PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi...

351
PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DAN INTERAKSI DENGAN WILAYAH SEKITARNYA SERTA KEBIJAKAN KE DEPAN (Kajian di Provinsi Jambi) JUNAIDI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Transcript of PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi...

Page 1: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DAN INTERAKSI DENGAN WILAYAH SEKITARNYA

SERTA KEBIJAKAN KE DEPAN (Kajian di Provinsi Jambi)

JUNAIDI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

Page 2: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya serta Kebijakan Ke Depan (Kajian di Provinsi Jambi) adalah karya saya dengan arah komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Juli 2012

Junaidi

NIM H162070051

Page 3: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

ABSTRACT

Transmigration as a development model in Indonesia has been implemented long enough. During the implementation, transmigration program have shown varying degree of success, in turn becomes one of the flagship program to develop nation self-reliance. In autonomy era, transmigration still becomes a development model, but there has been a decline in migrant placement. This study aimed to: (1) develop measurement and analyze development stadia of the ex-transmigration villages in Jambi Province, (2) analyze factors that influence the development of ex-transmigration villages in Jambi Province, (3) analyze the socio-economic conditions of ex-transmigration villages population in Jambi Province, and (4) analyze the linkages and factors that affecting ex-transmigration villages linkage to surrounding area in the province of Jambi. The study was conducted in ex-transmigration villages in Jambi Province. Factor, cluster and discriminate analysis used to measure villages develop stadia. Ordinal logic regression model used to analyze the factors that affect village development stadia. Interaction between ex-transmigration village and surrounding area was approached by population movement and binary logic regression model used to analyze resident’s trip to work and shopping. The study found three variables to measure village’s development stadia namely the percentage of permanent housing (welfare indicator), the ratio of agricultural industry to population (non-agricultural indicator) and the percentage of agricultural area (agricultural activity indicator). Concurrent with village’s development stadia, non-agricultural and agriculture activities also increase. Increasing village’s development stadia was indicated by growing of non-agricultural activities from the fulfillment of primary needs towards secondary/tertiary needs of the population. Development of ex-transmigration villages is determined by various factors including the distance of residential to activity centers, particularly road infrastructure, major transmigration commodities, transmigration characteristics, duration of migrant’s placement, as well as macroeconomic performance of the regency. The study also found low interaction between ex-transmigration with non transmigration villages. The low interaction is caused by : 1) underdeveloped of various facilities and production activities in the sorrounding villages that has functionally linkages with ex-transmigration villages ; 2) relative far distance and non existing reliable transportation infrastructure that link the ex-transmigration village with the surrounding villages; 3) weak efforts of social capital development at the community level. Working trip models show that individuals who work outside the village tend to be younger, better educated, family’s member, differ by region of origin and village stadia. Family shopping trip model show that family with high shopping proportion to outside the village is family with younger wife, have better education, older children, higher children income and higher family income per capita

Keywords: Ex-transmigration villages, regional interaction, Agriculture activities, non-agriculture activities, village stadia, shopping trip model, working trip model.

Page 4: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

RINGKASAN

JUNAIDI. Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya serta Kebijakan Ke Depan (Kajian di Provinsi Jambi). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, SLAMET SUTOMO dan BAMBANG JUANDA.

Pelaksanaan transmigrasi sebagai salah satu program kependudukan di

Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Dalam pelaksanaannya, program transmigrasi telah menunjukkan berbagai keberhasilan, sehingga transmigrasi selama beberapa dekade menjadi salah satu program “unggulan” dalam membangun kemandirian bangsa melalui pengembangan potensi sumberdaya wilayah. Transmigrasi juga dapat menjadi contoh khas dan strategi pengembangan wilayah “original” Indonesia dan sumber pembelajaran berharga dalam pengembangan wilayah.

Di era otonomi telah terjadi penurunan penempatan transmigran. Selain masalah-masalah keterbatasan lahan, lemahnya kelembagaan penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta rendahnya inisiatif daerah dalam membangun transmigrasi, penurunan ini lebih disebabkan oleh berbagai faktor: Pertama, adanya berbagai stigma negatif dalam pelaksanaan transmigrasi. Kedua, program transmigrasi memang telah berhasil membangun desa-desa baru, namun sebagian diantaranya belum sepenuhnya mencapai tingkat perkembangan secara optimal yang mampu menopang pengembangan wilayah dan bahkan sebagian diantaranya direlokasi karena kondisinya dinilai tidak layak untuk berkembang. Ketiga, pembangunan transmigrasi juga dipandang bersifat eksklusif sehingga kurang adanya keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan sekitarnya. Ini menyebabkan desa-desa transmigrasi yang berhasil cenderung tumbuh menjadi kawasan enclave yang berhasil meningkatkan kesejahteraan transmigran, namun kontribusi pada pengembangan wilayah sekitarnya relatif rendah.

Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengembangkan pengukuran dan menganalisis stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (3) Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (4) Menganalisis keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya di Propinsi Jambi

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi. Unit analisis terdiri dari tiga tingkatan, yaitu individu, rumah tangga dan desa. Individu adalah anggota rumah tangga. Rumah tangga adalah rumah tangga yang berada di desa sampel. Desa adalah desa eks transmigrasi yaitu unit permukiman transmigrasi yang telah menjadi desa definitif.

Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan pada rumah tangga sampel, menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara terstruktur. Data sekunder yang digunakan bersumber dari PODES 2008, PPLS 2008, Sensus Ekonomi 2006, Provinsi dalam Angka, Kabupaten dalam Angka dan Kecamatan dalam Angka, dan instansi/ lembaga terkait lainnya.

Untuk menyusun indikator stadia perkembangan desa digunakan analisis faktor, klaster dan analisis diskriminan. Stadia perkembangan desa yang diacu dalam penelitian adalah hipotesis stadia perkembangan desa yang dikemukakan

Page 5: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

Rustiadi et al. (2009). Oleh karenanya, penelitian ini secara tidak langsung bertujuan untuk menguji, mengkonfirmasi, mengoreksi atau mengembangkan hipotesis stadia perkembangan desa tersebut.

Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja desa eks transmigrasi digunakan model regresi ordinal logit. Peubah tak bebas (dependent variable) adalah pengkategorian stadia desa eks transmigrasi. Peubah bebas (independent variable) terdiri dari peubah-peubah yang berasal dari model penyelenggaraan transmigrasi (khususnya dalam kelompok seleksi lokasi, komoditas tanaman utama dan seleksi calon transmigrasi) dan peubah-peubah wilayah kabupaten penempatan.

Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi penduduk dilakukan survai pada enam desa terpilih. Masing-masing satu desa stadia perkembangan tertinggi dan terendah untuk pola transmigrasi tanaman pangan, perkebunan karet dan perkebunan sawit. Selanjutnya analisis interaksi wilayah didekati melalui perjalanan penduduk di desa sampel untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi. Secara lebih khusus, dilakukan pemodelan pergerakan perjalanan penduduk untuk bekerja dan belanja dengan menggunakan model binary logit.

Hasil penelitian menemukan bahwa perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat ditentukan berdasarkan kesejahteraan penduduk, aktivitas non-pertanian dan aktivitas pertanian. Ketiga indikator tersebut pada dasarnya tidak hanya bermanfaat untuk desa-desa eks transmigrasi, tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan tahapan perkembangan desa secara umum.

Berkembangnya industri di perdesaan merupakan faktor penting untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat. Industri perdesaan akan meningkatkan permintaan dan harga jual produk pertanian, serta meningkatkan produktivitas pertanian melalui penyerapan kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Berkembangnya industri perdesaan juga menumbuhan berbagai aktivitas perdagangan dan jasa lainnya sebagai aktivitas pendukungnya.

Bersamaan dengan perkembangan desa, juga terjadi pergeseran dalam pola aktivitas non-pertanian. Jenis-jenis usaha industri, perdagangan dan jasa berkembang dari pemenuhan untuk kebutuhan-kebutuhan primer ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier penduduk.

Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ini ditentukan oleh jarak ke pusat kegiatan, sarana-prasarana (terutama sarana jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik transmigran (dari proses seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran, serta faktor-faktor makro wilayah kabupaten.

Desa-desa yang relatif jauh dari pusat kegiatan kabupaten serta memiliki kualitas jalan kurang memadai cenderung berkembang lebih lambat. Ini menunjukkan lokasi transmigrasi dengan keterkaitan yang kuat pada pusat kegiatan (digambarkan oleh jarak relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan (aksesibilitas) tinggi menuju lokasi desa akan memiliki peluang lebih besar mencapai stadia perkembangan tinggi.

Komoditi tanaman utama desa juga menunjukkan pengaruh terhadap perkembangan desa. Desa komoditi tanaman pangan cenderung memiliki perkembangan lambat dibandingkan tanaman perkebunan.

Desa-desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai stadia tertinggi. Lama penempatan ini terkait dengan proses

Page 6: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejahteraan.

Berdasarkan daerah asal, kinerja transmigran dari Jawa Tengah lebih baik dibandingkan daerah-daerah lainnya. Desa-desa eks transmigrasi dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah cenderung memiliki perkembangan yang lebih baik.

Selanjutnya, perkembangan wilayah kabupaten penempatan juga menjadi faktor penentu perkembangan desa eks transmigrasi. Semakin banyak perusahaan/usaha di kabupaten lokasi penempatan desa eks transmigrasi semakin meningkatkan peluang desa mencapai perkembangan lebih baik. Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah terkait dengan peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk.

Pada tingkat individu/keluarga pencapaian kesejahteraan yang lebih baik pada transmigran dipengaruhi oleh budaya (etos) kerja, pendidikan dan kemampuan mempertahankan kepemilikan lahan.

Hasil penelitian juga menemukan rendahnya interaksi desa-desa eks transmigrasi dengan desa non-transmigrasi. Rendahnya interaksi disebabkan tidak terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di desa-desa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi. Di sisi lain, relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya sistem transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa sekitarnya menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi.

Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks transmigrasi dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-upaya pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas, dimana salah satu ciri pentingnya adalah keterkaitan dalam suatu jaringan.

