PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

12
145 Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 4, Oktober 2011 : 145 – 156 Naskah masuk : 18 Maret 2011, revisi pertama : 30 Mei 2011, revisi kedua : 24 Juni 2011, revisi terakhir : Oktober 2011 PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 Small-Scale Mining Issues After Enacting Law No. 4 / 2009 BAMBANG YUNIANTO dan RIDWAN SALEH Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman 623, Bandung 40211 Telp. 022 6030483, Fax. 022 6003373 e-mail: @tekmira.esdm.go.id SARI Persoalan pertambangan rakyat, sebagian besar ilegal (Pertambangan Tanpa Izin/ PETI), semakin marak di pelosok tanah air. Secara implisit pertambangan rakyat telah diatur dalam UU No. 4/ 2009, yang ditindaklanjuti dengan 4 Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman, kriteria dan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang diatur dalam peraturan daerah. Sesuai Pasal 20-21 UU tersebut, kewenangan pengelolaan pertambangan rakyat secara penuh telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Penanganan PETI yang saat ini marak beroperasi di beberapa daerah dapat dilakukan dengan cepat berdasarkan Pasal 24 UU No. 4/ 2009 yang tidak membatasi masa operasinya. Justru, bila PETI sudah beroperasi harus diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR dan dikeluarkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Dalam penanganan pertambangan rakyat perlu mengedepankan pemberdayaan masyarakat petambang dengan memerhatikan aspek-aspek kebijakan, kelembagaan, permodalan, teknologi, lingkungan, dan pemasaran hasil tambang. Kata kunci: pertambangan rakyat, PETI, WPR, dan IPR ABSTRACT Issues of small-scale mining that are mostly illegal, are worsening in many regions of this country. Implicitly, this mining has been managed by the Law no. 4/2009, followed by 4 Governmental Regulations as guidance, criteria and determination of Mining Area for Small-Scale that is regulated by Regional Regulation. In accordance with Articles no. 20-21 of the law, the authority of the management of the mining is fully held by the regional government. The illegal mining can quickly be coped by the law that has no limit of operating time. Precisely, when the illegal mining has already operated, it must be prioritised to be determined as a mining authority for the small-scale, and is issued its mining licence. In managing this mining, it requires to prioritise empowerment of the miner community by emphasizing aspects of policy, institution, capitalisation, technology, environment and marketing of mineral and coal. Keywords: small-scale mining, illegal mining, mining area, mining license

Transcript of PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

Page 1: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

Persoalan Pertambangan Rakyat Pasca Pemberlakuan ... Bambang Yunianto dan Ridwan Saleh

145

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 4, Oktober 2011 : 145 – 156

Naskah masuk : 18 Maret 2011, revisi pertama : 30 Mei 2011, revisi kedua : 24 Juni 2011, revisi terakhir : Oktober 2011

PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYATPASCA PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANGNO. 4 TAHUN 2009

Small-Scale Mining Issues After Enacting Law No. 4 / 2009

BAMBANG YUNIANTO dan RIDWAN SALEH

Puslitbang Teknologi Mineral dan BatubaraJalan Jenderal Sudirman 623, Bandung 40211Telp. 022 6030483, Fax. 022 6003373e-mail: @tekmira.esdm.go.id

SARI

Persoalan pertambangan rakyat, sebagian besar ilegal (Pertambangan Tanpa Izin/ PETI), semakin marak di pelosoktanah air. Secara implisit pertambangan rakyat telah diatur dalam UU No. 4/ 2009, yang ditindaklanjuti dengan 4Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman, kriteria dan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yangdiatur dalam peraturan daerah. Sesuai Pasal 20-21 UU tersebut, kewenangan pengelolaan pertambangan rakyatsecara penuh telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota.

Penanganan PETI yang saat ini marak beroperasi di beberapa daerah dapat dilakukan dengan cepat berdasarkanPasal 24 UU No. 4/ 2009 yang tidak membatasi masa operasinya. Justru, bila PETI sudah beroperasi harus diprioritaskanuntuk ditetapkan sebagai WPR dan dikeluarkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Dalam penanganan pertambanganrakyat perlu mengedepankan pemberdayaan masyarakat petambang dengan memerhatikan aspek-aspek kebijakan,kelembagaan, permodalan, teknologi, lingkungan, dan pemasaran hasil tambang.

Kata kunci: pertambangan rakyat, PETI, WPR, dan IPR

ABSTRACT

Issues of small-scale mining that are mostly illegal, are worsening in many regions of this country. Implicitly, thismining has been managed by the Law no. 4/2009, followed by 4 Governmental Regulations as guidance, criteria anddetermination of Mining Area for Small-Scale that is regulated by Regional Regulation. In accordance with Articlesno. 20-21 of the law, the authority of the management of the mining is fully held by the regional government.

The illegal mining can quickly be coped by the law that has no limit of operating time. Precisely, when the illegalmining has already operated, it must be prioritised to be determined as a mining authority for the small-scale, and isissued its mining licence. In managing this mining, it requires to prioritise empowerment of the miner community byemphasizing aspects of policy, institution, capitalisation, technology, environment and marketing of mineral andcoal.

Keywords: small-scale mining, illegal mining, mining area, mining license

Page 2: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

146

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 4, Oktober 2011 : 145 – 156

PENDAHULUAN

Tanpa mengesampingkan eksistensi PETI batuan,akhir-akhir ini PETI, pertambangan rakyat yangdilakukan tanpa izin bermunculan di beberapadaerah di pelosok tanah air. Beberapa kasus yangsempat terpantau, antara lain: PETI intan diMartapura (Kalimantan Selatan), PETI batubara diKota Samarinda (Kalimatan Timur) dan KalimantanSelatan, tambang inkonvensional (TI) timah diBangka Belitung, PETI emas di daerah Topo Nabire(Papua), tambang emas rakyat di Sungai Tahi Ite,Wumbubangka, Bombana (Sulawesi Tenggara),tambang emas rakyat di Gunung Tumpang PituBanyuwangi (Jawa Timur), tambang emas rakyat didaerah Sekotong Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat),tambang emas rakyat di Pelabuhan Bajo Flores, NusaTenggara Timur (Yunianto dkk, 2006-2010). Kegiatansemacam ini memiliki permasalahan yangberdimensi kompleks, terutama berakar daripersoalan sosial dalam masyarakat. Memangpermasalahan tambang semacam ini sudah terjadisaat diberlakukan UU No. 11 Tahun 1967 tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan maupunsetelah diberlakukannya UU No. 4 Tahun 2009tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudahsejak tahun 1900 membuat model percontohanpenanganan pertambangan rakyat dengan mewadahikegiatan tambang ke dalam koperasi, kasus tambangemas rakyat di daerah Sekonyer Kalimantan Tengahdan di daerah Lanud, Bolaang Mongondow, SulawesiUtara, serta tambang karya untuk timah di BangkaBelitung, tetapi kurang berhasil. Apapermasalahannya? Sebuah pertanyaan yang selalumengganggu pikiran, karena kalau tambang semacamini dapat dikelola dengan baik, tentu akan memberidukungan yang tidak ternilai terhadap pemecahanpermasalahan masyarakat kelas bawah di Indone-sia. Di samping itu, berbagai sisi negatif keberadaantambang semacam ini dapat diminimalkan, sepertitiadanya pemasukan penerimaan negara, terjadinyapemborosan sumber daya tambang, kerusakanlingkungan, konflik sosial dalam masyarakat,berkembangnya budaya instan, dan lainnya.

