PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga...

17
Konferensi Nasional Teknik Sipil I (KoNTekS I) – Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yogyakarta, 11 – 12 Mei 2007 PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI SUBWAY UNTUK JAKARTA METRO Paulus P. Rahardjo Guru Besar Ilmu Geoteknik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung 1. PENDAHULUAN Kecenderungan di dalam pertumbuhan transportasi kota Jakarta, dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk di dalamnya peningkatan jumlah penduduk (sebagai dampak dari migrasi dan angka kelahiran), dekonsentrasi geografis, peningkatan penghasilan dan aktifitas industri serta bisnis (W. Santosa, 2001). Peningkatan penduduk yang sangat drastis ini menyebabkan kebutuhan transportasi yang sangat tinggi. Meskipun kecepatan pertumbuhan (growth rate) Jakarta relatif menurun antara tahun 1970-1980, namun demikian pertumbuhan Botabek meningkat 3.8 % pada tahun 1970 dan 5.3 % pada tahun 1980-1985. Dan kontrasnya jumlah penduduk Botabek melebihi penduduk kota Jakarta. Pada tahun 2015 penduduk kota Jakarta akan mencapai 12 juta. Jakarta akan mengalami kelumpuhan transportasi total menjelang tahun 2014 sebagaimana disampaikan Yayat Supriyatna (2004), planolog dan pemerhati masalah transportasi. Pendapat tersebut diperoleh dari hasil penelitian dan kajian sistem perencanaan transportasi makro di Jakarta. Pada saat itu diperkirakan jumlah kendaraan roda empat di Jakarta mencapai 3 juta unit sedangkan luas jalan mencapai 45 juta m 2 . Masalah ini akan merupakan ancaman bagi perkembangan kota Jakarta dan akan dialami dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun lagi. Departemen Perhubungan menunjukkan 32 titik ruas jalan arteri (sama dengan 94 % ruas jalan arteri) telah mendapat beban lalu lintas melebihi kapasitasnya dengan sebutan ”pamer diranjang” (padat merayap dalam antrian panjang). Harus diakui bahwa penyebab dari masalah ini adalah daya tarik kota Jakarta dan perubahan terhadap sikap penduduk dalam memilih tempat tinggal. Dampak dari kedua hal tersebut adalah dibutuhkannya angkutan (pribadi maupun publik), peningkatan jumlah kendaraan bermotor secara drastis, dan ketidakteraturan lalu lintas. Bandingkan dengan Beijing dan Bangkok yang masing-masing akan menjadi tempat penyelenggaraan Olimpiade 2008 dan 2016. Kedua kota tersebut mempersiapkan diri dengan pengaturan transportasi masal menggunakan subway. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta akan menjadikan monorel dan subway sebagai bagian dari pola transportasi makro (Darmaningtyas, 2005). Rencana DKI Jakarta mendapatkan dukungan dari Presiden (Tempointeraktif, 13 Desember 2004). Pada saat ini Pemerintah DKI Jakarta banyak membangun underpass dan flyover untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas. Underpass merupakan terowongan dengan sistem konstruksi cut and cover. Kondisi ini tidak akan mampu bertahan untuk jangka panjang. Oleh karena itu, meskipun masih banyak pro dan kontra, pembangunan subway agaknya tidak dapat dihindarkan. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai rencana subway di DKI Jakarta dan pertimbangan geoteknik sehubungan dengan kondisi tanah dan geologi. Beberapa aspek teknis dibahas untuk memberikan ilustrasi metode konstruksi terowongan khususnya pada tanah lunak dan pengaruh dari konstruksi subway terhadap bangunan sekitarnya. ISBN 979.9243.80.7 45

Transcript of PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga...

Page 1: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Konferensi Nasional Teknik Sipil I (KoNTekS I) – Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yogyakarta, 11 – 12 Mei 2007

PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI SUBWAY UNTUK JAKARTA METRO

Paulus P. Rahardjo

Guru Besar Ilmu Geoteknik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

1. PENDAHULUAN Kecenderungan di dalam pertumbuhan transportasi kota Jakarta, dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk di dalamnya peningkatan jumlah penduduk (sebagai dampak dari migrasi dan angka kelahiran), dekonsentrasi geografis, peningkatan penghasilan dan aktifitas industri serta bisnis (W. Santosa, 2001). Peningkatan penduduk yang sangat drastis ini menyebabkan kebutuhan transportasi yang sangat tinggi. Meskipun kecepatan pertumbuhan (growth rate) Jakarta relatif menurun antara tahun 1970-1980, namun demikian pertumbuhan Botabek meningkat 3.8 % pada tahun 1970 dan 5.3 % pada tahun 1980-1985. Dan kontrasnya jumlah penduduk Botabek melebihi penduduk kota Jakarta. Pada tahun 2015 penduduk kota Jakarta akan mencapai 12 juta.

