PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG …eprints.upnjatim.ac.id/2835/1/file1.pdfPERTANGGUNGJAWABAN...
Transcript of PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG …eprints.upnjatim.ac.id/2835/1/file1.pdfPERTANGGUNGJAWABAN...
i
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG
MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA
( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)
SKRIPSI
(Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN ”Veteran” Jawa Timur)
Oleh :
FARIT KURNIAWAN NPM. 0671010056
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SURABAYA
2011
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
ii
PERSETUJUAN MENGIKUTI UJIAN SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG
MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA
( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)
Disusun Oleh :
FARIT KURNIAWAN NPM. 0671010056
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Sutrisno, S.H., M.Hum. Yana Indawati, S.H., M.Kn. NIP. 19601212 198803 1 001 NPT. 37901070224
Mengetahui,
D E K A N
Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M
NIP. 19620625 199103 1 001
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
iii
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA
( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)
Oleh :
FARIT KURNIAWAN NPM. 0671010056
Telah dipertahankan Dihadapan dan Diterima oleh Tim Penguji skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 18 November
Pembimbing Utama Tim Penguji : 1. H. Sutrisno, S.H., M.Hum H. Sutrisno, S.H., M.Hum. NIP. 19601212 198803 1 001 NIP. 19601212 198803 1 001 Pembimbing Pendamping 2. Yana Indawati, S.H.,M.Kn. Subani, S.H., MSi. NPT. 379010702264 NIP. 19510504 198303 1 001
3.
Hariyo Sulistiyantoro, S.H., MM NIP. 19620625 199103 1 001
Mengetahui,
D E K A N
Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M NIP. 19620625 199103 1 001
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
iv
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA
( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)
Oleh :
FARIT KURNIAWAN NPM. 0671010056
Telah dipertahankan Dihadapan dan Diterima oleh Tim Penguji skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 18 November 2011
Tim Penguji : 1. H. Sutrisno, S.H., M.Hum. : ( ..................................................... ) NIP. 19601212 198803 1 001 2. Hariyo Sulistiyantoro, S.H., MM. : ( ..................................................... ) NIP. 19620625 199103 1 001 3. Subani, S.H., MSi. : ( ..................................................... ) NIP. 19510504 198303 1 001
Mengetahui,
D E K A N
Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M NIP. 19620625 199103 1 001
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
v
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Farit Kurniawan Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 16 Juni 1986 NPM : 0671010056 Konsentrasi : Pidana Alamat : Pakis Gelora II No. 11 Surabaya Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)” dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sajar Hukum pada Fakultas Hukm Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat). Apabila dikemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka saya bersedia dituntut di depan Pangadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana Hukum) yang saya peroleh. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya. Mengetahui Surabaya, 18 November 2011 An. KaProdi Penulis, Sek.Progdi Fauzul Aliwarman.S.H.,M.Hum Farit Kurniawan NIP. 38202070221 NPM. 0671010056
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, atas berkat rohmat-Nya tugas
penulisan laporan Skripsi Penelitian Ilmu Hukum yang berjudul
“Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menggadaikan Mobil dalam Status
Sewa (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:
806/Pid/B/2010/PN.Sda) dapat terselesaikan.
Penulisan Skripsi ini disusun Penelitian untuk memenuhi persyaratan
sesuai kurikulum yang ada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan
dengan disiplin ilmu dalam mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan
dorongan oleh beberapa pihak .ada kesempatan ini penulis berterima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H, M.M, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan sekaligus
Dosen Wali.
2. Bapak H. Sutrisno, S.H, M.Hum, selaku Wadek II Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” sekaligus Dosen
Pembimbing Utama yang sangat membantu dalam penulisan laporan ini.
3. Bapak Drs. EC Gendut Soekarno, MS selaku Wadek II Ilmu Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
vii
4. Bapak Panggung Handoko.,S.sos.,S.H.,M.M. selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
5. Ibu Yana Indawati, S.H, M.Kn, selaku dosen pendamping yang sangat
membantu terselesaikan laporan ini.
6. Bapak Edy, S.H, dan Pak fawaid, S.H. yang telah banyak membantu dan
memberikan arahan pemikiran hingga terselesaikan laporan ini dan
7. Guru ngaji DR. Gus Mujitabah, S.H., M.M , dan DR. Gus Kadis, S.H.,
M.M , yang telah memberi banyak petuah dan pemahaman perjalanan
hidup.
8. Orang Tua dan Ayu Resti Widayanti S.Hum yang telah banyak memberi
bantuan moril dan materiil.
9. Serta teman-teman satu angkatan yang telah banyak membantu penulis
dalam penyusunan laporan gank PAK EDY, S.H, fronza,bagus deny helmi
dan Praja.
Tentunya laporan Proposal Penelitian Ilmu Hukum ini masih jauh dari apa
yang di harapkan, untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari seluruh pihak yang dapat dijadikan pedoman dalam
penulisan selanjutnya.
Surabaya, November 2011
Penulis
KATA PENGANTAR
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
viii
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM
Nama Mahasiswa : Farit Kurniawan NPM : 0671010056 Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 16 Juni 1986 Program Studi : Strata 1 (S1) Judul Skripsi : ”PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN
MOBIL DALAM STATUS SEWA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)”
ABSTRAKSI
Penelitian dengan judul di atas bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis akibat hukum bagi orang yang menggadaikan mobil dalam status sewa, dan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa.
Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif yaitu merupakan penelitian hukum terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pertama, akibat hukumnya pelaku dapat dikenakan sanksi pidana karena telah melakukan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP. Penyewa mobil hanya memilikki hak untuk menikmati mobil sewa, kenyataannya penyewa memperlakukan mobil sewa sebagaimana miliknya sendiri dan menggadaikan mobil sewa tersebut.
Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa, bahwa pihak yang menggadaikan dikenakan sanksi pidana sebagaimana pasal 480 KUHP. Pihak yang menyewa mengetahui bahwa mobil tersebut bukan miliknya sendiri, melainkan milik yang menyewakan sehingga telah melakukan kesalahan. Oleh karena itu pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena tidak ada alasan pemaaf atau pembenar menggadaikan mobil sewa.
Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Menggadaikan, Sewa
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI..........................................
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ....................
SURAT PERNYATAAN .................................................................
KATA PENGANTAR ......................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................
ABSTRAK .......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................
1.1. Latar Belakang Masalah .................................
1.2. Perumusan Masalah ........................................
1.3. Tujuan Penelitian ............................................
1.4. Manfaat Penelitian ..........................................
1.5. Kajian Pustaka ................................................
1.6. Metodologi Penelitian .....................................
BAB II AKIBAT HUKUM ORANG YANG
MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS
SEWA .......................................................................
2.1. Gambaran Kasus dan Putusan PN Nomor
806/Pid/B/2010/PN.Sda) ................................
2.2. Akibat Hukum Orang yang Menggadaikan
Mobil Dalam Status Sewa ..............................
i
ii
iii
iv
v
vii
ix
1
1
2
3
3
3
29
33
33
35
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
x
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG
YANG TELAH MENGGADAIKAN MOBIL
DALAM STATUS SEWA .......................................
3.1. Pertanggungjawaban Pidana Orang yang
Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa
Putusan No. 806/Pid/B/2010/PN.Sda. ..........
3.2. Analisa Pertanggungjawaban Pidana Orang
yang Menggadaikan Mobil Dalam Status
Sewa ................................................................
BAB IV PENUTUP ................................................................
4.1. Kesimpulan ...................................................
4.2. Saran .............................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
39
39
43
48
48
49
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia umumnya dan krisis moral
masyarakat khususnya membawa dampak dalam kehidupan masyarakat.
Kejahatan baik yang dilakukan oleh para pejabat maupun yang dilakukan
oleh masyarakat dengan berbagai modus sangat dirasakan dan meresahkan
tatanan kehidupan. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi menjadikan
jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin, sehingga ada suatu
anggapan masyarakat yang menyatakan “mencari uang yang haram saja
susah apalagi mencari uang yang halal”. Kondisi yang demikian terutama
bagi masyarakat yang pemahaman tentang agama kurang mengambil jalan
pintas yaitu mengambil langkah untuk melakukan kejahatan, dengan
berbagai macam modus yang penting dapat berhasil dan dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk berfoya-foya maupun
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Diundangkannya berbagai peraturan perundang-undangan
dimaksudkan untuk mencari kepastian hukum dalam mencegah terjadinya
suatu kejahatan dan menindak pelaku yang melakukan kejahatan atau
perbuatan pidana yaitu "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2
barangsiapa melanggar larangan tersebut".1 Hal ini berarti bahwa perbuatan
yang dilarang disertai dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang
berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu
yang membahayakan kepentingan hukum. Perbuatan yang dilanggar tersebut
haruslah telah ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnyanya,
sehingga jika peraturan tidak mengatur maka seharusnya seseorang tersebut
bebas dari segala tuntutan hukum dengan didasarkan atas nullum delictum
noela poena cine praivelege sebagaimana pasal 1 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) yang menentukan bahwa
suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada, bilamana ada
perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana di atas, maka yang
dipermasalahkan dalam skripsi ini adalah:
1. Apa akibat hukum bagi orang yang menggadaikan mobil dalam status
sewa ?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana orang yang telah menggadaikan
mobil dalam status sewa ?
1Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta, 2000, h. 54.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
3
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum bagi orang yang
menggadaikan mobil dalam status sewa.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana orang
yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan hukum,
khususnya mengenai akibat dan pertanggungjawaban pidana pegadaian
yang telah menerima gadai mobil dalam status sewa.
2. Sebagai masukan yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam
sewa menyewa mobil, dan pemberi gadai mengenai tanggung jawabnya
masing-masing serta aparat penegak hukum dalam menangani kasus
gadai mobil sewa.
1.5. Kajian Pustaka
a. Pengertian Tindak Pidana
Perihal tindak pidana ada yang menyebut sebagai perbuatan
pidana atau peristiwa pidana. Sianturi dalam mengartikan tindak pidana
yang berasal dari istilah Belanda “strafbare feit”, diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia sebagai berikut:
a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum;
b. Peristiwa pidana;
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
4
c. Perbuatan pidana dan tindak pidana.2
Mengenai “strafbare feit” ini, Moeljatno menggunakan istilah
perbuatan pidana yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut".3
Sahetapy mengartikan tindak pidana adalah “perbuatan manusia yang
termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum
dan dapat dicela”,4 kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi berupa
pidana.
Perihal delik dibedakan antara delik formil dan delik materiil.
