Perubahan Filosofi Perencanaan Melalui Pendekatan Berpikir...

21
1 Perubahan Filosofi Perencanaan Melalui Pendekatan Berpikir Strategis dalam Kerangka Kerja KLHS Oleh Sri Hidayat 1, 1 Fungsional Perencana Pada Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel Email : [email protected] Hp : 085255929708 PENDAHULUAN Perencanaan pembangunan suatu wilayah kadang mengabaikan aspek lingkungan. Lebih banyak pada peningkatan nilai ekonomi dan terwujudnya implementasi nilai-nilai sosial. Memang benar aspek lingkungan biofisik juga dipertimbangkan seperti dalam penetapan zona regulation, terdapat wilayah kawasan lindung sebagai area penyangga kualitas lingkungan dan kawasan budidaya sebagai zona pengembangan berbagai kegiatan. Namun lebih hanya pada pendekatan sainstis yang sifatnya formalitas atau pelengkap secara administrasi dalam dokumen perencanaan ruang. Belum terintegrasi sebagai pertimbangan pembangunan berkelanjutan dalam pengambilan atau keputusan kebijakan, rencana dan program (KRP). Para perencana dalam praktek mengembangkan suatu wilayah akan berangkat dari pertimbangan ekonomi, selanjutnya bagaimana wilayah itu ditata dengan menempatkan berbagai rencana kegiatan pada ruang yang terbatas diikuti dengan penyediaan infrastruktur yang memadai. Pada tahap selanjutnya para perencana akan mempertimbangan kondisi sosiologi spasial dari wilayah yang direncanakan, sehingga tidak sedikit dalam perencanaanya mereka harus menyediakan ruang untuk menjaga agar interaksi sosial dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai lokal. Jika tidak, pada kesempatan tertentu mereka akan mengembangkan ruang sesuai dengan nilai-nilai sosiologi yang dianut masyarakat setempat. Menjadi pertanyaan kemudian, kapan aspek lingkungan dipertimbangan?. Sebagian memahami bahwa aspek lingkungan biofisik telah dipertimbangkan pada saat penyediaan infrastruktur atau pada saat menyediakan ruang- ruang hijau dari wilayah atau kota yang direncanakan. Perilaku merencanakan pembangunan yang mempertemukan isu-isu ekonomi, sosial dan lingkungan itu dikenal dengan suistanability development. Berpikir secara silo antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan kadang dipertemukan pada kontra produktif kepentingan. Satu sisi pertumbuhan ekonomi diharapkan, sementara disisi lain kualitas lingkungan menjadi semakin memburuk. Pada titik ini, mulailah perencana berpikir tentang daya dukung dan daya tampung wilayah yang direncanakan. Pendekatan dampak dalam AMDAL ditapak proyek kemudian dipercaya sebagai solusi. Pada prakteknya AMDAL terbatas untuk memberikan solusi pada permasalahan yang lebih luas, diluar tapak proyek. Disadari bahwa permasalahan ditapak juga terkait dengan permasalah wilayah secara umum. Pada level ini isu ekonomi, sosial dan lingkungan tidak lagi memiliki batas yang jelas sehingga semua, satu dengan yang lainnya saling terkait membentuk isu strategis kewilayahan. Akhirnya instrumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dipandang sebagai kebutuhan untuk menjawab

Transcript of Perubahan Filosofi Perencanaan Melalui Pendekatan Berpikir...

1

Perubahan Filosofi Perencanaan Melalui Pendekatan Berpikir Strategis

dalam Kerangka Kerja KLHS Oleh

Sri Hidayat1, 1 Fungsional Perencana Pada Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel

Email : [email protected]

Hp : 085255929708

PENDAHULUAN

Perencanaan pembangunan suatu wilayah

kadang mengabaikan aspek lingkungan. Lebih

banyak pada peningkatan nilai ekonomi dan

terwujudnya implementasi nilai-nilai sosial.

Memang benar aspek lingkungan biofisik juga

dipertimbangkan seperti dalam penetapan zona

regulation, terdapat wilayah kawasan lindung

sebagai area penyangga kualitas lingkungan dan

kawasan budidaya sebagai zona pengembangan

berbagai kegiatan. Namun lebih hanya pada

pendekatan sainstis yang sifatnya formalitas atau

pelengkap secara administrasi dalam dokumen

perencanaan ruang. Belum terintegrasi sebagai

pertimbangan pembangunan berkelanjutan dalam

pengambilan atau keputusan kebijakan, rencana

dan program (KRP).

Para perencana dalam praktek

mengembangkan suatu wilayah akan berangkat

dari pertimbangan ekonomi, selanjutnya

bagaimana wilayah itu ditata dengan

menempatkan berbagai rencana kegiatan pada

ruang yang terbatas diikuti dengan penyediaan

infrastruktur yang memadai. Pada tahap

selanjutnya para perencana akan

mempertimbangan kondisi sosiologi spasial dari

wilayah yang direncanakan, sehingga tidak sedikit

dalam perencanaanya mereka harus menyediakan

ruang untuk menjaga agar interaksi sosial dapat

berjalan sesuai dengan nilai-nilai lokal. Jika tidak,

pada kesempatan tertentu mereka akan

mengembangkan ruang sesuai dengan nilai-nilai

sosiologi yang dianut masyarakat setempat.

Menjadi pertanyaan kemudian, kapan aspek

lingkungan dipertimbangan?. Sebagian memahami

bahwa aspek lingkungan biofisik telah

dipertimbangkan pada saat penyediaan

infrastruktur atau pada saat menyediakan ruang-

ruang hijau dari wilayah atau kota yang

direncanakan. Perilaku merencanakan

pembangunan yang mempertemukan isu-isu

ekonomi, sosial dan lingkungan itu dikenal dengan

suistanability development.

Berpikir secara silo antara aspek ekonomi,

sosial dan lingkungan kadang dipertemukan pada

kontra produktif kepentingan. Satu sisi

pertumbuhan ekonomi diharapkan, sementara

disisi lain kualitas lingkungan menjadi semakin

memburuk. Pada titik ini, mulailah perencana

berpikir tentang daya dukung dan daya tampung

wilayah yang direncanakan. Pendekatan dampak

dalam AMDAL ditapak proyek kemudian

dipercaya sebagai solusi. Pada prakteknya

AMDAL terbatas untuk memberikan solusi pada

permasalahan yang lebih luas, diluar tapak proyek.

Disadari bahwa permasalahan ditapak juga terkait

dengan permasalah wilayah secara umum. Pada

level ini isu ekonomi, sosial dan lingkungan tidak

lagi memiliki batas yang jelas sehingga semua,

satu dengan yang lainnya saling terkait membentuk

isu strategis kewilayahan. Akhirnya instrumen

kajian lingkungan hidup strategis (KLHS)

dipandang sebagai kebutuhan untuk menjawab

2

keterbatasan AMDAL (Noble dan Nwanekezie,

2016). Evaluasi pada kebijakan, rencana, dan

program (KRP) kewilayahan tentu tidak dapat

dilaksanakan melalui praktek AMDAL di tapak

proyek, sehingga pada prakteknya KLHS

dilaksanakan sebagai AMDAL yang diperluas atau

filosofi AMDAL yang diadopsi untuk

mengevaluasi KRP. Pada implementasinya KLHS

banyak dilaksanakan melalui kajian dampak (basic

impact) KRP sebagaimana prinsip AMDAL pada

level provek. Umumnya kajian dampak yang

dilakukan hanya bersifat jangka pendek dan

menyelesaikan permasalahan secara bagian

perbagian. Sementara permasalahan yang dihadapi

saling terkait satu dengan lainnya yang berinteraksi

dan saling berpengaruh dalam satu sistem yang

dinamis dan sifat jangka panjang. Penyelesaian

masalah secara parsial-parsial dan tidak

menyentuh pada akar masalah, disadari tidak

strategis pada evaluasi KRP. Hanya dengan

menempatkan filosofi kajian dampak untuk

mengevalusi KRP dianggap belum strategis.

Banyak pengalaman praktek KLHS tidak

memberikan dampak perbaikan pengambilan

keputusan, kecuali KLHS hanya menjadi dokumen

formal. Sementara pada sisi lain KLHS diharapkan

dapat menjadi instrument yang membantu

rumusan dan pelaksanaan strategi inisiatif KRP

dan bahkan memainkan peran politik dalam

pengambilan keputusan (Partidario, 2015).

Pada akhirnya KLHS dalam konteks

pembangunan berkelanjutan diharapkan dapat

mengatasi beberapa keterbatasan pada AMDAL-

Proyek, termasuk kebutuhan untuk lebih proaktif

pertimbangkan dampak lingkungan potensial pada

awal pengambilan keputusan serta menghadapi

dampak kumulatif dan mengatur arah yang lebih

baik pada penyusunan KRP. Oleh karena itu

diperlukan pendekatan baru dari KLHS yang

dulunya bersifat tradisional (basic impact) menuju

pendekatan strategic thingking. KLHS nantinya

dapat bertujuan untuk membantu memahami

konteks pengembangan KRP dan strategi

implementasinya serta metode penilaiannya.

Selain itu juga digunakan untuk menilai pilihan

yang layak bagi keberlanjutan lingkungan untuk

mencapai tujuan akhir (Partidario, 2012).

Untuk itulah artikel akan ini menguraikan

bagaimana rekonstruksi teori menjelaskan

perubahan paradigma perencanaan saat ini yang

tidak hanya pada perubahan prosesnya namun

esensi perubahan pada filosofi berpikirnya

(tradisional-modern). Pada akhirnya praktek

perencanaan yang lebih baik dapat diwujudkan

khususnya dalam kerangka kerja KLHS.

PEMBAHASAN

1. Proses Perencanaan

Perencanaan pada hakekatnya adalah suatu

proses terus menerus (continuous) dan berulang

(cyclical) di dalam mengambil suatu keputusan

yang terbaik. Dalam rangka mencapai keputusan

yang ”terbaik” maka dia harus rasional yang

tercermin dari rangkaian aktifitas-aktifitas yang

dikelompokkan ke dalam tahapan-tahapan yang

saling terkait, sistematis dan teratur (Conyers &

Hills, 1984). Keputusan yang rasional tersebut baik

ditinjau dari sisi ”proses” ataupun ”hasil” diartikan

sebagai suatu upaya untuk mendapatkan sesuatu

yang maksimum dengan usaha (in put) tertentu.

