PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT AIR MINUM DALAM...
Transcript of PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT AIR MINUM DALAM...
i
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT AIR MINUM DALAM
KEMASAN
(Studi Analisis Putusan Perkara Nomor: 22/Kppu-I/2016)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Hanifa Tri Agustina
NIM: 11140480000111
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019M
v
ABSTRAK
HANIFA TRI AGUSTINA. NIM 1114048000111. PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT AIR MINUM DALAM KEMASAN (STUDI ANALISIS
PUTUSAN PERKARA NOMOR 22/KPPU-I/2016. PROGRAM STUDI Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 1440 H/ 2018 M. vii + 80 halaman + 3 halaman Daftar
Pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kasus persaingan usaha
tidak sehat ini dapat terjadi serta dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara persaingan usaha tidak sehat tersebut selain itu tujuan lainnya ialah
menganalisis bagaimana Majelis Hakim memutus perkara tersebut yang menurut
peneliti PT. Tirta Investama juga melakukan pelanggaran hukum terkait dengan
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Posisi Dominan
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
menggunakan metode perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan
kasus (case approach). Pendekatan pada perundang-undangan mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sedangkan pada pendekatan kasus berdasarkan
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 22/KPPU-I/2016 dengan
tujuan menelaah suatu kasus yang telah diputuskan di pengadilan dengan
berkekuatan hukum yang tetap.
Hasil dari analisis dan penelitian ini mengungkap bahwa pertimbangan
majelis hakim Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam perkara persaingan
usaha tidak sehat air minum dalam kemasan antara pihak Aqua dan Le Minerale
berdasarkan pemeriksaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah terpenuhi
melanggar Pasal 15 Ayat (3) dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999. Selain masih kurangnya pengaturan mengenai larangan monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat itu sendiri di Indonesia, ternyata masih adanya
kelemahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu sendiri sehingga
membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha sulit untuk memutus pelaku
pelanggar persaingan usaha supaya memberikan efek jera.
Kata Kunci : Persaingan Usaha, Perjanjian Tertutup, Penguasan Pasar.
Pembimbing : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : 1988 sampai 2016
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT Tuhan
semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT AIR MINUM
DALAM KEMASAN (Studi Analisis Putusan Perkara Nomor: 22/Kppu-
I/2016) Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat yang telah membawa kita
ke luar dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang saat ini.
Semoga kita diberikan syafaat nya pada yaumil akhir kelak. Aamiin.
Hal ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesimpulan ini, dengan
segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya ini mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Selaku Dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan begitu banyak arahan, serta telah meluangkan banyak
waktunya untuk membimbing peneliti dengan begitu sabar selama ini,
sehingga Alhamdulillah berkat beliau peneliti dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan lancar. Terima kasih Pak Indra.
4. Muh. Fudhail Rahman, M.A. Selaku Dosen pembimbing akademik yang
begitu dengan sabar membimbing sejak awal masuk perkuliahan hingga
sampai saat ini.
5. Orang tua peneliti yang dengan sabar mendidik peneliti mulai dari lahir
hingga sekarang ini tanpa merasa lebih dan juga selalu memberikan
vii
dukungan materiil maupun immaterial serta selalu memberikan doa
terhadap peneliti dalam pembuatan skripsi ini.
6. Kakak-kakak peneliti yang selalu memberikan semangat dalam proses
penelitian ini Adhi Chandra, Renny Ayu dan Panji Dwi Asmoro.
Terimakasih selalu memberikan perhatian dan kasih sayangnya terhadap
peneliti.
7. Sahabat-sahabat yang selalu bersama dan menemani peneliti selama peneliti
mengemban dunia pendidikan hingga saat ini, Dyah Arinil, Fauziah Eka
Widya, Ridha Nurul, Fauziah Karimah, Nurlia Fikawaty, Masyita Mustika,
Iqlimatul Annisa, Nabilah Annisa, Putri Aini, Adella Farah, Widy
Mayunita, Aprillia Lianjani dan Adinda Nasution Terimakasih selalu ada
untuk memberikan semangat dan semoga persahabatan kita tidak
terputuskan hingga tua nanti.
8. Fuji Nurul Hamdan, Abdul Latief Zainal, Muchtar Ramadhan dan M. Yusuf
kakak-kakak di kampus yang selalu membimbing dan memberikan masukan
terhadap peneliti dalam pengerjaan skripsi ini.
9. Semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Tidak ada
yang bisa peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali doa dan
ucapan terimakasih. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya. Terimakasih.
Demikian peneliti ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan
skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti pada khususnya dan bagi
para pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 26 Desember 2018
Peneliti
Hanifa Tri Agustina
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
E. Metode Penelitian ........................................................................... 6
F. Rancangan Penelitian ..................................................................... 10
BAB II. HUKUM PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DI
INDONESIA ..................................................................................... 11
A. Persaingan Usaha Tidak Sehat ....................................................... 11
1. Persaingan Usaha ........................................................................ 11
2. Hukum Persaingan Usaha ........................................................... 14
3. Sejarah Persaingan Usaha Tidak Sehat ....................................... 15
4. Dasar Hukum .............................................................................. 18
B. Jenis-Jenis Persaingan Usaha Tidak Sehat ...................................... 18
C. Pendekatan Perse Illegal dan Rule of Reason ................................. 30
1. Teori Persaingan Usaha Tidak Sehat .......................................... 30
2. Teori Hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat ............................. 31
D. Komisi Pengawas Persaingan Usaha ............................................... 34
E. Review Terdahulu............................................................................ 39
BAB III. BISNIS AIR MINUM DALAM KEMASAN DI INDONESIA .. 41
A. Kegiatan Bisnis Air Minum Dalam Kemasan ................................. 42
ix
1. PT. Tirta Investama .................................................................. 42
2. PT. Fresindo Jaya ..................................................................... 47
B. Posisi Kasus ..................................................................................... 52
BAB IV. ANALISIS PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN
USAHA PERKARA NOMOR: 22/KPPU-I/2016 ....................... 58
A. Pelanggaran Hukum ........................................................................ 58
B. Pertimbangan Hakim ....................................................................... 60
1. Aspek Filosifis ............................................................................ 60
2. Aspek Yuridis ............................................................................. 63
3. Aspek Sosiologis ......................................................................... 73
BAB V. PENUTUP ........................................................................................ 80
A. Kesimpulan ...................................................................................... 80
B. Rekomendasi ................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Dengan berkembangnya dunia usaha saat ini, para pelaku usaha dalam dunia
industri air mineral terlibat persaingan usaha yang sangat ketat. Dengan adanya
persaingan usaha maka pelaku usaha saling memperbaiki produk atau jasa yang
dimiliki, berusaha memberikan produk atau jasa yang berkualitas tinggi bagi
konsumen. Dampak baiknya bagi persaingan usaha ini setiap pelaku usaha akan
memberikan yang terbaik dalam produk atau jasanya, dan konsumen mempunyai
pilihan dalam membeli produk atau jasa tersebut dengan harga murah tetapi
kualitas sangat baik. Persaingan dalam dunia usaha seharusnya dipandang sebagai
suatu hal yang positif. Namun dengan berjalannya perkembangan usaha yang
pesat, para pelaku usaha tidak sedikit yang melakukan persaingan usaha dengan
tidak sehat demi meraup keuntungannya sendiri.1
Era globalisasi saat ini membuat para pelaku pasar semakin bersaing
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih luas. Agar mendapatkan keuntungan
yang maksimal, pelaku usaha terkadang bahkan sering melakukan tindakan yang
kurang bahkan tidak jujur yang dapat menghambat pelaku usaha lain dalam
melaksanakan prinsip ekonominya. Salah satu bentuk persaingan usaha tidak
sehat yaitu perjanjian tertutup dan penguasaan pasar. Dalam Undang-Undang
Nomor 5 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
telah dijelaskan bahwa perjanjian bukan hanya dalam bentuk tulisan akan tetapi
juga perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya persaingan, pembatasan
produksi dan peningkatan harga.2
1 L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha Berdasarkan UU Nomor 5
Tahun 1999, (Surabaya: Laros,2008), h. 16.
2 Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008.
2
Kegiatan usaha ini seharusnya dilakukan dengan mematuhi norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat agar dapat melakukan kegiatan usaha jangka
panjang yang menjamin keuntungan maksimal, kegiatan usaha tersebut akan
hancur apabila perlindungan konsumen, mitra bisnis, atau keseluruhan masyarakat
tidak lagi percaya dengan pelaku usaha akibat perilaku yang tidak etis. Oleh
karena itu kegiatan usaha harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip dan etika
yang ada meskipun dalam kegiatan usaha ada persaingan yang sangat ketat.
Persaingan pada kegiatan usaha diharapkan mengarah pada persaingan usaha yang
sehat.3
Persaingan usaha yang sehat dapat membawa pengaruh positif terhadap
para pengusaha yang saling bersaing karena dapat menimbulkan upaya-upaya
peningkatan produktifitas, efisiensi dan kualitas produk yang dihasilkannya. Dan
sebaliknya, apabila para pengusaha bersaing dengan cara tidak sehat, maka akan
merusak perekonomian negara yang merugikan masyarakat.4
Undang-Undang Persaingan Usaha dimaksudkan untuk menegakkan
aturan hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi pelaku usaha untuk
menciptakan kesejahteraan dan persaingan yang sehat. Selain itu, Undang-Undang
persaingan usaha dengan tegas mengatur mengenai bentuk-bentuk persaingan
usaha tidak sehat, mengatur mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), serta penegakkan hukum persaingan usaha. KPPU merupakan pengawas
yang mengatur penyelesaian pelanggaran hukum persaingan usaha yang diatur
dalam pengaturan komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang tata cara penanganan
perkara (Perkom 1/2010). KPPU dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 1999 tentang KPPU sebagai pelaksana dari ketentuan pasal 34
ayat (1) UU Persaingan Usaha. Pasal 2 angka 1 Perkom 1/2010, menentukan
bahwa KPPU menangani perkara atas dasar laporan pelapor, laporan pelapor
dengan permohonan ganti rugi, atau berdasarkan inisiatif KPPU.
3 Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi,
(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009), h. 243
4 Sanusi Bintang dan Dahan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000), h. 97.
3
Berdasarkan inisiatifnya, KPPU telah melakukan penelitian melakukan
pemeriksaan, dan memutus perkara dugaan pelanggaran hukum persaingan usaha
pada PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa. Perkara ini bermula dari
laporan para pedagang ritel maupun eceran ke kantor KPPU pada september 2016.
Pedagang mengaku dihalangi oleh pihak PT Tirta Investama untuk menjual
produk Le Minerale yang diproduksi PT Tirta Fresindo Jaya. Salah satu klausul
perjanjian ritel menyebutkan, apabila pedagang menjual produk Le Minerale
maka statusnya akan diturunkan dari Star Outlet (SO) menjadi Wholesaler
(eceran). Atas perbuatan itu PT Tirta Fresindo Jaya melayangkan somasi terbuka
terhadap PT Tirta Investama di surat kabar pada tanggal 1 Oktober 2017. Somasi
ini lalu ditanggapi oleh Otoritas Persaingan Usaha. KPPU menduga ada praktik
persaingan usaha tidak sehat dalam industri AMDK (Air Mineral Dalam
Kemasan).
PT. Tirta Investama merupakan Perseroan yang memproduksi Air
Minum Kemasan yang dalam hal ini yaitu Aqua. Aqua menggunakan seluruh
media untuk iklannya. Televisi, radio, Koran, majalah membawakan logo dan
slogan biru Aqua yang berbeda. Target pasar Aqua ditujukan untuk mengevaluasi
dan membandingkan kelompok yang diidentifikasikan dan kemudian memilih
satu atau beberapa diantaranya sebagai calon dengan potensi yang paling besar.
Bauran pemasaran kemudian dirancang yang akan memberikan hasil terbaik
dalam penjualan, selain itu menciptakan nilai maksimum bagi konsumen. Dapat
dilihat bahwa target pasarnya cenderung kepada masyarakat metropolitan yang
aktif dan dinamis. Namun dalam hal ini Aqua didapati melakukan suatu tindakan
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini dibuktikan dengan KPPU yang berhasil mengumpulkan alat bukti
pelanggaran yang dilakukan oleh produsen Aqua tersebut yang mana diduga
melakukan Exclusive Dealing dengan melakukan penguasaan pasar. Investigator
menemukan bukti email antara PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Jaya
yang berjudul “Degradasi Star Outlet (SO) menjadi Wholesaler”. Tindakan
tersebut seakan menghalangi pelaku usaha lain didunia usaha AMDK dan
menyebabkan sang agen mendapatkan harga 3 persen lebih mahal.
4
Perbandingannya, bagi Star Outlet (SO) harga yang dikenakan sebesar Rp.
37.000,00 per karton untuk ukuran 600 mililiter, sementara bagi wholeseller
dikenakan Rp. 39.390,00 per karton. Sesuai dengan putusan hakim tersebut
mengenai ketentuan dalam Pasal 15 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 yang
mengatur tentang perjanjian tertutup atau exclusive dealing. Perjanjian tertutup
adalah suatu perjanjian antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada
proses produksi atau jaringan distribusi barang atau jasa. Perjanjian tertutup
merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha agar dapat menjadi
sarana dan upaya bagi pelaku usaha untuk dapat melakukan pengendalian oleh
pelaku usaha terhdap pelaku usaha lain secara vertikal (pengendalian vertikal),
baik melakukan pengendalian harga maupun melalui pengendalian non-harga.
Strategi perjanjian tertutup ini pada umumnya lebih banyak dilakukan pada level
distribusi produk barang dan/atau jasa. Perjanjian tertutup ini sangat berpotensi
merugikan pelaku usaha lain dan konsumen sehingga harus dilarang dan jika hal
tersebut terjadi, harus ditindak.
Majelis Komisi menilai, menganalisa, menyimpulkan dan memutuskan
Perkara Nomor 22/KPPU-I/2016, yang diputus pada tanggal 19 Desember 2017,
PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Jaya terbukti bersalah dan melanggar
Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Dalam perkara antara PT. Tirta Fresindo Jaya melawan PT Tirta Investama
dan PT Balina Agung Jaya, Majelis Komisi menghukum PT Tirta Investama
selaku Terlapor I untuk membayar denda sebesar Rp.13.845.450.000,00 dan PT
Balina Agung Jaya selaku Terlapor II sebesar Rp.6.294.000.000,00 untuk
disetorkan ke kas negara.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian hukum atau skripsi terhadap pembahasan tersebut dengan
judul “Persaingan Usaha Tidak Sehat Bisnis Air Minum Dalam Kemasan
(Studi Putusan KPPU Nomor: 22/KPPU-I/2016)”
5
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah disampaikan di atas, maka
dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan
Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha pada penyalahgunaan posisi dominan
terkait dengan PT. Tirta Investama dalam industri Air Mineral Dalam
Kemasan, yaitu:
a. Pelanggaran yang telah dilakukan oleh PT. Tirta Investama, sudah
melanggar Pasal 15 dan 19 yang berlaku.
b. Mengetahui isi Perjanjian Tertutup antara PT. Tirta Investama dan PT.
Balina Agung Jaya.
c. Posisi dominan yang terjadi terhadap Air Mineral Dalam Kemasan di
pasaran.
d. Peran, tugas, dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha
e. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara nomor 22/KPPU-
I/2016.
2. Pembatasan Masalah
Untuk lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian ini,
maka perlu adanya pembatasan masalah agar dalam praktek penelitian dan
penyusunan secara ilmiah dapat dipahami dengan mudah. Oleh karena itu,
peneliti membatasi permasalahan yang akan diteliti secara khusus membahas
tentang pelanggaran hukum persaingan usaha tidak sehat pada
penyalahgunaan posisi dominan yang dalam hal ini peneliti melakukan
penelitian kepada PT. Tirta Investama.
3. Perumusan Masalah
Untuk dapat mengkerucutkan perumusan penelitian utama kemudian
dibuat pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
a. Bagaimana bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Tirta Investama
dan PT. Balina Agung Perkasa yang menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat?
6
b. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memberikan putusan
pada perkara Nomor: 22/KPPU-I/2016?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian sudah dijelaskan berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang sudah dijelaskan diatas, sedangkan secara
khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui struktur dan posisi pasar dalam bisnis air minum
kemasan.
b. Untuk mengetahui jenis tindakan persaingan usaha tidak sehat dalam
penguasaan bisnis air minum dalam kemasan.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber
pengetahuan untuk penelitian selanjutnya dan upaya pengembangan
pengetahuan mengenai analisis terhadap Putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 22/KPPU-I/2016 Tentang Air Minum Dalam
Kemasan antara Aqua dengan Le Minerale.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini sebagai upaya pengembangan kemampuan dan
pengetahuan hukum bagi peneliti, dalam lingkup hukum persaingan
usaha khususnya dalam bidang perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan
posisi dominan sehingga dapat bermanfaat untuk diri sendiri dan
masyarakat.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat, yang berasal dari
studi dokumentasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada pada
7
skripsi ini. Oleh karena itu penulis menggunkan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Tipe Penelitian
Penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada
pada penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.5 Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai
peraturan perundang-undangan dibidang hukum persaingan usaha. Sedangkan
sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena,
agar membentuk dan memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba
merumuskan teori baru.
