-,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

9
BAB III -, ~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT 3.1. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM Perubahan iklim merupakan salah satu ancaman yang sangat serius terhadap sektor pertanian dan berpotensi mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pangan dan sistem produksi pertanian pada umumnya. Perubahan iklim adalah kondisi beberapa unsur iklim yang magnitude dan/atau intensitasnya cenderung berubah atau menyimpang dari dinamika dan kondisi rata-rata, menuju ke arah tertentu (meningkat atau menurun). Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat multi dimensional, mulai dari sumber daya, infrastruktur pertanian, dan sistem produksi pertanian sampai aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya. Pengaruh tersebut dibedakan atas dua indikator, yaitu kerentanan dan dampak. Secara harfiah, kerentanan terhadap perubahan iklim adalah kondisi yang mengurangi kemampuan (manusia, tanaman, dan ternak) beradaptasi dan/atau menjalankan fungsi fisiologis/biolo- gis, perkembangan fenologi pertumbuhan dan produksi serta reproduksi secara optimal akibat cekaman perubahan iklim. Dampak perubahan iklim adalah gangguan atau kondisi kerugian dan keuntungan, baik secara fisik maupun sosial dan ekonomi, yang disebabkan oleh cekaman perubahan iklim (Balitbangtan, 20 I Ia; Bal itbangtan, 20 II b). Dampak perubahan iklim secara langsung terhadap sumber daya pertanian dapat berupa terjadinya degradasi dan penyusutan sumber daya lahan, dinamika dan anomali ketersediaan air, dan kerusakan sumber daya genetik/biodiversiti. Dampak tersebut dapat berupa penurunan produktivitas dan produksi sehingga mengganggu sistem ketahanan pangan nasional. Dampak tidak langsung sebagian besar disebabkan oleh adanya dampak komitmen atau kewajiban melaksanakan mitigasi, seperti tertuang dalam RAN-GRK, Perpres No. 61 Tahun 20 II, yang berpengaruh terhadap produktivitas/produksi, ketahanan pangan, pengembangan bioenergi, dan sosial-ekonomi. Inpres No.6 Tahun 2013 (pengganti Inpres No. 10 Tahun 20 II) tentang moratorium pembukaan hutan produksi dan lahan gambut berdampak terhadap program perluasan areal baru. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan iklim terkait dengan kebijakan nasional maupun internasional, harga pangan, dan sebagainya (Balitbangtan, 20 II b). 16 Penge/o/aan Lahan Gambut untuk Pertanian Berke/anjutan

Transcript of -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

Page 1: -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

BAB III

-, ~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASILAHAN GAMBUT

3.1. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim merupakan salah satu ancaman yang sangat seriusterhadap sektor pertanian dan berpotensi mendatangkan masalah baru bagikeberlanjutan produksi pangan dan sistem produksi pertanian pada umumnya.Perubahan iklim adalah kondisi beberapa unsur iklim yang magnitude dan/atauintensitasnya cenderung berubah atau menyimpang dari dinamika dan kondisirata-rata, menuju ke arah tertentu (meningkat atau menurun).

Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat multidimensional, mulai dari sumber daya, infrastruktur pertanian, dan sistem produksipertanian sampai aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraanpetani dan masyarakat pada umumnya. Pengaruh tersebut dibedakan atas duaindikator, yaitu kerentanan dan dampak. Secara harfiah, kerentanan terhadapperubahan iklim adalah kondisi yang mengurangi kemampuan (manusia,tanaman, dan ternak) beradaptasi dan/atau menjalankan fungsi fisiologis/biolo-gis, perkembangan fenologi pertumbuhan dan produksi serta reproduksi secaraoptimal akibat cekaman perubahan iklim. Dampak perubahan iklim adalahgangguan atau kondisi kerugian dan keuntungan, baik secara fisik maupun sosialdan ekonomi, yang disebabkan oleh cekaman perubahan iklim (Balitbangtan,20 I Ia; Bal itbangtan, 20 II b).