Page 7: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Mengutip hanya untk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 8: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DAN INTERAKSI DENGAN WILAYAH SEKITARNYA

SERTA KEBIJAKAN KE DEPAN (Kajian di Provinsi Jambi)

JUNAIDI

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

Page 9: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof.Dr.Ir Hermanto Siregar, M.Ec Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Setia Hadi, MS

Dr. Donny Iskandar, MT

Page 10: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

?tnzgnv t0

rnqele{rcl

l

eloEEuy

. I900L0z9tH:Iplurmf :

(rgtuuf rsurnord rpu€lfry) uedeq s;X uu>letrqa) pues u,{tuulqeg qufu1116 uuEuep

r$l?roluJ uep rse"6nusuerJ s>lg eseq-?seq uuEuuqweryed :

Ztq1l1rl.t 91 :ue1fn luEEuul

961 "puun1

Euuqurug'rI'rCI Jord

.{m up"sepred uep qe,(ey16

ueunEtrequred rrsuuucuoJed ntull

IpqS unford unle)

I^IIN3ru?N

:snln'I luE8uu;

eloEEuy

W@

IEV'oS'IN'tlufs I

uuelrusucsed rlulo{es

$W;:""

s{tW"WJsF ;\) tHfurBqt-aFiK&J h' --,

?^'"Wlea#.;l$

ffi

Is?Ueslc Inpnf

Page 11: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan ini adalah mengenai perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya di Provinsi Jambi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, Bapak Dr.Slamet Sutomo,SE,MS dan Bapak Prof.Dr.Ir.Bambang Juanda,MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para peneliti pada Litbang Ketransmigrasian Kemenakertrans di Jakarta, Kepala dan Staf Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jambi, Kepala Desa Mekar Sari, Lurah Bandar Jaya, Kepala Desa Bukit Mas, Kepala Desa Rasau, Kepala Desa Sungkai dan Kepala Desa Rimbo Mulyo yang banyak menfasilitasi penelitian ini selama di Jambi.

Teramat penting, ucapan terima kasih penulis tujukan kepada orang tua (Ayahanda Syafril dan Ibunda Rismaniar), mertua (Ayahanda Hapiun Nasution dan Ibunda Sri Sutari), isteri tercinta Hardiani, SE, M.Si serta anak-anak tersayang Arwatrisi Ediani, Ikraduya Edian dan Annora Haj Adillah atas semua doa, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang diberikan.

Akhir kata, meskipun jauh dari kesempurnaan, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak terkait.

Bogor, Juli 2012

Junaidi

Page 12: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 2 Juni 1967 sebagai anak sulung

dari pasangan Syafril dan Rismaniar. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Kependudukan Program Pascasarjana UGM dan menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Jambi sejak tahun 1993. Bidang pengajaran yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Teori Ekonomi Kependudukan dan Ekonomi Sumberdaya Manusia, Matematika Ekonomi dan Statistik.

Pada Tahun 1996, penulis menikah dengan Hardiani, SE,M.Si dan telah dikaruniai tiga orang anak: Arwatrisi Ediani, Ikraduya Edian dan Annora Haj Adillah.

Selama mengikuti program S3, penulis telah menghasilkan tiga buku yaitu (1) Dasar-Dasar Teori Ekonomi Kependudukan yang ditulis bersama dengan Hardiani, SE, M.Si; (2) Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis yang ditulis bersama dengan Prof.Dr. Amri Amir, SE, MS dan Drs. Yulmardi, MS; dan (3) judul Ekonometrika Deret Waktu yang ditulis bersama dengan Prof.Dr.Ir. Bambang Juanda, MS. Sebuah artikel yang berjudul Analisis Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi akan diterbitkan pada Jurnal Paradigma Ekonomi Edisi Vol. 4 No. 2 Juli – Desember 2012. Artikel lain berjudul Pengembangan Pola Transmigrasi di Era Otonomi Daerah akan diterbitkan pada Jurnal Visi Publik Edisi Vol. 9 No. 1 April –September 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

Page 13: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi
Page 14: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

ii

Page 15: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xiii

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxiii I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 8 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 10 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 11 1.5 Kebaruan Penelitian ............................................................................ 11

II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 13 2.1 Pengembangan Wilayah ...................................................................... 13 2.2 Interaksi antar Wilayah ....................................................................... 27 2.3 Indikator Pembangunan/Perkembangan Daerah/Wilayah ..................... 30 2.4 Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa ................................... 37 2.5 Indikator Perkembangan Desa ............................................................. 48 2.6 Sejarah Transmigrasi di Indonesia ....................................................... 56 2.7 Konsep Pembangunan Transmigrasi .................................................... 65 2.8 Pemukiman Kembali di Negara-Negara Lain...................................... 72 2.9 Teori-Teori yang Mendasari Pembangunan Transmigrasi .................... 79 2.10 Indikator Pengembangan Kawasan Transmigrasi ............................... 96 2.11 Penelitian-Penelitian Sebelumnya.................................................... 103

III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS .................................... 113 3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 113 3.2 Hipotesis ........................................................................................... 118

IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 123 4.1 Lokasi Penelitian ............................................................................... 123 4.2 Unit Analisis ..................................................................................... 123 4.3 Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan ............................................ 123 4.4 Alat Analisis ..................................................................................... 124

V GAMBARAN UMUM TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI ......... 141 5.1 Sejarah dan Perkembangan Transmigrasi di Provinsi Jambi............... 141 5.2. Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dan Daerah Penempatan ....... 146 5.3. Pola Transmigrasi di Provinsi Jambi.................................................. 151

VI. KINERJA DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI ................................................................................................ 157 6.1 Komparasi Kinerja Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Desa-Desa

Non-Transmigrasi ............................................................................. 157

Page 16: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xiv

6.2 Penyusunan Indikator Stadia Perkembangan Desa Eks Transmigrasi...................................................................................... 169

6.3. Analisis Diskriminan Stadia Desa ...................................................... 180 6.4. Profil Desa Berdasarkan Stadianya .................................................... 183 6.5 Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi .................. 196

VII. KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK DAN KETERKAITAN DESA EKS TRANSMIGRASI DGN WILAYAH SEKITARNYA....... 207 7.1 Gambaran Umum Desa Sampel Penelitian ......................................... 207 7.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk .................................................... 218 7.3 Perjalanan Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi ........................ 234

VIII. STADIA PERKEMBANGAN DESA DAN POLA PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI KE DEPAN ...... 267 8.1. Model Baru Stadia Perkembangan Desa: Pengembangan atas

Hipotesis Rustiadi.............................................................................. 267 8.2 Menuju Pola Pengembangan Kawasan Transmigrasi ke Depan .......... 270

IX. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 277 9.1 Kesimpulan ....................................................................................... 277 9.3 Saran Penelitian Lanjutan .................................................................. 281

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 283 LAMPIRAN ................................................................................................ 293

Page 17: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan penempatan transmigran di Indonesia ..................................... 3

2 Keterkaitan utama dalam pembangunan spasial ............................................ 28

3 Tipologi keterkaitan perkotaan - perdesaan .................................................. 29

4 Indikator pembangunan berkelanjutan .......................................................... 32

5 Indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/pendekatan pengelompokannya ...................................................................................... 36

6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas .... 44

7 Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal.................................. 52

8 Pergeseran definisi, tujuan dan jenis transmigrasi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan .................................................................... 63

9 Perbandingan konsep pembangunan transmigrasi sebelum dan setelah otonomi daerah ............................................................................................ 65

10 Komparasi tujuan program pemukiman kembali pada tujuh negara .............. 74

11 Indikator tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran ............................................................................ 98

12 Goalpost untuk indikator indeks pembangunan transmigrasi ...................... 100

13 Kategori indeks pembangunan transmigrasi ............................................... 101

14 Indikator perkembangan fungsi perkotaan menuju terwujudnya kota terpadu mandiri .......................................................................................... 102

15 Rincian jenis data yang digunakan sebagai indikator tingkat perkembangan desa eks transmigrasi .......................................................... 127

16 Kaitan tujuan, alat analisis, unit analisis, peubah dan sumber data .............. 139

17 Perkembangan penempatan transmigran di Provinsi Jambi dari periode Pra Pelita sampai dengan tahun 2011 ......................................................... 143

18 UPT binaan Provinsi Jambi tahun 2011 ...................................................... 144

19 Perkembangan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) di Provinsi Jambi tahun 1990/1991 - 2009 ............................................................................. 146

20 Sebaran transmigran di Provinsi Jambi berdasarkan daerah asal dan kabupaten penempatan (kepala keluarga) tahun 2009 ................................. 147

21 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan (KK) tahun 2009 ................................................... 150

Page 18: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xvi

22 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan tahun 2009 (Jiwa) .................................................. 150

23 Pola transmigrasi berdasarkan jumlah UPT, jumlah KK dan jiwa penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009 .................................................. 151

24 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) berdasarkan pola dan daerah penempatannya di Provinsi Jambi tahun 2009 ........................................... 151

25 Perbandingan indikator kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 .................................... 159

26 Persentase kepemilikan fasilitas pendidikan pada desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 ................ 161

27 Perbandingan persentase perumahan permanen desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 .................................... 162

28 Perbandingan persentase rumah tangga miskin desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ............................ 164

29 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ................................................ 165

30 Perbandingan indikator aktivitas pertanian desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ................................................ 167

31 Perbandingan persentase lahan pertanian non-sawah desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non transmigrasi tahun 2008 ............................ 167

32 Indikator aktivitas non-pertanian di desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006 ................................................. 168

33 Skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah dalam indikator kinerja desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ..................................................... 170

34 Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah transformasi ............................................................................................... 171

35 KMO and Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi................................................................................................ 173

36 Pengukuran MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi .... 173

37 Pengukuran ulang MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi................................................................................................ 174

38 Pengujian ulang KMO dan Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ........................................................................ 174

39 Analisis communalities peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ........ 176

40 Total variance explained peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ..... 176

41 Matriks komponen peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ............... 177

Page 19: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xvii

42 Matriks struktur peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ...... 178

43 Pembobotan indikator stadia desa eks transmigrasi .................................... 179

44 Distribusi desa eks transmigrasi menurut stadianya di Provinsi Jambi ........ 179

45 Distribusi stadia desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten ................... 180

46 Prosedur stepwise dalam pembentukan fungsi diskriminan ......................... 181

47 Proses pemasukan peubah dilihat dari angka Wilk’s Lambda ...................... 182

48 Canonical discriminant function coefficients .............................................. 182

49 Hasil klasifikasi analisis diskriminan stadia desa ........................................ 182

50 Profil stadia desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi .......................... 184

51 Unit, jenis usaha serta rata-rata tenaga kerja industri pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ............................................................. 188

52 Persentase industri pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ........................................................................................... 189

53 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja industri non-pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi...................................................... 191

54 Persentase industri non-pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ....................................................................................... 191

55 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha perdagangan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi...................................................... 193

56 Persentase usaha perdagangan menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ........................................................................................... 193

57 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha jasa lainnya pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ............................................................. 195

58 Persentase usaha jasa lainnya menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ........................................................................................... 196

59 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan aksesibilitas dan lama penempatan ................................................................................................ 197

60 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan jenis permukaan jalan ........... 197

61 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan komoditi tanaman utama dan stadia desa ........................................................................................... 199

62 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan dominasi daerah asal dan stadia desa.................................................................................................. 200

63 Model fitting information stadia desa-desa eks transmigrasi ....................... 202

64 Estimasi parameter model determinan stadia desa eks transmigrasi ............ 203

65 Distribusi sampel keluarga pada desa penelitian, Tahun 2011..................... 207

Page 20: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xviii

66 Persentase kepala keluarga menurut daerah asal pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 219

67 Persentase kepala keluarga menurut status ketransmigrasian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................................... 220

