Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

11
Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat Sanitasi dan air bersih merupakan infrastruktur dasar yang seharusnya memperoleh perhatian khusus dari pemerintah Indonesia. Meskipun telah banyak prioritas pembangunan daerah dengan kebijakan peningkatan kualitas sanitasi dan air bersih melalui pemberdayaan masyarakat, tetapi sebagian besar pemerintah kabupaten dan kota belum menganggap sanitasi sebagai prioritas pembangunan di daerahnya. Pemerintah menargetkan tidak akan ada lagi penduduk Indonesia yang buang air besar sembarangan pada 2014. Berdasarkan pantauan Riskesdas pada tahun 2007 banyaknya penduduk yang masih melakukan praktik Buang Air Besar Sembarangan (BABS) adalah sebanak 71 juta Jiwa. Kemudian pada tahun 2010 mengalami penurunan sebanyak 41 persen menjadi 42 juta Jiwa. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan pada perkiraan sekitar 109 juta orang di Indonesia yang belum mendapatkan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dan air bersih (Voaindonesia,2012). Selain itu berdasarkan studi kerja sama antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan bertajuk Environment Health Risk Assessment (EVRA) pada 2013. menyatakan 49,5 persen masyarakat Indonesia masih terbiasa Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Studi tersebut dilakukan di 55 kabupaten dan kota peserta Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP), dengan menyebarkan 400 kuesioner per kabupaten (Kompas, 2013).

description

riset sosial

Transcript of Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

Page 1: Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

Sanitasi dan air bersih merupakan infrastruktur dasar yang seharusnya memperoleh

perhatian khusus dari pemerintah Indonesia. Meskipun telah banyak prioritas pembangunan

daerah dengan kebijakan peningkatan kualitas sanitasi dan air bersih melalui pemberdayaan

masyarakat, tetapi sebagian besar pemerintah kabupaten dan kota belum menganggap sanitasi

sebagai prioritas pembangunan di daerahnya. Pemerintah menargetkan tidak akan ada lagi

penduduk Indonesia yang buang air besar sembarangan pada 2014. Berdasarkan pantauan

Riskesdas pada tahun 2007 banyaknya penduduk yang masih melakukan praktik Buang Air

Besar Sembarangan (BABS) adalah sebanak 71 juta Jiwa. Kemudian pada tahun 2010

mengalami penurunan sebanyak 41 persen menjadi 42 juta Jiwa. Data dari Kementerian

Kesehatan menunjukkan pada perkiraan sekitar 109 juta orang di Indonesia yang belum

mendapatkan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dan air bersih (Voaindonesia,2012).

Selain itu berdasarkan studi kerja sama antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam

Negeri, dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan bertajuk Environment Health Risk

Assessment (EVRA) pada 2013. menyatakan 49,5 persen masyarakat Indonesia masih

terbiasa Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Studi tersebut dilakukan di 55 kabupaten

dan kota peserta Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP), dengan

menyebarkan 400 kuesioner per kabupaten (Kompas, 2013).

Gambar 3.1 Jamban Darurat Warga Desa Sanca, Kabupaten Subang Jawa Barat

Ketiadaan akses tersebut antara lain karena rendahnya tingkat pengetahuan dan karena

tingkat ekonomi masyarakat yang tidak mampu untuk membangun fasilitas sanitasi

(Voaindonesia, 2012). Sanitasi yang tidak layak serta higenitas yang buruk dapat berakibat

Page 2: Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

fatal bagi kesehatan anak. Hal ini membuat mereka rentan terhadap beragam penyakit seperti

diare, polio, pneumonia, penyakit kulit serta gangguan kesehatan lainnya. Data Kementerian

Kesehatan menyebutkan, untuk target MSGs masalah sanitasi, Indonesia berada pada posisi

pencapaian 55,6 persen dari target 62,41 persen. Sedangkan untuk target MDGs masalah air

minum, Indonesia baru mencapai 42,76 persen dari target MDGs 68,8 persen.

Berdasarkan Gambar 3.2 didapatkan fakta di Indonesia bahwa dari 55 Kabupaten /

Kota yang di teliti tiap Provinsi terdapat 6 Provinsi yang masih melakukan Praktik BABS

diatas 60%, yaitu Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan selatan, Maluku, NAD, dan

Nusa Tenggara Timur.

Gambar 3.2 Persentase Penduduk yang Masih Melakukan Praktik BABS

Semetara itu pada Gambar 3.1 jika dilihat Provinsi Jawa Timur memiliki persentase

praktik Buang Air Besar Sembarangan sebesar 62,3%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

kesadaran penduduk akan pentingnya sarana BAB yang mencukupi sangat kurang.

Page 3: Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

Gambar 3.3 Persentase Penduduk yang Memiliki Tanki Septik dan Suspek Aman

Berdasarkan Gambar 3.3 Persentase penduduk di Jawa Timur berdasarkan survey

terdapat 22,3 persen penduduk yang tidak memiliki Tanki Septik dan dinilai suspek tidak

aman. Jika dilihat di Gambar 3.4 maka di Jawa Timur yang menyebabkan tingginya perilaku

BABS adalah rendahnya sanitasi layak di wilayah pedesaan, dimana pada wilayah pedesaan

memiliki persentase sanitasi layak sekitar 42 persen sedangkan diperkotaan tingkat persentase

sanitasi layak diatas 70 persen. Sementara itu di Indonesia persentase sanitasi layak

dipedesaan sekitar 42 persen sedangkan diperkotaan diatas 70 persen.