Dampak perubahan iklim secara langsung terhadap sumber daya pertaniandapat berupa terjadinya degradasi dan penyusutan sumber daya lahan, dinamikadan anomali ketersediaan air, dan kerusakan sumber daya genetik/biodiversiti.Dampak tersebut dapat berupa penurunan produktivitas dan produksi sehinggamengganggu sistem ketahanan pangan nasional. Dampak tidak langsung sebagianbesar disebabkan oleh adanya dampak komitmen atau kewajiban melaksanakanmitigasi, seperti tertuang dalam RAN-GRK, Perpres No. 61 Tahun 20 II, yangberpengaruh terhadap produktivitas/produksi, ketahanan pangan, pengembanganbioenergi, dan sosial-ekonomi. Inpres No.6 Tahun 2013 (pengganti Inpres No. 10Tahun 20 II) tentang moratorium pembukaan hutan produksi dan lahan gambutberdampak terhadap program perluasan areal baru. Dalam konteks yang lebihluas, perubahan iklim terkait dengan kebijakan nasional maupun internasional,harga pangan, dan sebagainya (Balitbangtan, 20 II b).

16 Penge/o/aan Lahan Gambut untuk Pertanian Berke/anjutan

Page 2: -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

Berdasarkan sifatnya, dampak perubahan iklim global terhadap sektorpertanian dibedakan atas: (1) dampak yang bersifat continue, berupa kenaikansuhu udara, perubahan hujan, dan kenaikan salinitas air tanah untuk wilayahpertanian dekat pantai yang akan menurunkan produktivitas tanaman danperubahan panjang musim yang mengubah pola tan am dan indeks penanaman;(2) dampak yang bersifat discontinue seperti meningkatnya gagal panen akibatmeningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrem (banjir, kekeringan,angin kencang, dan lain-lain) dan munculnya serangan atau ledakan hamapenyakit tanaman; dan (3) dampak yang bersifat permanen berupa berkurangnyaluas kawasan pertanian di kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut (Boer etal., 2011).

3.2. CADANGAN KARBON

Berbagai informasi mengemukakan bahwa gambut di seluruh duniamenyimpan antara 192--450 Gt C (Post et al., 1982) atau 15~35% dari seluruhkarbon yang ada di daratan. Lahan gambut tropika yang luasnya 10-12% daritotal gambut dunia diperkirakan menyimpan 191 Gt C (Page dan Rieley, 1998)atau ~ total karbon yang tersimpan pada lahan gambut dunia. Oengan asumsibahwa rata-rata dengan ketebalan 5 m, lahan gambut tropika dapat menyimpansekitar 2.500 ton C/ha lebih besar hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata gambut pada umumnya yang hanya sebesar 1.200 ton C/ha (Oiemont et al.,1997).

Cadangan karbon pad a tanah gambuttersebarmulai dari lapisan permukaansampai lapisan dasar gambut (Agus dan Subiksa, 2008). Cadangan karbondalam tanah gambut bersifat labil, yakni sangat mudah teremisi jika terjadigangguan terhadap kondisi alaminya. Oleh karena itu, lahan gambut diperkirakanmerupakan salah satu sumber emisi terbesar di Indonesia (Hooijer et al., 2010;WWF, 2008), sehubungan dengan pesatnya perkembangan pemanfaatan gambutuntuk pertanian khususnya perkebunan.

