PERUBAHAN FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT SUKU JAWA DI ...digilib.unila.ac.id/60002/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of PERUBAHAN FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT SUKU JAWA DI ...digilib.unila.ac.id/60002/3/SKRIPSI TANPA BAB...
PERUBAHAN FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT SUKU JAWA DI
PERANTAUAN (Studi pada Masyarakat Suku Jawa yang Tinggal sebagai Perantau di
Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung)
(Skripsi)
Oleh
IIN DWI CAHYANI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
CHANGES IN FALSAFAH LIVING COMMUNITY LIVES IN JAVA
(Study On Java Tribe Communities Who Stay As A Monster In Rajabasa
District, Bandar Lampung)
By
IIN DWI CAHYANI
Abstract
Indonesia is a country that consists of many ethnic groups and cultures.
One of the tribes in Indonesia is the Javanese. Javanese are a tribe that always
upholds its culture and understands Javanese life that always holds politeness,
including in interacting and communicating. One that is firmly held by the
Javanese people is the philosophy of life or outlook on life. The tradition of
wandering causes them to migrate inevitably have to live in a community that is
not Javanese. Contact with other communities and cultures, both directly and
indirectly, can cause socio-cultural changes in society. This study aims to
determine and analyze changes in the philosophy of life of the Javanese people,
the causes and strategies to maintain the philosophy of life of the Javanese people.
The method used in this research is descriptive qualitative with data collection
techniques, namely observation, interviews and documentation. This research was
conducted from 11-20 May 2019 in Rajabasa District. The results showed that in
ancient times Javanese philosophies were still strongly held by the Javanese
people. However, nowadays there are not many Javanese people who use these
philosophies, do not apply them in daily life and many do not know and
understand the philosophy of this Javanese tribe, then the attitude of the Javanese
people also changed, they no longer make that philosophy as a foundation or a
way of life. This is caused by the factors of the times, the surrounding
environment and the influence of other peoples / foreign cultures. The strategy to
maintain it is to love our own tribe, not easily influenced by other cultures, and
the application of the family environment.
Keywords: Change, Javanese Philosophy, Overseas
PERUBAHAN FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT SUKU JAWA DI
PERANTAUAN
(Studi Pada Masyarakat Suku Jawa Yang Tinggal Sebagai Perantau
Di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung)
Oleh
IIN DWI CAHYANI
Abstrak
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak suku bangsa dan
budaya. Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah Suku Jawa. Suku Jawa
adalah suku yang selalu menjunjung tinggi budayanya dan memahami kehidupan
Jawa yang selalu memegang teguh kesopanan, termasuk dalam berinteraksi dan
berkomunikasi. Salah satu yang dipegang teguh oleh masyarakat Suku Jawa
adalah falsafah hidup atau pandangan hidup. Tradisi merantau menyebabkan
mereka perantau mau tidak mau harus tinggal di lingkungan masyarakat yang
bukan Suku Jawa. Kontak dengan masyarakat dan budaya lain, baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial
budaya dalam masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa, faktor penyebab
dan strategi untuk mempertahankan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan
teknik pengumpulan data yaitu dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.
Penelitian ini dilakukan dari tanggal 11-20 Mei 2019 di Kecamatan Rajabasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada zaman dahulu falsafah-falsafah Jawa
masih sangat dipegang teguh oleh masyarakat Suku Jawa, Namun, sekarang ini
tidak banyak masyarakat Suku Jawa yang memakai falsafah-falsafah tersebut,
tidak menerapkanya di dalam kehidupan sehari-hari serta banyak yang tidak
mengenal dan memahami falsafah Suku Jawa ini, kemudian sikap masyarakat
Suku Jawa nya pun berubah, mereka tidak lagi menjadikan falsafah tersebut
sebagai landasan atau pedoman hidup. Hal ini disebabkan karena adanya faktor
perkembangan zaman, lingkungan sekitar dan pengaruh kebudayaan masyarakat
lain/asing. Strategi untuk mempertahankannya yaitu dengan mencintai suku kita
sendiri, tidak mudah terpengaruh dengan kebudayaan lain, dan penerapan dari
lingkungan keluarga.
Kata Kunci : Perubahan, Falsafah Jawa, Perantauan
PERUBAHAN FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT SUKU JAWA DI
PERANTAUAN (Studi pada Masyarakat Suku Jawa yang Tinggal sebagai Perantau di
Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung)
Oleh
IIN DWI CAHYANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA SOSIOLOGI
Pada
Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Iin Dwi Cahyani. Lahir di Ogan
Lima, Kecamatan Abung Barat, Kabupaten Lampung Utara
pada tanggal 7 September 1997, sebagai anak kedua dari
empat bersaudara. Penulis merupakan anak dari pasangan
Bapak Subari dan Ibu Sumiyati. Penulis memiliki satu orang
kakak bernama Eka Febriani Putri dan dua orang adik yang bernama Tri Hartanto
dan Rini Anggraini.
Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis antara lain:
1. TK Darmawanita, Desa Sabuk Empat, Kecamatan Abung Kunang,
Kabupaten Lampung Utara pada tahun 2003.
2. SD Negeri Sabuk Empat, Kecamatan Abung Kunang, Kabupaten
Lampung Utara pada tahun 2009.
3. SMP Negeri 1 Abung Barat, Kecamatan Abung Barat, Kabupaten
Lampung Utara pada tahun 2012.
4. SMA Negeri 3 Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara pada tahun 2015.
5. Universitas Lampung, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan
Sosiologi pada tahun 2015 dan lulus pada tahun 2019.
Lebih lanjut, penulis terdaftar menjadi mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui penerimaan mahasiswa
jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Pada periode pertama bulan Januari sampai dengan Maret 2018 (selama 40 hari),
penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang bertempat di Desa
Kebon Damar, Kecamatan Mataram Baru, Kabupaten Lampung Timur.
Selama menjadi mahasiswa, penulis sempat mengikuti beberapa kegiatan dan
organisasi kampus. Penulis pernah menjadi Anggota bidang Minat dan Bakat
HMJ Sosiologi Universitas Lampung pada tahun 2015-2016, kemudian penulis
diamanahi sebagai Sekretaris bidang Pengabdian Masyarakat HMJ Sosiologi
Universitas Lampung pada tahun 2017-2018. Pada bulan Oktober penulis telah
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Falsafah Hidup Masyarakat
Suku Jawa di Perantauan (Studi pada Masyarakat Suku Jawa yang Tinggal
sebagai Perantau di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung)”.
MOTTO
“Ubah Pikiranmu dan Kau Akan Mengubah
Duniamu”
(Norman Vincent Peale)
“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu dan sesungguhnya yang
demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”
(Al-Baqarah : 45)
Hidup Sekali, Hiduplah yang Berarti
(Ahmad Fuadi)
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, segala puji hanya layak diberikan untuk-MU ya Rabb karena atas
limpahan nikmat dan karunia-MU penulis dapat mengukir tulisan dalam bentuk
yang tidak sempurna ini.
Dengan segala kerendahan hati, ku persembahkan karya kecil ku ini
sebagai tanda baktiku
kepada:
Papa dan Mama tercinta yang telah bersusah payah mendidik dan membesarkanku
sejak kecil hingga sekarang, siang dan malam tidak berhenti berdoa untuk
kesuksesanku, terimakasih atas semua pengorbanan yang telah kalian berikan
selama ini, tidak ada yang dapat ananda berikan, semoga allah senantiasa
membalas semua kebaikan Papa dan Mama tercinta.
Keluargaku, kakak dan adik-adikku tersayang, yang selalu memberikan semangat
dan dorongan serta sahabat-sahabatku yang senantiasa setia menemani dan
memotivasi untuk keberhasilanku.
Almamater tercinta, Universitas Lampung
SANWACANA
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perubahan
Falsafah Hidup Masyarakat Suku Jawa di Perantauan (Studi pada
Masyarakat Suku Jawa yang Tinggal sebagai Perantau di Kecamatan
Rajabasa, Bandar Lampung)” ini tepat pada waktunya. Dalam menyelesaikan
skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan baik dari segi moril, materil serta
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik dan lancar. Untuk itu penulis tidak lupa mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada penulis.
2. Kedua orang tua saya, Mama dan Papa tercinta yang merupakan inspirasi
terbesar penulis. Terimakasih telah membesarkanku dengan penuh cinta dan
kasih sayang hingga saya tumbuh menjadi anak yang kuat dan pantang
menyerah. Semoga Allah memberikan Mama dan Papa umur yang panjang
dalam kesehatan dan kebahagiaan agar bersama-sama kita dapat menikmati
keberhasilan saya dimasa depan.
3. Kakak dan adik-adikku Eka Febriani Putri, Tri Hartanto dan Rini Anggraini
terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini.
4. Seluruh keluarga besar yang selalu memberikan semangat dan dukungan.
5. Bapak Prof. Dr. Ir Hasriadi Mat Akin, selaku Rektor Universitas Lampung.
6. Bapak Dr. Syarief Makhya, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Lampung.
7. Bapak Drs. Ikram., M.Si, selaku ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
8. Bapak Damar Wibisono, S.Sos, M.A, selaku Pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu memberikan bimbingan, masukan serta arahan bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Bapak Drs. Suwarno, M.H, selaku pembahas skripsi, yang telah memberikan
kritik, saran serta perbaikan demi kesempurnaan skripsi ini.
10. Bapak Drs. Bintang Wirawan, M.Hum, selaku dosen Pembimbing Akademik
pertama, terimakasih atas saran dan arahannya yang diberikan selama
menjadi mahasiswa.
11. Ibu Endry Fatimaningsih, S.Sos, M.Si, selaku dosen Pembimbing Akademik
kedua, terimakasih atas saran dan arahannya yang diberikan selama menjadi
mahasiswa.
12. Seluruh dosen-dosen khususnya dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Lampung yang telah banyak memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis.
13. Staff administrasi Sosiologi Mas Rizki dan Mbak Vivi dan Staff administrasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung yang telah
membantu melayani segala administrasi.
14. Untuk yang tersayang Doni Arisandi, terimakasih atas do’a dan dukungannya
serta sudah menjadi penyemangat saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
15. Telui-teluiku, Yeni Octavia, Elyana, Fitryani dan Rini Aryad terimakasih
telah menjadi sahabat sekaligus penyemangat penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
16. Teman seperjuangan di Presidium HMJ Sosiologi, Rahmat Shandi Septiadi,
Hanif M. Robbani, Achmad Junaidi, Zuhry Adijaksana, Astia Dewi,
Gusryanto, M. Agung Rizki, Yosi Yusika serta adik-adik Sosiologi angkatan
2016, angkatan 2017, angkatan 2018 dan angkatan 2019 yang saya
banggakan.
17. Sahabat selama masa perkulihan Mar’atus Sholeha, Tiara Putri Ranita, Heri
Gunawan, Wijayanti, Dewi Irza Ramadhani, Yola Deska, Atsila Husna, Vita
Lutfia Anis, Alifia Saputri, Aviani Novita Sari, Wiwi Nur Indah Sari, Dea
Dwi Lestari, Achmad Junaidi, Rapi Hidayat, Riska Chairunisa, Ian Aditya,
Dita PuspitaSari, Nadila, Nurma, Catur serta teman-teman Sosiologi
Angkatan 2015 lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
18. Untuk saudara serumah selama 40 hari “KKN Squad” Eliatun Muntaha, Kak
Restu, Gita Julistia, bang Yudhi, Abil, dan Susanto terimakasih atas
kebersamaan kita selama ini.
19. Untuk penghuni “Kosan Cantik” terimakasih atas dukungan dan do’anya
untuk saya dan terimakasih juga sudah menjadi sahabat sekaligus saudara
selama saya tinggal di perantauan.
20. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak sekali kekurangan, kesalahan
serta jauh dari kesempurnaan. Hal itu mengingat kurangnya pengalaman penulis
baik dari segi teori maupun praktek serta keterbatasan pengetahuan penulis, untuk
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
penyusunan skripsi yang akan datang. Akhirnya dengan diselesaikannya skripsi
ini semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin
Bandar Lampung, 14 Oktober 2019
Iin Dwi Cahyani
DAFTAR ISI
Halaman
COVER ........................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ vi
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ vii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ viii
MOTTO .......................................................................................................... ix
PERSEMBAHAN ........................................................................................... x
SANWACANA ............................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvii
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
1.4 Kegunaan Penelitian............................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 8
2.1 Perubahan Sosial .................................................................................. 8
2.1.1 Definisi Perubahan Sosial Budaya ........................................... 8
2.1.2 Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial Budaya ............................... 9
2.1.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perubahan
Sosial dan Kebudayaan............................................................. 11
2.1.4 Faktor Penghambat Perubahan Sosial Budaya ......................... 12
2.1.5 Macam-Macam Proses Perubahan Sosial Budaya ................... 13
2.2 Konsep Falsafah/Filsafat ...................................................................... 14
2.3 Konsep Masyarakat Jawa ..................................................................... 15
2.3.1 Konsep Suku Jawa ................................................................... 17
2.3.2 Konsep Falsafah Jawa .............................................................. 18
2.3.3 Macam-Macam Falsafah Jawa ................................................. 21
2.3.4 Kepribadian dan Karakter Masyarakat Suku Jawa .................. 27
2.3.5 Kebiasaan Masyarakat Suku Jawa ........................................... 30
2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Falsafah Hidup ..................... 32
2.5 Strategi Mempertahankan Falsafah Hidup ........................................... 33
2.6 Konsep Merantau ................................................................................. 36
2.7 Landasan Teori ..................................................................................... 37
2.8 Kerangka Pikir ..................................................................................... 38
III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 41
3.1 Tipe Penelitian ..................................................................................... 41
3.2 Lokasi Penelitian .................................................................................. 42
3.3 Fokus Penelitian ................................................................................... 43
3.4 Penentuan Informan ............................................................................. 45
3.5 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 47
3.6 Jenis Data ............................................................................................. 48
3.7 Teknik Analisa Data ............................................................................. 49
3.8 Teknik Keabsahan Data ....................................................................... 50
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................................. 52
4.1 Gambaran Umum Kecamatan Rajabasa............................................... 52
4.2 Letak Geografis .................................................................................... 53
4.3 Demografi ............................................................................................ 54
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 57
5.1 Hasil Penelitian .................................................................................... 57
5.2 Perubahan Falsafah Hidup Masyarakat Suku Jawa di Perantauan....... 61
5.3 Faktor Penyebab Perubahan Falsafah Hidup Masyarakat
Suku Jawa di Perantauan ...................................................................... 90
5.4 Strategi Mempertahankan Falsafah Hidup Masyarakat
Suku Jawa di Perantauan ...................................................................... 101
5.5 Pembahasan .......................................................................................... 108
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 111
6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 111
6.2 Saran ..................................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa
Kota Bandar Lampung ....................................................................... 3
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung
Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin, dan Sex Ratio .......................... 4
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Kelurahan dan Jenis Kelamin
di Kecamatan Rajabasa ...................................................................... 54
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin
di Kecamatan Rajabasa ...................................................................... 55
Tabel 5. Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan
Rajabasa ............................................................................................. 56
Tabel 6. Identitas Informan .............................................................................. 61
Tabel 7. Perubahan Falsafah Hidup Masyarakat Suku Jawa
Zaman Dahulu & Saat Ini .................................................................. 88
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Pikir ..................................................................................... 40
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak suku bangsa dan budaya.
Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah Suku Jawa. Suku Jawa adalah salah
satu suku yang banyak memiliki keunikan seperti halnya suku-suku lain. Di dalam
pergaulan hidup maupun hubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa.
Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini seseorang harus memperhatikan dan
membedakan keadaan orang yang diajak berbicara seperti : usia, maupun status
sosialnya.
Suku Jawa adalah suku yang selalu menjunjung tinggi budayanya dan memahami
kehidupan Jawa yang selalu memegang teguh kesopanan, termasuk dalam
berinteraksi dan berkomunikasi. Salah satu yang dipegang teguh oleh masyarakat
Suku Jawa adalah falsafah hidup atau pandangan hidup. Pandangan hidup
merupakan hal dasar yang dimiliki seseorang. Pandangan hidup adalah sikap
terhadap kebudayaan, dunia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Pandangan hidup berkembang seiring berjalannya waktu. Masyarakat Suku Jawa
memiliki pandangan hidup dan pola pikir yang menarik, hingga tak sedikit orang-
orang manca negara tertarik dengan pola pikir dan budaya Suku Jawa. Pola pikir
akan melahirkan falsafah hidup. Falsafah hidup Suku Jawa merupakan pandangan
2
hidup Suku Jawa. Istilah pandangan hidup Suku Jawa kurang lebih sama dengan
filsafat Jawa dan paham Jawa. Jadi pola pikir Jawa juga berarti merupakan
endapan pengalaman batin yang dianut Suku Jawa. Pengalaman tersebut sangat
mendasar sehingga membentuk paham hidup. Manakala paham ini ditinggalkan
seakan-akan ada hal yang kurang lengkap dalam hidupnya (Endraswara, 2010).
Selain itu, banyak suku di Indonesia ini yang gemar merantau, hal ini dibuktikan
dengan data dari BPS Kota Bandar Lampung dalam tabel 1. Merantau merupakan
suatu pola perpindahan dari daerah asal ke daerah lain dengan keinginannya
sendiri. Merantau merupakan kesadaran diri seseorang untuk berpindah ke tempat
lain dengan harapan mencari kehidupan atau mendapatkan pengalaman baru yang
lebih baik (Naim, 2013). Bisa dikatakan merantau bertujuan untuk mengubah
nasib, di samping itu juga menjadi suatu nilai budaya. Walaupun hampir semua
suku di Indonesia merantau, tetapi ada beberapa suku yang gemar merantau, di
antaranya Suku Bugis, Batak, Minang, Sunda, Madura dan Jawa. Dari sekian
banyak suku bangsa yang ada, secara kuantitas (jumlah), Suku Jawa lebih banyak
dibandingkan suku bangsa yang lain. Orang-orang Suku Jawa menyebar di
seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Berikut adalah tabel jumlah penduduk
berdasarkan suku bangsa di Kota Bandar Lampung :
3
Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa Kota Bandar Lampung.
No Suku Bangsa Jumlah
1 Jawa 357.512
2 Suku Asal Lampung 139.236
3 Sunda 105.502
4 Suku Asal Banten 68.468
5 Suku Asal Sumatera Selatan 90.881
6 Bali 3.647
7 Minangkabau 29.544
8 Tionghoa 29.706
9 Bugis 5.286
10 Batak 20.195
11 Lainnya 28.946
Total 878.923
(Sumber: BPS Provinsi Lampung, Sensus Penduduk Tahun 2010)
Berdasarkan tabel 1 di atas, Suku Jawa berjumlah 357.512 jiwa, Suku Asal
Lampung berjumlah 139.236 jiwa, Suku Sunda berjumlah 105.502 jiwa, Suku
Asal Banten berjumlah 68.468 jiwa, Suku Asal Sumatera Selatan berjumlah
90.881 jiwa, Suku Bali berjumlah 3.647 jiwa, Suku Minangkabau berjumlah
29.544 jiwa, Suku Tionghoa berjumlah 29.706 jiwa, Suku Bugis berjumlah 5.286
jiwa, Suku Batak berjumlah 20.195 jiwa, dan suku lainnya berjumlah 28. 946
jiwa. Berdasarkan tabel 1 diatas, perantau Jawa memiliki jumlah yang paling
banyak dibanding suku lainnya.
Selain itu, di Kota Bandar Lampung juga terdapat banyak kecamatan, diantaranya
yaitu Kecamatan Teluk Betung Barat, Teluk Betung Timur, Teluk Betung Selatan,
Bumi Waras, Panjang, Tanjung Karang Timur, Kedamaian, Teluk Betung Utara,
Tanjung Karang Pusat, Rajabasa dan lainnya. Hal ini dibuktikan pada tabel 2 di
bawah, sebagai berikut :
4
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung Menurut Kecamatan, Jenis
Kelamin, dan Sex Ratio Tahun 2017.
No
Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex
Ratio
1. Teluk Betung Barat 23.743 23.753 47.496 100
2. Teluk Betung Timur 29.535 29.526 59.061 100
3. Teluk Betung Selatan 23.436 23.092 46.528 101
4. Bumi Waras 15.926 14.989 30.917 106
5. Panjang 26.231 26.266 52.497 100
6. Tanjung Karang Timur 25.373 24.462 49.835 104
7. Kedamaian 20.696 20.140 40.836 103
8. Teluk Betung Utara 30.435 29.061 59.496 105
9. Tanjung Karang Pusat 25.397 25.504 50.901 100
10. Enggal 22.185 21.207 43.212 106
11. Tanjung Karang Barat 17.760 17.458 35.218 102
12. Kemiling 39.124 37.974 77.098 103
13. Langkapura 27.563 27.008 54.571 102
14. Kedaton 30.015 28.860 58.875 104
15. Rajabasa 26.191 26.855 53.046 98
16. Tanjung Senang 33.886 34.219 68.105 99
17. Labuhan Ratu 19.202 19.303 38.505 99
18. Sukarame 28.745 28.023 56.768 103
19. Sukabumi 14.188 14.952 29.140 95
20. Way Halim 31.738 32.067 63.805 99
(Sumber :Bandar Lampung dalam Angka, 2017)
Tradisi merantau menyebabkan mereka perantau mau tidak mau harus tinggal di
lingkungan masyarakat yang bukan Suku Jawa. Kontak dengan masyarakat dan
budaya lain, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan
terjadinya perubahan sosial budaya dalam masyarakat. Selain itu, perubahan juga
terjadi pada masyarakat Suku Jawa yang tidak lagi memegang teguh falsafah
hidup Suku Jawa atau pandangan hidup Suku Jawa. Hal ini dibuktikan dengan
masyarakat Suku Jawa yang bisa berbahasa Lampung karena sudah lama tinggal
di lingkungan yang bukan bersuku Jawa, hal ini bisa mengakibatkan lunturnya
falsafah Suku Jawa di perantauan, apalagi jika masyarakatnya tidak menerapkan
lagi apa yang ada di suku tersebut seperti bahasa, falsafah hidup Suku Jawa dan
5
lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya yaitu pada zaman
dahulu falsafah Suku Jawa yang berbunyi “alon-alon waton kelakon” yang
artinya pelan-pelan asal selamat masih banyak diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun, setelah berkembangnya zaman falsafah hidup Suku Jawa
berubah bunyi menjadi “cepat asal selamat”, bukan konsepnya yang berubah
tetapi sikap, perilaku mereka dan juga implementasinya yang berubah, karena
masyarakat Suku Jawa mengganggap falsafah tersebut hanyalah peribahasa kuno
padahal falsafah tersebut penuh dengan makna dan memiliki filosofi tersendiri
serta jika falsafah tersebut selalu diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari, itu
akan menjadikan hidup kita jauh lebih bermakna, karena falsafah Jawa merupakan
landasan hidup masyarakat Suku Jawa dalam melangkah dan tidak akan sia-sia
apabila falsafah tersebut diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
masih banyak lagi falsafah hidup Suku Jawa yang mengalami perubahan,
diantaranya yaitu : Urip Iku Urup, Nrimo Ing Pandum, Memayu Hayuning
Bawana Ambrasta Dur Hangkara dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
dengan judul “ Perubahan Falsafah Hidup Masyarakat Suku Jawa di Perantauan
(Studi pada Masyarakat Jawa yang Tinggal sebagai Perantau di Kecamatan
Rajabasa, Bandar Lampung)”.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah seperti yang diuraikan di atas maka
rumusan masalah mengenai perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di
perantauan dapat di uraikan ke dalam fokus permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di
perantauan?
2. Apa faktor penyebab terjadinya perubahan falsafah hidup masyarakat
Suku Jawa di perantauan?
3. Bagaimana strategi mempertahankan falsafah hidup masyarakat Suku
Jawa di perantauan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:
1. Mengetahui dan menganalisis perubahan falsafah hidup masyarakat Suku
Jawa di perantauan.
2. Mengetahui dan menganalisis faktor penyebab terjadinya perubahan
falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di perantauan.
3. Mengetahui dan menganalisis strategi mempertahankan falsafah hidup
masyarakat Suku Jawa di perantauan.
7
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini untuk:
1. Secara akademik, diharapkan penelitian ini dapat:
a. Menambah pengetahuan dan wawasan serta khasanah berfikir bagi
penulis, untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai teori
perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di perantauan.
b. Sebagai sumbangan akademis, bahan informasi dan rujukan referensi,
bagi para peneliti lain yang akan melaksanakan penelitian ilmiah
dengan kajian mengenai perubahan falsafah hidup masyarakat Suku
Jawa di perantauan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan sebagai salah satu syarat
mendapat gelar S1 di Jurusan Sosiologi Universitas Lampung.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan Sosial
2.1.1 Definisi Perubahan Sosial Budaya
Menurut (Suwarno, dkk, 2011) perubahan budaya adalah suatu proses
terjadinya disfungsi kehidupan masyarakat karena ketidaksesuaian dan saling
berbeda antara unsur-unsur kebudayaan. Perubahan sosial dapat diartikan
sebagai perubahan-perubahan struktur dan fungsi masyarakat. Ringkasnya
adalah segala perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
(Soekanto, 2017) mengatakan bahwa pada dewasa ini proses-proses pada
perubahan-perubahan sosial dapat diketahui dari adanya ciri-ciri tertentu,
antara lain:
1. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap
masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau
cepat.
