PERLINDUNGAN-HUKUM-TERHADAP-KONSUMEN-MELALUI-SERTIFIKASI-HALAL-RUMAH-POTONG-HEWAN-RPH-DI-PULAU-LOMBOK1.pdf...
-
Upload
maisha-chemumoet -
Category
Documents
-
view
16 -
download
0
Transcript of PERLINDUNGAN-HUKUM-TERHADAP-KONSUMEN-MELALUI-SERTIFIKASI-HALAL-RUMAH-POTONG-HEWAN-RPH-DI-PULAU-LOMBOK1.pdf...
JURNAL ILMIAH
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN MELALUI SERTIFIKASI HALAL RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
DI PULAU LOMBOK
oleh :
TSIN ZUYYINA ZARKASI D1A.010.016
UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS HUKUM
2014
Halaman Pengesahan Jurnal Ilmiah
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN MELALUI SERTIFIKASI HALAL RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
DI PULAU LOMBOK
oleh :
TSIN ZUYYINA ZARKASI D1A.010.016
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
Dr. Kurniawan, SH., M.Hum. NIP. 19770303 200312 1 001
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN MELALUI SERTIFIKASI HALAL RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
DI PULAU LOMBOK
Tsin Zuyyina Zarkasi D1A 010 016
Fakultas Hukum Universitas Mataram
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum
konsumen terkait sertifikasi halal Rumah Potong Hewan (RPH) di Pulau Lombok dan pelaksanaan sertifikasi halal pada Rumah Potong Hewan (RPH) di Pulau Lombok, untuk keperluan pengembangan ilmu hukum dan pengetahuan bagi masyarakat maupun pemerintah. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif-empiris. Hasil dari penelitian ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) dan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 ayat (1) huruf h. Pelaksanaan sertifikasi halal pada Rumah Potong Hewan (RPH) di Pulau Lombok diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi, kenyataannya tiga Kabupaten tidak mempunyai sertifikat halal sedangkan di Kota Mataram sertifikat halal sudah kadaluarsa. Pentingnya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan berperan aktif dalam melaporkan Rumah Potong Hewan (RPH) yang belum mendapat sertifikat halal serta diharapkan bagi MUI untuk memperjelas mekanisme sertifikasi halal.
Kata Kunci : Sertifikasi Halal, Rumah Potong Hewan (RPH)
LEGAL PROTECTION OF CONSUMERS THROUGH HALAL CERTIFIED SLAUGHTER HOUSE ON LOMBOK ISLAND
ABSTRACT This study was conducted to determine the form of consumer protection
laws related to halal certification Slaughter House on Lombok Island and the implementation of halal certification at Slaughter House on Lombok Island, to provide of legal science and the need for the knowledge society and government. The method used is a normative-empirical. The results is seen in the Law Number 18 Year 2009 on Animal Husbandry and Animal Health, Article 62 paragraph (1) and paragraph (2) and the Act Number 8 of 1999 on Consumer Protection, Section 8, paragraph (1) letter h. Halal certification on Slaughter House on Lombok Island is given by the Indonesian Ulama Council province, in fact three districts don’t have halal certificate while in Mataram halal certificate has expired. Department of Animal Husbandry and Animal Health plays an active role in reporting Slaughterhouse that haven’t been halal certified and is expected to clarify the mechanism for MUI halal certification.
Key Words : Halal Certification, Slaughter House
i
I. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, makanan mempunyai peranan yang
penting bagi manusia. Peran tersebut antara lain untuk mempertahankan
kelangsungan hidup, melindungi dan menjaga kesehatan serta sebagai sumber
energi.1 Makanan yang sehat adalah makanan yang memiliki komposisi gizi
yang lengkap yang terdiri dari karbohidrat, serat, lemak, vitamin mineral dan
protein, baik yang bersumber dari hewan maupun tumbuhan.2 Sumber protein
hewan salah satunya adalah daging.
Khusus untuk daging sapi, sangat diperhatikan karena banyak
peternak dan pedagang yang berbuat curang. Contohnya seperti adanya
daging sapi gelondongan, daging sapi yang dicampur dengan daging lain yang
menyebabkan daging sapi tersebut tidak utuh, dan daging sapi yang cara
penyembelihannya tidak jelas.
