Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah ...
-
Upload
margaretha-quina -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
Transcript of Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah ...
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
1/15
Untuk dirilis segera
[BAHASA INDONESIA]
Pernyataan bersama:
Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampahuntuk Energi di 7 Kota
Kontak person:
Nur Hidayati, WALHI - 081316101154, email: [email protected]
Yuyun Ismawati, BaliFokus 08123 661 5519, email: [email protected]
Margaretha Quina, ICEL 081287991747, email: [email protected]
Jakarta, 9 Februari 2016
Kami, masyarakat sipil Indonesia, mewakili berbagai organisasi yang bergerak di bidang
kesehatan masyarakat, perlindungan lingkungan hidup, serta persampahan, menyayangkan
Pernyataan Presiden untuk mendorong pengolahan sampah menjadi listrik di 7 kota dengan
teknologi termal tanpa mempertimbangkan strategi pengelolaan sampah secara utuh, dari hulu
sampai ke hilir, dampak terhadap lingkungan dan kesehatan, aspek keberlanjutan sistem,
pengurangan emisi CO2, dan circular economy.
Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit
Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Bandung, Kota Surabaya, dan KotaSurakarta (27 Januari 2016) yang kami terima mendorong teknologi termal dan secara spesifik
menyebutkan definisi teknologi pembangkit listrik dari sampah melalui teknologi termal meliputi
gasifikasi, insinerator, dan pirolisis (Pasal 1) yang sebetulnya merupakan teknologi kotor dan
tidak sesuai dengan pendekatan Zero Waste yang sebenarnya.
Rancangan Perpres sedikitnya perlu mempertimbangkan berbagai norma dan peraturan
perundangan yang relevan seperti UU Pengelolaan Sampah, UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kesehatan, UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistemnya, UU Sumber Daya Air, UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, UU
Perlindungan Anak, UU Persaingan Usaha, Peraturan Pemerintah tentang Pengadaan Barang
dan Jasa, beserta seluruh peraturan turunannya.
Dalam kaitan antara pembangkit listrik berbasis sampah, atau waste to energy (WTE) di
Indonesia dengan komitmen internasional, beberapa konvensi dan perjanjian lingkungan
multilateral seperti Konvensi Stockholm tentang Penghapusan Pencemar Organik Persisten,
Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (termasuk Perjanjian Paris COP-21), Konvensi
Hak-hak Anak, dan segala produk hukum yang dibuat Indonesia sebagai konsekuensi
1
mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected] -
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
2/15
konvensi-konvensi tersebut perlu dipertimbangkan. Hal ini penting dilakukan agar kebijakan
yang diarahkan Presiden sejalan dengan komitmen Indonesia di forum global yang sudah
disampaikan di forum-forum yang relevan.
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Konvensi Stockholm, dimana Indonesia juga
merupakan
party(sudah meratifikasi), pemerintah negara-negara anggota Konvensi Stockholmwajib memprioritaskan pengurangan sampah sebelum konstruksi insinerator dibangun, untuk
mencegah hilangnya sumberdaya dan melindungi kesehatan manusia.
Pemerintah juga wajib melakukan kajian perbandingan antara usulan solusi dengan insinerator,
alternatif-alternatif yang ada dan peraturan perundang-undangan, dalam konteks pembangunan
berkelanjutan dan memperhitungkan faktor-faktor lingkungan, kesehatan, keselamatan, dan
faktor-faktor sosial-ekonomi.
Secara umum Rancangan Peraturan Presiden ini berlawanan dengan tujuan pengelolaan
sampah yang tercantum pada Pasal 4 UU No. 18 tahun 2008, yaitu Pengelolaan sampahbertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan
sampah sebagai sumber daya serta asas-asas yang mendasari undang-undang tersebut.
