perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam ...
Transcript of perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam ...
1
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG
DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK
PERTUNJUKKAN SENI MELALUI
MEDIA ELEKTRONIK
DESYANTI SUKA ASIH K. TUS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG
DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK
PERTUNJUKKAN SENI MELALUI
MEDIA ELEKTRONIK
DESYANTI SUKA ASIH K. TUS
NIM : 0890561055
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG
DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK
PERTUNJUKKAN SENI MELALUI
MEDIA ELEKTRONIK
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister
Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESYANTI SUKA ASIH K. TUS
NIM : 0890561055
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 10 JULI 2014
Mengetahui
Pembimbing I
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM
NIP.196111011986012001
Pembimbing II
Dr. I Wayan Wiryawan,S.H.,M.H.
NIP.195503061984031003
Ketua Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM
NIP.196111011986012001
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S.(K)
NIP.195902151985102001
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada 8 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor 2030/UN 14.4/HK/2014 Tanggal 7 Juli 2014
Ketua : Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM.
Sekretaris : Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H.
Anggota : 1. Prof. R. A. Retno Murni, S.H., M.H., Ph.D.
2. Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H.
3. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Desyanti Suka Asih K. Tus
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan
Dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.
Denpasar, 30 Juni 2014
Yang menyatakan
Desyanti Suka Asih K. Tus
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Cerita Rakyat
Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media
Elektronik”. Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat
kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria
sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Hukum dalam Program
Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM selaku Pembimbing
I yang dengan tulus telah memberikan bimbingan, saran, nasehat, serta
dukungan dalam penulisan tesis ini
2. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. selaku Pembimbing II yang dengan
tulus telah memberikan bimbingan, saran, nasehat, serta dukungan dalam
penulisan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas
Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan
studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
vii
4. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Pascasarjana Universitas
Udayana.
5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti Program Magister.
6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM selaku Ketua
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana atas segala
bantuan, perhatian dan bimbingannya selama ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan.
8. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
yang telah membantu penulis dalam proses administrasi selama perkuliahan
dan selama proses penulisan tesis ini berlangsung.
9. Kedua orang tua penulis, I Nengah Suantra, S.H., M.H dan Ni Wayan
Rumiati, S.Pd serta adik tercinta Kadek Dwi Tusidhi,S.H atas segala doa,
kesabaran, dukungan dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalani
perkuliahan hingga penulisan tesis ini selesai.
viii
10. Christopher Gerard Sperduto selaku atasan serta rekan-rekan kerja atas
dukungannya selama penulis menjalani perkulihan hingga penulisan tesis ini
selesai.
11. Sahabat-sahabat dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu
atas segala dukungan dan semangat yang diberikan selama penulis
menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, menambah kepustakaan bagi Program Magister (S2) Ilmu
Hukum serta memberi manfaat bagi masyarakat.
Denpasar, 30 Juni 2014
Penulis
ix
ABSTRAK
Perlindungan hukum terhadap karya-karya tradisional telah dilakukan
pemerintah melalui Pasal 10 UU No.19 tahun 2002 Hak Cipta yang menyatakan
bahwa segala ciptaan tradisional, hak ciptanya dipegang oleh negara termasuk
didalamnya folklor. Cerita rakyat sendiri merupakan bagian hak cipta atas folklor
dalam bidang sastra. Perlindungan terhadap cerita rakyat dirasa semakin penting
karena semakin banyak cerita rakyat yang dialihwujudkan kedalam seni
pertunjukkan seperti film pendek, sendratari maupun film televisi. Penelitian ini
membahas 2 (dua) pokok permasalahan yaitu mengenai perlindungan hukum bagi
keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional dan perlindungan
hukum kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan kedalam bentuk
pertunjukkan seni di dalam dan di luar negeri melalui media elektronik.
Penelitian ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif.
Metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan koseptual (conseptual approach) yang
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam
ilmu hukum. Teknik analisis yang dipergunakan adalah teknik deskripsi dan
interpretasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keaslian merupakan syarat bagi
suatu ciptaan dalam hal ini cerita rakyat untuk mendapatkan perlindungan hak
cipta. Cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor, perlindungannya telah
diatur dalam Pasal 10 UU No.19 tahun 2002. Berkaitan dengan cerita rakyat yang
dialihwujudkan kedalam bentuk pertunjukkan seni di dalam dan diluar negeri
telah mendapatkan perlindungan hukum melalui ketentuan Pasal 12 huruf (l) UU
No.19 tahun 2002.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Keaslian Cerita Rakyat, Cerita Rakyat Yang
Dialihwujudkan.
x
ABSTRACT
The legal protection for the traditional works have been carried out
by the government through Article 10 of Law Number 19 of 2002 on the Copyright
which stipulates that all traditional creation’s copyright is held by the state
including the folklore. Folktale itself is part of the copyrighted folklore in
literature. The protection of folktale becomes even more important as more and
more folk tales are transformed into performing arts such as short films, ballet
and television movies. The study discusses 2 (two) subject matters namely about
the originality of legal protection for expressions of folktale as a traditional
cultural property and the legal protection of the ownership of the folk tales which
are transformed into performance art either nationally or internationally through
the electronic media.
The study uses a normative legal research method. The method used
is the statute and the conceptual approaches that derived from the views and
doctrines developed in the science of law. The analysis was conducted by using
description and interpretation techniques.
The findings of the study indicate that originality is a requirement
for a creation, in this case a folk tale to obtain the copyright protection. Folktales
that are part of the folklore; its protection is provided by Article 10 of Law
Number 19 of 2002. In connection with the folk tales that are transformed into
performance arts locally or abroad have gained legal protection through the
provision of Article 12 paragraph (l) of Law Number 19 of 2002.
Keywords: Legal Protection, Originality of the Folktale, Derivative Work of
Folktale
xi
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk
Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik yang dituangkan kedalam 5 (lima)
bab pembahasan yang disusun sebagai berikut:
Bab I menguraikan tentang Pendahuluan yang merupakan awal
pembahasan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang
lingkup masalah, tujuan penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.
Penelitian ini membahas 2 (dua) pokok permasalahan yaitu: (1) bagaimanakan
perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya
tradisional dalam dimensi hak cipta?; (2) bagaimanakah perlindungan hukum
terkait kepemilikan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan dalam bentuk
pertunjukkan seni melalui media elektronik baik nasional maupun internasional?
Lebih lanjut mengenai kedua permasalahan tersebut dibahas kedalam bab
selanjutnya.
Bab II menguraikan tentang tinjauan umum tentang hak cipta folklor
yang dialihwujudkan (dervaitve work) dalam media eletronik. Pada bab ini
dibahas mengenai pengertian hak cipta serta dasar hukumnya, subjek dan obejek
hak cipta, folklor sebagai salah satu wujud ciptaan, dan system perlindungan
cerita rakyat sebagai wujud dari folklor. Pada bab ini juga dibahas tentang kosep
derivative work dalam dimensi hak cipta, pengaturan mengenai derivative work,
dan mekanisme pengalihwujudan suatu karya cipta dan system perlindungannya.
Selain itu bab ini juga membahas tentang pengaturan karya derivative yang
dituangkan dalam media elektronik dan bentuk-bentuk derivative work yang
dipublikasikan dalam media elektronik.
Bab III menguraikan tentang pokok permasalahan 1 (satu) yaitu
mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi
budaya tradisional. Pada bab ini dibahas mengenai konsep orisinalitas suatu karya
cipta menurut Undang-Undang No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Berne
Convention, dan TRIPs Agreement. Membandingkan konsep orisinalitas yang
terdapat dalam masing-masing ketentuan tersebut. Bab ini kemudian menguraikan
tentang dokumentasi sebagai mekanisme penentuan kepemilikan asal suatu cerita
rakyat tradisional dan keasliannya. Disini dibahas mengenai peran penting
dokumentasi dalam upaya memberi kepastian hukum dalam kepemilikan cerita
rakyat serta peran dokumentasi dalam menentukan keaslian suatu cerita rakyat.
Bagian akhir bab ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian
cerita rakyat tradisional.
xii
Bab IV menguraikan mengenai permasalahan 2 (dua) yaitu
perlindungan hukum terkait kepemilikan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan
dalam bentuk pertunjukkan melalui media elektronik baik nasional maupun
internasional. Pada bab ini diuraikan bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan
terhadap karya derivative yang berasal dari cerita rakyat sebagai karya cipta asli
pada saat derivative work tersebut di sebarluaskan dalam bentuk pertunjukkan
seni melalui media elektronik di dalam negeri dan diluar negeri.
Bab V yang merupakan bab penutup mengemukakan simpulan serta
saran berkaitan dengan penelitian ini. Keaslian merupakan syarat untuk
mendapatkan perlindungan hak cipta, dimana terhadap cerita rakyat berhak
mendapatkan perlindungan hak cipta yang didasarkan pada isi cerita yang berbeda
serta pendokumentasian sebagai sarana menentukan keasliannya. Sementara
terhadap cerita rakyat yang dialihwujudkan, perlindungannya telah diatur dalam
ketentuan Pasal 12 huruf (l) Undang-Undang No.19 tahun 2002. Adapun saran
yang dapat disampaikan antaralain dibuatnya peraturan tersendiri tentang
pengetahuan tradisional serta diperhatikannya penerapan peraturan perundang-
undangan agar sesuai dengan budaya hukum masyarakat.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM…………………………………………………i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER…………………………..ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI ................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ....................................................................v
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK..………………………………………………………..ix
HALAMAN ABSTRACT ................................................................................................... x
RINGKASAN ..................................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 10
1.3. Ruang Lingkup Masalah ............................................................................ 11
1.4. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 12
1.4.1. Tujuan Umum. ................................................................................. 12
1.4.2. Tujuan Khusus. ................................................................................ 12
1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 12
1.5.1. Manfaat Teoritis. .............................................................................. 13
xiv
1.5.2. Manfaat Praktis. ............................................................................... 13
1.6. Orisinalitas Tesis ....................................................................................... 14
1.7. Landasan Teoritis ...................................................................................... 16
1.8. Metode Penelitian ...................................................................................... 27
1.8.1. Jenis Penelitian. ................................................................................ 27
1.8.2. Jenis Pendekatan. ............................................................................. 28
1.8.3. Sumber Bahan Hukum. .................................................................... 29
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. .............................................. 30
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum. ....................................................... 31
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA FOLKLOR YANG
DIALIHWUJUDKAN (DERIVATIF WORK) DALAM MEDIA
ELEKTRONIK ................................................................................................. 32
2.1. Hak Cipta Folklor ..................................................................................... 32
2.1.1. Pengertian Hak Cipta Dan Dasar Hukumnya. .................................. 32
2.1.2. Subjek dan Objek Hak Cipta. ........................................................... 41
2.1.3. Folklor Sebagai Salah Satu Wujud Ciptaan. .................................... 45
2.1.4. Sistem Perlindungan Cerita Rakyat Sebagai Wujud Folklor. .......... 51
2.2. Derivative Work Dalam Hak Cipta........................................................... 53
2.2.1. Konsep Derivative Work Dalam Dimensi hak Cipta. ....................... 53
2.2.2. Pengaturan Derivative Work. ........................................................... 56
xv
2.2.3. Mekanisme Pengalihwujudan Suatu Karya Cipta Dan Sistem
Perlindungannya. .............................................................................. 59
2.3. Media Elektronik Berkaitan Dengan Hak Cipta Derivatif Work ............. 60
2.3.1. Pengaturan Karya Derivative Work Yang Dituangkan Dalam Media
Elektronik. ........................................................................................ 60
2.3.2. Bentuk-bentuk Derivative Work Yang Dipublikasikan Dalam Media
Elektronik. ........................................................................................ 61
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEASLIAN CERITA RAKYAT
SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL........................................ 64
3.1. Konsep Orisinalitas Suatu Karya Cipta Menurut UUHC, Berne
Convention, TRIPs Agrement ................................................................... 64
3.2. Dokumentasi Sebagai Mekanisme Penentuan Kepemilikan Asal Suatu
Cerita Rakyat Tradisional Dan Keasliannya ............................................ 76
3.3. Perlindungan Hukum Terhadap Keaslian Cerita Rakyat Tradisional ...... 83
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT KEPEMILIKAN CERITA RAKYAT
YANG TELAH DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK
PERTUNJUKKAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK BAIK NASIONAL
MAUPUN INTERNASIONAL ........................................................................ 96
4.1. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat yang Dialihwujudkan
dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik di dalam Negeri
(Nasional) ................................................................................................. 98
xvi
4.2. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan
Dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik Di Luar Negeri
(Internasional) ........................................................................................ 111
BAB V PENUTUPAN ................................................................................................ 122
5.1. Simpulan .................................................................................................. 122
5.2. Saran ........................................................................................................ 123
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 125
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia memiliki daya pikir, rasa, dan karsa yang berpotensi
untuk menciptakan karya intelektual. Karya tersebut dapat dituangkan dalam
berbagai macam bentuk karya cipta mulai dari kreasi bangunan, kreasi seni
budaya, desain dan teknologi. Karya cipta tersebut merupakan aset kekayaan
individual yang berpotensi untuk mendapatkan perlindungan hukum karena
memiliki nilai ekonomi yang mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya. Proses
kreativitas ini berlangsung terus-menerus sejak dahulu sampai sekarang dan
diwariskan dari generasi ke generasi, hingga saat ini ciptaan tersebut merupakan
ciptaan tradisional atau folklor (folklore).
Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan bahwa yang dimaksud
dengan folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan
turun-temurun, tetapi tidak dibukukan.1 Indonesia merupakan negara yang kaya
akan adat budaya juga cerita rakyat. Tetapi masyarakat Indonesia jarang melihat
pengetahuan tradisional, cerita rakyat dan kekayaan tak berwujud, dari aspek
ekonomi. Masyarakat Indonesia memandang ketiga hal itu sebagai nilai-nilai
1 Lukman Ali, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Cetakan ketujuh, Perum
Balai Pustaka, Jakarta, hal.279.
2
spiritual, jalan hidup, identitas budaya dan ikatan sosial yang mempersatukan
negara.2 Seiring perkembangan dunia, Indonseia tidak luput dari arus perubahan
zaman yang terus mengalami perkembangan. Perkembangan disegala bidang
termasuk dalam bidang yang awalnya asing bagi masyarakat bangsa ini, yaitu Hak
Kekayaan Intelektual (selanjutnya akan ditulis HKI) Masyarakat asli Indonesia
pada umumnya tidak mengenal konsep-konsep yang bersifat abstrak termasuk
konsep tentang hak atas kekayaan intelektual.3 Keikutsertaan Indonesia dalam
pergaulan dunia membuat masyarakat Indonesia harus melek dan beradaptasi
dengan konsep yang begitu asing bagi mereka. Karena masyarakat adat Indonesia
tidak pernah membayangkan bahwa buah pikiran (intellectual creation) adalah
kekayaan (property) sebagaimana cara berpikir orang-orang Barat.4
Konsep HKI sendiri berawal dari keinginan untuk memberikan
penghargaan kepada hasil karya intelektual seseorang kemudian berkembang
semakin pesat. Keberadaan HKI merupakan bentuk penghargaan hasil kreatifitas
manusia, baik dalam bentuk penemuan-penemuan (inventions ) maupun hasil
karya cipta dan seni (art and literary work ), terutama ketika hasil karya kreatif
tersebut dipergunakan untuk kepentingan komersial.
2 Afifah Kusumadara, Dosen FH Presentasi Di Konfesensi ASLI Jepang,
http://prasetya.ub.ac.id/berita/Dosen-FH-Presentasi-di-Konferensi-ASLI-Jepang-3777-id.html,
Diakses 09 Maret 2012.
3 Agus Sardjono, 2009, Membumikan HKI Di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung,
hal.29.
4 Ibid.
3
Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai
undang-undang tentang HKI yang sebenarnya merupakan pemberlakuan peraturan
perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berlaku di negari Belanda,
diberlakukan di Indonesia sebagai Negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip
konkordansi. Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang HKI adalah
sebagai berikut:
1 Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang
Hak Cipta; S.1912-600).
2 Reglement Industriele Kolonien 1911 (Peraturan Hak Milik Industrial
Kolonial 1912; 1912-545 jo. S.1913-214).
3 Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33. Yis S.1911-33,
S.1922-54).5
Sejak menjadi bangsa yang merdeka, Indonesia tercatat memiliki 4
(empat) buah Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) di bidang Hak Cipta,
yaitu: UU No.6 Tahun 1982, UU No.7 Tahun 1987, UU No. 12 Tahun 1997, dan
UU No. 19 Tahun 2002. Revisi terakhir yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dilandasi oleh 2 alasan. Pertama, pemerintah menyadari bahwa
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa dengan didukung oleh
masyarakat yang sangat kreatif. Potensi tersebut perlu dilindungi dalam bentuk
5 Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan Pertama, Sinar Grafika
Offset, Jakarta, hal.1.
4
undang-undang yang modern dan selalu mengikuti jaman. Alasan kedua yakni
terkait dengan konsekwensi Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade
Organization). Meskipun pemerintah telah menyesuaikan isi UUHC (Undang-
Undang Hak Cipta) tahun 1997 dengan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of
Intelectual Property Rights), revisi tetap perlu dilakukan untuk memberikan
perlindungan yang lebih komprehensif terhadap ciptaan yang dihasilkan oleh
bangsa Indonesia.6
Semakin ditingkatkannya perlindungan terhadap HKI ternyata tidak
mengurangi terjadinya pelanggaran terhadap HKI di Indonesia. Indonesia
memiliki catatan terburuk dalam melindungi hak kekayaan intelektual (HKI).
Sebuah survei yang dilakukan kepada para pelaku bisnis asing menunjukkan
Indonesia berada di daftar teratas negara paling buruk dalam perlindungan HKI
untuk tingkat Asia.7
Pelanggaran terhadap hak cipta terjadi tidak tanggung-tanggung.
Pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh individu dengan alasan ekonomi, tetapi
pelanggaran juga dilakukan oleh negara lain khususnya pelanggaran atas budaya
dearah seperti tari-tarian, lagu daerah, cerita rakyat dan motif batik. Contoh
6 Tomi Suryo Utomo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah
Kajian Kontemporer, Cetakan pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.69.
7 Tri Wahono, Perlindungan Hak Cipta, Indonesia Terburuk Di Asia,
http://tekno.kompas.com/read/2010/08/25/17502973/Perlindungan.Hak.Cipta.Indonesia.terburuk.d
i.Asia, Diakses 09 Maret 2012, hal. 1.
5
pelanggaran hak cipta atas budaya daerah antara lain kasus lagu Rasa Sayange dan
Tari Pendet. Kedua karya cipta tersebut adalah milik bangsa Indonesia yang
merupakan budaya daerah, tetapi keduanya di manfaatkan oleh Malaysia dalam
promosi pariwisatanya. Ada beberapa kasus klaim negara lain dalam hal ini
Malaysia atas budaya daerah Indonesia antara lain klaim atas Angklung, Reog
Ponorogo, batik, Hombo Batu, Tari Folaya. Pelanggaran hak cipta atas budaya
daerah yang terbaru adalah kasus Tari Tor Tor dan Gondang Sambilan.
Beberapa contoh kasus di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya
perlindungan hak cipta atas budaya daerah oleh Indonesia karena negara ini kaya
akan seni budayanya khususnya cerita rakyat dan pengalihwujudannya yang perlu
mendapat perlindungan dari pelanggaran hak cipta. Beberapa contoh cerita rakyat
Bangsa ini yang banyak di kenal seperti cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari dari
Jawa Tengah, Sangkuriang dari Jawa Barat, Malin Kundang dari Sumatera Barat,
Cupak Gerantang dari Bali, Ande-ande Lumut, Bawang Merah Bawang Putih,
Timun Mas serta masih banyak lagi cerita lain yang tumbuh dan berkembang,
diwariskan turun temurun kepada generasi berikutnya. Cerita-cerita tersebut juga
acap kali dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan lain.
Saat ini di lingkup internasional tengah berkembang isu baru yang
berkaitan dengan HKI, yaitu perlindungan terhadap pengetahuan Tradisional.
Pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional ini disebabkan komunitas lokal
atau tradisional ternyata memiliki banyak karya-karya kreatif yang perlu
6
dilindungi. Kekayaan intelektual komunitas lokal sangat beragam dan luas
cakupannya, mulai dari cerita rakyat, seni tradisional, sistem kepercayaan,
aktivitas upacara adat, pengobatan hingga berbagai bentuk teknologi tradisional
yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat lokal.8
Upaya perlindungan HKI atas Pengetahuan Tradisional (selanjutnya
disingkat PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (selanjutnya disingkat EBT)
muncul sebagai reaksi terhadap sistem perlindungan HKI modern yang tidak
memadai. Karakteristik hukum HKI modern bahwa perlindungan diberikan
kepada karya-karya baru yang bersifat individual dan identitas penciptanya jelas,
serta jangka waktu perlindungannya dibatasi. Hal tersebut berbeda dengan
karakteristik PT dan EBT yang sudah ada sejak lama yakni penciptanya tidak jelas
dan kepemilikannya bersifat komunal serta jangka waktu perlindungannya sulit
untuk dibatasi karena suatu PT dan EBT sangat erat kaitannya dengan jati diri
komunitas atau masyarakat tradisional yang memilikinya.9
Di Indonesia perlindungan atas budaya daerah terdapat dalam Pasal 10
UUHC Nomor 19 Tahun 2002 yang mengenai “Hak Cipta atas Ciptaan yang
8 Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Terhadap Pengetahuan
Tradisional, http://alsaindonesia.org/site/perlindungan-hak-atas-kekayaan-intelektual-terhadap-
pengetahuan-tradisional-2/, Diakses 25 Juni 2012.
9 Basuki Antariksa, 2012, Peluang Dan Tantangan Perlindungan Pengetahuan
tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional,
www.budpar.go.id/userfiles/file/Art_11_Konsinyering%20WBT%20710.pdf, Diakses 10 Maret
2013, hal.5.
7
Penciptanya Tidak Diketahui”. Dalam ketentuan Pasal 10 tersebut tampak bahwa
cerita rakyat merupakan bagian dari kebudayaan daerah yang hak ciptanya
dipegang oleh negara. Namun pada kenyataannya, cerita-cerita rakyat masih
belum mendapat perlindungan bahkan sampai saat ini belum ada
pendokumentasian yang layak bagi cerita-cerita rakyat tersebut. Pasal 10
sesungguhnya ditujukan secara khusus untuk melindungi budaya penduduk asli.
Namun bagi masyarakat tradisional akan mendapatkan kesulitan untuk
menggunakannya demi melindungi karya-karya mereka berdasarkan beberapa
alasan. Pertama, kedudukan Pasal 10 UUHC belum jelas penerapannya jika
dikaitkan dengan berlakunya pasal-pasal lain dalam UUHC. Kedua, suku-suku
etnis atau suatu masyarakat tradisional hanya berhak melakukan gugatan terhadap
orang-orang asing yang mengekploitasi karya-karya tradisional tanpa seizin
pencipta karya tradisional, melalui Negara cq. Instansi terkait.10
Dilema antara tuntutan perlindungan hak cipta atas budaya daerah dalam
hal ini cerita rakyat dan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang
memadai dalam memberikan perlindungan mengakibatkan keberadaan cerita
rakyat semakin terancam dieksploitasi oleh pihak-pihak yang hanya
mementingkan nilai ekonomi saja tanpa memperdulikan nilai moral yang ada.
Masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya komunal belum memandang
10
Tim Lindsey, dkk., 2004, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Cetakan ke-3,
PT. Alumni, Bandung, hal.267.
8
penting adanya perlindungan bagi buah karya mereka. Bagi mereka cerita-cerita
rakyat tersebut hanya bagian dari keseharian mereka yang tumbuh dan
berkembang dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut tanpa mereka ketahui
siapa penciptanya dan biasanya tidak terdokumentasi. Bagi kakek dan nenek,
cerita-cerita rakyat tersebut hanya dongeng sebelum tidur bagi cucu mereka
dengan harapan cucu mereka bisa mengambil pelajaran dan hikmah baik dari tiap
dongeng yang di sampaikan. Bagi mereka tidak pernah terbersit di benaknya
bahwa cerita-cerita yang mengandung nilai philosofi tentang kebaikan, nilai-nilai
moral, ekonomi dan hubungan sosial tersebut, yang mereka sampaikan kepada
anak cucunya sesunguhnya bisa mendapatkan perlindungan hukum jika dikaji dari
perspektif hak cipta. Cerita-cerita rakyat tersebut berhak atas perlindungan hukum
untuk menyelamatkan dari usaha eksploitasi dan plagiasi yang dilakukan oleh
individu atau negara lain.
Perlindungan terhadap karya-karya tradisional khususnya cerita rakyat
menjadi semakin penting mengingat dalam perkembangannya tidak jarang cerita-
cerita tersebut diangkat menjadi seni pertunjukkan lain seperti film pendek,
sendratari, drama radio, pementasan budaya, dan pertunjukkan seni lainnya.
