Pertanian Organik, Mungkinkah?

18
TUGAS KULIAH SISTEM PERTANIAN ORGANIK Oleh: Widya Erja Syafitri 1310211153 Kelas : B Dosen Pengasuh Mata Kuliah : Dr. Ir. Agustian PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS 2015

description

Tugas Kuliah

Transcript of Pertanian Organik, Mungkinkah?

TUGAS KULIAH

SISTEM PERTANIAN ORGANIK

Oleh:Widya Erja Syafitri

1310211153

Kelas : BDosen Pengasuh Mata Kuliah : Dr. Ir. AgustianPROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2015Latar Belakang Munculnya Pertanian OrganikPertanian organik adalah sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Beberapa tanaman Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan teknik tersebut adalah padi, hortikultura sayuran dan buah (contohnya: brokoli, kubis merah, jeruk, dll.), tanaman perkebunan (kopi, teh, kelapa, dll.), dan rempah-rempah. Pengolahan pertanian organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan. Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan. Pertanian organik harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan. Pertanian organik juga harus memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan. Untuk mencapai pertanian organik yang baik perlu dilakukan pengelolaan yang berhati-hati dan bertanggungjawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia baik pada masa kini maupun pada masa depan.Pupuk sintetis telah dibuat pada abad ke 18, berupa superfosfat. Lalu pupuk berbahan dasar amonia mulai diproduksi secara masal ketika proses Haber dikembangkan semasa Perang Dunia I. Pupuk ini murah, bernutrisi, dan mudah ditransportasikan dalam bentuk curah. Perkembangan juga terjadi pada pestisida kimia pada tahun 1940an, yang memicu penggunaan bahan kimia pertanian secara besar-besaran di seluruh dunia. Namun sistem pertanian baru yang mulai berkembang ini membawa dampak serius secara jangka panjang pada pemadatan tanah, erosi, penurunan kesuburan tanah secara keseluruhan, juga dampak kesehatan pada manusia akibat bahan kimia beracun yang masuk ke bahan pangan. Para pakar biologi tanah mulai mengembangkan teori mengenai bagaimana ilmu biologi dapat digunakan pada pertanian untuk menanggulangi dampak negatif bahan kimia pertanian tanpa mengurangi hasil produksi pertanian. Biodinamika biologi berkembang pada tahun 1920an dan menjadi versi awal dari pertanian organik yang dikenal sekarang. Sistem ini berdasarkan filosofi antroposofi dari Rudolf Steiner.

Pada tahun 1930an dan awal 1940an, pakar botani terkemuka Sir Albert Howard dan istrinya Gabriel Howard mengembangkan pertanian organik. Howard terinspirasi dari pengalaman mereka mengenai metode pertanian tradisional di India, pengetahuan mereka mengenai biodinamika, dan latar belakang pendidikan mereka. Sir Albert Howard dapat dikatakan sebagai "bapak pertanian organik" karena ia yang pertama kali menerapkan prinsip ilmiah pada berbagai metode pertanian tradisional dan alami.

Meningkatnya kesadaran lingkungan secara umum pada populasi manusia di masa modern telah mengubah gerakan organik yang awalnya dikendalikan oleh suplai, kini dikendalikan oleh permintaan pasar. Harga yang tinggi dan subsidi dari pemerintah menarik perhatian petani. Di negara berkembang, berbagai produsen pertanian yang bekerja dengan prinsip tradisional dapat dikatakan setara dengan pertanian organik namun tidak bersertifikat dan tidak mengikuti perkembangan ilmiah dalam pertanian organik. Sehingga beberapa petani tradisional dapat berpindah menjadi petani organik dengan mudah, yang terdorong oleh alasan ekonomi. Pertanian Organik dalam Global Food Security