2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu, akan
diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial
lainnya.
3. Perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi
yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian
9
diri. Disorganisasi akan diikuti oleh suatu reorganisasi yang mencakup
pemantapan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang baru.
4. Perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang
spiritual saja, karena kedua bidang tersebut mempunyai kaitan timbal
balik yang sangat kuat.
2.1.2 Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial Budaya
Menurut (Soekanto, 2017) perubahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan
ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Perubahan secara Lambat (Evolusi) dan Perubahan secara Cepat
(Revolusi).
Perubahan secara lambat (evolusi) adalah perubahan yang terjadi
dalam masyarakat yang memerlukan waktu lama. Pada evolusi
perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak
tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-
keadaan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat.
Perubahan secara cepat (revolusi) adalah perubahan-perubahan sosial
dan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut
dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat (yaitu
lembaga-lembaga kemasyarakatan). Di dalam revolusi, perubahan-
perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu atau tanpa
rencana. Ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi,
10
sebenarnya bersifat relatif karena revolusi dapat memakan waktu yang
lama.
2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Perubahan yang pengaruhnya kecil yaitu perubahan-perubahan yang
terjadi pada unsur-unsur struktural sosial yang tidak membawa
pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Perubahan mode
pakaian, misalnya, tak akan membawa pengaruh apa-apa bagi
masyarakat secara keseluruhan karena tidak mengakibatkan
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Perubahan besar adalah suatu proses industrialisasi yang berlangsung
pada masyarakat agraris, misalnya, merupakan perubahan yang akan
membawa pengaruh besar pada masyarakat. Berbagai lembaga
kemasyarakatan akan ikut terpengaruh misalnya hubungan kerja,
sistem milik tanah, hubungan kekeluargaan, stratifikasi masyarakat,
dn seterusnya.
3. Perubahan yang Dikehendaki (Intended-Change) atau Perubahan yang
Direncanakan (Planned-Change) dan Perubahan yang Tidak
Dikehendaki (Unintended-Change) atau Perubahan yang Tidak
Direncanakan (Unplanned-Change).
Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan
yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh
pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam
11
masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan
agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang
mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan
merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki,
berlangsung diluar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat
menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan
masyarakat. Apabila perubahan yang tidak dikehendaki tersebut
berlangsung bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki,
maka perubahan tersebut mungkin mempunyai pengaruh yang
demikian besarnya terhadap perubahan-perubahan yang dikehendaki.
Seringkali terjadi bahwa perubahan yang dikehendaki bekerja sama
dengan perubahan yang tidak dikehendaki dan kedua proses tersebut
saling mempengaruhi.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perubahan Sosial dan
Kebudayaan
Menurut (Soekanto, 2017) pada umumnya dapat dikatakan bahwa
mungkin ada sumber sebab-sebab tersebut yang terletak di dalam
masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya di luar. Sebab-sebab yang
bersumber dalam masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut:
1. Bertambah atau berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian,
migrasi)
2. Adanya penemuan baru:
12
a. Discovery: Penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik
berupa alat, ataupun yang berupa gagasan yang diciptakan oleh
seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu.
b. Invention: penyempurnaan penemuan baru
Inovation/inovasi yaitu pembaruan atau penemuan baru yang
diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah,
melengkapi atau mengganti yang ada. Penemuan baru
didorong oleh kesadaran masyarakat akan kekurangan unsur
dalam kehidupannya.
c. Pertentangan (Conflict) masyarakat
d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi
Sedangkan faktor penyebab yang berasal dari luar masyarakat (faktor
ekstern) menurut (Soekanto, 2017) antara lain adalah:
1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar
manusia.
2. Peperangan.
3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, meliputi difusi (penyebaran
kebudayaan), akulturasi (pembauran antar budaya yang mengahasilkan
sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan
budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi).
2.1.4 Faktor Penghambat Perubahan Sosial Budaya
Menurut (Suwarno, dkk : 2011) faktor penghambat perubahan sosial budaya
adalah:
13
1. Hubungan dengan masyarakat lain kurang.
2. Pendidikan terbelakang.
3. Bersikap tradisional, mempertahankan tradisi, penguasa konservatif.
4. Adanya kepentingan sekelompok orang (vested interest). Kelompok
yang tidak menghendaki perubahan, takut posisinya terancam, takut
hidup susah.
5. Takut terjadi disintegrasi.
6. Adanya prasangka buruk terhadap budaya luar.
7. Adanya hambatan ideologi.
2.1.5 Macam-Macam Proses Perubahan Sosial Budaya
Menurut (Suwarno, dkk : 2011) proses perubahan sosial budaya pada dasarnya
dapat dibedakan dalam beberapa macam antara lain:
1. Akulturasi: proses pertemuan unsur-unsur budaya dan terjadi
pencampuran unsur-unsur tersebut.
2. Asimilasi: peleburan sifat-sifat asli budaya yang berbeda masing-
masing masyarakat.
3. Difusi: proses penyebaran unsur-unsur budaya kepada orang dan
kelompok masyarakat lain.
4. Discovery: penemuan baru berupa alat atau ide baru.
5. Invention: discovery yang sudah diterima dan diterapkan.
6. Inovasi: penemuan baru.
7. Modernisasi: proses perubahan tradisi, sikap dan sistem nilai untuk
menyesuaikan diri dengan kemajuan bangsa lain.
14
2.2 Konsep Falsafah / Filsafat
Menurut (Sadulloh, 2006) secara umum, filsafat berarti pandangan umum tentang
kehidupan manusia, cita-cita, dan nilai-nilai, dalam arti setiap orang memiliki
filosofi hidup”. Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup
(Weltanscahuung). Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat
mendalam sampai ke akar-akarnya. Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa
filsafat sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan yang tidak
memiliki kegunaan praktis. Ada pula yang beranggapan bahwa para filsuf
bertanggung jawab terhadap cita-cita dan kultur masyarakat tertentu. Seperti
halnya Karl Marx dan Fredrich Engels yang telah menciptakan komunisme.
Thomas Jefferson dan John Stuart Mill telah mengembangkan suatu teori yang
dianut dalam masyarakat demokratis. John Dewey adalah peletak dasar kehidupan
pragmatis di Amerika.
Filsafat sering juga dapat diartikan sebagai “berpikir reflektif dan kritis”
(reflective and critical thinking). Namun, Randall dan Buchler sebagaimana
dikutip oleh (Sadulloh, 2006) memberikan kritik terhadap pengertian tersebut,
dengan mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak memuaskan, karena
beberapa alasan, yaitu: 1) tidak menunjukkan karakteristik yang berbeda antara
berpikir filsafati dengan fungsi-fungsi kebudayaan dan sejarah, 2) para ilmuwan
juga berpikir reflektif dan kritis, padahal antara sains dan filsafat berbeda, 3) ahli
hukum, ahli ekonomi juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu berpikir reflektif dan
kritis, padahal mereka bukan filsuf atau ilmuwan.
15
2.3 Konsep Masyarakat Jawa
Perkataan masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-
sama, kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama,
hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya
mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat (Indonesia). Dalam bahasa Inggris
kata masyarakat diterjemahkan menjadi dua pengertian, yaitu Society dan
Community. Dengan kata lain perkataan masyarakat sebagai community cukup
memperhitungkan dua variasi dari suatu yang berhubungan dengan kehidupan
bersama (antarmanusia) dan lingkungan alam. Jadi ciri dari community ditekankan
pada kehidupan bersama dengan bersandar pada lokalitas dan derajat hubungan
sosial atau sentimen (Abdulsyani, 2012).
Menurut (Abdulsyani, 2012) bahwa masyarakat sebagai community dapat dilihat
dari dua sudut pandang; pertama, memandang community sebagai unsur statis,
artinya community terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan batas-batas
tertentu, maka ia menunjukan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga
ia dapat pula disebut sebagai masyarakat setempat, misalnya kampung, dusun,
atau kota-kota kecil. Masyarakat setempat adalah suatu wadah dan wilayah dari
kehidupan sekelompok orang yang ditandai oleh adanya hubungan sosial. Di
samping itu dilengkapi pula oleh adanya perasaan sosial, nilai-nilai dan norma-
norma yang timbul atas akibat dari adanya pergaulan hidup atau hidup bersama
manusia. Kedua, community dipandang sebagai unsur yang dinamis, artinya
menyangkut suatu prosesnya yang terbentuk melalui faktor psikologis dan
hubungan antar manusia, maka di dalamnya terkandung unsur-unsur kepentingan,
keinginan atau tujuan-tujuan yang sifatnya fungsional.
16
Istilah community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat” yang
menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku, atau bangsa. Apabila anggota-
anggota sesuatu kelompok, baik kelompok itu besar maupun kecil, hidup bersama
sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi
kepentingan-kepentingan hidup yang utama, kelompok tadi disebut masyarakat
setempat. Dapat dikatakan bahwa masyarakat setempat menunjuk pada bagian
masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam artian geografis)
dengan batas batas tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasar adalah
interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya, dibandingkan dengan
penduduk di luar batas wilayahnya. Dapat disimpulkan secara singkat bahwa
masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh
suatu derajat hubungan sosial tertentu (Soekanto dan Sulistyowati, 2015). Harus
ada suatu perasaan diantara anggota bahwa mereka saling memerlukan dan tanah
yang mereka tinggali memberikan kehidupan kepada semuanya. Perasaan
demikian, yang pada hakikatnya merupakan identifikasi dengan tempat tinggal,
dinamakan perasaan komuniti (community sentiment). Unsur-unsur perasaan
komuniti (community sentiment) antara lain sebagai berikut: seperasaan,
sepenanggungan, saling memerlukan.
Menurut (Soekanto dan Sulistyowati, 2015) dalam mengadakan klasifikasi
masyarakat setempat, dapat digunakan empat kriteria yang saling berpautan, yaitu:
a. Jumlah penduduk.
b. Luas, kekayaan dan kepadatan penduduk daerah pedalaman.
c. Fungsi-fungsi khusus masyarakat setempat terhadap seluruh masyarakat.
d. Organisasi masyarakat setempat yang bersangkutan.
17
2.3.1 Konsep Suku Jawa
Menurut (Bratawidjaja, 2000), Suku Jawa merupakan suku bangsa yang sopan
dan halus. Tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan
tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak Suku Jawa yang
ingin menjaga harmoni atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah
mereka cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan
pendapat. Masyarakat Suku Jawa juga mempunyai kecenderungan untuk
membeda-bedakan masyarakat berdasarkan asal-usul dan kasta/golongan
sosial. Sifat seperti ini merupakan ajaran budaya Hindu dan Jawa Kuno yang
sudah diyakini secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa, setelah masuknya
Islam pada akhirnya ada perubahan dalam pandangan tersebut.
Suku Jawa adalah suku yang penuh perhitungan. Mereka mengenal “sifat-
sifat” bulan Jawa dengan baik. Dengan demikian jika akan melaksanakan
aktifitas akan diperhitungkan dengan teliti dan cermat dengan memilih jam,
tanggal dan bulan yang dianggap paling tepat. Keliru dalam pemilihan hal
tersebut dianggap dapat membawa ketidakberuntungan misalnya rejekinya
kurang bagus, rumah tangganya cekcok dan lain-lain. Masyarakat Jawa, tidak
hanya terdapat di Pulau Jawa namun tersebar dan mendiami beberapa pulau di
Indonesia ini termasuk Propinsi Lampung karena program Pemerintah
Indonesia mengenai Transmigrasi. Propinsi Lampung terutama merupakan
salah satu contoh kota transmigran yang sukses hingga kini. Pada 1935, selain
mendatangkan penduduk dari Jawa, Belanda juga memindahkan sejumlah
masyarakat dari desa kolonisasi pertama, yaitu di Desa Bagelen, Gedong
Tataan, Lampung Selatan ke Metro. Metro menjadi contoh tepat konsep
18
pengembangan wilayah, dari pola transmigrasi ke pola perkotaan dan menjadi
contoh bagi akulturasi budaya, antara budaya Lampung dan Jawa yang sampai
sekarang terus berkembang di masyarakat. Dasar hakiki kebudayaan Jawa
mengandung banyak unsur, termasuk adab pada umumnya, adat-istiadat,
sopan santun, kaidah pergaulan kesenian, keindahan termasuk unsur
kebudayaan pada umumnya (Endraswara, 2005).
2.3.2 Konsep Falsafah Jawa
Istilah tentang pandangan hidup masyarakat Jawa mempergunakan pengertian
yang fleksibel sehingga istilah ini dapat diganti dengan istilah lain yang
mempunyai arti kurang lebih sama, seperti “Filsafat Jawa” atau “Filsafah
Kejawen”. Kata filsafat berasal dari sebuah kata majemuk dalam bahasa
Yunani, philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan sedang orang yang
melakukaannya disebut filsuf yang berasal dari kata Yunani philosopos.