Kalau dicermati, kegiatan PETI (terutama emas danbatuan) yang akhir-akhir ini terjadi, sebetulnyaberbeda bila dibandingkan TI timah di BangkaBelitung, atau PETI batubara di Kalimantan Selatan.Perbedaan yang utama adalah sangat kental denganrakyat miskin dengan peralatan seadanya (sederhana)karena awalnya dilakukan masyarakat setempat.Sedangkan TI timah di Bangka Belitung dan PETI

batubara di Kalimantan Selatan dilakukan denganalat berat, modal cukup besar, dan memiliki back-ing aparat. Khusus PETI emas, kegiatannya susahdikelola, karena perkembangannya seperti wabahpenyakit. Apabila di suatu daerah ada emas, makapetambang dari berbagai pelosok tanah air pun akanberdatangan, seperti petambang dari Tasikmalaya,Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan lainnya.

METODOLOGI

Tulisan ini mencoba mencari terobosan pengelolaanpertambangan rakyat pasca pemberlakuan UU No.4 Tahun 2009. Sejauh mana UU tersebut memberiruang untuk kiprah tambang semacam ini, persoalansosial pertambangan apa saja yang perlu dicariterobosan penyelesaiannya, bagaimana peran daerahdan pusat, serta peran apa yang dapat diambil olehperusahaan besar yang ada di sekitarnya. Tulisan inimencoba mengerangkakan pertambangan rakyat yangserabutan ke dalam pertambangan rakyat moderndengan mengenalkan kapitalisasi dan kelembagaanyang produktif. Dalam pembahasan ini akandidahului mendudukkan pertambangan rakyat dalamUU No. 4 Tahun 2009.

Metodologi dalam pembahasan tulisan inimengendepankan pendekatan analitik komparatifberdasarkan pengalaman penulis dalam penangananbeberapa kasus pertambangan rakyat dan PETI diIndonesia. Data yang dipergunakan adalah hasilsurvei Tim Pemantauan Isu Pertambangan TerkiniTahun 2006-2010 (Yunianto dkk, 2006-2010), kajianLIPI oleh Zulkarnain dkk (2006-2008), Zulkarnaindan Pandjiastuti (2008), Agustinus (2009), dan Hadi(2009).

PEMBAHASAN

Identifikasi Persoalan (Konsep dan PermasalahanPertambangan Rakyat)

Pertambangan rakyat secara konsep masih seringdiperdebatkan oleh para ahli pertambangan. Padakasus di Indonesia, hal ini dapat dilihat padaperbedaan profil pertambangan rakyat/skala kecil(Lembaga Demografi FEUI – DPPP, DJPU – DPE,1996) dan klasifikasi pertambangan rakyat (DJPU danLPM ITB, 1997). Untuk kasus di negara lain dapatdilihat pada Ghose dan Aloy (1994), dan Blowers(1988). Konsep yang dikembangkan di Indonesiamerujuk pada model partisipasi rakyat dalamkegiatan pertambangan yang dikenalkan oleh

Page 3: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

Persoalan Pertambangan Rakyat Pasca Pemberlakuan ... Bambang Yunianto dan Ridwan Saleh

147

Wiriosudarmo (1995), dan dikembangkan olehSutjipto (1995), dan Sembiring (1996). Pertambanganrakyat di Indonesia sangat kental dengan sepak terjangPETI dengan latar belakang kondisi sosial, ekonomidan budaya petambang yang beragam. Saat ini PETIemas dan PETI bahan galian lainnya kembali marakdi tanah air. PETI emas di Sungai Tahi Ite danWumbubangka membuat Pemerintah KabupatenBombana, dan Pemerintah Provinsi SulawesiTenggara pun harus turun tangan. PETI emas jugaberoperasi di daerah Sekotong Lombok Barat (NusaTenggara Barat), Topo - Nabire (Papua), pegununganMerapi - Banjar (Kalimantan Selatan), GunungTumpang Pitu - Banyuwangi (Jawa Timur), danPelabuhan Bajo - Flores (Nusa Tenggara Timur).

Mengenai tipologi dan dampak tambang emas rakyatdi Bombana dapat dilihat pada Agustinus (2009),terutama penambangan emas latakan (Hadi, 2009).Hal tersebut mengingatkan kita akan kerusakanlingkungan yang begitu hebat di Kalimantan Tengah,Kalimantan Barat, Bombana, dan Sekotong-LombokBarat akibat kegiatan PETI emas (Gambar 1, 2, dan3). Sementara itu, PETI batubara masih banyakdijumpai di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,Banten (Gambar 4). TI timah di Kepulauan BangkaBelitung pun masih tetap ada (Gambar 5). ApalagiPETI untuk batuan, dari pantauan Tim PemantauanIsu Pertambangan Puslitbang tekMIRA masih terjadidi hampir seluruh pelosok tanah air (Gambar 6).