68 Persentase kepala keluarga menurut kelompok umur pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 221

69 Persentase kepala keluarga menurut tingkat pendidikan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 222

70 Persentase kepala keluarga menurut lapangan pekerjaan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................................... 223

71 Persentase kepala keluarga menurut kepemilikan pekerjaan sampingan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................... 224

72 Persentase kepala keluarga menurut kelompok jam kerja pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 224

73 Struktur anggota keluarga pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ................................................................................................ 226

74 Persentase anggota keluarga menurut kegiatan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 226

75 Persentase keluarga menurut status kepemilikan rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 227

76 Persentase keluarga menurut kondisi rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ................................................................... 228

77 Persentase keluarga menurut kepemilikan lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 229

78 Persentase keluarga menurut luas lahan saat ini dibandingkan kondisi awal penempatan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ........................................................................................................... 230

79 Persentase keluarga menurut jenis tanaman lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................................... 231

80 Pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ........................................................................................................... 233

81 Karakteristik pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ..................................................................................... 234

82 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Mekar Sari, Tahun 2011 ................................................................................................ 236

83 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Kelurahan Bandar Jaya, Tahun 2011 ................................................................................................ 240

Page 21: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xix

84 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Bukit Mas, Tahun 2011 ........................................................................................................... 243

85 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rasau, 2011............ 247

86 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Sungkai, Tahun 2011 ........................................................................................................... 250

87 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011 ................................................................................................ 253

88 Persentase perjalanan penduduk menurut lokasi tujuan perjalanan pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................... 255

89 Uji Overall Model Fit untuk model perjalanan bekerja ............................... 260

90 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan bekerja ............................... 260

91 Estimasi parameter model perjalanan bekerja ............................................ 261

92 Uji Overall Model Fit untuk perjalanan belanja .......................................... 264

93 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan belanja ............................... 264

94 Estimasi parameter model untuk perjalanan belanja ................................... 265

Page 22: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xx

Page 23: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia. ...................... 4

2 Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. ....................................................... 32

3 Konsep pembangunan transmigrasi sebelum otonomi daerah. ...................... 66

4 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. ........................ 69

5 Faktor daerah asal dan daerah tujuan serta penghalang antara dalam migrasi. ........................................................................................................ 80

6 Hipotesis stadia-stadia pengembangan wilayah melalui demand side strategi untuk kawasan transmigrasi. ............................................................ 95

7 Kerangka pemikiran penelitian ................................................................... 116

8 Alir rancangan penelitian ........................................................................... 138

9 Rata-rata penempatan transmigrasi dari Pra-Pelita sampai era otonomi daerah di Provinsi Jambi. ........................................................................... 144

10 Sebaran transmigran menurut kabupaten penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009 (persentase KK). ...................................................................... 147

11 Sebaran transmigran menurut daerah asal di Provinsi Jambi tahun 2009 (persentase KK). ........................................................................................ 148

12 Perbandingan indikator pendidikan desa eks transmigrasi dan desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. ................................................ 161

13 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. ......................................... 165

14 Perbandingan indikator aktivitas non-pertanian desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006. ............... 169

15 Lokasi penelitian Desa Mekar Sari. ............................................................ 208

16 Lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya. .................................................. 210

17 Lokasi penelitian Desa Bukit Mas. ............................................................. 212

18 Lokasi penelitian Desa Rasau. .................................................................... 214

19 Lokasi penelitian Desa Sungkai.................................................................. 215

20 Lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo. ....................................................... 217

21 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Mekar Sari, Tahun 2011. ............................................................................ 237

22 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bandar Jaya, Tahun 2011 ........................................................................... 241

Page 24: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xxii

23 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bukit Mas, Tahun 2011. ............................................................................. 244

24 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rasau, Tahun 2011. .................................................................................... 248

25 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Sungkai, Tahun 2011.................................................................................. 251

26 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011. ....................................................................... 254

27 Model Awal hipotesis stadia perkembangan desa. ...................................... 268

28 Model baru stadia perkembangan desa. ...................................................... 270

29 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. ....................... 271

30 Konsep baru pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-spasial. ....... 274

Page 25: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Histogram peubah-peubah dalam penyusunan indikator kinerja desa

transmigrasi ............................................................................................... 295

2 Nilai Z peubah indikator (tahap 1) .............................................................. 299

3 Nilai Z peubah indikator (tahap 2) .............................................................. 304

4 Nilai Z peubah indikator (tahap 3) .............................................................. 309

5 Pengujian multivariate outlier (tahap 1) ..................................................... 315

6 Pengujian multivariate outlier (tahap 2) ..................................................... 318

7 Pengujian MSA (tahap 1). .......................................................................... 321

8 Normalisasi peubah, indeks komposit dan diseminasi ................................ 323

9 Korelasi antarpeubah model determinan stadia desa eks transmigrasi ........ 327

10 Korelasi antarpeubah model perjalanan bekerja .......................................... 328 11 Korelasi antarpeubah model perjalanan belanja .......................................... 329

Page 26: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi
Page 27: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Program transmigrasi sebagai salah satu program kependudukan dan

pengembangan wilayah di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Dimulai

dari zaman pemerintahan Hindia Belanda Tahun 1905 (pada saat itu transmigrasi

dikenal dengan istilah kolonisasi). Pada masa pemerintahan Hindia Belanda

tersebut (1905–1941), sasaran utamanya selain untuk mengurangi kepadatan

penduduk Pulau Jawa, juga untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di daerah-

daerah luar Pulau Jawa. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Jepang (1942–

1945), transmigrasi bertujuan untuk memindahkan penduduk secara paksa dari

Pulau Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia untuk bekerja paksa bagi keperluan

pertahanan Jepang (Keyfitz & Nitisastro 1955, diacu dalam Saleh, 1982).

Setelah kemerdekaan, pada awal orde lama, sesuai Peraturan Pemerintah

Nomor 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi

(perubahannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1959 tentang

Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi) dan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Penyelenggaraan Transmigrasi, tujuan transmigrasi adalah untuk mempertinggi

taraf keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat dan memperkokoh

rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pada Tahun 1965, dikeluarkan

Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi,

yang menyatakan tujuan transmigrasi untuk memperkuat pertahanan dan

keamanan revolusi serta meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama

produksi pangan.

Pada Orde Baru, tujuan transmigrasi semakin berkembang ke tujuan non-

demografis lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tujuan

transmigrasi adalah untuk peningkatan taraf hidup, pembangunan daerah,

keseimbangan penyebaran penduduk, pembangunan yang merata ke seluruh

Indonesia, pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; kesatuan

dan persatuan bangsa serta memperkuat pertahanan dan ketahanan nasional.

Pada era otonomi daerah, transmigrasi masih menjadi salah satu model

pembangunan. Namun penyelenggaraannya dihadapkan tantangan yang terkait

Page 28: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

2

dengan perubahan tata pemerintahan. Penyelenggaraan transmigrasi yang berciri

sentralistik, kini dihadapkan pada tantangan penerapan desentralisasi dan

otonomi. Otonomi daerah selain menyebabkan pergeseran kewenangan

penyelenggaraan transmigrasi, juga mengharuskan pelaksanaan transmigrasi

sepenuhnya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi spesifik daerah.

Dalam mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut, telah dikeluarkan

Undang-Undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, yang diperbaharui

melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam undang-undang

tersebut dinyatakan tujuan transmigrasi adalah: (1) untuk meningkatkan

kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar; (2) meningkatkan pemerataan

pembangunan daerah; dan (3) memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam pelaksanaannya, program transmigrasi telah menunjukkan berbagai

keberhasilan. Program transmigrasi telah menempatkan sebanyak 2.115.309

kepala keluarga. Penelitian Najiyati et al. (2005, 2006) juga memperlihatkan

peningkatan kesejahteraan transmigran dibandingkan daerah asalnya. Dari

penciptaan kesempatan kerja, transmigrasi tidak hanya mampu menciptakan

kesempatan kerja pada sektor pertanian, tetapi sektor-sektor non pertanian lainnya

baik di hulu maupun hilirnya (Puslitbangtrans 2004). Dari sisi pembangunan

daerah, kawasan transmigrasi telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru

yang berperan sebagai pusat produksi pertanian, perkebunan, bahkan

pemerintahan. Najiyati et al. (2006) dari penelitiannya terhadap 1.406 Unit

Permukiman Transmigrasi menemukan bahwa sebanyak 520 unit atau 37%

mampu menjadi sentra produksi pangan sedangkan yang lainnya berkembang

menjadi sentra produksi komoditas lain terutama tanaman perkebunan.

Siswono (2003) mengemukakan program transmigrasi telah ikut menunjang

pembangunan daerah melalui pembangunan perdesaan baru. Dari 3000-an UPT

(Unit Permukiman Transmigrasi), 945 di antaranya telah berkembang menjadi

desa baru. Desa-desa baru tersebut tumbuh dan berkembang menjadi ibukota

kecamatan dan bahkan menjadi ibukota kabupaten/kota. Berdasarkan data Tahun

2010, eks UPT yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat

pemerintahan sebanyak 97 kabupaten (Kemenakertrans 2011). Ini menunjukkan

Page 29: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

3

bahwa pembangunan transmigrasi telah menjadi perintis berdirinya beberapa

kabupaten/kota dan kecamatan di Indonesia.

Di daerah asal, kontribusi pembangunan transmigrasi juga dirasakan.

Selain mengatasi persoalan keterbatasan peluang kerja dan berusaha, program

ini telah mendukung pembangunan beberapa infrastruktur strategis seperti

Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Waduk Mrica d i Jawa Tengah, Waduk

Saguling di Jawa Barat, dan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.

Realitas tersebut menunjukkan, transmigrasi dalam kurun waktu cukup lama

telah menjadi salah satu program “unggulan” dalam membangun kemandirian

bangsa melalui pengembangan potensi sumber daya wilayah terintegrasi dengan

penataan persebaran penduduk. Transmigrasi juga dapat menjadi contoh khas dan

strategi pengembangan wilayah “original” Indonesia dan menjadi sumber

pembelajaran berharga dalam pengembangan potensi wilayah.

Namun demikian, pada era otonomi telah terjadi penurunan penempatan

transmigran. Pada akhir Orde baru (Pelita VI) rata-rata penempatan transmigran

sebanyak 350.064 KK per tahun, sedangkan pada era otonomi, Tahun 2000– 2004

hanya berhasil ditempatkan sebanyak 87.571 KK per tahun. Penurunan ini

berlanjut pada Tahun 2005–2009 menjadi 41.853 KK per tahun dan pada Tahun

2010-2011 menjadi 7.310 KK per tahun (Tabel 1 dan Gambar 1).