2. Pendekatan Masalah
Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, akan digunakan
beberapa pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach)
Suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum
yang berkaitan dengan pelanggaran hukum persaingan usaha diantaranya:
Pasal 15 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Kasus ini ditelaah untuk refrensi bagi isu hukum. Pendekatan ini
diperlukan guna mempelajari penerapan-penerapan norma-norma atau
kaidah hukum secara menelaah suatu kasus yang telah menjadi putusan
Majelis Komisi pada Putusan KPPU Nomor: 22/KPPU-I/2016. Dalam
menggunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami oleh peneliti adalah
pendekatan rule of reason yang dipakai oleh majelis hakim, yaitu alasan-
alasan hakim untuk sampai putusannya.
5 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
(Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 14.
8
3. Sumber Data
Data yang digunakan hanya data sekunder. Data sekunder adalah
data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan
adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-data kepustakaan yang
terjadi dalam literatur untuk menyelesaikan permasalahan yang dibahas.
Pada penelitian kepustakaan, data yang digunakan adalah bahan-
bahan pustaka yang terdiri dari 3 macam hukum, sebagai berikut6:
a. Bahan Hukum primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat, yaitu
tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
putusan KPPU Nomor: 22/KPPU-I/2016.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu:
1) Berbagai hasil penelitian tentang perjanjian tertutup.
2) Berbagai buku yang membahas mengenai Hukum Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
3) Yurisprudensi Majelis Hakim.
c. Bahan Non Hukum, yaitu berupa literatur yang berasal dari non hukum
yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian berupa kamus besar
bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum, majalah, koran, internet, dan
lainnya.7
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan adalah teknik dokumentasi yakni upaya
untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, dan sumber lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini.
Metode data yang digunakan dalam menganalisis data-data yang
terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari metode tersebut adalah
memberikan gambaran terhadap permasalahan yang ada dengan berdasarkan
pendekatan yuridis normatif.
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,2001), h. 52.
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana,2011), h. 143.
9
5. Teknis Analisis Data
Teknik pengolahan data yang digunakan peneliti adalah dengan
mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan beban hukum tersebut
tersusun secara runtut, sistematis sehingga akan memudahkan peneliti dalam
melakukan analisis.8
Pertama, data tersebut diklasifikasikan sesuai pembahasan yang
menjadi fokus penelitian. Kedua, diuraikan dan dijelaskan fokus penelitian
tersebut berdasarkan teori-teori yang sesuai dengan fokus penelitian. Ketiga,
penjelasan tersebut dievaluasi atau dinilai berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku.
6. Teknik Pengolahan Data
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan non hukum, diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa, sehingga ditampilkan dalam penelitian yang lebih sistematis untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan
hukum dilakukan dengan cara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.9 Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis
terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui penerapan
persaingan usaha tidak sehat bisnis air minum dalam kemasan.
7. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan
menggunakan metode analisis kualitatif. Tujuannya adalah untuk
menggambarkan secara mendalam terhadap kasus-kasus yang diteliti.
Analisis data secara kualitatif lebih menekankan kepada kualitas atau isi dari
data tersebut secara mendalam dan menyeluruh.10
8 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h..180.
9 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.II, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006), h.393.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2001), h.32.
10
8. Metode Penelitian
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam
skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat
dalam “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”
E. Rancangan Sistematika Penelitian
Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh ke dalam penelitian
yang sistematis dan terstruktur maka skripsi ini penulis susun dengan sistematika
penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:
BAB I: Dijelaskan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan rancangan
sistematika penelitian.
BAB II: Memuat kajian pustaka yang terbagi dalam beberapa sub bab, yaitu
di dalamnya menguraikan tentang teori-teori hukum yang menjadi
landasan teori penelitian ini, dan tinjauan (review) kajian terdahulu
yang sama-sama membahas persaingan usaha tidak sehat.
BAB III: Menguraikan tentang profil dari PT. Tirta Investama dengan PT.
Balina Agung Perkasa dan sejarah dari Air Minum Dalam
Kemasan serta menjelaskan posisi kasus pada penelitian ini.
BAB IV: Menjawab pertanyaan-pertanyaan pada rumusan masalah tentang
bentuk pelanggaran yang dilakukan oeh para terlapor serta
pertimbangan hakim dalam memutus perkara.
BAB V: Bab terakhir ini yang berisikan tentang beberapa kesimpulan dari
hasil penelitian dan disamping itu peneliti memberikan beberapa
rekomendasi yang dianggap perlu.
11
BAB II
HUKUM PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DI
INDONESIA
A. Persaingan Usaha Tidak Sehat
1. Persaingan Usaha
Perkembangan usaha berdampak pada tumbuhnya pengusaha-
pengusaha baru. Semakin banyak pemilik usaha maka persaingan antar
pelaku usaha semakin ketat. Persaingan usaha yang terjadi bukan hanya
persaingan antar pasar di dalam negeri, namun juga pasar global, adanya
kecendrungan menganut pasar bebas, pelaku usaha dapat memenuhi
kebutuhan konsumen dengan memberikan produk yang beragam sekaligus
efisien.1
Persaingan usaha merupakan hal yang paling menjadi perhatian
dalam konteks dunia usaha. Sebuah praktik monopoli bisa merupakan
sebuah masalah dalam dunia usaha sehingga menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat dan implikasinya adalah tidak kompetitifnya pasar sehingga
menyebabkan melemahnya daya saing pelaku usaha.
Persaingan usaha adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara-cara tertentu untuk mencapai target yang
diinginkan. Persaingan usaha ini terbagi menjadi dua macam, yaitu
persaingan usaha sempurna dan persaingan usaha tidak sehat. Persaingan
usaha sempurna adalah struktur pasar yang akan mewujudkan kegiatan
produksi barang dan jasa yang sangat tinggi efisiensinya.2 Terdapat banyak
penjual dan pembeli namun tidak dapat mempengaruhi keadaan pasar.
Sedangkan persaingan tidak sehat adalah persaingan diantara pelaku usaha
1 Buchari Alam, Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa, (Bandung: Alfabeta, 2016),
h.199.
2 Tjipto Fandi, Strategi Pemasaran, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2002), h.6.
12
yang tidak seimbang, terdapat ketidakjujuran dari pelaku usaha yang
bersaing dengan pelaku usaha lain3
Berdasarkan dari seluruh penjelasan di atas, persaingan usaha
adalah suatu cara yang diterapkan oleh pelaku usaha untuk mengembangkan
usahanya dan bersaing di pasar global, sehingga perusahaan mampu
mencapai tujuan tertinggi.
Kandungan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat,4 meliputi hal-hal berikut:
a. Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau
dipergunakan dalam Undang-Undang maupun aturan pelaksaan lainnya,
agar dapat diketahui pengertian. Pasal 1 memuat dari 19 istilah atau
konsep dasar, yaitu pengertian monopoli, praktik monopoli, pemusatan
kekuatan ekonomi, posisi dominan, pelaku usaha, persaingan usaha,
persaingan usaha tidak sehat, perjanjian, persekongkolan atau konspirasi,
perjanjian, pasar, harga pasar, konsumen, barang, jasa, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha.
b. Perumusan kerangka politik antimonopoli dan persaingan usaha tidak
sehat berupa asas dan tujuan pembentukan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada pasal 2 dan pasal 3;
c. Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pengusaha.
Pasal 4 sampai dengan dengan Pasal 16 memuat macam perjanjian yang
dilarang tersebut, yaitu perjanjian tertutup, pemasaran, pemboikotan,
kartel, oligopsoni, integrasi vertikal, dan perjanjian dengan pihak luar
negeri;
d. Perumusan macam kegiatan yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 17
sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang tersebut,
3 Philip Kotler dan Gary Amstrong, Prinsip-Prinsip Pemasaran, (Jakarta: Erlangga, 2008),
h.25.
4 Ayudha D. Prayoda, Persaingan Usaha dan Hukum yang mengaturnya, (Jakarta: ELIPS,
2000), h.50-51.
13
antara lain monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan
persekongkolan;
e. Perumusan macam Posisi Dominan yang tidak boleh dilakukan
pengusaha. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 memuat macam posisi
dominan yang tidak boleh dilakukan tersebut, yaitu jabatan rangkap,
pemilikan saham, serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan;
f. Masalah susunan, tugas, dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 membuat perumusan status,
keanggotaan, tugas, wewenang dan pembiayaan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha;
g. Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 38 sampai dengan pasal 46 memuat
perumusan penerimaan laporan, pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan
alat-alat bukti, jangka waktu pemeriksaan, serta putusan komisi, kekuatan
putusan komisi dan upaya hukum terhadap putusan komisi;
h. Ketentuan saksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang telah
melanggar ketentuan dalam Undang-Undang. Pasal 47 sampai dengan
Pasal 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
usaha, yaitu tindakan adminstrative, dan pidana tambahan;
i. Perumusan perbuatan atau perjanjian yang dikeualikan dari ketentuan
Undang-Undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjukan oleh
Pemerintah. Pasal 50 memuat ketentuan yang dikecualikan dari Undang-
Undang dan Pasal 51 memuat ketentuan mengenai monopoli oleh Badan
Usaha Milik Negara;
Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan Undang-Undang, yaitu
perumusan ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur
bahwa pelaku usaha yang telah membuat dan/atau melakukan kegiatan
usaha dan/atau tidak sesuai dengan Undang-Undang diberikan waktu untuk
menyelesaikannya selama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang, yaitu
14
terhitung sejak 1 (satu) tahun sesudah Undang-Undang diundangkan oleh
Pemerintah.
2. Hukum Persaingan Usaha
Perkembangan sistem hukum di negara Indonesia salah satunya
dibidang hukum ekonomi yaitu hukum persaingan usaha. Hukum
persaingan usaha bertujuan untuk mencegah praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat yang dilarang. Arie Siswanto berpendapat
dalam bukunya yang berjudul “Hukum Persaingan usaha” yang dimaksud
dengan hukum persaingan usaha (Competition Law) adalah instrumen
hukum yang menentukan tentang mekanisme persaingan harus dilakukan.
Hukum persaingan secara khusus menekan pada bagian aspek “persaingan”
sehingga pelaku usaha tidak melakukan praktek monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat.
Hukum persaingan usaha berisi ketentuan-ketentuan substansial
tentang tindakan-tindakan yang dilarang (beserta konsekuensi hukum yang
timbul) dan ketentuan-ketentuan prosedural mengenai penegakan hukum
persaingan.5 Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum
persaingan usaha ialah suatu ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
penegakan hukum dalam persaingan usaha, yaitu persaingan antara para
penjual di dalam merebutkan pembeli dan pangsa pasar.
Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan
dasar negara yang harus dijadikan sebagai pedoman di negara Indonesia.
Pemerintah mengundangkan Peraturan Perundang-undangan Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha
Tidak sehat sebagai perwujudan dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33
Ayat (4). Undang-Undang Persaingan Usaha bahwa ketentuan Pasal 3
menegaskan tujuan pembentukan Undang-Undang Persaingan Usaha yaitu:
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
5 Aries Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), cet.I, h.30.
15
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan
berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah
dan pelaku usaha kecil.
c. Mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Tujuan dari Undang-Undang Persaingan Usaha mengupayakan
secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada
suatu pasar, agar pelaku usaha melakukan efisiensi dan mampu bersaing
dengan pelaku usaha lainnya. Fakta yang terjadi untuk menciptakan
persaingan usaha yang sehat di negara Indonesia masih sulit diterapkan,
terkait dengan alasan pelaku usaha lebih mementingkan keuntungan semata
tetapi tidak memperhatikan aturan hukum yang berlaku. Undang-Undang
Persaingan Usaha Pasal 1 angka 6 menentukan bahwa persaingan usaha
tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan
dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan.6
3. Sejarah Persaingan Usaha Tidak Sehat
Dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia, persaingan usaha
menjadi salah satu instrumen ekonomi sejak saat reformasi digulirkan.
Sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan
usaha tidak sehat dan keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-
praktik perdagangan yang tidak sehat terutama karena penguasa sering
memberikan perlindungan ataupun hak istimewa (priveleges) yang tidak
sehat kepada para pelaku bisnis tertentu sebagai bagian dari praktik-praktik
kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dikatakan secara komprehensif karena
sebenarnya secara pragmentaris batasan-batasan yuridis terhadap praktik-
6 Fendy, “Jurnal Hukum, Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam
Mendorong Persaingan Usaha Yang Sehat Di Sektor Motor Skuter Matic”, (Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2016), h. 1-2.
16
praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar
diberbagai hukum positif tetapi, karena sifatnya yang sektoral perundang-
undangan tersebut sangat tidak efektif untuk secara konseptual memenuhi
berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang
persaingan sehat tersebut.7
Pada hakikatnya orang menjalankan kegiatan usaha adalah untuk
memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup, baik kebutuhan primer, sekunder, maupun kebutuhan
tersier. Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah yang mendorong
banyak orang menjalankan kegiatan usaha, baik kegiatan usaha yang sejenis
maupun kegiatan usaha yang berbeda. Keadaan yang demikian itulah
sesungguhnya yang menimbulkan atau melahirkan persaingan usaha di
antara para pelaku usaha. Oleh karena itulah, persaingan dalam dunia usaha
merupakan hal yang biasa terjadi. Bahkan dapat dikatakan persaingan dalam
dunia usaha itu merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak
bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Walaupun diakui bahwa adakalanya
persaingan usaha itu sehat (fair competition), dan dapat juga tidak sehat
(unfair competition).
Dengan memerhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas,
menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di
Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan
wajar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, terhindarnya
pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu,
antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan
sosial.8
7 Rizky Novyan Putra, “Urgensi Keberadaan Hukum Persaingan Usaha dan Antimonopoli
Di Indonesia”, Business Law Review, Vol. 1 , h. 39.
8 Hermansyah, “Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, (Jakarta: Kencana,
2009), h.9.
17
Adanya dua orientasi dalam pengembangan hukum persaingan di
Indonesia, yaitu yang pertama, berorientasi kepada pengaturan persaingan
usaha antarpelaku usaha agar terciptanya iklim usaha yang sehat dan
kompetitif dan yang kedua, berorientasi kepada perubahan perilaku atau
kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat, terutama perilaku atau
kebiasaan-kebiasaan yang dipraktikkan oleh pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya, mengandung arti bahwa kedua hal itu
merupakan landasan dan pertimbangan dalam upaya pengembangan hukum
persaingan usaha tersebut.9
Berdasarkan apa yang diuraikan tadi, jelaslah bahwa demokrasi di
bidang ekonomi itu harus diimplementasikan secara konsisten dalam
kegitan usaha, karena memang mempunyai arti yang penting dan strategis
dalam rangka pembangunan ekonomi. Penciptaan iklim persaingan usaha
yang sehat sebagai sarana penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat
sebagai sarana penciptaan demokrasi di bidang ekonomi itu perlu terus
diupayakan secara terencana dan terus-menerus, dan diikuti oleh
penyusunan kebijakan persaingan usaha serta upaya pencegahan dan
penindakaan terhadap para pelaku usaha yang melakukan praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat. Untuk mencegah dan menindak pelaku
usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat itu diperlukan adanya
aturan hukum. Tanpa adanya aturan hukum, persaingan usaha yang sehat
mungkin dapat diwujudkan. Oleh karena itu, untuk menjamin adanya
persaingan usaha yang sehat itu dibuatlah Undang-Undang Persaingan
Usaha yang mengatur berbagai mekanisme persaingan usaha dan menjamin
terwujudnya persaingan usaha yang sehat dan adil.
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa
diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan landasan
yang kuat untuk menciptakan perekonomian yang efisien dan bebas dari
9 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media), h.1.
18
segala bentuk distorsi. Adanya jaminan kepastian hukum berdasarkan
Undang-Undang Antimonopoli tersebut diharapkan dapat mencegah
praktik-praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sehingga
tercipta efektivas dan efisiensi dalam kegiatan usaha yang meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan memberikan peluang kerja baru dan berpotensi
mengurangi jumlah pengangguran.
4. Dasar Hukum
Secara umum persaingan usaha merupakan sebuah praktik
monopoli bisa merupakan sebuah masalah dalam dunia usaha sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan implikasinya adalah tidak
kompetitifnya pasar sehingga menyebabkan melemahnya daya saing pelaku
usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut dibuat dengan
tujuan untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisensi
ekonomi nasional, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan
iklim usaha yang kondusif, mencegah praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, serta menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan
usaha.
Dari penjelasan mengenai persaingan usaha tidak sehat diatas,
maka dasar hukum terkait persaingan usaha tidak sehat yaitu sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
b. Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
c. Keppres No.75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas
Persaingan Usaha
B. Jenis-Jenis Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah upaya dalam mengatur
masalah persaingan antar pelaku usaha dan larangan melakukan praktik monopoli.
Undang-Undang ini disebut sebagai Undang-Undang antimonopoli dan anti
19
persaingan usaha tidak sehat. Adanya undang-undang antimonopoli ini untuk
mengontrol tindakan para pelaku usaha dari perbuatan melakukan praktik
monopoli.10
Secara umum materi dan ruang lingkup dari Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat ini adalah:11
Pengaturan perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pelaku
usaha meliputi 10 bagian dan 13 Pasal, dari Pasal 4 sampai Pasal 16 yaitu:
1. Oligopoli
Oligopoli yaitu hanya beberapa perusahaan yang menjual produk
yang sama, yang mengakibatkan kompetisi terbatas dan harga tinggi.
2. Penentapan Harga (Price Fixing)
Penentapan Harga (Price Fixing) yaitu kerjasama dengan
perusahaan pesaing untuk menetapkan harga pasar. Berupa perjanjian
penetapan harga (price fixing agreement), perjanjian diskriminasi harga
(price discrimination agreement), harga pemangsa atau jual rugi (predatory
pricing), dan penetapan harga jual kembali (resale price
maintenance/vertical price fixing).
