Perubahan Struktur dan Peningkatan Digestibilitas Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh Pleurotus...
description
Transcript of Perubahan Struktur dan Peningkatan Digestibilitas Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh Pleurotus...
-
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)
2.1.1. Ketersediaan TKKS
Indonesia adalah negara produsen CPO (Crude Palm Oil) terbesar dan
memiliki areal kelapa sawit terluas di dunia. Berdasarkan data dari FAO (Food and
Agriculture Organization), produksi CPO Indonesia mencapai 19.76 juta ton,
sedangkan produksi tandan buah segar (TBS) Indonesia mencapai 90 juta ton pada
tahun 2010 (FAOSTAT 2012). Ekspansi lahan kelapa sawit di Indonesia juga
mengalami peningkatan. Perkebunan kelapa sawit baru banyak dibuka di pulau
Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Indonesia diperkirakan akan tetap menjadi
produsen CPO terbesar melampaui negara-negara produsen CPO lainnya (Gambar 1).
Gambar 1. Produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia dan Malaysia dari tahun
1998-2010 (FAOSTAT 2012).
0
1
2
3
4
5
6
0
5
10
15
20
25
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lu
as
Lah
an
Saw
it (
x 1
000 0
00 h
a)
Pro
du
ksi
CP
O (
x1 0
00 0
00 t
on
)
Tahun
Luas Lahan Sawit IndonesiaLuas Lahan Sawit MalaysiaProduksi CPO IndonesiaProduksi CPO Malaysia
-
8
Kandungan minyak sawit kurang lebih 14-20% dari tandan buah segar (TBS).
Ekstraksi minyak menyisakan sejumlah besar biomassa lignoselulosa, yaitu: serat
(fiber), cangkang, dan TKKS. Pengolahan satu ton TBS dapat menghasilkan 140
200 kg CPO, 600 700 kg limbah cair, 190 kg serat dan cangkang sawit, dan 230 kg
(TKKS) (Gambar 2). Jumlah TKKS di Indonesia diperkirakan mencapai 20,7 juta ton
pada tahun 2010 (FAOSTAT 2012). Sedangkan TKKS yang dihasilkan oleh sebuah
PKS berkisar antara 200 600 ton/hari, tergantung pada kapasitas pabrik dan volume
TBS yang diolah. Sebagian besar TKKS belum banyak dimanfaatkan, sebagian kecil
lainnya dimanfaatkan untuk landfill, dibakar, ditebar untuk mulsa, atau diolah
menjadi kompos.
Gambar 2. Neraca massa pengolahan TBS menjadi CPO di pabrik kelapa sawit
(dimodifikasi dari (Lacrosse 2004)).
-
9
2.1.2. Karakteristik Fisik TKKS
Karakteristik fisik serat TKKS ditunjukkan pada Gambar 3. Serabut TKKS
dihasilkan dengan mencacah TKKS utuh menjadi serabut-serabut. Karakteristik fisik
serabut TKKS diperlihatkan pada Tabel 1. Panjang serabut TKKS pendek berkisar
antara 10-30mm, sedangkan serabut panjang berkisar antara 100-300mm. Diameter
serabut TKKS berkisar atara 0.12 0.78 mm (Hassan et al. 2010). Aspek ratio dari
panjang dan diameter (L/D) serabut TKKS berkisar antara 83 952. Serabut TKKS
tersusun dari serat-serat TKKS yang lebih halus.
Gambar 3. Serabut Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS).
-
10
Tabel 1. Karakteristik fisik tandan kosong kelapa sawit (TKKS) (Law et al. 2007)
Karakteristik TKKS Aspen Spruce
Panjang serat1, mm 0.99 0.96 3.00
Diameter serat (D) 1
, m 19.1 20.8
Ketebalan dinding sel (T) 1
, m 3.38 1.93
Kekasaran serat (fiber coarseness) 1
, mg/m 1.37 1.01
Kehalusan serat (Fines
-
11
kandungan butiran silika ini diketahui dapat meningkatkan penetrasi senyawa kimia
ke dalam TKKS dalam proses pulping (Law et al. 2007).
Gambar 4. Butiran silika (silica bodies) yang terdapat di permukaan serabut TKKS
(kiri), sedangkan lapisan bagian dalam tidak terlihat adanya butiran
silika (kanan) (Law et al. 2007).
2.1.3. Karakteristik Kimia TKKS
Karakteristik kimia TKKS diperlihatkan pada Tabel 2. Terdapat sedikit variasi
kandungan bahan kimia yang dilaporkan oleh beberapa peneliti baik di Indonesia
maupun Malaysia. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan contoh
TKKS yang diambil dari varietas, umur tanaman, teknik budidaya, dan daerah iklim
yang berbeda.
TKKS terutama tersusun atas tiga komponen utama, yaitu: lignin, selulosa,
dan hemiselulosa. Kandungan selulosa dan hemiselulosa dalam TKKS relatif lebih
tinggi daripada kandungan dari biomassa lignoselulosa lain. Selulosa merupakan
polimer glukosa yang tidak bercabang. Hemiselulosa merupakan polimer dari
beberapa monomer gula, seperti: glukosa, arabinosa, xylosa, mannose, dan galaktosa.
-
12
Proporsi kandungan xylosa dalam hemiselulosa TKKS lebih tinggi daripada
komponen gula lainnya. Kandungan lignin terdiri dari Acid Insoluble Lignin (AIL)
dan Acid Soluble Lignin (ASL). ASL merupakan lignin yang memiliki bobot molekul
rendah. Kandungan ASL di dalam TKKS lebih rendah daripada kandungan ASL.
Tabel 2. Karakteristik kimia tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
Kandungan (% dari berat kering) (Law et al. 2007) (Isroi et al. 2013 )
Ekstraktif 3.7+-0.3
Lignin larut asam 7.810.03
Lignin tak larut asam 18.8+-0.3
Lignin tak larut asam bebas abu 17.8+-0.2 26.560.14
Abu 1.3+-0.2
Larut air panas 7.5+-0.8
Larut 1% NaOH 14.5+-2.7
Holoselulosa 82.4+-1.4
Selulosa 62.9+-2.0 39.132.26
Hemiselulosa 28.0 23.042.79
Arabinosa 2.5+-1.1
Xylosa 33.1+-2.6
Mannosa 1.3+-0.01
Galaktosa 1.0+-0.0
Glukosa 66.4+-3.7
Silika (EDAX) 1.8 (atomic)
Silika (Metode TAPPI) 0.9+-0.1
Copper 0.8 +-0.7 g/g
Calcium 2.8+-0.1 g/g
Manganese 7.4+-0.4 g/g
Iron 10.0 g/g
Sodium 11.0+-0.4 g/g
2.2. Biomassa Lignosellulosa
Senyawa struktural utama biomassa tumbuhan berkayu adalah lignoselulosa
yang komponen penyusun utamanya adalah lignin, selulosa, dan hemiselulosa.
-
13
Biomassa lignoselulosa ini juga merupakan penyusun limbah organik yang berasal
dari limbah agroindustri, baik dari tanaman pangan, perkebunan, maupun tanaman
industri.
2.2.1. Lignin
Kandungan lignin di dalam TKKS lebih mirip dengan kandungan lignin di
dalam kayu keras (hardwood) (Law et al. 2007). Lignin adalah polimer tri-
dimensional phenylphropanoid yang dihubungkan dengan beberapa ikatan antara
karbon-karbon dan beberapa ikatan lain antara unit phenylprophane yang tidak
mudah dihirolisis (Higuchi 2004). Di alam lignin ditemukan sebagai bagian integral
dari dinding sel tanaman, terbenam di dalam matrik polimer dari selulosa dan
hemiselulosa. Lignin tersusun dari unit phenylpropene: unit guaiacyl (G) dari
prekusor trans-coniferyl-alcohol, syringyl (S) unit dari trans-sihapyl-alcohol, dan p-
hydroxyphenyl (H) unit dari prekursor trans-p-coumaryl alcohol. Komposisi lignin di
alam sangat bervariasi tergantung pada spesies tanaman. Lignin dikelompokkan
menjadi dua kelompok utama, yaitu: guaiacyl lignin dan guaiacyl-syringyl lignin
(Wong 2009). Guaiacyl lignin adalah produk polimerisasi yang didominasi oleh
coniferyl alcohol, sedangkan guaiacyl-syringlyl lignin tersusun atas beberapa bagian
dari inti aromatic guaiacyl dan syringyl, bersama dengan sejumlah kecil unit p-
hydroxyphenyl. Kayu lunak terutama tersusun atas unit guaiacyl, sedangkan kayu
keras tersusun atas unit syringyl. Kayu lunak diketahui lebih resisten untuk
didelignifikasi dengan ekstraksi basa daripada kayu keras (Ramos et al. 1992). Hal ini
-
14
menimbulkan dugaan bahwa guaiacyl lignin membatasi pemekaran (swelling) serat
dan dengan demikian menghalangi serangan enzim pada unit syringyl lignin. Struktur
yang lebih resisten dari guaiacyl lignin juga telah diobservasi di dalam penelitian
degradasi dari lignin sintetis oleh Phanerochaeta chrysosporium (Faix O. et al. 1995).
