Perubahan Sosial di Pedesaan Bali -...

59
BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Asal Mula Desa Asli di Bali Desa di Bali Pada Jaman Kuno Desa adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984), secara ringkas berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dalam perkembangannya kemudian, kata desa lalu diadopsi dalam bahasa Indonesia, yang artinya menjadi kurang lebih adalah kawasan tempat pemukiman suatu penduduk. Sebagai suatu tempat pemukiman suatu penduduk, keberadaan desa di Bali memiliki catatan sejarah yang sangat panjang. Walaupun kapan persisnya desa-desa di Bali Mulai terbentuk, tidak ada catatan yang pasti. Namun demikian, dari cerita-cerita di babad yang ditulis di lontar dalam huruf Jawa Kuno, desa-desa di Bali sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad VIII. Ini terutama terjadi sejak seorang Maharesi dari Jawa bernama Markandya berimigrasi atau datang ke Bali bersama ratusan pengikutnya untuk memulai suatu kehidupan baru dengan membentuk desa-desa di sana. Dalam Babad Markandya Purana yang sudah diterjemahkan oleh Surpha (2004: 7-8), misalnya, disebutkan antara lain: Seorang Maharesi bernama Maharsi Markandya pada mulanya bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), pergi ke Bali bersama delapan ribu pengikutnya dengan maksud membuka hutan yang akan dijadikan ladang pertanian dan desa tempat pemukimannya. Mereka mula-mula tiba di Desa Taro (yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar). Di sana pekerjaan merabas hutan mulai dilakukan akan tetapi pekerjaannya tidak berhasil oleh karena banyak di antara para pengikut Maharsi Markandya ini yang menderita sakit, diserang binatang buas dan sebagainya, yang sekalian menyebabkan kematiannya. Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian berangkat kembali ke Bali bersama-sama empat ribu orang pengiringnya. Pada kedatangannya yang kedua ini beliau tidak langsung merabas

Transcript of Perubahan Sosial di Pedesaan Bali -...

Page 1: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3

PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Asal Mula Desa Asli di Bali

• Desa di Bali Pada Jaman Kuno

Desa adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984), secara ringkas berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dalam perkembangannya kemudian, kata desa lalu diadopsi dalam bahasa Indonesia, yang artinya menjadi kurang lebih adalah kawasan tempat pemukiman suatu penduduk. Sebagai suatu tempat pemukiman suatu penduduk, keberadaan desa di Bali memiliki catatan sejarah yang sangat panjang. Walaupun kapan persisnya desa-desa di Bali Mulai terbentuk, tidak ada catatan yang pasti.

Namun demikian, dari cerita-cerita di babad yang ditulis di lontar dalam huruf Jawa Kuno, desa-desa di Bali sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad VIII. Ini terutama terjadi sejak seorang Maharesi dari Jawa bernama Markandya berimigrasi atau datang ke Bali bersama ratusan pengikutnya untuk memulai suatu kehidupan baru dengan membentuk desa-desa di sana. Dalam Babad Markandya Purana yang sudah diterjemahkan oleh Surpha (2004: 7-8), misalnya, disebutkan antara lain:

“Seorang Maharesi bernama Maharsi Markandya pada mulanya bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), pergi ke Bali bersama delapan ribu pengikutnya dengan maksud membuka hutan yang akan dijadikan ladang pertanian dan desa tempat pemukimannya. Mereka mula-mula tiba di Desa Taro (yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar). Di sana pekerjaan merabas hutan mulai dilakukan akan tetapi pekerjaannya tidak berhasil oleh karena banyak di antara para pengikut Maharsi Markandya ini yang menderita sakit, diserang binatang buas dan sebagainya, yang sekalian menyebabkan kematiannya. Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian berangkat kembali ke Bali bersama-sama empat ribu orang pengiringnya. Pada kedatangannya yang kedua ini beliau tidak langsung merabas

Page 2: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

84

hutan akan tetapi terlebih dahulu menyelenggarakan upacara keagamaan Hindu yang dinamakan Bhuta Yadnya dan menanam Pancadatu (lima jenis logam pelengkap upakara yadnya) pada suatu tempat di kakinya Gunung Agung yang sekarang dikenal dengan nama Pura Basukian di Besakih. Setelah upacara ini selesai barulah beliau beserta rombongannya menuju desa Taro dan kemudian melanjutkan pekerjaan pembukaan tanah hutan tersebut. Kali ini pekerjaannya berhasil dengan baik dan pada waktu itu juga beliau mengadakan pembagian tanah pemukiman dan tanah garapan kepada para pengiringnya. Tempat Maharsi Markandya membagi-bagikan tanah itu sekarang dikenal dengan nama Desa Puakan, yaitu disebelah utara desa Taro. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Desa Puakan itu berasal dari kata ‘Piakan’ yang artinya pembagian dan merupakan nama yang diberikan oleh Maharsi Markandya sebagai suatu peringatan bahwa ditempat itulah pada mulanya Maharsi Markanda membagi-bagikan tanah untuk para pengikut-pengikutnya. Selanjutnya dalam kurun waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi Markandya ini menyebar dan membangun tempat-tempat pemukiman baru serta bertempat tinggal di desa-desa yang baru didirikannya itu, antara lain di desa-desa Simbaran, Cempaga, Sidatapa, Gobleg, Beratan, Tigawasa, Lampu, Trunyan, Batur, Pelaga, dan lain yang hampir semuanya terletak di daerah pegungungan”.

Dari sejak saat itulah desa-desa sebagai suatu kesatuan wilayah pemukiman, mulai secara perlahan-lahan menyebar dan berkembang di Bali. Tetapi memang tujuan dari Maharsi Markandya beserta para pengikutnya bermigrasi ke Bali tidak sekedar membangun tanah-tanah pertanian dan pemukiman baru. Lebih dari itu, tujuan Maharsi Markandaya pergi ke Bali bersama para pengikutnya adalah untuk mengembangkan agama Hindu di Pulau Bali, khususnya ajaran Trisaktipaksa seperti Waisnawapaksa1

1 Salah satu aliran dalam ajaran Hindu yang dikembangkan pertamakali di Bali oleh Maharsi Markandya pada abad VIII. Ajaran Waisnawapaksa ini menekankan pemujaan terhadap Dewa Wisnu. Sampai sekarang jejak dari aliran ini masih ada di Bali, antara lain, tergabung dalam apa yang disebut dalam soroh atau klan keluarga Bhujangga Waisnawa. Soroh atau klan keluarga Bhujangga Waisnawa sampai sekarang mengaku bahwa leluhur mereka adalah Maharsi Markandya.

serta tatacara melakukan upacara dan upakara (bebanten) pada masyarakat Bali. Oleh karena

Page 3: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

85

tujuan bermigrasi ke Bali bukan semata-mata membangun pemukiman baru, tetapi terutama juga untuk menyebarkan dan mengembangkan ajaran agama Hindu, maka desa-desa baru di Bali yang dibangun sejak kedatangan Maharsi Markandya, di dalamnya selalu didirikan apa yang disebut sebagai kahyangan desa. kayangan desa adalah suatu bentuk bangunan Pura yang didirikan di wilayah suatu desa sebagai tempat bagi masyarakat desa melakukan upacara pemujaan kepada Tuhannya.

Berkaitan dengan awal keberadaan kayangan desa ini, lontar Markandya Purana menyebutkan antara lain:

“Sekarang oleh karena sudah banyak yang dapat merabas hutan maka Maharesi Markandya berkeinginan membangun kahyangan desa. Pada saat itu ia memberikan pengikutnya bagian tanah, semua supaya cukup pekarangan serta sawah dan ladang. Penyelenggaranya disebut ‘desa’. Desa inilah yang punya tugas kewajiban mengurus pura kahyangan desa”.2

Dengan adanya pengertian bahwa penyelenggara (upacara) di kayangan disebut desa dan desa berkewajiban mengurus pura kahyangan, maka makna dari suatu desa di Bali sejak awalnya tidak saja mengandung arti sebagai tempat pemukiman (teritorial) suatu komunitas (kesatuan masyarakat hukum), tetapi lebih dari itu kata desa itu sendiri pada mulanya juga mengandung pengertian spiritual atau kerohanian. Dalam perkembangannya sampai sekarang, keberadaan desa tidak bisa dipisahkan dengan unsur kahyangan itu, dan bahkan unsur kahyangan itu yang menjadi landasan paling utama dari keberadaan suatu desa (adat) di Bali.

Jadi pada awal pembentukannya, struktur desa (asli) di Bali memiliki konstruksi sebagai kesatuan masyarakat hukum dan sekaligus juga sebagai kesatuan masyarakat kerohanian, spiritual atau religius. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum, desa di Bali pada waktu itu, paling tidak memiliki batas-batas wilayah hukum (adat) sendiri, yaitu apakah dalam bentuk kewilayahan fisik atau teritori adat maupun keanggotaan/warga desa, yang dalam bahasa Bali disebut 2 Lihat: Kertas Posisi Yayasan Wisnu No: 02/VII/2001. Dikutib dari: http://di

antara.wisnu.or.id/v2/ID/pdf/DesaPekraman danGumi Bali.pdf

Page 4: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

86

krama/kraman. Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, desa memiliki wilayah teritori tertentu, yang sampai hari ini pun, batas-batasnya lebih banyak mengacu pada bentuk tanda-tanda alam yang berada atau melingkupi desa bersangkutan, seperti misalnya batu besar, perbukitan, sungai, areal persawahan, atau juga batas desa (adat) tetangganya (bandingkan dengan batas-batas Desa Adat/Pakraman Desa Tabola yang dibahas dalam Bab V).

Selain batas teritorial, desa di Bali juga memiliki batasan keanggotaan dalam wujud kraman atau krama desa (warga desa) yang terikat dengan kesatuan adat di desa yang bersangkutan. Sejak jaman dahulu kala hingga sekarang, kesatuan adat masing-masing desa di Bali ini memiliki ciri yang berbeda-beda disamping kesamaan, meskipun kalau di lihat selintas dari luar sepertinya semuanya sama atau seragam. Terkait dengan hal ini, di Bali sampai sekarang dikenal suatu konsep yang menjadi salah satu pilar kehidupan masyarakat desa yaitu Catur Dresta. Konsep yang dari suku katanya berarti empat (catur) pandangan (dresta) ini, bagi desa adat di Bali bermakna kurang lebih “empat pandangan mengenai tatakrama pergaulan hidup yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat (desa)”.

Unsur pertama dari Catur Dresta ini adalah purwa dresta yang berarti suatu pandangan yang berlaku sejak jaman dahulu kala dan yang secara tradisi masih berlaku hingga sekarang. Unsur kedua adalah sastra dresta, yaitu pandangan untuk pedoman mengatur kehidupan masyarakat desa yang di dasarkan pada ajaran agama Hindu. Unsur ketiga adalah loka dresta, yaitu sesuatu pandangan yang khas dari masyarakat lokal (daerah atau desa) tertentu yang bisa berbeda dari masyarakat lokal yang lain. Unsur keempat adalah desa dresta yaitu pandangan yang hanya berlaku untuk suatu masyarakat desa tertentu. Unsur yang ketiga dan keempat ini menjadi rujukan dari adanya kekhususan terkait keberadaan kraman atau krama desa dari masing-masing desa yang memiliki ciri yang berbeda-beda itu. Ditambah kenyataan yang sampai sekarang masih tetap berlaku yaitu masing-masing krama dari suatu desa (adat) tertentu di Bali terikat pada suatu hubungan kerohanian dengan kahyangan desa yang ada di desa (adat) masing-masing. Ikatan kerohanian para krama desa dengan Pura

Page 5: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

87

kahyangan desa yang ada di desa masing-masing ini dikenal dengan nama pemaksan atau kurang lebih artinya warga pura kahyangan desa.

Konsep pemaksan ini sekaligus menunjukkan keberadaan desa di Bali sebagai suatu kesatuan spiritual atau kerohanian. Jadi di sini kalau sebagai kesatuan masyarakat hukum, individu di desa disebut kraman atau krama desa, maka individu di desa sebagai bagian dari kesatuan spiritual atau kerohanian disebut pemaksan pura. Dalam konteks ini, hampir bisa dipastikan bahwa setiap krama desa adalah anggota dari pamaksan pura kahyangan desa; dan begitupula sebaliknya. Dengan demikian, sejak semula, struktur desa asli di Bali dikonstruksikan sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang mengandung dua aspek sekaligus, yaitu masyarakat hukum (adat) yang tercermin dari struktur desa dengan para kramannya, dan masyarakat spiritual atau rohani yang tercermin dari struktur kahyangan desa atau kahyangan tiga dengan para pemaksannya. Dalam praktiknya, antara aspek hukum dan spiritual atau kerohanian ini bukan merupakan dua entitas yang terpisahkan dan terdikotomi (dualisme) melainkan saling berhubungan dan kait mengkait secara erat sehingga boleh dikatakan membentuk satu struktur dengan suatu relasi di dalamnya yang kurang lebih bersifat dualitas. Sifat dualitas ini berarti bahwa dua identitas yang melakat pada diri individu masyarakat Bali, yaitu sebagai krama dan pemaksan, keberadaannya tidak bisa dipisahkan, tetapi saling mengandaikan. Desa dalam pengertian yang berstruktur dualitas inilah yang merupakan bentuk awal dari struktur desa asli di Bali.

Namun dalam perjalanannya kemudian, ajaran agama Hindu di Bali itu sendiri berkembang menjadi berbagai sekte. Hal demikian, dengan sendirinya mempengaruhi keberadaan kahyangan yang ada di desa-desa, yang akhirnya juga berkembang sejalan dengan perkembangan sekte-sekte yang ada. Berdasarkan catatan sejarah, berbagai sekte yang pernah berkembang dan dianut sebagai keyakinan oleh masyarakat desa di Bali pada masa silam itu antara lain: sekte Syiwa (Dewa Syiwa), Khala, Brahma (Dewa Brahma/Pencipta), Wisnu (Dewa Wisnu/Pemelihara), Bayu (Dewa Angin), Iswara, Bhairawa, Ghanapatya (Dewa Ganesha) dan Sogotha (Budha). Keberadaan sekte-sekte itu terus berlangsung. Sampai pada suatu ketika di abad X, atau

Page 6: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

88

tepatnya sejak tahun 988 M wilayah Bali diperintah oleh sepasang raja suami istri yang bergelar Udayana Warmadewa dan Sri Gunapriya Dharmapatni.

Pada masa pemerintahan raja Udayana Warmadewa dan Sri Gunapriya Dharmapatni ini, mulai muncul pertentangan yang sengit di kalangan masyarakat, terutama oleh karena adanya perbedaan keyakinan (sekte-sekte), atau dalam bahasa Balinya disebut ‘paksa’. Ini karena masing-masing sekte berusaha memperluas dan memperkuat pengaruhnya di masyarakat. Memang perbedaan itu belum sampai mengarah pada situasi yang membahayakan pemerintahan sepasang raja suami istri itu. Namun demikian dampak dari pertentangan itu sebenarnya telah memecah belah kehidupan masyarakat desa, khususnya dalam konteks kehidupan masyarakat desa yang terkait langsung dengan aspek-aspek kahyangan desa. Oleh karena desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat terkait erat dengan desa sebagai kesatuan masyarakat spiritual (sifat hubungannya yang dualitas), maka terganggunya satu sisi dari dua aspek kehidupan masyarakat itu dengan sendirinya mulai menggoyahkan struktur desa secara keseluruhan. Struktur desa yang mulai goyah inilah yang mungkin telah mengganggu kelangsungan keseimbangan dan keharmonisan kehidupan sosial-spiritual masyarakat desa.

Menghadapi situasi demikian, maka sepasang raja suami istri mengundang empat Pandita atau Mpu dari Jawa Timur. Mengapa Mpu dari Jawa Timur? Ini bisa diterangkan dari realitas hubungan kesejarahan keluarga yang erat antara dinasti kerajaan di Jawa dan di Bali. Sebagaimana contoh, misalnya, ayah dari Raja Kahuripan di Jawa Timur, Airlangga, adalah Udayana, seorang Raja Bali yang beristri seorang putri dari Kerajaan Medang, di Jawa Timur, bernama Sri Mahendradatta. Udayana yang dimaksud ini adalah juga Udayana Warmadewa, sedangkan istrinya tidak lain adalah Sri Gunapriya Dharmapatni.3

3 Lihat: Airlangga. Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Http://id.wikipedia.org/wiki/Airlangga

Kelak hubungan antara Jawa Timur dan Bali tetap erat terpelihara, sebagaimana terbukti kemudian bahwa Raja Gegel di Bali

Page 7: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

89

yang mulai berkuasa sejak abad ke 13, Sri Kresna Wang Bang Kepakisan, semula adalah salah seorang Pangeran dari Kerajaan Majapahit. Sedangkan para elit penguasa yang mengelilinginya sebagian besar adalah Arya-Arya (para panglima dan prajurit satria) dari kerajaan yang sama.4

Dengan demikian memang menjadi tidak aneh kalau yang didatangkan untuk bisa membantu mengatasi situasi pertentangan di masyarakat adalah para Mpu dari Jawa. Keempat Mpu tersebut adalah sebagai berikut.