3. Pembagian Wilayah (division of market allocation)
Pembagian Wilayah (division of market allocation) yaitu perjanjian
yang mengikat untuk membagi wilayah pasar antara produsen dengan
pertimbangan memaksimalkan keuntungan.
4. Pemboikotan (group boycotts/horizontal refuse to deal)
Pemboikotan (group boycotts/horizontal refuse to deal) yaitu
perbuatan yang mengajak orang lain untuk tidak berhubungan dengan orang
ketiga. Perjanjian tersebut sebagaimana berikut:12
10
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h.63.
11
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media, 2009), h.116.
12
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h.218.
20
a. Perjanjian untuk mengahalangi pelaku usaha yang lain (pihak ketiga)
untuk melakukan usaha yang sama.
b. Perjanjian untuk menolak menjual barang atau jasa dari pelaku usaha lain
(pihak ketiga).
5. Kartel
Kartel yaitu kombinasi keseluruhan pengontrolan produksi,
penjualan dan harga, yang bertujuan untuk memonopoli atau membatasi
suatu kompetisi.
6. Trust Agreement
Trust Agreement yaitu perjanjian untuk melakukan kerjasama
dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,
dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-
masing perusahaan.13
7. Oligopsoni
Oligopsoni yaitu perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha
dengan pelaku usaha lain untuk bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa
dalam pasar yang bersangkutan.14
8. Integrasi Vertikal
Integrasi Vertikal yaitu penguasaan serangkaian proses produksi
yang berlanjut atas layanan suatu jasa tertentu oleh seorang pelaku usaha
tertentu.15
9. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Perjanjian ini dilarang apabila memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
13
C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h.193.
14
C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, ... , h.194.
15
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h.220.
21
10. Perjanjian Tertutup (Exclusive Dealing)
Exclusive Dealing atau Perjanjian Tertutup adalah suatu perjanjian
yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses
produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa.16
Pada pokoknya seorang pelaku usaha menentukan sendiri pihak
penjual atau pembeli atau pemasok di pasar, sesuai dengan kebutuhan dan
berlakunya sistem atau mekanisme pasar. Oleh karenanya setiap perjanjian
yang membatasi kebebasan tersebut bertentangan dengan hukum pasar yang
mengakibatkan timbulnya persaingan tidak sehat. Dalam Undang-Undang
Anti Monopoli, diatur larangan mengenai bentuk perjanjian yang dapat
membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu untuk memilih sendiri pembeli,
penjual atau pemasok barang atau jasa.
Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
mengatur larangan perjanjian, menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok dan
tidak memasok kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok,
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha
pemasok, serta harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama
atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok.
Perjanjian tertutup antara para pelaku usaha yang memuat
persyaratan ialah,17
pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan
16
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.98.
22
memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada
pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, pihak yang menerima barang
dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari
pelaku usaha pemasok, dan pelaku usaha yang menerima barang dan/atau
jasa dari pelaku usaha pemasok yang terdiri dari, harus bersedia membeli
barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok, atau tidak akan
membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Bentuk perjanjian tertutup yang dilarang oleh Undang-Undang Anti
Monopoli, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:18
a. Penerima produk hanya memasok kembali produk tersebut kepada pihak
yang ditentukan saja.
b. Penerima produk tidak akan memasok kembali produk tersebut kepada
pihak yang ditentukan.
c. Penerima produk hanya akan memasok kembali produk tersebut pada
tempat yang ditentukan saja.
d. Penerima produk tidak akan memasok kembali produk tersebut pada
tempat yang ditentukan.
e. Penerima produk harus bersedia membeli produk lain dari pelaku
pemasok tersebut.
f. Penerima produk diberikan potongan harga (harga murah/di bawah rata-
rata) jika bersedia membeli produk lain dari pelaku pemasok yang
ditentukan.
g. Penerima produk diberikan potongan harga jika tidak membeli produk
dari pelaku pesaing dari pelaku pemasok.
Ekslusif dealing atau perjanjian tertutup ini terdiri dari:19
17
Hermansyah, “Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, (Jakarta:
Kencana, 2009), h.37
18
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.99.
19
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media, 2009), h.118.
23
1) Exclusive Distribution Agreement
Exclusive distribution agreements yang dimaksud disini
adalah pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk
hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut
kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan
kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk
kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha
manufaktur.
Permasalahan dalam Exclusive Dealing adalah
kemungkinan matinya suatu pelaku usaha karena tidak
mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai distributor yang
akan menjual produknya. Selain dari pada itu Exclusive Dealing
juga dapat menyebabkan meningkatnya halangan untuk masuk ke
pasar.
Di samping itu terdapat pula beberapa akibat positif dari
Exclusive Dealing baik bagi distributor maupun produsen Exclusive
Dealing cukup menarik, karena akan membuat kepastian akan
distribusi dan adanya jaminan atas bahan baku. Hal ini akan
menyebabkan kekurangan ongkos, sehingga terjadi efisiensi.
Kemudian, Exclusive Dealing juga dapat mencegah Free Riding,
misalnya perusahaan induk melakukan iklan secara besar-besaran,
apabila tidak ada perjanjian exclusive, maka ketika konsumen
datang ke distributor karena tertarik dengan iklan, akan tetapi
sesampainya di distributor konsumen melihat dan membeli barang
lain, maka iklan yang dilakukan tidak ada pengaruhnya.
Oleh karena itu Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat exclusive
distribution agreement dengan pelaku usaha lain. Adapun bunyi
dari Pasal 15 ayat (1) Undang-undangan Nomor 5 Tahun 1999
sebagai berikut, bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
24
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak
yang menerima barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan/atau pada tempat tertentu.
2) Tying Agreement
Tying Agreement terjadi apabila suatu perusahaan
mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang berada
pada level yang berbeda dengan mensyaratkan penjualan ataupun
penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila
pembeli atau penyewa tersebut juga akan membeli atau menyewa
barang lainnya.20
Melalui praktik Tying Agreement, pelaku usaha dapat
melakukan perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada Tying
Product (barang atau jasa yang pertama kali dijual) ke Tied
Product (barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli juga oleh
konsumen). Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua
produk sekaligus (tying product dan tied product), pelaku usaha
dapat menciptakan hambatan bagi calon pelaku usaha pesaing
untuk masuk ke dalam pasar. Perusahaan kompetitor agar dapat
bersaing, maka mau tidak mau harus melakukan hal yang sama
yaitu melakukan praktik Tying Agreement juga.
Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pihak lain yang memuat persyatan bahwa pihak yang
menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli
barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Dari pasal 15
ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat dilihat definisi
dari Tying Agreement yaitu perjanjian yang dibuat diantara pelaku
usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
20
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media, 2009), h.120.
25
barang atau jasa tersebut har`us bersedia membeli barang atau jasa
dari pemasok.
3) Vertical Agreement on Discount
Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau
jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima
barang dan/atau jasa dari usaha pemasok.
a) Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok atau;
b) Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau
sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari
pelaku usaha pemsok.
Dengan kata lain, apabila pelaku usaha ingin mendapatkan
harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku
usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari
pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama
atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing.21
Kegiatan yang dilarang oleh pelaku usaha meliputi 4 bagian dan 8 Pasal,
dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 24, yaitu:
1. Larangan Praktik Monopoli
Larangan praktik monopoli yaitu larangan untuk memusatkan
kegiatan ekonomi oleh suatu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi atau pemasaran atas barang atau jasa tertentu.
Tindakan monopoli terjadi jika terpenuhi salahsatu hal berikut:22
a. Produk yang bersangkutan belum ada subsitusinya.
b. Pelaku usaha lain tidak dapat bersaing terhadap produk yang sama.
21
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, … , h.121.
22
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h.222.
26
c. Pelaku usaha lain tersebut memiliki kemampuan yang signifikan dalam
pasar yang bersangkutan.
d. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha telah menguasai 50%
pangsa pasar dari satu jenis produk tertentu.
2. Monopsoni
Monopsoni yaitu tindakan penguasaan pangsa pasar untuk membeli
suatu produk tertentu. Kegiatan ini dilarang jika satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha telah menguasai 50% pangsa pasar dari satu jenis
produk tertentu.23
3. Kegiatan menjual rugi (predatory pricing)
Kegiatan menjual rugi (predatory pricing) adalah suatu bentuk
penjualan barang atau jasa dengan cara jual rugi untuk mematikan
pesaingnya. Kegiatan ini dilakukan biasanya dengan menetapkan harga
yang tidak wajar, dimana harga lebih rendah dari biaya rata-rata.
4. Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi komponen harga barang atau jasa,
sehingga mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.24
5. Persekongkolan
Persekongkolan yaitu merupakan kerjasama yang melibatkan dua
perusahaan atau lebih dengan sama-sama melakukan tindakan melawan
hukum. Bentuk kegiatan ini tidak hanya dibuktikan dengan adanya
perjanjian, namun juga dapat dibuktikan dengan adanya bentuk kegiatan
yang tidak mungkin dilakukan oleh satu perjanjian. Persekongkolan dapat
23
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, ... , h.223.
24
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media, 2009), h.145-146
27
berupa tender, persekongkolan membocorkan rahasia dagang dan
persekongkolan menghambat perdagangan.25
6. Penguasaan Pasar
Penguasaan Pasar yaitu dengan kata lain menjadi penguasa dipasar
merupakan keinginan dari hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan
pasar yang cukup besar memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan
yang mungkin bisa diperoleh oleh pelaku usaha.26
Untuk memperoleh penguasaan pasar ini, pelaku usaha kadang kala
melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum. Apabila
hal ini yang terjadi, maka mungkin saja akan berhadapan dengan penegak
hukum karena melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Hukum
Persaingan Usaha. Walaupun pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tidak dirumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa
pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian suatu perusahaan yang
menguasai suatu pasar pasti mempunyai posisi dominan di pasar.
Penguasaan pasar merupakan keinginan dari hampir semua pelaku
usaha. Hal ini karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki korelasi
positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin dapat diperoleh oleh
pelaku usaha.27
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
disebutkan, bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa
kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat berupa:
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk dapat
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan; atau
25
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, ... , h.147.
26
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, ... , h.138
27
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.110.
28
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha pesaingnya itu;
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan;
d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.28
Pihak yang dapat melakukan penguasaan pasar adalah para pelaku
usaha yang mempunyai market power, yaitu pelaku usaha yang dapat
menguasai pasar sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa di
pasar yang bersangkutan. Wujud penguasaan pasar yang dilarang dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut dapat terjadi dalam bentuk
penjualan barang dan/atau jasa dengan cara:
a. Jual rugi (predatory pricing) dengan maksud untuk “mematikan”
pesaingnya;
b. Melalui praktek penetapan biaya produksi secara curang serta biaya
lainnya yang menjadi komponen harga barang, serta;
c. Perang harga maupun persaingan harga.
Berbagai wujud penguasaan pasar seperti ini hanya dapat dilakukan
oleh pelaku usaha yang mempunyai market power, yaitu pelaku usaha yang
dapat menguasai pasar sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau
jasa di pasar bersangkutan.
Oleh karena itu penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku
usaha biasanya selalu menjadi perhatian bagi penegak hukum persaingan
usaha untuk mengawasi perilaku pelaku usaha tersebut di dalam pasar,
karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha tertentu biasanya
dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan anti persaingan yang
bertujuan agar dia dapat menjadi penguasa pasar dan mendapat keuntungan
sebesar-besarnya.29
28
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004) , h.7.
29
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009), h.41.
29
7. Posisi Dominan
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, posisi dominan
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti atau suatu keadaan dimana pelaku usaha mempunyai
posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang bersangkutan dalam
kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada pasokan atau
penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang
atau jasa tertentu.
Bentuk-bentuk ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dapat diketahui bahwa posisi dominan yang dilarang dalam dunia usaha
karena dapat meimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, dapat dibedakan dalam 4 (empat) bentuk, yaitu:30
a. Posisi dominan yang bersifat umum
Mengenai posisi dominan yang bersifat umum ini dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 25 Ayat (1) dan Ayat (2). Selengkapnya Pasal ini
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25 Ayat (1):
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik seacara
langsung maupun tidak langsung untuk:
1) Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk
mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang
dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
2) Membatasi pasar dan pengembangan teknologi, atau
3) Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing
untuk memasuki pasar bersangkutan.
Pasal 25 Ayat (2):
Pelaku usaha yang memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud Ayat
(1) apabila:
30 Hermansyah, “Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, (Jakarta:
Kencana, 2009), h. 44.
30
1) Satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 50%
(lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu, atau
2) Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
C. Pendekatan Perse Illegal dan Rule of Reason
1. Teori Dasar Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pendekatan Perse Illegal dan Rule Of Reason telah lama
diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha
melanggar Undang-Undang Antimonopoli. Kedua metode pendekatan yang
memiliki perbedaan ini juga digunakan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.31
Monopoli atau persaingan usaha tidak sehat terjadi akibat dari
suatu superrior skill, yang salah satunya dapat terwujud dari pemberian hak
paten secara eksklusif oleh negara, berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku kepada pelaku usaha tertentu atas hasil riset dan
pengembangan atas teknologi tertentu. Selain itu ada juga yang dikenal
dengan istilah Trade Secret (Rahasia Dagang), yang meskipun tidak
memperoleh ekslusivitas pengakuan oleh negara, namun dengan rahasia
dagangnya mampu membuat produk yang superior.
Ada beberapa hal-hal yang mempengaruhi terjadinya praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat secara ilmiah, yaitu:32
a. Monopoli atau persaingan usaha tidak sehat terjadi karena pemberian
negara (Ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan 33 ayat (3) Undang-Undang
31
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media), h.55.
32
Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.25.
31
Dasar 1945 yang dikutip kembali dalam Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999).
b. Monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang terjadi akibat adanya
historical accident, yaitu monopoli yang terjadi karena tidak sengaja, dan
berlangsung karena proses alamiah yang ditentukan oleh berbagai faktor
terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini penilaian
mengenai pasar bersangkutan yang memungkinkan terjadinya monopoli
menjadi sangat relevan.
2. Teori Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Terdapat dua teori yang terdapat dalam hukum anti monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, yaitu:
a. Teori Perse Illegal
Teori yang melarang monopoli, tanpa melihat apakah ada akses
negatifnya. Beberapa bentuk monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
harus dianggap dengan sendirinya bertentangan dengan hukum. Titik
beratnya adalah unsur formal dari perbuatan tersebut. 33
Perse illegal itu dapat juga diartikan sebagai suatu terminologi
yang menyatakan bahwa suatu tindakan dinyatakan melanggar hukum
dan dilarang secara mutlak, serta tidak diperlukan pembuktian apakah
tindakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap persaingan usaha.34
Perbuatan-perbuatan seperti perjanjian penetapan harga (price fixing
agreements), perjanjian pemboikotan (boycotts agreement), dan
perjanjian pembagian wilayah (geographical market division agreement),
dan perjanjian tertutup (Exclusive Dealing) adalah contoh jenis-jenis
perbuatan yang diklasifikasikan sebagai Perse Illegal.
Menurut Yahya Harahap mengatakan bahwa perse illegal pun
artinya, “sejak semula tidak sah”, oleh karenanya perbuatan tersebut
33
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media), h. 55.
34
Hermansyah, “Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, (Jakarta:
Kencana, 2009), h.79.
32
merupakan suatu perbuatan yang “melanggar hukum”. Sehingga
perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang sudah
diatur, jika perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan dalam undang-
undang persaingan usaha tanpa ada suatu pembuktian, itulah yang
disebut dengan perse illegal.35
Pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya antara lain antara lain adalah pertama, terjadinya kepastian
hukum terhadap suatu persoalan hukum anti monopoli yang muncul.
Ketika terjadi penetapan harga (price fixing), boycott, horizontal market
division dan tying arrangement dilakukan pelaku usaha, maka hakim
dapat menggunakan pendekatan ini secara langsung. Kedua, jika suatu
perjanjian atau perbuatan yang dilakukan hampir pasti merusak dan
merugikan persaingan, maka untuk apa lagi bersusah payah melakukan
pembuktian, tidak hanya memakan waktu, namun juga biaya yang mahal.
Ketiga, pendekatan Perse lebih memudahkan hakim memutuskan perkara
persaingan usaha.36
Hukum persaingan mempunyai daya jangkau yang sangat luas
dan memberikan kebebasan bagi hakim yang menafsirkan secara bebas
apakah seseorang dinyatakan telah melanggar atau menghambat
persaingan. Karenanya, menggunakan pendekatan ini membuat hakim
lebih mudah sekaligus cepat memutus perkara persaingan usaha.37
Dalam
hal ini, perkara antara PT. Tirta investama dengan PT. Fresindo Jaya
mengacu dengan teori Perse Illegal.
35
Alum Simbolon, “Pendekatan Yang Dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
menentukan Pelanggaran Dalam Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM
No.2, Vol.20, (Medan: April 2013), h.192.
36
Lisca Vontya Arifin, “Jurnal Tinjauan Yuridis Terhadap Persekongkolan Tender
Berdasarkan Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat”, JOM, Vol. 2 ( Februari 2015), h.4.
37
Mustafa Kamal, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya Di Indonesia, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2010), h. 73.