Beberapa poin yang patut dikritisi dan dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1. WTE teknologi termal beresiko akan membahayakan kesehatan masyarakat dan
lingkungan. Prinsip Kehati-hatian Dini (precautionary principle)seharusnya diterapkan
sebelum memutuskan pilihan teknologi baru. Meningkatkan kesehatan masyarakat
menjadi mandat UU Pengelolaan Sampah No.18/2008 dan UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009. Kajian lingkungan wajib dilakukan untukproyek-proyek yang berisiko menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan
kesehatan masyarakat, dan wajib diintegrasikan ke dalam Kebijakan, Rencana dan
Program (KRP). Pengolahan sampah dengan teknologi termal, terlebih dengan
insinerator, gasifikasi, pirolisis, akan meningkatkan lepasan dan sebaran senyawa dan
bahan berbahaya beracun/toksik yang terkandung di dalam sampah, terutama bila
sampah mengandung bahan toksik seperti klorin dan berbagai logam berat. Lepasan
dan sebaran B3/toksik ke udara, air dan tanah akan meningkat pesat dihasilkan oleh
WTE teknologi termal. Diantara emisi WTE terdapat dioksin dan furan, yang bersifat
carcinogenic (pencetus kanker) dan sudah disepakati dalam kesepakatan global untuk
dicegah dan dikurangi lepasannya. Sebagai negara pihak Konvensi Stockholm tentang
Pencemar Organik yang bersifat Persisten, sebagaimana diratifikasi dengan UU No. 19
Tahun 2009, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengurangi dan/atau menghentikan
lepasan dioksin dan furan dari produksi yang tidak disengaja.
2. Membakar sampah organik sama dengan membakar air. Instalasi pembakaran
sampah hanya akan menjadi pembangkit listrik tenaga batubara yang kotor dengan
tambahan sampah kota di dalamnya. Pasal 29 tentang Larangan dalam UU Pengelolaan
2
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
3/15
Sampah No. 18/2008, ayat 1 (g) menyatakan bahwa dilarang untuk membakar sampah
yang tidak layak teknis. Karakteristik sampah Indonesia didominasi oleh sampah
organik (67%) dengan kelembaban tinggi, bernilai kalor rendah dan tidak layak bakar.
Membakar sampah yang basah akan membutuhkan ekstra BBM atau batu bara untuk
mengeringkan dan membakarnya. Saat batubara atau BBM ditambahkan ke dalam
tungku pembakar sampah, emisi dan lepasan dari instalasi insinerator berpotensimengandung racun dan zat-zat pencemar yang bersifat persisten. Sisa pembakaran
berupa abu, abu terbang, slag dan limbah cair, perlu ditangani secara serius.
3. Dampak negatif WTE pada generasi masa datang dan generasi sekarang:
peningkatan emisi CO2, lepasan senyawa-senyawa B3, krisis sumberdaya alam
dan krisis energi. Aspek peningkatan kualitas hidup dengan asas keberlanjutan pada
UU 18/2008 yaitu pengelolaan sampah dilakukan dengan menggunakan metode dan
teknik yang ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan masyarakat dan lingkungan, baik pada generasi masa kini maupun pada
generasi yang akan datang. WTE teknologi termal akan meningkatkan emisi karbon,peningkatan konsumsi bahan mentah atau virgin materials serta pemborosan energi
pada proses produksi.
4. Konversi sampah sebagai sumber daya energi ada pada tingkat terakhir dalam
hirarki pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah yang didorong di seluruh dunia
saat ini adalah adalah pengurangan (waste prevention), disain ramah lingkungan (green
design), dan daur ulang atau konversi materi dalam kerangka pendekatan zero waste
yang mengintegrasikan pola-pola keberlanjutan produksi dan konsumsi. Pemerintah
seharusnya membuat kebijakan yang jelas untuk kerangka pengelolaan sampah
nasional, termasuk prioritas daur ulang sampah menjadi sumberdaya material lainnya,sebelum membuat kebijakan konversi energi di tempat pembuangan akhir.