Hasil beberapa penelitian lignin menunjukkan bahwa ada beberapa macam
struktur lignin (Novikora et al. 2002). Lignin terdiri dari daerah amorphous dan
bentuk-bentuk teratur seperti partikel tabung dan globula. Ada indikasi bahwa
struktur kimia dan struktur tri-dimensional lignin sangat dipengaruhi oleh matrik
polisakarida. Lignin memiliki karakteristik hidrofobik. Simulasi dinamik
menunjukkan bahwa gugus hydroxyl dan methoxyl di dalam prekusor lignin dan
oligomer lignin mungkin berinteraksi dengan mikrofibril selulosa.
Tipe ikatan utama lignin di dalam kayu spruce adalah ikatan (linkage) ether,
dan ikatan arylglycerol- -aryl ether adalah tipe ikatan yang utama. Sebagai
tambahan, unit phenylpropene diikat oleh ikatan karbon-karbon (Sjstrm 1981).
Gugus fungsional yang mempengaruhi reaktifitas lignin meliputi gugus phenolic
hydroxyl bebas, methoxyl, benzylic hydroxyl, benzyl alcohol, noncyclic benzyl ether
dan carbonyl. Guaiacyl lignin mengandung gugus phenolic hydroxyl daripada
syringyl. Skema struktur dari lignin kayu lunak, termasuk struktur baru
dibenzodiaxocin diperlihatkan pada Gambar 5.
-
15
Gambar 5. Struktur lignin kayu lunak (Brunov, 1998).
Struktur kimia lignin dapat mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang
tinggi dan asam, seperti pada pretreatment dengan uap panas. Lignin terpecah
menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa pada reaksi temperatur
tinggi di atas 200oC (Tanahashi et al. 1983). Penelitian pada lignin kayu keras
menunjukkan bahwa ikatan -O-4 aryl ether terpecah pada saat perlakuan steam-
explotion yang menyebabkan penurunan bobot molekul dan meningkatkan
kandungan phenolic (Marchessault et al. 1981).
2.2.2. Selulosa
Selulosa adalah komponen utama yang mencapai 39,13% dari bobot kering
-
16
TKKS (Isroi et al. 2013 ). Selulosa sangat erat berasosiasi dengan hemiselulosa dan
lignin. Isolasi selulosa membutuhkan perlakuan kimia yang intensif (Aziz et al.
2002). Selulosa terdiri dari unit monomer D-glukosa yang terikat melalui ikatan -1-
4-glikosidik. Residu glukosa tersusun dengan posisi 180o antara satu dengan yang
lain, dan selanjutnya pengulangan unit dari rantai selulosa membantuk unit selobiosa
(Gambar 6). Derajat polimerasi (DP) selulosa bervariasi antara 7000 15000 unit
glukosa, tergantung pada bahan asalnya.
(A)
(B)
Gambar 6. Skema molekul selulosa (A)
(http://www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html) dan
model molekul selulosa (B) (http://www.lsbu.ac.uk/water/hycel.html).
Gugus fungsional dari rantai selulosa adalah gugus hydroxyl ( OH). Gugus
OH ini dapat berinteraksi satu sama lain dengan gugus O, N, dan S, membentuk
-
17
ikatan hydrogen. Ikatan H juga terjadi antara gugus OH selulosa dengan air.
Gugus-OH selulosa menyebabkan permukaan selulosa menjadi hidrofilik. Rantai
selulosa memiliki gugus-H di kedua ujungnya. Ujung C1 memiliki sifat pereduksi.
Struktur rantai selulosa distabilkan oleh ikatan hydrogen yang kuat disepanjang
rantai. Setiap rantai selulosa saling terikat dengan ikatan hydrogen dan bersama-sama
membentuk mikrofibril yang sangat terkristal (highly crystalline) (Gambar 7).
Selulosa alam mengandung area amorphous yang lebih sedikit dibandingkan area
terkristal, terutama di wilayah yang sangat terkristal. Sebuah kristal selulosa
mengandung sepuluh rantai glukan dengan orientasi pararel. Tujuh kristal
polymorphs selulosa telah diidentifikasi, yang dikodekan dengan I, I , II, IIII,IIIII, IVI
dan IVII (O'Sullivan 1997). Kristal selulosa jenis I dan I ditemukan melimpah di
alam dibandingkan selulosa lain (Attala and Vanderhart 1984).
Gambar 7. Usulan pola ikatan hydrogen dalam selulosa I dan II (Kolpak &
Badwell, 1976).
-
18
2.2.3. Hemiselulosa
Hemiselulosa umumnya dikelompokkan berdasarkan residu gula utama yang
menyususun rangkanya, seperti: xylan, mannan, galactan, dan glucan, dengan xylan
dan mannan adalah gugus utama dari hemiselulosa (Gambar 8). Hemiselulosa
umumnya dilaporkan berasosiasi secara kimia atau terikat-silang dengan polisakarida,
protein, atau lignin. Xylan kemungkinan sebagai wilayah ikatan utama antara lignin
dan karbohidrat lain. Hemiselulosa lebih mudah larut daripada selulosa, dan dapat
diisolasi dari kayu dengan cara ekstraksi. Rata-rata derajat polimerisasi (DP) dari
hemiselulosa bervariasi antara 70 dan 200 tergantung pada jenis biomassa
lignosellulosa (Palonen 2004).
Gambar 8. Beberapa gula penyusun hemiselulosa (Hu et al. 2008)
Hemiselulosa di dalam kayu keras dan tanaman semusim terutama tersusun
atas xylan (15-30%), sedangkan hemiselulosa kayu lunak tersusun atas
galaktoglukomannan (15 20%) dan xylan (7 10%). Xylan kayu keras terdiri atas
unit -D-xylopyranosyl, yang mengandung asam 4-O-methyl--D-glucuronic dan
-
19
gugus samping acetil. Asam 4-O-methyl-- D-glucuronic diikat ke rangka xylan
melalui ikatan O-(12) glycosidic dan asam asetik diesterifikasi pada gugus karbon
2 dan/atau 3 hydroxyl. Rasio molar antara xylosa : asam glukoronat : residu acetil
adalah antara 10:1:7. Xylan kayu lunak adalah arabino-4-O-methylglucuronoxylan,
yang tidak terasetilasi, tetapi rangka xylan disubstitusi pada karbon 2 dan 3 secara
berurutan dengan asam 4-O-methyl--D-glucuronic dan residu -L-arabinofuranosyl
(Perezn et al., 2005). Galaktoglukomannan kayu lunak memiliki rangka ikatan--1-4
unit -D-glucopyranosyl dan -D-mannopyranosyl, yang sebagian disubstitusi oleh
-D-galactopyranosyl dan gugus asetil (O'Sullivan 1997). Terdapat dua macam
galaktoglukomanan: fraksi larut air dan larut alkali, dengan rasio
mannose:glukosa:galaktosa:residu asetil 3:1:1:0.24 untuk faksi larut air, dan
3:1:0.1:0.24 untuk fraksi larut alkali (Palonen 2004).
2.3. Pretreatment
Pretreatment adalah perlakuan pendahuluan terhadap biomassa lignoselulosa
sebelum diolah/dikonversi menjadi produk-produk turunannya. Pretreatment
biomassa lignoselulosa adalah tahapan proses yang harus dilakukan pada biokonversi
lignoselulosa untuk mendapatkan hasil yang tinggi dan sangat penting dalam
pengembangan teknologi skala komersial (Mosier et al. 2005). Pretreatment
merupakan tahapan yang banyak memakan biaya dan berpengaruh besar terhadap
biaya keseluruhan proses. Sebagai contoh pretreatment yang baik dapat mengurangi
jumlah enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis (Wyman et al. 2005).