33
b. Teori Rule Of Reason
Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang
digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat
evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna
menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat
menghambat atau mendukung persaingan.38
Melalui pendekatan rule of reason, apabila suatu perbuatan
dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus
mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan tersebut
menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap proses
persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai
pertimbangan lainnya. 39
Dalam pendekatan rule of reason ini, suatu perbuatan yang
dilarang dilakukan oleh pelaku usaha, maka akan dilihat sejauh mana
dampak dari perbuatan tersebut, oleh karena itu diperlukan pembuktian
lebih lanjut apakah perbuatan tersebut berakibat menghambat persaingan.
Suatu perbuatan dalam pendekatan rule of reason, tidak secara otomatis
dilarang meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut kenyataannya
terbukti telah dilakukan. Dengan demikian dalam pendekatan ini
memungkinkan lembaga otoritas persaingan usaha atau pengadilan untuk
melakukan interpretasi terhadap undang-undang maupun terhadap
pasar.40
38
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara teks
dan kontex, (Jakarta: ROV Creative Media, 2009), h. 61.
39
Hermansyah, “Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, (Jakarta:
Kencana, 2009), h.79.
40
Mustafa Kamal, Hukum Persaingan Usaha:Teori dan Praktiknya Di Indonesia,
(Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2010), h. 66.
34
D. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengintruksikan bahwa pembentukan
susunan organisasi, tugas dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan
Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No.75 Tahun 1999
dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dengan demikian,
kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Kewenangan tersebut meliputi
penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara.41
KPPU adalah lembaga publik, penegak dan pengawas pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, serta wasit independen dalam rangka
menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan larangan monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Perlu ditekankan bahwa melalui wewenang
pengawasan yang dimilikinya, KPPU diharapkan dapat menjaga dan mendorong
agar sistem ekonomi pasar lebih efisiensi produksi, konsumsi dan alokasi,
sehingga pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menentukan
bahwa tugas-tugas KPPU terdiri dari:42
1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
41
Hermansyah, “Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, h.78.
42
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media), h.314.
35
4. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur
dalam pasal 36.
5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
6. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999.
7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komsi kepada Presiden
dan DPR.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut, Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 memberi wewenang kepada KPPU untuk:
1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan
oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan komisi sebagai
hasil penelitiannya.
4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau
tidak adanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
7. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli atau setiap orang yang dimaksud dalam huruf e dan f tersebut diatas
yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi.
36
8. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
9. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen dan atau alat bukti
lain untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.
10. Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
11. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usha yang
melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.43
Tugasnya melakukan penilaian terhadap perjanjian atau kegiatan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat, melakukan penilaian ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan
yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, mengambil tindakan
sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana yang sudah diatur pada Undang-
Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan
memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang KPPU ialah menerima laporan dari masyarakat tentang
adanya dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,
melakukan penelitian tentang adanya dugaan kegiatan dan atau perjanjian
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, mendapatkan dan
meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan
dan atau pemeriksaan, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya
kerugian dipihak pelaku usaha lain atau masyarakat, memberitahukan putusan
komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat, dan menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
43
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media), h.315.
37
Meskipun demikian, komisi tidak memiliki kewenangan secara hukum
untuk menindak (memaksa) pelaku usaha yang menolak untuk diperiksa atau
menolak memberikan informasi kepada komisi. Kalau ada pelaku usaha yang
menolak untuk diperiksa atau menolak memberikan informasi maka pelaku usaha
tersebut oleh komisi diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tersusun mekanisme sebagai berikut.44
Pemeriksaan dan Putusan KPPU berdasarkan laporan yang diterima dari
masyarakat:
1. Komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan dan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima laporan.
2. Komisi wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan
lanjutan. Jika diperlukan pemeriksaan lanjutan maka pemeriksaan lanjutan
tersebut harus diselesaikan komisi selambat-lambatnya 60 hari sejak
dilakukan pemeriksaan lanjutan. Jangka waktu 60 hari tersebut dapat
diperpanjang 30 hari lagi jika dipandang perlu oleh komisi.
3. Dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari pemeriksaan, komisi wajib
memutuskan apakah telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap
Undang-Undangan Nomor 5 Tahun 1999 ini.
4. Keputusan komisi mengenai hal itu harus diucapkan dalam suatu sidang
yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitakan kepada pelaku
usaha.
5. Keberatan atas Putusan KPPU
6. Pelaku usaha yang tidak puas dengan keputusan komisi dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang dan keberatan tersebut
harus dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah pelaku
usaha tersebut menerima pemberitahuan putusan tersebut.
7. Apabila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan dalam kurun waktu
tersebut berarti pelaku usaha tersebut dianggap menerima keputusan komisi.
44
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.137-138.
38
8. Dalam waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan putusan, pelaku
usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan
pelaksanaannya kepada komisi.
9. Apabila putusan tidak dijalankakan oleh pelaku usaha maka komisi
menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk selanjutnya
dilakukan penyidikan.
10. Putusan komisi masih dapat dibatalkan kepada Pengadilan Negeri atau
Kasasi Kepada Mahkamah Agung.
11. Putusan komisi yang tidak dimintakan pembatalannya melalui pengadilan
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan pengadilan,
eksekusinya harus dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan
Negeri yang berwenang untuk bisa dilaksanan.
Adapun beberapa aspek yang dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam
memutus perkara, yaitu:
1. Aspek Filosofis
Aspek filosofis diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Aspek Sosiologis
Aspek sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Aspek sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Aspek Yuridis
Aspek Yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
39
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.45
E. Review Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul peneliti ajukan dalam skripsi ini perlu
kiranya peneliti lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan
pertimbangan, antara lain:
1. Skripsi yang berjudul “Pembuktian Perjanjian Kartel Semen Menurut
Hukum Persaingan Usaha Indonesia (Studi Kasus Putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010)”. Karya Ali
Alatas (1110103000056), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2016. Skripsi ini membahas
adanya dugaan terjadinya suatu kasus dugaan kartel semen yang dilakukan
oleh PT. Andalas Indonesia, PT. Semen Padang, PT. Semen Baturaja, PT.
Indocemen Tunggal Prakarsa, PT. Holcim Indonesia Tbk, PT. Semen Gresik
(Persero), dan PT. Semen Bosowa Maros. Mengakibatkan KPPU melakukan
suatu pemeriksaan dan akhirnya melakukan suatu persidangan yang hasilnya
adalah ke delapan PT tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 25 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
2. Skripsi yang berjudul “Disparatis Putusan Sanksi Denda Pada
Persekongkolan Tender (Studi Putusan MA Perkara Nomor 118
K/Pdt.Sus-KPPU/2013)”. Karya Nanda Narendra Putra (1111048000045),
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Tahun 2016. Skripsi ini membahas tentang desparatis atas
penjatuhan sanksi denda administratif pada persekongkolan tender lalu
beberapa putusan KPPU pada kasus persekongkolan tender diputus dan
dijatuhkan sanksi denda administratif yang bervariasi (disparatis). Jadi
penelitian tersebut melakukan kajian mendalam terkait dengan disparatis
45
Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), h.126
40
penjatuhan sanksi administratif berupa sanksi denda pada kasus
persekongkolan tender di Indonesia yang ditangani oleh KPPU.
3. Buku yang berjudul “Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks” Karya Dr. Andi Fahmi Lubis, Dr. Anna Maria Anggraini, dkk,
Tahun 2009. Dalam buku ini dijelaskan tentang jenis persaingan usaha tidak
sehat serta akibat hukum dari pelanggaran terhadap pelaku usaha yang
melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat. Peneliti mengguankaan
beberapa peraturan dasar dari buku ini untuk menjadi landasan dasar dari
setiap penelitian yang akan dilakukan peneliti. Perbedaan antara buku di
atas banyak membahas peraturan-peraturan tentang persaingan usaha tidak
sehat, sedangkan peneliti lebuh memfokuskan mengenai persaingan usaha
tidak sehat dalam perjanjian tertutup dan penguasaan pasar dalam bisnis air
minum dalam kemasan, maka pihak-pihak yang dirugikan dapat melakukan
berbagai upaya hukum dalam menuntut haknya.
4. Jurnal dengan judul “Analisis Yuridis Perjanjian Tertutup (Tying
Agreement) Dalam Hukum Persaingan Usaha (Studi Beberapa Putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha)” Karya Utiyafina M. Hazhin, Tahun
2016. Jurnal ini membahas tentang indikator yang harus dipenuhi agar
pelaku usaha dianggap melakukan perjanjian tertutup (tying agreement)
sehingga melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Dalam kasus tying agreement pelaku usaha dapat memanfaatkan
peluang besar yang dimilikinya untuk mengurangi persaingan yang sehat,
dan selanjutnya mengganggu iklim usaha. Akibatnya pelaku usaha yang lain
akan mengalami kesulitan mengakses pasar dan dapat dipastikan bahwa
tying agreement berpotensi merusak dan merugikan persaingan.
41
BAB III
BISNIS AIR MINUM DALAM KEMASAN DI INDONESIA
Konsumsi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Kondisi ini ditunjang oleh
semakin buruknya kondisi air tanah di beberapa kota besar di Indonesia seperti
Jakarta, Surabaya dan Semarang. Tingkat ketergantungan masyarakat pada
AMDK semakin tinggi karena minuman ini sudah menjadi kebutuhan primer bagi
masyarakat. Pada tahun 2013 konsumsi Air Minum Kemasan di Indonesia
mencapai angka 15,3 miliar liter dimana angka ini lebih besar dari tahun 2012
yang mencapai angka 13,8 miliar liter.
Tidak ada yang bisa mengingkari kenyataan bahwa air adalah sumber
daya yang tanpanya tidak akan ada kehidupan. Segala kebutuhan makhluk hidup
di muka bumi ini pada kenyataannya memang membutuhkan air sebagai sumber
kehidupannya. Itulah sebabnya air merupakan salah satu sumber daya paling
penting dan paling dibutuhkan oleh manusia untuk melangsungkan kehidupan.
Secara filsafati, sesungguhnya air merupakan benda publik (public good) yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk dipakai dan dinikmati guna
melangsungkan kehidupannya. Dengan demikian konsep kepemilikan atas sumber
daya air adalah milik bersama umat manusia (res communis) dan oleh karenanya
tidak bisa dimiliki secara privat layaknya sebuah benda privat (private good).1
Sumber daya air adalah sumber daya yang menguasai hajat hidup orang
banyak dan berkaitan langsung dengan hak hidup manusia. Penguasaan secara
privat atas sumber daya air sehingga mengakibatkan terhalang hak/akses orang
lain terhadap sumber daya air yang dimaksud jelas tidak dapat dibenarkan dengan
alasan apapun.2
1 Hamid Chalid, Hak-hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di Belanda,
India dan Indonesia, Disertasi (Jakarta: Program Doktor fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2009), h.61
2 Hamid Chalid, Hak-hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di Belanda,
India dan Indonesia, Disertasi, h.41
42
Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dijaman seperti ini sudah menjadi
barang yang familiar. Hampir setiap hari dapat ditemui dan didapatkan oleh
orang-orang perkotaan seperti Jakarta. Cerita dibalik dengan kemunculan AMDK
di Indonesia. Dulunya, AMDK menjadi produk yang sangat mudah dan familiar
di masyarakat modern. AMDK juga dulunya menjadi barang yang exclusive
dimana tidak semua orang dapat membelinya. AMDK memang hanya berisikan
air mineral, namun kebanyakan yang meminum air ini adalah orang-orang penting
seperti tamu dari luar negeri atau wisatawan asing.
Sekitar awal tahun 1970-an, Indonesia belum memproduksi AMDK
sendiri. Pada tahun tersebut AMDK yang tersedia adalah produk impor. Pada saat
itu para wisatawan atau tamu dalam negeri yang berkunjung di Indonesia hanya
mau meminum air minum dalam kemasan. Hal ini karena mereka tidak cocok
dengan air rebusan. Dulu tidak mudah pula untuk mendapatkan air mineral dalam
kemasan. Air mineral dalam kemasan hanya dapat ditemui di hotel-hotel
berbintang.3
Tentunya perkembangan AMDK di jaman dulu dan sekarang sudah
berbeda. Saat ini sudah banyak bermunculan produk-produk air mineral dalam
kemasan yang dijual bebas pada minimarket ataupun toko kelontong. Beberapa
perusahaan yang membuat AMDK di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Kegiatan Bisnis Air Minum Dalam Kemasan Oleh PT. Tirta Investama
dan PT. Tirta Fresindo Jaya
1. PT. Tirta Investama
a. Sejarah Berdirinya PT. Tirta Investama
AQUA lahir atas ide Bapak Tirto Utomon (1930-1994).
Beliau menggagas lahirnya industri Air Minum Dalam Kemasan
(AMDK) pertama di Indonesia melalui PT. Golden Mississippi
pada tanggal 23 Februari 1973, kegiatan fisik perusahaan dimulai
pada bulan Agustus 1973, ditandai dengan pembangunan pabrik
dikawasan Pondok Ungu Bekasi, percobaan produksi dilaksanakan
3 M. Deril dan Noviriana, “Jurnal Uji Parameter Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di
Kota Surabaya”, Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, Vol.6, (Universitas Pembangunan Nasional
Surabaya, 2014), h.56.
43
pada bulan Agustus 1974 dengan kapasitas produksi 6.000.000
liter/tahun. Sebelum bernama aqua dahulu bernama Puritas (Pure
Artesian Water), yang berlogo daun semanggi. Tetapi, Eulindra
Lim mengusulkan nama aqua karena cocok terhadap imej air
minum dalam botol serta tidak sulit diucapkan. Tirto setuju dan
mengubah merek produknya dari Puritas menjadi aqua pada bulan
Oktober 1974. Produk pertamanya adalah aqua botol kaca ukuran
950 ml yang kemudian disusul dengan kemasan aqua 5 galon, pada
waktu itu juga masih terbuat dari kaca. Pada saat perusahaan go
public pada tanggal 1 Maret 1990, nama PT. Aqua Missisipi diubah
menjadi PT. Aqua Golden Mississippi.4
Pada tahun 1982, Tirto mengganti bahan baku air yang
semula berasal dari sumur bor ke mata air pegunungan yang
mengalir sendiri (self-flowing spring) karena dianggap
mengandung komposisi mineral alami yang kaya nutrisi seperti
kalsium, magnesium, potasium, zat besi, dan sodium. Willy
Sidharta, sales dan perakit mesin pabrik pertama aqua, merupakan
orang pertama yang memperbaiki sistem distribusi aqua. Ia
memulai dengan menciptakan konsep delivery door to door khusus
yang menjadi cikal bakal pengiriman langsung aqua. Konsep
pengiriman menggunakan kardus-kardus dan galon-galon
menggunakan armada yang didesain khusus membuat penjualan
aqua secara konsisten menanjak hingga akhirnya angka penjualan
aqua mencapai dua triliun rupiah pada tahun 1985. Pada tahun
1984, pabrik Aqua kedua didirikan di Pandaan, Jawa Timur sebagai
upaya mendekatkan diri pada konsumen yang berada di wilayah
tersebut. Setahun kemudian, terjadi pengembangan produk aqua
dalam bentuk kemasan PET 220 ml. Pengembangan ini membuat
produk aqua menjadi lebih berkualitas dan lebih aman untuk
dikonsumsi. Pada tahun 1995, Aqua menjadi pabrik air mineral
4 Annual Report, PT. Aqua Golden Mississippi, 2010, h.6
44
pertama yang menerapkan sistem produksi in-line ini adalah botol
Aqua yang baru dibuat dapat segera diisi air bersih di ujung proses
produksi menjadi lebih higienis.
Aqua Grup memiliki beberapa produk yang dikenal
masyarakat dengan merek dagang terdaftar, yakni Aqua dan Vit
yang merupakan produk AMDK dan Mizone yang merupakan
produk minuman ringan isotonik.5 Secara operasional, AQUA
Grup yang berkantor pusat di Jakarta Selatan mempunyai 14 pabrik
yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan satu pabrik di
Brunei Darussalam. Di lokasi Citeureup Jawa Barat terdapat 2
(dua) pabrik dengan 2 (dua) kepemilikan yang berbeda, yaitu oleh
PT. Tirta Investama dan PT. Aqua Golden Mississippi.
Pada tahun 1998 perusahaan consumer goods
multinasional asal Perancis, Danone mengakuisisi sebagian besar
saham PT. Aqua Golden Missisipi agar produk aqua dan Grup
Danone pada tanggal 4 September 1998. Akuisisi tersebut
berdampak pada peningkatan kualitas produk dan menempatkan
aqua sebagai produsen Air Mineral Dalam Kemasan (AMDK) yang
terbesar di Indonesia. Pada tahun 2000, bertepatan dengan
pergantian milenium, aqua meluncurkan produk berlabel Danone-
Aqua. Danone meningkatkan kepemilikan saham di PT. Tirta
Investama dari 40% menjadi 74%, sehingga Danone kemudian
menjadi pemegang saham mayoritas aqua grup. Tampaknya
akuisisi ini dapat dikatakan cukup berhasil dikarenakan penjualan
aqua yang semakin meningkat dari rata-rata 1 milyar liter/tahun.
Pada tahun 2000, bertepatan dengan pergantian milenium, aqua
meluncurkan produk berlabel Danone-Aqua.
5 Annual Report, PT. Aqua Golden Mississippi, 2010, h.12.
45
b. Visi dan Misi Perusahaan
1) Memberikan hidrasi berkualitas untuk kesehatan yang lebih
baik bagi sebanyak mungkin masyarakat Indonesia melalui
produk dan layanan.
