PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK KORBAN DALAM PROSES ...eprints.ums.ac.id/28636/8/Naskah_Publikasi.pdf ·...
-
Upload
nguyentuong -
Category
Documents
-
view
231 -
download
0
Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK KORBAN DALAM PROSES ...eprints.ums.ac.id/28636/8/Naskah_Publikasi.pdf ·...
PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK KORBAN
DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
(Studi Kasus di Kabupaten Sukoharjo)
NASKAH PUBLIKASI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna
Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oleh :
WIDYA YUNI ASTOMO
C 100.090.138
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
ii
iii
1
PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK KORBAN
DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
(Studi Kasus di Kabupaten Sukoharjo)
WIDYA YUNI ASTOMO C.100 090 138
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta Jawa Tengah
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Dalam hal ini penulis meneliti mengenai Perlindungan hukum hak-hak
korban dalam proses penyelesaian perkara pidana (studi kasus di kabupaten Sukoharjo). Hasil penelitian dan pembahasan bahwa Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara pidana yaitu dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung kepada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban, seperti kasus terhadap anak, KDRT, penganiayaan, kecelakaan lalu lintas baik luka ringan maupun meninggalnya seseorang, penipuan, penggelapan. Untuk itu penegak hukum memberikan keamanan si korban dilindungi sebaik mungkin untuk menjaga rasa aman dan kedamaiannya. Pemberian perlindungan sendiri sepenuhnya bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada semua tahap proses peradilan pidana. Dengan semakin meningkatnya sifat individualisme dalam masyarakat mengakibatkan sifat kebersamaan atau kegotongroyongan dalam masyarakat semakin menurun sehingga masyarakat kurang peka dalam menghadapi kejahatan yang terjadi. Sikap dan pandangan aparat penegak hukum mengenai perlunya upaya-upaya kongkrit pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana Sikap dan pandangan aparat bahwa korban adalah orang yang paling dirugikan dengan adanya tindak pidana tersebut. Sehingga sudah seharusnya posisi korban dan masyarakat dalam hukum pidana kita haruslah berada dalam sistem dan juga menjadi tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Hal ini proses penyelesian perkara pidana pada akhirnya bermuara pada putusan hakim di pengadilan sebagaimana terjadi pada saat ini, tampak cenderung melupakan dan meninggalkan korban. Kata Kunci: perlindungan hukum, hak-hak korban, perkara pidana.
ABSTRACT
In this case the author examines Legal Protection of the rights of victims in the criminal case resolution process (case study in Sukoharjo district). The results and discussion that the legal protection rights of victims in the criminal
1
2
case resolution process that can be given in a variety of ways, depending on the suffering/loss suffered by the victim, as in the case of children, domestic violence, assault, traffic accidents either minor injuries or death someone, fraud, embezzlement. For that law enforcement provide security of the victim are protected as best as possible to maintain a sense of security and serenity. Giving shelter themselves fully intended to give a sense of security to the witnesses and/or victims to provide information on all stages of the criminal justice process. With the increasing nature of individualism in society resulted in the nature of community or mutual cooperation within the community so that people are less sensitive to decline in the face of the crime that happened. The attitudes of law enforcement officials about the need concrete measures granting protection rights and interests of victims of crime and the attitude of officials view that the victim is the person most harmed by the criminal act. So it should be the position of the victim and the community in the criminal law we must be in the system and also the purpose of the punishment to be involved in the process of completion of the criminal case. This process adjudication criminal case ultimately comes down to the judge's decision in court, as happened in the moment, seem inclined to forget and leave the victim.
Keywords : legal protection, the rights of victims, criminal cases.
Pendahuluan
Dalam perlindungan Hak Asasi Manusia telah banyak perlindungan yang
telah dengan jelas dan tegas diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Dalam hukum pidana Indonesia selama ini, hak-hak pelaku tindak pidana dalam
proses peradilan pidana memperoleh pengaturan secara memadai. Di dalam
KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana) hak-hak pelaku tindak pidana ditempatkan secara khusus
dalam bab tersendiri di bawah titel “Hak-hak Tersangka dan Terdakwa”, Bab VI
Pasal 50 hingga Pasal 68. Sementara itu, hak-hak korban sebagai pihak yang
menderita kerugian hanya diatur dalam satu pasal yakni Bab VIII Pasal 98 di
bawah titel “Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian”.