Untuk menjamin produk daging sapi yang berkualitas, higienis dan
halal serta layak konsumsi, pemerintah sudah mengaturnya di dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,
pada Pasal 58 ayat (1) yang mengatakan bahwa :
“Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan
pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standarisasi, sertifikasi dan registrasi
produk hewan.”
1http://biohealthyfood.blogspot.com/2010/05/fubgsi-makanan-secara-
umum.html. Berita Akses tanggal, 9 Oktober 2013 2 http://agungswastika.wordpress.com/kesehatan/makanan-sehat-seimbang/.
Berita Akses tanggal, 9 Oktober 2103
ii
Berdasarkan aturan tersebut, maka pemerintah, khususnya di Pulau
Lombok melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan membangun dan
mengembangkan Rumah Potong Hewan (RPH) dengan dasar yang mengacu
pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun 2010 tentang Persyaratan
Rumah Potong Hewan Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging (Meat
Cutting Plant), Pasal 2 yang menyebutkan bahwa :
“Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan dan dasar hukum bagi
setiap orang dan pemerintah daerah dalam membangun dan mengembangkan
RPH dan UPD.”
Untuk suatu produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan
syariat islam, antara lain :3
1) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi; 2) Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan
yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya;
3) Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat islam;
4) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut sayriat islam;
5) Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
Mengingat pentingnya fungsi dari Rumah Potong Hewan, terutama
sebagai tempat pemotongan hewan secara benar yang berarti tata cara
pemotongan hewan tersebut harus halal, maka Rumah Potong Hewan wajib
memiliki sertifikat halal yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
3 Burhanuddin S, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen Dan
Sertifikasi Halal, UIN Maliki Press, 2011, hlm 140.
iii
Di Pulau Lombok terdapat 6 lokasi pendirian Rumah Potong Hewan, yaitu di
Kota Mataram, 2 RPH Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok
Tengah, Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur.
Permasalahan yang diangkat dalam Jurnal Ilmiah ini adalah
menyangkut bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen terkait sertifikasi
halal Rumah Potong Hewan (RPH) di Pulau Lombok dan pelaksanaan
sertifikasi halal dalam Rumah Potong Hewan (RPH) di Pulau Lombok.
Dengan berusaha menjawab kedua permasalahan tersebut maka Jurnal Ilmiah
ini diharapkan memberikan manfaat dalam pengembangan Ilmu Hukum dan
memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya menyangkut
perlindungan terhadap konsumen. Untuk menjawab permasalahan tersebut,
penyusun melakukan penelitian dengan jenis penelitian hukum secara
normatif-empiris dengan metode pendekatan perundang-undangan dan metode
pendekatan kasus. Jenis dan sumber bahan hukumnya berupa bahan hukum
primer, sekunder dan tersier dengan tehnik memperoleh bahan hukum berupa
study dokumentasi atau study kepustakaan dengan mempelajari, mencatat dan
menyalin buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan terkait,
pendapat para sarjana, skripsi, bahan lain yang ada kaitannya dengan masalah
yang diteliti serta melakukan wawancara dengan cara tanya jawab secara
langsung dengan informan, menggunakan analisis deskriptif secara sistematis
kemudian menggunakan metode deduktif dengan menarik kesimpulan dari
bersifat umum ke khusus.
iv
II. PEMBAHASAN
Bentuk Perlindungan Hukum Konsumen Terkait Sertifikat Halal Rumah
Potong Hewan (RPH) di Pulau Lombok
Perlindungan hukum konsumen terkait pembentukkan Rumah
Potong Hewan (RPH) telah diatur dalam Undang-Undang, yaitu dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan pada Pasal 61 ayat (1) yang menjelaskan bahwa pemotongan hewan
yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di rumah potong hewan dan
mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat
veteriner dan kesejahteraan hewan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut,
rumah potong hewan sangat dibutuhkan dalam melakukan pemotongan
hewan, sehingga dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, Pasal 62 ayat
(1) menegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib memiliki Rumah
Potong Hewan (RPH). Kemudian Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13
Tahun 2010 Pasal 2, yaitu mengenai pembentukkan Rumah Potong Hewan
(RPH) untuk setiap orang dan pemerintah daerah harus mengacu pada
peraturan ini.
Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan salah satu unit usaha yang
sangat penting dalam menjaga kehalalan pangan yang beredar di masyarakat.
Didalam RPH terdapat salah satu tahap yang cukup kritis ditinjau dari segi
kehalalan, yaitu proses penyembelihan hewan. Proses tersebut sangat
menentukan halal atau tidaknya daging atau bagian lain dari hewan (lemak,
v
tulang, bulu, jeroan, dsb) yang dihasilkan.4 Pentingnya mengkonsumsi hewan
halal karena akan membawa keberkahan serta akan menimbulkan kesehatan
jasmani dan rohani bagi yang mengkonsumsinya, juga menyangkut dengan
ketentraman batin konsumen. Untuk itu MUI sebagai lembaga pelaksana
pemeriksaan pangan halal wajib memberikan sertifikasi halal bagi Rumah
Potong Hewan, sesuai dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun
2001 tentang Lembaga Pemeriksaan Pangan Halal, pada Pasal 2 bahwa MUI
melakukan pemeriksaan pangan yang meliputi :
a. Pemeriksaan dan/atau verivikasi data pemohon;
b. Pemeriksaan proses produksi;
c. Pemeriksaan laboraturium;
d. Pemeriksaan pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan produk;
e. Pemeriksaan sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian;
f. Pemrosesan dan penerapan Sertifikasi Halal.
Pengaturan mengenai pangan halal yang kemudian dalam Pasal 97
ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,
menyebutkan bahwa :
“Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan
Pangan”
Label dalam hal ini diartikan sebagai keterangan mengenai pangan
yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang
4 Saiful Muslim, Tata Cara Pemotongan Sapi Di RPH Berdasarkan Syariat/Hukum Islam, MUI, 2013, hlm 6.
vi
disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau
merupakan bagian kemasan pangan.5
Termasuk mengenai keterangan halal yang harus dimasukkan dalam
label suatu produk makanan, seperti yang telah dimuat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dijelaskan
secara tegas mengenai halal, pada Pasal 10 ayat (1) bahwa :
“Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke
dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa
pangan tersebut halal bagi umat islam, bertanggung jawab atas kebenaran
pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal
pada Label.”
Ayat (2) :
“Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari label.”
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pada Pasal 8 ayat (1) huruf h telah termuat larangan
bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan memproduksi barang dan/atau
jasa tidak sesuai dengan ketentuan berproduksi secara halal jika dalam label
barang dan/atau jasa tercantum pernyataan halal.
5 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, PP No.
69 Tahun 1999. LN No. 54 Tahun 2009, TLN No. 3952, Psl 1 angka 3.
vii
Pelaksanaan Sertifikasi Halal Pada Rumah Potong Hewan (RPH) di
Pulau Lombok
Sertifikasi halal diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Provinsi, sebagai dasar acuan MUI dalam memberikan sertifikasi halal
tertuang dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang
Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, pada Pasal 1 yang
menyatakan bahwa :
“Menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga pemeriksaan
pangan yang dinyatakan halal, yang dikemas untuk diperdagangkan di
Indonesia.”
Sedangkan Pasal 2, berbunyi :
“Pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, meliputi : a. Pemeriksaan dan/atau verivikasi data pemohon; b. Pemeriksaan proses produksi; c. Pemeriksaan laboraturium; d. Pemeriksaan pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan produk; e. Pemeriksaan sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian; f. Pemrosesan dan penerapan Sertifikasi Halal.”
Di Pulau Lombok sendiri terdapat begitu banyak Rumah Potong
Hewan (RPH), ada sekitar 17 RPH yang terdaftar di Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi NTB.6 Dari 17 RPH tersebut yang tersebar di
Pulau Lombok, penulis mengambil sampel satu RPH yang terbesar di tiap-tiap
Kabupaten di Pulau Lombok, yaitu Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten
Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur dan Wilayah Kota Mataram. Dari
6 Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi NTB.
viii
keempat sampel yang penulis teliti, 3 diantaranya tidak memiliki sertifikat
halal dari MUI, yaitu RPH yang berada di Kabupaten Lombok Barat,
Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, sedangkan Untuk
RPH di Kota Mataram sertifikat halal RPH tersebut belum diperpanjang
hingga saat ini.
