Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

84
A. Latar Belakang Masalah Pembenahan hukum dalam menata kinerja Pemerintahan di Indonesia dalam mengatasi persoalan- persoalan yang terjadi saat ini, merupakan upaya perbaikan dari adanya dampak keberlangsungan kinerja Pemerintahan sekaligus menjadi harapan dari tuntutan perkembangan kemajuan zaman secara global dan holistik, sejalan dengan dinamika kesadaran masyarakat untuk mentaati peraturan-peraturan hukum, sebab Negara Indonesia adalah Negara hukum, pernyataan tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam Amandemennya yang ketiga tanggal 10 November 2001. Pengertian mengenai Negara hukum menurut ahli hukum Mochtar Kusumaadmaja adalah Negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada 1

Transcript of Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Page 1: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

A. Latar Belakang Masalah

Pembenahan hukum dalam menata kinerja Pemerintahan di Indonesia

dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi saat ini, merupakan upaya

perbaikan dari adanya dampak keberlangsungan kinerja Pemerintahan

sekaligus menjadi harapan dari tuntutan perkembangan kemajuan zaman

secara global dan holistik, sejalan dengan dinamika kesadaran masyarakat

untuk mentaati peraturan-peraturan hukum, sebab Negara Indonesia adalah

Negara hukum, pernyataan tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)

Pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam Amandemennya yang ketiga tanggal

10 November 2001.

Pengertian mengenai Negara hukum menurut ahli hukum Mochtar

Kusumaadmaja adalah Negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan

tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum1, diselaraskan

dengan Cita-cita luhur bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

alenia keempat disebutkan: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, 2. Untuk memajukan kesejahteraan umum, 3.

mencerdaskan kehidupan bangsa, 4. ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

1 Mochtar Kusumaatmadja, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional Dimasa Kini dan Masa yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, 1995. hlm.1.

1

Page 2: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Cita-cita luhur bangsa Indonesia tersebut implementasinya diwujudkan

sesuai rumusan visi Indonesia masa depan yang dituangkan dalam Pasal 2

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

VII/MPR/2001 tanggal 9 November 2001 menyangkut susunan sistematika

pada Bab II mengenai Cita-cita Luhur Bangsa Indonesia tentang Visi

Indonesia Masa Depan disebut dengan Visi Indonesia 2020 yang berbunyi:

“Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu,

demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam

penyelenggaraan Negara.” Visi ini menjadi pedoman dalam mewujudkan

pemerintahan yang baik (good governance and clean government)

Tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean

government) merupakan seluruh aspek yang terkait dengan kontrol dan

pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan

fungsinya melalui institusi formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip

good governance and clean government, maka Pemerintah harus

melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya

secara efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik

dan tidak berpihak (independen). Sepaham dengan peran United Development

Program (UNDP) salah satu badan PBB, governance (kepemerintahan)

mempunyai tiga model, yaitu: 2

2 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2009, hlm.1.

2

Page 3: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

1) Economic Governance, meliputi proses pembuatan keputusan yang

memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negri dan transaksi di antara

penyelenggara ekonomi, serta mempunyai implikasi terhadap kesetaraan,

kemiskinan dan kualitas hidup.

2) Political Governance, mencakup proses perubahan keputusan untuk

perumusan kebijakan politik Negara.

3) Administrative Governance, berupa system implementasi kebijakan.

Tata pemerintahan yang baik dan bersih tersebut, baik di tingkat

pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah seharusnya secara

normatif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang secara luas

tidak hanya secara tertulis (writen law) dan tidak tertulis (Unwriten law)

seperti Convensi Praktek-praktek penyelenggaraan Negara yang sudah

menjadi hukum dasar tidak tertulis antara lain3:

- Pidato Kenegaraan Presiden RI setiap 16 Agustus di dalam sidang DPR

- Pidato presiden yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang

rencana anggaran pendapatan belanja (RAPB) Negara pada minggu 1,

pada bulan januari tiap tahunnya.

Maka segala tindakan Pemerintah harus sesuai dengan hukum dan

hukum membatasi kekuasaan Pemerintah agar tidak menyimpang dari

konstitusi dan perundang-undangan termasuk hukum tidak tertulis. Maka

praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dengan prinsip good

3 http://asmisiangka.blogspot.co.id/2013/02/hukum-dasar-tertulis-dan-hukum-dasar.html, dengan Topik: Hukum Dasar Tertulis dan Tidak Tertulis. Diakses pada tanggal 17 Nopember 2015.

3

Page 4: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

governance and clean government memiliki asas-asas yang perlu diperhatikan

yaitu:

1. Asas Partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam

pengambilankeputusan, baik secara langsung maupun lewat lembaga

perwakilan sah yang mewakiliaspirasi mereka. Bentuk partisipasi

menyeluruh ini dibangun berdasarkan prinsip demokrasiyakni kebebasan

berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif.

2. Asas Penegakan Hukum, Asas ini merupakan keharusan pengelolaan

pemerintahan secara professional yangdidukung oleh penegakan hukum

yang berwibawa.Realisasi wujud pemerintahan yang baik dan bersih harus

juga diimbangi dengan komitmen Pemerintah untuk menegakkan hukum

yang mengandung unsur-unsur berikut : Supremasi Hukum: setiap

tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi

masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada

hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dijamin pelaksanaannya secara

benar serta independen.

3. Asas Kepastian Hukum: setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur

oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif, dan tidak bertentangan

satusama lainnya.

4. Asas Hukum yang responsif: aturan hukum diatur berdasarkan aspirasi

masyarakatluas dan mampu menyediakan berbagai kebutuhan publik

secara adil.

4

Page 5: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Keseluruhan asas-asas tersebut dipayungi oleh sebuah asas yang

dikenal sebagai asas legalitas memberikan dasar kewenangan bertindak bagi

pemerintah atau Pejabat Administrasi Negara, sebab Asas legalitas merupakan

salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan

pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara

demokrasi tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat

yang secara formal tertuang dalam undang-undang. Akan tetapi setiap

perbuatan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah atau jabatan

administrasi negara yang keluar dari batas-batas dan tujuan pemberian

wewenang atau melanggar asas legalitas tersebut tentu tidak dibenarkan oleh

hukum.4

Khususnya berkaitan dengan hukum administrasi, sebab asas legalitas

berkaitan dengan Asas “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur” dalam

kepustakaan Indonesia diartikan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan

yang Baik”. Asas legalitas akan menjadi dasar legitimasi yang bersifat formal

sebagai upaya penyelenggara negara ikut melindungi hak-hak rakyatnya.