Gambar 1. Tambang emas rakyat di Kalimantan Tengah dan kerusakan lingkungan

Gambar 2. Pengolahan emas dengan gelundung di tambang rakyat Sekotong

Page 4: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

148

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 4, Oktober 2011 : 145 – 156

Gambar 3. Hasil gelundung tambang emas rakyat di Sekotong, Lombok Barat

Gambar 4. Tambang batubara di Kalimantan Timur

Gambar 5. Tambang timah inkonvensional (TI timah) di laut di Kepulauan Bangka Belitung

Page 5: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

Persoalan Pertambangan Rakyat Pasca Pemberlakuan ... Bambang Yunianto dan Ridwan Saleh

149

Permasalahan tersebut meliputi boros sumber daya,penerimaan negara tidak terpungut, kerusakanlingkungan, dan tidak membawa kesejahteraanmasyarakat petambang. Secara pasti, data PETI susahdiketahui, tetapi dari survei Tim Isu PertambangantekMIRA di Bombana 2008 tercatat lebih dari 10.000orang, Tumpang Pitu-Banyuwangi 2009 sekitar 3.000orang, Sekotong-Lombok Barat 2009 mencapai 5.000orang lebih. Berdasarkan survei Tim PenanggulanganPETI DESDM secara Nasional 2000 (DESDM, 2000),PETI beroperasi di 16 provinsi, 52 kabupaten, denganjumlah lokasi 713 dan tenaga kurang lebih 67.550orang. Produksi PETI untuk ketiga bahan bahan galianmasing-masing diperkirakan emas 30 ton/ tahun,batubara 4.337.200 ton/ tahun, dan intan 33.600ton/ tahun (Tabel 1).

Perkiraan nilai ketiga bahan galian tersebut mencapaiRp. 2.835 milyar/ tahun, berarti kerugian negarasekitar Rp. 315,10 milyar/ tahun. Sebagai bahanperbandingan, berdasarkan hasil survei TimPemantauan Isu Pertambangan Puslitbang tekMIRAdi daerah Sekotong, Lombok Barat, Nusa TenggaraBarat (2009), diperkirakan kerugian negara dariroyalti (3,75% sesuai PP 45/ 2003) yang tidakterpungut saja mencapai Rp. 16,128 milyar per tahundengan asumsi harga emas Rp. 280.000 per gram.Kerugian ini belum termasuk dampak negatif lainnya,terutama kerusakan lingkungan dan konflik sosial yangterjadi. Kalau kegiatan PETI tersebut dapat

terakomodasi oleh peraturan, tentu akanmendatangkan manfaat bagi masyarakat maupunnegara.

Aspek Legal Pertambangan Rakyat dalam UU No.4/ 2009

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya UUNo. 4/ 2009 dapat disetujui DPR dan diterbitkanpemerintah pada 12 Januari 2009 lalu. Memang UUini tidak bisa memuaskan semua pihak, terutamakepentingan yang kutubnya saling berlawanan.Namun, UU ini merupakan keputusan politis yangterbaik atas berbagai harapan dan keinginan daripemilik kepentingan pertambangan.

Untuk sementara waktu, sebelum peraturanpelaksanaan ditetapkan, Pasal 173 ayat (2) mengatursemua peraturan perundangan-undangan yangmerupakan peraturan pelaksanaan UU No. 11/ 1967tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangandinyatakan tetap berlaku sepanjang tidakbertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2009. UUNo. 11/1967 dan peraturan pelaksanaannya belummampu menjadi solusi terhadap persoalan PETI emasdan jenis bahan galian lannya, terutama batuan. PETIemas marak di mana-mana, TI timah tetap beroperasidi Bangka Belitung, PETI batubara tumbuh subur diKalimantan Selatan dan daerah lainnya. Sebagaipedoman perizinan, Menteri Energi dan Sumber Daya

Gambar 6. Tambang rakyat pasir di Glogor-Lombok Barat, NTB

Page 6: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

150

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 4, Oktober 2011 : 145 – 156

Mineral mengeluarkan surat edaran melalui DirekturJenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi Nomor03E/31/DJB/2009 tentang Perizinan PertambanganMineral dan Batubara sebelum terbitnya PeraturanPemerintah sebagai Pelaksanaan UU No. 4 Tahun2009, tertanggal 30 Januari 2009. Namun,pengaturan perizinan tersebut ditujukan untuk izinpertambangan di luar pertambangan rakyat, dan jelastidak menyentuh izin pertambangan rakyat (IPR).Pasal 174 UU tersebut, menjelaskan bahwaperaturan pelaksanaan harus telah ditetapkan dalamwaktu 1 (satu) tahun sejak UU tersebut diundangkan.Dalam peraturan pelaksanaan ini akan diaturpedoman, kriteria dan penetapan WPR, sebagaiarahan bagi daerah kabupaten/kota dalammerumuskan kriteria dan mekanisme penetapan WPR.Seperti yang termaktub pada pasal 26, 72, dan 143tentang kriteria dan mekanisme penetapan WPR, tatacara pemberian IPR, dan pembinaan dan pengawasanpertambangan rakyat. Pertambangan rakyat secaraimplisit telah diatur dalam UU No.4/2009, terutamaPasal 20 hingga 26 mengenai WPR dan Pasal 66hingga 73 tentang IPR. Kemudian dalam PP No. 23/2010 diatur dalam pasal 47 dan 48. Pasal 47 PPtersebut mengatur tentang IPR diberikan oleh bupati/walikota, diberikan setelah ditetapkan WPR, dandalam setiap WPR bisa diterbitkan satu IPR ataubeberapa IPR. Sedangkan dalam pasal 48 diaturmengenai setiap usaha pertambangan rakyat dapatdilakukan bila telah mendapat IPR, serta memenuhipersyaratan teknis, administratif, dan finansial.

Kewenangan pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota telah diatur dalam pasal 6-8 UU No. 4/ 2009.Terkait pertambangan rakyat, pemerintah di tingkatnasional berwenang menetapkan WilayahPertambangan (WP), menetapkan Wilayah Usaha

Pertambangan (WUP), Wilayah PertambanganNegara (WPN), dan pemberian Izin UsahaPertambangan (IUP) untuk lintas provinsi dan/atauwilayah laut lebih dari 12 mil serta pemberian IzinUsaha Pertambangan Khusus (IUPK) (pasal 6).Kewenangan provinsi untuk lintas kabupaten/ kotadan/ atau wilayah laut 4 hingga 12 mil sertapemberian IUP (pasal 7). Sedangkan pemerintahkabupaten/ kota berwenang menetapkan WPR danmengeluarkan IPR (pasal 8). Kewenanganpemerintah, provinsi, dan kabupaten/ kota juga diaturdalam klausul pembinaan dan pengawasan sesuaikewenangannya dalam pasal 71 ayat (2) dan pasal144.