5. Pemenuhan energi dari sumber daya baru yang terbarukan dari sampah dan
biomassa untuk mengatasi krisis energi terlalu reduksionis dan berlawanan
dengan konsep UU 18/2008. UU Pengelolaan Sampah mengatur persoalan sampah
dari hulu sampai ke hilir. Sampah atau limbah tidak dapat digolongkan sebagai sumber
daya terbarukan. Pemusnahan material yang terjadi di akhir rantai (end of pipe) akan
meningkatkan kecepatan aliran arus sampah, yang berarti peningkatan intensitas
eksploitasi bahan tambang serta industri terkait untuk memproduksi material atau
barang yang akan mengkonsumsi lebih banyak energi daripada yang diproduksi dari the
end of pipe.
6. Sampah adalah urusan publik, pengelola Sampah Kota harusnya adalah sebuah
lembaga OPD (Organisasi Pemerintah Daerah). OPD yang dibentuk atau ditugaskan
harus mampu menjalankan fungsi perumusan dan implementasi kebijakan teknis dan
melakukan koordinasi antar instans untuk mengelola sampah secara menyeluruh dari
hulu sampai ke hilir. Pada pasal 1 ayat 2, Pengelola Sampah Kota didefinisikan sebagai
3
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
4/15
badan usaha yang menandatangani kontrak kerjasama dengan Pemerintah Daerah
untuk mengelola sampah kota melalui penanganan sampah. Ini dapat menjadi arahan
yang dapat berlawanan dengan asas tanggung jawab pada UU 18/2008. Kemitraan
dengan badan usaha dimungkinkan tetapi pada tingkat implementasi yang lebih teknis
dan bukan pada pengelolaan sampah secara keseluruhan, untuk memastikan integritas
pemerintahan kota dalam melaksanakan arahan UU 18/2008 dan aturan turunannya.
7. Penunjukan langsung pengelola proyek harus mengikuti aturan yang ada.
Proyek-proyek penunjukan langsung rawan korupsi, kolusi dan nepotisme. Jika dana
APBN dan dana publik dapat dialokasikan untuk proyek pembangkit listrik dari sampah,
seharusnya dana yang sama juga dapat digunakan untuk kegiatan peningkatan
pengelolaan sampah secara umum. Penunjukan langsung wajib mengikuti Peraturan
Pemerintah No. 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan tidak
bertentangan dengan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Prinsipnya, jika pemerintah memiliki opsiuntuk mengadakan lelang, maka lelang harus diutamakan. Jika penunjukan langsung
tidak memenuhi kriteria keadaan tertentu dan/atau pengadaan barang khusus /
pekerjaan konstruksi khusus / jasa lainnya yang bersifat khusus, hal ini beresiko bagi
Pemerintah karena dapat mengarah ke temuan audit baik oleh BPK, Bawasda maupun
Inspektorat.
8. Rancangan Peraturan Presiden berlawanan dengan tujuan pengurangan,
pencegahan timbulan sampah, daur ulang, pengomposan dan TPA sanitary
landfill dengan tangkapan gas metan. Pemerintah daerah seharusnya didorong untuk
membuat kebijakan pengurangan timbulan sampah, meningkatkan daur ulang,pengomposan, meningkatkan efektifitas and efisiensi pengangkutan sampah dan
memperbaiki pengolahan sampah di TPA daripada diminta memastikan
ketersediaan/pasokan sampah dengan kapasitas minimal 1000 (seribu) ton per hari.
Pemerintah kota/kabupaten harus didorong untuk mentargetkan capaian pemilahan
sampah, pengolahan sampah organik dengan pengomposan lalu sampah anorganik
untuk didaur ulang sedekat mungkin di sumber timbulan atau di tingkat kawasan.
Persentase sampah yang diangkut dan dikelola di TPA juga harus ditargetkan menurun.
Upaya-upaya di atas sejalan dengan pendekatan zero waste yang dianut di seluruh
dunia dan lebih ramah iklim karena menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) lebih
rendah dari praktek yang ada selama ini (Business as Usual).