Gambar 3.4 Persentase Sanitasi Layak di Indonesia Tahun 2012

Dalam penyediaan sarana tempat buang air besar pada umumnya masyarakat sudah memiliki

jamban sendiri, jamban bersama atau jamban umum, tetapi dari data (SLHD Jawa Timur,

Page 4: Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

2010) menunjukkan masih banyak jumlah tempat buang akhir tanpa septi tank. Untuk sanitasi

rumah tangga, total rumah tangga yang belum memiliki tangki septik adalah 2.585.273 rumah

tangga atau sebesar 25,36 persen dari total rumah tangga di Provinsi Jawa Timur

menghasilkan limbah cair domestik yang berpotensi menceari air permukaan dan air tanah.

Kabupaten/Kota terbanyak yang tidak memiliki tank septik adalah Kabupaten Blitar dan

Banyuwangi, sedangkan yang paling sedikit tidak memiliki tangki septik adalah Kabupaten

situbondo dan Kota Blitar. Sedangkan Kota Surabaya merupakan kota yang memiliki fasilitas

tempat buang air besar sendiri terbanyak.

Gambar 3.5 Pemetaan IPM dengan Komponen Indeks Kesehatan Tahun 2010

Pada Tahun 2010 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan komponen Indeks

Kesehatan di Kota Surabaya mencapai 70,76 persen. Pada Gambar 3.5 dapat diketahui

persebaran tingkat IPM pada masing-masing wilayah kecamatan di Kota Surabaya.

Kecamatan Pabea Cantikan, Kecamatan Semampir, Kecamatan Simokerto, dan Kecamatan

Mulyorejo adalah Kecamatan yang memiliki IPM terendah dengan masing-masing nilai IPM

sebesar 67,97; 67,75; 68,98; dan 69,55. Tingkat IPM di Tahun ini dikatakan cenderung naik

dari tahun-tahun sebelumnya.

Namun kenyataannya bahwa angka Sanitasi Lingkungan di Kota Surabaya ini masih

tergolong tinggi. Data yang disampaikan Dinas Kesehatan Kota Surabaya menyebutkan, dari

46 Kelurahan yang didata, ternyata ditemukan ada 34 kelurahan yang masih mepunyai

perilaku Buang Air Besar (BAB) sembarangan (Suarasurabaya, 2013).

Page 5: Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

Gambar 3.6 Peta Beresiko Sanitasi di Surabaya 2012

Berdasarkan Gambar 3.6 maka dapat dilihat bahwa persebaran sanitasi buruk berada

di wilayah Kecamatan Semampir Kelurahan Sidotopo dan Kelurahan Wonokusumo,

Kecamatan Kenjeran wilayah Tanah Kali Kedinding dan Sidotopo Wetan, Kecamatan Bulak,

dan Kecamatan Wonokromo dengan wilayah Kelurahan Ngagel Rejo dengan nilai 3,1-4,0.

Hampir seluruh kecamatan ini berada di kawasan Surabaya Utara. Selain itu berdasarkan data

dari pokja Surabaya mengatakan kelurahan yang masih tinggi tingkat BABS adalah

Kelurahan Petemon, Wonorejo, Keputran, dan Sawahan).

Untuk memenuhi kebutuhan prasarana sanitasi bagi perumahan di Kota Surabaya saat

ini belum terdapat jaringan pembuangan limbah. Sebagian besar perumahan di Kota Surabaya

mengandalkan sistem sanitasi setempat (on-site) terutama untuk pembuangan limbah

manusia. Sistem sanitasi tersebut meliputi tangki septik, sumur resapan, serta jamban.

Berdasarkan hasil pengambilan sampel jamban keluarga di wilayah Kota Surabaya, dapat

diketahui bahwa dari 818.677 KK yang diperiksa sebanyak 300.261 KK yang memiliki

jamban keluarga sebesar 96.1 %. Pada Tahun 2012 dari sektor sanitasi lingkungan di Kota

Surabaya, berkaitan dengan fasilitas tempat buang air besar, menunjukkan bahwa seluruh

rumah tangga telah memiliki fasilitas tempat buang air besar, dimana sebanyak 681.495

Rumah Tangga memanfaatkan tempat buang air besar/ jamban bersama, 109.791 Rumah

Tangga memanfaatkan jamban sendiri, dan sisanya 20.451 Rumah Tangga memanfaatkan

jamban umum.