Ditinjau dari sisi hasil rasionalitas diartikan dengan

masukan (in put) usaha yang seminimal mungkin

untuk mendapatkan keluaran (out put) semaksimal

mungkin. Adapun dari sisi proses pendekatan

rasionalitas di dalam pembuatan keputusan

dijelaskan oleh Carley dalam Conyer dan Hills

(1984) melalui serangkaian urutan tahapan

kegiatan sebagai berikut:

1. Menemukenali dan merumuskan masalah

(problem identification and definition)

2. Mengelompokkan dan mengorganisasikan

tujuan-tujuan (goals), nilai-nilai (values), dan

sasaran-sasaran (objectives) yang terkait

dengan masalah

3. Menemukenali berbagai alternatif tindakan

(alternative courses of action) untuk menjawab

3

masalah atau mewujudkan sasaran-sasaran

yang telah ditetapkan

4. Memperkirakan berbagai dampak sebagai

akibat (consequencies) dari masing-masing

alternative tindakan dan kemungkinan dari hal

itu akan terjadi

5. Membandingkan dari akibat-akibat yang akan

terjadi dari pilihan-pilihan tindakatan dalam

kaitan dengan tujuan dan sasaran yang telah

ditetapkan

6. Memilih suatu tindakan yang berakibat paling

dekat dengan tujuan dan sasaran atau yang

paling dapat menjawab masalah. Tentu saja

pilihan tersebut juga yang paling

menguntungkan: yang bisa dilihat dari sisi hasil

yang lebih baik dari keluaran biaya yang sama

atau dari sisi hasil yang sama dari pengeluaran

biaya yang paling ringan (kecil).

Dalam kaitan dengan perencanaan ruang

Burkholder, Chupp, & Star (2003) menekankan

sisi lain dari proses rasional di atas bahwa

perencanaan ruang merupakan sebuah proses

pembelajaran sosial (social learning process)

dimana warga (penduduk) dan pemangku

kepentingan lainnya belajar bersama tentang ruang

mereka, merumuskan visi bersama, dan

mengembangkan strategi-strategi untuk

mewujudkan hal itu dan menjaga keberlanjutannya

dalam waktu yang lama atau jangka panjang (long

term strategic planning). Adapun secara fisik,

produk dari kegiatan perencanaan tersebut adalah

pada akhirnya menghasilkan sebuah Dokumen

Rencana (plan) yang selanjutnya menjadi acuan

bersama dalam mendorong dan mengarahkan

investasi sosial dan ekonomi di masa yang akan

datang. Tentu saja secara umum tujuan yang

diharapkan adalah menuju pembangunan ruang

yang lebih sehat, asri, serasi, produktif,

berkelanjutan dan sebagainya.

Perkembangan perencanaan ini

menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi

semakin penting peranannya dalam perencanaan,

dimana pada era dibawah paradigma modernisasi,

aspek sosial dipandang sebagai satu kesatuan

sistem yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan

fisik. Bila pada era ini kehidupan sosial dilihat

dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang

dapat berlaku disemua lokasi (bersumber

rasionalitas yang menerapkan metode ilmiah

sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang

valid dalam perencanaan), maka pada era post-

modern, kehidupan kemasyarakatan tidak dapat

lagi dipandang sebagai sesuatu yang homogen,

dimana kehidupan masyarakat terikat pada konteks

dimana mereka melakukan interaksi sosial.

Karenanya perencana harus memahami bagaimana

interaksi sosial yang terjadi pada suatu kontek

tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal ini

perencanaan akan sulit untuk berhasil. Karena

kehidupan kemasyarakatan tidak dapat dipandang

homogen, maka pengertian publik pun tidak dapat

dianggap tunggal yang diwakili oleh perencana

(yang umumnya bekerja pada pemerintah), yang

dapat menentukan apa yang terbaik bagi

masyarakat. Makna publik tentunya harus

dipahami sebagai sesuatu yang plural, beraneka

ragam, apa yang disebutkan oleh Sandercock

(1998) sebagai multiple publik. Menyadari

keberagaman masyarakat, maka pengetahuan

bagaimana publik yang beragam tersebut

berinteraksi (interaksi sosial), memberi ruang bagi

diskusi tentang arti penting modal sosial (social

capital, sebagai produk dari interaksi sosial) dalam

perencanaan.

2. Perkembangan Prespektif Perencanaan

Berdasarkan sejarah, pengenalan teori

perencanaan berkembang pada saat terjadinya

perencanaan kota modern dalam konsep: Garden

City, City Beautiful, dan Public Health Reforms

(Allmendinger, 2001). Teori perencanaan itu

sendiri merupakan subjek studi yang sulit

difahami, Karena di dalamnya akan

menggambarkan berbagai disiplin ilmu yang

semakin dibahas akan memberi peluang

pengembangan yang semakin terbuka lebar. Ada

4

pertanyaan utama dalam teori perencanaan yaitu:

aturan apa yang dapat diterapkan dalam

perencanaan untuk mengembangkan kota atau

wilayah di antara hambatan politik, sosial, dan

ekonomi? Jawabannya bukan pada membangun

sebuah model perencanaan, tapi lebih pada

bagaimana praktek perencanaan yang berbasis

pada karakteristik masyarakat di mana

perencanaan itu akan diterima dan dilaksanakan

(Saraswati, 2006).

Selama dekade 1970 hingga 1980an, muncul

keprihatinan terhadap keterbatasan dan validitas

informasi, data serta metode kuantitaf yang sering

dihubungkan dengan positivisme sebagai

paradigma yang berlaku saat itu. Paradigma

positivisme yang menurunkan pemahaman

kebenaran ilmiah melalui proses penelitian

kuantitatif memang telah berlaku sejak abad ke-19,

sehingga metode ilmiah menjadi berkonotasi

positivis. Positivisme mengangap adanya dunia

obyektif, yang kurang lebih dapat segera

digambarkan dan diukur oleh metode ilmiah, serta

berupaya untuk memprediksikan dan menjelaskan

hubungan sebab-akibat di antara variable-variable

utamanya secara kuantitatif. Metode positivistik

ini dikritik sebagai menghilangkan konteks dari

pemaknaan dalam proses pengembangan ukuran

kuantitif terhadap fenomena faktual yang diteliti

(Lincoln dan Guba, 2000).

Oleh sebab itu, muncul pemikiran-pemikiran

baru dalam teori perencanaan yang mengarah pada

komunikatif rasionalitas yang dituangkan dalam

berbagai konsep yang salah satunya digagas oleh

Habermas dengan Communicative Rationality,

Forester melalui Communicative Planning Theory.

Healey dengan Collaborative Planning, dan

Allmendinger dengan Postmodern Planning nya

(Almendinger, 2002).

Jika dilakukan periodesasi mengenai

perjalanan teori perencanaan, maka ada dua alur

besar teori perencnaan, yaitu instrumental

rasionalitas dan komunikatif rasionalitas.

Instrumental rasionalitas merupakan konsep-

konsep pemikiran pada era Pra Modern Planning

dan Modern Planning Theory, sedangkan

komunikasi rasionalitas berada pada era Post

Modern Planning Theory. Dalam typologinya,

teori perencanaan ini berada pada filisofi Positivist

dan Postpositivist (Almendinger, 2002).

Konsep perencanaan komunikatif dan

kolaboratif yang dituangkan dalam tipologi

postmoderen tersebut, telah banyak membicarakan

tentang bagaiman melakukan kolaborasi antara

“knowledge of science” dengan “practical

reasoning” dalam suatu perencanaan yang lebih

berpihak pada kepentingan masyarakat banyak,

tidak hanya berpihak pada kelompok yang mampu

melakukan ‘lobby’ dengan pihak pengambil

keputusan saja. Perencanaan komunikatif dan

perencanaan kolaboratif merupakan kritik

terhadap Pemerintah dan Group Pelobi Bisnis

dalam kapasitas dan kompetensi pemerintah lokal,

melalui keadilan alokasi ruang, pelibatan

masyarakat dalam proses perencanaan, outcome

dalam perbaikan lingkungan hidup, keberpihakan,

dan perhatian terhadap perilaku masyarakat dalam

suatu lingkungan perumahan.

Konsep komunikatif, khususnya perencanaan

kolaboratif yang digagas oleh Haley (1987)

berawal dari pengalamannya dalam pengendalian

pembangunan ruang kota dalam bidang property

dengan konsern utama pada land-use dan land

development.

Perencanaan dengan pendekatan keruangan

(spatial plan) pada awalnya dipandang sebagai

penerapan desain fisik pada lingkungan

pemukiman (Friedman, 1987; Taylor, 1998).

Meski perubahan ke perencanaan modern dimulai

seiring dengan proses pencerahan di Eropa

(Sandercock, 1998 dan Friedman, 1987); Taylor

(1998) melihat bahwa penerapan tradisi othogonal

design ini masih tetap dominan setelah revolusi

industri sampai dengan setelah perang dunia

kedua, dimana sampai dengan tahun 60-an,

perencanaan lebih dipandang sebagai suatu

penerapan seni pada desain fisik. Perubahan besar

5

pertama terjadi di era 60-an, yang disebut Taylor

(1998) sebagai perubahan dari morphological

conception of space kepada sociological

conception of space. Mulai disadari bahwa

perencanaan tidak mungkin dilaksanakan hanya

dengan melihat aspek physical design saja,

perencanaan berkenaan dengan suatu sistem dari

aktivitas yang saling berkaitan yang meliputi social

life dan economic activities (sebagai content) dan

aspek physic (sebagai container). Perubahan besar

yang terjadi pada era 60-an bermuara pada

penerapan rasionalitas dan pendekatan sistem

dalam merencanakan kehidupan yang lebih baik

bagi masyarakat, dapat dipandang sebagai

kulminasi dari proses pencerahan. Penerapan

rasionalitas dalam perencanaan dipandang sebagai

cara terbaik dalam membangun kehidupan

masyarakat yang stabil, daripada hanya

menyerahkan pada mekanisme budaya dan

keyakinan semata. Seiring dengan perkembangan

proses pencerahan, rasionalitas yang diandalkan

pada era ini adalah berakar pada paradigma

modernisasi, yang mengedepankan objektivitas

dalam mendapatkan keilmuan dan tentunya harus

bersifat bebas nilai (value free). Karena

penggunaan pengetahuan yang objektif dan

rasional ini hanya dapat dipercayakan kepada para

ahli, maka perencanaan pada era ini lebih

menekankan pada perencanaan yang dilakukan

oleh negara sebagai aktor utama. Model

perencanaan dengan aras epistemologi

modernisasi ini, oleh Sandercock (1998)

disebutkan sebagai Heroic Model6, dimana model

perencanaan ini dibangun dengan lima pilar, yaitu:

(1) Rasionalitas; (2) Kekomprehensipan; (3)

Metode ilmiah; (4) Keyakinan pada masa depan

yang diarahkan oleh Negara; dan (5) Keyakinan

pada kemampuan perencana untuk mengetahui apa

yang terbaik buat publik.

