Pestisida secara umum mencakup bahan kimia … memiliki nama kimia (0.0-dietil...

17
Pestisida secara umum mencakup bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan organisme yang merugikan manusia, tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia. Insektisida diazinon merupakan salah satu pestisida untuk racun serangga, termasuk golongan organofosfat dari grup fosforotioat/fosforotionat mengandung unsur karbon dan fosfor serta dapat mengganggu sistem syaraf manusia. Insektisida golongan ini bekerja sangat efektif menghambat aktifitas enzim asetilkolinesterase (AchE) sebagian besar serangga, dan mengakibatkan akumulasi asetilkolin (Ach) dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai neurotransmitter, kemudian akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleksi (kelumpuhan) dan paralisis jaringan. Asetilkolin berlebihan menyebabkan tremor, kejang-kejang dan kematian. Enzim asetilkolinesterase dibutuhkan untuk fungsi sistem syaraf (Lu 1995; Zhang & Pehkonen 1999). Diazinon merupakan insektisida yang sangat efektif digunakan untuk memberantas dan membasmi, ataupun mengendalikan hama-hama tanaman seperti kutu daun, lalat, wereng, kumbang penggerek padi, dan sebagainya. Diazinon umumnya digunakan pada tanaman buah, padi, tebu, jagung, tembakau dan tanaman hortikultura. Insektisida dengan bahan aktif diazinon mempunyai nama dagang yang beragam diantaranya : basazinon 45 EC, basminon 60 EC, basudin 60 EC, basudin 10 G, brantasan 450 EC, diazinon 60 EC, sidazinon 600 EC, dazzel, nucidol, agrostar 600 EC, gardentox, kayazol, knox out, spectracide dan prozinon 600 EC (Frederick 2003). Insektisida ini sudah dilarang penggunaannya untuk tanaman padi berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1986 (Anonim 1987), namun sampai tanggal 1 Mei tahun 1997, saat masa beredarnya habis, sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 473/KPTS/TP.270/6/96, insektisida tersebut masih beredar dan masih digunakan oleh petani. Hal ini terbukti hasil penelitian pada akhir 1997 (Ngabekti 1998) yang ternyata masih ditemukan residu diazinon pada sayuran kubis, selada dan tomat yang dipasarkan di Kota Semarang dengan residu 0.0069-0.0591 ppm. Insektisida golongan ini cukup stabil di lingkungan, sehingga mengakibatkan masalah kesehatan manusia dan lingkungan. 2.1.1. Struktur Diazinon

Transcript of Pestisida secara umum mencakup bahan kimia … memiliki nama kimia (0.0-dietil...

Pestisida secara umum mencakup bahan kimia yang digunakan untuk

membunuh atau mengendalikan organisme yang merugikan manusia, tumbuhan,

ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia. Insektisida diazinon merupakan

salah satu pestisida untuk racun serangga, termasuk golongan organofosfat dari

grup fosforotioat/fosforotionat mengandung unsur karbon dan fosfor serta dapat

mengganggu sistem syaraf manusia. Insektisida golongan ini bekerja sangat efektif

menghambat aktifitas enzim asetilkolinesterase (AchE) sebagian besar serangga,

dan mengakibatkan akumulasi asetilkolin (Ach) dan tidak dapat berfungsi lagi

sebagai neurotransmitter, kemudian akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti

dengan kelemahan, hilangnya refleksi (kelumpuhan) dan paralisis jaringan.

Asetilkolin berlebihan menyebabkan tremor, kejang-kejang dan kematian. Enzim

asetilkolinesterase dibutuhkan untuk fungsi sistem syaraf (Lu 1995; Zhang &

Pehkonen 1999).

Diazinon merupakan insektisida yang sangat efektif digunakan untuk

memberantas dan membasmi, ataupun mengendalikan hama-hama tanaman

seperti kutu daun, lalat, wereng, kumbang penggerek padi, dan sebagainya.

Diazinon umumnya digunakan pada tanaman buah, padi, tebu, jagung, tembakau

dan tanaman hortikultura.

Insektisida dengan bahan aktif diazinon mempunyai nama dagang yang

beragam diantaranya : basazinon 45 EC, basminon 60 EC, basudin 60 EC, basudin

10 G, brantasan 450 EC, diazinon 60 EC, sidazinon 600 EC, dazzel, nucidol,

agrostar 600 EC, gardentox, kayazol, knox out, spectracide dan prozinon 600 EC

(Frederick 2003). Insektisida ini sudah dilarang penggunaannya untuk tanaman

padi berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1986 (Anonim

1987), namun sampai tanggal 1 Mei tahun 1997, saat masa beredarnya habis,

sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 473/KPTS/TP.270/6/96,

insektisida tersebut masih beredar dan masih digunakan oleh petani. Hal ini

terbukti hasil penelitian pada akhir 1997 (Ngabekti 1998) yang ternyata masih

ditemukan residu diazinon pada sayuran kubis, selada dan tomat yang dipasarkan

di Kota Semarang dengan residu 0.0069-0.0591 ppm. Insektisida golongan ini

cukup stabil di lingkungan, sehingga mengakibatkan masalah kesehatan manusia

dan lingkungan.

2.1.1. Struktur Diazinon

Diazinon memiliki nama kimia (0.0-dietil 0-2-isopropyl-6-metilpyrimidin-4-

methyl pyrimidinyl fosfosrotionat) dengan rumus empiris C12H21N2O3P5 adalah

insektisida dan nematisida non sistemik berspektrum luas (broad spectrum) dan

bertindak sebagai inhibitor asetilkolinesterase berakibat pada kolin (Sumner et al.