Pertambangan rakyat secara implisit telah diaturdalam UU No.4/2009, terutama Pasal 20 hingga 26mengenai WPR dan Pasal 66 hingga 73 tentang IPR.Beberapa pasal UU tersebut juga mengaturpertambangan rakyat terkait dengan tanggung jawabpemerintah daerah sebagai pengelola pertambangandi daerah, lahan pemegang IPR, bantuan permodalanuntuk pertambangan rakyat, dan lainnya. Peraturanpelaksanaan untuk pertambangan rakyat diatur dalamPP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KegiatanUsaha Pertambangan Mineral dan Batubara dan 3PP lainnya, yaitu PP No. 22 Tahun 2010 tentangWilayah Pertambangan, PP No. 55 Tahun 2010tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyeleng-garaan Pertambangan Mineral dan Batubara, PP No.78 tentang Reklamasi dan Pasca tambang juga telahditerbitkan pada tahun 2010 sebagai pedoman dalampenyusunan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) danPetunjuk Teknis (Juknis) berupa Peraturan Menteri(Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), KeputusanBupati/ Walikota dan lainnya.

Tabel 1. Kondisi PETI Bahan Galian dan Kerugian Negara 2000 dan 2009 (Emas)

No. Hasil SurveiTenaga Kerja

Batubara Emas IntanNilai Kerugian Negara

yang terserap (dalam Rp) (dalam Rp.)

1. Survei Tim 67.550 orang 4.337.200 30 33.600 2.835 315,10 milyarPenanggulangan ton/ tahun ton/ tahun ton/ tahun milyarPETIDESM 2000 1)

2. Hasil Survei Tim 5.000 orang 1,54 430,08 16,128 milyarPemantauan Isu ton/ tahun milyarTerkini 2009di Sekotong.Lombok Barat 2)(hanya dari royalti)

Sumber: 1) DESDM (2000)2) Yunianto dkk (2009)

Page 7: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

Persoalan Pertambangan Rakyat Pasca Pemberlakuan ... Bambang Yunianto dan Ridwan Saleh

151

Pengaturan WPR

UU No. 4/ 2009 mengatur WPR (pasal 20 dan 21),bahwa kegiatan pertambangan rakyat dilakukandalam suatu WPR, dan WPR ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan DewanPerwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota.Substansi pasal tersebut menekankan otonomi daerahpertambangan di tingkat kabupaten/kota. Memanguntuk urusan pertambangan rakyat, seyogyanya secarapenuh kewenangannya diserahkan kepada daerah,karena kalau pusat masih ikut ‘mencampuri’kewenangan daerah (kabupaten/ kota), maka hanyaakan memperpanjang birokrasi, sehingga tidak efektifdan menjadi kendala penyelesaian PETI yang saatini perlu secepatnya ditangani.

Selanjutnya, kriteria WPR pada pasal 22 (huruf ahingga f) minimal ada 3 hal yang perlu diperjelaspengaturannya dalam juklak maupun juknis. Pertama,cadangan primer logam atau batubara dengankedalaman maksimal 25 meter, karena banyak kasusPertambangan Rakyat jenis mineral logam danbatubara yang kegiatannya lebih dari 25 meter.Kedua, luas WPR maksimal 25 ha, perlu diketahuibahwa pertambangan rakyat biasanya dilakukansecara berpindah-pindah lahan, untuk mencaricadangan yang bagus apalagi bila arealnya cukupluas. Ketiga, wilayah atau tempat kegiatanpertambangan rakyat harus sudah dikerjakansekurang-kurangnya 15 tahun. Bagaimana untuk kasusPETI emas yang akhir-akhir ini marak di beberapadaerah? Ketiga hal tersebut membutuhkanpemahaman yang gamblang agar tidak menyesatkan,perlu pengaturan detail, seperti diatur pasal 25mengenai pedoman, prosedur dan penetapan WPRyang akan diatur dalam PP, yang nantinya menjadipedoman daerah (pasal 26) dalam perumusanperaturan daerah kabupaten/kota mengenai kriteriadan mekanisme penetapan WPR.

Dalam hal masa operasi pertambangan rakyat disuatu wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WPR,antara pasal 22 huruf (f) harus dibedakan denganyang dimaksud pasal 24 dalam UU No. 4 Tahun2009. Pada pasal 22 huruf (f) kegiatan di wilayahtersebut harus sudah berlangsung minimal 15 tahun,sedangkan pada pasal 24 tidak membatasi masaoperasinya, justru bila sudah dikerjakan maka harusdiprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.Pengaturan pasal 24 sangat tepat diterapkan untukmengatasi persoalan PETI emas yang akhir-akhir inimarak di tanah air, sebelum kerusakan lingkunganterjadi dimana-mana. Sebaliknya, substansi pasal 22huruf (f) jelas tidak mungkin diterapkan, karena harus

menunggu 15 tahun dulu agar wilayah tersebut dapatditetapkan sebagai WPR, tentu lingkungan sudahrusak serta cadangan sudah habis ditambang.

Pengaturan IPR dan Lahan

UU No. 4/ 2009 mengatur tentang IPR pada pasal67 ayat (1,2) bahwa IPR diberikan oleh bupati/walikota, atau camat setelah mendapatkanpelimpahan wewenang dari bupati/walikota. Jenisbahan galian tambang yang dapat diusahakan secarapertambangan rakyat (pasal 66) adalah: minerallogam, mineral bukan logam, batuan, dan batubara.Luas wilayah IPR, pasal 68 ayat (1,2) terbagi 3peruntukan, yakni perseorangan paling banyak 1 ha,kelompok masyarakat 5 ha, dan koperasi 10 ha,dengan jangka waktu IPR tersebut 5 tahun dan dapatdiperpanjang. Dalam hal IPR, masalah kewenangancamat tersebut harus disertai dengan peningkatankapasitas sebagai pengelola pertambangan. Tanpahal itu dikhawatirkan akan terjadi kasus-kasuskerusakan lingkungan seperti yang telah terjadi.Penerbitan izin pertambangan oleh camat sering tidakdidasari oleh pemahaman masalah lingkungan yangmemadai. Permasalahan tambah rumit, kalau bahangalian yang diusahakan oleh rakyat (baik perorangan,kelompok atau koperasi) adalah mineral logam ataubatubara, yang secara jenis bahan galiannya lebihberisiko terhadap lingkungan dibanding mineralbukan logam maupun batuan.