Menurut pandangan Sjachran Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan

duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham

kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang

sifat hakikatnya konstitutif.5

4 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 84

5 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 2

5

Page 6: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Asas legalitas mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang, prosedur, dan

substansi. Wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata

negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini

sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan “het begrip

bevoegdheid is dan ook een kembergrip in het staats en administratief recht”.

Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa “wewenang

merupakan konsep inti dari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi”.6

Pada setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan secara

ekplisit diikuti pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan (geen

bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no authority without

responbility) dalam terjemahan bebasnya adalah tidak ada kewenangan tanpa

pertanggungjawaban.7

Lebih lanjut menurut L.J.A Damen, menyatakan tidak semua pejabat

yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab

karena harus ditelaah apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul

jabatan tersebut, baik dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan

wewenangnya atau ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji

dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan

bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan

6 E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht, Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985, hlm 26.

7 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama, 2009, hlm 75-76.

6

Page 7: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

tertentu. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap

sebagai penyalahgunaan wewenang8.

Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang

(Detournement de Pouvoir) merupakan Penyelenggaraan Pemerintahan tidak

selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada.

Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan

kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang, Perbuatan

pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur;

pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk

berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang

terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan

umum kurang diperhatikan; dan ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan

kerugian konkret bagi pihak tertentu9.

Parameter untuk mengukur penyalahgunaan wewenang yang

dilakukan pejabat pemerintahan, meliputi:10

a. Unsur Menyalahgunakan Kewenangan dinilai dari ada tidaknya

pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang

hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat

alternatif;

8 Ibid9 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni,

Bandung, 1985, hlm. 223.10 Indriyanto Seno Adji, Op.cit, hlm 35.

7

Page 8: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

b. Asas Kepatutan Dalam Rangka Melaksanakan Suatu Kebijakan atau

zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun

Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan

peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi

dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.

Konotasi atas penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis

wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebas (diskresi).

Indikator atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang

terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan). Oleh karena norma wewenang sebagai norma

pemerintahan, maka untuk mengukur keabsahan tindakan Pemerintah dapat

menggunakan 2 (dua) alat ukur, yaitu: pertama Peraturan perundang-

undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas.

Sedangkan kerdua pada kewenangan bebas digunakan Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik (AAUPB), parameter penyalahgunaan wewenang

karena asas wetmatigheid dinilai tidak memadai11. Namun Di dalam praktek

peradilan sering dipertukarkan atau dicampuradukan antara penyalahgunaan

wewenang dan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in heren

dengan penyalahgunaan wewenang.12

11 Safri Nugraha, Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum Pemerintahan yang Baik, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Desember 2007. hlm 2.

12 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004, dalam Nur Basuki Minarno, hlm. 82-85.

8

Page 9: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang adalah melakukan

tindak pidana korupsi. Apabila mendengar istilah korupsi, biasanya yang

tergambar ialah adanya seorang pejabat tinggi yang dengan rakus

menggelapkan uang pajak, mengumpulkan komisi, atau menggunakan uang

negara lainnya bagi kepentingan pribadi. Korupsi sebagian besar dikaitkan

dengan penggelapan sejumlah uang atau hal-hal yang bersifat material.

Sesungguhnya pengertian korupsi yang seperti ini sudah jauh lebih sempit

dari pada pengertian awalnya. Korupsi berasal dari kata corruptio, atau

corruptus. Arti harfiah dari kata ini adalah penyimpangan dari kesucian,

tindakan tidak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran,

atau kecurangan.13

Unsur penting tindak pidana korupsi antara lain tercantum dalam Pasal

3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang konteksnya mengenai penyalahgunaan

wewenang merupakan mixing antara konsep maupun norma hukum

administrasi dengan norma hukum pidana, dalam arti sebuah aturan

administrasi yang juga memuat sanksi pidana, yang selanjutnya disebut

administrative penal law atau verwaltungs strafrecht.

Namun menurut Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan Pengadilan berwenang

menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur

13 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2008, hlm. 206.

9

Page 10: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada

Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang

dalam Keputusan dan/atau tindakan pejabat Pemerintah yang selanjutnya

disebut dengan istilah “Diskresi” dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (9)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,

dinyatakan Diskresi adalah  keputusan atau tindakan yang ditetapkan dan/atau

dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang

dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan

perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap

atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Memperhatikan kembali rumusan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentan Pemerintahan Daerah

mempunyai makna bahwa jika terdapat dugaan pejabat pemerintah

menyalahgunakan wewenangnya, maka diselesaikan terlebih dahulu secara

administratif berdasarkan hukum administrasi melalui mekanisme pengadilan

tata usaha negara. Ketentuan ini berimplikasi pada salah satu unsur dalam

Pasal 3 UU Tipikor yakni penyalahgunaan wewenang, harus diujikan terlebih

dahulu kebenarannya di pengadilan tata usaha negara, sehingga menambah

jalur birokrasi karena itu, dianggap sebagai sebuah “langkah mundur” dalam

penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pemaknaan akibat munculnya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU No.

30 Tahun 2014, jika hasil Keputusan Tata Usaha Negara menyebutkan

10

Page 11: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

terbukti terdapat penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pemerintah, maka

dapat dilanjutkan dengan tindak pidana korupsi.Namun dapat dimaknai pula,

jika menurut Keputusan Tata Usaha Negara tidak terbukti menyalahgunakan

wewenang maka peradilan pidana dapat terus berlangsung. Dengan demikian

tidak bergantung pada Keputusan Tata Usaha Negara, karena UU Tipikor

merupakan undang-undang yang bersifat kekhususan berdasarkan pada Pasal

63 ayat (2) KUHP dan Pasal 14 UU Tipikor.

Selanjutnya berkaitan dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan

bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,

diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itu yang

diterapkan. Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, sebagai rumusan yang

mengandung asas lex specialis derogat legi generali, yaitu menegaskan

keberlakuan (validitas) aturan pidana yang bersifat khusus. Suatu perbuatan

termasuk kategori perbuatan yang diatur dalam peraturan pidana yang bersifat

umum maupun bersifat khusus. Selain itu, rumusan Pasal 103 KUHP

menentukan bahwa ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII KUHP

berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan

yang lain diancam pidana, kecuali oleh undang-undang itu ditentukan lain.14

Sementara itu, menurut Pasal 14 UU Tipikor menyatakan bahwa yang

menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang

yang secara tegas menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan

14 Indriyanto Seno Adji, Kendala Sanksi Hukum Pidana Administratif , Jurnal Keadilan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2011, hlm. 23.

