Perubahan Struktur dan Peningkatan Digestibilitas Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh Pleurotus...

download Perubahan Struktur dan Peningkatan Digestibilitas Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh Pleurotus floridanus dan Asam Fosfat – Bab 2

of 44

description

Perubahan Struktur dan Peningkatan Digestibilitas Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh Pleurotus floridanus dan Asam Fosfat – DisertasiPerubahan Struktur dan Peningkatan Digestibilitas Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh Pleurotus floridanus dan Asam FosfatIsroi08/275457/SMU/00353Universitas Gadjah MadaProgram Studi Bioteknologi2013Kombinasi pretreatment biologi dengan jamur pelapuk putih dan asam fosfat. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) memiliki digestibilitas yang sangat rendah. Digestibiitas TKKS bisa ditingkatkan melalui pretreatment biologi dan dikombinasikan dengan pretreatment asam fosfat. Pretreatment biologi bisa meningkatkan digestibilitas TKKS hingga 4 kali dibandingkan kontrol. Sedangkan kombinasi pretreatment biologi dan asam fosfat dapat meningkatkan digestibiitas TKKS hingga tujuh kali.http://isroi.wordpress.com

Transcript of Perubahan Struktur dan Peningkatan Digestibilitas Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh Pleurotus...

  • 7

    2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1.Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

    2.1.1. Ketersediaan TKKS

    Indonesia adalah negara produsen CPO (Crude Palm Oil) terbesar dan

    memiliki areal kelapa sawit terluas di dunia. Berdasarkan data dari FAO (Food and

    Agriculture Organization), produksi CPO Indonesia mencapai 19.76 juta ton,

    sedangkan produksi tandan buah segar (TBS) Indonesia mencapai 90 juta ton pada

    tahun 2010 (FAOSTAT 2012). Ekspansi lahan kelapa sawit di Indonesia juga

    mengalami peningkatan. Perkebunan kelapa sawit baru banyak dibuka di pulau

    Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Indonesia diperkirakan akan tetap menjadi

    produsen CPO terbesar melampaui negara-negara produsen CPO lainnya (Gambar 1).

    Gambar 1. Produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia dan Malaysia dari tahun

    1998-2010 (FAOSTAT 2012).

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

    Lu

    as

    Lah

    an

    Saw

    it (

    x 1

    000 0

    00 h

    a)

    Pro

    du

    ksi

    CP

    O (

    x1 0

    00 0

    00 t

    on

    )

    Tahun

    Luas Lahan Sawit IndonesiaLuas Lahan Sawit MalaysiaProduksi CPO IndonesiaProduksi CPO Malaysia

  • 8

    Kandungan minyak sawit kurang lebih 14-20% dari tandan buah segar (TBS).

    Ekstraksi minyak menyisakan sejumlah besar biomassa lignoselulosa, yaitu: serat

    (fiber), cangkang, dan TKKS. Pengolahan satu ton TBS dapat menghasilkan 140

    200 kg CPO, 600 700 kg limbah cair, 190 kg serat dan cangkang sawit, dan 230 kg

    (TKKS) (Gambar 2). Jumlah TKKS di Indonesia diperkirakan mencapai 20,7 juta ton

    pada tahun 2010 (FAOSTAT 2012). Sedangkan TKKS yang dihasilkan oleh sebuah

    PKS berkisar antara 200 600 ton/hari, tergantung pada kapasitas pabrik dan volume

    TBS yang diolah. Sebagian besar TKKS belum banyak dimanfaatkan, sebagian kecil

    lainnya dimanfaatkan untuk landfill, dibakar, ditebar untuk mulsa, atau diolah

    menjadi kompos.

    Gambar 2. Neraca massa pengolahan TBS menjadi CPO di pabrik kelapa sawit

    (dimodifikasi dari (Lacrosse 2004)).

  • 9

    2.1.2. Karakteristik Fisik TKKS

    Karakteristik fisik serat TKKS ditunjukkan pada Gambar 3. Serabut TKKS

    dihasilkan dengan mencacah TKKS utuh menjadi serabut-serabut. Karakteristik fisik

    serabut TKKS diperlihatkan pada Tabel 1. Panjang serabut TKKS pendek berkisar

    antara 10-30mm, sedangkan serabut panjang berkisar antara 100-300mm. Diameter

    serabut TKKS berkisar atara 0.12 0.78 mm (Hassan et al. 2010). Aspek ratio dari

    panjang dan diameter (L/D) serabut TKKS berkisar antara 83 952. Serabut TKKS

    tersusun dari serat-serat TKKS yang lebih halus.

    Gambar 3. Serabut Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS).

  • 10

    Tabel 1. Karakteristik fisik tandan kosong kelapa sawit (TKKS) (Law et al. 2007)

    Karakteristik TKKS Aspen Spruce

    Panjang serat1, mm 0.99 0.96 3.00

    Diameter serat (D) 1

    , m 19.1 20.8

    Ketebalan dinding sel (T) 1

    , m 3.38 1.93

    Kekasaran serat (fiber coarseness) 1

    , mg/m 1.37 1.01

    Kehalusan serat (Fines

  • 11

    kandungan butiran silika ini diketahui dapat meningkatkan penetrasi senyawa kimia

    ke dalam TKKS dalam proses pulping (Law et al. 2007).

    Gambar 4. Butiran silika (silica bodies) yang terdapat di permukaan serabut TKKS

    (kiri), sedangkan lapisan bagian dalam tidak terlihat adanya butiran

    silika (kanan) (Law et al. 2007).

    2.1.3. Karakteristik Kimia TKKS

    Karakteristik kimia TKKS diperlihatkan pada Tabel 2. Terdapat sedikit variasi

    kandungan bahan kimia yang dilaporkan oleh beberapa peneliti baik di Indonesia

    maupun Malaysia. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan contoh

    TKKS yang diambil dari varietas, umur tanaman, teknik budidaya, dan daerah iklim

    yang berbeda.

    TKKS terutama tersusun atas tiga komponen utama, yaitu: lignin, selulosa,

    dan hemiselulosa. Kandungan selulosa dan hemiselulosa dalam TKKS relatif lebih

    tinggi daripada kandungan dari biomassa lignoselulosa lain. Selulosa merupakan

    polimer glukosa yang tidak bercabang. Hemiselulosa merupakan polimer dari

    beberapa monomer gula, seperti: glukosa, arabinosa, xylosa, mannose, dan galaktosa.

  • 12

    Proporsi kandungan xylosa dalam hemiselulosa TKKS lebih tinggi daripada

    komponen gula lainnya. Kandungan lignin terdiri dari Acid Insoluble Lignin (AIL)

    dan Acid Soluble Lignin (ASL). ASL merupakan lignin yang memiliki bobot molekul

    rendah. Kandungan ASL di dalam TKKS lebih rendah daripada kandungan ASL.

    Tabel 2. Karakteristik kimia tandan kosong kelapa sawit (TKKS)

    Kandungan (% dari berat kering) (Law et al. 2007) (Isroi et al. 2013 )

    Ekstraktif 3.7+-0.3

    Lignin larut asam 7.810.03

    Lignin tak larut asam 18.8+-0.3

    Lignin tak larut asam bebas abu 17.8+-0.2 26.560.14

    Abu 1.3+-0.2

    Larut air panas 7.5+-0.8

    Larut 1% NaOH 14.5+-2.7

    Holoselulosa 82.4+-1.4

    Selulosa 62.9+-2.0 39.132.26

    Hemiselulosa 28.0 23.042.79

    Arabinosa 2.5+-1.1

    Xylosa 33.1+-2.6

    Mannosa 1.3+-0.01

    Galaktosa 1.0+-0.0

    Glukosa 66.4+-3.7

    Silika (EDAX) 1.8 (atomic)

    Silika (Metode TAPPI) 0.9+-0.1

    Copper 0.8 +-0.7 g/g

    Calcium 2.8+-0.1 g/g

    Manganese 7.4+-0.4 g/g

    Iron 10.0 g/g

    Sodium 11.0+-0.4 g/g

    2.2. Biomassa Lignosellulosa

    Senyawa struktural utama biomassa tumbuhan berkayu adalah lignoselulosa

    yang komponen penyusun utamanya adalah lignin, selulosa, dan hemiselulosa.

  • 13

    Biomassa lignoselulosa ini juga merupakan penyusun limbah organik yang berasal

    dari limbah agroindustri, baik dari tanaman pangan, perkebunan, maupun tanaman

    industri.

    2.2.1. Lignin

    Kandungan lignin di dalam TKKS lebih mirip dengan kandungan lignin di

    dalam kayu keras (hardwood) (Law et al. 2007). Lignin adalah polimer tri-

    dimensional phenylphropanoid yang dihubungkan dengan beberapa ikatan antara

    karbon-karbon dan beberapa ikatan lain antara unit phenylprophane yang tidak

    mudah dihirolisis (Higuchi 2004). Di alam lignin ditemukan sebagai bagian integral

    dari dinding sel tanaman, terbenam di dalam matrik polimer dari selulosa dan

    hemiselulosa. Lignin tersusun dari unit phenylpropene: unit guaiacyl (G) dari

    prekusor trans-coniferyl-alcohol, syringyl (S) unit dari trans-sihapyl-alcohol, dan p-

    hydroxyphenyl (H) unit dari prekursor trans-p-coumaryl alcohol. Komposisi lignin di

    alam sangat bervariasi tergantung pada spesies tanaman. Lignin dikelompokkan

    menjadi dua kelompok utama, yaitu: guaiacyl lignin dan guaiacyl-syringyl lignin

    (Wong 2009). Guaiacyl lignin adalah produk polimerisasi yang didominasi oleh

    coniferyl alcohol, sedangkan guaiacyl-syringlyl lignin tersusun atas beberapa bagian

    dari inti aromatic guaiacyl dan syringyl, bersama dengan sejumlah kecil unit p-

    hydroxyphenyl. Kayu lunak terutama tersusun atas unit guaiacyl, sedangkan kayu

    keras tersusun atas unit syringyl. Kayu lunak diketahui lebih resisten untuk

    didelignifikasi dengan ekstraksi basa daripada kayu keras (Ramos et al. 1992). Hal ini

  • 14

    menimbulkan dugaan bahwa guaiacyl lignin membatasi pemekaran (swelling) serat

    dan dengan demikian menghalangi serangan enzim pada unit syringyl lignin. Struktur

    yang lebih resisten dari guaiacyl lignin juga telah diobservasi di dalam penelitian

    degradasi dari lignin sintetis oleh Phanerochaeta chrysosporium (Faix O. et al. 1995).