Perkembangan stasiun televisi yang semakin banyak saat ini juga menjadi salah
satu media untuk mengekspose karya-karya tradisional yang ada tidak hanya
dalam lingkup nasional tetapi juga hingga lingkup internasional. Pada saat karya-
karya cerita tradisional tersebut dituangkan dalam wujud yang berbeda,
9
perlindungan kepemilikkannya menjadi semakin penting, mengingat bahwa
menurut UUHC, siapapun yang menghasilkan suatu karya berhak mendapatkan
perlindungan. Pada saat cerita rakyat dituangkan dalam wujud yang berbeda
seperti film misalnya, di dalamnya akan muncul orisinalitas lain seperti efek
suara, yang menimbulkan pertanyaan siapa pemilik hak ciptanya.
Namun demikian dalam UUHC Nomor 19 Tahun 2002 hanya terdapat
satu pasal yang menentukan perlindungan ciptaan atas karya peninggalan
prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional serta folklor yaitu Pasal 10. Itu pun
tidak ada pengaturan lebih lanjut. Sebab Pasal 10 ayat (4) menghendaki adanya
Peraturan Pemerintah sebagai pengaturan lebih lanjut terhadap hak cipta yang
dipegang oleh negara. Sementara itu, pendelegasian pengaturan dengan Peraturan
Pemerintah tersebut tidak dilakukan hingga saat ini sehingga tidak ada ketentuan
hukum yang dapat digunakan sebagai instrument untuk memberikan perlindungan
hukum terhadap ciptaan karya tradisional dan folklor. Hal itu berarti terjadi
kekosongan norma atau ketiadaan norma atas perlindungan karya cipta tersebut.
Selain itu, di dalam Pasal 10 juga terdapat permasalahan kekaburan
norma, yakni: pertama mengenai apakah orang Indonesia yang akan
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang termasuk kekayaan tradisional
dan folklor harus terlebih dahulu mendapat izin sebagaimana halnya jika itu
dilakukan oleh orang asing. Kedua, sipakah yang dimaksudkan dengan instansi
terkait yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin untuk mengumumkan atau
10
memperbanyak ciptaan berupa karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda
budaya nasional serta folklor. Di dalam Pasal 1 UUHC, yang merupakan
interpretasi otentik atas konsep-konsep yang digunakan di dalam Batang Tubuh
UUHC, tidak ada menentukan batasan pengertian instansi terkait. Penjelasan
Pasal 10 menyatakan cukup jelas norma pada ayat (1), (3) dan (4). Penjelasan ayat
(2) menegaskan mengenai tujuan melindungi dan pengertian serta ruang lingkup
folklor. Jadi, tidak ada penjelasan mengenai siapa instansi terkait dan apakah
diperlukan izin oleh orang Indonesia yang akan mengumumkan atau
memperbanyak ciptaan yang termasuk kekayaan tradisional dan folklor.
Karena itulah menarik untuk dikaji secara normatif terhadap ketentuan
UUHC Nomor 19 Tahun 2002, khususnya ketentuan Pasal 10 sebagai suatu
penelitian tesis mengenai perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan
khususnya dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang
masalah di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan yang akan diteliti dalam
tesis ini, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat
sebagai ekspresi budaya tradisional dalam dimensi hak cipta?
11
2. Bagaimanakah perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang telah
dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik
baik nasional maupun internasional?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Begitu banyaknya karya cipta milik bangsa Indonesia yang merupakan
ekpresi budaya tradisional khususnya cerita rakyat, menunjukkan bahwa bangsa
ini adalah bangsa yang kreatif dan tidak henti berkarya serta tidak mementingkan
sisi komersial dari karya mereka. Hal itu justru menjadi kelemahan bangsa ini.
Sistem komunal yang kental membuat bangsa ini sering mengalami pelanggaran
hak cipta. Hasil-hasil ciptaan yang merupakan budaya daerah seperti cerita rakyat
tidak terdata dengan baik.
UUHC merupakan instrumen yang penting dalam memberikan
perlindungan terhadap semua hasil karya cipta rakyat yang berkaitan dengan
budaya daerah khususnya cerita rakyat. Namun akan menjadi persoalan apabila
instrumen yang seharusnya bisa memberikan perlindungan ternyata didalamnnya
tidak terdapat aturan yang jelas, bahkan tidak mengatur lebih lanjut mengenai
perlindungan budaya daerah.
Untuk membatasi kajian ini, maka ruang lingkupnya akan terbatas pada
perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekpresi budaya
tradisional dan perlindungan hukum terkait kepemilikan cerita rakyat yang
12
dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan melalui media elektronik baik
nasional maupun internasional.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.
1.4.1. Tujuan Umum.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisa mengenai
Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk
Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik.
1.4.2. Tujuan Khusus.
Melalui pemaparan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat
diketahui yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1 Untuk menganalisis mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian
cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional dalam dimensi hak cipta.
2 Untuk menganalisis mengenai perlindungan hukum terkait kepemilikan
cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan melalui
media elektronik baik nasional maupun internasional.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
13
1.5.1. Manfaat Teoritis.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang HKI.
1.5.2. Manfaat Praktis.
Manfaat praktis dari penelitian ini bagi para pembentuk peraturan
perundang-undangan bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran agar dalam membentuk peraturan prundang-undangan di
masa yang akan datang dalam bidang HKI khususnya hak cipta lebih
memperhatikan kepentingan masyarakat dimana peraturan perundang-undangan
tersebut akan diterapkan. Demikian pula dalam meratifikasi perjanjian
internasional, hendaknya lebih memperhatikan budaya hukum masyarakat negara
peratifikasi sehingga ratifikasi perjanjian internasional tersebut dapat diterapkan
secara optimal.
Bagi masyarakat khususnya pencipta, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan dalam peningkatan kesadaran para pencipta yang ada di
Indonesia untuk mendaftarkan ciptaannya. Dengan demikian, buah karya yang
dihasilkan dari daya inovasi dan kreativitas tersebut membuahkan hasil berupa
insentif dan konstribusi nilai ekonomis bagi penciptanya.
Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat lebih memacu kinerja
pemerintah untuk membuat daftar karya-karya tradisional yang Penciptanya telah
14
tiada atau tidak diketahui penciptanya, sehingga klaim karya tradisional oleh
pihak lain – negara lain tidak terjadi. Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini
sebagai masukan terhadap materi muatan regulasi atas perlindungan karya-karya
tradisional yang akan dibentuk oleh pemerintah sehingga regulasi tersebut
akomodatif bagi tumbuh kembangnya upaya penciptaan karya-karya inovatif
lainnya.
1.6. Orisinalitas Tesis
HKI merupakan hal baru bagi bangsa ini tetapi pergaulan dunia
internasional membuat bangsa ini tidak bisa menghindar dan mengabaikannya
begitu saja. Bangsa ini harus ikut meratifikasi berbagai ketentuan internasional
tentang HKI termasuk didalamnya ketentuan tentang hak cipta. Berbagai masalah
mengenai perlindungan hak cipta pun tidak luput dialami bangsa ini khususnya
pelanggaran terhadap ekspresi budaya daerah yang merupakan warisan asli
bangsa ini. Beberapa penelitian yang membahas mengenai hak cipta atas ekspresi
budaya daerah antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh I Ketut Sandhi Sudarsana dengan judul
Perlindungan Hukum Terhadap Pertunjukan Karya Cipta Seni Tari Bali Yang
Disakralkan. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian
tersebut antara lain:
a. Bagaimanakah pengaturan tentang Tari Bali yang disakralkan menurut
Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?
15
b. Apakah pertunjukan secara komersial terhadap Tari Bali yang
disakralkan merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta?
Penelitian tersebut spesifik membahas permasalahan pengaturan Tari Bali yang
disakralkan sehingga ruanglingkup penelitiannya terbatas pada aspek
pengaturan di dalam UUHC.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Sri Indrawati dengan judul
Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional Berkaitan Dengan Sistem Hak
Kekayaan Intelektual. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitan tersebut antara lain:
a. Apakah Pengetahuan Tradisional mendapat perlindungan dalam sistem
Hak Kekayaan Intelektual?
b. Bagaimana bentuk pengaturan bagi Pengetahuan Tradisional tersebut?
3. Penelitian yang dilakukan oleh Sadhiyaning Wahyu Arifani dengan judul
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Atas Lagu Yang Tidak Diketahui
Penciptanya. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian
tersebut antara lain:
a. Bagaimanakah pelaksanaan untuk menentukan pemegang Hak Cipta
atas lagu yang tidak diketahui penciptanya menurut Undang-undang
Hak Cipta di Indonesia?
b. Bagaimanakah perlindungan terhadap Hak Cipta lagu yang tidak
diketahui penciptanya oleh Undang-undang Hak Cipta di indonesia?
16
c. Upaya apakah yang ditempuh untuk penegakan hukum terhadap
pelanggaran terhadap Hak Cipta atas lagu yang tidak diketahui
penciptanya?
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut di atas, belum ada yang
membahas permasalahan mengenai “Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang
Dialihwujudkan dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik”.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai
permasalahan tersebut.
1.7. Landasan Teoritis
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi akan
mendorong semakin tingginya tingkat peradaban manusia. Hal itu ditandai dengan
munculnya penemuan-penemuan teknologi, karya cipta sastra dan seni, cerita dan
image dan lain sebagainya. Dengan diratifikasinya persetujuan TRIPs (Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights) dalam Undang-Undang No.7 tahun
1994, Indonesia tidak hanya mempunyai kewajiban mengatur HKI dalam hukum
nasional, melainkan juga harus menyesuaikan dengan ketentuan TRIPs dan
menegakkannya secara konsisten serta memberikan perlindungan secara
maksimal.
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang
antara lain dapat terdiri dari buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato,
17
dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak cipta.11
Hak
cipta besifat originality dan individuality. Hak cipta diperoleh tanpa harus
mendaftarkan, karena hak cipta besifat automatic protection.12
Menurut UUHC dalam Pasal 1 angka (1) Hak Cipta adalah hak eksklusif
bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemegang Hak
Cipta menurut ketentuan Pasal 1 angka (4) UUHC adalah pencipta sebagai
Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta atau
pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima tersebut.
Ada dua subjek (pemegang) hak cipta, subjek yang pertama adalah
seorang atau beberapa orang secara bersama-sama menciptakan sesuatu
berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian
yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Subjek hak cipta
yang kedua adalah pihak-pihak yang menerima hak cipta dari pencipta; atau pihak
lain yang menerima lebih lanjut hak cipta dari pihak yang menerima hak cipta itu.
Subjek hukum ini berupa badan hukum atau bahkan negara, jika objek hak
ciptanya (ciptaannya) adalah karya-karya peninggalan prasejarah, sejarah, benda
11
Tim Lindsey, dkk., Op.Cit., hal.6.
12
Endang Purwaningsih, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Lisensi, Cetakan
Ke-I, CV. Manda Maju, Bandung, hal. 35.
18
budaya nasional lainnya, folklore, hasil kebudayaan yang menjadi milik bersama
dan ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan.13
Hak cipta yang melindungi ide yang telah berwujud dan asli. Ide yang
mendapatkan perlindungan hak cipta hanyalah ide yang diformulasikan dalam
bentuk tertentu dan bersifat original. Dengan demikian, secara tegas dapat
dikatakan bahwa adanya suatu bentuk nyata dan berwujud (expression) dan
sesuatu yang berwujud itu adalah asli (original) atau bukan hasil plagiat
merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan
hukum hak cipta.14
Dalam UUHC ciptaan yang mendapat perlindungan diatur
dalam Pasal 12 UU No.19 tahun 2002 yaitu melindungi ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Yang dilindungi dalam hak cipta adalah
haknya, bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut.15
Sebagai hak ekslusif (exclusive rights), Hak Cipta mengandung dua
esensi hak, yaitu: hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights).
Kandungan hak ekonomi meliputi hak untuk mengumumkan (performing rights)
dan hak memperbanyak (mechanical rights). Ada pun hak moral meliputi hak
13
Haris Munandar, dkk, 2008, Mengenal Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten,
Merek Dan Seluk-beluknya, Erlangga, Jakarta, hal.16.
14
Otto Hasibuan, 2008, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Bagi Hak Cipta Lagu,
Neigbouring Rights, Dan Collecting Society, PT. Alumni, Bandung, hal.66.
15
Oka Saidin, 2007, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), Edisi Revisi 6, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.55.
19
pencipta untuk dicantumkan namanya dalam ciptaannya, termasuk judul atau pun
anak judul ciptaan.16
Sementara itu Traditional Culture Expresions menurut Dokument WIPO
(World Intelectual Property Organization) sebagai berikut:
“... bentuk apapun, kasat mata maupun tak kasat mata, di mana pengetahuan
dan budaya tradisional diekspresikan, tampil atau dimanifestasikan dan
mencakup bentuk-bentuk ekspresi atau kombinasi berikut ini...”17
Ekspresi budaya tradisional merupakan cara hidup bangsa Indonesia,
yang mengajarkan tradisi, kearifan, nilai-nilai, pengetahuan komunal, yang di
kemas dan diturunkan kepada anak cucu melalui hikayat, legenda, kesenian, dan
upacara yang berangsur-angsur membentuk norma sosial dan tata hidup bangsa
Indonesia.18
Dengan demikian, norma-norma sosial dan tata hidup bangsa
Indonesia itu sejatinya merupakan ekspresi budaya tradisional yang
dimanifestasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Di Indonesia perlindungan atas ciptaan tradisional ditentukan dalam
Pasal 10 UUHC No.19 tahun 2002 bahwa:
16
Henry Soelistyo, 2011, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, PT. RajagrafindoPersada, Jakarta,
hal.47
17
Afrillyanna Purba, 2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan
Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,
Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, hal. 94-95.
18
Penelitian Hukum Perlu Regulasi: Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Di Jawa
Barat,www.depkumham.go.id/berita-kanwil/go-kanwil-jawa-barat/964-penelitian-hukum-perlu-
regulasi--perlindungan-ekspresi-budaya-tradisional-di-jawa-barat, Diakses 15 April 2013.
20
(1). Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah,
dan benda budaya nasional lainnya.
(2). Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat
yang menjadi milik bersama, seperti cerita rakyat, hikayat, dongeng,
legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan
karya seni lainnya.
(3). Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya tersebut pada ayat
(2), orang yang bukan Warga Negara Indonesia harus terlebih dahulu
mendapat izin dari instansi terkait dalam masalah tersebut.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 10 tersebut di atas dengan tegas memberikan perlindungan terhadap ciptaan
tradisional yang dilindungi terutama Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milik bersama. Upaya perlindungan dilakukan dengan cara
negara memegang hak cipta tersebut dan pengumuman serta penggandaan hanya
dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari negara. Namun demikian, sangat
disayangkan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang hak
cipta yang dipegang negara atas Pengetahuan Tradisional, sebagaimana
ditentukan pada ayat (4) belum ada hingga saat ini.
Perlindungan mengenai karya cipta yang dialihwujudkan (derivative
work) atau karya turunan diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf l. Penjelasan pasal
ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengalihwujudan adalah
pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman
menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Pasal 12
21
ayat (2) menyebutkan bahwa karya cipta yang dialihwujudkan mendapatkan
perlindungan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
Pasal 12 tersebut di atas menentukan secara limitatif mengenai
pengalihwujudkan hak cipta yang mendapatkan perlindungan, yakni
pengalihwujudkan dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman menjadi
drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Hal itu berarti
bahwa pengalihwujudkan ke bentuk lain selain yang ditentukan tersebut berada di
luar ruanglingkup Pasal 12 sehingga belum ada regulasi yang memberikan
perlindungan hukum terhadap pengalihwujudkan tersebut. Namun dalam tesis ini
dibatasi hanya pada perlindungan hukum cerita yang dialihwujudkan dalam
bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik.
Permasalahan perlindungan hukum cerita yang dialihwujudkan dalam
bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik dikaji dengan mempergunakan
teori Perlindungan Terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang dikemukakan oleh
Robert M. Sherwood, Teori Hukum Alam (Natural Right Theory) oleh John
Locke, dan Doktrin Penggunaan Yang Pantas (Fair Use) oleh Paul Goldstein.
Robert M. Sherwood mengemukakan bahwa terdapat berbagai teori yang
mendasari perlunya suatu bentuk perlindungan hukum bagi HKI. Teori yang
pertama yang dikemukakanya adalah Reward Theory yang memiliki makna yang
sangat mendalam berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah
22
dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau pendesain harus
diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam
menemukan/menciptakan karya-karya intelektual tersebut.19
Jadi pengakuan dan
perlindungan terhadap HKI merupakan suatu penghargaan kepada
penemu/pencipta atau pendesain atas karya intelektual yang sudah dihasilkan.
Teori lain yang sejalan dengan Reward Theory adalah Recovery Theory
yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penemu/pencipta/pendesain yang telah
mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektual
harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut.20
Jadi
pengakuan dan perlindungan atas HKI tersebut dimaksudkan untuk memulihkan
kembali segala pengeluaran biaya, tenaga dan waktu yang terjadi dalam upaya
yang telah dilakukan untuk menghasilkan karya intelektual. Teori lain yang juga
sejalan dengan teori reward adalah Incentive Theory. Teori ini mengaitkan
pengembangan kreativitas dengan memberikan insentif bagi para
penemu/pencipta/ atau pendesain tersebut. Bedasarkan teori ini insentif perlu
diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang
berguna.21
Teori insentif memposisikan HKI sebagai motivator meningkatkan
19
Robert M. Sherwood dikutip oleh Ratni Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain
Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta, hal.44.
20
Ibid., hal.45.
21
Ibid.
23
aktivitas penemuan atau penciptaan karya intelektual yang bermanfaat bagi umat
manusia.
Ketiga teori tersebut di atas pada intinya memiliki visi yang sama berupa
pemberian penghargaan kepada penemu/pencipta dan pendesain atas karya
intelektual yang telah dihasilkannya. Dalam perkembangannya pemberian
penghargaan tersebut harus dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan iklim
kondusif agar masyarakat tetap kreatif, sebab penghargaan yang tidak memadai,
yang tidak sepadan dengan daya yang diperlukan untuk berkreativitas, maka akan
membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri.22
Teori keempat yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Risk
Theory. Teori ini mengakui HKI merupakan suatu hasil kerja yang mengandung
resiko. HKI yang merupakan hasil dari suatu penelitian mengandung resiko yang
dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut
atau memperbaikinya sehingga dengan demikian adalah wajar untuk memberikan
suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang
mengandung resiko tersebut.23
Berdasarkan teori perlindungan HKI di atas jelas bahwa perlindungan
terhadap hasil karya cipta seseorang adalah mendapat pengakuan karena dalam
22
Ibid.
23
Ibid.
24
setiap karya yang diciptakan tertuang ide intelektual seseorang untuk menciptakan
suatu karya. Sebab untuk menghasilkan suatu karya tersebut diperlukan
pengorbanan waktu, biaya serta tenaga. Maka dari itu diperlukan adanya
penghargaan terhadap pencipta guna merangsang pencipta untuk lebih giat dan
kreatif dalam menciptakan karya-karya berikutnya. Selain itu perlindungan juga
diperlukan mengingat bahwa dalam setiap penciptaan karya intelektual, terdapat
resiko bagi si pencipta dimana selama proses penciptaannya, pihak lain dapat saja
menirunya.
John Locke mengemukakan bahwa hak atas property lahir dan ada
karena adanya usaha dan pengorbanan waktu dan tenaga yang telah diberikan dan
diinvestasikan untuk menghasilkan property tersebut. Oleh karena itu lahirlah hak
yang melekat pada karya intelektual sebagai hasil investasi kreatif seseorang
(Creative people have an inherent right to their intellectual property because of
the labour they have invested in it).24
Manusia secara alamiah memiliki dorongan dalam dirinya atas
kepemilikan atau hak atas sesuatu bahkan dari sejak hal tersebut masih berupa
suatu ide dalam pikirannya. Dalam konsep hak cipta yang mendapat perlindungan
adalah ide yang sudah berwujud. Dengan demikian semakin menegaskan bahwa
24
Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2011, Hak Kekayaan
Intelektual Dan Harmonisasi Hukum Global (Rekonstruksi Pemikiran Terhadap Perlindungan
Program Komputer), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal.47.
25
Pencipta memiliki hak atas ciptaaannya yang harus dilindungi. Karena sesuatu
yang dihasilkan oleh Pencipta adalah haknya bahkan sejak masih berupa suatu
ide.25
Doktrin yang menjadi dasar perlindungan hak cipta adalah doktrin
penggunaan yang pantas atau fair use. Menurut Paul Goldstein, di Amerika
Serikat, sejarah doktrin ini panjang, bermula dari putusan Hakim Joseph Story.
Doktrin fair use mengandung pengertian bahwa penggunaan yang pantas adalah
pemberian izin kepada pihak masyarakat untuk membuat salinan karya yang
dilindungi hak cipta, jika dipakai untuk tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat
dan pertimbangan-pertimbangan lain yang mendukungnya. Doktrin ini
dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pencipta dan
kepentingan masyarakat. Penggunaan secara wajar itu, antara lain untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan
dan sebagainya.26
Doktrin fair use selain bertujuan melindungi juga memberikan
kesempatan bagi pihak lain untuk mempergunakan suatu ciptaan untuk tujuan
yang dibenarkan seperti halnya keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya
25
Thomas E. Davitt, 2012, Nilai-Nilai Dasar Di dalam Hukum Menganalisa Implikasi-
Implikasi Legal-Etik Psikologi Dan Antropologi Bagi Lahirnya Hukum, Terjemahan Yudi Santosa,
S.Fil, Cetakan I, Pallmal Yogyakarta, Yogyakarta, hal.32-33.
26
Muhamad Djumhana, 2006, Perkembangan Doktrin Dan Teori Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.48-49.
26
ilmiah dan penyusunan laporan. Fair use dalam sebuah karya ilmiah, misalnya
dengan tetap mencantumkan sumber atau penulis dari karya asli yang dikutip
dalam sebuah karya tulis. Dengan tetap mencantumkan penulis aslinya, hak moral
dari pencipta tetap diakui sekaligus wujud perlindungan hak cipta.
Teori-teori tersebut menjadi justifikasi dari pentingnya perlindungan
HKI khususnya cerita rakyat. Penghargaan serta pengakuan yang diberikan
kepada pencipta merupakan upaya menumbuhkembangkan daya kreatifitas
mereka sehingga mereka tidak akan merasa sia-sia telah mengasilkan sebuah
karya. Perlindungan atas cerita rakyat bertujuan mencegah terjadinya penggunaan
cerita tersebut secara ilegal yang menimbulkan kerugian bagi pencipta. Teori
tersebut menjadi landasan hukum bagi perlindungan cerita rakyat sehingga
pelanggaran terhadap cerita rakyat dapat dihindari atau diminimalisir.
Melalui teori-teori inilah, muncul satu konsep perlindungan hukum
terhadap ciptaan yang telah dilahirkan seorang penciptanya. Bisa dilakukan
melalui perlindungan hak ekonominya atau perlindungan dalam hak moralnya
atau juga bahkan keduanya. Perlu adanya perlindungan tersebut dilakukan untuk
menjamin eksistensi dari sebuah ciptaan yang terlahir tersebut. Oleh karena itu,
berdasarkan teori-teori tersebut, maka perlu dilakukan sebuah upaya untuk
27
memproteksi hasil karya ciptaan dengan melalui satu sarana atau satu konsep
tertentu.27
1.8. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum adalah suatu jalan yang ditempuh peneliti
dalam suatu penelitian tertentu yang berlangsung menurut suatu rencana
tertentu.28
Metode penelitian menyajikan cara atau langkah-langkah dalam
melakukan penelitian secara sistematis dan logis sehingga hasil penelitian tersebut
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Secara garis besar metode penelitian
tesis ini mencakup mengenai jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan
hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.
1.8.1. Jenis Penelitian.
Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian,
yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum
mengkaji dan menganalisis norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang untuk itu.29
Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori,
27
Arif Lutviansori, 2010, Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia, Edisi
Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.16.
28
Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif¸ Bayu
Publishing, Malang, hal.26.
29
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.13
28
sejarah, filosofis, perbandingan, struktur dan posisi, lingkup dan materi,
konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan
mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak
mengkaji aspek terapan atau implementasinya. Karena tidak mengkaji aspek
terapan atau implementasi, maka penelitian hukum normatif sering juga disebut
“penelitian hukum dogmatik atau penelitian hukum teoritis” (dogmatic or
theoretical law research). 30
Penelitian tesis ini merupakan penelitian hukum
normatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan
hukum yang diteliti yakni perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan
dalam bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik.
1.8.2. Jenis Pendekatan.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan. Karena itu, peraturan perundang-undangan dijadikan
sebagai obyek kajian dalam penelitian ini. Pendekatan Undang-undang (Statute
Approach) dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti. Bagi
penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian
antara suatu jenis peraturan perundang-undangan dengan jenis yang lainnya atau
30
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal.101-102.