Dalam perkembangan terkini telah berkembang usaha-usaha untuk
memberikan perhatian yang semakin besar kepada korban. Perhatian terhadap
3
korban dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap hak
dan kepentingannya sebagai pihak yang mengalami kerugian. Upaya ini ditempuh
dengan mempertemukan pihak korban dan keluarganya dengan pihak tersangka
atau terdakwa dan keluarganya yang dibantu oleh pihak ketiga yang berperan
sebagai penengah (mediator). Kemajuan kajian tentang korban tindak pidana telah
mendorong meningkatnya kesadaran perlunya jaminan perlindungan hak dan
kepentingan korban tindak pidana.Perkembangan dalam skala global ini
berdampak pada kebijakan hukum nasional yang ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya berbagai aturan hukum tersebut di atas. Perkembangan ini
menandakan mulai bergesernya orientasi hukum dan sistem pidana sehingga
kemudian tidak hanya memperhatikan hak dan kepentingan pelaku tindak pidana,
tetapi juga memberikan perhatian pada hak dan kepentingan korban tidak pidana.
Konsep dan filosofi hukum pidana dan sistem peradilan pidana yang memberikan
perlindungan secara berimbang hak dan kewajiban pelaku dan korban tindak
pidana, masyarakat dan negara, dewasa ini dikenal dengan peradilan restoratif
sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif.1
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah 1) Bagaimana perlindungan hukum hak-hak korban dalam
proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, 2) Kendala-kendala
apa yang timbul dalam perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses
penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, dan 3) Bagaimana sikap dan
pandangan aparat penegak hukum mengenai perlunya upaya-upaya kongkrit
pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana.
1Howard Zehr, 2002, The Little Book of Restorative Justice, Pennsylvania : Intercourse, hal. 18.
4
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka peneliti menentukan tujuan
penelitian, yaitu: 1) Mengetahui perlindungan hukum hak-hak korban dalam
proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, 2) Mengetahui
kendala-kendala yang timbul dalam perlindungan hukum hak-hak korban dalam
proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, dan 3) Mengetahui
sikap dan pandangan aparat penegak hukum mengenai perlunya upaya-upaya
kongkrit pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana.
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat, yaitu:
1) Manfaat Teoritis, mampu memberikan pemahaman kepada mahasiswa pada
khusunya dan masyarakat luas pada umumnya, terkait perlindungan hukum hak-
hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana, 2) Manfaat Praktis, dapat
memperkaya wacana keilmuan terkait perlindungan hukum hak-hak korban dalam
proses penyelesiaan perkara pidana bagi kemajuan ilmu hukum di Indonesia
khususnya hukum pidana.
Kerangka Pemikiran
Keadilan restoratif (restorative justice) sebagai pendekatan baru dalam
penyelesaian tindak pidana, tidak mengabaikan peran formal dari sistem peradilan
untuk menjatuhkan pidana pada pelaku yang bersalah.2 Namun lebih dari itu,
pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) menghendaki penyelesaian
khusus yang disertai dengan upaya-upaya untuk merestorasi atau memperbaiki
dampak negatif yang dialami korban tindak pidana, memulihkan penderitaan yang
dialami si korban, dan memulihkan hubungan antara pihak korban dan pihak
2 Ibid., page 22; Howard Zehr, 2001, Transcending Reflcxions of Crime victims, Pennsylvania :
Intercourse, page 194.
5
tindak pidana.3 Pendekatan ini membuka kesempatan kepada pihak korban untuk
menerima pertanggungjawaban dan juga permohonan maaf dari pelaku tindak
pidana.4 Dalam kaitan ini, pernyataan penyesalan dan permohonan maaf yang
tulus dan diterima oleh pihak keluarga korban dalam berbagai kasus menjadi
dasar terwujudnya perdamaian. Menurut Susanti Adi Nugroho, upaya damai yang
demikian itu harus membawa konsekuensi hukum, yaitu menutup perkara
bilamana telah dicapai perdamaian.5
Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
sosiologis (empiris).6 Dalam pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini
bersifat lintas disiplin, yakni mengkaji aspek-aspek normatif dan mencoba melihat
bagaimana pelaksanaannya pada tatanan empiris melalui sistem peradilan pidana.
Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif.7 Lokasi penelitian ini
bertempatkan di Kepolisian, Kejaksaan Negeri, dan Pengadilan Negeri yang
berada di kabupaten Sukoharjo. Jenis data dalam penelitian ini adalah data
sekunder, jenis data ini merupakan data yang bersifat kualitatif, yakni deskripsi
naratif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan penelitian
lapangan dengan melakukan wawancara (interview).8
3 Howard Zehr & Barb Toews eds, 2004, Critical Issues in Restorative Justice, New York:
Criminal Justice Press, page 385. 4 Ibid., page. 26 5 Susanti Adi Nugroho, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Telaga
Ilmu Indonesia, hal. 173. 6 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal.
72-79. 7 Soerjono dan Abdulrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 23. 8 M Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal.
67.
6
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Perlindungan Hukum Hak-Hak Korban Dalam Proses Penyelesiaan Perkara
Pidana di Kabupaten Sukoharjo
Perlindungan hukum hak-hak korban dalam penyelesaian perkara pidana
adalah merupakan fenomena hukum acara pidana Indonesia, dimana dalam
penegakannya akan selalu bersinggungan dengan para penegak hukum itu sendiri.
Perlindungan hukum hak-hak korban sangat diperlukan, terutama para korban
dalam proses penyelesaian perkara pidana yang selama ini merasa tidak mendapat
perlindungan oleh hukum, dan bahkan kadang kala ada korban dalam kasus
pidana yang akhirnya malah dijadikan tersangka.
Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat
diberikan dalam berbagai cara, bergantung kepada penderitaan/kerugian yang
diderita oleh korban. Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis
tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila
tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.
Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara
pidana di kabupaten Sukoharjo, yaitu: a) Kepolisian Sukoharjo, Berdasarkan
keterangan Suparno, Kaur Bin Ops. Sat. Reskrim Polres Sukoharjo bahwa salah
satu perlindungan hukum hak-hak korban yang diberikan adalah keamanan si
korban wajib diberi pelayanan dan dilindungi sebaik mungkin, untuk menjaga
rasa aman, nyaman dan kedamaian si korban baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dalam perlindungan hukum hak-hak korban di kepolisian dalam kasus
KDRT dan kasus anak terdapat perlindungan khusus yang dilakukan oleh polisi
7
wanita Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak);9 b) Kejaksaan Negeri
Sukoharjo, Berdasarkan keterangan Yeni Astuti, Jaksa Kejaksaan Negeri
Sukoharjo bahwa perlindungan hukum hak-hak korban yang dilakukan kejaksaan,
seperti pada kasus yang korbannya anak jaksa mendampingi secara penuh dalam
proses persidangan maupun diluar persidangan. Untuk kasus yang lain jaksa
melihat dari keadaan atau kondisi si korban dan menyarankan agar korban
meminta perlindungan lebih lanjut ke Kepolisian maupun Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK);10 c) Pengadilan Negeri Sukoharjo, Berdasarkan
keterangan Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo bahwa
perlindungan hukum hak-hak korban di sidang pengadilan yaitu dengan cara
hakim melihat dari keadaan atau kondisi si korban harus diperhatikan betul,
dilihat dari luka fisik yang di alami si korban. Dalam kasus pidana khusus yang
melibatkan anak, hakim melihat dari usia anak, kondisi psikis dan fisik anak. Hak
korban untuk dilindungi orang tua, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Penasehat
Hukum juga diperhatikan. Semua ini demi perwujudan restoratif justice.11
Beberapa pendapat penegak hukum yang diwawancarai tentang bentuk
perlindungan hukum hak-hak korban yang didapatkan selama ini sebagai berikut:
“Perlindungan hukum yang diterima korban selama ini belum sepenuhnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, baik dalam KUHAP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang P-KDRT maupun Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta perundang-undangan lainnya. Perlindungan hukum yang diberikan sebaiknya berdasarkan urgensi dari kasus itu dalam pengertian tidak semua korban mendapat perlindungan hukum tergantung dari kasusnya”.