Tabel 1 Perkembangan penempatan transmigran di Indonesia

Waktu penempatan UPT/LPT

Jumlah Rata-rata per tahun

KK Jiwa KK Jiwa Era Kolonisasi (1905 - 1942) 62 60155 232802 1583 6126 Pra Pelita (1950 – 1968) 176 98631 394524 5191 20764 Pelita I (1969/1970-1973/1974) 139 40906 163624 8181 32725 Pelita II (1974/1975-1978/1979) 139 82959 366429 16592 73286 Pelita III (1979/1980-1983/1984) 767 337761 1346890 67552 269378 Pelita IV (1984/1985-1988/1989) 2002 750150 2256255 150030 451251 Pelita V (1989/1990-1993/1994) 750 265259 1175072 53052 235014 Pelita VI (1994/1995-1998/1999) 1109 350064 1400256 70013 280051 Era otonomi daerah

2000 - 2004 246 87571 354272 17514 70854 2005 - 2009 420 41853 161047 8371 32209 2010 - 2011 75 14620 54215 7310 27108

Sumber: Kemenakertrans (2012)

Page 30: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

4

Gambar 1 Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia. Sumber: Kemenakertrans (2012).

Selain akibat mulai terbatasnya ketersediaan lahan, lemahnya kelembagaan

penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta rendahnya inisiatif

daerah dalam membangun transmigrasi dengan alasan biaya (Anharudin et al.

2008), penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan adanya berbagai stigma

negatif yang mengiringi keberhasilan program ini. Di antara stigma negatif

tersebut menurut Manuwiyoto (2008) adalah transmigrasi dicap sebagai program

sentralistik, pemindahan kemiskinan, deforestasi, jawanisasi, dan pelanggaran hak

asasi manusia (HAM). Fearnside (1997) mengemukakan bahwa transmigrasi telah

menjadi penyebab utama dari berkurangnya hutan-hutan di Indonesia dan

aktivitas-aktivitas penyelenggaraan transmigrasi juga cenderung berdampak pada

pelanggaran hak asasi manusia. Sehubungan dengan tujuan redistribusi penduduk,

Wijst (1985) melalui kajiannya juga mengemukakan transmigrasi selama ini

hampir tidak mempengaruhi distribusi penduduk Indonesia dan hanya di daerah

penerima tertentu efek transmigrasi cukup signifikan. Selain itu, dia juga

meragukan peran transmigrasi yang berorientasi pertanian dapat berdampak pada

proses pembangunan daerah.

Terkait dengan stigma negatif ini, Siswono (2003) juga mengemukakan

beberapa aspek yang menyebabkan terpuruknya citra program transmigrasi yang

menyebabkan penolakan transmigrasi d i beberapa daerah. Di antaranya adalah:

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

Kolonisasi1905-1942

Pra Pelita1950-1968

Pelita I69/70-73/74

Pelita II74/75-78/79

Pelita III79/80-83/84

Pelita IV84/85-88/89

Pelita V89/90-93/94

Pelita VI94/95-98/99

2000-2004 2005-2009 2010-2011

Periode Penempatan

KK

ata

u jiw

a (0

00 p

er ta

hun)

KK Jiwa

Page 31: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

5

(a) terlalu berpihaknya pemerintah kepada transmigran dalam pemberdayaan

dan pembinaan masyarakat d i unit permukiman transmigrasi (UPT) dan kurang

memperhatikan penduduk sekitar. Perbedaan ini, mengakibatkan perkembangan

UPT relatif lebih cepat ketimbang desa-desa sekitarnya sehingga menimbulkan

kecemburuan yang berdampak sangat rentan terhadap konflik; (b) Sistem

pemberdayaan dan pembinaan masyarakat transmigrasi dilaksanakan dengan

pendekatan sentralistik, mengakibatkan budaya lokal nyaris tidak berkembang,

sementara budaya pendatang lebih mendominasi; (c) Proses perencanaan

kawasan permukiman transmigrasi kurang dikomunikasikan dengan masyarakat

sekitar. Akibatnya, masyarakat sekitar permukiman transmigrasi tidak merasa

terlibat, dan karenanya tidak ikut bertanggung jawab atas keberadaannya; (d)

Adanya pembangunan permukiman transmigrasi yang eksklusif sehingga

dirasakan kurang adanya keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan

sekitarnya; dan (e) Adanya permukiman transmigrasi yang tidak layak huni,

layak usaha, dan layak berkembang dan justru menjadi desa tertinggal.

Anharudin et al. (2006) juga mengemukakan, meskipun program transmigrasi

telah berhasil membangun desa-desa baru, namun sebagian di antaranya belum

sepenuhnya mampu mencapai tingkat perkembangan secara optimal, yang mampu

menopang pengembangan wilayah, baik wilayah itu sendiri atau wilayah lain

yang sudah ada. Bahkan menurut Haryati et al. (2006) sebagian dari permukiman

transmigrasi tersebut direlokasi karena kondisinya dinilai tidak layak berkembang.

Penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan tidak berjalannya struktur

kawasan transmigrasi yang berpola hierarkis. Pembangunan transmigrasi yang

dilaksanakan sebelum otonomi yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1972, sebenarnya sudah dirancang atas dasar struktur kawasan yang berciri

hierarkis, dari satuan terkecil yaitu Satuan Permukiman (SP) hingga terbesar yaitu

Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Dalam struktur perwilayahan ini,

pengembangan transmigrasi mengikuti mekanisme pasar dan berjenjang yaitu

pola aliran produksi yang dihasilkan adalah dari SP ke pusat SKP (Satuan

Kawasan Pengembangan), dan pusat-pusat SKP menuju pusat WPP (Wilayah

Pengembangan Parsial) dan selanjutnya dikumpulkan di pusat SWP yang

merupakan pintu gerbang pemasaran ke arah luar wilayah. Selanjutnya, dalam

Page 32: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

6

kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat transmigran, pertama kali

masuk ke wilayah adalah melalui pintu gerbang di pusat SWP, kemudian

didistribusikan ke pusat-pusat yang lebih rendah (SKP) sampai di pusat-pusat SP.

Melalui pola ini, wilayah-wilayah sekitar permukiman transmigrasi akan

berkembang karena adanya keterkaitan yang saling menguntungkan antara

kawasan permukiman dengan wilayah sekitar tersebut.

Namun demikian, menurut Yuniarti et al. (2008), dalam prakteknya hal

tersebut tidak selalu berlangsung sesuai dengan konsep yang direncanakan. Ini

disebabkan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi yang diskenariokan

sebagai pusat pelayanan proses produksi (penyedia input, jasa keuangan,

pengolahan hasil dan pemasaran) tidak dapat berperan sebagaimana yang

diharapkan. Faktor penyebabnya adalah tidak tersedianya infrastruktur dan

kelembagaan yang memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan

pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi.

Setelah otonomi daerah, pada dasarnya sudah ada pergeseran paradigma

transmigrasi yang ekslusif ke paradigma inklusif, atau secara konseptual

melibatkan masyarakat desa-desa sekitar sebagai bagian dari kawasan

transmigrasi. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 15

Tahun 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2009, lingkup geografis kawasan transmigrasi terdiri atas

permukiman baru transmigrasi, desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa

setempat. Namun menurut Najiyati (2008) secara praktis masih ada keterpisahan

antara masyarakat transmigrasi yang berada di dalam unit permukiman yang

dibangun secara terkonsentrasi, dengan masyarakat sekitar atau setempat yang

berada di luar unit. Keterpisahan bukan saja secara konseptual, tetapi juga

terwujud dalam bentuk-bentuk perlakuan, program, dan input (pemberian), yang

bias ke warga yang di dalam unit permukiman transmigrasi. Sementara itu,

penduduk desa sekitar masih terabaikan. Penelitian yang dilakukan Najiyati

(2008) di tujuh provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Gorontalo, Sulawesi

Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat

menemukan bahwa masih banyak masyarakat miskin dan menganggur di desa

Page 33: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

7

sekitar permukiman transmigrasi yang belum tersentuh oleh program

transmigrasi.

Tidak sejalannya dan adanya keterpisahan pelaksanaan pembangunan

wilayah transmigrasi dengan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi

pada dasarnya disebabkan oleh lemahnya koordinasi antarlembaga terkait dalam

pelaksanaan ketransmigrasian dengan pengembangan wilayah di daerah.

Lemahnya koordinasi ini terlihat baik pada tingkat lembaga di pusat maupun

daerah dan juga dalam hal perencanaan, pengalokasian anggaran maupun

pelaksanaan pembangunannya.

Fakta-fakta ini merupakan faktor utama yang menjadi dasar menurunnya

kinerja transmigrasi sejak era otonomi daerah. Sebagian daerah tidak lagi

menempatkan program transmigrasi sebagai kebijakan prioritas disebabkan

program transmigrasi hanya berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan

transmigran dan cenderung tumbuh sebagai kawasan enclave, dengan kontribusi

yang rendah terhadap pengembangan wilayah sekitarnya. Penelitian Anharudin et

al. (2008) pada tujuh provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan

Timur, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Maluku Utara) menemukan

bahwa tiga provinsi sama sekali tidak mencantumkan klausul transmigrasi dalam

Rencana Strategis (Renstra) daerahnya. Selain itu, meskipun semua provinsi

memiliki dinas yang mengurusi transmigrasi, namun demikian hanya tiga dinas

yang memiliki Renstra mengenai transmigrasi. Hal ini menunjukkan transmigrasi

masih sangat tergantung ke program pusat, yang diberikan kepada daerah, yang

tercermin dalam seberapa anggaran yang dialokasikan kepada daerah tersebut.

Salah satu daerah penempatan transmigrasi di Indonesia adalah Provinsi

Jambi. Penempatan transmigran di Provinsi Jambi telah dimulai dari Tahun 1940

dan terus berlanjut sampai saat ini. Berdasarkan data Tahun 2011, transmigran

yang telah ditempatkan mencapai 100.260 KK (Kemenakertrans 2012). Jumlah

tersebut telah menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah utama

penempatan transmigran.

Meskipun demikian, fenomena penurunan kinerja transmigrasi setelah

otonomi daerah ini juga terjadi di Provinsi Jambi. Pada orde baru (Pelita I – VI),

rata-rata penempatan transmigrasi mencapai 3568 KK per tahunnya, menurun

Page 34: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

8

pada era otonomi daerah (2000 – 2011), menjadi rata-rata penempatan hanya 682

KK per tahunnya (Kemenakertrans 2012). Penurunan ini juga tidak terlepas dari

berbagai permasalahan penyelenggaraan transmigrasi secara nasional

sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya.

Pembangunan transmigrasi masih memiliki potensi dan peluang untuk

mendorong pengembangan wilayah di Provinsi Jambi. Kepadatan penduduknya

masih relatif rendah. Data tahun 2010 menunjukkan sebesar 64 jiwa per km2,

yaitu kurang dari separuh tingkat kepadatan penduduk Indonesia secara

keseluruhan yang sebesar 126 jiwa/km2 (menempati urutan ke 12 kepadatan

penduduk terendah dari 33 provinsi di Indonesia) (BPS 2010). Meskipun secara

umum tidak terdapat lahan dalam hamparan yang relatif luas untuk

mengembangkan permukiman transmigrasi seperti pola periode Orde Lama atau

awal/pertengahan periode Orde Baru, tetapi masih memungkinkan pembangunan

transmigrasi yang dilaksanakan secara tersebar pada lahan-lahan yang belum

termanfaatkan atau pada wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang

masih sangat rendah.