    Hasil beberapa penelitian lignin menunjukkan bahwa ada beberapa macam

    struktur lignin (Novikora et al. 2002). Lignin terdiri dari daerah amorphous dan

    bentuk-bentuk teratur seperti partikel tabung dan globula. Ada indikasi bahwa

    struktur kimia dan struktur tri-dimensional lignin sangat dipengaruhi oleh matrik

    polisakarida. Lignin memiliki karakteristik hidrofobik. Simulasi dinamik

    menunjukkan bahwa gugus hydroxyl dan methoxyl di dalam prekusor lignin dan

    oligomer lignin mungkin berinteraksi dengan mikrofibril selulosa.

    Tipe ikatan utama lignin di dalam kayu spruce adalah ikatan (linkage) ether,

    dan ikatan arylglycerol- -aryl ether adalah tipe ikatan yang utama. Sebagai

    tambahan, unit phenylpropene diikat oleh ikatan karbon-karbon (Sjstrm 1981).

    Gugus fungsional yang mempengaruhi reaktifitas lignin meliputi gugus phenolic

    hydroxyl bebas, methoxyl, benzylic hydroxyl, benzyl alcohol, noncyclic benzyl ether

    dan carbonyl. Guaiacyl lignin mengandung gugus phenolic hydroxyl daripada

    syringyl. Skema struktur dari lignin kayu lunak, termasuk struktur baru

    dibenzodiaxocin diperlihatkan pada Gambar 5.

  • 15

    Gambar 5. Struktur lignin kayu lunak (Brunov, 1998).

    Struktur kimia lignin dapat mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang

    tinggi dan asam, seperti pada pretreatment dengan uap panas. Lignin terpecah

    menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa pada reaksi temperatur

    tinggi di atas 200oC (Tanahashi et al. 1983). Penelitian pada lignin kayu keras

    menunjukkan bahwa ikatan -O-4 aryl ether terpecah pada saat perlakuan steam-

    explotion yang menyebabkan penurunan bobot molekul dan meningkatkan

    kandungan phenolic (Marchessault et al. 1981).

    2.2.2. Selulosa

    Selulosa adalah komponen utama yang mencapai 39,13% dari bobot kering

  • 16

    TKKS (Isroi et al. 2013 ). Selulosa sangat erat berasosiasi dengan hemiselulosa dan

    lignin. Isolasi selulosa membutuhkan perlakuan kimia yang intensif (Aziz et al.

    2002). Selulosa terdiri dari unit monomer D-glukosa yang terikat melalui ikatan -1-

    4-glikosidik. Residu glukosa tersusun dengan posisi 180o antara satu dengan yang

    lain, dan selanjutnya pengulangan unit dari rantai selulosa membantuk unit selobiosa

    (Gambar 6). Derajat polimerasi (DP) selulosa bervariasi antara 7000 15000 unit

    glukosa, tergantung pada bahan asalnya.

    (A)

    (B)

    Gambar 6. Skema molekul selulosa (A)

    (http://www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html) dan

    model molekul selulosa (B) (http://www.lsbu.ac.uk/water/hycel.html).

    Gugus fungsional dari rantai selulosa adalah gugus hydroxyl ( OH). Gugus

    OH ini dapat berinteraksi satu sama lain dengan gugus O, N, dan S, membentuk

  • 17

    ikatan hydrogen. Ikatan H juga terjadi antara gugus OH selulosa dengan air.

    Gugus-OH selulosa menyebabkan permukaan selulosa menjadi hidrofilik. Rantai

    selulosa memiliki gugus-H di kedua ujungnya. Ujung C1 memiliki sifat pereduksi.

    Struktur rantai selulosa distabilkan oleh ikatan hydrogen yang kuat disepanjang

    rantai. Setiap rantai selulosa saling terikat dengan ikatan hydrogen dan bersama-sama

    membentuk mikrofibril yang sangat terkristal (highly crystalline) (Gambar 7).

    Selulosa alam mengandung area amorphous yang lebih sedikit dibandingkan area

    terkristal, terutama di wilayah yang sangat terkristal. Sebuah kristal selulosa

    mengandung sepuluh rantai glukan dengan orientasi pararel. Tujuh kristal

    polymorphs selulosa telah diidentifikasi, yang dikodekan dengan I, I , II, IIII,IIIII, IVI

    dan IVII (O'Sullivan 1997). Kristal selulosa jenis I dan I ditemukan melimpah di

    alam dibandingkan selulosa lain (Attala and Vanderhart 1984).

    Gambar 7. Usulan pola ikatan hydrogen dalam selulosa I dan II (Kolpak &

    Badwell, 1976).

  • 18

    2.2.3. Hemiselulosa

    Hemiselulosa umumnya dikelompokkan berdasarkan residu gula utama yang

    menyususun rangkanya, seperti: xylan, mannan, galactan, dan glucan, dengan xylan

    dan mannan adalah gugus utama dari hemiselulosa (Gambar 8). Hemiselulosa

    umumnya dilaporkan berasosiasi secara kimia atau terikat-silang dengan polisakarida,

    protein, atau lignin. Xylan kemungkinan sebagai wilayah ikatan utama antara lignin

    dan karbohidrat lain. Hemiselulosa lebih mudah larut daripada selulosa, dan dapat

    diisolasi dari kayu dengan cara ekstraksi. Rata-rata derajat polimerisasi (DP) dari

    hemiselulosa bervariasi antara 70 dan 200 tergantung pada jenis biomassa

    lignosellulosa (Palonen 2004).

    Gambar 8. Beberapa gula penyusun hemiselulosa (Hu et al. 2008)

    Hemiselulosa di dalam kayu keras dan tanaman semusim terutama tersusun

    atas xylan (15-30%), sedangkan hemiselulosa kayu lunak tersusun atas

    galaktoglukomannan (15 20%) dan xylan (7 10%). Xylan kayu keras terdiri atas

    unit -D-xylopyranosyl, yang mengandung asam 4-O-methyl--D-glucuronic dan

  • 19

    gugus samping acetil. Asam 4-O-methyl-- D-glucuronic diikat ke rangka xylan

    melalui ikatan O-(12) glycosidic dan asam asetik diesterifikasi pada gugus karbon

    2 dan/atau 3 hydroxyl. Rasio molar antara xylosa : asam glukoronat : residu acetil

    adalah antara 10:1:7. Xylan kayu lunak adalah arabino-4-O-methylglucuronoxylan,

    yang tidak terasetilasi, tetapi rangka xylan disubstitusi pada karbon 2 dan 3 secara

    berurutan dengan asam 4-O-methyl--D-glucuronic dan residu -L-arabinofuranosyl

    (Perezn et al., 2005). Galaktoglukomannan kayu lunak memiliki rangka ikatan--1-4

    unit -D-glucopyranosyl dan -D-mannopyranosyl, yang sebagian disubstitusi oleh

    -D-galactopyranosyl dan gugus asetil (O'Sullivan 1997). Terdapat dua macam

    galaktoglukomanan: fraksi larut air dan larut alkali, dengan rasio

    mannose:glukosa:galaktosa:residu asetil 3:1:1:0.24 untuk faksi larut air, dan

    3:1:0.1:0.24 untuk fraksi larut alkali (Palonen 2004).

    2.3. Pretreatment

    Pretreatment adalah perlakuan pendahuluan terhadap biomassa lignoselulosa

    sebelum diolah/dikonversi menjadi produk-produk turunannya. Pretreatment

    biomassa lignoselulosa adalah tahapan proses yang harus dilakukan pada biokonversi

    lignoselulosa untuk mendapatkan hasil yang tinggi dan sangat penting dalam

    pengembangan teknologi skala komersial (Mosier et al. 2005). Pretreatment

    merupakan tahapan yang banyak memakan biaya dan berpengaruh besar terhadap

    biaya keseluruhan proses. Sebagai contoh pretreatment yang baik dapat mengurangi

    jumlah enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis (Wyman et al. 2005).

  • 20

    Pretreatment juga dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang

    diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat

    meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck et al. 2005). Tujuan dari

    pretreatment adalah untuk mengubah struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi

    lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida menjadi

    monomer gula. Ringkasan berbagai teknik pretreatment ditampilkan pada Tabel 3.