Hak dan kewajiban pemegang IPR diatur pasal 69dan pasal 70 hingga 71. Pasal-pasal tersebut secarajelas tidak membedakan hak dan kewajiban antarapertambangan rakyat dengan izin pertambanganlainnya, baik IUP atau IUPK, terutama dalam halkewajiban pemegang IPR yang meliputi : a.melakukan kegiatan, setelah IPR diterbitkan; b.mematuhi peraturan perundang-undangan di bidangK3 pertambangan, pengelolaan lingkungan, danmemenuhi standar yang berlaku; c. mengelolalingkungan hidup bersama pemerintah daerah; d.membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan e.menyampaikan laporan, secara berkala kepadapemberi IPR. Selain itu, IPR wajib menaati ketentuanpersyaratan teknis pertambangan dalam PP dan tatacara pemberian IPR dalam peraturan daerahkabupaten/kota. Kalau kewajiban pelaku IPR di atasdiperlakukan ketat, dan atau disamakan pemegangIUP atau IUPK, maka mereka tentu akan berguguransebelum mendapatkan izin (IPR) karena merekaadalah rakyat kelas bawah, betul-betul miskin dantidak memiliki akses terhadap berbagai sumber daya.Untuk itu, perlu pengelompokan pertambanganrakyat berdasarkan profil usahanya, seperti dalam hal

Page 8: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

152

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 4, Oktober 2011 : 145 – 156

permodalan, peralatan, alasan melakukan kegiatandan manajemen usahanya.

Selain berbagai hal di atas, masalah lahan dalampasal 138 juga penting bahwa hak atas IPR samadengan hak atas IUP atau IUPK, bukan merupakanpemilikan hak atas tanah. Bagaimana kalau IPRtersebut dilakukan di tanah sendiri, misal halamanrumah? Persoalan ini perlu dijabarkan dalamperaturan menteri atau peraturan daerah kabupaten/kota agar jenis kegiatan semacam ini juga terakomodasi.

Pemberdayaan Pertambangan Rakyat

Sebelum masuk ke ranah pemberdayaanpertambangan rakyat, perlu diketahui dulu wacanakonsep dan entitas pemberdayaan masyarakat sebagaisebuah strategi, yang saat ini telah banyak diterimadalam berbagai literatur. Pemberdayaan masyarakatdipahami sebagai konsep pembangunan ekonomiyang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep inimencerminkan paradigma baru pembangunan, yakniyang bersifat “people-centered, participatory, em-powering, and sustainable” (Chambers, 1995 dalamKartasasmita, 1997). Konsep ini lebih luas dari hanyasemata-mata memenuhi kebutuhan dasar ataumenyediakan mekanisme untuk mencegah prosespemiskinan lebih lanjut, yang pemikirannyabelakangan ini banyak dikembangkan sebagai upayamencari alternatif terhadap konsep-konseppertumbuhan di masa yang lalu.

Konsep pemberdayaan menurut Prijono dan Pranarka(1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri.Proses pemberdayaan yang menekankan pada prosesmemberikan kemampuan kepada masyarakat agarmenjadi berdaya, mendorong atau memotivasiindividu agar mempunyai kemampuan ataukeberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya.Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harusditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakatyang tertinggal. Menurut Sumodiningrat (1999),pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untukmemandirikan masyarakat lewat perwujudan potensikemampuan yang mereka miliki. Pemberdayaanmasyarakat senantiasa menyangkut dua kelompokyang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihakyang diberdayakan dan pihak yang menaruhkepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait eratdengan pemberdayaan ekonomi rakyat, prosespemberdayaan masyarakat diarahkan padapengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan),penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengankeinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis

usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapatmenciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari,oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pember-dayaan masyarakat ini kemudian pada pemberdayaanekonomi rakyat. Dalam pemberdayaan yang lebihluas lagi, menurut Kartasasmita (1997),pemberdayaan adalah konsep yang menyeluruh atauholistik, menyangkut nilai-nilai dalam masyarakat.Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belumtermanfaatkan secara penuh potensinya melaluipemberdayaan diharapkan akan meningkat bukanhanya ekonominya, melainkan juga harkat, martabat,rasa percaya diri, dan harga dirinya. Dengandemikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaantidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilaitambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dannilai tambah budaya. Dengan demikian, tujuanakhirnya adalah memandirikan masyarakat, danmembangun kemampuan untuk memajukan diri kearah kehidupan yang lebih baik secara sinambung.

Mosedale (2005) melihat pemberdayaan dalam 4aspek, yaitu:(1) Untuk menjadi “diberdayakan/empowered”,

seseorang harus mengalami terlebih dahulu“pelemahan/disempowered”;

(2) “Pemberdayaan tidak bisa dianugerahi dari pihakketiga. Pemberdayaan hanya bisa dilakukan olehdirinya sendiri. Di sini, pihak ketiga hanyaberfungsi untuk memfasilitasi saja;

(3) Dalam pemaknaan “pemberdayaan”, didalamnya ada juga pengambilan keputusan(termasuk refleksi, analisis, dan aksi) atas apayang penting bagi mereka;

(4) “Pemberdayaan adalah proses yang sedangberjalan, bukan sebuah produk akhir”.

Untuk mencapai tujuan pemberdayaan tersebut, ada4 faktor hal yang harus diperhatikan, yaitu :(1) Subyek (siapa yang melakukan) pemberdayaan

tersebut, termasuk siapa saja yang terlibat didalam prosesnya;

(2) Tujuan pemberdayaan harus ditetapkan bersamauntuk mengukur keberhasilannya;

(3) Bagaimana strategi pemberdayaan dipilih dandijalankan; dan

(4) Bagaimana konteks yang melingkupinya danpengaruhnya terhadap proses dan hasilpemberdayaan. Dalam hal ini, pemberdayaanmasyarakat bisa diarahkan untuk meningkatkan3 jenis kekuatan masyarakat, yaitu:a. kekuatan melalui kepercayaan diri yang besar

untuk melakukan aksi-aksi yang sukses;b. kekuatan dalam bentuk hubungan dengan

orang dan organisasi lain;

Page 9: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

Persoalan Pertambangan Rakyat Pasca Pemberlakuan ... Bambang Yunianto dan Ridwan Saleh

153

c. kekuatan sebagai hasil dari meningkatnyaakses terhadap sumberdaya.

Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapatdilihat dari sudut pandang deficit based dan strengthbased. Pendekatan deficit-based terpusat padaberbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantungpada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelasterhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yangtepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut.Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisamenghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutupkemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkanatas masalah yang terjadi (Lubis, 2006).