Dari sisi peluang usaha, Provinsi Jambi juga memiliki potensi yang besar

untuk dikembangkan terutama di bidang pertanian khususnya tanaman bahan

makanan dan perkebunan. Hal ini terlihat dari fakta kontribusi sektor pertanian

yang mencapai 30,46 persen dari total PDRB, dan kontribusi dari subsektor

tanaman bahan makanan serta perkebunan mencapai 83,03 persen dari total

PDRB sektor pertanian.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian terkait dengan

pengembangan transmigrasi di daerah ini. Hasil pembelajaran (lesson learned)

dari pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai referensi pembangunan

perdesaan secara umum dan mengembangkan kebijakan penyelenggaraan

transmigrasi dalam kerangka percepatan pembangunan daerah melalui

pengembangan desa-desa.

1.2 Perumusan Masalah Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, terdapat berbagai faktor yang

menjadi penyebab penurunan penempatan transmigrasi di era otonomi. Namun

demikian penelitian ini lebih menekankan permasalahan adanya sebagian

Page 35: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

9

permukiman transmigrasi yang tidak berkembang secara baik sehingga menjadi

beban pembangunan di daerah dan di sisi lain terdapat permukiman transmigrasi

yang berkembang ternyata menjadi daerah-daerah enclave yang kurang

berdampak pada pengembangan wilayah sekitarnya.

Dalam konteks transmigrasi sebagai program yang bertujuan untuk

meningkatkan pemerataan pembangunan daerah dan memperkuat persatuan dan

kesatuan bangsa, pemukiman transmigrasi selain diharapkan berkembang menjadi

pusat-pusat pertumbuhan, juga diharapkan dapat memberikan dampak pada

pengembangan wilayah di sekitarnya. Jika permukiman transmigrasi yang telah

berkembang tidak memiliki keterkaitan dengan perkembangan wilayah sekitarnya,

maka akan mengakibatkan terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan dalam

masyarakat. Ketidakmerataan ini dapat dengan mudah menimbulkan rasa

ketidakpuasan antar wilayah serta membuka peluang munculnya ketidakstabilan

politik daerah. Jika terjadi ketidakstabilan politik akan sangat merugikan daerah

dalam jangka menengah dan panjang.

Selain itu, berbagai fenomena empirik menunjukkan ketidakmerataan

pembangunan yang berkepanjangan akhirnya akan menimbulkan efek yang

kontra-produktif terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan demi peningkatan

pertumbuhan itu sendiri. Di negara-negara maju dengan tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi, keberlanjutan pertumbuhan dapat terjaga oleh tingkat

kemajuan yang merata. Secara sistemik, tingkat kemajuan dari suatu sistem tidak

lepas dari keberadaan komponen yang paling lemah. Ini berarti tingkat kemajuan

daerah juga akan sangat ditentukan oleh kondisi wilayah tertinggal yang ada.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pengetahuan mengenai perkembangan

pemukiman transmigrasi yang telah terbangun saat ini (setelah masa pembinaan

dan menjadi desa definitif). Selama ini, kajian-kajian perkembangan pemukiman

transmigrasi telah banyak dilakukan, namun demikian hanya dilakukan terbatas

pada pemukiman masa pembinaan (antara 5 – 6 tahun). Misalnya kajian yang

dilakukan oleh Pusdatin Transmigrasi dan Institut Pertanian Bogor pada tahun

1998/1999 pada 597 UPT sampel di Indonesia dan kajian oleh Wibowo et al.

(2000) pada empat provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Page 36: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

10

Hasil-hasil kajian tersebut hanya terbatas menggambarkan keragaan

pembangunan transmigrasi pada masa pembinaan dan tidak terdapat pembelajaran

apa yang terjadi setelah proses pembinaan. Hal ini berimplikasi pada kesulitan

dalam menilai keberhasilan pembangunan transmigrasi dalam konteks

keterkaitannya dengan pengembangan wilayah sekitarnya dan kontribusinya

terhadap pembangunan daerah. Selain itu, juga terdapat kehilangan informasi

yang berharga berupa pengalaman membangun desa-desa transmigrasi yang dapat

diterapkan dalam pembangunan desa-desa secara umum di Indonesia.

Pemahaman terhadap perkembangan pemukiman transmigrasi khususnya

setelah masa pembinaan (desa-desa eks transmigrasi), faktor-faktor yang

mempengaruhinya, serta keterkaitan desa-desa eks transmigrasi tersebut terhadap

pengembangan wilayah sekitarnya tentunya akan dapat menjadi dasar penting

dalam merancang pengembangan program transmigrasi sehingga dapat menjadi

program yang berkontribusi positif pengembangan wilayah perdesaan dan

pembangunan daerah di era otonomi. Pemahaman ini juga tentu dapat menjadi

pembelajaran yang berharga yang secara umum dapat diterapkan dalam

pembangunan perdesaan di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam

bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perkembangan desa-desa eks transmigrasi (pemukiman

transmigrasi setelah masa pembinaan) di Provinsi Jambi ?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perkembangan desa-desa eks

transmigrasi di Provinsi Jambi ?

3. Bagaimanakah kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks

pemukiman transmigrasi di Provinsi Jambi ?

4. Bagaimanakah keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

keterkaitan antara desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah-wilayah

sekitarnya di Provinsi Jambi?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan penyelenggaraan

transmigrasi dalam rangka pengembangan wilayah perdesaan serta pembangunan

daerah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

Page 37: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

11

1. Mengembangkan pengukuran dan menganalisis stadia perkembangan

desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desa-

desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

3. Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks

transmigrasi di Provinsi Jambi

4. Menganalisis keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya di

Propinsi Jambi

1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:

1. Pembelajaran dari perkembangan permukiman transmigrasi ini dapat

dijadikan dasar untuk pembangunan perdesaan secara umum dan

pengembangan kebijakan penyelenggaraan transmigrasi yang sesuai

dengan tuntutan era otonomi daerah dan kebutuhan pengembangan

wilayah perdesaan dan pembangunan daerah

2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya terutama yang terkait

dengan pengembangan ketransmigrasian sebagai program

pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah.

1.5 Kebaruan Penelitian Terdapat tiga aspek kebaruan dalam penelitian ini. Pertama, dari sisi objek

analisis yang menggunakan desa-desa eks transmigrasi. Selama ini, kajian-kajian

perkembangan permukiman transmigrasi umumnya hanya dilakukan terbatas pada

permukiman transmigrasi pada masa pembinaan, sehingga belum terdapat

informasi terstruktur dan mekanisme yang menggambarkan perkembangan

pemukiman transmigrasi pasca pembinaan (desa-desa eks transmigrasi). Hal ini

berimplikasi pada kesulitan menilai keberhasilan pembangunan transmigrasi

sebagai program pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah dan

secara umum hilangnya informasi yang berguna yang dapat dimanfaatkan dalam

pembangunan perdesaan di Indonesia. Kedua, dari sisi konsep yang digunakan

dalam pengukuran perkembangan desa. Konsep-konsep perkembangan desa yang

Page 38: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

12

pernah digunakan selama ini umumnya hanya melihat pada aspek kesejahteraan

baik kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya tanpa melihat perubahan-

perubahan aktivitas ekonomi yang terjadi bersamaan dengan perkembangan desa.

Hal ini disebabkan cara pandang yang melihat desa hanya sebagai tempat

pertanian. Dalam penelitian ini perkembangan desa tidak hanya dilihat dari

peningkatan kesejahteraan semata, tetapi juga melihat perkembangan desa yang

bergerak dari tahapan desa pertanian menjadi daerah perkotaan (urbanisasi atau

industrialisasi perkotaan). Oleh karenanya selain melihat perkembangan

kesejahteraan juga melihat perkembangan berbagai aktivitas pertanian dan non-

pertanian yang ada di desa. Ketiga, penelitian ini mencoba mengungkap aspek

interaksi (keterkaitan) desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya

dalam rangka memberikan konsep pengembangan keterkaitan desa transmigrasi

dengan wilayah sekitarnya.

Melalui ketiga aspek tersebut, diharapkan dapat direkomendasikan pola baru

dalam pembangunan transmigrasi ke depan sebagai program pembangunan

perdesaan yang sesuai dengan era otonomi daerah yaitu penyelenggaraan

transmigrasi yang tidak saja mampu secara secara efektif dan efisien mendorong

perkembangan pemukiman transmigrasi itu sendiri, tetapi juga memiliki

keterkaitan dengan wilayah sekitarnya sehingga mampu mendorong

perkembangan wilayah (desa-desa) sekitarnya serta perkembangan ekonomi

daerah.

Page 39: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Wilayah

2.1.1 Pengertian dan Klasifikasi Wilayah Sampai saat ini belum terdapat kesepakatan di antara para pakar ekonomi,

pembangunan, geografi maupun bidang lainnya mengenai terminologi wilayah

(region) (Alkadri 2001). Keragaman dalam mendefinisikan konsep “wilayah”

terjadi karena perbedaan dalam permasalahan-permasalahan wilayah ataupun

tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi.

Sebagai suatu sistem, Hilhorst (1971) mengidentifikasikan wilayah sebagai

subsistem dari suatu sistem yang lebih besar. Dalam konteks geografi, secara

ringkas Blair (1991) mendefinisikan wilayah sebagai bagian dari suatu area.

Selanjutnya, Nugroho dan Dahuri (2004) mendefinisikan wilayah sebagai suatu

area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media lokasi

berinteraksi. Sedangkan, Budiharsono (2001) mendefinisikan wilayah sebagai

suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya

tergantung secara internal dalam dimensi ruang dan merupakan wadah bagi

kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan

ekonomi yang tidak sama. Terminologi wilayah sangat longgar, dan batasannya

sangat tergantung pada tujuan analisis. Batasan suatu wilayah bisa hanya meliputi

satu desa, suatu kecamatan, suatu kabupaten atau wilayah ekonomi yang melewati

batas negara.

Selanjutnya, Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai unit

geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen di

dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya.

Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat

dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam,

sumber daya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan.

Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan

sumber daya lainnya dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Dalam konteks keterkaitan secara fungsional ini, Saefulhakim et al. (2002)

mengemukakan bahwa wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah”

yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik

Page 40: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

14

secara geometris maupun similarity”. Oleh karena itu, pewilayahan (penyusunan

wilayah) adalah penggambaran (delineation) unit geografis berdasarkan

kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional antara bagian yang

satu dengan bagian yang lainnya.

Di Indonesia, perbedaan mendefinisikan wilayah terlihat dalam penggunaan

terminologi kawasan dan daerah. Pengertian kawasan umumnya mempunyai

batasan dan sistem berdasarkan aspek fungsional, sedangkan pengertian daerah

umumnya mempunyai batasan atau sistem berdasarkan aspek administratif. Aspek

fungsional dan administratif dari wilayah ini juga dijelaskan dalam Undang-

Undanga Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mendefinisikan

wilayah sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur

yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

administratif dan atau aspek fungsional.