9 Suparno, Kaur Bin Ops. Sat. Reskrim Polres Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7
Oktober 2013, pukul 09:30 WIB. 10Yeni Astuti, Jaksa Kejaksaan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 8 Oktober
2013, pukul 08:00 WIB. 11Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober
2013, pukul 08:00 WIB.
8
Dalam Pasal 98 KUHAP memberi kesempatan kepada korban atau
keluarganya untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam
proses peradilan pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara
pidana akan membantu korban atau keluarganya karena tidak perlu mengajukan
gugatan tersendiri. Di samping itu dalam KUHAP tidak mengatur apabila pelaku
tidak mau atau tidak mampu membayar ganti rugi tersebut kepada korban. Dalam
Pasal 99 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa hakim dapat menolak atau menerima
permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban
atau keluarganya. Pasal 99 ayat (1) KUHAP mengadakan pembatasan, dimana
ganti kerugian yang diajukan hanya ganti kerugian yang bersifat materiil, sedang
kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diajukan.
Kendala-kendala Yang Timbul Dalam Perlindungan Hukum Hak-Hak Korban Dalam Proses Penyelesiaan Perkara Pidana di Kabupaten Sukoharjo
Dalam proses penegakan hukum pidana paling sedikit ada dua pihak yang
terkait di dalamnya, yaitu pihak pelaku tindak pidana (offenders) dan pihak
korban kejahatan (victims).12 Oleh karena itu, maka kedua pihak tersebut harus
mendapat perhatian yang seimbang. Dengan demikian, dalam proses penyelesaian
perkara pidana tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik dipandang dari sudut
penegakan hukum pidana maupun dalam usaha penanggulangan kejahatan yang
terjadi dalam masyarakat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak terungkapnya jumlah
kriminalitas yaitu:13 a) Korban memang tidak tahu bahwa dirinya menjadi korban,
misalnya kehilangan harta milik yang sama sekali tidak dirasakan, karena harta
12Saparinah Sadli, 2000, Pemberdayaan Peremouan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, dalam
T.O. Ihromi dkk (Eds.), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung: Alumni, hal. 8. 13Ibid, hal. 10.
9
milik tersebut banyak sekali jumlahnya; b) Korban tidak mengetahui bahwa
secara yuridis ia dapat menuntut kerugian yang ditimbulkan oleh kecurangan
pihak lain, misalnya ada kecurangan dalam jual beli barang konsumsi di toko
yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam hal ini korban tidak
tahu atau tidak tahu harus berbuat apa; c) Korban enggan bersusah payah
berhubungan dengan aparat penegak hukum, karena dirasakan kerugiannya tidak
terlalu besar dan dapat diabaikan saja, atau merasa bahwa tidak ada gunanya
melaporkan; d) Korban justru khawatir akan menderita keadaan yang lebih
memalukan jika apa yang dialaminya dilaporkan pada penegak hukum, misalnya
dalam hal kejahatan perkosaan dan kejahatan seksual lainnya; e) Korban takut
akan terjadinya pembalasan dari pelaku jika ia melaporkan kejadian yang
menimpa dirinya dan korban merasa tidak ada kepastian untuk mendapatkan
perlindungan.
Menurut Evi Fitriastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, selama ini
kendala-kendala perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian
perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, yaitu:14 a) Ganti kerugian yang dilakukan
terdakwa secara materiil. Ganti kerugian yang diberikan terdakwa terhadap
korban tidak sesuai dengan apa yang diharapkan korban/keluarganya karena
keterbatasan ekonomi terdakwa tindak pidana.contohnya pada kasus kecelakaan
lalu lintas maupun penganiayaan yang mengalami luka berat, yang dimanakorban
menghabiskan biaya operasi dan perawatan hampir berpuluh-puluh juta akan
tetapi keluarga tersangka/terdakwa hanya bisa mengganti beberapa persen saja; b)
Untuk bentuk kerugian immateriil yakni perasaan takut, sakit, sedih, kejutan
psikis dan lain sebagainya dalam perkara pidana tidak bisa dilakukan. 14Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober
2013, pukul 08:00 WIB.