Jakarta akan mengalami kelumpuhan transportasi total menjelang tahun 2014 sebagaimana disampaikan Yayat Supriyatna (2004), planolog dan pemerhati masalah transportasi. Pendapat tersebut diperoleh dari hasil penelitian dan kajian sistem perencanaan transportasi makro di Jakarta. Pada saat itu diperkirakan jumlah kendaraan roda empat di Jakarta mencapai 3 juta unit sedangkan luas jalan mencapai 45 juta m2. Masalah ini akan merupakan ancaman bagi perkembangan kota Jakarta dan akan dialami dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun lagi.

Departemen Perhubungan menunjukkan 32 titik ruas jalan arteri (sama dengan 94 % ruas jalan arteri) telah mendapat beban lalu lintas melebihi kapasitasnya dengan sebutan ”pamer diranjang” (padat merayap dalam antrian panjang). Harus diakui bahwa penyebab dari masalah ini adalah daya tarik kota Jakarta dan perubahan terhadap sikap penduduk dalam memilih tempat tinggal. Dampak dari kedua hal tersebut adalah dibutuhkannya angkutan (pribadi maupun publik), peningkatan jumlah kendaraan bermotor secara drastis, dan ketidakteraturan lalu lintas. Bandingkan dengan Beijing dan Bangkok yang masing-masing akan menjadi tempat penyelenggaraan Olimpiade 2008 dan 2016. Kedua kota tersebut mempersiapkan diri dengan pengaturan transportasi masal menggunakan subway.

Pemerintah Propinsi DKI Jakarta akan menjadikan monorel dan subway sebagai bagian dari pola transportasi makro (Darmaningtyas, 2005). Rencana DKI Jakarta mendapatkan dukungan dari Presiden (Tempointeraktif, 13 Desember 2004). Pada saat ini Pemerintah DKI Jakarta banyak membangun underpass dan flyover untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas. Underpass merupakan terowongan dengan sistem konstruksi cut and cover. Kondisi ini tidak akan mampu bertahan untuk jangka panjang. Oleh karena itu, meskipun masih banyak pro dan kontra, pembangunan subway agaknya tidak dapat dihindarkan.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai rencana subway di DKI Jakarta dan pertimbangan geoteknik sehubungan dengan kondisi tanah dan geologi. Beberapa aspek teknis dibahas untuk memberikan ilustrasi metode konstruksi terowongan khususnya pada tanah lunak dan pengaruh dari konstruksi subway terhadap bangunan sekitarnya.

ISBN 979.9243.80.7 45

Page 2: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Paulus P. Rahardjo

Gambar 1. Terowongan Cawang yang menghubungkan jalan DI Panjaitan dan

Mayjen Sutoyo, Jakarta Timur

2. PERENCANAAN SUBWAY JAKARTA-METRO Perencanaan untuk subway Jakarta Metro dimulai pada tahun 1996 namun berhubung dengan krisis moneter tahun 1998 proyek ini tidak berlanjut. Ruas pertama yang dibangun adalah dari selatan ke utara mulai dari Jalan Fatmawati hingga Stasiun Kota sepanjang kurang lebih 17 km.

Gambar 2. Alternatif alinyemen subway Jakarta Metro

Untuk pemberhentian (station) dipilih 17 titik lokasi yang dipandang strategis yaitu pada daerah-daerah dimana pengguna jalan menunjukkan kondisi yang paling ramai

ISBN 979.9243.80.7 46

Page 3: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Pertimbangan Geoteknik pada Konstruksi Subway untuk Jakarta Metro

dan dekat dengan pusat-pusat kegiatan. Tentu saja banyak pertimbangan lain yang bersifat non teknis seperti misalnya meminimalisir pembebasan tanah.

Rute perjalanan adalah sepanjang jalan raya mulai dari Blok A – Blok M – Sisingamangaraja – Senayan – Bunderan HI – Monas – Harmoni – Glodok dan Stasiun Kota. Terpilih beberapa alternatif dengan sebagian jalur berada di atas permukaan (elevated) dan sebagian lain berada di bawah atau seluruhnya berada di bawah (underground).

