perngaruh pergerakan lempeng indoaustralia terhadap seismisitas pulau jawa

50
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN Karya tulis yang berjudul “PENGARUH PERGERAKAN LEMPENG INDO AUSTRALIA DAN EURASIA TERHADAP TINGKAT SEISMISITAS PULAU JAWA” ini diajukan sebagai syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) tahun pelajaran 2013/2014 di SMA Negeri 7 Banjarmasin dan dinyatakan telah mendapat persetujuan sebagai karya tulis. Banjarmasin, Juni 2013 Disetujui oleh, Guru Pembimbing II Guru Pembimbing I Mugiya, S.Pd Rahmat, S.Pd

description

sesimologi

Transcript of perngaruh pergerakan lempeng indoaustralia terhadap seismisitas pulau jawa

LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

Karya tulis yang berjudul PENGARUH PERGERAKAN LEMPENG INDO AUSTRALIA DAN EURASIA TERHADAP TINGKAT SEISMISITAS PULAU JAWA ini diajukan sebagai syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) tahun pelajaran 2013/2014 di SMA Negeri 7 Banjarmasin dan dinyatakan telah mendapat persetujuan sebagai karya tulis.

Banjarmasin, Juni 2013

Disetujui oleh,Guru Pembimbing II Guru Pembimbing I

Mugiya, S.Pd Rahmat, S.PdNIP. NIP.

Mengesahkan,Kepala SMA Negeri 7 Banjarmasin

Mundofir, S.PdNIP.

4.1. Dinamika dan Tatanan TektonikSejarah perkembangan tektonik Indonesia yang merupakan bagian dari Lempeng mikro Sunda diawali dengan pemisahan benua raksasa Gondwana yang berada di belahan bumi selatan yang dilanjutkan dengan pergeseran-pergeseran pada akhir Jura 126 juta tahun lalu. Selanjutnya pada akhir Kapur, 65 juta tahun lalu mulai terlihat bentuk Lempeng mikro Sunda yang merupakan gabungan dari Sumatera, Semenanjung Malaka, sebagian besar Kalimantan dan sebagian Jawa. Lempeng mikro Sunda ini sejak awal merupakan bagian dari benua Asia. Secara rinci proses perkembangan tektonik Indonesia dapat dijabarkan seperti pada Gambar 4.1. Gambar tersebut merupakan peta hasil rekonstruksi geologi oleh Robert Hall (2000) yang melukiskan proses perkembangan tektonik Indonesia sejak 50, 40, 30, 20, 10, juta tahun yang lalu sampai sekarang.Pada 50 juta tahun lalu atau Awal Eosen, setelah benua kecil India bertubrukan dengan kontinen Eurasia, ujung tenggara Asia tersesarkan lebih jauh ke arah tenggara dan membentuk kawasan Indonesia bagian barat. Pada saat itu wilayah yang terbentuk berupa gabungan dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan bagian selatan Sulawesi. Pulau-pulau di kawasan Indonesia bagian timur masih berupa laut seperti Laut Filipina dan Samudera Pasifik, sedangkan Papua yang merupakan bagian Lempeng Australia masih jauh berada di selatan. Pada saat ini pula, lajur penunjaman di sebelah barat Sumatera yang menyambung ke selatan Jawa dan melingkar ke tenggara timur Kalimantan Sulawesi Barat yang aktif sejak akhir Mesozoikum mulai melemah pada Paleosen dan berhenti pada kala Eosen.

