraksi dengan jaringan (Lebrun et al., 2007). Protein GRA-1 dapat di jumpai pada membran vakuola parasitoporus, matrik vakuola, dan struktur tubular di dalam vakuola parasitoporus T. gondii (Weiss and Kim, 2007). Penurunan sintesis GRA-7 dapat menyebabkan kehilangan sifat patogenitas parasit ini karena GRA-7 terlibat dalam proteksi imun dan virulensi parasit. Protein GRA-8 dan GRA-9 berkaitan dengan membran jaringan vakuola, sedangkan GRA-10 merupakan protein yang ikut berperan pada membran vakuola parasitoporus (Ahn et al., 2006). Berbeda dengan rhoptry dan mikronema yang disekresi hanya pada saat invasi, eksositosis granula padat terjadi setelah invasi dan berlanjut selama parasit menetap di dalam sel hospes. Keberadaan protein granula padat di dalam vakuola parasitoporus dan membran vakuola parasitoporus setelah invasi berperan penting untuk multiplikasi parasit di dalam sel hospes dan penghindaran dari respon imun. Suksesnya infeksi tergantung pada kemampuan parasit untuk

Page 12: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

12

memodifikasi vakuola parasitoporus dan membran vakuola parasitoporus dengan mensekresi protein ke lingkungan ekstra parasit. Sekresi protein parasit merupakan salah satu strategi dan cara parasit untuk bertahan hidup di dalam hospes. Parasit memperoleh nutrisinya dari sitoplasma sel hospes dengan mengubah permeabilitas vakuola parasitoporus agar mampu melakukan transportasi metabolit kedua arah dari membran.

Patogenesis

Individu dengan status imunodefisiensi karena AIDS, penyakit keganasan, kemoterapi anti tumor/kanker atau transplantasi organ, reinfeksi laten T. gondii dapat menyebabkan penyakit yang mengancam jiwa penderita bahkan sangat fatal dan dapat berakibat kematian (Jones et al., 2003). Infeksi Toxoplasma pada individu immunocompromised antara lain dapat menyebabkan toxoplasmic encephalitis. Seorang ibu yang terinfeksi Toxoplasma di waktu hamil memiliki kemungkinan 40-50% janinnya akan lahir dengan toxoplasmosis kongenital dengan berbagai manifestasi seperti yang telah disebutkan di depan. Resiko transmisi parasit ke fetus dan tingkat keparahan infeksi kongenital tergantung pada waktu dan stadium kehamilan saat terjadinya infeksi. Hal tersebut mengakibatkan adanya variasi derajat infeksi pada fetus dari 6% pada akhir trimester awal hingga 72% pada 36 minggu gestasi. Derajat keparahan infeksi lebih tinggi pada fetus yang terinfeksi di awal kehamilan dibandingkan jika terinfeksi kemudian. Tingkat kerusakan yang diderita janin antara lain dapat menyebabkan abortus spontan atau gangguan pada mata dan sistem syaraf seperti chorioditis, kebutaan, dan retardasi mental.

Diagnosis yang tepat adanya infeksi akut Toxoplasma pada wanita hamil dan bayi sangat penting dilakukan sebelum pengobatan. Infeksi Toxoplasma gondii biasanya a simptomatis atau menunjukkan gejala yang tidak spesifik sehingga sangat sedikit pasien yang menyadari ketika infeksi terjadi. Infeksi Toxoplasma gondii menghasilkan proteksi jangka panjang dan infeksi sebelum kehamilan memberikan proteksi pada fetus. Fenomena tersebut berbeda jika

Page 13: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

13

infeksi pertama terjadi selama kehamilan; T. gondii akan ditransmisi ke fetus sehingga menyebabkan abortus atau fetus cacat. Oleh karena itu identifikasi T. gondii selama kehamilan berdasarkan keberadaan antibodi terhadap parasit memiliki nilai yang penting (Pietkiewicz, et al., 2007). Diagnosis toxoplasmosis biasanya dilakukan dengan uji serologis yaitu dengan mendeteksi adanya antibodi spesifik pada serum. Perbandingan kadar IgG dengan kadar IgM dan /atau IgA dapat digunakan untuk membedakan fase infeksi kronis dan akut. Uji serologis komersial di pasaran memiliki kemampuan untuk mendeteksi adanya antibodi. Produksi antigen ini lebih mahal dan kualitas preparasi antigennya tidak stabil; kadang menunjukkan reaksi positif palsu karena antigen dapat saja terkontaminasi oleh materi sel hospes. Penggunaan antigen rekombinan merupakan alternatif untuk mengatasi hal tersebut (Robben et al., 2002: Artama et al., 2005, Artama et al., 2008). Penggunaan antigen rekombinan GRA-1, dan SAG-1 pada uji diagnostik telah terbukti bersifat immunodominant (Petersen and Liesenfeld, 2007).