Delik formil menekankan pada perbuatannya, terlepas dari akibat yang
mungkin timbul, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan
larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana. Pada delik materiil,
yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan aki bat tertentu.5
Hal tersebut berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai
dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan
pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang
membahayakan kepentingan hukum. Memperhatikan definisi perbuatan
pidana sebagaimana di atas dapat dijelaskan bahwa unsur perbuatan
2Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (selanjutnya
disingkat Sianturi 1), Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1986, h. 204. 3Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta, 2000, h. 54. 4Sahetapy, Hukum Pidana, (Editor Penterjemah), Konsursium Ilmu Hukum Departemen
P & K, Liberty, Yogyakarta, 2003, h. 27. 5Ibid., h. 31.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
5
pidana yaitu: 1) perbuatan manusia, 2) bersifat melawan hukum dan 3)
dapat dicela.
Perbuatan manusia dijelaskan oleh Sahetapy yaitu:
bukan mempunyai keyakinan atau niat, tetapi hanya melakukan atau tidak melakukan dapat dipidana. Dalam ruang lingkup rumusan delik: semua unsur rumusan delik yang tertulis harus terpenuhi”. Bersifat melawan hukum ialah “suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan hukum (misalnya sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang).
Sedangkan maksud dapat dicela adalah:
suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dicela itu merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan, sekalipun tidak disebut dalam rumusan delik.6
Perihal hukum pidana, Moeljatno mengemukakan:
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan-larangan tersebut;
2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut.7
Apabila diperhatikan pendapat Moeljatno di atas dapat dijelaskan
bahwa perbuatan pidana merupakan salah satu bagian yang dipelajari
dalam hukum pidana. Hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian
6 Ibid., h. 27 7 Moeljatno, Op. cit., h. 1.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
6
tentang perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut, melainkan juga mencakup hal berkaitan
dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana pidana tersebut dapat
dilaksanakan. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau
perbuatan seseorang. Sedangkan ancaman pidananya atau sanksinya
ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang
biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan
pidana sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban
dalam bidang hukum.
Barang siapa ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang
melakukan kesalahan. Perihal kesalahan dapat dilakukan atas dasar
kesengajaan dan karena kelalaiannya. Perbuatan dilakukan dengan
sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh
kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak,
yaitu:
1) kesengajaan dengan maksud (dolus derictus);
2) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan
3) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).8
Sehubungan dengan kesengajaan sebagai suatu perbuatan yang
bersifat melawan hukum, dibedakan antara sifat melawan hukum formal
8Ibid., h. 177.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
7
dan sifat melawan hukum yang materiil. Sifat melawan hukum formal,
apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka di situ
ada kekeliruan. Sahetapy mengemukakan bahwa sifat melawan hukum
formal terjadi karena memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat
melawan hukum formal merupakan untuk dapat dipidananya perbuatan
bersumber pada asas legalitas.9 Letak melawan hukum perbuatan sudah
nyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika
termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula.
Sifat melawan hukum formal memiliki makna melawan undang-undang,
sebab hukum adalah undang-undang. Sifat melawan hukum yang materiil
berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki
larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Hukum bukanlah
undang-undang saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis)
ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-
kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.10 Bentuk yang dikenal dalam
hukum pidana dapat berupa: Formeel delicht juga disebut delik dengan
perumusan formil, yaitu delik yang dianggap telah sepenuhnya
terlaksana dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Materieel
delicht juga disebut delik dengan perumusan materiil, yaitu delik yang
baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang.11
9Sahetapy, Op. cit., h. 40. 10Ibid., h. 130. 11Ibid.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
8
Yang dimaksud dengan kealpaan pada dasarnya ialah kekurang
hati-hatian atau lalai, kekurang waspadaan, keteledoran, kurang
menggunakan ingatannya atau kekhilafan atau sekiranya dia hati-hati,
waspada, tertib atau ingat, peristiwa itu tidak akan terjadi atau akan
dapat dicegahnya.12 Culpa atau Lalai adalah kekhilafan atau kealpaan
yang menimbulkan akibat hukum dianggap melakukan tindak pidana
yang dapat ditindak atau dituntut.13
b. Tindak Pidana Penggelapan
Tindak pidana penggelapan dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal
372 KUHP, yang menentukan sebagai berikut:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Ketentuan Pasal 372 KUHP diawali dengan kata “barangsiapa”
yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana penggelapan. Pelaku tindak
pidana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang menentukan:
Pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang menentukan:
(1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana: a. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan
yang turut serta melakukan perbuatan; b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu
dengan menyalahgunakan kekuasaan atas martabat dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
12Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni-AHM-PTHM, Jakarta,
1983, h. 511. 13 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1997.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
9
(2) terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Tindak pidana penggelapan sebagaimana pasal 372 KUHP tersebut
di atas di dalamnya mengandung unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut:
a. unsur subyektif : dengan sengaja;
b. unsur obyektif :
- menguasai secara melawan hukum;
- suatu benda;
- sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain;
- berada padanya bukan karena kejahatan.14
Unsur pertama Pasal 372 KUHP, yaitu “dengan sengaja”,
merupakan unsur subyektif. Dengan sengaja berkaitan dengan tindak
pidana penggelapan dijelaskan lebih lanjut oleh Sianturi sebagai berikut:
“Pelaku menyadari bahwa ia secara melawan hukum memiliki sesuatu
barang. Menyadari bahwa barang itu adalah sebagian atau seluruhnya
milik orang lain, demikian pula menyadari bahwa barang itu ada
padanya atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”.15 Jadi
kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan
sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang
dilarang dari perbuatannya.
14Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
Sinar Baru, Bandung, 1989, h 105. 15Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, Tahun 1983, h.