11

Page 12: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Undang-undang sebagai tindak pidana korupsi yang berlaku diatur dalam UU

Tipikor15. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum pidana khusus

tepat karena korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary

crime). Karena bersifat luar biasa, maka diperlukan pula upaya yang luar biasa

untuk mengatasinya.16

Penelitian terhadap pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang

pejabat Pemerintah dalam administrasi Pemerintahan dihubungkan dengan

tindak pidana korupsi, merupakan penelitian baru. Sebab penelitian

sebelumnya mengenai penyalahgunaan wewenang, dalam perspektif

kajiannya tidak secara khusus menitik beratkan adanya hubungan dengan

tindak pidana korupsi, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Enny

Rohyani pada tahun 2009 berjudul Implikasi Hukum Dari Penyalahgunaan

Wewenang oleh Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.

Komparasi dengan hasil penelitian terdahulu tersebut, menunjukkan

peraturan perundang-undangan cenderung tidak memberikan jaminan

perlindungan hukum terhadap tindakan Pejabat Pemerintah Daerah, bahkan

seringkali terjadi disharmonisasi, inkonsistensi dan disorientasi. Di sisi lain,

terjadi pula fenomena berkembangnya sikap legistik dan positifistik dari

15 Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009, hlm 43. Lihat juga, Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi? (Dari Perspektif Hukum Pidana/Korupsi (makalah) disampaikan dalam Seminar, dengan tema Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA). di Hotel Bumi Karsa Bidakara–Jakarta, Selasa 11 Mei 2010.

16 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi diIndonesia, Penerbit BPHN Depkumham, Jakarta, 2002, hlm 25.

12

Page 13: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

hakim, jaksa dan polisi, sehingga dalam penerapan hukum selalu berdasarkan

ketentuan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan.17

Hal ini berpotensi menyebabkan character assassination terhadap

eksistensi freies Ermessen, yang merupakan kriminalisasi perbuatan

administrasi negara. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya pergeseran prinsip

dan konsepsi dari negarahukum menjadi negara undang-undang, yang

meletakkan hukum positif sebagaiukuran kebenaran, sehingga hukum positif

ditempatkan sebagai instrumen untuk melegitimasi tindakan pemerintah.

Apabila kondisi ini berlangsung terus-menerus, maka kinerja aparatur dan

pelayanan publik akan terganggu, yang mempengaruhi penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan menggoyahkan legitimasi Pemerintahan Daerah.

Oleh karena itu, freies Ermessen harus diakui oleh pembentuk undang-undang

yang direfleksikan dalam undang-undang, serta diakui oleh hakim yang

direfleksikan dalam keputusan hakim.18 Merujuk pada penelitian yang

dilakukan Enny Rohyani dikemukakan catatan persamaan dan perbedaan

dengan penelitian ini antara lain: Persamaanya dengan penelitian Enny

Rohyani sama-sama mengambil tema penyalahgunaan wewenang dengan

menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkap masalah yang

dijadikan objek penelitian. Kemudian Perbedaaanya dengan kajian Enny

Rohyanilebih menekankan pada freies Ermessen dan sebagai objek

penelitiannya mengenai implementasi penyalahgunaan wewenang oleh 17 Enny Rohyani,Implikasi Hukum Dari Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pemerintah Daerah

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum)Program Pascasarjana Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2009, hlm iv.

18 Ibid

13

Page 14: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sementara itu,

penelitian ini lebih menekankan pada pertanggungjawaban penyalahgunaan

wewenang pejabat pemerintah dalam administrasi pemerintahandihubungkan

dengan tindak pidana korupsi. Walapun demikian penelitian Enny

Rohyanirelevan untuk dijadikan salah satu acuan karena sama-sama

membahas fenomena penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah.

Penelitian lain yang bertema penyalahgunaan wewenang dilakukan

oleh Budi Parmono, dalam disertasinya di Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya pada tahun 2011 dengan judul Penyalahgunaan Wewenang dalam

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

Hasil penelitian Budi Parmono tersebut, menunjukan bahwa

penyalahgunaan wewenang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi

dalam perumusan Pasal 3 UU Tipikor secara expressive verbis. Pertama kali

di Indonesia, penyalahgunaan wewenang dibentuk dan dirumuskan dalam

Pasal 1 ayat (1) huruf b untuk UU Tipikor. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1)

huruf b untuk UU Tipikor tersebut dipandang sebagai salah satu inovasi dari

Undng-Undang Nomor 24 PRP Tahun 1960 hanya mengatur "memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu badan" sebagai tindak pidana di luar

KUHP. Dengan demikian, Pasal 3 UU Tipikor bukan merupakan peniruan dan

pemodifikasian dari Konvensi Korupsi PBB.19

19 Budi Parmono, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Disertasi) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Surabaya, 2011. hlm 216

14

Page 15: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Menurut Budi Parmono ketentuan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak

memberikan kriteria yang terperinci bagian inti delik penyalahgunaan

wewenang. Tidak terperincinya ini diakui oleh Mahkamah Agung karena

pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagai Undang-Undang

Tindak Pidana Korupsi Pertama berlangsung dalam waktu singkat, delapan

bulan. Sehingga pembahasan bagian inti delik penyalahgunaan wewenang

tidak tuntas. Berdasarkan hal itu, salah satu rekomendasi yang diajukan oleh

Budi Parmono adalah perlunya tercantum penjelasan mengenani kriteria

bagian inti delik penyalahgunaan wewenang dalam perundang-undangan

pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersebut, harus ditindaklanjuti

dengan sikap sigap pemerintah yang harus lebih teliti ketika melaksanakan

tugas dan wewenangnya dalam penyelenggaraan pemerintahan.20

Merujuk pada analisis disertasi Budi Parmono, dapat dikemukakan

catatan perbedaan dan persamaan penelitian dengan penelitian ini adalah

Persamaanya dengan penelitian Budi Parmono sama-sama mengambil tema

penyalahgunaan wewenang dihubungkan dengan tindak pidana dengan

menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkap masalah yang

dijadikan objek penelitian. Adapun Perbedaaanya dengan kajian Budi

Parmono adalah kajian Budi Parmono lebih menekankan pada belum jelasnya

kriteria penyalahgunaan wewenang. Sedangkan, penelitian ini lebih

menekankan bagaimana pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang

pejabat pemerintah dalam Administrasi Pemerintahan dihubungkan dengan

20 Ibid

15

Page 16: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Tindak Pidana Korupsi dalam konteks regulasi yang baru antara lain

mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan. Selain itu, perbedaan dengan disertasi Budi Parmono,

penelitian ini seidak-tidaknya mempergunakan dua disiplin ilmu yaitu hukum

pidana dan hukum administrasi negara, sedangkan disertasi Budi Parmono

hanya mempergunakan satu disiplin ilmu hukum yaitu hukum pidana terkait

dengan delik “Penyalahgunaan wewenang”yang tercantum dalam Pasal 3 UU

Tipikor. Walaupun demikian penelitian Budi Parmono masih relevan untuk

dijadikan salah satu acuan karena sama-sama membahas fenomena

penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah yang dihubungkan dengan tindak

pidana korupsi.