Permasalahan dengan posisi di atas (elevated) adalah berkaitan dengan banyaknya pembebasan tanah dan kemacetan lalu lintas yang bakal terjadi pada saat konstruksi. Masalah lain adalah beberapa daerah berbenturan dengan posisi penyeberangan pejalan kaki, namun hal ini relatif lebih mudah penyesuaiannya dengan solusi teknis. Pada dasarnya pemilihan pada posisi atas tidak menimbulkan kesulitan teknis, namun masalah non teknis sangat menyulitkan.

Permasalahan dengan posisi di bawah (underground) adalah berkaitan dengan teknis yang membutuhkan sistem shield tunneling mengingat kondisi tanah relatif lunak dan padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain dengan posisi di bawah adalah perlunya dibangun stasiun-stasiun di bawah tanah dimana harus dilakukan galian dalam yang dapat menimbulkan permasalahan tersendiri baik terhadap lalu lintas maupun pengaruhnya terhadap bangunan sekitar.

3. KONSTRUKSI TEROWONGAN PADA TANAH LUNAK Dalam rekayasa terowongan, pengertian tanah lunak adalah material yang dapat digali secara manual. Material ini pada umumnya tidak dapat menahan berat sendiri dalam jangka waktu yang panjang. Umumnya tanah dalam teknologi terowongan termasuk dalam soft-ground. Pada pelaksanaan terowongan, terjadi peralihan atau pergerakan. Disamping itu, lapisan tanah berubah karakteristiknya pada saat terbuka keudara.

Kondisi tanah dapat menguntungkan yaitu bila penggalian terowongan tidak mengakibatkan kesulitan yang berarti, tetapi dapat juga tidak menguntungkan karena dapat membahayakan para pekerja, mengakibatkan kelambatan kerja dan penambahan biaya, dan dapat pula mengakibatkan penurunan tanah dipermukaan secara berlebihan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini harus memperoleh perhatian utama dan pada umumnya perlu dilakukan dengan perbaikan tanah terlebih dahulu.

Pada umumnya kondisi tanah yang baik tidak membutuhkan suatu penanganan khusus sedangkan media yang sering kita jumpai adalah material yang dapat mengalami masalah seperti perubahan volume ke dalam lubang galian. Untuk itu perlu dibedakan material yang bermasalah dan yang tidak menggunakan suatu besaran yang dapat terukur.

Menurut investigasi dari Broms dan Bennermark (1967), keruntuhan pada bidang bukaan tanah lempung vertikal akan terjadi apabila

Z6B1

2cP

u

z

+

π≥

ISBN 979.9243.80.7 47

Page 4: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Paulus P. Rahardjo

dimana

Pz = tegangan total pada kedalaman Z cu = kuat geser tanah tak teralir B = lebar bukaan

Untuk nilai Z/B 2, nilai kritis dari P≥ z/cu adalah 6.

Tanah yang kokoh dapat memberikan kondisi yang menguntungkan karena atap terowongan dapat dibiarkan tanpa disokong untuk beberapa waktu. Sebaliknya kondisi tanah lembek tidak menguntungkan karena mudah runtuh atau mengalir menutup rongga galian.

Tingkat kesulitan dan biaya untuk konstruksi terowongan pada tanah amat ditentukan oleh stand-up time dan posisi dari muka air tanah. Diatas muka air tanah, stand-up time ditentukan oleh kuat geser dan kuat tarik material, sedangkan dibawah muka air tanah, stand up time ditentukan oleh nilai permeabilitasnya. Terzaghi membedakan tanah dengan: Firm Ground, Ravelling Ground, Running Ground, Flowing Ground, Squezzing Ground dan Swelling Ground. Penjelasan dari klasifikasi Terzaghi diberikan oleh Tabel 1. Sistem klasifikasi ini lebih mudah untuk pelaksana terowongan, namun demikian, untuk perencana USCS masih terus digunakan.

Pada kondisi tanah yang buruk, dapat terjadi squeezing atau penciutan lubang galian, ravelling yaitu tanah atau batuan rontok secara bertahap, running, yaitu keruntuhan massa tanah atau batuan, dan flowing atau tanah mengalir (karena muka air tanah yang tinggi dan air cenderung membawa material tanah bersama sama kedalam lubang galian. Sedangkan terowongan pada batuan dapat mengalami tegangan residual yang besar, running, squezing dan juga swelling. Tabel 1. memberikan klasifikasi dari kondisi tanah dan respon tanah terhadap pembukaan lubang galian.