9. Pendanaan APBN yang diprioritaskan kepada PLTSa, menunjukkan bahwa
kebijakan ini bertentangan dengan asas keadilan, karena bias keberpihakan pada
pengusaha-pengusaha besar. Asas keadilan mengharuskan pemerintah memberikan
dukungan yang adil kepada semua pelaku usaha maupun masyarakat. Tidak ada dasar
yang kuat bahwa pelaku usaha teknologi termal akan berkontribusi lebih baik dalam
pengelolaan sampah dibandingkan dengan pelaku usaha jenis teknologi pengelolaan
4
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
5/15
sampah skala kecil maupun berbagai inisiatif masyarakat. Beberapa proyek sampah
yang melibatkan swasta di daerah-daerah belum ada yang mampu menunjukkan kisah
sukses yang dapat ditiru dan masih sarat isu korupsi.
10.Investasi pembangkit listrik dari sampah paling tinggi dibandingkan dengan
investasi pembangkitan energi dari sumber daya lainnya.
Insentif yang diberikanuntuk harga listrik yang berasal dari pembangkit energi dari sampah yang diproses
dengan teknologi kotor akan mengalahkan sumber energi lain yang lebih ramah
lingkungan. Sejalan dengan strategi pengurangan jejak karbon dan mitigasi perubahan
iklim, sumber-sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari yang melimpah di
Indonesia seharusnya mendapat prioritas.
11.Secara keseluruhan, tanpa pemenuhan mandat berbagai UU dan harmonisasi
dengan berbagai kebijakan lainnya sebagaimana disebutkan atas, Perpres ini
rawan upaya hukum. Dari segi kesesuaian isi peraturan ini dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, Perpres ini beresiko diuji materiilkarena tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan beberapa UU yang disebutkan di
atas, termasuk dengan produk hukum yang mengukuhkan komitmen-komitmen global
Indonesia. Upaya hukum lain yang merupakan risiko adalah Citizen Law Suit (CLS),
yang dapat diajukan oleh warga negara dengan alasan terlanggarnya hak konstitusional
warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin dalam
Pasal 28 UUD 1945.
Penutup
Mengatasi urgensi kondisi sampah perkotaan dengan mendorong teknologi thermal tidak akan
memberikan perubahan banyak. Persoalan sampah perkotaan seperti sanitasi dan polusi
estetis seperti bau dan kekumuhan, terjadi karena sampah organik yang tidak terkelola.
Sampah organik ini mencakup 60-70% sampah kota dan lebih dari 60% adalah sisa makanan
yang tidak layak bakar. Pengelolaan sampah organik yang efektif adalah melalui pemilahan dan
pengolahan WTE anaerobic digestion, yang memberikan manfaat energi dan pupuk organik,
dikombinasi dengan pengkomposan aerob.
Seluruh proses tersebut jika diterapkan lebih dekat ke sumber (sistem desentralisasi) akan jauh
lebih murah, praktis untuk diterapkan, dan berkelanjutan. Hambatan pengelolaan sampah
selama ini lebih pada komitmen politik pemerintah daerah untuk menjalankan sistem skala kota
secara berkelanjutan. Saat ini yang dibutuhkan adalah peta jalan (road map) pengelolaan
sampah Indonesia secara terpadu dengan pendekatan prinsip zero wastes.
5
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
6/15
Berdasarkan kajian kritis dan pertimbangan yang kami sampaikan, kami menilai bahwa
Rancangan Peraturan Presiden tentang percepatan pembangunan listrik berbasis sampah perlu
dikaji dan dievaluasi kembali agar sejalan dengan mandat UU Pengelolaan Sampah.
Kami berharap, kebijakan mendorong pembangkitan listrik berbasis sampah ini tidak
tergesa-gesa untuk ditetapkan. Hal ini mengingat teknologi yang akan diterapkan mengandungrisiko yang tinggi baik dari segi pencemaran lingkungan, kesehatan masyarakat maupun sistem
pengelolaan sampah nasional yang semakin jauh dari tujuan UU 18/2008.