2) Membangun organisasi yang dinamis, terbuka dan beretika
dengan budaya pembelajaran yang memberikan kesempatan
berkembang yang unik bagi karyawan.
3) Menjadi acuan dalam pembangunan berkelanjutan,
melindungi sumber daya airnya, melestarikan lingkungan,
memberdayakan masyarakat dan mempromosikan serta
mendorong masyarakat untuk menjadi “lebih bertanggung
jawab terhadap lingkungan”.
4) Memberikan kesehatan melalui pangan kepada sebanyak
mungkin orang.6
c. Tata Kelola Perusahaan
Grup Aqua menerapkan prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan yang baik demi memastikan berjalannya roda bisnis
perusahaan secara bertanggung jawab, mematuhi segala peraturan
dan hukum yang berlaku, serta memperhatikan segala aspek
keberhasilan ekonomi dan kemajuan sosial juga lingkungan. Selain
itu, penerapan tata kelola perusahaan yang baik menjadi bukti
perusahaan dalam menjaga kepercayaan investor yang pada
akhirnya dapat meningkatkan nilai tambah bagi mereka.
Sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, pemegang kekuasaan tertinggi di perusahaan-
perusahaan yang tergabung dalam grup aqua adalah pemegang
saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pemegang
saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan
perusahaan dari Dewan Direksi dan/atau Komisaris, termasuk
memperoleh laporan dan mengevaluasi kinerja Direksi sesuai
6 Annual Report, PT. Aqua Golden Mississippi, 2010, h.8
46
dengan agenda RUPS yang telah ditentukan. Pemegang saham
melalui RUPS dapat berwenang mengangkat dan memberhentikan
Direksi dan Komisaris.
Dalam grup aqua terdapat 10 divisi yaitu Finance, Human
Resources, Corporate Secretary, Modern Distribution Channel,
Sales and Distribution, Operations, Marketing, Research and
Development, dan Supply Chain yang bertanggung jawab pada
Direksi.
Selain itu, dalam grup aqua terdapat komite-komite yang
bertugas membantu Direksi untuk merancang rencana strategis
serta membantu dalam proses pengambilan keputusan, antara lain
komite keberlanjutan, komite transportasi dan komite
pembangunan pabrik baru.7
Berdasarkan Akta Keputusan Rapat Pemegang Saham
Nomor 21 tertanggal 8 Juni 2017, berikut adalah susunan Direksi
dan Dewan Komisaris, yaitu:
1) Direksi terdiri dari 4 (empat) orang yaitu:
a) Corine Danielle Tap sebagai Presiden Direktur;
b) Janto Utomo sebagai Wakil Presiden Direktur;
c) Li Jing sebagai Direktur; dan
d) Sebastianus Cornelis Verweij sebagai Direktur bidang
keuangan.
2) Dewan Komisaris terdiri dari 4 (empat) orang yaitu:
a) Floris Sybrand Wesseling selaku Presiden Komisaris;
b) Lisa Tirta Utomo selaku Wakil Dewan Komisaris;
c) Erry Riyana Hardjapamekas; dan
d) Bertrand, Elie, Lucien, Louis, Austruy selaku Komisaris.
d. Tanggung Jawab Kepada Konsumen
Sesuai dengan pilar kesehatan Danone menghadirkan air
minum dalam kemasan (AMDK) diterima luas di masyarakat. Hal
7 Annual Report Aqua Danone, 2012, h.12.
47
tersebut terbukti dengan tidak adanya keluhan atau pengaduan yang
signifikan oleh konsumen terkait terganggunya kesehatan mereka
setelah mengkonsumsi produk Aqua.8 Tindakan yang dilakukan
oleh Aqua, yaitu:
1) Pencantuman Informasi Penting
Aqua menyertakan informasi yang perlu diketahui oleh
konsumen, sebagai jaminan kelayakan konsumsi. Informasi
yang dicantumkan meliputi nama merek, kategori dan sub-
kategori produk, nama produsen, nomor registrasi dari
BPOM dan sertifikat halal dari MUI, kode produksi, kode
batas waktu layak konsumsi, petunjuk penyimpanan, nomor
SNI, volume dalam kemasan, kode jenis plastik dan nomor
telepon layanan konsumen.
2) Promosi dan Komunikasi Pemasaran
Dalam memelihara dan mengembangkan pasar yang sudah
ada, Aqua secara aktif melakukan berbagai kegiatan promosi,
iklan maupun bentuk komunikasi pemasaran lainnya. Semua
kegiatan dilaksanakan dengan tetap mematuhi ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Kepuasan dan Privasi Pelangan
Seluruh data pelanggan tersimpan rapi dan hanya bisa diakses
secara terbatas. Semua data pelanggan tersimpan dalam
Distribution Management System (DMS) dan System
Applicationsand Products (SAP). Melalui mekanisme ini
Aqua memastikan tidak ada penyalahgunaan data dan privasi
pelanggan.
2. PT. Fresindo Jaya
a. Sejarah Berdirinya PT. Tirta Investama
PT. Tirta Fresindo Jaya adalah perusahaan yang bergerak
di bidang manufaktur makanan dan minuman yang termasuk dalam
8 Annual Report, PT. Aqua Golden Mississippi, 2010, h.76-79
48
mayora grup (PT. Mayora Indah Tbk) yang berdiri pada tahun 1977
dengan pabrik pertama berlokasi di Tangerang yang menjadi
perusahaan pablik pada tahun 1990. Salah satu produknya berupa
air minum dalam kemasan air mineral yaitu Teh Pucuk Harum, kali
pertama dikenalkan pada tahun 2011 dan langsung mencuri pasar
Teh Sosro.
Lewat PT. Tirta Fresindo Jaya, Mayora merambah ke
pasar air minum dalam kemasan yang lain dengan merek Le
Minerale. Dua pabrik baru dibangun di Cianjur dan Palembang
pada akhir 2016, dengan total investasi mencapai Rp. 1,4 Triliun.
Ini menambah lima pabrik lain yang sudah berdiri di Ciawi,
Sukabumi, Pasuruan, Medan, dan Makasar. Mayora menargetkan
produksi hingga 5 juta karton per bulan dari 1 juta karton per bulan
demi bersaing dalam pangsa pasar tersebut.
b. Visi dan Misi Perusahaan
1) Menjadi produsen minuman yang berkualitas dan terpercaya
di mata konsumen domestik maupun internasional dan
menguasai pangsa pasar terbesar dalam kategori produk
sejenis.
2) Dapat memperoleh laba bersih operasi diatas rata-rata
industri dan memberikan nilai yang baik bagi seluruh
stakeholders perseroan.
3) Dapat memberikan kontribusi posistif terhadap lingkungan
dan negara dimana perseroan berada.
c. Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance).
Tata kelola perusahaan atau good corporate governance
sebagai suatu struktur yang mengatur pada hubungan yang
harmonis tentang peran Direksi, Dewan Komisaris, Pemegang
Saham dan Para Skateholder lainnya, juga berpeeran sebagai sistem
pengontrolan dan pertimbangan atas kewenangan pengendalian
perusahaan yang diajarkan oleh Direksi.
49
1) Tugas dan Tanggung Jawab Direksi
Pada dasarnya tugas, tanggung jawab dan wewenang
direksi perseroan diatur dalam Pasal 14 Anggaran Dasar
Perseroan.
Direksi perseroan bertanggung jawab penuh dalam
melaksanakan tugasnya untuk kepentingan perseroan dalam
mencapai maksud dan tujuanya. Setiap anggota direksi wajib
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan itikad
baik, penuh tanggung jawab dan kehati-hatian dengan
mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pada dasarnya tugas dan wewenang dewan
komisaris perseroan diatur dalam Pasal 17 Anggaran Dasar
Perseroan. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa tugas
dari dewan komisaris adalah mengawasi pengurusan
perseroan yang dilakukan oleh direksi dan memberikan
nasihat kepada direksi jika diperlukan. Komisaris juga
membuat rekomendasi perbaikan atau saran atas hasil
penelaahan yang disampaikan oleh komite audit dan
menyampaikannya kepada direktur utama dan/atau direktur
yang bersangkutan.
Dalam melakukan fungsi pengawasannya, dewan
komisaris secara rutin dan aktif juga melakuukan interaksi
dengan menajemen perseroan melalui, berbagai usulan,
komentar dan rekomendasi dalam rapat reguler dengan
direksi.
3) Pengendalian Keuangan dan Operasional
Sitem pengendalian keuangan dan operasional
perseroan dilakukan dengan memahami proses yang berjalan
melalui prosedur, perencanaan, dan menetapkan, serta
menerapkan kriteria operasional diseluruh aspek operasional
50
perseroan, baik dibidang administrasi maupun dibidang
produksi. Pengendalian ini dilakukan untuk menjamin bahwa
apa yang direncanakan dapat terlaksana dengan baik.
Untuk itu, perseroan didukung oleh sistem teknologi
informasi yang telah dimiliki oleh perseroan, sehingga
pengendalian keuangan dan operasional perseroan dapat
berjalan dengan baik.
Dengan adanya sistem teknologi informasi yang
telah diterapkan, manajemen perseroan dapat mengetahui
dengan segera perkembangan dan segala perubahan yang
terjadi dibidang keuangan dan operasional perseroan. Dengan
demikian permasalahan yang mungkin timbul dapat dihindari
dan dikaji secara lebih seksama untuk mendukung
pengambilan keputusan yang tepat.
4) Kepatuhan Terhadap Perundang-Undangan
Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku tentunya sangat bermanfaat untuk mewujudkan
kondisi masyarakat yang tertib dan aman. Ketertiban dan
keamanan adalah hal penting yang harus tercipta untuk
memperlancar seagala upaya pembangunan untuk
menciptakan bangsa dan negara yang lebih adil dan sejahtera.
Menyadari hal tersebut, maka perseroan dan seluruh
pekerja perseroan wajib mematuhi seluruh peraturan
perundang yang ada, dan direksi perseroan tutut adil dalam
memastikan bahwa seluruh aktifitas yang dilaksanakan oleh
perseroan telah memenuhi seluruh unsur kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undagan yang berlaku yang diantaranya
diwujudkan dalam bentuk memiliki semua hal yang
diperlukan dalam menjalankan kegiatan perseroan dan
memberikan hak pekerja sesuai dengan yang ditentukan oleh
51
pemerintah sehingga terjadi keseimbangan antara hak dan
kewajiban diantara para pihak yang terkait.
5) Kode Etik Perseroan
Perseroan memiliki kode etik perusahaan yang
merupakan perangkat dalam mendukung visi dan misi
perusahaan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
peraturan internal perusahaan.
Kode etik perseroan menjabarkan prinsip yang
menjadi landasan berperilaku bagi segenap anggota yang
bergabung dalam keluarga besar perseroan dalam melakukan
tugas, tanggung jawab dan kewenangannya masing-masing.
Pokok-pokok kode etik perseroan, didasarkan pada 7
prinsip, yaitu quality, afisiensi, inovation, passion, wisdom,
responsibility, and confidence.9
6) Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan yaitu:
Direksi terdari dari 4 (empat) orang yaitu:
a) Andre Sukendra Atmadja, sebagai Direktur Utama;
b) Hendarta Atmadja, sebagai Direktur Supply Chain;
c) Wardhana Atmadja, sebagai Direktur Umum dan
Operasional;
d) Hendrik Polisar, sebagai Direktur Keuangan dan Muljono
Nurlimo, sebagai Direktur Pemasaran.
7) Dewan Komisaris terdiri dari 1 (satu) orang Komisaris Utama
dan 4 (empat) orang anggota Komisaris, yaitu:
a) Jogi Hendra Atmadja, sebagai Komisaris Utama;
b) Hermawan Lesmana, sebagai anggota Komisaris;
c) Gunawan Atmadja, sebagai anggota Komisaris;
d) Ramli Setiawan, sebagai Komisaris Independen, Ketua
Komite Audit;
e) Suryono Gunawan, sebagai Komisaris Independen.
9 Annual Report PT. Mayora Indah Tbk, 2016, h. 41-63
52
B. Posisi Kasus
Berdasarkan Putusan KPPU Nomor 22/KPPU-I/2016. Berawal dari
adanya dugaan pelanggaran pada Pasal 15 Ayat 3 dan Pasal 19 huruf a dan b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh PT. Tirta Investama
(Terlapor I) dan PT. Balina Agung Perkasa (Terlapor II) yang dilaporkan
oleh para pedagang ritel dan eceran di wilayah Jabodetabek melapor ke
kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah suatu lembaga independen yang terlepas
dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.10
Objek Perkara
adalah Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Air Mineral yang di produksi
oleh Terlapor I (Danone Indonesia) yang dipasarkan oleh Terlapor II di
wilayah Cikampek, Cikarang, Bekasi, Babelan, Pulo Gadung, Sunter,
Prumpung, Kiwi, Lemah Abang, Rawagirang Cibubur, dan/atau Cimanggis
atau setidak-tidaknya di wilayah jangkauan pemasaran Terlapor II pada
tahun 2016. Terlapor I dan Terlapor II secara bersama-sama pernah
menyampaikan himbauan lisan kepada para pedagang Star Outlet (SO)
mulai dari akhir tahun 2015 sampai dengan pertengahan tahun 2016,
Terlapor I melalui Key Account Excecutive dan Terlapor II melalui bagian
penjualan.
Adanya bukti dokumen mengenai Form Sosialisasi Pelanggaran SO
yang memerintahkan bahwa penjual yang menjadi SO dari produk Terlapor
I bersedia untuk tidak menjual produk air minum dalam kemasan (AMDK)
dengan merek Le Minerale, dan bersedia menerima konsekuensi sanksi dari
Terlapor I berupa penurunan harga ke Wholeseller apabila menjual produk
kompetitor sejenis dengan merek Le Minerale. Form Sosialisasi SO tersebut
wajib ditandatangani oleh pedagang SO lengkap dengan nama pemilik dan
nomer telepon. Dan penyebaran form sosialisasi dilakukan baik secara
bersama-sama maupun sendiri-sendiri oleh pegawai Terlapor I dan/atau
Terlapor II.
10
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.136.
53
Lalu ditemukannya bukti komunikasi e-mail terdapat komunikasi
antara pegawai perusahaan Terlapor I dengan Terlapor II mengenai tindakan
degradasi toko SO dengan pertimbangan toko SO masih menjual produk
kompetitor. Dengan adanya bukti berupa e-mail penurunan status SO pada
pedagang, tindakan Terlapor I dan Terlapor II dengan membuat program-
program tersebut diatas adalah perilaku anti persaingan yang bertujuan
untuk mengikat para pedagang toko SO untuk Loyal dan tidak menjual
produk kompetitor (Le Minerale). Tindakan Terlapor I dengan Terlapor II
dimaknai sebagai perbuatan bersama (concerted action) yang dapat
dikualifikasikan sebagai perjanjian tidak tertulis.
Mengenai harga barang dan potongan harga menurut Peraturan
Komisi Nomor 5 Tahun 2011 mengenai Pedoman Pasal 15, diuraikan bahwa
harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang
dan/atau jasa sesuai kesepakatan antara pihak di pasar bersangkutan.
Berdasarkan peraturan tersebut disebutkan bahwa potongan harga
merupakan insentif yang diberikan oleh seorang produsen kepada distributor
ataupun distributor kepada pengecernya, dimana harga lebih murah dari
harga yang dibayarkan. Fakta dari pedagang SO adanya larangan kepada
para pedagang untuk tidak menjual produk kompetitor (Le Minerale)
dengan sanksi degradasi status dari SO menjadi wholeseller (eceran)
berimbas pada harga pembelian atau pengambilan barang. Perbedaan harga
SO dengan harga Wholeseller memiliki selisih sebesar 3%.
Tanggal Peristiwa
Januari 2016 Himbauan kepada toko yang berstatus SO
untuk tetap loyal dan memperhatikan
produk kompetitor.
April 2016 Himbauan lisan terjadi hampir diseluruh
SO pada daerah distribusi Terlapor II dan
menhimbau para pedagang SO untuk
54
tidak mendisplay produk Le Minerale
bahkan diminta untuk dihilangkan.
Mei 2016 Didapatkan bukti komunikasi melalui
surat elektronik (e-mail) tentang
Degradasi Toko Chun-Chun menjadi
Wholeseller karena dianggap tidak loyal
lagi terhadap AQUA dan tetap menjual
produk dari pesaing para terlapor yaitu
Le Minerale.
Agustus 2016 Merebaknya Form Sosialisasi Loyalitas
dan larangan menjual produk Le
Minerale yang harus ditandatangani oleh
pemilik toko level SO yang pada
pokoknya menyatakan tidak boleh
menjual produk dari kompetitornya.
September 2016 Pedagang SO menyatakan adanya
intimidasi dan ancaman degradasi apabila
menjual produk Le Minerale.
Oktober 2016 Pihak Le Minerale mengeluarkan somasi
terbuka kepada PT. Tirta Investama atas
dugaan persaingan usaha tidak sehat atas
larangan penjualan produk Le Minerale
pada beberapa media nasional melalui
kuasa hukumnya Suyanto Simalango
Patria. Hal ini dilakukan selain karena
adanya aduan dari pedagang SO tetapi
ditakutkan pula apabila dibiarkan akan
berdampak pada penjualan Le Minerale.