1988; EXTONET 1996). Rumus bangunnya disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Rumus bangun diazinon (Zhang & Pehkonen 1999)

2.1.2. Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Diazinon Sifat fisik diazinon yang berkaitan dengan lingkungan adalah mempunyai

titik didih 83-84oC, tekanan uap 1.4 10-4 mmHg pada 20oC, koefisien partisi oktanol-

air adalah 4, kelarutan dalam air 40 µg ml-1 pada 25oC, sedikit larut dalam air (kira-

kira 0.04%) dan dapat dicampur dengan pelarut organik (Merck Index 1998). Stabil

dalam lingkungan alkali lemah tetapi sedikit terhidrolisis dalam air dan asam encer.

Diazinon sangat sensitif terhadap oksidasi dan suhu tinggi, serta cepat terurai pada

suhu di atas 100oC (Hayes & Laws 1991).

Matsumura (1976) menyatakan bahwa sebagian besar diazinon mengalami

degradasi membentuk asam dietiltiofosfonat. Persisten diazinon dalam air tawar

dan air laut masing-masing adalah 11% dan 30% setelah aplikasi 17 hari,

sedangkan residu dalam lumpur permukaan (2 mm) masih terdapat 0.05-2%

setelah 21 hari aplikasi.

Diazinon sangat mobil pada tanah dengan kandungan bahan organik

rendah sampai sedang, dan immobil pada kandungan bahan organik tinggi

(Arienzo et al. 1994). Koefisien partisi oktanol-air mengindikasikan diazinon bisa

diakumulasi secara biologis dalam organisme, dan ini telah dijumpai pada ikan

pada konsentrasi maksimum 300-360 kali konsentrasi di air. Volatilitas diazinon

adalah 2.4 mg m-3 pada 20oC dan 18.6 mg m-3 pada 40oC. Diazinon mempunyai

waktu paruh (half-life) 30 hari dan koefisien serap oleh tanah Koc=1.000 E

(Wauchope et al. 1992), sedangkan konsentrasi diazinon sebesar 0.2-5.2 mg l-1

dapat membunuh ikan (Smith et al. 2007)

Diazinon mempunyai spektrum daya bunuh yang luas terhadap serangga

dan berbagai cacing tanah. Toksisitas diazinon terhadap mamalia adalah sedang

(II), dengan lethal doses (LD50) oral akut masing-masing 96-967 mg kg-1 pada tikus

jantan dan 66-635 mg kg-1 pada tikus betina dan LD50 dermal akut masing-masing

tikus adalah >2000 mg kg-1 (katagori III), LD50 inhalasi akut pada tikus 3.5 mg l-1

termasuk kategori III (Pesticide Fact Handbook 1986). LD50 untuk beberapa spesies

burung 3-40 mg kg-1 dan spesies ikan 0.4-8 µg ml-1 (Sumner et al. 1985 laporan

CIBA-GEIGY tidak dipublikasi).

2.1.3. Alur Biokimia pada Reduksi Diazinon di Alam Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai dengan baik

dalam lingkungan abiotik maupun lingkungan biotik. Faktor-faktor yang

berpengaruh dalam penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan

dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi maupun fotokimia. Hidrolisis

diazinon menjadi IMPH (2-isopropyl-4-methyl-6-hydroxy pyrimidine) terutama diatur

oleh proses abiotik, degradasi dari diazinon meningkat oleh mikroorganisme tanah,

sehingga mikroorganisme menjadi faktor yang lebih dominan dari faktor abiotik

(Leland 1998).

Formulasi diazinon terdegradasi menjadi sejumlah tetraetilpirofosfat,

menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp (O,S-TEPP), kedua

senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih tinggi dibandingkan diazinon

dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP yaitu 14000 kali

lebih toksik dari diazinon (Allender & Britt 1994). Oksidasi diazinon menjadi bentuk

diazoxon yang lebih toksik, terjadi pada jaringan hewan dan tumbuhan (Mc Ewen &

Stevenson 1989). Pada vertebrata, oksidasi terjadi di mikrosom hati, dalam kondisi

ada oksigen dan NADPH2. Pada insekta, oksidasi terjadi dalam lemak tubuh dan

metabolitnya dikeluarkan. Kecepatan oksidasi diazinon menjadi diazoxon, dua kali

lipat untuk setiap kenaikan suhu 10oC dari 10o–60oC, diazoxon tidak bisa diisolasi

dari tanah (Leland 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa degradasi diazinon lebih

cepat pada air dengan suhu lebih hangat, maka degradasi menjadi 2-4 kali lebih

cepat pada air dengan suhu 21oC dibandingkan pada air dengan suhu (Moore et al. 2007).

Proses pembentukan metabolit diazinon (reaksi transformasi enzimatik)

terjadi melalui reaksi primer yaitu hidrolisis yang diikuti oleh reaksi pemecahan

rantai cincin diazinon, sehingga diazinon terdegradasi pada reaksi primer menjadi

2-isopropyl-4-methyl-6-pyrimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Menurut Ku et al. (1997)

bahwa diazinon mengalami dekomposisi secara fotolisis pada pH 3 menghasilkan

bentuk organik antara yang bisa diekspresikan sebagai jumlah dari 2-isopropyl-4-

methyl-6-pyrimidinol (IMP) dan tiofosfonat sebagai C diikuti dengan pembentukan

ion SO4-2. Produk hidrolisis dan fotolisis tersebut diidentifikasi sebagai senyawa

yang sifat toksiknya lebih rendah dibandingkan senyawa diazinon (Bollag 1974).