SELESAI
Kontak lebih jauh:
1. Dadan Ramdan, WALHI Jawa Barat 082116759688, email: [email protected]
2. David Sutasurya, YPBB - 0813 2017 6832, email: [email protected]
3. Titiek Sasanti, Gita Pertiwi Solo - 08132 9989 384, email: [email protected]
4. Wawan Some, Nol Sampah Surabaya - 0878 5417 0444, email: [email protected]
6
mailto:[email protected] -
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
7/15
For Immediate Release
[ENGLISH]
Joint Statement
Response to the Presidents Policy Encouraging Municipal Waste Burning
for Energy in 7 Cities
Contact Person:
1. Nur Hidayati, WALHI - 081316101154, email: [email protected]
2. Yuyun Ismawati, BaliFokus 08123 661 5519, email: [email protected]
3. Margaretha Quina, ICEL 081287991747, email: [email protected]
Jakarta, February 9th, 2016
We, the Indonesian civil society, representing various organizations working in the field of public
health, environmental protection, and waste management, regret the statement made by thePresident to encourage the processing of waste into electricity in seven cities with thermal
technology without considering the waste management strategy as a whole, from upstream to
downstream, the impact on the environment and health, sustainability aspects of the system,
the reduction of CO2 emissions, and circular economy.
A draft of the Presidential decree (the draft Decree) regarding the Acceleration of
Waste-Based Power Plant in Jakarta, Bandung, Surabaya and Surakarta (dated January 27,
2016) that we have received, encouraging thermal technology and specifically mention the
definition of technology of electricity generation from waste through thermal technologies
include gasification, incineration and pyrolysis
(Article 1) which actually considered as dirtytechnologies and does not correspond to the actual Zero Waste approach.
The draft decree at least need to consider various norms and relevant laws and regulations
such as the Law on Waste Management, the Law on the Protection and Management of
Environment, Health Law, the Law on Conservation of Biological Resources and Its
Ecosystems, Water Resources Act, Food Act, Consumer Protection Act, the Child Protection
Act, the Anti Monopoly and Unhealthy Competition Law, Government Regulation on
Procurement of Goods and Services, and all derivatives regulation.
In relation to international commitments, waste to energy (WTE) facilities in Indonesia needs to
take into account conventions and multilateral environmental agreements such as the
Stockholm Convention on the Elimination of Organic Pollutants Persistent, Framework
Convention on Climate Change (including the Treaty of Paris COP-21), the Convention on the
rights of the Child, and all laws developed by Indonesia as a consequence of these conventions.
It is important to ensure that the policies directed by the President will be in line with the
commitments of Indonesia in several global forums.
7
mailto:[email protected]:[email protected] -
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
8/15
Global agreement outlined in the Stockholm Convention, which Indonesia is also a party
(already ratified), require the government of the member countries to prioritize waste reduction
before the construction of the incinerator is built, to prevent the loss of resources and to protect
human health.
The government also shall conduct comparative studies between the proposed solution to theincinerator, alternatives exist and legislation, in the context of sustainable development and take
into account environmental factors, health, safety, and social-economic factors.
In general, the draft Decree is in contrary to the purpose of waste management, specifically the
Article 4 of Law No. 18 year 2008. The article explicitly states the purpose of the management
of waste is to improve public health and environmental quality as well as to utilize waste as a
resource. It is also in contrary to the principles underlying these laws.
Some points worth criticized and considered are as follows:
1. WTE with thermal technology could endanger public health and the environment. The
precautionary principle should be applied before deciding on promoting or implementing new
technologies. The Waste Management Act (Law No.18 / 2008) and Law on Environmental
Protection and Management (Law No. 32/2009) mandates the government to improve public
health. The Strategic Environmental Assessment (SEA or Kajian Lingkungan Hidup Strategis)
is mandatory for projects that are likely to cause negative impacts on the environment and
public health, and shall be integrated into the level of Policy, Plan and Program (Kebijakan,
Rencana dan Program). Thermal waste treatment technology, especially incineration,
gasification, or pyrolysis, will increase the release and spread of toxic substances and
hazardous materials / toxic contained in the garbage. The release and spread of hazardouspollutants in the air, water and land will increase rapidly as a byproducts of WTE thermal
technology. Among the WTE emissions are dioxins and furans, which are carcinogenic and their
unintentional release have been agreed in a global agreement to be prevented and reduced. As
a party to the Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants, which Indonesia has
ratified by Law No. 19 in 2009, Indonesia is obliged to reduce and / or stop the unintentional
productions and release of dioxins and furans.