-
20
Pretreatment juga dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang
diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat
meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck et al. 2005). Tujuan dari
pretreatment adalah untuk mengubah struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi
lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida menjadi
monomer gula. Ringkasan berbagai teknik pretreatment ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Beberapa metode pretreatment biomassa lignoselulosa untuk produksi
bioetanol
Prinsip Proses/Metode Perubahan pada
biomassa
Referensi
Pretreatment
mekanik atau
fisik
Milling:
- ball milling - two-rol milling - hammer milling - colloid milling - vibrotory ball
milling
Irradiation:
- gamma-ray - electron beam - microwave Lainnya:
- hydrothermal - uap bertekanan
tinggi
- expansi - extrusi - pirolisis - air panas
- mengurangi ukuran partikel
- meningkatkan luas permukaan
yang kontak
dengan enzim
- mengurangi kristalisasi
selulosa
(Taherzadeh &
Karimi, 2008)
(Sun & Cheng,
2002)
(Zhu, et al.,, 2005)
(Thomsen et al.,
2008)
(Ahring et al.,,
1996)
(Hendriks &
Zeeman, 2009)
(Eggeman &
Elander, 2005)
(Ohgren et al.,,
2006)
(Kabel et al.,,
2007)
Pretreatment Explosion: - meningkatkan (Sun & Cheng,
-
21
Prinsip Proses/Metode Perubahan pada
biomassa
Referensi
kimia dan
fisiko-kimia
- eksplosi uap panas
- ammonia fiber explotion
(AFEX)
- eksplosi CO2 - eksplosi SO2 Alkali:
- sodium hidroksida
- ammonia - ammonium sulfat - ammonia recycle
percolation
(ARP)
- kapur (lime) Asam:
- asam sulfat - asam fosfat - asam hidroklorat - asam parasetat Gas:
- Clorin dioksida - Nitrogen
dioksida
- Sulfur dioksida Agen Oksidasi:
- Hidrogen peroksida
- oksidasi basah - Ozone Pelarut untuk
ekstraksi lignin:
- ekstrasi etanol-air
- ekstrasi benzene-
area pemukaan
yang mudah
diakses
- delignifikasi sebagian atau
hampir
keseluruhan
- menurunkan kristalisasi
selulosa
- menurunkan derajat
polimerisasi
- hidrolisis hemiselulosa
sebagian atau
keseluruhan
2002)
(Taherzadeh &
Karimi, 2008)
(Eggeman &
Elander, 2005)
(Eklund et al.,
1995)
(Negro et al.,
2003)
(Bower et al.,
2008)
(Cara et al., 2008)
(Kim & Hong,
2001)
(Mosier, et al.,
2005)
(Saha & Cotta,
2008)
(Shimizu et al.,
1998)
(Sun & Chen,
2008)
(Sun & Chen,
2008b)
(Sun & Cheng,
2005)
(Zhang et al.,
2008)
-
22
Prinsip Proses/Metode Perubahan pada
biomassa
Referensi
air
- ekstraksi etilen glikol
- ekstraksi butanol-air
- agen pemekar (swelling)
(Kim & Lee, 2002)
(Zhao et al., 2008)
(Lloyd &
Wayman, 2005)
(Ahring et al.,
1996)
(Silverstein et al.,
2007)
Biologi - Jamur Pelapuk Putih
- Aktinomicetes
(Taniguchi et al.,
2005)
(Shi et al., 2008)
(Keller et al.,
2003)
(Kirk & Chang,
1981)
Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik pretreatment telah dipelajari
dan dikembangkan melalui pendekatan biologi, fisika, kimia. Pretreatment sebaiknya
dapat memenuhi kebutuhan berikut ini: 1) meningkatkan pembentukan gula atau
kemampuan menghasilkan gula pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik;
2) menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat; 3) menghindari pembentukan
produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi, 4) biaya
yang dibutuhkan ekonomis (Sun and Cheng 2002). Teknik pretreatment yang telah
-
23
dikembangkan lebih banyak dilakukan secara mekanik atau fisiko-kimia.
Perbandingan berbagai metode pretreatment telah diulas secara detail dalam beberapa
referensi (Alvira et al. 2010, Hendriks and Zeeman 2009, Mosier et al. 2005,
Taherzadeh Muhammand J. and Karimi 2008).
Salah satu metode pretreatment kimia yang dilaporkan efisien dalam
meningkatkan hidrolisis enzimatik biomassa lignoselulosa adalah pretreatment
menggunakan asam fosfat (Nieves et al. 2011). Asam fosfat dengan konsentrasi tinggi
(>81%) adalah pelarut selulosa yang ideal (Zhang Y-HP et al. 2006). Selulosa dapat
terlarut dalam asam fosfat pada suhu rendah dan re-gerenasi selulosa tetap berada
dalam bentuk amorphous. Asam fosfat juga telah lama dimanfaatkan untuk
menghidrolisis selulosa kayu (Moore 1919). Penggunaan asam fosfat untuk
pretreatment biomassa lignoselulosa memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
metode pretreatment menggunakan bahan kimia lain yaitu bahwa residu asam fosfat
tidak memiliki efek inhibitor pada tahapan hidrolisis dan fermentasi. Pretreatment
asam fosfat dilaporkan dapat meningkatkan 40% produksi biogas dari TKKS(Nieves
et al. 2011).
2.4. Pretreatment Biologi dengan Jamur Pelapuk Putih (JPP)
Pemanfaatan jamur pelapuk putih (JPP) untuk pretreatment biomassa
lignocellulosa sudah dimulai sejak akhir tahun 1970-an. Jamur Pelapuk Putih (JPP)
merupakan kelompok mikroba yang paling banyak dimanfaatkan untuk pretreatment
biomassa lignoselulosa (Sun and Cheng 2002). Beberapa spesies JPP yang telah
-
24
dimanfaatkan untuk pretreatment biologi disajikan dalam Tabel 4. JPP adalah satu-
satunya mikroba yang dapat mendegradasi lignin secara sempurnya menjadi CO2. JPP
menghasilkan enzim lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), versatile
peroksidase (VP) dan lakase (Lac) yang berperan di dalam degradasi lignin (Hammel
and Cullen 2008). Pretreatment biologi telah dimanfaatkan untuk hidrolisis enzimatik
lignosellulosa sejak awal tahun 1980-an, namun tidak banyak laporan setelah itu.
Selanjutnya pretreatment biologi diteliti secara intensif dan banyak dimanfaatkan
untuk pakan ternak dan pembuatan pulp (biopulping). Beberapa tahun terakhir
pemanfaatan JPP untuk pretreatment biologi kembali diteliti dan dilaporkan, seiring
dengan maraknya penelitian biomassa lignosellulosa sebagai bahan baku produksi
bioetanol.
Tabel 4. Beberapa spesies jamur pelapuk putih (JPP) untuk perlakuan pendahuluan
biologi biomassa lignoselulosa
Jamur Pelapuk
Putih
Biomassa
Lignoselulosa
Kegunaan
perlakuan
pendahuluan
Referensi
Bjerkandera adusta Jerami gandum Pakan Ternak (Rodrigues et al.
2008)
Ceriporia lacerata kayu Bioetanol (Lee et al. 2007)
Ceriporiopsis
subvermisproa,
Jerami padi
Kayu
Limbah pertanian
bioetanol
Biomekanikal
pulping
Biopulping
(Taniguchi et al.
2005)
(Akhtar et al. 1998)
(Yaghoubi et al.
2008)
(Mosai et al. 1999)
-
25
Jamur Pelapuk
Putih
Biomassa
Lignoselulosa
Kegunaan
perlakuan
pendahuluan
Referensi
Cyanthus
stercoreus
Corn stover bioetanol (Keller et al. 2003)
Cyanthus
stercoreus
Jerami
Daun-daunan
Pakan ternak (Karunanandaa and
Varga 1996)
Fomes fomentarius Jerami gandum Pakan Ternak (Rodrigues et al.
2008)
Panus conchatus Jerami padi biopulping (Yu et al. 1994)
Phanerochaete
chrysosporium
Batang kapas,
Corn stover,
Jerami padi,
Pulp
Daun-daunan
bioetanol
Biopulp
Biobleaching
Pakan ternak
(Shi et al. 2008)
(Keller et al. 2003)
(Taniguchi et al.
2005)
(Chen Hongzhang et
al. 2002)
(Yang Qifeng et al.
2007)
(de Jong et al. 1997)
(Karunanandaa and
Varga 1996)
Phellinus pini Kayu Pulp (Blanchette R.A.
and Burnes 1988)
Phlebia tremellosus Bagase
Kayu
bioetanol
Biopulping
(Mes-Hartree et al.,
1987)
(Blanchette R.A.
and Burnes 1988)
Phlebiopsis Kayu Pulp (Behrendt and
-
26
Jamur Pelapuk
Putih
Biomassa
Lignoselulosa
Kegunaan
perlakuan
pendahuluan
Referensi
gigantea Blanchette 1997)
Plebia tremellosus Kayu Pulp (Blanchette R.A.
and Burnes 1988)
Pleorotus ostreatus Jerami padi
Jerami gandum
bioetanol
Biogas
(Taniguchi et al.
2005)
(Muller and Trosch
1986)
Pleurotus sajorcaju Jerami
Daun-daunan
Pakan ternak (Karunanandaa and
Varga 1996)
Polyporus brumalis kayu bioetanol (Lee et al. 2007)
Poria medullpanis Kayu Pulp (Blanchette R.A.
and Burnes 1988)
Scytinostroma
galactinum
Kayu Pulp (Blanchette R.A.
and Burnes 1988)
Stereum hirsutum kayu bioetanol (Lee et al. 2007)
Trametes hirsute pulp Biopulp (Yang Qifeng et al.
2007)
Tremetes versicolor Jerami padi
Jerami gandum
bioetanol
Pakan Ternak
(Taniguchi et al.
2005)
(Rodrigues et al.
2008)
Pretreatment biologi biomassa lignoselulosa memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan pretreatment fisik/mekanik, kimia, atau fisiko-kimia, yaitu: a)
lebih spesifik terhadap substrat maupun reaksinya, 2) membutuhkan energi yang lebih
-
27
rendah, 3) hasil yang lebih tinggi terhadap produk yang diinginkan, 4) peluang
transformasi yang tidak bisa dilakukan oleh reagen kimia (Kirk T.Kent and Chang
1981). Salah satu kelemahan pretreatment biologi adalah waktu yang dibutuhkan
lebih lama, hingga beberapa minggu (Taniguchi et al. 2005), sedangkan pretreatment
fisik/kimia hanya beberapa menit atau jam saja (Taherzadeh Muhammand J. and
Karimi 2008). Pengaruh pretreatment biologi pada perubahan biomassa lignoselulosa
antara lain adalah: penurunan kandungan lignin, penurunan derajat polimerisasi
selulosa, dan penurunan derajat kristalisasi selulosa. Pretreatment biomassa
lignoselulosa secara biologi kurang mendapatkan perhatian, khususnya untuk
produksi bioetanol dibandingkan dengan pretreatment secara fisika/mekanik, kimia
atau fisiko-kimia (Hendriks and Zeeman 2009).