Tabel 1 Klasifikasi Tanah untuk Terowongan (Terzaghi, 1950)

ISBN 979.9243.80.7 48

Page 5: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Pertimbangan Geoteknik pada Konstruksi Subway untuk Jakarta Metro

Adanya boulder dalam tanah akan merupakan suatu kesulitan tersendiri karena shield tunneling tidak dapat mengatasinya. Batu yang besar didalam tanah juga akan menyebabkan kesulitan karena tidak dapat diatasi dengan excavator sehingga harus dihancurkan dengan jackhammer atau dengan cara diledakkan.

4. METODE PELAKSANAAN TEROWONGAN PADA TANAH LUNAK

Secara garis besar terdapat dua metode pembuatan terowongan pada tanah lunak, yaitu metode gali timbun (cut and cover) dan metode shield tunnelling.

Pembangunan terowongan pada tanah lunak awalnya menggunakan metode gali timbun, tetapi dalam situasi tertentu metode tersebut tidak dapat dilaksanakan, yaitu jika diatas terowongan yang hendak dibangun terdapat struktur bangunan atau struktur lain yang keberadaannya tidak dapat dihilangkan saat pelaksanaan konstruksi. Disamping itu metode gali timbun hanya dapat dilaksanakan pada kedalaman yang terbatas karena konstruksi penahan tanah akan menjadi terlalu mahal.

Cara pelaksanaan metode gali timbun yang demikian membutuhkan suatu sistem konstruksi penahan galian dalam, misalnya dengan penggunaan Berlin Wall atau penggunaan dinding diafragma. Bila galian amat dalam umumnya dibutuhkan penjangkaran.

Berlin Wall adalah suatu konstruksi soldier pile (umumnya dengan profil baja H atau I) yang dipancang pada jarak antara 1.0 hingga 3.0 m dan pembuatan horisontal lagging (dengan kayu) yang dipasang bersamaan dengan proses penggalian. Pertama kali sistem ini dibuat untuk terowongan di Berlin. Tetapi jika kondisi muka air tanah tinggi, maka konstruksi Berlin Wall akan membutuhkan sistem dewatering yang mungkin amat sulit karena penurunan muka air tanah akan mengganggu bangunan sekitarnya. Untuk mana dapat digunakan Dinding Diafragma yang dibuat dengan cara pengecoran beton secara menerus sebelum dilakukan penggalian tanah. Ketebalan dinding diafragma disesuaikan dengan rancangan terowongan. Tujuannya adalah untuk memikul beban vertikal, beban lateral dan gempa dan untuk memotong lapisan lapisan acquifer guna mencegah aliran air tanah kedalam lubang galian.

Untuk mengatasi masalah adanya bangunan diatas terowongan dan galian yang amat dalam tersebut maka dikembangkanlah metode shield tunnelling agar pekerjaan pembuatan terowongan dapat dilaksanakan. Tulisan ini tidak membahas secara khusus metode gali timbun dan lebih memfokuskan pada shield tunneling. Sedangkan pembahasan galian dalam diberikan pada bagian lain.

5. TUNNEL BORING MACHINE Awalnya pembuatan terowongan pada tanah lunak menggunakan metode seperti halnya dilaksanakan pada penambangan, yaitu penggalian secara manual dan menggunakan penyokong dari kayu agar tanah tidak runtuh.

Tahun 1818, merupakan awal dari perkembangan TBM dimana shield (pelindung) berupa lapisan penyokong dari baja dapat bergerak maju dengan bantuan dongkrak. Pada bagian muka dapat dilakukan penggalian. Setelah penggalian selesai, shield bergerak maju dan pada bagian yang telah digali dibuat lapisan pelindung permanen (lining).

ISBN 979.9243.80.7 49

Page 6: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Paulus P. Rahardjo

5.1. Shield Tunneling Shield adalah alat pemotong dan pendorong tanah berupa silinder yang terbuat dari pelat baja, dengan diameter sedikit lebih besar dari diameter keliling luar penampang terowongan. Pelat baja ini biasanya diperkaku dengan menggunakan dua buah interior ring girders, dimana salah satunya ditempatkan sedikit di belakang cutting edge yang berfungsi untuk memotong tanah. Untuk kondisi tanah lunak selubung bagian atas shield (atau pada keseluruhan kelilingnya) seringkali dibuat menerus ke depan sejarak sekitar 40-60 cm untuk menahan keruntuhan tanah saat pendorongan.

Penggunaan Shield Tunneling adalah mahal, tetapi metode ini menawarkan keuntungan dari segi kecepatan, mengatasi masalah air, mengurangi settlement dipermukaan tanah dan lain lain. Metode ini sangat cocok digunakan pada tanah lunak.