Jelaslah disini bahwa pergeseran dari

perencanaan yang hanya bersifat desain

lingkungan pemukiman kepada perencanaan

modern, telah menempatkan aspek sosial dan

ekonomi sebagai faktor yang penting dalam

perencanaan. Cakupan perencanaan telah menjadi

luas, meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat

yang dipandang sebagai suatu sistem. Pengambilan

keputusan yang rasional dan pendekatan sistem

yang dominan pada paradigma modernisasi ini,

menyerahkan proses perencanaan kepada para

perencana, yang menerapkan metode ilmiah yang

objektif dan dipandang universal. Perencana

tersebut bertindak atas nama masyarakat dan

kehidupan sosial pun dipandang sebagai homogen.

Perencanaan dibawah paradigma modernisasi,

menggiring masyarakat pada kondisi krisis, yang

oleh Friedman dalam Sandercock (1997) bahwa

masyarakat (khususnya di Amerika) pasca

industrialisasi ditandai dengan dua krisis, yaitu

krisis nilai yang berawal dari runtuhnya

absolut/kemutlakan dibawah modernisasi dan

krisis pada proses mengetahui (a crisis of

knowing), yang direfleksikan oleh munculnya

konflik antara pengetahuan para ahli dan

pengetahuan personal yang didapat dari

pengalaman. Perbedaan antara pengetahuan dari

sisi teori yang dipergunakan oleh perencana dan

pengetahuan yang ada di masyarakat yang

bersumber dari pengalaman semakin menjauh,

karena terjadinya polarisasi menuju pada dua

kutub ini. Salah satu kelemahan RCP adalah bahwa

perencanaan disusun oleh para ahli dengan asumsi

bahwa apa yang mereka rencanakan sesuai dan

yang terbaik untuk masyarakat, akan tetapi

masyarakat sendiri tidak berfungsi sebagaimana

dipersepsikan oleh perencana (Brooks, 2002).

Adanya gap antara pengetahuan perencana dengan

masyarakat sebagai klien dari perencanaan ini,

memperkuat bukti bahwa dalam perencanaan

terdapat banyak cara, sudut pandang, nilai dan

kepentingan yang mewarnai proses perencanaan,

dan terkadang perbedaan tersebut tidak dapat

dipertemukan.

Hal ini menandai pergeseran dari penerapan

rasionalitas instrumental dari paradigma

modernisasi kepada rasionalitas komunikatif di

6

bawah paradigm post modern oleh Healey (1987)

disebut sebagai communicative turn in planning.

Perubahan paradigma modern menuju post-

modern ini berpengaruh besar terhadap pemikiran

dan praktek perencanaan, Sandercock (1998)

dengan menggunakan model perencanaan heroic,

melihat perubahan yang terjadi dalam perencanaan

meliputi: pertama, terjadi pergeseran dari

instrumental rationality ke comunicative

rationality. Kedua, perencanaan tidak lagi

dipandang secara eklusif konsen terhadap

integrative, comprehensive dan pengkoordinasian

tindakan, tetapi mengarah pada negosiasi, politis

dan perencanaan terfokus. Ketiga, perencanaan

tidak lagi didominasi oleh engginering mindset,

yang berakar pada positivist science yang penuh

dengan permodelan kuantitatif dan analisis, tetapi

mulai diakui banyak pengetahuan lainnya yang

sesuai dengan perencanaan, seperti hermeneustic,

action research, feminist dll. Keempat,

perencanaan tidak lagi sepenuhnya diarahkan oleh

negara, tetapi mulai tumbuh praktek perencanaan

yang berbasis masyarakat dimana perencana

berperan sebagai enabler dan fasilitator. Terakhir,

perencanaan tidak lagi dipandang beroperasi untuk

kepentingan publik yang dirumuskan oleh

perencana, tetapi perencanaan adalah untuk

multiple publik atau publik yang heterogen. Oleh

karenanya model-model perencanaan di era post

modern yang berkembang adalah model

perencanaan yang menekankan perlunya proses

dialog (komunikasi), partisipasi, kolaborasi dan

penciptaan konsensus. Friedman dalam

Sandercock (1998), menekankan bahwa perlunya

proses mutual learning untuk menjembatani antara

pengetahuan teoritik dari perencana dengan

pengetahuan praktis dari masyarakat melalui

model perencanaan yang ia sebut sebagai

transactive planning. Dengan menggunakan

perspektif teori tindakan komunikatif (theory of

communicative action dari Habermas), beberapa

teori menekankan pentingnya proses interaktif

melalui komunikasi, menekankan perlunya

memahami keunikan dari suatu lokasi

perencanaan, dan perlunya pendekatan yang lebih

bersifat kualitatif. Model perencanaan yang

muncul dari perspektif ini adalah seperti

Collaborative Planning dari Healey (1987),

Consensus Planning dari Innes (1995), dan

Planning as shaping attention dari Forester (1989).

Perkembangan perencanaan ini

menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi

semakin penting peranannya dalam perencanaan,

dimana pada era dibawah paradigma modernisasai,

aspek sosial dipandang sebagai satu kesatuan

sistem yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan

fisik. Bila pada era ini kehidupan sosial dilihat

dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang

dapat berlaku disemua lokasi (bersumber

rasionalitas yang menerapkan metode ilmiah

sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang

valid dalam perencanaan), maka pada era post-

modern, kehidupan kemasyarakatan tidak dapat

lagi dipandang sebagai sesuatu yang homogen,

dimana kehidupan masyarakat terikat pada konteks

dimana mereka melakukan interaksi sosial.

Karenanya perencana harus memahami bagaimana

interaksi sosial yang terjadi pada suatu kontek

tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal ini

perencanaan akan sulit untuk berhasil.

Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami

bahwa perencanaan awalnya dilakukan hanya

berdasarkan pendekatan fisik keruangan,

selanjutnya perencanaan berkembang melibatkan

pertimbangan aspek sosial dan ekonomi. Hal ini

didasarkan pada penerapan rasionalitas dan

pendekatan sistem. Era ini dikenal dengan era

modernisasi dalam perencanaan. Selanjutnya

perencanaan era post-modern, dimana penerapan

rasionalitas instrumental dari paradigma

modernisasi kepada rasionalitas komunikatif di

bawah paradigm post modern oleh Healey (1987)

disebut sebagai communicative turn in planning

diimplementasikan. Pada era ini munculah teori-

teori perencanaan yang menekankan pentingnya

proses interaktif melalui komunikasi.

7

3. Perencanaan Partisipatif

Sebagai suatu proses pembelajaran bersama

(social learning process) maka dia harus dilakukan

secara partisipatif. Pengertian partisipasi sendiri

memiliki banyak perspektif. Partisipasi

masyarakat dapat ditinjau dari dua sudut pandang

(Abers, 2000) pemberdayaan masyarakat (people

empowerment) dan dari sudut pandang instrumen

(instrumental participation). Dari sudut pandang

pemberdayaan masyarakat partisipasi dilihat

sebagai proses politik yang pada akhirnya dapat

membuka akses masyarakat dalam pengambilan

keputusan atau memperkuat posisi masyarakat

agar dapat memiliki kekuatan (borgeinig power)

yang seimbang dengan pemangku kepentingan

yang lain untuk ikut serta di dalam proses

pengambilan keputusan. Sedangkan sudut pandang

instrument pemahaman partisipasi diletakkan pada

pelibatan masyarakat sebagai pengguna akhir (end

user) untuk ikut berkontribusi dalam proses

pembangunan artinya masyarakat pengguna akhir

yang berkepentingan akan bahu membahu

menggali dan memobilisasi segala sumber daya

yang dimilikinya untuk membantu mewujudkan

tujuan pembangunan atau memecahkan

permasalahan yang sedang dihadapinya.

Dari uraian dua pandangan di atas Manaf

(2007) berpendapat bahwa salah satu ciri atau

prinsip pokok dari pendekatan partisipatif adalah

pemberian wewenang yang lebih besar kepada

masyarakat sebagai pengguna akhir (end user)

untuk mengelola sumber daya (resources)

pembangunan yang tersedia secara lebih mandiri

(autonomous). Adapun untuk mengukur partisipasi

atau pemberian wewenang kepada di dalam

mengelola sumberdaya pembangunan tersebut

banyak peneliti hingga kini masih menggunakan

tangga partisipasi yang diusulkan Arnstein (1969)

sebagai kerangka untuk melakukan analisis. Bagi

Arnstein partisipasi berkaitan dengan konsep relasi

kekuasaan antara satu aktor dengan aktor yang lain

dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam proses partisipasi tidak cukup hanya

menjelaskan mengapa keputusan itu dibuat (tanpa

melibatkan mereka dalam pembuatan keputusan

itu sendiri) apalagi hanya menginformasikan

keputusan tersebut saja kepada penerima manfaat.

Kekuasan di dalam pengambilan keputusan di

antara aktor–aktor ini harus didasari atas adanya

persetujuan atau kesepakan dari semua aktor

tersebut. Sehingga secara umum dia membagi tiga

tingkatan partisipasi: pertama, tingkatan tertinggi

dia sebut dengan tingkatan kekuasaan penuh di

tangan rakyat (degree of citizen power); kedua

tingkatan partisipasi simbolik (degree of

tokenism), dan ketiga tingkatan manipulasi

partisipasi atau tidak ada partisipasi (degree of

manipulation or non-participation).

Pada tingkatan kekuasaan penuh di tangan

rakyat (degree of citizen power) Arstein membagi

lagi ke dalam sub kategori tingkatan: Pertama,

masyarakat yang selama ini terabaikan (the have-

not) mendapatkan kedaulatan penuh dalam

penyusunan perencanaan, mengabil keputusan

atau membuat kebijakan dan mengelola program

(citizen control). Kedua, masyarakat memiliki

otoritas yang lebih besar karena mereka mayoritas

dalam sebuah komite pengambilan keputusan

utama (delegated power). Mereka memiliki

delegasi (suara) mayoritas dan mampu menjamin

akuntabilitas pelaksanaan keputusan. Ketiga

kekuasaan terdistribusi sebagai hasil negosiasi

antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan

(partnership). Tanggungjawab perencanaan dan

pembuatan keputusan dibagi secara sederajat

berdasarkan hasil negosiasi di dalam komite

bersama (community stakeholder council).