    Tabel 3. Beberapa metode pretreatment biomassa lignoselulosa untuk produksi

    bioetanol

    Prinsip Proses/Metode Perubahan pada

    biomassa

    Referensi

    Pretreatment

    mekanik atau

    fisik

    Milling:

    - ball milling - two-rol milling - hammer milling - colloid milling - vibrotory ball

    milling

    Irradiation:

    - gamma-ray - electron beam - microwave Lainnya:

    - hydrothermal - uap bertekanan

    tinggi

    - expansi - extrusi - pirolisis - air panas

    - mengurangi ukuran partikel

    - meningkatkan luas permukaan

    yang kontak

    dengan enzim

    - mengurangi kristalisasi

    selulosa

    (Taherzadeh &

    Karimi, 2008)

    (Sun & Cheng,

    2002)

    (Zhu, et al.,, 2005)

    (Thomsen et al.,

    2008)

    (Ahring et al.,,

    1996)

    (Hendriks &

    Zeeman, 2009)

    (Eggeman &

    Elander, 2005)

    (Ohgren et al.,,

    2006)

    (Kabel et al.,,

    2007)

    Pretreatment Explosion: - meningkatkan (Sun & Cheng,

  • 21

    Prinsip Proses/Metode Perubahan pada

    biomassa

    Referensi

    kimia dan

    fisiko-kimia

    - eksplosi uap panas

    - ammonia fiber explotion

    (AFEX)

    - eksplosi CO2 - eksplosi SO2 Alkali:

    - sodium hidroksida

    - ammonia - ammonium sulfat - ammonia recycle

    percolation

    (ARP)

    - kapur (lime) Asam:

    - asam sulfat - asam fosfat - asam hidroklorat - asam parasetat Gas:

    - Clorin dioksida - Nitrogen

    dioksida

    - Sulfur dioksida Agen Oksidasi:

    - Hidrogen peroksida

    - oksidasi basah - Ozone Pelarut untuk

    ekstraksi lignin:

    - ekstrasi etanol-air

    - ekstrasi benzene-

    area pemukaan

    yang mudah

    diakses

    - delignifikasi sebagian atau

    hampir

    keseluruhan

    - menurunkan kristalisasi

    selulosa

    - menurunkan derajat

    polimerisasi

    - hidrolisis hemiselulosa

    sebagian atau

    keseluruhan

    2002)

    (Taherzadeh &

    Karimi, 2008)

    (Eggeman &

    Elander, 2005)

    (Eklund et al.,

    1995)

    (Negro et al.,

    2003)

    (Bower et al.,

    2008)

    (Cara et al., 2008)

    (Kim & Hong,

    2001)

    (Mosier, et al.,

    2005)

    (Saha & Cotta,

    2008)

    (Shimizu et al.,

    1998)

    (Sun & Chen,

    2008)

    (Sun & Chen,

    2008b)

    (Sun & Cheng,

    2005)

    (Zhang et al.,

    2008)

  • 22

    Prinsip Proses/Metode Perubahan pada

    biomassa

    Referensi

    air

    - ekstraksi etilen glikol

    - ekstraksi butanol-air

    - agen pemekar (swelling)

    (Kim & Lee, 2002)

    (Zhao et al., 2008)

    (Lloyd &

    Wayman, 2005)

    (Ahring et al.,

    1996)

    (Silverstein et al.,

    2007)

    Biologi - Jamur Pelapuk Putih

    - Aktinomicetes

    (Taniguchi et al.,

    2005)

    (Shi et al., 2008)

    (Keller et al.,

    2003)

    (Kirk & Chang,

    1981)

    Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik pretreatment telah dipelajari

    dan dikembangkan melalui pendekatan biologi, fisika, kimia. Pretreatment sebaiknya

    dapat memenuhi kebutuhan berikut ini: 1) meningkatkan pembentukan gula atau

    kemampuan menghasilkan gula pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik;

    2) menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat; 3) menghindari pembentukan

    produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi, 4) biaya

    yang dibutuhkan ekonomis (Sun and Cheng 2002). Teknik pretreatment yang telah

  • 23

    dikembangkan lebih banyak dilakukan secara mekanik atau fisiko-kimia.

    Perbandingan berbagai metode pretreatment telah diulas secara detail dalam beberapa

    referensi (Alvira et al. 2010, Hendriks and Zeeman 2009, Mosier et al. 2005,

    Taherzadeh Muhammand J. and Karimi 2008).

    Salah satu metode pretreatment kimia yang dilaporkan efisien dalam

    meningkatkan hidrolisis enzimatik biomassa lignoselulosa adalah pretreatment

    menggunakan asam fosfat (Nieves et al. 2011). Asam fosfat dengan konsentrasi tinggi

    (>81%) adalah pelarut selulosa yang ideal (Zhang Y-HP et al. 2006). Selulosa dapat

    terlarut dalam asam fosfat pada suhu rendah dan re-gerenasi selulosa tetap berada

    dalam bentuk amorphous. Asam fosfat juga telah lama dimanfaatkan untuk

    menghidrolisis selulosa kayu (Moore 1919). Penggunaan asam fosfat untuk

    pretreatment biomassa lignoselulosa memiliki beberapa keunggulan dibandingkan

    metode pretreatment menggunakan bahan kimia lain yaitu bahwa residu asam fosfat

    tidak memiliki efek inhibitor pada tahapan hidrolisis dan fermentasi. Pretreatment

    asam fosfat dilaporkan dapat meningkatkan 40% produksi biogas dari TKKS(Nieves

    et al. 2011).

    2.4. Pretreatment Biologi dengan Jamur Pelapuk Putih (JPP)

    Pemanfaatan jamur pelapuk putih (JPP) untuk pretreatment biomassa

    lignocellulosa sudah dimulai sejak akhir tahun 1970-an. Jamur Pelapuk Putih (JPP)

    merupakan kelompok mikroba yang paling banyak dimanfaatkan untuk pretreatment

    biomassa lignoselulosa (Sun and Cheng 2002). Beberapa spesies JPP yang telah

  • 24

    dimanfaatkan untuk pretreatment biologi disajikan dalam Tabel 4. JPP adalah satu-

    satunya mikroba yang dapat mendegradasi lignin secara sempurnya menjadi CO2. JPP

    menghasilkan enzim lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), versatile

    peroksidase (VP) dan lakase (Lac) yang berperan di dalam degradasi lignin (Hammel

    and Cullen 2008). Pretreatment biologi telah dimanfaatkan untuk hidrolisis enzimatik

    lignosellulosa sejak awal tahun 1980-an, namun tidak banyak laporan setelah itu.

    Selanjutnya pretreatment biologi diteliti secara intensif dan banyak dimanfaatkan

    untuk pakan ternak dan pembuatan pulp (biopulping). Beberapa tahun terakhir

    pemanfaatan JPP untuk pretreatment biologi kembali diteliti dan dilaporkan, seiring

    dengan maraknya penelitian biomassa lignosellulosa sebagai bahan baku produksi

    bioetanol.

    Tabel 4. Beberapa spesies jamur pelapuk putih (JPP) untuk perlakuan pendahuluan

    biologi biomassa lignoselulosa

    Jamur Pelapuk

    Putih

    Biomassa

    Lignoselulosa

    Kegunaan

    perlakuan

    pendahuluan

    Referensi

    Bjerkandera adusta Jerami gandum Pakan Ternak (Rodrigues et al.

    2008)

    Ceriporia lacerata kayu Bioetanol (Lee et al. 2007)

    Ceriporiopsis

    subvermisproa,

    Jerami padi

    Kayu

    Limbah pertanian

    bioetanol

    Biomekanikal

    pulping

    Biopulping

    (Taniguchi et al.

    2005)

    (Akhtar et al. 1998)

    (Yaghoubi et al.

    2008)

    (Mosai et al. 1999)

  • 25

    Jamur Pelapuk

    Putih

    Biomassa

    Lignoselulosa

    Kegunaan

    perlakuan

    pendahuluan

    Referensi

    Cyanthus

    stercoreus

    Corn stover bioetanol (Keller et al. 2003)

    Cyanthus

    stercoreus

    Jerami

    Daun-daunan

    Pakan ternak (Karunanandaa and

    Varga 1996)

    Fomes fomentarius Jerami gandum Pakan Ternak (Rodrigues et al.

    2008)

    Panus conchatus Jerami padi biopulping (Yu et al. 1994)

    Phanerochaete

    chrysosporium

    Batang kapas,

    Corn stover,

    Jerami padi,

    Pulp

    Daun-daunan

    bioetanol

    Biopulp

    Biobleaching

    Pakan ternak

    (Shi et al. 2008)

    (Keller et al. 2003)

    (Taniguchi et al.

    2005)

    (Chen Hongzhang et

    al. 2002)

    (Yang Qifeng et al.

    2007)

    (de Jong et al. 1997)

    (Karunanandaa and

    Varga 1996)

    Phellinus pini Kayu Pulp (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Phlebia tremellosus Bagase

    Kayu

    bioetanol

    Biopulping

    (Mes-Hartree et al.,

    1987)

    (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Phlebiopsis Kayu Pulp (Behrendt and

  • 26

    Jamur Pelapuk

    Putih

    Biomassa

    Lignoselulosa

    Kegunaan

    perlakuan

    pendahuluan

    Referensi

    gigantea Blanchette 1997)

    Plebia tremellosus Kayu Pulp (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Pleorotus ostreatus Jerami padi

    Jerami gandum

    bioetanol

    Biogas

    (Taniguchi et al.

    2005)

    (Muller and Trosch

    1986)

    Pleurotus sajorcaju Jerami

    Daun-daunan

    Pakan ternak (Karunanandaa and

    Varga 1996)

    Polyporus brumalis kayu bioetanol (Lee et al. 2007)

    Poria medullpanis Kayu Pulp (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Scytinostroma

    galactinum

    Kayu Pulp (Blanchette R.A.

    and Burnes 1988)

    Stereum hirsutum kayu bioetanol (Lee et al. 2007)

    Trametes hirsute pulp Biopulp (Yang Qifeng et al.

    2007)

    Tremetes versicolor Jerami padi

    Jerami gandum

    bioetanol

    Pakan Ternak

    (Taniguchi et al.

    2005)

    (Rodrigues et al.