Cadangan karbon dalam tanah gambut (below ground C-stock) bervariasitergantung proses pembentukan dan keadaan lingkungan. Page et al. (2002)menyatakan rata-rata kandungan C pada tanah gambut sekitar 60 kg C m' atauekuivalen dengan 600 t C ha' untuk setiap meter ketebalan gambut. Di daerahtropis cadangan C dalam tanah gambut bervariasi antara 250 t/ha untuk gambuttipis « 0,5 m) sampai lebih dari 5.000 ton/ha untuk gambut sangat dalam (> 10m). Untuk setiap satu meter kedalaman gambut tersimpan sekitar 300~700 ton C/ha (Agus et al., 20 I0; Wahyunto et al., 2003, 2004). Penelitian terbaru dari Aguset al. (20 II) menyatakan bahwa cadangan karbon pada gambut di Indonesiasekitar 27 Gt.

Selain ketebalan gambut, tingkat kematangan gambut juga berpengaruhterhadap cadangan karbon dalam suatu volume tertentu. Hasil penelitian Agus etat. (2010) di Kalimantan Barat menunjukkan rata-rata kerapatan karbon (carbondensity) gambut dengan tingkat kematangan saprik > 65 kg C m', sedangkan

Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan 17

Page 3: -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

rata-rata kerapatan karbon gambut dengan tingkat kematangan fibrik adalah < 40kg C m'.

Cadangan karbon di lahan gambutjuga tersimpan dalam biomassa tanaman(above ground C-stock). Nilai eadangan karbon dalam biomassa tanaman sangatbervariasi, tergantung pada keragaman dan kerapatan tanaman, kesuburantanah, kondisi iklim, ketinggian tempat dari permukaan laut, lamanya lahan

_. dimanfaatkan untuk penggunaan tertentu, serta eara pengelolaannya (Hairiahdan Rahayu, 2009). Umur tanaman juga sangat menentukan besarnya eadangankarbon dalam tanaman. Oleh karena itu, Tomich et al. (1998) menyarankan un-tuk menggunakan nilai rata-rata waktu (time average) untuk membandingkaneadangan karbon pada berbagai jenis penggunaan lahan. Apabila lahan gambutdikelola dengan tidak baik dapat menyebabkan emisi jutaan ton karbon ke udarayang berdampak pada pemanasan global, sekaligus menurunkan kelestariangambut.

Tanah gambut terdapat pada tipologi lahan pasang surut, lebak, danpada umumnya berada di landform dataran rawa belakang (back swamp). Padatanah gambut di lahan lebak dapat ditemui jenis tanah yang seluruh lapisannyamerupakan gambut utuh atau lapisan gambut berselang-seling dengan lapisantanah mineral. Hal tersebut dapat memengaruhi besaran eadangan karbon.Besaran eadangan karbon juga dipengaruhi oleh kesuburan tanah.

Hasil penelitian Nurzakiah et al. (2013) menunjukkan bahwa terdapathubungan yang signifikan antara eadangan karbon dengan ketebalan gambut,tingkat kematangan, dan kadar abu. Semakin tebal dan matang gambut, semakinbesar eadangan karbonnya. Cadangan karbon pada gambut saprik lebih tinggidibandingkan dengan hemik dan fibrik dengan rasio 1,75 : 1,5 : I (gambutpasang surut) dan 2,15 : 1,4 : 1 (gambut lebak/pedalaman). Cadangan karbonpada gambut pasang surut dengan hanya memperhitungkan ketebalan gambuttanpa sisipan tanah mineral masing-masing untuk (1) lahan karet rakyatlterlantarberkisar antara 5.016,49 ± 468,35 tlha (ketebalan gambut 439-625 em, sisipantanah mineral 50-350 em), (2) lahan karet dan nanas berkisar 3.989,54 ± 233,39tlha (ketebalan gambut 523-574 em, tanpa sisipan tanah mineral), dan (3)semak belukar berkisar 3.401,71 ± 336,82 tlha (ketebalan gambut 196--521 em,sisipan tanah mineral 250-350 em). Cadangan karbon pada gambut pedal aman(Iebak) dengan hanya memperhitungkan ketebalan gambut tanpa sisipan tanahmineral masing-masirig untuk (I) lahan padi berkisar antara 929,61 ± 185,18 tlha(ketebalan gambut 72-481 em, sisipan tanah mineral 17-19 em); (2) lahan karetberkisar antara 2.021,56 ± 133,59 tlha (ketebalan gambut 287-465 em, sisipantanah mineral 3-24 em); dan (3) gambut alami berkisar antara 1.631,0 I ± 91,62 t/ha (ketebalan gambut 280-323 em, sisipan tanah mineral II em).