29
antara regulasi dan undang-undang. Hasil telaah tersebut merupakan suatu
argument untuk menghadapi isu yang dihadapi.31
Disamping itu, dalam penelitian tesisi ini digunakan juga pendekatan
konseptual. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, akan
diketemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-
konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang sedang
diteliti. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam memecahkan isu yang dihadapi.32
1.8.3. Sumber Bahan Hukum.
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui
studi kepustakaan baik melalui penelusuran peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen yang merupakan hasil pengolahan orang lain yang sudah
tersedia dalam bentuk buku-buku ilmiah atau dokumentasi. Dalam penelitian
hukum terdapatdua jenis sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.33
31
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal.93.
32
Ibid.
33
Ibid.,hal.142
30
Stephen Elias mengemukakan bahwa all legal resources can be broken
into two categories: primary and secondary sources.34
Bahan hukum primer
merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.35
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian tesis ini yaitu
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD
1945), Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Berne Convention,
TRIPS Agreement, Copyright Law of The United States and Related Laws
Contained in Title 17 of the United States Code.
Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.36
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah studi
kepustakaan/studi dokumen. Penelitian dilakukan terhadap berbagai dokumen dan
bahan-bahan hukum pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang
34
Stephen Elias, 2009, Legal Research How To Find And Understand The Law, Fifteenth
Edition, Nolo, California, hal.22.
35
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit.,hal.141.
36
Ibid.
31
dibahas dalam penelitian ini. Bahan-bahan hukum yang ada seperti peraturan
perundang-undangan serta buku-buku literatur dikaji dan ditelaah. Selanjutnya,
hasil pengkajian tersebut dibuatkan ringkasan secara sistematis sebagai inti sari
hasil pengkajian dokumen.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum.
Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, baik
berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dianalisa dengan
teknik deskripsi dan interpretasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis
yang tidak dapat dihindari penggunanya. Deskripsi berarti uraian apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non
hukum.37
Sedangkan teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran
dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis,
kontektual dan lain-lain.38
37
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis, 2008, Studi Magister Ilmu Hukum,
hal.14.
38
Ibid
32
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA FOLKLOR YANG
DIALIHWUJUDKAN (DERIVATIF WORK)
DALAM MEDIA ELEKTRONIK
2.1. Hak Cipta Folklor
2.1.1. Pengertian Hak Cipta Dan Dasar Hukumnya.
Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya sangat sering menemukan
istilah-istilah seperti hak cipta, hak paten, maupun merek. Istilah-istilah tersebut
semakin sering muncul setelah terjadinya banyak tindak kejahatan seperti yang
merupakan pelanggaran atas hak cipta, hak paten maupun merek. Istilah-istilah
hak cipta, hak paten maupun merek bersumber dari satu konsep yaitu HKI. HKI
secara sederhana berarti suatu hak timbul bagi hasil pemikiran yang menghasilkan
suatu produk yang bermanfaat bagi manusia. Hal ini timbul dari pemikiran
sederhana bahwa apabila menikmati suatu hasil dari pemikiran orang lain, maka
sudah sepantasnya terhadap orang tersebut diberikan imbalan atas hasil
karyanya.39
Sementara itu, Mahadi mengatakan, HKI adalah hak kebendaan, hak atas
sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil rasio yang mana hasil
39
Haris Munandar dan Sally Sitanggang, 2008, Mengenal HAKI Hak Kekayaan
Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk-beluknya, Erlangga, Jakarta, hal.2.
33
kerjanya adalah benda tidak berwujud. Hanya orang yang mampu saja yang dapat
mempekerjakan otaknya untuk menghasilkan sesuatu yang disebut sebagai
intellectual property rights.40
Dengan demikian pekerjaan untuk menghasilkan
hak kekayaan intelektual bukanlah pekerjaan yang ringan sehingga tidak setiap
orang mampu melakukan aktivitas hak kekayaan intelektual.
HKI dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: hak cipta
(copyrights) dan hak kekayaan industrial (industrial property rights). Di Indonesia
hak kekyaan industrial dibagi menjadi beberapa sub jenis antara lain: paten,
merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan
varietas tanaman. 41
Menurut persetujuan TRIPs, HKI yang mendapatkan
perlindungan meliputi Hak Cipta dan hak-hak terkait (Copy Right and Related
Right), Merek (Trade Mark), Indikasi Geografis (Geographical Indication),
Desain Industri (Industrial Design), Paten (Patent), Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu (Layout Design, Topographies of Integrates Circuit), Control of Anti
Competitive Protection of Contractual Licences, Informasi yang dirahasiakan
(Protection of Information).42
40
OK. Saidin, Op.Cit., hal.9 – 11.
41
Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Op.Cit., hal.3. 42
Budi Agus Riswandi dan Siti Sumartiah, 2006, Masalah-Masalah HAKI Kontemporer,
Gitanagari, Yogyakarta, hal.12.
34
Penjelasan mengenai konsep HKI di atas jelas menyebutkan bahwa hak
cipta (copyright) merupakan bagian dari HKI yang dilindungi. Konsepsi
perlindungan di bidang hak cipta mulai tumbuh sejak ditemukannya mesin cetak
pada abad pertengahan di Eropa. Dengan kehadiran mesin cetak, karya-karya
cipta dapat diperbanyak dengan mudah secara mekanikal; inilah yang
menumbuhkan copyright. Dalam perkembangannya, perlindungan hukum ini
mendapat kritik karena timbulnya anggapan bahwa yang mendapat perlindungan
hanyalah penerbit, bukan penciptanya. Kritik ini berkembang atas dasar bahwa
karya tersebut merupaka refleksi dari penciptanya, maka digantilah konsep copy
rigth dengan author right. Hingga saat ini konsep perlindungan hak cipta tetap
sama yaitu menitik beratkan pada pelindungan terhadap pencipta.
Menurut hukum perdata barat, hak cipta termasuk dalam hak kebendaan
yang tidak berwujud. Hak kebendaan adalah hak yang memberikan kekuasaan
langsung pada seseorang yang berhak menguasai sesuatu benda dalam tangan
siapapun benda tersebut berada. Hal ini menimbulkan hak kebendaan yang
bersifat mutlak atas sesuatu benda.43
Pengertian lain tentang hak kebendaan
menyebutkan secara lebih jelas bahwa hak kebendaan adalah hak mutlak atas
suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan
43 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka,
Jakarta, Hal.163-164.
35
dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.44
Jika dikaitkan dengan hak cipta,
maka dapat dikatakan hak cipta merupakan bagian dari hak kebendaan. Hal ini
dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 UUHC yang mengatakan bahwa Hak Cipta
adalah hak khusus yang dimiliki oleh Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan natau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Jelaslah bahwa hak cipta hanya dimiliki oleh pencipta
atau yang menerima hak. Artinya bahwa hanya pencipta dan penerima hak
tersebut yang boleh mempergunakan hak cipta dan mendapat perlindungan dalam
memepergunakan haknya dari pihak lain yang memanfaatkan haknya dengan cara
yang tidak diperkenankan oleh hukum. Kententuan pidana dalam UUHC juga
semakin menegaskan bahwa hak cipta dapat dipertahankan dari siapa saja yang
mencoba mengganggu keberadaannya dan ini menunjukkan bahwa hak cipta
merupakan hak yang absolut.
Hak atas kepemilikan intelektual yang lahir dari daya kreasi dan inovasi
intelektualitas manusia, dimana hak cipta dan hak milik intelektual merupakan
hak atas kebendaan tidak berwujud atau immaterial, yaitu suatu hak kekayaan
yang objek bendanya tidak berwujud. Semua benda yang objek hukumnya tidak
dapat dilihat, diraba atau dipegang dapat digolongkan dalam hak kekayaan
44 Djaja S. Meliala, 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Cetakan II, Nuansa
Aulia, Bandung, Hal.111.
36
immaterial.45
Untuk melihat kedudukan hak cipta sebagai bagian dari benda, dapat
dilihat secara tersirat dalam ketentuan Pasal 499 KUH Perdata yang menyebutkan
bahwa menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap
barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.46
Menurut ketentuan
pasal ini hak cipta dapat dikategorikan sebagai benda karena dapat dijadikan
objek hak milik. Seperti yang dikutip oleh Mahadi dari buku Pitlo yang
menyatakan bahwa ada hak absolut yang objeknya tidak berwujud dan hak inilah
yang dinamakan dengan hak milik intelektual.47
Ketentuan mengenai hak cipta benda tidak berwujud tertuang dalam
UUHC Pasal 3 dan penjelasan Pasal 4 ayat (1). Pasal 3 menyatakan bahwa Hak
Cipta dianggap sebagai benda bergerak. Sehingga dapat dialihkan sebagaimana
sifat dari benda bergerak. Sementara penjelasan Pasal 4 secara eksplisit
menentukan bahwa sifat dari Hak Cipta adalah suatu hak yang tidak berwujud dan
manunggal dengan penciptanya.
Berne Convention 1886 tidak merumuskan dalam pasal tersendiri tetang
pengertian Hak Cipta. Pengertian hak cipta tersirat dalam rumusan Article 2, 3, 11
dan 13 yang isinya kemudian diserap dalam Auteurwets 1912 dalam Pasal 2 jo
45
OK. Saidin, Op.Cit., Hal.52.
46
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (penerjemah), 2002, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Cet.32, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Hal.157.
47
OK. Saidin, Op.Cit., Hal.53.
37
Pasal 10.48
Istilah hak cipta pertama kali diusulkan oleh Sutan Mohammad Syah
pada Kongres Kebudayaan di Bandung pada tahnun 1951. Istilah tersebut
kemudian diterima oleh kongres sebagai pengganti istilah hak pengarang yang
diaganggap memiliki makna yang kurang luas dan memberikan penyempitan
maksa, dimana yang cakupannya hanya pengarang dan hak bagi pengarang,
sementara cakupan hak cipta lebih luas dari itu. Istilah hak cipta yang merupakan
pengganti copy right yang artinya lebih luas dibanding dengan hak pengarang.49
Pasal 1 ayat 1 UUHC menyatakan:
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumunkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk
itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Auteurswet 1912 dalam Pasal 1 menyebutkan “hak cipta adalah hak
tunggal atau hak yang mendapatkan hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam
lapangan kesusasteraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan
memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh
undang-undang.50
Sementara itu, Universal Copyright Convention dalam Pasal V
menyatakan sebagai berikut, “hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk
48
OK. Saidin, Op.Cit., Hal.61
49 Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas kekayaan Intelektual:Perlindungan dan
Dimensi Hukumnya di indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni, bandung, hal. 85. 50
BPHN, Seminar Hak Cipta, Bandung, Binacipta, 1976, hlm.44, dalam Oka Saidin,
Op.Cit., hal.58-59.
38
membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya
yang dilindungi perjanjian ini.51
Mencermati ketiga ketentuan tersebut di atas, ketiganya memberikan
pengertian yang sama mengenai hak cipta. Dalam Auteurswet dan Universal
Copyright Convention mempergunakan istilah hak tunggal yang melekat pada
pencipta, sementara itu dalam UUHC mempergunakan istilah hak khusus bagi
pencipta. Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) UUHC di sebutkan bahwa yang
dimaksud dengan hak khusus atau hak eksklusif adalah hak yang semata-mata
diperuntukkan bagi pemegangnya, dalam hal ini pencipta; tidak ada pihak lain
yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin dari penciptanya. Istilah tidak
ada pihak lain, memiliki pengertian yang sama dengan “hak tunggal” yang
menunjukkan hanya pencipta yang memiliki hak ini. Inilah yang menunjukkan
sifat eksklusif tersebut. Eksklusif berarti khusus, spesifikasi, unik. Keunikan ini
sesuai dengan sifat dan cara melahirkan suatu ciptaan. Keunikan ini juga
mempresentasikan originalitas suatu ciptaan atau temuan sehingga hak yang
menjadi bawaannya itu hanya ada pada penciptanya dan mustahil diklaim sebagai
ciptaan orang – pihak lain.
Tidak semua orang dapat secara serta merta melahirkan suatu ciptaan,
tidak semua orang dapat menjadi seniman yang kemudian melahirkan karya seni
51 Ibid., hal.59.
39
berupa tari, lagu maupun cerita karena dalam setiap ciptaan terdapat sifat dan
keunikan sendiri dan proses penciptaannya. Namun untuk mendapat perlindungan,
ciptaan tersebut harus dituangkan dalam suatu wujud, tidak cukup hanya berupa
ide di alam pikiran pencipta. Seorang ilmuwan harus mewujudkan ciptaanya
dalam sebuah buku, seniman menuangkan ciptaannya dalam wujud tari, lagu
maupun cerita. Tanpa berwujud nyata, karya cipta tidak akan mendapat
pelindungan.
Hak cipta memiliki dua unsur penting yaitu, yang dapat dipindahkan,
dialihkan kepada pihak lain seperti yang tertuang dalam Pasal 3 ayat (2). Dalam
hak cipta terdapat hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun hak tersebut
tetap melekat sekalipun hak cipta telah beralih, kecuali dengan persetujuan
pencipta atau ahli warisnya seperti yang tertuang dalam kentuan Pasal 24 UUHC.
Hak cipta juga memiliki hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi
adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari suatu ciptaan dan produk
terkait. Sementara hak moral adalah hak yang melekat pada pencipta yang tidak
dapat dihilangkan atau dihapuskan walaupun hak cipta telah dialihkan. Dengan
demikian jelas bahwa hak ekonomi dapat dialihkan kepada pihak lain oleh
pencipta sementara hak moral tetap melekat pada diri pencipta walaupun hak
ekonominya telah beralih. Dengan hak ekonomi, pencipta dapat mengeksploitasi
ciptaanya guna mendapatkan manfaat ekonomi, sementara hak moral adalah
manunggal dengan penciptanya. Seseorang tidak dapat mengubah, atau mengganti
40
judul, isi apalagi penciptanya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan izin dari
pencipta atau ahli warisnya jika pencipta telah meninggal dunia. 52
Article 6 Berne Convention mengatur tentang perlindungan hak moral
dari Pencipta. Ditentukan bahwa pencipta tetap dapat menuntut kepemilikan atas
karyanya sekalipun telah dialihkan kepada pihak lain apabila terhadap karyanya
dilakukan perubahan maupun perubahan lain yang menghina kehormatan dari
Pencipta berkaitan dengan karyanya. Dari ketentuan ini diketahui walaupun hak
ekonomi sudah beralih dari pencipta kepada pihak – orang lain, namun hak moral
tetap melekat dalam ciptaan tersebut yang memberikan hak kepada pencipta untuk
tetap dihormati sebagai pencipta. Hak ini melekat pada ciptaan sepanjang hak
ekonominya berlaku bahwa sampai setelah Pencipta meninggal dunia hingga saat
ciptaan tersebut diwariskan kepada pihak lain.
Pasal 1 ayat (3) UUHC merumuskan ciptaan adalah hasil setiap karya
pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni,
atau sastra. Dari rumusan tersebut jelas bahwa yang mendapat perlindungan hak
cipta adalah ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas inspirasi,
gagasan, atau ide berdasarkan kemampuan dan kreativitas pikiran, imajinasi,
kecekatan dan keterampilan pencipta. Ciptaan juga harus dituangkan dalam
bentuk yang berwujud dan menunjukkan keaslian untuk mendapatkan
52
Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 112.
41
perlindungan hak cipta. Hak cipta tidak melindungi gagasan atau ide yang belum
berwujud. Ciptaan juga harus menunjukkan keaslian, tidak meniru ciptaan orang
lain dan merupakan refleksi diri penciptanya. Apabila suatu ciptaan telah
memenuhi unsur keaslian dan kreativitas, cerasa otomatis ciptaan tersebut akan
mendapat perlindungan.
2.1.2. Subjek dan Objek Hak Cipta.
Pasal 1 ayat (4) UUHC menentukan secara inklusif mengenai subyek
hak cipta. Di sana ditentukan bahwa pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai
pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak
lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
Dengan demikian, yang menjadi subjek hak cipta adalah pencipta. Sebagai subjek
hak cipta, terhadapnya melekat hak dan kewajiban. Dalam ilmu hukum, subjek
hukum adalah terjemahan dari bahasa Belanda recthssubject yang dalam bahasa
Inggris disebut legal person untuk menunjukkan sesuatu yang mempunyai hak.
Dalam perkembangannya pengertian legal person menjadi sesuatu yang
mempunyai hak dan kewajiban. Subjek hukum dibedakan menjadi manusia dan
bukan manusia atau badan hukum, sehingga di dalam bahasa Inggris disebut legal
person.53
53
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta,
Hal. 241 – 243.
42
Pencipta merupakan pemegang dari hak cipta itu sendiri dan atas diri
Pencipta melekat hak dan kewajiban berkaitan dengan hak cipta tersebut. Dengan
kata lain pemegang hak cipta adalah pencipta itu sendiri atau pihak lain yang
menerima hak dari pencipta. Pasal 1 ayat (2) UUHC merumuskan Pencipta adalah
seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya
melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan,
keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan
bersifat pribadi.
UUHC menggolongkan pemegang hak cipta terdiri dari:
1. Pencipta.
Pencipta adalah otomatis pemegang dari hak cipta, pemilik hak cipta itu
sendiri, sedangkan yang menjadi pemegang hak cipta tidak harus penciptanya,
tetapi bisa pihak lain yang menerima hak tersebut dari pencipta.
2. Lembaga atau Instansi Pemerintah.
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUHC menyebutkan bahwa yang menjadi
pemegang hak cipta dalam ikatan instansi pemerintah adalah instansi
pemerintah yang untuk dan dalam dinas pegawai negeri sipil ciptaan itu
dikerjakan, dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan
ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
3. Pagawai swasta.
43
Seorang pegawai perusahaan swasta dianggap sebagai pencipta dan pemegang
sebuah ciptaan apabila dalam hubungan kerja menciptakan suatu ciptaan,
kecuali diperjanjikan lain diantara kedua belah pihak (Pasal 8 ayat 3).
4. Pekerja Lepas
Hak cipta yang dibuat berdasarkan suatu pesanan, penciptanya adalah pemilik
hak cipta dan pemegang hak cipta atas ciptaan tersebut. Kecuali diperjanjikan
lain oleh kedua belah pihak. Biasanya perusahaan yang memesan ciptaan dari
pencipta dapat memanfaatkan dan mengekploitasi ciptaan tersebut sesuai
dengan tujuan dibuatnya ciptaan tersebut.
5. Negara
Negara sebagai pemegang hak cipta ditentukan dalam Pasal 10 UUHC,
sebagai berikut:
(1). Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah,
dan benda budaya nasional lainnya.
(2). Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan
rakyatyang menjadi milik bersama, cerita, hikayat, dongeng, legenda,
babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya
seni lainnya.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
6. Badan Hukum
Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa suatu ciptaan berasal dari
badan hukum tersebut tanpa menyebutkan seseorang sebagai penciptanya,
44
maka badan hukum tersebut dianggap sebagai penciptanya, kecuali jika terbukti
sebaliknya (Pasal 9 UUHC).
Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang diatur dalam ketentuan
ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus mendapatkan izin dari
instansi yang terkait dengan masalah tersebut.
Objek hak cipta adalah ciptaan itu sendiri. Berne Convention
memberikan perlindungan pada ciptaan-ciptaan karya tertulis seperti buku dan
laporan, musik, karya drama seperti sandiwara dan koreografi, karya seni seperti
lukisan, gambar dan foto, karya arsitektur, karya sinematografi seperti film dan
video. Selain itu perlindungan juga diberikan pada karya adaptasi seperti
terjemahan karya tulis dari satu bahasa ke bahasa lain, karya adaptasi dan
aransemen music serta kumpulan seperti ensiklopedia dan antologi.54
Pasal 12 UUHC menentukan ciptaan yang mendapat perlindungan hak
cipta antara lain:
(1). Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. lagu dan musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantonim;
54
Tim Lindsey, dkk, Op.Cit., Hal.99.
45
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
(2). Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf I dilindungi sebagai Ciptaan
tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3). Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk
juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah
merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan
Perbanyakan hasil karya itu.
Dengan demikian jelas ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan yang terbatas pada
ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang memiliki wujud nyata, dapat dilihat,
dibaca atau didengar juga.
2.1.3. Folklor Sebagai Salah Satu Wujud Ciptaan.
Upaya perlindungan atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya
Tradisional (selanjutnya disingkat menjadi PTEBT) semakin mendapat perhatian
semenjak munculnya berbagai sengketa kepemilikan PTEBT oleh negara lain.
Misalnya sengketa antara Indonesia dengan Malaysia atas kepemilikan PTEBT
Indonesia antara lain tari Pendet Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange yang
dipergunakan Malaysia dalam iklan pariwisata budayanya. PTEBT merupakan
bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia karena di
46
dalamnya terkandung tradisi, kearifan, nilai-nilai, pengetahuan komunal yang
dikemas dan diturunkan ke anak cucu melalui hikayat, legenda, kesenian, upacara,
yang lama-kelamaan membentuk Norma Sosial dan tata kehidupan bangsa
Indonesia. Hilangnya PTEBT berarti hilang pula Norma Sosial dan tradisi bangsa
yang dapat menggiring bangsa yang multi etnik ini kearah perpecahan yang
timbul di antara komunitas-komunitas yang ada.55
Perlindungan atas PTEBT tidak hanya menjadi tututan Indonesia semata,
melainkan sudah memasuki ranah internasional. Hal itu dapat dilihat dari
pembahasan mengenai perlindungan PTEBT juga sudah menjadi pembahasan di
dunia internasional. Banyaknya pemanfaatan PTEBT secara tidak hormat oleh
negara-negara maju memberikan dampak merugikan bagi negar-negara
berkembang. Contoh pemanfaatan yang merugikan PTEBT tersebut antara lain
produksi benda kerajinan adat yang tidak sah di pasar souvenir, penggunaan
pakaian adat daerah tertentu yang tidak mengindahkan kepentingan masyarakat
lokal, produk makanan, atau mainan, penggunaan yang tidak sah dari nama asli
atau frase sebagai merek dagang, penggunaan yang tidak sah atas tari tradisional
menjadi pertunjukkan komersial, dan penggunaan yang tidak sah dari musik
tradisional dalam produksi musik komersial.
55
Afifah Kusumadara, 2011, Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan Tradisional Dan
Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak
Kekayaan Intlektual, Jurnal Hukum: Vol.18 Januari. No.1., Malang.
47
Modul 8 tentang Traditional Knowledge diterangkan bahwa yang
dimaksudkan dengan traditional knowlegde is generally understood to encompass
four types of creative works: verbal expressions, musical expression, expressions
by action, and tangible expression.56
Istilah Pengetahuan Tradisional (selanjutnya
disingkat menjadi PT) digunakan bergantian dengan EBT, dimana keduanya
merujuk pada musik, seni, desain, nama, tanda-tanda dan simbol-simbol,
pertunjukkan, bentuk arsitektur, kerajinan dan narasi. EBT merupakan bagian
integral dari identitas budaya dan sosial masyarakat adat dan lokal yang
merupakan perwujudan dari pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dan
terdapat nilai-nilai inti dan keyakinan di dalamnya.
Rancangan Undang-Undang PTEBT mendefinisikan PT sebagai karya
intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur
karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara
oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Ekpresi Budaya Tradisional
dipergunakan untuk mengganti istilah folklor. Ekpresi Budaya Tradisional
didefinisikan sebagai karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi
sastra yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan,
56 Module 8: Traditional Knowledge, Available at
http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional_Knowledge, Accessed
21 February 2014.
48
dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas masyarakat tertentu.57
Jika PT
merupakan karya itelektual dalam bidang pengetahuan dan teknologi yang
memilik warisan budaya, makan EBT adalah karya intelektual dalam bidang seni
termasuk sastra yang memiliki karakteriktik budaya di dalamnya.
Pertemuan WIPO dan UNESCO pada pertengahan tahun 1980-an
mendefinisikan EBT (folklor) sebagai berikut:
Folklore (in the broader sense, traditional and popular folk culture) is a
group-oriented and tradition-based creation of groups or individuals
reflecting the expectations of the community as an adequate expression of its
cultural and social identity; its standards are transmitted orally, by imitation
or by other means. Its forms include, among others, language, literature,
music, dance, games, mythology, rituals, customs, handicrafts, architecture
and other arts.58
Melalui definisi tersebut dijelaskan bahwa folklor adalah hasil kreasi
kelompok masyarakat tertentu yang terinspirasi dari tradisi kelompok atau
individu dimana di dalamnya terdapat identitas budaya dan sosial dari kelompok
masyarakat tersebut yang biasanya disampaikan secara lisan, imitasi ataupun
dengan cara lain yang bentuk-bentuknya meliputi bahasa, sastra, tari, musik,
permainan, mitologi, ritual, adat-istiadat, kerajinan, aritekstur dan seni lainnya.