Pada 40 juta tahun yang lalu, Sulawesi, Halmahera dan pulau-pulau lainnya di Indonesia bagian timur belum terlihat bentuknya, juga bagian utara dari Kalimantan masih belum muncul. Pada 30 juta tahun lalu, lengan Utara Sulawesi mulai terbentuk bersamaan dengan jalur Ofiolit Jamboles. Sedangkan jalur Ofiolit Sulawesi Timur masih berada di belahan bumi selatan. Pada 20 juta tahun lalu kontinen-kontinen mikro bertubrukan dengan jalur ofiolit Sulawesi Timur, dan Laut Maluku membentuk sebagai bagian dari Laut Filipina. Laut Cina Selatan mulai membuka dan jalur tunjaman di utara Serawak - Sabah mulai aktif. Selanjutnya Australia dan Papua bergerak mendorong ke arah utara sehingga Kalimantan dan pulau-pulau di Indonesia Timur berotasi berlawanan arah dengan gerak jarum jam.Pada 10 juta tahun lalu, benua mikro Tukang Besi - Buton bertubrukan dengan jalur Ofiolit di Sulawesi Tenggara, tunjaman ganda terjadi di kawasan Laut Maluku, dan Laut Serawak terbentuk di Utara Kalimantan. Sulawesi mulai terbentuk yang merupakan gabungan dari setidaknya tiga unsur dari lokasi berbeda. Kemudian diikuti dengan terbentuknya pulau-pulau di daerah Laut Banda dan Laut Halmahera. Kalimantan menjadi utuh dengan menyatunya bagian utara yang berasal dari unsur di utaranya. Demikian juga Papua posisinya sudah lebih mendekat ke Indonesia. Pada 5 juta tahun lalu, benua mikro Banggai-Sula bertubrukan dengan jalur ofiolit Sulawesi Timur, dan mulai aktif tunjaman miring di utara Papua-Papua Nugini. Sulawesi yang merupakan pulau besar termuda di Indonesia, terbentuk menjadi sempurna seperti sekarang sejak 5 juta tahun yang lalu.Perkembangan Geodinamika IndonesiaIndonesia dikenal sebagai wilayah yang mempunyai tatanan geologi yang unik dan rumit. Keunikan dan keruwetan kondisi geologi ini sudah banyak diuraikan oleh para peneliti terdahulu dengan berbagai pendekatan konsep tektonik klasik. Konsep tektonik klasik adalah konsep yang berpandangan bahwa terbentuknya geosinklin sampai pegunungan terjadi pada tempat yang tetap (Sudradjat, 1997). Namun pada dasarnya konfigurasi tektonik Indonesia saat ini merupakan representasi dari hasil pertemuan konvergen tiga lempeng sejak jaman Neogen. Pola dan perkembangan tektonik Indonesia ternyata lebih mudah dipahami dengan menerapkan pola pemikiran tektonik yang baru, yaitu berdasarkan pola pemikiran konsep tektonik mobilist, antara lain konsep pengapungan benua, konsep tektonik lempeng atau konsep tektonik global. Aplikasi teori ini untuk menerangkan gejala geologi regional di Indonesia banyak dilakukan peneliti seperti oleh Hamilton (1970, 1973, 1978), Dickinson (1971), dan Katili (1975, 1978, 1980). Secara insitu Audley-Charles (1974) menerapkan teori ini untuk menjelaskan gejala geologi kawasan Pulau Timor, Rab Sukamto (1975) dan Simanjuntak (1986) menerapkannya untuk memahami keruwetan Sulawesi.Sartono (1990) menggabungkan teori klasik dan mobilist dengan mengemukakan bahwa tatanan tektonik Indonesia selama Neogen dipengaruhi oleh tatanan geosinklin pasca Larami. Busur-busur geosinklin ini merupakan zona akibat proses tumbukan kerak kontinen dan oseanik. Kerak kontinen yang bekerja pada waktu itu terdiri dari kerak kontinen Australia, kerak kontinen Cina bagian selatan, benua mikro Sunda, kerak oseanik Pasifik, dan kerak oseanik Sunda. Tumbukan Larami tersebut membentuk busur-busur geosinklin Sunda, Banda, Kalimantan utara dan Halmahera-Papua. Peta anomali gaya berat dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini. Berangkat dari teori tektonik lempeng, kepulauan Indonesia dianggap sebagai jalur produk tumbukan tiga lempeng litosfer, yaitu: (1) Lempeng Indo-Australia, yang bergeser ke utara, (2) Lempeng Pasifik yang bergeser ke barat dan (3) Lempeng Eurasia yang bergeser relatif ke selatan. Berdasarkan pengukuran Very-long Baseline Interferometry, VLBI (Pratt, 2001) diketahui bahwa saat ini Lempeng oseanik Indo-Australia, yang bergeser ke barat-laut dengan kecepatan rata-rata 5,57 cm pertahun; Lempeng oseanik Pasifik yang bergeser ke barat-laut dengan kecepatan rata-rata lebih dari 7 cm pertahun dan Lempeng kontinen Eurasia yang bergeser ke arah barat daya dengan kecepatan rata-rata 2,6- 4,1 cm pertahun.Busur Sunda adalah produk geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan hubungan geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda berawal dari sebelah barat Sumba, yang menerus ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung, punggungan muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Kemiringan ini terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90. Sistem penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang berlangsung selama Kenozoikum TengahAkhir (Katili, 1989). Menurut Hamilton (1979) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda.Busur vulkanik yang sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada kedalaman 100130 km. Jalur magmatik ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di Sumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan (oceanic island arc) di Bali dan Lombok. Komposisi vulkanik muda bervariasi secara sistematis yang berkesesuaian antara karakter litosfer dengan magma yang dierupsikan. Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara Nicobar, Andaman dan Burma. Di antara Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah Selatan terdapat Selat Sunda yang merupakan batas tenggara Lempeng Burma. Propinsi Jawa bermula dari Sumba sampai Selat Sunda. Di propinsi ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m. Saat ini konvergensi sepanjang propinsi Jawa mencapai 7,5 cm pertahun dengan sudut penunjaman antara 5--8. Sedimen memiliki ketebalan antara 200 900 m. Imbrikasi di bawah punggungan muka busur mempunyai ketebalan lebih dari 10 km. Palung hanya berisi sedimen tipis dengan sedikit sedimen pelagis.Kerangka tektonik utama antara Jawa dan Sumatera secara umum dipotong oleh selat Sunda yang dianggap sebagai zona diskontinuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah propinsi Jawa dan Sumatera di busur Sunda. Selat ini diasumsikan sebagai batas tenggara Lempeng Burma, namun apabila dicermati dari data geofisika, batas Jawa dan Sumatera terletak di sekitar Banten dan Jawa Barat. Propinsi Sumatera Selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur menurun dari 6.0005.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di utara dan 1 km di selatan. Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke utara antara 7,05,7 cm pertahun. Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini diasumsikan sangat berperan dalam membentuk sistem strike slip fault di Sumatera. Sedangkan di Propinsi Sumatera Utara - Nikobar, di sebelah barat Pulau Simeulue sumbu palung menajam ke barat, dan di barat-laut Pulau Simeulue cenderung ke utara baratlaut. Palung mempunyai kedalaman berkisar antara 3.5005.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini sangat miring dan kecepatan penunjaman ke arah utara mengalami penurunan 5,6- 4,1 cm pertahun Di Pulau Andaman palung cenderung berarah utara selatan dengan kedalaman sekitar 3.000 m. Di Propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan kisaran kecepatan penunjaman berkisar antara 0,70,2 cm pertahun. Komponen lateral ini dipengaruhi oleh pemekaran di laut Andaman, dengan Lempeng Burma memisah ke arah barat daya dari lempeng Eurasia. Palung Burma mempunyai kedalaman kurang dari 3.000 m. Di sini punggungan muka busur menjadi punggungan Indoburman dan cekungan muka busur menjadi palung sebelah barat dari Lembah Burma. Sudut penunjaman sangat miring dan ketebalan endapan di propinsi ini antara 8.00010.000 m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi terbentuknya sesar Sagaing di Burma.Sesar Sumatera dan Pulau Sumatera merupakan produk geodinamika Busur Sunda, keduanya merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunjukkan akibat tektonik regional pada pola tektonik lokal. Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi oleh keberadaan lempeng oseanik, sedang sebelah timur didominasi oleh keberadaan lempeng kontinen. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan lempeng oseanik sekitar 20 km dan ketebalan lempeng kontinen sekitar 40 km (Hamilton, 1979). Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian barat, pertemuan subduksi antara Lempeng kontinen Eurasia dan Lempeng oseanik Australia mengkontruksikan busur Sunda sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang relatif stabil, sementara di sebelah timur pertemuan subduksi antara Lempeng oseanik Australia dan lempeng-lempeng mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai busur kepulauan (island arc) yang lebih labil.Perbedaan sudut penunjaman antara Jawa dan Sumatera Selatan di busur Sunda mendorong pada kesimpulan bahwa batas busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen terletak di Selat Sunda. Kesimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola kenampakan anomali gaya berat menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur Jawa bagian Timur. Secara vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan namun jika dilakukan perbandingan dengan struktur cekungan Sumatera Selatan, struktur-struktur di Pulau Sumatera secara vertikal berkembang sebagai struktur bunga tektonik Indonesia Barat dan Timur. Tatanan tektonik Indonesia bagian barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur. Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan Sunda yang relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran Kalimantan serta peregangan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola sebaran jalur subduksi Indonesia Barat (Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986; dalam Katili 1989). Sementara keberadaan benua mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973 dan Pigram dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia bagian timur.Pada umumnya pertemuan lempeng-lempeng tektonik tersebut di Indonesia berbentuk zona subduksi yang mengakibatkan terbentuknya palung laut, basin, pegunungan, sesar serta aktivitas magma dan gempabumi. Bagian permukaan yang naik sampai melewati muka laut membentuk pulau sedangkan yang tetap berada di bawah laut merupakan gunung bawah laut. Perkembangan tektonik wilayah ini memberikan indikasi bahwa kepulauan Indonesia merupakan salah satu kawasan yang aktif dan relatif muda di muka bumi ini. Kegiatan tektonik yang memuncak pada kala Neogen menempatkan kawasan Indonesia menjadi pusat pertemuan tiga lempeng utama bumi yang berinteraksi, bergerak saling menumpu. Kegiatan tektonik ini membentuk konfigurasi fisiografi dan tektonik Indonesia yang bercirikan archipelago dikawasan khatulistiwa dengan berbagai rangkaian pegunungan lipatan dan sesar di hampir semua pulau besar dengan puncak-puncak sampai ketinggian lebih 3.000 meter di atas permukaan laut dan palung laut sampai kedalaman 6.000 meter di bawah permukaan laut.Papua yang merupakan bagian dari Lempeng Australia sebelumnya berada jauh di selatan dan bergerak ke arah utara mendekati khatulistiwa / Indonesia. Di bagian utara Papua Barat batas Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Pasifik berupa sesar geser sedangkan di wilayah Papua Timur bagian utara terdapat zona subduksi. Gambar 4.2 memperlihatkan peta tektonik dan struktur kepulauan Indonesia. Lempeng Indo-Australia menunjam ke arah utara di bawah Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik bergerak ke arah barat dan Lempeng Filipina ke arah baratlaut. Dataran Sunda merupakan laut yang dangkal sedangkan Laut Banda, Laut Sulawesi dan Laut Sulu adalah berupa laut dalam. Palung laut dalam ditemui pada batas lempeng, yaitu mulai dari barat Sumatera, selatan Jawa-Nusatenggara, melingkar di daerah Laut Banda dan di beberapa tempat di Laut Maluku. Sumatera, Jawa dan Nusatenggara yang membentuk satu busur yang panjang dimana Lempeng Indo-Australia menunjam di bawah Lempeng Eurasia sering disebut dengan zona Busur Sunda.Berdasarkan distribusi gempabumi terhadap kedalaman, secara umum zona subduksi di Indonesia dapat dibedakan atas empat bentuk : (1) Zona penunjaman pendek, seperti di Sumatera, (2) Zona penunjaman panjang, seperti di Jawa sampai Nusatenggara, (3) Zona penunjaman berbentuk cekung, seperti di daerah Laut Banda, (4) Zona penunjaman berbentuk cembung, seperti di Laut Maluku. Zona subduksi ini membentuk 5 suture di wilayah Indonesia yaitu Suture Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Sorong dan Banda (Gambar 4.3).Wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan sebagian besar dari pusat gempanya terjadi di bawah laut. Gempa dangkal di bawah laut dapat menimbulkan tsunami, di Indonesia tercatat rata-rata terjadi tiga tsunami pertahun. Gempabumi pada 26 Desember 2004 di Aceh mengakibatkan terjadi mega tsunami yang gelombangnya mencapai Somalia dan Tanzania di Afrika dan merupakan salah satu tsunami terbesar di dunia. Sebagian besar daerah pantai Indonesia rawan bencana tsunami, meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, sepanjang pesisir selatan pulau Jawa, Bali, Nusatenggara, Sulawesi terutama bagian barat, tengah dan utara, bagian timur Kalimantan, pulau-pulau di Maluku, dan bagian kepala burung dan utara Papua (Gambar 4.4).