Untuk Rumah Potong Hewan (RPH) terdapat mekanisme yang harus
dilalui dalam melakukan pendaftaran sertifikasi halal, yaitu :7 a. Rumah
Potong Hewan (RPH) yang ada mendaftar kepada MUI; b. Setelah itu, MUI
memberikan formulir yang harus diisi oleh RPH yang mendaftar tersebut; c.
Setelah RPH mengisi dan mengembalikan formulir, kemudian MUI mengaudit
formulir tersebut dan ditentukan apakah RPH yang mendaftar layak atau tidak
untuk di audit ke lapangan; d. Kemudian setelah dinyatakan layak, MUI dan
pengurus RPH membuat perjanjian waktu untuk pengauditan lapangan; e. Tim
Audit MUI yang datang ke lapangan kemudian mengecek pada saat
penyembelihan di RPH, melihat apakah ada dokter yang memeriksa hewan
sebelum disembelih, kemudian auditor melihat bagaimana perlakuan setelah
hewan disembelih; f. Setelah tim auditor MUI menyatakan cukup dalam
melakukan tinjauan lapangan, maka auditor mengadakan rapat. Kemudian
hasil rapat tersebut dilaporkan kepada Komisi Fatwa; g. Komisi Fatwa
mengadakan sidang untuk menentukan apakah RPH tersebut berhak
memperoleh sertifikat halal atau tidak; h. Jika Komisi Fatwa menolak
memberikan sertifikat halal, berarti ada sesuatu yang kurang dalam RPH
7 Berdasarkan wawancara dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi NTB, Bapak Saiful Muslim, tanggal 11 November 2013, pukul 10.00 WITA.
ix
tersebut sehingga perlu diperbaiki; i. Jika Komisi Fatwa menyatakan lolos,
barulah RPH tersebut mendapatkan sertifikat halal yang diterbitkan oleh MUI.
Dari hasil wawancara penulis dengan informan ditemukan bahwa
RPH yang tidak bersertifikat halal dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu : a.
Tidak mengetahui bahwa sertifikat tersebut harus diperpanjang 2 tahun sekali;
b. Menurut jagal, bahwa mereka sudah melakukan penyembelihan sesuai
syariat Islam sehingga tidak perlu untuk memiliki sertifikat halal; c.
Penggunaan RPH di Pulau Lombok tidak optimal.
Pengadaan sertifikasi halal pada produk pangan, obat-obatan,
kosmetika dan produk lainnya termasuk Rumah Potong Hewan sebenarnya
bertujuan untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu produk,
sehingga dapat menentramkan batin konsumen muslim. Namun, ketidaktahuan
seringkali membuat minimnya perusahaan memiliki kesadaran untuk
mendaftarkan diri guna memperoleh sertifikat halal.8
Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara
kehalalan produk yang diproduksinya dan sertifikat ini tidak dapat
dipindahtangankan. Masa berlaku sertifikat halal adalah 2 tahun, yang
selanjutnya dapat diperbaharui. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk
menjaga konsistensi produsen selama berlakunya sertifikat. Sertifikat yang
sudah berakhir masa berlakunya, termasuk fotokopinya tidak boleh digunakan
8 Burhanuddin S, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen Dan
Sertifikasi Halal, UIN Maliki Press, 2011, hlm 141
x
atau dipasang dengan maksud-maksud tertentu. Sedangkan untuk daging yang
diekspor surat keterangan halal diberikan untuk setiap pengapalan.9
MUI dalam hal ini tidak dapat secara paksa untuk memerintahkan
kepada semua RPH untuk memiliki sertifikat halal dikarenakan peraturan
tertinggi dari pemerintah dalam bentuk Undang-Undang belum ada yang
mengatur mengenai hal tersebut sehingga MUI hanya bersifat pasif,
menunggu kesadaran RPH untuk mau mendaftarkan sertifikasi halalnya.10
Disatu sisi, pihak Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan seharusnya bersifat aktif dalam
memberikan rekomendasi bagi Rumah Potong Hewan (RPH) yang sudah
terdaftar izin usahanya untuk mendaftarkan sertifikasi halal ke MUI, tetapi
pada kenyataannya Dinas Peternakan dan Kesehatan hewan belum melakukan
hal tersebut, dikarenakan kurang memperhatikan peraturan-peraturan yang ada
mengenai sertifikat halal, dan anggaran yang dibutuhkan belum terencana
dengan maksimal.11
9 Burhanuddin S, Ibid. 10 Ibid 11 Berdasarkan wawancara yang diterima dari Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi NTB, Bapak Isnan Zarkasi, tanggal 18 Februari 2014, puk ul 14.00 WITA.