10
Sebagaimana diketahui bahwa Undang-undang Nomor 8 tahun 1981,
tentang Kibab Undang-undang Hukum Acara Pidana manganut sistem peradilan
pidana yang mengutamakan perlindungan hak-hak asasi manusia, namun apabila
ketentuan ketentuan mengenai hal itu diperhatikan secara lebih mendalam,
ternyata hanya hak-hak tersangka/terdakwa yang banyak ditonjolkan sedangkan
hak hak dari korban kejahatan sangat sedikit diatur. Sejalan dengan asas tersebut
masyarakat khususnya media massa lebih banyak menyoroti mengenai hak-hak
tersangka/terdakwa daripada mempermasalahkan mengenai perlindungan terhadap
korban kejahatan.
Sikap dan Pandangan Aparat Penegak Hukum Mengenai Perlunya Upaya-Upaya Konkrit Pemberian Perlindungan Hak dan Kepentingan Korban Tindak Pidana
1. Sikap Aparat Penegak Hukum
Berdasarkan wawancara dengan aparat penegak hukum di kabupaten
Sukoharjo tentang sikap dan pandangan aparat penegak hukum mengenai
perlunya upaya-upaya kongkrit pemberian perlindungan hak dan kepentingan
korban tindak pidana. Masing-masing lembaga penegak hukum memberikan
keterangannya sebagai berikut:
Sikap aparat penegak hukum dalam pemberian perlindungan hak-hak
korban, yaitu: a) Kepolisian bersikap pro-aktif, dimana setiap ada
laporan/aduan akan segera mungkin untuk menindaklanjuti laporan/aduan
tersebut demi memberikan perlindungan hak-hak si korban;15 b) Kejaksaan
bersikap pasif, hanya memberikan masukkan kepada kedua belah pihak untuk
15Suparno, Kaur Bin Ops. Sat. Reskrim Polres Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7
Oktober 2013, pukul 09:30 WIB.
11
melakukan mediasi perdamaian secara baik-baik;16 c) Pengadilan hanya
menjebatani kedua belah pihak, dan hakim memberikan masukan melalui
jaksa agar kedua belah pihak melakukan perdamaian secara tertulis dan
ditandatangani kedua belah pihak di atas meterai, kemudian jaksa
menyerahkan berkah perkara yang sudah terselip surat perdamaian tersebut.17
Perlindungan hukum hak-hak korban dan langkah perlindungan yang
diberikan lebih bersifat kurang pro-aktif. Dikatakan kurang pro-aktif karena
langkah ini ditujukan kepada mereka yang telah mengalami atau menjadi
korban kejahatan dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk
diproses lebih lanjut. Disini peran kepolisian yang diperlukan untuk
mengungkap kasus kejahatan yang terjadi. Peran pro-aktif kepolisian dapat
membantu terungkapnya kejahatan yang tidak dilaporkan oleh masyarakat.
Dengan demikian, peran pro-aktif kepolisian dapat membantu dalam hal
perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara
pidana, baik dari awal laporan tindak pidana sampai dengan dilaksanakannya
putusan hakim. Termasuk dimana Kepolisian dapat memperdamaikan kedua
belah pihak antara tersangka dengan korban sebelum kasus dilimpahkan ke
kejaksaan. Dengan perdamaian di kepolisian tersebut maka kasus dapat
dihentikan, Agar di kemudian hari tidak ada rasa saling balas dendam.
Perdamaian yang dilakukan kepolisian dapat dilakukan dengan cara
bagaimana kepolisian menjelaskan perkara terhadap tersangka agar meminta
maaf dan mengganti kerugian yang dialami korbannya.
16Yeni Astuti, Jaksa Kejaksaan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 8 Oktober
2013, pukul 08:00 WIB. 17Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober
2013, pukul 08:00 WIB.
12
Perlindungan terhadap korban dalam suatu perkara pidana sudah
semestinya harus diberikan jaminan perlindungan hukum oleh Negara,
sebagaimana salah satu ciri dari Negara hukum itu sendiri, yaitu harus
didasarkan atas asas kesamaan di depan hukum (equality before the law).