    2008)

    Pretreatment biologi biomassa lignoselulosa memiliki beberapa keunggulan

    dibandingkan dengan pretreatment fisik/mekanik, kimia, atau fisiko-kimia, yaitu: a)

    lebih spesifik terhadap substrat maupun reaksinya, 2) membutuhkan energi yang lebih

  • 27

    rendah, 3) hasil yang lebih tinggi terhadap produk yang diinginkan, 4) peluang

    transformasi yang tidak bisa dilakukan oleh reagen kimia (Kirk T.Kent and Chang

    1981). Salah satu kelemahan pretreatment biologi adalah waktu yang dibutuhkan

    lebih lama, hingga beberapa minggu (Taniguchi et al. 2005), sedangkan pretreatment

    fisik/kimia hanya beberapa menit atau jam saja (Taherzadeh Muhammand J. and

    Karimi 2008). Pengaruh pretreatment biologi pada perubahan biomassa lignoselulosa

    antara lain adalah: penurunan kandungan lignin, penurunan derajat polimerisasi

    selulosa, dan penurunan derajat kristalisasi selulosa. Pretreatment biomassa

    lignoselulosa secara biologi kurang mendapatkan perhatian, khususnya untuk

    produksi bioetanol dibandingkan dengan pretreatment secara fisika/mekanik, kimia

    atau fisiko-kimia (Hendriks and Zeeman 2009).

    Hatakka (1983) mempelajari pretreatment jerami gandum (wheat straw) oleh

    19 JPP dan menemukan bahwa 35% jerami diubah menjadi gula pereduksi oleh

    Pleurotus ostreatus dalam lima minggu. Hasil yang sama diperoleh pada pretreatment

    dengan Phanerochaete sordida 37 dan Pycnoporus cinnaboarinus 115 dalam waktu

    empat minggu. Taniguchi et al. (2005) mengevaluasi pretreatment biologi jerami padi

    dengan empat spesies JPP (Phanerochaeta chrysosporium, Tremetes versicolor,

    Ceriporiopsis subvermispro, dan Pleorotus ostreatus) untuk hidrolisis enzimatik.

    Pretreatment dengan Pleorotus ostreatus lebih banyak mendegradasi lignin daripada

    komponen holoselulosa, dan meningkatkan hasil hidrolisis enzimatik.

    Di Korea Lee et al. (2007) melakukan pretreatment biologi terhadap kayu

    dengan tiga jenis JPP, yaitu: Ceriporia lacerata, Stereum hirsutum, dan Polyporus

  • 28

    brumalis, selama delapan minggu. Perlakuan kayu dengan S. hirsutum dapat

    meningkatkan hasil gula hingga 21,01% daripada kayu yang tidak mendapat

    pretreatment. Shi et al. (2008) memperlakukan sisa batang kapas (cotton stalk)

    dengan P. chysosporium. Fermentasi kultur padat batang kapas dengan kandungan air

    75% tanpa penambahan garam mineral selama 14 hari dapat menurunkan kandungan

    lignin hingga 27,6%, sisa padatan yang diperoleh sebanyak 71,1%, 41,6%

    karbohidrat tersedia.

    Ceriporiopsis subvermispora banyak dimanfaatkan untuk pembuatan pulp.

    Akhtar et al. (1992) memanfaatkan C subvermispora untuk membuat biomekanikal

    pulping. Perlakuan chip kayu dengan C. subvermispora selama 4 minggu dapat

    menurunkan sebesar 47% energi yang diperlukan untuk pembuatan pulp dan

    menurunkan 30% ekstrak resin dibandingkan dengan kontrol. Enam isolat JPP

    (Coriolus versicolor, Dichomitus squalens, Phellinus pini, Phlebia tremellosus, Poria

    medulla-panis, dan Scytinostroma galactinum) diuji untuk pembuatan biopulp.

    Penelitian tersebut menemukan bahwa jenis JPP dan tipe kayu sangat berpengaruh

    terhadap degradasi lignin dan selektivitas penghilangan lignin (Blanchette & Burnes,

    1988). Ditemukan pula variasi aktivitas enzim lignolitik dari strain JPP dari spesies

    yang sama. Mosai et al. (1999) memanfaatkan C. subvermispora untuk pembuatan

    biosulfite pulp. Inkubasi chip kayu selama 5 hari mengahasilkan: 5% penurunan

    kappa number, 11% peningkatan kecerahan (brightness) tanpa penurunan rendemen

    pulp. Chen et al. (2002) memanfaatkan P. chrysosporium untuk pembuatan biopulp

    dari jerami yang telah diperlakukan dengan uap panas (steam-exploded). Kandungan

  • 29

    lignin berkurang hingga 60% pada hari ke-5 inkubasi dengan P. chrysosporium dan

    jerami langsung dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pulp. Yaghoubi et al. (2008)

    menemukan bahwa pretreatment jerami dengan C. subvermispora dalam pembuatan

    biochemical pulp memberikan kualitas pulp yang sangat baik, terutama pada daya

    tarik (tensile strength) dan burst factor.

    Pretreatment biologi biomassa dengan JPP juga dimanfaatkan untuk produksi

    biogas maupun pembuatan pakan ternak. Muller & Trosch (1986) menyeleksi 32

    spesies JPP untuk pretreatment jerami gandum dalam produksi biogas. Perlakuan

    jerami dengan Pleurotus ostreatus memberikan penurunan lignin tercepat. Produksi

    biogas dari jerami yang telah diperlakukan dengan JPP lebih besar dua kali

    dibandingkan dengan jerami yang tidak diperlakukan. Karunanandaa & Varga (1996)

    memperlakukan jerami dengan 4 JPP (Cyuthus stercoreus (Cd), Phanerochaete

    chrysosporium (PC) and Pleurotus sajorcaju) yang dimanfaatkan untuk pakan ternak.

    Perlakuan jerami denga JPP secara signifikan meningkatkan uji pencernaan in vitro

    melalui peningkatan ketersediaan selulosa untuk pencernaan mikroba rumen.

    Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor, mengembangkan teknologi

    pengomposan TKKS dengan mamanfaatkan JPP. Beberapa isolat JPP telah berhasil

    diisolasi dan isolat yang diketahui memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi

    TKKS adalah Polyota sp dan Agraily sp. Kedua JPP tersebut yang dikombinasikan

    dengan beberapa Trichoderma sp telah dimanfaatkan sebagai bahan aktif aktivator

    pengomposan TKKS. Pengomposan TKKS telah berhasil dilakukan dengan kapasitas

    200 ton TKKS per hari (Siswanto et al. 2008).

  • 30

    2.5. Jamur Pelapuk Putih (JPP)

    Jamur yang terlibat dalam biodegradasi biomassa lignoselulosa dapat dibagi

    menjadi tiga kelompok utama, yaitu: jamur pelapuk putih (white-rot fungi), jamur

    pelapuk coklat (brown-rot fungi), dan jamur pelapuk lunak (soft-rot fungi), tergantung

    dengan tipe pelapukan yang disebabkan oleh jamur tersebut. Jamur pelapuk putih

    (JPP) dan jamur pelapuk coklat (JPC) termasuk di dalam kelompok basidiomycetes,

    sedangkan jamur pelapuk lunak (JPL) termasuk di dalam kelompok ascomycetes, dan

    aktivitasnya seringkali terkait dengan tinggi rendahnya kelembaban kayu (Blanchette

    R.A 1995). JPC lebih mendegradasi poliskarida di dalam biomassa lignoselulosa dan

    hanya sedikit melarutkan lignin. JPP adalah mikroba yang paling efisien dalam

    mendegradasi lignin menjadi CO2 (Hammel and Cullen 2008). Ligninolitik

    berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler pendegradasi lignin yang

    dihasilkan oleh JPP.

    2.5.1. Degradasi Biomassa Lignoselulosa oleh Jamur Pelapuk Putih (JPP)

    2.5.1.1. Enzim Ligninolitik dan Degradasi Lignin

    JPP menghadapi tiga tantangan utama untuk mendegradasi lignin. Pertama,

    polimer lignin berukuran besar oleh karena itu sistem ligninolitik harus ekstraseluler.

    Kedua, struktur lignin tidak memiliki ikatan yang dapat dihidrolisis, oleh karena itu

    mekanisme degradasi harus oksidatif bukan hidrolisis. Ketiga, karena struktur

    polimer yang stereoirreguler, enzim ligninolitik harus kurang sepesifik daripada

    enzim-enzim lainnya (Kirk T. Kent and Cullen 1998). Perombakan lignin oleh JPP

  • 31

    melibatkan aktivitas ligninolitik enzim yang diringkaskan pada Tabel 5.

    Tabel 5. Enzim dan reaksinya yang terlibat di dalam degradasi lignin (Hatakka

    Annele 2001)

    Aktivitas enzim,

    singkatan

    Kofaktor atau

    substrat, Mediator Pengaruh utama atau reaksi

    Lignin peroksidase, LiP H2O2, veratryl

    alkohol

    Oksidasi cincin aromatic

    menjadi radikal kation

    Mangan peroksidase,

    MnP

    H2O2, Mn, asam

    organik sebagai agen

    pengkelat, thiol,

    lemak tak larut

    Okisasi Mn(II) menjadi

    Mn(III), mengkelat senyawa

    phenolik Mn(III) teroksidasi

    menjadi radikal phenolik;

    reaksi lain di dalam kehadiran

    senyawa lain

    Lakase, Lacc O2, mediator,

    misalnya:

    hydroxybenzotiazole

    atau ABTS

    Phenol dioksidasi menjadi

    radikal phenolik; reaksi lain di

    dalam kehadiran mediator

    Glyoxal oxidase, GLOX Glyoxal, methyl

    glyoxal

    Glyoxal dioksidasi menjadi

    asam glyoxylic; produksi H2O2

    Aryl alcohol oksidase,

    AAO

    Aromatic alcohol

    (anisyl, veratyl

    alcohol)

    Alcohol aromatic diokisasi

    menjadi aldehida; produksi

    H2O2

    Enzym lain yang

    memproduksi H2O2

    Beberapa senyawa

    organik

    O2 direduksi menjadi H2O2

    Enzim ekstraseluler utama yang terlibat dalam perombakan lignin adalah

    lignin peroksidase yang mengandung heme (Ligninase, LiP, E.C 1.11.1.14), mangan

    peroksidase (MnP, EC 1.11.1.13) dan lakase yang mengandung tembaga (Cu;

    benzenediol:oxygen oxidoreductase, EC 1.10.3.2)(Hatakka Annele 2001). Kelopok

    baru dari lignin peroksidase, mengkombinasikan sifat struktural dan fungsional dari

  • 32

    LiP dan MnP, adalah versatile peroxidase (VP) (Hammel and Cullen 2008). VP dapat

    mengoksidasi Mn2+

    dan senyawa phenolik, seperti halnya dapat mengoksidasi

    senyawa aromatik non-phenolik seperti veratryl alcohol. Beberapa enzim aksesori

    tambahan juga terlibat dalam produksi hydrogen peroksidase. Glyoxal oxidase

    (GLOX) dan aryl alcohol oxidase (AAO; EC 1.1.3.7) termasuk dalam kelompok ini.