Berikut ini ditinjau zona-zona tektonik wilayah Indonesia mulai dari bagian barat sampai ke timur, yaitu Sumatera, Selat Sunda, Jawa, Nusatenggara, Kalimantan, Sulawesi, Tumbukan Maluku, Busur Banda, Papua, dan Zona Cekungan Bandung.

4.4. JawaPulau Jawa merupakan salah satu pulau besar di Indonesia, membujur dari barat ke timur di antara Pulau Sumatera dan Bali. Secara tektonik pulau Jawa merupakan pulau yang dekat dengan zona subduksi dimana Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah Lempeng Eurasia. Penunjaman terjadi mulai selatan busur Sunda berupa palung yang dikenal dengan palung Jawa, sekitar 200 km lepas pantai selatan Jawa dengan kecepatan gerak lempeng sekitar 7 cm pertahun. Jawa dan Nusatenggara merupakan bagian timur dari Busur Sunda. Pada busur ini lempeng menunjam hampir tegak lurus terhadap pulau Jawa dan Nusatenggara. Penunjaman terjadi sampai sejauh 650 km dengan sudut penunjaman lebih besar dibandingkan dengan di Sumatera. Makin ke utara distribusi pusat gempanya makin dalam, terdapat gempa dangkal di selatan dan gempa dalam dibagian utara pulau Jawa dan Nusatenggara. Penunjaman lempeng menghasilkan sepasang busur, vulkanik dan non-vulkanik serta cekungan sedimentasi (Gambar 4.11). Busur vulkanik terdiri dari rangkaian gunungapi yang menjadi tulang punggung pulau busur Sunda, sedangkan busur non-vulkanik merupakan rangkaian pulau-pulau yang terletak disisi samudera busur vulkaniknya. Di selatan Jawa busur non-vulkanik berada di bawah laut, tidak sampai muncul di permukaan.Hasil studi wilayah ini menyimpulkan bahwa pada awalnya hanya Jawa bagian barat yang merupakan bagian dari Lempeng 123 mikro Sunda karena Jawa bagian tengah dan timur belum terbentuk. Hasil penelitian geologi menyimpulkan bahwa batuan di Jawa bagian tengah dan timur berusia lebih muda dari batuan di Jawa bagian barat. Hal ini juga diperkuat dengan ditemukannya lapisan basal yang biasa terdapat di kerak samudera, ditemukan di daerah Karang Sambung (Kebumen) yang merupakan zona Melange Kompleks, yaitu zona yang terbentuk pada masa Tersier.