Sementara pada kategori kedua tingkatan

partisipasi simbolik (degree of tokenism) Arstein

membagi lagi ke dalam sub kategori tingkatan:

pertama tingkatan kooptasi dimana posisi

masyarakat lebih lemah di dalam pengambilan

keputusan. Hanya orang-orang yang terpandang

(tokoh masyarakat) yang bisa diajak bicara

dilibatkan di dalam komite. Disini masyarakat

8

seolah-oleh dilibatkan dalam perencanaan akan

tetapi mereka pada hakekatknya tidak punya hak

suara dalam mengambil keputusan. Sifatnya

sebagai “Stempel Karet” saja (placation). Kedua,

masyarakat mulai tidak dilibatkan dalam

pengambilan keputusan akan tetapi mereka hanya

diposisikan sebagai teman untuk diajak bicara atau

memberikan masukan. Biasaya masyarakat

dilibatkan secara fisik seperti di dalam

mengumpulkan data dan iformasi pembangunan,

mengawasi pelaksanaan dari segala kegiatan yang

telah ditetapkan oleh pihak luar. Partisipasi

masyarakat hanya sebatas mengahdiri pertemuan-

pertemuan dengar pendapat akan tetapi pertemuan

ini biasanya hanya bersifat seremonial saja

(consultation). Ketiga tingkat partisipasi yang

paling rendah. Masyarakat tidak lagi diajak

berdialog dua arah akan tetapi mereka hanya

diberikan berbagai sosialisasi dan atau informasi

dari satu arah saja (informing).

Selanjutnya pada kategori ketiga tingkatan

manipulasi partisipasi atau tidak ada partisipasi

(degree of non-participation). Tujuan pendekatan

ini adalah untuk mengobati (therapy) karena

masyarakat dianggap lemah, tidak berdaya,

sebagai sumber masalah. Pada tingkatan ini

masyarakat dianggap objek bukan subjek

pembangunan. Dan subkategori terakhir adalah

tidak hanya tergolong non partisipasi bahkan bisa

disebut penyalahgunaan makna partisipasi. Pada

tingkatan ini semua usulan perencanaan dibuat dan

ditentukan dari atas (top down). Dalam hal ini

penentu kebijakan melakukan berbagai bentuk

kegiatan dengan tujuan seolah-olah keputusan

diambil sudah melalui proses pelibatan masyarakat

secara demokratis sehingga keputusan tersebut sah

dan legitimate (manipulation).

4. Perencanaan Kolaboratif

Beberapa pendekatan perencanaan, yaitu

perencanaan transaktif (Friedman, 1973),

perencanaan kolaboratif (Healey, 1996),

perencanaan komunikatif (Sager, 1994; Innes,

1997), perencanaan deliberatif partisipatif

(Forester, 2000), dan perencanaan konsensus

(Woltjer,2000), memiliki karakteristik yang relatif

sama dalam hal menekankan pentingnya

kerjasama dengan didasari komunikasi

antarpemangku kepentingan. Proses kerjasama

tersebut akan berlangsung dengan baik jika

terdapat komunikasi dalam bentuk dialog

didalamnya. Dalam perencanaan transaktif, dialog

yang terjadi adalah life dialogue, yang dipertegas

oleh Innes dan Booher (1997) sebagai authentic

dialogue. Dalam hal ini, setiap aktor yang duduk

bersama saling menghargai, empati, terjadi

hubungan timbal balik dan saling menguntungkan.

Dengan demikian, dialog hanya akan terjadi jika

para pemangku kepentingan berpartisipasi dan

duduk bersama dalam memecahkan permasalahan.

Partisipasi sendiri hanya akan terjadi jika mereka

memiliki kepentingan dan memiliki kesempatan

untuk menyuarakan kepentingannya, dan

partisipasi tersebut hanya akan terjadi jika ada

saling ketergantungan dan kepercayaan.

Kerjasama melalui dialog dan partisipasi

diarahkan pada pembentukan konsensus (Woltjer,

2000; Innes, 1996). Proses yang memuat aktivitas

dialog, partisipasi, dan berorientasi kepada

keputusan bersama, terangkum dalam suatu proses

kolaboratif. Dengan demikian, dalam suatu

pendekatan perencanaan berbasis komunikasi,

terjadi proses kolaboratif (Gambar Perencanaan

kolaboratif (Healey, 1997; Innes, 1998).

Proses kolaboratif merupakan suatu proses

adaptive system dimana pendapat-pendapat yang

berbeda dari berbagai pihak yang akhirnya

menghasilkan suatu konsensus. Anshell dan Gash

(2008) berupaya memetakan suatu model yang

menggambarkan bagaimana proses kolaboratif

terjadi. Proses kolaboratif menurut model ini

terdiri dari berbagai tahapan yaitu dimulai dari

adanya dialog secara tatap muka (face-to-face

dialogue), membangun kepercayaan (trust

building), membangun komitmen terhadap proses

(commitment to the process), berbagi pemahaman

9

(shared understanding), dan kemudian

terbentuknya hasil sementara (intermediate

outcome). Tahapan ini merupakan suatu siklus

sehingga terjadi proses pembelajaran didalamnya.

Innes dan Booher (2010) mengembangkan model

DIAD Network Dynamic untuk memerlihatkan

bahwa proses kolaborasi menggambarkan jejaring

kolaboratif dimana terdapat keragaman, saling

ketergantungan dan dialog otentik didalamnya. Hal

ini berarti bahwa: pertama, jejaring kolaboratif

memiliki keragaman agen-agen, kedua, agen-agen

berada dalam situasi mampu untuk saling

memenuhi kepentingan masing-masing dan

menyadari adanya saling ketergantungan diantara

mereka, dan ketiga, terdapat dialog otentik

(authentic dialogue) dimana komunikasi

mengalirmelalui jejaring secara akurat dan dapat

dipercaya diantara para peserta. Dalam dialog

otentik, terdapat timbal balik (reciprocity),

hubungan (relationship), pembelajaran (learning),

kreatifitas (creativity), dan menghasilkan adaptasi

dari sistem yang ada. Hal ini berarti bahwa para

peserta (aktor) berbicara mewakili kepentingan

kelompoknya, saling menghormati, dan berbicara

dengan akurat. Tentu saja hal ini membutuhkan

kepercayaan, komitmen, dan pemahaman diantara

para aktor.

Dengan memperhatikan bagaimana proses

kolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimana

terjadi dialog otentik yang berorientasi consensus

didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proses

kolaboratif terjadi jika terdapat beberapa prasyarat

(Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1)

Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan

(Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006;

Woltjer,2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah

citizen power seperti dikekukakan dalam tangga

partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada

umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalam

masyarakat yang sudah menjalankan sistem

demokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana ada

kesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008;

Dengan memerhatikan bagaimana proses

kolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimana

terjadi dialog otentik yang berorientasi consensus

didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proses

kolaboratif terjadi jika terdapat beberapa prasyarat

(Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1)

Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan

(Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006; Woltjer,

2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen

power seperti dikekukakan dalam tangga

partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada

umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalam

masyarakat yang sudah menjalankan sistem

demokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana ada

kesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008).

Proses kolaboratif akan dapat berjalan dengan

baik dengan partisipasi aktif masyarakatnya

diwakili oleh aktor-aktor yang

memiliki kemampuan berdialog. Hal ini hanya

dapat terjadi di negara-negara maju dan sudah

demokratik. Dengan melihat prasyarat di atas,

maka proses kolaboratif tidak dapat dengan mudah

terwujud pada masyarakat yang memiliki tingkat

partisipasi masyarakat yang rendah, serta

kepemimpinan yang tidak mendukung. Kondisi

seperti ini masih mudah dijumpai pada masyarakat

tertentu, umumnya di negara-negara berkembang.

Hal ini umumnya terjadi karena berkaitan dengan

masalah budaya dan tingkat Pendidikan

masyarakatnya. Partisipasi masyarakat dalam

mengikuti proses perencanaan pembangunan

masih terdapat banyak kelemahan terutama

melalui jalur musrenbang (Akadun, 2011), dan

konsep pembangunan yang partisipatif perlu

dirumuskan dalam suatu strategi yang menyeluruh

(Djoeffan, 2002).

Inti kegiatan pada tahap ini adalah

membangun kolaborasi perencanaan, dimana antar

berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, dan

pelaku usaha/swasta) dapat saling terbuka berbagi

informasi, melakukan dialog dan konsultasi, dan

bersepakat terhadap aturan bangunan setempat dan

pokok-pokok perencanaan dan pembangunan. Para

pemangku kepentingan tersebut kemudian

10

berupaya menyusun berbagai pengaturan yang

diperlukan, dan melembagakannya melalui

organisasi masing-masing untuk mewujudkan tata

kepemerintahan yang baik (good governace).

Dasar pijakannya tetap konsisten

pada pelembagaan nilai-nilai luhur (value based

development), prinsip-prinsip kepemerintahan

yang baik (good governance), serta prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) (Manaf, 2011).

5. Konsep Strategi Dalam Perencanaan

Pendekatan strategic thingking (berpikir

strategis) dalam perencanaan menjadi pilihan saat

ini yang diyakini dapat membuka rute-rute yang

mungkin untuk mewujudkan sebuah keberlanjutan

dimasa akan datang dari pembangunan yang

dilaksanakan saat ini. Perkembangan pendekatan

strategic thingking tidak dapat dipisahkan dari

teori-teori klasik sebelumnya. Salah satu teori

klasik strategis adalah teori strategi perang

menurut Sun Tzu. Menurut Sun Tzu terdapat 5 hal

yang sangat menentukan kemenangan dalam

sebuah peperangan. Hal pertama adalah

kemampuan untuk memahami dan menilai situasi

yang ada. Hal kedua adalah memahami kapan dan

bagaimana pasukan akan diturunkan dalam sebuah

pertempuran atau peperangan. Hal ketiga ialah

betapa pentingnya memiliki bawahan yang

memiliki visi yang sama. Hal keempat adalah

memikirkan serta menyusun sebuah perencanaan

yang matang. Hal terakhir ialah mengenai

kecakapan jenderal yang dimiliki dalam sebuah

peperangan. Selain 5 hal di atas, Sun Tzu juga

mengemukakan 5 faktor penting yang menentukan

kemenangan dalam perang. Faktor pertama adalah

politik. Faktor penting selanjutnya adalah faktor

cuaca. Faktor ketiga merupakan medan yang

berarti jarak, dan mengacu pada kemudahan atau

kesulitan medan untuk dihadapi. Faktor keempat

dan kelima berturut-turut adalah doktrin dan

komandan perang. Doktrin perlu dipahami sebagai

penyelenggaraan suatu organisasi yakni tentara.