2. Burning organic waste equals to burning water. Waste incineration plants are equally dirty
as coal-fired power plants, especially when they burn municipal solid waste. Article 29
paragraph 1 (g) of the Waste Management Act No. 18/2008 prohibits the burning of waste that
are not technically feasible. Indonesias waste, by characteristic, is dominated with organic
waste (67%) with high humidity, low calorific value and not worth the fuel. Burning wet
household waste will need extra fuel or coal to dry out and burn. When coal or fuel is added into
the waste, emissions and release of hazardous pollutants from the incineration plants potentially
increases concentrations of toxics substances and other contaminants. Combustion residuals in
the form of ash, fly ash, slag and liquid waste, needs to be tackle seriously.
8
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
9/15
3. WTE negative impact on future generations and the current generation: increased CO2
emissions, release of toxic compounds, natural resource crisis and the energy crisis.
Law 18/2008 is strongly advocate an improved quality of life implemented with sustainability
principles, as stated waste management is done using methods and techniques that are
environmentally sound so as not to cause a negative impact on public health and the
environment, both in the present generation and the generations to come.
WTE with thermaltechnology will increase carbon emissions, increase its consumption of raw or virgin materials
and energy inefficiency in the production process.
4. Converting waste as energy resources is the last option of the waste management
hierarchy. The new trend in waste management strategy throughout the world today is Zero
Waste. This new approach promotes the minimisation (waste prevention), green design, and
recycling (conversion of materials) within the framework that integrates sustainable production
and consumption patterns. The government should create a clear policy framework for national
waste management directive, including prioritizing recycle of wastes into other materials or
resources, before making any policy of waste conversion to energy.
5. The energy supply from new source from waste and biomass as a solution for energy
crisis is a reductionist and against the concept of Law no. 18/2008. Waste Management
Act regulates the problem of waste from upstream to downstream. Garbage or waste can not be
categorized as a renewable resource. Destruction of materials that occurs at the end of the
chain or end of pipe, will increase the speed of the flow of waste streams, which means an
increase in the intensity of exploitation of minerals and related industries for producing materials
or goods that will consume more energy than it is produced from the end of the pipe.
6.
Waste management is a public affairs, thus the Municipal Solid Waste managinginstitution should be Local Government Organization (Organisasi Pemerintah Daerah).
OPDs which are formed or assigned should be able to carry out the function of formulation and
implementation of technical policy and inter-agency coordination to comprehensively manage
the waste from upstream to downstream. In the Article 1 paragraph 2 of the draft Decree, the
Manager of Municipal Solid Waste is defined as a business entity that sign a cooperation
contract with local governments to manage municipal solid waste through waste management.
This is against the principle of responsibility to the Law 18/2008. Partnerships with business
entities is possible but at a more technical level of implementation and not on the overall waste
management, to ensure the integrity of the city government in implementing the directives of
Law 18/2008 and its derivatives rules.
7. Direct appointment of a project manager must follow the rules. Projects with direct
appointment are vulnerable to corruption, collusion and nepotism. If the state budget funds and
public funds can be allocated to the mega waste to energy projects, the same fund should also
can be used for activities to improve waste management in general. Direct appointment must
follow the direction stipulated by the Government Regulation No. 4/2015 on the Fourth
Amendment of Presidential Decree Number 54 Year 2010 concerning Procurement of
9
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
10/15
Government Goods / Services and does not conflict with the provisions of Law No. 5 of 1999
concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. In principle, if
the government has the option to hold an auction, the auction should take precedence. If the
direct appointment does not meet the criteria for certain conditions and / or procurement /
construction on goods / services that are special, it is risky for the government because it can
lead to audit finding by auditing authorities.