7 Oktober 2016 PT. Tirta Fresindo Jaya (produsen Le
Minerale) memberikan keterangan
55
kepada KPPU, undangan tersebut
ditandatangani oleh R. Frans Adiatma
atas nama Plt. Deputi Bidang Penegekan
Hukum Direktur Innvestigasi U.B
Koordinator Satuan Tugas. Sesuai dengan
surat pemberitahuan klarifikasi pihak Le
Minerale bertemu dengan Tim Investigasi
KPPU. Kemudian adanya langkah-
langkah yang diambil oleh para terlapor
guna menutupi kesalahannya dengan
melakukan permintaan maaf dan janji-
janji akan diberi hadiah, meskipun itu
dirasa sudah terlambat oleh pihak
pedagang. Tata cara penanganan perkara
berdasarkan laporan pelapor maka
langkah selanjutnya adalah klarifikasi.
9 Mei 2017 Gelar perkara mulai bergulir, sidang
pertama dengan agenda pembacaan dan
penyerahan salinan laporan dugaan
pelanggaran oleh tim investigator KPPU.
10 Juli 2017 Agenda sidang mendengar keterangan
saksi dari pihak Le Minerale
menghadirkan orang yang telah diberikan
kuasa yaitu Carol Mario Sampouw
sebagai National Sales Manager. Sidang
kali ini membahas tentang akibat dari
adanya perjanjian antara para terlapor
dengan toko SO yang menyebabkan
penurunan penjualan air minum dalam
kemasan yang bermerek Le Minerale.
56
Mario mengatakan adanya aduan dari
para pedagang sehingga membuat ke
khawatiran kepada terhambatnya
penjualan Le Minerale. Maka dilakukan
survei acak di wilayah jabodetabek
karena adanya laporan dari SO
Karawang.
26 Oktober 2017 Majelis Komisi melaksanakan sidang
Majelis komisi dengan agenda
pemeriksaan Terlapor I. Pada sidang kali
ini ditemukan bahwasannya Terlapor I
sebagai principal dan Terlapor II sebagai
distributor memiliki kontrak atau
perjanjian distributor.
27 Oktober 2017 Majelis Komisi melaksanakan sidang
majelis dengan agenda pemeriksaan alat
bukti dan dokumen serta dilanjutkan
dengan pemeriksaan Terlapor II. Sidang
kali ini ditemukan adanya perilaku yang
dilarang oleh para terlapor yang
berhubungan dengan perjanjian tertutup
dan hubungan bisnis antara para terlapor
yang berhubungan dengan perjanjian
tertutup dan hubungan bisnis antara para
terlapor bukanlah hubungan jual dan/atau
beli putus karena adanya perjanjian
khusus yaitu perjanjian kerjasama adanya
penempatan pegawai Terlapor I dalam
kantor Terlapor II yang memang jabatan
sebagai KAE (Key Account Excecutive)
57
dan Sales Manager.
19 September 2017 Terlapor I menganggap saksi yang
dihadirkan cukup yaitu dengan tiga orang
saksi dari Terlapor I dan sembilan orang
saksi dari Terlapor II. Pernyataan tersebut
kemudian ditanggapi oleh salah satu
investigator KPPU yaitu Helmi Nurjamil,
yang mengatakan hadir atau tidak
hadirnya saksi oleh Terlapor I,
diserahkan kepada Terlapor. Namun
kewenangan itu sepenuhnya berada di
tangan Ketua Majelis Komisi. Dalam
persidangan ditemukan adanya bukti
surat komunikasi elektronik antara
Terlapor I yaitu Sulistyo Pramono dalam
kapasitasnya sebagai KAE Terlapor I
kepada Denny Lasut selaku senior sales
manager Terlapor II tentang degradasi
stastus SO menjadi Wholeseller.
19 Desember 2017 Sidang yang digelar oleh KPPU, Ketua
Majelis Komisi menyatakan kedua
terlapor terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 15 Ayat (3)
huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
58
BAB IV
BENTUK PELANGGARAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM
A. Pelanggaran Hukum Yang Dilakukan Oleh PT. Tirta Investama dan PT.
Balina Agung Perkasa
Menurut Aristoteles hukum hanyalah sebuah kumpulan peraturan yang
dapat mengikat dan juga sebagai hakim bagi masyarakat. Dimana undang-
undanglah yang mengawasi hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk
menghukum orang-orang yang bersalah atau pelanggar hukum.1 Dalam hal ini
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Tirta Investama dan PT. Balina
Agung Perkasa. Salah satunya yaitu perjanjian tertutup dan penguasaan pasar.
Namun menurut peneliti PT. Tirta Investama juga melakukan pelanggaran hukum
terkait dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Posisi
Dominan, yang disebutkan sebagai berikut:
1. Perjanjian Tertutup (exclusive dealing) merupakan suatu perjanjian yang
terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses
produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa.2 Menurut Pasal 15
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatur larangan perjanjian,
menyatakan bahwa:
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa
hanya akan memasok dan tidak memasok kepada pihak tertentu dan/atau
pada tempat tertentu.
b. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa
tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok.
1 J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, (Jakarta: Rajawali,1988), h.63
2 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media,2009), h.118
59
c. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha
pemasok.
1) Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok.
2) Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis
dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok.
2. Penguasaan pasar yaitu dengan kata lain menjadi penguasa di pasar
merupakan keingan dari hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan
pasar yang cukup besar memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan
yang mungkin bisa dimiliki oleh pelaku usaha. Penguasaan pasar yang tidak
adil akan mengakibatkankan persaingan usaha yang tidak sehat.3 Menurut
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Penguasaan Pasar
menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa
kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat berupa:
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
b. Atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
3. Posisi dominan adalah suatu keadaan dimana pelaku usaha dalam
memasarkan produknya tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar
yang bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau
pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar yang
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan
3 Munir Fuady, Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti, 1999), h.78.
60
akses pada pasokan dan penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang dan jasa tertentu.4 Posisi Dominan
berpotensi untuk melakukan diskriminasi harga (price discrimination),
perjanjian tertutup (exclusive dealing), termasuk penjualan paket (tying in
sale), diskriminasi (barrier to entry) terhadap pelaku usaha tertentu,
hambatan vertikal (vertical restraint), jual rugi (predatory pricing) untuk
mematikan pesaingnya.5 Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 tahun
1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan posisi dominan
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi.
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
B. Pertimbangan Hakim
1. Pertimbangan Hakim Aspek Filosofis
Betapa pentingnya persaingan usaha di Indonesia harus sehat,
dalam perkara ini dijelaskan bahwa pelaku terlapor telah merugikan pelaku
usaha lain serta akan berdampak pada masyarakat luas. Karena selain karena
amanat undang-undang namun juga dikarenakan persaingan usaha tidak
sehat memiliki dampak kepada pelaku usaha lain dan berimbas pada
kemakmuran rakyat. Yang dimana dampak tersebut telah menderogasi dan
menyebabkan Negara Indonesia gagal untuk menjadi negara kesejahteraan
yang mana Negara Indonesia telah bercita-cita untuk memakmurkan
rakyatnya sendiri.
4 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media), h.165.
5 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009), h.44.
61
Bahwasannya perbuatan melanggar hukum dimana telah dijabarkan
di atas atau sebelumnya adalah perbuatan-perbuatan yang dilihat dari aspek
filosofis telah melanggar cita-cita pendiri bangsa untuk menjadikan Negara
Indonesia sebagai negara berkesejahteraan (welfare state) yang mana cita-
cita tersebut dibangun dari landasan filosofis yang terkandung dan
bersumber dari sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”
Menurut John Maynard Keyness, pencetus dari teori welfare state
menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan,
bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan
seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.6
Atau dalam adagium hukum yang berbunyi justitia est ius suum cuique
tribuere yang artinya keadilan harus diberikan kepada tiap orang apa yang
menjadi haknya. Maka dapat peneliti katakan bahwa keadilan terbesar
adalah kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Landasan Filosofis Negara kesejahteraan atau welfare state teori ini
sebenarnya sudah terkandung di dalam Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku di Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 bersumber dari sila kelima Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”, dan Pembukan UUD 1945 alinea keempat,
khususnya pada kalimat “...melindungi segenap bangsa dan... memajukan
kesejahteraan umum”.
Tujuan untuk mencapai kemakmuran rakyat dan efisiensi
perekonomian nasional dalam menciptakan keadilan sosial berdasarkan
norma dasar tersebut membutuhkan suatu peraturan yang dapat dijadikan
landasan hukum yang kuat. Substansi hukum dalam peraturan perundang-
undangan yang adil dan menjamin kepastian dalam upaya penegakan hukum
adalah prasyarat tujuan hukum tadi. Selama berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 ternyata belum efektif untuk mencapai kesejahteraan
6 Ariza Fuadi, “Jurnal Negara Kesejahteraan (welfare State) Dalam Pandangan Islam
dan Kapitalisme”, No.1, Vol.5, (Semarang: 1 Juni 2015), h.16.
62
rakyat dikarenakan undang-undang tersebut tidak dapat mengakomodir
permasalahan-permasalahan persaingan usaha yang terjadi.
Dampak dari persaingan usaha yang belum sempurna merujuk pada
sila kelima Pancasila yang menyebutkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, maka norma norma dasar ini harus dimaknai bahwa seluruh
rakyat Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang merata, secara
bersama-sama untuk meningkatkan dan mengembangkan keadaan yang
terus lebih baik untuk mencapai tujuan agar kekayaan alam dan hasil
pembangunan nasional yang meliputi segala aspek pembangunan dapat
dinikmati seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Pembukaan UUD 1945 meliputi frasa “melindungi segenap bangsa
Indonesia”, frasa ini ditunjukan bagi aspek ketahanan ekonomi nasional
suatu bangsa dengan menjamin kesempatan yang sama bagi setiap warga
negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang
dan atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar
yang wajar. Sementara frasa “memajukan kesejahteraan umun” ditujukan
kepada setiap orang yang berusaha di Indonesia agar berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan adanya
monopoli pada pelaku usaha tertentu. 7
Kedua paradigma tersebut menjadi landasan pembangunan
ekonomi yang diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan
mengatur persaingan usaha. Landasan filosofis tersebut merupakan bentuk
dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) dimana negara menjamin
kesejahteraan rakyatnya dengan jalan mengadakan segenap upaya untuk
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka dalam rangka untuk
merealisasikan cita-cita dan mimpi-mimpi para pendiri Negara Indonesia
yang menginginkan Indonesia menjadi negara kesejahteraan, maka menurut
7 Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h. 14. Website Resmi Jimly
Asshidiqie, akses tanggal 15 Desember 2018.
http://www.jimly.com/makalah/namafile/57/konsep_negara_hukum_indonesia.pdf
63
peneliti perlu adanya reformasi dalam persaingan usaha di Indonesia itu
sendiri.
2. Pertimbangan Hakim Aspek Yuridis
Aspek Yuridis dalam penelitian ini berkaitan dengan pemenuhan
unsur-unsur dari Undang-Undang Pelanggaran Anti Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
a. Pemenuhan Unsur Pasal 15
Salah satu pelanggaran persaingan usaha yang dilakukan
oleh para pelaku usaha yang melanggar atau para terlapor ini
adalah pelanggaran tentang perjanjian tertutup. Defisini dari
perjanjian tertutup adalah suatu perjanjian yang terjadi antara
mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi
atau jaringan distribusi suatu barang dan atau jasa.8
Bahwasannya didalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
perjanjian tertutup terdiri dari tiga macam pelanggaran, yaitu:
1) Exclusive Distribution Agreement
Yang dimaksud disini adalah pelaku usaha membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak
memasok produk tersebut kepada pihak atau tempat tertentu.
Dimana dari permasalahan dalam Exclusive Distribution
Agreement adalah kemungkinan matinya suatu pelaku usaha
karena tidak mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai
distributor yang akan menjual produknya.
2) Tying Agreement
Terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang berada pada level berbeda
dengan mensyaratkan penjualan atau penyewaan suatu barang
8 Suyud Margano, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.98.
64
atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli atau penyewa
juga akan membeli barang lainnya.
3) Vertical on Discount
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau
potongan harga tertentu atas barang atau jasa yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang atau
jasa dari usaha pemasok harus bersedia membeli barang atau
jasa lain dari pelaku usaha pemasok serta tidak akan membeli
barang atau jasa sejenis dari pelaku usaha yang menjadi
pesaingnya pemasok.
Bahwasannya dalam kasus ini pemenuhan unsur terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para terlapor
melanggar ketentuan dari Vertical on Discount atau Pasal 15 ayat
(3) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan
sebagai berikut:
“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau
potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau
jasa dari pelaku usaha pemasok”
Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis
dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok.
Menimbang bahwa untuk membuktikan terjadi atau tidak
terjadinya pelanggaran Pasal 15 ayat (3) huruf b undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 maka majelis komisi mempertimbangkan
unsur-unsur yang sudah terpenuhi sebagai berikut:
1) Unsur pelaku usaha
a) Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara ini
adalah PT. Tirta Investama (Terlapor I) dan PT. Balina
Agung Perkasa (Terlapor II).
65
b) Bahwa PT. Tirta Investama merupakan badan usaha
berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan Akta
Pendirian Perusahaan Nomor 142 tanggal 16 Juni 1994
yang dibuat oleh Rachmat Santoso, S.H Notaris di Jakarta
dan terakhir diubah dengan akta perubahan Nomor 100
tanggal 26 April 2016 yang dibuat oleh Linda Herawati,
S.H Notaris di Jakata Pusat serta telah mendapat
pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor AHU-AH.01.03-0044158
Tahun 2016 28 April 2016.
c) PT. Balina Agung Perkasa merupakan badan usaha
berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan Akta
Pendirian Perusahaan Nomor 33 tanggal 8 Juli 1999 yang
dibuat oleh Dr. Purbandari, S.H.,M.Hum.,MM.,M.kn.
Notaris di Jakarta dan terakhir diubah dengan akta
perubahan Nomor 09 tanggal 15 Oktober 2016 yang
dibuat oleh Rahayu Minarti, S.H Notaris di Jakarta Pusat
serta telah mendapat pengesahan dan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-
AH.01.03-0091305 Tahun 2016 Tanggal 20 Oktober
2016.
2) Unsur Perjanjian
a) Terlapor I dan Terlapor II secara bersama-sama pernah
menyampaikan himbauan lisan kepada para pedagang
Star Outlet (SO) mulai dari akhir tahun 2015 sampai
dengan pertengahan tahun 2016, Terlapor I melalui Key
Account Executive (KAE) dan Terlapor II melalui bagian
penjualan.
b) Bahwa perjanjian tertulis dalam hukum persaingan dapat
dimaknai sebagai perjanjian dengan nama apapun,
perjanjian tertulis dalam perkara ini merujuk pada bukti
66
dokumen mengenai “FORM SOSIALISASI
PELANGGAN STAR OUTLET” yang memerintahkan
bahwa penjual SO dari produk Terlapor I bersedia untuk
tidak menjual produk Air Minum Dalam Kemasan
(AMDK) dengan merek dagang Le Minerale, dan
bersedia menerima sanksi penurunan (degradasi) dari
status SO menjadi Wholeseller.
Seperti yang dikutip dari Putusan KPPU Nomor
22/KPPU-I/2016.
FORM SOSIALISASI PELANGGAN STAR OUTLET
Pada hari ini tanggal: .......... Sudah di sosialisasikan oleh
team cabang Cibubur mengenai pelanggan kategori SO
yang tidak boleh menjual air kemasan Le Minerale per
tanggal 1 September 2016, dan jika masih ditemukan
menjual produk yang dimaksud akan menerima
konsekuensi sangsi dari PT. Tirta Investama (danone)
berupa penurunan kategori harga ke Wholeseller (W).
c) Form sosialisasi tersebut wajib ditandatangani oleh
pedagang SO lengkap dengan nama pemilik toko dan
nomor telepon.
d) Form sosialisasi sebagaimana peneliti lampirkan di atas
adalah salah satu contoh bentuk perjanjian yang diakui
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia. Menurut peraturan perundang-undangan yang
ada di Indonesia Form di atas dapat dikategorikan sebagai
perjanjian klausula baku yang dimana perjanjian klausula
baku didefinisikan sebagai perjanjian yang salah satu
pihak dalam perjanjian tidak mampu atau memiliki
kemampuan untuk melakukan negoisasi pasal-pasal atau
klausula-klausula didalam perjanjian tersebut.
67
e) Mengetahui eksistensi perjanjian klausula baku tersebut
maka menurut peneliti tindakan kerjasama antara terlapor
I dan Terlapor II dapat dimaknai sebagai perbuatan
bersama.
f) Ditemukan bukti komunikasi e-mail terdapat komunikasi
antara pegawai perusahaan Terlapor I dengan Terlapor II
mengenai tindakan degradasi toko SO dengan
pertimbangan Toko SO masih menjual produk kompetitor
merupakan bukti kerjasama yang tidak dapat dibantah.
g) Bahwa tindakan kerjasama diatas Terlapor I dan Terlapor
II harus dimaknai sebagai perbuatan bersama (conserted
action) yang dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian
tidak tertulis.
3) Unsur Mengenai Harga atau Potongan Harga
a) Potongan harga adalah merupakan insentif yang diberikan
oleh seorang produsen kepada distributor ataupun
distributor kepada pengecernya, dimana harga menjadi
lebih murah dari harga yang dibayarkan.
b) Bahwa berdasarkan pemaparan fakta-fakta adanya
larangan kepada para pedagang untuk tidak menjual
produk kompetitor dengan sanksi degradasi status dari
SO menjadi Wholeseller berimbas pada harga
pembelian/pengembalian barang.
c) Berdasarkan bukti dokumen mengenai harga refrensi,
perbedaan harga SO dengan harga Wholeseller memiliki
selisih sebesar ± 3%. Dengan adanya perbedaan harga
dalam segmentasi (status pedagang) SO dan Wholeseller
4) Unsur Barang
Bahwa yang dimaksud dengan barang dalam perkara ini
adalah Air Minum Dalam Kemasan Air Mineral.