Berdasarkan uraian di atas perlu untuk diteliti secara lebih mendalam

yang selanjutnya dituangkan dalam Disertasi dengan judul:

”Pertanggungjawaban Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah

Dihubungkan Dengan Tindak Pidana Korupsi”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diidentifikasi masalahnya yaitu

sebagai berikut:

1. Bagaimana regulasi pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang

menjalankan administrasi pemerintahan?

16

Page 17: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

2. Bagaimana penerapan pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang

menyalahgunakan wewenangannya dalam menjalankan administrasi

pemerintahan dihubungkan denganpidana tindak pidana korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Pemaparan uraian di atas, selanjutnya digunakan untuk dapat

memberikan tujuan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang

berkaitan dengan penelitian ini di antaranya:

1. Memberikan solusi dan pemecahan yang efektif bila terjadi permasalahan

menyangkut multi penafsiran terhadap regulasi untuk menentukan Pejabat

Pemerintahan yang melakukan tindak pidana yang menimbulkan kerugian

berkaitan dengan perekonomian negara yang menentukan secara subjektif

pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan yang menjalankan administrasi

pemerintahan tersebut; dan

2. Memberikan kontribusi secara umum untuk dapat mengetahui adanya

jaminan perlindungan bagi masyarakat bila terjadi tindakan kesewenang-

wenangan dari pejabat Pemerintahan atas kebijakan dan tindakan pejabat

Pemerintahan yang melanggar hukum, disamping itu kontribusi secara

khusus sebagai pengendali tindakan pejabat Pemerintah mengenai

pertanggungjawaban atas tindakannya apabila menyalahgunakan

wewenang dalam menjalankan administrasi pemerintahan dihubungkan

dengan pidana tindak pidana korupsi sehingga dapat memberi efek penjera

demi memperbaiki sistem pemerintahan di Indonesia.

17

Page 18: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

D. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis kegunaan temuan dalam penelitian ini dapat memberi

manfaat secara teoritis yaitu:

1. Memberikan konstribusi akademis atau teoritis terhadap ikhtiar pengkajian,

penelaahan dan pengembangan terhadap ilmu hukum yang berhubungan

dengan pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang menjalankan

administrasi pemerintahan; dan

2. menambah wawasan baru mengenai penerapan pertanggungjawaban

pejabat pemerintahan yang menyalahgunakan wewenangannya dalam

menjalankan administrasi pemerintahan dihubungkan dengan pidana

tindak pidana korupsi.

E. Kerangka Pemikiran

Teori Hukum

Secara tekstual Teori berasal dari kata “theoria” berarti kata dalam

bahasa latin adalah “perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata

“thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang

disebut realitas. Sedangkan Hukum, apabila dilihat selalu menjelaskan

kesamaan, yaitu dimulai dengan penjelasan struktur dari ilmu hukum itu,

misalnya ilmu hukum selalu terdiri dari dua penjelasan umum, yaitu ilmu

hukum yang dogmatik dan ilmu kenyataan hukum, kemudian kedua bagian

itu selanjutnya akan dipilah-pilih lagi secara lebih spesifik. Kedua disiplin itu

satu sama lain memiliki wilayah yang berbeda (paling tidak dipandang secara

18

Page 19: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

berbeda), sehingga untuk masuk ke wilayah satu dengan wilayah yang lain

diperlukan perpindahan atau penggabungan sarana/alat untuk mencapai

wilayah tersebut. Hukum akan selalu dilihat melalui sudut pandang yang

berbeda-beda tersebut.

Hal yang sama dilakukan oleh Lawrence Friedmann (dalam sistem

hukum) sistem hukum terdiri dari struktur, substansi, dan kultur. Lawrence

Friedmann kemudian memecah unsur-unsur sistem hukum itu menjadi bagian

perbagian yang jika dirangkai kembali akan membentuk suatu bangunan baru

yang dapat diubah sehingga orang awam akan melihat hukum dalam

bentuknya yang berbeda-beda. Ibarat seorang arsitek maka arsitektur hukum

bergantung, kembali kepada tujuan negara.

Namun hukum dapat dilihat dalam lapangan hukum utama, seperti

publik dan privat, kemudian bagian atau tahap selanjutnya ditempatkan pula

wilayah-wilayah lebih khusus, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum

dagang, dan lain-lain sesuai dengan lapangan utama yang ada di atasnya.

Bagian satu dengan bagian lain ada pada wilayah yang sudah jelas dan pasti,

sehingga dengan sangat mudah seseorang dapat menjelaskan bahwa Hukum

Administrasi Pemerintahan asal katanya dari Bestuursrecht dan

Administratief Recht 21. Dengan demikian dikarenakan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ada memiliki

substansi yang menegaskan bahwa Indonesia sebagai Negara Hukum yang

dikemukakan sebagai landasan pemikirian, maka selanjutnya akan digunakan

beberapa teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini di antaranya yaitu:

21 Anthon F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konsruktif-Transgresif, Refika Aditama, Jakarta, 2007. hlm. 60.

19

Page 20: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

1) Teori Negara Hukum

Indonesia secara ekplisit dan tegas merupakan negara hukum,

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang

menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Selanjutnya diperjelas dan diperkuat dalam Penjelasan UUD 1945 yang

menytakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)

tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Menurut Prins

dan Scholten, Negara hukum bukan dilihat dari bentuk, tapi isinya. Hal

ini berartibagaimana kekuasaan dijalankan dan siapa yang

mengawasinya.22

Perwujudan dari negara Indonesia merupakan negara hukum tidak

berdasarkan atas kekuasaan salah satunya menganut prinsip negara hukum

yaitu asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan

hukum pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan

yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan

pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Dengan berdasar pada asas legalitas itu, pemerintah melakukan berbagai

tindakan hukum, Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung

makna penggunaan kewenangan.

Hukum administrasi mengenal asas legalitas atau keabsahan

(legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek,

yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur

maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas

22 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia: 2004, hlm 36.

20

Page 21: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah

ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi,

bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut

tentang substansinya23.

2) Teori Kewenangan

Sumber kewenangan dapat dilihat pada konstitusi setiap negara

yang memberi suatu legitimasi kepada badan-badan publik untuk dapat

melakukan fungsinya24. Dalam kajian hukum administrasi negara,

mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan

merupakan hal penting karena berkenaan dengan pertanggung jawaban

hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu

prinsip dalam negara hukum: “geen bevoegdheid zonder

verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility”

(tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).

Berdasar uraian tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang

diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari peraturan

perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat

menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada,

dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang

diatribusikan  sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).