Degradasi diazinon di air disebabkan oleh hydrolisis, terutama pada kondisi

asam. Pada kondisi air streril half life diazinon selama 12 hari pada pH 5 dan pada

air netral half life selama 138 hari pada pH 7 (US-EPA 2006). Diazinon mengalami

degradasi dengan cahaya membutuhkan waktu 17.3-37.4 jam (Howard 1991) dan

di tanah akan terurai menghasilkan CO2 (Roberts & Hutson 1999). Degradasi

diazoxon yang diaplikasi pada tanah silt loam pada pH 8.1 dan suhu 25oC

ditemukan mengikuti kurva linier dan half-life dalam tanah ditemukan 18 jam

(Getzin 1968). Half-life diazinon studi laboratorium di tanah dengan pH 7.8 selama

39 hari (US-EPA 2007).

Diazinon dan diazoxon dihidrolisis menjadi 2-isopropyl-4-metil-6-

hydroxypyrimidine (IMHP) yang memiliki toksisitas sangat rendah dan ada dalam

dua bentuk isomer yaitu keton dan enol. Pada pH 8.4 kecepatan hidrolisis

diazoxon, adalah 10 kali diazinon. Diazinon dan diazoxon masing-masing dikatalis

dalam kondisi asam dan basa. Pada kondisi pH air alami 5.5-8.5 dan suhu kurang

dari 25oC, residu diazinon akan bertahan lama Gomma et al. (1969). Hidrolisis di

dalam tanah, nampaknya diadsorpsi dari pada dikatalisis asam (Konrad et al.

1967). Degradasi diazinon yang terjadi melalui proses biotik dan abiotik ditunjukan

pada Gambar 3.

Gam

bar 3

. Deg

rada

si d

iazi

non

yang

terja

di m

elal

ui p

rose

s bi

otik

dan

abi

otik

(Lel

and

1998

)

2.1.4. Keberadaan Diazinon di Lingkungan

Interaksi senyawa pestisida dan lingkungan tanah diatur oleh tiga faktor

penting yaitu: 1) Proses sorpsi atau desorpsi; 2) Difusi – pencucian; 3) Degradasi.

Perpindahan dan penghilangan senyawa pestisida dalam tanah terjadi karena:

pencucian (leaching), aliran buangan, penguapan, degradasi kimia,

fotodekomposisi dan biodegradasi (Connel 1995).

Aplikasi insektisida di lingkungan tidak hanya mempengaruhi jumlah dan

aktifitas metabolik mikroorganisme, tetapi juga bisa merubah struktur komunitas

mikroorganisme dalam tanah, beberapa mikroorganisme bisa tertekan dan lainnya

berkembangbiak (Johansen et al. 2001). Akumulasi pestisida disebabkan adanya

adsorbsi oleh alam melalui tanah, air dan makhluk hidup lainnya (Tarumingkeng

1992). Diazinon bisa diserap oleh akar tanaman dan di translokasikan pada

tanaman dan cepat didegradasi di daun, buah dan rumput-rumputan dengan half

life berkisar 2-14 hari (Kamrin 1997). Diazinon di tanaman mengalami metabolisis

menghasilkan produk hidrolisis pyrimidinol (hydroxyl pyrimidinol) dan diazoxon

(Robert & Hutson 1999).

Selanjutnya dikatakan bahwa pestisida yang tertinggal di biosfer harus

didegradasi agar menjadi berkurang atau hilang secara keseluruhan. Diazinon

dilepas ke air permukan atau tanah melalui volatilisasi, fotolisis, hidrolisis dan

biodegradasi. Biodegradasi pada kondisi aerob merupakan alur proses utama

diazinon di tanah dan air (ATSDR 2008) dan degradasi diazinon pada kondisi

anaerob juga berlangsung baik. Half life diazinon di tanah dipengaruhi oleh pH

pada tanah dan tipe tanah, pada pH 4, 7 dan 10, half life diazinon adalah 66, 209

dan 153 hari. Kecepatan degradasi di alam maupun di dalam tumbuhan mengikuti

kimia ordo pertama yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh banyaknya

pestisida dan faktor waktu. Proses degradasi berlangsung dalam dua tahap yaitu

proses dissipasi dan persistensi. Residu pestisida dalam tanaman atau hewan

menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan

tanaman atau hewan tersebut (Leland 1998).

Secara alamiah di lingkungan yang tercemar diazinon, mengandung aneka

ragam mikroorganisme, sehingga polutan yang ada di lingkungan tersebut dapat

didegradasi. Degradasi diazinon di alam tidak hanya dilakukan oleh

mikroorganisme yang ada di lingkungan (mikroorganisme indigenous), tetapi

dengan adanya cahaya diazinon juga dapat terdegradasi. Mikroorganisme butuh

waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan bahan/senyawa pencemar

(residu pestisida), yang disebabkan karena mikroorganisme tersebut tidak pernah

berhubungan langsung dengan residu pestisida tersebut. Oleh karena itu perlu

suatu adaptasi dimana dalam proses adaptasi mikroorganisme tersebut berusaha

mengeluarkan enzim atau plasmid yang dapat mendetoksifikasi senyawa yang

akan didegradasi.

2.2. Teknik Pengolahan Diazinon dalam Limbah Cair

Ada beberapa teknik penanganan yang digunakan untuk mengolah limbah

cair yang meliputi metode fisika, kimia dan biologi. Cara-cara yang digunakan yaitu

penyaringan/filtrasi, absorbsi, sedimentasi/pengendapan, elektrodialisis,

penambahan zat pereaksi (seperti CaO, logam hidroksida), bioremediasi,

fitoremediasi, bioremediasi kompos dan biofilter (US-EPA 1998). Upaya

meningkatkan kemampuan degradasi residu diazinon bisa dilakukan dengan

mempertahankan kondisi optimal untuk kelangsungan bioremediasi dan

penambahan mikroorganisme yang mampu mendegradasi diazinon (Leland 1998)

Pengolahan residu diazinon secara biologi bisa dilakukan dengan

bioremediasi, yaitu penambahan mikroorganisme pada air yang tercemar diazinon,

atau dengan memperkaya mikroorganisme indigenous, misalnya Arthobacter sp.

dan Streptomyces sp. secara sinergis keduanya mampu mendegradasi diazinon

(Leland 1998). Selanjutnya Leland (1998) mengisolasi Flavobacterium sp. dari air

irigasi sawah yang menggunakan diazinon, mengatakan spesies ini mempunyai

keistimewaan bisa memetabolis diazinon sebagai sumber karbon, selanjutnya

diazinon dalam air irigasi yang diinkubasi diubah menjadi metabolit dalam 3 hari

dan kemudian mineralisasi menjadi CO2 dalam waktu 2 hari berikutnya.