5) Unsur Memuat Persyaratan Tidak Akan Membeli Barang
68
a) Adanya larangan untuk membeli produk sejenis dari
pesaing (Le Minerale) pelaku usaha pemasok (Aqua)
sebagai syarat utama.
b) Adanya larangan untuk tidak akan membeli barang
kompetitor (Le Minerale) dilakukan secara bersama-sama
oleh para terlapor pada pedagang/pemilik toko dengan
status SO.
c) Bahwa adanya sanksi berupa degradasi status toko
merupakan bentuk ancaman agar persyaratan yang dibuat
oleh para terlapor menjadi efektif.
6) Unsur Tidak Akan Membeli Barang dari Pelaku Usaha
Pesaing
a) Adanya bukti dokumen berupa Form Sosialisasi yang
memerintahkan bahwa penjual yang menjadi SO dari
produk Terlapor I bersedia untuk tidak menjual produk
dari pesaing Terlapor I dengan merek dagang Le
Minerale.
b) Tindakan para terlapor yang melarang pedagang SO
untuk menjual produk kompetitor juga dibuktikan dengan
adanya fakta-fakta dari para saksi pedagang dan bukti
komunikasi e-mail.
c) Bahwa adanya kebijakan para terlapor tersebut di atas
bertujuan agar pedagang SO tidak menjual produk Le
Minerale dan Terlapor I dapat menghambat laju
pertumbuhan kompetitornya, yaitu PT. Tirta Fresindo
Jaya selaku produsen Le Minerale.
d) Bahwasaanya terhadap pelanggaran berupa pada Pasal 15
ayat 3 atau Vertical on Discount. KPPU menggunakan
pendekatan teori Perse Illegal yang dimana teori Perse
Illegal melihat suatu tindakan dinyatakan melanggar
hukum dan dilarang secara mutlak serta tidak
69
memerlukan pembuktian apakah tindakan tersebut
memiliki dampak negatif bagi persaingan usaha.
b. Pemenuhan Unsur-Unsur Pasal 19
Menimbang bahwa untuk membuktikan terjadi atau tidak
terjadinya pelanggaran Pasal 19 huruf a undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 maka majelis komisi mempertimbangkan unsur-unsur
sebagai berikut:
1) Unsur Pelaku Usaha
a) Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara ini
adalah PT. Tirta Investama (Terlapor I) dan PT. Balina
Agung Perkasa (Terlapor II)
b) Bahwa PT. Tirta Investama merupakan badan usaha
berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan Akta
Pendirian Perusahaan Nomor 142 tanggal 16 Juni 1994
yang dibuat oleh Rachmat Santoso, S.H Notaris di Jakarta
dan terakhirdiubah dengan akta perubahan Nomor 100
tanggal 26 April 2016 yang dibuat oleh Linda Herawati,
S.H Notaris di Jakata Pusat serta telah mendapat
pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor AHU-AH.01.03-0044158
Tahun 2016 28 April 2016.
c) Dan PT. Balina Agung Perkasa merupakan badan usaha
berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan Akta
Pendirian Perusahaan Nomor 33 tanggal 8 Juli 1999 yang
dibuat oleh Dr. Purbandari, S.H.,M.Hum.,MM.,M.kn.
Notaris di Jakarta dan terakhir diubah dengan akta
perubahan Nomor 09 tanggal 15 Oktober 2016 yang
dibuat oleh Rahayu Minarti, S.H Notaris di Jakarta Pusat
serta telah mendapat pengesahan dan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-
70
AH.01.03-0091305 Tahun 2016 Tanggal 20 Oktober
2016.
2) Unsur Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan, Baik Sendiri
Maupun Bersama Pelaku Usaha Lain
a) Bahwa Saudara Sulistyo Pramono selaku KAE dari
Terlapor I mengirim surat elektronik kepada Saudara
Denny Lasut selaku dari Terlpor II pada tanggal 17 Mei
2016 mengenai diturunkannya status toko chun-chun dari
status SO menjadi Wholeseller, karena toko tersebut
menjadi salah satu outlet dari Le Minerale sehingga toko
tersebut sudah tidak loyal lagi dengan produk Aqua, dan
toko tersebut dengan bangganya mengatakan lebih
menguntungkan menjual produk Le Minerale
dibandingkan produk Aqua.
b) Saudara Sulistyo Pramono juga mengirimkan surat
elektronik kepada Saudara M. Luthfi selaku kepala Depo
Karawang Terlapor I untuk memberikan harga
Wholeseller kepada Toko Chun-chun sebagai kebijakan
prinsipal, dimana status pemberian harga dari SO ke
Wholeseller seharusnya merupakan kebijakan distributor
dalam hal ini yaitu Terlapor II.
c) Dalam kedua surat elektronik tersebut, secara jelas
menyatakan bahwa diturunkannya Toko Chun-chun dari
SO menjadi Wholeseller merupakan akibat perbuatan
Toko Chun-chun yang menjual produk kompetitor, yaitu
Le Minerale.
d) Bahwa para terlapor telah terbukti secara bersama-sama
telah melakukan tindakan persaingan yang tidak sehat
dengan melakukan ancaman dan/atau larangan kepada
para pedagang/pemilik toko SO untuk tidak menjual
produk kompetitor. Mekanisme degradasi terhadap para
71
pedagang sehingga adanya klausul berupa larangan
menjual produk kompetitor merupakan tindakan anti
persaingan yang sengaja dilakukan untuk menghambat
pertumbuhan kompetitor.
3) Unsur Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli
dan atau Persaingan Usaha Tidak Sehat
a) Dengan tindakan para terlapor yang melarang toko SO
dengan syarat tidak boleh menjual produk pesaingnya
atas nama Le Minerale, yang seharusnya produk tersebut
dapat ditawarkan di toko tetapi menyebabkan produk
tersebut menjadi tidak tersedia di toko (availability
product).
b) Tindakan para terlapor membuat tertutupnya kesempatan
Le Minerale untuk bersaing di pasar bersangkutan
merupakan bentuk barrier to entry pelaku usaha
newcomer dalam pasal bersangkutan.
c) Tindakan Terlapor I yang telah mengeluarkan strategi anti
persaingan tersebut menyebabkan Le Minerale sebagai
kompetitor Aqua tidak bisa melakukan repeat buying.
Dengan latar belakang dan objektif yang terdapat di
dalam form sosialisasi tersebut Terlapor I telah
menghambat kompetitornya yaitu PT. Tirta Fresindo Jaya
produsen Le Minerale yang merupakan pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
4) Unsur Menolak dan atau Menghalangi Pelaku Usaha Tertentu
Untuk Melakukan Kegiatan Usaha Yang Sama Pada Pasar
Bersangkutan.
a) Tindakan Sulistyo Pramono selaku KAE Terlapor I
mengirimkan surat elektronik kepada Saudara Denny
Lasut pada tanggal 17 Mei 2016 mengenai diturunkannya
status Toko Chun-chun dari SO menjadi Wholeseller
72
karena menjual produk kompetitor dari Terlapor I. Dan
Suadara Sulistyo Pramono pun mengirimkan surat
elektronik kepada Saudara M. Luthfi selaku kepala Depo
Karawang Terlapor I untuk memberikan harga
Wholeseller kepada Toko Chun-chun sebagai kebijakan
prinsipal, dimana seharusnya yang memberikan status
pemberian harga SO ke Wholeseller ialah distributor.
b) Tindakan Saudara Sulistyo Pramono bukanlah tindakan
pribadi karena setiap tindakannya menggunakan fasilitas
perusahaan dan dilaporkan kepada atasannya secara
langsung dan berjenjang.
c) Bahwa tindakan para terlapor yang melarang toko SO
untuk menjual produk kompetitor (Le Minerale),
menyebabkan toko pada level SO tidak dapat melakukan
kegiatan usaha berupa menjual produk kompetitor.
5) Unsur Menghalangi Konsumen atau Pelanggan Pelaku Usaha
Pesaingnya Untuk Tidak Melakukan Hubungan Usaha
dengan Pelaku Usaha Pesaingnya.
a) Tindakan para terlapor tersebut yang melarang toko SO
untuk tidak menjual produk kompetitor menyebabkan
produk Le Minerale tidak tersedia di pasar. Kemudian
tindakan para telapor tersebut telah menutup akses Le
Minerale untuk bersaing secara sehat di pasar.
b) Tindakan para terlapor menyebabkan toko SO tidak dapat
melakukan hubungan usaha dengan produsen Le
Minerale sebagai pesaing dari Aqua (tidak bisa
melakukan repeat buying). Repeat buying merupakan
permintaan nyata dari konsumen yang berkontribusi
terhadap pendapatan suatu perusahaan.
c) Tindakan para terlapor tersebut menyebabkan konsumen
tidak dapat melakukan pembelian produk Le Minerale
73
pada toko-toko SO yang mengikuti kebijakan dari para
terlapor.
3. Pertimbangan Hakim Aspek Sosiologis
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping
itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.
Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik dan cermat, maka putusan
hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan
ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum atau
peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh
hukum harus ditegakkan). Nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan
bagi masyarakat. Hakim dalam memutus perkara harus melihat sumber
hukum tertulis maupun tidak serta nilai-nilai di masyarakat.
Kepatian hukum ada empat hal yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum. Pertama, hukum itu positif yaitu undang-undang
(gesetzliches recht). Kedua, bahwa hukum didasarkan pada fakta-fakta
(tatsachen), ketiga bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan jelas supaya
tidak terjadi kekeliruan dan keempat, hukum positif itu tidak boleh sering
diubah-ubah.9
Melihat dari fakta-fakta yang ada telah terbukti terjadinya suatu
pemusatan pasar oleh Terlapor I yang dibuktikan melalui keterangan saksi-
saksi pemasok produk aqua yang menyatakan produk aqua adalah produk
yang paling banyak di jual dan dicari di toko. Dalam memasarkan
produknya, Terlapor I memiliki 2 (dua) jalur distribusi yaitu jalur General
Trade dan jalur Modern Trade. Jalur General Trade yaitu dengan
9 Mukti Arto, Praktek Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2004), h.140.
74
mendistribusikan produk di pasar tradisional sedangkan Modern Trade
merupakan jalur distribusi di pasar moderen seperti minimarket,
supermarket, dan hypermarket.
Berkaitan dengan peran Terlapor I dalam pelaksanaan mekanisme
degradasi toko, menurut fakta dari Tim Investigator ditemukannya surat
elektronik (e-mail) antara pegawaiTerlapor I bernama Sulistyo Pramono
selaku KAE dari Terlapor I dengan pegawai Terlapor II yang bernama
Denny Lasut selaku Senior Sales Manager Terlapor II. Dengan alamat e-
mail pribadi mereka [email protected] dan
[email protected]. Dengan isi e-mail adalah tentang degradasi
penurunan status Star Seller menjadi Wholeseller.
Menurut kesimpulan dari Tim Investigator pada pokoknya
menyatakan para pedagang di wilayah Cibubur diharuskan untuk mengisi
form atau surat pernyataan sosialisasi yang pada pokoknya “Tidak boleh
menjual air kemasan Le Minerale”. Dengan adanya kesimpulan dari Tim
Investigator, Terlapor I menolak kesimpulan tersebut dan menyatakan tidak
pernah mengeluarkan kebijakan untuk melarang toko menjual produk Le
Minerale, baik berupa form sosialisasi maupun himbauan lisan. Sedangkan
bukti yang ada dari keterangan saksi selaku pemiliki toko SO menyatakan
pernah membuat surat pernyataan tentang form sosialisasi yang ditandatangi
oleh saksi tersebut. Form sosialisasi ini ditunjukan dan di siapkan oleh
pegawai Terlapor I dengan pegawai Terlapor II.
Bahwa jalur distribusi General Trade dipasok dengan
menggunakan jasa distributor (Terlapor II), sementara jalur distribusi
Modern Trade dipasok dengan melalui Depo yang didirikan dan/atau
dimiliki oleh Terlapor I. Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi diketahui
bahwa Terlapor I menjual sebagian besar produknya melalui distributor
yaitu bekisaran 85%-90% dari keseluruhan produk. Berdasarkan fakta yang
ada Terlapor II telah ditunjuk oleh terlapor I untuk memasarkan,
mempromosikan dan menyalurkan produk Terlapor I. Area fokus yang telah
ditetapkan oleh Terlapor II meliputi Cikampek, Cikarang, Bekasi, Babelan,
75
Pulo Gadung, Sunter, Prumpung, Kiwi, Lemah Agung, Rawagirang,
Cibubur, Cimanggis atau setidak-tidaknya wilayah jangkauan dari Terlapor
II.
Berdasarkan bukti yang ada Terlapor II mempunyai perjanjian
dengan Terlapor I dengan hanya mendistribusikan AMDK produk Terlapor
I secara ekslusif dan Terlapor I diketahui memiliki akses bebas untuk
mengaudit setiap saat lokasi pabrik, catatan-catatan perusahaan dan proses
produksi milik Terlapor II. Dengan demikian terbuktinya Terlapor I
melakukan pengawasan terhadap Terlapor II hingga ke dalam tingkat
kegiatan yang bersifat teknis. Fakta tersebut diperkuat dengan adanya
penempatan pegawai Terlapor I yang ditempatkan di kantor Terlapor II.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Terlapor I dan Terlapor II
mempunyai peran-peran atas perkara ini dimulai dari degradasi penurunan
status SO menjadi W sampai himbauan dan form sosialisasi yang
disampaikan kepada pemasok produk aqua yang berstatus SO untuk tidak
menjual produk kompetitornya yaitu produk AMDK Le Minerale.
Dampak dari kasus ini adalah bahwa perilaku para Terlapor yang
melarang pedagang untuk tidak menjual produk Le Minerale berdampak
pada produk Le Minerale selaku pesaing dari aqua menjadi tidak tersedia
lagi setidak-tidaknya di toko pedagang yang dilarang (availability product)
menjadi tidak ada. Tindakan larangan menjual produk pesaing merupakan
strategi persaingan yang dilarang karena dapat menghilangkan akses
pelanggan atau konsumen untuk mendapatkan pilihan sesuai keinginan
masing-masing.
Dampak dari tidak adanya produk secara langsung maupun tidak
langsung telah menutup akses pembeli untuk menentukan pilihan produk
mana yang diinginkan oleh pembeli. Bahwa tindakan para terlapor yang
telah mengeluarkan strategi anti persaingan tersebut menyebabkan
pesaingnya yaitu Le Minerale tidak bisa melakukan repeat buying atau
permintaan nyata dari konsumen terhadap pendapat suatu perusahaan.
76
Berdasarkan fakta dan alat bukti berkaitan dengan perilaku
Terlapor I dan Terlapor II dalam memasarkan produknya pada pasar
bersangkutan, maka Majelis Komisi menilai telah terjadi hambatan pasar
yang dialami PT. Tirta Fresindo Jaya dalam memasarkan produk Le
Minerale. Oleh karena itu, Majelis Komisi berpendapat hambatan pasar
tersebut telah mengakibatkan berkurangnya pilihan konsumen pada pasar
bersangkutan akibat berkurangnya kebebasan pelaku usaha SO dalam
menjual produk AMDK air mineral.
Dalam putusan perkara Nomor: 22/KPPU-I/2016 menurut
keputusan Majelis Komisi melanggarkan 2 Pasal yaitu Pasal 15 Ayat (3)
huruf b Tentang Perjanjian Tertutup dan Pasal 19 huruf a dan b Tentang
Penguasaan Pasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peneliti setuju dengan
keputusan Majelis Komisi tersebut akan tetapi menurut peneliti melihat dari
fakta hukum dan/atau fakta sosiologis seharusnya Majelis Komisi juga dapat
menjatuhkan atau mengenakan Terlapor I yaitu PT. Tirta Investama juga
melanggar Pasal 25 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Posisi Dominan, bahwasannya selain telapor melanggar perjanjian
tertutup dan penguasaan pasar sebagaimana telah di putuskan oleh Majelis
Komisi terlapor juga telah melanggar ketentuan tentang posisi dominan
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Anti Monopoli.
Dalam Undang-Undang Anti Monopoli terdapat kegiatan yang
dilarang dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 24, yang dalam artinya pasal-
pasal tersebut adalah kegiatan yang memang dilarang oleh Undang-Undang
Anti Monopoli. Jika peneliti lihat lagi di dalam putusan Nomor 22-KPPU-
I/2016 syarat dari penguasaan Pasar Pasal 19 berdasarkan Keterangan Ahli
bahwa Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diterapkan oleh
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dan market power. Hal ini
sesuai Keterangan Ahli Prof. Ine Minara S Ruky, S.E., M.E yang
mengatakan Pasal 15 Ayat 3 huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b masuk
kategori penyalahgunaan posisi dominan secara substansi.
77
Jadi, mengidentifikasikan apakah pelaku usaha yang diduga terlibat
pasal tersebut harus diidentifikasikan punya posisi dominan atau tidak,
namun itu tidak cukup harus ada juga perusahaan itu memiliki market
power. Karena posisi dominan tanpa market power itu tidak ada artinya.
Market power adalah kemampuan perusahaan untuk menaikkan harga di
atas tingkat harga kompetitif dalam jangka lama. Jadi, ketika suatu
perusahaan menikkan harga tetapi para konsumennya tidak akan
meninggalkan perusahaan tersebut karena memiliki market power.