Respon imun

Parasit memiliki kaedah sesuai dengan namanya, yaitu harus melangsungkan proses kehidupan didalam tubuh hospes dan pada umumnya setiap individu yang dijadikan sandaran untuk kelangsungan hidup telah memiliki sistem pertahanan tubuh yang di kenal dengan sistem imun. Agar dapat hidup dan beradaptasi dalam lingkungan yang demikian maka parasit dilengkapi dengan beberapa kemampuan yang dikenal dengan escape mechanism, yaitu hidup berpindah dari satu sel ke sel lain, seperti plasmodium, bahkan terdapat parasit yang secara berani menantang sistem imun hidup di dalam darah, seperti trypanosoma. Parasit ini sangat unik karena memiliki 1.000 gen yang mengkode protein membran parasit dan setiap dikenal dari komponen sistem imun, baik seluler maupun humoral, maka parasit tersebut akan mengekpresikan gen untuk mengganti protein selubungnya (variable surface glycoprotein, VSG) sehingga akhirnya hospes menjadi exhausted. Toxoplasma gondii merupakan parasit yang hidup dengan menghindar dari sistem imun

Page 14: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

14

dengan bersembunyi di dalam sel dan cepat dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan serta berinteraksi dengan hospes baik pada tingkat seluler maupun molekuler. Pada kondisi normal sel hospes pada umumnya selalu menyiapkan diri untuk mengembangkan sistem pertahanan terhadap invasi patogen dan replikasinya (Nelson et al., 2008). Excretory/secretory antigens yang diekspresikan oleh takizoit dan bradizoit berperan penting dalam invasi ke dalam sel hospes. Antigen-antigen tersebut bersifat sangat imunogenik dan mampu membangkitkan respon imun seluler maupun humoral, yaitu dengan mensekresikan antibodi. Komponen utama ESA, yaitu GRA disekresikan ke dalam vakuola setelah invasi parasit. Antigen tersebut berperan penting dalam proses patogenesis dan penghindaran terhadap respon imun. Daryani et al. (2006) melaporkan bahwa imunisasi ESA pada mencit dan tikus dapat memberikan proteksi yang signifikan terhadap uji tantang dengan Toxoplama gondii. Excretory/secretory antigens memiliki kemampuan untuk menstimulasi respon imun seluler lebih baik dibandingkan jika menggunakan antigen takizoit atau bradizoit langsung. Antigen-antigen tersebut merupakan kandidat vaksin yang baik untuk pencegahan toxoplasmosis karena mampu menstimulasi respon imun seluler.

Penelitian Vercammen et al. (2000) menunjukkan bahwa T. gondii dapat membangkitkan imunitas karena memiliki antigen imunogenik cukup kuat. Imunisasi dengan antigen (GRA-1, GRA-7, dan ROP-2) T. gondii mampu membangkitkan respon imun seluler dan humoral pada mencit. Vaksinasi dengan ketiga DNA tersebut tidak hanya mengurangi mortalitas pada fase akut tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan parasit selama infeksi kronis. Individu yang terinfeksi kronis mengembangkan proteksi imun jangka panjang untuk mencegah reinfeksi. Produksi selular respon Th1 dapat membatasi pertumbuhan Toxoplasma sehingga kerusakan sel dapat dikurangi. Beberapa tipe sel berperan dalam pengendalian pertumbuhan intraseluler Toxoplasma. Limfosit T (CD4+ ) dan CD8+ seperti halnya makrofag, sel dendritik, dan neutrofil memiliki nilai penting untuk memacu dan mempertahankan respon Th1 (Schwartzman, 2001). Sel T, CD4+, dan CD8+ memproduksi interferon-gama (IFN-). Keduanya bersifat sitotoksik terhadap makrofag yang terinfestasi T. gondii. Oleh sebab itu, tidak

Page 15: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

15

mengherankan jika pasien AIDS yang mengalami defisensi sel T CD4+ sering dijumpai menderita toxoplasmosis (Bradley and Pleass, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun sel T CD4+ adalah produser IFN- yang paling kuat, sel T CD8+ adalah efektor utama proteksi yang diinduksi oleh vaksin terhadap toxoplasmosis akut (Scorza et al., 2003).