Penjelasan Pasal 10 ayat (2) dijelaskan bahwa folklor merupakan bagian dari
ciptaan mendapat perlindungan. Dalam upaya melindungi folklor dan hasil
kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau
57
Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan Dan Pemanfaatan Kekayaan
Intelektual Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional.
58
Anonim, Protecting Traditional Cultural Expressions: The International Dimension,
Available at http://www.copyright.bbk.ac.uk/contents/workshops/blakem.pdf, Accessed 28
February 2014.
49
komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan tanpa seizin negara
Republik Indonesia sebagai pemegang hak cipta. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.
Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang
dibuat oleh sekelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang
menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai
yang diucapkan atau diikuti secara turun-temurun, termasuk:
a. Cerita rakyat, puisi rakyat;
b. Lagu-lagu rakyat dan musik instrument tradisional;
c. Tari-tarian rakyat, permainan tradisional;
d. Hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan,
mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun
tradisional.
Dengan demikian folklor sudah mendapat perlindungan dalam UUHC.
Menurut Pasal 30 UUHC menyatakan bahwa folklor yang hak ciptanya dipegang
oleh negara berlaku tanpa batas dan bagi orang yang bukan warga negara harus
terlebih dahulu mendapatkan izin untuk memanfaatkannya.
Pasal 2 paragraf viii Agreement Established the World Intellectual
Property Organization antara lain menyebutkan yang dimaksud dengan HKI
adalah “... and all rights resulting from intellectual activity in the industrial,
scientific, literary, or artistic fields”. Sebagian pihak berpendapat bahwa frasa
50
tersebut mengandung pengertian memberi ruang kepada karya-karya yang
dihasilkan melalui kekuatan pemikiran di luar dari yang sudah ada.59
Convention on Biological Diversity (selanjutnya disingkat menjadi
CBN) dalam Padal 8 (j) merumuskan bahwa:
… subject to its national legislation, respect, preserve and maintain
knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities
embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable
use of biological diversity and promote their wider application with the
approval and involvement of the holder of such knowledge, innovations and
practices and encourage the equitable sharing of the benefits arising from
the utilization of such knowledge, innovations and practices.60
Pengetahuan tradisional merupakan konsep kunci yang terdapat dalam rumusan
tersebut dimana dalam Pasal 8 (j) ditekankan pentingnya peran pengetahuan
tradisional.
Pembentukan Intergovernmental Committee on Intellectual Property
and Genetic Resources Traditional Knowledge and Floklore (selanjutnya
disingkat menjadi IGC GRTKF) oleh WIPO yang telah melakukan sidang
sebanyak 18 sesi sejak tahun 2001 hingga saat ini. IGC GRTKF adalah sebuah
forum perlindungan untuk mencari kesepakatan mengenai pengaturan yang paling
59
Basuki Antariksa, Op.Cit., hal.1. 60
Convention On Biological Diversity 5 June 1992, hal. 6.
51
tepat mengenai perlindungan PT dan EBT, termasuk sumber daya genetik, pada
tingkat internasional.61
2.1.4. Sistem Perlindungan Cerita Rakyat Sebagai Wujud Folklor.
Berne Convention dalam Article 1 menyatakan bahwa the countries to
which Convention applies constitute a Union for the protection of the right of
authors in their literary and artistic works. Jelas tampak bahwa negara-negara
yang menerapkan Berne Convention memberikan perlindungan pada Pencipta dari
karya-karya sastra dan karya artistik. Berne Convention tidak memberikan
pengertian hak cipta, tetapi dalam Article 2 (1) diberikan penjelasan yang
tergolong dalam ekspresi dari literary and artistic works yang di dalamnya antara
lain termasuk semua hasil produksi dalam bidang sastra, ilmiah dan artistik seperti
buku, pamphlet dan karya tulis lainnya. Lebih lanjut dalam Article 2 (2)
disebutkan bahwa perlindungan atas hak cipta hanya diberikan kepada karya yang
telah tertuang dalam suatu wujud tertentu misalnya sebuah buku atau drama.
Perlindungan hak cipta tidak melindungi sebuah ide.
UUHC tidak menyebutkan secara gamblang dalam pasal tersendiri
bahwa suatu karya harus tertuang dalam wujud atau bentuk tertentu untuk
mendapatkan pelindungan hak cipta. Tidak dituangkan dalam ketentuan tersendiri
bahwa hak cipta tidak melindungi ide sebagaimana yang menjadi persyaratan
61
Basuki Antariksa, Op.Cit., hal.2.
52
perlindungan hak cipta yang terdapat dalam Berne Convention Article 2 (3).
Namun dalam penjelasan Pasal 7 UUHC yang berkaitan dengan Pencipta atas
suatu rancangan yang dikerjakan dan diwujudkan oleh orang lain di bawah
pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, maka yang disebut penciptanya
adalah orang yang merancang ciptaan itu. Dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan
bahwa perancang disebut pencipta apabila rancangannya itu dikerjakan secara
detail menurut desain yang sudah ditentukan dan tidak sekedar gagasan atau ide
saja. Dengan demikian, seseorang yang memiliki rancangan tetapi masih berupa
gagasan atau ide saja, tidak dapat disebut sebagai pencipta, maka secara otomatis,
karyanya yang masih berupa gagasan atau ide, tidak dapat perlindungan hak cipta
kecuali telah dituangkan dalam suatu bentuk nyata dan detail.
Cerita rakyat sendiri jika dilihat dalam ketentuan Berne Convention
Article 1 dan Article 2 (1) termasuk dalam bidang literary atau sastra. Sastra
meliputi ekspresi yang dituangkan dalam bentuk tulisan “literary works covers:
works which is expressed in print or writing, irrespective of question whether the
quality or style is high”.62
Karena sifatnya yang biasanya berupa karya lisan,
cerita rakyat tetap menjadi bagian dari karya sastra yang mendapatkan
pelindungan dalam lingkup EBT seperti halnya karya sastra lain yang tertuang
dalam bentuk tulisan. Konsep pelindungan atas cerita rakyat yang biasanya
bersifat lisan telah menjadi satu perhatin dalam RUU PTEBT dalam Pasal 2 ayat
62
William Cornish dan David Llewelyn, 2003, Intellectual Property: Patens, Copyright,
Trade Marks, and Allied Rights, Fifth Edition, Sweet and Maxwell, London, hal.389.
53
(3) yang secara jelas menyebutkan bahwa yang teramasuk di dalam perlindungan
PTEBT adalah karya verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan.
Perlindungan cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor telah
dilakukan sejak berlakunya UUD 1945 yakni melalui Pasal 32 yang menyatakan
bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia dan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya. Dengan demikian perlindungan terhadap cerita rakyat yang
merupakan bagian dari warisan budaya telah mendapat perlindungan dalam UUD
1945. Perlindungan lain terhadap cerita rakyat terdapat dalam UUHC dalam Pasal
10 yang secara lebih tegas menyebutkan bahwa cerita rakyat merupakan bagian
dari folklor yang hak ciptanya dipegang oleh Negara dan merupakan hak cipta
yang dilindungi, namun teknis perlindungan ketentuan Pasal 10 UUHC melalui
Perturan Pemerintah Tentang Hak Cipta atas folklor yang dipegang oleh Negara
masih berupa rancangan sehingga belum memiliki kekuatan hukum.
2.2. Derivative Work Dalam Hak Cipta
2.2.1. Konsep Derivative Work Dalam Dimensi hak Cipta.
Hak cipta memberikan hak eksklusif kepada pamilik suatu karya untuk
membuat karya turunan (derivative work) dari karya cipta yang telah dibuat
sebelumnya. Karya derivative adalah karya baru yang terwujud karena didasarkan
54
pada suatu karya yang telah ada sebelumnya.63
A derivative work exists as a
functional variation of a preexsisting work that is either protected by copyright or
in the public domain.64
Karya derivative merupakan variasi dari karya yang telah
ada sebelumnya baik itu karya yang mendapatkan perlindungan maupun karya
yang telah menjadi public domain. 17 United State Copyright (U.S.C) Pasal 101
menjelaskan bahwa a derivative work is a work based upon one or more
preexisting works, such as a translation, musical arrangement, dramatization,
fictionalization, motion picture version, sound recording, art reproduction,
abridgment, condensation, or any other form in wich a work may be recast,
transformed, or adapted.65
Penjelasan ini hampir serupa dengan penjelasan
mengenai derivative work di atas. Dimana derivative work merupakan karya yang
didasarkan dari karya yang telah ada sebelumnya dapat berupa terjemahan,
aransemen musik, dramatisasi, fiksionalisasi, versi film, merekam suara,
reproduksi seni, ringkasan, kondensasi, atau bentuk lain yang merupakan hasil
kerja ulang, ditransformasi, atau diadaptasi.
63
Yusran Isnaini, 2009, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal.29-30.
64
Steven S. Boyd, 2000, Deriving Originality in Derivative Works: Considering the
Quantum of Originality Needed to Attain Copyright Protection in a Derivative Work, Jurnal at
Santa Clara Law Digital Commons, Vol.40. No.2., Available at:
http//digitalcommons.law.scu.edu/lawreview/vol40/iss2/1, p.349. Accessed 1 March 2014.
65
Copyright Law of The United State and Related Laws Contained in Title 17 of the
United States Code, hal.3.
55
Suatu karya derivative contain an element of creative authorship and
may be copyrighted independently of the underlaying work.66
Karya derivative
harus mengandung kreativitas dari penciptanya untuk mendapat pelindungan hak
cipta. Kendatipun wujudnya yang merupakan karya turunan dari karya-karya yang
telah ada sebelumnya, tetapi unsur kreativitas dari penciptanya tetap diperlukan
untuk memberikan elemen pembeda antara karya original yang telah ada
sebelumnya dengan karya derivative.
Perlindungan hak cipta atas derivative work tetap akan diberikan bagi
pencipta karya derivative sekalipun karya asli dari derivative work tersebut telah
dihibahkan kepada ahli waris dari pencipta asli. Perlindungan tetap berlaku
sepanjang berlakunya perlindungan atas karya asli bahkan setelah pencipta aslinya
meninggal dan ciptaan tersebut telah dihibahkan kepada pewarisnya. Pemegang
hibah dari pencipta asli tidak dapat membatalkan hak cipta dari pencipta
derivative work sepanjang masa waktu perlindungan masih berlaku dan sepanjang
derivative work tersebut telah dituangkan dalam wujud nyata, bukan hanya berupa
persiapan untuk membuat derivative work. Pengecualian perlindungan hak cipta
bagi pencipta derivative work berlaku apabila pada masa berlakunya berlakunya
perlindungan ciptaan asli yang telah dihibakan, derivative work masih berupa
persiapan.
66
Joseph Hubicki, 2011, Protecting Performance Rights under the Derivative Work
Exception, Law Journal: Vol.2, Issue 1., The Berkeley Electronic Press, hal.54.
56
A derivative work prepared under authority of the grant before its termination
may continue to be utilized under the terms of the grant after its termination,
but this privilage does not extend to the preparation after the termination of
other derivative works based upon copyright work covered by the terminated
grant.
The exception protects the copyright owners of derivative works from having
to renegotiate agreement prepared under the original grant.67
Hak cipta yang dilindungi dalam UUHC terbagi menjadi 2 jenis. Hak
cipta yang bersifat asli (orisinil) tertuang dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan
hak cipta yang bersifat derivative yang diatur dalam ketentaun Pasal 30 ayat (1).
Karya derivative adalah karya yang didasarkan dari satu atau lebih karya yang
telah ada sebelumya, seperti terjemaahan, aransemen musik, dramatisasi,
fictinalization, film, rekaman suara, reproduksi seni ringkasan, kondensasi atau
bentuk perubahan lain dari suatu karya yang ditransformasi atau diadaptasi.
Dengan kata lain, karya derivative adalah sebuah wujud baru dari suatu karya
yang didalamnya terdapat unsur pembeda namun tidak mengurangi format dasar
dari ciptaan awalnya. Seperti misalnya ketika sebuah cerita rakyat di pentaskan
dalam sebuah drama panggung atau drama televisi.
2.2.2. Pengaturan Derivative Work.
Derivative work dalam Berner Convention tertuang dalam ketentuan
Article 2 (3) yang menyatakan “translations, adaptations, arrangements of music
and other of music and other alterations of literary of artictic work shall be
protected as original works without prejudice to the copyright in the original
67
Ibid., hal.59.
57
work”. Berner Convetnion tidak menyebutkan ketentuan mengenai derivative
work secara ekplisit, tetapi ketentuan mengenai derivative work dijelaskan
melalui istilah terjemahan, adaptasi, aransemen musik, dan karya gubahan
lainnya. Dimana setiap karya baik itu karya musik maupun karya lain selain karya
musik, termasuk adaptasi harus mendapat perlindungan seperti karya asli tetapi
tidak mengurangi perlindungan hak cipta atas karya aslinya. Mengingat pada
dasarnya karya yang dialihwujudkan adalah penambahan unsur kreasi baru, baik
itu penambahan dalam kapasitas besar maupun sedikit ke dalam karya yang telah
ada terlebih dahulu.
Pengaturan lain yang melindungi derivative work dapat juga dilihat pada
17 U.S.C. § 101 yang di dalamnya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
derivative work, dan 17 U.S.C. § 103 (a) yang di dalamnya menyatakan “the
subject matter of copyright as specified by section 102 includes compilations and
derivative works….”68
Dinyatakan pula bahwa karya cipta derivative mendapat
perlindungan sebagai karya cipta yang independen tanpa mengurangi
perlindungan atas karya cipta aslinya. Yang mendapat perlindungann adalah
substansi baru yang ditambahkan ke dalam karya cipta derivative.
Hak cipta yang dilindungi dalam UUHC terbagi menjadi dua yaitu
hak cipta atas ciptaan asli (orisinil) dan hak cipta atas ciptaan yang bersifat
68
Copyright Law of The United State and Related Laws Contained in Title 17 of the
United States Code,Op.Cit., hal.9.
58
turunan (derivative). Perlindungan atas ciptaan asli tertuang dalam ketentuan
Pasal 29 ayat (1) dan karya derivative tertuang dalam Pasal 30 ayat (1). Ciptaan
asli adalah ciptaan dalam bentuk atau wujud aslinya sebagaimana yang diciptakan
oleh pencipta, belum dilakukan perubahan bentuk atau pengalihwujudan kedalam
bentuk berbeda. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang merupakan ciptaan asli
adalah:
a. Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. Drama atau drama musical, tari, koreografi;
c. Segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, seni patung;
d. Seni batik;
e. Lagu atau music dengan atau tanpa teks;
f. Arsitektur;
g. Cermah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lainnya;
h. Alat peraga;
i. Peta;
j. Terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai.
Sedangkan yang tergolong dalam derivative work menurut ketentuan Pasal 30
ayat (1) huruf (e) UUHC yaitu melindungi karya hasil pengalihwujudan. Karya
cipta asli mendapat perlindungan seumur hidup dan 50 tahun setelah penciptanya
meniggal dunia, sedangkan derivative work perlindungannya berlangsung selama
50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
59
2.2.3. Mekanisme Pengalihwujudan Suatu Karya Cipta Dan Sistem
Perlindungannya.
UUHC menyebutkan bahwa karya cipta yang dialihwujudkan mendapat
perlindungan. Perkembangan yang terjadi menyebabkan semakin banyak karya
cipta asli yang dialihwujudkan menjadi bentuk-bentuk lain. Seperti cerita rakyat
menjadi film televisi. Produser film sebagai pemegang hak cipta atas karya
turunan (derivative) harus meminta ijin kepada pencipta asli yaitu penulis cerita
rakyat tersebut atau Negara sebagai pemegang hak cipta atas folklor. Dalam
pengalihwujudan tersebut terjadi peralihan hak-hak yang ada di dalam hak cipta
dan hak terkait melalui perjanjian pengalihan atau perjanjian lisensi.
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta kepada
siapapun baik untuk mengumumkan maupun memperbanyak ciptaannya. Dengan
adanya perjanjian lisensi, penerima lisensi memiliki hak untuk menikmati hak
ekonomi dari ciptaan tersebut. Pelisensian hak cipta disertai dengan kewajiban
pemberian royalty kepada pemegang hak cipta. Perjanjian lisensi juga harus
dicatatkan di Direktorat Jederal HKI. Pemberian lisensi tidak berarti pemberian
kepemilikan hak, tetapi hanya bersifat persetujuan pemberian izin untuk
melaksanakan hak eksklusif dari pemegang hak cipta.
Perlindungan terhadap mekanisme pengalihwujudan hak cipta diatur
dalam Pasal 45 UUHC yang menyatakan bahwa pelisensian hak cipta dilakukan
dengan perjanjian lisensi. Pasal ini juga mengatur mengenai pemberian royalti
60
kepada pemegang hak cipta oleh pemegang lisensi. Dimana jumlah besarnya
royalti disepakati oleh kedua belah pihak. Ruang lingkup perjanjian lisensi dapat
dapat diperjanjikan untuk seluruhnya atau sebagian. Pemberian lisensi dapat
berupa lisensi hanya untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan saja.
Pemberian lisensi juga dapat untuk melarang atau mengizinkan menyewakan
suatu program komputer dan sinematografi.
2.3. Media Elektronik Berkaitan Dengan Hak Cipta Derivatif Work
2.3.1. Pengaturan Karya Derivative Work Yang Dituangkan Dalam Media
Elektronik.
Media elektronik adalah media yang menggunakan elektronik atau
energi elektro mekanis bagi pengguna akhir untuk mengakses isi dari media
tersebut. Sumber media elektronik yang banyak dikenal bagi pengguna umum
antara lain adalah rekaman video, rekaman audio, presentasi multimedia, dan
konten daring. Media elektronik dapat berbentuk analog maupun digital, walau
pun media baru pada umumnya berbentuk digital.69
Contoh media elektronik
seperti: radio, televisi, film (layar lebar), dan internet, termasuk juga telepon
selular.70
69
Media Elektronik, http://id.wikipedia.org/wiki/Media_elektronik, Diakses Selasa, 22
April 2014. 70
Hydriana Ananta Win, Efek Media Elektronik Terhadap Anak Usia Sekolah,
http://www.stiks-
tarakanita.ac.id/files/Tarakanita%20News%20No.%202/Opini/28%20Efek%20Media%20elektron
ik.pdf, Diakses Selasa, 22 April 2014.
61
Melihat dari jenis ciptaan yang dilindungi, maka ada dua jenis ciptaan
yang dilindungi oleh hak cipta yaitu ciptaan asli atau orisinil dan ciptaan yang
bersifat derivative. Pengaturan atas ciptaan asli diatur dalam ketentaun Pasal 29
UUHC sementara pengaturan atas ciptaan yang merupakan derivative work diatur
dalam ketentuan Pasal 30 huruf (e) UUHC. Pengaturan perlindungan ini berkaitan
dengan jangka waktu perlindungan suatu ciptaan. Hak cipta atas perwajahan karya
tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak diterbitkan
sementara hak cipta atas program komputer dan sinematografi serta hak cipta
yang diiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima
puluh) tahun sejak pertama kali dimumumkan.
Ketentuan Pasal 30 menyebutkan bahwa jangka waktu perlindungan
karya cipta atas program komputer, sinematografi, fotografi, database, dan karya
pengalihwujudan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali
diumukan. Dengan demikian jelas bahwa perlindungan derivative work dalam
media elektronik mendapat perlindungan dalam ketentuan pasal ini.
2.3.2. Bentuk-bentuk Derivative Work Yang Dipublikasikan Dalam Media
Elektronik.
Derivative work yang merupakan karya baru yang lahir berdasarkan
pada karya yang telah ada sebelumnya, melahirkan adanya hak adaptasi yang
merupakan hak untuk menciptakan karya derivative. Hak adaptasi ini memberikan
kemudahan sekaligus menimbulkan permasalahan berkaitan dengan peredaran
62
komunikasi online melalui internet. Dimana karya-karya asli semakin mudah
untuk diubah, dimodifikasi atau dihubungkan dengan karya lain secara digital. 71
Perubahan-perubahan karya asli menjadi karya derivative bisa berupa
revisi dari karya yang asli, terjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau dapat
pula berupa suatu karya yang disusun, diubah atau diadopsi menjadi bentuk lain.
Seperti misalnya film berdasarkan cerita novel, mengubah film hitam putih
menjadi berwarna, versi revisi dari sebuah software.72
Penjelasan Pasal 12 huruf (l) menjelaskan yang dimaksud dengan
pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung
menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio,
dan novel menjadi film. Sebuah karya derivative harus didasari oleh karya asli.
Karya derivative yang dilindungi hak cipta adalah karya yang menambahkan
unsur baru dalam suatu ciptaan yang orisinil, dimana unsur tambahannya juga
harus merupakan sesuatu yang asli. Bentuk-bentuk derivative work dalam media
elektronik misalnya adalah dramatisasi, aransemen musik, film, reproduksi suara,
reproduksi seni. Dalam film misalnya, pengalihwujudan dari cerita rakyat menjadi
karya film yang di dalamnya menambahkan unsur-unsur baru dan asli baik dalam
cerita, musik, maupun pengaturan suara. Dalam reproduksi seni, dimana sebuah
cerita rakyat dikemas dalam bentuk baru disiarkan melalui radio.
71
Yusran Isnaini, Op.Cit., hal.30.
72
Ibid.
63
Karya derivative dilindungi oleh hak cipta. Untuk mendapat
perlindungan tersebut, suatu karya derivative harus memiliki unsur pembeda yang
mencukupi dan konten atau material baru dalam jumlah tertentu sehingga
penambahan unsur kecil suatu karya cipta asli tidak dapat digolongkan sebagai
derivative work.73
73
Feri Sulianta, Seri Referensi Praktis: Konten Internet, dilihat (On-line)
di:http://books.google.co.id/books?id=f9Vurjx2D8C&pg=PA56&lpg=PA56&dq=buku,+hak+cipta
,+derivatif,+karya+turunan&source=bl&ots=4nGPhr0Bv9&sig=iuOfIeNANaoTGKnsJV1s8C5O
MA&hl=id&ei=KO19TfKkKMfprQfs06XMBQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&v
ed=0CCsQ6AEwBg#v=onepage&q=buku%2C%20hak%20cipta%2C%20derivatif%2C%20karya
%20turunan&f=false.
64
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEASLIAN CERITA RAKYAT
SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL
Kajian atas perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai
ekspresi budaya tradisional di awali dengan menelaah konsep orisinalitas suatu
karya cipta berdasarkan UUHC, berne Convention, dan TRIPs Agreement. Setelah
itu, dikaji mengenai dokumentasi sebagai mekanisme penentuan kepemilikan asal
suatu cerita rakyat tradisional dan keasliannya. Dalam kaitan itulah relevansi
kajian mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat tradisional.
3.1. Konsep Orisinalitas Suatu Karya Cipta Menurut UUHC, Berne
Convention, TRIPs Agrement
Dalam Black’s Law Dictionary diterangkan bahwa istilah Originality
Hak Cipta memiliki dua arti, yaitu:
1. “The quality or state of being the product of independent creation and
having a minimum degree of creativity”
2. “The degree to which a product claimed for copyright is the result of an
author’s independent efforts”.74
74
Bryan A. Gerner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West, Dallas,
Texas, hal. 1133.
65
Dari dua pengertian tersebut di atas maka suatu karya cipta akan mengandung
unsur originality atau keaslian apabila di dalamnya terdapat unsur karya yang
independen, terdapat kreativitas dan merupakan hasil karya dari penciptanya.
Suatu karya cipta akan dianggap asli apabila dihasilkan sendiri oleh penciptanya
terdapat kreativitas di dalammnya dan mencerminkan kharakter pribadi dari
penciptanya. Secara akontrario dapat dikatakan bahwa suatu karya cipta yang
dihasilkan dengan meniru karya cipta orang lain sehingga tidak tampak adanya
kreativitas dan karakteristik penciptanya, maka hal itu tidak menunjukkan
originalitas suatu karya cipta.
Berne Convention sendiri tidak secara eksplisit menentukan dalam satu
ketentuan secara jelas mengenai originality dalam suatu karya. Artinya bahwa
dalam Berne Convention tidak ada satu pasal khusus yang menentukan dan
sebagai interpretasi otentik atas orisinalitas karya cipta. Berne Convention
menentukan secara inklusif aspek orisinalitas ciptaan yang diberikan perlindungan
hak cipta. Suatu karya cipta baru dapat mendapat perlindungan hak cipta apabila
karya tersebut telah tertuang dalam suatu bentuk tertentu seperti buku dan
komposisi musik, bukan merupakan ide atau gagasan semata yang masih berada
di alam pikiran pencipta. Di situ jelas tampak aspek formulasi – pemberian bentuk
yang jelas – tertentu sebagai kualifikasi pemberian perlindungan hak cipta.
Namun demikian, tidak ada standar minimum internasional mengenai originality
atau keaslian dalam Berne Convention.