Di banyak negara termasuk Indonesia, konsep yang dianut dan mendasari hampir seluruh kebijakan dan strategi pertanian dan penyediaan pangan adalah ketahanan pangan (food security). Konsep ini telah mulai digodok semenjak akhir tahun 1970-an, dan kemudian banyak mengalami perubahan dari sisi fokus dan pendekatan. Lalu, mulai dari pertengahan tahun 1990-an, akibat ketidakpuasan terhadap kondisi pangan lokal dan perdagangan pangan dunia, muncul konsep dan pendekaan baru yaitu kedaulatan pangan (food sovereignty).Ketahanan pangan merupakan satu contoh konsep yang semula sederhana, luas, dan kualitatif; lalu berubah menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitaif (Maxwell dan Smith, 1992). Pada dasarnya, ketahanan pangan adalah tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi. Jadi kuncinya adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya. Ketersediaan berkaitan dengan aspek produksi dan suplai, keterjangkauan merupakan aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek distribusi. Konsep ketahanan pangan sudah cukup lama bergulir, namun banyak mengalami perubahan. Pada dekade 1960-an dan 1970-an, ketika dunia dihadapkan kepada ketidakcukupan produksi pangan, definisi ketahanan pangan ditekankan kepada penyediaan pangan yang cukup (United Nation, 1975). Tahun 1983, FAO menyusun definisi baru dengan memasukkan faktor jaminan akses (FAO, 1983). Tahun 1986, konsep ini diperluas lagi dengan memasukkan kemiskinan, pendapatan, bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik.Pada periode 1990-an, konsep ketahanan pangan lalu memasukkan keamanan pangan (food safety) dan kekurangan protein dan energi (protein-energy malnutrition) yang dibutuhkan untuk hidup secara aktif dan sehat. Pertemuan The World Food Summit di Roma tahun 1996, melahirkan dua kesepakatan yaitu tentang Deklarasi Roma untuk ketahanan pangan dunia (World Food Security) dan Rencana Aksi (the World Food Summit, Plan of Action). Deklarasi Roma menyepakati seluruh anggota PBB untuk menargetkan bahwa pada tahun 2015 agar dapat mengurangi setengah dari jumlah orang yang kekurangan pangan di dunia. Target ini kemudian diadopsi dalam pertemuan Millenium Summit tahun 2000, dan dipertegas lagi pada konferensi bulan Juni 2002 di Roma.Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dalam siaran pers ISIS mengatakan bahwa pertanian organik dapat mengurangi kelaparan, memecahkan masalah perubahan iklim, baik untuk petani, konsumen dan lingkungan. Seperti Laporan Lembaga Keamanan Pangan dan Pertanian Organik (Organic Agriculture and Food Security) yang menyebutkan bahwa pertanian organik dapat menghadapi tantangan keamanan pangan lokal dan global. Pertanian organik tidak membutuhkan waktu yang lama untuk masuk di pasar negara maju, bahkan telah menjadi sistem pertanian komersial yang besar di 120 negara, meliputi 31 juta hektar lahan yang dibudidayakan plus 62 juta hektar area alami bersertifikat. Pasar organik bernilai 40 milyar dollar AS dan diperkirakan mencapai 70 milyar dollar AS pada 2012.Nadia Scialabba, dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (United Nations Food and Agricultural Organisation FAO) mendefinisikan pertanian organik sebagai: "Keseluruhan sistem managemen produksi yang menghindari penggunaan pupuk, pestisida sintetis dan organisme rekayasa genetik (GMO atau transgenik), meminimalkan polusi udara, tanah, dan air serta mengutamakan kesehatan dan produktivitas tanaman, binatang dan manusia."Manfaat besar pertanian organik menurut Scialabba adalah berkurangnya ketergantungan pada energi fosil, sumber daya lokal yang meminimalkan tekanan pada agro-ekologi dan biaya yang efektif. Dia menggambarkan pertanian organik sebagai neo-traditional food system yang mengkombinasikan ilmu pengetahuan modern dan tradisional.Para peneliti pun merekomendasikan untuk beralih ke pertanian organik khususnya bagi negara berkembang. Dalam siaran pers ini disebutkan bahwa hasil penelitian tim yang dipimpin Catherine Badgley dari Universitas Michigan pada pertanian di negara berkembang dan maju menunjukkan bahwa konversi pertanian global ke pertanian