Selanjutnya, sebagaimana halnya perbedaan dalam mendefinisikan

wilayah, juga terdapat berbagai perbedaan dalam mengklasifikasikan wilayah.

Johnston (1976), diacu dalam Rustiadi et al. (2009) membagi wilayah atas (1)

wilayah formal, yaitu tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan

karakteristik; dan (2) wilayah fungsional atau nodal, yang merupakan konsep

wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antarkomponen atau

lokasi/tempat. Dalam konteks yang sama, Harmantyo (2007) mengemukakan

bahwa wilayah formal sebagai wilayah obyektif yaitu wilayah sebagai tujuan, dan

wilayah fungsional sebagai wilayah subjektif yaitu wilayah sebagai sarana untuk

mencapai tujuan.

Haruo (2000) mengemukakan terdapat dua tipe dasar dalam

pendeskripsian wilayah. Tipe pertama, biasanya digunakan oleh ahli geografi dan

perencana wilayah, membagi wilayah secara saintifik melalui penggunaan

sekumpulan kriteria yang terukur, misalnya atas dasar kandungan sumber daya

mineral, aktivitas pertanian yang utama, kecenderungan kejadian bencana alam,

dan lainnya. Tipe kedua, pembagian wilayah berdasarkan unit administrasi untuk

tujuan perencanaan pembangunan.

Hagget et al. (1977), diacu dalam Rustiadi et al. (2009)

mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah

Page 41: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

15

homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan

(3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah

homogen didefinisikan berdasarkan basis kesamaan internal (Blair 1991), yaitu

wilayah yang memiliki karakteristik serupa atau seragam. Keseragaman ciri

tersebut dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti sumber daya alam (iklim dan

sumber mineral), sosial (agama, suku, dan budaya), dan ekonomi (mata

pencaharian). Wilayah heterogen (nodal region), yaitu wilayah yang saling

berhubungan secara fungsional disebabkan faktor heterogenitas (perbedaan

komponen). Tiap komponen mempunyai peran tersendiri terhadap pembangunan

daerah. Hal ini tercermin dalam perilaku para pelaku ekonomi yang saling

tergantung terhadap yang lain.

Wilayah nodal adalah satu tipe penting dari wilayah fungsional. Wilayah

nodal terutama didasarkan atas suatu sistem hierarkis dari hubungan

perdagangan. Hubungan tersebut umumnya berlangsung antara wilayah pusat

(core) dan wilayah pinggiran (periphery atau hinterland). Wilayah perencanaan

(planning region), yaitu wilayah yang berada dalam kesatuan kebijakan atau

administrasi. Wilayah ini selalu dikaitkan dengan pemerintah dalam rangka

pengelolaan organisasi kepemerintahan dan umum digunakan untuk menyatakan

kesatuan administratif seperti desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan propinsi.

Wilayah perencanaan atau wilayah administratif dibentuk untuk tujuan manajerial

atau organisasional. Johnston (1976) diacu dalam Rustiadi (2009) membedakan

wilayah atas wilayah formal dan fungsional. Wilayah formal adalah tempat-

tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik, sedangkan wilayah

fungsional adalah konsep wilayah yang menekankan kesamaan keterkaitan antar

komponen atau lokasi/tempat.

Menurut Nugroho dan Dahuri (2004) pembedaan ketiga kategori wilayah

tersebut tidak bersifat mutlak (mutually exclusive). Wilayah administrasi bisa

saling tumpang tindih dengan wilayah fungsional. Selanjutnya, jika pengertian

wilayah formal dan wilayah fungsional dihubungkan dengan perencanaan, dapat

dikenal dua macam pendekatan dalam perencanaan wilayah, yaitu: (1) pendekatan

teritorial, yaitu suatu perencanaan dengan memperhitungkan mobilitas terpadu

dari semua sumber daya manusia dan sumber daya alam dari suatu wilayah

Page 42: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

16

tertentu yang dicirikan oleh perkembangan sejarahnya. Perencanaan ini disebut

perencanaan wilayah teritorial atau perencanaan wilayah formal; (2) pendekatan

fungsional, yaitu suatu perencanaan wilayah yang memperhitungkan lokasi

berbagai kegiatan ekonomi dan pengaturan secara ruang dari sistem perkotaan

mengenai berbagai pusat dan jaringan. Perencanaan semacam ini disebut

perencanaan wilayah fungsional.

Badan Kordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional (BKTRN) melakukan

pembabakan wilayah-wilayah di Indonesia berdasarkan fungsi-fungsi tertentu

yang disebut “area” atau kawasan di antaranya

Kawasan Andalan, seperti Kawasan Andalan Tolitoli (Sulawesi Tengah),

Kawasan Andalan Tatapan Buma (Kalimantan Timur), Kawasan Andalan

Pasaman (Sumatera Barat), Kapet Biak (Papua), dan Kapet Natuna (Riau).

Kawasan Cepat Tumbuh, seperti Kawasan Industri Cilegon (Banten),

Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, bekasi, Depok (Jabodetabek),

Kawasan Pantai Utara di sepanjang wilayah DKI Jakarta, Banten dan Jawa

Barat, Kawasan Denpasar dan sekitarnya, Kawasan gresik, bangkalan,

Kertosono, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan (Gerbangkertosusila).

Kawasan Potensial tumbuh, serperti kawasan industri Lhouksemawe,

Kawasan Medan, Binjai, Deli Serdang dan sekitarnya termasuk kerangka

segitiga pertumbuhan Indonesia, Malaysia, Thailand (IMT-GT), Kawasan

Batam, Sabang, Bintan, Sumatera Barat, dan sekitarnya yang termasuk pada

kerangka segitiga pertumbuhan. Indonesia, Malaysia, Singapura (IMS-GT),

kawasan Pulau Natuna, Kawasan Nunukan, Kawasan Bitung, dan Kawasan

Timika.

Kawasan Kritis Lingkungan, seperti Kerinci Seblat, Kawasan danau Toba dan

sekitarnya, Kawasan Taman Nasional Berbak, Kawasan Bogor, Puncak,

Cianjur (Bopuncur), Kawasan Riam Kiwa, Kawasan Timika dan kawasan

kritis lingkungan lainnya.

Kawasan Perbatasan, seperti Kalimantan-Serawak, Papua-Papua Nugini, dan

Sangihe Talaud-Filipina.

Kawasan sangat Tertinggal, seperti Pulau Weh, Pulau Aceh, dan pulau-pulau

di pantai barat Sumatera.

Page 43: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

17

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

mengemukakan pengertian kawasan adalah wilayah yang mempunyai fungsi

utama lindung dan budi daya. Dalam UU tersebut kawasan dibagi sebagai

berikut:

Kawasan Lindung: wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi

kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber

daya buatan.

Kawasan budidaya: wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk

dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya

manusia dan sumber daya buatan.

Kawasan perdesaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,

termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan

sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan

sosial dan kegiatan ekonomi.

Kawasan agropolitan: kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan

pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan

sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan

fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem

agrobisnis.

Kawasan perkotaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan

pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman

perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan

sosial dan kegiatan ekonomi.

Kawasan metropolitan: kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan

perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan

perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang

dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi

dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000

jiwa.

Kawasan megapolitan: kawasan yang terbentuk dari dua atau lebih kawasan

metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah

sistem.

Page 44: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

18

Kawasan strategis nasional: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan

karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap

kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial,

budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai

warisan dunia.

Kawasan strategis provinsi: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan

karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap

ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

Kawasan strategis kabupaten/kota: wilayah yang penataan ruangnya

diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup

kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.

Dari berbagai perbedaan konsep pembagian wilayah tersebut, Rustiadi et al.

(2009) kemudian mengembangkan pembagian konsep wilayah atas enam jenis.

Adapun konsep enam jenis wilayah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)

Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit

geografis dengan batas-batas spesifik di mana komponen-komponen dari wilayah

tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; (2) Wilayah

homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-

faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor

yang tidak dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen

sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya alam dan permasalahan spesifik

yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat

dalam penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya

dukung utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai

dengan permasalahan masing-masing wilayah; (3) Wilayah nodal, menekankan

perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan

fungsinya. Konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang

mempunyai inti dan plasma. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman,

sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland); (4) Wilayah sebagai

sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah

memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan; (5)

Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan

Page 45: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

19

terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non

alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral; (6) Wilayah administratif-

politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu

kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem

kelembagaan dengan otonomi tertentu.

2.1.2 Konsep Pengembangan Wilayah Pembangunan adalah upaya untuk meningkatkan kesempatan warga negara

agar dapat melakukan aktivitas sosial ekonomi dan kerokhanian, sehingga mereka

mencapai tingkat yang “wajar” menurut nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat (Nasoetion dan Tadjuddin 1985). Pengembangan adalah memajukan

atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Kedua istilah ini

sering digunakan untuk maksud yang sama.

Pembangunan dan pengembangan itu dapat berupa fisik dan non-fisik.

Pembangunan dan pengembangan tersebut dapat mempunyai skala nasional,

regional atau lokal. Pembangunan/pengembangan nasional meliputi seluruh

negara dengan tekanan perekonomian. Pembangunan/pengembangan lokal

meliputi kawasan kecil dengan tekanan pada keadaan fisik. Pembangunan atau

pengembangan regional meliputi suatu wilayah dengan tekanan utama pada

perekonomian dan tekanan kedua pada keadaan fisik (Jayadinata 1986).

Pembangunan wilayah (regional) pada dasarnya adalah pembangunan nasional di

suatu region yang disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial dan ekonomi dari

region tersebut dengan tetap berpedoman pada peraturan perundangan yang

berlaku.

Pengembangan wilayah (regional development) memiliki tujuan utama

untuk mengurangi ketidakseimbangan (Haruo 2000). Riyadi (2002) secara

terperinci mengemukakan bahwa pengembangan wilayah (regional development)

merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi

kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu

wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial

ekonomi, budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan

wilayah lainnya.

Page 46: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

20

Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari

semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan memberikan

kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah

adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya

dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor

serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah

(Anwar 2005). Alkadri et al. (2001) menyebutkan bahwa pengembangan wilayah

merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumber daya alam, manusia dan

teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri.

Hadjisarosa (1982) juga mengemukakan bahwa secara teoritis pertumbuhan

wilayah dimungkinkan apabila terjadi pertumbuhan modal yang bertumpu pada

pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya modal. Selanjutnya

pengembangan kedua sumber daya tersebut akan menimbulkan arus barang

sebagai salah satu gejala pertumbuhan ekonomi.

Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan.

Dari sisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan

kesejahteraan kualitas hidup masyarakat. Di sisi lain secara ekologis,

pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan

sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo 1999).