3.3. DEGRADASI LAHAN GAMBUT

Lahan gambut terdegradasi adalah kawasan-kawasan budi daya atau hutanyang telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi serta

18 Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan

Page 4: -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

mengandung cadangan karbon dan tingkat keanekaragaman hayati yang rendahsehingga pada akhimya membahayakan fungsi hidrologis, ekologis, produksi,pemukiman, dan kehidupan sosial-ekonorni masyarakat. Degradasi lahan gambutdapat terjadi akibat kesalahan pembukaan lahan, pembuatan saluran drainaseserta pengelolaan lahan. Selain itu, degradasijuga bisa disebabkan oleh terjadinyakebakaran atau pembakaran lahan gambut. Kebakaran lahan berdampak terhadaplingkungan dan biofisik lahan, yaitu pelepasan asap, CO2, peningkatan suhutanah dan udara, dan kerusakan habitat flora dan fauna.

Pembukaan lahan dan drainase lahan gambut memberikan dampakterhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Akibat ketidakhati-hatian dalampembukaan dan pengelolaan lahan gambut akan membawa dampak terhadapkarakteristik alami gambut. Pembukaan lahan dengan pembuatan saluran drainasemenyebabkan muka air tanah menurun sehingga lapisan atas gambut kondisinyaberubah menjadi aerobik. Perubahan kondisi ini meningkatkan aktivitasmikroorganisme yang terlibat dalam proses dekomposisi gambut. Dekomposisibahan gambut sangat cepat pada awal pembukaan lahan, tetapi semakin lamaakan semakin menurun karena pH yang semakin masam dan semakin resistannyabahan gambut yang tersisa. Karakteristik lahan gambut terdegradasi dicirikan olehsalah satu atau beberapa sifat berikut, yaitu menurunnya kemampuan memegangair, karbon organik total (TOC), dan N-total (Anshari, 2010).

3.3.1. Hidrofobik

Kemampuan memegang air sering dihubungkan dengan sifat hidrofilikdan hidrofobik. Sifat hidrofobik pada tanah gambut dapat disebabkan olehterbentuknya selimut (coating) kedap air, berkurangnya gugus hidrofilik, danlatau meningkatnya gugus hidrofobik. Hidrofobisitas berpengaruh terhadapkemampuan bahan humat dalam mengabsorpsi kation-kation. Kondisi hidrofobikberkaitan dengan berkurangnya ketersediaan gugus karboksilat dan fenolat yangbersifat hidrofilik (Utami et al., 2009a).

Gambar 2. Kondisi gambut hidrofobik akibat kebakaran lahan

Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan 19

Page 5: -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

Tabel3. Karakteristik fisik gambut hidrofilik dan hidrofobik

No. Sifat Fisika Saprik Fibrik FibrikHidrofilik Hidrofilik·, Hidrofobik

l. Kadar lengas (% v) 370,80 510,70 53,40

2. Berat volume (g.cm' ) 0,30 0,13 0,18'. -

3. Berat jenis (g ..cm' ) 1,57 1,07 1,19

4. Ruang pori total (%) 83,00 88,00 85,00

5. Wama dalam Na-pirofosfat Cokelat gelap Cokelat terangskala 10YR 2/2 5/2

Sumber: Supriyo dan Maas (2005)

Kondisi hidrofobik pada gambut terdegradasi sering kali akibat "over-drained' dicirikan dengan perubahan sifat fisik antara lain menurunnya kandunganlengas tanah lapangan dari 370,80 menjadi 53,4 (% volume) dan meningkatnyaberat volume dan ruang pori total (Supriyo dan Maas, 2005). Selain itu, jugadisebabkan oleh kandungan asam humat dan daya hantar listrik yang lebih tinggidaripada gambut hidrofilik, sedangkan pH (HP), kapasitas pertukaran kation,kemasaman total,jumlah gugus COOH, gugus OH, dan kandungan bahan organiklebih rendah daripada gambut hidrofilik (Utami et al., 2009b).