Pembentukan Jawa bagian tengah dan timur banyak digambarkan oleh tatanan geologi yang ditemukan di daerah Karang Sambung, diantaranya terdapat gamping yang merupakan batuan yang berasal dari pelapukan karang. Berarti bahwa Jawa bagian tengah dan timur dahulunya merupakan samudera yang selanjutnya karena penunjaman Lempeng Indo-Australia terhadap Lempeng Eurasia yang terus menerus maka berakibat terbentuknya daratan yang sekarang menjadi Jawa bagian tengah dan timur. Secara tektonik daerah pegunungan selatan merupakan bagian dari elemen tektonik sistem subduksi Jawa-Sumatera yang disebabkan tumbukan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia yang aktif hingga saat ini. Subduksi yang terjadi adalah subduksi dengan arah utara-selatan di sebelah selatan Jawa. Pembentukan gunung di Jawa adalah sebagai akibat adanya proses tumbukan antara dua Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia. Hasil dari tumbukan ini membentuk terobosan magma yang membuatnya naik ke permukaan. Terobosan magma ini sedikit demi sedikit membentuk formasi gunungapi sehingga di Jawa banyak dijumpai gunungapi aktif.Hasil penyelidikan geofisika dan geologi laut di kawasan pesisir dan perairan selatan Jawa menyatakan bahwa sepanjang pantai selatan Jawa banyak terdapat potensi gempa yang disebabkan aktivitas tektonik konvergen pada zona penunjaman dan sesar-sesar aktif (Gambar 4.12). Tercatat banyak gempa merusak di selatan Jawa dan beberapa diantaranya menimbulkan tsunami. Gempa Yogya pada 27 Mei 2006 mengakibatkan kerusakan yang besar, dan gempa 17 Juli 2006 di selatan Jawa Barat menimbulkan tsunami yang melanda Pangandaran dengan 600 korban.4.4.1. Tektonik Jawa BaratPola tektonik Jawa Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki daya tarik tersendiri. Aktivitas geologi yang telah berlangsung selama berjuta-juta tahun di wilayah ini menghasilkan berbagai jenis batuan mulai dari batuan sedimen, batuan beku (ekstrusif dan intrusif) dan batuan metamorfik dengan umur yang beragam. Akibat proses tektonik yang terus berlangsung hingga saat ini, seluruh batuan tersebut telah mengalami pengangkatan, pelipatan dan pensesaran.

Dari sudut pandang ilmu kebumian, daerah Jawa Barat sangat menarik untuk dipelajari karena geologi daerah ini dikontrol oleh hasil aktivitas tumbukan dua lempeng yang berbeda jenis. Lempeng yang pertama berada di bagian utara berkomposisi granitis yang dinamakan sebagai lempeng kontinen Eurasia, selanjutnya lempeng yang kedua berada di selatan berkomposisi basaltis yang dinamakan sebagai lempeng oseanik Indo-Australia. Kedua lempeng ini saling bertumbukan yang mengakibatkan lempeng oseanik menunjam di bawah lempeng kontinen. Zona tumbukan membentuk morfologi menyerupai lembah curam yang dinamakan palung laut dalam. Di dalam palung ini terakumulasi berbagai jenis batuan terdiri atas batuan sedimen laut dalam (pelagic), batuan metamorfik dan batuan beku berkomposisi basa hingga ultra basa (ofiolit). Percampuran berbagai jenis batuan di dalam palung ini dinamakan sebagai batuan bancuh (melange). Jejak-jejak aktivitas subduksi lempeng masa lampau dapat dilihat di daerah Ciletuh, Sukabumi. Di daerah ini tersingkap batuan bancuh Ciletuh yang berumur Kapur dan merupakan salah satu batuan tertua di Jawa yang dapat diamati di permukaan. Daerah lain di Jawa yang juga memiliki batuan sama adalah daerah Karangsambung di Kebumen, Jawa tengah dan Pegunungan Jiwo di Bayat, Jogyakarta. Fisiografi Regional Aktivitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang satu sama lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi dan struktur geologinya. Van Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat atas empat zona fisiografi, masing-masing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona Pegunungan Selatan (Gambar 4.13). Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang barat-timur mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu hingga Cirebon. Daerah ini bermorfologi dataran dengan batuan penyusun terdiri atas aluvium sungai/pantai dan endapan gunungapi muda. Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang barat-timur mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu hingga Cirebon. Daerah ini bermorfologi dataran dengan batuan penyusun terdiri atas aluvium sungai/pantai dan endapan gunungapi muda.