Page 6: Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

Jumlah rumah tangga yang memiliki fasilitas tempat buang air besar pribadi paling

banyak terdapat di Kecamatan Gubeng, yakni sebanyak 42.443 Rumah Tangga, sedangkan

rumah tangga yang memiliki fasilitas tempat buang air besar bersama/umum terbanyak

adalah Kecamatan Semampir dengan jumlah 3.112 Rumah Tangga. Kecamatan yang jumlah

rumah tangga yang memiliki jamban sehat paling banyak adalah Kecamatan Tenggilis

sebanyak 8.818 rumah tangga. Perbandingan jumlah rumah tangga yang memanfaatkan

masing-masing jenis fasilitas tempat buang air besar per kecamatan di Kota Surabaya tahun

2012 dapat dilihat pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7 Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat Buang Air Besar 2012

Berdasarkan pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Surabaya, penyebab perilaku Buang

Air Besar Sembarangan di kota Surabaya ini adalah murni karena kebiasaan, sehingga

walaupun masyarakat memiliki MCK, mereka akan tetap lebih suka untuk buang air di

selokan, dan di sungai. Sementara itu hambatan lain yang dialami dalam kampanye BABS ini

Page 7: Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

adalah tingkat urbanisasi Kota Surabaya yang tinggi dan membawa budaya yang berbeda-

beda terkait sanitasi (RRI.co.id, 2013). Berdasarkan fakta-fakta resebut maka gejala sosial

yang dapat diuraikan adalah banyaknya penduduk yang berurbanisasi dari pedesaan ke

perkotaan juga tetap membawa habit untuk buang air sembarangan. Sehingga walaupun

ditempat urbanisasi mereka disediakan MCK oleh pemerintah, namun mereka tetap tidak

dapat menghilangkan kebiasaan buruk untuk Buang air sembarangan baik di Sungai, Selokan,

atau bahkan di kebun. Bahkan bagi masyarakat yang rumahnya berdekatan dengan sungai

memang tetap menggunakan WC, akan tetapi pembuangan kotorannya bukan di septick tank ,

melainkan pipanya dialirkan ke sungai. Padahal, kotoran adalah salah satu sumber bibit

penyakit, terutama diare. Dari hasil penelitian disebutkan, apabila sebuah kawasan memiliki

sanitasi yang bagus, maka akan menekan sampai 80 persen timbulnya penyakit diare pada

balita.

Kasus BABS pernah saya jumpai di Petemon-Surabaya. Kelurahan Petemon

merupakan kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi yaitu 41.000

jiwa/Km2. Sebagian wilayah Petemon dilewati kali besar di Surabaya, menjadikan wilayah ini

rawan kondisi sanitasi buruk seperti membuang sampah sembarangan dan BAB ke kali tanpa

pengolahan. Higiene dan sanitasi penduduk Petemon masih rendah ditunjukkan dengan cuci

tangan tanpa sabun dan mengkonsumsi air tanpa isi ulang atau tanpa direbus. Kebiasaan

masyarakat inilah yang menyebabkan angka kejadian diare pun tinggi.

Selain itu kasus BABS juga pernah dijumpai di Kelurahan Pakis Kecamatan Sawahan,

kota Surabaya. Kelurahan Pakis ini juga dekat dengan sungai dan rumah penduduk tergolong

dempet-dempet satu sama lain. Pada kelurahan ini masih banyak warga yang BABS di

selokan, kali atau sudah di WC namun salurannya tanpa septictank. Sebelumnya mereka

punya kebiasaan menguras isi WC kemudian membuangnya ke sungai. Dilakukan tengah

malam saat warga tidur. Bahkan ada warga ketika musim hujan BABS dengan tadah tas

plastik, hal ini dikarenakan WC yang ada di kampung mereka terendam air dan kotoran yang

masuk ke WC tidak bisa tenggelam.

Mengajak masyarakat untuk merubah kebiasaan sangat berat, oleh karena itu pihak

Dinas Kesehatan Surabaya berharap seluruh elemen masyarakat dan pemerintah ikut

membantu program hidup sehat. Buruknya sanitasi berakibat luas pada rendahnya standar

kesehatan masyarakat, penyakit diare dan cacingan menjadi indikasi buruknya sistem sanitasi

(Suarasurabaya, 2013).

Penghargaan kota sehat yang disematkan untuk Kota Surabaya pada September 2013,

itu diberikan saat tim penilai kota sehat dari Kemenkes RI bertandang ke Kota Pahlawan

Page 8: Pernyataan Umum Kesehatan Dan Perilaku Sehat

dalam rangka peninjauan program kota sehat tingkat nasional 2013. beberapa parameter

menjadi dasar penilaian dalam menentukan sebuah kota atau daerah layak atau tidak disebut

sebagai kota sehat. “Salah satunya adalah kawasan pemukiman, sarana umum, transportasi,

perkantoran (gedung), pariwisata, hutan kota, ketahanan pangan dan gizi, serta kehidupan

sosial yang sehat. Kota yang sehat adalah kota yang senantiasa mampu menciptakan dan

memperbaiki lingkungan fisik dan sosialnya. Namun apabila penilaian ini hanya dilihat dari

sisi masih banyaknya masyarakat yang berperilaku Buang Air Besar Sembarangan maka

menurut saya mungkin Kota Surabaya Masih jauh dari arti kata Kota Sehat.