8. The draft Decree is in contrary to the purpose of reduction, prevention of waste
generation, recycling, composting and sanitary landfill with methane gas capture. The
local government should be encouraged to create policies to reduce waste generation, increase
recycling, composting, improving the effectiveness and efficiency of waste collections and
improve the processing of waste in the landfill rather than being asked to ensure the availability /
supply bins with a capacity of at least 1000 (one thousand) tons per day. The city / district
should be encouraged to achieve a targeted achievement of waste separation (in percentage),
processing and composting of organic waste. Anorganic waste to be recycled as close as
possible at the source of generation or even the region. The percentage of waste transportedand managed in the landfill should be declined/reduced. The efforts mentioned above is in line
with zero waste approach adopted throughout the world and more climate-friendly because it
produces lower greenhouse gases (GHG) is lower than the existing practice (Business as
Usual).
9. The use of state budget prioritized for incineration facilities is in contrary to the principle
of justice, due to its /inclination towards the large entrepreneurs. The principle of justice
requires that the government provide support which is fair to all businesses and society. There
is no strong basis that thermal technology will contribute to better waste management compared
to the small-medium scale of waste management technologies as well as various communityinitiatives. Several projects involving private companies have not been able to share success
stories that can be replicated and is still challenged by corruption issues.
10. Investment unit cost to build the WTE thermal technology is the highest compared with
the investment of energy generation from other resources.Incentives for renewable energy
sources with dirty technology will beat technologies from cleaner energy sources that are more
environmentally friendly. In line with the strategy to reduce carbon footprints and climate change
mitigation, abundant renewable energy sources such as wind and sun in Indonesia should be
given priority.
11. Overall, without the fulfillment of the mandates of the Acts and harmonization with other
policies as mentioned above, this regulation is prone to legal actions.In terms of the rules
of conformity with the legislation of higher rank, this regulation is risking of a judicial review for
being incompatible and / or in conflict with some of the laws mentioned above, including the
laws that establish Indonesias commitments to the global community. The other risk is being
sued under Citizen Law Suit (CLS), which may be filed by a citizen under the reason of the
10
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
11/15
violation of constitutional rights of citizens on environmental good and healthy as guaranteed in
Article 28 of the 1945 Constitution.
Concluding Remarks
Resolving the urgency of the condition of municipal waste by encouraging thermal technologywill not trigger much change. The main challenge in dealing with urban wastes such as
sanitation, pollution such as smell and squalor, occurs because the organic waste is not well
managed.
The organic waste covers 60-70% of Indonesias municipal wastes and more than 60% does
not worth the fuel. Effective management of organic waste is through sorting/separation and
processing using WTE Anaerobic Digestion, will provides the benefits of energy and organic
fertilizer, combined with aerobic composting.
The entire process, if applied closer to the source (decentralization) will be much cheaper,practical to implement, and sustainable. The main barriers of waste management in urban areas
mainly are the political commitment of local governments to run a city-scale systems in a
sustainable city. Currently, Indonesia needs a road map of integrated waste management with
the zero wastes approach.
Based on a critical assessment and consideration mentioned above, we conclude that the draft
Presidential Decree on the accelerated development of waste to energy in 7 cities needs to be
reviewed and re-evaluated in line with the mandate of Waste Management Act.
We urge the President not to push the waste-based electricity generation in too much hurry. Thetechnologies that will be applied contains a high risk of environmental pollution, public health
and directing the national waste management system farther away from the goal set in the Act
No. 18/2008.
-- END --
Further Contacts:
1. Dadan Ramdan, WALHI Jawa Barat 082116759688, email: [email protected]
2. David Sutasurya, YPBB - 0813 2017 6832, email: [email protected]
3. Titiek Sasanti, Gita Pertiwi Solo - 08132 9989 384, email: [email protected]
4. Wawan Some, Nol Sampah Surabaya - 0878 5417 0444, email: [email protected]
11
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
12/15
12
-
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
13/15
Referensi / References
Bappenas. 2015. Indonesia, Intended Nationally Determined Contribution.