Beberapa spesies bakteri bisa memanfaatkan diazinon sebagai sumber

karbon dan energi, seperti Pseudomonas sp. (Ramanathan & Lalithakumari 1999),

Agrobacterium sp. (Ghassempour et al. 2002; Yasouri 2006), Arthrobacter sp.

(Ohshiro et al. 1996) dan Flavobacterium sp. (Ghassempour et al. 2002). Bakteri Serratia sp juga mempunyai kemampuan mendegradasi insektisida organofosfor

lainnya secara sempurna (Cycon et al. 2009; Lakshmi et al. 2008; Rani et al. 2008).

Di tanah tercemar diazinon terdapat isolate bakteri Bacillus, Pseudomonas mampu

menurunkan konsentrasi diazinon 3 ppm dirombak selama 12 hari (Setyobudiarso

2008).

2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi

Akhir-akhir ini, teknik bioremediasi banyak digunakan untuk penanganan

pengolahan limbah di industri. Teknik bioremediasi dinilai efektif dan ekonomis

untuk membersihkan tanah, permukaan air dan kontaminasi tanah yang

mengandung sejumlah bahan beracun seperti rekalsitran, senyawa kimia.

Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan

proses alami biodegredasi dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme yang

dapat memulihkan lahan tanah, air dan sendimen dari kontaminan terutama

senyawa organik (Yani et al. 2003), teknik teknologi rendah, mudah diterima

masyarakat dan bisa digunakan dimana saja (Kamuludeen et al. 2003).

Biodegradasi umumnya dilakukan oleh kelompok utama mikroorganisme

tanah (fungi, bakteri dan actynomycetes) yang dapat secara mudah menyesuaikan

diri atau mendegradasi pestisida melalui proses oksidasi, pemutusan-ester,

hidrolisis ester, dan amida, oksidasi alkohol dan aldehida, dealkilasi, hidroksilasi,

dehidrogenasi, epoksidasi, dehalogenasi, reduksi dan dealkilasi (Matsumura 1973,

Strong & Burges 2008). Biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa

menjadi yang lebih sederhana melalui aktifitas mikroorganisme (Onshiro et al.

1996). Said dan Fauzi (1996) menerangkan bahwa biodegradasi merupakan

transformasi struktur dalam senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi

perubahan integritas molekuler. Dalam proses degradasi, kondisi lingkungan

harus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme.

Bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik berbahaya

secara biologi menjadi senyawa lain misalnya CO2, metan, air, garam organik,

biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula

(Citroreksoko 1996). Berbagai bahan pencemar umumnya senyawa senobiotik

(asing di alam) misalnya residu pestisida, deterjen, limbah eksplorasi dari

pengolahan minyak bumi dan residu amunisi. Senyawa tersebut bersifat rekalsitran

(sulit didegradasi) sehingga memiliki ketahanan yang tinggi di alam.

Manfaat lain dari bioremediasi selain mendegradasi polutan, juga dapat

menjerap bahan-bahan logam dan mineral serta memisahkan zat-zat yang tidak

diinginkan dalam udara, air, tanah dan bahan baku proses produksi dalam industri

(US-EPA 1998). Bioremediasi dapat dilakukan secara in situ dan ex situ. In situ

yaitu bioremediasi dilakukan langsung di lingkungan yang tercemar (contohnya

pengggunaan kompos dan penambahan mikroorganisme yang sesuai langsung

pada tanah tercemar), sedangkan ex situ yaitu bioremediasi dilakukan di luar

lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru bioreaktor yang

dikondisikan dengan menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi cemaran

kontaminan organik, misalnya penggunaan biofilter untuk reduksi limbah cair di

bidang pertanian (Citroreksoko 1996). Teknologi bioremediasi dapat dimanfaatkan

sebagai salah satu teknik dalam penanganan limbah senyawa kimia termasuk

pestisida.

Beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa penggunaan kompos

dalam proses bioremediasi telah terbukti efektif untuk mendegradasi banyak jenis

kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tidak terklorinasi, bahan-bahan

kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida produk minyak, bahan

peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (US-EPA 1999; Gray et al. 1999;

Baker & Bryson 2002). Bakteri aerob dari kompos seperti Pseudomonas sp,

Alcaligenes sphingomonas, Rhodococcus dan Mycobacterium, mampu

mendegradasi pestisida, hidrokarbon, senyawa alkana dan poliaromatik (fenol,

benzoate, benzene dan turunannya), bakteri ini menggunakan kontaminan sebagai

sumber karbon dan energi (Haigler et al. 1992; Vidali 2001).