Zona Bogor menempati bagian selatan Zona Dataran Pantai Jakarta, membentang mulai dari Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Majalengka dan Kuningan. Zona Bogor umumnya bermorfologi perbukitan yang memanjang barat-timur dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Batuan penyusun terdiri atas batuan sedimen Tersier dan batuan beku baik intrusif maupun ekstrusif. Morfologi perbukitan terjal disusun oleh batuan beku intrusif, seperti yang ditemukan di komplek Pegunungan Sanggabuana, Purwakarta. Van Bemmelen (1949), menamakan morfologi perbukitannya sebagai antiklinorium kuat yang disertai oleh pensesaran. Zona Bandung yang letaknya di bagian selatan Zona Bogor, memiliki lebar antara 20 km hingga 40 km, membentang mulai dari Pelabuhanratu, menerus ke timur melalui Cianjur, Bandung hingga Kuningan. Sebagian besar Zona Bandung bermorfologi perbukitan curam yang dipisahkan oleh beberapa lembah yang cukup luas. Van Bemmelen (1949) menamakan lembah tersebut sebagai depresi diantara gunung yang prosesnya diakibatkan oleh tektonik (intermontane depression). Batuan penyusun di dalam zona ini terdiri atas batuan sedimen berumur Neogen yang ditindih secara tidak selaras oleh batuan vulkanik berumur Kuarter. Akibat tektonik yang kuat, batuan tersebut membentuk struktur lipatan besar yang disertai oleh pensesaran. Zona Bandung merupakan puncak dari Geantiklin Jawa Barat yang kemudian runtuh setelah proses pengangkatan berakhir (van Bemmelen, 1949). Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung. Pannekoek, (1946), menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi tersebut dapat diamati di Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan bergelombang di Lembah Cimandiri yang merupakan bagian dari Zona Bandung berbatasan langsung dengan dataran tinggi (pletau) Zona Pegunungan Selatan. Morfologi dataran tinggi atau plateu ini, dinamakan sebagai Plateau Jampang. Pola Sesar Berdasarkan hasil penafsiran foto udara dan citra satelit daerah Jawa Barat, diketahui adanya banyak kelurusan bentang alam yang diduga merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya berarah barat-timur, utara-selatan, timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara. Secara regional struktur sesar berarah timurlaut-baratdaya dikelompokkan sebagai Pola Meratus, sesar berarah utara-selatan sebagai Pola Sunda dan sesar berarah barat-timur sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-timur umumnya berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya berupa sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah bervariasi. Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga struktur regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Baribis dan Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh van Bemmelen (1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga sekarang. Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua (umur Kapur), membentang mulai dari Teluk Pelabuhanratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri, Cipatat-Rajamandala, Gunung Tanggubanprahu-Burangrang dan diduga menerus ke timur laut menuju Subang. Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah timurlaut-baratdaya dengan jenis sesar mendatar hingga miring. Oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola Meratus. Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik dengan arah relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga ke daerah Baribis di Kadipaten-Majalengka (van Bemmelen, 1949). Bentangan jalur sesar Baribis dipandang berbeda oleh peneliti lainnya. Martodjojo (1984), menafsirkan jalur Sesar naik Baribis menerus ke arah tenggara melalui kelurusan Lembah Sungai Citanduy. Sedangkan oleh Simandjuntak (1986), ditafsirkan menerus ke arah timur hingga daerah Kendeng di Jawa Timur dan dinamakannya sebagai Baribis-Kendeng Fault Zone. Secara tektonik Sesar Baribis mewakili umur paling muda di Jawa, yaitu pembentukannya terjadi pada periode Plio-Plistosen. Selanjutnya oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola Jawa. Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang kurang lebih 30 km dengan arah barat-timur, merupakan sesar normal dimana blok bagian utara relatif turun membentuk morfologi pedataran (pedataran Lembang). Van Bemmelen (1949), mengkaitkan pembentukan Sesar Lembang dengan aktivitas Gunung Sunda (G. Tanggubanprahu merupakan sisa-sisa dari Gunung Sunda), dengan demikian struktur sesar ini berumur relatif muda yaitu Plistosen. Sedangkan struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola Sunda umumnya berkembang di utara Jawa terutama Laut Jawa. Sesar ini termasuk kelompok sesar tua yang memotong batuan dasar (basement) dan merupakan pengontrol dari pembentukan cekungan Paleogen di Jawa Barat. Mekanisme pembentukan struktur geologi Jawa Barat terjadi secara simultan di bawah pengaruh aktivitas tumbukan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia yang berlangsung sejak Zaman Kapur hingga sekarang. Posisi jalur tumbukan dalam kurun waktu tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada awalnya subduksi purba terjadi pada umur Kapur, dimana posisinya berada pada poros tengah Jawa sekarang. Jalur subduksinya berarah relatif barat-timur melalui daerah Ciletuh-Sukabumi, Jawa Barat menerus ke timur memotong daerah Karang Sambung - Kebumen, Jawa Tengah. Jalur subduksi purba ini selanjutnya menerus ke Laut Jawa hingga mencapai Meratus, Kalimantan Timur (Katili, 1973). Katili menarik jalur subduksi purba berdasarkan pada singkapan melange yang tersingkap di Ciletuh (Sukabumi), Karangsambung (Kebumen) dan Meratus (Kalimantan Timur). Berdasarkan penanggalan radioaktif yang dilakukan terhadap beberapa contoh batuan melange, diketahui umur batuannya adalah Kapur. Peristiwa subduksi Kapur diikuti oleh aktivitas magmatik yang menghasilkan endapan gunungapi berumur Eosen. Di Jawa Barat, endapan gunungapi Eosen diwakili oleh Formasi Jatibarang dan Formasi Cikotok. Formasi Jatibarang menempati bagian utara Jawa dan pada saat ini sebarannya berada di bawah permukaan, sedangkan Formasi Cikotok tersingkap di daerah Bayah dan sekitarnya. Jalur gunungapi yang umurnya lebih muda dari dua formasi tersebut di atas adalah Formasi Jampang. Formasi ini berumur Miosen yang ditemukan di Jawa Barat bagian selatan. Dengan demikian dapat ditafsirkan telah terjadi pergeseran jalur subduksi dari utara ke arah selatan. Untuk ketiga kalinya, jalur subduksi ini berubah lagi. Pada saat sekarang, posisi jalur subduksi berada di Samudra Hindia dengan arah relatif barat-timur. Kedudukan jalur subduksi ini menghasilkan aktivitas magmatik berupa pemunculan sejumlah gunungapi aktif. Beberapa gunungapi aktif yang berkaitan dengan aktivitas subduksi tersebut, antara lain Gunung Salak, Gede, Malabar, Tanggubanperahu dan Ciremai. Walaupun posisi jalur subduksi berubah-ubah, namun jalur subduksinya relatif sama, yaitu berarah barat-timur. Posisi tumbukan ini selanjutnya menghasilkan sistem tegasan (gaya) berarah utara-selatan. Aktivitas tumbukan lempeng di Jawa Barat, menghasilkan sistem tegasan berarah utara-selatan. Tektonik daerah Ciletuh Ciletuh yang secara adminstratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Sukabumi memiliki geologi yang unik. Di daerah ini tersingkap batuan campur aduk (mlange) yang berumur Kapur dan batuan sediment berumur Paleogen. Kelompok batuan Pra-Tersier merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di permukaan daratan Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sendiri ada tiga lokasi yang memiliki singkapan batuan tertua, yaitu di daerah Ciletuh (Sukabumi-Jawa Barat), daerah Karangsambung (Kebumen-Jawa Tengah) dan di daerah Bayat (Klaten, Yogyakarta). Yang unik dari singkapan batuan Pra-Tersier di daerah Ciletuh adalah seluruh singkapan batuannya berada di dalam suatu lembah besar menyerupai sendok terpotong dengan bentuk tapal kuda yang terbuka ke arah Samudra Hindia. Morfologi lembah Ciletuh dibatasi oleh dataran tinggi Jampang (Plateau Jampang) dengan kemiringan lereng yang sangat terjal hingga mendekati vertikal. Di atas dataran tinggi ini, dapat dinikmati pemandangan lembah Ciletuh yang indah dengan latar belakang Samudra Hindia dengan pulau-pulau kecil di sekitar pantainya. Di lembah Ciletuh, dapat dilihat rangkaian bukit kecil dan bukit soliter yang batuannya disusun oleh batuan Pra-Tersier dan sedimen Paleogen. Beberapa morfologi bukit yang dapat dengan jelas dilihat dari daerah ketinggian ini, antara lain Pasir Beas dan Gunung Badak. Batuan Pra-Tersier disusun oleh batuan beku basa dan ultra basa, terdiri atas gabro dan peridotit, sedangkan batuan berumur sedimen Paleogen terdiri atas batupasir greywacke, tuf, batupasir kuarsa dan konglomerat. Kelompok batuan Pra-Tersier dan Paleogen juga sebagai penyusun