    Lignin Peroksidase (LiP). Lignin Peroksidase (LiP) pertama kali ditemukan

    di media Phanerochaete chrysosporium dalam kondisi pertumbuhan pada medium

    dengan sedikit kandungan nitrogen. LiP adalah homoprotein monomerik dengan

    bobot molekul antara 40 kDa. Seperti enzim peroksidase lainnya, LiP memiliki siklus

    katalitik yang dinamakan reaksi ping-pong. Reaksi yang terjadi adalah H2O2

    mengoksidasi enzim pada keadaan awal (resting enzyme) dengan dua elektron

    membentuk senyawa intermediat I, senyawa tersebut kemudian mengoksidasi

    substrat aromatik dengan menggunakan satu elektron membentuk senyawa

    intermediat II dan produk radikal bebas. Senyawa intermediat II yang dihasilkan

    dapat kembali mengoksidasi substrat lainnya sehingga terbentuk enzim awal dan

    produk radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas secara spontan atau bertahap inilah

    yang mengakibatkan lepasnya ikatan antar molekul dan beberapa inti pada cincin

    aromatik (Hammel and Cullen 2008).

  • 33

    Gambar 9. Reaksi yang terjadi pada perombakan lignin oleh LiP (atas). Struktur -

    O-4 dari lignin dan reaksi pemecahan C C oleh LiP. (bawah).Oksidasi yang dikatalis oleh LiP dari veratryl alcohol (Hammel

    and Cullen 2008).

    Mangan Peroksidase (MnP). Beberapa JPP yang tidak menghasilkan LiP

    diketahui dapat mendegradasi lignin, penelitian berikutnya mengungkapkan bahwa

    eznim yang berperan adalah mangan peroksidase (MnP) (Hammel and Cullen 2008).

    Beberapa kelompok JPP menghasilkan mangan peroksidase (MnP) dan kemudian

    diketahui bahwa MnP terdistribusi secara luas (Higuchi 2004). MnP juga merupakan

    oksidator kuat dan dapat mengoksidasi struktur phenolik tetapi tidak dapat

    mengoksidasi struktur non-phenolik lignin secara langsung, karena ketiadaan residu

    invariant tryptophan yang diperlukan untuk transfer elektron ke subtrat aromatik.

    Prinsip fungsi MnP adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+

    membentuk Mn3+

    dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya distimulasi oleh

  • 34

    adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengkelat atau penstabilkan Mn3+

    .

    Mekanisme reaksi yakni MnP pada keadaan awal dioksidasi oleh H2O2 membentuk

    senyawa MnP-senyawa I yang dapat direduksi oleh Mn2+

    dan senyawa fenol

    membentuk senyawa MnP-senyawa II. Senyawa tersebut kemudian direduksi

    kembali oleh Mn2+

    tetapi tidak oleh fenol, membentuk enzim keadaan awal dan

    produk. Adanya Mn2+

    bebas sangat penting untuk menghasilkan siklus katalitik yang

    sempurna.

    MnP + H2O2 MnP-senyawa I + H2O MnP-senyawa I + Mn

    2+ MnP-senyawa II + Mn3+

    MnP-senyawa I + AH MnP-senyawa II + A + H+

    MnP-senyawa II + Mn2+

    MnP + Mn3+

    Lakase (Lac). Lakase (E.C.1.103.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase)

    sebagian besar merupakan glikoprotein ekstraseluler yang mengandung atom

    tembaga dengan bobot molekul antara 60-80 kDa dan juga merupakan salah satu grup

    terkecil enzim yang dinamakan oksidase tembaga biru (Thurston 1994). Sebagian

    besar molekul monomerik lakase mengandung empat molekul tembaga (Cu) di dalam

    strukturnya yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok menggunakan

    UV/visible dan spektrometer electron paramagnetic resonance (EPR). Tembaga tipe

    I (T1) bertanggung jawab untuk intensitas warna biru dari enzime pada 600 nm dan

    dapat dideteksi dengan EPR, tembaga tipe II (T2) tidak berwarna, tetapi tetap dapat

    dideteksi dengan EPR, dan tembaga tipe III (T3) mengandung pasangan atom

    tembaga yang memberikan sedikit absorbansi dekat spectrum UV tetapi tidak

    terdeteksi dengan EPR. Sisi tembaga T2 dan T3 saling berdekatan dan membentuk

  • 35

    pusat tiga inti (trinuclear) yang terlibat dalam mekanisme katalitik dari enzim.

    Lakase hanya menyerang sub unit phenolik lignin, diawali dengan oksidasi

    C, pemecahan C-C dan pemecahan gugul alkil (Gambar 10). Lakase juga dapat

    mengurangi satu molekul dioxygen menjadi dua molekul air bersamaan dengan

    pembentukan satu-elektron oksidasi dari sebagian besar senyawa aromatic yang

    melibatkan polyphenol (Bourbonnais and Paice 1996), methoxyl-subsituted

    monophenol dan amina aromatic (Archibald F. and Roy 1992). Oksidasi ini terjadi di

    dalam radikal bebas terpusat-oksigen (oxygen-centred free radical), yang kemudian

    dapat dirubah oleh reaksi yang dikatalis oleh enzim kedua menjadi quinone. Quinone

    dan radikal bebas kemudian dapat melanjutkan polymerasi (Thurston 1994).

    Gambar 10. Oksidasi unit phenolik oleh lakase (Archibald F. and Roy 1992).

  • 36

    Lakase mirip dengan enzim pengoksidasi-phenol yang lain, dimana lebih

    mempolimerasi lignin dengan meng-couple radikal phenoxy yang diproduksi dari

    oksidasi gugus phenolik lignin (Bourbonnais et al. 1995). Oleh karena spesifitas

    lakase untuk subunit phenolik dari lignin dan keterbatasan akses pada lignin di dalam

    dinding serat, lakase hanya memberikan sedikit efek pada pemutihan pulp

    (Bourbonnais and Paice 1996). Jangkauan subtrat lakase dapat diperluas ke subunit

    non-phenolik dengan penambahan mediator seperti 2.2-azinobis-(3-

    ethylbenzthiazoline-6-sulfonate; ABTS) (Gambar 11).

    Gambar 11. Oksidasi subunit non-phenolik oleh lakase dan ABTS (Archibald F.S. et

    al. 1997).

    Versatil Peroksidase (VP). Versatil Peroksidase (VP). merupakan salah satu

    tipe enzim baru dari kelompok ligninolitik peroksidase (Hammel and Cullen 2008,

    Higuchi 2004, Wong 2009). VP ditemukan pada berbagai spesies Pleurotus dan

  • 37

    Bjerkandera, namun P. chrysosporium sepertinya tidak menghasilkan VP. VP dapat

    mengoksidasi Mn2+

    sama baiknya pada senyawa aromatik phenolik maupun non-

    phenolik. VP mengoksidasi Mn2+

    menjadi Mn3+

    , memecahkan model lignin non-

    phenolik vertatryl-glycerol- -guaiacyl ether menghasilkan veratryl aldehida, serta

    mengoksidasi I dan p-dimethoxybenxene menjadi versatryl aldehida dan p-

    benzoquinone seperti halnya reaksi yang dikatalis oleh LiP.

    2.5.1.2. Degradasi Selulosa dan Hemiselulosa

    Degradasi Selulosa. Degradasi selulosa kristal oleh JPP P. chrysospoerium

    mirip pada selulase dari jamur lainnya, yaitu dilakukan oleh komplek enzim

    multikomponen yang tiap-tiap komponennya saling berinteraksi secara sinergi untuk

    mendegradasi selulosa menjadi glukosa. Endoglukanase (EGs) berkerja secara acak

    pada permukaan luar mikrofibril selulosa, yaitu membuka ujung non-reduksi yang

    kemudian oleh cellobiohidrolase (CBHs) dihirolisis dan menghasilkan selobiose.

    Tahap berikutnya selobiose dipotong oleh -glukosidase menghasilkan glukosa

    (Eriksson 1981).

    Degradasi hemiselulosa. Hemiselulosa secara struktur lebih komplek

    dibandingkan selulosa yang hanya mengandung ikatan 1,4- -glikosidik.

    Hemiselulosa adalah sebuah grup homopolimer dan heteropolimer yang mengandung

    sebagian besar ikatan-ikatan utama anhidro- (14)D-xylopyranosa, mannopiranosa,

    glukopiranosa dan galaktopiranosa. Enzim-enzim yang mendegradasi hemiselulosa

    adalah enzyme komplek yang umum disebut hemiselulase. Hemiselulase

  • 38

    menunjukkan sebagai agen bleaching yang menjanjikan dalam produksi pulp dan

    kertas. Degradasi hemiselulosa oleh JPP kemudian dianalogikan secara kasar dengan

    selulosa, tetapi mekanisme serangannya telah dipelajari secara lebih detail oleh Kirk

    dan Cowling (1984). Ikatan hemiselulosa diserang pertamakali oleh endoenzim-

    endoenzim (mannanase dan xilanase) yang menghasilkan secara intensif ikatan-ikatan

    pendek yang dihirdolisis menjadi gula sederhana oleh glukosidase (mannosidase,

    xilosidase, dan glukosidase). Seperti halnya dengan selulase, gula-gula sederhana

    membatasi produksi sebagian besar enzim-enzim pendegradasi selulosa oleh JPP.