Kompos limbah pertanian dan kotoran ternak dapat mengurangi DDT dari

tanah tercemar di atas 600 ppm DDT (1.1.1-trichloro-2.2-bis (p-chlorophenyI ethan)

menjadi kurang dari 140 ppm setelah pengomposan 4 minggu, tanpa dihasilkan

DDD (1.2 dichloro-2.2-bis (p-chlorophenyl ethan) dan DDE (2.2-bis (p-chlorophenyl)

1.1 dichloroethylene) (Bernier et al. 1997). Tanah yang tercemar lebih dari satu

senyawa nitro seperti TNT (trinitrotoluene), RDX (hexahydro-1.3.5 trinitro-1.3.5

triazine) dan HMX (octahydro-1.3.5.7 tetranitro-1.3.5.7 tetrazocine) dengan

konsentrasi di atas 20.000 ppm, konsentrasinya berkurang 90% dengan

menggunakan kompos campuran (Moser et al. 1999). Selanjutnya menurut Gray et

al. (2000) bahwa kompos limbah pertanian berhasil mengurangi konsentrasi khlorin

dari tanah tercemar senyawa klorin (methoxychlor) 600 ppm berkurang menjadi

140 ppm setelah pengomposan 4 minggu.

Kompos digunakan untuk memperbaiki tanah yang terkontaminasi dengan

berbagai polutan organic (Fermor et al. 2001). Kompos juga digunakan untuk

bioremediasi limbah hidrokarbon, mampu mendegradasi minyak pelumas 75%

(Suortti et al. 2000); minyak diesel 85% (Ryckeboer et al. 2003); minyak 88.25%

(Munawar et al. 2007). Bakteri yang ditemukan pada tanah yang terkontaminasi

minyak hidrokarbon yaitu: Azotobacter sp., Bacillus alvei, B. macerans, B.

laterosporus, B. larvae, B. megaterium, Pseudomonas putida, Micrococcus roseus,

dan bakteri yang terdapat dalam kompos dari sampah kota, yang terkontaminasi

minyak hidrokarbon yaitu: Azotobacter sp., Bacillus cereus, Pseudomonas

aeruginosa, Micrococcus agalis, M. roseus, Mycobacterium sp., Nocardia sp.,

(Pagoray 2009).

2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Biodegradasi Mengingat mikroorganisme sangat berperan penting dalam proses

degradasi, maka kondisi lingkungan yang maksimal mendukung aktifitas

mikroorganisme akan memaksimalkan proses biodegradasi. Keberhasilan proses

biodegradasi banyak ditentukan oleh aktifitas enzim dalam mikroorganisme.

Kemudian aktifitas mikroorganisme dioptimasikan dengan pengaturan kondisi dan

pemberian suplemen yang sesuai. (Vidali 2001).

Keberadaan oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob dan

merupakan faktor pembatas laju degradasi hidrokarbon. Oksigen digunakan untuk

mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara mengoksidasi substrat

dengan katalisis enzim oksidase (Vidali 2001). Tingkat keasaman (pH) juga

merupakan faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme.

Umumnya bakteri tumbuh baik pada kisaran pH netral (pH 6.5–7.5), seperti P.

aeruginosa yang tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada

kisaran pH 5.6–8.0. Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia,

kecepatan degradasi oleh mikroorganisme serta komposisi mikroorganisme selama

proses degradasi. Pertumbuhan efektif untuk mikroorganisme berkisar antara 45o–

59oC (US-EPA 1994).

Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan

keseimbangan metabolisme sel. Menurut Boopathy (2000), kemampuan

mendegradasi tergantung pada mikroorganisme (konsentrasi biomassa,

keanekaragaman populasi dan aktifitas enzim), substrat (karakteristik fisikokimia,

struktur molekul dan konsentrasi), serta faktor lingkungan (pH, suhu, kelembaban,

tersedianya akseptor elektron sebagai sumber karbon dan energi). Selain itu

struktur molekul dan konsentrasi kontaminan berpengaruh sangat kuat dalam

proses bioremediasi. Bakteri pendegradasi diazinon, Serratia sp. mampu

memanfaatkan diazinon sebagai sumber karbon dan fosfor pada keadaan pH 7.0-

8.0 dan degradasi terhambat pada pH 5, 6 dan 9, 10. Bakteri ini juga mampu

mendegradasi diazinon secara sempurna dalam waktu 11 hari pada suhu 25o-30oC,

tetapi dalam waktu 13 hari pada suhu 20oC (Amer 2011).

2.4. Biofilter Kompos

Biofilter adalah teknologi inovatif untuk menangani air atau udara yang

tercemar kontaminan melalui media filter untuk tempat hidup mikrooganisme pada

reaktor, dan diharapkan kontaminan diuraikan menjadi senyawa yang lebih

sederhana dan tidak berbahaya yaitu H2O dan CO2. Umumnya pada biofilter

diinokulasi dengan mikroorganisme kultur campuran dimana akan terjadi seleksi

alamiah sehingga diperoleh satu jenis/lebih mikroorganisme yang dapat

beradaptasi dengan lingkungan (US-EPA 1998).

Teknologi biofilter yang umum digunakan adalah penggunaan campuran

pasir dan krikil yang dibungkus atau karbon aktif kemudian ditambahkan

mikroorganisme. Masalah yang timbul umumnya pasir dan krikil mempunyai

kemampuan menjerap rendah, sehingga bahan ini tidak baik digunakan sebagai

media untuk hidup mikroorganisme. Kemudian berkembang teknologi penggunaan

kompos sebagai media filter untuk reduksi limbah cair. Biofilter kompos lebih

menguntungkan dibandingkan karbon aktif granular karena masa pakai panjang 1-

1.5 tahun sedangkan karbon aktif granular sangat singkat (Casucci et al. 2004).

Pada biofilter kompos, kompos berperan sebagai penyaring (filter), dan

penyerap (absorben) zat kimia yang akan dilewatkan pada biofilter tersebut.

Fungsi ini dapat dianalogikan dengan fungsi tanah dan sendimen sebagai bahan

yang dapat menghilangkan pencemar di lingkungan, melalui proses penyerapan

pada permukaan sehingga menstabilkan pH, selanjutnya menguraikan zat

pencemar (Connell 1995).