622.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
10
Unsur kedua Pasal 372 KUHP ialah “menguasai atau memiliki
secara melawan hukum” Pengertian memiliki secara melawan hukum
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 “memiliki berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atau benda itu. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8 Mei 1957, “memiliki yaitu menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut.16
Jadi apabila barang tersebut berada di bawah kekuasaannya bukan
didasarkan atas kesengajaan secara melawan hukum, maka tidak dapat
dikatakan sebagai telah melakukan perbuatan memiliki sesuatu barang
secara melawan hukum.
Unsur ketiga Pasal 372 KUHP, yaitu “suatu benda”,
menurut Sugandhi adalah sebagai berikut :
Yang dimaksudkan barang ialah semua benda yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan sebagainya, termasuk pula binatang, dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta yang disalurkan melalui pipa. Selain benda-benda yang bernilai uang pencurian pada benda-benda yang tidak bernilai uang, asal bertentangan dengan pemiliknya (melawan hukum) dapat pula dikenakan Pasal ini.17
Sedang menurut Sianturi bahwa: “Unsur barang sama saja dengan
barang pada pencurian Pasal 362 KUHP. Pada dasarnya barang adalah
sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis setidak-tidaknya bagi
16Ibid. 17Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, h. 376.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
11
pemiliknya”.18 Hal tersebut berarti bahwa pengertian barang diartikan
secara luas, yaitu tidak hanya terbatas pada benda yang berwujud,
melainkan termasuk benda-benda yang tidak berwujud, namun
mempunyai nilai ekonomis, misalnya aliran listrik, gas dan yang lainnya.
Unsur ke empat Pasal 372 KUHP ialah “sebagian atau seluruhnya
kepunyaan orang lain”, dijelaskan oleh Sianturi bahwa: “Barang tersebut
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, berarti tidak saja bahwa
kepunyaan itu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga
berdasarkan hukum yang berlaku”.19
Selanjutnya Sianturi mengemukakan: Barang yang dimaksud ada padanya atau kekuasaannya ialah ada kekuasaan tertentu pada seseorang itu terhadap barang tersebut. Barang itu tidak mesti secara nyata ada di tangan seseorang itu, tetapi dapat juga jika barang itu dititipkan kepada orang lain, tetapi orang lain itu memandang bahwa si penitip inilah yang berkuasa pada barang tersebut. Jadi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berarti barang itu berada padanya/kekuasaannya bukan saja karena suatu pelaksanaan perundangan yang berlaku seperti : a. Peminjaman, b. Penyewaaan, c. Sewa-beli, d. Penggadaian, e. Jual beli dengan hak utama untuk membeli kembali oleh
sipenjual, f. Penitipan, g. Hak retensi, dan lain sebagainya tetapi juga karena sesuatu hal
yang tidak bertentangan dengan hukum seperti misalnya : 1) Menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, di suatu
tempat umum, dan sebagainya; 2) Tertinggalnya suatu barang tamu oleh tamu itu sendiri di
mobil seseorang ketika ia bertamu; 3) Terbawanya sesuatu barang orang lain yang sama sekali tidak
disadarinya; dan lain sebagainya.20
18 Sianturi, Op. Cit., h. 593 19 Ibid., h. 625 20Sianturi, Op. cit., h. 622.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
12
Hal tersebut berarti bahwa apabila barang tersebut secara
keseluruhan miliknya sendiri, maka tidak dapat dikatakan bahwa barang
tersebut adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Unsur kelima Pasal 372 KUHP, yaitu “berada padanya bukan
karena kejahatan”, dijelaskan oleh Lamintang bahwa: “menunjukkan
adanya suatu hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku
dengan suatu benda tertentu”.21 Jadi jika barang tersebut berada di
tangannya melalui mengambil dari orang lain tanpa hak, maka tidak
dapat dikatakan sebagai telah melakukan penggelapan melainkan
melakukan tindak pidana lainnya yaitu tindak pidana pencurian.
c. Penyerahan Barang Bergerak Sebagai Jaminan
Barang bergerak dapat digunakan sebagai jaminan utang melalui
lembaga gadai dan lembaga fidusia. Barang bergerak yang dijadikan
obyek jaminan gadai diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata) tentang Kebendaan. Gadai
menurut Pasal 1150 KUHPerdata adalah:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
21 Lamintang, Op. Cit., h. 121.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
13
Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa gadai
adalah penyerahan barang bergerak yang dilakukan oleh pemberi gadai
kepada penerima gadai sebagai jaminan pelunasan utang ketika pemberi
gadai ingkar janji. Dengan penyerahan barang bergerak sebagai jaminan
utang tersebut, memberikan hak untuk didahulukan dalam pelunasan
piutangnya pada pemegang gadai. Meskipun gadai didasarkan atas
penyerahan kekuasaan atas suatu benda yang dijadikan obyek gadai,
penyerahan barang bergerak dari tangan pemberi gadai kepada pemegang
gadai merupakan suatu hal yang mutlak sesuai dengan ketentuan Pasal
1152 ayat (2) KUHPerdata menentukan: “Tak sah adalah gadai atas
segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si
pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang”.
Memperhatikan hal tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa gadai
obyeknya barang bergerak, sehingga ketika dijadikan obyek gadai barang
tersebut harus diserahkan kepada pemegang gadai dengan ancaman tidak
sah atau batal demi hukum jika barang yang dijadikan obyek gadai
tersebut tetap berada ditangan pemberi gadai.