66
Originalitas merupakan salah satu persyaratan dalam memberikan
perlindungan hak cipta di dunia barat. Namun ketentaun mengenai syarat
originality atau keaslian dalam Berne Convention yang merupakan perjanjian
tertua dalam perlindungan hak cipta hanya terdapat sedikit ketentaun yang tersirat
mengenai originality atau keaslian, sementara bagi pencipta, sangatlah penting
mempertahankan keaslian dari karya yang diciptakannya.75
Originality dalam Berne Convention tersirat dalam ketentuan Article 2
(3) yang menyatakan bahwa terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan
perubahan lain suatu karya sastra atau seni harus dilindungi sebagai karya asli
tanpa mengurangi hak cipta atas karya asli. Ketentaun ini secara tidak langsung
menetapkan bahwa suatu karya haruslah karya asli, sekalipun karya tersebut telah
menjadi derivative work tetapi unsur keaslian tetap dibutuhkan dalam
perlindungannya.
Ketentuan lain yang juga menyiratkan tentang originality atau keaslian
adalah Aticle 2 (5) yang menyatakan suatu karya sastra atau seni seperti
ensiklopedia dan antologi yang dengan alasan pemilihan dan penyusunan isinya,
merupakan pembuktian kreativitas intelektual yang harus dilindungi, tanpa
75 Cliff Kuehn, 2012, The “Originality” Requrement for Copyright Protection in Western
Societies, Selasa, 28 Januari 2014, http://trademarkcopyrightlaw.wordpress.com/2012/09/18/the-
originality-requirement-for-copyright-protection-in-western-societies/
67
mengurangi hak cipta di setiap membentuk bagian dari karya tersebut.76
Dalam
ketentuan ini tidak jelas terlihat tentang unsur originality dalam sebuah karya,
tetapi dalam ketentuan ini disebutkan bahwa ensiklopedia and antologi merupakan
pembuktian kreasi intelektual yang mana jika dihubungkan dengan pengertian
originality atau keaslian menurut Black’s Law Dictionary memenuhi unsur
originality karena karya tersebut dihasilkan melalui daya kreativitas. Seorang
pencipta dalam menghasilkan suatu karya menungkan kreativitasnya kedalam
suatu bentuk yang nyata yang didalamnya terdapat ciri pribadi dari pencipta
tersebut.
Article 14 bis Berne Conventiaon menyebutkan bahwa karya yang telah
diadaptasi atau direproduksi kembali dan cinematographi harus mendapat
perlindungan sebagai karya cipta asli. Sementara Article 14 ter (1) menyatakan
bahwa penulis, bahkan setelah penulis tersebut meninggal, karyanya harus tetap
mendapat perlindungan dari penggunaan oleh pihak lain sebagai karya atau
naskah asli. Dalam beberapa ketentuan Berne Convention tersebut di atas
disinggung perlindungan karya asli atau original tetapi tidak ada ketentuan yang
mengatur secara tegas tentang standar keaslian.
76 James Koessler, Something For Nothing? The Standard Of ‘Originality’ In Copyright
Law: An Elusive Yet Essential Requirement (2/5), Available at
http://www.jameskoessler.com/something-for-nothing-the-standard-of-originality-in-copyright-
law-an-elusive-yet-essential-requirement-25/#identifier_0_231, Accessed 28 January 2014.
68
Seperti halnya Berne Convention, TRIPs Agreement juga menetapkan
originality atau keaslian sebagai syarat suatu karya cipta mendapatkan
pelindungan Hak Cipta. Neither the Bern Convention not the TRIPS Agreement
expressly requires originality for a work to be protedted by copyright.77
Ketentuan
Article 9 Perjanjian TRIPS menyatakan bahwa setiap anggota dari Perjanjian
TRIP harus memenuhi ketentuan Article 1 sampai Article 21 Bern Convention
beserta lampirannya. Dengan demikian standar internasional originality tidak
ditemukan dalam perjanjian TRIPS.
Daniel J. Gervais menyatakan bahwa “one can thus refer to the Bern to
interpret the meaning of the word ‘originality’ in the Bern Convention as
incorporated into TRIPs”.78
Analisis ini melahirkan kesimpulan bahwa istilah
"orisinalitas", adalah istilah yang dipergunakan dalam konvensi ini dan yang tidak
hanya berlaku untuk negara-negara yang penandatangannya tetapi juga untuk para
anggota WTO, dimana orisinalitas tersebut terkait erat dengan kreativitas penulis.
Berne Convention menentukan standar orisinalitas dengan kreativitas
penulis. Dimana segala hasil karya ciptanya merupakan hasil kreativitas murni
dari penulis atau pencipta tanpa dipengaruhi oleh alat kerjanya maupun kendala
77
Module 3: The Scope of Copyright law, Available at,
,http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_3:_The-Scope_of_Copyright_Law,
Accessed 28 January 2014
78
Daniel J. Gervais, 2004, The Compatibility Of The Skill And Labour Originality
Standard With The Berne Convention And The TRIPS Agreement, Sweet and Maxwell Limited and
Contibutors, Available at,
http://aix1.uottawa.ca~dgervaispublications/Skilland/Labour/aspublished/pdf , Accessed 27
January 2014.
69
dalam menghasilkan tulisannya. Standar ini pula berlaku secara penuh dalam
perjanjian TRIPS, mengingat kentuan perjanjian TRIPS mengadopsi ketentuan
Berne Convention.
Berne Convention dan TRIPS Agreement menentukan orisinalitas
sebagai syarat untuk mendapatkan perlindungan hak cipta, tetapi hampir seluruh
Negara menginginkan tingkat orisinalitas dari suatu karya untuk mendapatkan
perlindungan hak cipta, tetapi belum ada standar minimum secara internasional
mengenai orisinalitas. Masing-masing Negara menentukan sendiri standar
orisinalitas dari suatu karya. Amerika dan kanada misalnya, menetapkan standar
orisinalitas berdasarkan konsep yang independen dan hanya mensyaratkan
kreativitas yang minimum. Sementara di Prancis, Spanyol dan dalam negara-
negara berkembang mendefinisikan orisinalitas sebagai penggambaran ciri khas
dari penciptanya.
Perjalanan peradaban suatu bangsa terus berkembang seiring dengan
perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahaun. Perkembangan ini pula dibarengi dengan perkembangan
hukum yang berlaku di masyarakat yang berubah secara terus-menerus sesuai
dengan perkembangan yang terjadi. Keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan
dunia juga memicu perkembangan hukum yang berlaku. Keterlibatan Indonesia
dalam WTO membuat Indonesia harus menyesuaikan seluruh perangkat
70
hukumnya yang berkaitan dengan HKI sesuai dengan TRIPs agreement dan Bern
Convention.
Dibidang hak cipta, Indonesia beberapa kali melakukan perubahan
terhadap UUCH sampai dengan UUHC yang berlaku saat ini. Perubahan tersebut
juga dipicu oleh perkembangan hukum yang ada dan keikutsertaan Indonesia
dalam konvensi internasional yang mewajibkan anggotanya meratifikasi peraturan
hukum yang berlaku sesuai dengan hasil kesepakatan konvensi tersebut. Berkaitan
dengan konsep keaslian atau orisinalitas suatu ciptaan, Pasal 1 angka 3 UUHC
menyatakan bahwa ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan
keaslian dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Suatu ciptaan tidak
akan ada tanpa adanya pencipta dimana dalam upaya melahirkan suatu ciptaan,
pencipta telah meuangkan seluruh daya imajinasi, pengetahuan, ketrampilan atau
keahliannya dalam suatu bentuk yang khas dan bersifat abadi. Tidak semua
ciptaan dilindungi hak cipta. Ciptaan yang mendapat perlindungan adalah ciptaan
yang memenuhi standar keaslian, kreativitas dan berwujud.
Keaslian bukan berarti karya tersebut harus benar-benar baru, karya
yang telah ada sebelumnya dan milik umum bisa saja karya asli dan merupakan
karya dari penciptanya. Kreativitas yang tinggi dibutuhkan dalam menciptakan
suatu karya yang bisa mendapat perlindungan hak cipta karena kreativitas yang
tinggi bisa menunjukkan keaslian dari suatu karya. Bahkan untuk suatu karya
yang umum dan tidak asli, dengan adanya kreativitas yang tinggi, karya tersebut
71
bisa menjadi suatu karya asli. Kreativitas tersebut merupakan hasil cipta, rasa dan
karya manusia. Perwujudan, dimana suatu karya harus dituangkan dalam bentuk
tertentu, hak cipta melindungi dalam bentuk material bukan hanya sebuah ide atau
gagasan.79
Ciptaan seharusnya memiliki aspek keaslian untuk menikmati
perlindungan yang diberikan oleh undang-undang. Keaslian sangat erat
hubungannya dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan. Oleh karena itu, suatu
ciptaan baru dianggap asli apabila tertuang dalam sebuah wujud seperti misalnya
dalam bentuk buku. Tetapi buku tersebut bukanlah merupakan buku yang
dihasilkan dari jiplakan karya berwujud lainnya.80
UUHC menyebutkan ciptaaan yang dilindungi adalah ciptaaan dalam
bidang ilmu pengetahuna, seni dan sastra. Lebih lanjut di UUHC memperinci apa
saja yang yang termasuk di dalam ciptaan yang dilindungi:
a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis
yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibut untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
79
Djumikarsih, 2012, “Analisa Yuridis Sengketa Ciptaan Antara Yayasan Hwa Ing Fonds
Dengan Budi Haliman Halim”, dalam Perspektif, Volume XVII, No.3, Edisi September, Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal.193.
80
Eddy Damian, 1999, Hukum hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasiona,
Undang-Undang Hak Cipta 1997 Dan Perlindungan Terhadap Buku Serta Perjanjian
Penerbitannya, Alumni, Bandung, hal.100.
72
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan
pantomime;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi;
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
Dari rincian tersebut di atas, ciptaan dari butir (a) sampai (k) merupakan ciptaan
asli, sedangkan butir l merupakan pengolahan selanjutnya dari ciptaan-ciptaan
asli. Hasil pengolahan dari ciptaan asli juga harus mendapat perlindungan karena
merupakan hasil ciptaan baru serta memerlukan kemampuan intelaktual tersendiri
untuk menghasilkannya.
Keaslian atau originalitas merupakan salah satu kriteria dari pemberian
perlindungan atas suatu ciptaan. Keaslian juga harus ada dalam suatu karya
derivative work walaupun karya itu merupakan hasil pengolahan dari karya cipta
asli yang telah ada. Suatu karya harus merupakan karya asli yang dihasilkan oleh
yang menciptakan karya itu sendiri.
Ciptaan atau karya cipta yang mendapat perlindungan adalah:
73
1. Ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas ide, gagasan,
inspirasi berdasarkan kemampuan kreativitas berpikir, imajinasi,
kecekatan serta keterampilan pencipta.
2. Dituangkan dalam suatu bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian,
bukan merupakan gagasan atau ide semata. Menunjukkan keaslian
dimana suatu karya tersebut merupakan hasil kemampuan kreativitas,
buah pikiran, keterampilan atau keahlian dari pencipta, tidak meniru atau
menjiplak karya orang lain dan merupakan hasil refleksi dari
penciptanya sehingga terdapat ciri pribadi dari penciptanya.81
Dengan demikian semakin jelas bahwa keaslian merupakan persyaratan pokok
dalam mendapatkan perlindungan hak cipta. Apabila pencipta telah menerapkan
tingkat pengetahuan serta keterampilan yang tinggi dalam proses menghasilkan
suatu karya, hal itu sudah dianggap cukup memenuhi sifat keaslian untuk
mendapat perlindungan hak cipta. Asli adalah benar merupakan ciptaan dari
pencipta.
Sebagai produk yang merupakan ekspresi dari kreativitas ide yang
diwujudkan dalam bentuk yang materiil, suatu ciptaan harus memiliki unsur
keaslian, namun UUHC tidak memberikan kriteria tentang keaslian itu sendiri.
Padahal unsur keaslian memegang peranan penting dalam tolak ukur suatu ciptaan
81
Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.121-122.
74
tersebut dilindungi hak cipta atau tidak. UUHC juga tidak memberikan
pengaturan mengenai perlindungan hak cipta akan diberikan kepada semua jenis
ciptaan atau hanya kepada ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan
seni. Suatu ciptaan dapat dikatakan asli apabila ciptaan tersebut berasal dari ide
yang sudah umum, tetapi dituangkan dalam bentuk yang yang baru atau tidak
sama dengan ciptaan yang sudah ada sebelumnya yang juga menggunakan ide
umum yang sama. Perlindungan hak cipta dalam ciptaan ini berfokus pada
pelindungan ekspresi ide dari ciptaan tersebut. Ciptaan juga dapat disebut asli
apabila dalam mewujudkan ciptaan tersebut terdapat unsur kegiatan intelekatual
yang melibatkan daya upaya, kreativitas, dan keahlian dari pencipta sehingga
tampilan ide tersebut berbeda dengan ekepresi ide yang sudah ada sebelumnya.
Aspek kegiatan intelektual mendapat apresiasi dalam mewujudkan suatu ciptaan.
Berdasarkan kedua aspek tersebut di atas, maka suatu ciptaan tidak harus suatu
ciptaan baru untuk di sebut mengandung unsur keaslian di dalamnya, melainkan
bagaimana mewujudkan suatu hal yang baru dari ide yang telah ada.82
Henry Soelistyo menekankan pada aspek kreativitas sebagai penciri
keaslian. Suatu ciptaan dikatakan mengandung unsur keaslian apabila dihasilkan
atau berasal dari diri si pencipta sendiri dimana kreativitas menjadi faktor penentu
yang memberi ciri dari pencipta pada ciptaan yang dihasilkannya. Di dalam
82 Elyta Ras Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia Analisis Teori dan Praktik, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.136-138.
75
menunjukkan keaslian suatu ciptaan, melekat pula hak moral dari pencipta.
Dengan menjaga keaslian suatu ciptaan berarti menjaga pula hak moral dari
pencipta yang tidak boleh diciderai, karena perubahan, perusakan atau
pemotongan maupun tindakan lain yang dapat mengganggu pribadi dan hak moral
dari pencipta.83
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa keaslian tidak berarti unik atau
khas, melainkan suatu prinsip yang harus dipegang adalah suatu ciptaan tidak
boleh sama dengan ciptaan lainnya. Suatu ciptaan diklaim sebagai ciptaan orisinal
apabila ciptaan itu dihasilkan oleh atau berasal dari pencipta sendiri.84
Namun unsur unik atau khas sebagai identitas suatu ciptaan asli
sesungguh merupakan unsur bawaan sebagai konsekuensi dari ciptaan sebagai
sebuah karya kreativitas. Kreativitas dan inovativnya suatu karya cipta
menunjukkan adanya kekhasan ciptaan tersebut yang membedakannya dengan
ciptaan lain. Keunikan ini sesuai dengan sifat dan cara melahirkan suatu ciptaan
sehingga menunjukkan keaslian ciptaan tersebut. Sebab ciptaan itu memiliki
kharateristik yang sesuai dengan penciptanya.
83 Henry Soelistyo, 2011, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, Kanisius,
Yogyakarta, hal.57-58. 84
Henry Soelistyo, Ibid.
76
3.2. Dokumentasi Sebagai Mekanisme Penentuan Kepemilikan Asal Suatu
Cerita Rakyat Tradisional Dan Keasliannya
Indonesia memiliki banyak karya-karya yang saat ini dikenal dengan
nama Pengetahuan Tradisional (PT) atau Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)
yang masih belum terinventarisir dengan optimal. Permasalahan ini berkaitan
dengan apakah suatu kekayaan tradisional atau ekspresi budaya tradisional
tersebut yang sebenarnya merupakan warisan budaya bangasa Indonesia adalah
ciptaan milik bangsa Indonesia. Di sinilah relevansi keberadaan dukumen atas
karya cipta tersebut sehingga kekayaan tradisional atau ekspresi budaya
tradisional itu dapat diklaim sebagai milik Bangsa Indonesia.
Dokumentasi suatu karya cipta merupakan upaya untuk menunjukkan
adanya suatu karya cipta tersebut. Sebab dalam pendokumentasian tersebut
mencakup aspek identitas karya cipta dan penciptanya. Dalam kaitan dengan
kekayaan tradisional atau ekspresi budaya tradisional, bahkan juga karya cipta
lainnya perlu diinventarisir melalui pendokumentasian. Inventarisasi itu sendiri
memiliki arti yang penting bagi bangsa pemilik kekayaan tradisional atau ekspresi
budaya tradisional itu sendiri untuk menentukan bahwa bangsa Indonesia adalah
benar-benar sebagai pemegang hak cipta atas kekayaan budaya tersebut sehingga
dapat memberikan perlindungan secara maksimal terhadap ciptaan tradisional.
Salah satu cara melakukan inventarisir atas PT atau EBT adalah dengan
77
melakukan dokumentasi atas ciptaan tersebut.85
Dengan demikian
pendokumentasian merupakan suatu model mekanisme untuk menentukan status
kepemilikan asal suatu cerita rakyat tradisional dan sekaligus sebagai upaya
perlindungan keasliannya.
Dokumentasi diartikan sebagai pengumpulan, pemilihan, pengolahan,
dan penyimpanan informasi dalam bidang pengetahuan. Selain itu, dokumentasi
juga berarti pemberian atau pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-
keterangan.86
Dengan demikian, dokumentasi merupakan hal penting berkaitan
dengan keberadaan suatu karya cipta sehingga lebih mudah dan cepat diketahui
adanya penyimpanan informasi.
Namun demikian secara normatif tidak ada ketentuan mengenai
pendokumentasian ciptaan di dalam UUHC. Di situ hanya ditentukan mengenai
pendaftaran ciptaan. Penyelenggara pendaftaran dilakukan oleh pemerintah yakni
Direktorat Jenderal HKI di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam
hal ini pemerintah bersifat pasif yakni hanya menunggu adanya inisiatif pencipta
untuk mendaftarkan ciptaannya. Di lain pihak pencipta kurang menyadari akan
pentingnya pendaftaran ciptaanya. Hal itu terutama terhadap karya cipta
tradisional yang sudah dianggap umum dan menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat sehingga dianggap tidak perlu didaftarkan.
85
Eddy Damian, 2009, Hukum Hak Cipta, Edisi ke-3, PT. Alumni, Bandung, hal.137.
86
Lukman Ali, Op.Cit., hal. 240.
78
Terdapat dualism dalam UUHC berkaitan dengan pendaftaran untuk
pendokumentasian karya cipta. Pendaftaran ciptaan bukan suatu kewajiban sebab
tanpa didaftarkan, ciptaan sudah mendapatkan perlindungan. Perlindungan suatu
ciptaan timbul secara otomatis setelah ciptaan tersebut dilahirkan dalam suatu
wujud nyata. Jadi perlindungan terhadap karya cipta bukan karena adanya
pendaftaran. Di lain pihak, pendaftaran diperlukan sebagai upaya
pendokumentasian atas suatu karya cipta sehingga dapat digunakan sebagai
pembuktian apabila adanya pelanggaran atas ciptaan tersebut.
Pendaftaran Hak Cipta bukan suatu hal yang mutlak harus dilakukan
oleh pencipta. Pencipta dapat mendaftarkan ciptaannya dapat pula tidak
mendaftarkannya. Karena UUHC menegaskan bahwa pendaftaran hak cipta tidak
mengesahkan isi dari ciptaan tersebut.87
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 36
UUHC dimana Direktorat Jenderal sebagai penyelenggara pendaftaran ciptaan
tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud dan bentuk dari ciptaan yang
didaftarkan. Bisa saja ciptaan yang didaftarkan tersebut hanya sebagian saja yang
asli dan sebagian lagi merupakan jiplakan dan hal ini tidak menjadi tanggung
jawab dari penyelenggara pendaftaran. Setiap pendaftaran ciptaan akan dicatat
dalam Daftar Umum Ciptaan yang dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenakan
87
Syahmin AK, 2007, Hukum Dagang Internasional Dalam Kerangka Studi Analitis,
Ed.1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 141.
79
biaya. Tetapi jika akan mendapatkan Petikan Daftar Umum Ciptaan, maka dapat
diperoleh dengan dikenakan biaya. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 35 UUHC.
Berbeda dengan UUHC, Rancangan Undang-Undang tentang
Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya
Tradisional (selanjutnya disingkat menjadi RUU PT-EBT) menentukan secara
eksplisit tentang pendokumentasian ciptaan tradisional. Di situ terdapat satu bab
khusus yang mengatur hal itu. Pemerintah diwajibkan untuk melakukan pendataan
dan pendokumentasian atas PT-EBT. Tujuan pendokumentasian adalah untuk
memberikan informasi yang benar tentang PT-EBT yang ada di masyarakat dan
sebagai referensi bagi upaya perlindungan ciptaan tradisional. RUU PT-EBT juga
menentukan mengenai subyek yang dapat melakukan pendataan dan
pendokumentasian. Otoritas yang pertama-tama berkewajiban untuk itu ialah
Menteri. Namun ada pula pihak lain yang dapat menyelenggarakan pendataan dan
pendokumentasian ialah Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan pihak lain
yang berkepentingan. Hal itu menunjukkan bahwa RUU PT-EBT menganut
sistem aktif yang mengharuskan pemerintah untuk melakukan pendataan dan
pendokumentasian PT-EBT.
Pendaftaran sendiri berfungsi dalam hal pembuktian, dengan
didaftarkannya hak cipta, apabila terjadi sengketa hak cipta, maka pembuktiannya
akan lebih mudah. Hak cipta yang tidak didaftarkan, pembuktiannya akan lebih
sukar dan memakan waktu lebih lama. Dengan demikian maka pendaftaran bukan
80
merupakan syarat untuk sahnya diakui suatu hak cipta, tetapi hanya untuk
mempermudah pembuktian dalam hal terjadinya sengketa hak cipta. 88
Apabila
ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya, bahwa dia adalah pemilik dari
ciptaan yang didaftarkan tersebut, maka kekuatan hukum dari pendaftaran tersebut
dapat dihapuskan.
Sistem pendaftaran yang dianut dalam UUHC adalah sistem pendaftaran
deklaratif dimana pendaftar akan dianggap sebagi pencipta kecuali dibuktikan
sebaliknya oleh pihak lain. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 5 UUHC yang
menyatakan bahwa kecuali dibuktikan sebaliknya yang dianggap sebagai pencipta
adalah orang yang namanya terdapat dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat
Jenderal dan orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai
pencipta pada suatu ciptaan. Pendaftaran juga dapat berfungsi memberi kepastian
hukum dan mempermudah prosedur pengalihan haknya.
Berne Convention dan Perjanjian TRIPS, menganut sistem perlindungan
otomatis dan tidak meminta adanya pendaftaran bagi suatu karya cipta untuk
mendapatkan perlindungan hak cipta. Hak ini tertuang dalam Article 5 (2) “the
enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any formality;
such enjoyment and such exercise shall be independent of the existence of
protection in the country of origin of the work…” pendaftaran yang dilakukan
88 OK. Saidin, Op.Cit., Hal. 90-91
81
oleh anggota konvensi ini di negaranya masing-masing dilakukan secara sukarela
tanpa adanya kewajiban untuk mendaftarkan ciptaan mereka.89
Meskipun pendaftaran bukan merupakan suatu keharusan bagi setiap
pencipta, tetapi mengingat peran penting dari pendaftaran suatu ciptaan, maka
pendaftaran suatu ciptaan menjadi penting khususnya bagi ciptaan yang
merupakan karya tradisional seperti misalnya cerita rakyat. Cerita rakyat diartikan
sebagai cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan
secara lisan.90
Pada umumnya cerita rakyat mengisahkan tentang asal muasal
suatu daerah atau suatu kejadian di suatu tempat. Dalam cerita rakyat biasanya
tokoh-tokohnya digambarkan dalam bentuk manusia, binatang maupun para dewa.
Ciri-ciri dari cerita rakyat itu sendiri antara lain:
1. Disampaikan turun-temurun secara lisan
2. Tidak diketahui siapa penciptanya atau bersifat anonim
3. Kaya akan nilai-nilai luhur
Di Indonesia, cerita rakyat tersebar hampir diseluruh wilayahnya.
Masing-masing daerah memiliki cerita rakyat masing-masing yang mengandung
nilai luhur dan diwariskan turun-temurun. Nilai-nilai tersebut ditanamkan sebagai
89 Lesley Ellen Harris, 2010, To Register or Not, http://www.copyrightlaws.com/wp-
content/uploads/2010/03/Registration1.pdf, Diakses Kamis, 23 Januari 2014.
90
Lukman Ali, Op.Cit., Hal.187.
82
nilai positif dalam kehidupan masyarakatnya. Cerita rakyat yang merupakan hasil
kreatifitas dan daya intelektual penciptanya mendapatkan perlindungan hak cipta
sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 10 UUHC. Dimana negara
memegang hak cipta atas cerita rakyat dan hasil kebudayaan lain yang menjadi
milik bersama.