Kelebihan kompos sebagai media filter (biasanya untuk aliran limbah cair)

adalah karena memiliki porositas tinggi, kapasitas absorbsi tinggi terhadap

senyawa organik dan anorganik, retensi kelembaban baik, dan kemampuan

mendukung kecepatan degradasi tinggi (US-EPA 1998). Kapasitas absorbsi

kompos terhadap senyawa organik dan anorganik bisa melalui beberapa

mekanisme penyerapan seperti: gaya vander waal, ikatan hidrofobik, ikatan

hidrogen, pertukaran ligan, pertukaran ion elekrostatik, interaksi tertutup dan

penyerapan kimia (Connell 1995). Kemampuan penyerapan terhadap suatu zat

kimia ditunjukkan oleh koefisien penyerapan (Haque et al. 1980). Selanjutnya

menurut Connell (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan senyawa

kimia adalah struktur zat kimia, kandungan bahan organik, pH media, ukuran

partikel, kapasitas tukar elektron dan suhu.

Karakteristik biofilter kompos sebagai berikut: kapasitas pegang air (water

holding capacity) dan total porositas tinggi; kinerja bertambah baik dengan

bertambahnya waktu; terjadi penambahan nutrien; kelembaban antara 50-70%;

suhu antara 20o–30oC; waktu tinggal (residence time) singkat; dan kedalaman filter

satu meter (Leson 1991; Haug 1993; Toffey 1997). Pada awalnya aplikasi biofilter

kompos untuk menguraikan gas hydrogen sulfite (83-99%) dan beberapa senyawa

aromatik sederhana. Selanjutnya aplikasi biofilter kompos berkembang untuk

menguraikan larutan chlorin alifatik dan senyawa mudah menguap lainnya/VOC

(Ergas 1995).

2.5. Kompos dari Limbah Media Jamur Tiram Kompos sebagai hasil akhir pengomposan, memiliki kandungan bahan

organik tinggi dan mineral yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Kompos

juga digunakan sebagai bahan penyerap (absorben) yang baik, terutama untuk

senyawa kimia organik dan anorganik (US-EPA 1994). Hasil samping produksi

jamur adalah limbah media budidaya jamur yang masih bisa digunakan sebagai

kompos/pupuk dan makanan ternak. Maher dan Magette (1997) mengemukakan

bahwa hasil analisis ekstrak kompos jamur di Irlandia mengandung bahan organik

65%, makro nutrien tinggi (nitrogen, phosphor, kalium dan kalsium), pH 6.6, dan

electricity conductifity/konduktifitas listrik tinggi (7.500 µS cm-1).

SMC (spent mushroom compost) adalah kompos dari limbah media

budidaya jamur, mengandung konsorsium mikroorganisme di antaranya

Paenibacillus lentimorphus, Bacillus lecheniformis, B. subtilis, Pseudomonas

meralanii, Klebsiella enterobacter sp. Sphingobacterium multivarum,

Microbacterium, Stenophomonas sp. (Watabe et al. 2004). Bakteri tersebut bisa

mengganggu kesehatan manusia dan hewan, contohnya Bacillus sp. merupakan

pathogen pada debu, menimbulkan alergi, hipersensitif, pneumonitis. Kompos dari

bekas media jamur P. pulmonarius yang mendegradasi substrat dengan bahan

dasar dedak padi mengandung chitin 25% merupakan polimer N-asetil-d-

glukosamin (Law et al. 2003) dan sebagian besar komponen dari dinding sel fungi

dan kandungan unsur lainnya tertera pada Tabel 1.

Kompos jamur mempunyai beberapa keuntungan jika ditambahkan ke

tanah, yaitu menambah nutrisi esensial bagi tanaman; menggantikan pupuk

organik; sumber fosfor, kalium dan elemen trace juga nitrogen; kandungan bahan

organik tinggi, sehingga penting untuk memperbaiki struktur tanah; meningkatkan

aktifitas mikroorganisme tanah dan cacing tanah; dan memudahkan

menghancurkan struktur tanah pada saat pengolahan tanah (Glass 2003).

Tabel 1 Sifat fisika-kimia kompos jamur media Pleurotus pulmonarius Kandungan unsur

Ukuran

pH Abu (%) C (%) H (%) N (%) S (%) Chitin (%) Mineral Mangan (mg g-1) Kalium(mg g-1) Kalsium (mg g-1) Fe (mg g-1) Seng/Zn (mg g-1) Natrium (mg g-1) Ion yang larut dalam air Flourida (mg g-1) Clorida (mg g-1) Nitrit (mg g-1) Bromida (mg g-1) Nitrat (mg g-1) Fosfat (mg g-1) Sulfat (mg g-1)

7.69 ± 0.02 8.96 ± 0.30 25.61 ± 0.0 4.20 ± 1.33 2.42 ± 0.02 0.49 ± 0.15 25.17 ± 1.3 0.46 ± 0.04 6.91 ± 0.02 14.75 ± 7.0 0.34 ± 0.08 0.22 ± 0.13 1.30 ± 0.11 4.43 ± 1.25 67.44 ± 3.1 0.04 ± 0.00 2.17 ± 1.13 0.20 ± 0.09 31.44 ± 1.3 20.55 ± 0.6

Ekstrak dari 0.1 g kompos jamur dalam 10 ml air ultra murni Sumber: Law et al. 2003

Kompos jamur mempunyai karakteristik sebagai berikut: secara fisik

mengandung 65% bahan organik, sehingga bermanfaat untuk memperbaiki struktur

dan tekstur tanah, memperbaiki aerasi dan drainase, menambah kapasitas pegang

air (water holding capacity/WHC), menambah aktifitas biologis tanah; bebas dari

kontaminan benih gulma dan patogen tumbuhan; penampakan yaitu halus dan

berbau tanah; sumber nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, sulfur; sumber elemen trace

seperti besi, natrium, mangan, boron, tembaga dan seng (Glass 2003).