Kemudian perlu dipahami pula sebagai suatu hal

yang memadukan para perwira dan prajurit yang

berbeda pangkat, dibutuhkan kombinasi dari

kualitas, kebijakan, dan keberanian seorang

komandan (Tzu, 1998:20). Namun, secara lebih

jauh, Sun Tzu menyatakan bahwa kemenangan

yang sejati adalah sebuah kemenangan tanpa

berperang. Mengapa kemenangan terbaik adalah

kemenangan tanpa berperang? Karena peperangan

hanya akan menimbulkan kesengsaraan dan

penderitaan bagi pihak-pihak yang terlibat di

dalamnya. Oleh karena itu, Sun Tzu berasumsi

bahwa strategi diplomasi merupakan salah satu

cara yang terbaik dalam menyelesaikan sebuah

konflik (Van Cleverd, 2000). Mengapa diplomasi?

Karena melalui diplomasi, pihak-pihak yang

berkonflik dapat menghindari pertumpahan darah

dengan adanya berbagai solusi yang dapat menjadi

sebuah jalan tengah bagi semua pihak yang

berkonflik. Bagi Sun Tzu, peperangan adalah

sebuah jalan terakhir ketika berbagai negosisasi

dan diplomasi yang dilakukan menemui sebuah

jalan buntu.

Strategi bagi Sun Tzu adalah sebuah

kombinasi dari wisdom, tradisi, idealisme, filosofi

dan unsur-unsur seni di dalamnya. Menurutnya,

setiap bidang kehidupan manusia memerlukan

sebuah strategi demi tercapainya tujuan tertentu

sebab strategi merupakan seni dalam berpikir

untuk menilai, merencanakan, dan melakukan aksi

yang benar dalam mewujudkan tujuan yang

hendak dicapai. Karenanya, Sun Tzu juga

mengutarakan arti penting strategi itu sendiri :

“Not in winning every battle, but in defeating the

enemy without ever fighting. The highest form of

warfare is to attack strategy itself.” (Tzu dan

Minford, 1990). Terdapat 3 inti dari strategi yang

dipaparkan oleh Sun Tzu. Pertama, ketahuilah

musuhmu juga dirimu. Hal ini mencerminkan

betapa pentingnya sebuah informasi. Kedua,

lumpuhkan lawan tanpa perkelahian karena Sun

Tzu mengutamakan pengukuran momen yang

tepat untuk melakukan penyerangan. Ketiga, fokus

11

pada kelemahan lawan bukan pada kelebihannya

karena merencanakan serangan pada titik lemah

akan lebih efektif dibandingkan dengan

memaksakan tenaga pada kekuatan yang besar

(Tzu, 1994: 6-26). Teori strategi yang digagas oleh

Sun Tzu merupakan grand teori yang dikemudian

harinya melahirkan berbagai teori-teori tentang

strategi.

Dalam perkembangan selanjutnya terdapat 4

(empat) teori tentang strategi yang masing-masing

memiliki asumsi tersendiri untuk menjelaskan

peristiwa yang menyangkut tentang strategi.

Keempat teori tersebut adalah Classical,

Evolutionary, Processual, dan Systemic. Teori

Klasik menekankan pada perencanaan dalam suatu

strategi, Evolutionary theory menekankan pada

keterbukaan dan tetap menjaga low cost.

Processual theory beranggapan bahwa strategi

bersifat dinamis dan biasanya terlahir secara

spontan dari langkah-langkah atau tindakan yang

telah dilakukan. Sedangkan Systemic Theory lebih

melihat bahwa strategi berhubungan dengan

sosiologi dan perilaku manusia.

Teori yang pertama ialah classical theory atau

Teori Klasik yang muncul pada tahun 1960-an di

dasarkan pada tradisi militer dimana didunia

internasional merupakan suatu keadaan yang

anarkis serta menganggap bahwa keberadaan

jenderal sangat diperlukan sebagai penentu

keputusan. Karena ditentukan oleh pemikriran

jenderal maka cenderung menekankan pada

perencanaan maka tersirat adanya analisis rasional,

pemisahan konsep dari eksekusi dan komitment

pada maksimalisasi keuntungan atau profit

(Whittington, 2001 : 11). Selain bidang militer

pemikiran teori kalsik juga mengacu pada ekonomi

dimana adanya pandangan teori klasik dalam

kontrol strategi terletak pada manajer atas

sedangkan implementasi dibebankan pada manajer

operasional yang memiliki divisi khusus.

Layaknya jenderal, manajer juga menyusun

rancangan yang matang dan bersifat jangka

panjang dengan mempertimbangkan pula segala

kemungkinan yang akan terjadi, resiko yang

mungkin timbul serta rumusan pemecahan

masalah. Sehingga teori klasik menekankan pada

kemampuan manajer dalam optimalisasi strategi

untuk mendapatkan keuntungan yang besar secara

rasional. Namun manajer atas memiliki tanggung

jawab utama dalam memastikan bahwa strategi

untuk mencapai sebuah kesesuaian yang efektif

atau sejalan antara kapabilitas sumberdaya

organisasi dengan lingkungan eksternal sehingga

mampu mengeksploitasi kesempatan yang ada.

Tahun 1960-an terdapat tiga pemikir yang sangat

mempengaruhi teori ini yaitu, Alfred Chandler,

Igor Ansoff, dan Alfred Sloan. Mereka

memberikan tiga point penting dalam kesuksesan

pembuatan suatu strategi bisnis, dimulai dari

melakukan analisis rasional, memisahkan konsep

dan pelaksanaan, dan komitmen untuk

mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya.

(Whittington,2001:11). Jadi dalam teori klasik

tersirat adanya spesialisasi kerja secara rasional

untuk mencapai keuntungan.

Teori yang kedua ialah proccessual theory

yang muncul pada tahun 1970-an, berbeda dengan

teori klasik dimana teori ini menganggap strategi

lebih pada sebuah seni dan menekankan pada

negosiasi dan tawar menawar. Dengan

kompleksitas dunia maka strategi suatu proses

yang berkelanjutan dan adaptif (Mintzberg dalam

Whittington, 2001 : 23). Hal inilah yang

menjadikan teori processual mengesampingkan

analisis rasional karena membatasi fleksibilitas

strategi dan mengurangi pencapaian kesuksesan.

Pendukung dari teori ini percaya bahwa

pembelajaran sebagai alat yang efektif dalam

mengembangkan strategi dalam kehidupan yang

tergolong sulit dan berubah-ubah. Oleh karena itu

teori prosesual ini adalah proses belajar dan

beradaptasi secara tiba-tiba dengan penyesuaian

lingkungan.

Teori yang ketiga ialah systemic Theory yang

muncul pada 1980-an. Asumsi dari teori ini

berbeda dengan teori klasik, perbedaanya ialah

12

bagaimana bertahan dalam situasi yang ada

(Whittington, 2001:16). Dalam bidang bisnis teori

sistemik ini sendiri berpandangan bahwa kegiatan

ekonomi tidak dapat dipisahkan dari hubungan

sosial seperti keluarga, negara atau agama. Faktor-

faktor sosial mempengaruhi cara dan menentukan

strategi apa yang cocok untuk menghadapi

keadaan. Hal ini sinkron dengan ucapan

Henderson yakni keselamatan bisnis dalam

lingkungan yang kompetitif bergantung pada

pembedaan strategi. (Henderson dalam

Whittington, 2001 : 18). Jadi dalam kondisi yang

sama aktor harus memiliki strategi yang berbeda

oleh karena itu terciptanya kompetisi di pasar

menjadikan banyak aktor untuk bersaing hingga

pada akhirnya aktor yang kuat akan tetap bertahan

dan aktor yang lemah tersingkirkan. Selain itu

penganut teori sistemik beranggapan bahwa dalam

pendekatan sistemik, organisasi tidak hanya terdiri

dari individu tetapi kelompok-kelompok sosial

dengan kepentingan. Variabel teori sistemik adalah

bersaing dengan kelas dan profesi, bangsa dan

negara, keluarga dan gender. Teori ini menganut

pemikiran strategi yang fleksibel dalam meraih

keuntungan karena keformalan seperti teori klasik

akan membuat stagnan dalam menanggapi evolusi

dunia. Sehingga pembuatan strategi tidak harus

menunggu kehadiran manajer.

Teori yang terakhir ialah evolutionary theory

atau teori evolusi yang muncul pada tahun 1990-

an. Teori evolusi tudak bergantung kepada

keterampilan manajemen puncak dalam upaya

perencanaan strategi dan atau untuk bertindak

secara rasional. Pemikiran teori evolusi tidak

terlalu bergantung pada pemikiran manajer,

didasari suatu keyakinan bahwa pasar dengan

sendirinya akan menentukan maksimalisasi laba,

bukan akibat pemikiran manajer. Berbeda dengan

teori klasik, dalam teori evolusi suatu persaingan

tidak diatasi dengan perhitungan terpisah, akan

tetapi dengan suatu perjuangan secara terus

menerus untuk mampu bertahan hidup (survive) di

kehidupan yang sesungguhnya. Esensi dari teori

evolusi sebenarnya adalah prinsip biologis seleksi

alam sebagaimana yang digagas oleh Charles

Darwin bahwa yang tidak mampu bertahan, maka

akan tersingkir. Sedangkan kaitannya dengan

pemikiran strategis, hal ini dijelaskan sebagai

suatu kondisi yang memungkinkan pihak-pihak

dengan performa terbaik akan bertahan dan

mengalir bersama arus kemajuan, sedangkan yang

lemah akan berangsung-angsur keluar dari pasar.

Pendekatan Klasik berdasarkan pendapat

Mintzberg (dalam Whittington 2001: 15)

menyatakan bahwa strategi berasal dari proses

pemikiran yang kuat dari dalam diri. Yang mana

strategi dihasilkan dari decision making yang

kemudian dapat diimplementasikan. Perumusan

strategi harus melalui analisis rasional yang

kemudian menghasilkan rencana-rencana untuk

penentuan tujuan jangka panjang (Whittington,

2001:13). Pendekatan Proses yang mana menurut

teori proses suatu strategi itu dibuat, dan bukan

dipilih (Whittington, 2001:23). Pendekatan ini

menjelaskan bahwa strategi muncul dari

kekacauan keadaan. Selain itu, pendekatan proses

menekankan pada sikap indivu untuk menerapkan

strategi dalam organisasi sehingga strategi dapat

diterapkan dalam kehidupan setiap harinya.