utama di Pulau Mandra, Pulau Kunti, Pulau Manuk dan pulau-pulau kecil lainnya yang berada di sekitar pantai Ciletuh. Secara stratigrafi batuan Pra-Tersier dan Paleogen di dalam lembah Ciletuh ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Jampang yang berumur Miosen. Batuan Formasi Jampang terdiri atas breksi vulkanik, lava dan tuf, dengan kemiringan perlapisan batuan kurang dari 15. Selanjutnya secara regional Formasi Jampang membentuk morfologi dataran tinggi yang luas (plateau Jampang) dan merupakan pembatas lembah Ciletuh. Besar sudut kemiringan bidang perlapisan batuan sedimen Paleogen umumnya berkisar antara 20 hingga 40. Struktur lipatan umumnya berarah barat-timur hingga timurlaut-baratdaya. Struktur lipatan ini terbentuk akibat gaya-gaya kompresional dengan sistem tegasan berarah utara-selatan. Struktur sesar daerah Ciletuh juga terbentuk akibat gaya-gaya kompresional berarah utara-selatan. Struktur sesar ini memotong batuan mulai dari umur Pra-Tersier hingga Neogen. Penyebaran satuan batuan di dalam lembah Ciletuh, umumnya dikontrol oleh struktur sesar. Dari hasil intrepretasi citra satelit dan pengukuran bidang struktur di lapangan diketahui bahwa struktur geologi daerah Ciletuh terdiri atas struktur lipatan dan sesar. Sesarnya berjenis sesar naik, sesar mendatar dan sesar miring. Umumnya sesar tersebut berarah utara-selatan, baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya. Sejarah Geologi Ciletuh Daerah Ciletuh pada saat ini terletak pada lingkungan tektonik busur vulkanik dari sistem tumbukan antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo-Australia. Lempeng Eurasia bersifat granitis, dinamakan juga sebagai lempeng kontinen, sedangkan Lempeng Indo-Australia bersifat basaltis, dinamakan juga sebagai lempeng oseanik. Posisi jalur tumbukan kedua lempeng berada di Samudera Hindia. Dari waktu ke waktu, posisi jalur tumbukan dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi geologinya pada saat itu. Pada Zaman Kapur, posisi jalur tumbukan berada di daerah Ciletuh sekarang. Akibat dari pertemuan kedua lempeng tersebut, daerah Ciletuh pada saat itu berada di lingkungan laut dalam. Morfologi dasar laut yang dibentuk oleh aktivitas tumbukan kedua lempeng tersebut menyerupai parit atau palung yang memanjang dengan arah barat-timur. Di dalam palung (zona tumbukan) terakumulasi sedimen laut dalam berupa lapisan lempung dan batugamping klastik. Disamping itu, di dalam zona tumbukan terjadi proses percampuran batuan yang mekanismenya dapat terjadi secara tektonik dan sedimenter. Batuan campur aduk (batuan bancuh) dinamakan pula sebagai melange, batuannya terdiri atas batuan beku, batuan metamorfik dan batuan sedimen. Apabila proses percampuran batuannya akibat tektonik dinamakan melange tektonik dan apabila prosesnya akibat sedimentasi maka dinamakan melange sedimenter atau olistostrom. Di dalam lembah Ciletuh, batuan melange terdiri atas batuan basa dan ultra basa (ofiolit), seperti peridotit, serpentinit, gabro dan basalt. Batuan melange Ciletuh selanjutnya ditutupi secara tidak selaras oleh batuan sedimen Formasi Ciletuh. Formasi Ciletuh terdiri atas metasedimen, breksi dan greywacke. Di dalam lembah Ciletuh, satuan batuan tersebut dapat dijumpai di daerah bermorfologi bergelombang dan di beberapa daerah sekitar pantai. Daerah Ciletuh yang semula berupa cekungan pada akhirnya penuh dengan isian sedimen (Formasi Ciletuh) dan pada saat yang bersamaan tektonik pengangkatan terus berlangsung. Akibat proses geologi ini, daerah Ciletuh untuk pertama kalinya berubah menjadi daratan. Morfologi daratan Ciletuh pada saat itu terdiri atas perbukitan dan lembah. Bentuk morfologi tersebut dikontrol oleh sesar-sesar normal yang diakibatkan oleh tektonik regangan. Pada bagian rendahan mulai terakumulasi sediment sungai, terdiri atas lapisan pasir kuarsa dan konglomerat. Satuan batuan tersebut pada akhirnya dinamakan sebagai Formasi Bayah (Martodjojo, 1984). Selanjutnya tektonik regangan ini makin intensif sehingga sebaran sedimennya makin luas dan tebal serta dibeberapa tempat sudah mulai terbentuk sedimen di lingkungan transisi dan delta. Tektonik regangan yang terjadi pada saat itu, mengawali pembentukan cekungan yang dinamakan Cekungan Bogor dan pada tahap berikutnya daerah Ciletuh kembali tenggelam menjadi lautan. Secara tektonik daerah Ciletuh pada saat itu berada di lingkungan Cekungan Belakang Busur. Ciletuh kembali menjadi daratan pada kala Plio-Plistosen. Pada saat itu tektonik kompresi di Jawa berlangsung secara besar-besaran. Seluruh batuan di dalam Cekungan Bogor mengalami pengangkatan, perlipatan dan pensesaran yang menyebabkan sebagian besar Cekungan Bogor menjadi daratan. Secara tektonik daerah Ciletuh pada saat itu berada di lingkungan busur gunungapi dan kondisi tersebut bertahan hingga sekarang. Mekanisme Tersingkapnya Batuan-Pra Tersier Ciletuh Batuan Pra-Tersier Ciletuh yang tersingkap di dalam lembah Ciletuh, menempati elevasi mulai 0 hingga 50 m di atas permukaan laut. Pada batas lembah-lembahnya, batuan tua ini ditutupi oleh Formasi Jampang yang umurnya lebih muda (Miosen). Dilihat dari sejarah geologinya, batuan Pra-Tersier Ciletuh merupakan batuan tertua yang terletak di bagian paling bawah dari urutan stratigrafinya. Selanjutnya batuan tua ini ditutupi oleh batuan sedimen yang umurnya lebih muda dengan tebal mencapai ribuan meter. Pada saat ini, batuan Pra-Tersier telah tersingkap ke permukaan dengan berbagai macam proses geologi. Proses tektonik merupakan mekanisme utama yang menggerakkan batuan dari posisi bawah ke permukaan berupa pengangkatan. Proses pengangkatan dapat terjadi melalui mekanisme pembentukan struktur lipatan dan sesar naik. Jalur sesar naik daerah Ciletuh dan sekitarnya umumnya berarah barat-timur, sedangkan sebaran batuan tua yang berada di lembah Ciletuh dibatasi oleh batas-batas lembahnya yang melingkar. Dengan demikian harus ada mekanisme lainnya yang menyebabkan batuan tua tersebut tersingkap ke permukaan. Morfologi lembah membusur dengan bentuk setengah lingkaran atau bentuk tapal kuda biasanya terjadi akibat longsoran. Dengan mengacu kepada model tersebut maka di daerah Ciletuh pernah terjadi peristiwa longsor besar yang menyebabkan masa batuan Formasi Jampang bergerak ke arah laut (Bentuk lembah Ciletuh membusur dan terbuka ke arah laut). Selanjutnya akibat peristiwa longsoran besar ini, tersingkaplah batuan tua di permukaan. 4.4.2. Tektonik Jawa Tengah Seperti halnya dengan Jawa Barat, di Jawa Timur juga ditemui hasil produk dari aktivitas geologi yang khas. Jalur patahan di Jawa Tengah yang merupakan kawasan lemah, membujur dari timur laut ke barat daya, yang dikenal sebagai Sesar Opak, serta barat laut ke tenggara di wilayah Kabupaten Banyumas dan di bagian utara sekitar semenanjung Muria terdapat Sesar Juwana-Lasem. Gempa Yogya pada 27 Mei 2006 menimbulkan sesar kecil ke arah timur, yakni di Gantiwarno, Wedi, hingga Bayat di Kabupaten Klaten. Daerah rawan gempa tidak hanya terjadi di sepanjang jalur Sesar Opak yang berawal dari muara Sungai Opak, Daerah Istimewa Yogyakarta hingga Tulung, Klaten, tetapi juga ke arah timur di sekitar Prambanan, Klaten. Dari penyusuran yang dilakukan dari Imogiri ke arah Parangtritis, maka di sebelah kanan terdapat Sungai Opak, sedangkan di sebelah kiri terbentang barisan perbukitan yang memanjang dari Imogiri sampai ke Parangtritis. Bila dilihat barisan perbukitan tersebut dari peta adalah relatif lurus, terutama kalau dilihat dari satelit atau foto udara. Hal ini merupakan suatu tanda awal akan adanya patahan bumi. Selanjutnya di Pantai Parangtritis yang jauh dari Gunung Merapi ditemui sumber air panas. Sumber air panas ini menunjukkan bahwa adanya aktivitas magma di bawah permukaan yang memanasi akuifer air tanah di daerah Parangtritis. Adanya magma yang sampai naik ke dekat permukaan bumi juga menunjukkan bahwa ada rekahan dalam bumi di mana magma bisa naik. Kemudian di barisan perbukitan tersebut akan terlihat tumpukan longsoran batuan yang berbentuk segitiga yang secara geologi disebut triangular facet yang mencirikan adanya patahan bumi. Patahan seperti ini biasanya disebut sesar turun di mana perbukitan merupakan bagian blok sesar yang relatif naik, dan dataran Sungai Opak merupakan blok sesar yang turun. Untuk selanjutnya disebut dengan Sesar Opak. Sedangkan di Sungai Progo, juga terlihat kelurusan dari satelit yang menunjukkan sesar turun yang disebut Sesar Progo, di mana blok di sebelah timur relatif turun terhadap blok di sebelah barat. Dataran Bantul merupakan sebuah terban (graben), dibatasi oleh Sesar Opak di sebelah timur dan Sesar Progo di sebelah barat (Gambar 4.14). Terban Bantul ini terbentuk sudah lama sekali dan sekarang sudah tertutupi oleh endapan dari letusan Gunung Merapi sehingga menjadi lahan yang subur.