Karakteristik kompos limbah media jamur dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik kompos limbah media jamur Sifat fisik

Keuntungan

Bahan organik 65% Bebas dari polutan Kandungan nutrisi utama Unsur lain (dalam jumlah kecil)

Meningkatkan struktur dan tekstur tanah. Meningkatkan aktivitas biologis tanah Berasal dari rerumputan dan tanaman patogen Sumber bahan organik N, P, K, Ca, dan S Sumber bahan organik Fe, Na, Mn, Br, Cu dan

Zn.

Sumber: Glass (2003)

Pada media kompos jamur tiram terdapat miselia jamur yang mengeluarkan

enzim extra-celullar yang memecah pestisida dan kemudian masuk ke sel

mikroorganisme. Enzim ini digunakan sebagai energi untuk reproduksi sehingga

dihasilkan populasi mikroorganisme lebih besar. Setelah enzim extra-celullar

memecah pestisida, sehingga tersedia, pestisida masuk ke sel (intra-celullar).

Penghancuran pestisida diperlukan air. Umumnya pestisida mengandung O, N, S

yang cenderung larut ke dalam air karena ikatan hidrogen (Andrew & David 2002).

Kompos (SMC) dari Pleurotus ostreatus (jamur tiram putih) mampu

mendegradasi PAHs/Creosote pada tanah (Eggen 1999). Spesies fungi akar putih

(white rot fungi) menghasilkan enzim yang berbeda-beda tergantung genetik dan

kondisi pertumbuhannya. Degradasi oleh enzim meliputi lignin peroxidase (LIP),

manganase dependent peroxidase (MnP), manganase independent peroxidase

(MIP) dan lacasse (Bogan & Lamar 1996; Kofferman et al. 1996).

2.5.1. Kandungan Mikroorganisme Kompos Jamur Tiram

Kompos jamur juga tempat hidup konsorsium mikroorganisme seperti fungi,

bakteri (Ching 1997). Bakteri yang diisolasi dari kompos jamur Pleurotus

pulmonarius dengan identitas yang belum diketahui, bisa toleran pada 100 mg l-1

PCP dan pada densitas 7.5 x 107 cfu ml-1 merubah 95.6 ± 9.7% PCP dengan 78.3 ±

5.2% dengan biodegradasi (Law et al. 2003). Selain hal tersebut kompos jamur P.

pulmonarius mempunyai enzim immobil laccase (0.88 m moles min-1g-1) dan

manganese peroxidase (0.58 m moles min-1g-1). Produktifitas enzimnya lebih tinggi

dari yang dilaporkan (Ball & Jackson 1995; Trejo Hermandez et al. 2001)

Agent-bioremediasi PCP yang potensial termasuk bakteri Flavobacterium

dan Pseudomonas yang melakukan oksidasi, deklorinasi, pemecahan cincin

dengan produk turunan terlibat dalam siklus TCA (Apajalahti & Salkinoja-solonen

1987; Van Agteren et al. 1998). PCP juga dipecah oleh fungi non-spesifik enzim

ligninolitik yang melanjutkan radikal bebas, seperti Pleurotus pulmonarius dan

Tremetes versicolor (Tinaka et al. 1999; Crestini et al. 2000; Gullen et al. 2000;

Ullah et al. 2000). Flavobacterium termasuk bakteri gram-negatif anaerobik

fakultatif, berbentuk batang, mempunyai suhu optimal untuk pertumbuhan 20o–

25oC diketahui dapat mendegradasi diazinon (Guirard & Snell 1981).

Selama produksi kompos jamur, populasi Actinomicytes thermopilik

meningkat, meliputi spesies Thermomonospora, Thermoactinomyces,

Saccharomonospora dan Streptomyces, dan umumnya seluruh bakteri diisolasi dari

kompos jamur pada suhu 50oC dan memperlihatkan pertumbuhan pembentukan

non-hifa seperti Baccilus spp. (Amner et al. 1988). Nakasaki et al. (1985)

mengatakan bahwa suhu optimum untuk aktifitas mikroorganisme adalah di bawah

60oC. Hal ini didasarkan pada penelitian terhadap aktifitas mikroorganisme

tergantung pada bahan organik (McKinley 1984), dan diversitas spesies (Strom

1985). Populasi mikroorganisme heterotropik pada proses pengomposan daun-

daun halaman sebesar 2 x 1011 g-1, lebih besar dibanding mikroorganisme pada

tanah yang tidak tersedia bahan organik (5%) sebesar 106 – 108 (Paul & Clark

1989). Penyebaran bakteri Pseudomonas pada daerah suhu sampai 50o-57oC,

sedangkan Bacillus mempunyai daerah penyebaran yang luas, 100% pada suhu

60o-65oC dan masih mampu hidup pada suhu 65o-69oC.

Bakteri pendegradasi pestisida yang umum telah diketahui meliputi

Achromobacter, Arthrobacter, Pseudomonas, dan Flavobacterium spp. (Nakasaki

1985). Menurut Rao (1994) mikroorganisme genus Torulopsis, Chlorella,

Pseudomonas, Thiobacillus dan Trichoderma dapat menguraikan pestisida

golongan organofosfat seperti diazinon. Pseudomonas sp., Bacillus sp., Nocardia

sp., Staphylococcus vibrio sp., Mycobacterium sp., mampu mendegradasi minyak

bumi pada media air laut dan air tawar (Utomo 1997). Pseudomonas juga mampu

mendegradasi senyawa hidrokarbon (Wijayaratih 2001); P aeruginosa, Arthrobacter

simplex mampu mendegradasi minyak ( Harjito 2003); dan Flavobacterium,

Pseudomonas dan Azoarcus bakteri dominan yang terdapat pada tanah di ladang

minyak di Guadalupe (Kitt & Kaplan 2004).