Kedua kata itu sudah lama dipakai orang dari sejarah telah terungkap bahwa
kata-kata itu sudah dipakai oleh filsuf Socrates dan Plato pada abad V sebelum
masehi. Seorang filsuf berarti seorang pecinta kebijaksanaan berarti orang
tersebut telah mencapai status adimanusiawi atau bijaksana. Orang yang
bijaksana disebut juga sebagai jalma sulaksana, waskita ngerti sakdurunge
winarah atau jamalipat seprapat tamat. Bila di barat filsafat diartikan cinta
kearifan maka di Jawa berarti cinta kesempurnaan atau ngudi kawicaksanaan.
Di barat lebih ditekankan sebagai hasil renungan dan berarti pengetahuan
berbagai bidang yang dapat memberi petunjuk pelaksanaan sehari-hari. Di
dalam kebudayaan Jawa kesempurnaan berarti mengerti akan awal dan akhir
hidup atau wikan sangkan paran (Astiyanto, 2006).
19
Filsafat Jawa terbentuk karena perkembangan budaya Jawa asli (animisme-
dinamisme) sebagai akibat dari pengaruh Hindu, Budha dan Islam. Orang-
orang India datang ke Indonesia membawa agama Hindu dan Budha serta
orang muslim juga menyebarkan agama Islam serta alam pikir Islam (Filsafat
Islam). Akhirnya kebudayaan Jawa asli filsafat Hindu Budha serta filsafat
Islam melebur menjadi suatu alam pikiran yaitu filsafat Jawa (Pranowo,
2011).
Dalam ajaran-ajarannya filsafat Jawa mengenal konsep-konsep umum yakni:
pertama, konsep kesatuan yaitu manusia dan jagad raya merupakan percikan
zat illahi. Suku Jawa biasa menyebut Tuhan dengan Gusti Allah. Dalam
kebatinan Jawa dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. Konsep
ini tersirat dalam huruf-huruf Jawa atau bisa disebut aksara Jawa yang ditulis
oleh Ajisaka. Aksara Jawa sebenarnya memiliki makna yang mendalam bagi
mereka yang menghayatinya. Kedua, konsep tentang manusia. Manusia
terdiri atas dua segi yaitu lahiriah dan batiniah. Ketiga, konsep mengenai
perkembangan yaitu usaha untuk memulihkan kesatuan yang harmonis dan
selaras (Endraswara, 2010).
Dengan keanekaragamnya, banyak sekali filsafat Jawa yang telah ada, salah
satu contoh falsafah Jawa antara lain ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo
dumeh. Maksudnya, jangan terlalu terheran-heran terhadap sesuatu yang baru,
tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan, dan tidak
boleh sombong dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.
20
Intinya, falsafah ini mengajarkan menjaga sikap dan emosi bagi semua orang
terutama seorang pemimpin (Syukur, 2013).
Falsafah sebagai seorang anak buah pun ada dalam ajaran Jawa, hal ini
terbentuk agar seorang bawahan dapat tepo sliro dengan pimpinan dan tidak
mengandalkan ego, seperti yang digambarkan dalam falsafah Jawa, keno
cepet ning aja ndhisiki, keno pinter ning aja ngguroni, keno takon ning aja
ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tetapi jangan mendahului, boleh pintar
tetapi jangan menggurui, boleh bertanya tetapi jangan menyudutkan
pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan melakukan sesuatu yang dapat
mempermalukan pemimpinnya, walaupun dia mungkin lebih mampu dari
sang pemimpin. Dalam ungkapan “crah agawe bubrah – rukun agawe
santoso”, menghendaki keserasian dan keselarasan dengan pola pikir hidup
saling menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan halus yang
mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-
hari misalnya :
1. ”Ojo dumeh”, merasa dirinya lebih.
2. ”Mulat sariro, hangrasa wani”, mawas diri, intropeksi diri.
3. “Mikul duwur, mendem jero”, menghargai dan menghormati serta
menyimpan rahasia orang lain.
4. ”Ajining diri saka obahe lathi”, harga diri tergantung ucapannya.
5. “Mulat sariro” suatu sikap bijaksana untuk selalu berusaha tidak
menyakiti perasan orang lain, serta “aja dumeh” adalah peringatan
kepada kita bahwa jangan takabur dan jangan sombong, tidak
mementingkan diri sendiri. Meskipun cakupan falsafah Jawa atau
21
Kejawen sedemikian luas meliputi seluruh aspek kehidupan, ada
beberapa pokok pandangan Jawa yang bisa dijadikan wacana dialog
peradaban dan budaya. Pandangan atau konsep dasar falsafah Jawa
meliputi adanya Tuhan, jagat raya, asal-usul manusia, mitologi jawa,
tata peradaban dan laku budaya, tata penanggalan dan basa atau
carakan Jawa (Yana, 2012).
2.3.3 Macam-Macam Falsafah Jawa
Menurut (Syafii, 2011) Filsafat Jawa pada dasarnya bersifat universal. Jadi
filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi
juga bagi siapapun yang ingin mempelajarinya. Beberapa filsafat Jawa yang
biasa : Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso Ketika kita memperoleh
suatu pengetahuan, ilmu, atau pengalaman terkadang muncul sifat sombong
dari diri kita. Bahwa kita dapat menyelesaikan suatu masalah dengan ilmu
atau pengalaman yang kita peroleh. Padahal banyak faktor yang menentukan
penyelesaian suatu masalah dan bukan hanya dari sudut pandang yang kita
pahami. Di sini orang lantas merasa bisa, sifat ego manusia yang muncul tanpa
menghiraukan pendapat orang lain.
Dalam filosofi Jawa, sifat ini yang dinamakan Rumongso Biso (merasa bisa).
Ajaran masyarakat Jawa menekankan untuk dapat melakukan koreksi ke
dalam, sehingga tidak terdorong untuk menghujat atau merendahkan orang
lain. Cobalah untuk memahami pendapat yang lain, walau hal itu mungkin
sangat bertentangan dengan yang kita yakini. Dengan Biso Rumongso (bisa
merasa) atau melatih empati kita untuk memahami orang lain akan mendorong
22
untuk berkompromi mencapai suatu keseimbangan. Hal ini akan membuat
semua perselisihan atau konflik yang ada di dunia ini dapat teratasi. Janganlah
menjadi orang yang merasa bisa, melainkan yang bisa merasa (Syafii, 2011).
Ada banyak filosofi yang digali dalam budaya Jawa. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Eling Sangkan Paraning Dumadhi. Dalam pergaulan masyarakat Jawa
terutama kalangan generasi tua, ungkapan yang arif ini sangat terkenal.
Secara bebas diartikan sebagai ingat akan asal dan tujuan hidup.
Ungkapan ini mengandung nasihat agar seseorang selalu waspada dan
eling (ingat, sadar) terhadap sangkan (asal) manusia dan paran (tujuan
akhir). Dengan sadar dan waspada dalam perjalanan hidupnya, ia akan
mampu meredam emosi, nafsu, ikatan-ikatan duniawi dan berupaya
untuk bertindak lebih baik, karena ia memiliki tujuan akhir yang jelas,
yaitu sowan ngarsaning Gusti (menghadap ke hadirat Tuhan).
Ungkapan Eling Sangkan Paraning Dumadhi dijadikan sebagai
pengendali sewaktu seseorang melakukan perbuatan negatif. Selain itu
dapat juga dimanfaatkan untuk meluruskan dan membesarkan hati
ketika terkena beban hidup, sakit, kekecewaan, patah hati,
ketidakbahagiaan. Upaya pelurusan ini untuk penyadaran akan
sangkan (asal) dan paran (tujuan) hidupnya.
2. Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi
manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang
bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat
23
yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang
meresahkan masyarakat).
3. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup
di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan
kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan
tamak).
4. Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti (segala sifat keras
hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak,
lembut hati dan sabar).
5. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji,
Sugih Tanpa Bandha (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang
tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa
mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya
tanpa didasari kebendaan).
6. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan
gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih
manakala kehilangan sesuatu).
7. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman (Jangan mudah
terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut;
Jangan mudah kolokan atau manja). Filosofi ini mengajarkan kita
untuk menjadi orang yang dapat menerima semua keadaan. Sehingga
kita tidak akan membuat masalah buat diri kita dan diri orang lain.
24
8. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk
memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
9. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka (Jangan
merasa paling pandai agar tidak salah arah; jangan suka berbuat curang
agar tidak celaka). Jadi ingat koruptor sama orang yang mencuri.
Mereka paling pintar dan salah arah, mereka juga mencurangi banyak
orang, makanya jadi celaka.
10. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo (Jangan
tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan
berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).
11. Aja Adigang, Adigung, Adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, sok
sakti).
12. Alon-alon waton kelakon artinya pelan-pelan asal selamat. Filosofi ini
sebenarnya berisikan pesan tentang safety. Filosofi ini memiliki makna
yang mendalam. Disini kita diajak untuk selalu berhati-hati, ulet,
waspada, istiqomah, dan berusaha dalam menjalani hidup.
13. Nrimo ing pandum. Arti yang mendalam menunjukan pada sikap
Kejujuran, keiklasan, ringan dalam bekerja dan ketidakinginan untuk
korupsi. Inti filosofi ini adalah orang harus iklas menerima hasil dari
usaha yang sudah dia kerjakan. Filosofi tersebut artinya menerima
segala pemberian. Kita sebaiknya bisa ikhlas dalam menghadapi segala
hal yang terjadi didalam hidup kita. Hal ini ditunjukkan khususnya
25
agar kita tidak menjadi orang yang serakah dan menginginkan hak
milik orang lain.
14. Saiki jaman edan yen ora edan ora komanan, sing bejo sing eling lan
waspodo. Artinya hanya orang yang ingat kepada Allah (disini saja
juga tidak cukup) dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang
setiap saat bisa datang dan menghujam kehidupan, sehingga bisa
mengakibatkan musibah yang berkepanjangan.
15. Mangan ora mangan sing penting ngumpul artinya makan tidak makan
yang penting kumpul. Filosofi ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat
peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan secara aktual. Filosofi ini
sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita
mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita
pasti akan aman, tentram dan sejahtera. Mangan ora mangan
melambangkan eforia demokrasi, yang mungkin satu pihak
mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak tidak, yang
tidak dapat apa-apa tetap legowo. Sing penting ngumpul
melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu
untuk tujuan bersama.
16. Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk. Filosofi ini juga berupa
ungkapan peribahasa yang dalam bahasa Indonesia adalah orang Suku
Jawa itu mudah ditekuk-tekuk. Ungkapan ini menunjukan fleksibelitas
dari orang Suku Jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan
kemampuan hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau
26
pesuruh sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat
bekerja dan selalu ulet dalam meraih cita-citanya.
17. Sapa Nandur, Bakalan Ngunduh. Ini soal karma, bagi siapa yang
mengumpulkan kebaikan maka suatu saat akan mendapatkan hasilnya.
Orang yang banyak membantu orang lain, dia akan mendapatkan
karma yang baik suatu hari nanti. Kita diajarkan untuk berlomba
menanam kebaikan dimanapun kita berada. Ini juga bermakna kerja
keras kita yang akan berhasil kelak.
18. Ngunduh Wohing Pakarti. Artinya semua orang akan mendapatkan
akibat dari segala perilakunya sendiri. Jadi, kita tidak perlu
menyalahkan dan mencari kesalahan orang lain karena bisa saja itu
adalah akibat dari apa yang kita lakukan sendiri. Jadi, kita harus ingat
untuk berhati-hati dalam betindak.
19. Ajining Diri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana. Arti dari filosofi
ini adalah kehormatan diri berasal dari lisan dan kehormatan raga
berasal dari pakaian. Bagi Suku Jawa cara berpakaian itu menentukan
kehormatan raga dan cara berbicara menunjukkan kehormatan diri
seseorang. Penampilan dan ucapan kita mempengaruhi bagaimana
orang bereaksi dan menghargai kita.
20. Becik Kethitik Ala Ketara. Filosofi yang satu ini artinya kebaikan akan
terlihat dan kejahatan juga akan nampak. Semua perbuatan akan
nampak tidak peduli itu baik maupun buruk. Ini adalah ajaran untuk
kita agar memperbanyak perbuatan yang baik. Jika berbuat buruk dan
disembunyikan, maka suatu saat perbuatan itu juga akan terbongkar.
27
Filosofi-filosofi di atas merupakan petuah dan ajaran dari leluhur dan
banyak yang sudah terlupakan. Ada baiknya kita sebagai generasi
muda memilih dan mengambil pelajaran yang dapat kita petik dari
makna filosofi-filosofi tersebut.