    Selulosa diduga menjadi sumber karbon penting untuk mendorong terbentuknya

    enzim-enzim pendegradasi hemiselulosa oleh jamur.

    2.6. Pretreatment Biologi oleh Jamur Pelapuk Putih (JPP) dengan Fermentasi

    Kulur Padat (FKP)

    Pretreatment biologi biomassa lignoselulosa dengan JPP umumnya dilakukan

    dengan fermentasi kultur padat (Taniguchi et al., 2005; Zhang et al., 2007; Shi et al.,

    2008; Wan & Li, 2010). Fermentasi kultur padat merupakan salah satu metode

    fermentasi paling kuno dan didefinisikan sebagai kultivasi mikroba pada media padat

    yang basah, tidak larut, dan dapat pula sebagai sumber karbon atau energi (Hlke et

    al., 2004; Rahardjo et al., 2006). Fujian et al., (2001) menyatakan bahwa produksi

    enzim ligninolitik oleh P. chrysosporium lebih tinggi dilakukan dengan FKP

    (fermentasi kultur padat) daripada dengan fermentasi kultur terendam (submerged

    fermentation). Penelitian yang dilakukan oleh Elisashvili et al., (2008) menyatakan

  • 39

    bahwa produksi enzim MnP oleh isolat Lentinus endones dan Pleurotus sp lebih baik

    menggunakan FKP daripada fermentasi terendam.

    FKP memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode fermentasi

    yang lain, antara lain: sedikit membutuhkan air, konsentrasi tinggi dari hasil yang

    diinginkan, represi katabolit tidak terjadi, sedikit atau tidak memerlukan sterilisasi,

    solid-support untuk pertumbuhan mikroba, dapat dilakukan dalam skala yang besar,

    energi yang dibutuhkan relatif sedikit, tidak memerlukan bahan kimia anti-foaming.

    Beberapa tantangan yang dihadapi dalam up-scale fermentasi kultur padat antara lain

    adalah pengendalian temperatur, pH, kelembaban, oksigen; penanganan substrat, dan

    pemenuhan kebutuhan inokulum (Hlker & Lenz, 2005). Beberapa kekurangan

    pretreatment dengan FKP terutama kesulitan untuk mengatur gradien parameter

    (seperti: suhu, pH, kelembaban, konsentrasi substrat atau okigen) yang sulit dikontrol

    pada kondisi sedikit air (Hlke et al., 2004).

    2.6.1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pretreatment Biologi Menggunakan Jamur Pelapuk Putih

    Produksi dan aktivitas enzim ligninolitik JPP dipengaruhi oleh beberapa

    faktor, seperti: strain jamur, konsentrasi dan sumber nitrogen (N), penambahan Mn2+

    dan Cu2+

    , temperatur, pH awal, dan aerasi. Faktor nutrisi kemungkinan berperan pada

    tipe serangan, dan dengan demikian jamur dapat secara selektif mendegradasi

    lignoselluosa (Eaton 1985) (Rayner & Boddy 1988; Eaton & Hele 1993). Beberapa

    parameter kultur yang mempengaruhi degradasi lignin oleh P. chrysospoerium telah

    dipelajari sejak lama (Kirk T. Kent et al. 1976, Kirk T. K. et al. 1978). Mereka

  • 40

    menemukan bahwa degradasi lignin dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen,

    konsentrasi O2, pH, dan vitamin. Sangat penting untuk mengoptimalisasi kondisi FKP

    oleh JPP untuk mendapatkan produksi dan akitivitas enzime ligninolitik yang tinggi,

    dan degradasi lignin yang tinggi.

    2.6.1.1. Strain Jamur Pelapuk Putih (JPP)

    Terdapat variasi yang luas dari strain JPP terkait dengan kemampuannya

    dalam mendegradasi lignin maupun menghasilkan enzim ligninolitik. Beberapa JPP

    menghasilkan ketiga enzim ligninilitik, sebagian hanya dua, atau satu dari enzim

    ligninolitik (Elisashvili et al. 2008, Kirk T. Kent and Cullen 1998). Perbedaan ini

    menyebabkan JPP memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi

    biomassa lignoselulosa. Sebagai contoh, Pleurotus sajor-caju, strain P1-27, dan

    Lentinus endodes, strain LS54, menghasilkan MnP dan Lac, tetapi tidak LiP ketika

    ditumbuhkan pada media tertentu yang hanya mengadung glukosa sebagai sumber

    karbon (Buswell et al. 1995, Fu et al. 1997), P chrysospoerium menghasilkan LiP,

    MnP, dan Lac (Rivela et al. 2000) (Rodrguez et al., 1997; Rivela et al., 2000).

    Pemilihan JPP yang tepat untuk pretreatment biologi merupakan tahapan awal

    yang penting (Blanchette Robert A. et al. 1988, Hatakka A.I. 1983, Muller and Trosch

    1986). Beberapa parameter yang digunakan untuk memilih JPP antara lain adalah:

    kemampuan tumbuh dengan substrat biomassa lignoselulusa, kemampuan tinggi

    dalam menurunkan kandungan lignin tetapi sedikit mendegradasi holoselulosa,

    rendemen (yield) gula yang dihasilkan pada hidrolisis enzimatik, dan kemudahan

  • 41

    untuk dikultur dalam skala besar.

    2.6.1.2.Penambahan Mn2+

    dan Cu2+

    Beberapa sumber kation, seperti Mn2+

    , Ca2+

    , dan Cu2+

    , dilaporkan

    memberikan pengaruh terhadap degradasi lignin oleh JPP (Jeffries et al. 1981,

    Tychanowicz et al. 2006). Media yang rendah-nitrogen dan konsentrasi Mn2+

    di

    dalam kultur media memainkan peran dan dalam mengatur aktivitas MnP dan LiP

    pada beberapa JPP (Bonnarme and Jeffries 1990). Dalam kondisi ketiadaan Mn2+

    ,

    produksi enzim LiP mendominasi; sedangkan dalam kondisi terdapat Mn2+

    , produksi

    enzim MnP mendominasi. Efek pengaturan Mn2+

    ini juga ditemukan pada lima strain

    P chrysosporium, dua spesies lain Phanerochaete sp, tiga spesies Phlebia, Lentinus

    endodes, dan Phellinus pini. Aktivitas LiP ditemukan dalam kondisi konsentrasi Mn2+

    yang rendah. Beberapa penelitian menemukan bahwa mineralisasi lignin sintetik oleh

    Pleurotus ostreatus meningkat dengan penambahan Mn2+

    (Kerem and Hadar 1995).

    Hasil penelitian lain memperkuat pernyataan tersebut, bahwa penambahan Mn2+

    di

    dalam media kultur meningkatkan hingga 125% mineralisasi lignin oleh Pleurotus

    pulmonarius (Camarero et al. 1996).

    Selain Mn2+

    , penambahan Cu2+

    juga dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas

    enzim ligninolitik. Penambahan Cu2+

    di dalam medium berpengaruh kuat pada

    produksi enzim ligninolitik dan mempercepat dekolorisasi pewarna Poly R-478 oleh

    Tremetes trogii (Levin et al. 2002). Hasil ini juga diperkuat oleh hasil penelitian lain

    yang menyatakan bahwa penambahan Cu2+

    juga meningkatkan aktivitas Lac oleh

  • 42

    Pleurotus pulmonarius dan Rhizoctonia praticola (Janusz et al. 2006, Tychanowicz et

    al. 2006).

    2.6.1.3. Aerasi

    Aerasi merupakan salah satu parameter penting yang sulit dikontrol pada FKP.

    Aerasi memiliki beberapa fungsi, antara lain: oksigenasi, menghilangkan CO2,

    pengaturan panas, distribusi uap air, distribusi senyawa volatil yang dihasilkan selama

    fermentasi. Aerasi dipengaruhi oleh porositas subatrat; pO2 dan pCO2 sebaiknya

    dioptimasi untuk setiap tipe medium, mikroorganisme, dan proses yang diterapkan

    (Graminha et al. 2008). Produksi, aktivitas enzim, dan degradasi lignin dipengaruhi

    oleh aerasi. Sebuah penelitian klasik menemukan bahwa aerasi diperlukan untuk

    pertumbuhan dan delignifikasi biomassa lignoselulosa oleh JPP (Duncan 1961).

    Aerasi ditambahkan pada pembuatan biomechanical pulp skala laboratorium maupun

    skala 50 ton (Akhtar et al. 1998). Penambahan aerasi sangat berpengaruh terhadap

    pertumbuhan mikroba dan kualitas biomechanical pulp yang dihasilkan. Beberapa

    Hasil penelitian mendukung pernyataan bahwa aerasi merupakan faktor yang paling

    berpengaruh nyata pada pretreatment dengan P. chrysospoerium (Chen Hongzhang et

    al. 2002). Pretreatment yang dilakukan tanpa aerasi umumnya dilakukan dalam skala

    kecil, seperti dengan menggunakan cawan petri atau Erlenmeyer. Dalam skala kecil

    penambahan aerasi relatif kurang diperlukan dan JPP dapat tumbuh dengan baik.