Pendekatan Sistemik, pendekatan ini memiliki

perbedaan dengan tiga pendekatan yang lainnya.

Menurut Shrivastava (1986 dalam Whittington,

2001:30) hal ini dikarenakan pendekatan ini

memasukkan unsur sosiologi di dalamnya.

Pendekatan ini dibuat atas dasar pertimbangan

sosial seperti struktur masyarakat. Selain itu,

struktur masyarakat yang ada dimungkinkan

mengubah tujuan awal dari seseorang, yang

kemudian berakibat pada penyesuaian kembali

atau perubahan strategi yang telah disusun untuk

mencapai tujuan. Apabila struktur sosial telah

tertanam diperlukan strategi yang efisien secara

sosiologis struktur sosial yang telah tertanam kuat

sulit untuk diubah (Whittington, 2001:10).

Sedangkan pendekatan evolusioner memberikan

gambaran bahwa kemampuan untuk survive atau

13

tetap bertahan hidup merupakan kunci dalam

sebuah kompetisi, (Whittington, 2001:17).

Keempat teori diatas memiliki titik temu yang pada

dasarnya menyatakan bahwa strategi itu

bergantung pada kepemimpinan, pilihan yang

dibuat, jalur yang mungkin, dan adaptif terhadap

kondisi yang berubah. Hal ini telah diuraikan

dalam teori strategi menurut Partidario (2012),

yang menyatakan bahwa strategi adalah sarana

yang dikehendaki yang bertujuan untuk mencapai

tujuan jangka panjang yang di dorong oleh sebuah

visi, yang menampung jalur dalam kondisi yang

berubah.

Berdasarkan teori strategi menurut Partidario

tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi itu harus

memuat sesuatu yang akan diwujudkan pada waktu

yang berjangka panjang. Sesuatu yang akan

diwujudkan itu dinyatakan sebagai visi. Dalam

perjalanannya mewujudkan visi tersebut, strategi

harus mampu menyediakan jalur-jalur yang

mungkin untuk sebuah kondisi yang berubah. Pada

dasarnya strategi harus mampu mengarahkan

sarana yang dikehendaki sehingga tetap fokus pada

visi yang dibangun ketika menghadapi kondisi

yang berubah dalam perjalanan mewujudkan visi.

Visualisasi konsep strategi tersebut diperlihatkan

pada gambar dibawah ini :

Gambar 1. Visualisasi Konsep Strategi,

Partidario (2012)

Konsep strategi dalam teori ini sejalan

sebagaimana yang diungkapkan oleh Mintzberg

(1994), bahwa strategi tidak dimaksudkan untuk

menemukan apa yang mungkin terjadi di masa

mendatang tetapi untuk merencanakan dan

mengarahkan tindakan yang dapat membuat

rute/jalur yang mungkin untuk masa depan yang

diinginkan.

6. Determinasi Teori Sistem Pada Konsep

Strategi dalam Perencanaan.

Merujuk pada teori strategi yang telah

diungkap sebelumnya, mengarahkan pada upaya

memahami konsep berpikir dalam sistem. Teori

Kearifan, Russel Ackhoff (1989) telah menyatakan

bahwa sistem bukanlah hasil penjumlahan dari

perilaku masing-masing bagian; sistem adalah

produk interaksi dari masing-masing bagian. Teori

ini menerangkan bahwa dalam berpikir sistem

bagian-bagian tidak dapat dilihat secara terpisah,

akan menjadi berarti ketika bagian-bagian tersebut

telah berinteraksi. Kaitannya dengan konsep

strategi bahwa sarana yang dikehendaki sebagai

keputusan strategis tidak diambil dari informasi-

informasi yang terpisah, namun informasi tersebut

harus dibuat berinteraksi untuk menghasilkan

pengetahuan yang selanjunya melahirkan kearifan.

Kearifan itu menjadi keputusan yang penting

dalam konsep strategi.

Gambar 2. Teori Kearifan, Russel Ackhoff (1989)

Teori kearifan ini sejalan dengan apa yang

diungkapkan oleh Triarko Nurlambang, (2016)

14

tentang piramida dari data menuju keputusan. Data

tidak dapat langsung menjadi keputusan, namun

ada tahapan proses dari data menjadi informasi,

informasi menjadi pengetahuan, pengetahuan

menjadi kearifan, dan kearifan menjadi keputusan.

Data hanya berisikan signal-signal tentang

kenyataan, belum dapat diketahui sesuatu.

Selanjutnya data akan mengungkap hubungan

setelah menjadi informasi. Selanjutnya informasi

mula terorganisir sifatnya, terstruktur dan

bermanfaat. Informasi akan membentuk pola yang

selanjutnya melahirkan pengetahuan. Pengetahuan

sifatnya kontekstual dan dapat disintesis.

Selanjutnya pengetahuan akan mengungkap

prinsip-prinsip masa lalu, tentang apa yang

terbaik. Tentang yang terbaik itu adalah kearifan

atau hikmah berupa pemahaman terpadu yang

dapat dilaksanakan. Pada akhirnya tindakan apa

yang dipilih untuk mewujudkan masa depan itulah

keputusan. Keputusan pada dasarnya merupakan

perubahan pergerakan. Gambaran piramida dari

data menuju keputusan diperlihatkan pada gambar

3.

Dalam konsep strategi yang sebelumnya

diuraikan, dinyatakan bahwa terdapat sarana yang

dikehendaki yang bertujuan untuk mencapai

tujuan jangka panjang yang di dorong oleh sebuah

visi. Implementasi dari penetapan sarana yang

dikehendaki itulah yang dijelaskan dalam teori-

teori perencanaan. Teori perencanaan mulai

berkembang pesat setelah terjadinya revolusi

industri sebagai akibat adanya respon

industrialisasi dan urbanisasi. Degradasi

lingkungan yang terjadi membuat pakar kota

menginginkan suatu reformasi Hal ini merupakan

sebuah perubahan yang sangat besar dalam

kehidupan kota. Revolusi industri sendiri telah

menciptakan kota-kota industri baru yang

sebelumnya tidak ada yaitu terjadi perpindahan

penduduk dari daerah pertanian ke daerah industri.

Lalu kota itu sendiri menjadi kepentingan yang

sangat besar bagi buruh, karena penduduk yang

pindah dari desa ke kota tidak memiliki

pengetahuan tentang industri baru atau kebutuhan

sosial dan teknis untuk hidup di kota. Setelah itu,

mulai muncul sebuah gagasan dari Patrick Geddes

tentang analisa terperinci dari pola pemukiman dan

lingkungan ekonomi lokal yang merupakan awal

dari lebih berkembangnya sebuah teori

perencanaan. Teori perencanaan mengalami

perkembangan pada 3 dimensi reformasi yaitu

reformasi politik, sosial, dan lingkungan.

Gambar 3. Piramida Data Menjadi Keputusan,

(2016).

Pada hakikatnya, ilmu teori perencanaan

berkaitan erat dengan perencanan kota. Namun

dalam perkembangannya perencanaan tidak

dikembangkan berdasarkan teori perencanaan,

tetapi sebaliknya teori perencanaan berkembang

sebagai kelanjutan dari pengalaman mengenai

usaha manusia mengatasi keadaan lingkungan

kehidupannya. Oleh karena itu, ilmu ini sangat

diperlukan dalam merencanakan sebuah kota,

karena daam teori perencanaan membahas definisi,

pemahaman konteks, praktek-praktek, dan proses-

proses dalam perencanaan kota, dan bagaimana

pertumbuhannya dari asal-usul sejarah dan

kebudayaan masing-masing. Secara umum dari

KEPUTUSAN Perubahan Pergerakan

15

berbagai defenisi menurut teori, perencanaan

adalah serangkaian proses penentuan tindakan

masa depan yang disertai pertimbangan yang logis

dan kontinu untuk memanfaatkan sumber daya

yang ada semaksimal mungkin guna mencapai

tujuan tertentu. Berdasarkan uraian tersebut dapat

dipahami bahwa perencanaan merupakan bagian

dari implementasi konsep teori strategi. Hal ini

menegaskan bahwa konsep strategi itu berada

diatas perencanaan. Berarti memahami konsep

strategi mengharuskan untuk memahami konsep

perencanaan, namun memahami konsep

perencanaan saja tidak memadai untuk memahami

konsep strategi yang lebih luas. Konsep strategi

tidak bisa hanya dipahami sebagai upaya untuk

fokus pada persoalan tertentu, seiring tanpa

menentukan bentuk yang jelas.

Pada hakikatnya, ilmu teori perencanaan

berkaitan erat dengan perencanan kota. Namun

dalam perkembangannya perencanaan tidak

dikembangkan berdasarkan teori perencanaan,

tetapi sebaliknya teori perencanaan berkembang

sebagai kelanjutan dari pengalaman mengenai

usaha manusia mengatasi keadaan lingkungan

kehidupannya. Oleh karena

itu, ilmu ini sangat diperlukan

dalam merencanakan sebuah

kota, karena dalam teori

perencanaan membahas

definisi, pemahaman konteks,

praktek-praktek, dan proses-

proses dalam perencanaan

kota, dan bagaimana

pertumbuhannya dari asal-

usul sejarah dan kebudayaan

masing-masing. Secara umum

dari berbagai defenisi menurut

teori, perencanaan adalah

serangkaian proses penentuan

tindakan masa depan yang

disertai pertimbangan yang

logis dan kontinu untuk memanfaatkan sumber

daya yang ada semaksimal ungkin guna mencapai

tujuan tertentu. Berdasarkan uraian tersebut dapat

dipahami bahwa perencanaan merupakan bagian

dari implementasi konsep teori strategi. Hal ini

menegaskan bahwa konsep strategi itu berada

diatas perencanaan. Berarti memahami konsep

strategi mengharuskan untuk memahami konsep

perencanaan, namun memahami konsep

perencanaan saja tidak memadai untuk memahami

konsep strategi yang lebih luas. Konsep strategi

tidak bisa hanya dipahami sebagai upaya untuk

fokus pada persoalan tertentu, seiring tanpa

menentukan bentuk yang jelas.

7. Ruang Lingkup Keberlanjutan Dalam

Konsep Strategi.