5

Keempat Mpu itu, secara bertahap, bersamaan dengan kedatangannya dalam waktu yang berbeda-beda, berusaha untuk ikut mengatasi masalah pertentangan antar sekte dalam keyakinan agama Hindu yang ada di masyarakat. Kedatangan mereka boleh dikatakan

Pertama, Mpu Semeru atau Mahameru yang tiba di Bali pada tahun 999 M. Mpu Semeru adalah pemeluk Syiwa (memuja Dewa Syiwa sebagai symbol Maha Pemusnah/Pralina atau yang mengembalikan sesuatu yang ada ke asalnya) dan menjalani ‘sukla brahmacari’ atau tidak kawin seumur hidup. Kedua, Mpu Ghana yang tiba di Bali pada tahun 1000 M. Mpu Ghana adalah pemeluk paham Ghanapatya (memuja Dewa Ganesha sebagai simbol Ilmu Pengetahuan) dan juga menjalani ‘sukla brahmacari’. Ketiga, Mpu Kuturan yang tiba di Bali pada tahun 1001 M. Mpu Kuturan adalah pemeluk agama Budha, aliran Mahayana, dan menjalani ‘sewala brahmacari’ atau kawin hanya sekali dalam seumur hidup dengan satu istri. Keempat, Mpu Genijaya tiba di Bali tahun 1006 M. Mpu Genijaya adalah pemeluk paham Brahmaisme (memuja Dewa Brahma sebagai simbol Maha Pencipta) dan menjadi ayah dari 7 Mpu yang kemudian dikenal dengan nama Sang Sapta Rsi di Bali. Mpu Genijaya menjalani ‘sewala brahmacari’.

4 Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun, terjemahan Cokorda Gede Dangin. Dokumen pribadi tanpa Tahun. 5 Lihat: Mpu Kuturan Sang Konseptor Desa Pakraman. Posted by ngarayana, 22 Januari 2010. Http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/01/mpu-kuturan-sangkonseptor-desa-pekraman/ Baca juga: Sastrodiwiryo, Soegianto. Perjalanan Danghyang Nirartha. Sebuah Dharmayatra (1478-1560) dari Daha sampai Tambora. Penerbit BP Denpasar. Denpasar, Bali, 1999. Halaman 15- 27.

Page 8: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

90

berhasil meredam dan bahkan meleburkan kembali pertentangan sengit yang semula berkembang di masyarakat. Dari keempat Mpu itu, satu di antara, yaitu Mpu Kuturan perlu disinggung khusus di sini karena memiliki catatan sejarah yang menonjol. Ini terutama dilihat dari buah pemikirannya untuk menyatukan kembali pertentangan sengit di masyarakat desa ketika itu, yang hingga saat ini, pemikirannya itu masih dijadikan sebagai dasar bagi pengaturan kehidupan sosial di desa-desa Bali.

Mpu Kuturan sendiri memegang jabatan penting di kerajaan sejak kedatangannya ke Bali, yaitu sebagai purohito kerajaan. Purohito adalah semacam jabatan pendeta istana tertinggi, tempat raja berguru dan meminta berbagai nasehat yang dibutuhkan. Di luar jabatannya sebagai purohito, Mpu Kuturan juga memegang kekuasaan sebagai senopati kerajaan dengan gelar Senopati Kuturan. Juga pada saat yang sama dia menjadi Ketua Majelis ‘Pakira-kira Ijro Makabehan’ yang beranggota semua senopati dan pandita dangacarya dan dangupadhyaya (Pandita Siwa dan Budha). Majelis ini berfungsi memberikan nasehat dan pertimbangan kepada raja serta melakukan pembinaan di segala bidang untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Dengan jabatan seperti itu maka Mpu Kuturan mengambil inisiatif untuk mengadakan apa yang disebut sebagai pesamuan agung atau pertemuan besar yang diselenggarakan di desa Bedulu, Bataanyar – kini namanya menjadi Desa Bedahulu yang ada di Kabupaten Gianyar, Bali. Dalam pesamuan agung itu berkumpul kurang lebih 1370 desa yang ada di seluruh wilayah Bali, yang semuanya dipimpin oleh para tokoh desanya masing-masing. Sedangkan pesamuan agung itu dipimpin langsung oleh Mpu Kuturan sebagai Ketua Majelis Pakira-kira Ijro Makabehan. Hasilnya, dicapai suatu kesepakatan bersama melalui proses musyawarah.

Apa hasil kesepakatan dalam pesamuan agung itu? Berikut hasil-hasil pokoknya, yang sampai hari ini masih tetap menjadi pilar

Page 9: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

91

dari keberadaan desa adat/pakraman di Bali.6

Lima kesepakatan itu kemudian menjadi dasar konsensus dalam menyatukan kembali pertentangan yang terjadi di kalangan masyarakat desa di Bali pada jaman itu. Dalam sejarah perkembangan masyarakat Bali sejak jaman kuno, proses tercapainya kesepakatan itu dianggap sebagai contoh gemilang terwujudnya suatu bentuk konsensus dalam

Pertama, paham Tri Murti dijadikan sebagai dasar keagamaan yang melingkupi semua sekte yang ada di Bali pada masa itu. Tri Murti adalah simbol dari keyakinan untuk memuja tiga dewa sebagai satu kesatuan, yaitu: Dewa Brahma, yang memiliki sifat sebagai ‘pencipta’ alam semesta; Dewa Wisnu, yang memiliki sifat sebagai ‘pemelihara’ alam semesta; dan Dewa Syiwa, yang memiliki sifat sebagai ‘pralina’ atau memusnahkan alam semesta yang ada. Kedua, dibentuk organisasi masyarakat desa yang disebut desa pakraman, dengan kahyangan tiga sebagai salah satu sendi dasarnya. Kahyangan tiga adalah tiga tempat suci (pura) yang harus ada dalam suatu desa pakraman, yaitu: (a) pura desa atau pura bale agung, yang merupakan tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma; (b) pura puseh, yang merupakan tempat suci untuk memuliakan Dewa Wisnu; (c) pura dalem, yang merupakan tempat suci untuk memuliakan Dewa Syiwa. Ketiga, dalam setiap rumah tangga didirikan sebuah pelinggih atau tempat pemujaan di rumah yang berbentuk rong telu (rong tiga). Fungsinya (dalam konteks sekarang) adalah untuk memuja dan memuliakan Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) dan roh suci para leluhur (keluarga). Nama lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam sanggah atau mrajan (kuil keluarga). Jadi di sini kalau pada tingkat desa terdapat tempat pemujaan yang dinamakan kahyangan tiga, maka pada tingkat rumah tangga/keluarga terdapat tempat pemujaan yang disebut pelinggih. Keempat, semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura (kahyangan tiga) adalah milik desa dan pura. Kelima, nama agama yang dianut oleh masyarakat Bali selanjutnya disebut sebagai agama (Hindu) Syiwa-Budha.

6 Lihat juga: Yayasan Wisnu. Mampukah Desa Pakraman Menjaga Gumi Bali. Kertas Posisi, No.: 02/VII/2001. Disampaikan dalam rangka program data informasi Yayasan Wisnu 3 bulanan tanggal 11 Juli 2001 di Aula Yayasan Wisnu. Denpasar, Bali, 2001.

Page 10: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

92

rangka membangun kembali suatu kehidupan bersama masyarakat desa yang harmoni. Dalam konteks sosiologis, dengan terbangunnya konsensus itu, maka struktur desa yang semula goyah bisa dipulihkan kembali. Dalam hal ini hubungan antara desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat) dan desa sebagai kesatuan masyarakat spiritual berjalan normal dan harmonis kembali. Struktur desa yang berciri dualitas sebagaimana disebut di atas, bisa terbangun kembali.

Secara teoritis, perkembangan seperti yang dijelaskan di atas itu boleh dikatakan merupakan suatu gejala perubahan sosial; sedangkan hasil kesepakatan yang mendorong pulihnya struktur sosial yang semula goyah itu dalam kerangka pemikiran Schulte-Nordhlot (1971) termasuk yang disebut sebagai prinsip-prinsip struktur (structural principles). Dalam konteks terjadinya perubahan sosial yang disebutkan di sini, maka terbangunnya structural priciples yang baru itu menjadi dasar dari pulihnya struktur sosial dari keadaan semula yang goyah.

Hasil musyawarah itu sampai hari ini masih tetap dipelihara, kemudian dijalankan oleh desa dan masyarakat desa di Bali dalam kehidupannya sehari-hari, sampai hari ini. Sebagaimana akan dijelaskan kemudian, sampai sekarang di seluruh desa di Bali terdapat kahyangan tiga atau kahyangan desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma (pura desa/bale agung), Dewa Wisnu (pura puseh) dan Syiwa (pura dalem) sebagai Tri Murti atau representasi tiga sifat Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Begitupula sampai hari ini, setiap keluarga di Bali, pada umumnya, memiliki pelinggih/sanggah/mrajan keluarga dengan didalamnya terdapat rong telu atau kemulan. Jadi kalau kahyangan tiga merupakan tempat suci pada tingkat desa maka pelinggih/sanggah/mrajan adalah semacam kahyangan pada tingkat keluarga. Dalam konteks ini maka seolah-olah ada hubungan spiritual yang erat antara struktur desa (masyarakat desa) dengan kahyangan tiga dan struktur keluarga (individu dalam keluarga) dengan pelinggih, sanggah atau mrajannya keluarganya masing-masing.

Page 11: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

93

Gambar 5: Mrajan milik suatu keluarga di Bali

Sumber: Istimewa

Menarik untuk diketahui bahwa pada akhirnya, nama agama Hindu di Bali sampai hari ini sering disebut dengan nama lain sebagai agama (Hindu) Syiwa-Budha, termasuk sebutan yang dikenal di Desa Tabola, Sidemen, tempat penelitian ini dilakukan. Namun begitu tidak berarti hanya agama (aliran) Syiwa-Budha saja yang ada, karena sampai sekarang ini, aliran Waisnawa juga masih hidup dan berkembang di beberapa tempat di Bali. Mereka bahkan membentuk klan atau soroh yang di Bali dikenal dengan nama Bhujangga Waisnawa.

Tetapi apa yang dimaksud dengan aliran agama Syiwa-Budha? Salah satu peninggalan sejarah dari ‘Samuan Tiga’ adalah Prasasti Samuan Tiga. Dalam prasasti disebutkan pengertian dari agama Syiwa-Budha, yaitu:

“Ndatan len kira Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang trimandala, Sang Sangkan Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu kojaring aji, utpee, stithi, linaning dadi kita koncanani paramartha Sogatha” (Tiada lain Siwa berupa Budha, berkuasa menghidupkan sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta, menciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka, Engkau yang mengadakan ajaran atau dharma, yang berdasarkan nilai-nilai kelahiran, kehidupan, dan akhirnya

Page 12: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

94

kematian. Jadi Engkau adalah penyebab tertinggi wahai Budha). 7

Dalam masa kemudian, realitas Syiwa-Budha dinyatakan dalam suatu konsep yang disebut Rwabhineda.

Sebagaimana akan dikupas dalam bagian lain dari disertasi ini, konsep Rwabhineda ini bahkan kemudian ikut mendasari cara berfikir, bersikap dan dan bertindak masyarakat desa Bali. Secara singkat, Rwabhineda bisa diartikan sebagai ‘dua yang berbeda tetapi adalah satu’; dua yang berbeda itu dicerminkan dengan sosok kesatuan Syiwa dan Budha, sedang satu itu bermakna Dia Yang Tunggal, Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Konsep Rwabhineda ini sesungguhnya mengandung gagasan tentang dualitas, yang maknanya adalah bahwa dalam kehidupan dunia ini realitas sering menampakkan diri dalam dua sisi katagori yang berbeda (hitam-putih, baik-buruk, benar-salah, hilir/teben dan hulu, profane/sekala dan sakral/niskala, dan lain sebagainya) tetapi yang eksistensinya saling mengandaikan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Hitam, misalnya, tidak pernah akan ada tanpa putih, dan sebaliknya; begitupula kebaikan tidak akan pernah ada tanpa keburukan, dan sebaliknya. Tetapi realitas yang menampakkan diri dalam wujud dualitas itu pada hakekatnya adalah satu, sebagaimana Syiwa dan Budha itu sendiri yang merupakan dua hal berbeda tetapi hakekatnya adalah satu, yaitu Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Esa. Dalam konteks yang berbeda, Rwabhineda, dua hal berbeda tetapi satu, juga mengandung pengertian tentang keharmonisan (satu) yang muncul dari kehidupan dengan realitas yang beragam, berbeda (plural), yang seringkali mengundang terjadinya ketegangan dan konflik. Gagasan tentang keharmonisan ini, secara eksplisit dicerminkan melalui konsep Tri Hita Karana. Sebagaimana nanti akan dibahas dalam Bab 8, ada keterkaitan yang kuat antara konsep Rwabhineda dengan dualitasnya dengan konsep Tri Hita Karana dengan gagasan keharmonisannya itu.

7 Op.cit. Mpu Kuturan Sang Konseptor Desa Pakraman.

Page 13: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

95

• Desa Bali Aga dan Apanaga

Sampai sekarang, di Bali dikenal dua macam penyebutan desa adat, yaitu desa aga (Bali aga) dan desa apanaga (Bali apanaga). Perbedaan penyebutan ini dihubungkan dengan asal mula perkembangan desa atau masyarakat desa yang bersangkutan. Yang pertama (Bali aga), dikaitkan dengan sejarah masuknya para pendatang dari Jawa ke Bali gelombang pertama yang dipimpin oleh Mahersi Markandya pada abad ke 9. Yang kedua (Bali apanaga), dihubungkan dengan kedatangan imigran dari Jawa ke Bali pada gelombang ke dua yang terjadi sejak abad 14, yaitu ketika kerajaan Majapahit di Jawa Timur mulai memperluas dan memperdalam pengaruhnya ke Bali. Meskipun ada dua sebutan nama, tetapi pada umumnya atau sebagian besar desa-desa di Bali bisa digolongkan sebagai desa apanaga. Sedangkan hanya sedikit yang digolongkan dengan sebutan nama desa aga; dan umumnya desa aga ini lebih banyak berada di wilayah dataran tinggi atau pegunungan di Bali. Kedua bentuk desa ini sampai sekarang memiliki beberapa ciri yang berbeda, disamping masih adanya kesamaan, khususnya yang berkaitan dengan unsur dasar kahyangan yang memang harus ada di masing-masing desa di Bali.

Sebagaimana diketahui, kata aga itu sendiri berasal dari nama yang diberikan kepada para pengikut Maharsi Makandya di Gunung Raung, Jawa Timur, yaitu wong aga atau orang aga, yang berarti ‘orang-orang pilihan’. Mereka inilah yang bersama Maharsi Markandya pergi ke Bali, yang pada waktu itu masyarakatnya dikatakan dalam sejarah belum mengenal agama Hindu. Masyarakat Bali pada waktu itu masih tinggal dalam kelompok-kelompok dengan jro-nya atau para pemimpinnya masing-masing, dan mereka disebut sebagai orang Bali mula atau Bali awal, untuk membedakan dengan para pendatang awal dari Jawa yang menyebut dirinya sebagai orang aga.8

Kelak kemudian masyarakat Bali mula dan orang aga menjadi membaur, bersamaan dengan semakin diterimanya ajaran-ajaran

8 Lihat: Gde Pratam. Maha Rsi Markadeya dan Orang Bali Aga. http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/01/maha-rsi-markandeya-dan-orang-bali-aga/

Page 14: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

96

Hindu yang disebarkan oleh Maharsi Markandya ke Bali. Mereka lalu membentuk kesatuan-kesatuan masyarakat yang tinggal dalam suatu desa yang menempatkan kahyangan sebagai landasan dasar dari kehidupan masyarakat desa, sebagaimana diajarkan oleh Maheresi Markandya. Sampai sekarang, desa-desa yang keberadaannya berasal dari masa kuno itu jejak-jejaknya sebagian masih ada. Salah satu di antara adalah desa Tenganan Pegringsingan, yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.