Untuk menjalankan shield, digunakan hydraulic jack yang dipasang pada web dari ring girder pada posisi di dekan tepi keliling shield. Hydraulic jacks tersebut disebarkan sepanjang keliling ring girder, yang sudah diperkaku dengan menggunakan steel bracket pada cutting edge. Bila diberikan tekanan pada hydraulic jacks, maka jacks akan menekan maju ring girder (dan sekaligus juga cutting edge), dengan berlandaskan (sebagai tumpuan tekanan) pada lining terowongan yang sudah terpasang, yang pada umumnya terdiri dari segmen-segmen (linear segments) yang terbuat dari beton pracetak bermutu tinggi. Dalam hal ini pemasangan linear segments biasa dilakukan oleh sebuah ”lengan berputar” yang disebut erector, yang juga digerakkan oleh pompa hidraulis. Tekanan yang dihasilkan oleh pompa hidraulis pada umumnya cukup besar sekitar 30-60 Mpa, tergantung ukuran diameter shield dan jenis tanah yang dijumpai di lokasi terowongan. Demikian pula kecepatan kemajuan pemotongan tanah dan metode penggaliannya akan banyak ditentukan oleh jenis tanahnya (tanah kohesif atau non kohesif, tanah lunak atau stiff).

Mesin yang digunakan dalam pembuatan terowongan disebut Tunnel Boring Machine (TBM), yang terdiri dari bagian alat pemotong yang berputar atau bergerak menggaruk tanah. TBM bergerak maju dengan menggunakan dongkrak. Karena pada tanah lunak dapat mengalami keruntuhan, maka bagian muka galian harus disokong sementara sebelum pemasangan lining.

Perkembangan ini berlanjut dan hingga saat ini terdapat dua jenis TBM untuk Shield Tunneling yaitu TBM dengan mesin slurry (Slurry Faced TBM) dan EPB (Earth Pressure Balance).

Selain berfungsi untuk menggali, TBM juga berfungsi untuk memindahkan material yang digali dan meratakan letak galian terowongan, serta sebagai penyokong sebelum konstruksi permanen dipasang. TBM dapat membantu mengatasi keadaan tanah yang sulit untuk digali.

Pemilihan jenis mesin (TBM) bergantung kepada kondisi tanah, kondisi air dalam tanah, ukuran terowongan, sistem penyokong dan kondisi lingkungan saat penggalian.

5.2. Slurry Faced TBM Mesin penggali terowongan dengan menggunakan bubur (slurry) yang disemprotkan sehingga tanah yang digali dapat dicampur dan dibawa kepermukaan dengan pipa. Setelah proses penggalian, lining dapat dipasang dibelakangnya. Sistem ini ditemukan di Inggris pada tahun 1960.

ISBN 979.9243.80.7 50

Page 7: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Pertimbangan Geoteknik pada Konstruksi Subway untuk Jakarta Metro

Gambar 3. Shield Tunneling: Slurry Faced TBM

5.3. Earth Pressure Balance (EPB) Dengan teknologi yang semakin canggih, Sato Kogyo dari Jepang berhasil mendesain TBM dengan EPB pada tahun 1963 dengan prinsip bahwa bagian muka terowongan distabilisasi dengan tekanan yang “seimbang” dengan tekanan dimuka terowongan untuk mencegah pergerakan tanah.

Hasil galian dibawa menggunakan ban berjalan (belt-conveyor) dalam sebuah pipa dengan prinsip pemindahan material dari daerah bertekanan tinggi kedaerah yang bertekanan lebih rendah, yang membutuhkan tempat yang lebih besar jika tekanannya turun secara drastis.

Sistim EPB adalah sistem yang dipakai untuk pembuatan terowongan dibawah tekanan air tanah. Beberapa tahun yang lalu di Perancis terdapat TBM yang dioperasikan dibawah laut, didesain untuk menggali dan membuat lining pada tekanan air 10 bar pada batuan bersesar.

Gambar 4 dan Gambar 5. menjelaskan kedua sistem TBM tersebut. Menurut catatan Schlosser (1989), maka penggunaan Slurry Faced TBM maupun EPB adalah semakin besar.

Gambar 4. Shield Tunneling: Earth Pressure Balance (EPB) TBM

ISBN 979.9243.80.7 51

Page 8: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Paulus P. Rahardjo

Gambar 5. Skema Cara Kerja Slurry Faced TBM

6. KONSTRUKSI LINING Beban yang dipikul oleh sistem penahan (support system) tergantung pada kondisi tanah saat pemasangannya. Bila tanah telah mencapai keseimbangan, maka lining ini tidak akan mengalami beban yang terlalu berarti, sebaliknya bila lining dipasang sebelum kondisi keseimbangan tercapai, hal ini akan menjadi suatu kondisi batas yang baru terhadap keadaan tersebut atau terhadap tegangan dan regangan mula mula. Kondisi ini akan mengakibatkan bahwa tegangan yang bekerja pada lining bukanlah merupakan tegangan yang mula mula bekerja sebelum dilakukan penggalian.