Mengingat ciri-ciri cerita rakyat yang biasanya diwariskan secara lisan
dan turun-temurun serta bersifat anonim, menjadi polemik tersendiri bagi
pemerintah untuk memberikan perlindungan secara pasti. Indonesia kerap kali
mengalami masalah penggunaan karya cipta tradisional Indonesia oleh pihak lain
tanpa bertanggung jawab. Pendokumentasian menjadi salah satu solusi mencegah
pemanfaatan cerita rakyat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Persoalan
yang dihadapi adalah banyak dari cerita rakyat tersebut yang tidak diketahui
penciptanya dan daerah asalnya.
Fungsi dokumentasi yang memudahkan dalam pembuktian apabila
terjadi sengekta hak Cipta, memberikan kepastian hukum dan mempermudah
pengalihan haknya juga menunjang diketahuinya keaslian suatu cerita rakyat.
Orignalitas suatu cerita rakyat sulit diketahui secara pasti karena proses
penyebarannya yang turun termurun secara lisan, tidak diketahui siapa
penciptanya dan sifatnya yang komunal. Dengan dokumentasi, bisa diketahui
cerita rakyat apa saja yang dimiliki suatu daerah dan dapat ditelusuri apakah cerita
tersebut asli berasal dari daerah tersebut, walaupun penciptanya tidak diketahui.
83
Hal mana seperti yang diatur dalam ketentaun Pasal 10 UUCH, ciptaan yang
penciptanya tidak diketahui dan menjadi milik bersama dipegang oleh negara.
Sekalipun pencipta secara perorangan tidak diketahui dan sulit untuk diketahui,
tetapi harus tetap mendapatkan perlindungan karena merupakan bagian dari hasil
kebudayaan rakyat.
Dokumentasi atas cerita rakyat mencegah dimanfaatkannya cerita
tersebut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan merugikan negara
sebagai pemegang hak ciptanya. Dimana kerugian yang diderita bisa kerugian
ekonomi dan kerugian moral. Kerugian ekonomi, tidak adanya kompensasi secara
ekonomi kepada pemegang hak cipta, tidak ada permohonan penggunaan cerita
rakyat tersebut oleh pihak lain selain pemegang hak cipta. Sementara kerugian
moral, dimana tidak dicantumkannya pencipta (jika diketahui) ataupun daerah asal
cerita rakyat tersebut berasal. Dengan sistem dokumentasi yang baik, yang
menurut ketentuan Pasal 35 UUHC diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal,
mempermudah Indonesia dalam mengklaim setiap cerita rakyat yang disalah
gunakan oleh pihak lain karena sifat pendaftaran yang juga memberikan kepastian
hukum kecuali dibuktikan sebaliknya.
3.3. Perlindungan Hukum Terhadap Keaslian Cerita Rakyat Tradisional
Folklor memiliki ciri-ciri khusus yang melekat di dalamnya yaitu:
diajarkan dan dilaksanakan dari generasi ke generasi, merupakan pengetahuan
yang meliputi pengetahuan tentang lingkungan dan hubungannya dengan segala
84
sesuatu, tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang membangunnya dan
merupakan jalan hidup yang dipergunakan bersama-sama oleh komunitas yang
didalmnya terdapat nilai-nilai masyarakat.91
Dari ciri-ciri tersebut terdapat
kharakteristik folklor yang tidak dimiliki karya intelektual lain yaitu diturunkan
dari generasi ke generasi, bersifat holistik, dan merupakan jalan hidup.
Keaslian merupakan syarat umum ciptaan untuk mendapatkan
perlindungan hak cipta, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 ayat (2) UUHC.
Demikian pula halnya dengan folklor. Sebagai suatu karya cipta, Folklor pun,
dalam hal ini cerita rakyat membutuhkan orisinalitas sebagai kualifikasi untuk
dapat dilindungi hak ciptanya. Keaslian menjadi syarat penting dalam
mendapatkan perlindungan hak cipta. Sebab tanpa adanya unsur keaslian, suatu
ciptaan tidak mendaptkan perlindungan hak cipta.
Sifat folklor yang diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi
menyebabkan terjadinya pengulangan, tidak ada perubahan terhadap ciptaan
tersebut dari satu generasi ke generasi betikutnya. Generasi berikutnya hanya
meneruskan apa yg diwariskan. Seperti misalya cerita Cupak Gerantang asal Bali
yang diceritakan berulang-ulang dari generasi ke generasi. Cerita tersebut
dianggap asli pada saat diciptakan pertama kalinya. Untuk selanjutnya, setelah
diteruskan tidak lagi memenuhi unsur keaslian, sementara penciptanya pun tidak
91 Arif Lutviansori, 2010, Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia, Edisi
Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal.101.
85
diketahui. Namun dari sisi lain, keaslian dari suatu folklor juga dapat dilihat dari
wujudnya yang berbeda dari karya cipta lainnya. Misalnya, cerita Jaka Tarub dan
Keong Mas. Sekalipun sama-sama merupakan cerita rakyat, tetapi mengisahkan
hal yang berbeda dan berasal dari daerah yang berbeda pula. Cerita jaka Tarub
merupakan cerita rakyat asal Jawa Tengah, sementara Keong Mas berasal dari
Jawa Timur. Secara otomatis pula mengandung nilai-nilai yang berbeda bagi
masyarakat tempat cerita itu dibangun dan tumbuh. Dari sudut keaslian wujud
ciptaan, maka cerita rakyat bisa mendapat pelindungan hak cipta.
John Lock, sebagaimana pendapatnya sudah dikutip sebagai salah satu
teori di landasan teori pada sub-bab 1.7, mengemukakan bahwa hak atas suatu
karya lahir karena adanya usaha dan pengorbanan waktu dan tenaga dari
penciptanya sehingga di dalamnya terdapat konstribusi dan investasi kreativitas
dari penciptanya.92
Hal inilah yang terjadi pada cerita rakyat. Cerita rakyat
merupakan hasil kreativitas penciptanya dengan tujuan menanamkan nilai-nilai
positif pada kehidupan mereka dan ditanamkan dari generasi ke generasi. Apa
yang diciptakan dan merupakan hasil kreativitas pencipta tidak boleh di salah
gunakan dan kepada pencipta dan harus diberikan perlindungan hukum demi
menjaga kelestarian dan keaslian cerita tersebut. Dalam penciptaan Cerita Rakyat
terdapat upaya kreativitas yang sangat luar biasa sebagai investasi dan konstribusi
yang dilakukan oleh penciptanya. Upaya kreativitas untuk menciptakan cerita
92
Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, Loc Cit
86
rakyat itu membutuhkan pengorbanan tenaga fisik dan mental, waktu dan biaya
(atau dapat disebut sebagai pengorbanan material dan inmaterial) yang tidak
sedikit sehingga terciptalah cerita rakyat tersebut. Di situ saja sudah terdapat
investasi dan konstribuasi yang tidak ternilai yang dilakukan oleh penciptanya.
Selain itu, diperlukan pula upaya kreativitas dan bahkan inovasi dalam
penyampaian dan pewarisan cerita rakyat tersebut kepada generasi berikutnya.
Penyampaian secara verbal kepada anak-cucu memiliki keterbatasan ruang
lingkup sasaran, sehingga memerlukan upaya yang lebih daripada itu untuk dapat
mewariskan misi filosofis, teleologis dan estetis yang terkandung di dalam cerita
rakyat tersebut kepada generasi-generasi selanjutnya. Upaya-upaya tersebut
misalnya melalui pengalihwujudkan ke dalam bentuk pementasan.
Pada saat mencipta, seperti teori yang dikemukakan oleh Robert M.
Sherwood, dalam Reward Theory bahwa perlu adanya pengakuan terhadap karya
intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada
penemu/pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan
atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/menciptakan karya-karya
intelektual. Hal ini mengingat dalam menghasilkan suatu karya diperlukan adanya
pengorbanan yang besar baik itu pengorbanan pikiran, tenaga serta materi. Untuk
menciptakan suatu karya, pencipta harus menuangkan seluruh kreativitasnya serta
memastikan ciptaannya tersebut berbeda dengan ciptaan orang lain. Pencipta
harus meletakkan unsur keaslian dalam ciptaannya dan semua itu bukan hal yang
87
mudah dilakukan, sehingga sebuah pengakuan menjadi salah satu wujud
perlindungan bagi pencipta.
Pencipta yang dalam menghasilkan suatu ciptaan, yang telah
mengorbankan dan menginvestasikan tidak hanya pikiran tetapi juga materi
berhak atas insentif dari setiap karyanya (Incentive Theory) mengingat dalam
melahirkan suatu karya juga terdapat resiko dimana karyanya bisa saja dicuri oleh
pihak lain.93
Insentif diberikan kepada pencipta karena pencipta telah berjasa
dalam menciptakan karya cipta asli. Ini sebagai dasar bahwa perlindungan
keaslian cerita rakyat harus mendapat perlindungan hak cipta.
Cerita rakyat yang dalam hak cipta dalam bidang sastra telah menjadi
warisan budaya yang di dalamnya terdapat hak ekonomi dan moral. Berdasarkan
uraian Reward Theory dan Insentive Theory keberadaan cerita rakyat baru
mendapatkan perlindungan. Perlindungan ini berkaitan dengan keasliannya karena
dalam setiap ciptaan terdapat kharakteristik dari penciptanya yang tidak boleh
ditiru oleh orang lain tanpa izin. Kharakteristik ini menjadi salah satu pembeda
antara ciptaan yang satu dengan yang lain. Cerita rakyat bisa memiliki satu tema
dasar yang sama, misalnya tema tentang cinta, tetapi setelah dituangkan dalam
sebuah cerita, tema tersebut akan lahir menjadi cerita yang berbeda satu dengan
yang lainnya dan di dalamnya terdaapat kharakteristik penciptanya. Cerita cinta
93
Robert M. Sherwood., Loc.Cit.
88
Sangkuriang dan Jayaprana sama-sama memiliki tema utama tentang kisah cinta,
tetapi setelah menjadi cerita, memiliki kharakter yang berbeda. Misalnya dari
penggunaan bahasa, Sangkuriang yang berasal dari daerah Jawa barat
menggunakan bahasa Sunda sementara cerita Jayaprana menggunakan bahasa
Bali. Daerah asal dipergunakan sebagai sarana memberi kharakteristik adalah
karena kebanyakan dari cerita rakyat bersifat lisan dan tidak diketahui siapa
penciptanya. Daerah asal adalah yang menjadi pembeda paling jelas antara satu
cerita rakyat dengan cerita rakyat lainya.
Terhadap usaha mencipta, diberikan insentif kepada pencipta. Berkaitan
dengan cerita rakyat dan keasliannya, yang sewajarnya mendapatkan insentif atas
karya tersebut adalah daerah asal atau masyarakat dimana cerita tersebut hidup.
Mereka adalah yang memelihara dan meneruskan cerita tersebut sehingga sudah
selayaknya mendapatkan manfaat juga dari penggunaan cerita tersebut oleh orang
lain. Insentif yang diberikan dapat bermanfaat dalam mengembangkan daerah
tersebut juga mendorong masyarakat untuk lebih menghargai serta menjaga
keaslian karya-karya tradisioanl khususnya cerita rakyat.
Perlindungan juga dilakukan dengan menerapkan pembatasan-
pembatasan dalam pemanfaatan hak cipta seperti menerapkan prinsip fair use.
Pembatasan dalam penetuan keaslian suatu karya cipta diperlukan karena 2 hal
“first, it reduce to minimum the element of subjective judgment (and attendant
uncertainties) in deciding what qualifies for protection. Secondly, it allows
89
protection for any investment of labour and capital that in some way produces a
literary result”.94
Pembatasan terhadap level keaslian bertujuan menimimalisir
penilaian subjektif dalam menentukan kualifikasi keaslian dalam memberikan
perlindungan terhadap suatu ciptaan. Pembatasan juga memungkinkan
perlindungan pada setiap investasi dari tenaga kerja dan modal yang telah
dikeluarkan dalam menghasilkan suatu ciptaan. Investasi berupa tenaga kerja dan
modal ini yang nantinya memberikan ciri dalam suatu ciptaan. Ciri dari
Penciptanya yang membedakannya dengan ciptaan lain.
Fair use sendiri dapat dikatakan merupakan wujud dari fungsi sosial atas
suatu hak cipta. Fair use mewajibkan pencipta untuk mengikhlaskan atau
mengijinkan ciptaannya dipergunakan oleh masyarakat untuk berbagai
kepentinganya. Syarat dalam fair use adalah harus tetap diakuinya ciptaan
tersebut adalah ciptaan asli milik pencipta aslinya. Pengakuan itu diwujudkan
dengan tetap mencantumkan pencipta asli atau menyebutkan sumber asal ciptaan
yang dipergunakan.95
Penggunaan sistem fair use sebagai wujud dari perlindungan hukum
adalah seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15 UUHC yang menyatakan
bahwa “dengan syarat sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak
dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta…” dengan mencantumkan nama
94
William Cornish dan David Llewelyn, Op.Cit, hal.391. 95
Henry Soelistya, Op.Cit.,hal.96-97.
90
pencipta asli, sekalipun ciptaan tersebut dipergunakan oleh banyak pihak, ciptaan
tersebut akan tetap terjaga keasliannya dan tetap dapat memberi manfaat bagi
pihak lain. Berkaitan dengan penggunaan cerita rakyat yang dipergunakan secara
turun-temurun sehingga sulit unutk menentukan keasliannya bahkan Penciptanya
tidak diketahui, fair use dapat dipergunakan untuk memberikan perlindungan
bagi keasliannya. Dengan adanya fair use, cerita rakyat tetap dapat dipergunakan
oleh banyak pihak demi berbagai kepentingan yang tidak bertentangan dengan
ketetuan Pasal 15 UUHC seperti misalnya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, pertunjukkan atau pementasan yang tidak
dipungut bayaran tanpa menciderai hak moral dari pencipta atau pemegang hak
cipta atas ciptaan aslinya. Untuk cerita rakyat yang tidak diketahui penciptanya,
perlindungan dengan menerapkan system fair use dapat dilakukan dengan
mencantumkan daerah asal dari cerita rakyat tersebut. Hal ini karena sifat dari
cerita rakyat yang merupakan bagian dari ekspresi budaya tradisional yaitu tidak
diketahui siapa penciptanya dan tumbuh serta berkembang dalam masyarakat
secara turun-temurun. Mencantumkan daerah asal ciptaan tersebut telah
memberikan apa yang menjadi hak moral bagi pencipta atau pemegang hak cipta
yaitu daerah dimana cerita rakyat tersebut tumbuh dan menjadi nilai-nilai bagi
masyarakatnya.
Undang-undang memang tidak mewajibkan pencipta untuk
mencantumkan identitas dirinya dalam ciptaannya. Undang-undang hanya
91
mewajibkan untuk menghormati hak moral dari pencipta dengan tetap
mencantumkan nama dari pencipta aslinya. Pencipta juga tetap memiliki haknya
untuk meniadakan namanya dan tidak menampilkan identitas aslinya dalam
ciptaannya96
sehingga sekalipun pencipta tidak mencantumkan identitas
sebenarnya dari pencipta, identitasnya tetap harus dicantumkan demi melindungi
hak moral dari pencipta meskipun identitas tersebut hanya nama daerah dari cerita
rakyat dimana cerita itu hidup. Mencantumkan identitasnya berarti memberikan
perlindungan hak moral pada masyarakat dimana cerita itu lahir dan berkembang.
Pasal 10 UUHC belum memberikan perlindungan yang memadai bagi
cerita rakyat sebagai bagian dari folklor. Sebab, sesuai dengan Penjelasannya,
ketentuan Pasal 10 merupakan tujuan melindungi folklor dan hasil kebudayaan
rakyat lain. Perlindungan itu dimaksudkan untuk mencegah adanya monopoli atau
komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa
seizin nega sebagai Pemegang Hak Cipta. Selain itu juga dimaksudkan untuk
menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.
Keberadaan Pasal 10 seperti tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah
lahirnya HKI yang merupakan konsep barat yang bersifat individu, sementara
masyarakat Indonesia masih memandang folklor sebagai hal komunal yang
merupakan milik bersama tidak untuk tujuan komersil. Selain itu syarat suatu
ciptaan harus bersifat asli dan berwujud juga menjadi kesulitan bagi cerita rakyat
96
Ibid.,hal.86-87.
92
untuk mendapatkan pelindungan hak cipta. Karena cerita rakyat diwariskan turun-
temurun secara lisan (tidak berwujud) dan yang memegang sifat asli adalah
pengarang yang pertama (tidak diketahui). Selain itu sifat beberapa karya
tradisional juga diilhami adat yang telah ada dan melibatkan pola meniru secara
berulang-ulang, sehingga kriteria keaslian menjadi sulit terpenuhi.
UUHC Pasal 55 yang menyatakan “penyerahan Hak Cipta atas seluruh
Ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya
untuk menggugat yang tanpa persetujuannya: meniadakan nama Pencipta yang
tercantum pada Ciptaan itu, mencantumkan nama Pencipta pada Ciptaan,
mengenai atau mengubah judul Ciptaan atau mengubah isi Ciptaan”. Ketentuan
tersebut merupakan perlindungan dari pelanggaran atas hak moral dari Pencipta.
Hak moral untuk tetap diakui sebagai pencipta asli atas suatu ciptaan dan
diakuinya ciptaannya sebagai ciptaan asli. Dengan adanya ketentuan ini sekalipun
suatu cerita rakyat telah diketahui secara luas, diceritakan dari generasi ke
generasi, jika tetap di sertai dengan menyebutkan Penciptanya dalam hal ini dapat
dilakukan dengan mencantumkan daerah asal cerita rakyat tersebut, keasliannya
akan mendapat perlindungan karena tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 55
UUHC. Ketentuan Pasal 55 juga mencegah dilakukannya perubahan atas judul
dan isi dari suatu ciptaan. Dengan demikian ciptaan tersebut akan tetap dikenal
sebagai ciptaan asli. Misalnya cerita Cupak Gerantang, kemanapun cerita ini
dibawa, diceritakan kepada siapapun, isinya diterjemahkan dalam apapun,
93
judulnya akan tetap Cupak Gerantang. Cupak Gerantang tetap akan dikenal sebagi
cerita rakyat yang memiliki keaslian sebagai cerita rakyat yang berasal dari Bali.
Contoh lain misalnya cerita Asal Usul Danau Toba dan Pulau Samosir. Walaupun
judul dari cerita ini diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi The Origin of
Lake Toba and Samosir Island, apabila tetap mempertahankan judulnya, akan
tetap berarti Asal Usul Danau Toba dan Pulau Samosir dalam bahasa Indonesia
dan tetap akan dikenal sebagai cerita rakyat yang asli dan berasal dari Sumatra
Barat.
Ketentuan lain yang merupakan bentuk perlindungan keaslian cerita
rakyat adalah Pasal 56. Bentuk perlindungan ini adalah dengan mengajukan
gugatan perdata ke Pengadilan Niaga. Menuntut ganti rugi dan menuntut
penyerahan baik sebagian maupun seluruhnya penghasilan yang dihasilkan dari
pelanggaran terhadap keaslian ciptaan yang berkaitan dengan pelanggaran hak
moral dari pencipta.
Perlindungan yang tertuang dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UUHC menjadi
kurang maksimal tanpa dibarengi dengan adanya ketentuan lebih lanjut yang
berkaitan dengan PT dan EBT (Pasal 10 UUHC) karena ketentuan Pasal 55 dan
Pasal 56 lebih memberikan perlindungan kepada ciptaan modern tidak kepada
ciptaan yang merupakan karya tradisional seperti cerita rakyat. Dimana ciptaan
modern jelas penciptanya, jelas tertuang dalam wujud yang pasti sehingga
keasliannya juga lebih terjamin. Berbeda halnya dengan PT dan EBT khususnya
94
cerita rakyat yang biasanya bersifat lisan dan tidak diketahui siapa penciptanya,
sehingga bukan hal yang mudah untuk menentukan keasliannya.
Meskipun demikian, perlindungan terhadap keaslian cerita rakyat mutlak
tetap diperlukan dan daerah asal cerita tersebut dapat dipergunakan sebagai acuan
perlindungannya. Setiap cerita rakyat sekalipun terdapat pola pengulangan pada
tema dari cerita tersebut, tetapi isi dari ceritanya akan berbeda-beda dan nilai yang
terkandung di dalamnya pun berbeda-beda. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10
UUHC Nomor 19 Tahun 2002 perlindungan terhadap karya peninggalan
prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya serta atas folklor dan hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama dilakukan dengan:
1. Negara bertindak sebagai pemegang Hak Cipta atas karya peninggalan
prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya serta Hak Cipta atas
folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Hal itu
dimaksudkan untuk untuk mencegah adanya monopoli atau komersialisasi
serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara
sebagai Pemegang Hak Cipta dan untuk menghindari tindakan pihak asing
yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.
2. Menentukan secara limitatif ruang lingkup atau jenis folklor dan hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, yakni antara lain: cerita,
hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian,
95
kaligrafi, dan karya seni lainnya. Artinya bahwa jenis folklor dan hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama yang tidak ditentukan di
dalam Pasal 10 hak ciptanya tidak berada pada negara sehingga tidak
mendapatkan perlindungan oleh negara. Namun harus diakui bahwa
penyebutan jenis-jenis itu belum tuntas, terbukti dari adanya frasa “karya seni
lainnya”.
3. Perlindungan melalui instrument administrasi negara yakni izin. Orang yang
bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari
instansi yang terkait untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan atas
karya tradisional dan foklor.
4. Perlindungan melalui regulasi delegasian yakni dengan pengaturan lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.
96
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT KEPEMILIKAN CERITA
RAKYAT YANG TELAH DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK
PERTUNJUKKAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK BAIK NASIONAL
MAUPUN INTERNASIONAL
Di abad ke-20 ini infrastruktur komunikasi, jaringan computer, satelit
televisi mengalami perkembangan yang semakin pesat. Penduduk di negara-
negara maju dan berkembang semakin leluasa mendapatkan informasi.
Perkembangan ini juga berdampak pada perkembangan budaya masyarakatnya.
Sebelumnya perusahaan penerbitan, penyiaran, rekaman dan film hanya bekerja
dengan alat seadanya, tetapi sekarang mereka mendapatkan akses fasilitas
teknologi yang jauh lebih canggih. Hal ini juga seiring dengan tingkat intelektual
dan kreativitas manusia. Jika sebelumnya hanya bisa menciptakan sebuah cerita
yang bahkan tidak tertuang dalam sebuah naskah, maka sekarang cerita tersebut
tidak hanya sebatas cerita saja. Cerita tersebut telah dialihwujudkan ke dalam
bentuk-bentuk lain yang lebih menarik. UUHC mengakui adanya karya yang
dialihwujudkan.
Untuk menjadi karya derivative, suatu karya harus tetap memiliki
unsur keaslian. Derivative dalam hak cipta berarti relating to, or constituting a
work that is taken from, translate from adapted from, or in some way further
97
developed from a previous work.97
Penjelasan Pasal 12 UUHC menjelaskan yang
dimaksud dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari
bentuk patung menjadi bentuk lukisan, cerita roman menjadi drama, drama
menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Salah satu bentuk
pengalihwujudan yang sangat terkenal adalah pengalihwujudan novel karya J. K
Rowling yang berjudul Harry Potter kedalam bentuk film.
Pengalihwujudan ini tidak terbatas pada novel menjadi film, mengingat
begitu banyak pertunjukkan seni yang ada. Pengalihwujudan ini bisa jadi berupa
cerita rakyat menjadi sendratari atau teater lengkap dengan efek suara dan
penataan lampunya. Dapat pula berupa pengalihwujudan dari cerita rakyat
menjadi film televisi, dapat pula pengalihwujudan dari cerita rakyat menjadi
sandiwara radio maupun dari film hitam putih menjadi film berwana.
Perkembangan media elektronik juga menjadi pemicu kreatifitas dalam
menciptakan karya-karya baru maupun karya derivative dari karya asli yang telah
ada sebelumnya. Media elektronik sendiri berarti sarana media massa yang
mempergunakan alat-alat elektronik modern seperti radio, televisi dan film. Media
film berarti sarana media massa yang disiarkan dengan menggunakan peralatan
film (film, proyektor, layar). 98
Karena itu, kajian terhadap permasalahan
perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk
97
Bryan A. Gerner, Op.,Cit.,Hal.475.
98
Lukman Ali, Op.Cit., Hal. 640.
98
pertunjukan seni melalui media elektronik dalam ranah nasional maupun
internasional dipilah menjadi kajian atas perlindungan hukum kepemilikan cerita
rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni melalui media
elektronik di dalam negeri dan perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat
yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik di
luar negeri.