Bahwa desa Tenganan bisa digolongkan sebagai desa Bali aga atau Bali mula, bisa dijelaskan dengan melihat perbedaan dalam beberapa aspek kehidupan sosial masyarakatnya, khususnya bila dibandingkan dengan masyarakat desa di Bali pada umumnya, atau yang disebut sebagai desa Bali apanaga. Perbedaan itu, misalnya, menyangkut: sistem pemerintahan desa, sistem pemilikan dan panguasaan tanah di desa, sistem hirarkhi sosial (sistem wangsa/kasta/warna) dalam masyarakat, begitu juga adanya variasi dalam tatacara sistem religi agama Hindu yang dianut masyarakatnya.9

Sebagai contoh, kepemimpinan desa-desa di Bali pada umumnya, atau desa apanaga, pada dasarnya berada ditangan seorang kepala desa (bendesa) yang dibantu oleh beberapa pengurus yang lain, yaitu prakangge (pengurus inti, seperti sekretaris dan bendahara) dan prajuru (pengurus biasa, seperti kepala urusan dan para klian banjar) desa. Misalnya, kepengurusan desa apanaga biasanya terdiri dari: bendesa (kepala desa), penyarikan (sekretaris), petengen (bendahara), dan prajuru (pengurus) desa yang lain. Termasuk dalam hal ini pengurus organisasi masyarakat desa di bawah desa, yaitu banjar dan tempekan, yang masing-masing memiliki kepengurusan sendiri. Pola kepengurusan seperti ini boleh dikatakan bersifat hirarkhis atau berjenjang, yaitu mulai dari kepemimpinan puncak hingga yang paling bawah (prajuru).

9 Hasil kunjungan dan pengamatan lapangan di desa serta wawancara dengan pemimpin adat desa yang bernama Wayan Mangku Widia atau Mangku Jero, Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, pada periode bulan Mei 2010.

Page 15: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

97

Sebaliknya di desa aga, seperti halnya di Tenganan, kepemimpinan desanya lebih bersifat kolektif atau tidak berada di tangan seorang pemimpin melainkan di tangan beberapa orang pemimpin. Biasanya kepemimpinannya, langsung atau tidak langsung, mengacu pada senioritas, yang dalam hal ini biasanya dilihat dari tolok ukur umur (usia), lama perkawinan dan/atau asal keturunan. Misalnya, di Tenganan, struktur kepemimpinan desanya terdiri dari enam tingkatan, yang masing-masing tingkatan tersebut membentuk semacam kepemimpinan kolektif, yaitu: (1) luanan, yang terdiri dari enam orang; (2) bahan duluan, terdiri dari enam orang; (3) bahan tebenan, terdiri dari enam orang; (4) tambelapu duluan, terdiri dari enam orang; (5) tembelapu tebenan, terdiri dari enam orang; dan akhirnya (6) pengeluduan, yang terdiri dari para penduduk desa yang sudah kawin (krama desa).

Page 16: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

98

Gambar 6: Struktur kepemimpinan kolektif di Desa Tenganan Pegringsingan

Pada tingkatan luanan, terdapat seorang yang dijadikan semacam simbol primus interpares, yang disebut Mangku. Orang tersebut harus berasal dari keluarga tertentu yang dianggap keturunan Sang Hyang atau yang disucikan. Untuk bisa masuk dalam struktur kepemimpinan yang terdiri dari enam tingkatan tersebut, persyaratannya adalah bahwa warga desa yang bersangkutan haruslah: sudah menikah; di antara anaknya belum ada yang menikah sehingga

Page 17: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

99

belum ada yang menjadi krama desa; harus masih berstatus pasangan suami-istri (tidak cerai atau salah satunya belum meninggal).10

Posisi dalam masing-masing tingkatan mulai dari pengeluduan sampai luanan, dicapai dengan mengisi posisi yang lowong atau ditinggalkan dari masing-masing lembaga itu, karena berbagai sebab seperti meninggal, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana disebutkan di atas. Pengisian posisi itu bergerak serentak, dari posisi yang ada di bawahnya menuju ke atas. Contohnya, ketika ada anggota (sepasang suami istri) yang harus harus keluar dari lembaga luanan karena berbagai sebab, maka lembaga luanan harus diisi lagi (supaya jumlahnya tetap 6) oleh salah satu orang yang ada di lembaga bahan duluan berdasarkan senioritas usia dan umur perkawinan.

Selanjutnya, posisi yang kosong di lembaga bahan duluan (karena salah satu harus menjadi luanan) harus diisi oleh salah seorang anggota lembaga di bahan tebenan. Dan begitulah seterusnya, berdasarkan urutan yang ada, bergerak terus dari bawah untuk mengisi posisi lowong yang ada diatasnya, sampai pada tingkatan pengeluduan (Ramseyer, 2009: 25-28). Jabatan yang ada dalam luanan seringkali bersifat simbolis; sedangkan keputusan tertinggi dilakukan secara musyawarah mufakat dalam bahan duluan yang berjumlah enam anggota itu. Namun demikian setiap permasalahan yang dianggap penting dibicarakan dalam sangkepan mulai dari tingkat pengeluduan (krama/warga desa) sampai ke atasnya, dan diambil keputusan berdasarkan musyawarah secara kolektif.

Begitupula di desa Tenganan, tanah-tanah yang ada dalam wilayah desa adalah milik kolektif desa, yang diserahkan tanggungjawab pengelolaannya kepada para warganya dan tidak bisa diperjualbelikan ke pada pihak lain di luar desa. Ini berbeda dengan tanah-tanah yang ada di desa Bali apanaga, misalnya di Desa Tabola, yang meskipun sebagian adalah milik kolektif desa, tetapi pada

10 Seharusnya yang menjadi simbol ‘primus interpares’ adalah Mangku Jero, yang dianggap oleh masyarakat Tenganan sebagai keturunan Sang Hyang. Tetapi ketika Mangku sudah berada pada tingkatan luanan, salah seorang anaknya menikah, dan karena itu otomatis posisinya dalam lembaga luanan harus dilepas. Hasil wawancara dengan Mangku Windya, Mei 2010.

Page 18: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

100

umumnya sebagian besar sudah menjadi milik pribadi-pribadi krama desa. Jenis kepemilikan tanah milik kolektif desa adalah: (1) tanah druwe (milik) desa; (2) tanah pelaba pura (milik Pura); (3) tanah ayahan desa (tanah desa); (4) tanah pekarangan desa; (5) tanah pribadi milik penduduk desa.

Contoh tanah druwe desa di desa Bali Apanage adalah setra (kuburan) dan tanah-tanah kebun milik desa. Tanah-tanah ini, kecuali setra atau kuburan, dikerjakan oleh warga desa yang hasilnya sebagian diserahkan ke desa untuk keperluan desa secara kolektif. Tanah-tanah druwe desa yang lain bisanya dalam bentuk tanah dari pasar desa, lapangan dan lain sebagainya. Tanah pelaba pura adalah tanah kebun atau sawah milik pura yang dikerjakan oleh warga, yang hasilnya sebagian menjadi hak pura untuk kepentingan pengelolaan dan pemeliharaan pura itu sendiri.

Tanah ayahan adalah tanah sawah atau kebun milik desa yang dikelola dan dikerjakan oleh warga desa, dan sebagai imbalannya warga yang bersangkutan mempunyai kewajiban tertentu terhadap desa yang diatur oleh ketentuan adat. Tanah pekarangan desa adalah tanah milik desa yang dijadikan untuk lokasi pemukiman atau rumah-rumah warga. Mereka yang menguasai tanah pekarangan desa ini biasanya memiliki kewajiban tertentu kepada desa sebagaimana mereka yang menguasai tanah ayahan desa. Baik tanah ayahan desa maupun tanah pekarangan desa tidak boleh diperjual-belikan ke pihak luar keluarga, tetapi atas persetujuan desa bisa diwariskan ke keturunannya, biasanya anak laki-laki. Atau bila tidak memiliki anak laki-laki, maka tanah itu biasanya dikembalikan ke desa, untuk selanjutnya tergantung kepada desa untuk diserahkan pengelolaannya ke pihak yang dianggap paling layak dan berhak mengelola. Mereka yang menerima atau mendapatkan bagian dari tanah ayahan desa maupun tanah pekarangan desa akan meneruskan kewajiban terhadap desa. Bila diterima dari orang tuanya maka mereka melanjutkan kewajiban orang tuanya; dan bila karena berbagai sebab baru diterima dari desa, maka mereka menjalankan kewajiban kepada desa sebagaimana ditentukan oleh desa sejak tanah itu diberikan kepadanya oleh desa.

Page 19: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

101

Tanah pribadi adalah tanah yang dimiliki secara perorangan oleh warga desa. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap desa karena penguasaan atas tanah perorangan ini. Terkecuali bila tanah yang bersangkutan adalah tanah kebun atau sawah, pemilik atau pengelolanya memiliki kewajiban tertentu terhadap organisasi subak yang berada di wilayah tanah pribadi yang bersangkutan. Kewajiban diatur berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam organisasi subak yang bersangkutan. Dalam konteks desa Bali aga seperti di Tenganan, di dalam wilayah desa adatnya, tidak terdapat tanah yang berstatus milik pribadi. Mungkin saja pada masa sekarang orang-orang Tenganan memiliki tanah pribadi, tetapi tanah pribadi yang bersangkutan lokasinya biasanya berada di luar wilayah desa adat Tenganan.

Bisa saja suatu tanah dalam wilayah Desa Adat Tenganan dikelola oleh pribadi-pribadi atau krama (warga) desa. Namun tanah yang bersangkutan tetap menjadi milik desa, terbukti dari adanya larangan adat (desa) untuk memperjual-belikan tanah tersebut ke luar orang Tenganan. Jual beli hanya mungkin dilakukan di antara orang Tenganan sendiri, dan hal itu harus melalui persetujuan desa dengan persyaratan tertentu. Misalnya, proses penjualan tanah tersebut pada awalnya harus ditawarkan terlebih dahulu kepada lingkungan keluarga terdekat, dan kalau tidak ada respon, berlanjut hingga ke lingkungan keluarga lebih luas atau sesama krama desa Tenganan.11

Perbedaan yang cukup menyolok lainnya antara desa Bali aga dan desa Bali apanaga adalah soal adanya hirarkhi sosial dalam masyarakat yang di Bali sering disebut dengan wangsa, atau seringkali disebut juga dengan kasta. Katagori wangsa di Bali terdiri dari (1) wangsa brahmana, (2) wangsa satria, (3) wangsa waisya, dan (4) wangsa sudra. Empat golongan ini kadangkala disederhanakan menjadi dua, yaitu golongan Triwangsa (tiga wangsa pertama: brahmana, satria dan weisya) dan golongan tidak memiliki wangsa (non-triwangsa). Di desa-desa Bali apanaga, seperti halnya di Desa Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali, tempat penelitian ini dilakukan, masalah

11 Hasil wawancara dengan Domplong, tokoh pemuda Tenganan dari Banjar Pande. Bulan April 2010.

Page 20: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

102

wangsa menjadi bagian dari realitas sehari-hari yang ada dalam masyarakat.

Sebagai gambaran, di Desa Tabola, misalnya, berdiri Puri Sidemen, yang merupakan pusat pemerintahan kerajaan di masa lalu. Puri Sidemen ini adalah tempat kediaman keluarga dari golongan wangsa satria tertinggi, seperti disimbolkan dari nama depan para penghuninya yaitu Tjokorda. Selain wangsa satria tertinggi, di Tabola juga berdiam keluarga-keluarga dari wangsa satria lainnya yang lebih rendah, seperti terlihat dari nama depannya, yaitu I Gusti. Disamping itu juga terdapat pusat pemukiman dari wangsa rahmana, sebagaimana yang disimbolkan dari nama depannya Ida Bagus atau I Ida. Mereka ini, misalnya, tinggal di suatu tempat pemukiman khusus yang disebut griya. Di Desa Tabola, golongan barhmana tinggi, yang riwayatnya dahulu adalah para brahmana Puri Sidemen (semacam pendeta kerajaan Sidemen), bermukim disuatu wilayah yang dinamakan griya, seperti misalnya di Griya Punia Sidemen.

Gambar 7: Pintu Gerbang Puri Sidemen, Sidemen, Karangasem, Bali.

Sumber: dokumen pribadi

Page 21: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

103

Di masa lalu, kalau para keluarga wangsa satria penguasa puri memiliki otoritas di bidang pemerintahan, maka para keluarga wangsa brahmana yang berdiam di griya memiliki kewenangan dalam mengurusi masalah-masalah agama. Seringkali merekalah yang memiliki otoritas memimpin berbagai upacara keagamaan yang diselenggarakan di pura-pura. Di luar itu adalah para warga desa, baik mereka yang masih termasuk golongan triwangsa, yaitu wangsa weisya, atau mereka yang tidak termasuk triwangsa, yaitu golongan masyarakat kebanyakan (sudra).

Kalau di desa apanaga masih dikenal penggolongan hirarkhi sosial seperti disebutkan di atas, maka di desa-desa Bali aga hal seperti ini justru tidak dikenal. Di Desa Tenganan Pegringsingan yang bisa dikatagorikan sebagai desa Bali aga, misalnya, penggolongan status sosial masyarakat berdasarkan hirarkhi wangsa boleh dikatakan tidak ada. Kalau pun masih ada yang disebut penggolongan status sosial, hal itu lebih banyak berdasarkan senioritas usia, baik usia dalam pengertian umur kelahiran maupun umur (lamanya) perkawinan yang dijalani. Jadi mereka yang berusia lebih tua umumnya memiliki tingkat hirarkhi yang lebih tinggi, sebagaimana terbukti dari salah satu ketentuan yang mengatur susunan hirarkhi kepemimpinan desa. Atau juga yang sangat sederhana, bahwa yang bisa menduduki jabatan sebagai Mangku atau pemimpin upacara adat dan agama adalah mereka dari keluarga yang dianggap berasal dari keturunan Sang Hyang. Jadi kalau diperbandingkan, tatanan masyarakat desa-desa Bali aga boleh dikatakan relatif lebih egaliter dibandingkan dengan desa-desa Bali apanaga.

Hal lain yang juga membedakan antara desa Bali aga dan desa Bali apanaga adalah beberapa hal tentang ritual keagamaan. Contohnya, berdasarkan wawancara dengan Mangku Jro Desa Tenganan, upacara ngaben atau pembakaran mayat tidak dikenal di Tenganan karena mayat orang Tenganan yang meninggal justru dikubur dan tidak dibakar sebagaimana dilaksanakan oleh masyarakat desa adat (Bali apanaga) pada umumnya di Bali. Hal yang sama juga berlaku di masyarakat desa Bali Aga Trunyan, yang ada di Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Mayat orang Trunyan tidak dibakar

Page 22: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

104

tetapi diletakkan di udara terbuka (disebut mepasah) atau dikubur/ditanam. Padahal bagi masyarakat desa di Bali pada umumnya, upacara ngaben termasuk salah satu upacara besar yang melibatkan masyarakat desa, apakah ditingkat banjar atau desa.

Hal yang sama juga terjadi pada upacara Nyepi yang merupakan hari raya umat Hindu yang dirayakan diseluruh Bali. Namun kegiatan Nyepi ini jusru tidak dilaksanakan di Desa Tenganan seperti halnya di desa-desa di Bali pada umumnya. Sebagaimana terungkap dalam wawancara bahwa tidak ada kewajiban yang ketat yang harus dipenuhi oleh krama desa di Tenganan dalam rangka memperingati Hari Raya Nyepi seperti krama desa lainnya di Bali. Meskipun mereka sendiri menghormati kegiatan Nyepi yang dilakukan krama desa lainnya di luar Tenganan. Perbedaan ini menjadi menonjol karena bagaimanapun kegiatan Nyepi, seperti halnya juga ngaben, merupakan salah satu kegiatan ritual agama Hindu yang dianggap penting oleh masyarakat Bali pada umumnya.

Sebagai catatan, Hari Raya Nyepi adalah salah satu hari suci agama Hindu yang dirayakan setahun sekali, dalam rangka menyambut Tahun Baru Caka, yang biasanya jatuh pada hari pertama Sasih Kedasa (kalender Bali) atau sekitar bulan Maret dan April. Pada waktu satu hari sebelum Hari Raya Nyepi, masyarakat desa di Bali umumnya melakukan upacara penyucian yang disebut dengan nama melasti/mekiis atau melis. Tujuannya adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan alam semesta berserta isinya.

Selain itu juga dilaksanakan upacara pecaruan atau pengerupukan, yang praktiknya sering didahului oleh pawai ogoh-ogoh, yaitu patung berbentuk raksasa yang diarak keliling desa, untuk kemudian dibakar. Tujuannya dari upacara ini adalah membuang pengaruh buruk atau jahat dari butha kala (roh-roh jahat yang ada di alam sekitar manusia, yang disimbolkan oleh patung ogoh-ogoh) agar alam semesta beserta isinya terbebas dari berbagai gangguan buruk yang menggoncangkan dan kembali harmonis. Lalu tepat pada Hari Raya Nyepi, masyarakat desa melaksanakan apa yang disebut dengan

Page 23: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

105

nama catur brata (empat tindakan/kelakuan), yaitu sebagai berikut.12

Jadi perbedaan antara desa aga/mula dengan desa apanaga memang bersumber dari perjalanan sejarah desa-desa yang ada di Bali. Sebagian desa, karena proses historis, mengalami berbagai perubahan dalam sistem sosialnya, sedangkan sebagian (kecil) lainnya, karena berbagai alasan, lebih banyak berusaha menahan proses perubahan atau mempertahankan sistem sosial yang ada. Yang pertama berkaitan dengan perkembangan sejarah dari desa Bali apanaga, sedangkan yang kedua berhubungan dengan perjalanan sejarah desa Bali aga.

Pertama, amati geni, tidak menyalakan api serta mengobarkan hawa nafsu. Kedua, amati karya, tidak melakukan kegiatan kerja jasmaniah melainkan meningkatkan kegiatan mensucikan rohani. Ketiga, amati lelungaan, tidak berpergian melainkan melakukan mawas diri. Keempat, amati lelanguan, tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widi. Dalam praktiknya, kegiatan ini dilakukan secara serentak di seluruh Bali, sehingga pada waktu satu hari menjelang Hari Raya Nyepi, seluruh Bali boleh dikatakan sunyi senyap. Di sana-sini banyak petugas-petugas desa adat yang dinamakan pecalang mengawasi semua warga agar menaati kewajiban Nyepi itu.

Secara historis, kemunculan apa yang kemudian disebut sebagai desa Bali apanaga itu sendiri terutama dipacu oleh gelombang pengaruh kekuasaan pemerintahan Kerajaan Majapahit di Bali, khususnya sejak abad ke 14. Sebelumnya, sebagaimana disinggung dalam tulisan di atas, Bali sejak abad ke 9 memang sudah menerima pengaruh dari Jawa. Namun pengaruh dari luar itu menjadi semakin kuat ketika kerajaan Majapahit di Jawa Timur, dalam rangka memperkokoh pengaruh kekuasaannya di Bali, mengirimkan wakilnya untuk menjadi raja di Bali. Ini terjadi ketika Majapahit diperintah oleh Raja Hayam Wuruk, dengan Mahapatihnya bernama Gajah Mada.

12 Lihat: Sekilas tentang Hari Raya Nyepi. Http://sosbud.kompasiana.com/2010/13/sekilas-hari-raya-nyepi/

Page 24: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

106

Gambar 8: Suasana Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

Sumber: Foto Pribadi

Menurut catatan sejarah, Bali jatuh dalam pengaruh kekuasaan pemerintahan Majapahit pada tahun 1334 (Vickers, 1996: 11-37). Sebagaimana diceritakan dalam Babad Dalem Anom Pemahyun, bahwa suatu ketika Patih Gajah Mada, atas persetujuan Raja Majapahit, mengirim utusan untuk membangun pemerintahan baru di Bali. Utusan ini dikirim setelah Bali mengalami situasi tidak menentu sejak Raja Bali yang bertahta di Bedahulu (sekarang daerah Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali) ditundukkan dan mengakui kekuasaan Majapahit. Utusan Majapahit yang ditugaskan untuk membangun pemerintahan baru yang lebih stabil (menggantikan Raja Bali di Bedulu) bernama Sri Kresna Wang Bang Kepakisan. Ia adalah keturunan seorang brahmana terkenal dari Kediri, Jawa Timur, bernama Mpu Baradah.13

13 Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun (terjemahan). Koleksi pribadi Cokorda Gde Dangin. Tanpa tahun.

Page 25: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

107

Setelah ditunjuk sebagai Adipati di Bali, dan memerintah Bali atas nama Raja Majapahit, Hayam Wuruk, maka adipati yang memerintah di luar keraton Majapahit ini memakai gelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Menurut Babad Dalem Anom Pemayun, ini terjadi kira-kira pada Tahun Caka 1274 atau 1352 M. Raja Bali yang baru ini berkedudukan di Samprangan, Gelgel, suatu wilayah yang sekarang ada di dekat Kota Amlapura, Kabupaten Klungkung. Sejak itulah pemerintahan baru di Bali yang dibentuk atas prakarsa Majapahit itu dinamakan Kerajaan Gelgel, Bali.

Dalam sejarah, kerajaan ini merupakan cikal bakal dari semua kerajaan yang ada di Bali. Bermula dari Kerajaan Gelgel, di Gelgel (dekat kota Smarapura, Klungkung, Bali), lalu berpindah ke Smarapura, Klungkung, menjadi Kerajaan Klungkung. Kemudian dari Kerajaan Klungkung ini berkembang menjadi beberapa kerajaan lain di Bali, baik besar maupun kecil. Yang dianggap besar misalnya: Gianyar, Bangli, Karangasem, Badung, Tabanan, Jembrana, dan Buleleng. Sedangkan yang dianggap kecil seperti Ubud, Mas, Sukawati, dan Sidemen (yang berada di Desa Tabola, tempat lokasi penelitian ini dilakukan), serta masih banyak yang lainnya lagi. Pusat kekuasaannya berada di suatu tempat yang disebut sebagai puri (semacam istana di Bali).

Setelah tahun 1520-an, ketika Majapahit yang berbasis Hindu mulai tenggelam dan digantikan oleh Kerajaan Demak yang berbasis Islam, Kerajaan Gelgel yang berbasis Hindu tetap berkembang, yang kekuasaannya kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Klungkung. Masa kejayaan Gegel berlangsung ketika kerajaan itu dipimpin oleh Raja Dalem Baturenggong. Pada masa pemerintaannya, Bali mengalami proses transformasi atau perubahan sosial yang masif dari keadaan sebelumnya. Pada masa sebelum pemerintahan Dalem Baturenggong, desa-desa di Bali selalu mampu menjaga jarak dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintahan raja-raja yang berkuasa. Tetapi ketika Dalem Baturenggong berkuasa, kekuasaan pemerintahnya mampu menyentuh sekaligus menembus desa-desa di Bali, yang sebelumnya sering dikatakan otonom.

Page 26: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

108

Perkembangan seperti ini menjadikan desa-desa di Bali, langsung ataupun tidak langsung, menjadi bagian dari kekuasaan raja, yang dengan demikian, mau atau tidak mau, harus mengikuti berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintahan kerajaan. Termasuk dalam hal ini adalah berbagai ketentuan, yang prosesnya menjadikan masyarakat Bali pada akhirnya terbagi secara hirarkhis atas empat tingkatan kasta atau warna sebagaimana disinggung di atas, yaitu: golongan brahmana; golongan satria; golongan weisya; dan golongan sudra. Sebagai catatan, penggolongan masyarakat Bali atas empat warna tersebut terutama mulai menguat sejak kedatangan seorang bhagawan Hindu dari Jawa (Kediri) bernama Nirartha yang berusaha memperkuat kembali ajaran Hindu di Bali.

Menurut Sastrodiwiryo (2008), usaha Bhagawan Nirartha ini dilakukan mengingat keprihatinannya atas semakin merosotnya pengaruh agama Hindu di Jawa, khususnya yang terjadi di Majapahit. Sedangkan pada saat yang sama pengaruh ajaran agama baru yaitu Islam, justru semakin menguat. Maka kepergian Bhagawan itu ke Bali antara lain adalah berusaha menjadikan Bali, khususnya desa-desa di Bali, sebagai benteng pertahanan Hindu terhadap semakin kuat dan meluasnya ajaran baru di Jawa. Perjalanan Nirartha dari Jawa untuk menelusuri Pulau Bali dalam rangka memperkuat basis ajaran Hindu hingga sekarang tetap menjadi cerita sejarah yang cukup dikenal oleh masyarakat Bali pada umumnya.

Kembali ke masalah semakin kuatnya pengaruh kerajaan di perdesaan Bali. Dalam konteks perkembangan hubungan antara raja (yang dalam hal ini merepresentasikan kekuasaan kerajaan atau negara) dengan desa, Vickers (1996: 46-48) dalam bukunya berjudul “Bali, A paradise Created”, misalnya, menulis:

“Bali moved to being a far more king-centered society, organized into the four castes of Hinduism. …the King further placed themselves as supreme authority over the local lords who supervised and supported groups of temples and villages. Society was therefore organized into hierarchy from villagers to king”.

Page 27: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

109

Dalam babad Dalem Anom Pemahyun juga disebutkan bagaimana kekuasaan kerajaan (raja) berusaha menetrasi desa-desa, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mengkonsolidasikan kekuasaannya dari kemungkinan rongrongan kekuasaan kerajaan lain saingannya yang ada disekitarnya. Disebutkan dalam babad Dalem Anom Pemahyun itu antara lain14

“…setelah lama Dalem Pemahyun di Purasi, Dalem teringat akan kesetiaan para pengiringnya. Mengingat pula bahwa ada yang memegang tampuk pimpinan di desa-desa maka baginda memerintahkan (para pengiringnya) untuk menguasai desa-desa itu semua agar tidak jatuh ke tangan musuh”.

:

Para pengikut raja itu kemudian diserahi untuk memimpin desa-desa yang bersangkutan dengan mengangkatnya menjadi Bendesa (Kepala Desa).

Disinilah desa-desa mulai mengalami suatu realitas baru bahwa dirinya adalah bagian dari struktur kekuasaan kerajaan, dan karena itu juga menerima hampir semua bentuk pengaruh kekuasaannya, termasuk menerima penggolongan masyarakat berdasarkan hirarki kasta atau warna. Kesemuanya itu pada gilirannya mempengaruhi keseluruhan sistem sosial dan pemerintahan di desa. Misalnya, sistem pemerintahannya tidak lagi di dasarkan atas dewan tetua desa (seperti yang terjadi di Desa Tenganan hingga sekarang) tetapi, langsung atau tidak langsung, mengikuti atau menyesuaikan diri dengan perkembangan struktur supra-desa, yaitu pengaruh kekuasaan raja-raja yang ada di luar desa.

Desa-desa yang mengalami penetrasi pengaruh yang cukup dalam dari kekuasaan supra-desa ini, dan yang akibatnya kemudian mengalami berbagai perubahan dalam sistem sosialnya, adalah desa desa yang kelak kemudian dikatakan sebagai desa Bali apanaga. Sebaliknya, yang lebih mampu bertahan dari pengaruh luar desa ini adalah desa-desa yang kelak kemudian dikatakan sebagai desa Bali aga. Kalau ditinjau dari letak geografi wilayahnya, desa Bali aga umumnya terletak di wilayah-wilayah pegunungan di Bali, yang biasanya

14 Op.Cit. Babad Dalem Anom Pemahyun. Halaman 61.

Page 28: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

110

posisinya relatif agak terpencil. Pada masa lalu, lokasi seperti ini mungkin sengaja dipilih agar bisa terbebas atau paling tidak sulit ditembus oleh kekuatan pengaruh kekuasaan dari luar desa.

Seringkali dikemukakan dalam berbagai literatur bahwa tempat yang agak terpencil ini merupakan tempat yang sengaja dipilih dalam rangka strategi untuk mempertahankan otonomi dari kemungkinan berbagai pengaruh kekuasan supra-desa. Sebagai gambaran, di Jawa, misalnya, kasus yang paling nyata bisa dilihat di wilayah tempat pemukiman masyarakat adat Baduy Dalam, yaitu tepatnya di Desa Cibeo, di Kecamatan Leuidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Berdasarkan hasil kunjungan penulis dan wawancara dengan beberapa nara sumber penduduk Baduy Dalam, sejak lama masyarakat di sana terus berusaha terus mempertahankan otonomi desanya. Strategi-strategi yang dipakai untuk itu adalah dengan mengembangkan seperangkat ketentuan yang substansinya memelihara jarak antara keberadaan desa adat dengan kekuasaan supra-desa. Hal seperti ini dilakukan sejak di jaman pra-kolonial (masa kerajaan Islam Banten), jaman kolonial Hindia Belanda, maupun jaman pemerintahan nasional sekarang.

Dengan strategi itu mereka, antara lain, membatasi atau bahkan melarang sama sekali kunjungan ‘orang luar’ ke wilayah Baduy, dengan berbagai alasan yang umumnya berdasarkan kepercayaan atau mitos setempat. Selain itu sejak masa lalu, mereka tidak bersedia menjalankan kewajiban membayar pajak yang ditetapkan oleh kekuasaan supra-desa; meskipun sebagai gantinya mereka melakukan suatu upacara penyerahan hasil panen, yang sekarang dikenal dengan nama ‘seba’ yaitu mempersembahkan hasil bumi secara simbolik kepada kekuasaan lokal supra-desa (pemerintahan kabupaten dan pemerintah provinsi).

Memang, Desa Baduy banyak memiliki kemiripan dengan Desa Tenganan. Misalnya lokasi desanya yang berada di lembah dari suatu perbukitan yang jauh dari jangkauan pihak luar desa. Kesan jauh dari jangkauan pihak luar desa ini sampai sekarang masih kuat terasa di Baduy; sedangkan di Tenganan sudah tidak begitu lagi karena

Page 29: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

111

lokasinya yang telah menjadi salah satu daerah wisata di Bali. Lalu mereka mengembangkan sistem ekonomi desa yang membuat desa dan masyarakatnya tidak tergantung pada pihak luar. Di Baduy sistem ekonomi seperti ini masih kuat, tetapi di Tenganan sudah mulai pudar meskipun dasar-dasarnya masih terpelihara, yaitu dalam bentuk penguasaan tanah secara kolektif oleh desa (tidak ada pemilikan pribadi dalam pengertian tanah privat untuk tanah-tanah yang ada di wilayah desa adatnya).

Sebagai tambahan, rumah-rumah yang dihuni oleh penduduk di Desa Baduy maupun Tenganan tidak ada yang merupakan rumah milik pribadi dalam pengertian privat murni seperti masyarakat modern. Semua rumah yang dihuni oleh kedua masyarakat desa itu, yang bentuknya hampir seragam itu, pada dasarnya milik desa, yang tidak bisa dipindahtangankan tanpa persetujuan desa, meskipun di antara keluarga inti mereka. Kalau dicermati, sifat kepemilikannya hampir sama dengan sifat kepemilikan tanah, apakah pekarangan, kebun atau sawah, yaitu milik kolektif desa yang pendistribusiannya diatur oleh ketentuan adat.

Selain itu, ada kemiripan dalam hal kepercayaan atau keyakinan terhadap agamanya antara masyarakat Baduy dan Tenganan. Kalau di Tenganan masyarakatnya masih memegang teguh ajaran agama Hindu Bali, di Baduy jejak agama Hindu juga masih kelihatan dalam keyakinan masyarakatnya. Dalam cerita yang bercampur mitos, sering dikemukakan bahwa orang-orang Baduy berasal dari orang-orang Banten yang dulunya beragama Hindu, tetapi kemudian karena datangnya pengaruh agama Islam di Banten maka mereka menyingkirkan diri sampai ke wilayah tempat sekarang mereka bermukim. Yang juga tak kalah menariknya, kalau di masyarakat Baduy dikenal adanya pemisahan internal antara masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam, maka di Tenganan dikenal adanya pemisahan antara masyarakat Tenganan Dalam dan Tenganan Luar.

Yang disebut sebagai Tenganan Dalam adalah mereka yang tinggal di Banjar Kauh dan Banjar Tengah; sedangkan Tenganan Luar, yaitu mereka yang tinggal di Banjar Pande. Banjar adalah kesatuan

Page 30: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

112

masyarakat adat di bawah desa – kalau di Jawa mirip dengan dukuh atau kampong – yang merupakan bagian dari desa. Sama seperti di Baduy, mereka yang tergolong Tenganan Dalam atau mereka yang tinggal di Banjar Tengah dan Banjar Kauh adalah mereka yang memiliki kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan adat secara penuh. Misalnya saja, perkawinan harus dilakukan dengan memenuhi azas endogami, atau perkawinan hanya diperbolehkan di antara penduduk Desa Tenganan itu sendiri, khususnya di antara penduduk Banjar Tengah dan Banjar Kauh.

Sedangkan yang termasuk Tenganan Luar memiliki kewajiban yang boleh dikatakan agak longgar, misalnya saja mereka bisa melakukan perkawinan eksogami, atau perkawinan dengan penduduk di luar desa atau banjarnya. Pada dasarnya pembagian antara ‘luar’ dan ‘dalam’ ini seperti membagi garis di antara masyarakat adat yang bersangkutan, yaitu antara mereka yang masih menganggap dirinya “asli” dengan yang “kurang asli” atau sudah bercampur. Yang terakhir ini terutama dihubungkan dengan keberadaan mereka yang lebih terbuka menerima pengaruh luar.

Kembali ke soal bagaimana desa memilih lokasi wilayah pemukiman dalam rangka strategi untuk mempertahankan otonominya. Maka persis seperti halnya lokasi Desa Tenganan yang kalau dilihat landscape-nya memang memberikan kesan yang kuat sebagai wilayah strategis yang sengaja dipilih sebagai tempat pemukiman yang relatif aman untuk bertahan dari berbagai pengaruh supra-desa. Seperti diketahui, Desa Tenganan terletak di suatu lembah yang dikelilinggi oleh perbukitan-perbukitan, dan berada di dataran tinggi yang ada di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem Bali.

Ini berbeda dengan letak desa-desa Bali apanaga, yang umumnya memiliki lokasi di suatu wilayah yang lebih terbuka. Walaupun tidak menggambarkan keadaan keseluruhan dari desa-desa BaIi apanaga, desa-desa yang ada di wilayah Selatan dan Utara Bali Pulau Bali (khususnya di wilayah Kabupaten Badung, Klungkung, Karangasem dan Singaraja) merupakan contoh-contoh dari desa-desa yang sejak lama memiliki ciri wilayah yang lebih terbuka. Dan

Page 31: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

113

memang, desa-desa yang ada di sana adalah desa-desa yang sejak lama mendapatkan pengaruh langsung dari kekuasaan pemerintahan kerajaan di Bali.

Sejak berkuasanya Kerajaan Gelgel, yang kemudian diteruskan oleh Kerajaan Klungkung, lalu disambung oleh kerajaan-kerajaan lainnya di Bali, desa-desa di Bali terus mengalami penetrasi pengaruh dari kekuasaan pemerintahan raja-raja. Terkait hal ini, perlu juga dikemukakan apa yang diungkapkan oleh Scott (2009) dalam bukunya berjudul “The Art of Not Being Governed, An Anarchist History of Upland Southeast Asia”, yaitu bahwa desa-desa di Asia Tenggara dalam sejarahnya tidak pernah sepi dari penetrasi pengaruh kekuatan pemerintahan supra-desa atau ‘negara’. Apakah pengaruhnya itu dalam bentuk kekuatan pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial ataupun pemerintahan nasional. Dalam buku ini dikemukakan antara lain, bagaimana masyarakat desa yang ada di wilayah pegunungan di Asia Tenggara sejak lama menjalankan strategi bertahan, agar bisa tetap otonom dari pengaruh supra-desa, terutama dari berbagai pengaruh kekuasaan negara.

Strategi itu tidak selamanya berhasil, tetapi paling tidak selalu ada masa pasang-surut ketika kekuasaan negara terus berusaha menancapkan pengaruhnya ke desa-desa bersangkutan. Dalam prosesnya, kadangkala desa-desa mengalami ‘kekalahan’ dan tunduk sepenuhnya pada pengaruh kekuasaan supra-desa; tetapi sebaliknya desa-desa kadangkala juga mampu mempertahankan otonominya pada tingkat tertentu dari serbuan pengaruh kekuatan supra-desa itu. Proses tarik-menarik seperti ini terus berlanjut hingga sekarang, sebagaimana sebagian terbukti dalam penelitian ini.

Sebagaimana disinggung di depan, pada masa Bali di bawah kekuasaan raja-raja maka desa-desa yang berada dalam area yang dianggap masih merupakan wilayahnya, tidak pernah dibiarkan berdiri sendiri, bebas sama sekali dari pengaruh kekuasaan kerajaan. Apakah pengaruh kekuasaan kerajaan (supra-desa) ke desa-desa itu bersifat langsung atau tidak langsung. Bersifat langsung dalam pengertian bahwa raja dari suatu kerajaan tertentu di Bali menanamkan

Page 32: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

114

pengaruhnya secara langsung ke desa-desa tertentu dengan menempatkan orang atau utusannya sebagai pemimpin di sana; atau tidak langsung dalam arti bahwa desa berada di bawah pengaruh dan kontrol para elit penguasa lokal yang merupakan satelit dari kerajaan bersangkutan. Yang terakhir ini bisa dicontohkan dengan keberadaan Puri Sidemen (Kerajaan Sidemen) di Tabola, yang di masa lalu merupakan satelit dari Kerajaan Karangasem.

Kerajaan-kerajaan Bali di jaman pra-kolonial pada umumnya memang menguasai dan memerintah wilayah bersama para elit lokal yang berdiam di suatu daerah tertentu dalam satu wilayah kerajaan. Mereka adalah penguasa satelit yang membangun pusat kekuasaannya di puri (satelit), di luar puri kerajaan utama (inti), dan memberikan loyalitasnya kepada raja. Dalam kapasitasnya sebagai satelit, mereka menanamkan pengaruh kekuasaannya ke desa-desa. Seringkali pengaruh mereka ke desa-desa begitu kuat dan dengan lingkup pangaruh yang luas, sehingga bisa menyaingi pengaruh kerajaan yang bersangkutan. Kalau ini terjadi maka muncullah persaingan pengaruh antara kekuasaan kerajaan dan satelitnya tersebut; dan dalam persaingan itu, desa-desa, secara langsung atau tidak langsung, menjadi ikut terlibat.

Mengapa desa-desa di masa itu sering ikut terlibat dalam persaingan politik di antara kekuatan-kekuatan supra-desa? Alasan yang paling kuat sebagaimana diungkapkan oleh Schulte-Nordholt (2006) dalam bukunya berjudul “The Spell of Power, Sejarah Politik Bali 1650 – 1940” adalah bahwa desa-desa terutama adalah tempat sumber daya manusia yang diperlukan untuk menopang kekuasaan pemerintahan supra-desa. Sumber daya manusia (penduduk desa) itu dibutuhkan oleh kekuasaan supra-desa, terutama sebagai sumberdaya pasukan untuk kebutuhan di masa perang dan sumberdaya tenaga kerja untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dibutuhkan kerajaan serta untuk memproduksi bahan makanan.

Sebagaimana diketahui, perang antar kerajaan ataupun perang antara pusat kerajaan dan satelitnya, tidak jarang terjadi di Bali; yang semuanya membutuhkan rekrutmen pasukan yang diambil dari

Page 33: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

115

penduduk-penduduk desa yang berada di bawah pengaruh kekuasaannya. Sebagai contoh, Puri Sidemen yang di masa lalu adalah penguasa desa-desa di daerah Sidemen, termasuk Desa Tabola, seringkali mengerahkan penduduk desa yang berada di bawah pengaruhnya untuk ikut membela Kerajaan Karangasem dalam menghadapi musuh-musuhnya.15

Misalnya, penduduk desa-desa yang ada di wilayah Puri Sidemen tercatat dalam sejarah pernah ikut berperang bersama pasukan dari Kerajaan Karangasem melawan Kerajaan Lombok. Juga pasukan dari Sidemen pernah dikirim ke Jagaraga untuk ikut membela Kerajaan Karangasem yang bersekutu dengan Kerajaan Buleleng dalam melawan di antara pendudukan Belanda. Peristiwa itu tercatat dalam sejarah melalui apa yang disebut sebagai Perang Jagaraga yang terjadi tahun 1846 – 1849 (Gde Agung, 1989: 226-361). Sebagaimana pengakuan Cokorda Gede Dangin, penglingsir Puri Sidemen, salah seorang kerabat dekat puri bersama para pengikutnya, yaitu para penduduk desa yang ada di wilayah Sidemen, ikut menjadi korban dalam peristiwa Perang Jagaraga itu.

16

Disamping dimobilisasi untuk kepentingan militer, penduduk desa dibutuhkan untuk menggarap tanah-tanah yang dinyatakan milik kerajaan atau puri. Tanah-tanah kerajaan atau puri yang digarap oleh para penduduk desa itu dinamakan tanah pecatu. Hasil produksi dari tanah pecatu ini, antara lain, digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi kerajaan atau puri, sehingga karena itu tanah-tanah pecatu dan para penggarapnya memiliki arti penting dan strategis. Dalam konteks ini, maka subak sejak jaman dulu juga tidak pernah luput dari pengaruh dan kontrol kekuasaan kerajaan atau Puri.

Subak adalah suatu lembaga sistem pengelolaan air irigasi sawah di Bali. Bagaimana pengaturan subak yang ada di desa-desa oleh kerajaan atau puri bisa digambarkan dari tulisan Schulte-Nordhlot (2006: 77):

15 Wawancara dengan Cokorda Gede Dangin, Puri Sidemen, Sidemen, Oktober 2010. 16 Op. Cit. Wawancara, Oktober 2010.

Page 34: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

116

“Raja dan penguasa lokal membentuk kelompok pejabat subak yang disebut sedahan untuk menangani pengelolaan sistem irigasi. Bersama-sama dengan mekel, para sedahan menghubungkan puri dengan rakyatnya. Tugas utama mekel adalah menggerakkan masyarakat untuk mengabdi pada puri; sedahan memiliki tugas dalam pengaturan irigasi”.

Seringkali para kelompok pejabat itu diambil dari orang-orang yang memiliki hubungan atau bahkan masih kerabat raja dan penguasa lokal. Sehingga tidak jarang para pejabat tersebut direkrut dari golongan bangsawan, rendahan atau tinggi. Selanjutnya, dalam tulisan Schulte-Nordhlot, disebutkan pula bahwa tugas-tugas sedahan dan mekel tersebut antara lain adalah: pertama, memutuskan kapan saatnya memperbaiki bendungan dan membangun saluran-saluran; kedua, mengatur pengalokasian air ke sawah-sawah; ketiga, mengelola sawah-sawah tersebut, yang hasil panennya diserahkan ke puri; keempat, sedahan memungut pajak sawah yang diserahkan ke puri yang menguasai wilayah tempat subak-subak yang bersangkutan.

Lewat berbagai mekanisme seperti inilah kekuatan-kekuatan supra-desa mengukuhkan kehadirannya di desa-desa di Bali. Tentu saja relasi antara desa dan penduduk desa dengan kekuasaan supra-desa berkembang dinamis, dalam pengertian tidak selamanya seluruh kepentingan desa atau penduduk desa tertundukkan sama sekali oleh kepentingan supra-desa. Dalam sejarah, seringkali terjadi desa-desa berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaaan kerajaan atau penguasa lokal (puri); yang hal demikian sering terjadi bila desa-desa yang bersangkutan sudah merasa tidak aman dan tidak terayomi lagi ketika berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan atau penguasa lokal yang bersangkutan.

Dalam menghadapi keadaan seperti ini, maka desa-desa yang bersangkutan akan memindahkan loyalitasnya pada kekuasaan lokal lainnya yang berdekatan, yang dianggap lebih mampu memberikan keamanan dan pengayoman. Dalam konteks seperti ini maka loyalitas desa-desa terhadap kekuasaan supra-desa menjadi bisa bergeser-geser, tergantung dinamika relasi sosial-politik antara desa dan kekuasaan

Page 35: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

117

‘supra-desa yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini Schulte-Nordholt (2006: 44) menulis:

“Kekuasaan raja di Bali diekspresikan bertalian dengan kepemilikan (dalam bahasa Bali, druwe), yang menjelma dalam sumberdaya manusia yang dimobilisasi. Namun hubungan penguasa dan ‘pengiringnya’ tidaklah stabil… Raja memiliki kewajiban tertentu terhadap pengikutnya dan diharapkan untuk memberikan penghargaan terhadap kesetiaan mereka. Raja tidak bisa hanya serta merta memberi perintah, namun ia harus mampu memotivasi mereka terlebih dahulu”.

Demikianlah desa-desa di Bali sejak masa lalu berada dalam pengaruh kekuatan supra-desa. Tetapi bagaimana gambaran dari struktur kekuasaan supra-desa yang ada di Bali pada masa pra-kolonial tersebut? Di Kerajaan Karangasem (sekarang menjadi Kabupaten Karangasem), yang wilayahnya sampai saat ini antara lain mencakup Desa Tabola, Sidemen, kekuasaan pemerintahan terbagi atas beberapa tingkat (Gde Putra, 2006: 99-149). Pertama, dipuncak hirarkhi pemerintahan adalah raja dengan pusat pemerintahan di dalam Puri. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan sehari-hari, raja dibantu oleh juru surat (sekretaris), juru pos (tukang baca surat), dua orang pendeta Siwa-Budha sebagai penasehat, khususnya di bidang hukum. Di luar itu ada orang kepercayaan raja yang disebut prekangge puri, yang bertugas melayani keperluan raja sehari-hari. Semua jabatan itu tidak bersifat tetap, sangat tergantung pada kehendak raja.

Struktur di bawah pemerintahan pusat adalah pemerintahan lokal, yaitu semacam distrik, yang masing-masing dipimpin oleh seorang punggawa. Umumnya punggawa diangkat dari orang-orang yang masih kerabat raja, dan karena itu banyak dari golongan (warna/kasta) yang sama dengan raja, yaitu satria. Para elit pemerintahan kerajaan umumnya memang berasal dari golongan satria. Berdasarkan catatan sejarah, pada masa pemerintahan Raja I Gusti Gde Putu dan I Gusti Gde Jelantik (1890-1894), Kerajaan Karangasem terdiri dari 23 kedistrikan, yang masing-masing dipimpin oleh seorang punggawa. Di antara distrik-distrik tersebut adalah: Seraya, Karangasem, Bugbug, Pasedahan, Ulakan, Manggis, Angantalu, Budakeling, Saren, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan,

Page 36: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

118

Rendang, Besakih, Talibeng, Babi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, dan Sidemen.

Distrik Sidemen sekarang menjadi Kecamatan Sidemen, yang wilayahnya antara lain melingkupi Desa Tabola, desa adat tempat penelitian ini dilakukan. Beberapa distrik lainya yang sekarang juga menjadi wilayah kecamatan di Kabupaten Karangasem adalah Abang, Kubu, Selat, Bebandem, Manggis, Karangasem, dan Rendang. Sedangkan nama-nama lainnya seperti Seraya, Bugbug, Pasedahan, Ulakan, Angantalu, Budakeling, Saren, Sibetan, Pesangkan, Muncan, Besakih, Talibeng, Culik, Tianyar, menjadi nama-nama dari desa adat yang ada di Kabupaten Karangasem (lihat peta Kabupaten Karangasem).

Dalam konteks bentuk pemerintahan modern, hubungan antara raja dengan para punggawa adalah hubungan antara pemerintah pusat dan penguasa daerah. Dalam relasinya, pemerintah pusat memberikan dukungan kekuasaan berdasarkan otoritas tradisional yang dimiliki, dan sebagai imbalannya penguasa daerah memberikan loyalitasnya kepada pemerintah pusat (raja). Untuk memelihara stabilitas politik di seluruh wilayah kerajaan, biasanya raja memilih punggawa dari kalangan keluarganya atau dari keluarga bangsawan lain yang dipercaya. Kadang-kadang juga diangkat punggawa dari golongan brahmana yang dianggap setia dan berjasa terhadap raja. Pendeknya, sistem pengangkatan punggawa banyak didasarkan pada pertimbangan atas status yang dimiliki (bangsawan atau brahmana), loyalitas, dan garis keluarga. Para punggawa ini mendapat kepercayaan penuh dari pemerintahan pusat untuk melakukan pengelolaan dalam bidang pemerintahan, adat dan agama.

Selanjutnya, struktur di bawah kepunggawaan adalah keperbekelan atau desa. Dalam praktiknya sehari-hari, keperbekelan inilah yang lebih banyak menangani urusan-urusan administrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Gde Putra (2006: 124):

”…punggawa cukup tinggal dirumahnya menunggu laporan dari perbekel yang ada di bawah kekuasaannya. Punggawa hanya dibantu oleh seorang sekretaris pribadi yang disebut juru tulis

Page 37: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

119

dan seorang jaksa yang ikut menangani di bidang hukum. Untuk menyampaikan surat kepada bawahannya, yaitu para perbekel dan kliang (ketua-ketua banjar, struktur organisasi masyarakat di bawah desa), ia dapat menyuruh seorang parekan (abdi)”.

Jadi dalam konteks Bali, hubungan antara perbekel (kepala desa) dan punggawa, tidak lain adalah merepresentasikan relasi antara desa dan supra-desa. Sebagai tambahan, biasanya bila jumlah keperbekelan atau desa dalam suatu wilayah seorang punggawa dinilai terlalu banyak maka biasanya raja menempatkan seorang manca. Jadi di sini ada struktur antara desa dan kepunggawaan, yaitu manca, yang tentu saja status kekuasaannya berada di bawah punggawa.

Bagaimana struktur internal desa atau keperbekelan? Yang pertama, adalah bahwa organisasi desa yang dipimpin oleh seorang perbekel. Dalam melakukan pekerjaannnya sehari-hari, perbekel dibantu oleh apa yang disebut sebagai prakangge desa atau para pembantu desa. Di bawah organisasi desa terdapat banjar-banjar, yang masing-masing dipimpin oleh seorang klian banjar (ketua banjar). Di bawah organisasi banjar, biasanya juga ada organisasi masyarakat desa yang lebih kecil, yaitu tempekan, yang dipimpin oleh klian tempek.

Selain banjar, juga terdapat organisasi setingkat banjar yang mengurus dan mengelola pura, tempat upacara agama Hindu bagi masyarakat desa. Organisasi ini dinamakan pemaksan yang dipimpin oleh klian pemaksan. Tugas pemaksan adalah memelihara keselamatan dan kesucian pura, serta menyiapkan segala keperluan penyelenggaraan upacara agama yang dilakukan di pura yang bersangkutan. Seperti disinggung di atas, pura di desa ada tiga jenis, yaitu pura desa atau balai agung, pura puseh, dan pura dalem.

Untuk urusan pertanian, khususnya yang menangani irigasi sawah, ada organisasi di bawah desa yang disebut dengan subak. Organisasi subak dipimpin oleh klian subak atau juga sering disebut pula dengan pekaseh. Kalau anggota banjar atau pemaksan adalah para krama (warga) desa yang tinggal masing-masing wilayah banjar atau pemaksan, maka anggota subak adalah para petani yang mengerjakan sawah dalam wilayah subak yang bersangkutan. Misalnya saja, dari

Page 38: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

120

dulu sampai sekarang, di Desa Tabola terdapat organisasi subak yang dinamakan Subak Tabola. Anggotanya adalah para petani yang memiliki dan/atau menggarap sawah yang letaknya ada wilayah Subak Tabola.

Menarik, sebagaimana akan dibahas dalam bagian lain, para anggota Subak Tabola tidak saja berasal dari krama Desa Tabola tetapi juga dari desa-desa lain disekitar Desa Tabola. Ini karena adanya proses peralihan kepemilikan tanah-tanah sawah, dari semula petani-petani yang tinggal di Desa Tabola ke petani-petani yang tinggal di luar Tabola. Namun demikian, segala kewajiban anggota Subak Tabola, tetap mengacu pada ketentuan yang ada di Desa Tabola sendiri. Ini karena organisasi Subak Tabola berada di bawah struktur Desa Adat Tabola. Meskipun sering disalahpahami bahwa organisasi subak adalah organisasi yang berdiri sendiri di luar desa adat.17

Satu lagi, di luar organisasi di bawah desa ada organisasi lain yang disebut seke. Seke adalah organisasi masyarakat desa yang para anggotanya memiliki suatu tujuan tertentu yang sifatnya khusus. Di Desa Tabola, misalnya, sejak dulu sudah ada organisasi masyarakat desa yang para anggotanya adalah para pemain gamelan (seke gong), para petani yang memanen padi bersama (seke memula), menderap padi (seke manji), dan banyak lagi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat desa. Berikut struktur pemerintahan kerajaan (pusat) sampai keperbekelan (desa) di masa pra-kolonial:

17 Dalam wawancara dengan Ida I Dewa Catra, mantan pengurus Desa Tabola dan ahli sastra Bali Kuno yang kini tinggal di Amlapura, Karangasem, Bali, disebutkan bahwa orang sering menyalah artikan subak sebagai organisasi yang berdiri sendiri di luar desa (adat). Padahal kalau dilihat, semua upacara yang diselenggarakan oleh subak di puranya masing-masing, tetap mengacu pada Pura Puseh, yang ada di desa di mana subak yang bersangkutan berada. Salain itu, anggota subak di Desa Tabola, sejak dulu mempunyai kewajiban tertentu yang berhubungan dengan pemeliharaan Pura Puseh di Desa Tabola. Hasil wawancara periode Desember 2010.

Page 39: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

121

Gambar 9. Struktur Organisasi Pemerintahan Pusat (Raja) dan Desa di Bali di Masa Lalu.

Memang sebagaimana sempat disinggung di atas, di desa pakraman sendiri, antara kehidupan sosial (lembaga sosial), budaya (lembaga budaya dan adat) dan kehidupan religi (lembaga agama), memang sulit untuk dipisahkan. Semuanya saling kait mengkait secara erat, dan bahkan tidak jarang saling tumpang-tindih. Sehingga dalam praktik kehidupannya sehari-hari di masyarakat sulit untuk membedakan mana yang merupakan kehidupan sosial, budaya atau religi. Geertz (1980: 48) menyebut pola pengorganisasi kelembagaan-kelembagaan yang ada di desa pakraman di Bali seperti yang disebutkan di atas sebagai “pluralistic collectivism” atau kolektivisme plural. Dalam kaitannya dengan hal ini ia mengemukakan:

Page 40: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

122

“Like negara, desa in Bali refers most accurately not to a single baounded entity, but to an extended field of variously organized, variously focused, and variously interrelated social group – patern I have referred to elsewhere as pluralistic collectivism”.

Seperti tampak dalam gambar, misalnya, kelihatan bahwa di dalam desa terdapat lembaga-lembaga seperti: (1) banjar, tempek; (2) pemaksan; (3) subak; dan (4) seke. Masing-masing lembaga ini memiliki struktur dan ketentuan organisasi sendiri-sendiri, yang antara satu dengan yang lainnya memiliki tingkat otonomi tertentu dalam pengelolaannya. Tetapi yang menarik, dalam praktik kehidupannya sehari-hari masing-masing organisasi ini tetap saling kait-mengkait dan tidak jarang malah saling tumpang tindih. Mengapa demikian? Ini antara lain bisa dijelaskan dari gambaran berikut.

Para anggota dalam masing-masing organisasi yang memiliki struktur dan ketentuan sendiri-sendiri, mungkin saja adalah orang yang sama. Artinya satu orang warga desa (krama desa) pada saat yang sama menjadi anggota dari dua atau lebih organisasi yang ada di desa, apakah itu banjar, tempek, seke, pemaksan, atau subak. Misalnya, seorang petani di desa yang bersangkutan adalah anggota dari suatu banjar tertentu. Pada saat yang sama ternyata dia adalah anggota suatu subak yang ada di desa tersebut; lalu sekaligus juga anggota satu seke gong (organisasi kesenian tabuh gamelan di desa atau di banjar). Disamping, sudah pasti dia adalah anggota pemaksan dari pura kahyangan tiga atau pura yang lain (pura dadia/keluarga) yang ada di desa yang bersangkutan.

Itu dari sisi keanggotaan. Dari sisi yang lain, misalnya, terjadi hal yang hampir sama. Contoh, subak adalah organisasi sosial-ekonomi, khususnya yang bergerak dalam bidang pengelolaan air irigasi sawah. Sebagai organisasi sosial-ekonomi, subak juga memiliki dimensi religius, karena dalam organisasi subak juga terdapat pura yang harus dijunjung oleh para anggota subak. Pura subak itu antara lain disebut dengan nama pura bedugul, pura ulun sui atau pura ulun danu. Semua tempat pemujaan (pura subak) itu berhubungan dengan keberadaan pura kahyangan tiga yang ada di desa pakraman atau desa adat,

Page 41: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

123

sehingga mau tidak mau anggota subak, dengan sendirinya juga terkait dengan keanggotaan organisasi pemaksan dengan kahyangan tiga itu.

Dinamika Struktur Desa di Bali

• Berkembangnya Struktur Dualisme Desa

Sebelum jatuhnya Kerajaan Buleleng ke tangan Pemerintah Hinda Belanda tahun 1849, Bali terbagi atas 9 buah kerajaan utama yang berdaulat di masing-masing wilayahnya. Sembilan buah kerajaan itu adalah Jembrana, Tabanan, Badung, Mengwi, Bangli, Gianyar, Klungkung, Karangasem dan Buleleng. Buleleng sendiri jatuh ketangan Pemerintah Hindia Belanda setelah mengalami kekalahan dalam Perang Jagaraga yang berlangsung dari tahun 1846 hingga tahun 1849. Setelah Buleleng pada tanggal 16 April 1849 menyerah, kira-kira sebulan kemudian, yaitu tanggal 20 Mei 1849, giliran Kerajaan Karangasem ditaklukkan Belanda. Karangasem ikut dianeksasi Pemerintah Hindia Belanda karena rajanya ikut membantu Kerajaan Buleleng dalam Perang Jagaraga melawan Belanda (Gde Agung: 1989).18

Sejak kekalahan kedua kerajaan tersebut, situasi kerajaan-kerajaan di Bali banyak mengalami perubahan. Satu demi satu kerajaan di Bali, misalnya, mulai mengakui kekuasaan Pemerintah Hindia atas wilayahnya masing-masing. Tahun 1855 di Buleleng bahkan sudah ditempatkan seorang asisten residen, P.L. Bloemen Waanders, yang berkedudukan di Singaraja untuk memimpin pemerintahan Bali dan Lombok. Tahun 1882, berdasarkan Ind. Stb. No. 123 kota Singaraja ditetapkan sebagai Ibukota Karesidenan Bali dan Lombok, dan untuk itu diangkat seorang asisten residen bernama A.A. Hos (Gde Putra, 2006: 180).

18 Untuk mengetahui lebih detil mengenai penyebab terjadinya peperangan antara

Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Karangasem, lihat buku: Sejarah Perang Jagaraga, Proyek APBD, Propinsi Dati I, Bali. Tahun 1980/1981.

Page 42: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

124

Mulai saat itu, secara bertahap pemerintah Hindia Belanda menempatkan para pegawai pemerintahan di Bali; sehingga kemudian wilayah Bali juga mulai terkonsolidasi sebagai bagian dari wilayah kolonial yang berpusat di Batavia. Ini diselingi oleh dua peristiwa besar, yang dampaknya kemudian menjadikan Pulau Bali secara penuh berada dalam wilayah pemerintah Hindia Belanda. Peristiwa pertama adalah apa yang disebut sebagai Puputan Badung. Puputan berarti sampai habis; sehingga perang puputan berarti perang sampai habis-habisan.

Peristiwa Puputan Badung diawali dengan pengiriman ekspedisi militer pemerintah Hindia Belanda tahun 1906 untuk ‘menghukum’ Kerajaan Badung yang dianggap menantang kekuasaan pemerintah kolonial dengan tidak mematuhi ketentuan pemerintahan. Sebagaimana diketahui, sejak mengkonsolidasikan kekuasaannya atas Bali, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan suatu ketentuan yang melarang dan menghapuskan “hak tawan karang” dan praktik “mesetia” oleh istri raja yang meninggal. Hak tawan karang adalah hak penduduk untuk melakukan perampasan semua isi kapal yang karam di suatu pantai dekat tempat pemukiman penduduk bersangkutan. Sedangkan “mesetia” adalah praktik ritual dengan terjun ke tempat pembakaran api yang sedang menyala untuk menyusul raja yang sudah meninggal. Praktik ini biasanya dilakukan oleh para janda raja yang baru saja meninggal dan dianggap sebagai simbol kesetiaan dan kesucian sehidup-semati.

Ekspedisi militer Hindia Belanda ke Badung, antara lain, dipicu oleh tindakan Kerajaan Badung yang menolak bertangungjawab dan menolak membayar ganti rugi atas praktik “tawan karang’ yang masih dilakukan oleh sebagian penduduk Badung. Kejadiannya diawali oleh perampasan sebuah kapal yang karam di dekat pelabuhan Sanur, Bali oleh ratusan penduduk setempat. Selain masalah “hak tawan karang”, pemicu Perang Puputan Badung lainnya adalah bahwa Kerajaan Badung juga dianggap mendukung Raja Tabanan yang berkehendak melakukan upacara adat mesetia. Padahal praktik upacara seperti itu sudah dilarang sama sekali oleh Pemerintah Hindia Belanda (Creese, DI ANTARA., Dharma, P., dan Schulte-Nordholt, 2006).

Page 43: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

125

Ekspedisi militer itu mengundang perlawanan, dan hasilnya adalah perang puputan (perang sampai habis). Dalam perang puputan yang terjadi pada tanggal 20 September 1906, sekitar 1000 orang (pria, wanita, dan anak-anak) pengikut dan keluarga Raja Badung (Puri Denpasar) saat itu, Ida Cokorda Ngurah Made, tewas menyambut letupan moncong senjata di antara ekspedisi di depan Puri (istana) Badung, termasuk Raja Badung itu sendiri. Di antara ekspedisi juga membumi-hanguskan Puri Badung.

Peristiwa kedua yang hampir sama terjadi ketika Kerajaan Klungkung menolak tunduk pada keinginan pemerintah kolonial sehingga mengakibatkan Perang Puputan Klungkung tahun 1908. Kali ini keluarga dan para pengikut Raja Klungkung yang tewas menyambut pasukan ekspedisi militer diperkirakan sebanyak 300 orang, terdiri dari laki-laki, perempuan, maupun anak-anak.

Pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri waktu itu memang sangat terkejut dengan terjadinya perang puputan tersebut. Tetapi sebaliknya, dalam pandangan hidup orang Bali, perang puputan memang mempunyai makna tersendiri lebih dari suatu perang biasa untuk memperebutkan atau mempertahankan suatu kekuasaan politik. Puputan merupakan suatu perang suci, yang dalam perang suci itu mereka berani menyongsong kematian karena kematian itu sendiri adalah jalan untuk menuju “kehidupan”, atau yang dalam bahasa Bali dikatakan sebagai “mati tan tumut pejah” (mati yang tidak mati). Konsep “mati tan tumut pejah” itu agaknya berkaitan dengan konsep orang Bali tentang “reinkarnasi” atau kehidupan kembali setelah kematian.

Peristiwa Puputan Badung dan Klungkung, bagaimanapun, hasilnya telah memberikan malu pada pemerintah Kolonial Belanda di dunia internasional. Pemerintah Kolonial Belanda dinilai tidak mampu mengatasi masalah dengan baik dan dianggap bertindak terlalu kasar dan kejam terhadap Bali. Berkaitan dengan ini, Vickers (1996: 35), misalnya, menulis:

“The massacres of 1906 and 1908, the two puputan, were a source of shame and international embarrasment to the Dutch as

Page 44: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

126

they tried to present their colonial march in lofty term. They argued that they had not realised the Balinese would act so suicidally instead of more sensibly submitting to Dutch rule, but this was something of strange claim considering that puputan tradition had been well documented”.

Sejak peristiwa dua puputan itu, pemerintah Belanda mengubah secara drastis kebijakan kolonialnya di Bali. Kebijakan ini dikenal dengan nama Baliseering, atau Balinisasi Bali. Inti dari kebijakan “Baliseering” ini adalah membiarkan dan bahkan melindungi orang Bali untuk meneruskan pola hidupnya sendiri yang “indah dan bebas” dari gangguan apapun. Dalam perspektif kolonial, orang Bali dengan kehidupan sosial-kebudayaannya dipandang sebagai suatu “museum hidup” dunia yang mesti dilindungi dan dipertahankan keberadaannya.

Oleh karena itu, ketika pemerintah kolonial pada waktu itu mulai membangun jaringan birokrasi pemerintahan sampai pada tingkat paling bawah, dengan membentuk dan mengembangkan apa yang disebut kemudian dengan nama desa dinas (dienst), maka keberadaan desa lama atau desa adat yang sudah ada sejak jaman pra-kolonial tidak diganggu gugat. Meskipun kalau dicermati, pembentukan dan pengembangan desa dinas itu sendiri sesungguhnya justru merupakan bagian dari upaya pihak kolonial untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di seluruh wilayah Bali. Namun perlu dicatat bahwa sebelum mengembangkan jaringan birokrasi pada tingkat desa, pemerintah kolonial ternyata telah lebih dulu menata dan memodernisir struktur politik kekuasaan pemerintahan pada tingkat daerah, atau wilayah-wilayah kerajaan Bali dengan menempatkan raja-raja Bali sebagai bagian dari adminstratur pemerintahan kolonial.

Di Bali pada awal abad ke XX ada delapan pemerintahan raja-raja, yaitu Klungkung, Karangasem, Gianyar, Bangli, Badung, Buleleng, Tabanan dan Jembrana.19

19 Di Bali pada abad 18 sebetulnya ada 9 Kerajaan utama, yaitu Klungkung, Karangasem, Buleleng, Bangli, Badung, Mengwi, Tabanan, Gianyar dan Jembrana. Tetapi pada tahun 1890-an Mengwi runtuh dianeksasi oleh Kerajaan Badung. Hal yang sama juga dialami oleh Jembrana, yang runtuh dianeksasi oleh Kerajaan Buleleng, dan dihidupkan kembali setelah Buleleng kalah perang melawan pasukan Hindia Belanda.

Dalam struktur pemerintahan kolonial yang

Page 45: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

127

sudah terkonsolidasi itu, pucuk pimpinan kekuasaan tidak lagi diduduki oleh raja-raja Bali setempat, melainkan ditempatkan seorang residen yang membawahi wilayah Bali dan juga Lombok. Pusat kekuasaan berkedudukan di kota Singaraja (Buleleng). Residen Bali dan Lombok ini bertanggungjawab langsung kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia. Di bawah residen adalah asisten residen yang berkedudukan di Denpasar, Bali.

Pemerintah kolonial membagi dua wilayah administrasi Bali yaitu: Bali Utara yang terdiri atas Buleleng serta Jembrana; dan Bali Selatan yang terdiri atas Badung, Tabanan, Gianyar, Karangasem, Klungkung dan Bangli. Wilayah Bali Utara di bawah kendali Residen di Singaraja, sedangkan wilayah Bali Selatan di bawah kekuasaan asisten residen di Denpasar. Di masing-masing wilayah kekuasaan kerajaan itu ditempatkan seorang kontrolir yang merupakan pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda (Gde Putra, 2006: 180-187). Pada waktu itu ada tiga macam bentuk hubungan kekuasaan raja-raja di Bali dengan administrasi pemerintahan kolonial, yaitu sebagai berikut. Petama, pemerintahan langsung (rechstreeks bestuurd gebied), yang meliputi Buleleng, Jembrana (dan Lombok). Di sini raja-raja setempat langsung berada di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial. Kedua, pemerintahan sendiri (zelfbesturend landschappen), yang meliputi Badung, Tabanan, Klungkung dan Bangli. Di sini raja-raja setempat, meskipun merupakan bagian dari kekuasaan administrasi pemerintah kolonial, masih diberikan keleluasaan wewenang yang otonom dalam pemerintahan lokal. Ketiga, wakil pemerintah Belanda (Stadehauder), yang meliputi wilayah Gianyar dan Karangasem. Di sini raja-raja setempat mendapat status sebagai wakil dari pemerintah kolonial.

Selanjutnya di bawah struktur pemerintahan raja-raja adalah distrik-distrik yang diketuai oleh para punggawa. Di Kerajaan Karangasem sendiri, kalau sebelumnya raja memiliki 23 distrik kepunggawaan, maka dalam pada masa kolonial, atau tepatnya sejak tahun 1914, diadakan penciutan sehingga tinggal menjadi 12 distrik saja. Ke 12 distrik itu adalah Karangasem, Selat, Bugbug, Abang, Rendang, Culik, Bebandem, Kubu, Manggis, Muncan Seraya, dan

Page 46: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

128

Sidemen. Desa adat Tabola (tempat penelitian ini dilakukan) berada dalam distrik Sidemen.

Penciutan jumlah distrik ini bertujuan untuk efisiensi administrasi, sehingga hasilnya beberapa distrik digabungkan menjadi satu. Misalnya, Kepunggawaan Talibeng yang ada pada jaman kerajaan, kemudian digabungkan menjadi satu dengan kepunggawaan Sidemen, menjadi hanya distrik Sidemen yang dipimpin oleh punggawa Sidemen. Begitupula distrik Besakih digabungkan dengan distrik Selat menjadi distrik Selat; distrik Sibetan dan Saren digabung dengan distrik Bebandem menjadi distrik Bebandem; distrik Ulakan digabung dengan distrik Manggis menjadi distrik Manggis; dan seterusnya.

Sampai sekarang nama-nama distrik yang digabungkan sejak masa kolonial itu masih ada dan menjadi wilayah Kecamatan. Seperti halnya kepunggawaan Sidemen, Manggis, Bebandem, yang kemudian menjadi kecamatan-kecamatan Sidemen, Manggis dan Bebandem. Hanya saja kalau dulu distrik-distrik itu termasuk wilayah Kerajaan Karangasem, sekarang menjadi wilayah Kabupaten Karangasem.

Memang, sebagaimana disinggung di depan, sejak semula para punggawa ini umumnya masih merupakan kerabat atau orang dekat raja. Oleh karena itu loyalitasnya terutama adalah pada raja yang mengangkatnya menjadi punggawa. Ini sesuai tujuan raja menempatkan “orang-orangnya” menjadi punggawa, yaitu dalam rangka membangun suatu jaringan kekuatan ditingkat bawah yang dijamin loyalitasnya.

Tetapi setelah para raja di Bali tersebut menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan kolonial, maka sebagian dari para punggawa itu adalah orang-orang yang diangkat sendiri oleh pemerintah kolonial Belanda. Loyalitasnya, dengan demikian tidak lagi sepenuhnya ditujukan kepada para raja yang memimpin wilayahnya, tetapi terutama kepada pemerintah kolonial. Di bawah para punggawa inilah berdiri para perbekel yang mengepalai desa-desa yang baru dibentuk oleh pemerintah kolonial. Desa-desa baru itu kemudian dikenal dengan sebutan desa dinas (dienst). Ini untuk membedakan dengan desa lama yang memang sudah ada sebelumnya.

Page 47: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

129

Desa lama yang sudah ada sejak jaman pra-kolonial ini selanjutnya dinamakan desa adat (adat). Desa adat ini dikepalai oleh oleh seorang kepala desa adat yang kemudian dikenal dengan nama Bendesa atau Klian Desa; sedang desa dinas dikepalai oleh kepala desa dinas yang hingga sekarang masih sering disebut dengan nama perbekel, disamping nama barunya, khususnya yang dikenal sejak jaman Orde Baru, yaitu kepala desa.

Berbeda dengan desa adat yang wilayahnya mencakup suatu kesatuan dari satu masyarakat adat tertentu. Desa dinas, yang keberadaannya merupakan hasil konstruksi pemerintah kolonial itu, merupakan suatu desa bentukan baru yang wilayahnya ditetapkan berdasarkan suatu kesatuan wilayah teritorial tertentu dengan struktur yang kurang lebih bersifat seragam. Sifat seragam ini diperoleh karena desa dinas merupakan bagian atau mata rantai terbawah dari struktur administrasi birokrasi pemerintah (kolonial) yang memang sejak awal dirancang seragam untuk kepentingan yang kurang lebih hampir sama, yaitu melayani kepentingan-kepentingan birokrasi pemerintahan di tingkat paling bawah atau desa.

Oleh karena dasar dari cakupan wilayahnya berbeda, tetapi terletak pada satu satuan wilayah kerajaan yang sama, maka teritorial desa dinas dan desa adat tidak jarang menjadi tumpang tindih. Misalkan, satu wilayah desa adat bisa saja terdiri dari beberapa wilayah desa dinas; atau sebaliknya satu wilayah desa dinas bisa terdiri atas beberapa desa adat; atau juga satu wilayah desa adat terdiri dari satu desa dinas. Pola ini, sampai sekarang tetap bertahan.

Namun yang perlu dicatat di sini, walaupun wilayah teritorialnya bisa tumpang tindih, batas-batas wilayah dan wewenang pemerintahannya berbeda. Dalam hal ini, desa dinas berkaitan dengan kekuasaan politik administrasi dan birokrasi pemerintahan kolonial sedangkan desa adat berkaitan dengan pemerintahan masyarakat adat, yang pengelolaannya tetap otonom mengikuti gagasan kolonial tentang baliseering.

Dalam perkembangannya, lewat desa dinas inilah pemerintah kolonial Belanda kemudian semakin mengukuhkan kekuasaan

Page 48: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

130

kolonialnya sampai ketingkat desa. Keberadaan pemerintahan desa dinas ini sendiri ternyata terus berlanjut ketika pemerintah kolonial Belanda menyerahkan kekuasaaannya pada pemerintahan kolonial Jepang. Dan begitulah selanjutnya, berlangsung terus tanpa putus pada masa pemerintahan nasional, hingga akhirnya sampai masa kini.

• Desa di Bali Masa Kini

Uniknya, perkembangan pemerintahan desa dinas dari waktu ke waktu sejak masa kolonial Belanda ternyata tidak menghilangkan keberadaan desa adat atau desa pakraman yang sudah ada sebelumnya. Kelihatannya, kebijakan Baliseering yang pada mulanya dikonstruksi oleh pemeritah kolonial Belanda itu, memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk pandangan banyak orang, dan terutama para pengambil kebijakan, yaitu tentang bagaimana masyarakat dan kebudayaan Bali yang asli itu hendaknya “jangan diganggu-gugat”. Dan menurut pandangan ini, institusi tempat masyarakat dan kebudayaan Bali itu hidup dan “jangan diganggu gugat” itu tak lain adalah desa adat atau desa pakraman.

Sementara desa adat seperti dibiarkan berkembang menurut dinamikanya sendiri, sebaliknya desa dinas menjadi perpanjangan tangan dan instrumen pemerintah untuk berbagai kepentingan. Langkah-langkah pemerintah kolonial untuk membangun infrastruktur, seperti jalan di berbagai tempat di Bali, yang tidak jarang menembus wilayah-wilayah perdesaan, misalnya, dilakukan dengan memanfaatkan kedudukan desa dinas.

Contohnya, memobilisasi penduduk desa sebagai tenaga kerja wajib atau tenaga kerja rodi untuk keperluan pembangunan jalan-jalan dilakukan lewat desa dinas, bukan desa adat. Pada aspek lain, desa dinas dimanfaatkan sebagai instrumen politik colonial untuk mengawasi dan mengontrol kehidupan sosial-politik masyarakat desa di Bali. Disamping, pemerintah kadangkala juga memanfaatkan desa dinas untuk berbagai fungsi lainnya, seperti pemberantasan penyakit menular dan lain sebagainya.

Page 49: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

131

Pada prinsipnya, sebagai bagian dari mata rantai birokrasi paling bawah pemerintah, fungsi-fungsi seperti disebutkan di atas itu terus berjalan meskipun rezim pemerintahan berganti-ganti. Maka tidak heran kalau sajak masa awal pemerintahan nasional sampai sekarang, misalnya, desa dinas boleh dikatakan banyak meneruskan fungsi-fungsi yang sudah berjalan sebelumnya. Hanya saja, kalau pada masa lalu desa dinas strukturnya di bawah punggawa dan raja, yang dalam hal ini bertindak sebagai wakil dari penguasa kolonial, maka pada masa pemerintahan nasional strukturnya berada di bawah pemerintahan kecamatan.

Seperti pada masa Orde Baru, misalnya, struktur pemerintahan desa dinas di Bali berada di bawah pemerintahan kecamatan. Struktur ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada saat itu, yaitu UU No 5/1974 dan UU No 5/79, yang antara lain menetapkan bahwa desa adalah organisasi pemerintahan terendah yang langsung berada di bawah Camat. Dengan landasan undang-undang itu, desa dinas di Bali lalu menjadi pusat dari semua aktivitas sosial, ekonomi dan politik dari pemerintah perdesaan.

Dalam konteks pelaksanaan kebijakan pembangunan pada masa Orde Baru yang lebih banyak bersifat sentralistis, yang keseluruhan prosesnya lebih banyak mengalir dari atas ke bawah, misalnya, desa dinas menjadi organisasi pemerintah paling bawah satu-satunya yang menjadi pusat dari semua gerak pembangunan di perdesaan. Begitupula dalam konteks politik, yang pada masa Orde Baru prosesnya digerakkan secara sentralistik melalui sistem politik korporatif dengan Golkar sebagai induknya, maka desa dinas juga menjadi pusat dari seluruh pengelolaan politik perdesaan.

Oleh karena itu jarang ada suatu perkembangan politik di perdesaan yang lepas dari pengawasan, kontrol dan pengelolaan desa dinas. Tentu saja semuanya ini adalah bagian dari upaya pencapaian tujuan kepentingan politik yang rumusannya lebih banyak diarahkan dari supra-desa. Apakah itu di tingkat kecamatan, kabupaten, dan seterusnya. Dalam hal ini peran politik militer (ABRI) di tingkat lokal juga patut diperhitungkan, mengingat militer pada waktu itu

Page 50: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

132

merupakan partner utama dari Golkar yang keberadaannya ditopang kuat oleh birokrasi pemerintahan.

Ketika pemerintahan Orde Baru ambruk tahun 1998, keadaan seperti yang disebutkan di atas mulai berubah. Pada waktu itu mulai berkembang suatu pemikiran yang menganggap bahwa desa seharusnya tidak boleh lagi hanya menjadi kepanjangan tangan dan kepentingan struktur pemerintahan supra-desa. Desa harus mampu berkembang lebih mandiri dan otonom; yang hal demikian memang sejalan dengan perubahan pengertian tentang desa. Ini sebagaimana tercermin dari adanya pergeseran pengertian tentang desa, seperti yang tercantum dalam undang-undang lama (UU No 5/1979) ke undang-undang yang baru (UU No 22/1999 dan UU No 32/2004).

Perubahan pengertian tentang desa itu menyangkut antara lain sebagai berikut. Pertama, desa menurut rumusan lama memberikan titik tekan pengertian pada suatu kesatuan wilayah (teritorial). Ini terlihat dari rumusannya yang secara eksplisit menyatakan bawa “desa sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk ....”. Sedangkan dalam rumusan yang baru titik tekannya lebih pada pengertian sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum. Dalam hal ini pengertian tentang desa dirumus sebagai “... kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan...”. Kedua, gagasan otonomi yang melekat pada desa dalam rumusan lama memang ada tetapi pengertiannya terkesan sangat samar-samar, tidak jelas. Di sini pengertian otonomi desa dirumuskan antara lain sebagai “organisasi pemerintah terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri...”. Sebaliknya gagasan otonomi yang melekat pada desa dalam rumusan yang baru kelihatan lebih eksplisit dan jelas. Desa dalam hal ini dinyatakan “memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat...”.

Dengan perubahan pengertian itu maka ruang bagi desa-desa untuk melakukan reposisi diri – dalam arti semakin lebih mandiri dan otonom – menjadi lebih terbuka. Meskipun terbukti kemudian bahwa dalam praktiknya tidak mudah. Keadaan seperti inilah yang dialami

Page 51: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

133

oleh desa-desa dinas Bali, paling tidak sebagaimana diakui oleh beberapa perbekel desa dinas di desa-desa di wilayah Sidemen. Sebagai contoh, Perbekel Desa (dinas) Sidemen, misalnya, mengakui bahwa mengelola desa dinas pada masa sekarang memang tidak mudah, terutama bila dibandingkan dengan masa lalu (Orde Baru).20

Dulu dalam banyak hal, pengelolaan desa dinas sering mengandalkan dukungan langsung dari pemerintah kecamatan dan/atau kabupaten. Dengan posisi pemerintahan yang kuat pada waktu itu, maka dukungan seperti ini seringkali memberikan hasil guna bagi pemeritah desa setempat, khususnya dalam hubungannya dengan pencapaian target dan tujuan pembangunan di tingkat masyarakat desa. Meskipun untuk itu, pemerintah desa tidak jarang harus mengorbankan kemandiriannya; yang dalam perkembangannya kemudian justru menjadi faktor pendorong munculnya sifat mental pembangunan yang “tergantung dari atas”.