    2.6.1.4. Sumber dan Konsentrasi Nitrogen

    Konsentrasi nitrogen di dalam media kultur memainkan peranan penting di

  • 43

    dalam produksi dan aktivitas enzim ligninolitik, baik pada FKP maupun fermentasi

    cair, tetapi pengaruh nitrogen bervariasi di antara spesies dan strain JPP. Penelitian

    pengaruh nitrogen juga dilakukan pada degradasi senyawa xenobiotik dan

    dekolorisasi pewarna oleh JPP (Hatvani and Mcs 2002, Kotterman et al. 1996,

    Leung and Pointing 2002). Konsentrasi nitrogen sangat penting untuk degradasi

    lignin oleh P. chrysospoerium Burds, tetapi sumber nitrogen hanya berpengaruh kecil

    (Kirk T. K. et al. 1978). Aktivitas enzim ligninilitik oleh Pleurotus ostreatus menurun

    dengan penambahan nitrogen anorganik pada medium. Konsentrasi nitrogen yang

    rendah dari nitrogen organik (peptone dan casein) memberikan efek positif pada

    aktivitas enzim (Mikiashivili et al. 2006).

    2.6.1.5. Kadar Air

    Kadar air awal lignoselulosa mempengaruhi pertumbuhan JPP. Umumnya

    JPP menghendaki kadar air awal yang cukup tinggi sekitar 60-85%. Kandungan air

    juga berpengaruh terhadap distribusi okigen (aerasi). Dalam kondisi kandungan air

    tinggi pori-pori lignoselulosa akan terisi oleh air dan menghalangi areasi. Kandungan

    air secara signifikan mempengaruhi degradasi lignin oleh P. chrysosporium dan

    kandungan air terbaik adalah 75% (Shi et al. 2008). Namun, hasil yang berbeda

    dilaporkan lain bahwa rasio solid/liquid yang rendah lebih menguntungkan untuk

    produksi MnP dan LiP (Fujian et al. 2001). FKP jerami dengan JPP optimum pada

    kandungan air 75ml/25g substrat (Zadrail and Brunnert 1981). Dalam kondisi basah

    (kadar air tinggi) pertumbuhan miselia terlihat lebih dominan.

  • 44

    2.6.1.6. Keasaman (pH) dan Temperatur

    Produksi enzim ligninolitik dipengaruhi oleh kondisi keasaman (pH) pada

    FKP. Dilaporkan bahwa pH awal media yang baik untuk produksi enzim LiP dan

    MnP oleh P. chrysospoerium adalah antara 4.0 5.5 (Fujian et al. 2001), sedangkan

    pH substrat menurun selama FKP (Agosin et al. 1985).

    Berbagai temperatur yang optimal pada FKP untuk produksi enzim

    ligninolitik telah dilaporkan. Produksi enzim oleh P. chrysospoerium dilaporkan

    optimal pada temperatur 39oC (Fujian et al. 2001). Laporan lain menyebutkan bahwa

    suhu 37oC adalah optimal untuk pertumbuhan miselia, sedangkan suhu 30

    oC untuk

    produksi enzim (Asther et al. 1988). Degradasi lignin oleh Ganoderma applanatum,

    Pleurotus ostreatus, dan Pleurotus serotinus lebih rendah pada 30oC daripada pada

    22oC (Zadrail and Brunnert 1981). Hanya Tremetes hirsuta yang meningkat dengan

    peningkatan suhu hingga 30oC. Perbedaan temperatur yang goptimal pada JPP

    kemungkinan disebabkan karena perbedaan fisologis, strain, dan tipe subatrat.

    2.6.2. Pengaruh Pretreatment Biologi terhadap Karakteristik Biomassa Lignoselulosa

    Pretreatment biologi biomassa lignoselulosa menggunakan JPP mengubah

    karakteristik biokimia dan fisika dari biomassa (Gambar 12). Degradasi lignin oleh

    JPP menjadi perhatian utama dalam beberapa penelitian pretreatment biologi. Sebagai

    contoh, degradasi lignin dari jerami jagung naik menjadi 54,6% setelah 30 hari

    diperlakukan dengan T. versicolor (Yu et al. 2010b), batang bambu menjadi < 20%

  • 45

    setelah diperlakukan selama 4 minggu dengan Echinodontium taxodii 2538

    dan T. versicolor G20 (Zhang Xiaoyu et al. 2007a), dan jerami gandum menurun

    menjadi 39,7% setelah diperlakukan dengan P. ostreatus (Puniya et al.

    1994). Degradasi lignin oleh JPP adalah proses non-spesifik oksidatif yang akhirnya

    menghasilkan degradasi lengkap lignin.

    Gambar 12. Skema diagram pretreatment biologi lignoselulosa. Jamur Pelapuk Putih

    menurunkan kadar lignin dan mengubah struktur kimia dan fisika

    lignoselulosa yang membuat biokonversi lignoselulosa menjadi lebih

    efisien (Isroi et al. 2011).

    JPP memiliki kemampuan unik untuk memutuskan polimer (depolymerise),

    memecah ikatan karbon-karbon, dan ikatan mineral dengan lignin oleh enzim

    ligninolitik. Studi dengan lignin berlabel 14

    C menunjukkan bahwa lignin terdegradasi

    menjadi 14

    CO 2 (Agosin et al. 1985, Hofrichter et al. 1999, Lundquist et al. 1977,

    Prez and Jeffries 1990). Pleurotus ostreatus dan B. adusta adalah memecah lignin

    yang sangat spesifik berdasarkan penelitian menggunakan lignin berlabel 14

    C

    (Agosin et al. 1985). Perubahan rasio antara p-hidroksifenil (H), guaiacyl (G), dan (S)

    syringyl lignin unit dianalisis menggunakan kromatografi gas pirolisis--spektrometri

  • 46

    massa. Penelitian ini menunjukkan bahwa 10 U peroksidase per mg jerami dapat

    menurunkan proporsi unit H fenolik dari 31% pada kontrol menjadi 3% pada jerami

    yang diperlakukan, unit G 40-4%, dan sejumlah kecil fenolik unit S yang ada di

    dalam jerami gandum terdegradasi penuh (Camarero et al. 2001). Beberapa

    penelitian mengusulkan bahwa urutan kerentanan unit lignin adalah sebagai berikut:

    S> G> H. Secara umum, biomassa dengan lignin yang kaya S lebih rentan terhadap

    degradasi JPP dibandingkan unit lignin lainnya (Valmaseda et al. 1991).

    Hemiselulosa lebih mudah untuk terdegradasi oleh JPP dibandingkan

    komponen lain dalam biomassa lignoselulosa. JPP seperti P. chrysosporium (Kirk T.

    Kent and Cullen 1998), Phlebia floridensis (Sharma and Arora

    2010), C. subvermispora (Mendona et al. 2008), Pleurotus ostreatus (Baldrian et al.

    2005), dan Pleurotus dryinus (Kachlishvili et al. 2005) menghasilkan endoxylanases

    yang dapat menghidrolisis hemiselulase. Analisis terhadap komposisi kandungan

    tongkol jagung menunjukkan bahwa selama perlakuan selama hari 30 dengan JPP

    hemiselulosa terdegradasi sebesar 24,4-34,9% (Yang Xuewei et al. 2010). Tongkol

    jagung yang diperlakukan menggunakan C. subvermispora selama 18 hari mengalami

    penurunan kandungan hemiselulosa hingga 22,5%, dan Kayu Willow Cina yang

    diperlakukan menggunakan Echinodontium taxodii 2.538 selama 120 hari kandungan

    hemiselulosa berkurang sebesar 54,8% (Yu et al. 2009). Degradasi hemiselulosa dan

    degradasi lignin dapat menurunkan recalcitration dari lignoselulosa terhadap

    hidrolisis enzimatik, tapi degradasi xilan meningkatkan risiko menurunkan

    kandungan gula yang dapat dikonversi dari biomassa lignoselulosa (Yu et al. 2010a).

  • 47

    JPP menghasilkan enzim selulase dengan kekhususan dan karakteristik yang

    berbeda. Selulase menghidrolisis -1,4-glikosidik selulosa. JPP dikelompokkan

    menjadi dua kelompok berdasarkan selektifitasnya mendegradasi komponen

    lignoselulosa, yaitu: non-selektif dan selektif. JPP non-selektif dapat mendegradasi

    semua komponen lignoselulosa dalam jumlah yang sama, termasuk

    selulosa. Sedangkan JPP selektif mendegradasi selulosa dalam jumlah lebih sedikit

    (Blanchette R.A 1995), dan sesuai untuk pretreatment biologi. Pretreatment biologi

    menyebabkan perubahan mikrostruktur selulosa. Analisis XRD menunjukkan

    penurunan kristalinitas selulosa setelah pretreatment biologi. Indeks kristalinitas

    jerami padi menurun dari 44% pada jerami yang tidak diperlakukan, menjadi 15%

    pada jerami yang diperlakukan menggunakan P. chrysosprorium (Zeng et al.

    2011). Sebaliknya, indeks kristalinitas jerami padi sedikit berkurang setelah

    diperlakukan menggunakan D. squelens (Bak et al. 2010). Pretreatment Biologi pinus

    merah Jepang (Pinus densiflora) telah terbukti mengurangi kristalinitas selulosa dan

    meningkatkan jumlah pori-pori yang memiliki ukuran lebih dari 120 nm (Lee et al.

    2007).

    Morfologi permukaan biomassa lignoselulosa telah diperiksa oleh analisis

    mikroskop elektron (SEM). Hasil analisa SEM menunjukkan beberapa perubahan

    fisik di permukaan biomassa setelah pretreatments biologi. Pretreatment biologi

    biomassa mengakibatkan lubang tidak teratur pada permukaan jerami jagung (Yu et

    al. 2010b). Hasil ini menunjukkan bahwa pretreatment biologi meningkatkan luas dan

  • 48

    porositas permukaan substrat. Pretreatment Biologi pada tongkol jagung

    dengan Irpex lacteus signifikan meningkatkan volume pori dan ukuran pori (Xu et al.

    2010). Jerami gandum yang diperlakukan menggunakan P. chrysosporium memiliki

    luas permukaan yang lebih luas, hal ini menunjukkan degradasi agresif atau

    modifikasi lignin dan membuat permukaan hemiselulosa dan selulosa menjadi lebih

    terbuka (Zeng et al. 2011). Permukaan jerami padi menunjukkan permukaan yang

    kasar dan secara parsial rusak setelah pretreatment biologi

    menggunakan D. squalens (Bak et al. 2010).