4.1. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat yang Dialihwujudkan
dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik di dalam Negeri
(Nasional)
Pada mulanya masyarakat Indonesia tidak begitu mempermasalahkan
mengenai aspek hukum pengalihwujudan suatu karya dalam bentuk lain oleh
pihak lain yang mengambil keuntungan dari ciptaan tersebut. Kesediaan berbagi
atas suatu ciptaan yang telah lama ada dapat dilihat dari sikap masyarakat Bali
yang dengan rela membagi ilmunya dalam memahat patung, masyarakat Jawa
yang berbagi resep masakan tradisional mereka dan cara membatik, berbagi cerita
rakyat yang diwariskan turun-temurun tanpa memikirkan aspek ekonomi yang
mereka bisa dapatkan dari berbagi karya cipta asli kepada pihak lain.99
Pemanafaatan yang demikian tidak selamanya merugikan sepanjang
dimanfaatkan demi kepentingan seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15
99
Besar, 2012, Pengalihwujudan Dalam Kerangka Konsep Hukum Hak Cipta,
Humaniora: Vol.3 No.1., Jakarta, http://eprint.binus.ac.id/25653/1/02_HK_Besar.pdf, Diakses 15
Desember 2013, Hal.19.
99
UUHC. Penggunaan ciptaan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, pertunjukan atau pementasan yang tidak
dipungut biaya, penggadaan ciptaan untuk tujuan huruf Braille dan lain-lain
diperkenankan untuk dilakukan. Tetapi belakangan ini semakin marak
pemanfaatan karya asli yang merugikan bangsa Indonesia sehingga karya
derivative pun harus dilindungi kepemilikannya.
Penjelasan umum UUHC menjabarkan alasan lahirnya UUHC yang
berlaku saat ini yaitu mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki
keanenakragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan dibidang seni dan
sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang perlu mendapatkan
perlindungan. Terlebih lagi kenyataan bahwa kekayaan seni dan budaya tersebut
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi
penciptanya tetapi juga bagi bangsa dan negara.100
Perkembangan ilmu
pengetahuan juga mendorong kreativitas masyarakat untuk mengembangkan
karya-karya yang ada ke dalam bentuk-bentuk lain daripada bentuk aslinya.
Landasan teori sudah mengemukakan teori dari John Locke yang
mengatakan bahwa hak atas property lahir dan ada karena adanya usaha dan
pengorbanan waktu dan tenaga yang telah diberikan dan diinvestasikan untuk
menghasilkan property tersebut. Oleh karena itu lahirlah hak yang melekat pada
100 Sophar Maru Hutagalung, 2012, Hak Cipta Kedudukan Dan Peranannya Dalam
Pembangunan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 251-252.
100
karya intelektual sebagai hasil investasi kreatif seseorang (Creative people have
an inherent right to their intellectual property because of the labour they have
invested in it).101
Berdasarkan pada teori tersebut maka dalam tujuan memberikan
penghargaan terhadap kerja keras dan usaha yang dilakukan untuk menghasilkan
suatu ciptaan, perlindungan atas ciptaan semakin perlu diberikan, terlebih
perlindungan terhadap karya-karya derivative yang perkembangannya begitu
pesat seiring dengan perkebangan teknologi. Suatu karya asli dapat dengan mudah
diubah, dijiplak, diumumkan sebagai milik orang lain dengan tidak mencantum
nama pencipta aslinya. Karena itulah, perlindungan terhadap ciptaan harus
dilakukan sebagai apresiasi kepada penciptanya.
Perlindungan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk
pertunjukkan melalui media elektronik merupakan salah satu karya cipta yang
perlu mendapatkan perlindungan karena untuk menghasilkannya diperlukan
pengorbanan waktu dan tenaga sekalipun derivative work biasanya berasal dari
cipataan yang telah ada sebelumnya yang merupakan ciptaan asli, tetapi dalam
menghasilkan derivative work tetap harus menambahkan unsur-unsur yang
menjadikannya sebagai karya cipta yang tidak menjiplak dan untuk itu diperlukan
pengorbanan serta tingkat pengetahuan.
101
Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, Loc Cit.
101
Perlindungan dapat dilakukan dengan memberikan standar pembeda
antara ciptaan asli dengan derivative work. Suatu karya derivative harus memiliki
materi pembeda dan baru untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. Yang
mendapatkan perlindungan adalah material baru yang ditambahkan kedalam
ciptaan asli yang telah ada sebelumnya. Contoh spesifik yang tergolong sebagai
karya derivatif yaitu:
1. Dokumentasi stasiun televisi yang didasari pada catatan kaki yang diambil
dari sebuah arsip atau gambar fotografi terdokumentasi.
2. Gambar bergerak yang didasari pada cerita.
3. Karya seni pahat yang didasari pada gambar.
4. Novel dalam bahasa Inggris terjemahan yang didasari pada novel berbahasa
lain.
5. Gambar yang didasari pada karya fotografi.
6. Peta yang dibukukan berdasarkan peta yang tergolong public domain yang di
Dalamnya ditambahkan beberapa peta baru.
7. Sound recording (CD yang beberapa isinya mungkin pernah dipublikasikan).
8. Biografi seseorang yang didasari pada jurnal dan surat-surat orang yang
bersangkutan.
9. Drama, berkenaan dengan seseorang yang didasari pada jurnal dan surat-surat
orang yang bersangkutan.
10. CD yang isinya sudah pernah di-release dan di-remix kemudian di-release.
11. Karya litografi yang didasari pada lukisan/gambar.102
Dengan adanya unsur pembeda, akan lebih mudah ditentukan apakah suatu karya
tersebut mendapat perlindungan sebagai derivative work atau menjiplak. Dalam
pengalihwujudan cerita rakyat menjadi bentuk pertunjukkan, cerita rakyat akan
menjadi derivative work pada saat didalamnya ditambahkan materi pembeda
seperti menampilkannya dalam bentuk pertunjukkan film televisi. Setelah menjadi
102
Aryani Nauli Hasibuan, 2011, Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif
Dalam Prakteknya:Studi Kasus Buku Ensiklopedia Al Quran: Al-Maushuah Al-Quraniyah Al-
Muyassarah, (tesis) Program Pascasarjana Hukum Ekonomi, Jakarta, Hal.47.
102
film televisi, cerita rakyat yang tadinya hanya tertuang dalam bentuk tulisan
bahkan tidak sedikit yang masih berupa cerita lisan, mendapatkan unsur-unsur
baru antara lain diwujudkannya tokoh-tokoh dalam cerita itu oleh para aktor,
terdapat penambahan efek suara dalam adegan-adegannya, terdapat tambahan
lagu yang bisa lebih menghidupkan isi cerita tersebut, film yang ditayangkan
berwarna sehingga menarik untuk di tonton dimana semua penambahan tersebut
dihasilkan dari kemampuan intelektual, pengorbanan dan investasi yang besar.
Pembedaan yang diberikan pada film televisi yang berasal dari cerita
rakyat menjadikan film televisi sebagai derivative work yang mendapat
perlindungan. Tidak hanya dalam bentuk film televisi, cerita rakyat yang juga
dapat dialihwujudkan dalam bentuk sendratari yang didalamnya terdapat unsur
pembeda dari ciptaan asli antara lain penambahan efek cahaya, penambahan efek
suara, penggunaan kostum yang lebih menghidupkan tokoh-tokohnya,
penambahan pada dialog diantara para tokohnya yang semuanya itu tidak ada
pada cerita rakyat yang hanya tertuang dalam tulisan.
Pembeda antara karya asli dengan derivative work dapat dilihat dari
seberapa besar materi substansial yang ada pada karya asli dipergunakan dalam
derivative work. Karya asli dikatakan memiliki nilai keaslian apabila tidak meniru
bagian yang substansial dari karya yang sudah ada sebelumnya. Pengecualin
diberikan kepada peniruan terhadap karya yang telah menjadi public domain.
Pada derivative work perlindungan akan diberikan kepada karya yang walaupun
103
berasal dari tema yang sudah umum atau berasal dari ciptaan yang sudah ada
sebelumnya, sepanjang didalamnya ditambahkan unsur-unsur pembeda dan baru
maka karya derivative tersebut juga dianggap asli. Yang dilindungi disini adalah
kemampuan pencipta berkreasi, kemampuan intelektual, serta investasinya dalam
menghasilkan karya baru.
Upaya perlindungan tersebut selain perlindungan terhadap derivative
work yang dihasilkan perlu juga perlindungan terhadap karya asli yang merupakan
ide dari lahirnya derivative work tersebut. Perlindungan terhadap karya aslinya
dapat dilakukan dengan tetap mencantumkan nama dari Pencipta aslinya. Untuk
cerita rakyat yang umumnya tidak diketahui siapa Penciptanya, dapat
dicantumkan daerah asal dari cerita tersebut. Hal ini adalah penghargaan dan
pengakuan bagi daerah dan masyarakat setempat tempat cerita itu hidup.
Teori lain yang merupakan dasar perlindungan terhadap karya yang
dialihwujudkan adalah Recovery theory yang menyatakan bahwa pencipta berhak
mendapatkan kembali semua pengorbanannya dalam menghasilkan suatu ciptaan
dan Risk theory yang menyatakan bahwa HKI merupakan suatu hasil kreativitas
yang mengandung resiko.103
Recovery theory menekankan bahwa atas suatu hasil
karya cipta, sudah selayaknya pencipta mendapatkan manfaat kembali dari
ciptaannya, karena dalam menciptakan suatu karya derivative yang berasal dari
103
Robert M. Sherwood dikutip oleh Ratni Fauzi Mayana, Loc.Cit.
104
cerita rakyat bukan hal yang mudah. Banyak pengorbanan dan investasi baik
berupa tenaga maupun materi yang dikorbankan. Hal ini yang menyebakan
kepada pencipta harus diberikan pengembalian baik berupa materi maupun
pengakuan dari hasil pemanfaatan karyanya oleh pihak lain atau jika ciptaannya
disebarluaskan sendiri oleh pencipta dengan tujuan komersial.
Menghasilkan karya derivative merupakan hal yang beresiko, dimana
setiap saat dalam proses menciptakannya, pihak lain dapat saja mendahului
menemukan cara baru untuk memperbaiki atau mengubah suatu ciptaan asli
sehingga menjadi karya derivative seperti yang akan dibuat pencipta. Sehingga
perlindungan terhadap karya derivative dan pencipta karya derivative menjadi
sangat diperlukan.
Perlindungan atas cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk
pertunjukkan melalui media elektronik diatur dalam UUHC. Perlindungan atas
cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor dalam ketentuan Pasal 10.
Dimana dijelaskan bahwa yang memegang hak cipta atas cerita rakyat yang
kebanyakan bersifat anonim atau tidak diketahui penciptanya adalah negara.
Sementara peraturan lebih lanjut mengenai ketentuan ini akan diatur dalam
Peratuan Pemerintah yang hingga saat ini berlum ada. Lebih lanjut dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 10 adalah bahwa Negara memegang Hak Cipta atas
folklor dengan tujuan mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta
105
tindakan merusak atau pemanfaaatan komersial tanpa izin negara Republik
Indonesia, terutama menghindari pemanfaatan yang merugikan oleh pihak asing.
Pasal 12 ayat (1) UUHC menyebutkan ciptaan yang mendapatkan
perlindungan Hak Cipta, termasuk didalamnya adalah terjemahan, tafsiran,
sarudan, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Pasal
12 ayat (2) bahwa ciptaan yang sebagai mana disebutkan dalam huruf (l)
dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas
ciptaan asli. Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf l menyebutkan yang dimaksudkan
dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung
menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio,
dan novel menjadi film.
Melalui penjelasan Pasal 10 diketahui jika cerita rakyat tersebut
merupakan satu kesatuan asli, sekalipun tidak diketahui penciptanya, akan tetap
mendapat perlindungan hak cipta dimana hak ciptanya akan dipegang oleh negara.
Setiap pihak yang akan memanfaatkannya harus mendapat izin terlebih dahulu
dari kepada negara selaku pemegang hak cipta. Mengingat dalam setiap ciptaan
melekat hak ekonomi dan hak moral yang harus dipenuhi. Penyalahgunaan hak-
hak tersebut akan merugikan bangsa dan negara Indonesia. Namun di lain sisi,
cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat, akan
menjadi kurang adil apabila hasil dari pemanfaatannya tidak sampai kepada
tempat dimana cerita rakayat tersebut tumbuh dan berkembang karena masyarakat
106
tempat cerita rakyat tersebut tumbuh dan berkembang lebih berhak atas
kebudayaannya daerahnya dan memanfaatkan hasil kebudayaannya untuk
memajukan kreatifitas masyarakat setempat.
Karya-karya yang dialihwujudkan juga mendapat perlindungan bahkan
dianggap sebagai karya tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan aslinya.
Sehingga karya-karya seperti novel yang dialihwujudkan menjadi film telah
mendapatkan perlindungan hak cipta. Yang mendapat perlindungan adalah
materi-materi baru yang terkadung dalam film tersebut, karena novel sendiri telah
mendapat perlindungan tersendiri sebagai karya asli. Hak cipta atas novel
dipegang oleh pengarang sedangkan hak cipta atas film dipegang oleh produser
film tersebut.
Demikian pula dengan hak cipta atas cerita rakyat yang di pegang oleh
negara. Apabila cerita rakyat dialihwujudkan kedalam bentuk pertunjunkan lain
seperti drama, sendratari maupun film, pihak yang akan mengalih wujudkan harus
mendapatkan izin terlebih dahulu dari negara selaku pemegang hak cipta. Hanya
saja mekanisme pengajuan izin tersebut masih awam bagi masyarakat Indonesia.
Apakah pengajuan izin pengalihwujudan cerita rakyat dapat diajukan melalui
Dewan Hak Cipta, karena Direktorat Jederal Hak Cipta hanya bertugas
menyelenggarakan pendaftaran hak cipta seperti ketentuan Pasal 35 UUHC.
Setelah cerita rakyat tersebut dialihwujudkan, maka yang memegang hak cipta
atas pengalihwujudannya pihak-pihak yang melakukan pengalihwujudan, pihak-
107
pihak yang dengan daya intelektualitas yang tinggi telah menambahkan materi-
materi baru sehingga hasil pengalihwujudannya tersebut dapat di kategorikan asli.
RUU PT dan EBT yang akan segera di sahkan, terdapat ketentuan yang
lebih jelas berkaitan dengan perlindungan cerita rakyat yang merupakan bagian
dari EBT. Ketentuan perlindungan PT dan EBT meliputi: kualifikasi PT dan EBT
yang dilindungi, ruanglingkup dan waktu perlindungan PT dan EBT, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2, 3 dan 4 RUU.
Kualifikasi PT dan EBT yang dilindungi meliputi unsur budaya;
kecakapan teknik (know how), keterampilan, inovasi, konsep, pembelajaran dan
praktik kebiasaan lainnya yang membentuk gaya hidup masyarakat tradisional
termasuk di antaranya pengetahuan pertanian, pengetahuan teknis, pengetahuan
ekologis, pengetahuan pengobatan termasuk obat terkait dan tata cara
penyembuhan, serta pengetahuan yang terkait dengan sumber daya genetic. Selain
itu, kualifikasi juga juga mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi
verbal tekstual, music, gerak, teater, seni rupa, dan upacara adat.
Lingkup perlindungan meliputi perlindungan pencegahan, dan
pelarangan. Pencegahan dilakukan dengan keharusan mendapatkan izin atas
akses pemanfaatan dan perjanjian pemanfaatan PT dan EBT oleh orang asing atau
badan hukum asing atau badan hukum Indonesia penanaman modal asing.
Sedangkan pelarangan dilakukan terhadap:
108
1. Pemanfaatan oleh orang asing atau badan hukum asing atau badan hukum
Indonesia penanaman modal asing yang tidak mendapatkan izin
aksespemanfaatan.
2. Pemanfaatan oleh setiap orang atau badan hukum baik asing maupun
Indonesia yang tidak menyebutkan dengan jelas asal wilayah dan komunitas
atau masyarakat yang menjadi sumber PT dan EBT.
3. Pemanfaatan PT dan EBT oleh setiap orang atau badan hukum baik asing maupun
Indonesia yang dilakukan secara tidak patut, menyimpang dan menimbulkan kesan
tidak benar terhadap masyarakat terkait, atau yang membuat masyarakat tersebut
merasa tersinggung, terhina, tercela, dan/atau tercemar.
Jangka waktu perlindungan PT dan EBT ditentukan dalam Pasal 4 RUU, bahwa
jangka waktu perlindungan diberikan selama masih dipelihara oleh Kustodiannya.
Rancangan Penjelasan Pasal 4 menerangkan mengenai yang dimaksud dengan
kata dipelihara adalah disamping dijaga kelestariannya dari kepunahan juga
termasuk pengembangan sejauh pengembangan tersebut tidak terlalu jauh
menyipang dari keaslian PT-EBT tersebut.
Salah satu unsur penting yang ditentukan di dalam RUU sebagai
kualifikasi menentukan perlindungan yaitu penyebutan dengan jelas asal wilayah
dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber PT dan EBT. Hal itu
dimaksudkan untuk menghindari adanya pemanfaatan yang membuat masyarakat
109
umum mendapat informasi yang salah tentang asal dari PT-EBT tersebut. Pasal 3
(b) menyebutkan bahwa salah satu pemfaatan PT dan EBT yang dilindungi adalah
PT dan EBT yang dalam pelaksanaan pemanfaatannya tidak menyebutkan dengan
jelas daerah asal wilayah dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber
dari PT dan EBT tersebut. Mengalihwujudkan cerita rakyat kedalam bentuk seni
pertunjukkan melalui media elektronik berarti memanfaatkan cerita rakyat untuk
menghasilkan Ciptaan baru. Pemanfaatan ini harus dilakukan dengan benar dan
tanpa mengurangi Hak Moral dari Pencipta aslinya.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 7 RUU PT dan EBT menyebutkan
bahwa dalam tujuan memanfaatkan PT dan EBT dalam hal ini cerita rakyat
diperlukan adanya proses permohonan izin yang juga dibarengi dengan
pembuatan perjanjian pemanfaatan dengan kustodian (komunitas atau masyarakat
tradisional yang memelihara dan mengembangkan PT dan EBT secara tradisional
dan komunal) PT dan EBT tersebut. Setiap permohonan pemanfaatan PT dan EBT
diajukan kepada Menteri dengan menyertakan keterangan antara lain wilayah
sumber atau asal PT dan EBT yang akan dimanfaatkan.
Perlindungan kepemilikian cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam
bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik semakin diperluas dengan
adanya Undang – Undang No.11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi
Elektronik. Ketentuan Pasal 25 UU ini menyatakan bahwa informasi elektronik
atau dokumen elektronik digolongkan sebagai karya intelektual dan mendapatkan
110
perlindungan sebagai HKI. Karya derivative dari cerita rakyat melalui media
elektronik mendapatkan perlindungan karena merupakan derivative work melalui
media elektronik dikatagorikan dalam dokumen elektronik yang terdari dari suara,
gambar, peta atau photo yang ditampilkan, dilihat atau didengar melalui komputer
atau system elektronik. Dengan demikian mengacu kepada ketentuan Pasal 25
tersebut, maka perlindungan mengenai kepemilikannya dikembalikan kepada
UUHC.
Uraian tersebut di atas menjelaskan dasar dan pentingnya diberikan
perlindungan atas kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk
pertunjukkan seni dimana berdasarkan uraian tersebut diatas, cerita rakyat sebagai
ciptaan aslinya mendapatkan perlindungan dan kepemilikannya juga diakui
sebagai milik negara yang bertindak sebagai pemegang hak cipta atas karya
tersebut seperti yang tertuang dalam UUHC Pasal 10. Karya derivative yang
mempergunakan cerita rakyat sebagai dasarnya juga mendapatkan perlindungan
seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 12 huruf (l) dan kepemilikannya
diakui sebagai milik dari pencipta yang telah berhasil menuangkan cerita rakyat
dalam bentuk yang baru. Apabila cerita rakyat itu dituangkan dalam bentuk film,
maka yang menjadi pemilik dari karya tersebut adalah produser film.
Usaha memberikan perlindungan terhadap cerita rakyat yang
dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan tidak akan maksimal mengingat masih
kosongnya peraturan yang mengatur lebih lanjut tentang tata cara permohonan
111
pengajuan izin dalam menggunakan cerita rakyat yang merupakan karya
tradisional sebagai dasar dari karya derivative. Peran serta dan kesadaran dari
masyarakat juga penting dalam perlindungan hak cipta bagi karya-karya mereka
khususnya bagi masyarakat lokal yang tidak menempatkan semata-mata hanya
berkarya demi memenuhi kebutuhan hidup.
4.2. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan
Dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik Di Luar Negeri
(Internasional)
Pada Masa lalu penulis buku, penyanyi, musisi, penari dapat hidup
dengan tenang tanpa khawatir karyanya akan dimanfaatkan secara ilegal. Hal ini
bukan karena moral masyarakat pada saat itu yang lebih baik, tetapi lebih kepada
karena sarana teknologi yg belum memadai pihak-pihak tersebut untuk melakukan
pemanfaat karya cipta secara ilegal. Dalam perkembangannya muncul sarana
teknologi yang memungkinkan pemanfaatan yang merugikan tersebut. Teknologi
yang mempermudah akses dengan dunia luar, sehingga apa yang sedang
dipentaskan di Indonesia dapat secara langsung diakses di luar negeri.104
I La Galigo merupakan naskah cerita rakyat yang berasal dari Bugis dan
merupakan naskas cerita terpanjang di dunia sehingga memiliki nilai yang sangat
tinggi. Sebagai salah satu bentuk folklor, I La Galigo harus mendapat
104 Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, 2008, Pengenalan HKI: Konsep Dasar
Kekayaan Intelektual Untuk Penumbuhan Inovasi, PT. Indeks, Jakarta, Hal.120-121.
112
perlindungan Hak Cipta, namun perlindungan Hak Cipta masih kurang memadai.
Hal ini terakit dengan adanya pementasan I La Galigo di kota besar didunia oleh
orang asing sehingga merugikan Indonesia secara ekonomi dan moral.105
I La
Galigo hanya satu dari beberapa kasus pemanfaatan kekayaan tradisional bangsa
ini oleh pihak asing yang tidak bertanggung jawab.
Beberapa perjanjian internasional mulai marak membahas perlindungan
pengetahuan tradisional. Seperti misalnya dalam Berne Convention, “Traditional
knowledge (TK) is generally understood to encompass four types of creative
works: verbal expressions (stories, epics, legends, folk tales, poetry, riddles, etc.),
musical expression, expression by action and tangible expression….”106
Dari
pengertian tersebut diatas, cerita rakyat tergolong didalam pengetahuan tradisional
yang harus mendapat perlindungan. Article 15(4) Berne Convention dapat
ditafsirkan memberikan kepada negara masing-masing untuk membentuk
kebijakan sendiri yang mengatur mengenai perlindungan terhadap ciptaan yang
tidak diketahui penciptanya seperti halnya dalam melindungi cerita rakyat.
Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional juga dicanangkan dalam
WIPO Draft Provisions on Traditional Cultural Expression/Forlklore and
105 Aris Ideanto, Perlindungan Folklor Indonesia: Perbandingan Sistem Hukum Dalam
Studi Kasus I La Galigo, http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jps?id=83480&lokasi=lokal, Diakses 7
Desember 2013.
106
Module 8: Traditional Knwoledge, Available at
http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional_Knowledge, Accessed
20December 2013.
113
Traditional Knowledge. Walapun masih berupa draft, tetapi dapat dijadikan
sebagai pijakan dalam forum-forum diskusi ditingkat nasional, regional maupun
internasional akan pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional diantaranya
cerita rakyat. Tujuannya antara lain mencegah penyalahgunaan pengetahuan
tradisional, mendorong kreativitas masyarakat lokal, dan tentunya memberikan
kepastian hukum bagi perlindungan Hak Cipta tradisional.
Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural
Expression menyebutkan "the importance of traditional knowledge as a source of
intangible and material wealth, and in particular the knowledge systems of
indigenous peoples, and its positive contribution to sustainable development, as
well as the need for its adequate protection and promotion…." (Article 1 h.)
Konvensi ini menyadari betul betapa pengetahun tradisional harus mendapatkan
perlindungan dan menyerahkan sepenuhnya kepada negara-negara yang
bersangkutan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan guna memberikan
perlindungan dan promosi atas keanekaragaman ekspresi budaya daerah mereka
sendiri.
Perlindungan hukum terhadap pemegang hak cipta khususnya atas karya
tradisional dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh
dan berkembangnya keinginan mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan
114
sastra.107
Perlindungan atas karya cipta tradisional juga harus dibarengi dengan
perlindungan atas karya derivative dari karya cipta tradisional tersebut.
Perlindungan dirasa semakin penting mengingat banyaknya penyalahgunnan
pemanafaat karya cipta tradisional kedalam derivative work oleh pihak asing.