3.3.2. Sub sid en

Penurunan permukaan gambut (subsidence) terjadi akibat reklamasi(pembukaan) dan drainase lahan gambut. Subsiden dapatterjadi akibat proses fisikdan kimia pada tanah gambut. Penyusutan gambut dapat terjadi akibat kehilanganair dan diikuti oleh masuknya udara ke dalam tanah. Kehilangan air dari massagambut menyebabkan kematangan gambut secara fisik (physical ripening)sehingga terjadi penyusutan gambut, sedangkan masuknya oksigen dalam tanahgambut dapat meningkatkan proses dekomposisi (chemical ripening).

Drainase gambut yang berlebihan dapat menyebabkan subsiden dan kondisitanah menjadi lebih oksidatif. Menurut Sarwani (2003), hampir 50% lahangambut di Delta Pulau Petak, hilang atau susut dalam rentang 30 tahun (1960-1990). Gambut yang berada di atas lapisan bahan sulfidik bersifat protectivesponge agar lapisan tersebut tetap dalam kondisi anaerob (Page et al., 2009).Hilangnya lapisan gambut dapat meningkatkan kemasaman tanah, aluminiumdapat dipertukarkan, dan pencucian basa-basa (Marttila, 2010; Fahmi, 2012).

20 PengeJoJaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan

Page 6: -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

Gambar 3. Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) selama 6 tahun di Jabiren, KalimantanTengah (Dok. S. Raihan, 2014)

Kedalaman muka air tanah merupakan faktor utama penentu keeepatansubsiden karena sangat memengaruhi dekomposisi gambut. Faktor lain yangikut memengaruhi adalah penggunaan alat-alat berat dan pemupukan. Prosessubsiden berIangsung eepat (meneapai 20-50 em/tahun) pada awal dibangunnyasaluran drainase (WeIch dan Nor, 1989), terutama disebabkan oleh besamyakomponen konsolidasi dan pengerutan, tetapi dengan berjalannya waktu, subsidenmengalami kestabilan.

Penurunan permukaan gambutjuga menyebabkan menurunnyakemampuangambut menahan air. Apabila kubah gambut sudah mengalami peneiutan setebalsatu meter, lahan gambut terse but akan kehilangan kemampuannya dalammenyangga air sampai 90 em atau ekuivalen dengan 9.000 mvha. Dengan katalain, lahan di sekitamya akan menerima 9.000 m'' air lebih banyak bila terjadihujan deras. Sebaliknya, karena sedikitnya eadangan air yang tersimpan selamamusim hujan, eadangan air yang dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadilebih sedikit dan daerah sekitamya akan rentan kekeringan pada musim kemarau.

3.3.3. Emisi Gas Rumah Kaca

Dalam kaitannya dengan lahan gambut, GRK yang menjadi sorotan adalahCO2, CH4, dan Np .. Gas CO2 dan CH4 merupakan produk dari dekomposisibahan organik oleh mikroba pendekomposisi dan mikroba metanogen di gambutmasing-rnasing pada kondisi kering (aerob) dan tergenang (anaerob). Potensialredoks tanah (Eh) merupakan faktor penting yang mengontrol pembentukan CH4.

Pengeringan lahan setelah penggenangan yang terus-rnenerus akan menyanggapenurunan potensial red oks karena peningkatan difusi oksigen sehingga padaakhimya dapat menghambat.pembentukan CH4 di rizosfer tanah.