Dari aspek hak asasi manusia, Arif Gosita menyebutkan bahwa
“Perlindungan terhadap korban merupakan kewajiban asasi manusia baik
seseorang, sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun pemerintah “.18
2. Pandangan Aparat Penegak Hukum
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional
nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih
sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam
perundang-undangan nasional. Menurut Evi Fitriastuti, Hakim Pengadilan
Negeri Sukoharjo memberikan pandangan mengenai perlunya upaya-upaya
konkrit perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana yang dapat
dilakukan, yaitu:19 a) Dengan cara penggabungan perkara ganti rugi, untuk
memberikan perlindungan hukum hak-hak korban, maka hakim melalui jaksa
untuk menjembatani kedua belah pihak agar melakukan perdamaian dan
kesepakatan ganti kerugian yang terjadi dengan menceritakan kronologi
kejadian dan hukuman yang akan di kenakan kepada pelaku/terdakwa.
Dengan cara seperti itu diharapkan keluarga terdakwa mau mencicil ganti
kerugian yang dialami korban atau keluarganya; b) Perlunya upaya hukum
lebih lanjut mengenai perlindungan korban dengan melihat kondisi si korban
tersebut demi terwujudnya restoratif justice.
18Arif Gosita, 2000, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo, hal. 41. 19Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober
2013, pukul 08:00 WIB.
13
Mengingat bahwa korban dalam hukum pidana berada dalam posisi
sentral, karena korban adalah orang yang paling dirugikan dengan adanya
tindak pidana tersebut. Dengan demikian, sudah seharusnya posisi korban dan
masyarakat dalam hukum pidana haruslah berada dalam sistem peradilan
pidana dan juga menjadi tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam
proses penyelesaian perkara pidana. Penyelesaian perkara pidana diharapkan
menguntungkan bagi semua pihak antara pelaku, korban, dan masyarakatpun
menjadi wacana yang menarik dalam hukum pidana di Indonesia.
Berdasarkan hal itu maka diperlukan adanya perubahan pandangan
baru dalam sistem hukum pidana, yang dimana dengan melihat dari sikap dan
perilaku tersangka/terdakwa terhadap korban sesudah terjadinya tindak
pidana, kepribadian keseharian tersangka/terdakwa, serta komitmen terhadap
penyelesaian kasus yang dihadapinya. Sikap dan perilaku tersangka/terdakwa
dapat dilihat bagaimana tersangka/terdakwa menghargai korban, menyesali
perbuatan yang telah dilakukan, meminta maaf terhadap korban dan
memberikan santunan atau bantuan. Kepribadian keseharian, pernah
melakukan perbuatan tindak pidana atau tidak. Sementara itu, perilaku
tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana dapat menjadi
pertimbangan hukuman yang meringankan atau memberatkannya.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dapat
disimpulkan bahwa: 1) Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses
penyelesaian perkara pidana di kabupaten Sukoharjo yaitu hanya diberikan
pada urgensi kasusnya atau bergantung kepada penderitaan/kerugian yang
14
diderita oleh korban tindak pidana, seperti kasus terhadap anak, KDRT,
penganiayaan luka ringan, kecelakaan lalu lintas baik luka ringan. Untuk
penganiayaan luka berat dan kecelakaan lalu lintas dengan meninggalnya
seseorang, berkas perkara tetap berjalan walaupun sudah terjadi perdamaian
antara kedua belah pihak. Sementara itu, dalam kasus-kasus pembunuhan,
asusila atau pemerkosaan, perampokan dan lain sebagainya, belum
sepenuhnya para aparat penegak hukum memberikan perlindungan terhadap
korban/keluarga korban tindak pidana; 2) Kendala-kendala yang timbul
dalam perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan
perkara pidana di kabupaten Sukoharjo: a) Pelaku kriminal sendiri, dimana
pelaku kejahatan tersebut sangat pandai dalam melakukan kejahatan sehingga
tidak ketahuan atau tidak tertangkap; b) Sikap masyarakat, dimana sikap
masyarakat yang acuh tak acuh dalam menghadapi kriminalitas yang terjadi
di lingkungannya, sehingga masyarakat kurang peka dalam menghadapi
kejahatan yang terjadi; c) Ganti kerugian yang diberikan pelaku terhadap si
korban tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si korban karena
keterbatasan ekonomi pelaku tindak pidana; d) Untuk kerugian immateriil
dalam perkara pidana tidak bisa dilakukan. 3) Selama ini para aparat penegak
hukum belum bersikap pro-aktif dalam pemberian perlindungan hak dan
kepentingan korban tindak pidana. Para korban tindak pidana tidak
mengetahui tentang adanya gugatan ganti kerugiaan yang dapat mereka
ajukan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Masih banyak masyarakat