21. Ibu bumi, bapak aksa artinya ibu adalah bumi dan bapak adalah langit.
22. Ojo ganggu sak karepe dewe artinya jangan berbuat sekehendak
sendiri, jangan semena-mena terhadap orang lain.
Masih banyak filsafat-filsafat Jawa yang lain. Satu hal yang harus diingat,
mempelajari kebudayaan suatu daerah bukan berarti kita menjadi rasis atau
fanatik kedaerahan, namun itu semua sebagai wujud pertanggung jawaban
kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa kita. Dan juga
melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab
warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua,
ingat semboyan bangsa kita (Bhineka Tunggal Ika). Bangsa yang besar
bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu
hidup modern tanpa meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya
(Syafii, 2011).
2.3.4 Kepribadian dan Karakter Masyarakat Suku Jawa
Kepribadian dan karakter masyarakat Suku Jawa diidentikkan dengan
berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka
langsung-langsung, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa
perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Dalam keseharian sifat andap
asor terhadap yang lebih tua akan lebih di utamakan, bahasa Jawa merupakan
28
bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek
yang diajak bicara. Masyarakat Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi
etika. Baik secara sikap maupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang
lebih muda hendaknya menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih
sopan. Berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun
yang usianya di bawah. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda
hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang
yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa jawa istilah ini dinamakan
dengan Ngajeni (Ciptoprawiro, 2006).
Adapun ciri khas sifat yang tidak dapat ditinggalkan oleh masyarakat Suku
Jawa antara lain sebagai berikut:
1. Gotong Royong
Sifat gotong royong atau saling membantu pada kehidupan masyarakat
Suku Jawa memang telah tertata sejak nenek moyang. Pola hidup
kerjasama ini dapat kita ketemukan pada kerja gotong royong yang banyak
diterapkan dalam masyarakat Suku Jawa. Masyarakat Suku Jawa sangat
memegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, berat
sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuh
kesadaran dan tanggungjawab. Kita harus mengakui bahwa kehidupan
masyarakat Suku Jawa memang begitu spesifik. Dari sekian banyak suku
bangsa di Indonesia, bahkan yang ada di dunia, Suku Jawa mempunyai
pola hidup yang berbeda. Kebiasaan hidup secara berkelompok
menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekat satu dengan lainnya,
sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan.
29
Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yang
membutuhkan pertolongan, bahkan dengan segala cara mereka ikut
membantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi jika sesaudara atau
sudah menjadi teman.
2. Sikap Sopan dan Santun
Sikap sopan dan santun pada orang yang lebih tua dalam masyarakat Suku
Jawa memang sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Dalam interaksi
antar personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata
dan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain. Mereka begitu
menghargai persahabatan sehingga eksistensi orang lain sangat dijunjung
sebagai sesuatu yang sangat penting. Mereka tidak ingin orang lain atau
dirinya mengalami sakit hati atau tersinggung oleh perkataan dan
perbuatan yang dilakukan sebab bagi masyarakat Suku Jawa, ajining diri
soko lathi, ajinigng rogo soko busono artinya, harga diri seseorang dari
lidahnya (omongannya), harga badan dari pakaian.
3. Ramah
Pribadi yang ramah juga dimiliki oleh kebanyakan masyarakat Suku Jawa.
Begitu berpapasan dengan seseorang yang dikenal, mereka tidak sungkan
untuk menyapa dengan sopan. Terkadang, mereka juga melemparkan
senyum sambil mengangguk sekilas sebagai tanda keramahan. Sikap
ramah ini bisa membuat mereka mudah membaur dan beradaptasi dengan
reka-rekan seperjuangan.
30
4. Fleksibel
Masyarakat Suku Jawa juga dikenal memiliki sikap seperti ini. Jadi tidak
heran jika masyarakat Suku Jawa bisa berbaur dengan mudah dengan
orang lain meski ada rasa sungkan. Dalam lingkungan manapun, tentu ini
sangat diperlukan. Terutama untuk berbaur dengan rekan kerja. Dengan
karakter yang fleksibel, masyarakat Suku Jawa bisa menjadi lebih mudah
untuk bergaul dengan siapapun dan bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan, terutama demi menghindari konflik.
5. Rendah Hati
Sifat rendah hati merupakan sifat tau diri dan memposisikan diri ditengah-
tengah masyarakat yang ada. Rendah hati sifat yang terpuji.
6. Arif, Bijaksana, Tanggap dan Sabar
Orang yang arif bijaksana adalah orang yang dapat memahami pandangan
orang lain, dapat mengerti apa yang tersurat maupun tersirat. Tanggap
artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya
mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu
mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih (Ciptoprawiro, 2006).
2.3.5 Kebiasaan Masyarakat Suku Jawa
Masyarakat Suku Jawa memiliki banyak pola perilaku yang khas dari
masyarakat yang lain. Ada banyak sekali kebiasaan masyarakat Suku Jawa
yang lebih menekankan pada unsur kesopanan. Hal ini dapat dilihat dari
tingkatan bahasanya dan tutur kata masyarakat Suku Jawa. Adapun kebiasaan
masyarakat Suku Jawa dalam bersikap dihadapan orang yang lebih tua yaitu:
pertama, dalam berbicara kepada orang yang lebih tua kita tidak boleh
31
membelakangi atau menatap mata mereka ketika berbicara. Selain itu, kita
harus menggunakan kata-kata dan bahasa yang sopan juga tidak boleh
membantah atau memutus pembicaraan. Kedua, apabila orang yang lebih
muda akan menerima atau memberikan sesuatu kepada orang tua, harus
menggunakan kedua tangannya. Ketiga, dalam berjabat tangan, orang yang
lebih mudalah yang mengajak bersalaman terlebih dahulu. Keempat, apabila
orang yang lebih muda berjalan di depan orang yang lebih tua harus
membungkukkan badan. Kelima, apabila ada orang tua yang berdiri karena
tidak kedapatan tempat duduk, sedangkan orang yang lebih muda sedang
duduk hendaklah mempersilakan yang lebih tua untuk duduk. Ada juga
kebiasaan masyarakat Suku Jawa ketika sedang makan adalah tidak bercakap
terlalu banyak, tidak mengunyah sambil menimbulkan suara, tidak
menyisakan makanan dan tidak membiarkan makanan tercecer (Yana, 2012).
Mayarakat Suku Jawa sangat memperhatikan adanya mitos dan kepercayaan
yang menjadi keyakinan dalam kehidupan. Masyarakat Suku Jawa pada
umumnya masih memegang kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
leluhurnya. Adapun menurut kebiasaan masyarakat Suku Jawa, ketika
seseorang memiliki sesuatu yang baru misalnya mobil, rumah, maupun yang
lain harus melakukan selamatan atau bancakan terlebih dahulu. Apabila tidak
dilakukan dipercaya orang yang mempunyainya akan mendapatkan bencana
atau cobaan. Selain itu, masih banyak dijumpai adat atau kebiasaan-kebiasaan
untuk tidak melaksanakan nikah pada bulan Muharram, karena pada bulan itu
diyakini oleh masyarakat Suku Jawa sebagai bulan yang tidak baik. Adat
seperti itu sudah ada semenjak orang-orang terdahulu. Dan bilamana
32
kepercayaan yang sudah mentradisi itu dilanggar maka akan menanggung
akibat balaknya yang dilakukan sendiri (Yana, 2012).
2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Falsafah Hidup
Menurut (Soekanto, 2017) pada umumnya dapat dikatakan bahwa mungkin ada
sumber sebab-sebab tersebut yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada
yang letaknya di luar. Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri,
antara lain sebagai berikut:
1. Bertambah atau berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
2. Adanya penemuan baru:
a. Discovery: Penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat,
ataupun yang berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu
atau serangkaian ciptaan para individu.
b. Invention: penyempurnaan penemuan baru
Inovation/inovasi yaitu pembaruan atau penemuan baru yang
diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah,
melengkapi atau mengganti yang ada. Penemuan baru didorong oleh
kesadaran masyarakat akan kekurangan unsur dalam kehidupannya.
c. Pertentangan (Conflict) masyarakat
d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi
Sedangkan faktor penyebab yang berasal dari luar masyarakat (faktor ekstern)
menurut (Soekanto, 2017) antara lain adalah:
1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar
manusia.
33
2. Peperangan.
3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, meliputi difusi (penyebaran
kebudayaan), akulturasi (pembauran antar budaya yang mengahasilkan
sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan
budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi).
2.5 Strategi Mempertahankan Falsafah Hidup
Strategi mempertahankan falsafah hidup antara lain dengan Mencintai. Mencintai
untuk menimbulkan rasa ingin tahu. Mungkin kata-kata cinta tidak akan terlepas
dari segala hal agar mendapatkan kemajuan yang lebih baik. Tetapi mencintai itu
bukan berarti hanya dengan basa-basi saja. Contoh yang perlu dilakukan sekarang
ini adalah bagaimana menghargai kebudayaan itu sendiri. Di negara kita
belakangan ini, hati masyarakat yang lebih mengutamakan kemauan berAmerika-
Amerika yang sudah menjadi trend. Bagaimana tidak, bila kita melihat
pertunjukan Band di tempat kita masing-masing, kita rela berdesak-desakan.
Tetapi, bila ada kesenian daerah di tempat yang sama pasti para penonton nya bisa
dihitung dengan mata telanjang. Tetapi, kewajaran di atas tidak bisa dibiarkan
hanya dengan sebatas kewajaran dan terus menerus dilakukan hingga terbiasa
menghindari kebudayaan. Karena antusias yang berkurang juga jadi alasan untuk
tidak mencintai budaya. Menumbuhan rasa cinta tanah air dan mengenalkan
budaya lokal sejak dini kepada anak cucu kita supaya mereka menjadi pribadi
yang mempunyai identitas Indonesia, serta menyaring berbagai budaya luar yang
masuk mana yang boleh di perkenalkan dan mana yang tidak pantas untuk anak
cucu kita dengan menyaring secara norma dan budaya Indonesia tentunya.
34
Pengetahuan akan budaya luar terkadang membuat masyarakat lebih menyukainya
daripada budaya daerah sendiri. Walaupun zaman kini telah serba modern, kita
harus tetap berpegang teguh kepada kebudayaan kita sendiri. Strategi itu lah yang
bisa kita lakukan agar kebudayaan kita tetap terjaga (Sihnanto, 2012).
Adapun strategi lain yang digunakan untuk mempertahankan falsafah hidup yaitu
dengan cara penerapan tentang budaya di dalam lingkungan keluarga. Penerapan
ini ada beberapa strategi. Diantaranya (1) pengenalan bahasa yang dimulai sejak
bayi lahir. Masyarakat Jawa mempunyai kebiasaan mengajak bicara bayi dengan
bahasa yang akan diprogramkan kepadanya. Beberapa orang tua Jawa
menyebutnya “juweh” yang artinya orang tua atau orang dewasa harus cerewet
atau sering mengajak bicara bayi agar perkembangan kognitifnya cepat dan
mudah dalam memahami bahasa. Cara kedua adalah (2) Imitasi yang berarti
menirukan. Pada dasarnya anak dapat menangkap bahasa dari orangtua atau orang
di sekitarnya sejak dari dalam kandungan (Dardjowidjojo, 2010). Namun, proses
aplikasi pembelajaran bahasanya dimulai sejak tahap pralinguistik pertama yang
disebut tahap meraban, yaitu anak berada di usia 0 sampai 5 bulan mulai
mengeluarkan bunyi-bunyian seperti tangisan, menjerit, tertawa dan sebagainya
(Hartati, 2000). Bunyi-bunyian tersebut merupakan respon dan bahasa isyarat
terhadap orang yang ada di sekelilingnya. Cara ketiga adalah (3) pengujian
hipotesis yang dilakukan oleh anak. Anak mulai mengenal bahasa kedua dan
ketiga selain bahasa ibunya serta mulai membandingkan bahasa mana yang paling
mudah untuk dipahami dan layak untuk dipertahankan. Dalam kasus ini, bahasa
Jawa Krama menjadi bahasa ibu. Setiap bahasa memiliki tingkat kesulitan
masing-masing termasuk bahasa Jawa Krama yang mempunyai aturan yang
35
beragam dan lebih rumit dari bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Indonesia. Dalam
ranah keluarga, orang tua menjadikan bahasa Jawa Krama sebagai alat
komunikasi harian sehingga pembiasaan ini menepiskan tingkat kesulitan dalam
memahami aturannya. Justru anak cenderung lebih menyukai untuk
mempelajarinya lebih dalam. Misalnya ada tingkatan-tingkatan dalam
membahasakan kata “kamu” dengan melihat usia dan status orang yang diajak
bicara. Kata “kamu” bisa dibahasakan dari “kowe”, “sampeyan” dan
“panjenengan”. Struktur-struktur seperti ini diuji oleh anak-anak melalui proses
pembelajaran yang ia dapatkan di ranah pendidikan maupun kelauarga. Kedua
wilayah ini saling menopang dalam menyusun tata bahasa Jawa yang telah
diinventarisasi oleh anak. Sehingga kemampuan bahasa mereka terus berkembang
dan membentuk rasa bahasa serta memberlakukan bahasa tersebut sesuai dengan
nilai budaya yang tertanam di dalamnya. Cara ketiga disambut dengan cara yang
keempat yaitu (4) modelling. Modelling merupakan proses belajar melalui
pengamatan terhadap orang yang ia jadikan model. Pengamatan tersebut
mencakup proses seleksi dan pengambilan nilai-nilai budaya yang akan ia imitasi
atau diambil konsekuensinya saja. Orang tua mencontohkan bagaimana bahasa
Jawa Krama digunakan sesuai dengan kaidahnya dimana pemilihan diksi dalam
bahasa tersebut harus mempertimbangkan status sosial, usia atau jenis kelamin
orang yang diajak bicara. Anak mulai belajar nilai-nilai budaya yang tersirat
dalam bahasa tersebut. Penyampaian nilai-nilai budaya Jawa ini juga dikuatkan
melalui pola pengasuhan Jawa yang menekankan beberapa nilai pendidikan
berikut: tanggungjawab, kejujuran, kedispilinan, komitmen dan konsisten
terhadap kewajiban. Pola pengasuhan yang khas dengan nuansa kelembutan
36
budaya Jawa ini berpengaruh terhadap perilaku anak yang tergambarkan dengan
kesantunannya, rasa hormat kepada orang tua dan orang lain, lembah lembut,
kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan serta rasa kebersamaan dengan
mempriorotaskan kepentingan bersama daripada pribadinya. Penegakan sikap
kepatuhan, rasa hormat dan sopan melalui penerapan bahasa Jawa Krama harus
tetap dipertahankan namun sikap keterbukaaan dan kedekatan dengan anak harus
terus dibangun. Sehingga generasi berikutnya dapat mengalami perkembangan
kepribadian yang sesuai dengan harapan (Bandura, 2001).