Penyerahan barang bergerak sebagai obyek gadai digunakan
sebagai pelunasan utang ketika pemberi gadai tidak dapat membayar
gadainya dengan menjual lelang atas barang tersebut.
Gadai barang bergerak adalah barang bukti dalam perkara
pidana. Barang bukti yaitu: “Barang bukti adalah barang-barang baik
yang berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang dapat dijadikan bukti
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
14
dan fungsinya untuk diperlihatkan kepada terdakwa ataupun saksi
dipersidangan guna mempertebal keyakinan hakim dalam menentukan
kesalahan terdakwa”.22
Penyerahan barang bergerak lainnya yang digunakan sebagai
jaminan melalui lembaga fidusia. Fidusia berasal dari kata “fides” yang
berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum
antara debitor selaku pemberi fidusia dan penerima fidusia selaku
kreditor merupakan hubungan hukum yang didasarkan kepercayaan.
Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan
hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi hutangnya.
Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan
menyalah-gunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.23
Tan Kamelo mengemukakan bahwa, jaminan fidusia adalah salah satu
sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank yakni sebagai suatu
kepastian bahwa nasabah debitor akan melunasi pinjaman kredit.
Perjanjian fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena undang-
undang melainkan harus diperjanjikan lebih dahulu antara bank dengan
nasabah debitor.24
Secara yuridis pasal 1 angka (1) UU No. 42 Tahun 1999
mengemukakan bahwa “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
22Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana,
Liberty, Yogyakarta, 1988, h. 148. 23Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia, Raja
Rafindo Persada, Jakarta, 2000, h. 113. 24Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia (Suatu Kebutuhan yang Didambakan),
Alumni, Bandung, 2004, h. 187.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
15
dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”.
Mengenai penyerahan barang jaminan fidusia, Satrio mengemukakan:
“Penyerahan hak milik benda jaminan, maka sebenarnya kreditor telah
menjadi pemilik, tetapi kalau diingat, bahwa tujuannya hanyalah sebagai/
untuk memberikan jaminan saja, maka kreditor setelah menerima
penyerahan benda jaminan, tidak menjadi pemilik dalam arti yang
sebenarnya”.25
Penyerahan secara kepercayaan tidak dimaksudkan untuk betul-
betul dimiliki, namun mengenai hal di atas terjadi suatu silang pendapat,
karena ada pihak yang berpendirian bahwa kreditor pemegang jaminan
fidusia yang dinamakan fidusiairus dengan penyerahan tersebut benar-
benar telah menjadi pemilik dari benda jaminan dengan hak-hak
sebagaimana yang dipunyai seorang pemilik, namun di sisi yang lain
pihak ada sarjana yang berpendapat bahwa fidusia terhadap pihak ketiga
berkedudukan sebagai seorang pemilik, sedang terhadap pemberi jaminan
hanya berkedudukan sebagai seorang pemegang gadai yang tak
memegang benda jaminan, karena para pihak memang tidak benar-benar
bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas benda jaminan dan dalam
prakteknya para pihak mengadakan kesepakatan yang membatasi hak-
hak kreditor sampai sejauh hak seorang pemegang hak jaminan saja.26
25J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, h. 177. 26Ibid.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
16
Gadai kaitannya dengan tindak pidana dapat dijumpai dalam
Pasal 480 ayat (2) KUHP menentukan bahwa “Barang siapa menjadikan
sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli, menukar, menerima gadai,
menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari
kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Orang dikatakan menadah apabila ia :
a. membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai
hadiah, sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat
disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan; atau
karena mau mendapat untung :
b. menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa,
menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya
atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena
kejahatan.
Selain perbuatan-perbuatan di atas yang dapat digolongkan
sebagai perbuatan menadah, orang yang mengambil untung dari hasil
sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa
barang itu diperoleh karena kejahatan, dapat pula dikatakan ”menadah”.
Barang yang dapat digolongkan sebagai ”barang yang diperoleh
karena kejahatan” misalnya barang asal dari pencurian, penggelapan,
penipuan, pemalsuan uang, perampokan dan lain sebagainya. Barang
yang berasal dari pelanggaran tidak termasuk di sini.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
17
Barang yang berasal dari kejahatan dibagi pula menjadi 2 bagian
yakni :
a. barang yang diperoleh dari kejahatan seperti barang hasil pencurian,
penggelapan, penipuan atau pemerasan. Barang-barang ini
keadaannya sama saja dengan barang-barang lain yang bukan berasal
dari kejahatan. Dapatnya kita mengeahui bahwa barang itu berasal
dari kejahatan, dilihat dari hasil penyelidikan tentang asal mula dan
caranya barang itu berpindah tangan;
b. barang yang terjadi karena sesuatu kejahatan, misalnya mata uang
palsu, uang kertas palsu, ijazah palsu dan lain sebagainya. Apabila
barang-barang ini dilihat dari segi rupa dan keadaannya, memang
agak berbeda dengan barang yang tidak palsu.
Untuk mengetahui apakah barang itu berasal dari kejahatan,
memang sulit. Tetapi dengan cara menilai dari sudut harga yang jauh
lebih mudah dari harga barang yang bukan berasal dari kejahatan dan
cara penjualan yang dilakukan secara bersembunyi-sembunyi, kita dapat
menyangka bahwa barang itu berasal dari kejahatan.
Hasil dari barang yang diperoleh karena kejahatan dapat
disamakan dengan hasil penjualan barang itu.