Serratia liquefaciens, S. marcescens, Pseudomonas sp. dan konsorsiumnya

dari tanah yang tercemar diazinon mampu mendegradasi 80-92% diazinon dalam

waktu 14 hari, pada konsentrasi 50 mg l-1 (Cycon et al. 2009). Hasil isolasi murni

dari kompos jamur tiram, mengandung mikroorganisme Bacillus sp, Pseudomonas

sp. dan Chromobacterium, yang diharapkan mampu memecah diazinon.

2.5.2. Aplikasi Kompos Jamur Tiram untuk Degradasi

Kompos jamur dimanfaatkan juga untuk memperbaiki tanah kritis, sebagai

mulsa yang berperan untuk mempertahankan kelembaban tanah dan menekan

pertumbuhan gulma, dan sebagai media tumbuh. Selain digunakan untuk

memperbaiki struktur tanah, kompos jamur bisa digunakan sebagai pengganti

humus pada sistem “biobed” yang menggunakan bahan organik untuk

mengabsorbsi dan mendegradasi pestisida. Pada lapisan tanah bagian atas dari

“biobed” kaya akan humus dan kandungan liat rendah untuk mendukung aktifitas

metabolisme mikroorganisme dan untuk mengabsorbsi maksimum jumlah

senobiotik (Casucci et al. 2004). Bahan komplek seperti kompos jamur juga

digunakan untuk mendegradasi berbagai polutan organik (Ching 1997; Kuo &

Regan 1998; Webb et al. 2001).

Polutan pentakloropenol (PCP) berhasil dihilangkan dari air yang tercemar

dengan menggunakan kompos jamur. Pentakloropenol bisa dimineralisasi jika

diinkubasikan dengan kompos setelah masa pengkayaan yang sesuai. Kompos

jamur sebanyak 5% dapat merubah 89.0 ± 0.4% dari 100 mgl-1 PCP dalam waktu 2

hari pada suhu ruang, dengan proses biodegradasi dominan 70.1 ± 2.2% (Law et

al. 2003). Kompos jamur tiram mampu mendegradasi sebesar 90%, tanah yang

tercemar diazinon 1000 ppm, selama 21 hari (Jumbriah 2006).

Kompos jamur yang diperkaya dengan senyawa bensena, toluene,

etilbensena, o-xilena dan p-xilena (BTEX) mampu memineralisasi (U-14C) bensena

menjadi 14CO2 lebih besar daripada kompos jamur yang tidak diperkaya setelah 14

hari, tetapi seluruh isolat mikroorganisme yang diekstraksi dari kompos jamur tidak

mampu memineralisasi (U-14C) bensena dalam kultur murni (Semple et al. 1998).

Selanjutnya kompos jamur yang dipasteurisasi memperlihatkan jumlah mineralisasi

(U-14C) bensena lebih kecil (1.5%) dibandingkan dengan kompos jamur yang tidak

dipasteurisasi dan diperkaya dengan campuran BTEX 2.5 mM, jumlah mineralisasi

(U-14C) bensena sebesar 5.2%. Selanjutnya dengan memperpanjang masa

mineralisasi (U-14C) bensena, jumlah mineralisasi yang diperoleh bertambah besar

pada suhu inkubasi 50oC jika dibandingkan pada suhu 37oC.

Agent-bioremediasi PCP yang potensial termasuk bakteri Flavobacterium

dan Pseudomonas yang melakukan oksidasi, deklorinasi, pemecahan cincin

dengan produk turunan terlibat dalam siklus TCA (Apajalahti & Salkinoja-solonen

1987; Van Agteren et al. 1998). PCP juga dipecah oleh fungi non-spesifik enzim

ligninolitik yang melepas radikal bebas, seperti Pleurotus pulmonarius dan

Tremetes versicolor (Tinaka et al. 1999; Crestini et al. 2000; Gullen et al. 2000;

Ullah et al. 2000).

Kompos jamur mengandung berbagai gugus -OH, -NH yang bermanfaat

untuk penjerapan. Pada kompos jamur juga terdapat berbagai anion (seperti

fluorida, klorida, nitrit, bromida, nitrat, fosfat dan sulfat) ditemukan dalam kompos

jamur yang kaya chitin berfungsi serupa (Lau et al. 2003). Asam humik dan asam

fulfik juga terdapat pada kompos, bisa berperan sebagai penjerap pada proses

degradasi diazinon oleh kompos, asam humik mampu menjerap diazinon sebesar

19% (Michel et al. 1997).

Bioremediasi dengan menggunakan kompos, mampu mendegradasi minyak

diesel 85% (Ryckeboer et al. 2003); minyak mentah 88.25% (Munawar et al. 2007).

Kompos dari sampah kota, mampu mendegradasi tanah yang tercemar petroleum

hidrokarbon sebesar 83% selama 12 minggu (Pagoray 2009). Limbah yang cukup

tersedia dari industri budidaya jamur adalah kompos jamur, memang tidak sebaik

karbon aktif dan Mycobacterium chlorophenolicum dalam mendegradasi PCP,

tetapi karbon aktif mahal dan fermentasi biomassa dengan menggunakan M.

chlorophenolicum butuh biaya besar (Law et al. 2003).

Bakteri dari kompos jamur tiram Pleurotus ostreatus yaitu Pseudomonas

stutzeri, B. mycoides, B. cereus, dan Chromobacterium mampu tumbuh dan

beradaptasi pada media padat nutrien agar yang mengandung 100 ppm diazinon,

bahkan B. cereus mampu mendegradasi diazinon pada media padat MSPY yang

mengandung 1700 ppm diazinon (Jumbriah 2006).