Limfokin termasuk interferon gamma (IFN-), tumor necrosis faktor alpha (TNF-), dan nitrix oxide merupakan komponen kunci respon anti Toxoplasma. Sel dendritik berperan dalam respon imun terhadap pemaparan kembali antigen spesifik T. gondii dan kemudian mestimulasi prolifersi sel T untuk melakukan pertahanan seluler kedaerah target infeksi. Limfosit dari donor yang terbukti menderita toxoplasmosis dapat membangkitkan secara cepat produksi interleukin 12 (IL-12) dari sel dendritik, yang diharapkan akan memproduksi IFN-. Imunisasi pada domba dengan BCG rekombinan yang membawa gen penyandi protein GRA-1 dapat memproduksi dan mensekresi protein tersebut dan menghasilkan respon protektif yang antara lain, ditandai dengan produksi IFN-. Interferon gamma dan sel T. berperan dalam resistensi hospes terhadap T. gondii selama infeksi kronis maupun akut, serta dapat mempengaruhi kinerja beberapa sitokin. Dalam hal ini, sitokin berperan penting untuk memelihara keseimbangan antara proteksi dan imunopatologi disebabkan oleh reaksi inflamasi yang berlebihan. Respon imun terhadap Toxoplasma gondii tidak hanya bergantung pada CD4+ dan CD8+, tetapi juga pada produksi antibodi (Bradley and Pleass, 2006). Oleh sebab itu, meskipun imunitas seluler merupakan pertahanan utama hospes terhadap toxoplasmosis, respon imun humoral juga memiliki nilai yang tidak kalah penting, yaitu untuk mengendalikan parasit. Pemberian antibodi anti Toxoplasma dengan kadar tinggi dan aktivasi makrofag telah terbukti dapat memberikan proteksi terhadap infeksi kongenital. Peranan antibodi dalam pengendalian infeksi merupakan efek sekunder respon imun selular. Respon imun humoral terhadap Toxoplasma bersifat cepat dan kuat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk uji diagnostik. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dapat digunakan untuk mendeteksi antigen ataupun antibodi dari penderita toxoplasmosis. Keberadaan IgG spesifik menunjukkan adanya paparan parasit dalam waktu cukup lama pada hospes, sedang

Page 16: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

16

terdapatnya IgM menandakan adanya infeksi primer atau adanya infeksi baru pada hospes. Protein excretory dan secretory terutama protein granula padat merupakan molekul imunogenik yang berperan dalam imunitas humoral. Invasi parasit dapat dihambat secara langsung oleh antibodi anti protein GRA. Antibodi monoklonal terhadap protein GRA mampu memberikan proteksi walaupun tanpa adanya respon imun seluler, sedangkan antibodi anti GRA-1 dapat juga digunakan untuk uji serologis pada infeksi kronis. Infeksi akut dapat menggunakan antibodi anti GRA-1 karena 54% wanita yang terinfeksi Toxoplasma menunjukkan hasil yang positif terhadap antigen ini. Pemberian antibodi spesifik terhadap T. gondii secara in vitro terbukti mampu menghambat dan mengurangi laju pertumbuhan parasit.

Kloning Gen

Toxoplasma gondii memiliki beberapa gen yang bertanggung jawab dalam proses kelangsungan hidup parasit, seperti gen penyandi protein ESA (gra, rhoptry, dan micronema) dan SAG (surface antigens). Protein rekombinan ESA dapat diekspresikan melalui kloning gen yang bersangkutan pada plasmid ET-32a(+) sebagai vektor ekspresi. Sifat-sifat plasmid yang dibutuhkan untuk vektor kloning adalah: Pertama, ukuran kecil dibutuhkan untuk efisiensi transfer DNA insert ke dalam vektor serta transformasi yang baik ke E. coli; efisiensi akan menurun sangat signifikan jika plasmid yang digunakan berukuran lebih besar dari 15 kb. Kedua, sisi pengenalan (polycloning site) dari restriction endonuclease yang khas sehingga DNA insert dapat diklon. Ketiga, satu atau lebih selectable genetic marker untuk identifikasi bakteri yang membawa plasmid rekombinan. Tujuan kloning terkadang tidak hanya untuk memperoleh sejumlah gen yang spesifik, tetapi juga gen yang dapat diekspresikan untuk memproduksi protein rekombinan. Sel inang diperlukan sebagai pabrik /perakit protein spesifik yang dikode oleh gen yang di klon. Banyak protein dapat diproduksi oleh mikroorganisme dengan cara ini. Gen yang dapat diekspresikan memerlukan vektor yang memiliki sekuen nukleotida spesifik yang berperan sebagai sinyal untuk