Dalam kaitannya konsep pemberdayaan masyarakatdi atas, pemberdayaan pertambangan rakyat menurutKajian LIPI (Zulkarnain dkk., 2006-2008) ada 4 aspekpenting penyelesaian masyarakat yang menambang,yaitu: (1) kebijakan, (2) permodalan, (3)kelembagaan/ organisasi, dan (4) teknologi danlingkungan. Menurut Zulkarnain dkk., (2008),aktivitas masyarakat yang melakukan penambangandewasa ini masih belum bisa disebut sebagaipertambangan rakyat, mengingat sifatnya yang masihilegal dan jauh dari kaidah penambangan yang baikdan benar. Berdasarkan hasil penelitian lapangan yangdilakukan sejak tahun 2006-2008 dapat ditarik satukesimpulan bahwa setidaknya terdapat 4 aspekpenting dalam masyarakat yang menambang, yangsangat berpengaruh baik dalam perolehan manfaatkegiatan tersebut bagi para pelakunya, maupunterhadap dampak aktivitas tersebut terhadapperekonomian serta perlindungan lingkungan.

Persoalan di kawasan pertambangan hampir selaluterjadi antara masyarakat, baik masyarakat non-petambang maupun masyarakat petambang, denganpihak perusahaan dan pemerintah. Hal ini terjadikarena harapan masyarakat yang tidak terwujudataupun karena keinginan masyarakat untuk ikutmengakses sumber daya tambang tersebut tidaktercapai. Semua itu disebabkan oleh kondisi sosialekonomi masyarakat yang sangat terbatas akibatbelitan kemiskinan di tengah keterbatasan keahlianyang mereka miliki. Sebuah relasi yang proporsional,seimbang dan saling bertanggungjawab di antaraketiga pihak tersebut sangat diperlukan untukmemberdayakan masyarakat di kawasan itu.

Persoalan pertambangan rakyat adalah persoalanyang akan selalu ada, selama masyarakat masihmelihat kegiatan tersebut sebagai sumber pendapatanyang instan. Hal ini disebabkan karena bagi

petambang yang sangat terbatas permodalannya tidaktersedia banyak pilihan untuk mengubah nasib danmeningkatkan kesejahteraan mereka. Persoalan inimasih akan terus berlanjut selama pemerintah dandaerah masih melihatnya sebagai sesuatu yang belumperlu untuk diperhatikan.

Pemerintah dan daerah merupakan tumpuan harapanmereka sebagai pihak yang paling bertanggung jawabuntuk memberdayakan masyarakatnya. Oleh karenaitu, diperlukan suatu konsep pertambangan rakyatyang mencakup pemikiran tentang pembentukanWPR yang berbeda dengan konsep yang dikenal saatini, baik yang berlokasi di dalam atau di luar konsesisuatu perusahaan, baik perusahaan dengan KontrakKarya (KK) maupun Kuasa Pertambangan (KP).Pemikiran ini mungkin akan mengundang kontroversidan bahkan bisa memicu lahirnya pro dan kontra.Namun demikian, pemikiran tersebut lahir bukanlahuntuk menimbulkan persoalan bagi perusahaanpertambangan terkait, namun lebih didasarkan padausaha mengajak perusahaan untuk melihatmasyarakat dengan persepsi yang lebih positif danbukan hanya melihat mereka sebagai pengganggu,seperti yang selama ini terjadi. Konsep yangdimaksudkan di sini dilandaskan pada empat aspek,yakni kebijakan, permodalan, kelembagaan,teknologi, dan lingkungan.

Terkait dengan konsep persinggungan antara ketigapihak: pemerintah - masyarakat – perusahaan,pemerintah/negara dianggap sebagai wilayah publikyang menyentuh semua kehidupan warga negara,karena semua kebijakan yang mengatur wargaditentukan oleh negara. Sedangkan perusahaan adalahmesin ekonomi masyarakat, yang seringkali hanyadikendalikan oleh sekelompok perusahaan besar.Masyarakat, di banyak negara, adalah aktor yangpaling lemah apabila dibandingkan denganpemerintah dan perusahaan, sehingga penetapankeputusan penting tentang masyarakat banyakditentukan oleh pemerintah dan perusahaan. Di sini,advokasi dari perwakilan masyarakat dibutuhkanuntuk meningkatkan kekuatannya, sehingga mampumemengaruhi dan menentukan kebijakan publik yangdibuat oleh negara.

Dalam merealisasikan semua aspek itu, tidakdiragukan lagi bahwa pemerintah yang memainkanperan sentral. Oleh karena itu, tanpa adanya tekaddan keinginan yang kuat dari pemerintah untukmemberikan perhatian yang besar kepada persoalanpertambangan rakyat, maka konsep pertambanganrakyat tersebut tidak akan pernah dapat banyakbermanfaat dalam mencarikan solusi persoalan ini.

Page 10: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

154

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 4, Oktober 2011 : 145 – 156

Walaupun konsep ini masih perlu penyempurnaan,setidaknya pemikiran yang dituangkan dalam konsepini diharapkan akan dapat menjadi landasaninformasi dan pertimbangan bagi pemerintah dalammerespon dan mencari solusi berbagai persoalan dikawasan pertambangan yang terkait denganpertambangan rakyat.

Berdasarkan kajian Puslitbang tekMIRA ada beberapaaspek dalam pemberdayaan masyarakat petambang/pertambangan rakyat, yaitu: legalitas, kelembagaan,permodalan, teknologi dan kelangsungan lingkungan,serta pemasaran hasil tambang. Di luar yangditekankan oleh kajian LIPI, aspek pemasaran sangatmenentukan terhadap kelangsungan usahapertambangan rakyat tersebut. Aspek pemasaran initerkait dengan tersedianya pasar sebagai penerimakomoditas tambang, manajemen pemasaran, danadanya jaminan harga maupun komoditas yangdipasarkan. Kegagalan beberapa unit usaha, sepertikoperasi setelah memiliki komoditas yang ditawarkansering bersumber karena aspek pasar belum tergarap.Tiadanya pasar riil yang mau menerima komoditasdengan harga memadai, akhirnya komoditas dijualmurah, dan unit usaha pun mengalami kerugian,sehingga usahanya mengalami kebangkrutan. Hal inisangat penting dalam membangun danmengembangkan pertambangan rakyat.