Penggunaan wewenang hanya mungkin dilakukan oleh yang memperoleh

wewenang atas dasar atribusi dan delegasi atau mandat.25

23 Nur Basuki Minarno, Op.Cit hlm 72-79.24 Tatiek Sri Djatmiati, (2004) Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program

Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm 60.25Philipus M Hadjon , Pengkajian Ilmu Hukum, (Makalah, Pelatihan Metode Penelitian Hukum

Normatif) Universitas Airlangga, Surabaya, 1997, hlm. 2

21

Page 22: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

- Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan.26 Sedangkan delegasi

adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).27

- Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat

besluit) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan

wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain.28 Sementara

itu, mandat terjadi ketika organ pemerinatahan mengizinkan

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

- Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.

Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk

membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang

memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat TUN

yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung gugat dan

tanggung jawab tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu

ada ketentuan perundang-undangan29.

3) Teori Diskresi

Merujuk pada uraian mengenai wewenang sebagaimana yang

disebutkan di atas, Pemerintah melalui pejabatnya dapat melakukan

diskresi segaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi atau keputusan

dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat 26Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 104-10527Ibid, hlm 104-10528Philipus M Hadjon , Pengkajian Ilmu Hukum, op.cit, hlm 229Ibid, hlm 2

22

Page 23: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam

penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan

yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas,

dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Menurut Pasal 22 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014 tersebut,

Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang

berwenang, dengan tujuanDiskresi menurut Pasal 22 ayat (2) dan

penjelasan UU No. 30 Tahun 2014 untuk:

a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;

b. mengisi kekosongan hukum; dan

c. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna

kemanfaatan dan kepentingan umum.

Diskresi menurut Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diartikan sebagai

Keputusan dan/atau Tindakanyang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh

Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkretyang dihadapi

dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-

undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau

tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Sementara itu, ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimaksud

untukpengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan

23

Page 24: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan

dan/atau tindakan yang meliputi;

a. pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-

undangan tidak mengatur;

b. pengambil keputusan dan/atau tndakan karena peraturan perundang-

undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan

c. pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi

pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Menurut Pasal 24 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang

Administrasi Pemerintahan dinyatakan Pejabat Pemerintahan yang

menggunakan diskresi harus memenuhi syarat sesuai dengan tujuan

diskresi, yaitu tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik

(AUPB), berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan

konflik kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik.

Diskresi diperlukan oleh penyelenggara pemerintahan untuk

mengatasi keterbatasan kapasitas regulasiatau perundang-undangan tidak

mampu menjawab perubahan yang begitu cepat di masyarakat. Kadang

regulasi yang ada pun sudah tidak relevan dengan perubahan zaman.

Meskipun demikian kewenangan pejabat pemerintah untuk melakukan

diskresi, dalam konsep hukum administrasi selalu disertai dengan “tujuan

dan maksud” diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang

itu harus sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang itu

24

Page 25: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

sendiri. Dalam hal penggunaan wewenang itu tidak sesuai dengan tujuan

dan maksud pemberian wewenang tersebut, maka telah melakukan

penyalagunaan wewenang (detournement de pouvoir).

Menurut pandangan Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian

penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero

dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis

Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat

diartikan dalam 3 (tiga) komponen yaitu:30

1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan

yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan

kepentingan pribadi, kelompok atau golongan

2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat

tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi

menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh

undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya,

3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur

seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah

menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

30 Indriyanto Seno Adji, Paper, Antara Kebijakan Publik (Publiek Beleid), Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Seminar Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Falultas Hukum Iniversitas Diponegoro, Semarang, 6-7 Mei 2004, hlm. 14, yang mengutip dari Mardjono Reksodiputro, dalam Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan, Buku Kesatu, Cet. Kesatu, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994, hlm. 42-43.

25

Page 26: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas (wewenang, prosedur

dan substansi) tersebut mengakibatkan cacat yuridis suatu tindak

pemerintahan. Cacat yuridis menyangkut wewenang, prosedur dan

substansi. Setiap tindak pemerintahan diisyaratkan harus bertumpu atas

kewenangan yang sah.

4) Teori Pertanggungjawaban

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam

kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan

istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau

tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi

semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti

kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas

untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan Accountability

(Akuntabilitas) merupakan sisi-sisi sikap dan watak

kehidupan manusia yang meliputi sikap internal

dan eksternal seseorang makna yang berbeda dengan

Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu

kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan

kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-

undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,

istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu

tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum,

26

Page 27: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

sedangkan istilah responsibility merupakan suatu refleksi tingkah laku

manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol

jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau

mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah

merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada

alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan

tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya31. Sebagai

contoh menunjuk pada pertanggungjawaban politik32.

Apabila pejabat pemerintah melakukan penyalahgunaan wewenang

dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Konsep

pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan pertanggungjawaban

secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok

yang bertentangan dengan undang-undang. Pertanggungjawaban memuat

nisbah bersegi tiga, meliputi:33

a. seseorang adalah penyebab atau berwenang;

b. atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuatnya;dan

c. berhadapan dengan pihak yang menuntut pertanggungjawaban.

Menurut Hans Kelsen bahwa sebuah konsep yang berhubungan

dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab

(pertanggungjawaban) hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab 31 Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan

Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.32 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.

335-337.33 F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia, Semarang:

Walisonngo Research Institute (WRI): 2001, hlm 87.

27

Page 28: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

secara hukum atasperbuatan tertentu atau bahwa seseorang bertanggung

jawab atas suatu sanksi apabila perbuatannya bertentangan dengan hukum

dan peraturan perundang-undangn. Biasanya, yakni apabila sanksi hukum

ditunjukan kepada pelaku langsung, maka seseorang bertanggung jawab

atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek daritanggungjawab

hukum identik dengan subjek dari kewajiban hukum.34

Dalam teori hukum yang bersifat umum, disebutkan bahwa setiap

orang, termasuk pemerintah, harus mempertangungjawabkan setiap

tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan. Dariteori hukum

umum, muncultanggungjawab hukum berupa tanggung jawab pidana,

tanggung jawab perdata, dan tanggungjawab administrasi, diantaranya

adalah:35

a. Tanggung Jawab Pidana

Prinsip pertanggungjawaban pidanadapat ditemui dalam

ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyebutkan tiada peristiwa

dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-

undangan pidana yang mendahulukan (geen feit is strafbaar dan uit

kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling).36

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, dapat

dijelaskan bahwa pertama, suatu perbuatan dapat dipidana jika 34 Hans Kelsen, General Theory of Law and State , New York : Russel and Russel, 1971, hlm

9535 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) , Refika Aditama, Bandung,

2009, hlm 147.36 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan & Yurisprudensi.

Alumni, Bandung, 1979, hlm. 16

28

Page 29: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Hal ini berarti

pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.