Konsep strategi juga berkaitan dengan teori

keberlanjutan. Hal ini dapat dipahami karena

dalam konsep strategi terdapat upaya mengarahkan

tindakan yang dapat membuat rute/jalur yang

mungkin untuk masa depan yang diinginkan.

Menurut Gibson (2005), keberlanjutan pada

dasarnya sebuah konsep terpadu dan hasil irisan

antara kepentingan dan inisiatif ekologi, sosial dan

ekonomi.

Gambar 4. Konsep Keberlanjutan Menurut

Gibson, (2005)

16

Teori Keberlanjutan menuntut pemikiran

terintegrasi di mana semua aspek kehidupan

dipertimbangkan dalam hubungan satu

sama lain. Dimana masyarakat dibantu

untuk mengambil keputusan dan

kekuasaan atas perubahan di lingkungan

mereka ini dapat bertindak sebagai katalis

untuk membantu menciptakan koneksi

baru di dalam masyarakat, melepaskan

energi dan mengembangkan potensi, yang

dapat mengubah kondisi ekonomi serta

sosial. Pada akhirnya teori keberlanjutan

sebagai irisan kepentingan sosial, ekonomi

dan ekologi menjadi kurang dapat

dipahami bila dikaitkan dengan pendekatan

berpikir dalam sistem sebagaimana yang

telah diuraikan sebelumnya dalam teori

kearifan. Bahwa keberlanjutan itu bukan

merupakan penjumlahan dari bagian-bagian sosial,

ekonomi, dan lingkungan. Namun interaksi dari

bagian-bagian itu. Irisan bukanlah interaksi yang

sesungguhnya namun hanya upaya menghubung-

hubungkan melalui penanganan dampak jangka

pendek pada permasalahan yang dihadapi saat ini.

Belum menjadikan visi dimasa yang akan datang

sebagai fokus yang akan dicapai, kemudian

merunut kekondisi saat ini dan melangkah

perlahan-lahan dengan menetapkan jalur yang

mungkin untuk mewujudkan visi. Pada akhirnya

keberlanjutan itu harus diarahkan oleh konsep

strategi. Dimana sarana yang dipilih harus tetap

mampu mengarahkan pada rute atau jalur yang

mungkin untuk mewujudkan kondisi masa akan

datang yang diinginkan.

Keberlanjutan itu diwujudkan, mulai dengan

tujuan akhir di kepala, kemudian mundur dari titik

visi ke masa kini. Selanjutnya bergerak selangkah

demi selangkah menuju visi tadi. Konsep ini

menjelaskan bahwa betapapun kondisi berubah

selalu ada rute atau jalur kembali untuk

mewujudkan visi. Bukan hanya fokus pada upaya

mengurangi dampak atau pengaruh jangka pendek

dari pilihan sarana-sarana yang mungkin jadi telah

menyimpang dari rute atau jalur yang mungkin

untuk mewujudkan visi.

Gambar 5. Visualisasi Keberlanjutan Dalam

Kerangka Konsep Strategi

8. Perubahan Filosofi Berpikir dalam Konsep

Perencanaan.

Definisi perencanaan sebagai disiplin sangat

luas, mulai dari yang pragmatikal seperti

perencanaan adalah apa yang perencana lakukan

(Vicker dalam Alexander: 1992) sampai pada skala

yang luas. Meski bervariasi, terlihat bahwa fokus

utama dari perencanaan adalah orientasi tentang

masa depan dan cara-cara atau metode untuk

mencapainya. Walau perencanaan berorientasi ke

masa depan, perencanaan juga berorientasi pada

masa sekarang. Berorientasi pada masa depan,

berarti melakukan pemikiran tentang kondisi masa

sekarang sebagai hasil dari masa lalu, dan melihat

kemungkinan apa yang bisa dicapai pada masa

depan (Dempster, 1998). Karenanya, merencana

berarti melakukan pemikiran tentang kondisi

sekarang dan lalu melihat kemungkinan yang dapat

dicapai pada masa depan, dan menyusun rangkaian

tindakan untuk mewujudkan apa yang dipikirkan.

Kenyataan ini memberikan pemahaman bahwa

pada tataran general dan abstrak, perencanaan

adalah menyusun apa yang kita pikirkan ke dalam

17

tindakan, sebagaimana yang disimpulkan

Friedman (1987) bahwa perencanaan adalah upaya

untuk menghubungkan pengetahuan ilmiah dan

teknis kepada tindakan-tindakan di domain publik.

Dalam melihat bentuk-bentuk perencanaan

sebagai upaya mewujudkan apa yang dipikirkan

dalam tindakan nyata (to link knowledge and

action) ini, beberapa teori berfokus pada bentuk

kegiatan, seperti pengambilan keputusan

(Conyers, 1984; Faludi dalam Almendinger 2002),

sedangkan sebagian teori lainnya berfokus pada

proses (Brooks, 2001; Healey, 1987; Forester,

1989).

Dalam perkembangannya teori perencanaan

diatas hanya fokus pada perkembangan prosesnya.

Pada era post-modern teori-teori perencanaan telah

mengadopsi pendekatan berpikir dalam sistem,

sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Teori

Kearifan, Russel Ackhoff (1989). Komponen

dalam perencanaan telah diberdayakan dalam

pengambilan keputusan. Namun teori-teori

perencanaan tersebut belum mengakomodir

konsep strategi atau belum berada pada wilayah

berpikir strategis. Hal ini dikarenakan

perkembangannya hanya pada proses melalui

pelibatan multipihak dalam perencanaan.

Perencanaan masih dipandang pada bagaimana

mencari kajian dampak melalui upaya melihat ke

belakang (backwards looking), kemudian

mengkaji dampak dari nilai yang sudah ada, dan

memperbaiki situasi. Sementara esensi dari pola

pikir untuk menciptakan konteks keberlanjutan

pada perencanaan melalui upaya melihat kedepan

(forward looking), membuka peluang,

mengeksplorasi nilai baru belum diwujudkan. Oleh

karena itu perencanaan hari ini tidak hanya

dikembangkan pada prosesnya namun juga pada

filosofi berpikirnya. Berpikir strategis akan

menambah rantai nilai pada perencanaan yang

dilakukan. Berpikir strategis menuntut untuk

berpikir kreatif dan ketidakstabilan, berpikir

kompeksitas, berpikir dalam sistem. Menciptakan

konteks untuk pembangunan berkelanjutan yang

bertujuan pada pengintegrasian isu-isu sosial dan

lingkungan dalam penyusunan strategi dan

membantu perumusan jalan/jalur menuju

keberlanjutan, bukan sekedar melihat pengaruh

kebijakan, rencana dan program (Partidário, 2007).

9. Kerangka Kerja KLHS.

Kerangka kerja KLHS dengan pendekatan

strategic thingking dipercaya menjadi pilihan

untuk memfasilitasi model perencanaan yang lebih

strategis dan sistemik (Vicente dan Partidario,

2006). Dalam model berpikir strategis KLHS

dimaksudkan untuk membantu memahami konteks

pembangunan, mengindetifikasi dengan tepat,

mengetahui akar masalah, membantu menemukan

opsi yang layak untuk lingkungan dan

pembangunan berkelanjutan dalam rangka

mencapai strategi objektif. Mekanisme

dilaksanakan melalui berpikir dalam sistem, proses

pengambilan kebijakan, berbagi pengetahuan,

jaringan antara stakeholder, dialog, kerjasama

antar-sektoral dan pemerintah. Latar belakang

scientific tidak akan dikembangkan dalam proses

ini, namun prinsip-prinsip utama scientific menjadi

model dalam pendekatan ini, yaitu :

• Aksi strategis yang dihasilkan merupakan hasil

dari siklus pengambilan keputusan, sangat

terkait dengan formulasi kebijakan dan

dikembangkan dalam konteks proses

perencanaan serta pengembangan program.

• Strategis adalah karakteristik dari keyakinan

akan ketidakpastian dan model aksi sebagai

fungsi dari munculnya kejadian tak terduga

pada jalur yang dipilih.

• Kompleksitas dari sistem alam dan sosial

menuntut untuk memperhatikan kedua

prespektif sistem tersebut dan mengakui bahwa

perilaku sistem tidak bias diketahui hanya

dengan mengetahui unsur-unsur yang

membangun sistem.

18

Sebuah peristilahan baru adalah penting untuk

mengubah prespektif dari berpikir strategis dengan

berpikir dampak pada evaluasi program.

Kebanyakan istilah yang digunakan dalam

AMDAL yaitu dampak, baseline, dan mitigasi

yang kesemuanya terkait untuk proyek berpikir

pada dimensi fisik serta pendekatan deskriptif yang

biasa dalam AMDAL. Berpikir strategis

melibatkan nilai, tidak terstruktur secara fisik,

namun lebih fokus pada kolaborasi berdasarkan

dialog dan pemikiran jangka panjang. Oleh Karena

itu terminologi yang digunakan pada KLHS harus

menggambarkan perbedaan dengan AMDAL.

Adapun istilah baru yang digunakan pada KLHS

berpikir strategis adalah sebagai berikut :

Terminologi

Tradisional

AMDAL

Model Strategis

Dalam KLHS

Mengapa

digunakan

peristilahan

tersebut

Pelingkupan Faktor Penting

Pengambilan

Keputusan

Memastikan diskusi

pengambilan

keputusan fokus

pada permasalahan

tidak melebar pada

persoalan

lingkungan yang

luas.

Fase

Perencanaan

Jendela Keputusan Kunci yang penting

saat KLHS

memberikan hasil

yang lebih baik

bukan hanya

bersifat normatif.

Baseline Konteks dan

Kecenderungannya

Melakukan analisis

yang sifatnya lebih

dinamis bukan

hanya mengetahui

kondisi saat ini.

Alternatif Opsi Strategis Opsi jalur strategis

untuk memenuhi

objektifitas bukan

hanya pilihan

operasional

Dampak Peluang dan

Resiko

Penilaian yang

lebih dinamis dan

berupa pilihan yang

lebih baik dari pada

hanya

mempertimbangkan

efek dari

terbatasnya pilihan.

Mitigasi Pedoman

(perencanaan,

manajemen)

Mengasumsikan

perubahan dan

peningkatan dimasa

yang akan datang

bukan hanya

mengurangi

bahaya.

KLHS bukan hanya tentang studi teknis.