Peran Daerah dan Perusahaan Pertambangan

Sebagaimana dijelaskan di atas, UU No. 4 Tahun2009 secara implisit memberi kewenangan yangpenuh terhadap daerah untuk mengelolapertambangan rakyat. Kewenangan daerah ataspertambangan rakyat ditunjukkan dalam pasal 20hingga 26 mengenai WPR dan pasal 66 hingga 73tentang IPR. Namun untuk menyusun peraturandaerah pertambangan tetap harus berpedoman pada4 PP sebagai pedoman, kriteria dan penetapan WPRsesuai pasal 26. 4 PP sebagai peraturan pelaksanaanUU No. 4/ 2009 telah diterbitkan, yaitu PP No. 22/2010 tentang Wilayah Pertambangan, PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan PertambanganMineral dan Batubara, PP No. 55/ 2010 tentangPengawasan dan Bimbingan PenyelenggaraanPengelolaan Usaha Pertambangan Mineral danBatubara, serta PP No. 78/ 2010 tentang Reklamasidan pasca tambang.

Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998memberikan dampak yang luas pada perubahansistem pemerintahan. Reformasi melahirkan sistempembagian kekuasaan yang mulai terdistribusi antarapemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah.

UU No. 33/ 2004 tentang Pemerintahan Daerahmenempatkan daerah menjadi aktor sentral dalampengelolaan republik, yaitu dalam prinsip otonomidengan desentralisasinya. Menurut Kartasasmita(2008), perubahan aturan main mengenaipemerintahan daerah merupakan afirmasi-konstitusi,bahwa daerah menjadi pengambil kebijakan sentraldalam mengatur dan mengurus pemerintahannyasendiri menurut asas otonomi dan tugas pembantuanserta diarahkan untuk memercepat terwujudnyakesejahteraan masyarakat melalui peningkatanpelayanan, pemberdayaan, dan peran sertamasyarakat serta peningkatan daya saing daerahdengan memerhatikan prinsip demokrasi,pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususansuatu daerah dalam sistem NKRI. Dalam kontekspertambangan rakyat, desentralisasi memberikewenangan penuh kepada daerah untuk mengurusipertambangan rakyat berdasarkan norma, standar,prosedur dan kriteria dari pemerintah pusat.

Untuk menangani PETI emas yang sudah berlangsung,seperti yang terjadi di Sekotong, Bombana, TumpangPitu, Samarinda, Palu, Pelabuhan Bajo, dan dibeberapa daerah dapat didasarkan kepada pengaturanpasal 24 yang tidak membatasi masa operasinya,justru bila sudah dikerjakan maka harus diprioritaskanuntuk ditetapkan sebagai WPR. Sebaliknya, substansipasal 22 huruf (f) jelas tidak mungkin diterapkan,karena harus menunggu 15 tahun dulu agar wilayahtersebut dapat ditetapkan sebagai WPR, tentulingkungan sudah rusak serta cadangan sudah habisditambang.

Permasalahan lain terkait kewenangan pertambangandi tangan pemerintah kabupaten/ pemerintah kotaadalah bahwa penyerahan sebagian wewenangpertambangan kepada kecamatan harus diikutidengan peningkatan kapasitas kecamatan di bidangtenaga pertambangan yang profesional dan anggaranyang memadai. Hal ini penting dilakukan agar kasus-kasus kerusakan lingkungan karena izin pertambanganyang dikeluarkan camat yang tidak didasarkan ataspemahaman pertambangan dan lingkungan yangmemadai tidak kembali terulang. Dalampemberdayaan pertambangan rakyat perlu tetapmemerhatikan 5 aspek, yaitu: kebijakan,kelembagaan, permodalan, teknologi dan lingkunganserta pemasaran hasil tambang. Penggalian terhadapunit-unit usaha lokal yang berakar dalam masyarakatmenjadi tumpuan kelangsungan dari usahapertambangan rakyat yang ada. Dalam kasus daerahpedesaan di Nusa Tenggara Barat, pengembanganusaha pertambangan rakyat yang berbasis padakumpulan atau kelompok religi mungkin perlu

Page 11: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

Persoalan Pertambangan Rakyat Pasca Pemberlakuan ... Bambang Yunianto dan Ridwan Saleh

155

dicoba, tanpa mengecilkan peluang pengembanganmelalui koperasi-koperasi yang ada di daerah.

Sementara itu, perusahaan pertambangan, BUMNmaupun BUMD yang beroperasi di daerah dengancadangan tambang berpotensi dialokasikan menjadiWPR dapat mengambil peran melalui program-pro-gram pengembangan masyarakat maupun corporatesocial responsibility (CSR), disesuaikan dengankapasitas programnya. Beberapa program yang dapatdiasimilasikan dengan pengembangan pertambanganrakyat antara lain program pengembangan usaha skalakecil, program yang berbasis kelembagaan, sosialbudaya, dan lainnya. Pendekatan Strengh Based(berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metodeAppreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensiatau kemampuan-kemampuan yang dimiliki olehindividu atau organisasi untuk menjadikan hiduplebih baik perlu diimplementasikan dalam program-program tersebut (Cooperrider dan Whitney, 2006).Dalam sepuluh tahun terakhir, Appreciative Inquirymenjadi sangat populer dan dipraktekkan di berbagaiwilayah dunia, seperti untuk mengubah budayasebuah organisasi, melakukan transformasikomunitas, menciptakan pembaharuan organisasi,mengarahkan proses penggabungan dan akusisi danmenyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, Ap-preciative Inquiry digunakan untuk memberdayakankomunitas pinggiran, perubahan kota, membangunpemimpin religius, dan menciptakan perdamaian.

KESIMPULAN

Persoalan pertambangan rakyat yang sebagian besardilakukan tanpa izin (PETI) atas segala jenis bahangalian semakin marak di pelosok tanah air. Secaraimplisit pertambangan rakyat telah diatur dalam UUNo. 4 Tahun 2009, yang ditindaklanjuti dengan 4PP sebagai pedoman, kriteria dan penetapan WPRyang diatur dalam perda pertambangan. Sesuai pasal20 hingga 21 UU tersebut, kewenangan pengelolaanpertambangan rakyat secara penuh telah diserahkankepada pemerintah kabupaten/kota.

Penanganan PETI yang saat ini marak beroperasi dibeberapa daerah dapat dilakukan dengan cepatberdasarkan pasal 24 yang tidak membatasi masaoperasinya, justru bila PETI sudah beroperasi harusdiprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR. Dalampenanganan pertambangan rakyat perlumengedepankan pemberdayaan masyarakatpetambang dengan memerhatikan aspek-aspekkebijakan, kelembagaan, permodalan, teknologi dan

lingkungan serta pemasaran hasil tambang. pascapemberlakuan UU No. 4 Tahun 2009, peran daerahmenjadi sentral dalam pengelolaan pertambanganrakyat. Perusahaan pertambangan, BUMN, BUMDdan LSM dapat mengambil bagian dalam ikutmengembangkan pertambangan rakyat di daerahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Agustinus, E.T.S, 2009. Teknologi penambangan emasdi Bombana: Tipologi dan dampaknya, LIPI, Jakarta.