Kedua, ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan

itu, dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku

ketika perbuatan itu dilakukan.37 Dalam kaitan dengan hal tersebut,

menurut Barda Nawawi Arief bahwa perumusan asas legalitas dalam

Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas lex temporis

delicti atau asas nonretroaktif.

Larangan berlakunya hukum atau undang-undang pidana

secara retroaktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan

HAM.38Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang

menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada perubahan dalam

perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan perundang-

undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Ketentuan

tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana

maupun sanksinya. Ketiga, Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat

pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan

terdakwa.39

Mengacu pada uraian di atas, maka keberlakuan asas legalitas

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dibatasi oleh Pasal 1 37 Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,

BPHN, Jakarta, 2002, hlm 3.38 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,

hlm 1.39Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,

Op.Cit, hlm..3

29

Page 30: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan,

ada perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan

peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan bagi

terdakwa.

Ketentuan dalam Pasal 1 KUHP yang meberlakukan asas

legalitas menurut Moelyatno mengandung tiga pengertian: (a) tidak

ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu

terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang;

(b) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi (kiyas); dan (c) aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku

surut.40

Selanjutnya dalam Pasal 2 Kitab KUHP, bahwa “ketentuan

pidana dalamperundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap

orang yangmelakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”. Pada

dasarnya hukum pidana merupakan keseluruhan peraturan hukumyang

berkenaan dengan perbuatan mana yang dapat dipidana danpidana apa

yang dapat dikenakan.

Eksistensi asas legalitas masih diakui mempunyai implikasi

kepada kedudukan kepastian hukum yang mempunyai sifat

perlindungankepada hukum pidana yaitu hukum pidana melindungi

masyarakat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari

pemerintah. Hal ini merupakan fungsi “melindungi” dari hukum

40 Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 2000, hlm. 25

30

Page 31: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

pidana. Fungsi melindungi, hukum pidana juga mempunyai fungsi

instrumental, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-

undang, pelaksanaan kekuasaan yang dilakukan pemerintah, secara

tegas diperbolehkan.41

Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, meliputi:

a. pidana pokokyang terdiri dari: (i) pidana mati; (ii) pidana penjara;

(iii) kurungan; dan (iv) denda; dan

b. pidana tambahanyang terdiri dari: (i) pencabutan hak-hak tertentu;

(ii) perampasan barang-barang tertentu; dan (iii) pengumuman

putusan hakim.

Hukum pidana juga merupakan ultimum remidium atau sarana

terakhir. Ultimum remidium hanya diadakan apabila sanksi-sanksi

dalam bidang-bidanghukum lain tidak memadai.

b. Tanggung Jawab Perdata

Sementara itu, dalam perspektif hukum perdata, disebutkan

bahwa pertanggungjawaban hukum behubungan dengan

perbuatanmelawan hukum. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan

hukum dapat ditemukkan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUH Perdata).

Berkaitan dengan konsep perbuatan melawan hukum, Pasal

1365 KUHPerdatayang menyebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar

41 Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm 4.

31

Page 32: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan

orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut.

Dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, terdapat

unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yaitu adanya

perbuatan,adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita,

serta adanyahubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Dengan adanyaunsur perbuatan melawan hukum dalam bidang hukum

perdata.

Ketentuan dalam Pasal 1366 KUH Perdata menegaskan

bahwasetiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang

disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan

kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim

dapat berupa:

1) putusan condemnatoir, yakni putusan yang bersifat menghukum

pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya);

2) putusan declaratoir, yakni putusan yang amarnya

menciptakansuatu keadaan yang sah menurut hukum; dan

3) putusan constitutif, yakni putusan yangmenghilangkan

suatukeadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.

Pada dasarnya, dalam hukum perdata bentuk sanksi hukumnya

dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban)

32

Page 33: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

sertahilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya

suatukeadaan hukum baru. Pertanggungjawaban hukum di bidang

perdatamerupakan pertanggungjawaban hukum yang didasari oleh

adanyahubungan keperdataan antar subyek hukum.

c. Tanggung Jawab Administrasi

Sementara itu, dalam hukum administrasi, tanggungjawab yang

dibebankan kepada subjek yang melakukan kesalahan administratif.42

Sedangkan pengertian administratifadalah sanksi yang dikenakan

terhadap pelanggaranadministrasi atau ketentuan undang-undang yang

bersifat administratif.

Sanksi administratif diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, berupa: (a)

sanksi administratif ringan; (b) sanksi administratif sedang; dan (c)

sanksi administratifberat. Selanjutnya yang dimaksud dengan sanksi

administrasi ringan, sedang dan berat diatur dalam Pasal 81 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,

yaitu sebagai berikut:

1. sanksi administratif ringan berupa:

a. teguran lisan;

b. teguran tertulis; atau

42 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 210

33

Page 34: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

c. penundaan kenaikan pangkat, golongan,dan/atau hak-hak

jabatan;

2. sanksi administratif sedang berupa:

a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;

b. pemberhentian sementara dengan memperolehhak-hak jabatan;

atau

c. pemberhentian sementara tanpa memperolehhak-hak jabatan;

dan

3. sanksi administratif berat berupa:

a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan

dan fasilitas lainnya;

b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan

fasilitas lainnya;

c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan

dan fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa; atau

d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan

fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa.

Adanya pertanggungjawaban pemerintahan ini mendorong

timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary

complience), memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan

good governance.43

43 Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik, Setara Press,Malang, 2011, hlm 7

34

Page 35: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

F. Metode Peneitian

Metode dapat diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan

dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian adalah suatu upaya dalam

bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan

prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan

kebenaran.44

Merujuk pada pernyataan di atas, bahwa metode penelitian merupakan

suatu unsur mutlak yang harus ada dalam penelitian. hal-hal sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-

normatif. yaitu suatu metode dalam penelitian hukum normatif dengan

menggunakan sumber utama data sekunder atau bahan pustaka.45 polemik

akan hambatan yang timbul disebabkan Pertanggungjawaban

penyalahgunaan wewenang pejabat Pemerintahan yang dapat dikenakan

sanksi yang tidak berupa sanksi Administratif belaka sehingga menimbulka

efek penjera dengan menerapkan bahan-bahan hukum, menerapkan teori-

teori yang akan dijadikan acuan di dalam penelitian dengan beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu

hukum.46

44 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Proposal, Jakarta, Bumi Aksara, 1998. hlm. 2445 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja

Grafindo Persada, 1995, hlm. 13.46 Ibid hal.. 137

35

Page 36: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat digolongkan sebagai

jenis penelitian normatif yang menggambarkan adanya ketidak singkronan

dalam substansi undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Tindak Pidana Korupsi seperti contoh dalam Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur

bagaimana ‘setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’. Setiap orang yang

memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 3 (bukan hanya

pegawai negeri) terancam pidana penjara 1-20 tahun.