Untuk mengidentifikasi posisi dominan ini dimulai dengan
mengidentifikasi pasar bersangkutan, karena posisi dominan di dalam
pengertian antitrust. Jadi, penguasaan pasar yang besar dalam pengertian
antitrust itu berbeda dengan ekonomi market. Dalam pengertian antitrust
ekonomi itu adalah antitrust law, keduanya harus dihubungkan dengan
kekuatan pasar yang dimiliki sehingga posisi dominan harus dihitung dari
pasar yang bersangkutan. Definisi dari relevant market itu sangat penting
dalam menangani pasal yang menyangkut penyalahgunaan posisi dominan.
Keterangan Ahli tersebut sesuai dengan Peraturan Komisi No. 3
Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 19 huruf d Tentang Praktek
Diskriminasi yang menyatakan, pemilikan posisi dominan, atau pemilikan
kekuatan pasar yang signifikan, atau pemilikan faktor-faktor khusus
merupakan pra kondisi (necessary condition) atau indikasi awal bagi
terciptanya kegiatan penguasaan pasar oleh pelaku usaha. Pengertian
mengenai penguasaan pasar sebagaimana dinyatakan di atas mencakup
keseluruhan Pasal 19, termasuk Pasal 19 huruf a dan b.
Dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pelaku
usaha dilarang memiliki posisi dominan di pasar dimana tempat ia
melakukan kegiatan usaha. Sedangkan Undang-Undang itu bersifat kaku.
Artinya posisi dominan bukanlah kegiatan atau bukanlah perbuatan yang
dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli tetapi yang dilarang oleh
Undang-Undang Anti Monopoli adalah pelaku usaha yang memiliki posisi
dominan namun melakukan kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh hukum
78
persaingan usaha. Maka peneliti melihat unsur-unsur dari Pasal 25 tentang
Posisi Dominan dalam perkara ini adalah sebagai berikut:
1. Unsur Pelaku Usaha
a. Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara ini adalah PT.
Tirta Investama (Terlapor I) dan PT. Balina Agung Perkasa
(Terlapor II)
b. Bahwa PT. Tirta Investama merupakan badan usaha berbentuk
badan hukum yang didirikan berdasarkan Akta Pendirian Perusahaan
Nomor 142 tanggal 16 Juni 1994 yang dibuat oleh Rachmat Santoso,
S.H Notaris di Jakarta dan terakhirdiubah dengan akta perubahan
Nomor 100 tanggal 26 April 2016 yang dibuat oleh Linda Herawati,
S.H Notaris di Jakata Pusat serta telah mendapat pengesahan dari
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
AHU-AH.01.03-0044158 Tahun 2016 28 April 2016.
c. Dan PT. Balina Agung Perkasa merupakan badan usaha berbentuk
badan hukum yang didirikan berdasarkan Akta Pendirian Perusahaan
Nomor 33 tanggal 8 Juli 1999 yang dibuat oleh Dr. Purbandari,
S.H.,M.Hum.,MM.,M.kn. Notaris di Jakarta dan terakhir diubah
dengan akta perubahan Nomor 09 tanggal 15 Oktober 2016 yang
dibuat oleh Rahayu Minarti, S.H Notaris di Jakarta Pusat serta telah
mendapat pengesahan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor AHU-AH.01.03-0091305 Tahun 2016
Tanggal 20 Oktober 2016.
2. Unsur Pelaku Usaha Dilarang Menggunakan Posisi Dominan Baik
Secara Langsung Maupun Tidak Langsung
a. Bahwasannya tindakan Terlapor I dan Terlapor II yang bersama-
sama telah menghalangi kompetitornya untuk melakukan kegiatan
usaha di pasar yang sama dengan cara mengancam para pedagang
SO akan didegradasi apabila menjual produk pesaing mereka yaitu
Le Minerale.
79
b. Tindakan Terlapor I selaku produsen dari Aqua menyadari
keberadaan produknya yang paling banyak dicari di pasar
bersangkutan, sehingga mampu untuk mengancam para pedagang
SO.
3. Unsur Pelaku Usaha Memiliki Posisi Dominan
a. Dengan terbuktinya para terlapor melakukan unsur-unsur kegiatan
yang dilarang dalam Pasal 19 tentang Penguasaan Pasar, dimana
menurut ahli penguasaan pasar ialah yang memiliki kepemilikan
market power. Yang mana para terlapor tahu bahwa keberadaanya
sangat dicari oleh konsumen sehingga kebanyakan pedagang SO
segan untuk tidak loyal pada AQUA yang mengakibatkan mereka
akan didegradasikan. Karena perbandingan harga SO dan
Wholeseller yang lumayan jauh.
b. dan atau pemilikan posisi dominan, atau pemilikan kekuatan pasar
yang signifikan, atau pemilikan faktor-faktor khusus merupakan pra
kondisi (necessary condition) atau indikasi awal bagi terciptanya
kegiatan penguasaan pasar oleh pelaku usaha.
Bahwasannya ketika suatu pelaku usaha memiliki posisi dominan
bukanlah suatu tindak pidana atau bukanlah suatu tindakan yang melanggar
hukum. Namun ketika pelaku usaha tersebut melangar atau melakukan
kegiatan yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli menggunakan
posisi dominan nya maka pelaku usaha bisa dikatakan melanggar hukum.
Selain Majelis Komisi kurang tepat dalam mengenakan sanksi
menurut peneliti Undang-Undang yang dijadikan dasar hukum Undang-
Undang Anti Monopoli belum sempurna dan masih harus disempurnakan
Dilihat dari Pasal 48 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999
dikatakan “Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan
Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 28
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh
lima milyar) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000 (seratus milyar
80
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam)
bulan.”
Tetapi denda yang dikenakan kepada para terlapor hanya denda
administratif dan menghukum Terlapor 1 denda sebesar Rp. 13.845.450.000
(tiga belas milyar delapan ratus empat puluh lima juta empat ratus lima
puluh ribu rupiah) dan denda terhadap Terlapor II sebesar Rp.
6.294.000.000 (enam milyar dua ratus sembilan puluh empat juta rupiah).
Yang dimana para terlapor telah melanggar Pasal 19 tentang Penguasaan
Pasar, yang seharusnya kedua terlapor dikenakan denda lebih besar dari
yang seharusnya dibayarkan yaitu serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000
(dua puluh lima milyar rupiah). Disini KPPU hanya mengenakan sanksi
administratif saja. Karena dinilai KPPU telah melampaui batas
kewenangannya. Mengacu pada Pasal 36 Undang-Undang Anti Monopoli
salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan
menyimpulkan hasil penyelidikan mngenai ada tidaknya praktik monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Jadi, dapat dilihat kalau dasar hukum Undang-Undang Anti
Monopoli adalah Undang-Undang yang belum sempurna. Dasar hukum
tentang persaingan usaha di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 itu masih sangat amat bersifat tidak jelas karena di dalam
Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa
KPPU dapat mengenakan sanksi administratif dan sanksi pidana pokok.
Namun dalam implementasinya KPPU hanya dapat mengenakan sanksi
administratif yang dimana sanksi tersebut yang dikenakan KPPU kepada
pelaku usaha tidak akan memberikan efek jera melihat rendahnya
pengenaan denda antara sanksi administrtif dengan sanksi pidana denda
sebagaimana diatur dalam Pasal 47 dengan Pasal 48 Undang-Undang Anti
Monopoli. Karena kalau kita lihat kembali tentang pembahasan sanksi
tentang Undang-Undang Anti Monopoli saat ini bahwa dapat kita lihat
bahwasannya KPPU diberikan kewenangan dalam Undang-Undang untuk
mengenakan sanksi administratif terhadap dan sanksi pidana terhadap
81
pelaku usaha yang melanggar Undang-Undang Anti Monopoli namun amat
sangat disayangkan dalam implementasinya KPPU hanya dapat
mengenakan sanksi administratif yang dikenakan oleh KPPU terhadap para
pelanggar persaingan usaha di Indonesia apabila kita bandingkan dengan
sanksi pidana pokok sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Anti
Monopoli itu sendiri.
Oleh karena itu, menurut hemat peneliti sudah waktunya bagi
Negara Indonesia dan Pemerintah untuk segera melakukan reformulasi atau
revitalisasi Undang-Undang Anti Monopoli itu sendiri sehingga Undang-
Undang Anti Monopoli ataupun implementasian Undang-Undang Anti
Monopoli oleh KPPU kedepannya akan menciptakan hukum persaingan
usaha yang sehat dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-
Undang 1945. Karena sebagaimana telah di amanatkan oleh filosofis Negara
Indonesia yakni Pancasila sila ke 5 yaitu keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia dan pembukaan Undang-Undang 1945 yang dimana
menginginkan Negara Indonesia menjadi negara yang mampu
mensejahterakan seluruh rakyatnya yang dimana cita-cita tersebut
merupakan ide serta pemikiran dari para founding father kita yang
menginginkan Negara Indonesia menjadi negara kesejahteraan di masa
mendatang.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai persaingan usaha tidak sehat air
minum dalam kemasan antara PT. Tirta Investama dengan distributornya yaitu
PT. Balina Agung Perkasa sebagai studi analisis ditemukan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Analisis peneliti menunjukan bahwa perkara pada putusan KPPU Nomor
22/KPPU-I/2016 telah memenuhi unsur-unsur persaingan usaha tidak sehat
yaitu perjanjian tertutup yaitu: unsur pelaku usaha, unsur perjanjian, unsur
mengenai harga atau potongan harga, unsur barang, unsur memuat
persyaratan tidak akan membeli barang, dan unsur tidak akan membeli
barang dari pelaku usaha pesaing. Lalu kegiatan penguasaan pasar telah
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: unsur pelaku usaha, unsur
melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku
usaha, unsur dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat, unsur menolak dan atau menghalangi pelaku
usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan, dan unsur menghalangi konsumen dan pelanggan pelaku
usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya. dan posisi dominan yaitu: unsur pelaku usaha, unsur
pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung dan unsur pelaku usaha memiliki posisi dominan.
2. Dari hasil pertimbangan-pertimbangan yang ada maka Pertimbangan Hakim
ditinjau dari beberapa aspek yaitu, Aspek Filosofis, Aspek Yuridis dan
Aspek Sosiologis.
a. Aspek Filosofis
Bahwasannya mengapa persaingan usaha di Indonesia harus sehat karena
selain karena amanat undang-undang namun juga dikarenakan persaingan
usaha yang tidak sehat berdampak kepada pelaku usaha lain dan tentu
81
saja pasti akan berimbas pada kemakmuran rakyat. Dampak tersebut
telah mencederai dan menyebabkan Negara Indonesia menjadi negara
yang gagal untuk menciptakan kesejahteraan di negerinya sendiri.
Bahwasannya perbuatan-perbuatan melanggar hukum dimana telah
dijabarkan diatas adalah perbuatan-perbuatan yang apabila dilihat dari
aspek filosofis telah melanggar cita-cita pendiri bangsa untuk menjadikan
Negara Indonesia sebagai Negara yang berkesejahteraan (walfare state)
yang mana cita-cita tersebut dibangun dari landasan filosofis yang
terkandung dan bersumber dari sila keliman Pancasila yang berbunyi
“keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” dan Pembukan UUD 1945 yang
berbunyi “...melindungi segenap bangsa Indonesia” kedua paradigma
tersebut menjadi landasan untuk pembangunan ekonomi yang mengarah
pada terwujudkan kesejahteraan rakyat dengan mengatur persaingan
usaha di Indonesia.
b. Aspek Yuridis
Bahwasannya para terlapor telah memenuhi semua unsur-unsur
pelanggaran hukum yang mereka lakukan. Dengan terbuktinya para
terlapor melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 15
Ayat (3) huruf b tentang Perjanjian Tertutup dan Pasal 19 huruf a dan b
tentang Penguasaan Pasar.
c. Aspek Sosiologis
Dilihat dari fakta-fakta yang ada telah terjadinya suatu pemusatan pasar
oleh Terlapor I yang dibuktikan melalui bukti-bukti dan keterangan para
saksi pemasok produk Aqua yang menyatakan produk Aqua adalah
produk yang paling banyak dijual dan dicari di toko. Sehingga para
pedagang yang berstatus SO akan diturunkan statusnya menjadi
Wholeseller apabila diketahui oleh pihak Terlapor I menjual produk dari
pesaingnya yaitu Le Minerale. Faktanya, dampak dari perilaku para
terlapor yang dianggap melanggar peraturan perundang-undangan anti
monopoli membuat tertutup nya akses produk dari pesaingnya yaitu Le
82
Minerale menjadi susah dijangkau di dalam pasar besangkutan. Menurut
keterangan ahli Prof. Ine Minara S. Ruky, S.E., M.E yang mengatakan
syarat dari penguasaan pasar itu sendiri pemilikan posisi dominan, atau
pemilikan kekuatan pasar yang signifikan, atau pemilikan faktor-faktor
khusus merupakan pra kondisi atau indikasi awal bagi terciptanya
kegiatan penguasaan pasar oleh pelaku usaha. Apabila dilihat kembali
berdasarkan bukti-bukti dan para saksi yang ada para terlapor telah
memenuhi unsur Pasal 19 tentang Penguasaan Pasar, yang mana menurut
peneliti pasal tersebut telah memenuhi unsur Pasal 25 tentang Posisi
Dominan secara tidak langsung.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam penulisan
skripsi ini maka saya sebagai peneliti ingin memberikan beberapa saran yang
dianggap peneliti perlu untuk dilakukan, yaitu:
1. Menurut peneliti sudah waktunya bagi Negara Indonesia dan Pemerintah
untuk segera melakukan reformulasi Undang-Undang Anti Monopoli
ataupun implementasian Undang-Undang Anti Monopoli oleh KPPU
kedepannya akan menciptakan hukum persaingan usaha yang sehat dan
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang 1945.
2. Reformulasi Undang-Undang tersebut juga dititikberatkan pada tambahan
kewenangan KPPU, khususnya agar implementasi dari Pasal 48 tentang
Pidana Pokok teralisasi untuk memiliki seutuhnya kewenangan untuk
melakukan sanksi pidana pokok terhadap para pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, agar
para pelanggar persaingan usaha memiliki rasa jera terhadap putusan KPPU.
Apabila muncul ketakutakan akan adanya tumpang tindih kewenangan
KPPU untuk memutus perkara persaingan usaha, maka diperlukannya
kejelasan mengenai unsur-unsur perbuatan apa saja yang dilakukan oleh
pelanggar undang-undang antimonopoli yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana.
81
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Buchari. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Alfabeta.
2016.
Annual Report Aqua Danone. 2012.
Annual Report PT. Aqua Golden Mississippi. 2010.
Annual Report PT. Mayora Indah Tbk. 2016.
Arifin, Lisca Vontya. Jurnal Tinjauan Yuridis Terhadap Persekongkolan Tender
Berdasarkan Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. JOM, Vol. 2. Februari
2015.
Arto, Mukti. Praktek Perdata pada Pengadilan Agama, cet V Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2004.
Asshidiqie, Jimly. Gagasan Negara Hukum Indonesia.
(http://www.jimly.com/makalah/namafile/57/konsep_negara_hukum_ind
onesia.pdf)
Bintang, Sanusi dan Dahan. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000.
Chalid, Hamid. Hak-hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di
Belanda, India dan Indonesia. Jakarta: Program Doktor fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2009.
Deril, M. dan Noviriana, Jurnal Uji Parameter Air Minum Dalam Kemasan
(AMDK) di Kota Surabaya. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, Vol.6.
Universitas Pembangunan Nasional Surabaya. 2014.
Dewata, Mukti Nur dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris. Jakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Fandi, Tjipto. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2002.
82
Fendy. Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Mendorong
Persaingan Usaha Yang Sehat Di Sektor Motor Skuter Matic.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2016.
Fuadi, Ariza. Jurnal Negara Kesejahteraan (welfare State) Dalam Pandangan
Islam dan Kapitalisme, No.1, Vol.5. Semarang: Juni 2015.
Fuady, Munir. Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat.
Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. 1999.
___________. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2005.
Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta:
Kencana. 2009.
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.I.
Malang: Bayumedia Publishing. 2006.
Imaniyati, Neni Sri. Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan
Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.
Kagramanto, L. Budi. Mengenal Hukum Persaingan Usaha Berdasarkan UU
Nomor 5 Tahun 1999. Surabaya: Laros. 2008.
Kamal, Mustafa. Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya Di Indonesia.
Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2010.
Kansil, C.S.T. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia.
Kotler, Philip dan Gary Amstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
2008.
Lubis, Andi Fahmi, Anna Maria Anggraini, dkk. Hukum Persaingan Usaha
Antara Teks dan Kontex. Jakarta: ROV Creative Media. 2012.
Makarao, Mohammad Taufik dan Suharsil. Hukum Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2011.
Prayoda, Ayudha D. Persaingan Usaha dan Hukum yang mengaturnya, Jakarta:
ELIPS. 2000.
Putra, Rizky Novyan. Urgensi Keberadaan Hukum Persaingan Usaha dan
Antimonopoli Di Indonesia. Business Law Review, Vol. 1.
83
Rapar, J.H. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: Rajawali. 1988
Rifa’i, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.
Jakarta: Sinar Grafika. 2010
Simbolon, Alum. Pendekatan Yang Dilakukan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha menentukan Pelanggaran Dalam Hukum Persaingan Usaha.
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No.2, Vol.20. Medan: April 2013.
Siswanto, Aries. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2010.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Press. 2001.
________________. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 2001.
Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2004.
Wiradiputra, Ditha. Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan
Usaha. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2008.