Emisi Np dihasilkan dari denitrifikasi N03- menjadi Np dan/atau N2yang dipengaruhi oleh kelembapan tanah, suhu, ruang pori yang terisi air, dankonsentrasi N mineral serta nilai Eh (Melling et al., 2007). Menurut Nykanen

Penge/o/aan Lahan Gambut untuk Pertanian Berke/anjutan 21

Page 7: -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

(2003), emisi Np pada lahan gambut alami tergolong rendah « 4 mg Np/m2/th)karena ketersediaan nitrit rendah. Pada sistem pertanian di lahan gambut denganmasukan pupuk N (urea, pupuk kandang) tinggi akan meningkatkan mineralisasinitrogen yang menghasilkan nitrat dan Np. Berdasarkan 'pengukuran Inubushiet at. (2003), emisi pada lahan pertanian di gambut untuk Np antara 0,5-3,7g/mvth.

Emisi -C02

dari lahan gambut disebabkan oleh oksidasi setelah sistemlahan gambut didrainase, yang diikuti oleh terjadinya pemadatan dan subsidenpermukaan gambut (Gambar 4). Pendugaan emisi akibat drainase dilaporkan olehHooijer et at. (2006) dalam IFCA (2007), yaitu emisi CO2 berkisa~ antara 355 dan874 juta tonltahun atau rata-rata 632 juta tonltahun untuk Asia Tenggara.

Evaporranspirasi

Emisi CO2 Penguapan

::t-:::..

~ ApiApi

Subsiden =Oksidasi +Pemadatan = Subsiden

Tabel air •.. _.... _....

-.-..... --.~ Kanal drainase------ ------

Gambar 4. Sumber emisi CO2 pada lahan gambut akibat drainase yang mengakibatkan oksidasipemadatan gambut yang mengakibatkan subsidensi serta kebakaran

Sumber: Wibowo, 2009

3.4. KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang paling rawankebakaran. Walaupun berada di lingkungan raw a, tetapi bila kekeringan akanmudah terbakar. Bahan bakar potensial di areal hutan gambut adalah lahangambut dengan kedalaman bervariasi serta tumbuhan bawah yang biasanyapertama kali memicu terjadinya kebakaran permukaan. Makin tebal lahangambut makin rawan terbakar dan rawan deforestasi (Gambar 5). Pada musimkemarau panjang, seluruh bahan bakar di lahan gambut menjadi kering danmudah terbakar. Kebakaran yang terjadi sulit dipadamkan karena sifatnya adalahkebakaran bawah (ground fire) yang terjadi di bawah permukaan tanah. Pada

22 Penge/o/aan Lahan Gambut untuk Pertanian Berke/anjutan

Page 8: -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

kebakaran bawah, lokasi kebakaran suIit dideteksi karena api membakar bahanorganik dan merambat di bawah permukaan (Gambar 6).

lEGENDA UMUM

• Ibukolallf9n• lbukotljll"O'lill5i-~JIiIn

Sungalct.lnksungai_ Baltulatuanpm

B<AI.&-' P-"!:;;on danP~ganS.-.rd;oy.op...u.nian

-.... VETWAIIH~O

.ltllMiln SAMUDRA INDONESIA

Gambar S. Sebaran lahan gambut di Indonesia menurut ketebalan gambut, risiko terbakar, dantingkat deforestasi

Sumber: IFCA, 2007

Kebakaran lahan gambut berdampak pada perubahan sifat gambutombrogen dan lingkungan secara luas. Perubahan sifat tersebut meliputi beberapasifat fisika, kimia, dan biologi gambut, serta proses biogeokimia penting dalamekosistem lahan gambut. Sifat fisika gambut mengalami perubahan yang dapatmenurunkan fungsi gambut sebagai media tumbuh maupun sebagai tandon air.Dampak kebakaran hut an dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya kabutasap yang sangat mengganggu kesehatan masyarakat dan sistem transportasisungai, darat, laut, dan udara, meningkatnya emisi GRK dan pemanasan global.Secara sektoral, dampak kebakaran ini mencakup sektor perhubungan, kesehatan,ekonomi, ekologi, dan sosial, termasuk citra bangsa di mata negara tetangga dandunia (Hermawan, 2006).