2.6 Konsep Merantau
Merantau merupakan suatu pola perpindahan dari daerah asal ke daerah lain
dengan keinginannya sendiri. Merantau bertujuan untuk mengubah nasib, di
samping itu juga menjadi suatu nilai budaya.
Menurut (Naim, 2013), rantau adalah kata benda yang berarti dataran rendah atau
daerah aliran sungai. Jadi biasanya terletak dekat dari daerah pesisir. Merantau
adalah kata kerja yang berawalan me- yang berarti pergi ke rantau, dipandang dari
sudut sosiologi istilah ini mengandung enam unsur pokok yaitu:
1. Meninggalkan kampung halaman
2. Dengan kemauan sendiri
3. Untuk jangka waktu yang lama
4. Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari
pengalaman
5. Biasanya dengan maksud kembali pulang, dan
6. Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya.
37
2.7 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada teori perubahan sosial
diantaranya teori fungsianalis, teori siklus dan teori evolusi untuk menganalisis
mengenai perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di perantauan.
1. Teori Fungsianalis
Teori ini memandang penyebab dari perubahan adalah adanya
ketidakpuasan masyarakat karena kondisi sosial yang berlaku pada masa
ini yang mempengaruhi pribadi mereka. Menurut William Ogburn (dalam
Ranjabar, 2015) menjelaskan, bahwa meskipun terdapat hubungan yang
berkesinambungan antara unsur sosial satu dan yang lain, namun dalam
perubahan ternyata masih ada sebagian yang mengalami perubahan tetapi
sebagian yang lain masih dalam keadaan tetap (statis). Dengan demikian,
setiap perubahan tidak selalu membawa perubahan pada semua unsur
sosial, sebab masih ada sebagian yang tidak ikut berubah. Unsur yang
tidak mengalami perubahan ini dikatakan mengalami ketertinggalan yang
berakibat pada ketimpangan atau kesenjangan kebudayaan (Ranjabar,
2015).
2. Teori Siklus
Menurut Oswald Spengler (dalam Ranjabar, 2015) teori ini
menggambarkan bahwa perubahan sosial bagaikan roda yang sedang
berputar, yang artinya perputaran zaman merupakan sesuatu hal yang tidak
dapat dielak oleh siapa pun dan tidak dapat dikendalikan oleh siapa pun.
Bangkit dan mundurnya sebuah peradaban merupakan bagian dari sifat
alam yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Teori ini ekuivalen
38
dengan falsafah Jawa di mana hidup bagaikan roda yang berputar. Dalam
teori ini dinyatakan bahwa setiap masyarakat akan senantiasa berkembang
melalui empat tahapan, yaitu; masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan
masa tua. Latar belakang teori ini diidentifikasikan dari gambaran
perkembangan masyarakat, di mana masyarakat Barat di masa renaisance
dianggap sebagai kehidupan masa dewasa. Akan tetapi, hal yang tidak
dapat dielak dari kenyataan ialah di mana tuanya digambarkan pada
saatnya nanti masyarakat Barat akan mengalami kemunduran sebagaimana
perjalanan masyarakat Yunani, Majapahit, Mesir Kuno, Romawi yang
pada akhirnya mengalami kemunduran juga (Ranjabar, 2015).
3. Teori Evolusi
Menurut (Soekanto) teori ini menjelaskan bahwa perubahan sosial terjadi
secara lambat untuk waktu yang lama di dalam sistem masyarakat.
Menurut teori ini, perubahan sosial terjadi karena perubahan pada cara
pengorganisasian masyarakat, sistem kerja, pola pemikiran, dan
perkembangan sosial. Perubahan sosial dalam teori ini jarang
menimbulkan konflik karena perubahannya berlangsung lambat dan
cenderung tidak disadari (Soekanto dan Sulistyowati, 2015).
2.8 Kerangka Pikir
Filsafat Jawa adalah landasan hidup Suku Jawa dalam melangkah, yang
merupakan bagian dari ilmu (kawruh) kejawaan yang abstrak. Filsafat Jawa itu
sebuah konsep abstrak tentang pandangan hidup. Itulah sebabnya, tidak akan sia-
sia apabila konsep itu diterapkan dalam hidup sehari-hari. Ilmu filsafat Jawa
adalah dunia simbolik Jawa yang diaplikasikan dalam kehidupan Suku Jawa
39
sehari-hari. Oleh sebab itu landasan filsafat perlu di implementasikan ke dalam
hidup. Budaya dan pandangan hidup Suku Jawa telah ada dan akan selalu
mengalami perubahan dan pergeseran sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi
sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan itu tidak sampai
mencabut pandangan hidup Suku Jawa dari akar dan sumber kekuatannya (Yana,
2012).
Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, sebab kehidupan sosial
adalah dinamis. Perubahan sosial merupakan bagian dari gejala kehidupan sosial,
sehingga perubahan sosial merupakan gejala sosial yang normal. Begitu juga
dengan falsafah Jawa yang mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan
zaman. Oleh sebab itu, untuk menganalisis masalah ini peneliti menggunakan
teori perubahan sosial yang terdiri dari teori fungsianalis, teori siklus dan teori
evolusi. Menurut teori fungsianalis bahwa setiap perubahan tidak selalu membawa
perubahan pada semua unsur sosial, sebab masih ada sebagian yang tidak ikut
berubah. Pernyataan ini sama hal nya seperti yang terjadi pada falsafah Jawa yang
mengalami perubahan tetapi tidak sampai mencabut pandangan hidup Suku Jawa.
Menurut teori siklus bahwa perubahan sosial bagaikan roda yang sedang berputar,
yang artinya perputaran zaman merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dielak
oleh siapa pun dan tidak dapat dikendalikan oleh siapa pun. Teori ini ekuivalen
dengan falsafah Jawa di mana hidup bagaikan roda yang berputar serta teori
evolusi yang menjelaskan bahwa perubahan sosial terjadi secara lambat untuk
waktu yang lama di dalam sistem masyarakat, seperti halnya dengan falsafah
hidup Suku Jawa yang perubahannya berlangsung lambat dan cenderung tidak
disadari. Ketiga teori tersebut membantu peneliti menjelaskan mengenai
40
perubahan falsafah hidup masyarakat Jawa. Berdasarkan kerangka pikir di atas
maka dapat dibuat bagan kerangka pikir sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Pikir
Masyarakat Suku Jawa di
Perantauan
Falsafah Hidup Masyarakat Suku
Jawa
Perubahan Falsafah Hidup
Masyarakat Suku Jawa
Faktor Penyebab Perubahan
Falsafah Hidup Masyarakat Suku
Jawa
Strategi Mempertahankan Falsafah
Hidup Masyarakat Suku Jawa
41
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Menurut (Sugiyono, 2011). Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian
yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi atau gabungan, analisis data
bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna pada generalisasi.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan
maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan
melibatkan berbagai metode yang ada. Dalam penelitian kualitatif metode yang
biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan
dokumen. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur
analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi
lainnya. Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan
mereka yang diteliti yang rinci, dibentuk dengan kata kata, gambaran holistik dan
rumit (Moleong, 2004).
42
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian
kualitatif memusatkan pada kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan terutama
berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki makna dan mampu memacu
timbulnya pemahaman yang lebih nyata daripada sekedar angka atau frekuensi.
Peneliti menekankan catatan dengan deskripsi kalimat yang rinci, lengkap,
mendalam yang menggambarkan situasi yang sebenarnya guna mendukung
penyajian data. Oleh sebab itu penelitian kualitatif secara umum sering disebut
sebagai pendekatan kualitatif deskriptif. Peneliti berusaha menganalisis data
dalam berbagai nuansa sesuai bentuk aslinya seperti pada waktu dicatat atau
dikumpulkan (Nugrahani, 2014).
Dari penjelasan diatas tujuan peneliti menggunakan metode ini agar mendapatkan
informasi secara menyeluruh dan mendalam tentang penelitian yang mengangkat
tentang perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di perantauan. Penelitian
ini akan di lakukan pada masyarakat Suku Jawa yang tinggal sebagai perantau di
Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu di daerah Kecamatan Rajabasa,
Bandar Lampung. Guna memperoleh data, penelitian ini dilakukan pada
masyarakat Suku Jawa yang tinggal sebagai perantau di Kecamatan Rajabasa,
Bandar Lampung. Alasan dipilihnya daerah ini karena Kecamatan Rajabasa
merupakan Kecamatan yang mudah dijangkau dan saya juga tinggal di Kecamatan
Rajabasa sudah lama jadi sedikit paham dibandingkan dengan Kecamatan yang
lain yang berada di Bandar Lampung.
43
3.3 Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini merupakan acuan untuk melakukan penelitian. Fokus
penelitian pada penelitian ini berfungsi untuk membatasi ruang lingkup
permasalahan yang akan diteliti. Sehingga nantinya pembahasan dari penelitian
ini tidak akan terlalu luas dari judul yang ditentukan. Penelitian ini berfokus pada
perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di perantauan, adapun fokus
penelitian yang diambil yaitu 5 falsafah hidup masyarakat Suku Jawa berdasarkan
5 unsur masalah pokok dalam kehidupan manusia yang ingin peneliti lihat
perubahannya, faktor penyebab perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa
di perantauan, serta strategi mempertahankan falsafah hidup masyarakat Suku
Jawa di perantauan. Fokus pada penelitian ini meliputi :
1. Perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa berdasarkan 5 unsur
masalah pokok dalam kehidupan manusia:
1) Hakikat Hidup Manusia :
a) Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya
memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar
manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi
sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan
sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat).
b) Eling Sangkan Paraning Dumadhi. Dalam pergaulan
masyarakat Suku Jawa terutama kalangan generasi tua,
ungkapan yang arif ini sangat terkenal. Secara bebas diartikan
sebagai ingat akan asal dan tujuan hidup. Ungkapan ini
mengandung nasihat agar seseorang selalu waspada dan eling
44
(ingat, sadar) terhadap sangkan (asal) manusia dan paran
(tujuan akhir).
2) Hakikat Karya Manusia :
a) Nrimo ing pandum Arti yang mendalam menunjukkan pada
sikap kejujuran, keikhlasan, ringan dalam bekerja dan
ketidakinginan untuk korupsi. Inti filosofi ini adalah orang
harus iklas menerima hasil dari usaha yang sudah dia
kerjakan. Filosofi tersebut artinya menerima segala pemberian.
Kita sebaiknya bisa ikhlas dalam menghadapi segala hal yang
terjadi didalam hidup kita. Hal ini ditunjukkan khususnya agar
kita tidak menjadi orang yang serakah dan menginginkan hak
milik orang lain.
b) Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan,
kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat
angkara murka, serakah dan tamak).