Untuk dapat membedakan antara barang yang berasal dari
kejahatan dan hasil dari barang yang diperoleh karena kejahatan, perlu
dikemukakan contoh sederhana sebagai berikut :
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
18
Seorang berhasil merampok sebuah bank. Sebagian uang rampokan
itu dibelikan barang-barang. Uang rampokan itu adalah barang berasal
dari kejahatan, sedang barang-barang yang dibeli dengan uang rampokan
itu adalah hasil dari barang yang diperoleh dari kejahatan.
Dengan adanya perbedaan ini, maka orang yang menerima hadiah
uang yang berasal dari perampokan, dikenakan sub pertama pasal ini,
sedang yang menerima hadiah barang yang dibeli dengan uang hasil
rampokan itu dikenakan sub kedua pasal ini.
Sifat tidak legal pada barang yang diperoleh karena kejahatan itu
tidak selamanya tetap. Apabila barang itu berpindah tangan kepada
seseorang dengan itikat baik, maka sifat tidak legal itu hapus karenanya.
Untuk jelasnya perlu dikemukakan contoh singkat sebagai berikut.
Seseorang berhasil mencuri sebuah arloji. Kemudian arloji itu
digadaikan ke Pegadaian Negeri. Setelah beberapa bulan kemudian,
karena tidak ditebus kembali oleh orang yang menggadaikan, maka arloji
itu lalu dilelang. Orang yang membeli arloji tersebut, tidak dapat
dihukum, karena diterimanya arloji itu dari mobil gadai tersebut dengan
itikad baik.
Sebaliknya sifat tidak legal pada uang palsu yang diperoleh karena
kejahatan tetap kekal untuk selama-lamanya. Uang palsu dan ijazah palsu
senantiasa wajib diserahkan kepada polisi untuk diusut atau kemudian
dirusak guna menjaga agar jangan sampai dipergunakan orang.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
19
Ketentuan pasal 367 tidak berlaku bagi pasal ini, artinya :menadah”
bukan delik aduan.
Kejahatan ini biasa disebut ”menadah secara kebiasaan”. Agar
dapat dituntut menurut pasal ini, maka kebiasaan sengaja melakukan
penadahan itu harus dibuktikan. Membuat kebiasaan = melakukan
perbuatan lebih dari sekali. Jadi yang dikenakan pasal ini ialah tukang-
tukang tadah yang ulung.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa jika barang bergerak yang dijadikan obyek gadai, maka
barang tersebut secara fisik harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada
penerima gadai, dengan ancaman tidak sah. Sedangkan bagi barang
bergerak yang dijadikan obyek jaminan fidusia, terjadi penyerahan hak
milik atas obyek jaminan fidusia dari pemberi fidusia kepada penerima
fidusia. Penyerahan hak milik tersebut tidak perlu dilakukan penyerahan
fisik barangnya melainkan cukup hak kepemilikannya saja, sehingga
pemberi fidusia semula sebagai pemilik, karena hak pemelikannya telah
dialihkan kepada penerima fidusia, maka pemberi fidusia hanya
bertindak sebagai peminjam pakai.
d. Hak Pihak Penyewa dalam Sewa Menyewa
Sewa menyewa termasuk suatu perjanjian yang dibuat secara timbal
balik, sesuai dengan pasal 1548 KUH Perdata menentukan:
Sewa menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
20
dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.
Perjanjian sewa menyewa termasuk sebagai perjanjian yang terbuka
atau kebebasan berkontrak sehingga dapat dibuat menyimpang dari pasal-
pasal KUH Perdata, asalkan perjanjian sewa menyewa tersebut dibuat
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun
kesusilaan.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perjanjian sewa menyewa
yang dibuat oleh pihak-pihak mengikat pada saat kedua belah pihak
mencapai kata sepakat mengenai barang yang disewa dan harga sewa.
Dengan tercapainya kata sepakat maka untuk tahap berikutnya yaitu
pelaksanaan perjanjian tersebut.
Pelaksanaan perjanjian merupakan hakikat dari perjanjian itu
sendiri, maksudnya bahwa setiap perjanjian dibuat tentunya mempunyai
maksud tertentu untuk dilaksanakannya. Mengenai pelaksanaan
perjanjian ini, Riduan Syahrani mengemukakan: “Melaksanakan
perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa yang
merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh karena
itu melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain”.27
Pelaksanaan perjanjian, timbul pada saat perjanjian tersebut
mengikat kedua belah pihak, yaitu sejak saat tercapainya kata sepakat
27Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
1999, h. 257.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
21
mengenai hal-hal yang pokok antara kedua belah pihak yang disebut
dengan konsensus. Saat terjadinya perjanjian atau konsensus, Subekti
mengemukakan sebagai berikut: “Pada dasarnya perjanjian dan perikatan
yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata
kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila
sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan
sesuatu formalitas”.28
Dengan tercapainya kata sepakat, maka menimbulkan suatu
kewajiban secara timbal balik yang disebut juga dengan prestasi. Prestasi
diartikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai "kewajiban yang harus
dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan".29 Prestasi merupakan
kewajiban, yang berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak
yang membuat perjanjian sebagai pelaksanaan dari perjanjian tersebut,
misalnya membuat bangunan, lukisan dan lain sebagainya.