organik dapat menghasilkan suplai 2.640 sampai 4.380 kcal/hari per orang.Fakta bahwa intensifikasi pertanian organik dapat meningkatkan produksi hingga 56 persen merupakan berita menggembirakan bagi negara yang kekurangan pangan dan mengalami gizi buruk. Seperti yang selama ini terjadi di negara pengembang pertanian konvensional, sub-Sahara Afrika, dimana gizi buruk meningkat dua kali lipat, dari 96 juta pada 1970 menjadi 200 juta pada 1996.Laporan FAO juga menyatakan manfaat pertanian organik seperti keselamatan binatang, perlindungan hidupan liar, menghindari pestisida dan GMO, dan energi yang lebih sedikit. Hasil studi Departemen Pertanian Amerika Serikat mendukung temuan FAO ini menunjukkan bahwa hasil tanam organik lebih bernilai daripada hasil tanam konvensional di pasar, dan rata-rata petani mendapat nilai bersih 50-60 dollar lebih per acre dengan organik, meski dengan nilai transisi yang tinggi.Sementara itu ekspansi dan intensifikasi pertanian konvensional tidak hanya berbahaya pada lingkungan, tetapi juga pada sumber penting pertanian. Selama dua dekade lalu, sekitar 15 juta ha hutan tropis telah hilang setiap tahun untuk menyediakan lahan pertanian, dan luar biasa menghilangkan keragaman genetik. Dalam waktu yang sama erosi tanah dan bentuk degradasi lahan lainnya di seluruh dunia bernilai antara 5-7 juta ha pertanian setiap tahun, lebih dari 1,5 juta ha kehilangan kadar air dan garam, dan tambahan 30 juta ha rusak.Di pihak lain pertanian organik memiliki trend yang sebaliknya dan mengurangi karbondioksida, nitroksida dan metana, gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi pada pemanasan global. Pertanian organik dapat melipatgandakan karbon tanah dan mengurangi GRK 48-60 persen. Contohnya, sistem organik telah menurunkan penggunaan energi fosil antara 10-70 persen di Eropa dan 29-37 persen di AS.Pada pertanian organik, peningkatan bahan organik tanah dan biomassa mikroba merupakan hal yang mendasar untuk mendukung stabilitas agro-ekosistem. Dengan rotasi tanaman, penggunaan benih lokal dan regenerasi fungsi keanekaragaman hayati merupakan kontribusi bagi keseimbangan ekologi.Selanjutnya masyarakat organik pun menciptakan lingkungan yang sehat bagi penduduk dan menyediakan nutrisi makanan pada restaurant, pasar dan toko lokal. Maka dengan produk organik, hendaknya konsumen sudi membayar harga yang lebih untuk biaya pelabelan yang baik dan menerima beberapa harga ekstra pertanian organik.Permintaan produk organik menguat di negara seperti Brazil yang akan menjadi pengembang tercepat pertanian organik dan India yang menggunakan produk lokal. Tantangan utama pasar internasional adalah mengarahkan produsen bersama menciptakan mata rantai fair trade, menginformasikan pilihan dan asal-usul yang jelas.Produksi pangan organik juga bermanfaat bagi petani. Hak petani atas benih dan varietas lokal menguat, adanya tukar-menukar informasi, pendapatan meningkat, produksi meningkat, perlindungan lingkungan dan kesehatan, dan sumber alami terlindungi. Untuk mengintensifkan penyebaran informasi organik, FAO menyatakan pentingnya pengembangan dan penelitian pada berbagai pihak.Pada 2003, Badan Standarisasi Makanan Inggris (UK Food Standards Agency atau FSA) menyatakan bahwa membeli organik adalah langkah mengurangi risiko makanan mengandung pestisida. Residu pestisida yang digunakan di pertanian konvensional seperti organophosphat diduga penyebab kanker, janin tidak normal, sindrom keletihan kronis, kelumpuhan, alergi, khususnya untuk anak, dan kanker payudara pada wanita. Pemerintah Amerika Serikat (AS) memasukkan residu pestisida sebagai salah satu dari tiga hal utama penyebab kanker.Studi di Seattle menemukan konsentrasi residu pestisida enam kali lebih tinggi pada anak-anak yang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran konvensional. Sehingga larangan penggunaan bahan sintetis pada pertanian organik dapat mencegah racun pestisida yang menyebabkan kematian 20.000 orang tiap tahun pada praktik pertanian konvensional.Menurut Yusuf (2001) beberapa kendala atau permasalahan dalam pengembangan pertanian organik antara lain :

1. Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia

Tingkat pendidikan petani masih sangat rendah hal ini dapat dilihat dengan persentase masyarakat yang mengejam pendidikan sebagai berikut : usaha tanaman pangan dilakukan oleh 81,72 % petani dimana SDM-nya 88,14 % tidak lulus SMA, 14 % petani tidak pernah sekolah dan 73 % hanya lulusan atau bahkan tidak tamat SD (Purwoko, 2004). Tingkat pendidikan masyarakat petani yang rendah akan berpengaruh terhadap pola pikir masyaratkat petani.

2. Lahan Pertanian yang Dimiliki Relatif Sempit

Hasil sensus pertanian 1993 menunjukkan kondisi yang memprihatinkan karena lebih dari 10,5 juta (53 %) rumah tangga petani menguasai kurang dari 0,25 Ha. Sedangkan hasil penelitian PATANAS 2000 tentang penguasaan lahan lebih memprihatinkan lagi, terutama lahan sawah. Dipulau Jawa, sekitar 88% rumah tangga petani menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 Ha dan sekitar 76 % menguasai lahan sawah kurang dari 0,25 Ha. Sementara itu, di luar pulau Jawa kondisinya masih lebih baik dibandingkan di Jawa (Purwoko, 2004).

3. Kebiasaan Petani Dalam Menggunakan Pestisida Dan Pupuk Kimia

Petani pada umumnya melakukan kegiatan pertanian secara konvensional yang dikelola secara tradisional. Petani tersebut sangat tergantung pada pupuk dan pestisda kimia dan melakukan kegiatan produksi pertaniannya (Sudiarso, 2004). Keadaan seperti ini sangat sulit dirubah dan membutuhkan waktu dan biaya yang cukup banyak. Serta melibatkan banyak pihak, baik swasta maupun pemerintah dan tentu saja masyarakat itu sendiri.

4. Belum Ada Jaminan Pasar Atau Harga Khusus Untuk Produk Organik

Produk organik masih terasa berat untuk di konsumsi oleh konsumen. Konsumen tidak mengetahui berapa harga produk tersebut dan dimana konsumen bisa mendapatkan produk tersebut. Disamping juga adanya suatu pemikiran konsumen apakah berbahaya bila mengkonsumsi produk organik tersebut (Sudiarso, 2004).Sebagai solusi yang ditawarkan dari sistem pertanin organik yaitu lebih mendukung usahatani yang berkelanjutan, penggunaan input luar yang rendah, perubahan pola konsumsi manusia, menghasilkan produk makanan yang sehat, adanya dukungan dari lembaga pemerintah dan swasta, ramah lingkungan.Pertanian Berkelanjutan di Negara BerkembangMemasuki abad 21 ini, kesadaran akan pertanian yang ramah lingkungan semakin meningkat, sejalan dengan tuntuan era globalisasi dan perdagangan bebas, ha ini terutama sekali dirasakan di negara-negara maju, misalnya negara-negara Amerika dan negara-negara Eropa. Smsentara itu negara-negara berkembang misalnya Indonesia, tampaknya masih terpuruk an berkutat dengan dampak negatif green revolution. Lahan-lahan sawah di pulau Jawa sebagai sentra produksi padi menunjukkan indikasi adanya oenuruanan produktifitas. Sawah-sawah mengalami kejenuhan berat atau pelandaian produktivitas karena pemakain pupuk kimia dan obat-obatan yang sudah melampaui ambang batas normal.Konsep pertanian yang berkelanjutan terus berkembang, diperkaya dan dipertajam dengan kajian pemikiran, model, metode, dan teori berbagai disiplin ilmu sehingga menjadi suatu kajian ilmu terapan yang diabadikan bagi kemaslahatan umat manusia untuk generasi sekarang dan mendatang. Pertanian berkelanjutan dengan pendekatan sistem dan besifat holistik mempertautkan berbagai aspek atau gatrs dan disiplin ilmu yang sudah mapan antara lain agronomi, ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya.Sistem pertanian berkelanjutan juga beisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikkan pada lingkungan sumber daya alam dengan memepertimbangkan tiga matra atau aspek sebagai berikut

1. Kesadaran Lingkungan (Ecologically Sound), sistem budidaya pertanian tidak boleh mnyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbanganadalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismena dikendalikanoleh hukum alam.

2. Bernilai ekonomis (Economic Valueable), sistem budidaya pertanian harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi.

3. Berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just), sistem pertanian harus selaras dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya sebagai contoh seorang petani akan mengusahakan peternakan ayam diperkaangan milik sendiri. Mungkin secra ekonomis dan ekologis menjanjikkan keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan aspek yang kurang baik misalnya, pencemaran udara karena bau kotoran ayam.

Norma-norma sosial dan budaya harus diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia biasanya jarak antara perumahan penduduk dengan areal pertanian sangat berdekatan. Didukung dengan tingginya nilai sosial pertimbangan utama sebelum merencanakan suatu usaha pertanian dalam arti luas.