Mengenai kerugian keuangan negara, terdapat ketentuan

mencolok di antara kedua undang-undang. Artinya, pelaku tetap dihukum,

baik pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan sedangkan dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan, pada Pasal 4 dinyatakan dalam tempo 10 hari, pelaku dapat

mengembalikan kerugian keuangan negara itu dan sudah dianggap bukan

tindak pidana. Oleh karena itu, pelaku tidak perlu takut dipidana berapa

besarpun kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya

karena yang menanti hanyalah hukuman yang bersifat administratif, tidak

ada penjelasan lebih lanjut walaupun kerugian Negara itu tidak

dikembalikan kendati waktu 10 hari telah berlalu. Dengan demikian

penelitian ini akan berfungsi sebagai upaya mengatasi tiadanya ketentuan

36

Page 37: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

lebih lanjut yang dinilai menghambat upaya pemberantasan korupsi

dan berupaya meneliti kaitan Undang-Undang Nomor 20 Tahu 2001

Tindak Pidana Korupsi, Kemudian dihubungkan dengan peraturan

perundang-undangan lainnya. Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu

penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-

undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat.47

2. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif, yaitu metode penelitian

yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-

undangan.48

Penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang

tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia

yang dianggap pantas. Dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah

merujuk pada sumber hukum yaitu penelitian yang mengacu pada norma

hukum yang terdapat dalam perangkat hukum. Dapat disimpulkan bahwa

metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang

merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika

47 Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, 2006, hlm. 57.

48 Soejono Soekamto ed, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 1998.

37

Page 38: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin

ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang

objeknya hukum itu sendiri.49

Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif,

yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau

norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif

analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat,

sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.50

Deskriptif Analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan

dan menganalisis suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori dan

norma-norma hukum tentang fakta dan kondisi yang ada seperti contoh

yang menggambarkan tindakan Pejabat Pemerintahan baik ditingkat Pusat

maupun Daerah yang melakukan penyimpangan baik secara langsung

maupun secara pendelegasian yang kebijakan dalam menerbitkan

Keputusan-Keputusannya menyebabkan kerugian perekonomian negara,

atau Keputusan Gubernur Bank Indonesia menyimpang hingga

penyimpangan yang dilakukan Kepala Daerah yang menyebabkan kerugian

atau gejala lainnya yang menjadi objek penelitian. Seperti adanya

Keputusan yang merugikan negara dan bentuk kebijakan yang

menyebabkan penderitaan terhadap masyarakat. Setelah itu diadakan suatu

hipotesa secara kritis dalam arti memberikan penjelasan-penjelasan atas

49 Jhonny Ibrahim,, Op.Cit. hlm. 57.50 Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia. 1997,

hlm. 42.

38

Page 39: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

fakta atau gejala tersebut, baik dalam kerangka sistematisasi maupun

sinkronisasi dengan berdasarkan pada aspek yuridis, dengan demikian akan

menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.

3. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan yaitu data sekunder yang

dimaksudkan meliputi bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder

serta bahan-bahan tersier. Selain itu, digunakan pula data primer untuk

mendukung penelitian dan menunjang sumber data sekunder yang telah

ada.51

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat

yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada

berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan. Bahan

hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer seperti rancangan undang-undang, bahan hukum yang

diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat pakar hukum, dan hasil-

hasil penelitian. Adapun, bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum

primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 52

Penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data

sekunder, maka penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema)

51 Peter Mahmud Marjuki, Op. cit, hlm 144.52 Jhonny Ibrahim, Loc.cit, hlm.192. Lihat Amiruddin dan Zainal Asikin, PengantarMetode

Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 118‐119.

39

Page 40: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

dapat ditinggalkan, tetapi penyusunan kerangka konsepsional mutlak

diperlukan. Di dalam menyusun kerangka konsepsional, dapat

dipergunakan perumusan-perumusan yang terdapat di dalam peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar penelitian, dan penelitian hukum

normatif tidak memerlukan hipotesis.

Konsekuensi yang hanya menggunakan data sekunder, maka pada

penelitian hukum normatif tidak diperlukan sampling, karena data

sekunder (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kualitas

tersendiri yang tidak bisa diganti dengan data jenis lainnya dan pada

umumnya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisisnya.

Sumber data dalam penelitian ini di kelompokkan menjadi 3 (tiga)

yaitu:

1) Bahan hukum primer, yaitu merupakan data yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas yang tinggi dan mengikat, karena data

primer misalnya dikeluarkan/ditetapkan oleh pemerintah. Bahan hukum

primer antara lain peraturan perundang-undangan. Data primer yang

digunakan dalam penelitian antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999

Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi, dan Neptisme;

40

Page 41: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik;

g. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi;

h. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara;

i. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor No. 5 Tahun 2014

tentang Aparatur Sipil Negara;

j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah;

k. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan; dan

l. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

dan

2) Bahan hukum sekunder adalah data-data yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer antara lain, hasil penelitian hukum,

41

Page 42: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

hasil karya ilmiah di bidang hukum. Dalam hal ini hasil penelitian

hukum, hasil karya ilmiah di bidang hukum administrasi negara dan

hukum lingkungan; dan

3) Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk atau

penjelasan bermakna maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan sekunder. Seperti kamus hukum, kamus bahasa Belanda dan

Indonesia, kamus bahasa Inggeris dan Indonesia, ensiklopedia, dan

lain-lain.53

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

studi kepustakaan (library research), adalah studi kepustakaan dilakukan

untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan

perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum dan

ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat normatif.

Teknik pengumpulan data tersebut meliputi studi kepustakaan

yaitu meneliti dokumen, peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan bidang hukum pidana, tindak pidana korupsi, hukum pidana

administrasi pemerintahan dan yang relevan dengan teori pendukung

dalam menyusun konsep penelitian dan juga mendukung penyajian dan

pembahasan masalah yang dijadikan obyek penelitian.

53 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normati Suatu Tingjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 2007, hlm. 13.

42

Page 43: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh wawasan teoritik

dan kerangka konseptual penelitian. Studi kepustakaan yang terarah untuk

mendapatkan informasi-informasi tersebut, dilakukan di perpustakaan:

a. Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung di Kota Bandung;

b. Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Parahyangan

Bandung di Kota Bandung;

c. Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran di Kota Bandung;

d. Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran di

Kota Bandung;

e. Dinas Pemerintahan Pusat maupun Daerah yang terkait;

f. Badan Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta; dan

g. Perpustakaan Umum Nasional di Jawa Barat dan Jakarta.