Lining terowongan atau suatu sistem pendukung dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat permanen. Studi untuk konstruksi ini terdiri dari dua langkah: pertama, studi ini mengevaluasi apa yang diharapkan terjadi terhadap lining ini sepanjang perubahan kondisi yang terjadi dalam massa pelaksanaan. Langkah kedua adalah penyelidikan untuk menentukan bagaimana peristiwa tersebut akan terjadi. Suatu sistem dinding penahan dapat berfungsi berbeda beda pada satu saat dan saat lain. Arah dan besarnya beban yang besar dapat berubah dari waktu ke waktu.

Gambar 6. Pemasangan Segmen Lining

ISBN 979.9243.80.7 52

Page 9: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Pertimbangan Geoteknik pada Konstruksi Subway untuk Jakarta Metro

Gambar 7. Segmen lining beton yang telah terpasang

Persyaratan pokok pada lining permanen adalah kekuatan, stabilitas, ketahanan dan pengendalian rembesan dan deformasi sepanjang umur terowongan. Dua kriteria yang menentukan keberhasilan konstruksi terowongan pada tanah adalah kemampuan lining untuk menahan beban dan deformasi dan penurunan tanah permukaan akibat penggalian.

Gambar 8. Segmen lining dari baja

ISBN 979.9243.80.7 53

Page 10: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Paulus P. Rahardjo

Gambar 9. Pengencangan pada segmen baja

Gambar 10. Sistem pengencangan antara lining dan sistem waterproof

ISBN 979.9243.80.7 54

Page 11: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Pertimbangan Geoteknik pada Konstruksi Subway untuk Jakarta Metro

Suatu lining harus memenuhi syarat-syarat : cukup kaku, dapat dipasang berdasarkan teknologi konstruksi yang ada dan memberikan kekedapan yang cukup. Dalam hal tertentu seperti lining yang dibuat dibawah air laut, maka konstruksi lining harus dapat menahan korosi.

Konstruksi lining dapat bersifat tidak permanen seperti penggunaan shotcrete atau bersifat permanen seperti penggunaan busur plat baja atau segmen beton. Dalam hal digunakan baja, kebocoran dapat diatasi dengan cara las tetapi kerugian plat baja adalah karena korosif. Sedangkan aplikasi segmen beton untuk lining dapat dicapai dengan sistem bolt dan seal bitumen.

7. EFEK KONSTRUKSI TEROWONGAN PADA SETTLEMENT DI PERMUKAAN TANAH

Penurunan tanah dipermukaan adalah akibat deformasi yang terjadi disekitar galian dan tergantung kepada cara pelaksanaan, kecepatan penggalian dan tegangan tegangan awal pada tanah (Peck, 1969).

Secara umum terdapat lima tahapan deformasi akibat penggunaan metode shield tunneling, yaitu:

1 Penurunan awal

Terjadi pada lokasi yang jauh di depan mesin shield. Pada tanah pasir, penurunan tersebut disebabkan oleh turunnya muka air tanah.

2 Deformasi tanah pada bagian muka galian

Penurunan ini berlangsung seketika karena ketidakseimbangan tegangan antara penyokong terowongan dengan tanah atau air pada bagian muka terowongan. Deformasi pada bagian ini dapat direduksi bila digunakan metode pressurized face atau compensation grouting.

3 Penurunan di atas posisi shield bekerja

Penurunan ini terjadi bila rongga galian besar dan akibat problem kontrol alinyemen shield.

4 Penurunan setelah konstruksi rongga terbentuk, penurunan ini terjadi karena adanya rongga antara galian tanah dan posisi lining (tail void).

5 Penurunan jangka panjang

Terjadi sebagai akibat peningkatan tekanan air pori sehubungan dengan gerakan shield mendorong tanah. Hal ini akan menjadi lebih serius jika penggalian dilaksanakan pada lempung lunak dengan tegangan air ekses terjadi dan berdisipasi untuk mencapai keseimbangan jangka panjang.

ISBN 979.9243.80.7 55

Page 12: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Paulus P. Rahardjo

Gambar 11. Tahapan Deformasi Akibat Shield Tunneling

Dengan adanya penggalian untuk terowongan, maka akan terjadi penurunan di atas terowongan dan di belakang posisi galian. Umumnya deformasi di sekitar terowongan berupa suatu depresi yang simetris. Pola penurunan tanah bergantung pada jenis tanah, diameter terowongan, kedalaman terowongan di bawah permukaan tanah dan cara konstruksinya.