3) Hakikat Kedudukan Manusia dengan Ruang dan Waktu :
a) Alon-alon waton klakon artinya pelan-pelan asal selamat.
Filosofi ini memiliki makna yang mendalam. Disini kita diajak
untuk selalu berhati-hati, ulet, waspada, istiqomah, dan
berusaha dalam menjalani hidup.
45
4) Hakikat Manusia dan Alam Sekitarnya :
a) Ibu bumi, bapak aksa artinya ibu adalah bumi dan bapak
adalah langit.
5) Hubungan Manusia dan Sesamanya :
a) Ojo ganggu sak karepe dewe artinya jangan berbuat
sekehendak sendiri, jangan semena-mena terhadap orang lain.
2. Faktor penyebab perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di
perantauan:
1) Faktor Internal :
a) Tidak ada keinginan untuk belajar
2) Faktor Eksternal :
a) Lingkungan sekitar
b) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
3. Strategi mempertahankan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di
perantauan:
a) Menumbuhkan rasa cinta terhadap suku sendiri.
b) Tidak mudah terpengaruh oleh budaya lain atau asing.
3.4 Penentuan Informan
Menurut (Bungin, 2007) informan penelitian adalah subjek yang memahami
informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami
objek penelitian. Menurut (Endraswarai, 2006) bahwa pemahaman tentang
informan ini penting, karena penelitian budaya mau tidak mau akan berhadapan
46
dengannya, bahkan boleh dinyatakan informan merupakan “orang nomor satu”
setelah peneliti. Tanpa informan, peneliti mungkin akan buta dan kebingunan.
Ungkapan yang tepat tentang informan adalah Informan is King. Informan adalah
raja, yang dapat menentukan warna penelitian budaya.
Penentuan sumber informasi/informan dalam penelitian ini, dipilih secara
purposive sampling yaitu dengan cara menentukan terlebih dahulu informan atau
narasumber yang akan diwawancarai atau ditetapkan secara sengaja oleh peneliti.
Alasan peneliti menggunakan purposive sampling bertujuan untuk mengambil
informan atau narasumber secara objektif, dengan anggapan bahwa informan atau
narasumber yang diambil itu merupakan keterwakilan dan berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian demi keakuratan penelitian. Adapun yang menjadi
informan atau narasumber yang dianggap dapat mewakili dan berkaitan dengan
permasalahan penelitian ini adalah berjumlah 5 orang yaitu masyarakat Suku Jawa
yang tinggal sebagai perantau di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung. Adapun
kriteria-kriteria penentuan informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Merupakan Masyarakat yang bersuku Jawa.
2. Merupakan Masyarakat Suku Jawa yang tinggal sebagai perantau di
Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung.
3. Mengetahui dan mengerti tentang konsep falsafah hidup masyarakat Suku
Jawa.
4. Mengetahui dan mengerti tentang perubahan falsafah hidup masyarakat
Suku Jawa.
5. Merupakan masyarakat Suku Jawa yang merantau di Kecamatan Rajabasa,
Bandar Lampung.
47
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik dalam pengumpulan data kualitatif, yaitu:
1. Observasi
Observasi merupakan suatu kegiatan mendapatkan informasi yang diperlukan
untuk menyajikan gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab
pertanyaan penelitian dengan cara melakukan pengamatan kepada objek
penelitian untuk memperoleh data-data atau informasi yang akurat. Adapun
data atau informasi yang penulis peroleh dari observasi ini adalah data atau
informasi mengenai perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa yang
tinggal sebagai perantau di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung.
Dalam pelaksanaannya, peneliti menggunakan observasi langsung, kemudian
melakukan wawancara langsung terhadap 5 informan yang merupakan
masyarakat Suku Jawa yang tinggal sebagai perantau di Kecamatan Rajabasa,
Bandar Lampung.
2. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh penjelasan untuk mengumpulkan
informasi dengan cara tanya jawab yang dilakukan dengan bertatap muka
antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai dengan menggunakan
pedoman wawancara. Adapun target yang diwawancarai dalam penelitian ini
adalah masyarakat Suku Jawa yang tinggal sebagai perantau di Kecamatan
Rajabasa, Bandar Lampung.
48
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu penyelidikan yang menggunakan sumber-sumber
dokumentasi untuk mendapatkan data yang diperlukan. Adapun target
dokumentasi yang penulis gali adalah dokumentasi mengenai masyarakat
Suku Jawa yang tinggal sebagai perantau di Kecamatan Rajabasa, Bandar
Lampung dengan tujuan untuk memperkuat hasil penelitian. Adapun data
yang penulis peroleh dari dokumentasi ini adalah foto-foto pada saat
wawancara dengan masyarakat Suku Jawa yang tinggal sebagai perantau di
Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung yang penulis wawancarai pada saat
penelitian berlangsung.
3.6 Jenis Data
Jenis dan sumber data dalam penelitian ini adalah:
1. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian melalui wawancara secara langsung dan terbuka terhadap
informan yang berkompeten sesuai dengan keperluan data. Adapun
informan yang berkompeten dalam penelitian ini adalah masyarakat Suku
Jawa yang tinggal sebagai perantau di Kecamatan Rajabasa, Bandar
Lampung yang berjumlah 5 orang.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku atau literature yang
berhubungan dengan pembahasan dan penelitian yang berdasarkan data
penunjang lain yang kaitannya dengan permasalahannya yang diteliti.
Adapun buku-buku atau literature yang dipakai dalam penelitian ini adalah
buku-buku yang memiliki teori tentang perubahan falsafah hidup
masyarakat Suku Jawa.
49
3.7 Teknik Analisa Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting yang
akan di pelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri
sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2012).
Teknis analisis data disajikan dalam bentuk paparan atau gambaran dari temuan-
temuan dilapangan meliputi :
1. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan penelitian pada
penyederhanaan, dan tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-
catatan yang tertulis dari lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk
analisis yang menajam, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang
tidak perlu, dan mengorganisasikan sehingga kesimpulan-kesimpulan
dapat ditarik. Reduksi data penulis lakukan pada data hasil wawancara,
dalam hal ini penulis memilih kata-kata yang bisa digunakan untuk
melakukan pembahasan serta menggunakan teori-teori untuk menganalisis
fokus dalam penelitian ini.
2. Penyajian data, yaitu penulis menampilkan sekumpulan informasi tersusun
berdasarkan data primer yang diperoleh dari lokasi penelitian, yang
memberi kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan keputusan.
3. Triangulasi Data, merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan
peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data. Triangulasi ini
selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk
50
memperkaya data. Pada penelitian ini penulis menggunakan triangulasi
teknik yaitu peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang
berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.
4. Menarik kesimpulan, merupakan bagian satu kegiatan dari konfigurasi
yang utuh. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,
kekokohan dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya.
Setelah data-data tersebut diuji kebenarannya penulis kemudian menarik
kesimpulan berdasarkan data tersebut. Proses analisis yang penulis
lakukan adalah dengan mengacu pada kerangka pikir yang telah
dirumuskan.
3.8 Teknik Keabsahan Data
Teknik keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji kredibilitas data, uji
transferabilitas, uji dependabilitas data (reliabilitas) dan uji konfirmabilitas
(obyektivitas). Adapun uji kredibilitas data yang dilakukan melalui teknik
perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan dalam penelitian, triangulasi,
diskusi dengan teman, analisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi, dan
member cek (Sugiyono, 2014).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji kredibilitas data untuk memeriksa
keabsahan data. Namun pada penelitian ini peneliti hanya melakukan teknik
triangulasi dan menggunakan bahan referensi.
1. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas dimakud sebagai pengecekan data
dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi pengumpulan data karena
51
peneliti bertujuan untuk membandingkan informasi dengan cara
melakukan wawancara dan observasi. Untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkan, peneliti melakukan wawancara dengan masyarakat Suku Jawa
yang tinggal sebagai perantau di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung
guna mengecek kebenaran informasi tentang perubahan falsafah hidup
masyarakat Suku Jawa di perantauan yang ada di Kecamatan Rajabasa.
Selanjutnya, setelah didapatkan data yang dibutuhkan, peneliti kemudian
menggunakan triangulasi sumber data, dimana selain melakukan
wawancara dan observasi, peneliti juga melakukan dokumentasi guna
menghasilkan bukti atau data yang bervariasi.
2. Selanjutnya pada bagian ini, yang dimaksud bahan referensi yakni adanya
pendukung atas bukti data yang telah ditemukan oleh peneliti. Dalam
penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada informan, kemudian
dalam melakukan wawancara tersebut didukung oleh adanya dokumen
berupa foto untuk menguji keabsahan data hasil penelitian.
52
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Kecamatan Rajabasa
Wilayah Kecamatan Rajabasa semula merupakan pemekaran dari kecamatan
Induk, yaitu Kecamatan Kedaton berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun
2001 tentang penggabungan, penghapusan dan pemekaran wilayah kecamatan dan
kelurahan di Kota Bandar Lampung menjadi berjumlah 13 kecamatan dan 98
kelurahan. Tujuan dari pemekaran kecamatan dan kelurahan, khusunya
Kecamatan Rajabasa adalah dalam rangka meningkatkan kegiatan
penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna serta
merupakan sarana bagi pembinaan wilayah dan unsur pendorong yang kuat bagi
usaha peningkatan pembangunan, juga sarana memperpendek rentang tali kendali
pelayanan kepada masyarakat (Rajabasa dalam Angka, 2018).
Sehingga dengan ditetapkan dan disahkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001
Tentang Pemekaran Wilayah Kecamatan dan Kelurahan dalam Wilayah Kota
Bandar Lampung dan dengan dilantiknya Drs. Gumsoni, AS, M.Si sebagai
Pejabat Camat berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung Nomor
821.22/08/02.7/2001 tanggal 29 Desember 2001, tentang Pelantikan Pejabat
Camat Kecamatan Rajabasa, maka Kecamatan Rajabasa resmi terbentuk,
kemudian ditindaklanjuti dengan peresmian pada tanggal 9 Februari 2002, yang
53
dipusatkan di Kecamatan Rajabasa oleh Bapak Walikota Bandar Lampung Drs. H.
Suharto beserta wakil ketua DPRD Kota Bandar Lampung Drs. M. Jimo yang
dihadiri oleh MUSPIDA, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat dan lain-lain. Sejak
berdirinya Tahun 2002, kepala wilayah Kecamatan Rajabasa telah dijabat oleh 7
(tujuh) orang camat, berikut nama-namanya beserta periode jabatannya :
1. Drs. Gum Sony, AS, M.Si : Tahun 2002 s.d Tahun 2003.
2. Drs. Eddyar Saleh : Tahun 2003 s.d Tahun 2004.
3. Paryanto, S.IP : Tahun 2004 s.d Tahun 2008.
4. Drs. M. Natsir Effendi : Tahun 2008 s.d Tahun 2011.
5. Drs. Suhardi Syamsi, S.E, M.Hum : Tahun 2011.
6. Yuswinardi, S.Sos : Tahun 2011 s.d 2014.
7. Socrat Pringgodanu, S.Stp, MM : Tahun 2014 s.d sekarang.
(Rajabasa dalam Angka, 2018).
4.2 Letak Geografis
Ibukota Kecamatan Rajabasa adalah di Kelurahan Rajabasa, dengan luas wilayah
kecamatan sekitar 1.302 Ha, yang terdiri atas 7 kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Gedung Meneng 143 Ha
2. Kelurahan Gedung Meneng Baru 84 Ha
3. Kelurahan Rajabasa 100 Ha
4. Kelurahan Rajabasa Pemuka 134 Ha
5. Kelurahan Rajabasa Nunyai 125 Ha
6. Kelurahan Rajabasa Raya 358 Ha
7. Keluarahan Rajabasa Jaya 358 Ha
54
Kecamatan Rajabasa merupakan salah satu dari dua puluh kecamatan dalam
wilayah Pemerintahan Kota Bandar Lampung yang sebelumnya merupakan
bagian dari Kecamatan Kedaton dimana pada tahun 2001 terjadi pemekaran dan
dibentuk kecamatan tersendiri. Kecamatan ini memiliki luas wilayah seluruhnya
1.302 hektar (Rajabasa dalam Angka, 2018).
Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Rajabasa adalah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : Kecamatan Natar, Lampung Selatan
b. Sebelah Selatan : Kecamatan Tanjung Karang Barat Kemiling dan
Langkapura
c. Sebelah Barat : Kecamatan Natar, Lampung Selatan
d. Sebelah Utara : Kecamatan Labuhan Ratu dan Tanjung Seneng
Secara geografis Kecamatan Rajabasa merupakan daerah daratan yang sebagian
besar merupakan lahan pertanian tadah hujan. Kecamatan Rajabasa dengan luas
daerah 1.302 Ha sebagian besar digunakan untuk lahan perumahan / pemukiman
dan areal pertanian (Rajabasa dalam Angka, 2018).