Page 17: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

17

perlengkapan transkripsi atau translasi pada sel inang, seperti leader sekuens, enhancer, promoter, ribosomal binding site dan terminator. Vektor yang di desain memberikan sinyal ini disebut vektor ekspresi. Pemilihan sekuen promoter sangat penting, seringkali dipilih strong promoter supaya diperoleh produk protein yang berlimpah. Regulasi ekspresi gen karena promoter yang inducible dapat diaktifkan maupun tidak dengan adanya substansi tertentu, misalnya promoter lac yang mengendalikan gen lacZ. Gen insert yang dikendalikan oleh promoter lemah maka gen akan diekspresikan pada kadar yang relatif rendah, walaupun berada dalam high copy number plasmid. Gen yang diinsersikan pada vektor ekspresi di bawah kendali promoter kuat, maka gen akan diekspresikan dengan kadar tinggi dan produk translasinya akan disintesis dalam jumlah besar.

Promoter lac merupakan promoter yang paling sering digunakan pada vektor ekpresi. Promoter lac merupakan urutan basa nukleotida yang mengendalikan transkripsi gen lacZ yang mengkode -galaktosidase. Promoter lac diinduksi oleh Isopropyltyogalactocyl pyranoside sehingga penambahan senyawa ini ke dalam media pertumbuhan akan mengaktifkan transkripsi gen yang diinsersikan di bagian distal promoter lac. Sistem ekspresi menggunakan sinyal transkripsi yang berasal dari genom bacteriophage T7. Selain membutuhkan vektor plasmid, kloning gen, juga memerlukan enzim restriksi (Omoto and Lurquin, 2004). Vektor dan DNA yang akan diklon harus dipotong pada posisi tertentu dan kemudian di ligasi menjadi satu untuk menghasilkan DNA rekombinan. Pemotongan DNA dilakukan dengan endonuklease restriksi, sedang penyambungan dengan DNA ligase.

Prevalensi dan pencegahan Toxoplasmosis

Berdasarkan hasil pengujian sampel serum dari hewan yang di ambil dari seluruh provinsi di Indonesia dengan uji ELISA Sandwich menggunakan protein ESA dan antibodi monoklonal anti bovine/ goat /sheep IgG-alkaline phosphatase conjugated diperoleh prevalensi toxoplasmosis pada sapi sebesar 8,77%, kambing 51, 03 %, dan domba adalah 45, 01% (Artama, et al., 2008). Data toxoplasmosis

Page 18: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

18

pernah di laporkan dari beberapa daerah di Indonesia oleh beberapa peneliti, baik pada manusia maupun hewan sekitar tahun 1970an. Studi serologis prevalensi toxoplasmosis di Kalimantan Barat 3%, Sulawesi 8%, Sumut 9%, Jawa Barat 20%, Kalimantan Selatan 31% dan Sulawesi Selatan 60% sedang prevalensi pada kambing di Kalsel 61% dan kucing di Jakarta 77,7%; Di beberapa negara Asia di laporkan bahwa kucing sebagai induk semang definitif toxoplasma secara serologis diperoleh data prevalensi toxoplasmosis sebagai berikut: Jepang 19%, Korea Selatan 13%, Taiwan 8%, Singapore 31% sedangkan Indonesia belum ada data. Pencegahan adalah faktor utama dalam mengurangi prevalensi toxoplasmosis pada manusia. Oleh karena itu untuk menghindari penularan toxoplasma melalui oosit infektif dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu jika memelihara kucing sebagai hewan kesayangan harus senantiasa dibersihkan kotorannya, jangan memberikan daging mentah pada kucing piaraan, kucing di pelihara dalam kandang yang diletakkan di luar rumah, gunakan sarung tangan bila bekerja di kebun, dan cuci sayuran dan buah-buahan sebelum di makan. Penularan toxoplasma melalui sista dapat dilakukan dengan mencuci daging sebelum dimasak, mengurangi makan daging yang tidak dimasak dengan matang.