Hatakka (1983) mempelajari pretreatment jerami gandum (wheat straw) oleh
19 JPP dan menemukan bahwa 35% jerami diubah menjadi gula pereduksi oleh
Pleurotus ostreatus dalam lima minggu. Hasil yang sama diperoleh pada pretreatment
dengan Phanerochaete sordida 37 dan Pycnoporus cinnaboarinus 115 dalam waktu
empat minggu. Taniguchi et al. (2005) mengevaluasi pretreatment biologi jerami padi
dengan empat spesies JPP (Phanerochaeta chrysosporium, Tremetes versicolor,
Ceriporiopsis subvermispro, dan Pleorotus ostreatus) untuk hidrolisis enzimatik.
Pretreatment dengan Pleorotus ostreatus lebih banyak mendegradasi lignin daripada
komponen holoselulosa, dan meningkatkan hasil hidrolisis enzimatik.
Di Korea Lee et al. (2007) melakukan pretreatment biologi terhadap kayu
dengan tiga jenis JPP, yaitu: Ceriporia lacerata, Stereum hirsutum, dan Polyporus
-
28
brumalis, selama delapan minggu. Perlakuan kayu dengan S. hirsutum dapat
meningkatkan hasil gula hingga 21,01% daripada kayu yang tidak mendapat
pretreatment. Shi et al. (2008) memperlakukan sisa batang kapas (cotton stalk)
dengan P. chysosporium. Fermentasi kultur padat batang kapas dengan kandungan air
75% tanpa penambahan garam mineral selama 14 hari dapat menurunkan kandungan
lignin hingga 27,6%, sisa padatan yang diperoleh sebanyak 71,1%, 41,6%
karbohidrat tersedia.
Ceriporiopsis subvermispora banyak dimanfaatkan untuk pembuatan pulp.
Akhtar et al. (1992) memanfaatkan C subvermispora untuk membuat biomekanikal
pulping. Perlakuan chip kayu dengan C. subvermispora selama 4 minggu dapat
menurunkan sebesar 47% energi yang diperlukan untuk pembuatan pulp dan
menurunkan 30% ekstrak resin dibandingkan dengan kontrol. Enam isolat JPP
(Coriolus versicolor, Dichomitus squalens, Phellinus pini, Phlebia tremellosus, Poria
medulla-panis, dan Scytinostroma galactinum) diuji untuk pembuatan biopulp.
Penelitian tersebut menemukan bahwa jenis JPP dan tipe kayu sangat berpengaruh
terhadap degradasi lignin dan selektivitas penghilangan lignin (Blanchette & Burnes,
1988). Ditemukan pula variasi aktivitas enzim lignolitik dari strain JPP dari spesies
yang sama. Mosai et al. (1999) memanfaatkan C. subvermispora untuk pembuatan
biosulfite pulp. Inkubasi chip kayu selama 5 hari mengahasilkan: 5% penurunan
kappa number, 11% peningkatan kecerahan (brightness) tanpa penurunan rendemen
pulp. Chen et al. (2002) memanfaatkan P. chrysosporium untuk pembuatan biopulp
dari jerami yang telah diperlakukan dengan uap panas (steam-exploded). Kandungan
-
29
lignin berkurang hingga 60% pada hari ke-5 inkubasi dengan P. chrysosporium dan
jerami langsung dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pulp. Yaghoubi et al. (2008)
menemukan bahwa pretreatment jerami dengan C. subvermispora dalam pembuatan
biochemical pulp memberikan kualitas pulp yang sangat baik, terutama pada daya
tarik (tensile strength) dan burst factor.
Pretreatment biologi biomassa dengan JPP juga dimanfaatkan untuk produksi
biogas maupun pembuatan pakan ternak. Muller & Trosch (1986) menyeleksi 32
spesies JPP untuk pretreatment jerami gandum dalam produksi biogas. Perlakuan
jerami dengan Pleurotus ostreatus memberikan penurunan lignin tercepat. Produksi
biogas dari jerami yang telah diperlakukan dengan JPP lebih besar dua kali
dibandingkan dengan jerami yang tidak diperlakukan. Karunanandaa & Varga (1996)
memperlakukan jerami dengan 4 JPP (Cyuthus stercoreus (Cd), Phanerochaete
chrysosporium (PC) and Pleurotus sajorcaju) yang dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Perlakuan jerami denga JPP secara signifikan meningkatkan uji pencernaan in vitro
melalui peningkatan ketersediaan selulosa untuk pencernaan mikroba rumen.
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor, mengembangkan teknologi
pengomposan TKKS dengan mamanfaatkan JPP. Beberapa isolat JPP telah berhasil
diisolasi dan isolat yang diketahui memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi
TKKS adalah Polyota sp dan Agraily sp. Kedua JPP tersebut yang dikombinasikan
dengan beberapa Trichoderma sp telah dimanfaatkan sebagai bahan aktif aktivator
pengomposan TKKS. Pengomposan TKKS telah berhasil dilakukan dengan kapasitas
200 ton TKKS per hari (Siswanto et al. 2008).
-
30
2.5. Jamur Pelapuk Putih (JPP)
Jamur yang terlibat dalam biodegradasi biomassa lignoselulosa dapat dibagi
menjadi tiga kelompok utama, yaitu: jamur pelapuk putih (white-rot fungi), jamur
pelapuk coklat (brown-rot fungi), dan jamur pelapuk lunak (soft-rot fungi), tergantung
dengan tipe pelapukan yang disebabkan oleh jamur tersebut. Jamur pelapuk putih
(JPP) dan jamur pelapuk coklat (JPC) termasuk di dalam kelompok basidiomycetes,
sedangkan jamur pelapuk lunak (JPL) termasuk di dalam kelompok ascomycetes, dan
aktivitasnya seringkali terkait dengan tinggi rendahnya kelembaban kayu (Blanchette
R.A 1995). JPC lebih mendegradasi poliskarida di dalam biomassa lignoselulosa dan
hanya sedikit melarutkan lignin. JPP adalah mikroba yang paling efisien dalam
mendegradasi lignin menjadi CO2 (Hammel and Cullen 2008). Ligninolitik
berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler pendegradasi lignin yang
dihasilkan oleh JPP.
2.5.1. Degradasi Biomassa Lignoselulosa oleh Jamur Pelapuk Putih (JPP)
2.5.1.1. Enzim Ligninolitik dan Degradasi Lignin
JPP menghadapi tiga tantangan utama untuk mendegradasi lignin. Pertama,
polimer lignin berukuran besar oleh karena itu sistem ligninolitik harus ekstraseluler.
Kedua, struktur lignin tidak memiliki ikatan yang dapat dihidrolisis, oleh karena itu
mekanisme degradasi harus oksidatif bukan hidrolisis. Ketiga, karena struktur
polimer yang stereoirreguler, enzim ligninolitik harus kurang sepesifik daripada
enzim-enzim lainnya (Kirk T. Kent and Cullen 1998). Perombakan lignin oleh JPP
-
31
melibatkan aktivitas ligninolitik enzim yang diringkaskan pada Tabel 5.
Tabel 5. Enzim dan reaksinya yang terlibat di dalam degradasi lignin (Hatakka
Annele 2001)
Aktivitas enzim,
singkatan
Kofaktor atau
substrat, Mediator Pengaruh utama atau reaksi
Lignin peroksidase, LiP H2O2, veratryl
alkohol
Oksidasi cincin aromatic
menjadi radikal kation
Mangan peroksidase,
MnP
H2O2, Mn, asam
organik sebagai agen
pengkelat, thiol,
lemak tak larut
Okisasi Mn(II) menjadi
Mn(III), mengkelat senyawa
phenolik Mn(III) teroksidasi
menjadi radikal phenolik;
reaksi lain di dalam kehadiran
senyawa lain
Lakase, Lacc O2, mediator,
misalnya:
hydroxybenzotiazole
atau ABTS
Phenol dioksidasi menjadi
radikal phenolik; reaksi lain di
dalam kehadiran mediator
Glyoxal oxidase, GLOX Glyoxal, methyl
glyoxal
Glyoxal dioksidasi menjadi
asam glyoxylic; produksi H2O2
Aryl alcohol oksidase,
AAO
Aromatic alcohol
(anisyl, veratyl
alcohol)
Alcohol aromatic diokisasi
menjadi aldehida; produksi
H2O2
Enzym lain yang
memproduksi H2O2
Beberapa senyawa
organik
O2 direduksi menjadi H2O2
Enzim ekstraseluler utama yang terlibat dalam perombakan lignin adalah
lignin peroksidase yang mengandung heme (Ligninase, LiP, E.C 1.11.1.14), mangan
peroksidase (MnP, EC 1.11.1.13) dan lakase yang mengandung tembaga (Cu;
benzenediol:oxygen oxidoreductase, EC 1.10.3.2)(Hatakka Annele 2001). Kelopok
baru dari lignin peroksidase, mengkombinasikan sifat struktural dan fungsional dari
-
32
LiP dan MnP, adalah versatile peroxidase (VP) (Hammel and Cullen 2008). VP dapat
mengoksidasi Mn2+
dan senyawa phenolik, seperti halnya dapat mengoksidasi
senyawa aromatik non-phenolik seperti veratryl alcohol. Beberapa enzim aksesori
tambahan juga terlibat dalam produksi hydrogen peroksidase. Glyoxal oxidase
(GLOX) dan aryl alcohol oxidase (AAO; EC 1.1.3.7) termasuk dalam kelompok ini.