Carbon Trust. 2014. Waste to energy in Indonesia. Assessing opportunities and barriers usinginsights from the UK and beyond.
GAIA. 2012. Incinerators: Myths vs. Facts about Waste to Energy, sumber:
http://www.no-burn.org/downloads/Incinerator_Myths_vs_Facts%20Feb2012.pdf diakses pada
12 Desember 2015
GAIA. 2013. Waste Incinerators: Bad News for Recycling and Waste Reduction.
GAIA, 2014. On the Road to Zero Wastes.
http://www.no-burn.org/downloads/On%20the%20Road%20to%20Zero%20Waste.pdf diaksespada 20 Desember 2015
Indonesia. Undang-undang Dasar 1945, Amandemen Keempat.
Indonesia. Undang-undang tentang Ratifikasi United Nations Framework Convention on Climate
Change. UU No. 6 Tahun 1994, LN Tahun 1994 No. 42, TLN No. 3557.
Indonesia. Undang-undang tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 18 Tahun 2008, LN Tahun
2008 No. 69, TLN No. 4851.
Indonesia. Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Pencemar
Organik Persisten. UU No. 19 Tahun 2009, LN Tahun 2009 No. 89, TLN No. 5020.
Indonesia. Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No.
32 Tahun 2009, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara. PP No. 41 Tahun
1999. LN Tahun 1999 No. 86, TLN No. 3853.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Beracun dan Berbahaya. PP No.
74 Tahun 2001, LN No. 138 Tahun 2001.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya.
PP No. 101 Tahun 2014.
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, Bappenas, 2010
13
http://www.no-burn.org/downloads/On%20the%20Road%20to%20Zero%20Waste.pdf -
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
14/15
Jack Weinberg, IPEN. 2008. An NGO Guide to Persistent Organic Pollutants. A framework for
Action To Protect Human Health and the Environment From Persistent Organic Pollutants
(POPs).
Jeffrey Morris, Recycling versus Incineration: An Energy Conservation Analysis, Journal of
Hazardous Materials 47 (1996) 277-293,http://www.ewp.rpi.edu/hartford/~ernesto/S2014/SHWPCE/Papers/SW-Preprocessing-Separatio
n-Recycling/Morris1996-Recycling-vs-Incineration-Energy.pdf diakses pada 12 Desember 2015.
Jeffrey Morris, et.al. 2014. What is the best disposal option for the Leftovers on the way to
Zero Waste? http://www.ecocycle.org/specialreports/leftovers diakses pada 4 Februari 2016
KLHK - BCRC SEA. 2014. Indonesia, National Implementation Plan of Stockholm Convention
on the Elimination of POPs.
UNEP. 2008. Guidelines on Best Available Techniques and Provisional Guidance on BestEnvironmental Practices relevant to Article 5 and Annex C of the Stockholm Convention on
Persistent Organic Pollutants.
UNIDO. 2010. Best Available Techniques and Best Environmental Practices (BAT/BEP) For the
elimination of unintentionally produced POPs releases. Stockholm Convention Unit.
Wall Street Journal, Nov 2015. Does Burning Garbage for Electricity Make Sense?
WSJ.com/EnergyReport
World Bank. 1999. Technical Guidance Report: Municipal Solid Waste Incineration. WashingtonDC: World Bank.
14
http://wsj.com/EnergyReporthttp://wsj.com/EnergyReport -
7/25/2019 Pernyataan bersama: Tanggapan atas Kebijakan Presiden mendorong Pembakaran Sampah untuk Energi di 7 Kota (160209)
15/15
Ditandatangani oleh (secara alfabetik) / Signed by (alphabetically):
Forum Kader Lingkungan (FOKAL)Griya Cempaka Arum
15