yang tidak tahu tentang apa saja hak-haknya sebagai korban tindak pidana
dan bagaimana cara mendapatkan hak-haknya tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Perlindungan hak dan
15
kepentingan korban tindak pidana dapat dilakukan dengan cara, yaitu:
penggabungan perkara gugatan ganti rugi dan upaya hukum mengenai
perlindungan korban dengan meminta bantuan perlindungan baik dari aparat
penegak hukum maupun dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak
dalam perlindungan korban tindak pidana.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penulis
dapat memberikan saran sebagai berikut: 1) Dengan minimnya komponen
hukum maupun mengenai pendanaan dalam penegakkan perlindungan korban
hendaknya tidak menjadikan hukum itu lemah dan tidak efektif; 2) Khusus
mengenai formulasi hukum perlindungan hak-hak korban, hendaknya
dijadikan satu dalam sebuah undang-undang yang mencakup semua
perlindungan hukum bagi semua orang dalam satu sistem hukum yang
namanya adalah hukum perlindungan masyarakat, sehingga mudah dipahami
oleh masyarakat tentang apa-apa yang dilindungi oleh hukum; 3)
Perlindungan hukum bagi korban dalam proses peradilan pidana sangat
diperlukan, karena selama ini korban merasa tidak mendapat perlindungan
oleh hukum, di sini diperlukan peran aktif para aparat penegak hukum dalam
menyampaikan informasi kepada korban tentang apa saja hak-haknya dan
bagaimana cara memperoleh hak-haknya tersebut; 4) Penegak hukum harus
lebih memperhatikan kondisi dan keadaan korban, karena seorang korban
telah mendapat kerugian immateriil dan materiil. Kerugian immateriil dan
materiil ini dapat dilakukan dan diberikan kepada korban atau keluarganya
tinggal bagaimana kebijaksanaan aparat penegak hukum dalam memberikan
perlindungan kepada korban tindak pidana, untuk meringankan beban
penderitaan korban atau keluarganya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Adi Nugroho, Susanti, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia. Asshiddiqie, Jimly, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup. Chaerudin & Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif
Viktimologi & Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grahadhika Press. Gosita, Arif, 2000, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit Akademika
Pressindo. Gosita, Arif, 2004, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer –
Kelompok Gramedia. Howard Zehr & Barb Toews eds, 2004, Critical Issues in Restorative Justice,
New York: Criminal Justice Press. Manan, Bagir, 2006, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam
Varia Peradilan No. 248 Juli 2006. Muhammad, Rusli, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Muladi, 2005, HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, dalam Muladi, ed., Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama.
Raharjo, Satjipto, 2010, Masalah Penegakan Hukum, Yogyakarta: Genta
Publishing. Reksodiputro, Mardjono, 2007, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana,
Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
Robert Bodgan & Steven J. Taylor, 1993, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian (Diterjemahkan oleh A. Khizin Afandy), Surabaya: Usaha Nasioanal.
Soekanto, Soerjono, 2010, Faktor-faktor Yang Memengaruhi Penegakan Hukum,
Yogyakarta: Genta Publishing. Soerjono dan Abdulrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka
Cipta.
17
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP.
Sadli, Saparinah, 2000, Pemberdayaan Peremouan dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia. Dalam T.O. Ihromi dkk (Eds.), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung: Alumni.
Sudaryono & Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana,
Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sunggono, Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja grafindo
Persada.
Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2006, Sistem Peradilan (Criminal Justice System), Bahan Kuliah, Porgram Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
Syamsudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Termorshuizen, Marjane, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Wisnubroto, Al., 2002, Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara
Pidana, Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega. Zehr, Howard, 2002, The Little Book of Restorative Justice, Pennsylvania:
Intercourse. Zehr,Howard, 2001, Transcending Reflcxions of Crime victims, Pennsylvania:
Intercourse. Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang
Kompensasi, Restituti, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.