    2.6.3. Kombinasi Pretreatment Biologi dengan Metode Pretreatment Lain

    Kelemahan utama dari pretreatment biologi adalah potensi hilangnya

    polisakarida (hemiselulosa dan selulosa) dan waktu pretreatment yang lebih lama dari

    pretreatment kimia/fisika. Pretreatment biologi dapat dikombinasikan dengan

    pretreatment kimia/fisika untuk mengurangi waktu pretreatment, kehilangan

    polisakarida, dan untuk meningkatkan hasil gula yang dapat difermentasi.

    Pretreatment kimia/fisik sebelum pretreatment biologi memungkinkan substrat akan

    mudah untuk diakses jamur dalam menurunkan kandungan lignin (Reid 1989).

    Optimalisasi kombinasi pretreatment diarahkan ke hasil gula yang maksimum dan

    untuk mengurangi biaya keseluruhan pretreatment, yaitu: waktu inkubasi, konsentrasi

    asam, dan/atau energi yang digunakan.

    Penelitian kombinasi pretreatment fisika/kimia dengan pretreatment biologi

    telah dilaporkan dalam beberapa referensi. Jerami padi yang diperlakukan dengan

  • 49

    ledakan uap (steam explotion) sebelum pretreatment biologi menggunakan Pleurotus

    ostreatus dapat mengurangi waktu dari 60 hari menjadi 36 hari dan mendapatkan

    glukosa 33% (Taniguchi et al. 2010). Jerami padi yang mendapat pretreatment

    dengan H2O2 (2%, 48 jam), waktu pretreatment biologi berkurang dari 60 hari

    menjadi 18 hari dengan hasil gula yang sebanding (Yu et al. 2010b). Pengurangan

    waktu pretreatment dimungkin karena degradasi parsial lignin dan polisakarida, serta

    kerusakan parsial dari struktur lignoselulosa selama pretreatment biologi.

    Kombinasi pretreatment eceng gondok (Eichhornia crassipes) dengan JPP E.

    taxodii (10 hari) dan 0,25% H2SO4 terbukti lebih efektif daripada metode

    pretreatment asam saja. Hasil gula pereduksi dari hidrolisis enzimatik meningkat

    dengan faktor 1,13-2,11 dibandingkan dengan pretreatment asam di bawah kondisi

    yang sama (Ma et al. 2010). Pretreatment biologi serpihan kayu beech sebelum

    pretreatment organosolv bisa meningkatkan hasil etanol sebesar 1,6 kali lebih banyak

    daripada tanpa pretreatment biologi (Itoh et al. 2003). JPC dikombinasikan dengan

    pretreatment organosolv juga telah digunakan (Monrroy et al. 2010). Pretreatment

    biologi serpihan kayu Pinus radiata sebelum pretreatment organosolv meningkatkan

    asesibilitas enzyme. Pretreatment biologi jerami jagung selama 15 hari menggunakan

    E. taxodii diikuti oleh pretreatment alkali/oksidatif dapat menyebabkan peningkatan

    50,7% dalam mengurangi gula dibandingkan dengan pretreatment alkali/oksidatif

    saja (Yu et al. 2010b). Pretreatment Biologi batang jagung diikuti oleh pretreatment

    alkali ringan dengan I. lacteus dapat meningkatkan kecernaan selulosa. Degradasi

    lignin pada pretreatment biologi meningkat dan hidrolisis glukosa meningkat

  • 50

    signifikan ketika dikombinasikan dengan pretreatment alkali (Yu et al. 2010a).

    Peningkatan gula hasil hidrolisis maupun etanol hasil fermentasi dari biomassa

    lignoselulosa yang diperlakukan dengan kombinasi pretreatment fisika/kimia-biologi

    kemungkinan disebabkan karena pengaruh sinergistik dari kedua pretreatment

    tersebut. Struktur lignin dan/atau hemiselulosa mengalami perubahan yang lebih

    besar disebabkan oleh kombinasi pretreatment daripada pretreatment tunggal.

    Perubahan struktur lignin dan/atau hemiselulosa ini memudahkan selulosa untuk

    dihidrolisis menjadi gula.

    HALAMAN JUDULHALAMAN PENGESAHANPERNYATAANKATA PENGANTARDAFTAR ISIDAFTAR TABELDAFTAR GAMBARDAFTAR LAMPIRANARTI LAMBANG DAN SINGKATANINTISARIABSTRACTI. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang1.2.Tujuan penelitian2. TINJAUAN PUSTAKA2.1.Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)2.1.1. Ketersediaan TKKS2.1.2. Karakteristik Fisik TKKS2.1.3. Karakteristik Kimia TKKS

    2.2. Biomassa Lignosellulosa2.2.1. Lignin2.2.2. Selulosa2.2.3. Hemiselulosa

    2.3. Pretreatment2.4. Pretreatment Biologi dengan Jamur Pelapuk Putih (JPP)2.5. Jamur Pelapuk Putih (JPP)2.5.1. Degradasi Biomassa Lignoselulosa oleh Jamur Pelapuk Putih (JPP)

    2.6. Pretreatment Biologi oleh Jamur Pelapuk Putih (JPP) dengan FermentasiKulur Padat (FKP)2.6.1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pretreatment BiologiMenggunakan Jamur Pelapuk Putih2.6.2. Pengaruh Pretreatment Biologi terhadap Karakteristik BiomassaLignoselulosa2.6.3. Kombinasi Pretreatment Biologi dengan Metode Pretreatment Lain

    3. LANDASAN TEORI4. HIPOTESIS5. METODE PENELITIAN5.1. Mikroorganisme dan Bahan5.1.1. Mikroorganisme5.1.2. Media5.1.3. Tandan Kosong Kelapa Sawit

    5.2. Tahapan Penelitian5.2.1. Tahap 1. Seleksi Jamur Pelapuk Putih untuk Pretreatment BiologiTandan Kosong Kelapa Sawit5.2.2. Tahap 2. Pengaruh Penambahan Mangan (Mn2+) dan Tembaga (Cu2+)terhadap Pretreatment Biologi Tandan Kosong Kelapa sawitMenggunakan Isolat JPP Terpilih Hasil dari Tahap 15.2.3. Tahap 3. Kombinasi Pretretment Biologi Menggunakan Isolat JPPTerpilih Hasil dari Tahap 1 dengan Pretreatment Asam Fosfat

    5.3. Metode Pretreatment Biologi5.3.1. Pretretment biologi untuk penelitian Tahap 1 dan 2

    5.3.2. Pretreatment biologi untuk penelitian Tahap 35.4. Metode Pretreatment Asam Fosfat5.5. Metode Hidrolisis Enzimatik5.5.1. Hidrolisis Enzimatik untuk Sampel TKKS Hasil Penelitian Tahap 25.5.2. Hidrolisis Enzimatik untuk Sampel TKKS Hasil Penelitian Tahap 3

    5.6. Metode Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan5.7.Metode Analisis5.7.1. Analisis Kandungan Lignoselulosa dengan Metode Chesson-Datta5.7.2. Analisis Kandungan Lignoselulosa dengan Metode NERL5.7.3. Analisis Biomassa Jamur Pelapuk Putih5.7.4. Analisis Gugus Fungsional dengan FTIR5.7.5. Analisis Perubahan Struktur Fisik TKKS dengan Scanning ElectronMicroscopy (SEM)5.7.6. Analisis Monosakarida (Selobiosa, Glukosa, Xylosa, Mannosa, Galaktosadan Arabinosa)5.7.7. Analisis Etanol5.7.8. Analisis Statistik

    6. HASIL DAN PEMBAHASAN6.1. Seleksi Jamur Pelapuk Putih untuk Pretreatment Biologi Tandan KosongKelapa Sawit6.1.1. Perubahan Kandungan Lignin6.1.2. Perubahan Kandungan Hemiselulosa6.1.3. Perubahan Kandungan Selulosa6.1.4. Pertumbuhan Jamur

    6.2. Pengaruh Penambahan Mangan (Mn) dan Tembaga (Cu) terhadapPretreatment Biologi Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pleurotusfloridanusi LIPIMC9666.2.1. Pengaruh Pretreatment Biologi pada Berat Kering TKKS6.2.2. Pengaruh Pretreatment Biologi pada Perubahan Komponen lignoselulosaTKKS6.2.3. Pengaruh Pretreatment Biologi Pada Karakteristik Fisik Dan StrukturalTKKS6.2.4. Pengaruh Pretreatment Biologi pada Digestibilitas TKKS

    6.3. Perubahan Strultural Tandan Kosong Kelapa Sawit Setelah Pretreatmentdengan Pleurotus floridanus dan Asam Fosfat6.3.1. Pengaruh Pretreatment pada Komponen Biomassa6.3.2. Efek Pretreatment terhadap Struktur TKKS6.3.3. Pengaruh pretreatment pada Morfologi TKKS6.3.4. Digestibilitas TKKS6.3.5. Produksi Bioetanol dari TKKS yang telah Mendapat Pretreatment

    7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI7.1. Kesimpulan7.2. Rekomendasi

    Daftar PustakaLAMPIRANLampiran 1.Lampiran 2.Lampiran 3.Lampiran 4.Lampiran 5.Lampiran 6.Lampiran 7.Lampiran 8.Lampiran 9.Lampiran 10.Lampiran 11.Lampiran 12.Lampiran 13.Lampiran 14.Lampiran 16.Lampiran 18.Lampiran 19.Lampiran 20.Lampiran 21Lampiran 22.Lampiran 23.Lampiran 24.Lampiran 25.Lampiran 26.Lampiran 27.Lampiran 28.Lampiran 29.Lampiran 29.Lampiran 30.