Lignin Peroksidase (LiP). Lignin Peroksidase (LiP) pertama kali ditemukan
di media Phanerochaete chrysosporium dalam kondisi pertumbuhan pada medium
dengan sedikit kandungan nitrogen. LiP adalah homoprotein monomerik dengan
bobot molekul antara 40 kDa. Seperti enzim peroksidase lainnya, LiP memiliki siklus
katalitik yang dinamakan reaksi ping-pong. Reaksi yang terjadi adalah H2O2
mengoksidasi enzim pada keadaan awal (resting enzyme) dengan dua elektron
membentuk senyawa intermediat I, senyawa tersebut kemudian mengoksidasi
substrat aromatik dengan menggunakan satu elektron membentuk senyawa
intermediat II dan produk radikal bebas. Senyawa intermediat II yang dihasilkan
dapat kembali mengoksidasi substrat lainnya sehingga terbentuk enzim awal dan
produk radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas secara spontan atau bertahap inilah
yang mengakibatkan lepasnya ikatan antar molekul dan beberapa inti pada cincin
aromatik (Hammel and Cullen 2008).
-
33
Gambar 9. Reaksi yang terjadi pada perombakan lignin oleh LiP (atas). Struktur -
O-4 dari lignin dan reaksi pemecahan C C oleh LiP. (bawah).Oksidasi yang dikatalis oleh LiP dari veratryl alcohol (Hammel
and Cullen 2008).
Mangan Peroksidase (MnP). Beberapa JPP yang tidak menghasilkan LiP
diketahui dapat mendegradasi lignin, penelitian berikutnya mengungkapkan bahwa
eznim yang berperan adalah mangan peroksidase (MnP) (Hammel and Cullen 2008).
Beberapa kelompok JPP menghasilkan mangan peroksidase (MnP) dan kemudian
diketahui bahwa MnP terdistribusi secara luas (Higuchi 2004). MnP juga merupakan
oksidator kuat dan dapat mengoksidasi struktur phenolik tetapi tidak dapat
mengoksidasi struktur non-phenolik lignin secara langsung, karena ketiadaan residu
invariant tryptophan yang diperlukan untuk transfer elektron ke subtrat aromatik.
Prinsip fungsi MnP adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+
membentuk Mn3+
dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya distimulasi oleh
-
34
adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengkelat atau penstabilkan Mn3+
.
Mekanisme reaksi yakni MnP pada keadaan awal dioksidasi oleh H2O2 membentuk
senyawa MnP-senyawa I yang dapat direduksi oleh Mn2+
dan senyawa fenol
membentuk senyawa MnP-senyawa II. Senyawa tersebut kemudian direduksi
kembali oleh Mn2+
tetapi tidak oleh fenol, membentuk enzim keadaan awal dan
produk. Adanya Mn2+
bebas sangat penting untuk menghasilkan siklus katalitik yang
sempurna.
MnP + H2O2 MnP-senyawa I + H2O MnP-senyawa I + Mn
2+ MnP-senyawa II + Mn3+
MnP-senyawa I + AH MnP-senyawa II + A + H+
MnP-senyawa II + Mn2+
MnP + Mn3+
Lakase (Lac). Lakase (E.C.1.103.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase)
sebagian besar merupakan glikoprotein ekstraseluler yang mengandung atom
tembaga dengan bobot molekul antara 60-80 kDa dan juga merupakan salah satu grup
terkecil enzim yang dinamakan oksidase tembaga biru (Thurston 1994). Sebagian
besar molekul monomerik lakase mengandung empat molekul tembaga (Cu) di dalam
strukturnya yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok menggunakan
UV/visible dan spektrometer electron paramagnetic resonance (EPR). Tembaga tipe
I (T1) bertanggung jawab untuk intensitas warna biru dari enzime pada 600 nm dan
dapat dideteksi dengan EPR, tembaga tipe II (T2) tidak berwarna, tetapi tetap dapat
dideteksi dengan EPR, dan tembaga tipe III (T3) mengandung pasangan atom
tembaga yang memberikan sedikit absorbansi dekat spectrum UV tetapi tidak
terdeteksi dengan EPR. Sisi tembaga T2 dan T3 saling berdekatan dan membentuk
-
35
pusat tiga inti (trinuclear) yang terlibat dalam mekanisme katalitik dari enzim.
Lakase hanya menyerang sub unit phenolik lignin, diawali dengan oksidasi
C, pemecahan C-C dan pemecahan gugul alkil (Gambar 10). Lakase juga dapat
mengurangi satu molekul dioxygen menjadi dua molekul air bersamaan dengan
pembentukan satu-elektron oksidasi dari sebagian besar senyawa aromatic yang
melibatkan polyphenol (Bourbonnais and Paice 1996), methoxyl-subsituted
monophenol dan amina aromatic (Archibald F. and Roy 1992). Oksidasi ini terjadi di
dalam radikal bebas terpusat-oksigen (oxygen-centred free radical), yang kemudian
dapat dirubah oleh reaksi yang dikatalis oleh enzim kedua menjadi quinone. Quinone
dan radikal bebas kemudian dapat melanjutkan polymerasi (Thurston 1994).
Gambar 10. Oksidasi unit phenolik oleh lakase (Archibald F. and Roy 1992).
-
36
Lakase mirip dengan enzim pengoksidasi-phenol yang lain, dimana lebih
mempolimerasi lignin dengan meng-couple radikal phenoxy yang diproduksi dari
oksidasi gugus phenolik lignin (Bourbonnais et al. 1995). Oleh karena spesifitas
lakase untuk subunit phenolik dari lignin dan keterbatasan akses pada lignin di dalam
dinding serat, lakase hanya memberikan sedikit efek pada pemutihan pulp
(Bourbonnais and Paice 1996). Jangkauan subtrat lakase dapat diperluas ke subunit
non-phenolik dengan penambahan mediator seperti 2.2-azinobis-(3-
ethylbenzthiazoline-6-sulfonate; ABTS) (Gambar 11).
Gambar 11. Oksidasi subunit non-phenolik oleh lakase dan ABTS (Archibald F.S. et
al. 1997).
Versatil Peroksidase (VP). Versatil Peroksidase (VP). merupakan salah satu
tipe enzim baru dari kelompok ligninolitik peroksidase (Hammel and Cullen 2008,
Higuchi 2004, Wong 2009). VP ditemukan pada berbagai spesies Pleurotus dan
-
37
Bjerkandera, namun P. chrysosporium sepertinya tidak menghasilkan VP. VP dapat
mengoksidasi Mn2+
sama baiknya pada senyawa aromatik phenolik maupun non-
phenolik. VP mengoksidasi Mn2+
menjadi Mn3+
, memecahkan model lignin non-
phenolik vertatryl-glycerol- -guaiacyl ether menghasilkan veratryl aldehida, serta
mengoksidasi I dan p-dimethoxybenxene menjadi versatryl aldehida dan p-
benzoquinone seperti halnya reaksi yang dikatalis oleh LiP.
2.5.1.2. Degradasi Selulosa dan Hemiselulosa
Degradasi Selulosa. Degradasi selulosa kristal oleh JPP P. chrysospoerium
mirip pada selulase dari jamur lainnya, yaitu dilakukan oleh komplek enzim
multikomponen yang tiap-tiap komponennya saling berinteraksi secara sinergi untuk
mendegradasi selulosa menjadi glukosa. Endoglukanase (EGs) berkerja secara acak
pada permukaan luar mikrofibril selulosa, yaitu membuka ujung non-reduksi yang
kemudian oleh cellobiohidrolase (CBHs) dihirolisis dan menghasilkan selobiose.
Tahap berikutnya selobiose dipotong oleh -glukosidase menghasilkan glukosa
(Eriksson 1981).
Degradasi hemiselulosa. Hemiselulosa secara struktur lebih komplek
dibandingkan selulosa yang hanya mengandung ikatan 1,4- -glikosidik.
Hemiselulosa adalah sebuah grup homopolimer dan heteropolimer yang mengandung
sebagian besar ikatan-ikatan utama anhidro- (14)D-xylopyranosa, mannopiranosa,
glukopiranosa dan galaktopiranosa. Enzim-enzim yang mendegradasi hemiselulosa
adalah enzyme komplek yang umum disebut hemiselulase. Hemiselulase
-
38
menunjukkan sebagai agen bleaching yang menjanjikan dalam produksi pulp dan
kertas. Degradasi hemiselulosa oleh JPP kemudian dianalogikan secara kasar dengan
selulosa, tetapi mekanisme serangannya telah dipelajari secara lebih detail oleh Kirk
dan Cowling (1984). Ikatan hemiselulosa diserang pertamakali oleh endoenzim-
endoenzim (mannanase dan xilanase) yang menghasilkan secara intensif ikatan-ikatan
pendek yang dihirdolisis menjadi gula sederhana oleh glukosidase (mannosidase,
xilosidase, dan glukosidase). Seperti halnya dengan selulase, gula-gula sederhana
membatasi produksi sebagian besar enzim-enzim pendegradasi selulosa oleh JPP.
Selulosa diduga menjadi sumber karbon penting untuk mendorong terbentuknya
enzim-enzim pendegradasi hemiselulosa oleh jamur.