Dengan menggunakan metode empirik yang berhubungan dengan bentuk geometri dari settlement itu sendiri, diasumsikan kondisi simple dari lapisan tanah adalah homogen dan isotropik maka ditemukan di mana bentuk profil dari settlement permukaan yang terjadi akibat pembangunan terowongan diberikan oleh teori distribusi Gaussian (Peck, 1969) yang menunjukkan bahwa pada arah melintang dari sumbu terowongan, terjadi penurunan yang seketika yang mengikuti distribusi Gaussian dalam bentuk formula berikut:

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −•= 2

2

max i2yexpSS

dimana:

S = lendutan permukaan pada titik tertentu Smax = lendutan permukaan maksimum (di atas as terowongan)

= 0

2313.0ZK

DVt

×××

y = jarak horisontal arah tegak lurus terowongan dari titik pusat terowongan i = jarak horisontal dari sumbu terowongan ke « point of inflection »

= 0ZK ×

K = parameter empiris = f(i, Z0)

=

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

+

0

1

175.0325.0

zz

= 0.5 untuk tanah lempung = 0.25 – 0.35 untuk tanah pasir

Z0 = kedalaman dari permukaan tanah ke sumbu terowongan

ISBN 979.9243.80.7 56

Page 13: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Pertimbangan Geoteknik pada Konstruksi Subway untuk Jakarta Metro

Vs = volume galian terowongan = iS ×× π2max (per satuan panjang terowongan) VL = volume loss

= 2s

DV4

×π×

= 0.5% - 2.5% untuk tanah lunak (sumber: P.B. Attewel) D = diameter luar terowongan

Gambar 12. Profil Melintang Penurunan Permukaan Tanah Akibat Shield Tunneling

Sugiyama et al. (1999), mendapatkan bahwa nilai i bergantung kepada rasio dari C/D sebagaimana dapat dilihat pada Gbr. 12 dan 13.

Gambar 13. Variasi Nilai i terhadap Parameter C/D (Cover/Diameter) pada Tanah

Lempung (sumber: Sugiyama, et al., 1999)

Gambar 14. Variasi Nilai i terhadap Parameter C/D (Cover/Diameter) pada Pasir dan

Kerikil (sumber: Sugiyama, et al., 1999)

ISBN 979.9243.80.7 57

Page 14: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Paulus P. Rahardjo

8. MASALAH PADA KONSTRUKSI TEROWONGAN DAN TEKNIK PERBAIKAN TANAH

Beberapa masalah dengan konstruksi terowongan diantaranya :

Penurunan dipermukaan tanah akibat galian terowongan Masalah masuknya air kedalam terowongan Keruntuhan dimuka terowongan Pergerakan dari struktur dibawah tanah Bocoran pada lining, dan lain-lain

Penurunan permukaan tanah pada terowongan didekat permukaan dapat mengakibatkan misalnya kegagalan dari struktur diatasnya seperti diperlihatkan pada Gbr. 15. Demikian pula pembangunan terowongan di dekat pondasi eksisting, dapat menyebabkan kegagalan pondasi.

Gambar 15. Kegagalan Akibat Penurunan pada Konstruksi Terowongan Dekat

Permukaan Tanah

Gambar 16. Sistem Perbaikan Tanah dan Pondasi di dekat Posisi Terowongan

9. ANTISIPASI MASALAH PADA BEBERAPA LOKASI 9.1. KM 12+250 – KM 13+000 (Senayan Station) Pada lokasi ini elevasi jalur kereta api dapat berada di atas maupun di bawah. Bilamana alinyemen di atas maka elevasi harus di atas jembatan-jembatan penyeberangan sehingga dibutuhkan pilar-pilar yang tingginya antara 12 - 15 meter.

ISBN 979.9243.80.7 58

Page 15: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Pertimbangan Geoteknik pada Konstruksi Subway untuk Jakarta Metro

Dengan adanya stasiun busway, maka posisi ini menjadi lebih sulit. Sebaliknya bila posisi berada di bawah maka dibutuhkan suatu galian dalam pada daerah jalan utama (jalur cepat).