Lima kriteria untuk mengelola suatu sistem pertanian berkelanjutan :

1. Kelayakan ekonomis (economic viability)

2. Bernuansa dan bersahabat dengan ekologi (accologically sound and friendly)

3. Diterima secara sosial (Social just)

4. Kepantasan secara budaya (Culturally approiate)

5. Pendekatan sistem holistik (sistem and hollisticc approach)

Sertifikasi Produk Organik

Sertifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan, pasca panen, dan pemasaran harus sesuai standar yang ditetapkan oleh badan standarisasi. Dalam hal ini penggunaan GMO (Genetically Modified Organisme) tidak diperkenankan dalam setiap tahapan pertanian organik mulai produksi hingga pasca panen.Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:

(a) Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia buatan pabrik dalam jumlah yang minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida buatan pabrik. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agen hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait,

dan(b) Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.Menurut IFOAM (2005), terdapat beberapa prinsip pertanian organik yang harus digunakan secara menyeluruh dan dibuat sebagai prinsip-prinsip etis yang mengilhami tindakan.1. Prinsip Kesehatan

Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia. Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan. Hal ini tidak saja sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, sosial dan ekologi. Ketahanan tubuh, keceriaan dan pembaharuan diri merupakan hal mendasar untuk menuju sehat. Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Mengingat hal tersebut, maka harus dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif makanan yang dapat berefek merugikan kesehatan.2. Prinsip Ekologi

Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Makanan dan kesejahteraan diperoleh melalui ekologi suatu lingkungan produksi yang khusus; sebagai contoh, tanaman membutuhkan tanah yang subur, hewan membutuhkan ekosistem peternakan, ikan dan organisme laut membutuhkan lingkungan perairan. Budidaya pertanian, peternakan dan pemanenan produk organik liar haruslah sesuai dengan siklus dan keseimbangan ekologi di

alam. Siklus-siklus ini bersifat universal tetapi pengoperasiannya bersifat spesifiklokal.

Pengelolaan organik harus disesuaikan dengan kondisi, ekologi, budaya dan skala lokal. Bahan-bahan asupan sebaiknya dikurangi dengan cara dipakai kembali, didaur ulang dan dengan pengelolaan bahan-bahan dan energi secara efisien guna memelihara, meningkatkan kualitas dan melindungi sumber daya alam. Pertanian organik dapat mencapai keseimbangan ekologis melalui pola sistem pertanian, membangun habitat, pemeliharaan keragaman genetika dan pertanian. Mereka yang menghasilkan, memproses, memasarkan atau mengkonsumsi produk-produk organik harus melindungi dan memberikan keuntungan bagi lingkungan secara umum, termasuk di dalamnya tanah, iklim, habitat, keragaman hayati, udara dan air.3. Prinsip Keadilan.

Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Keadilan dicirikan dengan kesetaraan, saling menghormati, berkeadilan dan pengelolaan dunia secara bersama, baik antar manusia dan dalam hubungannya dengan makhluk hidup lain. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan yang manusiawi untuk memastikan adanya keadilan bagi semua pihak di segala tingkatan: seperti petani, pekerja, pemroses, penyalur, pedagang dan konsumen. Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan. Pertanian organik bertujuan untuk menghasilkan kecukupan dan ketersediaan pangan maupun produk lainnya dengan kualitas yang baik. Prinsip keadilan juga menekankan bahwa ternak harus dipelihara dalam kondisi dan habitat yang sesuai dengan sifat-sifat fisik, alamiah dan terjamin kesejahteraannya. Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan untuk produksi dan konsumsi harus dikelola dengan cara yang adil secara sosial dan

ekologis, dan dipelihara untuk generasi mendatang. Keadilan memerlukan sistem produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil, dan mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan yang sebenarnya.4. Prinsip Perlindungan

Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. Pertanian organik merupakan suatu sistem yang hidup dan dinamis yang menjawab tuntutan dan kondisi yang bersifat internal maupun eksternal. Para pelaku pertanian organik didorong meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tetapi tidak boleh membahayakan kesehatan dan kesejahteraannya. Karena itu, teknologi baru dan metode-metode yang sudah ada perlu dikaji dan ditinjau ulang. Maka, harus ada penanganan atas pemahaman ekosistem dan pertanian yang tidak utuh. Prinsip ini menyatakan bahwa pencegahan dan tanggung jawab merupakan hal mendasar dalam pengelolaan, pengembangan dan pemilihan teknologi di pertanian organik. Ilmu pengetahuan diperlukan untuk menjamin bahwa pertanian organik bersifat menyehatkan, aman dan ramah lingkungan. Tetapi pengetahuan ilmiah saja tidaklah cukup. Seiring waktu, pengalaman praktek yang dipadukan dengan kebijakan dan kearifan tradisional menjadi solusi tepat. Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko merugikan dengan menerapkan teknologi tepat guna dan menolak teknologi yang tak dapat diramalkan akibatnya,

seperti rekayasa genetika (genetic engineering). Segala keputusan harus mempertimbangkan nilai-nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses-proses yang transparan dan partisipatif.