4.3 Demografi
Penduduk Kecamatan Rajabasa menurut kelurahan dan jenis kelamin terdiri dari
25.373 laki-laki dan 24.462 perempuan.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Kelurahan dan Jenis Kelamin di Kecamatan
Rajabasa.
No Kelurahan Laki-Laki Perempuan
1 Gedung Meneng 4.168 4.089
2 Gedung Meneng Baru 1.436 1.665
3 Rajabasa 3.567 3.985
4 Rajabasa Pemuka 3.976 3.057
5 Rajabasa Nunyai 4.112 3.963
55
6 Rajabasa Raya 4.415 4.216
7 Rajabasa Jaya 3.699 3.487
Jumlah 25.373 24.462
(Sumber :Rajabasa dalam Angka, 2018)
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk laki-laki dan
perempuan di Kelurahan Gedung Meneng berjumlah 4.168 jiwa dan 4.089 jiwa, di
Kelurahan Gedung Meneng Baru berjumlah 1.436 jiwa dan 1.665 jiwa, di
Kelurahan Rajabasa berjumlah 3.567 jiwa dan 3.985 jiwa, di Kelurahan Rajabasa
Pemuka berjumlah 3.976 jiwa dan 3.057 jiwa, di Kelurahan Rajabasa Nunyai
berjumlah 4.112 jiwa dan 3.963 jiwa, di Kelurahan Rajabasa Raya berjumlah
4.415 jiwa dan 4.216 jiwa dan di Kelurahan Rajabasa Jaya berjumlah 3.699 jiwa
dan 3.487 jiwa. Jadi, penduduk laki-laki dan perempuan yang paling banyak dan
paling sedikit ada di Kelurahan Rajabasa Raya dan Gedung Meneng Baru dengan
jumlah laki-laki 4.415 jiwa dan 1.436 jiwa dan jumlah perempuan 4.216 jiwa dan
1.665 jiwa.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin di
Kecamatan Rajabasa.
No Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 0-4 2.192 2.009 4.201
2 5-9 2.265 1.995 4.260
3 10-14 2.020 1.764 3.784
4 15-19 2.331 2.602 4.933
5 20-24 2.788 2.940 5.728
6 25-29 2.313 1.953 4.266
7 30-34 2.044 1.754 3.798
8 35-39 1.841 1.789 3.630
9 40-44 1.886 1.774 3.660
10 45-49 1.624 1.504 3.128
11 50-54 1.281 1.281 2.562
12. 55-59 1.017 1.141 2.158
13. 60-64 804 797 1.601
14. 65+ 967 1.159 2.126
Jumlah 25.373 24.462 49.835
(Sumber : Rajabasa dalam Angka, 2018)
56
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk menurut golongan
umur dan jenis kelamin di Kecamatan Rajabasa paling banyak berusia 20-24
tahun dengan jumlah 5.728 jiwa dan yang paling sedikit berusia 60-64 tahun
dengan jumlah 1.601 jiwa.
Tabel 5. Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan Rajabasa.
No Kelurahan Luas Daerah
(Km2)
Jumlah
Penduduk
Kepadatan
per Km2
1 Gedung Meneng 1,70 8.257 4.857
2 Gedung Meneng Baru 0,78 3.101 3.976
3 Rajabasa 1,12 7.552 6.743
4 Rajabasa Pemuka 1,25 8.075 6.460
5 Rajabasa Nunyai 3,23 7.033 2.177
6 Rajabasa Raya 3,58 8.631 2.411
7 Rajabasa Jaya 4,30 7.186 1.671
Jumlah 15,96 49.835 3.122
(Sumber : Rajabasa dalam Angka, 2018)
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk menurut Kelurahan
di Kecamatan Rajabasa yang paling luas yaitu Kelurahan Rajabasa Jaya dengan
luas 4,30 km2 dan yang paling banyak penduduknya yaitu Kelurahan Rajabasa
Raya dengan jumlah penduduk 8.631 jiwa serta Kelurahan yang paling padat
penduduknya ada di Kelurahan Rajabasa dengan jumlah penduduk 6.743 jiwa.
111
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka kesimpulan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perubahan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di perantauan, falsafah
ini dulunya sangat diyakini dan selalu dipegang teguh oleh masyarakat
Suku Jawa. Falasafah Jawa ini sangat bermanfaat serta sangat berguna
untuk kehidupan sehari-hari. Merantau menyebabkan mereka perantau
mau tidak mau harus tinggal di lingkungan masyarakat yang bukan Suku
Jawa. Kontak dengan masyarakat dan budaya lain, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial
budaya dalam masyarakat. Selain itu, perubahan juga terjadi pada
masyarakat Suku Jawa yang tidak lagi memegang teguh falsafah hidup
Suku Jawa atau pandangan hidup Suku Jawa. Hal ini dibuktikan dengan
masyarakat Suku Jawa yang tidak menerapkan lagi falsafah hidup Suku
Jawa dalam kehidupan sehari-hari, salah satu contohnya yaitu pada zaman
dahulu falsafah Suku jawa yang berbunyi “alon-alon waton klakon” yang
artinya pelan-pelan asal selamat masih banyak diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, setelah berkembangnya zaman falsafah
hidup Suku jawa berubah bunyi menjadi “cepat asal selamat“, bukan
112
konsepnya yang berubah tetapi sikap dan perilaku mereka yang berubah,
karena masyarakat Suku Jawa mengganggap falsafah tersebut hanyalah
peribahasa padahal falsafah tersebut penuh dengan makna dan memiliki
filosofi tersendiri, begitupun dengan falsafah hidup Suku Jawa yang
lainnya.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan falsafah hidup masyarakat
Suku Jawa di perantauan ada 2 faktor yakni faktor internal dan faktor
eksternal, diantaranya sebagai berikut :
1. Faktor Internal
a) Tidak ada keinginan untuk belajar, faktor penyebab ini didasarkan
pada diri seseorang / individu yang tidak mempunyai keinginan
untuk belajar mengenai kebudayaan mereka sendiri. Pastinya orang
tua sudah mengajari anaknya mengenai kebudayaan mereka,
namun tidak bisa dipungkiri bahwa anak zaman sekarang
cenderung memilih untuk bermain gadget ketimbang untuk belajar.
2. Faktor Eksternal
a) Faktor lingkungan sekitar, perubahan falsafah hidup masyarakat
Suku Jawa dapat disebabkan oleh lingkungan sekitar tempat
tinggal kita karena di indonesia ini tidak hanya ada Suku Jawa saja
melainkan banyak suku-suku lain dan budaya lain, sehingga
banyak terjadi kontak dengan masyarakat dan budaya lain, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
b) Faktor pengaruh kebudayaan masyarakat lain, adanya informasi
yang semakin canggih, seperti televisi, radio, dan internet
113
memudahkan pengaruh kebudayaan masyarakat lain masuk dalam
suatu negara. Akibatnya muncul perubahan pada masyarakat yang
menerima pengaruh kebudayaan itu.
3. Strategi untuk mempertahankan falsafah hidup masyarakat Suku Jawa di
perantauan adalah sebagai berikut :
a. Menumbuhkan rasa cinta terhadap suku sendiri, artinya menumbuhan
rasa cinta tanah air dan mengenalkan budaya lokal sejak dini kepada
anak cucu kita supaya mereka menjadi pribadi yang mempunyai
identitas Indonesia, serta menyaring berbagai budaya luar yang masuk
mana yang boleh di perkenalkan dan mana yang tidak pantas untuk
anak cucu kita dengan menyaring secara norma dan budaya Indonesia
tentunya.
b. Tidak mudah terpengaruh oleh budaya lain atau asing, pengetahuan
akan budaya luar terkadang membuat masyarakat lebih menyukainya
daripada budaya daerah sendiri. Untuk menerima kebudayaan luar tapi
juga tetap menjaga kebudayaan Indonesia, kita perlu bikin filter, jadi
kebudayaan luar yang masuk kita saring, terus ambil yang baik dan
buang yang buruk tidak perlu kita serap semuanya, walaupun zaman
kini telah serba modern, kita harus tetap berpegang teguh kepada
kebudayaan kita sendiri.
114
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang “Perubahan Falsafah Hidup Masyarakat Suku
Jawa di Perantauan (Studi Pada Masyarakat Suku Jawa yang Tinggal sebagai
Perantau di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung), peneliti memiliki beberapa
saran yang sekiranya dapat bermanfaat, yaitu:
1. Bagi masyarakat Suku Jawa, supaya tetap menjaga dan melestarikan
budaya Suku Jawa, khususnya untuk falsafah masyarakat Suku Jawa
karena falsafah tersebut merupakan pandangan hidup masyarakat Suku
Jawa yang harus selalu dipegang teguh dimanapun kita berada.
2. Bagi perantau, seharusnya jangan mudah terpengaruh oleh budaya lainnya
ataupun dengan lingkungan sekitar kita yang menyebabkan falsafah hidup
atau pandangan hidup masyarakat Suku Jawa menjadi berubah dan pudar.
3. Bagi generasi muda, seharusnya bangga dengan kebudayaan yang kita
punya dan kita harus bisa serta semampunya mempertahankan budaya kita
yaitu budaya masyarakat Suku Jawa yang antara lain di dalamnya terdapat
bahasa, adat istiadat, falsafah dan lain sebagainya agar tidak berubah
ataupun pudar dan agar tetap lestari selamanya.
4. Peneliti berharap penelitian ini akan berguna bagi peneliti-peneliti
selanjutnya untuk dapat meneliti lebih baik lagi sehingga melengkapi data-
data yang sekiranya kurang terpenuhi.
115
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2012. Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta. PT. Bumi
Aksara.
Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal.
Yogyakarta. Warta Pustaka.
Bandar Lampung dalam Angka. 2017. Kota Bandar Lampung Dalam Angka
2017. Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung.
Bandura, A. 2001. Teori Kognitif Sosial: Suatu Perspektif Agen. Tahunan
Ulasan Psikologi.
BPS Provinsi Lampung. 2010. Sensus Penduduk Tahun 2010. Bandar
Lampung. BPS Provinsi Lampung.
BPS Provinsi Lampung. 2014. Sensus Penduduk Tahun 2014. Bandar Lampung.
BPS Provinsi Lampung.
BPS Kota Bandar Lampung. 2018. Kota Bandar Lampung dalam Angka 2018
Bandar Lampung. BPS Kota Bandar Lampung.
Bratawidjaja, Thomas. 2000. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta. Penada Media Group.
Ciptoprawiro, Abdullah. 2006. Filsafat Jawa. Semarang. Balai Pustaka.
Dardjowidjojo, S. 2010. Psikoliguistik. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Lisan Jawa : Warisan Abadi Budaya
Leluhur. Yogyakarta. Narasi.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan.
Tangerang. Pustaka Widyatama.
Endraswara, Suwardi. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang. Cakrawala.
116
Hartati, T. 2000. Pemerolehan Imbuhan Siswa Sekolah Dasar Negeri Cileunyi
Kabupaten Bandung. Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia.
Moleong, Lexy. J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT Remaja
Rosdakarya
Naim, Mochtar. 2013. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. PT Raja
Grafindo: Jakarta.
Nugrahani, Farida. 2014. Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian
Pendidikan Bahasa. Solo. Cakra Books.
Rajabasa dalam Angka. 2018. Kecamatan Rajabasa Dalam Angka 2018. Bandar
Lampung. BPS Provinsi Lampung.
Ranjabar, Jacobus. 2015. Perubahan Sosial: Teori-Teori dan Proses Perubahan
Sosial Serta Teori Pembangunan. Bandung. Alfabeta.
Sadulloh, Uyoh. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. V. Alfabeta.
Sihnanto. 2012. Kesejahteraan Sosial. Bandung. Stks Bandung.
Soekanto, Soerjono & Sulistyowati, Budi. 2015. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta. Rajawali Pers.
Soekanto, Soerjono. 2017. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Rajawali Pers.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, dan
R&D. Bandung. Alfabeta.
Suwarno, dkk. 2011. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandar Lampung.
Universitas Lampung.
Syukur, Abdul. 2013. Studi Budaya Indonesia. Jakarta. Pustaka Setia.
Yana, MH. 2010. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta.
Absolut.
Yana, MH. 2012. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta.
Bintang Cermelang.
Mohammad, Syafii. 2011. Filosofi Jawa. skp.unair.ac.id/repository/Guru-
Indonesia/FilosofiJawa_MohammadSyafii_10832.pdf (Diakses pada
tanggal 01 Maret 2019).