Gambar 17. KM 12+250 – KM 13+000 (Senayan Station)

9.2. KM 13+750 – KM 14+500 (Bendungan Hilir Station) Bendungan Hilir letaknya amat berdekatan dengan Semanggi. Mengingat simpang susun Semanggi telah ada konstruksi maka pilihan yang baik adalah bila posisi berada di bawah permukaan tanah. Masalah yang diantisipasi adalah bahwa di bawah jembatan telah ada pondasi dan harus diperhitungkan. Galian terowongan tidak dapat berbenturan dengan posisi tiang pondasi tapi juga saat pelaksanaan perlu diperhitungkan efek galian terhadap pergerakan tiang. Umumnya bila trase terowongan berada pada tanah yang keras, pengaruhnya tidak begitu signifikan tetapi berarti harus cukup dalam. Disini akan berdampak pada elevasi stasiun karena galian akan menjadi sangat dalam.

Gambar 18. KM 13+750 – KM 14+500 (Bendungan Hilir Station)

ISBN 979.9243.80.7 59

Page 16: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Paulus P. Rahardjo

9.3. KM 16+000 – KM 16+750 (Dukuh Atas Station) Posisi stasiun berada di Kali Malang. Akan lebih aman bila stasiun berada di atas Kali Malang. Bila dilakukan galian, maka dapat terjadi penurunan yang membahayakan Kali Malang, atau posisi stasiun harus dipindahkan ke arah utara. Jadi persoalan disini agak kompleks.

Gambar 19. KM 16+100 – KM 16+750 (Dukuh Atas Station)

9.4. KM 23+500 – KM 24+250 (Stasiun Kota) Untuk menghindari atau meminimalisir pembebasan tanah, maka stasiun dapat diletakkan di atas emplasemen. Alternatif lain adalah menggunakan terowongan, tetapi pada daerah ini kondisi tanah amat lunak. Pergerakan daerah sekitar bisa diantisipasi.

Gambar 20. KM 23+500 – KM 24+250 (Stasiun Kota)

10. KESIMPULAN − Dari kebutuhan lalu lintas, moda transportasi Jakarta Metro dapat menjadi

alternatif solusi. Bila posisi moda tersebut di atas maka masalah pembebasan

ISBN 979.9243.80.7 60

Page 17: PERTIMBANGAN GEOTEKNIK PADA KONSTRUKSI …konteks.id/p/01-036.pdf · padat dengan bangunan sehingga terdapat resiko penurunan bangunan akibat dari proses konstruksi. Masalah lain

Pertimbangan Geoteknik pada Konstruksi Subway untuk Jakarta Metro

tanah dan kemacetan lalu lintas akan merupakan persoalan serius tetapi bila diletakkan di bawah persoalan teknis lebih berat.

− Keputusan untuk menempatkan jalur kereta api di bawah atau di atas perlu memperhitungkan aspek geoteknik termasuk kondisi tanah, pengaruh konstruksi pada bangunan sekitar, metode konstruksi dan keamanan pada saat pelaksanaan.

− Sebaiknya Jakarta Metro perlu terintegrasi dengan moda pengangkutan umum yang telah ada. Bila perlu ditambahkan sistem transportasi penunjang dan fasilitas-fasilitas lain yang mendukung.

11. DAFTAR PUSTAKA 1. Broms, B.B. and Bennermark, H. (1967), Stability of Clay at Vertical Openings,

Journal ASCE vol 3, pp 71-94.

2. Darmaningtyas (2005), Kaji Ulang pembangunan Monorel dan Subway, Harian Kompas, Sabtu, 26 Februari 2005.

3. Mair, R.J., Taylor, R.N. and Bracegirdle, A. 1993, Subsurface Settlement Profiles Above Tunnels in Clays, Geotechnique, Vol. 43, No. 2, pp. 315-320.

4. Peck, R.B. (1969), Deep Excavation and Tunneling in Soft Ground, Proc. of the 7th Int. Conf. on SMFE (Mexico), State of the Art Volume, pp. 225-290.

5. Santosa, W. (2001), Jakarta Subway Project: Necessity or Luxury?, Prosiding Seminar: Subway Construction, 29 Agustus 2001, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, pp. 79-89.

6. Sugiyama, et al. (1999), Observations of Ground Movements During Tunnel Construction by Slurry Shield Method at The Docklands Light Railway Lewisham Extension-East London, Soils and Foundations, Vol. 39, No. 3, p 99-112, June 1999, Japanese Geotechnical Society.

7. Supriatna, Y. (2004), Jakarta Menjelang Kelumpuhan Total, Harian Kompas, Senin, 18 Oktober 2004.

8. Sari, S. I. (2004), Presiden Dukung Pembangunan Subway dan Perumahan Massal, Tempo Interaktif, Senin, 13 Desember 2004.

ISBN 979.9243.80.7 61