2.6. Pretreatment Biologi oleh Jamur Pelapuk Putih (JPP) dengan Fermentasi
Kulur Padat (FKP)
Pretreatment biologi biomassa lignoselulosa dengan JPP umumnya dilakukan
dengan fermentasi kultur padat (Taniguchi et al., 2005; Zhang et al., 2007; Shi et al.,
2008; Wan & Li, 2010). Fermentasi kultur padat merupakan salah satu metode
fermentasi paling kuno dan didefinisikan sebagai kultivasi mikroba pada media padat
yang basah, tidak larut, dan dapat pula sebagai sumber karbon atau energi (Hlke et
al., 2004; Rahardjo et al., 2006). Fujian et al., (2001) menyatakan bahwa produksi
enzim ligninolitik oleh P. chrysosporium lebih tinggi dilakukan dengan FKP
(fermentasi kultur padat) daripada dengan fermentasi kultur terendam (submerged
fermentation). Penelitian yang dilakukan oleh Elisashvili et al., (2008) menyatakan
-
39
bahwa produksi enzim MnP oleh isolat Lentinus endones dan Pleurotus sp lebih baik
menggunakan FKP daripada fermentasi terendam.
FKP memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode fermentasi
yang lain, antara lain: sedikit membutuhkan air, konsentrasi tinggi dari hasil yang
diinginkan, represi katabolit tidak terjadi, sedikit atau tidak memerlukan sterilisasi,
solid-support untuk pertumbuhan mikroba, dapat dilakukan dalam skala yang besar,
energi yang dibutuhkan relatif sedikit, tidak memerlukan bahan kimia anti-foaming.
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam up-scale fermentasi kultur padat antara lain
adalah pengendalian temperatur, pH, kelembaban, oksigen; penanganan substrat, dan
pemenuhan kebutuhan inokulum (Hlker & Lenz, 2005). Beberapa kekurangan
pretreatment dengan FKP terutama kesulitan untuk mengatur gradien parameter
(seperti: suhu, pH, kelembaban, konsentrasi substrat atau okigen) yang sulit dikontrol
pada kondisi sedikit air (Hlke et al., 2004).
2.6.1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pretreatment Biologi Menggunakan Jamur Pelapuk Putih
Produksi dan aktivitas enzim ligninolitik JPP dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti: strain jamur, konsentrasi dan sumber nitrogen (N), penambahan Mn2+
dan Cu2+
, temperatur, pH awal, dan aerasi. Faktor nutrisi kemungkinan berperan pada
tipe serangan, dan dengan demikian jamur dapat secara selektif mendegradasi
lignoselluosa (Eaton 1985) (Rayner & Boddy 1988; Eaton & Hele 1993). Beberapa
parameter kultur yang mempengaruhi degradasi lignin oleh P. chrysospoerium telah
dipelajari sejak lama (Kirk T. Kent et al. 1976, Kirk T. K. et al. 1978). Mereka
-
40
menemukan bahwa degradasi lignin dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen,
konsentrasi O2, pH, dan vitamin. Sangat penting untuk mengoptimalisasi kondisi FKP
oleh JPP untuk mendapatkan produksi dan akitivitas enzime ligninolitik yang tinggi,
dan degradasi lignin yang tinggi.
2.6.1.1. Strain Jamur Pelapuk Putih (JPP)
Terdapat variasi yang luas dari strain JPP terkait dengan kemampuannya
dalam mendegradasi lignin maupun menghasilkan enzim ligninolitik. Beberapa JPP
menghasilkan ketiga enzim ligninilitik, sebagian hanya dua, atau satu dari enzim
ligninolitik (Elisashvili et al. 2008, Kirk T. Kent and Cullen 1998). Perbedaan ini
menyebabkan JPP memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi
biomassa lignoselulosa. Sebagai contoh, Pleurotus sajor-caju, strain P1-27, dan
Lentinus endodes, strain LS54, menghasilkan MnP dan Lac, tetapi tidak LiP ketika
ditumbuhkan pada media tertentu yang hanya mengadung glukosa sebagai sumber
karbon (Buswell et al. 1995, Fu et al. 1997), P chrysospoerium menghasilkan LiP,
MnP, dan Lac (Rivela et al. 2000) (Rodrguez et al., 1997; Rivela et al., 2000).
Pemilihan JPP yang tepat untuk pretreatment biologi merupakan tahapan awal
yang penting (Blanchette Robert A. et al. 1988, Hatakka A.I. 1983, Muller and Trosch
1986). Beberapa parameter yang digunakan untuk memilih JPP antara lain adalah:
kemampuan tumbuh dengan substrat biomassa lignoselulusa, kemampuan tinggi
dalam menurunkan kandungan lignin tetapi sedikit mendegradasi holoselulosa,
rendemen (yield) gula yang dihasilkan pada hidrolisis enzimatik, dan kemudahan
-
41
untuk dikultur dalam skala besar.
2.6.1.2.Penambahan Mn2+
dan Cu2+
Beberapa sumber kation, seperti Mn2+
, Ca2+
, dan Cu2+
, dilaporkan
memberikan pengaruh terhadap degradasi lignin oleh JPP (Jeffries et al. 1981,
Tychanowicz et al. 2006). Media yang rendah-nitrogen dan konsentrasi Mn2+
di
dalam kultur media memainkan peran dan dalam mengatur aktivitas MnP dan LiP
pada beberapa JPP (Bonnarme and Jeffries 1990). Dalam kondisi ketiadaan Mn2+
,
produksi enzim LiP mendominasi; sedangkan dalam kondisi terdapat Mn2+
, produksi
enzim MnP mendominasi. Efek pengaturan Mn2+
ini juga ditemukan pada lima strain
P chrysosporium, dua spesies lain Phanerochaete sp, tiga spesies Phlebia, Lentinus
endodes, dan Phellinus pini. Aktivitas LiP ditemukan dalam kondisi konsentrasi Mn2+
yang rendah. Beberapa penelitian menemukan bahwa mineralisasi lignin sintetik oleh
Pleurotus ostreatus meningkat dengan penambahan Mn2+
(Kerem and Hadar 1995).
Hasil penelitian lain memperkuat pernyataan tersebut, bahwa penambahan Mn2+
di
dalam media kultur meningkatkan hingga 125% mineralisasi lignin oleh Pleurotus
pulmonarius (Camarero et al. 1996).
Selain Mn2+
, penambahan Cu2+
juga dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas
enzim ligninolitik. Penambahan Cu2+
di dalam medium berpengaruh kuat pada
produksi enzim ligninolitik dan mempercepat dekolorisasi pewarna Poly R-478 oleh
Tremetes trogii (Levin et al. 2002). Hasil ini juga diperkuat oleh hasil penelitian lain
yang menyatakan bahwa penambahan Cu2+
juga meningkatkan aktivitas Lac oleh
-
42
Pleurotus pulmonarius dan Rhizoctonia praticola (Janusz et al. 2006, Tychanowicz et
al. 2006).
2.6.1.3. Aerasi
Aerasi merupakan salah satu parameter penting yang sulit dikontrol pada FKP.
Aerasi memiliki beberapa fungsi, antara lain: oksigenasi, menghilangkan CO2,
pengaturan panas, distribusi uap air, distribusi senyawa volatil yang dihasilkan selama
fermentasi. Aerasi dipengaruhi oleh porositas subatrat; pO2 dan pCO2 sebaiknya
dioptimasi untuk setiap tipe medium, mikroorganisme, dan proses yang diterapkan
(Graminha et al. 2008). Produksi, aktivitas enzim, dan degradasi lignin dipengaruhi
oleh aerasi. Sebuah penelitian klasik menemukan bahwa aerasi diperlukan untuk
pertumbuhan dan delignifikasi biomassa lignoselulosa oleh JPP (Duncan 1961).
Aerasi ditambahkan pada pembuatan biomechanical pulp skala laboratorium maupun
skala 50 ton (Akhtar et al. 1998). Penambahan aerasi sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan mikroba dan kualitas biomechanical pulp yang dihasilkan. Beberapa
Hasil penelitian mendukung pernyataan bahwa aerasi merupakan faktor yang paling
berpengaruh nyata pada pretreatment dengan P. chrysospoerium (Chen Hongzhang et
al. 2002). Pretreatment yang dilakukan tanpa aerasi umumnya dilakukan dalam skala
kecil, seperti dengan menggunakan cawan petri atau Erlenmeyer. Dalam skala kecil
penambahan aerasi relatif kurang diperlukan dan JPP dapat tumbuh dengan baik.
2.6.1.4. Sumber dan Konsentrasi Nitrogen
Konsentrasi nitrogen di dalam media kultur memainkan peranan penting di
-
43
dalam produksi dan aktivitas enzim ligninolitik, baik pada FKP maupun fermentasi
cair, tetapi pengaruh nitrogen bervariasi di antara spesies dan strain JPP. Penelitian
pengaruh nitrogen juga dilakukan pada degradasi senyawa xenobiotik dan
dekolorisasi pewarna oleh JPP (Hatvani and Mcs 2002, Kotterman et al. 1996,
Leung and Pointing 2002). Konsentrasi nitrogen sangat penting untuk degradasi
lignin oleh P. chrysospoerium Burds, tetapi sumber nitrogen hanya berpengaruh kecil
(Kirk T. K. et al. 1978). Aktivitas enzim ligninilitik oleh Pleurotus ostreatus menurun
dengan penambahan nitrogen anorganik pada medium. Konsentrasi nitrogen yang
rendah dari nitrogen organik (peptone dan casein) memberikan efek positif pada
aktivitas enzim (Mikiashivili et al. 2006).