Pada berbagai penyakit infeksi, umumnya kejadian infeksi dapat di kontrol dengan melakukan pencegahan, seperti rubella dan polio dapat di kontrol dengan vaksinasi. Oleh karena itu vaksinasi mempunyai 2 tujuan yaitu: Promosi kesehatan dan kewaspadaan terhadap infeksi bagi pelaku kesehatan. Screening program di harapkan dapat mendeteksi individu yang sakit atau individu dengan resiko tinggi. Resiko toxoplasmosis individu sangat tergantung dengan imunitas seseorang, bahkan sangat bervariasi sesuai dengan situasi, seperti halnya ibu hamil yang telah imun sebelum konsepsi tidak beresiko toxoplasmosis terhadap fœtus yang di kandung, akan tetapi beberapa individu yang yang immunocompromise beresiko bila ada reinfeksi toxoplasma. Oleh karena itu pencegahan congenital toxoplasmosis dapat di capai melalui promosi kesehatan di banding dengan program screening antenatal.

Page 19: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

19

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., and Pober, J.S. 2000. Cellular and molecular immunology. 4th ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia.

Ahn, H-J., Kim, S., Kim, H-E., and Nam, H-W. 2006. Interactions between secreted GRA proteins and host cell proteins across the parasitophorous vacuolar membrane in the parasitism of Toxoplasma gondii. Korean J. Parasitol. 44(4): 303-312.

Artama, W.T. (2005): Cloning Gene Encoding Micronema 3 (Mic3) Protein of Tachyzoite Toxopalsma gondii Local Isolate. I.J Biotech., Vol. 10, No. 1, hal. 789-800

Artama, W.T. (2007). Toxoplasmosis In Indonesia: Serologic and Biomolecular Diagnostic. Prosiding Simposium Nasional Parasitologi dan Penyakit Tropis, tgl. 25-26 Agustus 2007, Bali

Artama, W.T., Rini Widayanti, Aris Haryanto, Sumartono, dan Tolibin Iskandar ( 2008). Prevalensi toxoplasmosis pada sapi, kambing dan domba di Indonesia. In press

Bivas-Benita, M., Laloup, M., Versteyhe, S., Dewit, J., De Braekeleer, J., Jongert, E., and Borchard, G. 2003. Generation of Toxoplasma gondii GRA1 protein and DNA vaccine loaded chitosan particle: Preparation, characterization, and preliminary in vivo studies. Int. J. Pharm. 266: 17-27.

Black, M.W. and Boothroyd, J.C. 2000. Lytic cycle of Toxoplasma gondii. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 64(3): 607-623.

Bradley, J.E. and Pleass, R. 2006. Immunity to protozoa and worms. In: Immunology. 7th ed. Male, D., Brostoff, J., Roth, D.B., and Roitt, I. (eds). Elsevier Ltd., Philadelphia.

Craver, M.P.J. and Knoll, L.J. 2007. Increased efficiency of homologous recombination in Toxoplasma gondii dense granule protein 3 demonstrates that GRA3 is not necessary in cell culture but does contribute to virulence. Mol. Biochem. Parasitol. 153: 149–157.

Daryani, A., Hosseini, A.Z., Sharif, M., Dalimi, A., Dehghan, M.H., and Ziaei, H. 2006. Protective role of antigens from peritoneal exudates of infected mice against toxoplasmosis. Iran. J. Immunol. 3(2): 78-85.

Page 20: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

20

Dubey, J.P. 2007. The history and life cycle of Toxoplasma gondii. In: Toxoplasma gondii the model apicomplexan: Perspectives and methods. Weiss, L.M. and Kim, K. (eds.). Elsevier Ltd., Amsterdam.

Dubey, J.P., Quirk, T. 2009. Experimental toxoplasma gondii infection in striped skunk (Mephitis mephitis). J. Parasitol. 94:761-763.

Ferguson, D.J.P. and Dubremetz, J.F. 2007. The ultrastructure of Toxoplasma gondii. In: Toxoplasma gondii the model apicomplexan: Perspectives and methods. Weiss, L.M. and Kim, K. (eds). Elsevier Ltd., Amsterdam.