Sesar Opak teraktifkan kembali sehingga terjadi gempabumi yang melanda Bantul dan Yogyakarta tahun 2006. Banyak sekali terjadi kerusakan di daerah Bantul karena daerah Bantul merupakan terban sehingga bila terban tersebut bergerak, maka akibatnya sangat dahsyat. Gempa utama terjadi dengan pusat gempa di Parangtritis. Setelah itu juga terjadi dua gempa susulan yang tercatat dengan pusat gempa di daerah Klaten. Gempa susulan terjadi karena pergerakan Sesar Opak yang besar memicu bergeraknya patahan lainnya (synthetic fault) di daerah Klaten. Ketiga pusat gempa tersebut terbentuk oleh sesar yang berbeda. Kalau Sesar Opak ini teraktifkan kembali, maka gempa yang ditimbulkan akan lebih hebat. 4.4.3. Tektonik Jawa Timur Jawa Timur yang merupakan ujung timur Pulau Jawa, menurut strukturnya Cekungan Belakang Busur Jawa Timur tidak dapat dipisahkan dari sejarah struktur Pulau Jawa dan sekitarnya serta tektonik Asia Tenggara. Interpretasi secara menyeluruh pertama kali terhadap sejarah struktur Jawa dilakukan oleh Van Bemmelen pada tahun 1949. Meskipun dengan teori Pengapungan Benua yang dikemukakan Wegener, teori lempeng tektonik agak sulit untuk diterapkan disini, pengamatan dan ide Van Bemmelen didasarkan pada teori klasik geosinklin dan orogenesis. Secara umum Jawa merupakan bagian dari busur pulau yang terletak pada tepian lempeng daratan yang bertemu dengan kerak lempeng oseanik yang bergerak ke utara dibawahnya yang lebih dikenal dengan zona subduksi. Tektonik Asia Tenggara sendiri dikontrol oleh interaksi empat lempeng utama yaitu Lempeng Indo-Australia di sebelah selatan, Lempeng Filipina dan Lempeng Pasifik di sebelah timur serta Lempeng Eurasia di sebelah barat laut. Pada awal Kapur, Lempeng Indo-Australia bergerak ke utara dan Lempeng Pasifik bergerak ke barat tersubduksi masuk ke bawah Lempeng Eurasia (Daly dkk., 1991). Tumbukan Mikro Daratan Lolotoi (Barber, 1979) dengan Dataran Sunda bagian tenggara menghasilkan komplek batuan melange dengan pola arah timur laut memotong Laut Jawa saat ini. Pada Kapur akhir, terbentuk cekungan yang teregang secara lokal dan dipengaruhi suatu komponen wrench yang meluas secara lateral pada tumbukan tersebut. Pada masa Paleo-Eocene, belakang busur terbentuk suatu rangkaian struktur halus yang berarah timur barat. Pada awal-pertengahan Miocene, beberapa bagian zona ini mengalami pengangkatan menghasilkan suatu bentukan yang disebut dengan Central High. Kemudian pada Miosen akhir terjadi kompresi utara selatan yang disebabkan pengangkatan dan pembalikan di sepanjang patahan dari half graben sehingga membentuk struktur antiklin muda. Pengangkatan berlanjut sampai saat ini dengan terbentuknya rangkaian pulau yang memotong dari timur ke barat. Dengan berjalannya waktu, zona subduksi diyakini mengalami perubahan arah, pada masa Kapur awal dan Eosen mengarah ke selatan dan timur (Hamilton, 1979), dan saat ini subduksi berjalan pararel timur barat menembus zona wrench yang aktif pada periode Neogen. Menurut Hamilton (1979) dan Barber (1985), terdapat tiga jenis kerak bumi di sekitar Jawa yaitu kerak kontinen, intermediet, dan kerak oseanik. Kerak kontinen sendiri terdiri dari batuan metamorf berumur Trias-Kapur dengan intrusi granit yang ditemukan di pegunungan barat daya Kalimantan, Platform Seribu di barat laut Jawa dan Kepulauan Bangka Belitung di barat laut Jawa. Kerak intermediet merupakan campuran antara batuan kontinen dan laut yang terdiri dari batuan melange sekis biru, ofiolit, gabbro, dan lava bantal basalt, batugamping laut dalam dan rijang. Batuan-batuan tersebut dapat ditemukan di Ciletuh dan Luk Ulo di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Pegunungan Meratus di bagian tenggara Kalimantan dan di Sulawesi yang terbentuk pada Kapur Akhir dan Paleosen. Kerak oseanik ditemukan berumur Kapur dan Jura akhir. Batuan berumur Kapur saat ini bisa ditemukan di selatan Palung Jawa dengan komposisi dominan basaltik (Barber, 1985). Cekungan Jawa Timur terdapat pada kerak intermediet dari kelompok melange. Cekungan belakang busur Jawa Timur dikelilingi oleh busur Karimun Jawa dan Tinggian Meratus di bagian barat dan utara, fold beld di bagian selatan dan Tinggian Masalembo-Doang di sebelah timur. Susunan bentuk cekungan, tinggian dan dasar basement secara mendasar dikontrol oleh tegangan tektonik yang berbeda dari satu area dengan area yang lain. Secara fisik dapat dibedakan atas tiga struktur utama yaitu Platform Utara, Central High, dan Cekungan Selatan. Jawa timur laut (Kujung)-Madura-Kangean-Tinggian Lombok merupakan kelompok Central High, Busur Bawean-JS-1 Ridge-Platform utara Madura/Kangean yang sebagai platform utara dan Rembang-Selat Madura-Lombok sub-basin sebagai Cekungan Selatan (Gambar 4.15).