2.6.1.5. Kadar Air
Kadar air awal lignoselulosa mempengaruhi pertumbuhan JPP. Umumnya
JPP menghendaki kadar air awal yang cukup tinggi sekitar 60-85%. Kandungan air
juga berpengaruh terhadap distribusi okigen (aerasi). Dalam kondisi kandungan air
tinggi pori-pori lignoselulosa akan terisi oleh air dan menghalangi areasi. Kandungan
air secara signifikan mempengaruhi degradasi lignin oleh P. chrysosporium dan
kandungan air terbaik adalah 75% (Shi et al. 2008). Namun, hasil yang berbeda
dilaporkan lain bahwa rasio solid/liquid yang rendah lebih menguntungkan untuk
produksi MnP dan LiP (Fujian et al. 2001). FKP jerami dengan JPP optimum pada
kandungan air 75ml/25g substrat (Zadrail and Brunnert 1981). Dalam kondisi basah
(kadar air tinggi) pertumbuhan miselia terlihat lebih dominan.
-
44
2.6.1.6. Keasaman (pH) dan Temperatur
Produksi enzim ligninolitik dipengaruhi oleh kondisi keasaman (pH) pada
FKP. Dilaporkan bahwa pH awal media yang baik untuk produksi enzim LiP dan
MnP oleh P. chrysospoerium adalah antara 4.0 5.5 (Fujian et al. 2001), sedangkan
pH substrat menurun selama FKP (Agosin et al. 1985).
Berbagai temperatur yang optimal pada FKP untuk produksi enzim
ligninolitik telah dilaporkan. Produksi enzim oleh P. chrysospoerium dilaporkan
optimal pada temperatur 39oC (Fujian et al. 2001). Laporan lain menyebutkan bahwa
suhu 37oC adalah optimal untuk pertumbuhan miselia, sedangkan suhu 30
oC untuk
produksi enzim (Asther et al. 1988). Degradasi lignin oleh Ganoderma applanatum,
Pleurotus ostreatus, dan Pleurotus serotinus lebih rendah pada 30oC daripada pada
22oC (Zadrail and Brunnert 1981). Hanya Tremetes hirsuta yang meningkat dengan
peningkatan suhu hingga 30oC. Perbedaan temperatur yang goptimal pada JPP
kemungkinan disebabkan karena perbedaan fisologis, strain, dan tipe subatrat.
2.6.2. Pengaruh Pretreatment Biologi terhadap Karakteristik Biomassa Lignoselulosa
Pretreatment biologi biomassa lignoselulosa menggunakan JPP mengubah
karakteristik biokimia dan fisika dari biomassa (Gambar 12). Degradasi lignin oleh
JPP menjadi perhatian utama dalam beberapa penelitian pretreatment biologi. Sebagai
contoh, degradasi lignin dari jerami jagung naik menjadi 54,6% setelah 30 hari
diperlakukan dengan T. versicolor (Yu et al. 2010b), batang bambu menjadi < 20%
-
45
setelah diperlakukan selama 4 minggu dengan Echinodontium taxodii 2538
dan T. versicolor G20 (Zhang Xiaoyu et al. 2007a), dan jerami gandum menurun
menjadi 39,7% setelah diperlakukan dengan P. ostreatus (Puniya et al.
1994). Degradasi lignin oleh JPP adalah proses non-spesifik oksidatif yang akhirnya
menghasilkan degradasi lengkap lignin.
Gambar 12. Skema diagram pretreatment biologi lignoselulosa. Jamur Pelapuk Putih
menurunkan kadar lignin dan mengubah struktur kimia dan fisika
lignoselulosa yang membuat biokonversi lignoselulosa menjadi lebih
efisien (Isroi et al. 2011).
JPP memiliki kemampuan unik untuk memutuskan polimer (depolymerise),
memecah ikatan karbon-karbon, dan ikatan mineral dengan lignin oleh enzim
ligninolitik. Studi dengan lignin berlabel 14
C menunjukkan bahwa lignin terdegradasi
menjadi 14
CO 2 (Agosin et al. 1985, Hofrichter et al. 1999, Lundquist et al. 1977,
Prez and Jeffries 1990). Pleurotus ostreatus dan B. adusta adalah memecah lignin
yang sangat spesifik berdasarkan penelitian menggunakan lignin berlabel 14
C
(Agosin et al. 1985). Perubahan rasio antara p-hidroksifenil (H), guaiacyl (G), dan (S)
syringyl lignin unit dianalisis menggunakan kromatografi gas pirolisis--spektrometri
-
46
massa. Penelitian ini menunjukkan bahwa 10 U peroksidase per mg jerami dapat
menurunkan proporsi unit H fenolik dari 31% pada kontrol menjadi 3% pada jerami
yang diperlakukan, unit G 40-4%, dan sejumlah kecil fenolik unit S yang ada di
dalam jerami gandum terdegradasi penuh (Camarero et al. 2001). Beberapa
penelitian mengusulkan bahwa urutan kerentanan unit lignin adalah sebagai berikut:
S> G> H. Secara umum, biomassa dengan lignin yang kaya S lebih rentan terhadap
degradasi JPP dibandingkan unit lignin lainnya (Valmaseda et al. 1991).
Hemiselulosa lebih mudah untuk terdegradasi oleh JPP dibandingkan
komponen lain dalam biomassa lignoselulosa. JPP seperti P. chrysosporium (Kirk T.
Kent and Cullen 1998), Phlebia floridensis (Sharma and Arora
2010), C. subvermispora (Mendona et al. 2008), Pleurotus ostreatus (Baldrian et al.
2005), dan Pleurotus dryinus (Kachlishvili et al. 2005) menghasilkan endoxylanases
yang dapat menghidrolisis hemiselulase. Analisis terhadap komposisi kandungan
tongkol jagung menunjukkan bahwa selama perlakuan selama hari 30 dengan JPP
hemiselulosa terdegradasi sebesar 24,4-34,9% (Yang Xuewei et al. 2010). Tongkol
jagung yang diperlakukan menggunakan C. subvermispora selama 18 hari mengalami
penurunan kandungan hemiselulosa hingga 22,5%, dan Kayu Willow Cina yang
diperlakukan menggunakan Echinodontium taxodii 2.538 selama 120 hari kandungan
hemiselulosa berkurang sebesar 54,8% (Yu et al. 2009). Degradasi hemiselulosa dan
degradasi lignin dapat menurunkan recalcitration dari lignoselulosa terhadap
hidrolisis enzimatik, tapi degradasi xilan meningkatkan risiko menurunkan
kandungan gula yang dapat dikonversi dari biomassa lignoselulosa (Yu et al. 2010a).
-
47
JPP menghasilkan enzim selulase dengan kekhususan dan karakteristik yang
berbeda. Selulase menghidrolisis -1,4-glikosidik selulosa. JPP dikelompokkan
menjadi dua kelompok berdasarkan selektifitasnya mendegradasi komponen
lignoselulosa, yaitu: non-selektif dan selektif. JPP non-selektif dapat mendegradasi
semua komponen lignoselulosa dalam jumlah yang sama, termasuk
selulosa. Sedangkan JPP selektif mendegradasi selulosa dalam jumlah lebih sedikit
(Blanchette R.A 1995), dan sesuai untuk pretreatment biologi. Pretreatment biologi
menyebabkan perubahan mikrostruktur selulosa. Analisis XRD menunjukkan
penurunan kristalinitas selulosa setelah pretreatment biologi. Indeks kristalinitas
jerami padi menurun dari 44% pada jerami yang tidak diperlakukan, menjadi 15%
pada jerami yang diperlakukan menggunakan P. chrysosprorium (Zeng et al.
2011). Sebaliknya, indeks kristalinitas jerami padi sedikit berkurang setelah
diperlakukan menggunakan D. squelens (Bak et al. 2010). Pretreatment Biologi pinus
merah Jepang (Pinus densiflora) telah terbukti mengurangi kristalinitas selulosa dan
meningkatkan jumlah pori-pori yang memiliki ukuran lebih dari 120 nm (Lee et al.
2007).
Morfologi permukaan biomassa lignoselulosa telah diperiksa oleh analisis
mikroskop elektron (SEM). Hasil analisa SEM menunjukkan beberapa perubahan
fisik di permukaan biomassa setelah pretreatments biologi. Pretreatment biologi
biomassa mengakibatkan lubang tidak teratur pada permukaan jerami jagung (Yu et
al. 2010b). Hasil ini menunjukkan bahwa pretreatment biologi meningkatkan luas dan
-
48
porositas permukaan substrat. Pretreatment Biologi pada tongkol jagung
dengan Irpex lacteus signifikan meningkatkan volume pori dan ukuran pori (Xu et al.
2010). Jerami gandum yang diperlakukan menggunakan P. chrysosporium memiliki
luas permukaan yang lebih luas, hal ini menunjukkan degradasi agresif atau
modifikasi lignin dan membuat permukaan hemiselulosa dan selulosa menjadi lebih
terbuka (Zeng et al. 2011). Permukaan jerami padi menunjukkan permukaan yang
kasar dan secara parsial rusak setelah pretreatment biologi
menggunakan D. squalens (Bak et al. 2010).