Dalam perjanjian sewa menyewa pihak yang menyewakan
mempunyai kewajiban, di antaranya sebagaimana diatur dalam pasal
1550 KUH Perdata sebagai berikut:
Pihak yang menyewakan diwajibkan karena sifat perjanjian, dan dengan tak perlu adanya sesuatu janji untuk:
1. menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa; 2. memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu
dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan; 3. memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram dari pada
barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa.
28 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h. 15. 29Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 17.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
22
Dengan demikian kewajiban pihak yang menyewakan tidak hanya
menyerahkan barang yang disewakan, melainkan juga untuk tetap
memelihara barang yang disewakan tersebut agar tetap dapat dinikmati
oleh penyewa selama waktu sewa.
Kewajiban pihak penyewa di antaranya tertuang dalam pasal 1560
KUH Perdata menentukan:
Si penyewa harus menepati dua kewajiban utama: 1. untuk memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak mobil
yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada suatu perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan;
2. untuk membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
Kewajiban untuk memakai barang yang disewa sebagai bapak
mobil yang baik, maksudnya menganggap seakan-akan barang yang
disewa tersebut miliknya sendiri, sehingga jika terdapat kerusakan-
kerusakan kecil, menjadi kewajiban penyewa untuk memperbaikinya.
Memperhatikan uraian sebagaimana di atas dapat dijelaskan bahwa
dalam perjanjian sewa menyewa pihak yang menyewakan mempunyai
kewajiban untuk menyerahkan obyek sewa kepada penyewa untuk
dinikmati dan hak dari yang menyewakan adalah untuk mendapatkan
uang sewa dari penyewa. Sebaliknya kewajiban pihak penyewa adalah
untuk membayar uang sewa kepada pihak yang menyewakan dan hak
penyewa adalah untuk menikmati obyek sewa selama masa sewa, bukan
memiliki obyek sewa, karena tidak ada penyerahan hak milik atas obyek
sewa. Oleh karena hak penyewa hanya menikmati barang sewa, maka
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
23
jika memperlakukan barang sewa seakan-akan barang sewa tersebut
miliknya, dan melakukan suatu perbuatan hukum mengalihkan barang
sewa tersebut, maka dapat dikatakan telah melakukan penggelapan.
e. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada penindakan pelaku
jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur
yang telah ditentukan dalam undang-undang,30 yang berarti bahwa
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidjana terjadi jika pelaku
telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana karena telah memenuhi
keseluruhan unsur-unsur yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
Pertanggungjawaban pidana diterapkan terhadap pembuat
perbuatan pidana (dader) baik perbuatan kejahatan maupun pelanggaran
atas delik. Menurut Moeljatno dikemukakan sebagai berikut:
Kejahatan atau “rechtsdeliten” adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran atau “wetsdeliktern” yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.31
Perihal pertanggungjawaban pidana maksudnya pelaku tindak
pidana dapat dipidana jika memenuhi keseluruhan unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum dan pelaku dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Apabila pelaku tidak
30Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,
Alumni, AHM-PTHM, Jakarta, 1982, h. 249. 31Moeljatno, Op. Cit., h. 71.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
24
memenuhi salah satu unsur yang didakwakan, maka tidak dapat dipidana.
Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah:
1) melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana;
2) untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab;
3) mempunyai suatu bentuk kesalahan;
4) tidak adanya alasan pemaaf.32
Ad. 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan
pidana.
Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan
perbuatan melawan hukum “wederrechtelijkheid” sebagai syarat mutlak
dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum
perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers
dan Langemeyer dikutip dari bukunya Moeljatno dalam hal ini harus
dilepas dari tuntutan hukum (onstlag van recht-vervolging).33
Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat pada KUHP
merumuskan delik tersebut secara tertulis dan juga tidak tertulis. Jika
rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum suatu
perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam
telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya
sifat melawan hukum tersebut.34
32Ibid., h. 164. 33Ibid., h. 134-135. 34Ibid., h. 134.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
25
Ad. 2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur yang
diwajibkan guna memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana.
Menurut Moeljatno, yang menjadi dasar adanya kemampuan
bertanggungjawab adalah:
1) kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
2) kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.35
Sedangkan batasan-batasan mengenai pembuatan perbuatan pidana
(dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP
adalah:
1) kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (pasal 44 ayat
(1) KUHP);
2) anak yang belum dewasa (pasal 45 KUHP).
Dengan dasar ketentuan KUHP tersebut di atas, maka pembuat perbuatan
pidana (dader) tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana
dalam melakukan perbuatan pidana.
Ad. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.
Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan atau “schuld”
merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang
dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
26
jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non fasit reum
nisi mens sir rea). Menurut Moeljatno, perbuatan manusia dianggap
mempunyai kesalahan jika:
Orang dikatakan mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian ….36
Sedangkan menurut Simon sebagaimana dikutip dari bukunya
Moeljatno, kesalahan adalah “keadaan psychis yang tertentu pada orang
yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa,
sehingga orang itu dapat tercela karena melakukan perbuatan tadi”.37
Bentuk perbuatan manusia mempunyai kesalahan terdapat dua sifat
dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus)
dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah
perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran.
Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu:
1) kesengakaan dengan maksud (dolus derictus);
2) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan
3) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).38
35Ibid., h. 165. 36Ibid., h. 157. 37Ibid., h. 168. 38Ibid., h. 167.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
27
Menurut pendapat Simon yang dikutip dari bukunya Moeljatno mengenai
kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah dapat diduga-duganya
akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi pada perbuatan menurut
Van Hamel harus mengandung dua syarat, yaitu:
1) tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam
hukum;
2) tidak menghadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh
hukum.
Kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri
dari tiga komponen, yaitu:
1) pembuat berbuat lain daripada seharusnya dia berbuat menurut aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum;
2) selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berfikir, lengah;
3) akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa dia dapat dipertanggungakibatnya atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berfikir dan lengah.39
Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan
pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf atau
“verontschukdigingsgrond”. Yang dimaksud dengan alasan pemaaf
menurut teori hukum adalah alasan yang menghapus kesalahan. Menurut
Moeljatno kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan
pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, tetapi orangnya tidak
dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan). Dampak yang terjadi
akibat adanya alasan pemaaf bagi seseorang yang melakukan perbuatan
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
28
pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat
melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak
dipidana karena tidak ada kesalahan.
Ad. 4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Menurut Sudarto, alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawab-
kannya seseorang atau tidak dipidananya, karena 2 hal:
Perbuatan meskipun telah mencocoki rumusan delik, namun tidak merupakan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum (ingat ajaran sifat melawan hukum yang formil dan materiil); meskipun perbuatannya itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, namun orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, karena padanya tidak ada kesalahan.40
Berhubung adanya dua hal di atas, maka ilmu pengetahuan hukum pidana
membedakan adanya:
alasan pembenar, dan alasan pemaaf.41
Mengenai alasan pembenar dan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak
penting bagi si pembuat sendiri, karena jika ternyata ada alasan
penghapusan pidana, maka teranglah ia tidak akan dipidana.
Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf
pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut:
1) pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau
terganggu;
2) pasal 48 mengenai daya memaksa (overmacht);
3) pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa (noodwer);
39Ibid., h. 201. 40Sudarto dan Wonosusanto, Op. cit., h. 1. 41Ibid., h. 2.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
29
4) pasal 51 ayat (2) mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak
sah.
Jika memenuhi dari salah satu ketentuan tersebut di atas, maka
perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana, namun harus
dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.
1.6. Metodologi Penelitian
Tipe penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah
penelitian yuridis normatif. Adapun yang dimaksud dengan tipe penelitian
yuridis normatif, adalah penelitian hukum terhadap data primer dan data
sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas.
a. Pendekatan Masalah
Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum, dengan
pendekatan permasalahan secara statute approach dan conseptual
approach42. Statute approach, artinya pendekatan terhadap masalah
yang diajukan didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Conseptual approach artinya pendekatan permasalahan
berdasarkan konsep-konsep hukum.
b. Sumber Data
42Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenana Media Group, Jakarta, h.
96.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
30
- Data primer, yaitu data yang bersifat mengikat, berupa peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini KUHP dan peraturan lainnya yang
berkaitan dengan materi yang dibahas.
- Data sekunder, yaitu data yang erat kaitannya dengan data primer, karena
bersifat menjelaskan, yang dapat membantu menganalisis dan memahami
data primer, terdiri dari literatur maupun karya ilmiah para sarjana.43
c. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara membaca, mempelajari dan
mengidentifikasinya seluruh data baik berupa peraturan perundang-
undangan maupun pendapat para sarjana, kemudian data tersebut diolah
dengan cara dipilah-pilah dari data yang bersifat umum kemudian
disimpulkan menjadi khusus, sehingga diperoleh data yang ada kaitannya
dengan masalah yang dibahas,untuk membahas permasalahan dalam
penelitian ini.
d. Metode Analisis Data
Langkah pengumpulan data dalam tulisan ini adalah melalui studi
kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua data yang terkait
dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi data yang
terkait dan selanjutnya data tersebut disusun secara sistematis untuk lebih
mudah membaca dan mempelajarinya.
Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran
yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
31
bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan
literatur, yang kemudian dipakai sebagai bahan analisis terhadap
permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari
permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan
penafsiran sistematis dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan
perundang-undangan yang ada serta pendapat para sarjana.
e. Pertanggungjawaban Sistematika
Sistematika skripsiini diawali Bab I, Pendahuluan, berisikan
gambaran umum permasalahan, yang merupakan pengantar pembahasan
pada bab berikutnya. Sub babnya terdiri atas Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian
Pustaka, Metode Penelitian dan Pertanggungjawaban Sistematika.
Bab II mengenai Akibat Hukum Orang yang Menggadaikan
Mobil Mobil Dalam Status Sewa, dalam bab II ini terdiri atas tiga sub
bab, sub bab pertama tentang Gambaran Kasus Putusan PN Nomor
806/Pid/B/2010/PN.Sda. Sub bab kedua tentang Akibat Hukum Orang
yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa (Kasus Putusan Nomor
806/Pid/B/2010/PN.Sda.). Sub bab ketiga tentang Analisa Putusan PN
Sidoarjo tentang Akibat Hukum Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam
Status Sewa.
Bab III, mengenai Pertanggungjawban Pidana Orang yang
Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa. Dalam bab ini terdiri atas dua
43Ibid, h. 97
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
32
sub bab. Sub bab pertama mengenai Pertanggungjawaban Orang yang
Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa (Putusan Nomor
806/Pid/B/2010/PN.Sda.). Sub bab kedua tentang Analisa
Pertanggungjawaban Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status
Sewa.
Bab IV, Penutup, adalah bagian terakhir dalam skripsi yang
terdiri atas Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan berisikan hasil inti
jawaban atas rumusah masalah, sedangkan saran berisikan hal-hal yang
bisa diambil dari skripsi ini.
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.