Secara prinsip, tektonik Jawa Timur pada skala regional mempunyai dua pola patahan utama dalam area cekungan Jawa Timur yaitu berorientasi NE-SW dan E-W. Pola sesar dengan orientasi NE-SW kebanyakan ditemukan di sebelah utara dari bagian barat dari cekungan Jawa Timur dan mengalami perubahan arah E-W di sebelah selatan. Kedua pola sesar tersebut diyakini berkembang pada waktu tektonik yang sama yaitu pada Paleogene dan Neogene. Selama masa peregangan, graben, half graben dan sesar berasosiasi dengan celah yang terbentuk di sepanjang area tersebut dan secara prinsip berpola E-W. Sesar-sear tersebut banyak ditemukan di area Madura dan Tinggian Kangean, Kemirian/Sakala-Kangean-Madura, Sepanjang-Raas-BD dan Patahan Porong. Pada masa regangan berikutnya mulai terjadi deformasi pada Miosen awal dimana terutama bersifat kompresi dengan beberapa wrenching. Sesar aktif dan blok sesar utama bergerak mengikuti reaktivitas dari sesar regangan. Deformasi terbentuk pada waktu ketika fragmen kontinen Australia dari Sulawesi Timur dan Tukang Besi bertabrakan dengan Sulawesi Selatan (bagian paling timur dari Dataran Sunda). Pembalikan disebabkan oleh pengangkatan sebelum penurunan thrown graben yang disebut sebagai Central High. Lumpur Sidoarjo Secara geologi semburan lumpur yang terjadi di Madura ternyata berada satu garis sesar dengan lumpur panas yang saat ini menyembur di sekitar lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Porong Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Deretan lumpur vulkanik (mud vulcano) yang muncul di Jawa Timur mulai dari Kecamatan Geger Bangkalan Madura, Karang Anyar Sedati Sidoarjo, Gunung Anyar Rungkut Surabaya dan Porong Sidoarjo berada dalam satu lipatan yang di Porong dinamakan Lipatan Sekar Putih. Lumpur vulkanik ini sudah ada sejak jutaan tahun lalu, sekarang baru terjadi karena adanya tekanan tektonik sehingga menyembur ke atas permukaan. Di Selat Madura Purba hingga Purwodadi Jawa Tengah lumpur tersebut mengendap membentuk lapisan vulkanik yang usianya 5 juta tahun. Dibanding lumpur Sidoarjo, kondisi semburan lumpur di Madura relatif lebih stabil dan aman sebab tekanan yang di Madura sudah lepas di Porong (Gambar 4.16).

Menurut sejarahnya lumpur vulkanik sudah pernah terjadi sebelumnya, berdasarkan peta geologi buatan Belanda 1938 memperlihatkan bahwa di peta Sidoarjo terdapat dua moddervulkanen atau mudvolcano di daerah Gedangan. Satu di Poeloengan dan satu lagi di Desa Betro, Buncitan, Kalang Anyar (Gambar 4.16). Blok Brantas berada pada jalur Active Mud Volcano yang membentang dari Purwodadi Cepu Bojonegoro Porong. Fenomena lumpur vulkanik juga didapati di Sangiran, Kuwu Purwodadi yang masih aktif menyembur sampai sekarang, Tuban, Koneng, Bangkalan, Gunung Anyar di Rungkut Surabaya, Gedangan Sidoarjo, Banjarpanji fase erupsi besar, sebelah utara Probolinggo, sebelah utara Bali sampai utara Lombok. Ketiga lokasi terakhir ini berada di bawah permukaan laut. Lumpur vulkanik dengan zona yang luas sehingga membentuk komplek lumpur vulkano terdapat di Azerbaijan yang saat ini dija dikan obyek wisata.