2.6.3. Kombinasi Pretreatment Biologi dengan Metode Pretreatment Lain
Kelemahan utama dari pretreatment biologi adalah potensi hilangnya
polisakarida (hemiselulosa dan selulosa) dan waktu pretreatment yang lebih lama dari
pretreatment kimia/fisika. Pretreatment biologi dapat dikombinasikan dengan
pretreatment kimia/fisika untuk mengurangi waktu pretreatment, kehilangan
polisakarida, dan untuk meningkatkan hasil gula yang dapat difermentasi.
Pretreatment kimia/fisik sebelum pretreatment biologi memungkinkan substrat akan
mudah untuk diakses jamur dalam menurunkan kandungan lignin (Reid 1989).
Optimalisasi kombinasi pretreatment diarahkan ke hasil gula yang maksimum dan
untuk mengurangi biaya keseluruhan pretreatment, yaitu: waktu inkubasi, konsentrasi
asam, dan/atau energi yang digunakan.
Penelitian kombinasi pretreatment fisika/kimia dengan pretreatment biologi
telah dilaporkan dalam beberapa referensi. Jerami padi yang diperlakukan dengan
-
49
ledakan uap (steam explotion) sebelum pretreatment biologi menggunakan Pleurotus
ostreatus dapat mengurangi waktu dari 60 hari menjadi 36 hari dan mendapatkan
glukosa 33% (Taniguchi et al. 2010). Jerami padi yang mendapat pretreatment
dengan H2O2 (2%, 48 jam), waktu pretreatment biologi berkurang dari 60 hari
menjadi 18 hari dengan hasil gula yang sebanding (Yu et al. 2010b). Pengurangan
waktu pretreatment dimungkin karena degradasi parsial lignin dan polisakarida, serta
kerusakan parsial dari struktur lignoselulosa selama pretreatment biologi.
Kombinasi pretreatment eceng gondok (Eichhornia crassipes) dengan JPP E.
taxodii (10 hari) dan 0,25% H2SO4 terbukti lebih efektif daripada metode
pretreatment asam saja. Hasil gula pereduksi dari hidrolisis enzimatik meningkat
dengan faktor 1,13-2,11 dibandingkan dengan pretreatment asam di bawah kondisi
yang sama (Ma et al. 2010). Pretreatment biologi serpihan kayu beech sebelum
pretreatment organosolv bisa meningkatkan hasil etanol sebesar 1,6 kali lebih banyak
daripada tanpa pretreatment biologi (Itoh et al. 2003). JPC dikombinasikan dengan
pretreatment organosolv juga telah digunakan (Monrroy et al. 2010). Pretreatment
biologi serpihan kayu Pinus radiata sebelum pretreatment organosolv meningkatkan
asesibilitas enzyme. Pretreatment biologi jerami jagung selama 15 hari menggunakan
E. taxodii diikuti oleh pretreatment alkali/oksidatif dapat menyebabkan peningkatan
50,7% dalam mengurangi gula dibandingkan dengan pretreatment alkali/oksidatif
saja (Yu et al. 2010b). Pretreatment Biologi batang jagung diikuti oleh pretreatment
alkali ringan dengan I. lacteus dapat meningkatkan kecernaan selulosa. Degradasi
lignin pada pretreatment biologi meningkat dan hidrolisis glukosa meningkat
-
50
signifikan ketika dikombinasikan dengan pretreatment alkali (Yu et al. 2010a).
Peningkatan gula hasil hidrolisis maupun etanol hasil fermentasi dari biomassa
lignoselulosa yang diperlakukan dengan kombinasi pretreatment fisika/kimia-biologi
kemungkinan disebabkan karena pengaruh sinergistik dari kedua pretreatment
tersebut. Struktur lignin dan/atau hemiselulosa mengalami perubahan yang lebih
besar disebabkan oleh kombinasi pretreatment daripada pretreatment tunggal.
Perubahan struktur lignin dan/atau hemiselulosa ini memudahkan selulosa untuk
dihidrolisis menjadi gula.
HALAMAN JUDULHALAMAN PENGESAHANPERNYATAANKATA PENGANTARDAFTAR ISIDAFTAR TABELDAFTAR GAMBARDAFTAR LAMPIRANARTI LAMBANG DAN SINGKATANINTISARIABSTRACTI. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang1.2.Tujuan penelitian2. TINJAUAN PUSTAKA2.1.Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)2.1.1. Ketersediaan TKKS2.1.2. Karakteristik Fisik TKKS2.1.3. Karakteristik Kimia TKKS
2.2. Biomassa Lignosellulosa2.2.1. Lignin2.2.2. Selulosa2.2.3. Hemiselulosa
2.3. Pretreatment2.4. Pretreatment Biologi dengan Jamur Pelapuk Putih (JPP)2.5. Jamur Pelapuk Putih (JPP)2.5.1. Degradasi Biomassa Lignoselulosa oleh Jamur Pelapuk Putih (JPP)
2.6. Pretreatment Biologi oleh Jamur Pelapuk Putih (JPP) dengan FermentasiKulur Padat (FKP)2.6.1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pretreatment BiologiMenggunakan Jamur Pelapuk Putih2.6.2. Pengaruh Pretreatment Biologi terhadap Karakteristik BiomassaLignoselulosa2.6.3. Kombinasi Pretreatment Biologi dengan Metode Pretreatment Lain
3. LANDASAN TEORI4. HIPOTESIS5. METODE PENELITIAN5.1. Mikroorganisme dan Bahan5.1.1. Mikroorganisme5.1.2. Media5.1.3. Tandan Kosong Kelapa Sawit
5.2. Tahapan Penelitian5.2.1. Tahap 1. Seleksi Jamur Pelapuk Putih untuk Pretreatment BiologiTandan Kosong Kelapa Sawit5.2.2. Tahap 2. Pengaruh Penambahan Mangan (Mn2+) dan Tembaga (Cu2+)terhadap Pretreatment Biologi Tandan Kosong Kelapa sawitMenggunakan Isolat JPP Terpilih Hasil dari Tahap 15.2.3. Tahap 3. Kombinasi Pretretment Biologi Menggunakan Isolat JPPTerpilih Hasil dari Tahap 1 dengan Pretreatment Asam Fosfat
5.3. Metode Pretreatment Biologi5.3.1. Pretretment biologi untuk penelitian Tahap 1 dan 2
5.3.2. Pretreatment biologi untuk penelitian Tahap 35.4. Metode Pretreatment Asam Fosfat5.5. Metode Hidrolisis Enzimatik5.5.1. Hidrolisis Enzimatik untuk Sampel TKKS Hasil Penelitian Tahap 25.5.2. Hidrolisis Enzimatik untuk Sampel TKKS Hasil Penelitian Tahap 3
5.6. Metode Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan5.7.Metode Analisis5.7.1. Analisis Kandungan Lignoselulosa dengan Metode Chesson-Datta5.7.2. Analisis Kandungan Lignoselulosa dengan Metode NERL5.7.3. Analisis Biomassa Jamur Pelapuk Putih5.7.4. Analisis Gugus Fungsional dengan FTIR5.7.5. Analisis Perubahan Struktur Fisik TKKS dengan Scanning ElectronMicroscopy (SEM)5.7.6. Analisis Monosakarida (Selobiosa, Glukosa, Xylosa, Mannosa, Galaktosadan Arabinosa)5.7.7. Analisis Etanol5.7.8. Analisis Statistik
6. HASIL DAN PEMBAHASAN6.1. Seleksi Jamur Pelapuk Putih untuk Pretreatment Biologi Tandan KosongKelapa Sawit6.1.1. Perubahan Kandungan Lignin6.1.2. Perubahan Kandungan Hemiselulosa6.1.3. Perubahan Kandungan Selulosa6.1.4. Pertumbuhan Jamur
6.2. Pengaruh Penambahan Mangan (Mn) dan Tembaga (Cu) terhadapPretreatment Biologi Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pleurotusfloridanusi LIPIMC9666.2.1. Pengaruh Pretreatment Biologi pada Berat Kering TKKS6.2.2. Pengaruh Pretreatment Biologi pada Perubahan Komponen lignoselulosaTKKS6.2.3. Pengaruh Pretreatment Biologi Pada Karakteristik Fisik Dan StrukturalTKKS6.2.4. Pengaruh Pretreatment Biologi pada Digestibilitas TKKS
6.3. Perubahan Strultural Tandan Kosong Kelapa Sawit Setelah Pretreatmentdengan Pleurotus floridanus dan Asam Fosfat6.3.1. Pengaruh Pretreatment pada Komponen Biomassa6.3.2. Efek Pretreatment terhadap Struktur TKKS6.3.3. Pengaruh pretreatment pada Morfologi TKKS6.3.4. Digestibilitas TKKS6.3.5. Produksi Bioetanol dari TKKS yang telah Mendapat Pretreatment
7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI7.1. Kesimpulan7.2. Rekomendasi
Daftar PustakaLAMPIRANLampiran 1.Lampiran 2.Lampiran 3.Lampiran 4.Lampiran 5.Lampiran 6.Lampiran 7.Lampiran 8.Lampiran 9.Lampiran 10.Lampiran 11.Lampiran 12.Lampiran 13.Lampiran 14.Lampiran 16.Lampiran 18.Lampiran 19.Lampiran 20.Lampiran 21Lampiran 22.Lampiran 23.Lampiran 24.Lampiran 25.Lampiran 26.Lampiran 27.Lampiran 28.Lampiran 29.Lampiran 29.Lampiran 30.