Lahan gambut menjadi penyumbang paling besar dalam dampakkebakaran lahan karena tingginya kandungan karbon dan besamya jumlahkarbon yang dilepas pada saat terjadinya kebakaran. Dampak kebakaran gambutdalam hubungannya dengan emisi GRK bervariasi menurut intensitas kebakaran.Hatano (2004) memperkirakan kedalaman gambut yang terbakar sewaktupembukaan hutan sedalam 15 em, apabila kandungan karbon gambut rata-rata50 kg/m ' (antara 30-60 kg/rn"), maka dengan terbakamya 15 em lapisan gambutakan dihasilkan ernisi sebanyak 75 t C/ha atau ekuivalen dengan 275 t CO/ha.Kebakaran lahan gambut yang terjadi pada tahun 1997/1998 seluas 2,12 juta haditaksir menimbulkan emisi gas rumah kaca setara 0,6-4,2 juta ton C atau 2-16juta ton CO2 (Tacconi, 2003) sehingga Indonesia dikatakan sebagai penyumbang

Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan 23

Page 9: -,~PERUBAHAN'IKLIM DAN DEGRADASI LAHAN GAMBUT

gas rumah kaca ketiga di dunia.

Gambar 6. Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Riau (Ook. Limin es al., 2007dan Balittra, 2011)

Dampak kebakaran terhadap produksi di sektor pertanian diduga tidakterlalu besar karena pembakaran dilakukan untuk penyiapan/pembersihan lahan,bukan untuk perluasan areal tanam, kecuali jika kebakaran menjalar secaratidak terkendali. Beberapa kasus telah menunjukkan bahwa kebakaran lahangambut banyak dipicu oleh pembukaan lahan yang dilakukan oleh pengusahaperkebunan. Penegakan hukum secara adil perlu diterapkan kepada semuapihak pelaku kebakaran lahan. Salah satu cara membuktikan bahwa pengusahaperkebunan termasuk sebagai pelaku pembakaran hutan dapat dilakukan denganmembandingkan spektrum kebakaran tahun sebelumnya dengan perkembanganluas tanaman perkebunan pada tahun berikutnya. Sebagai ilustrasi, dari tahun 2003sampai 2005, luas perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat meningkat sebesar20.636 ha atau rata-rata 10.500 ha per tahun yang terdiri dari tanaman karet, kelapadalam, kelapa hibrida, kelapa sawit, kakao, lada, kopi, dan aneka tanaman. Di sisilain, perkembangan produksi menunjukkan kenaikan yang cukup berarti sebesar16,56 persen atau 263.000 ton. Peningkatan produksi tersebut bukan disebabkanoleh pertambahan luas areal tahun sebelumnya, tetapi lebih disebabkan olehpenggunaan teknologi pertanian dan pertambahan luas areal beberapa tahun lalu(sekitar 3 sampai 4 tahun). Peningkatan luas areal tanam yang paling dominanterjadi pad a tanaman karet (14.000 ha selama kurun waktu tersebut atau rata-ratameningkat 7.000 ha per tahun) dan komoditas kelapa sawit (32.000 ha dalamkurun waktu yang sarna atau rata-rata 16.200 ha per tahun). Ini berarti bahwauntuk komoditas karet dan kelapa sawit saja kegiatan penyiapan lahan dilakukanpada luasan rata-rata 23.000 ha per tahun. Sangat besar kemungkinan bahwapenyiapan lahannya dilakukan dengan membakar semak belukar (Pasaribu danFriyatno, 2010).

24 Pengefofaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkefanjutan