PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN DAN DAMPAKNYA …eprints.uny.ac.id/30542/2/1. Skripsi Full...
-
Upload
truongkhanh -
Category
Documents
-
view
241 -
download
6
Embed Size (px)
Transcript of PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN DAN DAMPAKNYA …eprints.uny.ac.id/30542/2/1. Skripsi Full...

i
PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAPKEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN
SLEMAN TAHUN 1961-1976
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu SosialUniversitas Negeri Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian PersyaratanGuna Memperoleh Gelar
Sarjana Sastra
Oleh:
ANISAK EVA SUSANTI11407141006
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAHJURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIALUNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016




v
MOTTO
“Alam semesta, cukup memberikan pangan, tapi tidak pernah cukup melayani
ketamakan dan kerakusan manusia.” – Mahatma Gandhi
“Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Ia mengutus malaikat untuk
menjaga kita, dan malaikat itu ada di sekitar kita. Terkadang mereka tidak
bersayap, dan kita menyebutnya dengan sebutan teman”. – Denny Sumargo
“Wanita itu seperti teh celup. Anda tidak pernah menyadari betapa kuatnya ia
sampai ia masuk ke dalam air mendidih”. - Eleanor Roosevelt

vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
Bapak Mudjijat(Bapak)
Almh. Sri Lestari(Ibu)
Heri Wibawa(Kakak)
Wisnu Herjanta(Kakak)
Endaryati(Kakak Ipar)

vii
ABSTRAK
PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAPKEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN
SLEMAN TAHUN 1961-1976
Oleh: Anisak Eva SusantiNIM 11407141006
Sejak tahun 1961 sampai tahun 1976 Merapi mengalami letusan sebanyaktiga kali. Pertama, letusan Merapi yang menelan korban sebanyak 6 jiwa tahun1961. Kedua, letusan Merapi dengan korban sebanyak 3 jiwa pada tahun 1969.Ketiga, letusan Merapi dengan korban 29 jiwa tahun 1976. Erupsi ini berdampakpada kerusakan hunian, pemukiman/pekarangan, lahan pertanian (sawah danpertanian lahan kering). Akibat erupsi Gunung Merapi, pertanian juga mengalamiperubahan. Perubahan sistem pertanian ini terjadi dari sistem perladangan kesistem tegalan kemudian ke sistem persawahan. Tujuan penulisan ini adalah untukmengetahui gambaran umum Kabupaten Sleman, perubahan sistem pertanian, dandampaknya terhadap keadaan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Slemantahun 1961-1976.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis. Metodepenelitian meliputi empat hal: pertama, heuristik yang merupakan tahappengumpulan data atau sumber-sumber sejarah yang relevan. Kedua, kritiksumber, merupakan tahap pengkajian terhadap otentisitas dan kredibilitas sumber-sumber yang diperoleh yaitu dari segi fisik dan isi sumber. Ketiga, interpretasiyaitu dengan mencari keterkaitan makna yang berhubungan antara fakta-faktasejarah yang telah diperoleh sehingga lebih bermakna. Keempat, historiografi ataupenulisan yaitu penyampaian sintesis dalam bentuk karya sejarah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan geografis, karakteristikwilayah, keadaan demografi dan kondisi sosial ekonomi telah menjadikanKabupaten Sleman menjadi wilayah yang potensial untuk wilayah pertanian.Kabupaten Sleman terbagi dalam beberapa wilayah seperti berdasarkankarakteristik wilayah, berdasarkan letak kota dan mobilitas kegiatan masyarakat,dapat dibedakan fungsi kota sebagai berikut: wilayah aglomerasi, wilayah suburban, dan wilayah fungsi khusus/wilayah penyangga. Akibat erupsi GunungMerapi, pertanian juga mengalami perubahan. Perubahan sistem pertanian initerjadi dari sistem perladangan ke sistem tegalan kemudian ke sistem persawahan.Dampak dari perubahan sistem pertanian di bidang ekonomi adanya kemajuanteknologi di bidang pertanian, mata pencaharian, dan pendapatan. Dampak sosialberkaitan dengan sikap dan perilaku masyarakat, serta religi.
Kata kunci: Pertanian, Sosial Ekonomi, Sleman

viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW
yang menjadi suri tauladan kita sepanjang zaman, sehingga penulis akhirnya
mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Sistem Pertanian dan
Dampaknya terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Sleman
Tahun 1961-1976” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana sastra.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak
terlepas dari kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang dalam
kepada:
1. Prof. Dr. AjatSudrajat, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial.
2. H.Y. Agus Murdiyastomo, M. Hum selaku Ketua Program Studi Ilmu
Sejarah.
3. Danar Widiyanta, M. Hum selaku dosen pembimbing akademik angkatan
2011 dan sekaligus pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan
pemikirannya dalam membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini.
4. Miftahuddin, M. Hum selaku penguji utama dalam skripsi ini, terima kasih
atas segala masukan dan bimbingannya.
5. Drs. Djumarwan selaku ketua penguji dalam skripsi ini, terimakasih atas
segala masukan dan bimbingannya.

ix
6. Seluruh dosen Prodi Ilmu Sejarah yang telah memberikan ilmu pengetahuan
serta wawasan kepada penulis agar bisa meraih sukses.
7. Seluruh petugas Jogja Library Center, Perpustakaan Lembaga Pendidikan
Perkebunan,Perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas
Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat
Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta, dan Perpustakaan Laboratorium Sejarah
UNY, yang seluruhnya telah memberikan pelayanan dengan baik dalam
proses pencarian sumber-sumber yang mendukung penulisan tugas akhir
skripsi ini.
8. Terima kasih kepada bapak ku Bapak Mudjijat, dan kakak-kakak ku Mas
Heri, Mas Wisnu, Mbak Endar dan keponakan ku Afik yang selalu
memberikan kasih sayang dan dukungan.
9. Seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan,
dan doa.
10. Teman-teman tersayang, Tari, Lina, Yuni, Beta, Enggar, Desi, dan Jay yang
selalu memberi semangat dan masukan. Tidak lupa juga untuk teman kost ku
Wining, Zulfi, Mus, Astri, dan Lintang yang tidak pernah lelah untuk
memberi semangat, masukan dan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini.
11. Teman-teman Prodi Ilmu Sejarah angkatan 2011 yang selalu memberi
dukungan dan motivasi.

x
12. Teman-teman KKN ND57, Mbak Zulia, Mbak Erika, Mbak Erla, Mbak Desti,
Mbak Tita, Pulung, Mas Iben, Kavid, dan Rinedi yang selalu memberi
semangat.
13. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu terimakasih atas semua bantuannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun untuk hasil yang lebih baik di kemudian hari. Akhirnya, penulis
berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, 10 Januari 2016
Penulis

xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii
PERNYATAAN.............................................................................................. iv
MOTTO.......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN.......................................................................................... vi
ABSTRAK...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR.................................................................................... viii
DAFTAR ISI................................................................................................... xi
DAFTAR ISTILAH....................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL.......................................................................................... xxii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xxiii
BAB I : PENDAHULUAN.................................................................... 1A. Latar Belakang....................................................................... 1B. Rumusan Masalah.................................................................. 8C. Tujuan Penelitian................................................................... 9D. Manfaat Penelitian................................................................. 10E. Kajian Pustaka....................................................................... 10F. Historiografi yang Relevan.................................................... 14G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian....................... 15H. Sistematika Penulisan............................................................ 20
BAB II : GAMBARAN UMUM KABUPATEN SLEMAN................ 22A. Latar Belakang Sejarah.......................................................... 22B. Keadaan Geografis................................................................. 25C. Karakteristik Wilayah............................................................ 31D. Keadaan Demografi............................................................... 33E. Keadaan Sosial Ekonomi....................................................... 40

xii
BAB III : PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN DI KABUPATENSLEMAN................................................................................... 47A. Erupsi Gunung Merapi dari Tahun 1961 Sampai 1976......... 47B. Sistem Petanian di Kabupaten Sleman Sebelum Tahun
1961........................................................................................ 59C. Sistem Pertanian di Kabupaten Sleman Tahun 1961-
1976........................................................................................ 53
BAB IV : DAMPAK PERUBAHAN SISTEM PERTANIANTERHADAP MASYARAKAT DI KABUPATENSLEMAN................................................................................... 71A. Dampak Sosial....................................................................... 71B. Dampak Ekonomi.................................................................. 85
BAB V : KESIMPULAN......................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 101
LAMPIRAN.................................................................................................... 106

xiii
DAFTAR ISTILAH
Adol sendhe : Menggadaikan sawah.
Aglomerasi : Perkembangan kota dalam kawasan tertentu.
Almanak : Buku berisi penanggalan dan karangan yang perlu
diketahui umum, biasanya terbit tiap tahun.
Aluvial : Tanah yang terbentuk akibat proses pengendapan
kerikil, pasir, dan lumpur yang terangkut oleh angin,
air, dan sungai menuju pantai. Tanah aluvial dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku bangunan.
Aret : Sabit.
Bendho : Pisau besar atau parang.
Bero : Rotasi perladangan adalah jangka waktu saat sebidang
tanah ladang ditinggalkan sampai diusahakan kembali
sebagai ladang yang baru.
Buffer zone : Daerah atau wilayah peyangga.
Candra sengkala : Penggunaan kalender berdasarkan perhitungan bulan,
seperti tahun saka, tahun Jawa, atau tahun Hijiah.
Daerah hinterland : Suatu daerah yang berfungsi sebagai pemasok dan
pemenuhan kebutuhan bahan makanan pokok serta
tempat produksi komoditi ekspor.
Demografi : Ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan
manusia.

xiv
Depolitisasi : Penghilangan (penghapusan) kegiatan politik.
Derep : Menolong memotong padi dengan imbalan kurang lebih
seperlima dari hasil panen.
Dhanyang : Roh halus tertinggi yang tinggal di pohon, gunung,
sumber mata air, desa, mata angin, atau bukit.
Dhestha : Ke sebelas.
Distrik : Daerah bagian dari kabupaten yang pemerintahannya
dipimpin oleh pembantu bupati.
Erupsi : Letusan gunung berapi atau semburan sumber minyak
dan uap asap dari dalam bumi.
Feodalistis : Sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan
yang besar kepada golongan bangsawan. Sistem feodal
juga mengagung-agungkan jabatan atau pangkat.
Floating mass : Massa mengambang adalah salah satu kebijakan politik
era Orde Baru, bahkan bisa disebut sebagai salah satu
pilar tegak dan lamanya Orde Baru bertahan.
Fragmental : Bagian.
Gabah : Bulir padi yang telah dipisahkan dari tangkainya
(jerami).
Geohidrologi : Ilmu tentang cara-cara pemanfaatan air yang terdapat di
bawah permukaan tanah.
Geologi : Ilmu yang mempelajari bumi, komposisinya, struktur,
sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses pembentukannya.

xv
Gereh : Ikan asin.
Gotong royong : Bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang
ingin dicapai.
Gromosol : Jenis tanah yang terdapat di daerah yang memiliki rata-
rata curah hujan tahunan antara 1.000 mm sampai
dengan 2.000 mm. Tanah gromosol dapat dimanfaatkan
untuk tanaman padi, jagung, kapas, dan kedelai.
Gudangan : Makanan yang terdiri dari aneka sayuran yang direbus
dan disajikan dengan sambal kelapa parut.
Ijon : Penjualan hasil tanaman dalam keadaan hijau atau
masih belum dipetik dari batangnya.
Intensif : Secara sungguh-sungguh dan terus menerus dalam
mengerjakan sesuatu hingga memperoleh hasil yang
optimal.
Jalan arteri : Jalan arteri primer menghubungkan secara berdaya
guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat
kegiatan wilayah.
Jogjakarta koorei : Semacam Rijksblad atau Lembaran Negara.
Kasa : Ke satu.
Kawastu : Salah satu pedukuhan dalam wilayah administrasi
Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Kepala somah : Keluarga batih (anak, suami, istri yang serumah).

xvi
Ku : Kelurahan.
Kubah lava : Sebuah tonjolan gundukan berbentuk kasar melingkar
yang terbentuk dari letusan lava dari gunung berapi.
Kuota : Jatah, jumlah yang ditentukan.
Litosol : Jenis tanah yang berasal dari batuan beku dan sedimen
yang keras, dan bersifat sensitif terhadap erosi. Tanah
ini bermanfaat untuk menanam tanaman yang berkayu
keras.
Lumbung : Bangunan penyimpanan padi-padian yang telah
dirontokan, lumbung juga dapat digunakan untuk
menyimpan pakan ternak.
Magma : Merupakan batu-batuan cair yang terletak di dalam
kamar magma di bawah permukaan bumi.
Matun : Menyiangi padi.
Mbahureksa : Berkuasa.
Memule : Salah satu bagian dari tradisi selamatan.
Mendangir : Atau mencangkul yang dilakukan dengan membalik
lapisan tanah dengan menggunakan cangkul. Tujuan
pokok dari tahap mendangir adalah untuk mempercepat
proses pembusukan dari dedaunan yang tidak habis
dalam tahap pembakaran.

xvii
Menebas : Kegiatan untuk mematikan tumbuh-tumbuhan kecil.
Hasil menebas dari semak-semak belukar dikumpulkan
dan dikeringkan diberbagai tempat untuk dibakar.
Mengetam : Menuai atau memotong.
Merti desa : Simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha
Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya.
Karunia tersebut bisa berwujud apa saja, seperti
kelimpahan rezeki, keselamatan, serta ketentraman dan
keselarasan hidup.
Nasi ambengan : Hidangan khas Jawa berupa nasi putih yang diletakkan
di atas tampah dan diberi lauk pauk di sekelilingnya.
Lauk pauk dapat berupa perkedel, ikan asin goreng,
rempeyek, sambal goreng, telur rebus, tempe goreng,
urap, bihun goreng, dan opor ayam. Nasi ambeng
adalah hidangan yang disajikan dalam selamatan
sebagai lambang keberuntungan.
Nglilir : Terjaga di malam hari.
Onderdistrik : Daerah kecamatan.
Paceklik : Musim kekurangan bahan makanan.
Panca Usaha Tani : Lima usaha petani agar mendapatkan hasil yang
maksimal atau mendapatkan hasil yang berkualitas.
Pas-pasan : Dalam Bahasa Jawa berarti cukup dan tidak bersisa.

xviii
Patron : Pola dasar konsep tradisional yang sesuai dengan
kaidah atau norma yang berlaku.
Perabot desa : Perangkat desa.
Perkul : Kapak.
Pikul : Satuan berat tradisional yang dipakai di Jawa dan
sekitarnya, ukuran berat pikul tidaklah tetap, pada
umumnya beban 1 pikul ialah beban terberat di mana
seorang manusia sanggup membawanya dengan cara
memikul.
Pogo : Rak bambu yang terletak di dapur bagian atas di bawah
atap. Selain digunakan untuk menyimpan peralatan
masak dan makan, rak ini juga dipakai sebagai
lumbung penyimpanan hasil tegalan.
Pranata mangsa : Semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan
usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan
bercocok tanam atau penangkapan ikan.
Ratio : Perbandingan.
Regosol : Tanah yang berbutir kasar dan brasal dari material
gunung api. Tanah regosol berupa tanah aluvial yang
baru diendapkan. Material jenis tanah ini berupa abu
vulkanik dan pasir vulkanik. Jeni tanah ini tedapat di
daerah iklim beagam dengan prmukaan yang

xix
bergelombang. Tanah regosol dapat dimanfaatkan
untuk tanaman tembakau, kelapa, sayuran, dan tebu.
Renzina : Tanah hasil pelapukan batuan kapur di daerah yang
memiliki curah hujan yang tinggi. Tanah renzina
memiliki warna hitam sedikit unsur hara. Tanah renzina
banyak terdapat di daerah bergamping seperti Gunung
Kidul, Yogyakarta.
Revolusi Hijau : Usaha pengembangan teknologi pertanian untuk
meningkatkan produksi pangan dengan mengubah
pertanian yang menggunakan teknologi tradisional
menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih
maju atau modern.
Rijksblad : Lembaran negara.
Sada : Ke duabelas
Sambatan : Istilah jawa yang berarti sebuah tradisi membangun
rumah secara gotong royong.
Sawah oncoran : Sawah yang memperoleh air dari sungai atau selokan
atau pengairan.
Sawah tadah hujan : Sawah yang mendapat air hanya tergantung pada
turunnya air hujan.
Sengkala : Angka tahun yang disimbolkan dengan kata-kata,
gambar, atau benda. Sengkala dapat terwujud karena

xx
dalam budaya Jawa masing-masing benda, sifat, atau
kondisi alam memiliki angka.
Son : Kecamatan.
Springbelt : Jalur mata air.
Subsidi : Bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada
suatu bisnis atau sektor ekonomi.
Subsistensi : Berkaitan dengan pertanian subsisten. Pertanian
subsisten adalah pertanian swasembada dimana petani
fokus pada usaha membudidayakan bahan pangan
dalam jumlah yang cukup untuk mereka sendiri dan
keluarga. Ciri khas pertanian subsisten adalah memiliki
berbagai variasi tanaman dan hean ternak untuk
dimakan. Sebagian besar petani subsisten
memperdagangkan hasil pertanian mereka secara barter
maupun uang.
Sub-urban : Wilayah perbatasan antara desa dan kota.
Surya sengkala : Penggunaan kalender berdasarkan perhitungan
matahari.
Swapraja : Pemerintahan sendiri.
Tanah lungguh : Tanah garapan yang diberikan kepada pegawai kerajaan
sebagai pengganti gaji sesuai dengan kebutuhan atau
jabatannya.

xxi
Tanah pamajegan dalem : Tanah raja yang hasil produksi atas tanah itu digunakan
untuk menghidupi raja beserta keluarganya.
Tandur : Menanam.
Topografi : Dalam pengertian yang lebih luas, topografi tidak hanya
mengenai bentuk permukaan saja, tetapi juga vegetasi
dan pengaruh manusia terhadap lingkungan, dan
bahkan kebudayaan lokal.
Upacara majemuk : Upacara tahunan sebagai wujud rasa syukur kepada
pencipta setelah masa panen.
Wedhus gembel : Biasa disebut awan panas. Secara visual nampak
bergumpal-gumpal seperti awan atau bulu domba
dengan warna putih sampai abu-abu gelap kemerahan.
Wono : Atau alas yang artinya sistem pertanian yang dilakukan
di dalam hutan.
Yuridis : Berdasarkan hukum.

xxii
DAFTAR TABEL
1. Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Sleman............................. 27
2. Ketinggian Wilayah Kabupaten Sleman................................................... 28
3. Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga di Kabupaten Sleman Tahun1960-1966................................................................................................. 34
4. Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga di Kabupaten Sleman Tahun1960-1969................................................................................................. 35
5. Perkembangan Penduduk di Kabupaten Sleman Tahun 1963-1972......... 36
6. Penduduk di Kabupaten Sleman Tahun 1967-1976................................. 37
7. Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tangga di KabupatenSleman...................................................................................................... 38
8. Penyebaran Penduduk per Kecamatan...................................................... 39
9. Luas Tanaman dan Panenan di Kabupaten Sleman Tahun 1973.............. 45
10. Sejarah Erupsi Merapi.............................................................................. 48
11. Karakteristik Letusan Gunungapi Merapi................................................. 48
12. Data Korban Akibat Letusan Gunungapi Merapi..................................... 49

xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1: Daftar Responden............................................................... 107
2. Lampiran 2: Peta Daerah Istimewa Yogyakarta..................................... 108
3. Lampiran 3: Peta Wilayah Kabupaten Sleman....................................... 109
4. Lampiran 4: Peta Letak Sawah dan Tegalan di Kabupaten Sleman....... 110
5. Lampiran 5: Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi diKabupaten Sleman................................................................................... 111
6. Lampiran 6: Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tanggadi Kabupaten Sleman tahun 1961 dan 1968............................................ 112
7. Lampiran 7: Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tanggadi Kabupaten Sleman tahun 1970 dan 1971............................................ 113
8. Lampiran 8: Tabel 1.1 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Moyudan)............................................................................................... 114
9. Lampiran 9: Tabel 1.2 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Minggir)................................................................................................. 115
10. Lampian 10: Tabel 1.3 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Sayegan)................................................................................................. 116
11. Lampiran 11: Tabel 1.4 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Godean).................................................................................................. 117
12. Lampiran 12: Tabel 1.5 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Gamping)............................................................................................... 118
13. Lampiran 13: Tabel 1.6 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Mlati)...................................................................................................... 119

xxiv
14. Lampiran 14: Tabel 1.7 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Depok).................................................................................................... 120
15. Lampiran 15: Tabel 1.8 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Berbah)................................................................................................... 121
16. Lampiran 16: Tabel 1.9 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Prambanan)............................................................................................ 122
17. Lampiran 17: Tabel 1.10. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Kalasan)................................................................................................. 123
18. Lampiran 18: Tabel 1.13. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Sleman).................................................................................................. 124
19. Lampiran 19: Tabel 1.14. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Tempel).................................................................................................. 125
20. Lampiran 20: Tabel 1.15. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Turi)....................................................................................................... 126
21. Lampiran 21: Tabel 1.16. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Pakem)................................................................................................... 127
22. Lampiran 22: Tabel 1.17. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990(Cangkringan).......................................................................................... 128
23. Lampiran 23: Luas Tanaman dan Panenan di Kabupaten SlemanTahun 1973.............................................................................................. 129

1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian,
kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sektor pertanian merupakan
sektor yang sarat dengan campur tangan pemerintah dan aparat. Mulai dari
penanaman sampai dengan penentuan harga dan pemasaran produknya. Campur
tangan pemerintah ini tidak berhenti pada proses produksi pertanian, tapi juga
terjadi pada sektor organisasi petani. Petani Indonesia bebas mengikuti berbagai
organisasi petani yang didirikan oleh berbagai partai politik pada tahun 1660-an.
Dampak negatif dari keadaan ini, masyarakat pertanian di Indonesia menjadi
terkotak-kotak atas dasar ideologi partai. Dampak positifnya, aspirasi dan
kepentingan petani menjadi tersalurkan dan terlindungi dengan baik.1
Keadaan petani di Indonesia berubah pada tahun 1965. Untuk
menghilangkan dampak negatif dari pengaruh partai politik di desa, maka
pemerintah membuat sebuah pendekatan baru dalam pembinaan kehidupan politik
di daerah pedesaan. Pendekatan baru tersebut dikenal dengan pendekatan “masa
mengambang” atau “floating mass”.2 Adanya pendekatan baru ini, menjadikan
pemerintah membubarkan semua organisasi yang dibentuk oleh partai politik dan
1 Loekman Soetrisno, Pertanian pada Abad Ke-21, (Jakarta: DirektoratJenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm.22-23.
2 Pendekatan “masa mengambang” pada hakikatnya menempatkan negarasebagai patron tunggal di daerah pedesaan. Pendekatan “floating mass”merupakan upaya depolitisasi masyarakat pedesaan.

2
mengganti dengan satu jenis organisasi pertanian yang disebut Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).3
Pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian
yang dikenal dengan program Revolusi Hijau tahun 1970-an. Tujuan utama dari
program ini adalah menaikkan produktivitas sektor pertanian, khususnya sub-
sektor pertanian pangan, melalui penerapan teknologi pertanian modern.4
Penerapan program Revolusi Hijau di Indonesia sejak tahun enam puluhan
melalui Program Panca Usaha Pertanian (PUP) yang meliputi pendirian beberapa
pabrik pupuk kimia, memproduksi alat pengolah pertanian, serta pendirian
industri pestisida. Keberhasilan Gerakan Revolusi Hijau merupakan bukti upaya
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan petani.5
Kondisi perekonomian setelah tumbangnya kepemimpinan Soekarno
dengan Demokrasi Terpimpinannya adalah masa-masa perekonomian krisis. Masa
Demokrasi Terpimpin banyak rencana pembangunan yang tidak berjalan secara
maksimal, hal inilah yang menimbulkan krisis oleh karena itu Pelita diambil oleh
pemerintah Orde Baru guna memulihkan krisis pada saat itu.6 Titik awal
pemerintah Orde Baru dengan program yang dikenal dengan Repelita I-IV
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat di bidang pertanian. Hal ini
dimulai sejak adanya Repelita I pada tahun 1969-1974. Repelita I dengan
3 Loekman Soetrisno, op.cit., hlm. 24.
4 Ibid., hlm. 13.
5 Ibid.
6R.Z Leirissa, dkk., Sejarah Perekonomian Indonesia. (Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996), hlm. 100-101.

3
kebijakan di sektor pangan yaitu penyediaan beras bagi kesejahteraan rakyat.
Program-progam bantuan pemerintah untuk meningkatkan usaha pertanian terus
dikembangkan.7
Erupsi Gunung Merapi yang terjadi sebanyak tiga kali letusan. Letusan
pertama dengan korban sebanyak 6 orang tahun 1961. Letusan kedua dengan
korban sebanyak 3 orang tahun 1969. Letusan ketiga dengan korban 229 orang
tahun 1976. Erupsi ini menimbulkan berbagai kerusakan terutama kerusakan di
sektor pertanian. Akibat erupsi ini pertanian juga mengalami perubahan.
Perubahan sistem pertanian terjadi dari sistem perladangan ke sistem tegalan
kemudian ke sistem persawahan. Pertanian adalah suatu kegiatan pemanfaatan
sumber daya hayati, manusia sebagai pelaku dan mengelola lahan untuk
menghasilkan bahan pangan dan bahan baku industri serta mendapatkan sumber
energi yang dibutuhkan dari alam dan lingkungan hidupnya. Usaha pertanian juga
memerlukan dasar-dasar pengetahuan tentang pengelolaan tempat usaha, cara
pemilihan benih/bibit, tekhnik dan metode budidaya, pengumpulan hasil,
mendistribusikan produk, pengolahan dan pengemasan produk, serta pemasaran.8
Sistem pertanian ada tiga meliputi: sistem ladang, sistem tegal, dan sistem sawah.
1. Sistem ladang disebut sistem pertanian tingkat rendah atau yang paling
primitif. Sistem ini merupakan sistem peralihan dari mulai tahap budaya
pengumpulan ke tahapan budaya penanaman. Sistem ini pengolahan tanahnya
7 Ibid.
8 “Definisi, Pengertian, dan Sistem Pertanian”,http://hutantani.blogspot.co.id/2014/03/definisi-pengertian-dan-sistem-pertanian.html diakses 27 Desember 2015.

4
masih sangat minim dan hasilnya bergantung ketersediaan lapisan-lapisan
humus yang ada dalam sistem dan siklus hutan. Umumnya sistem ini
ditemukan di daerah-daerah yang memiliki penduduk sedikit dengan adanya
lahan yang tidak terbatas. Tanaman yang biasa ditanam adalah tanaman
pangan, seperti padi, umbi-umbian, jagung dan lainnya.
2. Sistem tegal yaitu sistem yang dikembangkan pada lahan-lahan kering, yang
jauh dari sumber-sumber air yang cukup. Pengelolaan tegal sangat jarang
menggunakan tenaga hewan dalam pelaksanaannya. Sistem ini biasa
dilakukan para petani yang sudah lama menetap dalam suatu wilayah,
meskipun tingkat pengusahaannya rendah. Tanaman yang biasa diusahakan
adalah tanaman-tanaman yang mampu bertahan pada kekeringan, seperti
pohon-pohonan.
3. Sistem sawah adalah suatu sistem atau teknik budidaya tingkat tinggi, dalam
hal pengolahan tanah dan pengelolaan sumber air, sehingga mampu mencapai
stabilitas biologi yang tinggi dan kesuburan tanah dapat dipertahankan.
Sistem sawah adalah sistem yang menghasilkan potensi besar untuk produksi
tanaman pangan, baik dalam pengolahan sawah padi ataupun untuk tanaman
palawija.9
Penduduk Kabupaten Sleman melakukan perladangan di dalam hutan
sebelum tahun 1961. Sistem perladangan kemudian berubah dengan sistem
tegalan. Tanaman utama di tegalan adalah jagung. Pekarangan rumah juga
dijadikan kebun sayur-sayuran, obat-obatan, umbi-umbian, buah-buahan, nangka,
9 Ibid.

5
sengon, dan sebagainya. Sistem tegalan berubah ke sistem persawahan dengan
tanaman utama yaitu penanaman padi.10 Hasil tegalan dan pekarangan biasanya
hanya pas-pasan11 untuk dikonsumsi keluarga, jika terdapat kelebihan hasil
pertanian mereka akan membawanya ke pasar dan ditukarkan dengan kebutuhan
sehari-hari seperti garam, minyak goreng, minyak tanah, sabun, dan gula.
Kondisi pertanian di Sleman meliputi pendapatan petani yang masih
rendah baik secara nominal maupun secara relatif dibanding dengan sektor lain.
Usaha pertanian yang ada didominasi oleh ciri-ciri: skala kecil, sangat dipengaruhi
musim, terjadinya involusi pertanian, akses terhadap kredit, teknologi dan pasar
sangat rendah.12 Karakteristik sumber daya di wilayah Kabupaten Sleman terbagi
menjadi 4 wilayah, yaitu:13 kawasan lereng Gunung Merapi, kawasan timur,
wilayah tengah, dan wilayah barat.
Kawasan lereng Gunung Merapi di Kabupaten Sleman terkena dampak
dari erupsi Gunung Merapi yang terjadi 5-8 tahun sekali. Menurut Clifford Geertz,
bahwa sepanjang sejarah gunung-gunung berapi di Pulau Jawa selalu dipadati
pemukiman penduduk karena dampak dari erupsi itu dapat menyuburkan tanah
10 Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsidan Kepercayaannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm.31-32.
11 Pas-pasan (Bahasa Jawa): cukup dan tidak bersisa. Hasil pertanian yangpas-pasan ini merupakan salah satu ciri utama pertanian di Indonesia yangbiasanya disebut sebagai pertanian subsisten.
12 “Kondisi Pertanian Kabupaten Sleman”,https://valkauts.wordpress.com/2012/04/18/kondisi-pertanian-kabupaten-sleman/,diakses 25 Maret 2015.
13 Ibid.

6
pertanian melalui air, mineral dan abu vulkanik yang selalu menutupi permukaan
tanahnya, dan merupakan sumber bencana yang disebabkan oleh awan panas,
lahar, dan letusan-letusannya.14 Sejarah letusan Gunung Merapi secara tertulis
mulai tercatat sejak awal masa kolonial Belanda. Periode Merapi baru, terjadi
beberapa kali letusan besar pada 1768, 1822, 1849, dan 1872 dan letusan
berikutnya pada 1930-1931. Erupsi 1872 lebih besar dibanding letusan di 1931, di
mana awan panas mencapai 20 kilometer dari puncak. Setelah 1931, letusan
kembali terjadi pada 1961 dan 2010.15
Erupsi-erupsi Gunung Merapi yang pernah terjadi berdampak pada
kerusakan hunian, pemukiman/pekarangan, lahan pertanian (sawah dan pertanian
lahan kering) yang berada di kawasan puncak gunung, lereng gunung, dan
sepanjang sungai yang dialiri material erupsi. Seperti pada daerah-daerah di
sekitar gunung berapi lainnya, daerah sekitar gunung berapi pun merupakan
daerah yang subur sebagai akibat material letusan yang tersebar dan bercampur
dengan tanah setempat, dan sekaligus berfungsi sebagai penyubur lahan pertanian.
Banyak orang tertarik untuk tinggal di daerah tersebut dan mengolah tanah untuk
usaha pertanian.16
Pemilikan tanah pertanian keluarga petani di lereng Gunung Merapi di
Kabupaten Sleman relatif lebih besar dibandingkan dengan pemilikan tanah
14 Lucas Sasongko Triyoga, op.cit., hlm. 1.
15 Oris Riswan, Ini Sejarah Letusan Gunung Merapi, Okezone, Rabu 30April 2014.
16 Wahyunto dan Wasito, “Lintasan Sejarah Erupsi Gunung Merapi”,(Bogor: Balai Besar Sumber Daya Lahan dan Balai Besar Pengkajian danPengembangan Teknologi Pertanian), hlm. 15-16.

7
pertanian keluarga di dataran rendah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi.
Rata-rata pemilikan tanah tegalan dalam satu keluarga petani Merapi kurang lebih
satu hektar yang dimanfaatkan.17 Pola kebudayaan manusia yang seragam juga
menentukan corak pertaniannya.18 Untuk memahaminya, perlu mengetahui jenis-
jenis pertanian dan sistem pertaniannya. Jenis-jenis pertanian berkaitan dengan
tanaman pokok yang menjadi sumber kehidupan dari suatu masyarakat
desa/petani. Perbedaan dalam jenis tanaman pokok juga menciptakan perbedaan
dalam corak kehidupan masyarakatnya.19
Hubungan petani dengan golongan bukan petani dapat berubah-ubah pada
setiap fase modernisasi, terutama mengenai masalah transaksi, material, politik,
dan kultural pada satu pihak, serta hubungan sosial dengan pihak lain. Kedua
aspek hubungan itu berkaitan erat dengan ekonomi desa yang dalam sistem
feodalistis20 serta teknologi primitif terbatas pada produksi subsistensi21.
17 Lucas Sasongko Triyoga, op.cit., hlm. 31.
18 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: PN BALAI PUSTAKA,1984), hlm. 100.
19 Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1999), hlm. 127.
20 Feodalistis artinya bersifat feodal. Feodalistis dapat diartikan sistemsosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golonganbangsawan. Sistem feodal yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat.
21 Subsistensi berkaitan dengan petanian subsisten. Pertanian subsistenadalah pertanian swasembada dimana petani fokus pada usaha membudidayakanbahan pangan dalam jumlah yang cukup untuk mereka sendiri dan keluarga. Cirikhas pertanian subsisten adalah memiliki berbagai variasi tanaman dan hewanternak untuk dimakan. Sebagian besar petani subsisten memperdagangkan hasilpertanian mereka secara barter maupun uang. Kebanyakan petani subsisten hidupdi negara berkembang.

8
Timbulnya modernisasi teknologi pertanian dan organisasi ekonomi petani juga
mengalami perubahan. Produksi pertanian berorientasi pada penjualan ke pasar
nasional, regional, dan internasional.22
Mengenai pemilihan topik penelitian secara spasial memilih Kabupaten
Sleman sebagai bahan kajian karena Sleman merupakan daerah domisili penulis.
Latar belakang pemilihan topik tersebut dipandang memiliki sebuah permasalahan
yaitu penulis ingin mengkaji tentang perubahan pola pertanian akibat erupsi
Gunung Merapi tahun 1961 sampai 1976. Pemilihan untuk kajian dari tahun 1961
karena pada tahun ini letusan Gunung Merapi sangat dahsyat dan menimbulkan
banyak kerusakan terutama kerusakan di sektor pertanian. Penulis juga ingin
mengkaji dampak perubahan sistem pertanian bagi masyarakat di Kabupaten
Sleman tahun 1961 sampai 1976, baik dampak sosial maupun dampak ekonomi.
Pada akhirnya membawa keingintahuan penulis untuk mengkaji “Perubahan
Sistem Pertanian dan Dampaknya terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat
di Kabupaten Sleman Tahun 1961-1976”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dapat ditarik beberapa
rumusan masalah sebagai landasan dasar penelitian yang akan dikaji. Adapun
rumusan masalah dipaparkan sebagai berikut.
1. Bagaimana gambaran umum wilayah Kabupaten Sleman?
22 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm 189.

9
2. Mengapa terjadi perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman tahun
1961-1976?
3. Bagaimana dampak perubahan sistem pertanian bagi masyarakat di
Kabupaten Sleman tahun 1961-1976?
C. Tujuan Penelitian
Pengerjaan penelitian ini terdorong oleh beberapa tujuan yang hendak
dicapai. Mengenai tujuan tersebut, dapat diklasifikasikan menjadi tujuan umum
dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
a. Mencapai taraf praktik dalam keilmuan sejarah jenjang strata 1 dengan
menerapkan metodologi sejarah yang dipelajari dalam perkuliahan
b. Melatih berpikir kritis, analitis, dan sistematis dalam ilmu sejarah
c. Menambah khasanah historiografi Indonesia demi tujuan pembangunan
2. Tujuan Khusus
a. Memahami gambaran umum wilayah Kabupaten Sleman
b. Memahami terjadinya perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman
tahun 1961-1976
c. Memahami dampak perubahan sistem pertanian bagi masyarakat di
Kabupaten Sleman 1961-1976

10
D. Manfaat Penelitian
Pengerjaan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan
penulis.
1. Bagi Pembaca
a. Menjelaskan gambaran umum wilayah Kabupaten Sleman
b. Menjelaskan terjadinya perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman
tahun 1961-1976
c. Menjelaskan dampak perubahan sistem pertanian bagi masyarakat di
Kabupaten Sleman 1961-1976
2. Bagi Penulis
a. Menjadi tolok ukur sejauh mana penulis memahami pengetahuan
kesejarahan dalam perkuliahan
b. Menjadi tolok ukur sejauh mana penulis mendalami cara berpikir kritis,
analitis, dan sistematis dalam ilmu sejarah
c. Menjadi tolok ukur sejauh mana penulis turut serta dalam proses
pembangunan
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka-pustaka yang
digunakan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian dan acuan dalam
mengambil jawaban sementara dari rumusan masalah.23 Skripsi ini menggunakan
23 Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah,(Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, FakultasIlmu Sosial, UNY, 2013), hlm. 6.

11
beberapa pustaka atau literatur yang menjadi landasan pemikiran dalam
penelitian, sumber-sumber yang digunakan sebagai acuan antara lain:
Buku Kabupaten Sleman karangan Biro Hubungan Masyarakat yang
diterbitkan oleh Biro Hubungan Masyarakat.24 Yogyakarta disebut Daerah
Istimewa karena pada mulanya merupakan daerah berpemerintahan sendiri
(swapraja). Kota ini merupakan satuan pemerintahan sendiri, sedangkan daerah-
daerah lainnya dibagi menjadi empat kabupaten: Kulon Progo di sebelah barat,
Sleman di sebelah utara, Bantul di tengah bagian selatan, dan Gunungkidul di
selatan dan timur.
Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang memiliki posisi strategis
yang menjadi penghubung Kota Yogyakarta dengan Magelang Jawa Tengah.
Secara geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110° 33′ 00″ dan 110° 13′
00″ Bujur Timur, 7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten
Sleman sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Klaten, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Magelang, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kota Yogyakarta. Kabupaten
Sleman terbagi menjadi dalam beberapa wilayah seperti berdasarkan karakteristik
wilayah di beberapa daerah di Kabupaten Sleman, kemudian berdasarkan letak
kota dan mobilitas kegiatan masyarakat, dapat dibedakan fungsi kota sebagai
berikut: wilayah aglomerasi, wilayah sub urban, dan wilayah fungsi
khusus/wilayah penyangga.
24 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, Yogyakarta: BiroHubungan Masyarakat, tt.

12
Handojo Adi Pranowo DS dalam buku berjudul Manusia dan Hutan:
Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi terbitan Gadjah Mada
University Press.25 Contoh sebelum tahun 1912 penduduk Sleman atau penduduk
lereng Merapi melakukan perladangan di dalam hutan. Sistem perladangan, lama
periode penggarapan ladang, dan lama periode bero (rotasi perladangan). Setiap
keluarga rata-rata memiliki area perladangan di dalam hutan sebanyak tiga sampai
empat tempat. Masing-masing tanah garapan diolah sebanyak tiga sampai empat
kali masa panen. Ciri-ciri perladangan menurut Gourou antara lain: perladangan
dijalankan di tanah tropis yang gersang, teknik pertanian yang elementer tanpa
menggunakan alat-alat kecuali kampak, kepadatan penduduk rendah, dan
menyangkut tingkat konsumsi yang rendah. Menurut Otto Soemarwoto sistem
perladangan ditandai dengan kerusakan hutan, erosi, banjir, dan kekeringan tanah.
Sistem pertanian kemudian berubah ke sistem tegalan. Tanaman utama di tegalan
adalah jagung. Tanaman lain yang ditanam di tegalan dan berfungsi sebagai
tanaman penyeling adalah kara, kentang, garut, keladi, dan jenis umbi-umbian
lainnya.
Lucas Sasongko Triyoga dalam buku Manusia Jawa dan Gunung Merapi:
Persepsi dan Kepercayaannya terbitan Gadjah Mada University Press.26 Dampak
ekonomi perubahan sistem pertanian menghasilkan jenis-jenis pertanian dan
sistem pertanian yang kemudian memunculkan pertanian tradisional dan pertanian
25 Handojo Adi Pranowo DS, Manusia dan Hutan: Proses PerubahanEkologi di Lereng Gunung Merapi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1985).
26 Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsidan Kepercayaannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991).

13
modern. Dampak lain seperti adanya hama perusak tanaman menjelang masa
panen jagung adalah binatang hutan yang tinggal di dalam hutan Merapi, seperti
celeng, burung betet, dan kera. Dampak sosial perubahan sistem pertanian adalah
kebudayaan manusia yang seragam dan keadaan alam sekitar juga menentukan
corak pertanian. Corak kehidupan masyarakat desa/petani juga perlu mengenal
jenis dan sistem pertanian. Jenis-jenis pertanian berkaitan dengan tanaman pokok
yang menjadi sumber kehidupan dari suatu masyarakat desa/petani. Perbedaan
jenis tanaman pokok juga menciptakan perbedaan dalam corak kehidupan
masyarakatnya.
Penelitian ini menggunakan teori involusi pertanian. Menurut Geertz,
involusi adalah suatu proses kemerosotan pola kebudayaan yang sudah mencapai
bentuk pasti tetapi, tidak berhasil menstabilkannya atau mengubahnya menjadi
suatu pola baru dan terus berkembang menjadi semakin rumit.27 Model
perekonomian makro berdasarkan pandangan ekologi budaya yang banyak
membantu Geertz adalah gambaran tiga sistem pengolahan (sumber daya)
pertanian yaitu persawahan (dengan irigasi yang kompleks), perladangan
(pertanian ekstensif), dan perkebunan (pertanian yang sangat padat modal).28
Sepanjang sejarah gunung-gunung berapi di Pulau Jawa selalu dipadati
pemukiman penduduk karena merupakan sumber bagi kehidupan yaitu
menyuburkan tanah pertanian melalui air, mineral dan abu vulkanik yang selalu
27 Mubyarto,” Involusi Pertanian dan Pemberantasan Kemiskinan: KritikTerhadap Clifford Geertz”, Prisma, No. 2/VII/1978, hlm. 58.
28 Ibid.

14
menutupi permukaan tanahnya, dan merupakan sumber bencana yang disebabkan
oleh awan panas, lahar, dan letusan-letusannya.29
F. Historiografi yang Relevan
Historiografi yang relevan merupakan suatu karya sejarah yang
mendahului penelitian yang akan ditulis. Karya sejarah terdahulu kemudian
dibedah untuk mengetahui kekurangan penelitian terdahulu. Kekurangan peneliti
tersebut, digunakan sebagai landasan pembeda karya yang akan ditulis.30
Historiografi yang relevan pertama menggunakan karya dari Siti Alfiah
Mukmin dengan judul Kehidupan Sosial Ekonomi Penduduk Sleman di Sekitar
Gunung Merapi Tahun 1930-1969. Dalam tulisan ini mengidentifikasi mengenai
segala sesuatu yang dikaitkan dengan akibat dari letusan Gunung Merapi dalam
kurun waktu 39 tahun (1930-1969). Penelitian ini sangat berbeda dengan
penelitian sebelumnya, karena penulis lebih menekankan pada perubahan sistem
pertanian dan dampaknya bagi masyarakat di Kabupaten Sleman tahun 1961-
1976.
Historiografi yang relevan kedua menggunakan karya dari Trihapsari Nina
Hadiastuti dengan judul Pengaruh Modernisasi Pertanian pada Kehidupan
Masyarakat Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman Tahun
1970-1984. Tulisan ini memaparkan tentang pengaruh modernisasi pertanian baik
dalam bidang sosial maupun ekonomi. Karya ini juga memaparkan tentang usaha
29 Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi diIndonesia, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983).
30 Tim Prodi Ilmu Sejarah, loc.cit., hlm 6.

15
pemerintah dalam memodernisasi pertanian serta penerapan modernisasi pertanian
dan reaksi masyarakat terhadap modernisasi pertanian. Penelitian ini sangat
berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena penulis lebih menekankan pada
perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman akibat adanya erupsi Merapi.
Hitoriografi yang relevan ketiga menggunakan karya dari Zuminati
Rahayu dengan judul Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial Ekonomi Petani
Wanita di Kabupaten Sleman Tahun 1970-1984. Tulisan ini memaparkan tentang
dampak Revolusi Hijau terhadap keadaan sosial ekonomi petani wanita di
Kabupaten Sleman. Tulisan ini juga memaparkan tentang hilangnya peran petani
wanita dalam pertanian karena digantikan oleh teknologi yang lebih modern.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena penulis lebih
menekankan pada dampak sosial ekonomi akibat perubahan sistem pertanian.
G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian
1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode sejarah.
Proses penyusunan hasil penelitian diperoleh melalui tahapan, yaitu: heuristik
(metode pengumpulan data), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (penafsiran),
dan historiografi (penulisan sejarah).31 Dari empat langkah tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
31 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007),hlm. 86.

16
a. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan awal untuk mendapatkan data-data atau materi
sejarah.32 Dapat dikatakan bahwa tahapan ini merupakan pengumpulan data atau
sumber dan informasi yang relevan. Hanya data atau informasi yang berhubungan
dengan segi-segi tertentu dari pokok permasalahan yang perlu dikumpulkan.
Pengumpulan sumber yang sudah penulis lakukan yaitu dengan mengunjungi
beberapa perustakaan dan arsip, seperti: Perpustakaan UNY, Perpustakaan FIS,
Perpustakaan UGM, dan Jogja Library Centre. Perpustakaan menjadi tempat
pencarian utama penulis, dari hasil kunjungan tersebut penulis menemukan
beberapa buku yang dapat menjawab pertanyaan penulis dalam rumusan masalah.
Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan
dengan masalah yang akan di bahas. Sumber-sumber tersebut berupa arsip,
majalah dan buku-buku. Sumber primer antara lain:
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah DaerahIstimewa Yogyakarta Tahun 1964-1966, Yogyakarta: Biro Statistik, 1967.
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah DaerahIstimewa Yogyakarta Tahun 1969, Yogyakarta: Biro Statistik, 1970.
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah DaerahIstimewa Yogyakarta Tahun 1972, Yogyakarta: Biro Statistik, 1973.
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dalamAngka Tahun 1976, Yogyakarta: Biro Statistik, 1976.
Penulisan karya ini juga menggunakan sumber lisan berupa wawancara.
Beberapa daftar narasumber yang telah diwawancara antara lain:
1. Bapak Mujiyat pekerjaan sebagai pensiunan
32 Ibid.

17
2. Bapak Sapari pekerjaan sebagai petani
3. Ibu Mujilah pekerjaan sebagai petani
4. Ibu Suyadi pekerjaan sebagai petani
5. Bapak Ponimin pekerjaan sebagai petani
Sumber sekunder antara lain:
Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, Yogyakarta: Biro HubunganMasyarakat, tt.
Geertz, Clifford, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia,Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.
Handojo Adi Pranowo, Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di LerengGunung Merapi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN BALAI PUSTAKA, 1984.
Leirissa, R.Z dkk, Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996.
Loekman Soetrisno, Pertanian Pada Abad Ke-21, Jakarta: Direktorat JenderalPendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi danKepercayaannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.
Wahyunto dan Wasito, “Lintasan Sejarah Erupsi Gunung Merapi”, Bogor: BalaiBesar Sumber Daya Lahan dan Balai Besar Pengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian.
b. Verifikasi (Kritik Sumber)
Tahapan ini merupakan pengujian terhadap sumber-sumber agar diperoleh
tentang keabsahan sumber. Verifikasi ini terdiri dari kritik ekstern dan kritik
intern. Kritik ektern yaitu pengujian terhadap keaslian, turunan, palsu, serta
relevan atau tidaknya suatu sumber. Kritik intern yaitu pengujian terhadap isi atau
kandungan sumber. Proses kritik tersebut bertujuan untuk mencari fakta sejarah.

18
Fakta sejarah dapat diartikan sebagai kesimpulan dari kenyataan yang diperoleh
dari hasil penyelidikan terhadap sumber sejarah sehingga mengandung unsur
subjektivitas.
c. Interpretasi (Penafsiran)
Proses interpretasi, berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya peristiwa. Proses ini sering diwarnai dengan
subjektivitas. Interpretasi dibedakan menjadi dua, yaitu interpretasi analitis dan
interpretasi sintesis. Interpretasi analitis merupakan proses menguraikan. Karena
dalam beberapa sumber sejarah terdapat beberapa kemungkinan pemahaman.
Sedangkan interpretasi sintesis merupakan proses penyatuan. Mengenai
interpretasi analitis, memungkinkan untuk menggunakan ilmu bantu yang berupa
teori-teori politik.
d. Historiografi (Penulisan Sejarah)
Suatu tahapan untuk melakukan pemaparan dari hasil penelitian sejarah
yang telah dilakukan. Pada tahap ini dituntut kemahiran dalam menguraikan
temuan-temuan sehingga menjadi sebuah kisah sejarah. Penyajian laporan harus
dilakukan secara jelas, sistematis, dan terperinci dalam bentuk kalimat yang
efektif.
2. Pendekatan Penelitian
Untuk mempermudah penelitian ini maka pendekatan-pendekatan yang
nantinya diharapkan dapat menjadi jembatan penyeberangan pembaca dalam
memahami apa yang ingin disampaikan dalam tulisan ini. Pendekatan yang

19
digunakan adalah pendekatan geografi, pendekatan ekonomi, dan pendekatan
ekologi.
a. Pendekatan geografi
Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang penguraian dan
pembahasan serta pemahaman atas perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam
distribusi lokasi. Fokusnya adalah pada sifat dan saling keterkaitan antara
lingkungan, tata ruang, dan tempat.33 Pendekatan geografi digunakan untuk
mengetahui gambaran umum wilayah di Kabupaten Sleman.
b. Pendekatan Ekonomi
Sejarah ekonomi dalam berbagai aspek semakin menonjol pada awal abad
ini. Terutama setelah adanya proses modernisasi dan lebih memfokuskan
perhatian pada pembangunan ekonomi. Perkembangan selanjutnya sejarah
ekonomi mengalami perubahan dengan munculnya sejarah pertanian, sejarah kota,
sejarah bisnis, sejarah perburuhan, dan formasi kapital.34 Pendekatan ekonomi
digunakan untuk mengetahui tentang sejarah pertanian serta dampak ekonomi
yang disebabkan oleh perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman akibat
erupsi Gunung Merapi.
c. Pendekatan Ekologi
Pendekatan ekologi melihat lingkungan hidup manusia sebagai suatu
kesatuan yang secara menyeluruh saling berinteraksi. Pendekatan ekologi ini
digunakan untuk mengetahui erupsi Gunung Merapi yang berdampak buruk pada
33 Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar IlmuSejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hlm. 36.
34 Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 136-138.

20
lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya, di antaranya adalah sumber daya
air yang berujung pada terganggunya penyediaan air untuk berbagai penggunaan
terutama pertanian, domestik, dan industri.
d. Pendekatan Sosial
Sejarah sosial mempunyai bahan kajian yang luas dan beraneka ragam.
Kebanyakan sejarah sosial juga mempunyai hubungan erat dengan sejarah
ekonomi, dapat disebut juga sejarah sosial ekonomi. Sejarah sosial juga
mengambil tema-tema seperti kemiskinan, perbanditan, kekerasan, kriminalitas,
pertumbuhan penduduk, migrasi dan urbanisasi.35 Perbanditan terjadi di
Yogyakarta bagian dari Vorstenlanden dengan kehidupan penduduknya bertani
tahun 1860-an. Perbanditan atau lebih dikenal dengan kecu adalah perampokan
yang dilakukan lebih dari lima orang dengan korban orang-orang perkebunan dan
orang Cina. Perbanditan ini berdampak pada keadaan sosial dan ekonomi
masyarakat Yogyakarta.36 Pendekatan sosial digunakan untuk mengetahui dampak
sosial dari perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul “Perubahan Sistem Pertanian dan
Dampaknya terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Sleman
Tahun 1961-1976”. Secara sistematis terdiri dari lima bab. Untuk memperoleh
35 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003),hlm. 39-41.
36 Suhartono, Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942,(Yogyakarta: Aditya Media, 1995), hlm. 140.

21
gambaran yang jelas tentang skripsi ini, maka penulis akan memberikan gambaran
singkat tentang sistematika penulisan sebagi berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan mengenai: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang
relevan, metode penelitian dan pendekatan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN SLEMAN
Bab ini memaparkan tentang gambaran umum kabupaten Sleman.
Gambaran umum tersebut meliputi keadaan geografis, karakteristik wilayah,
keadaan demografi, dan keadaan sosial ekonomi.
BAB III PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN DI KABUPATEN SLEMAN
Bab ini memaparkan tentang aktivitas erupsi Gunung Merapi tahun 1961-
1976. Kemudian sistem pertanian di kabupaten Sleman sebelum tahun 1961.
Terakhir membahas tentang sistem pertanian di kabupaten Sleman tahun 1961-
1976.
BAB IV DAMPAK PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN TERHADAPMASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN
Bab ini memaparkan tentang dampak perubahan sistem pertanian di
kabupaten Sleman, baik dampak sosial maupun dampak ekonomi.
BAB V KESIMPULAN
Bab ini memaparkan mengenai jawaban atas berbagai pertanyaan dalam
rumusan masalah.

22
BAB IIGAMBARAN UMUM KABUPATEN SLEMAN
A. Latar Belakang Sejarah
Nama “Sleman” berasal dari kata “Saliman” atau “Salimar” yang berarti
“Gajah”. Penemuan prasasti bertuliskan “Sa Sima” yang berarti dimedakakan
dengan angka tahun 700 Masehi ditemukan tahun 1963. Reorganisasi besar-
besaran sebagai akibat menyusutnya wilayah Kasultanan Yogyakarta tahun 1831,
yang terbagi dalam 3 kawasan yaitu:1
1. Mataram yang terletak di Yogyakarta bagian tengah antara Kali Progo dan
Kali Opak (termasuk daerah Sleman) sebagai daerah “Negoro-Gung”
diperuntukkan tanah lungguh2 kraton
2. Kulon Progo yang diperuntukkan sebagai tanah lungguh Adipati Anom dan
tanah pamajegan dalem3
3. Gunungkidul yang diperuntukkan sebagai tanah pamajegan dalem
Reorganisasi daerah Mataram menjadi kabupaten, yaitu Kalasan, Sleman,
dan Bantul tahun 1916. Reorganisasi kembali terjadi dan membagi Yogyakarta
bagian tengah menjadi 2 kabupaten, yaitu Yogyakarta dan Bantul tahun 1927.
Reorganisasi yang terakhir pada zaman penjajahan Belanda terjadi pada tahun
1 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: BiroHubungan Masyarakat, tt), hlm. 1.
2 Tanah lungguh adalah tanah garapan yang diberikan kepada pegawaikerajaan sebagai pengganti gaji sesuai dengan kebutuhannya atau jabatannya.
3 Tanah pamajegan dalem atau tanah raja dimana hasil produksi atas tanahitu digunakan untuk menghidupi raja beserta keluarganya.

23
1940 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta menjadi 4 kabupaten, yaitu
Yogyakarta, Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul. penggabungan wilayah
Kasultanan dan Pakualaman yang terbagi dalam 6 kabupaten, yaitu Yogyakarta,
Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo, dan Adikarto pada masa pendudukan
Jepang tahun 1945. Kabupaten Sleman dibentuk berdasarkan Undang-undang No.
15 tahun 1950 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1950. Kabupaten
Kulon Progo dan Adikarto digabungkan menjadi Kabupaten Kulon Progo pada
tahun 1951.4
Keberadaan Kabupaten Sleman dapat diketahui dalam Rijksblad No. 11
tahun 1916 tanggal 15 Mei 1916 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta
dalam 3 Kabupaten, yakni Kalasan, Bantul, dan Sulaiman (yang kemudian disebut
Sleman). Rijksblad juga disebutkan bahwa Kabupaten Sulaiman (Sleman) terdiri
dari 4 distrik yakni:5
1. Distrik Mlati terdiri 5 onderdistrik dan 46 kelurahan
2. Distrik Klegoeng terdiri 6 onderdistrik dan 52 kelurahan
3. Distrik Joemeneng terdiri 6 onderdistrik dan 58 kelurahan
4. Distrik Godean terdiri 8 onderdistrik dan 55 kelurahan
Berdasarkan Perda No.12 tahun 1998, tanggal 15 Mei tahun 1916 akhirnya
ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Sleman. Menurut Almanak6, hari tersebut
4 Biro Hubungan Masyarakat, loc.cit.
5 “Kabupaten Sleman”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Slemandiakses 24 Maret 2015.
6 Almanak adalah buku berisi penanggalan dan karangan yang perludiketahui umum, biasanya terbit tiap tahun.

24
tepat pada hari Senin Kliwon, tanggal 12 Rejeb. Berdasar pada perhitungan tahun
masehi, hari jadi Kabupaten Sleman ditandai dengan surya sengkala7 "Rasa
Manunggal Hanggatra Negara" yang memiliki sifat bilangan Rasa = 6, Manunggal
= 1, Hanggatra = 9, Negara = 1, sehingga terbaca tahun 1916. Sengkalan tersebut,
walaupun melambangkan tahun, memiliki makna yang jelas bagi masyarakat
Jawa, yakni dengan rasa persatuan membentuk negara. Sedangkan dari
perhitungan tahun Jawa diperoleh candra sengkala8 "Anggana Catur Salira
Tunggal". Anggana = 6, Catur = 4, Salira = 8, Tunggal = 1. Dengan demikian dari
candra sengkala tersebut terbaca tahun 1846.9
Kabupaten Sleman diturunkan statusnya menjadi distrik di bawah wilayah
Kabupaten Yogyakarta dan pada tanggal 8 April 1945, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan
Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei10 angka 2 (dua). Penataan ini
menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten dengan
Kanjeng Raden Tumenggung Pringgodiningrat sebagai bupati. Wilayah Sleman
membawahi 17 kapenewon/kecamatan (son) yang terdiri dari 258 kelurahan (Ku).
Ibu kota kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai Desa
7 Sengkala atau sengkalan adalah angka tahun yang disimbolkan dengankata-kata, gambar, atau benda. Sengkala dapat terwujud, karena dalam budayaJawa masing-masing benda, sifat, atau kondisi alam memiliki angka. Menurutjenis kalender yang digunakan, terdapat surya sengkala dan candra sengkala.Surya sengkala menggunakan kalender berdasarkan perhitungan matahari.“Sengkala”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sengkala diakses 4 Mei 2015.
8 Candra sengkala menggunakan perhitungan bulan, seperti tahun saka,tahun Jawa, atau tahun Hijriah.
9 Biro Hubungan Masyarakat, loc.cit.
10 Jogjakarta Koorei semacam Rijksblad atau Lembaran Negara.

25
Triharjo, melalui Maklumat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 5 tahun 1948 tentang perubahan daerah-daerah kelurahan, maka 258
kelurahan di Kabupaten Sleman saling menggabungkan diri hingga menjadi 86
kelurahan/desa. Kelurahan/desa tersebut membawahi 1.212 padukuhan.11
B. Keadaan Geografis
1. Letak Wilayah
Yogyakarta disebut Daerah Istimewa karena pada mulanya merupakan
daerah berpemerintahan sendiri (swapraja). Kota ini merupakan satuan
pemerintahan sendiri, sedangkan daerah-daerah lainnya dibagi menjadi empat
kabupaten: Kulon Progo di sebelah barat, Sleman di sebelah utara, Bantul di
tengah bagian selatan, dan Gunungkidul di selatan dan timur.12
Secara geografis Daerah Tingkat II Sleman terletak di bagian utara Daerah
Istimewa Yogyakarta bentuknya mirip segitiga dengan puncaknya Gunung
Merapi setinggi 2.911 m di atas permukaan laut dan wilayah ini termasuk daerah
Hinterland13. Secara geografis daerah ini terletak pada posisi 7o 34' 51" 7o 03"
Lintang Selatan dan 107o 15' 03-110o 28' 30" Bujur Timur. Adapun batas-batasnya
sebelah utara Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang dan Boyolali, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Klaten, sebelah tenggara Kabupaten Gunung Kidul
11 Biro Hubungan Masyarakat, loc.cit.
12 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: GadjahMada University Press, 1981), hlm. 15.
13 Daerah Hinterland adalah suatu daerah yang berfungsi sebagai pemasokdan pemenuhan kebutuhan bahan makanan pokok serta tempat produksi komoditiekspor.

26
dan sebelah selatan Kabupaten Bantul dan Kota Madya Yogyakarta serta sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo.14
2. Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 ha atau 574,82 km2 atau
sekitar 18% dari luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang seluas
3.185,80 km2. Jarak terjauh utara-selatan wilayah Kabupaten Sleman 32 km,
sedangkan jarak terjauh timur-barat 35 km. Secara administratif, Kabupaten
Sleman terdiri atas 17 wilayah kecamatan, 86 desa, dan 1.212 Padukuhan.
Kecamatan dengan wilayah paling luas adalah Cangkringan (4.799 ha), dan yang
paling sempit adalah Berbah (2.299 ha). Kecamatan dengan padukuhan terbanyak
adalah Tempel (98 padukuhan), sedangkan kecamatan dengan padukuhan paling
sedikit adalah Turi (54 padukuhan). Kecamatan dengan Desa terbanyak adalah
Tempel (8 desa), sedangkan Kecamatan dengan Desa paling sedikit adalah Depok
(3 desa). Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Sleman dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
14 Biro Hubungan Masyarakat, op.cit., hlm 6.

27
Tabel 1Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Sleman
No. KecamatanBanyaknya
Luas (Ha)Desa Padukuhan
1. Moyudan 4 65 2.762
2. Minggir 5 68 2.727
3. Seyegan 5 67 2.663
4. Godean 7 77 2.684
5. Gamping 5 59 2.925
6. Mlati 5 74 2.852
7. Depok 3 58 3.555
8. Berbah 4 58 2.299
9. Prambanan 6 68 4.135
10. Kalasan 4 80 3.584
11. Ngemplak 5 82 3.571
12. Ngaglik 5 87 3.852
13. Sleman 6 83 3.132
14. Tempel 8 98 3.249
15. Turi 4 54 4.309
16. Pakem 5 61 4.384
17. Cangkringan 5 73 4.799
Jumlah 86 1.212 57.482
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2010.
3. Topografi
Keadaan tanah Kabupaten Sleman di bagian selatan relatif datar kecuali
daerah perbukitan di bagian tenggara Kecamatan Prambanan dan sebagian di
Kecamatan Gamping. Semakin ke utara relatif miring dan di bagian utara sekitar
lereng Gunung Merapi relatif terjal. Ketinggian wilayah Kabupaten Sleman
berkisar antara 100 meter sampai dengan 2.500 meter di atas permukaan laut.

28
Ketinggian wilayahnya dapat dibagi menjadi 4 kelas dapat dilihat pada tabel
berikut ini.15
Tabel 2Ketinggian Wilayah Kabupaten Sleman
No. Kecamatan
< 100 m 100-499 500-999 > 1.000 Jumlah
dpl m dpl m dpl m dpl (Ha)
(ha) (ha) (ha) (ha)
1. Moyudan 2.407 355 - - 2.762
2. Minggir 357 2.370 - - 2.727
3. Godean 209 2.475 - - 2.684
4. Seyegan - 2.663 - - 2.663
5. Tempel - 3.172 77 - 3.249
6. Gamping 1.348 1.577 - - 2.925
7. Mlati - 2.852 - - 2.852
8. Sleman - 3.132 - - 3.132
9. Turi - 2.076 2.155 78 4.309
10. Pakem - 1.664 1.498 1.222 4.384
11. Ngaglik - 3.852 - - 3.852
12. Depok - 3.555 - - 3.555
13. Kalasan - 3.584 - - 3.584
14. Berbah 1.447 852 - - 2.299
15. Prambanan 435 3.700 - - 4.135
16. Ngemplak - 3.571 - - 3.571
17. Cangkringan - 1.796 2.808 195 4.799
Jumlah 6.203 43.246 6.538 1.495 57.482
Prosentase 10,79 75 11,38 2,6 100
Sumber: Dinas Pengendalian Pertanian Kabupaten Sleman, 2010.
4. Geohidrologi
Kondisi geologi di Kabupaten Sleman didominasi oleh keberadaan
Gunung Merapi dengan dan merupakan gunung berapi paling aktif di Indonesia.
Adanya Gunung merapi membuat wilayah ini sangat subur. Lava dan debu akibat
15 Ibid.

29
erupsi berubah menjadi tanah yang amat subur dan menguntungkan untuk kaum
petani.16
Kabupaten Sleman terdapat 4 jalur mata air (springbelt) yaitu: jalur mata
air Bebeng, jalur mata air Sleman-Cangkringan, jalur mata air Ngaglik dan jalur
mata air Yogyakarta. Mata air ini telah banyak dimanfaatkan untuk sumber air
bersih maupun irigasi. Kabupaten Sleman terdapat 154 sumber mata air, yang
airnya mengalir ke sungai-sungai utama yaitu sungai Boyong, Kuning, Gendol,
dan Krasak.
5. Jenis Tanah
Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman
adalah regosol yang terletak di kaki Gunung Merapi, dari sekitar Kota Madya
Yogyakarta hingga Kaliurang jenis tanahnya regosol17 agak kelabu. Bagian
tenggara Kecamatan Prambanan tanahnya berjenis gromosol18 kelabu tua dan
litosol19. Sedangkan tanah aluvial20 kelabu dan aluvial coklat keabu-abuan ada di
16 Selo Soemardjan, op.cit., hlm. 14.
17 Tanah Regosol adalah tanah yang berbutir kasar dan berasal darimaterial gunung api. Tanah regosol berupa tanah aluvial yang baru diendapkan.Material jenis tanah ini berupa abu vulkanik dan pasir vulkanik. Jenis tanah initerdapat di daerah iklim beragam dengan permukaan yang bergelombang. Tanahregosol dapat dimanfaatkan untuk tanaman tembakau, kelapa, sayuran, dan tebu.
18 Tanah gromosol adalah jenis tanah yang terdapat di daerah yangmemiliki rata-rata curah hujan tahunan antara 1.000 mm sampai dengan 2.000mm. Tanah gromosol dapat dimanfaatkan untuk tanaman padi, jagung, kapas, dankedelai.
19 Tanah litosol adalah jenis tanah yang berasal dari batuan beku dansedimen yang keras, dan bersifat sensitif terhadap erosi. Tanah ini bermanfaatuntuk menanam tanaman yang berkayu keras.

30
bagian barat tepi Kali Progo sekitar Kecamatan Minggir. Mediteran coklat tua di
sekitar Kecamatan Godean asosiasi litosol kuning dan renzina21 ada di sekitar
Moyudan.
6. Luas dan Komposisi Tanah
Luas keseluruhan Kabupaten Sleman 574,82 km2 terbagi atas 17
kecamatan, 86 kelurahan, dan 1.207 padukuhan, 20% merupakan daerah
perkotaan dan 80% daerah pedesaan hampir separuh dari luas wilayah merupakan
daerah pertanian yang subur dengan komposisi penggunaan sebagai berikut:22
sawah dengan luas 27.387 ha, tegal seluas 6.915 ha, pekarangan seluas 16.110 ha,
hutan seluas 1.545 ha, dan ain-lain seluas 5.609 ha.
7. Keadaan Iklim
Kabupaten Sleman terletak pada iklim hujan seperti pada daerah yang lain.
Musim hujan dari bulan Oktober sampai April saat bertiup angin muson barat
daya dengan arah 200o bersifat basah. Curah hujan tertinggi pada bulan April
sampai Oktober saat bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah
90o sampai 140o dengan kecepatan 15-16 knot per jam, hujan terendah pada bulan
20 Tanah aluvial adalah tanah yang terbentuk akibat proses pengendapankerikil, pasir, dan lumpur yang terangkut oleh angin, air, dan sungai menujupantai. Tanah aluvial dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bangunan.
21 Tanah renzina adalah tanah hasil pelapukan batuan kapur di daerah yangmemiliki curah hujan yang tinggi. Tanah renzina memiliki warna hitam sedikitunsur hara. Tanah renzina banyak terdapat di daerah bergamping seperti diGunung Kidul, Yogyakarta.
22 Biro Hubungan Masyarakat, op.cit., hlm 7.

31
Juni dan Juli. Kelembaban udara dengan intensitas rata-rata per bulan sebesar
78% dan tekanan udara 1.007 mbs.23
C. Karakteristik Wilayah
Karakteristik wilayah di Kabupaten Sleman dibagi menjadi tiga, yaitu:
karakteristik sumber daya, karakteristik jalur lintas antar daerah, dan karakteristik
fungsi kota.24
1. Berdasarkan karakteristik sumber daya wilayah Kabupaten Sleman terbagi
menjadi 4 kawasan, yaitu:
a. Kawasan Lereng Gunung Merapi, dimulai dari jalan yang
menghubungkan kota Tempel, Pakem, dan Cangkringan (ringbelt) sampai
dengan puncak Gunung Merapi. Wilayah ini merupakan sumber daya air
dan ekowisata yang berorientasi pada kegiatan Gunung Merapi dan
ekosistemnya
b. Kawasan Timur meliputi Kecamatan Prambanan, sebagian Kecamatan
Kalasan, dan Kecamatan Berbah. Wilayah ini merupakan tempat
peninggalan purbakala (candi) yang merupakan pusat wisata budaya dan
daerah lahan kering serta sumber bahan batu putih
23 Ibid.
24 “Kondisi Pertanian Kabupaten Sleman”,https://valkauts.wordpress.com/2012/04/18/kondisi-pertanian-kabupaten-sleman/,diakses 25 Maret 2015.

32
c. Wilayah Tengah yaitu wilayah aglomerasi kota Yogyakarta yang meliputi
Kecamatan Mlati, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Depok, dan Gamping.
Wilayah ini merupakan pusat pendidikan, perdagangan dan jasa
d. Wilayah Barat meliputi Kecamatan Godean, Minggir, Seyegan, dan
Moyudan, merupakan daerah pertanian lahan basah yang tersedia cukup
air dan sumber bahan baku kegiatan industri kerajinan mendong, bambu,
serta gerabah
2. Berdasar jalur lintas antar daerah, kondisi wilayah Kabupaten Sleman
dilewati jalur jalan negara merupakan jalur ekonomi yang menghubungkan
Sleman dengan kota-kota pelabuhan utama (Semarang, Surabaya, dan
Jakarta). Jalur ini melewati wilayah Kecamatan Prambanan, Kalasan, Depok,
Mlati, Tempel, dan Gamping. Selain itu, wilayah Kecamatan Depok, Mlati,
dan Gamping jalan arteri primer, sehingga kecamatan-kecamatan tersebut
menjadi wilayah yang cepat berkembang, yaitu dari pertanian menjadi
industri, perdagangan, dan jasa.
3. Berdasarkan pusat-pusat pertumbuhan, wilayah Kabupaten Sleman
merupakan wilayah hulu kota Yogyakarta. Berdasar letak kota dan mobilitas
kegiatan masyarakat, dapat dibedakan fungsi kota sebagai berikut.
a. Wilayah Aglomerasi (perkembangan kota dalam kawasan tertentu)
merupakan perkembangan kota Yogyakarta, maka kota-kota yang
berbatasan dengan kota Yogyakarta yaitu Kecamatan Depok, Gamping
serta sebagian wilayah Kecamatan Ngaglik dan Mlati merupakan wilayah
aglomerasi kota Yogyakarta

33
b. Wilayah Sub-Urban (wilayah perbatasan antara desa dan kota) meliputi
kota Kecamatan Godean, Sleman, dan Ngaglik terletak agak jauh dari
kota Yogyakarta dan berkembang menjadi tujuan kegiatan masyarakat di
wilayah kecamatan sekitarnya, sehingga menjadi pusat pertumbuhan
c. Wilayah Fungsi Khusus/Wilayah Penyangga (buffer zone) meliputi
kecamatan Tempel, Pakem, dan Prambanan yang merupakan pusat
pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya
D. Keadaan Demografi
1. Kondisi Kependudukan
Kabupaten Sleman dengan luas wilayah 574,82 km2 sejak tahun 1960
sampai akhir 1976 jumlah penduduknya terus meningkat yaitu tahun 1960
sebanyak 518.911 dan pada akhir 1976 sebanyak 624.523. Angka ini
menunjukkan bahwa ratio antara jumlah penduduk terhadap luas daerah sudah
cukup tinggi, mengingat Kabupaten Sleman sebagai daerah agraris. Berikut ini
beberapa tabel jumlah penduduk di Kabupaten Sleman:
a. Perkembangan jiwa dan kepala keluarga di Kabupaten Sleman pada tiap-tiap
akhir tahun 1960-1966
Perkembangan jiwa dan kepala keluarga di Kabupaten Sleman secara
umum mengalami peningkatan. Tahun 1962 mengalami penurunan sebayak 1.890
jiwa atau turun sekitar 0,35%, sedangkan jumlah kepala keluarga pada tahun 1966
mengalami penurunan 598 atau mengalami penurunan sekitar 0,42%. Jumlah jiwa
terbanyak tahun 1966 dengan 562.792 jiwa. Penurunan penduduk disebabkan

34
adanya korban meninggal akibat erupsi Merapi. Banyaknya penduduk yang ikut
transmigrasi untuk menghindari daerah bahaya Merapi juga menyebabkan
penurunan jumlah penduduk. Perkembangan jiwa dan kepala keluarga dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga
di Kabupaten Sleman
AkhirDjiwa
Tambah % KepalaKeluarga
Tambah%
Tahun
1960 518.911 - - 130.455 - -
1961 526.597 7.686 1,48 132.089 1.634 1,25
1962 524.707 -1.890 -0,35 134.588 2.499 1,89
1963 532.082 7.375 1,4 136.357 1.769 1,31
1964 540.108 8.026 1,5 137.584 1.227 0,89
1965 551.453 11.345 2,1 141.012 3.428 2,49
1966 562.792 11.339 2,05 140.414 -598 -0,42
Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah DaerahDaerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1964-1966, (Yogyakarta: BiroStatistik, 1967), hlm 31.
b. Perkembangan jiwa dan kepala keluarga di Kabupaten Sleman pada tahun
1960-1969
Penduduk laki-laki dan perempuan mengalami penurunan pada tahun 1962
dengan prosentase 0,41% dan 0,30%. Tahun 1967 penduduk laki-laki dan
perempuan menurun sebanyak 1,03% dan 0,06%. Pertambahan penduduk laki-laki
dan perempuan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

35
Tabel 4Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga
di Kabupaten Sleman
Tahun
Penduduk/Kepala Keluarga
pada Achir Tahun
Laki-laki Perempuan Djumlah
1960a 250.014 268.897 518.911
b 100.328 30.127 130.455
1961a 253.855 272.742 526.597
b 101.833 30.256 132.089
1962a 252.796 271.911 524.707
b 103.388 31.200 134.588
1963a 257.089 274.993 532.082
b 104.982 31.375 136.357
1964a 261.358 278.750 540.108
b 105.888 31.696 137.584
1965a 266.971 284.482 551.453
b 108.871 32.141 141.012
1966a 272.403 289.840 562.243
b 110.228 32.316 142.544
1967a 279.271 295.006 574.277
b 109.090 32.294 141.384
1968a 284.137 300.992 585.129
b 107.977 32.428 140.405
1969a 287.781 303.062 592.843
b 108.256 31.841 140.097
Keterangan: a = jiwa, b = kepala keluargaSumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1969, (Yogyakarta: Biro Statistik,1970), hlm 32.
c. Perkembangan penduduk Kabupaten Sleman pada tahun 1963-1972
Penduduk laki-laki dan perempuan secara umum mengalami peningkatan.
Peningkatan ini disebabkan adanya kepulangan orang-orang yang ikut
transmigrasi dari luar daerah sehingga penduduknya pun bertambah. Pertambahan
penduduk laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

36
Tabel 5Perkembangan Penduduk di Kabupaten Sleman
Tahun
Penduduk/Kepala Keluarga
pada Akhir Tahun
Laki-laki Perempuan Jumlah
1963a 257.089 274.993 532.082
b 104.982 31.375 136.357
1964a 261.358 278.750 540.108
b 105.888 31.696 137.584
1965a 266.971 284.482 551.543
b 108.871 32.141 141.012
1966a 272.403 289.840 562.243
b 110.228 32.316 142.544
1967a 279.271 295.006 574.277
b 109.090 32.294 141.384
1968a 284.137 300.992 585.129
b 107.977 32.428 140.405
1969a 287.781 305.062 592.843
b 108.256 31.841 140.097
1970a 289.169 306.307 595.476
b 107.439 31.063 138.502
1971a 287.800 304.173 591.973
b 106.110 29.374 135.484
1972a 287.488 304.752 592.240
b 104.047 28.791 132.838
Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah DaerahDaerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972, (Yogyakarta: Biro Statistik,1973), hlm 82.
d. Penduduk Kabupaten Sleman pada tahun 1967-1976
Penduduk laki-laki dan perempuan pada tahun 1967 mengalami penurunan
sebesar 1,03% dan 0,06%. Pertambahan penduduk laki-laki dan perempuan dapat
dilihat pada tabel berikut ini.

37
Tabel 6Penduduk di Kabupaten Sleman
Tahun
Penduduk/Kepala Keluaga
pada Akhir Tahun
Laki-laki Perempuan Jumlah
1967a 279.271 295.006 574.277
b 109.090 32.294 141.384
1968a 284.137 300.992 585.129
b 107.977 32.428 140.405
1969a 287.781 305.062 592.843
b 108.256 31.841 140.097
1970a 289.169 306.307 595.476
b 107.439 31.063 138.502
1971a 287.800 304.173 591.973
b 106.110 29.374 135.484
1972a 287.488 304.752 592.240
b 104.047 28.791 132.838
1973a 291.306 308.891 600.197
b 104.222 28.832 133.054
1974a 194.956 312.707 507.663
b 104.302 28.926 133.228
1975a 299.411 316.906 616.317
b 104.399 29.174 133.573
1976a 303.358 321.165 624.523
b 104.683 29.559 134.242
Sumber: Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakartadalam Angka Tahun 1976, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1976), hlm 65.

38
2. Penyebaran Penduduk
Sensus penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1961 sebanyak
2.410.000 orang, tahun 1971 sebanyak 2.488.544 orang, dan tahun 1980 sebanyak
2.750.128 orang.25 Sensus penduduk di Kabupaten Sleman sebagai berikut.
Tabel 7Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tangga
di Kabupaten Sleman
No. Kecamatan Oktober 1961 Juli 1968 Juli 1970Oktober
1971
1. Sleman 30.282 39.473 41.879 43.077
2. Mlati 36.828 38.583 40.313 40.995
3. Gamping 35.297 37.835 39.453 40.649
4. Godean 5.441 5.712 5.686 5.822
5. Moyudan 27.964 28.746 29.106 29.371
6. Minggir 28.669 29.752 30.675 30.493
7. Seyegan 31.837 32.405 33.111 33.630
8. Tempel 33.995 36.455 38.030 38.504
9. Turi 24.218 24.911 24.929 25.576
10. Pakem 18.301 26.426 19.523 25.912
11. Cangkringan 20.695 22.698 22.646 22.779
12. Ngemplak 29.993 24.822 31.659 32.211
13. Ngaglik 25.201 35.446 36.539 37.413
14. Depok 30.589 35.632 25.677 46.786
15. Kalasan 34.966 37.405 38.384 38.705
16. Berbah 25.614 27.471 28.769 29.305
17. Prambanan 30.335 31.972 32.513 33.116
Jumlah 470.255 515.744 518.892 944.344
Sumber: Biro Statistik dan Kantor Sensus Daerah Istimewa Yogyakarta, StatistikBerbagai Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah IstimewaYogyakarta 1973, (Yogyakarta: Biro Statistik dan Kantor Sensus,1975), hlm 315-316.
25 Kantor Pusat Data Provinsi DIY, Monografi Daerah IstimewaYogyakarta Tahun 1979, (Yogyakarta: Kantor Pusat Data Provinsi DIY, 1981),hlm 53-55.

39
Tabel 8Penyebaran Penduduk per Kecamatan
No. KecamatanHasil Sensus
Penduduk 1980
1. Moyudan 30.444
2. Minggir 31.056
3. Seyegan 36.524
4. Godean 44.137
5. Gamping 48.514
6. Mlati 50.328
7. Depok 82.661
8. Berbah 32.515
9. Prambanan 37.322
10. Kalasan 43.543
11. Ngemplak 35.732
12. Ngaglik 42.471
13. Sleman 45.285
14. Tempel 40.076
15. Turi 26.037
16. Pakem 26.762
17. Cangkringan 23.916
Jumlah 677.323
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, PendudukKabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, (Yogyakarta: KantorStatistik, 1991), hlm 35-51.
3. Mata Pencaharian Penduduk
Berdasarkan hasil sensus 1971 potensi angkatan kerja atau penduduk usia
kerja yang berumur 10 tahun ke atas di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman
berjumlah 425.092 jiwa.26 Jumlah angkatan kerja usia 15-64 tahun berjumlah
315.622 jiwa berdasarkan hasil sensus tahun 1971. Usia pendidikan 5-24 tahun
berjumlah 253.686 jiwa. Usia 65 tahun ke atas berjumlah 31.420 jiwa. Usia 15
26 Biro Hubungan Masyarakat, op.cit., hlm 10.

40
tahun ke bawah berjumlah 241.262 jiwa. Wanita yang bekerja dari usia 15-49
tahun berjumlah 12.422 jiwa.27
4. Struktur Perekonomian Daerah
Peranan dari masing-masing kegiatan ekonomi terhadap pembentukan
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), sektor pertanian ternyata masih
merupakan sektor dominan. Dalam rangka mewujudkan struktur ekonomi yang
seimbang diharapkan peranan sektor pertanian akan semakin menurun sedang
sektor-sektor di luar pertanian khususnya sektor industri akan didorong
peranannya terhadap pembentukan PDRB.28 Kabupaten Sleman perekonomian
daerahnya pada tahun 1971-1975 ditopang dari sektor pertanian. Hal ini
disebabkan adanya Gunung Merapi yang sewaktu-waktu meletus, lava dari
gunung itu dapat menyuburkan tanah pertanian. Tanaman pertanian di Kabupaten
Sleman yang paling banyak ditanam adalah tanaman padi.29
E. Keadaan Sosial Ekonomi
1. Keadaan Sosial
Keadaan sosial di Kabupaten Sleman meliputi berkaitan agama. Penduduk
di Sleman menganut empat agama yaitu agama Islam, agama Katholik, dan agama
Kristen. Menurut data tahun 1975 di Kabupaten Sleman jumlah pemeluk agama
27 Pemerintah Kab. Dati II Sleman, Kabupaten Sleman dalam Angka 1975-1979, (Yogyakarta: Pemerintah Kab. Dati II Sleman, 1980), hlm. 36.
28 Biro Hubungan Masyarakat, op.cit., hlm. 11.
29 Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Monografi Daerah IstimewaYogyakarta Tahun 1975, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1975), hlm 72.

41
Islam 585.869 jiwa, pemeluk agama Katholik berjumlah 24.490 jiwa, jumlah
pemeluk agama Kristen 4.429 jiwa, dan pemeluk agama lain sebanyak 2.248 jiwa.
Data di tahun berikutnya yaitu tahun 1976 menunjukkan peningkatan jumlah
penduduk yang memeluk agama Islam, Katolik, dan Kristen. Data tahun 1976
pemeluk agama Islam sebanyak 593.834, pemeluk agama Katholik sebanyak
24.536, jumlah pemeluk agama Kristen sebanyak 5.211, dan pemeluk agama lain
mengalami penurunan menjadi 1.566 jiwa.30
2. Keadaan Ekonomi
a. Pertumbuhan Ekonomi
Pendapatan regional kotor di Kabupaten Sleman berdasarkan beberapa
sektor seperti pertanian, pertambangan, industri, dan lain-lain. Pendapatan
regional kotor ini berdasarkan data tahun 1975 dan 1976. Data tahun 1975
menunjukkan sektor pertanian dan perikanan dengan pendapatan sebesar Rp
15.595.470, sektor pertambangan dengan pendapatan Rp 118.415, sektor industri
dengan pendapatan Rp 4.678.670, listrik dan air minum dengan pendapatan Rp
3.096, angkutan dan komunikasi dengan pendapatan Rp 897.832, perdagangan
dengan pendapatan Rp 6.372.171, bank dan lembaga keuangan dengan
pendapatan Rp 206.411, pemerintahan dan hankam dengan pendapatan Rp
3.769.479, jasa dengan pendapatan Rp 1.601.395, dan sewa rumah dengan
pendapatan Rp 732.914. Data tahun 1976 sektor pertanian dan perikanan dengan
pendapatan Rp 17.693.055, pertambangan dengan pendapatan Rp 140.914,
industri dengan pendapatan Rp 4.012.811, bangunan dengan pendapatan Rp
30 Pemerintah Kab. Dati II Sleman, op.cit., hlm. 32.

42
1.355.525, listrik dan air minum dengan pendapatan Rp 6.217, angkutan dan
komunikasi dengan pendapatan Rp 944.411, perdagangan dengan pendapatan Rp
7.473.345, bank dan lembaga keuangan dengan pendapatan Rp 261.935,
pemerintahan dan hankam dengan pendapatan Rp 6.075.041, jasa dengan
pendapatan Rp 1.920.959, dan sewa rumah dengan pendapatan Rp 888.324.31
Pendapatan regional bersih di Kabupaten Sleman di beberapa sektor
dengan data tahun 1975 dan 1976. Data tahun 1975 sektor pertanian dan
perikanan Rp 14.927.260, pertambangan dengan pendapatan Rp 116.868, industri
dengan pendapatan Rp 4.463.919, bangunan dengan pendapatan Rp 1.259.088,
listrik dan air minum dengan pendapatan Rp 2.815, transport dan komunikasi
dengan pendapatan Rp 771.281, perdagangan dengan pendapatan Rp 4.942.300,
bank dan lembaga keuangan dngan pendapatan Rp 165.045, pemerintahan dan
hankam dengan pendapatan Rp 3.769.479, jasa dengan pendapatan Rp 1.441.326,
dan sewa rumah dengan pendapatan Rp 577.942. Data tahun 1976 sektor
pertanian dan perikanan dengan pendapatan Rp 16.930.575, pertambangan dngan
pendapatan Rp 139.073, industri dengan pndapatan Rp 3.828.623, bangunan
dengan pendapatan Rp 1.314.918, listrik dan air minum dengan pendapatan Rp
5.652, transport dan komunikasi dengan pendapatan Rp 813.672, perdagangan
dengan pendapatan Rp 5.749.079, bank dan lembaga keuangan dengan
pendapatan Rp 220.138, pemerintahan dan hankam dengan pendapatan Rp
31 Ibid., hlm. 98.

43
6.075.041, jasa dengan pendapatan Rp 1.795.013, dan sewa rumah dengan
pendapatan Rp 710.659.32
b. Pertanian
Bidang pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dapat
memenuhi kebutuhan bahan makanannya sendiri. Produksi beras hanya
memenuhi 76% dari kebutuhan, produksi jagung hanya dapat memenuhi
kurang lebih 49% dari kebutuhan, sedangkan produksi kedelai sebagai
sumber protein nabati hanya dapat memenuhi 60% dari kebutuhan. Daerah
Istimewa Yogyakarta setiap tahunnya terpaksa mendatangkan bahan
makanan tersebut dari luar daerah, terutama dari daerah Jawa Tengah.33
Luas lahan kritis di Daerah Istimewa Yogyakarta yang harus
dihijaukan adalah 66.000 ha. Hasil pelaksanaan penghijauan hutan sebelum
tahun-tahun Repelita sampai dengan tahun 1970/1971 adalah 30.070 ha dan
waktu sekarang telah menjadi tandus kembali kurang lebih 50%. Tanah
kritis yang harus dihijaukan kembali ada 50.965 ha. Sektor pengairan pun
mengalami beberapa persoalan, diantaranya bangunan perairan banyak yang
rusak karena sudah tua, akibat bencana Gunung Merapi, dan karena kurang
pemeliharaan.
Produksi bahan makan di Kabupaten Sleman meliputi: padi sawah,
padi gogo, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kedelai. Data
tahun 1975 menunjukkan padi sawah sbanyak 352.302 ton, padi gogo
32 Ibid., hlm. 100.
33 Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, op,cit., hlm. 17-18.

44
sebanyak 253 ton, jagung sebanyak 2.863 ton, ubi kayu sebanyak 75.452
ton, ubi jalar sebanyak 11.924 ton, kacang tanah sebanyak 1.829 ton, dan
kedelai sebanyak 347 ton. Data tahun 1976 menunjukkan padi sawah
sebanyak 194.583 ton, jagung sebanyak 3.276,75 ton, ubi kayu sebanyak
52.546 ton, ubi jalar sebanyak 11.868,14 ton, kacang tanah sebanyak 2.634
ton, dan kedelai sebanyak 1.042,64 ton.34
Membahas mengenai pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta,
berarti juga membahas potensi pertanian di setiap kabupatennya. Salah
satunya adalah Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman memiliki potensi
pertanian yang cukup tinggi. Hampir setiap kecamatan di Kebupaten
Sleman terdapat lahan pertanian. Wilayah yang memiliki lahan pertanian
besar adalah wilayah Kabupaten Sleman bagian barat dan selatan. Lahan
pertanian yang ada umumnya ditanami padi. Berikut ini tabel wilayah yang
ditanami padi di Kabupaten Sleman.
34 Pemerintah Kab. Dati II Sleman, op.cit., hlm. 43.

45
Tabel 9LUAS TANAMAN DAN PANENAN DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 1973
No. Nama Kecamatan
Padi
LuasTanaman
LuasPanenan
TakBerhasil
TidakBerhasil
(%)
1 Sleman 2.367 2.367 - -
2 Mlati 2.213 2.213 - -
3 Gamping 2.953 2.232 - -
4 Godean 718 718 - -
5 Moyudan 4.923 4.923 - -
6 Minggir 3.410 3.410 - -
7 Seyegan 3.636 3.636 - -
8 Tempel 4.222 3.113 699 16,5
9 Turi 3.668 3.668 - -
10 Pakem 2.335 1.773 562 24,1
11 Cangkringan 1.891 1.390 501 26,49
12 Ngemplak 2.852 2.852 - -
13 Ngaglik 3.410 3.410 - -
14 Depok 1.246 907 5 0,4
15 Kalasan 3.864 3.844 20 0,52
16 Berbah 3.254 2.839 33 -
17 Prambanan 3.526 3.526 - -
Jumlah 50.488 46.821 1.820 3,6
Sumber: Biro Statistik dan Kantor Sensus Daerah Istimewa Yogyakarta, StatistikBerbagai Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah IstimewaYogyakarta 1973, (Yogyakarta: Biro Statistik dan Kantor Sensus,1975), hlm 373.
Luas sawah di beberapa kecamatan pada tahun 1976 dengan luas
10.432,00 ha. Data tahun 1976 di Tempel luas sawah 317,82 ha, Turi luas sawah
399,56 ha, Pakem luas sawah 201,34 ha, Cangkringan luas sawah 104,89 ha,
Ngemplak luas sawah 325,05 ha, Ngaglik luas sawah 773,58 ha, Sleman luas
sawah 482,80 ha, Minggir luas sawah 1.069,26 ha, Seyegan luas sawah 266,90 ha,
Mlati luas sawah 067,27 ha, Dpok luas sawah 232,10 ha, Kalasan luas sawah

46
1.089,49, Prambanan luas sawah 703,20 ha, Berbah luas sawah 516,12 ha,
Gamping luas sawah 882,44 ha, Godean luas sawah 773,61 ha, dan Moyudan luas
sawah 1.257,57 ha.35
Keseluruhan luas tegalan di Kabupaten Sleman yaitu 1.100,00 ha. Data
tahun 1976 menunjukkan Kecamatan Turi dengan luas 100,00 ha, Pakem dengan
luas 101,05 ha, Cangkringan dengan luas 151,00 ha, Ngemplak dengan luas 7,97
ha, Ngaglik dengan luas 119,75 ha, Sleman dengan luas 0,10 ha, Minggir dengan
luas 15,24 ha, Seyegan dngan luas 5,83 ha, Mlati dengan luas 11,32 ha, Depok
dengan luas 370,56 ha, Kalasan dengan luas 131,78 ha, Berbah dengan luas 4,09
ha, Gamping dengan luas 9,72 ha, Godean dengan luas 77,18 ha, dan Moyudan
dengan luas 30,39 ha.36
35 Ibid., hlm 79.
36 Ibid.

47
BAB IIIPERUBAHAN SISTEM PERTANIAN DI KABUPATEN SLEMAN
A. Erupsi Gunung Merapi dari Tahun 1961 Sampai 1976
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api sangat aktif di dunia
yang mempunyai ciri khas tersendiri yang dikenal sebagai Erupsi Tipe Merapi.
Aktivitas letusan gunung ini diawali dengan keluarnya magma dari dalam ke
permukaan buni dan membentuk kubah lava di puncak gunung api. Kubah lava ini
tumbuh semakin besar dan letaknya menumpang di atas bidang miring sehingga
kedudukannya menjadi tidak stabil dan kemudian longsor membentuk awan
panas. Awan panas atau biasa disebut “wedhus gembel” secara visual nampak
bergumpal-gumpal seperti awan atau bulu domba dengan warna putih sampai abu-
abu gelap kemerahan.1 Sebagian besar material awan panas mengendap di lereng
dan kaki gunung api. Pada waktu hujan lebat endapan awan panas yang terdiri
dari bahan lepas berbagai ukuran tersebut bercampur dengan air hujan membentuk
aliran lahar. Lahar atau aliran masa pekat terdiri dari air (hujan) dan bahan padat
fragmental berbagai ukuran yang berasal dari suatu aktivitas gunung api.2
Merapi meletus dan memakan korban sebanyak 6 jiwa tahun 1961.
Letusan ini mengarah ke Desa Sempal, Desa Kaligesik, dan Desa Gimbal. Letusan
Merapi tahun 1961 mengeluarkan material perut bumi sebanyak 9,2 juta m3, abu
vulkanik yang dihembuskan angin setinggi 5.000 m dari atas kawah dan kemudian
1 Sutikno Bronto, Apa yang Dapat Dilakukan Oleh Ilmuwan YogyakartaTerhaddap Gunungapi Merapi dan Lingkungan Hidup di Sekitarnya?,(Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, 1996), hlm. 3.
2 Ibid., hlm. 4.

48
disebarkan angin ke arah barat sebanyak 20.172 juta m3. Tahun 1976 letusan
Merapi kembali meletus.3 Untuk mengetahui sejarah erupsi Merapi, karakteristik
letusan Merapi, dan data korban akibat letusan Merapi dapat dilihat pada tiga tabel
berikut ini:
Tabel 10Sejarah Erupsi Merapi
Waktu Kejadian Letusan Periode Letusan Korban Meninggal
Gunungapi Merapi (Tahun) (Jiwa)
5-9 April 1961 8 6
7-8 Januari 1969 7 3
7-30 November 1976 8 29
Rata-rata 11 tahun Sumber Kompas
Sumber: Wahyunto dan Wasito, “Lintasan Sejarah Erupsi Gunung Merapi”,(Bogor: Balai Besar Sumber Daya Lahan dan Balai Besar Pengkajiandan Pengembangan Teknologi Pertanian), hlm 15.
Tabel 11Karakteristik Letusan Gunungapi Merapi
No. Tahun
Jumlah Material Arah Luncuran Jarak
Lahar/Awan Material/Awan Maksimum
Panas (juta m³)Panas
Luncuran(km)
1. 1961 42,4 Barat Daya 6,5
2. 1967-1969 10,8 Barat-Barat Daya 7
Sumber: Darmakusuma Darmanto, dkk, “Dampak Lingkungan Pemanfaatan AlurSungai di Kali Boyong, Kali Kuning, dan Kali Gendol”, Manusia danLingkungan, Vol.18, No. 2, 2011, hlm 161.
3 Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsidan Kepercayaannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm.14.

49
Tabel 12Data Korban Akibat Letusan Gunungapi Merapi
Tahun Meninggal Luka-luka
Letusan Dunia Orang
(jiwa)
1961 6 orang Luka Tidak Ada
1969 3 orang Luka Tidak Ada
1976 29 orang Luka 2 orang
Sumber: Darmakusuma Darmanto, dkk, “Dampak Lingkungan Pemanfaatan AlurSungai di Kali Boyong, Kali Kuning, dan Kali Gendol”, Manusia danLingkungan, Vol.18, No. 2, 2011, hlm 161.
B. Sistem Pertanian di Kabupaten Sleman Sebelum Tahun 1961
Perubahan sistem pertanian ini terjadi akibat dari erupsi Gunung Merapi
yang menyebabkan lahan pertanian mengalami kerusakan. Lahan pertanian yang
rusak ini ada yang bisa ditanami, ada pula yang tidak bisa ditanami. Daerah di
sekitar lereng Merapi tidak bisa ditanami karena daerahnya berpasir. Sistem
pertanian di Kabupaten Sleman ada tiga dari sistem perladangan ke sistem
tegalan, kemudian beralih ke sistem persawahan. Contoh pengukuhan hutan di
lereng Merapi sebagai hutan lindung menyebabkan penduduk meninggalkan
sistem pertanian perladangan dan beralih ke sistem tegalan yang terjadi sebelum
tahun 1961. Sistem tegalan dengan mengintensifkan pengolahan tanah yang
terletak di pinggir hutan lindung, dan di pinggir jurang yang terletak di perbatasan
desa. Tanah yang dipilih adalah tanah yang terbebas dari pasir dan batuan
vulkanik.4 Tanaman utama di tegalan adalah jagung. Tanaman yang ditanam di
tegalan yang berfungsi sebagai tanaman penyeling antara lain kara, kentang, garut,
keladi, dan jenis umbi-umbian lainnya. Pekarangan rumah pun dijadikan kebun
4 Ibid., hlm. 70.

50
sayur-sayuran, obat-obatan, umbi-umbian, buah-buahan, dan juga tanaman keras
seperti nangka dan sengon.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertanian antara lain: pengaruh iklim
terhadap pertanian, pengaruh jenis tanah terhadap pertanian, pengaruh topografi
tanah terhadap pertanian, pengaruh pertanian terhadap pertanian, dan pengaruh
angin terhadap pertanian.5 Berdasarkan iklim dibagi empat golongan darah yaitu
daerah panas (tropika), daerah setengah panas (sub tropika), daerah setengah
dingin, dan darah dingin. Keadaan tanah juga mmpengaruhi pertanian antara lain
jenis tanaman, waktu bertanam, dan cara bertanam. Untuk itu petani harus
menyesuaikan bentuk dan corak pertanian dengan keadaan alam.
Sistem perladangan terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan
para ahli. Hasil analisa Gourou disebutkan perladangan mempunyai empat ciri
antara lain perladangan dijalankan di tanah tropis yang gersang, teknik pertanian
yang elementer tanpa menggunakan alat-alat kecuali kampak, kepadatan
penduduk rendah, dan tingkat konsumsi yang rendah. Hasil analisa Zein
menyebutkan ciri perladangan sebagai suatu kegiatan ekonomi yang mempunyai
akibat ekstern yang tidak tercermin di dalam harga hasil produksi. Otto
Soermewoto menyebutkan sistem perladangan ditandai dengan kerusakan hutan,
erosi, banjir, dan kekeringan tanah. Menurut Geertz ciri pokok perladangan ada
tiga yaitu perladangan dalam tingkat umum yang dicapai dengan meniru hutan
tropis, perbandingan kualitas zat makanan yang tersimpan dalam bentuk-bentuk
5 Kaslan A. Tohir, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Bandung: Vorkink-VanHoeve, tt), hlm. 38.

51
yang hidup dengan zat makanan yang tersimpan di dalam tanah, dan terakhir
lading dan hutan itu cenderung berstruktur “pelindung tertutup”.6
Pertanian berpindah ada sebelum tahun 1961. Pertanian berpindah atau
perladangan bakar disebut juga perladangan liar. Caranya adalah penduduk desa
mmbuka sebagian dari hutan milik dsa dengan menebang pohon-pohon dan
membakarnya. Tanah yang telah terbuka diratakan dan kemudian ditanami. Alat
yang digunakan parang atau golok dan kapak untuk menebang kayu. Setlah
ditanami dua atau tiga kali hasil tanamannya semakin berkurang. Tanah kemudian
ditinggalkan dan mulailah petani membuka bagian hutan yang lain. Proses ini
dilakukan penduduk Kabupaten Sleman secara berulang-ulang untuk mmbuka
bagian hutan lain dan kembali ke bagian hutan pertama yang ditinggalkan. Tanah
yang ditinggalkan sudah ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan dan mnjadi hutan,
petani pun membukanya lagi untuk pertanian. Cara itulah yang disebut pertanian
berpindah. Untuk melestarikan tanah, perladangan bakar ini dilakukan dngan
syarat tanah yang digunakan masih luas, penduduknya jarang, dan pemilikan
tanah secara bersama (milik desa).7
Perladangan berpindah dapat terganggu dan memaksa daur perladangan
menjadi pendek, misalnya dari 25 tahun menjadi 5 tahun. Gangguan ini berupa
meningkatnya kepadatan penduduk atau seebagian areal perladangan digunakan
untuk pembalakan. Kondisi lingkungan yang berubah juga menyebabkan
6 Handojo Adi Pranowo DS, Manusia dan Hutan: Proses PerubahanEkologi di Lereng Gunung Merapi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1985), hlm 32-33.
7 Jayadinata, J.T., Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan,Perkotaan, dan Wilayah, (Bandung: ITB, 1999), hlm. 67-69.

52
gangguan. Kebutuhan lahan untuk bermacam-macam keperluan juga bertambah,
sedangkan perladangan berpindah memerlukan lahan yang luas.8
Pembuatan ladang baru umumnya melalui delapan tahap seperti memilih
tempat, menebas, menebang, membakar dan membersihkan, menanam,
mendangir, menjaga, dan mengetam. Menebas dengan untuk mematikan tumbuh-
tumbuhan kecil, sehingga dapat mempermudah pekerjaan selanjutnya. Hasil
menebas dari semak-semak belukar dikumpulkan dan dikeringkan untuk dibakar.
Tahap menebang dari siklus perladangan di Kabupaten Sleman yaitu pemotongan
atau penebangan pohon. Meskipun penebangan pohon dalam perladangan sangat
penting, tetapi tidak semua pepohonan akan ditebang. Setelah pepohonan
ditebang, tahap berikutnya adalah pembersihan tempat. Kotoran seperti daun,
ranting, dan cabang-cabang kayu yang berserakan dikumpulkan untuk dikeringkan
kemudian dibakar. Tahap berikutnya yaitu menanam. Jenis tanaman yang ditanam
yaitu tanaman jagung. Tanaman jagung merupakan makanan pokok penduduk di
Kabupaten Sleman. Selain tanaman jagung, umumnya ladang juga ditanami
tanaman seperti ketela pohon, kentang, keladi, bayam, cabai rawit, kara, dan ubi
jalar. Tahap mendangir atau mencangkul dilakukan dengan membalik lapisan
tanah dengan menggunakan cangkul. Tujuan pokok dari tahap mendangir adalah
untuk mempercepat proses pembusukan dari dedaunan yang tidak habis dalam
tahap pembakaran. Tahap selanjutnya menjaga tanaman dari serangan binatang.
Tahap terakhir mengetam adalah menuai atau memotong jagung yang sudah siap
8 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan,(Yogyakarta: Djambatan, 1985), hlm. 257-258.

53
dipanen.9 Perladangan di Kabupaten Sleman juga ditandai dengan adanya masa
bero “rotasi perladangan”. Adapun yang dimaksud dengan masa bero “rotasi
perladangan” adalah jangka waktu sejak saat sebidang tanah ladang ditinggalkan
sampai diusahakan kembali sebagai ladang yang baru. Rotasi perladangan lebih
banyak ditentukan oleh tenaga kerja.10
C. Sistem Pertanian di Kabupaten Sleman Tahun 1961 sampai 1976
Sistem perladangan di tahun 1963 mulai ditinggalkan dan beralih ke sistem
tegalan dan sistem persawahan. Tanah pertanian kering di Jawa disebut tegalan.
Tanaman yang ditanam di tegalan antara lain jagung, kacang kedelai, berbagai
jenis kacang tanah, tembakau, singkong dan umbi-umbian. Tanah tegalan
biasanya digarap secara intensif, tanaman-tanaman dipupuk, dan disiram dengan
teratur. Tanah yang menjadi tegalan adalah tanah yang kurang cocok untuk
dijadikan tanah basah karena kandungan airnya sedikit, atau tanah yang terletak di
lereng gunung dan memerlukan sistem irigasi yang baik.11
Tanah tegalan dan pekarangan umumnya tidak mendapat pengairan. Petani
di Kabupaten Sleman menyesuaikan pertanian dengan keadaan iklim, jenis, dan
bentuk tanah. Pengaruh iklim dalam penanaman dan pemanenan yaitu penanaman
terbanyak dilakukan pada bulan November/Februari, sedangkan penanaman dan
pemanenan sedikit pada bulan Mei/September. Jenis tanaman yang ditanam pada
9 Handojo Adi Pranowo DS, op.cit., hlm. 35.
10 Ibid., hlm. 45.
11 Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: LembagaPenerbit Fakultas Ekonomi, 1984), hlm. 3-4.

54
bulan November/Februari yaitu padi sawah, padi gogo, jagung, dan ubi kayu
(ketela puhung). Jenis tanaman yang ditanam bulan Juni/Agustus yaitu ketela
rambat, kacang tanah, kedelai, dan tembakau. Pemanenan padi terjadi pada bulan
April sampai dengan Juni.12 Sistem pertanian lahan kering tanpa belukar dianggap
sebagai sistem pertanian dataran tinggi yang terletak di daerah pegunungan.
Sistem ini mendapat manfaat dari kesuburan tanahnya tinggi dan curah hujan
cukup, khususnya pada lereng-lereng terjal gunung vulkanik.13
Bercocok tanam di tanah basah atau sawah merupakan usaha tani yang
paling pokok dan paling penting bagi petani di Kabupaten Sleman. Sistem sawah
dengan teknik penggarapan tanah yang intensif dan cara-cara pemupukan serta
irigasi yang tradisional, dengan menanam tanaman tunggal yaitu padi. Berbeda
dengan bercocok tanam di ladang, bercocok tanam di sawah dapat dilakukan di
suatu bidang tanah yang terbatas secara terus-menerus, tanpa menghabiskan zat-
zat kesuburan yang terkandung di dalamnya.14 Intensifikasi pertanian sebagai
tanda adanya Revolusi Hijau pada akhir tahun 1960-an. Intensifikasi pertanian
meliputi ekstensifikasi, renovasi, dan inovasi di bidang pertanian pedesaan.
Intensifikasi dilaksanakan melalui organisasi pembinaan dan penyuluhan Bimas
12 Kaslan A. Tohir, op.cit., hlm. 45.
13 Francois Ruf dan Frederic Lancon, Dari Sistem Tebas dan Bakar kePeremajaan Kembali: Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia, (Jakarta:Salemba Empat, 2005), hlm. 18.
14 Koentjaraningrat, loc.cit.

55
(Bimbingan massal) yaitu penggunaan bibit unggul, pmupukan, perbaikan
pembangunan pengairan, dan pemberantasan hama penyakit.15
Pemerintah menganjurkan untuk memanfaatkan dan menggunakan
cabang-cabang unit desa guna memajukan bibit unggul seperti varietas padi.
Program pemerintah dalam memodernisasi pertanian di Kabupaten Sleman
terlihat ketika Bimas mulai memperkenalkan tentang peningkatan produksi
pertanian dan meningkatkan pendapatan usaha tani dengan jalan memperkenalkan
teknologi pertanian modern kepada masyarakat tani di Kabupaten Sleman sekitar
tahun 1970.16 Program Revolusi Hijau juga dilaksanakan oleh warga masyarakat
Kabupaten Sleman yang terdapat dalam program Pelita I yang dilaksanakan pada
1 April 1969. Tujuan dari Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat
dan juga meletakkan dasar bagi pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya.
Program Pelita I menekankan pada produksi pangan, sandang, perbaikan sarana,
perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.17
Program pemerintah dalam Revolusi Hijau yang mencakup modernisasi
pertanian melalui Bimas yang memperkenalkan tentang peningkatan produksi
pertanian dan meningkatkan pendapatan usaha tani dengan cara pengenalan
15 Rusman, dkk, Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya LahanPertanian Daerah Jawa Tengah, (Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan NilaiTradisional Proyeh Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, 1992), hlm.54.
16 Zuminati Rahayu, “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial EkonomiPetani Wanita di Kabupaten Sleman Tahun 1970-1984”, Skripsi, Program StudiPendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY,2015, hlm. 70.
17 Ibid.

56
teknologi modern kepada masyarakat tani di Kabupaten Sleman tahun 1970, yang
terdiri dari teknologi fisik dan non fisik.18 Teknologi fisik brupa penyediaan bibit
unggul, pupuk buatan (Urea, Notrogen, KCl, dan Za), dan pestisida (endrin).
Penyediaan pupuk sangat penting karena varietas padi yang diperkenalkan sangat
tergantung pada pupuk dan alat-alat prtanian seperti huller dan treser. Teknologi
sosial atau non fisik berupa penyuluhan pertanian atau pengarahan pertanian
dengan sistem laku (sistem latihan dan kunjungan).19
Penyuluhan kepada para petani melalui Bimas pelaksanaannya kurang
efektif. Hal ini diperkuat hasil waancara dengan Bapak Sapari yang menyatakan
program Bimas ini mengalami hambatan karena tingkat pendidikan dan
pengetahuan masyarakat sangat rendah sehingga kurang memahami program
tersebut.20 Bimas dan Inmas sebagai bentuk Revolusi Hijau telah mengubah
sistem pertanian tradisional yang alamiah dan memiliki adaptasi yang tangguh
dalam situasi dan budaya lokal, menjadi sistem yang hanya berorientasi pada
peningkatan hasil fisik dengan meninggalkan prinsip-prinsip kelestarian
lingkungan.21 Petani yang memiliki lahan luas dalam program Bimas dan Inmas
dapat meningkatkan kesejahteraannya, tetapi bagi petani gurem program-program
18 E. Roekasah Adiratma, “Mekanisasi Pertanian dan Hubungannya denganKesempatan Kerja”, Prisma, (No. 3/XV), hlm. 64-87.
19 Ibid.
20 Wawancara dengan Bapak Sapari pada tanggal 17 Desember 2015.
21 Dedik Budianta, “Sosialisasi Sistem Pertanian Organik UntukMelestarikan Sumber Daya Alam”, dalam Prakarsa: Majalah Pusat DinamikaPembangunan UNPAD, Edisi November, hlm. 90.

57
tersebut mengakibatkan adanya kemiskinan.22 Revolusi yang diterapkan pada
usaha tani pada tahun 1960 dengan segala perangkat kelembagaan dan
teknologinya telah menciptakan pembagian kelompok kelas masyarakat desa,
yaitu antara tuan tanah dengan para buruh tani yang tersingkir oleh adanya
Revolussi Hijau. Proses ketimpangan sosial terjadi pada modal, pekerjaan, dan
pembagian pendapatan pada ekonomi desa.23
Tujuan intensifikasi adalah untuk meningkatkan produksi pertanian,
meningkatkan pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja, menghemat
devisa dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Intensifikasi mempunyai tiga
kegiatan pokok:24
1. Adanya kegiatan penyuluhan pertanian untuk menambah pengetahuan dan
keterampilan petani tentang pemakaian bibit unggul, pemupukan, perbaikan
pengairan, dan pemberantasan hama
2. Adanya penyaluran sarana produksi sehingga petani dapat memperoleh
sarana produksi pertanian yang diperlukan
3. Adanya penyediaan kredit untuk petani membeli sarana produksi pertanian
yang diperlukan dan dapat dibayar kembali sesudah panen
Pelaksanaan intensifikasi dengan Padi Sentra tahun 1965/1966 diubah
menjadi Bimas Nasional tahun 1963/1964 dan pelaksanaan Demonstrasi Massal
(Demas) 1964/1965. Melalui Bimas Gotong Royong tahun 1968/1969,
22 Zuminati Rahayu, op.cit., hlm 75.
23 Khudori, Ironi Negeri Beras, (Yogyakarta: Insist Press, 2008), hlm 10.
24 A. T. Birowo, “Analisa Kebijaksanaan Produksi Pangan”, Prisma, (No.10/X/1981), hlm. 4-5.

58
pelaksanaan intensifikasi diubah menjadi Bimas Nasional pada tahun 1970/1971.
Pelaksanaan intenifikasi di Kabupaten Sleman tahun 1969/1970.25 Penggunaan
benih varietas unggul perannya tidak terlaksana. Revolusi Hijau telah merusak
peran tersebut dengan komersialisasi benih yang menghilangkan kemampuan
benih untuk melakukan pembiakan sendiri, dan mengharuskan petani membeli
benih setiap tahun. Revolusi Hijau juga menggunakan alat-alat pertanian sebagai
salah satu cara intensifikasi pertanian. Alat-alat pertanian yang lama digunakan
oleh petani seperti bajak, cangkul, dan ani-ani dianggap sudah tidak efisien dan
efektif untuk mengejar produksi tinggi. Alat-alat pertanian itu digantikan dengan
sabit dan alat perontok padi. Hal ini berdampak pada pengguna alat tersebut yaitu
petani. Bagi petani, keberadaan Revolusi Hijau dengan paket benih, pupuk,
pestisida, dan alat pertanian menggeser posisi dan peran petani sebagai bagian
pemegang kendali atas pertanian.26 Sisi positif adanya Revolusi Hijau adalah
trsedianya lapangan kerja baru di pedesaan, misalnya dalam memproduksi bibit,
pupuk, atau alat-alat pertanian. Produksi pertanian mengalami peningkatan 4% per
tahun. Pemakaian pupuk per hektare mengalami kenaikan.27
Pertanian menetap dianggap sebagai evolusi tertinggi dalam
perkembangan masyarakat agraris. Perkembangan ini terutama didasarkan pada
penanaman padi sawah. Penanaman padi sawah memerlukan banyak air karena
25 Ibid.
26 Muryati, Pedesaan dalam Putaran Zaman: Kajian Sosiologis Petani,Pertanian, dan Pedesaan, (Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga, 2011),hlm. 131-134.
27 M. Dawam Rahardjo, Transformasi Pertanian, Industrialisasi, danKesempatan Kerja, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 68-69.

59
padi sawah ditanami sepanjang tahun di daerah yang musim kemaraunya pendek
dan basah. Sawah ditanami berbagai palawija saat musim kemarau. Daerah yang
musim kemaraunya panjang dan kering, saat musim kemarau sawah tidak
ditanami. Berkembangnya pertanian menetap membuat perkembangan
pemukiman juga menetap. Daerah pemukiman ditanami bermacam-macam
tumbuhan antara lain sayuran, buah-buahan, dan tanaman obat-obatan. Padi
merupakan tanaman penting yang ditanam di Kabupaten Sleman, tetapi bukan
satu-satunya tanaman yang dikembangkan melainkan ada banyak jenis tanaman
yang ditanam. Misalnya polikultur yaitu penanaman banyak jenis yang merupakan
ciri khas pertanian tradisional. Polikultur juga berkaitan dengan pemeliharaan
hewan seperti unggas, ternak, dan ikan.28
Sebagian besar penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di
Kabupaten Sleman yang tinggal di daerah pedesaan, untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya bekerja sebagai petani. Penduduk yang tidak memiliki tanah pertanian,
melakukan pekerjaan sebagai buruh tani atau pekerjaan lain misalnya menjadi
buruh di kota. Selain bertani, ada pekerjaan di luar pertanian sebagai pekerjaan
sambilan, seperti peternakan, perikanan, kerajinan, dan lain-lain yang tergolong
usaha industri kecil.29 Bentuk pertanian di Sleman tahun 1970-an, adalah
berbentuk sawah dan tegalan. Sawah ada dua macam yaitu sawah tadahan tadah
28 Otto Soemarwoto, op.cit., hlm. 258-262.
29 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat IstiadatDaerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1977), hlm 40.

60
hujan30 dan sawah oncoran atau sawah irigasi31. Sawah digunakan untuk
menanam padi, sedangkan tegalan untuk menanam palawija.32
Air merupakan unsur yang sangat penting dalam bercocok tanam. Selain
air hujan, yang berperan penting bagi sawah tadahan dan tegalan, maka air dari
sungai atau selokan mempunyai fungsi penting sekali bagi pengairan sawah
oncoran. Untuk DIY mengenai pengairan sawah di pedesaan juga diurus oleh
pamong desa atau perabot desa yang telah diatur untuk mengurusi tugas tersebut.
Di kelurahan Wanakerta, Turi, Sleman, pengairan tidak begitu sulit karena air
cukup banyak.33
Penduduk Kabupaten Sleman dalam bercocok tanam masih sangat
terpengaruh oleh perhitungan-perhitungan lama berdasarkan ilmu dukun, yang
terdapat dalam buku-buku yang disebut primbon. Hal ini dilakukan untuk mencari
hari baik saat memulai menanam padi. Petani di daerah Jawa, khususnya di daerah
Yogyakarta masih melaksanakan pranata mangsa. Berikut ini beberapa mangsa
tandur bagi petani antara lain:34
a. Mangsa Kasa: kira-kira dalam bulan Juni/Juli
b. Mangsa Karo: kira-kira dalam bulan Agustus
30 Sawah Tadah Hujan yaitu sawah yang mendapat air hanya tergantungpada turunnya air hujan.
31 Sawah Oncoran yaitu sawah yang memperoleh air dari sungai atauselokan ataupun pengairan.
32 Jayadinata, J.T., op.cit., hlm. 71.
33 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit.,hlm. 52-53.
34 Ibid., hlm. 42.

61
c. Mangsa Ketolu: kira-kira dalam bulan September
d. Mangsa Kapat: kira-kira dalam bulan Oktober
e. Mangsa Kelima: kira-kira dalam bulan November
f. Mangsa Kanem: kira-kira dalam bulan Desember
g. Mangsa Kepitu: kira-kira dalam bulan Januari
h. Mangsa Kewolu: kira-kira dalam bulan Februari
i. Mangsa Kesanga: kira-kira dalam bulan Maret
j. Mangsa Kesepuluh: kira-kira dalam bulan April
k. Dhestha: kira-kira dalam bulan Mei
l. Sada: kira-kira dalam bulan Juni
Pranata Mangsa dipergunakan sebagai pedoman berbagai kegiatan. Ada
tiga kegiatan yang digunakan masyarakat sebagai pedoman yaitu bercocok tanam,
membuat rumah, dan pindah rumah. Dalam pembahasannya digunakan beberapa
asumsi. Asumsi-asumsi tersebut antara lain:35
1. Asumsi pertama, mangsa ke lima dipilih karena dianggap paling mudah
dicari kesamaannya dengan unsur meteorologis, yaitu permulaan musim
hujan.
2. Asumsi kedua, mangsa ke lima atau permulaan musim hujan dianggap mulai
jika telah setelah periode kering (tidak terjadi hujan), selama satu dasarian
(periode 10 hari) jumlah hujan ≥ 34 mm dan semua mangsa umurnya tetap.
35 Sukardi Wisnubroto, Pengenalan Waktu Tradisional Pranata Mangsadan Wariga: Menurut Jabaran Meteorologi Manfaatnya dalam Pertanian danSosial, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1999), hlm 46.

62
3. Asumsi ke tiga, mangsa ke lima atau permulaan musim hujan dimulai setelah
periode kering jumlah curah hujan dalam satu dasarian telah mencapai > 50
mm dan umur mangsa ke empat kemungkinan lebih panjang atau lebih
pendek sedangkan umur mangsa yang lain tetap.
4. Asumsi ke empat, mangsa ke lima atau permulaan musim hujan dimulai jika
dalam satu dasarian setelah periode kering jumlah curah hujan mencapai > 50
mm dan semua mangsa umurnya tetap.
5. Asumsi ke lima, musim hujan selalu mulai dalam mangsa lima.
6. Asumsi ke enam, musim hujan mulai setelah periode kering telah terjadi
hujan dalam satu dasarian.
7. Asumsi ke tujuh, musim hujan mulai setelah periode kering jumlah hujan
dalam satu dasarian mencapai > 50 mm.
8. Asumsi ke delapan, musim hujan mulai setelah periode kering telah terjadi
hujan dalam satu dasarian mencapai 34 mm.
9. Asumsi ke sembilan, musim hujan mulai setelah periode kering jumlah hujan
dalam satu dasarian mencapai > 50 mm.
Pengaruh teknologi telah masuk ke desa-desa dan menyentuh peralatan
pertanian yang selama ini digunakan oleh petani, pada kenyataannya teknologi
tradisional masih dipakai oleh petani di Kabupaten Sleman. Teknologi tradisional
ini merupakan pengetahuan atau paham mengenai alam yang disebut “pranoto
mongso”. Berdasarkan penghitungan tahun surya dengan rentangan 365 hari.

63
Petani menggunakan patokan dalam pranata mangsa dan masih ada kepercayaan
tradisional Jawa tiap tahun dalam siklus windu (8 tahun).36
Umumnya petani di Kabupaten Sleman, menanam jenis padi seperti Pelita,
P.B., Bengawan, Cempa, C 4, Serang, dan Slamet. Beberapa jenis padi unggulan
misalnya Holing dan Numpangkarya. Sedangkan jenis padi yang ditanam di
tegalan antara lain Gaga, Cempa, Lombok, Mayangen, Molog, dan Langap.
Semua tanaman baik yang ditanam di sawah maupun di tegalan, tidak terbebas
dari serangan hama. Hama yang umum menyerang tanaman kelapa (tanaman
kebun) antara lain kwangwung, artana, dan bajing. Hama yang menyerang
tanaman padi antara lain wereng, walang sangit, tikus, menthe, dan lodhoh. Untuk
memberantas hama ini, para petani melakukan penyemperotan dengan Diendrim,
Diazinion, D.D.T., dan Phosphide.37
Perubahan besar muncul dalam sistem pertanian sawah ketika datangnya
Revolusi Hijau. Perubahan ini menyebabkan sistem pertanian sawah lebih rawan
terhadap serangan hama padi. Hal ini terjadi karena beberapa hal diantaranya:
pertama, sawah yang ditanami oleh bibit padi unggul menjadi sangat “rungkut”.
Hal ini menyebabkan hama padi berkembang biak dengan cepat. Kedua, “multiple
cropping” timbul karena waktu masak yang cepat dari bibit unggul sehingga
menambah tersedianya “makanan” sepanjang tahun bagi bibit penyakit. Ketiga,
bibit padi unggul dikembangkan dengan prioritas menaikkan hasil panen, bukan
untuk memperkuat daya tahan terhadap penyakit. Permasalahan ini menjadi
36 Rusman, dkk, op,cit., hlm. 57-60.
37 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hlm 46.

64
semakin sulit bagi petani di Kabupaten Sleman karena pengetahuan dan
pengalaman tradisional mereka semakin tersingkir dengan adanya laju
modernisasi pertanian tahun 1970-an.38
Pengenalan jenis benih padi baru tahun 1970. Benih padi ini diklaim lebih
tahan penyakit dari benih-benih lain yang dikenal petani. Penanaman bnih ini
dibutuhkan tanah yang sangat luas untuk menanamnya dan akibatnya jumlah total
area untuk penanaman padi meningkat hampir 50 persen. Kerusakan padi tahun
1965 sampai 1967 menyebabkan produksi padi hanya 1,25 ton per hektare.
Penggunaan metod baru menyebabkan hasil produksi bisa mencapai dua kali lipat
antara 3 sampai 4 ton per hektare. Korelasi positif antara pnggunaan pupuk dan
hasil produksi beras tampak jelas. Proyek Bimas yang digunakan untuk
memperbaiki sistem irigasi, mndanai pupuk, dan pestisida dngan biaya Rp 380
milyar dalam anggaran di bawah Repelita I. Bimas merupakan rangkaian
bimbingan sosial yang disusun untuk memberi kredit sebagai modal berjalan bagi
para petani. Intensifikasi Massal (Inmas) merupakan serangkaian instruksi kepada
masyarakat tentang penggunaan modal berjalan untuk memulai memperbaiki
metode pertanian.39
Banyak sedikitnya hasil padi, tergantung pada kesuburan tanah dan sistem
pertanian yang dilakukan. Sistem pertanian ini termasuk cara pengolahan tanah,
pemakaian pupuk, irigasi, serta pemberantasan hama. Hal ini menyebabkan tiap-
38 Peter Hagul, (ed), Pembangunan Desa dan Lembaga SwadayaMasyarakat, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 23.
39 Retnowati Abdulgani, Soeharto: The Life and Legacy of Indonesian’sSecond President, (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2007), hlm. 104-105.

65
tiap daerah banyaknya hasil padi pada masa panen tidak sama. Misalnya di
Kabupaten Sleman, hasil padi setiap 1 ha sawah, kira-kira 1500 kg padi kering.40
Petani di Sleman kebanyakan menggarap tanah dengan dikerjakan sendiri secara
aktif. Namun, bagi mereka yang mampu, padahal kekurangan waktu dan tenaga
maka penggarapan sawah dapat diupahkan. Di dalam mengerjakan sawah, ada
pembagian kerja antara pria dan wanita. Tugas-tugas yang dilakukan oleh kaum
pria antara lain memperbaiki pematang, saluan air, pipa-pipa dari bambu,
bendungan, mencangkul, membajak, dan menggaru. Sedangkan pekerjaan bagi
kaum wanita adalah tanem atau tandur, matun atau menyiangi rumput, dhangir
kemudian derep41 atau menuai padi.42 Sistem pertanian wanita juga terdapat di
Asia, kaum wanita bekerja lebih lama di sawah daripada kaum pria.43
Untuk mengerjakan sawah dapat dilakukan oleh orang lain (buruh tani),
adapun pembagian hasilnya dilakukan dengan hasil panenan dibagi dua. Para
petani membutuhkan tenaga tambahan untuk menggarap tanah. Salah satu cara
pengerahan tambahan tenaga yaitu dengan jalan bantu-membantu atau dikenal
dengan istilah gotong royong. Gotong royong tidak hanya dilakukan dalam hal
pertanian, tetapi juga dalam hal kematian, kecelakaan, mendirikan rumah atau
40 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hlm. 47.
41 Derep adalah menolong memotong padi dengan imbalan kurang lebihseperlima dari hasil panen.
42 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hlm. 48.
43 Sajogyo, Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan, (Yogyakarta: GadjahMada University Press, 1982), hlm. 78-79.

66
memperbaiki bagian rumah, memperbaiki jalan, dan jembatan. Gotong royong
dalam pertanian terdapat pada waktu orang mengerjakan sawah misalnya
mencangkul, membajak, menggaru, menanam padi, dan memelihara tanaman
(menyiangi rumput dan memberi pupuk.44
Kegotong-royongan biasa terjadi di antara para petani yang mempunyai
sawah yang berdekatan. Sesuatu hal yang penting bagi penduduk desa adalah
hubungan baik serta kerja sama yang baik dengan petani-petani lain yang
mempunyai sawah dan tegalan pada satu tempat yang sama. Ada pula kerja
bersama yang mirip dengan gotong royong yaitu sambatan45. Sambatan ini orang-
orang yang membantu pada umumnya telah disambat lebih dahulu, yaitu dimintai
tolong secara lisan. Sambatan ini dilakukan saat mendirikan rumah, memperbaiki
rumah, dan membuat sumur. Sambatan ini pada dasarnya adalah kerja bersama
tanpa upah tetapi dijamin makan, minum, dan sekedar camilan.46
Sistem upah buruh tani secara adat yang dilakukan untuk memotong padi
disebut dengan sistem bawon. Sistem bawon ini dalam pelaksanaannya wanita-
wanita buruh mendapatkan 1/25 dari hasil yang dipetiknya. Upah berupa uang
merupakan cara baru untuk membayar buruh tani.47 Beberapa desa di wilayah
44 Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 7-8.
45 Sambatan adalah istilah jawa yang berarti sebuah tradisi membangunrumah secara gotong royong.
46 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hlm 50.
47 Koentjaraningrat, loc.cit.

67
Kabupaten Sleman mempunyai sawah milik perseorangan yang sifatnya seperti di
bawah ini:48
a. Tanah yang dimiliki karena menjabat sebagai perabot desa. Sebagai uang
lelah kemudian mendapat bagian tanah yang disebut lungguh atau bengkok
b. Tanah yang dimiliki, karena jasa-jasnya yang disebabkan seseorang telah
banyak berjasa terhadap desa dan sebagai tanda terima kasih dihadiahi tanah.
Tanah yang diberikan tadi disebut “Pangarem-arem”
c. Tanah yang dimiliki kelurahan dinamai kas desa. Tanah kas desa ini sebagai
cadangan apabila kelurahan membutuhkan biaya sewaktu-waktu
Cara petani di Kabupaten Sleman yang tidak memiliki tanah, dan ingin
memperoleh serta menggarap sawah adalah dengan cara menyewa tanah, bagi
hasil, menggadaikan tanah, dan srama. Untuk menyewakan tanah biasanya
dilakukan tahunan. Menyewa tahunan ini lamanya antara 2 sampai 3 tahun. Rata-
rata sewa tanah satu tahun sekitar dua ratus lima puluh rupiah dalam 1 ha. Bagi
hasil itu adalah petani yang menggarap sawah orang lain dengan mendapat bagian
separuh dari hasil panenan. Cara menggadaikan sawahnya kepada orang lain
disebut adol sendhe. Adol sendhe ini selama 2-5 tahun (menurut perjanjian)
selama uang pinjaman belum lunas, sawah belum kembali menjadi miliknya. Cara
selanjutnya adalah srama. Srama adalah semacam kontak. Petani yang tidak
memiliki sawah dapat Nyrama sawah orang lain misalnya di salah satu desa di
Kabupaten Sleman. Selain itu, terdapat pula sistem ijon. Salah satu cara untuk
mempercepat mendapatkan uang adalah dengan cara ijon yaitu menjual
48 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hlm. 51.

68
tanamannya pada waktu masih muda. Melalui perjanjian yang pada hakikatnya
kurang menguntungkan bagi si pemilik tanaman.
Sistem pertanian modern merupakan pola yang sudah mengalami proses
perkembangan dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Ada enam sistem
atau cara bertani yang mencakup sistem bertani paling sederhana hingga paling
modern. Berikut ini sistem pertanian modern yang dilakukan oleh para petani:49
1. Bercocok tanam di pinggir kali
Sistem ini merupakan cara paling sederhana dan tidak menggunakan
teknologi tertentu. Cara ini merupakan cara bertani tertua sesudah pekerjaan
berburu dan meramu. Cara bercocok tanam ini dilakukan dengan
mempersiapkan bibit di tanah yang basah kemudian bibit itu ditekan dengan
ibu jari kaki ke dalam tanah.
2. Pertanian yang berpindah-pindah
Pertanian berpindah-pindah ini biasa disebut “tebas dan bakar”.
Teknik pertanian ini dengan menebas dan membakar semak atau belukar.
Alat yang dipakai sederhana yaitu alat penunggal yang hanya berupa kayu
atau benda-benda yang ditemukan tajam.
3. Sistem pertanian dengan teknologi cangkul
Pola pertanian semacam ini merupakan suatu tingkat pertanian dengan
menggunakan alat-alat tajam untuk mengolah tanah. Teknologi yang masih
sederhana dan kasar menggunakan hewan sebagai alat angkut beban yang
49 Bahrein T. Sugihen, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1997), hlm 118.

69
berat-berat. Produksi pertanian masih bergantung pada faktor tenaga manusia
dan hewan.
4. Penggunaan bajak sederhana
Sistem pertanian ini ditandai dengan dipakainya tenaga hewan untuk
menghela bajak yang digunakan untuk membongkar akar-akaran, dan untuk
mengaduk-aduk tanah. Bajak biasanya menggunakan lembu atau kerbau.
5. Sistem bajak modern
Sistem ini memungkinkan para petani meningkatkan hasil produksi
rata-rata per orang setiap tahunnya. Hal ini juga memberi kemungkinan
kepada petani untuk menukarkan atau menjual hasil kelebihan produksi yang
ada untuk memenuhi tuntutan hidup. Sistem bajak modern ini ditandai oleh:50
a. Perencanaan beraneka bentuk transportasi dengan memakai roda agar
mudah dihela hewan seperti kuda, keledai, lembu, dan kerbau
b. Pemeliharaan hewan penghela yang terlatih baik untuk mendukung
berbagai pekerjaan pertanian
c. Perencanaan dan pemakaian pasangan dan tali kekang hewan penghela
untuk mendapatkan efisiensi yang tinggi
d. Pemakaian kereta roda empat dan perlengkapan lainnya untuk
mendapatkan efisiensi yang lebih tinggi sebagai alat angkutan bagi hasil
panen berbagai tanaman
50 Ibid.

70
6. Mekanisasi pertanian
Sistem ini menggunakan alat-alat untuk mengurangi pemakaian tenaga
manusia dengan hewan sebagai sumber daya termasuk tenaga untuk mengerjakan
pekerjaan. Pemakaian sistem pertanian yang memanfaatkan ilmu pengetahuan
modern di dalam proses pengembangan usaha tani, seperti proses pemuliaan
tanaman (benih), proses pemuliaan hewan, pemberantasan hama dan gulma.
Sistem pertanian tradisional antara lain perladangan dan tegalan. Perbedaan sistem
pertanian tradisional dengan modern dapat dilihat dari peralatan yang digunakan.
Sistem pertanian tradisional menggunakan peralatan yang sederhana seperti sabit,
luku, dan garu. Sedangkan pola pertanian modern menggunakan peralatan berupa
mesin dan meninggalkan peralatan dengan tenaga manusia.51
51 Ibid., hlm. 120.

71
BAB IVDAMPAK PERUBAHAN SISTEM PETANIAN TERHADAP
MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN
A. Dampak Sosial
Dampak sosial dari perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman
adalah masyarakatnya terpengaruh perhitungan-perhitungan lama dalam memulai
menanam padi yang biasanya disebut primbon. Misalnya untuk menanam padi
harus dicari saat yang baik yaitu misal pada hari kelahirannya. Para petani juga
mempunyai pantangan untuk menanam padi yaitu pada bulan Sura (permulaan
dan penghabisan). Menanam padi atau mengerjakan sawah, bagi para petani
merupakan suatu pekerjaan besar dan penting.1
Petani di Kabupaten Sleman selain terpengaruh primbon, juga
melaksanakan pranata mangsa. Mangsa ini perlu diperhatikan sebab berhubungan
dengan waktu yang baik untuk melakukan penanaman padi, apabila keliru saat
menanam padi mereka akan menderita kerugian. Pranata mangsa ini terdiri dari
12 mangsa yaitu: mangsa kasa, mangsa karo, mangsa ketolu, mangsa kapat,
mangsa kelima, mangsa kanem, mangsa kepitu, mangsa kewolu, mangsa kesanga,
mangsa kesepuluh, dhestha, dan sada. Usia mangsa antara satu dengan yang lain
tidak sama. Kasa dan sada 41 hari. Karo dan dhestha 27 hari. Katelu dan
kesepuluh 24 hari. Kapat dan kesanga 25 hari. Kelima dan kewolu 21 hari. Kanem
dan kapitu 47 hari. Apabila tandur itu dilaksanakan pada mangsa kewolu, tentu
1 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat IstiadatDaerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1977), hlm 41-42.

72
akan gabug (padi tidak berisi), sebab angin dalam musim tersebut sangat besar.
Oleh sebab itu, maka waktu tandur dilakukan dalam satu atau dua bulan
sebelumnya, pada mangsa kanem atau kepitu (Desember-Januari).2
Waktu penanaman padi kira-kira bulan November-Desember, maka para
petani mulai menggarap sawah. Pertama, pematang sawah diperbaiki dan
dibersihkan terlebih dahulu. Kemudian saah diairi (dilebi), sesudah tanah cukup
basah, barulah sawah itu dibajak. Pengolahan sawah untuk tempat persemaian
(penyebar benih) sama halnya dengan pengolahan sawah yang akan ditanami.
Persemaian dibuat di tempat yang mudah mendapat air dan subur. Pertama tanah
dibajak terlebih dahulu, setelah itu digaru. Kemudian benih disebar dan jika telah
berumur 25-35 hari dicabut dan dipindahkan ke sawah yang sudah selesai digarap.
Petani dalam usaha pertaniannya selalu membutuhkan pupuk di Kabupaten
Sleman sebagian besar para petani menggunakan pupuk kandang, pupuk hijau,
dan pupuk pabrik (T.S. Urea).3
Pelaksanaan Revolusi Hijau tahun 1970-an membawa dampak pada
penggunaan alat-alat pertanian. Alat-alat pertanian lama yang digunakan petani
seperti bajak, cangkul, dan ani-ani dianggap sudah tidak efisien dan efektif untuk
mengejar produksi tinggi. Alat-alat peertanian ini kemudian diganti dengan sabit
dan alat perontok padi. Hal ini berdampak pada pengguna alat tersebut yaitu
petani. Dampak yang terasa adalah pengurangan peranan perempuan dalam
produksi pertanian. Wilayah yang melakukan pertanian tradisional, peranan
2 Ibid., hlm 43.
3 Ibid., hlm 44-45.

73
perempuan sangat dominan. Misalnya di Kabupaten Sleman, perempuan hanya
berperan sedikit dalam proses produksi, perempuan juga lebih banyak tinggal di
rumah, menjaga anak atau melakukan usaha seperti menjadi buruh industri
kerajinan atau membuka warung.4
Teknologi modern yang muncul dalam bidang pertanian tidak langsung
diterima oleh masyarakat tani di Kabupaten Sleman. Perkembangan teknologi
modern dan kemajuan sistem bercocok tanam membutuhkan penanganan khusus
yang lebih rumit karena alat-alat dan sarana yang digunakan membutuhkan
adanya keterampilan para petani.5 Berdasarkan hasil awancara dengan Ibu
Mujilah mengatakan bahwa kebanyakan buruh tani di Kabupaten Sleman terdiri
dari petani yang berusia lanjut dan berpendidikan rendah sehingga penggunaan
teknologi pertanian modern sedikit mengalami hambatan.6 Adanya ilmu dan
teknologi pertanian yang lebih modern dan bersifat baru, sebagian masyarakat
masih menanggapinya sebagai sesuatu yang asing. Misalnya penggunaan pupuk
buatan, obat-obatan, pestisida dan peralatan pertanian baru yang lebih modern.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan penyuluhan pertanian secara intens yang
4 Muryati, Pedesaan dalam Putaran Zaman: Kajian Sosiologis Petani,Prtanian, dan Pedesaan, (Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga, 2011),hlm. 131.
5 Sajogyo, Bunga Rampai Perekonomian Desa, (Yogyakarta: YayasanObor Indonesia, 1982), hlm. 101.
6 Wawancara dengan Ibu Mujilah pada tanggal 18 Desember 2015.

74
akan menjabarkan segala sesuatu menjadi materi yang dapat dimengerti oleh
petani.7
Menurut data hasil wawancara dengan Bapak Mujiyat, adanya perbedaan
dalam proses pengadopsian ilmu dan teknologi pertanian modern meningkatkan
munculnya golongan petani berdasarkan cepat lambatnya proses adopsi dan
partisipasi petani dalam menyebarluaskan hal-hal baru di Kabupaten Sleman.
Golongan pertama adalah golongan yang cepat menerima proses adopsi.
Golongan tersebut mempunyai status ekonomi yang lebih tinggi, juga status
sosialnya karena tingkat pendidikannya yang lebih cukup, mempunyai modal
yang besar, dan lahan luas yang dimiliki. Golongan kedua adalah golongan petani
muda, golongan ini juga cepat menerima adopsi. Golongan ketiga adalah tokoh
setempat, yang terdiri dari perangkat desa. Golongan ini sebagai perintis bagi
perkembangan teknologi. Golongan keempat adalah golongan penganut lambat,
biasanya golongan ini terdiri dari petani yang agak tua dan modal yang dimiliki
cukup sedikit.8
Revolusi yang diterapkan pada usaha tani tahun 1960 dengan segala
perangkat kelembagaan dan teknologinya telah menciptakan pembagian kelompok
kelas masyarakat desa yaitu antara tuan tanah dengan buruh tani dan petani
gurem. Pelapisan masyarakat pedesaan menjadi empat lapisan yaitu pertama,
lapisan petani kaya yaitu mereka yang memiliki lebih dari 2 hektar dan biasanya
7 Zuminati Rahayu, “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial Ekonomi PetaniWanita di Kabupaten Sleman Tahun 1970-1984”, Skripsi, (Program StudiPendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY,2015), hlm. 78.
8 Wawancara dengan Bapak Mujiyat pada tanggal 19 Desember 2015.

75
menyediakan tanahnya kepada orang lain dan biasanya diusahakan sendiri dengan
modal sendiri. Golongan inilah yang biasanya dipilih sebagai pimpinan desa.
Kedua, lapisan petani kecil yaitu mereka yang memiliki tanah atau sawah sekitar
1 hektar. Lapisan ini dapat digolongkan penduduk yang hidupnya berkecukupan
dari hasil usaha pertaniannya. Ketiga, lapisan petani gurem yaitu mereka yang
memiliki tanah atau sawah yang kurang dari 0,2 hektar dan biasanya mereka
melakukan usaha bagi hasil dengan petani kaya. Keempat, lapisan buruh tani yaitu
mereka yang tidak memiliki saah atau tegalan yang hidupnya tergantung pada
sektor usaha pertanian dengan cara memperoleh upah kerja dengan petani
lainnya.9
Sistem pengerahan tenaga panen yang baru, mulai menghapuskan adat
panen berdasarkan gotong royong.10 Penghapusan ini terjadi tahun 1974.
Beralihnya adat panen berdasarkan gotong royong memunculkan sistem baru
yaitu sistem tebasan. Sistem tebasan ini dilakukan apabila seorang petani pemilik
usaha tani menjual sebagian besar padinya yang sudah menguning kepada seorang
pedagang dari luar desa yang akan mngusahakan pemotongan padi. Contoh lain
dari proses tergesernya adat gotong royong adanya sistem baru dengan menyewa
buruh tani wanita. Buruh tani wanita ini bekerja untuk menumbuk padi secara
tradisional. Pengenalan mesin huller pada petani dimulai tahun 1974. Mesin
9 Djoko Suryo, dkk, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: PolaKehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya, (Jakarta: Depdikbud, 1985), hlm. 20-22.
10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi danDokumentasi Kebudayaan Daerah, Sistem Gotong Royong dalam MasyarakatPedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan, 1982), hlm 1-3.

76
huller adalah mesin kecil penggiling padi yang dapat dibeli oleh petani-petani
kaya. Penggunaan mesin huller membuat penggilingan padi secara efisien, tetapi
dampak negatifnya istri tetangga dan para buruh wanita yang biasanya diminta
untuk membantu menggiling padi dengan adanya mesin mereka kehilangan mata
pencaharian tambahan.11
Usaha tani padi sawah telah mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi
pada awal tahun 1970-an, perubahan berupa peralihan dari alat ani-ani dan dari
menumbuk gabah beralih penggilingan gabah. Hal ini menyebabkan masalah
terhadap buruh tani wanita yang tidak mau memakai sabit karena akan
mengurangi jumlah wanita dalam panenan padi. Permasalahan bagi petani adalah
terdapat beberapa orang wanita dan beberapa orang laki-laki yang memanen di
sawah sesempit setengah hektare. Buruh tani biasa menyembunyikan sebagian
padi dan mengambil bagian lebih besar dari patokan tradisional pada waktu
penetapan bagian masing-masing.12
Semua tanaman baik yang di tanam di sawah maupun di tegalan tidak
bebas dari serangan hama. Hama tanaman tidak hanya terdapat pada tanaman
jagung ataupun sayuran tetapi juga pada tanaman padi. Berikut ini beberapa hama
tanaman padi dan cara pemberantasannya antara lain:13
11 Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: LembagaPenerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984), hlm. 10-11.
12 William L. Collier, Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan diJawa: Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun, (Jakarta: Yayasan OborIndonesia, 1996), hlm. 61.
13 A.G. Kartasapoetra, Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan, (Jakarta:Radar Jaya Offset, 1987), hlm 18.

77
1. Hama tikus
Hama tikus ini terdiri dari dua jenis yaitu tikus sawah dan tikus huma.
Lingkungan hidupnya meliputi lapangan terbuka yang basah berbentuk sawah,
payau-payau di antara semak, pematang dan tanggul sungai. Cara membasmi
hama tikus tersebut, yaitu:
a. Pembasmian/penghancuran secara mekanis dilakukan oleh para petani secara
kerja sama, mereka mencari setiap saang tikus, membongkar dan lalu
membinasakan setiap tikus yang terdapat di dalamnya
b. Pembasmian dengan bahan-bahan kimia yang dimaksudkan agar tikus dapat
dibinasakan. Untuk ini digunakan dua jenis bahan kimia. Pertama, yang dapat
membunuh tikus melalui pernafasannya seperti menggunakan belerang dalam
pengomposan pada lubang/sarang-sarang tikus di pematang. Kedua,
meembunuh tikus melalui pencernaan antara lain dengan fosfor, warfarin,
zinkoksida, dan lain-lain yang dalam penggunaannya harus dicampur dengan
makanan yang dapat menarik perhatian tikus
2. Hama ulat penggerek
Hama ulat ini merupakan hama yang sudah endemis yang setiap waktu
dapat melakukan pengerusakan. Hama ini dapat dibasmi dengan cara:
a. Para petani baru akan melakukan penyebaran bibit-bibit tanaman padi di
pesemaian yaitu setelah invasi serangan ulat-ulat penggerek diperkirakan
telah selesai
b. Dilakukan penanaman dengan daya pembaharuan (regenerasi) yang tinggi

78
c. Menghancurkan telur kupu-kupu penggerek yang terdapat di lingkungan
pesemaian dan membunuh larva-larva yang baru menetas
d. Melakukan tindakan preventif dengan menyemprot pesemaian yang
dilakukan dengan menggunakan insektisida yang tahan lama
e. Melakukan penyemprotan tanaman dengan sejenis insektisida yang dapat
mematikan telur serta larva hama tanaman tersebut
f. Melakukan penggiliran tanaman untuk mengurangi populasi hama ulat
penggerek dengan cara penanaman padi batang atau jeraminya harus
dibenamkan ke dalam tanah/lumpur
g. Menarik perhatian kupu-kupu penggerek dengan memanfaatkan lampu
petromaks agar mereka terkumpul untuk selanjutnya dimusnahkan
3. Hama wereng
Hama wereng merupakan musuh besar para petani. Hama wereng dapat
diatasi dengan:
a. Melakukan pengeringan apabila hama wereng telah meluas
b. Melakukan pencabutan seluruh tanaman dan kemudian melakukan
pembakaran
c. Melakukan pembasmian dengan insektisida yang disemprotkan seminggu
sekali atau maksimal 10 hari sekali
4. Walang sangit
Walang sangit dengan alat penghisapnya dapat merusak tanaman padi.
Walang sangit berbentuk seperti belalang, dapat terbang jauh, berbadan ramping,

79
dan memiliki bau yang menusuk hidung. Cara membasmi hama walang sangit
yaitu:
a. Walang sangit tertarik pada sinar lampu yang terang (petromaks)
b. Walang sangit yang jantan sangat tertarik dengan sinar lampu di malam hari,
tertarik pula dengan makhluk-makhluk lain yang telah membusuk seperti
bangkai ular, katak, dan juga oleh rumput ganggang
c. Pembasmian juga dapat memanfaatkan zat-zat kimia
Umumnya para petani di pedesaan dalam bercocok tanam terutama padi,
masih mengadakan upacara selamatan. Hal ini sulit dihapuskan karena erat
hubungannya dengan kepercayaan mereka. Para petani masih percaya dengan
adanya Dewi Sri yang dihormati, karena dia dianggap sebagai Dewi Padi
pelindung pertanian. Kabupaten Sleman juga mengadakan selamatan seperti
berikut:14
a. Upacara Tanem, upacara ini diadakan sewaktu akan tanem, sesaji upacara
berwujud nasi tumpeng robyong beserta gudangan beserta lauk pauknya
b. Upacara Ningkebi, upacara ini menggunakan sesaji berupa nasi ambengan
dengan lauk pauk (peyek, sambel, krupuk, dan lain-lain). Upacara ini digelar
setelah bibit padi ditanam kemudian padi itu mulai nglilir dan apabila hampir
merkatak maka upacara ini dilaksanakan
c. Upacara yang diadakan sewaktu akan menyebar benih (gabah). Gabah dibawa
ke hutan (tegalan), sebelum disebar, terlebih dahulu diadakan sesaji dengan
jenang katul (kembang pari), yang disajikan di sudut tegalan tempat dimulai
14 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hlm 55.

80
pekerjaan itu. Selesai nyebar, di rumah diadakan selamatan berwujud nasi
wuduk dengan ingkung ayam beserta lauk pauknya
d. Upacara wiwit diadakan di sawah atau tegalan menjelang padi akan dituai.
Upacara wiwit itu sesaji yang berwujud sega liwet, nasi golong di atasnya
ditutup kerak nasi. Lauknya sambel gepeng, telur ayam rebus, dan gereh
bakar. Upacara ini diadakan di sawah pada waktu sore hari menjelang padi
akan dituai pada keesokan harinya. Upacara ini ditujukan kepada Dhanyang
sawah dengan permintaan agar para petani di tempat itu diberi keselamatan
dan hasil panen yang baik. Mengenai macam sesaji sama dengan pada waktu
mengadakan upacara tanem hanya gudangan dan sambel gepeng tidak
dicampuri, melainkan ditaruh di tempat tersendiri.
e. Upacara Merti Desa
Setelah panen selesai, maka secara umum para petani di daerah
pedesaan mengadakan upacara selamatan yang dinamai Bersih Desa atau atau
Merti Desa. Mengenai selamatan ini, seperti halnya dalam upacara
Majemuk15 tiap kepala somah membawa nasi ambengan16 Bersih desa selalu
diadakan pada bulan Sela, bulan ke-11 tahun Kamariah. Bersih desa pada
mulanya diadakan untuk mengintegrasikan masyarakat yang kurang akrab
antara satu dengan yang lain. Hal ini terkadang sulit dilakukan dalam konteks
15 Majemuk adalah upacara tahunan sebagai wujud rasa syukur kepadapencipta setelah masa panen.
16 Nasi ambengan berupa nasi putih yang diletakkan di atas tampah dandiberi lauk pauk di sekelilingnya. Nasi ambeng adalah hidangan yang disajikandalam selamatan sebagai lambang keberuntungan.

81
perkotaan karena kedekatan geografis kurang penting dibandingkan dengan
komitmen ideologis dan perbedaan status sosial.17
f. Munggah Lumbung
Upacara ini dilakukan sewaktu akan menyimpan padi di lumbung.
Dalam upacara ini sering mengadakan sesaji berupa jenang-jenangan 5
macam serta kembang menyan. Rangkaian upacara adat dalam pertanian yang
berpangkal kepada kepercayaan pada Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi
pelindung pertanian. Upacara kepada sing mbahureksa dengan permohonan
agar padi dapat awet.
g. Lumbung Paceklik
Upacara ini diadakan khusus untuk membantu kesulitan dalam hal
pertanian. Lumbung paceklik ini mempunyai banyak anggota yang terdiri dari
tiap-tiap kepala somah dari setiap kelurahan. Di Kabupaten Sleman dibentuk
melalui modal yang diperoleh dengan jalan tiap anggota menyerahkan gabah
1 taker. Jumlah anggotanya ada 400 orang.
Masyarakat Yogyakarta dapat dibedakan adanya beberapa lapisan
masyarakat yang ada di darah pedesaan dan di daerah perkotaan. Pada umumnya
lapisan masyarakat yang ada di daerah pedesaan penduduknya hidup dengan cara
bercocok tanam menetap, perbedaan golongan yang ada didasarkan atas hak milik
tanah. Seperti contoh di Kabupaten Sleman. Ketiga golongan ini antara lain:18
17 Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalamKebudayaan Jawa, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), hlm. 110-112.
18 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hlm. 232.

82
1. Wong baku/Sikep/Kulikenceng, orang yang merasa dirinya sebagai keturunan
pembuka tanah (cikal bakal)
2. Kuli gundhul/Lindhung/Indhung, orang yang memiliki pekarangan atau
rumah dan tegalan
3. Numpang, orang yang tidak punya tanah, dan hanya tinggal di pekarangan
oang lain
Berkaitan dengan religi, agama Islam umumnya berkembang baik di
kalangan masyarakat orang Jawa. Hal ini tampak pada bangunan-bangunan
khusus untuk tempat beribadah orang-orang yang beragama Islam. Walaupun
tidak semua orang beribadah menurut agama Islam, namun berlandaskan atas
kriteria pemeluk agamanya, ada yang disebut Islam santri dan Islam kejawen.
Namun, ada juga yang memeluk agama Nasrani atau agama besar lainnya.19
Orang santri adalah penganut agama Islam di Jawa yang secara patuh dan
teratur menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya. Golongan orang Islam kejawen,
walaupun tidak menjalankan sholat atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji,
tetapi tetap percaya kepada ajaran keimanan agama Islam. Kecuali itu orang Islam
kejawen tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Kebanyakan orang Jawa percaya
bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, sehingga
tidak sedikit dari mereka yang bersikap nerima, yaitu menyerahkan diri kepada
takdir.
Penduduk di Sleman menganut empat agama yaitu agama Islam, agama
Katholik, dan agama Kristen. Menurut data tahun 1975 di Kabupaten Sleman
19 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 1995), hlm 346-347.

83
jumlah pemeluk agama Islam 585.869 jiwa, pemeluk agama Katholik berjumlah
24.490 jiwa, jumlah pemeluk agama Kristen 4.429 jiwa, dan pemeluk agama lain
sebanyak 2.248 jiwa. Data di tahun berikutnya yaitu tahun 1976 menunjukkan
peningkatan jumlah penduduk yang memeluk agama Islam, Katolik, dan Kristen.
Data tahun 1976 pemeluk agama Islam sebanyak 593.834, pemeluk agama
Katholik sebanyak 24.536, jumlah pemeluk agama Kristen sebanyak 5.211, dan
pemeluk agama lain mengalami penurunan menjadi 1.566 jiwa.20
Selamatan adalan suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi
doa sebelum dibagi-bagikan. Selamatan tidak trpisahkan dari pandangan alam
pikiran partisipasi yang erat hubungannya dengan kepercayaan terhadap unsur-
unsur kekuatan sakti maupun makhluk-makhluk halus. Sebab hampir semua
selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada
gangguan-gangguan apapun. Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin, yaitu
salah seorang pegawai masjid yang berkewajiban mengucapkan ajan. Upacara
selamatan dapat digolongkan ke dalam enam macam sesuai dengan peristiwa atau
kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yaitu:21
1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan,
kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk
pertama kali, upacara menusuk telinga, sunat, kematian, dan saat-saat setelah
kematian
20 Pemerintah Kab. Dati II Sleman, Kabupaten Sleman dalam Angka 1975-1979, (Yogyakarta: Pemerintah Kab. Dati II Sleman, 1980), hlm. 32.
21 Clifford Geertz, loc.cit.

84
2. Selamatan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian,
dan setelah panen padi
3. Selamatan berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam
4. Selamatan pada saat yang tidak tertentu, seperti membuat perjalanan jauh,
menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat)
5. Janji ketika sembuh dari sakit (kaul)
Kecuali selamatan sering dibuat pula sesajen. Sesajen ini adalah
penyerahan sajian pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan terhadap
makhluk halus di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah tiang rumah, di
persimpangan jalan, di kolong jembatan, di bawah pohon-pohon besar, di tepi
sungai, dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat dan mengandung bahaya
gaib (angker). Sesajen merupakan rramuan dari tiga macam bunga (kembang
telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apem yang ditaruh di dalam besek kecil
atau bungkusan daun pisang. Ada sesajen yang dibuat pada setiap malam Selasa
Kliwon dan Jumat Kliwon. Karena sikap dan pembaaan orang Jawa ini, maka
muncul banyak aliran-aliran kebatinan. Dilihat dari bentuk maupun sifatnya,
yaitu:
1. Gerakan atau aliran kebatinan yang keuaniyahan, aliran ini percaya akan
adanya anasir-anasir ruh halus atau badan halus serta jin-jin
2. Aliran yang keislam-islaman, dengan ajaran-ajaran yang banyak mengambil
unsur-unsur keimanan agama Islam, seperti soal Ketuhanan dan Rasul-Nya,
dengan syarat-syarat yang sengaja dibedakan dengan syariat agama Islam,

85
dan dengan banyak unsur-unsur Hindu-Jawa yang sering kali bertentangan
dengan pelajaran-pelajaran agama Islam
3. Aliran yang kehindu-jawian, dimana para pengikutnya percaya kepada dea-
dea agama Hindu, dan dengan nama-nama Hindu
4. Aliran-aliran yang bersifat mistik, dengan usaha manusia untuk mencari
kesatuan dengan Tuhan
B. Dampak Ekonomi
Sejak Orde Baru mulai memegang kekuasaan, beberapa perubahan
ekonomi terjadi di Indonesia. Aspek-aspek perekonomian di Kabupaten Sleman
yang mengalami perubahan antara lain:22
1. Teknologi baru
Salah satu perubahan ekonomi yang terjadi di Indonesia adalah adanya
penerapan teknologi baru di berbagai bidang kegiatan ekonomi. Seperti ontoh di
bidang pertanian masa Orde Baru, bersamaan dengan munculnya Revolusi Hijau
telah mengakibatkan banyak perubahan dalam tata cara penanaman padi. Berbagai
bidang di luar pertanian pedesaan, juga mengalami beberapa perubahan teknologi
termasuk kegiatan masyarakat yang secara tradisional merupakan sumber
kesempatan kerja bagi penduduk desa. Bidang pengangkutan juga mengalami hal
serupa, becak dan pedati memperoleh saingan dari bis dan kendaraan bermotor.
22 Anne Booth dan Peter Mc Cawley, The Indonesian Economic DuringThe Soeharto Era, terj. Boediono, Ekonomi Orde Baru, (Jakarta: LP3ES, 1982),hlm 9.

86
2. Perubahan kelembagaan
Perubahan kelembagaan telah terjadi di berbagai bidang dan menghasilkan
akibat-akibat ekonomis. Orde Baru juga memberikan prioritas pada usaha-usaha
meningkatkan produksi berasdan memperbaiki sistem pemasarannya pada akhir
tahun 60-an dan awal tahun 70-an. Adanya program Bimas yang dilaksanakan
secara besar-besaran selama periode ini mencakup berbagai kebijaksanaan
kelembagaan, antara lain diterapkannya pengawasan langsung terhadap harga dan
kuantitas sarana produksi utama (pupuk, insektisida, dan kredit) dan
diterapkannya kebijaksanaan serupa di pasar beras.
Perubahan kelembagaan mempunyai akibat sosial luas lainnya adalah
semakin meluasnya sistem panen tebasan. Sistem panen tebasan ini, dalam
pelaksanaan panen terutama padi diborongkan kepada para pedagang perantara
dari luar desa. Sedangkan sistem panen tradisional, penduduk desa mendapat
kesempatan ikut serta melakukan panen dan memperoleh imbalan. Meluasnya
sistem tebasan ini juga dikaitkan dengan perubahan teknologi dari penggunaan
ani-ani dalam cara panen tradisional ke penggunaan sabit yang umumnya
digunakan oleh tenaga-tenaga borongan dalam sistem tebasan. Produktivitas
tenaga kerja juga jauh lebih tinggi bila digunakan peralatan sabit. Akibat lainnya
adalah pembagian hasil panen menjadi tidak merata.23
23 Ibid., hlm 10.

87
Berbagai faktor yang menghambat tercapainya tujuan kebijaksanaan
pembangunan pemerintah dilihat dari sudut ekonomi antara lain:24
1. Masalah pengangkutan, penggudangan, pengolahan, dan saluran pemasaran
2. Keadaan fasilitas penyediaan dan distribusi input pertanian termasuk kredit
3. Masalah harga input pertanian dan harga barang barang konsumsi
4. Harga hasil-hasil pertanian dan harga barang-barang konsumsi
5. Masalah pajak, subsidi, dan kuota
Kondisi pedesaan, terutama karena sulitnya sarana transportasi,
menyebabkan biaya produksi dalam bidang pertanian bertambah besar. Jarang
barang-barang input pertanian yang dibutuhkan oleh petani langsung tersedia di
desa tersebut. Kebanyakan mereka harus mencari ke kota. Kalau pun ada di pasar-
pasar lokal di daerah pedesaan tentu harganya sangat mahal dan kurang terjangkau
oleh daya beli para petani. Pembangunan pertanian di Indonesia, terutama melalui
jalur komunikasi berupa Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan
pirsawan) serta persediaan input-input pertanian yang dikelola oleh Koperasi Unit
Desa (KUD).25
Sebagai petani, umumnya kehidupan keluarga sehari-hari memprihatinkan.
Produksi yang diperoleh dari pertanian hanya cukup untuk menghidupi kehidupan
keluarga sendiri. Kelebihan hasil produksi pertanian umumnya akan dijual ke
pasar untuk membayar pajak dan membeli garam atau minyak tanah. Kelebihan
uang sebagai sisa produksi pertanian dari setiap panen, jarang mereka peroleh.
24 Khairuddin, Pembangunan Masyarakat, (Yogyakarta: Liberty, 1992),hlm 153.
25 Ibid., hlm 154.

88
Untuk memenuhi kebutuhan lain mereka menjual kayu bakar maupun rumput ke
daerah Pakem. Sisa uang dari hasil penjualan kayu dan rumput akan mereka
tabung dalam bentuk ternah sapi atau ternak kambing.26 Penjualan rumput
dihargai Rp 500,00 sampai Rp 750,00 untuk satu pikul seberat 50 kg.27
Menurut daftar upah kerja di Kabupaten Sleman tahun 1972 adalah
pekerjaan membajak dan menggaru upah rata-rata sehari antara Rp 400 – Rp 500,
lama bekerja kira-kira 4 jam. Biasanya buruh tani mulai bekerja pukul 06.30 pagi
hingga pukul 11.00 siang. Pekerjaan menangkul, dhangir, dan matun mendapat
upah rata-rata Rp 200 sehari, lama bekerja dari pukul 06.30 pagi hingga pukul
11.00 siang. Sedangkan pekerjaan tandur upahnya Rp 150 sehari. Ada pula orang
yang memberi imbalan berdasarkan perasaan. Misalnya tetangga dekat atau masih
ada hubungan keluarga maka bawon yang diberikan mara papat atau mara enem.
Kemudian yang ikut derep kurang sehari, upahnya Rp 150 ditambah makan.28
Hasil-hasil pertanian seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan pada
musim panen harganya rendah dan pada musim paceklik harganya tinggi. Panen
padi ditanam sekitar bulan November-Januari dan dipanen pada bulan April-Juni.
Petani sering rugi dengan pengeluaran besar yang tidak diatur dan tidak ditunggu
sampai panen tiba. Petani juga sering menjual tanaman pada saat masih hijau di
26 Handojo Adi Pranowo DS, Manusia dan Hutan: Proses PerubahanEkologi di Lereng Gunung Merapi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1985), hlm 56.
27 Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsidan Kepercayaannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm32.
28 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , op.cit., hlm 48-49.

89
sawah dengan harga penuh atau berupa pinjaman. Penanaman tanaman yang
masih hijau disebut ijon. Kemikinan yang luas di kalangan petani, keterlibatan
pada hutang, baik hutang biasa maupun dalam sistem ijon merupakan persoalan
pembiayaan. Petani memerlukan kredit murah dari bank.29
Dalam menyelenggarakan aktivitas sosial-budaya yang menyangkut
upacara dan slametan, orang Jawa masih dapat mengharapkan bantuan dan
perhatian dari para warga, tetapi dalam kehidupan ekonominya berdiri sendiri. Hal
ini juga masih dilakukan oleh penduduk Sleman. Hanya keluarga inti dan keluarga
luas yang tinggal bersama dalam rumah tangga yang merupakan suatu kesatuan
sosial yang masih bisa diandalkan untuk membantu dalam aktivitas ekonomi serta
dalam pekerjaan di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sejak lama petani Jawa menanam hasil bumi dalam bidang-bidang tanah yang
sangat kecil, dan dengan tenaga manusia yang berlebihan. Setiap petani Jawa rata-
rata memiliki setengah hektar tanah (berupa tanah tegalan dan tanah sawah).30
Sensus pertanian tahun 1963 menunjukkan bahwa dari 7,94 juta pemilik tanah,
1,43 juta terdiri dari satu bidang, 5,11 juta terdiri dari dua atau tiga bidang, 1,07
juta terdiri dari empat sampai lima bidang, 0,3 juta terdiri dari enam sampai
sembilan bidang, dan 0,02 juta terdiri dari 10 bidang atau lebih.31
29 Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Jakarta: LP3ES, 1973), hlm.30-33.
30 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: PN BALAI PUSTAKA,1984), hlm 168.
31 Ibid., hlm 169.

90
Sejalan dengan kemajuan teknologi, berbagai peralatan modern di bidang
pertanian sudah diperkenalkan pemerintah sejak tahun 1960-1970an. Peralatan
modern merupakan salah satu program pokok pemerintah untuk meningkatkan
produksi pertanian. Setiap Repelita sektor pertanian mendapatkan prioritas utama.
Prioritas utama tersebut melalui pembangunan pertanian, dan dapat dicapai
beberapa tujuan yaitu swasembada pangan, memperluas kesempatan kerja di
daerah pedesaan, dan menaikkan pendapatan petani. Dalam usaha untuk
mewujudkan tujuan tersebut, maka terdapat suatu program yang disebut Panca
Usaha Tani yaitu terdiri dari penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengairan,
pemberantasan hama dan penyakit, serta teknik bercocok tanam.32
Pengaruh teknologi masuk ke Kabupaten Sleman pada tahun 1970-an dan
menyentuh peralatan pertanian yang selama ini digunakan oleh petani.
Kenyataannya teknologi tradisional yang menyangkut masalah prtanian masih
dipakai oleh masyarakat petani di daerah. Teknologi tradisional ini merupakan
pengetahuan mengenai alam yang disebut “pranoto mongso”.33 Dalam rangka
pembangunan pertanian dengan diterapkannya Panca Usaha Tani, yang antara lain
petani diharuskan menggunakan bibit unggul, hampir serentak penanaman padi
menggunakan bibit unggul antara lain PB5, IR36, Sentani, Cisedani, Kruing.
32 Isni Herawati dan Sumintarsih, Peralatan Produksi Tradisional danPerkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, 1990), hlm 61.
33 Rusman, dkk, Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya LahanPertanian Daerah Jawa Tengah, (Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan NilaiTradisional Proyeh Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, 1992), hlm.57.

91
Sebelum jenis padi bibit unggul diperkenalkan, jenis padi yang ditanam adalah
padi Jawa, Rojolele, Ketan dan sebagainya yang disebut sebagai pari wulu karena
tangkainya panjang dan berbulu.
Melalui Bimbingan Massal dan Intensifikasi Masaldngan dukungan utama
penyuluh tani lapangan. Pemerintah juga melancarkan program berskala besar
untuk membina prasarana pengairan. Upaya agar petani mampu membeli
masukan teknologi modern, pemrintah menyediakan kredit berbunga murah
melalui Bank Rakyat Indonesia yang bertindak sebagai bank pedesaan. Untuk
pemasaran beras, pemerintah mempergunakan Badan Logistik Nasional yang
selain membeli beras/padi dari petani atau koperasi juga berfungsi menjaga harga
beras dengan sistem harga dasar. Kritik juga dilontarkan ke BUUD/KUD.
Lembaga ini dinilai sebagai “alat pemerintah” untuk pengadaan pangan atau
sebagai saluran hasil industri penunjang pertanian melalui sistem yang
mengandung paksaan, daripada sebagai wadah partisipasi warga desa.
Kenyataannya warga belum merasakan bahwa BUUD/KUD wadah mereka karena
peranan dan pengaruh pemerintah dan di lain pihak kepercayaan masyarakat akan
kemampuan koperasi bisa berkembang sangat kecil. Laba sebagai penyalur sarana
produksi tidak cukup besar, demikian juga sebagai perantara pembelian beras
rakyat untuk Bulog. Hal ini mengakibatkan koperasi kurang mampu
mempekerjakan pegawai dengan intensif yang memadai.34
Padi yang telah dituai oleh penderep, lalu dibawa pulang oleh masing-
masing penderep tersebut ke rumah orang yang mempunyai sawah. Di rumah para
34 M. Dawam Rahardjo, Transformasi Pertanian, Industrialisasi, danKesempatan Kerja, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 67-72.

92
pemilik sawah, penderep langsung memproses hasilnya masing-masing, yaitu
menginjak (ngiles) supaya bulir-bulir padi terlepas dari tangkainya. Di Kabupaten
Sleman kebanyakan padi juga diiles. Adanya alat perontok padi yang dibuat dari
kayu, gir sepeda, dan pedal. Alat ini bentuknya persegi dan baru dipakai oleh
beberapa petani saja. Adapun cara kerja alat perontok ini, pedak diinjak terus-
menerus dan silinder akan berputar. Kemudian padi seikat demi seikat dipegang
dengan tangan pada pangkal jeraminya, sedang butit-butir padi digesekkan pada
silinder yang berputar tadi. Butir-butir padi akan rontok dan jatuh. Sementara itu
di bawah diletakkan alat untuk menampung hasil padi yang telah dirontokkan.35
Sejalan dengan kemajuan teknologi, ada alat perontok padi yang lebih
modern yang mempermudah dan mempercepat perontokkan padi. Alat mesin
perontok padi atau thresher, yaitu alat untuk merontokkan padi menjadi gabah.
Alat tersebut digunakan dngan menggunakan tenaga motor. Biasanya yang
memanfaatkan mesin perontok padi ini hanya petani yang tanahnya luas. Hasil
padi yang telah diiles atau dirontokkan dengan alat blungkang, atau mesin
perontok padi, gabah kemudian dijemur dan langsung terkena sinar matahari.
Mesin pengering atau dryer yaitu alat untuk menurunkan kadar air pada gabah
dengan hembusan udara luar atau udara yang dipanaskan. Bahan untuk
memanasan udara adalah minyak tanah atau sekam. Selanjutnya padi yang telah
dijemur kira-kira tiga kali penjemuran lalu dimasukkan ke dalam karung plastik.36
Gabah diperlukan untuk konsumsi sendiri, pada umumnya para petani di dalam
35 Isni Herawati dan Sumintarsih, op. cit., hlm 71.
36 Ibid., hlm 73.

93
memproses gabah menjadi beras dilakukan dengan jalan nutu atau menumbuk
padi. Nutu adalah mengelupas kulit gabah supaya menjadi beras dengan alat
khusus lumpang dan alu. Nutu dan bebak ini biasanya dilakukan oleh wanita.
Akan tetapi sekarang ini dengan adanya mesin penggiling padi huller (Rice
Milling Unit), kegiatan bebak dan nutu sudah tidak dilakukan lagi. Huller adalah
salah satu unit alat pengolahan padi yang terdiri dari pengupas kulit, pemisah
gabah, dan beras pecah kulit, serta alat penyosoh.37
Penduduk di Kabupaten Sleman merupakan masyarakat agraris yang
hidupnya bergantung pada pertanian.38 Usaha lain seperti peternakan, perikanan,
perindustrian, hanya dikelola oleh sebagian kecil masyarakat. Baik menggarap
sawah sendiri atau sebagai buruh tani di lahan orang lain. Masuknya modernisasi
pertanian di Kabupaten Sleman membawa perubahan ekonomi yang dialami
masyarakatnya. Kondisi ini diperkuat wawancara dengan Ibu Suyadi yang
menyatakan perubahan ekonomi dirasakan semakin meningkat setelah program
modernisasi pertanian yang dapat meningkatkan hasil produksi.39 Akhirnya
setelah adanya teknologi modern ini sistem derep digantian dengan sistem
tebasan. Peran pemilik sawah akan digantikan oleh penebas yang bersedia
membayar harga yang telah disetujui. Sistem tebasan dianggap menjamin
keuntungan yang relatif memadai bagi penebas. Adanya perubahan bawon ke
37 Ibid., hlm 74.
38 Tashadi, dkk, Kabupaten Sleman dalam Perjalanan Sejarah,(Yogyakarta: Bagian Gabungan Masyarakat Sekretariat Daerah KabupatenSleman, 2002), hlm. 17.
39 Wawancara dengan Ibu Suyadi pada tanggal 20 Desember 2015.

94
tebasan, maka perubahan terjadi pula pada hubungan antara penduduk desa dari
hubungan yang sifatnya lebih sosial kepada hubungan yang lebih individual,
bentuk imbalan berupa natura diganti dengan upah atau harga, di kabupaten
sleman diperkirakan 75% areal sawah saat panen ditebaskan.40
Praktek tebasan pada umumnya oleh petani berlahan luas, akan tetapi
dalam perkembangannya diikuti pula oleh petani yang berlahan sempit, karena
mereka dikejar-kejar oleh kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu untuk mengganti
biaya sarana produksi dan keperluan keluarganya. Panen yang dilakukan oleh
petani sendiri dan dibawa pulang, sistem pengupahannya kepada buruh panen dan
proses hasil mengikuti sistem tebasan, yang ternyata pengupahan buruh tani dalam
sistem tebasan lebih rendah daripada sistem panen sendiri.41
Meluasnya sistem tebasan dan luasnya areal sawah yang ditebaskan secara
langsung ditunjang oleh kegiatan penyuluhan, yang dalam memberikan informasi
teknologi baru dibarengi dengan analisa ekonomi yang didasarkan pada
pertimbangan komersil. Ditinjau dari segi petaninya secara logika memang tidak
dapat diharapkan petani akan meninggalkan sistem tebasan, dan kembali pada
sistem bawon, petani akan kembali menderita kerugian minimal 15-25%
dibandingkan memakai sistem tebasan. Ditinjau dari pembangunan pertanian yang
diartikan sebagai peningkatan pendapatan petani dari investasinya desa, sistem
tebasan lebih menunjang pembangunan, akan tetapi jika dilihat dari pembangunan
40 Zuminati Rahayu, op.cit., hlm. 80.
41 Ibid.

95
pertanian yang diartikan sebagai peningkatan pendapatan dan taraf hidup
masyarakat pedesaan maka sistem tebasan tidak menunjang pertanian.42
Proses pemasaran hasil, dari petani ke konsumen ada dua cara secara
langsung dan secara tidak langsung. Umumnya hasil pertanian khususnya padi
kecuali dikonsumsi sendiri juga dijual oleh para petani. Di Kabupaten Sleman
sebanyak 34,8% rumah tangga tani yang mengonsumsi hasil panennya untuk
sendiri, dan sebanyak 8,2% yang menjual hasil panennya, kemudian 56,9% rumah
tangga tani mengonsumsi hasil panennya untuk sendiri dan dijual ke pedagang
beras. Peralatan ukur yang dipakai petani dalam mendistibusikan hasil panennya,
pada umumnya menggunakan peralatan dacin jika dalam jumlah besar dan
timbangan kodok jika jumlahnya kecil. Peralatan berupa beruk, panci sudah
jarang digunakan.43
Kecamatan di Kabupaten Sleman pada umumnya tidak mendistribusikan
hasil panennya secara langsung. Hal tersebut karena pada waktu musim panen
hampir semua petani mempunyai beras untuk dikonsumsi sendiri. Kemudian bagi
mereka yang tidak memiliki sawah ikut menjadi buruh pada waktu panen, yang
berarti mendapat bawon yang berupa gabah dari pemilik sawah, jadi tidak ada
tetangga yang membeli beras kepada tetangga petani yang panen untuk keperluan
42 Collier, W.L, dkk, Sistem Tebasan, Bibit Unggul dan PembaharuanDesa di Jawa, Prisma, (No. 6, tahun III), hlm. 18.
43 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat PenelitianSejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , op.cit., hlm 75.

96
sendiri. Apabila ada keperluan mendesak, mereka membeli di pasar. Umumnya
petani yang panen menyimpan gabah bukan beras.44
Proses distribusi tidak langsung umumnya melalui pedagang-pedagang
yang ada di wilayah desa tersebut. Adanya KUD di Kabupaten Sleman, juga
belum berfungsi secara baik dalam menampung hasil panen para petani atau
anggota-anggotanya. Sebagian besar petani di Kabupaten Sleman, menjual hasil
panennya tidak ke KUD, tetapi melalui pedagang-pedagang yang ada di desa.
Kualitas gabah yang dijual petani ke KUD dianggap masih di bawah standar yang
telah ditentukan KUD. Hal ini membuat petani rugi karena kehilangan ongkos
transport dan tenaga. Perhitungan yang lain, bila gabah dijual ke KUD atau ke
pedagang yang ada di desa, harganya hampir sama. Sebaliknya kalau dijual
melalui pedagang tidak perlu mengeluarkan ongkos tansport dan tenaga, cukup
memanggil pedagang, maka transaksi jual beli gabah sudah dapat berlangsung.45
44 Isni Herawati dan Sumintarsih, op. cit., hlm 75.
45 Ibid.

97
BAB VKESIMPULAN
Kabupaten Sleman adalah sebuah kabupaten di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di utara dan
timur, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta di
selatan, serta Kabupaten Kulon Progo di barat. Pusat pemerintahan di Kecamatan
Sleman, yang berada di jalur utama antara Yogyakarta-Semarang. Bagian utara
kabupaten ini merupakan pegunungan, dengan puncaknya Gunung Merapi di
perbatasan dengan Jawa Tengah, salah satu gunung berapi aktif yang paling
berbahaya di Pulau Jawa. Sedangkan di bagian selatan merupakan dataran rendah
yang subur. Di antara sungai-sungai besar yang melintasi kabupaten ini adalah
Kali Progo yang membatasi kabupaten Sleman dengan Kabupaten Kulon Progo,
Kali Code, Kali Kuning, Kali Opak dan Kali Tapus.
Kabupaten Sleman bagian utara yang berbatasan langsung dengan Gunung
Merapi merupakan daerah berbahaya dan berdampak langsung jika Gunung
Merapi meletus. Merapi meletus memakan korban sebanyak 6 jiwa tahun 1961.
Letusan ini mengarah ke Desa Sempal, Desa Kaligesik, dan Desa Gimbal. Letusan
Merapi tahun 1961 mengeluarkan material perut bumi sebanyak 9,2 juta m3, abu
vulkanik yang dihembuskan angin setinggi 5.000 m dari atas kawah dan kemudian
disebarkan angin ke arah barat sebanyak 20.172 juta m3. Merapi meletus tahun
1969 dengan korban sebanyak 3 jiwa. Merapi kembali meletus tahun 1976 dengan
korban sebanyak 29 jiwa. Erupsi Gunung Merapi juga mengakibatkan kerusakan
lahan pertanian. Pertanian di lereng Merapi juga mengalami perubahan.

98
Perubahan sistem pertanian ini terjadi dari sistem perladangan, ke sistem tegalan,
dan beralih sistem persawahan. Muncul sistem pertanian modern seperti: bercocok
tanam di pinggir kali, pertanian yang berpindah-pindah, sistem pertanian dengan
teknologi cangkul, penggunaan teknologi bajak, sistem bajak modern, dan
mekanisasi pertanian. Sistem pertanian tradisional antara lain perladangan dan
tegalan. Perbedaan sistem pertanian tradisional dengan modern dapat dilihat dari
peralatan yang digunakan. Sistem pertanian tradisional menggunakan peralatan
yang sederhana seperti sabit, luku, dan garu. Sedangkan sistem pertanian modern
menggunakan peralatan berupa mesin dan meninggalkan peralatan dengan tenaga
manusia.
Dampak dari perubahan sistem pertanian ini ada dua yaitu dampak sosial
dan dampak ekonomi. Dampak sosial ini meliputi munculnya perhitungan-
perhitungan lama dalam memulai menanam padi yang disebut primbon. Ketika
menanam padi juga berdasarkan pranata mangsa. Pranata mangsa ini terdiri dari
12 mangsa yaitu: mangsa kasa, mangsa karo, mangsa ketolu, mangsa kapat,
mangsa kelima, mangsa kanem, mangsa kepitu, mangsa kewolu, mangsa kesanga,
mangsa kesepuluh, dhestha, dan sada. Tanaman padi juga tidak terbebas dari
serangan hama, hama yang biasa menyerang adalah hama tikus, hama ulat
penggerek, hama wereng dan hama walang sangit.
Umumnya para petani di pedesaan dalam bercocok tanam terutama padi,
masih mengadakan upacara selamatan. Upacara yang diadakan antara lain:
upacara yang diadakan sewaktu akan menyebar benih (gabah), upacara wiwit,
upacara merti desa, munggah lumbung, dan lumbung paceklik. Kebudayaan

99
selamatan ini juga mempengaruhi religi masyarakatnya. Agama Islam umumnya
berkembang baik di kalangan masyarakat orang Jawa. Hal ini tampak pada
bangunan-bangunan khusus untuk tempat beribadah orang-orang yang beragama
Islam. Walaupun tidak semua orang beribadah menurut agama Islam, namun
berlandaskan atas kriteria pemeluk agamanya, ada yang disebut Islam santri dan
Islam kejawen. Namun, ada juga yang memeluk agama Nasrani atau agama besar
lainnya.
Dampak ekonomi meliputi mata pencaharian dan pendapatan. Pekerjaan
membajak dan menggaru upah rata-rata sehari antara Rp 400 – Rp 500, lama
bekerja kira-kira 4 jam. Biasanya buruh tani mulai bekerja pukul 06.30 pagi
hingga pukul 11.00 siang. Pekerjaan menangkul, dhangir, dan matun mendapat
upah rata-rata Rp 200 sehari, lama bekerja dari pukul 06.30 pagi hingga pukul
11.00 siang. Sedangkan pekerjaan tandur upahnya Rp 150 sehari. Ada pula orang
yang memberi imbalan berdasarkan perasaan. Misalnya tetangga dekat atau masih
ada hubungan keluarga maka bawon yang diberikan mara papat atau mara enem.
Kemudian yang ikut derep kurang sehari, upahnya Rp 150 ditambah makan.
Untuk meningkatkan pendapatan para petani, dalam usaha pertaniannya
mulai digunakan teknologi yang lebih modern. Umumnya alat-alat baru yang
sudah dimiliki petani adalah alat penyemprot hama tangan (hand sprayer). Di
Kabupaten Sleman yang memiliki hand sprayer ada 1111 rumah tangga tani.
Panca Usaha Tani juga menyangkut teknik pengolahan sawah dan peralatan yang
digunakan. Sementara teknologi maju membawa perkembangan baru dalam
jumlah hasil yang dapat dicapai dan dinikmati oleh beberapa petani pemilik sawah

100
luas. Seperti contoh salah satu desa di Kabupaten Sleman teknologi yang masuk
ke desa meliputi huller, dan penyemperotan hama. Sejalan dengan kemajuan
teknologi, ada alat perontok padi yang lebih modern digunakan mempermudah
dan mempercepat perontokkan padi. Alat mesin perontok padi atau thresher, yaitu
alat untuk merontokkan padi menjadi gabah. Alat tersebut digunakan dngan
menggunakan tenaga motor. Dalam rangka pembangunan pertanian dengan
diterapkannya Panca Usaha Tani, yang antara lain petani diharuskan
menggunakan bibit unggul, hampir serentak penanaman padi menggunakan bibit
unggul antara lain PB5, IR36, Sentani, Cisedani, Kruing. Sebelum jenis padi bibit
unggul diperkenalkan, jenis padi yang ditanam adalah padi Jawa, Rojolele, Ketan
dan sebagainya yang disebut sebagai pari wulu karena tangkainya panjang dan
berbulu.

101
DAFTAR PUSTAKA
Arsip
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah DaerahIstimewa Yogyakarta Tahun 1964-1966, Yogyakarta: Biro Statistik,1967.
_______, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1969,Yogyakarta: Biro Statistik, 1970.
_______, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972,Yogyakarta: Biro Statistik, 1973.
Biro Statistik dan Kantor Sensus Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik BerbagaiSegi Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta 1973,Yogyakarta: Biro Statistik dan Kantor Sensus, 1975.
Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk KabupatenSleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta: Kantor Statistik,1991.
Pemerintah Kab. Dati II Sleman, Kabupaten Sleman dalam Angka 1975-1979,Yogyakarta: Pemerintah Kab. Dati II Sleman, 1980.
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dalamAngka Tahun 1976, Yogyakarta: Biro Statistik, 1976.
Buku
Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah,Yogyakarta: Ombak, 2011.
Ardisson Muhammad, Merapi: Cerita, Kehidupan, Sejarah Geologis, Mitos, danMistis, Surabaya: PORTICO Publishing, 2011.
Bahrein T. Sugihen, Sosiologi Pedesaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, Yogyakarta: Biro HubunganMasyarakat, tt.

102
Booth, Anne dan Peter Mc Cawley, The Indonesian Economic During TheSoeharto Era, terj. Boediono, Ekonomi Orde Baru, Jakarta: LP3ES,1982.
Collier, L. William, dkk, Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan diJawa: Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Djoko Suryo, dkk, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola KehidupanSosial Ekonomi dan Budaya, Jakarta: Depdikbud, 1985.
Geertz, Clifford, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia,Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.
_______, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa,Depok: Komunitas Bambu, 2014.
Hagul, Peter, (ed), Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat,Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Handojo Adi Pranowo DS, Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi diLereng Gunung Merapi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1985.
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2007.
Isni Herawati dan Sumintarsih, Peralatan Produksi Tradisional danPerkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990.
Jayadinata, J.T., Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, danWilayah, Bandung: ITB, 1999.
Kantor Pusat Data Provinsi DIY, Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun1979, Yogyakarta: Kantor Pusat Data Provinsi DIY, 1981.
Kartasapoetra, A. G, Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan, Jakarta: RadarJaya Offset, 1987.
Kaslan A. Tohir, Pengantar Ekonomi Pertanian, Bandung: Vorkink van Hoeve,tt.
Khairuddin, Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Liberty, 1992.
Khudori, Ironi Negeri Beras, Yogyakarta: Insist Press, 2008.

103
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN BALAI PUSTAKA, 1984.
_______, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1995.
_______, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penerbit FakultasEkonomi Universitas Indonesia, 1984.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Leirissa, R.Z dkk, Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996.
Loekman Soetrisno, Pertanian Pada Abad Ke-21, Jakarta: Direktorat JenderalPendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi danKepercayaannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.
M. Dawan Rahardjo, Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan KesempatanKerja, Jakarta: UI Press, 1984.
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES, 1973.
Muryanti, Pedesaan dalam Putaran Zaman: Kajian Sosiologis Petani, Pertanian,dan Pedesaan, Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Yogyakarta:Djambatan, 1985.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarahdan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat IstiadatDaerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan, 1977.
Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaandan Pertanian, Yogyakarta: GadjahMada University Press, 1999.
Retnowati Abdulgani, Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s SecondPresident, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2007.
Ruf, Francois dan Frederic Lancon, Dari Sistem Tebas dan Bakar ke PeremajaanKembali: Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia, Jakarta: SalembaEmpat, 2005.
Rusman, dkk, Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya Lahan PertanianDaerah Jawa Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan dan

104
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah danNilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilaiBudaya, 19922.
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Sajogyo, Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan, Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press, 1982.
_______, Bunga Rampai Perekonomian Desa, Yogyakarta: Yayasan OborIndonesia, 1982.
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press, 1981.
Suhartono, Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942,Yogyakarta: Aditya Media, 1995.
Sukardi Wisnubroto, Pengenalan Waktu Tradisional Pranata Mangsa danWariga: Menurut Jabaran Meteorologi Manfaatnya dalam Pertaniandan Sosial, Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1999.
Sutikno Bronto, Apa yang Dapat Dilakukan Oleh Ilmuwan Yogyakarta TerhadapGunungapi Merapi dan Lingkungan Hidup di Sekitarnya?, Yogyakarta:Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, 1996.
Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah,Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah,Fakultas Ilmu Sosial, UNY, 2013.
Artikel dan Jurnal
A.T. Birowo, “Analisa Kebijaksanaan Produksi Pangan Nasional”, Prisma, No.10/X/1981.
Darmakusuma Darmanto, dkk, “Dampak Lingkungan Pemanfaatan Alur Sungai diKali Boyong, Kali Kuning, dan Kali Gendol”, Manusia danLingkungan, Vol.18, No. 2, 2011.
Dedik Budianta, “Sosialisasi Sistem Pertanian Organik Untuk MelestarikanSumber Daya Alam”, dalam Prakarsa: Majalah Pusat DinamikaPembangunan UNPAD, Edisi November.

105
E. Roekasah Adiratma, “Mekanisasi Pertanian dan Hubungannya denganKesempatan Kerja”, Prisma, No. 3/XV.
Mubyarto, “Involusi Pertanian dan Pemberantasan Kemiskinan: Kritik TerhadapClifford Geertz”, Prisma, No. 2/VII/1978.
Wahyunto dan Wasito, “Lintasan Sejarah Erupsi Gunung Merapi”, Bogor: BalaiBesar Sumber Daya Lahan dan Balai Besar Pengkajian danPengembangan Teknologi Pertanian.
Skripsi
Siti Alfiah Mukmin, “Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Sleman di SekitarGunung Merapi Tahun 1930-1969”, Skripsi, Jurusan Sejarah FakultasIlmu Budaya UGM, 2003.
Trihapsari Nina Hadiastuti, “Pengaruh Modernisasi Pertanian Pada KehidupanMasyarakat Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, KabupatenSleman Tahun 1970-1984”, Skripsi, Program Studi Ilmu Sejarah,Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY, 2013.
Zuminati Rahayu, “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial Ekonomi Petani Wanitadi Kabupaten Sleman Tahun 1970-1984”, Skripsi, Program StudiPendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial,UNY, 2015.
Internet
“Kabupaten Sleman”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sleman diakses 24Maret 2015.
“Sengkala”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sengkala diakses 4 Mei 2015.
“Kondisi Pertanian Kabupaten Sleman”,https://valkauts.wordpress.com/2012/04/18/kondisi-pertanian-kabupaten-sleman/, diakses 25 Maret 2015.
“Definisi, Pengertian, dan Sistem Pertanian”,http://hutantani.blogspot.co.id/2014/03/definisi-pengertian-dan-sistem-pertanian.html diakses 27 Desember 2015.
Oris Riswan, Ini Sejarah Letusan Gunung Merapi, Okezone, Rabu 30 April 2014.

106

107
DAFTAR RESPONDEN
No. NamaTempattanggal
lahir/Usia
PekerjaanAlamat
Dulu Sekarang
1. BapakMujiyat
59 tahun Guru Pensiunan Srodokan,Wukirsari,Cangkringan
2. BapakSapari
70 tahun Petani Petani Gungan, Wukirsari,Cangkringan
3. IbuMujilah
68 tahun Petani Petani Banjarsari,Glagaharjo,Cangkringan
4. IbuSuyadi
58 tahun Petani Petani Mrisen,Sardonoharjo,Ngaglik
5. BapakPonimin
65 tahun Petani Petani Dalangan,Karangnongko,Tirtomartani,Kalasan

108
Lampiran 2:
PETA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Legenda: Keterangan:
Batas Provinsi Letak Kabupaten Sleman
Batas Kabupaten
Sumber: Biro Statistik dan Kantor Sensus DIY, Statistik Berbagai IndikatorSosial dan Ekonomi DIY 1973, Yogyakarta: Biro Statistik dan Kantor Sensus,1975.

109
Lampiran 3:
PETA WILAYAH KABUPATEN SLEMAN
Legenda:
Batas Provinsi
Batas Kabupaten
Batas Kecamatan
Sumber: Biro Statistik dan Kantor Sensus DIY, Statistik Berbagai IndikatorSosial dan Ekonomi DIY 1973, Yogyakarta: Biro Statistik dan Kantor Sensus,1975.

110
Lampiran 4:
PETA LETAK SAWAH DAN TEGALAN DI KABUPATEN SLEMAN
Legenda: Keterangan:
Batas Provinsi Sawah
Batas Kabupaten Tegalan
Batas Kecamatan
Sumber: Pemerintah Kab. Dati II Sleman, Kabupaten Sleman dalam Angka 1975-1979, Yogyakarta: Pemerintah Kab. Dati II Sleman, 1980.

111
Lampiran 5:
PETA KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI DIKABUPATEN SLEMAN
Legenda: Keterangan:
Batas Provinsi Kawasan Rawan Bencana
Batas Kabupaten Gunung Merapi
Batas Kecamatan
Sumber: www.google.com

112
Lampiran 6:
Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tangga di Kabupaten Sleman
No. Nama Kecamatan Banyaknya DesaBulan Oktober 1961 Bulan Juli 1968
Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1. Sleman 5 14.950 15.332 30.282 19.590 19.883 39.4732. Mlati 5 17.898 18.930 36.828 18.833 19.750 38.5833. Gamping 5 17.078 18.219 35.297 17.699 20.136 37.8354. Godean 7 2.601 2.824 5.441 2.782 2.930 5.7125. Moyudan 4 13.285 14.669 27.964 13.820 14.926 28.7466. Minggir 5 13.863 14.806 28.669 13.790 15.962 29.7527. Seyegan 5 15.359 16.478 31.837 15.600 16.806 32.4058. Tempel 8 16.447 17.548 33.995 17.610 18.871 36.4559. Turi 4 11.671 12.547 24.218 12.096 12.815 24.91110. Pakem 5 8.863 9.438 18.301 12.953 13.473 26.42611. Cangkringan 5 10.141 10.554 20.695 10.954 11.744 22.69812. Ngemplak 5 14.372 15.121 29.993 11.846 12.976 24.82213. Ngaglik 6 11.450 13.251 25.201 17.266 18.174 35.44614. Depok 3 - - 30.589 15.083 15.628 35.63215. Kalasan 4 16.604 18.362 34.966 17.948 19.457 37.40516. Berkah 4 12.061 13.553 25.614 13.182 14.289 27.47117. Prambanan 6 14.514 15.801 30.335 15.261 16.711 31.972
Jumlah 86 211.157 227.433 470.255 246.313 264.531 515.744Sumber: Biro Statistik dan Kantor Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Berbagai Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta
1973, Yogyakarta: Biro Statistik dan Kantor Sensus, 1975.

113
Lampiran 7:Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tangga di Kabupaten Sleman
No. Nama Kecamatan Banyaknya DesaBulan Juli 1970 Bulan Oktober 1971
Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1. Sleman 5 20.727 21.442 41.879 20.291 20.786 43.077
2. Mlati 5 19.669 20.644 40.313 20.080 20.915 40.995
3. Gamping 5 18.913 20.540 39.453 19.616 21.033 40.649
4. Godean 7 2.779 2.907 5.686 2.821 3.001 5.822
5. Moyudan 4 7.770 8.302 29.106 14.132 15.239 29.371
6. Minggir 5 14.847 15.828 30.675 14.668 15.825 30.493
7. Seyegan 5 15.476 17.635 33.111 16.295 17.344 33.630
8. Tempel 8 18.622 18.913 38.030 18.687 19.818 38.504
9. Turi 4 9.355 9.809 24.929 12.517 13.062 25.576
10. Pakem 5 9.520 10.003 19.523 12.716 13.195 25.912
11. Cangkringan 5 11.079 11.567 22.646 11.016 11.763 22.779
12. Ngemplak 5 - - 31.659 15.540 16.671 32.211
13. Ngaglik 6 18.035 18.504 36.539 18.617 18.596 37.413
14. Depok 3 428 4.376 25.677 23.590 23.196 46.786
15. Kalasan 4 18.575 19.709 38.384 18.775 19.930 38.705
16. Berkah 4 3.240 3.597 28.769 13.929 15.376 29.305
17. Prambanan 6 15.435 17.074 32.513 15.919 17.206 33.116
Jumlah 86 204.470 220.850 518.892 269.209 282.956 944.344
Sumber: Biro Statistik dan Kantor Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Berbagai Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta
1973, Yogyakarta: Biro Statistik dan Kantor Sensus, 1975.

114
Lampiran 8:
Tabel 1.1 : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN: (04) SLEMAN
KECAMATAN: (010) MOYUDAN
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. SUMBERRAHAYU 2 2 6204 6137 -0.11
2. SUMBERSARI 2 2 7046 6962 -0.12
3. SUMBERAGUNG 2 1 10284 10178 -0.10
4. SUMBERARUM 2 2 6910 6247 -1.00
JUMLAH 30444 29524 -0.31
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

115
Lampiran 9:
Tabel 1.2 : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (020) MINGGIR
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. SENDANGMULYO 2 2 7147 6631 -0.75
2. SENDANGARUM 2 2 3568 3346 -0.64
3. SENDANGREJO 2 2 7690 7454 -0.31
4. SENDANGSARI 2 2 4943 4547 -0.83
5. SENDANGAGUNG 2 2 7708 7147 -0.75
JUMLAH 31056 29125 -0.64
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

116
Lampiran 10:
Tabel 1.3 : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (030) SAYEGAN
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. MARGODADI 2 1 7138 7103 -0.05
2. MARGOLUWIH 2 2 7059 7371 0.43
3. MARGOMULYO 2 2 8177 8982 0.94
4. MARGOAGUNG 2 1 7740 7893 0.20
5. MARGOKATON 2 1 6410 5916 -0.80
JUMLAH 36524 37265 0.20
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

117
Lampiran 11:
Tabel 1.4 : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (040) GODEAN
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. SIDOREJO 2 2 6067 5852 -0.36
2. SIDOLUHUR 2 1 7939 8125 0.23
3. SIDOMULYO 2 1 4798 5018 0.45
4. SIDOAGUNG 1 1 5920 6683 1.22
5. SIDOKARTO 2 1 7382 7654 0.36
6. SIDOARUM 2 1 6789 9995 3.94
7. SIDOMOYO 2 1 5242 5669 0.79
JUMLAH 44137 48996 1.05
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

118
Lampiran 12:
Tabel 1.5 : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (050) GAMPING
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. BALECATUR 2 1 10498 11401 0.83
2. AMBARKETAWANG 1 1 11876 13770 1.49
3. BANYURADEN 2 1 8209 11004 2.97
4. NOGOTIRTO 1 1 8083 13280 5.09
5. TRIHANGGO 2 1 9848 10737 0.87
JUMLAH 48514 60192 2.18
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

119
Lampiran 13:
Tabel 1.6 : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (060) MLATI
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. TIRTOADI 2 2 6694 7044 0.51
2. SUMBERADI 2 2 9580 10028 0.46
3. TLOGOADI 2 2 7423 7906 0.63
4. SENDANGADI 2 1 8496 10738 2.37
5. SINDUADI 1 1 18135 28638 4.67
JUMLAH 50328 64354 2.49
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

120
Lampiran 14:
Tabel 1.7 : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (070) DEPOK
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. CATURTUNGGAL 1 1 47068 74671 4.72
2. MAGUWOHARJO 2 2 15174 21491 3.54
3. CONDONGCATUR 2 1 20419 32154 4.65
JUMLAH 82661 128316 4.50
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

121
Lampiran 15:
Tabel 1.8 : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (080) BERBAH
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. SENDANGTIRTO 2 2 8778 10199 1.51
2. TEGALTIRTO 2 2 7585 8208 0.79
3. JOGOTIRTO 2 2 7773 7692 -0.10
4. KALITIRTO 2 2 8379 8750 0.43
JUMLAH 32515 34849 0.70
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

122
Lampiran 16:
Tabel 1.9 : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (090) PRAMBANAN
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. SUMBERHARJO 2 2 10169 10704 0.51
2. WUKIRHARJO 2 2 2054 2150 0.46
3. GAYAMHARJO 2 2 3866 3908 0.11
4. SAMBIREJO 2 2 4121 4599 1.10
5. MADUREJO 2 2 9854 9780 -0.08
6. BOKOHARJO 2 1 7258 7894 0.84
JUMLAH 37322 39035 0.45
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

123
Lampiran 17:
Tabel 1.10. : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (100) KALASAN
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. PURWOMARTANI 2 2 13087 16523 2.36
2. TIRTOMARTANI 2 1 10530 11220 0.64
3. TAMANMARTANI 2 1 10686 10990 0.28
4. SELOMARTANI 2 2 9240 9185 -0.06
JUMLAH 43543 47918 0.96
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

124
Lampiran 18:
Tabel 1.13. : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (130) SLEMAN
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJU
SP SP PERTUMBUHAN
1980 1990 PENDUDUK (r)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. CATURHARJO 2 1 10780 10703 -0.07
2. TRIHARJO 1 1 11883 13446 1.24
3. TRIDADI 2 1 8256 10085 2.02
4. PANDOWOHARJO 2 2 7705 7738 0.04
5. TRIMULYO 2 2 6661 6880 0.32
JUMLAH 45285 48852 0.76
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

125
Lampiran 19:
Tabel 1.14. : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (140) TEMPEL
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. BANYUREJO 2 1 6672 6610 -0.09
2. TAMBAKREJO 2 2 4372 4057 -0.74
3. SUMBERREJO 2 2 3903 3644 -0.68
4. PONDOKREJO 2 2 4604 4877 0.58
5. MOROREJO 2 2 3988 3987 0.00
6. MARGOREJO 2 2 6440 7142 1.04
7. LUMBUNGREJO 1 1 5455 6048 1.04
8. MERDIKOREJO 2 2 4642 4955 0.65
JUMLAH 40076 41320 0.31
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

126
Lampiran 20:
Tabel 1.15. : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (150) TURI
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. BANGUNKERTO 2 2 6611 6800 0.28
2. DONOKERTO 2 1 7082 6804 -0.40
3. GIRIKERTO 2 2 6045 5937 -0.18
4. WONOKERTO 2 2 6299 6906 0.92
JUMLAH 26037 26447 0.16
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

127
Lampiran 21:
Tabel 1.16. : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (160) PAKEM
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. PURWOBINANGUN 2 2 6782 6610 -0.26
2. CANDIBINANGUN 2 2 4423 4203 -0.51
3. HARJOBINANGUN 2 2 4162 3996 -0.41
4. PAKEMBINANGUN 2 2 5168 5268 0.19
5. HARGOBINANGUN 2 2 6227 6788 0.87
JUMLAH 26762 26865 0.04
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

128
Lampiran 22:
Tabel 1.17. : RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PER TAHUN MENURUTDESA/KALURAHAN ANTARA TAHUN 1980 DAN 1990
KABUPATEN : (04) SLEMAN
KECAMATAN : (170) CANGKRINGAN
No.DESA/
KELURAHAN
DAERAH *) PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1980
PENDUDUKHASIL SENSUS
PENDUDUK 1990
LAJUPERTUMBUHANPENDUDUK (r)
SP SP
1980 1990
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. WUKIRSARI 2 2 8668 8290 -0.44
2. ARGOMULYO 2 2 6934 6338 -0.89
3. GLAGAHHARJO 2 2 3063 2972 -0.30
4. KEPUHHARJO 2 2 2295 2245 -0.22
5. UMBULHARJO 2 2 2956 3080 0.41
JUMLAH 23916 22925 -0.42
Keterangan *) :
1 = Daerah Kota 2 = Daerah Pedesaan
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, Yogyakarta:
Kantor Statistik, 1991.

129
Lampiran 23:
LUAS TANAMAN DAN PANENAN DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 1973
No.Nama
Kecamatan
Padi JagungLuas
Tanaman(ha)
Luas Panenan(ha)
TakBerhasil
TidakBerhasil
(%)
LuasTanaman
(ha)
LuasPanenan
(ha)
TakBerhasil
TidakBerhasil
(%)
1 Sleman 2.367 2.367 - - 117 117 - -
2 Mlati 2.213 2.213 - - 2 2 - -
3 Gamping 2.953 2.232 - - 40 40 - -
4 Godean 718 718 - - - - - -
5 Moyudan 4.923 4.923 - - 800 800 - -
6 Minggir 3.410 3.410 - - 61 61 - -
7 Seyegan 3.636 3.636 - - - - - -
8 Tempel 4.222 3.113 699 16,5 117 117 - -
9 Turi 3.668 3.668 - - 929 929 - -
10 Pakem 2.335 1.773 562 24,1 262 162 100 38,16
11 Cangkringan 1.891 1.390 501 26,49 1155 776 379 32,81
12 Ngemplak 2.852 2.852 - - 11 11 - -
13 Ngaglik 3.410 3.410 - - 800 800 - -
14 Depok 1.246 907 5 0,4 40 40 - -
15 Kalasan 3.864 3.844 20 0,52 63 49 14 22,22
16 Berbah 3.254 2.839 33 - 48 48 - -
17 Prambanan 3.526 3.526 - - 1.838 1.838 - -
Jumlah 50.488 46.821 1.820 3,6 6.283 5.790 498 7,84
Sumber: Biro Statistik dan Kantor Sensus Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Berbagai Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah Istimewa
Yogyakarta 1973, Yogyakarta: Biro Statistik dan Kantor Sensus, 1975.