Perencanaan pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah). Pada pendekatan sektoral

dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah

tersebut, sedangkan pada pendekatan regional melihat pemanfaatan ruang serta

interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah (Tarigan 2008). Lebih jauh, Deni

dan Djumantri (2002) mengemukakan bahwa pendekatan wilayah sebagai basis

perencanaan pengembangan wilayah harus diorientasikan kepada kemampuan

bertindak lokal dalam kerangka berpikir global/makro, memperhitungkan

kelayakan masa kini dalam pertimbangan masa depan, lebih fleksibel/dinamis

dalam kerangka yang pasti, kemampuan memfokuskan pada masyarakat setempat

dengan memanfaatkan keterlibatan masyarakat luas (bisnis, akademis, dan

investor). Pembangunan dengan pendekatan wilayah hendaknya berwawasan :

Page 47: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

21

local based flexible (conditional), transparency (politically accepted), probisnis

(layak ekonomi), long term (berkesinambungan), dan holistik.

Menurut Hoover dan Giarratani (1985), diacu dalam Nugroho dan Dahuri

(2004), terdapat tiga pilar penting perencanaan pembangunan wilayah yang

berkaitan dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi.

Pertama, keunggulan komperatif (comparative advantage). Pilar ini berhubungan

dengan keadaan sumber daya yang spesifik dan khas, yang secara fisik relatif sulit

atau memiliki hambatan untuk digerakkan antarwilayah, sehingga wilayah

tersebut memiliki keunggulan komparatif. Karakter tersebut umumnya

berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain

pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan dan kelompok usaha sektor primer

lain.

Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), dengan adanya pemahaman tentang

kentungan komparatif (comparative advantage), maka pengembangan suatu

wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan yang

secara kuat dapat mendorong pertumbuhan wilayah tersebut. Kedua, aglomerasi

(imperfect divisibility) sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. Hal ini

terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam

bahan baku dan distribusi produk. Ketiga, biaya transport (imperfect mobility of

good and service). Pilar ini terkait dengan jarak dan lokasi. Ketiga pilar tersebut

selanjutnya akan berimplikasi pada pengambilan keputusan terhadap lokasi

kegiatan.

Meskipun pendekatan sektoral dan regional tersebut berbeda, tetapi tujuan

akhirnya adalah sama, sehingga dalam prakteknya keduanya harus saling

melengkapi. Haruo (2000) mengemukakan bahwa keefektifan pengelolaan

pengembangan wilayah tergantung pada seberapa baik berbagai aktivitas sektoral

tersebut dikoordinasikan pada suatu wilayah. Selanjutnya Haruo mengemukakan

bahwa koordinasi yang dibutuhkan dalam pengembangan wilayah secara

konseptual dapat dibagi atas empat jenis yaitu: (1) antardepartemen sektoral di

tingkat pemerintah pusat; (2) antardepartemen sektoral dan lembaga kordinasi di

tingkat pemerintah daerah dan pusat; (3) antaralembaga koordinasi atau

Page 48: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

22

departemen dari berbagai tingkat administratif; dan (4) dalam suatu departemen

sektoral itu sendiri.

Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut

mendorong lahirnya berbagai konsep pengembangan wilayah. Berbagai konsep

pengembangan wilayah yang pernah diterapkan adalah (Bappenas 2003):

1. Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumber daya, yaitu: (1)

pengembangan wilayah berbasis sumber daya; (2) pengembangan wilayah

berbasis komoditas unggulan; (3) pengembangan wilayah berbasis efisiensi;

dan (4) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan.

2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang, yang membagi

wilayah ke dalam: (1) pusat pertumbuhan; (2) integrasi fungsional; dan (3)

desentralisasi. Alkadri (2001) mengemukakan bahwa konsep pusat

pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-

besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah

mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat

pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect).

Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan

andalan dalam RTRWN. Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya

integrasi yang diciptakan secara sengaja di antara berbagai pusat pertumbuhan

karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota

atau wilayah mempunyai hierarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota

atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk

mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumber daya

manusia.

3. Konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini menekankan kerja sama

antarsektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan

kemiskinan di daerah-daerah tertinggal.

4. Konsep pengembangan wilayah berdasarkan cluster. Konsep ini terfokus pada

keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi

sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya. Cluster

yang berhasil adalah cluster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan

keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal. Rosenfeld (2002)

Page 49: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

23

mengidentifikasi karakteristik cluster wilayah yang berhasil, yaitu adanya

spesialisasi, jaringan lokal, akses yang baik pada permodalan, institusi

penelitian dan pengembangan dan serta pendidikan, mempunyai tenaga kerja

yang berkualitas, melakukan kerja sama yang baik antara perusahaan dan

lembaga lainnya, mengikuti perkembangan teknologi, dan adanya tingkat

inovasi yang tinggi.

2.1.3 Prinsip-Prinsip Pengembangan Wilayah

Dalam rangka menjawab berbagai tantangan pengaruh globalisasi, pasar

bebas dan regionalisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika

spasial, sosial, dan ekonomi antarnegara, antardaerah (kota/kabupaten),

kecamatan hingga perdesaan, perlu dikembangkan prinsip-prinsip pengembangan

wilayah. Bappenas (2006) mengemukakan prinsip-prinsip pengembangan wilayah

sebagai berikut:

1. Pengembangan wilayah harus berbasis pada sektor unggulan. Prioritas pada

sektor unggulan akan mengarahkan sumber daya pada sektor yang

diunggulkan melalui pemetaan antara sektor unggulan dengan sektor yang

pendukungnya.

2. Pengembangan wilayah dilakukan atas dasar karakteristik daerah yang

bersangkutan, baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Suatu program

hanya dapat tepat dilakukan pada suatu daerah tertentu dan tidak pada daerah

dengan karakteristik berbeda lainnya.

3. Pengembangan wilayah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.

Pengembangan wilayah tidak dapat didasarkan pada satu sektor saja, atau

pengembangan masing-masing sektor tidak dapat dilakukan secara terpisah.

4. Pengembangan wilayah mutlak harus mempunyai keterkaitan ke depan dan

ke belakang secara kuat. Pengembangan kawasan di hinterland harus

dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri pengolahan di perkotaan,

untuk memberikan nilai tambah lebih tinggi pada pertumbuhan perekonomian

wilayah.

5. Pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi

dan desentralisasi. Pemerintah daerah harus mempunyai wewenang penuh

Page 50: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

24

dalam mengembangkan kelembagaan ekonomi di daerah, mengembangkan

sumber daya manusianya, menciptakan iklim usaha yang dapat menarik.

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan

Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip

dasar pengembangan wilayah adalah :

1. Sebagai pusat pertumbuhan. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat

internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran pertumbuhan yang

dapat ditimbulkan pada wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerja sama pengembangan

antardaerah dan menjadi persyaratan utama keberhasilan pengembangan

wilayah.

3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi

dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan

kesetaraan.

4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi

prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan.

Dengan demikian, pengembangan suatu wilayah atau kawasan harus

didekati berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal dan sekaligus

mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor kunci yang menjadi syarat

perkembangan kawasan dari sisi internal adalah pada pola-pola pengembangan :

(1) sumber daya manusia; (2) informasi; (3) sumber daya modal dan investasi; (4)

kebijakan dalam investasi; (5) pengembangan infrastruktur; (6) pengembangan

kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan; dan (7) berbagai kerja sama

dan kemitraan yang harus digalang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Di lain pihak, faktor-faktor kunci yang menjadi syarat perkembangan

kawasan dari sisi eksternal adalah perhatian pada: (1) masalah kesenjangan

wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah; (2) perdagangan bebas

terutama masalah pengembangan produk dalam pasar bebas untuk meningkatkan

daya saing seperti peningkatan kualitas unsur-unsur sumber daya manusia, (3)

pengembangan riset dan teknologi termasuk teknologi informasi, (4)

pengembangan sumber daya modal untuk membiayai investasi berbagai inovasi

pengembangan produk; dan (5) otonomi daerah dengan fokus berbagai kebijakan

Page 51: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

25

yang mendukung iklim usaha investasi, kerja sama dan kemitraan dalam

pengembangan produk antar berbagai pelaku, daerah, secara vertikal dan

horisontal, serta pengembangan kemampuan kelembagaan pengelolaan ekonomi

di daerah secara profesional.

Suatu wilayah dapat dianggap sebagai sebuah organisasi bisnis. Wilayah

tersebut menjaga kelestariannya, bersaing dengan wilayah lainnya untuk merebut

investasi maupun pangsa pasar produk unggulannya, serta berupaya untuk tumbuh

dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Wilayah tersebut mempunyai

berbagai kepentingan yang dinyatakan dalam tujuan, namun tetap memperhatikan

batasan dan pengaruh-pengaruh berbagai kepentingan di luar kepentingan

wilayahnya. Orientasi kepada lingkungan eksternal dan internal ditunjukkan

melalui kemampuan atau ketidakmampuannya menjadi wilayah yang diandalkan

dan menghasilkan produk unggulan, daya saing dan produktivitas dari semua

sumber daya yang dimiliki, dan unit dasar sektor industri yang dapat didorong

untuk bersaing. Sebuah wilayah yang berdayasaing adalah wilayah yang mampu

mengalahkan dan memimpin pasar setelah melakukan penyesuaian strategis yang

tergantung pada kekuatan pendorong, kapabilitas, serta kompetensi inti kawasan

dan produk yang diunggulkan (Boar 1993).

Daya saing daerah mempunyai arti yang sama dengan daya saing nasional.

Suatu daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain dalam memproduksi dan

memasarkan barang dan jasanya disebut mempunyai daya saing tinggi.

Departemen Perdagangan dan Industri Inggris mendefinisikan daya saing daerah

sebagai kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan

kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik

maupun internasional (Abdullah et al. 2002). Centre for Regional and Urban

Studies (CURDS), Inggris, mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan

sektor bisnis atau perusahan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan

yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya.

Upaya untuk meningkatkan keunggulan daya saing menjadi salah satu

strategi dalam pengembangan wilayah. Pendekatan ini mengarah pada konsep

pembangunan berkelanjutan (sustainable regional competitive advantage). Upaya

ini menuntut perubahan paradigma dalam mengembangkan suatu wilayah

Page 52: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

26

terhadap teknologi yang dikenal dengan istilah pengembangan wilayah berbasis

teknologi (Technology Based Regional Devepment) (Alkadri 2001)

Keunggulan daya saing suatu wilayah akan tercipta jika wilayah tersebut

memiliki kompetensi inti (core competence) yang berbeda dari wilayah lain.

Kompetensi ini dapat dibangun melalui proses kreatifitas dan inovasi. Kompetensi

inti merupakan proses pembelajaran suatu organisasi terkait dengan kegiatan

mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai keahlian dan teknologi.

Dalam konteks pengembangan wilayah perdesaan, kompetensi inti terkait dengan

upaya koordinasi dan pengintegrasian sumber daya di bidang pertanian,

kesehatan, perdagangan, peternakan, industri kecil, perikanan dan sebagainya.