Misalnya penggunaan lagu Rasa Sayange dalam iklan pariwisata Malaysia. Pada
awalnya lagu Rasa Sayange hanya lagu daerah Maluku, kemudian di kemas
sedemikian rupa serta di tampilkan sebagai lagu iklan pariwisata budaya Malaysia
tanpa adanya permohonan izin penggunaan dari Indonesia.
Suatu ciptaan merupakan hasil kreativitas peciptanya dan merupakan
investasi kreatif yang memerlukan pengorbanan besar alam menciptakannya.108
Hal ini seperti yang dikemukakan oleh John Lock dan merupakan salah satu dasar
bagi perlindungan hak cipta. Teori lain yang juga menjadi dasar perlindungan dari
hak cipta adalah Recovery theory yang menekankan pada pengembalian atas
segala pengorbanan yang telah dilakukan oleh pencipta dalam menghasilkan suatu
ciptaan dan Risk theory yang menyatakan bahwa dalam proses mencipta, terdapat
resiko dimana orang lain dapat saja melahirkan ciptaan yang sama kapan saja.109
Sebuah karya derivative lahir dari usaha keras pencipta untuk
menambahkan unsur-unsur baru kedalam ciptaan asli hingga menjadi sebuah
karya derivative. Cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam sebuah pertunjukkan
107
Hery Firmansyah, 2011, Perlindungan Terhadap Merek, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, hal.16.
108
Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, Loc Cit 109
Robert M. Sherwood dikutip oleh Ratni Fauzi Mayana, Loc.Cit
115
seni membutuhkan banyak kemampuan kreatif dalam mewujudkannya. Pencipta
harus menambahkan paling tidak elemen efek suara, pencahayaan, dan musik
didalamnya yang membedakannya dari ciptaan asli. Untuk semua kerja keras
pencipta dalam menghasilkan karya derivative, pencipta harus mendapatkan
perlindungan atas karya ciptanya.
Pencegahan terhadap pelanggaran yang mungkin akan terjadi bagi harus
dilakukan. Dokumentasi dapat menjadi cara mencegah pelanggaran tersebut.
Dokumentasi atas karya tradisional asli dapat dijadikan patokan dalam
memberikan perlindungan terhadap karya cipta derivative. Jika suatu karya
tradisional telah secara jelas dan terdaftar merupakan ciptaan masyarakat
Indonesia yang kemudian dituangkan dalam bentuk derivative work oleh siapapun
hingga dipertunjukkan secara internasional dengan tanpa memperoleh izin
pemanfaatan dari pemerintah Indonesia, maka derivative work tersebut tidak
berhak mendapatkan perlindungan hak cipta karena didalamnya terdapat unsur
penjiplakan dan penggunaan ciptaan tanpa izin. Negara pun dapat secara tegas
mengajukan klaim atas terjadinya pelanggaran tersebut dengan menyertakan
Daftar Umum Ciptaan sebagai salah satu bukti bahwa ide awal atau materi dari
karya derivative tersebut baik seluruhnya atau sebagian merupakan milik bangsa
Indonesia dan telah dipergunakan tanpa izin.
Ketentuan mengenai pendafataran hak cipta tertuang dalam Pasal 35
UUHC ayat (1) yang menyatakan bahwa Direktorat Jenderal adalah
116
penyelenggara pendaftaran Ciptaan dan akan di catat dalam Daftar Umum
Ciptaan. Namun ketentuan Pasal 35 ayat (4) UUHC menyatakan bahwa
pendafataran ciptaan bukan merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta,
karena timbulnya perlindungan hak cipta telah ada sejak ciptaan itu terwujud,
bukan karena pendaftran. Lebih lanjut ketentuan Pasal 37 UUHC menyebutkan
bahwa pendaftaran ciptaan dilakukan atas permohonan, dengan demikian tanpa
adanya permohonan pendaftaran, suatu ciptaan tidak akan terdaftar dalam Daftar
Umum Ciptaan. Pemerintah disini bersifat pasif dan menunggu masyarakat yang
melakukan pendaftaran. Hal ini menjadi faktor yang menyulitkan dalam
memberikan perlindungan ciptaan tradisional karena kebanyakan ciptaan
tradisional tidak terdaftar serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk
mendaftarkan ciptaannya.
Perlindungan Internasional atas karya derivative sendiri juga telah diatur
dalam konvensi-konvensi internasional seperti dalam Berne Convention Article 2
yang menyebutkan karya-karya yang mendapatkan perlindungan antara lain “1.
Literari and artistic works; 2. Possible requirement of fixation; 3. Derivative
works; 4. Official texts; 5. Collections; 6. Obligation to protect; beneficiaries of
protection; 7. Works of applied art and industrial designs; 8. News”110
110
F. Scott Kieff and Ralph Nack, 2006, International, United States, and European
Intellectual Property, Aspen Publishers, New York, hal.269.
117
Lebih jelas mengenai perlindungan derivative work dijabarkannya dalam
Article 2 (3) "Translations, adaptations, arrangements of music and other
alterations of a literary or artistic work shall be protected as original works
without prejudice to the copyright in the original work". Disebutkan bahwa karya
terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan perubahan lain dari suatu karya sastra
harus mendapat perlindungan sebagai karya asli tanpa mengurangi hak cipta atas
karya aslinya. Berne Convention tidak menyebutkan derivative work secara tegas
tetapi mempergunakan istilah terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan
perubahan lain dari suatu karya sastra. Semua itu merupakan wujud dari
derivative work menurut Berne Convention yang mendapatkan perlindungan.
Undang-undang Hak Cipta Amerika Serikat misalnya dalam Act 17 U S
C menyebutkan “derivative work is a work based upon one or more preexisting
works, such as a translation, musical arrangement, dramatization,
fictionalization, motion picture version, sound recording, art reproduction,
abridgment, condensation, or any other form in which a work may be recast,
transformed, or adapted. A work consisting of editorial revisions, annotations,
elaborations, or other modifications, which, as a whole, represent an original
work of authorship, is a derivative work”111
Pengaturan ini menunjukkan bahwa
derivative work adalah karya yang didasarkan atas karya yang telah ada
111
Copyright Law of United States and Related laws Contained in Title 17 of the United
States Code, Op.Cit.hal.3.
118
sebelumnya, seperti terjemahan, aransemen musik, dramatisasi, fictionalization,
versi film, rekaman suara, reproduksi seni, ringkasan, kondensasi, atau bentuk
lainnya yang merupakan perubahan atau adaptasi dari karya yang telah ada
sebelumnya. Sebuah karya yang terdiri dari revisi editorial, penjelasan, elaborasi,
atau modifikasi lain juga merupakan derivative work dan secara keseluruhan,
merupakan karya asli penulis serta mendapat pelindungan sebagai sebuah karya
asli.
Lebih lanjut dalam 17 U.S.C. § 103 (a) yang didalamnya menyatakan
“the subject matter of copyright as specified by section 102 includes compilations
and derivative works but protection for a work employing preexisting material in
which copyright subsists does not extend to any part of the work in which such
material has been used unlawfully”112
ketentuan Pasal ini jelas menyatakan
bahwa perlindungan atas derivative work tidak diberikan kepada karya yang
dipergunakan secara tidak sah.
Dari uraian beberapa ketentuan internasional diatas yang mengatur
mengenai perlindungan atas pengetahuna tradisional yang didalamnya termasuk
cerita rakyat sebagai karya cipta asli mendapatkan perlindungan hak cipta bahkan
secara internasional yang mana penerapan kebijakan perlindungannya di
kembalikan ke negara-negara asal karya cipta tersebut. Sebagai karya yang
112
Copyright Law of United States and Related laws Contained in Title 17 of the United
States Code, Loc.Cit.
119
dialihwujudkan juga demikian, bahwa setiap cerita rakyat yang dialihwujudkan
dalam bentuk pertunjukan seni lainnya di dunia internasional mendapatkan
perlindungan hak cipta sebagai ciptaan asli sepanjang didalamnya tidak terdapat
penggunaan yang tidak sah dari karya cipta asli. Menghidari penggunaan yang
tidak sah, setiap orang yang hendak memanfaatkan karya cipta asli menjadi
derivative work tidak boleh melupakan mencantumkan pencipta atau asal dari
karya cipta aslinya. Untuk dapat mempergunakan karya cipta tradisioanl seperti
misalnya Naskah I La Galigo oleh pihak asing untuk kepentingan komersial, harus
terlebih dahulu mendapatkan izin dari negara sebagai pemegang hak cipta atas
folklor. Persoalan muncul, ketika dalam peraturan perundang-undangan tidak
mengatur kepada siapa permohonan izin tersebut diajukan.
Indonesia sebagai pemilik dari cerita rakyat yang dialihwujudkan
seharusnya memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi karya-karya
tradisional bangsa sendiri di dunia Internasional, karena negara adalah pemilik
dari hak cipta atas folklor dan karya warisan budaya yang tidak diketahui
penciptanya dalam hal ini cerita rakyat. Perlindungan terhadap karya derivative
juga berkaitan dengan hak ekonomi dan hak moral yang terkandung di dalam hak
cipta. Perlindungan hukum yang baik atas karya derivative yang berasal dari cerita
rakyat tidak hanya memberi manfaat ekonomi bagi pemegang hak cipta derivative
tetapi juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat atau daerah asal dimana
cerita rakyat sebagai ciptaan asli tumbuh dan berkembang. Seharusnya didalam
120
setiap pemanfaatan dari karya cerita rakyat sebagi ciptaan asli khususnya saat
dimanfaatkan menjadi derivative work yang bersifat komersial, masyarakat atau
daerah asal cerita rakyat tersebut mendapatkan hasil dari pemanfaatan karya
mereka.
Hak moral dari pencipta dan pemegang hak cipta asli, khususnya yang
dimanfaatkan menjadi derivative work merupakan suatu pengakuan dan
penghargaan serta diatur di dalam UUHC Pasal 24. Derivative work mendapat
perlindungan sebagai karya cipta asli tetapi tidak mengurangi hak cipta atas karya
cipta aslinya. Dengan demikian menjadi kewajiban bagi pencipta dan pemegang
hak cipta dari karya derivative untuk menghormati hak moral dari pencipta asli.
Ketentuan mengenai perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat
yang dialihwujudkan melalui bentuk pertunjukkan melalui media elektronik di
luar negeri dirasa kurang memadai. Hal ini antara lain disebakan karena masih
adanya ketidak jelasan mengenai tata cara permohonan izin pemanfaatan karya
Cipta tradisional khususnya yang umumnya mendasari lahirnya karya-karya
derivative dalam bidang pertunjukkan. Sifat pemerintah yang pasif dalam
melakukan dokumentasi juga menjadi penghambat dalam memberikan
perlindungan Hak Cipta, dari beberapa kasus pelanggaran Hak Cipta atas karya
tradisinal yang telah dijadikan karya derivative oleh pihak asing, pemerintah
belum bisa secara langsung memberikan jawaban tegas bahwa karya tersebut
milik bangasa Indonesia. Yang sering terjadi adalah, pelanggaran terjadi baru
121
kemudian pemerintah bergerak mengumpulkan bukti-bukti bahwa Indonesia
adalah pemilik dari karya tradisional tersebut.
122
BAB V
PENUTUPAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan atas pemaparan yang sesuai dengan inti pokok
permasalahan, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut;
1. Keaslian merupakan syarat mutlak bagi suatu ciptaan untuk mendapatkan
perlindungan Hak Cipta. Keaslian disini adalah terdapat ciri khas atau
kharakteristik dari penciptanya. Perlindungan Hak Cipta dapat dilakukan
dengan pendaftaran Hak Cipta di Direktorat Jenderal. Sifat pendaftaran
sendiri adalah tidak wajib karena Hak Cipta yang memberikan
perlindungan secara otomatis saat ciptaan terwujud. Cerita rakyat sebagai
bagian dari folklor mendapat perlindungan sebagai ciptaan asli sekalipun
telah melalui proses turun-temurun dari generasi ke generasi. Perlindungan
ini didasarkan pada bentuk dari cerita rakyat itu sendiri yang memiliki isi
berbeda-beda walaupun untuk lebih memberikan kepastian hukum,
penuangannya cerita-cerita tersebut dalam sebuah pendokumentasian akan
lebih baik.
2. Di Indoensia perlindungan hukum cerita rakyat yang telah dialihwujudkan
telah mendapatkan perlindungan tersendiri yaitu dalam ketentuan Pasal 12
123
huruf (l). Meskipun mekanisme pelaksanaan perlindungannya yang belum
jelas. Secara internasional, berbagi konvensi telah mengatur mengenai
perlindungan pengetahuan tradisional serta ciptaan yang telah
dialihwujudkan yang pada dasarnya menyerahkan kepada negara masing-
masing dari peserta konvensi untuk menata kebijakan di negaranya
mengenai perlindungan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan.
5.2. Saran
Dari latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah
diungkapkan di atas dapat disarankan sebagai berikut:
1. Dalam upaya perlindungan hukum cerita rakyat yang dialih wujudkan
dalam pertunjukan seni melalui media elektronik, pemerintah hendaknya
segera membentuk Peraturan Pemerintah yang dikehendaki oleh Pasal 10
ayat (4) UUHC sehingga dalam implementasi UUHC tidak ada
kekosongan peraturan berkaitan dengan keaslian dan kepemilikan
pengetahuan tradisional yang telah dialihwujudkan beserta mekanisme
pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah tersebut hendaknya juga
memperjelas ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) tentang instansi terkait
yang dimaksud,dalam hal ini adalah Menteri Hukum Dan Hak Asasi
Manusia. Atau segera mengesahkan RUU Perlinduangan dan pemanfaatan
kekayaan intelektual pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional.
124
2. Pembentukan Peraturan Pemerintah, hendaknya tetap memperhatikan
budaya hukum yang berlaku terutama berkaitan dengan kekayaan
tradisional dan folklor. Karena itu masyarakat selaku pihak yang terkena
peraturan serta yang wajib mendapatkan perlindungan sepatutnya
memberikan masukan-masukan mengenai nilai-nilai tradisional yang perlu
mendapatkan perlindungan.
3. Pihak-pihak yang hendak memanfaatkan kekayaan tradisonal dalam hal ini
cerita rakyat, baik untuk tujuan komersil maupun tidak, sepatutnya
menghormati hak ekonomi dan hak moral dari pencipta maupun pemegang
hak cipta dari cerita rakyat tersebut.
125
DAFTAR PUSTAKA
AK, Syahmin, 2007, Hukum Dagang Internasional Dalam Kerangka Studi Analitis,
Ed.1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ali, Lukman, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Cetakan ketujuh,
Perum Balai Pustaka, Jakarta.
Cornish, William dan David Llewelyn, 2003, Intellectual Property: Patens,
Copyright, Trade Marks, and Allied Rights, Fifth Edition, Sweet and
Maxwell, London.
Djumhana, Muhamad, 2006, Perkembangan Doktrin Dan Teori Perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Djumikarsih, 2012, “Analisa Yuridis Sengketa Ciptaan Antara Yayasan Hwa Ing Fonds
Dengan Budi Haliman Halim”, dalam Perspektif, Volume XVII, No.3, Edisi
September, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Davitt, Thomas E., 2012, Nilai-Nilai Dasar Di dalam Hukum Menganalisa
Implikasi-Implikasi Legal-Etik Psikologi Dan Antropologi Bagi
Lahirnya Hukum, Terjemahan Yudi Santosa, S.Fil, Cetakan I, Pallmal
Yogyakarta, Yogyakarta.
Damian, Eddy, 2009, Hukum Hak Cipta, Edisi ke-3, PT. Alumni, Bandung.
Firmansyah, Hery, 2011, Perlindungan Terhadap Merek, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta.
Elias, Stephen, 2009, Legal Research How To Find And Understand The Law,
Fifteenth Edition, Nolo, California.
Gerner, Bryan A., 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West,
Dallas, Texas.
Ginting, Elyta Ras, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia Analisis Teori dan Praktik,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hariyani, Iswi, 2010, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta.
126
Hasibuan, Otto, 2008, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Bagi Hak Cipta
Lagu, Neigbouring Rights, Dan Collecting Society, PT. Alumni,
Bandung.
Hasibuan, Aryani Nauli, 2011, Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif
Dalam Prakteknya:Studi Kasus Buku Ensiklopedia Al Quran: Al-
Maushuah Al-Quraniyah Al-Muyassarah, (tesis) Program Pascasarjana
Hukum Ekonomi, Jakarta.
Hutagalung, Sophar Maru, 2012, Hak Cipta Kedudukan Dan Peranannya Dalam
Pembangunan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Ibrahim, Jhony, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif¸ Bayu
Publishing, Malang.
Isnaini, Yusran, 2009, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Kieff, F. Scott and Ralph Nack, 2006, International, United States, and European
Intellectual Property, Aspen Publishers, New York.
Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan,2011, Hak Kekayaan
Intelektual Dan Harmonisasi Hukum Global (Rekonstruksi Pemikiran
Terhadap Perlindungan Program Komputer), Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Lindsey, Tim, dkk., 2004, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Cetakan
ke-3, PT. Alumni, Bandung.
Lutviansori, Arif, 2010, Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia, Edisi
Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
_______, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.
Meliala, Djaja S., 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Cetakan II,
Nuansa Aulia, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Munandar, Haris dan Sally Sitanggang, 2008, Mengenal HAKI Hak Kekayaan
Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk-beluknya, Erlangga,
Jakarta.
127
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2013, Studi Magister Ilmu
Hukum.
Purba, Afrillyanna , 2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan
Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung.
Purwaningsih, Endang, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Lisensi,
Cetakan Ke-I, CV. Manda Maju, Bandung.
Riswandi, Budi Agus dan Siti Sumartiah, 2006, Masalah-Masalah HAKI
Kontemporer, Gitanagari, Yogyakarta.
Saidin, OK, 2007, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), Edisi Revisi 6, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Sardjono, Agus, 2009, Membumikan HKI Di Indonesia, CV. Nuansa Aulia,
Bandung.
.
Setiadharma, Prayudi, 2010, Mari Mengenal HKI, Cetakan I, Goodfaight
Production¸ Jakarta.
Sherwood, Robert M. dalam Ratni Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain
Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo,
Jakarta.
Soelistyo, Henry, 2011, HakCiptaTanpaHak Moral, PT. RajagrafindoPersada,
Jakarta.
Soelistyo, Henry, 2011, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, Kanisius,
Yogyakarta.
Sunggono, Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Suprapedi, dan Muhammad Ahkam Subroto, 2008, Pengenalan HKI: Konsep
Dasar Kekayaan Intelektual Untuk Penumbuhan Inovasi, PT. Indeks,
Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan Pertama, Sinar
Grafika Offset, Jakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi
Pustaka, Jakarta.
128
Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak atas kekayaan Intelektual:Perlindungan
dan Dimensi Hukumnya di indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni,
Bandung.
Utomo, Tomi Suryo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global:
Sebuah Kajian Kontemporer, Cetakan pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta.
PeraturanPerundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 TentangHakCipta
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (penerjemah), 2002, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Cet.32, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Copyright Law of The United States and Related Laws Conteined in Title 17 of the
United States Code.
Convention On Biological Diversity 5 June 1992.
Berne Convention
TRIPS Agreement (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights)
Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan Dan Pemanfaatan Kekayaan
Intelektual Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional.
Jurnal
Afifah Kusumadara, 2011, Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan
Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan Intlektual, Jurnal
Hukum: Vol.18 Januari. No.1., Malang.
Besar, 2012, Pengalihwujudan Dalam Kerangka Konsep Hukum Hak Cipta,
Humaniora: Vol.3 No.1., Jakarta,
http://eprint.binus.ac.id/25653/1/02_HK_Besar.pdf, Diakses 15
Desember 2013.
Joseph Hubicki, 2011, Protecting Performance Rights under the Derivative Work
Exception, Law Journal: Vol.2, Issue 1., The Berkeley Electronic Press,
Available at:
129
http://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1016&context=
iplj, p.54. Accessed 1 March 2014.
Steven S. Boyd, 2000, Deriving Originality in Derivative Works: Considering the
Quantum of Originality Needed to Attain Copyright Protection in a
Derivative Work, Jurnal at Santa Clara Law Digital Commons,Vol.40.
No.2., Available at:
http//digitalcommons.law.scu.edu/lawreview/vol40/iss2/1, p.349.
Accessed 1 March 2014.
ArtikelDalam Format Elektronik (Internet)
Afifah Kusumadara, Dosen FH Presentasi Di Konfesensi ASLI
Jepanghttp://prasetya.ub.ac.id/berita/Dosen-FH-Presentasi-di-Konferensi-
ASLI-Jepang-3777-id.html, Diakses 09 Maret 2012.
PerlindunganHakAtasKekayaanIntelektualTerhadapPengetahuanTradisional,http
://alsaindonesia.org/site/perlindungan-hak-atas-kekayaan-intelektual-
terhadap-pengetahuan-tradisional-2/
Tri Wahoho, PerlindunganHakCipta, Indonesia Terburuk Di
Asia,http://tekno.kompas.com/read/2010/08/25/17502973/Perlindungan.
Hak.Cipta.Indonesia.terburuk.di.Asia, Diakses 09 Maret 2012.
KBRI: SoalTari Tor TorTerjadiKesalahpahaman,http://id.berita.yahoo.com/kbri-
soal-tari-tor-tor-terjadi-kesalahpahaman-075350450.html
PenelitianHukumPerluRegulasi:PerlindunganEkspresiBudayaTradisional Di
Jawa Barat,www.depkumham.go.id/berita-kanwil/go-kanwil-jawa-
barat/964-penelitian-hukum-perlu-regulasi--perlindungan-ekspresi-
budaya-tradisional-di-jawa-barat
PengetahuanTradisionalDalamRuangLingkup
PerlindunganHukumHakKekayaanIntelektual.http://taeblues.tumblr.com
/post/13416491119/traditional-knowledge.
Basuki Antariksa, 2012, Peluang Dan Tantangan Perlindungan Pengetahuan
tradisional Dan Ekspresi Budaya
Tradisional,www.budpar.go.id/userfiles/file/Art_11_Konsinyering%20
WBT%20710.pdf.
Feri Sulianta, Seri Referensi Praktis: Konten Internet, dilihat (On-line)
di:http://books.google.co.id/books?id=f9Vurjx2D8C&pg=PA56&lpg=PA56&dq
130
=buku,+hak+cipta,+derivatif,+karya+turunan&source=bl&ots=4nGPhr0Bv9&si
g=iuOfIeNANaoTGKnsJV1s8C5OMA&hl=id&ei=KO19TfKkKMfprQfs06XM
BQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CCsQ6AEwBg#v=on
epage&q=buku%2C%20hak%20cipta%2C%20derivatif%2C%20karya%20turu
nan&f=false
Cliff Kuehn, 2012, The “Originality”Requrement for Copyright Protection in
Western Societies, Selasa, 28 Januari 2014,
http://trademarkcopyrightlaw.wordpress.com/2012/09/18/the-originality-
requirement-for-copyright-protection-in-western-societies/
James Koessler, Something For Nothing? The Standard Of ‘Originality’ In
Copyright Law: An Elusive Yet Essential Requirement (2/5), Selasa, 28
Januari 2014, http://www.jameskoessler.com/something-for-nothing-the-
standard-of-originality-in-copyright-law-an-elusive-yet-essential-
requirement-25/#identifier_0_231
Module 3: The Scope of Copyright law, Selasa, 28 Januari 2014,
http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_3:_The-
Scope_of_Copyright_Law
Daniel J. Gervais, 2004, The Compatibility Of The Skill And Labour Originality
Standard With The Berne Convention And The TRIPS Agreement, Sweet
and Maxwell Limited and Contibutors, Senin, 27 Januari 2014,
http://aix1.uottawa.ca~dgervaispublications/Skilland/Labour/aspublished/
Lesley Ellen Harris, 2010, To Register or Not, Kamis, 23 Januari 2014,
http://www.copyrightlaws.com/wp-
content/uploads/2010/03/Registration1.pdf
Module 8: Traditional Knwoledge, Available at
http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional
_Knowledge, Accessed 20 December 2013.
Aris Ideanto, Perlindungan Folklor Indonesia: Perbandingan Sistem Hukum Dalam Studi
Kasus I La
Galigo,http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jps?id=83480&lokasi=lokal, Diakses 7
Desember 2013.
Module 8: Traditional Knowledge, Available at
http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional
_Knowledge, Accessed 21 February 2014.
131
Anonim, Protecting Traditional Cultural Expressions: The International
Dimension, Available at
http://www.copyright.bbk.ac.uk/contents/workshops/blakem.pdf,
Accessed 28 February 2014.
Media Elektronik, http://id.wikipedia.org/wiki/Media_elektronik, Diakses 22
April 2014.
Hydriana Ananta Win, Efek Media Elektronik Terhadap Anak Usia Sekolah,
http://www.stiks-
tarakanita.ac.id/files/Tarakanita%20News%20No.%202/Opini/28%20Efe
k%20Media%20elektronik.pdf, Diakses Selasa, 22 April 2014.