Blowers, M., 1988. Handbook of small scale gold min-ing for Papua New Guinea, Pasific resource Publi-cation, Christchutch, New Zealand.

Chambers, R. 1995. Poverty and livelihoods: Whosereality counts? Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.),People: From impoverishment to empowerment.New York: New York University Press.

Cooperrider D. L. and Whitney D., 2006. A Positiverevolution in change: Appreciative inquiry, Vol.1.

DESDM, 2000. Penanggulangan masalah PertambanganTanpa Izin (PETI) Implementasi Inpres No. 3 Tahun2000, Jakarta.

DJPU dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat ITB,1997. Rencana induk pengembanganpertambangan skala kecil, Jakarta.

Ghose, A.K., and Aloy, K., 1994. Small scale mining, aglobal overview, A. A. Balkema, Rotterdam.

Hadi, S.I., 2009. Penambangan emas latakan olehmasyarakat Bombana dan pengaruhnya terhadaplingkungan, LIPI, Jakarta.

Kartasasmita, G, 1997. Pemberdayaan masyarakat:Konsep pembangunan yang berakar padamasyarakat. Sarasehan DPD GOLKAR Tk. I JawaTimur Surabaya, 14 Maret 1997.

Kartasasmita, G. 2008. Dewan Perwakilan Daerah danOtonomi Daerah. Seminar Nasional, InstitutTeknologi Bandung (ITB) Dalam RangkaMemperingati Seratus Tahun KebangkitanNasional. Bandung, 17 Mei 2008.

Lembaga Demografi FEUI – DPPP, DJPU – DPE, 1996.Profil Pertambangan Rakyat/Skala Kecil, Buku I-II,Laporan Akhir, Jakarta.

Mosedale, S., 2005. Assessing women’s empowerment:Towards a conceptual framework. Journal of In-ternational Development vol. 17.

Page 12: PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA …

156

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 4, Oktober 2011 : 145 – 156

Mubyarto, 1998. Pemberdayaan ekonomi rakyat,Aditya Media, Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentangPelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Min-eral dan Batubara.

Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentangWilayah Pertambangan.

Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentangPembinaan dan Pengawasan PenyelenggaraanPertambangan Mineral dan Batubara.

Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentangReklamasi dan Pascatambang.

Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2004 tentangPemerintah Daerah.

Prijono, O.S., dan Pranarka, A.M.W., 1996.Pemberdayaan: Konsep, kebijakan, danimplementasi. Jakarta: Centre For Strategic and In-ternational Studies.

Sembiring, SF, 1996. Kondisi pertambangan rakyat/skala kecil di Indonesia dan pandangankebijaksanaan masa depan, Profil dan polapembinaan pertambangan rakyat/ skala kecil,Lokakarya, Jakarta.

Sumodiningrat, G., 1999. Pemberdayaan masyarakatJPS. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sutjipto, R.B., 1995. Peran serta rakyat dalampengusahaan pertambangan, Temu ProfesiTahunan IV, PERHAPI, Bandung.

Theresiah, L., 2006. Community development dan nilai-nilai yang mendasari. Temu Ilmiah Dalam RangkaLUSTRUM IX Fakultas Psikologi Unpad.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentangPertambangan Mineral dan Batubara.

Wiriosudarmo, R., 1995. PSK-konsep partisipasi rakyatdalam pertambangan, Proyek PengembanganPertambangan Skala Kecil, DPE, DJPU.

Yunianto, B., Dani, U., Santoso, B., Untung, S.T., Riyanto,H., dan Prakosa, A., 2006. Pemantauan dananalisis perkembangan terkini (current issues)pertambangan mineral dan batubara, PuslitbangTeknologi Mineral dan Batubara, Bandung.

Yunianto, B., Santoso, B., Sudjarwanto, Permana, N.,Pujiastuti, T.N., Trijono, L., 2007. Pemantauan dananalisis perkembangan pertambangan mineral danbatubara (current issues), Puslitbang TeknologiMineral dan Batubara, Bandung.

Yunianto, B., Santoso, B., Sudjarwanto, Rustendi, T.,Fauzan, Supangkat, H. Sudirman, Sofiati, Y.,Suprapto, S., Arda, N., Purnomo, H., Untung, S.R.,Selinawati, Rahmat, A., Erwina, Permana, N., Jazuli,A., 2008. Pemantauan dan analisis problematerkini pertambangan mineral dan batubara (cur-rent issues), Puslitbang Teknologi Mineral danBatubara, Bandung.

Yunianto, B., Santoso, B., Sudjarwanto, Rustendi, T.,Sudirman, Sahli, Fauzan, Pramusanto, Ardha, N.,Damayanti, R., Suprapto, S., 2009. Pemantauandan analisis problema terkini pertambangan min-eral dan batubara (Current Issues), PuslitbangTeknologi Mineral dan Batubara, Bandung.

Yunianto, B., Santoso, B., Sudjarwanto, Rustendi, T.,Sudirman, Sahli, Fauzan, Hudaya, G.K.,Pramusanto, Ardha, N., Husaini, Wibowo, N.W.,Umar, D.F., 2010. Pemantauan dan analisisproblema terkini pertambangan mineral danbatubara (current issues), Puslitbang TeknologiMineral dan Batubara, Bandung.

Zulkarnain, I., Pudjiastuti, T.N., Sumarnadi, A.E.T., danRosita, S.B., 2006. Panduan pemberdayaanmasyarakat di kawasan pertambangan, ProgramKompetetif Pengembangan Iptek-LIPI, Jakarta.

Zulkarnain, I., Pudjiastuti, T.N., Sumarnadi, A.E.T., danRosita, S.B., 2007. Dinamika dan peranpertambangan rakyat di Indonesia, LIPI Press,Jakarta.

Zulkarnain, I., Pudjiastuti, T.N., Sumarnadi, A.E.T., danRosita, S.B, 2008. Konsep pertambangan rakyatdalam kerangka pengelolaan sumber dayatambang yang berkelanjutan, LIPI Press, Jakarta.

Zulkarnain, I., Pudjiastuti, T.N., 2008. Laporan kajianpenambangan emas oleh masyarakat di Bombana,Kerjasama Kementerian Koordinator Ekonomi RI –LIPI, Jakarta.