xi
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam jurnal ini maka penyusun dapat
menyimpulkan bahwa : 1. Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen
terkait sertifikasi halal Rumah Potong Hewan di Pulau Lombok, yaitu terdiri
dari : a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Pasal 58 ayat (1) dijelaskan mengenai penjaminan produk
hewan yang Aman, Sehat, Utpuh dan Halal harus melalui proses pemeriksaan,
sertifikasi dan registrasi produk hewan. Pasal 61 ayat (1) menjelaskan bahwa
pemotongan hewan harus dilakukan di Rumah Potong Hewan serta harus
sesuai dengan syarat kesehatan dan kesejahteraan hewan. Sedangkan Pasal 62
ayat (2) harus memperhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang
dianut masyarakat. b) Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2010 tentang
Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging
(Meat Cutting Plant), Pasal 37 ayat (1) intinya dalam mengatur produk hewan
yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal harus melalui pengawasan Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Kesmavet). c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 ayat (1) huruf h intinya melarang
pelaku usaha dalam memproduksi dan memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang tidak berproduksi secara halal sesuai dengan label halal yang
dicantumkan dalam produk. d) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan pada Pasal 95 ayat (1) mengatur bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah harus melakukan pengawasan pada sistem jaminan produk
xii
halal terhadap pangan. Ayat (2) menjelaskan bahwa ketentuan jaminan produk
halal harus sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan. Pasal 97 ayat (1)
diatur mengenai kewajiban bagi setiap orang untuk mencantumkan label pada
kemasan pangan. 2. Dari hasil penelitian RPH di Pulau Lombok, yaitu
Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur tidak ada satupun yang
memiliki sertifikat halal, sedangkan di Kota Mataram, di RPH Negeri
Mataram memiliki sertifikat halal tetapi sudah kadaluarsa dan belum
diperpanjang.
Saran
Dari kesimpulan yang diuraikan diatas maka penyusun dapat
memberikan saran, yaitu : 1. Untuk Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
yang berada di Kota, Kabupaten maupun Provinsi harus tanggap untuk
melaporkan dan memberi izin serta mendaftarkan RPH yang ada ke MUI agar
memperoleh sertifikat halal yang menjamin ketentraman batin bagi konsumen
sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang
Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2. Diharapkan kepada MUI Provinsi agar
memperjelas lagi bagaimana mekanisme serta prosedur pendaftaran sertifikat
halal dengan cara membuat bagan yang ditempel di dinding kantor MUI dan
memperjelas bahwa MUI Provinsi yang berwenang memberikan dan
menerbitkan sertifikat halal bagi semua produk makanan termasuk Rumah
Potong Hewan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Burhanuddin S. Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen Dan Sertifikasi Halal. UIN Maliki Press, 2011.
Muslim, Saiful. Tata Cara Pemotongan Sapi Di RPH Berdasarkan
Syariat/Hukum Islam. MUI, 2013. B. Peraturan
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, PP No. 69 Tahun 1999. LN No. 54 Tahun 2009, TLN No. 3952, Psl 1 angka 3
C. Internet
http://biohealthyfood.blogspot.com/2010/05/fubgsi-makanan-secara-
umum.html. Berita Akses tanggal, 9 Oktober 2013
http://agungswastika.wordpress.com/kesehatan/makanan-sehat-seimbang/ Berita Akses tanggal, 9 Oktober 2103
D. Wawancara
Hasil wawancara dengan Bapak Prof. H. Saiful Muslim MM, Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia mengenai “Peran MUI Dalam Memberikan Sertifikasi Halal Pada Rumah Potong Hewan”, tanggal 11 November 2013.
Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Isnan Zarkasi dari Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi NTB, Bapak Isnan Zarkasi, tanggal 18 Februari 2014, puk ul 14.00 WITA.