Gandahusada, S. 1999. Diagnosis laboratoris Toxoplasma. Maj. Kedok. Indon. 49(6): 212-218.

Golkar, M., Shokrgozar, M.A., Rafati, S., Sadai, M.R., and Assmar, M. 2005. Construction, expression and preliminary immunological evaluation of a DNA plasmid encoding the GRA2 protein of Toxoplasma gondii. Iran. Biomed. J. 9 (1): 1-8.

Jones, J., Lopez, A., and Wilson, M. 2003. Congenital toxoplasmosis. Am. Fam. Phys. 67(10): 2131-2138.

Lavine, M.D. and Arrizabalaga, G. 2008. Exit from host cells by the pathogenic parasite Toxoplasma gondii does not require motility. Eukaryot. Cell 7(1): 131-140.

Lebrun, M., Carruthers, V.B., and Cesbron-Delauw, M-F. 2007. Toxoplasma secretory proteins and their roles in cell invasion and intracellular survival. In: Toxoplasma gondii the model apicomplexan: Perspectives and methods. Weiss, L.M. and Kim, K. (eds). Elsevier Ltd., Amsterdam.

Nelson, M.M., Jones, A.R., Carmen, J.C., Sinai, A.P., Burchmore, R., and Wastling, J.M. 2008. Modulation of the host cell proteome by the intracellular apicomplexan parasite Toxoplasma gondii. Infect. Immun. 76(2): 828-844.

Omoto, C.K. and Lurquin, P.F. 2004. Genes and DNA: A beginner’s guide to genetics and applications. Columbia University Press, New York.

Petersen, E. and Liesenfeld, O. 2007. Clinical disease and diagnostics. In: Toxoplasma gondii the model apicomplexan: Perspectives and methods. Weiss, L.M. and Kim, K. (eds). Elsevier Ltd.,

Page 21: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Drh. Wayan Tunas Artama

21

Amsterdam. Pietkiewicz, H., Hiszczynska-Sawicka, E., Kur, J., Petersen, E.,

Nielsen, H.V., Paul, M., Stankiewicz, M., and Myjak, P. 2007. Usefulness of Toxoplasma gondii recombinant antigens (GRA1, GRA7 and SAG1) in an immunoglobulin G avidity test for the serodiagnosis of toxoplasmosis. Parasitol. Res. 100: 333–337.

Priyana, A. 2000. Antibodi anti Toxoplasma pada ayam kampung (Gallus domesticus) di Jakarta. Maj. Kedokt. Indon. 50(11): 504-507.

Radke, J.R., Eibs, C.A., and Fox, P.D. 2007. Host cell-directed interactions with Toxoplasma influence pathogenesis the host molecular environment can influence parasite growth and cyst development.. Microbe 2(5): 244-250.

Robben, J., Hertveldt, K., Bosmans, E., and Volckaert, G. 2002. Selection and identification of dense granule antigen GRA3 by Toxoplasma gondii whole genome phage display. J. Biol. Chem. 277(20): 17544–17547.

Scorza, T., D’Souza, S., Laloup, M., Dewit, J., De Braekeleer, J., Verschueren, H., Vercammen, M., Huygen, K., and Jongert, E. 2003. A GRA1 DNA vaccine primes cytolytic CD8+ T cells to control acute Toxoplasma gondii infection. Infect. Imun. 71(1): 309-316.

Vercammen, M., Scorza, T., Huygen, K., De Braekeleer, J., Diet, R., Jacobs, D., Saman, E., and Verschueren. 2000. DNA vaccination with genes encoding Toxoplasma gondii antigens GRA1, GRA7, and ROP2 induces partially protective immunity against lethal challenge in mice. Infect. Immun. 68(1): 38–45.

Weiss, L.M. and Kim, K. 2007. Bradyzoite development. In: Toxoplasma gondii the model apicomplexan: Perspectives and methods. Weiss, L.M. and Kim, K. (eds). Elsevier Ltd., Amsterdam.

Widayanti, E., Kusumaningsih, P., Indrasanti, D., Artama W.T. (2008). Cloning and over expression of gene encoding for Gra-1 protein from local isolate of Toxoplasma gondii. submitted on Indian J. Biotech.

WHO, 2009 Parasitical diseases report