5. Analisa Data

Penelitian hukum kepustakaan (secara normatif) kegiatan analisis

data sebenarnya telah dimulai semenjak sebelum penyusunan kerangka

acuan penelitian sampai pada saat terakhir penulisan laporan penelitian.

Supaya laporan penelitian itu benar-benar memuat hasil pemikiran dan

pendapat yang didasari imformasi yang selengkap-lengkapnya.54

Menganalisis bahan-bahan yang telah dikumpulkan tentu saja harus

dilakukan cara-cara analisis atau penafsiran (interpretasi) hukum yang dikenal,

seperti penafsiran autentik, penapsiran menurut tata bahasa (gramatikal),

penafsiran berdasarkan sejarah perundang-undangan (wethistoris) atau

54 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Idonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung, Alumni, 1994, hlm. 151

43

Page 44: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

berdasarkan sejarah hukum (rechthistoris), penafsiran sistematis, penafsiran

sosiologis, teleologis, penafsiran fungsional, ataupun penafsiran futuristic (suatu

pemikiran).55 Dengan demikian menggunakan metode analisis ini diharapkan akan

memperoleh gambaran tentang pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang

Pejabat Pemerintah menurut hukum administrasi dihubungkan dengan tindak

pidana korupsi.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan Disertasi ini merupakan kajian yang terbagi kedalam lima

Bab, meliputi:

BAB I PENDAHULUAN

Bagian ini menguraikan latarbelakang masalah, identifikasi

masalah, tujuan penelitian, kegunaan teoretis dan kegunaan

praktis, kerangka pemikiran dan metode penelitian.

BAB II NEGARAHUKUM, KEWENANGAN DAN

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM

Bab ini membahas konsep dan teori: (a) negara hukum; (b)

kewenangan; dan (c) pertanggungjawaban hukum

BAB III PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT

PEMERINTAHAN DALAM MENJALANKAN

55 Ibid. hlm. 152.

44

Page 45: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN BERKAITAN

DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Bab ini akan menguraikan konsep dan teori (a)

penyalahgunaan wewenang menurut UU Tipikor dan UU

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; (b)

Pejabat Pemerintah; (c)Administrasi Pemerintahan; dan (d)

kasus-kasuspenyalahgunaan kewenangan oleh pejabat

pemerintahan; (e) Tindak Pidana Korupsi.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ADMINISTRASI

PEMERINTAHAN DIHUBUNGKAN DENGAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

Bab ini menganalisis dan membahas adanya perumusan

masalah yang telah diidentifikasikan, kemudian dilakukan

penelitian dari regulasi pertanggungjawaban hukum oleh

Pejabat Pemerintahan yang menyaahkan wewenangnya dalam

menjalankan Admknistrasi Pemerintahan dihubungkan dengan

tindak pidana korupsi.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan kesimpulan dan saran. Kesimpulan

diperoleh dari jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Saran

45

Page 46: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

diperoleh berdasarkan hasil kesimpulan yang ditujukan kepada

pihak-pihak yang relevan dengan topik penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku

Anthon F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum

Konsruktif-Transgresif, Refika Aditama, Jakarta, 2007. hlm. 60.

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2003

46

Page 47: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia

Indonesia, 2004.

E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief

Recht, Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985.

H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel,

1971

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang,

Bayumedia Publishing, 2006

Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT.

Gramedia. 1997.

Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan

Publik, Setara Press,Malang, 2011

Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum

Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Proposal, Jakarta, Bumi Aksara, 1998

47

Page 48: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Mochtar Kusumaatmadja, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum

Nasional Dimasa Kini dan Masa yang Akan Datang, Makalah,

Jakarta, 1995.

Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 2000.

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Refika Aditama,

Bandung, 2009

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Philipus M Hadjon , Pengkajian Ilmu Hukum, (Makalah, Pelatihan Metode

Penelitian Hukum Normatif) Universitas Airlangga, Surabaya, 1997.

Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan &

Yurisprudensi. Alumni, Bandung, 1979.

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2006

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2002.

Safri Nugraha, Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum

Pemerintahan yang Baik, Badan Pembinaan Hukum Nasional,

Jakarta, Desember 2007

Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995

48

Page 49: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009.

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di

Indonesia. Alumni, Bandung, 1985.

______________, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi

Negara, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 2

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normati Suatu

Tingjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 2007.

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Idonesia Pada Akhir Abad Ke-20,

Bandung, Alumni, 1994.

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT RajaGrafindo

Persada: Jakarta, 2008.

Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak

Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: LaksBang

PRESSindo, 2009.

B. Sumber Majalah, Karya Ilmiah, Koran Dan Lain-lain

Budi Parmono, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Di

Indonesia (Disertasi) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,

Surabaya, 2011.

49

Page 50: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Enny Rohyani,Implikasi Hukum Dari Penyalahgunaan Wewenang Oleh

Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, (Disertasi

Doktor Ilmu Hukum)Program Pascasarjana Program Studi Doktor

Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2009.

F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia,

Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI): 2001

Indriyanto Seno Adji, Kendala Sanksi Hukum Pidana Administratif , Jurnal

Keadilan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2011.

__________________, Paper, Antara Kebijakan Publik (Publiek Beleid),

Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Seminar Pertanggungjawaban

Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Falultas

Hukum Iniversitas Diponegoro, Semarang, 6-7 Mei 2004.

Irving M. Copi, Intreduction to Logic dalam PM. Hadjon, Pengkajian Ilmu

Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika , No.6 Tahun XI November-

Desember 1994.

Mardjono Reksodiputro, dalam Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan

Kejahatan, Buku Kesatu, Cet. Kesatu, Jakarta: Pusat Pelayanan

Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)

Universitas Indonesia, 1994.

50

Page 51: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi? (Dari

Perspektif Hukum Pidana/Korupsi (makalah) disampaikan dalam

Seminar, dengan tema Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari

Hukum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud

Auditing (LPFA). di Hotel Bumi Karsa Bidakara–Jakarta, Selasa 11

Mei 2010.

Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana

Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya :

Laksbang Mediatama, 2009.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst

tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan

Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal

17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan

oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003

tanggal 12 Pebruari 2004.

Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi

diIndonesia, Penerbit BPHN Depkumham, Jakarta, 2002.

Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di

Indonesia, BPHN, Jakarta, 2002.

51

Page 52: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Tatiek Sri Djatmiati, (2004) Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia,

Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya,

2004.

C. Sumber Websites

http://asmisiangka.blogspot.co.id/2013/02/hukum-dasar-tertulis-dan hukum-

dasar.html, dengan Topik: Hukum Dasar Tertulis dan Tidak Tertulis.

Diakses pada tanggal 17 Nopember 2015.

D. Sumber Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi, dan Neptisme.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;.

52

Page 53: Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik.

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor No. 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang

Administrasi Pemerintahan.

53