Namun KLHS juga tentang bagaimana mengatur

platform untuk dialog antar stakeholder dan proses

fasilitasi dalam pengambilan keputusan. Terdapat

setidaknya empat komponen yang berkontribusi

dalam model KLHS strategic thingking :

• Komponen Teknis. Meliputi pengetahuan para

pakar atau ahli dan studi khusus untuk

mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan

pengetahuan tentang hal-hal perioritas dan isu

strategis. Menentukan perioritas, analisis trend,

penilaian, pedoman tindak lanjut yang akan

dilaksanakan bersama, termasuk pilihan

stakeholder yang akan dilibatkan dalam tim,

sumber informasi yang tersedia, teknis dan

metode yang digunakan. Komponen teknis juga

harus menyediakan metode komunikasi yang

dipilih untuk menggerakkan berbagai

stakeholder pada saat mengambil keputusan

penting dalam proses perencanaan.

• Komponen Proses. Sangat vital dalam

membangun dialog antara KLHS dengan proses

pengambilan keputusan sebagai suatu siklus.

KLHS harus dipastikan lebih fleksibel dan

mampu beradaptasi pada banyak kasus.

Hubungan antara proses KLHS dan proses

perencanaan serta proses penyusunan program

dipastikan melalui jendela keputusan, tata

aturan pemerintahan yang diadopsi untuk

mengintegrasikan proses yang ada.

• Komponen Kelembagaan. Komponen ini

penting untuk memahami peran kelembagaan

dalam pengambilan keputusan. Hal ini terkait

dengan analisis hubungan kelembagaan dan

perubahannya, sesuai dengan kebutuhan atau

akibat dari dinamika kebijakan dan

19

meningkatkan kapasitas kebijakan yang

dihasilkan sebagai ukuran keberhasilan

pelaksanaan KLHS. Hubungan antara

kelembagaan dapat berlangsung secara formal

dan nonformal. Untuk hubungan yang sifatnya

formal diharapkan dapat meningkatkan

responsibilitas, kapasitas keputusan, tata aturan

yang digunakan dalam pengambilan keputusan,

termasuk juga kerangka hukum dan peraturan.

Analisis kelembagaan juga diperlukan untuk

mencegah terjadinya tumpang tindih tanggung

jawab, kesenjangan, dan posisi yang tidak tepat

serta memberdayakan inisiasi yang sifatnya

sukarela.

• Komponen Komunikasi dan Pelibatan

Multipihak. Komunikasi penting dilakukan

untuk mengetahui sumber informasi yang tepat,

jaringan dan pelibatan publik. Hal ini akan

memungkinkan terjadinya pertukaran

pengetahuan, berbagi prespektif, merumuskan

pendapat, dan mengintegrasikan visi dengan

membangun partisipasi dalam proses

pengambilan keputusan penting.

KESIMPULAN

Perkembangan teori perencanaan telah

mengarah dari alur instrumental rasionalitas ke

alur komunikatif rasionalitas, yaitu suatu

pemahaman bahwa perencanaan perlu melibatkan

berbagai aspek yang terlibat di dalam perencanaan,

termasuk di dalamnya adalah masyarakat sebagai

bagian penting dalam proses perencanaan. Teori

perencanaan sebagai suatu perspektif, ternyata

telah mengantarkan perlunya pelibatan masyarakat

dalam perencananaan melalui berbagai bentuk

konsep baik teoritis maupun praktek, seperti

partisipatif dan colaboratif.

Namun perkembangan teori perencanaan

tersebut hanya pada prosesnya tidak mengubah

keseluruhan pada filosofinya. Perencanaan masih

dipandang pada bagaimana mencari kajian dampak

melalui upaya melihat ke belakang (backwards

looking), kemudian mengkaji dampak dari nilai

yang sudah ada, dan memperbaiki situasi.

Sementara esensi dari pola pikir untuk

menciptakan konteks keberlanjutan pada

perencanaan melalui upaya melihat kedepan

(forward looking), membuka peluang,

mengeksplorasi nilai baru belum diwujudkan.

Berpikir strategis akan menambah rantai nilai

pada perencanaan yang dilakukan. Berpikir

strategis menuntut untuk berpikir kreatif dan

ketidakstabilan, berpikir kompleksitas, berpikir

dalam sistem. Menciptakan konteks untuk

pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada

pengintegrasian isu-isu sosial, ekonomi dan

lingkungan dalam penyusunan strategi dan

membantu perumusan jalan/jalur menuju

keberlanjutan, bukan sekedar melihat pengaruh

kebijakan, rencana dan program.

Oleh karena itu perencanaan harus melibatkan

pendekatan berpikir strategis. Pendekatan yang

tidak hanya dimaksudkan untuk menemukan apa

yang mungkin terjadi di masa mendatang tetapi

untuk merencanakan dan mengarahkan tindakan

yang dapat membuat rute/jalur yang mungkin

untuk masa depan yang diinginkan. Kerangka kerja

KLHS dengan pendekatan strategic thingking

dipercaya menjadi pilihan untuk memfasilitasi

model perencanaan yang lebih strategis dan

sistemik di era-modern.

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, J.,1996. Sharing the city: community

participation in urban management

(1sted.). London: Earthscan Publication

Ltd.

Akadun., 2011. “Revitalisasi Forum Musrenbang

sebagai Wahana Parttisipasi Masyarakat

dalam Perencanaan Pembangunan”,

MIMBAR, Jurnal Sosial dan

Pembangunan, Vol. XXVII,No.2

(Desember 2011): hal. 183-191

‘Terakreditasi’ SK Dikti No.

20

64a/DIKTI/Kep/ 2010.

http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mim

bar/article/view/327. Diunduh pada

tanggal 8 September 2013

Allmendinger, Philip, 2002, Toward Post-

Positivist Typology of Planning Theory,

SAGE Publication, 1 (1). 77-99.

Alexander, Ernest (1996), After Rationality:

Towards a Contingency Theory of

Planning, dalam Mandelbaum et.al.eds,

(1996), Explorations in Planning Theory,

Rutgers, The State University of New

Jersey, New Jersey.

Burkholder, S. H., Chupp, M., & Star, P.(2003).

Principles of spasial planning for

community development. Cleve and:

Maxine Goodman Levin College of Urban

Affairs.

Conyers, D., 1984. “Perencanaan Sosial di Dunia

Ketiga, Suatu Pengantar” (Susetiawan,

Trans.). Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Conyers, D., & Hills, P., 1984. An introductionto

development planning in the Third Wolrd.

New York: John Wiley & Sons Ltd.

Day, C., & Parnell, R., 2003. Consensus Design:

Socially inclusive process. Oxford:

Architectural Press.

Djoeffan, S., 2002. “Strategi Partisipasi

Masyarakat dalam Perencanaan

Pembangunan di Indonesia”. MIMBAR,

Jurnal Sosial dan Pembangunan, 18,

mar.http://ejournal.unisba.ac.id/index.php

/mimbar/article/view/63>. Diunduh pada

tanggal 18 Januari 2014.

Ernawi, I. S., 2010. Morphology – Transformasi

dalam Ruang Perkotaan yang

Berkelanjutan. Paper presented at the

Seminar Nasional “Morfologi –

Transformasi Dalam Ruang Perkotaan

Yang Berkelanjutan”.

Forester, John, 1989, Planning in The Face of

Power, University of California Press

California.

Friedman John, 2003, Why Do Planning Theory?,

Planning Theory vol. 2(1): 7-10, Sage

Publications, London.

Friedman, John, 1987, Planning in The Public

Domain, Princeton University Press,

Okford.

Healey, P., 2006. Collaborative Planning: Shaping

Places in Fragmented Societies. New

York: Palgrave Macmillan.

Hanzhang, Tao. 1998. “General Tao Hanzhang’s

Commentary on the Art of War, dalam Sun

Tzu, the Art of War. Hertfordshire:

Wordworth Classic of World Literature,

pp. 63-130.

Keraf, A., Sonny. “Etika Lingkungan”. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2002.

Lincoln, Y. S. & Guba, E. G., 2000. “Paradigmatic

controversies, contradictions, and

emerging confluences”. In N. K. Denzin &

Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of

qualitative research (2nd ed., pp. 163-188).

London: Sage Publications.

Partidário, M., 2012. Strategic Environmental

Assessment Better Practice Guide-

methodological guidance for strategic

thinking in SEA. Lisboa, Portugal:

Portuguese Environment Agency and

Redes Energéticas Nacionais SA.

Partidário, M.R., 2003. STRATEGIC

ENVIRONMENTAL ASSESSMENT

(SEA) current practices, future demands

and capacity-building needs. International

21

Association for Impact Assessment IAIA

Training Courses.

Partidário, M.R., 2007. Scales and associated

data—What is enough for SEA needs?.

Environmental Impact Assessment

Review, 27(5), pp.460-478.

Partidário, M.R. and Arts, J., 2005. Exploring the

concept of strategic environmental

assessment follow-up. Impact Assessment

and Project Appraisal, 23(3), pp.246-257.

Saraswati, 2006. “Kearifan Budaya Lokal Dalam

Prespektif Teori Perencanaan”, Jurnal

PWK Unisba.

Soerjodibroto, G., 2007. Upaya menuju tata ruang

yang efektiv: masalah dan tantangan.

Paper presented at the Seminar Tata Ruang

UNDIP Semarang.

Sufianti, E., dkk, 2012. “Proses Kolaboratif dalam

Perencanaan Berbasis Komunikasi Pada

Masyarakat Non Kolaboratif”. Mimbar.

Volume 29, Nomor 2, Desember 2013, hal.

133-144.

Saragih, T.M, 2011. ”Konsep Partisipasi

Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan

Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan

Kawasan”. Jurnal Sasi. Volume 17, Nomor

3, Juli-September 2011, 11-20.

Sofyan, A., 2007. Mengkritisi Perencanaan

Pembangunan, Online:

(https://khazanaharham.

wordpress.com/2007/09/04/menkritisi-

perencanaan-pembangunan), diakses 27

Juli 2017.

Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan

Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2006.

Tzu, Sun, 1998. the Art of War. Hertfordshire:

Wordworth Classic of World Literature,

pp. 10- 53

Tzu, Sun and John Minford, 2002. “the Art of

War”, New England Review, Vol. 23, No.

3, pp. 5-28.

Van Creveld, Martin. 2000. “Chinese Military

Thought”, dalam the Art of War: War and

Military Thought. New York: Harper

Collins Books, pp.22-41.

Wee, Chow-Hou. 2006. Sun Tzu Art of War.

Jakarta: BIP.

Whittington, Richard. 2001. “Theories of

Strategy”, dalam What is Strategy –and

does it matter?, London: Thompson, pp. 9-

40.