Namun sekarang, dalam jaman desentralisasi, pemerintah desa justru dituntut untuk lebih banyak berinisiatif dan mandiri. Sedangkan pada saat yang sama kemampuan sumberdaya desa dinas – apakah sumberdaya manusia ataupun sumberdaya sosial-ekonomi – belum banyak berubah dari yang ada sebelumnya. Sebagai contoh, Desa Dinas Sidemen, misalnya, boleh dikatakan tidak memiliki sumber pemasukan keuangan desa (Pendapatan Asli Desa/PAD) yang memadai untuk bisa menopang suatu proses pengelolaan desa yang lebih mandiri. Ini karena sumber-sumber pemasukan yang mungkin diperoleh di desa, seperti pasar desa, tanah-tanah desa, dan lain sebagainya, justru dimiliki dan dikuasai oleh Desa Adat/Pakraman. Desa dinas boleh dikatakan sangat mengandalkan sumber keuangan desanya pada Pemerintah Daerah.

20 Wawancara dengan mantan perbekel Desa Dinas Sidemen, I Gusti Lanang Gita, dan perbekel Desa Dinas Sidemen (sampai saat ini), I Dewa Mayun (periode wawancara: Mei 2008). Juga wawancara dengan mantan Perbekel Desa Dinas Telagatawang, Ketut Sukayasa (periode wawancara: 24 Desember 2009). Desa Dinas Sidemen dan Desa Dinas Telagatawang (bersama desa dinas baru hasil pemekaran, Desa Dinas Sinduwati) ada di wilayah Desa Pakraman Tabola.

Page 52: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

134

Memang untuk kasus desa dinas di Sidemen, hingga akhir tahun 1950-an, umumnya para perbekelnya masih mempunyai sumber pendapatan dari tanah-tanah desa, yang ketika itu disebut dengan nama tanah bekti. Tetapi karena penghasilan yang diperoleh dari tanah bekti pada waktu itu dianggap tidak mencukupi, maka pemerintahan kabupaten kemudian mengambil inisiatif untuk menggantinya dengan pendapatan gaji. Sebagai gantinya tanah bekti milik desa (dinas) itu diambil alih oleh pemerintahan kabupaten.

Dalam suatu kesempatan diskusi di kantor kecamatan pada akhir Desember 2009, Camat Sidemen mengungkapkan pandangannya tentang keberadaan desa dinas dalam konteks adanya dualisme desa di Bali, yaitu desa dinas dan desa adat. Menurutnya, dalam era reformasi ini maka desa dinas dan desa adat sebaiknya diintegrasikan menjadi satu. Ini berangkat dari suatu kenyataan bahwa banyak urusan desa dinas dan desa adat yang seharus bisa disatukan pengelolaannya. Dengan adanya dua pengelolaan di satu wilayah desa, oleh desa dinas dan desa adat, maka menurutnya semuanya ini menjadi tidak efisien. Disamping desa dinas sekarang boleh dikatakan masih sangat tergantung sumber pendanaannya dari pemerintah daerah. Sementara desa adat justru lebih mampu menggali sumber-sumber pendanaan sendiri, antara lain dari pengelolaan asset-asset yang dimiliki desa.

Di pihak lain, dalam rangka mengisi momentum kembalinya jaman desentralisasi atau otonomi, pemerintahan daerah propinsi Bali berusaha memperkuat kedudukan desa adat atau atau desa pakraman. Upaya ini diawali dengan menerbitkan Peraturan Daerah Propinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Desa Pakraman dipakai di sini sebagai nama lain yang resmi dari nama sebelumnya, yaitu desa adat. Menurut Perda tersebut, yang dimaksud dengan desa pakraman adalah:

“... kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan tiga atau Kahyangan desa yang mempunyai

Page 53: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

135

wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.21

Lewat Perda tersebut, antara lain diatur berbagai ketentuan yang menyangkut keberadaan atau eksistensi desa pakraman sesuai dengan definisi yang dirumuskan dalam Perda No 3 Tahun 2001. Ini, misalnya menyangkut soal pengertian ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa dalam desa pakraman yang unsur-unsurnya terdiri dari: parhyangan (ikatan terhadap Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa), palemahan (ikatan terhadap pemukiman, tanah atau lingkungan alam) dan pawongan (ikatan terhadap sesama manusia atau warga desa).

Tiga unsur ini tercakup dalam suatu konsep yang disebut sebagai Tri Hita Karana, yang berarti kira-kira tiga sumber atau penyebab kebaikan. Konsep yang bersumber dari ajaran Hindu di Bali ini menekankan pentingnya membangun hubungan yang harmonis antara: manusia dengan Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa); manusia dengan wilayah tempat pemukiman dan alam sekitarnya (wilayah desa/banjar); manusia dengan sesama manusia. Hubungan harmonis ini yang memungkinkan manusia, warga desa/krama desa bisa menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin yang disebut jagatdita dan mokhsa.22

Dalam Perda juga diatur ketentuan mengenai wewenang dan tugas desa pakraman, selain juga digariskan sistem pengorganisasian serta kepemimpinannya. Mengenai tugas desa pakraman disebutkan antara lain: (1) membuat awig-awig; (2) mengatur krama desa; (3) mengatur pengelolaan harta kekayaan desa; (4) bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan; (5) membina dan

Atas dasar alasan ini maka keberadaan desa pakraman harus menyandarkan diri pada konsep Tri Hita Karana.

21 Lihat: Peraturan Pemerintah Daerah Propinsi Bali Nomor 3 tahun 2001. 22 Berkaitan dengan konsep jagaditha dan mokhsa ini, bisa dikatakan bahwa tujuan kehidupan jasmani adalah jagaditha, atau kira-kira berarti adalah terwujudnya dharma (kebaikan), artha (harta/materi), kama (kesenangan); yang akhirnya menuju terwujudnya kehidupan batin yang mokhsa, yaitu kebebasan abadi dengan atman (jiwa) yang manunggal dengan brahman (Pencipta Alam Semesta).

Page 54: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

136

mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan "paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka" (musyawarah dan mufakat, bersatu padu menghadapi masalah bersama); (6) mengayomi krama desa.

Sedangkan desa pakraman memiliki wewenang, antara lain sebagai berikut: (1) menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat; (2) turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; (3) melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.

Kalau dicermati, tugas dan wewenang yang dirumuskan dalam Perda tersebut hampir semuanya bukan hal yang baru bagi desa pakraman. Malahan elemen-elemen dari tugas dan wewenang itu sudah lama melekat dalam diri desa pakraman sejak jaman dulu. Elemen-elemen ini sebenarnya bahkan juga menandai adanya hak otonomi desa asli dari desa pakraman. Ini dalam arti hak untuk mengurus dan mengelola kepentingannya sendiri berdasarkan asal usul dan adat istiadat. Sedangkan hal yang relatif baru, mungkin tugas dan wewenang yang dikaitkan dengan keberadaan pemerintahan supra-desa, seperti misalnya tugasnya untuk “bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang...”.

Oleh karena Perda merupakan bagian dari produk hukum positif negara dan elemen-elemen yang mendasari adanya hak otonomi desa asli kemudian diakui secara eksplisit dalam Perda, maka dengan adanya Perda tersebut kedudukan desa pakraman di Bali pada saat ini dengan sendirinya menjadi semakin kuat. Desa adat atau pakraman, secara konsepsional, dengan demikian tidak lagi berada di bawah bayang-bayang desa dinas yang di masa lalu kedudukannya sangat kuat tersebut. Jadi seperti ada pergeseran bandul dalam hal ini dari desa dinas ke desa adat atau pakraman.

Page 55: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

137

Tabel 4: Perbedaan Sifat antara Desa Adat dan Dinas di Bali No Komponen

Perbandingan Desa Adat Desa Dinas

1 Asal usul dan dimensi kelembagaan

• Lembaga asli (adat) yang tumbuh dari perjalanan sejarah masyarakat Bali.

• Lembaga lokal yang khusus ada di Bali

• Lembaga yang semula dibentuk oleh pemerintahan kolonial dan dilanjutkan serta dikembangkan oleh pemerintahan nasional di tingkat desa.

• Lembaga yang sama ada di seluruh Indonesia (desa)

2 Dasar Hukum Hukum adat yang mengacu pada konsep Desa (tempat) Kala (waktu) Patra (situasi) – yang artinya harus menyesuaikan/menyelaraskan dengan perkembangan jaman.

Undang-undang Pemerintah Republik Indonesia (UU No 22/1999 dan/atau revisinya UU No.32/2004)

3 Fungsi dan tugas

Mempertahankan dan mengembangkan kehidupan adat dan kebiasaan (custom) lokal berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari ajaran Hindu Bali.

Mempertahankan dan mengembangkan kepentingan nasional dan daerah di tingkat desa.

4 Kepemimpinan Dipilih dan diangkat berdasarkan musyawarah (paruman) dengan mempertimbangkan ketokohan dan senioritas.

Ditunjuk oleh pemerintahan “atas desa” atau dipilih melalui pemilihan kepala desa

5 Wilayah Kesatuan wilayah adat yang batas-batasnya ditentukan oleh riwayat atau sejarah desa.

Ditentukan berdasarkan pembagian wilayah administratif oleh pemerintahan “atas desa”, yaitu pemeritahan kabupaten/propinsi.

6 Keanggotaan Semua warga asli desa pakraman, yaitu para krama desa. Oleh karena itu sifat keanggotaannya agak bersifat homogen.

Semua penduduk yang berdiam di wilayah desa dinas yang bersangkutan, baik yang asli maupun pendatang. Oleh karena itu keanggotaannya lebih

Page 56: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

138

bersifat heterogen.

7 Sumberdaya ekonomi/keuangan desa

Berasal dari para sumbangan para krama desa dan pendapatan desa lainnya dalam bentuk, pendapatan dari tanah-tanah desa, pasar desa, dan lain sebagainya.

Berasal dari dana anggaran pemerintah (daerah) dan pemasukan-pemasukan lainnya yang sah – restribusi dan lain sebagainya.

Sumber: Diadopsi dari: Suartika, Gusti Ayu Made. Vanishing Paradise, Planning and Conflict in Bali. Thesis from Faculty of The Built Environment, University of New South Wales. New South Wales, Australia, 2005.

Rangkuman

Dari uraian di atas, tergambar bahwa sesungguhnya perdesaan di Bali berkembang sangat dinamis, sejalan dengan perjalanan sejarahnya. Perkembangan yang dinamis ini tidak terlepas dari interaksinya dengan masyarakat di luar lingkup wilayahnya (Pulau Bali). Sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di atas, hubungan Bali dengan dunia di luar wilayahnya, terutama Pulau Jawa, berlangsung sejak lama. Bahkan bentuk-bentuk perdesaan yang ada di Bali, kalau ditelusuri merupakan adaptasi dari bentuk-bentuk perdesaan yang ada di luar Bali, dalam hal ini mendapatkan pengaruh dari Jawa.

Persinggungannya yang tidak pernah putus dengan dunia di luar Bali inilah yang menyebabkan perubahan sosial selalu menjadi bagian dan bahkan menandai perjalanan kehidupan masyarakat desanya. Suatu keadaan yang kalau dicermati secara teliti berbeda dari kesan umum yang sering muncul di permukaan, yang menggambarkan bahwa masyarakat perdesaan di Bali jauh dari dinamika perubahan sosial.

Memang, dalam konteks perubahan ini, di Bali sendiri ada perbedaan antara desa (Bali) apanaga dan desa (Bali) aga. Bali apanaga dianggap lebih terbuka terhadap perubahan karena persinggungannya dengan dunia “supra-desa” lebih intens; dan sebaliknya dengan desa (Bali) aga yang atau kurang terbuka atau lebih tertutup. Sehingga desa

Page 57: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

139

(Bali) aga sering dihubungkan dengan kondisi perdesaan di Bali yang kehidupan sosialnya dianggap lebih menyerupai wujud aslinya.

Meskipun dari hasil pengamatan penulis mengunjungi desa (Bali) aga, khususnya Desa Tenganan, bahwa pada akhirnya persinggungan dengan dunia luar sulit dihindarkan seperti halnya pada masa lalu. Sehingga akhirnya desa (Bali) aga mau tidak mau menjadi lebih terbuka pula terhadap perubahan. Fenomena yang terakhir ini terutama berlangsung sejak industri pariwisata di Bali mengalami booming sekitar tahun 1970-1980an, yang dampaknya membuka seluruh pelosok Bali terhadap berbagai pengaruh sosial-ekonomi pariwisata.

Kembali ke kesan yang ada bahwa perdesaan di Bali jauh dari dinamika perubahan. Kalau ditelusuri, kesan seperti ini terutama sudah lama (sengaja) dimunculkan, yaitu terutama sejak pemerintah Kolonial Belanda mengkonstruksi perdesaan Bali sebagai “museum hidup” dengan kebijakan baliseering nya itu. Dengan kebijakan baliseering ini, secara sengaja masyarakat perdesaan di Bali dijauhkan sekaligus dikontrol dari pengaruh-pengaruh luar, sehingga terjaga dari berbagai kemungkinan terjadinya perubahan sosial.

Bahkan dalam konteks wacana tentang desa di Bali, dikonstruksi suatu pandangan kolonial yang memberikan penjelasan bahwa desa-desa di Bali, sejak awalnya adalah desa-desa yang sangat mandiri dan otonom, mempunyai pemerintahan sendiri yang bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuatan-kekuatan luar desa. Meminjam istilah pejabat koloial Hindia Belanda, Frederick Albert Liefrinck, desa di Bali dikonsepsikan sebagai “republik desa” (Vickers, 2012: 127-130). Padahal sebagaimana diuraikan di atas, desa-desa di Bali hampir tidak pernah lepas dari pengaruh kekuatan-kekuatan luar desa, dan karena itu sulit untuk mengatakan bahwa desa-desa di Bali sepenuhnya merupakan suatu “republik desa”.

Pada masa kerajaan-kerajaan, desa-desa di Bali bahkan menjadi salah satu landasan dari kekuasaan kerajaan yang bersangkutan karena potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang dimilikinya. Potensi sumberdaya manusia sering dimanfaatkan dalam bentuk

Page 58: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

140

pengerahan tenaga kerja wajib atau tenaga militer (pasukan), sedangkan sumberdaya alam terutama diambil dalam bentuk hasil-hasil lahan pertanian.

Lalu dalam masa kolonialpun, ketika desa di Bali dikonsepsikan sebagai “republik desa”, desa dinas bahkan dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda, antara lain, sebagai instrumen pengerahan tenaga kerja wajib/rodi yang diperlukan untuk pembangunan jalan yang menembus wilayah-wilayah Bali. Pendeknya, desa tidak pernah sepi dari pengaruh berbagai kekuatan luar desa. Suatu realitas yang bukan hanya terjadi di desa-desa di Bali, tetapi juga dialami oleh desa-desa di berbagai wilayah di Asia Tenggara. Dalam konteks hubungan yang seperti ini, sebagaimana diungkapkan oleh James Scott (2009), yang paling mungkin terjadi adalah tarik ulur antara kekuatan internal desa dan kekuatan eksternal desa, yang dinamikannya, antara lain, menghasilkan berbagai fenomena perubahan sosial.

Apa yang terjadi pada perdesaan di Bali di masa kemudian, khususnya pada masa peralihan jaman dari era Orde Baru ke Jaman Reformasi sekarang ini, kelihatan tidak lari jauh dari kenyataan sejarah perdesaan di Bali sebagaimana disebutkan di atas. Desa-desa di Bali mengalami perubahan juga terutama karena pengaruh kekuatan-kekuatan di luar desa. Terjadinya pergeseran atau perubahan bandul antara kekuatan desa adat dan desa dinas, misalnya, di dorong oleh kekuatan-kekuatan perubahan yang berasal dari luar desa. Dalam konteks ini, pendorong kekuatan perubahan itu adalah berbagai dampak dari proses reformasi yang sejak awalnya berlangsung di luar desa, baik pada tingkat nasional maupun regional.

Tentu dalam prosesnya, kekuatan luar desa itu bukan merupakan kekuatan pendorong perubahan terus menerus. Dalam kenyataannya, hasil dari dorongan proses perubahan dari luar desa itu mampu membangkitkan dengan sendirinya suatu kekuatan pendorong perubahan dari dalam tubuh atau struktur di internal desa yang bersangkutan. Alhasil, antara kekuatan luar dan kekuatan dari dalam yang terbangkitkan itu bersintesa menjadi satu kekuatan pendorong

Page 59: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/4/D_902008104_BAB III… · waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

141

perubahan di perdesaan di Bali. Perubahan itu sampai sekarang masih dan akan terus berlangsung.