Boar (1993) menjelaskan empat atribut pengembangan kompetensi inti:

1. Kemampuan untuk memberikan akses pada variasi pasar yang lebih luas.

2. Kemampuan memberikan kontribusi secara signifikan terhadap pelanggan atas

manfaat yang diperoleh dari suatu produk, barang dan jasa yang ditawarkan.

3. Barang jasa yang ditawarkan oleh suatu wilayah sangat sulit untuk ditiru.

4. Kompleksitas dan koordinasi dari beragam teknologi dan keahlian yang

dimiliki oleh suatu wilayah

Selanjutnya, dalam pendekatan penataan ruang wilayah, terdapat tiga

konsep pengembangan wilayah yang dirinci ke dalam wilayah provinsi dan

kabupaten, yaitu (Bappenas 2006):

1. Pusat pertumbuhan. Konsep ini menekankan perlunya melakukan investasi

pada suatu wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik. Hal ini

dimaksudkan untuk menghemat investasi prasarana dasar dengan harapan

perkembangan sektor unggulan dapat mengembalikan modal dengan cukup

cepat. Sementara pengembangan wilayah di sekitarnya diharapkan diperoleh

melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Di Indonesia, konsep ini

diimplementasikan dalam bentuk kawasan andalan. Kawasan andalan adalah

kawasan yang telah berkembang atau potensial untuk dikembangkan, yang

memiliki keunggulan geografis dan produk unggulan yang dapat

menggerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya yang mempunyai

orientasi regional atau global, yang dicirikan oleh adanya aglomerasi kegiatan

ekonomi dan sentra-sentra produksi/distribusi, adanya potensi sumber daya dan

Page 53: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

27

sektor unggulan yang dapat dikembangkan, adanya kecenderungan konflik

dalam pemanfaatan ruang kawasan, serta telah tersedianya prasarana

penunjang. Meskipun istilah kawasan andalan tidak sepenuhnya sama dengan

konsep pusat pertumbuhan namun penentuan kawasan andalan dimaksudkan

sebagai kawasan yang dapat menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya

melalui pengembangan sektor-sektor unggulan.

2. Integrasi Fungsional. Konsep ini merupakan suatu alternatif pendekatan yang

mengutamakan integrasi yang diciptakan secara sengaja di pusat pertumbuhan

karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu

wilayah memiliki hierarki. Konsep center–periphery yang diintegrasikan

secara fungsional agar terjadi ikatan yang kuat ke depan maupun ke belakang

dari suatu proses produksi merupakan pengembangan dari konsep ini.

3. Desentralisasi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya

aliran keluar dari sumber daya modal dan sumber daya manusia.

Menurut Anwar (2005) strategi pengembangan wilayah juga harus

didasarkan atas prinsip keterkaitan antarwilayah. Hal tersebu dapat diwujudkan

dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun

berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan

komunikasi) yang disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif

yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah-wilayah.

2.2 Interaksi antar Wilayah Setiap bagian wilayah mempunyai faktor endowment yang khas dalam

bentuk sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Untuk memenuhi

kebutuhan hidup, penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhinya

dari wilayah lain. Oleh karenanya penduduk harus melakukan perjalanan ke

wilayah lain sehingga membentuk struktur hubungan antarwilayah. Hubungan ini

secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan (demand) dan

penawaran (supply).

Hubungan antarwilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages)

antarwilayah. Hubungan antarwilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai

interaksi. Secara harfiah, interaksi dapat diartikan sebagai hal yang saling

Page 54: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

28

mempengaruhi. Rondinelli (1985) mengemukakan bahwa proses-proses interaksi

dibentuk oleh keterkaitan-keterkaitan di antara permukiman.

Menurut Rondinelli (1985) dalam pembangunan spasial, jenis-jenis

keterkaitan yang utama dapat dikelompokkan dalam tujuh tipe sebagai berikut:

Tabel 2 Keterkaitan utama dalam pembangunan spasial No. Tipe Elemen - elemen

1 Keterkaitan fisik Jaringan Jalan Jaringan transportasi sungai dan air Jaringan kereta api Ketergantungan ekologis

2 Keterkaitan ekonomi Pola-pola pasar Arus bahan baku dan barang antara Keterkaitan produksi – backward, forward dan

lateral Pola konsumsi dan belanja Arus pendapatan Arus komoditi sektoral dan interregional “Cross-

Linkages”

3 Keterkaitan pergerakan penduduk

Migrasi temporer dan permanen Perjalanan kerja

4 Keterkaitan teknologi Kebergantungan teknologi Sistem irigasi Sistem telekomunikasi

5 Keterkaitan interaksi sosial

Pola visiting Pola kinship Kegiatan ritual dan keagamaan Interaksi kelompok sosial

6 Keterkaitan delivery pelayanan

Arus dan jaringan energi Jaringan kredit dan finansial Keterkaitan pendidikan, training, pengembangan System delivery pelayanan kesehatan Pola pelayanan profesional, komersial,teknik Sistem pelayanan transportasi

7 Keterkaitan politik, administrasi dan organisasi

Hubungan struktural Arus budget pemerintah Kebergantunan organisasi Pola otoritas-approval-supervisi Pola transaksi inter-yuridiksi Rantai keputusan politik formal

Sumber: Rondinelli (1985)

Dalam konteks yang lebih khusus, Pradhan (2003) mengembangkan

tipologi keterkaitan perkotaan-perdesaan sebagai berikut:

Page 55: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

29

Tabel 3 Tipologi keterkaitan perkotaan - perdesaan No. Tipe Keterangan

1 Keterkaitan fisik/spasial Pemukiman dengan berbagai ukuran Jaringan jalan dan jaringan kereta api Kebertergantungan ekologi

2 Keterkaitan ekonomi Pola-pola pasar Keterkaitan produksi Arus bahan baku, barang-barang, kendaraan

dan modal Pola belanja

3 Keterkaitan sosial-budaya Migrasi penduduk Pola-pola kedatangan dan perjalanan bekerja Upacara ritual, kegiatan agama dan festival-

festival Kelompok sosial, kegiatan-kegiatan dan

pola-pola kindhsip Sewa menyewa lahan

4 Keterkaitan teknologi Sistem irigasi Sistem telekomunikasi Arus energi dan jaringan

5 Keterkaitan finansial Arus modal dan arus pendapatan Jaringan-jaringan kredit dan finansial

6 Keterkaitan politik Arus kekuasaan dan otoritas

7 Keterkaitan administrasi dan organisasi

Struktur dan organisasi inter-dependecies (saling kebergantungan)

Arus anggaran belanja pemerintah Pola-pola wewenang-pengesahan-

pengawasan

8 Keterkaitan service delivery Keterkaitan pendidikan, kursus dan tambahan

Pola-pola sumber informasi dan penyebaran

Sumber: Pradhan (2003)

Dari gambaran keterkaitan yang dikemukakan Rondinelli (1985) dan

Pradhan (2003), pada dasarnya keterkaitan antarwilayah dapat dikelompokkan

atas empat jenis keterkaitan. Keterkaitan tersebut terdiri dari keterkaitan fisik,

ekonomi, sosial dan kelembagaan, serta keterkaitan teknologi.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan dan adanya disparitas antarwilayah,

maka akan terjadi hubungan timbal balik antar wilayah. Fu (1981)

menggambarkan keterkaitan antar wilayah sebagai akibat ketimpangan dan

kemiskinan. Menurut Fu, terdapat tiga hubungan dualistik dalam keterkaitan antar

wilayah, yaitu:

Page 56: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

30

1. Utara–Selatan, menggambarkan keterkaitan antarwilayah dalam suatu negara

yang menggambarkan dua kutub

2. Perkotaan–Perdesaan, menggambarkan keterkaitan intra wilayah

3. Formal–Informal, menggambarkan keterkaitan antarwilayah pada kegiatannya.

Ketiga hubungan dualistik tersebut dihubungkan dan diintegrasikan dalam

perilaku yang kompleks, berbeda antara satu negara dengan negara lain yang

tergantung pada faktor dominan dan sejarah masing-masing negara. Faktor

dominan tersebut adalah: 1) Resource endowment: pertanian, mineral dan sumber

daya alam lainnya; 2) Karakteristik demografi: kepadatan penduduk, tingkat

pertumbuhan dan urbanisasi; 3) Teknologi: tipe-tipe teknologi yang diadopsi dan

pembangunan modal; dan 4) Development ideologi: ideologi dalam pembangunan

negaranya.

Keterkaitan antarwilayah tidak dapat terjalin jika tidak didukung prasarana

dan sarana penghubung antar kedua wilayah. Dukungan tersebut dapat merupakan

prasarana dan sarana transportasi maupun dalam bentuk lainnya.

Keterkaitan antarwilayah dapat menguntungkan, merugikan maupun saling

mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang berinteraksi tersebut. Douglas

(1998) serta Harris dan Harris (1984) diacu dalam Pradhan (2003) mengemukakan

bahwa apabila keterkaitan antarwilayah saling mendukung atau saling

memperkuat (mutually reinforcing) atau generatif atau disebut partisipatif, maka

kedua wilayah tersebut akan mendapat keuntungan atau manfaat dengan adanya

hubungan tersebut. Tetapi bila keterkaitan antarwilayah lebih berbentuk

eksploitatif atau parasitik, maka akan terjadi suatu wilayah yang semakin kaya

dan semakin miskin.

2.3 Indikator Pembangunan/Perkembangan Daerah/Wilayah Pada dasarnya, indikator adalah suatu alat ukur yang menunjukkan suatu isu

atau kondisi. Tujuannya adalah menunjukkan seberapa jauh suatu sistem bekerja,

baik sistem kegiatan/program maupun sistem organisasi. Indikator dapat

membantu memahami posisi pelaksanaan kegiatan atau organisasi berada, ke arah

mana berjalannya, dan seberapa jauh perjalanan ke arah yang dikehendaki.

Dalam konteks pembangunan secara umum, telah dikembangkan berbagai

indikator kinerja pembangunan. United Nations Research Institute on Social

Page 57: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

31

Development (UNRISD) pada tahun 1970 merumuskan indikator kunci

pembangunan sosial ekonomi (7 indikator ekonomi dan 9 indikator sosial) yaitu:

1. Harapan Hidup 2. Persentase penduduk di daerah sebanyak 20.000 atau lebih (kota) 3. Konsumsi protein hewani per kapita per hari 4. Kombinasi tingkat pendidikan dasar dan menengah (Persentase anak-anak

belajar di SD dan SMP) 5. Rasio pendidikan luar sekolah 6. Rata-rata jumlah orang per kamar 7. Sirkulasi surat kabar per 1000 penduduk 8. Persentase penduduk usia kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air dsb 9. Produksi pertanian per pekerja pria di sektor pertanian 10. Persentase tenaga kerja pria dewasa di pertanian 11. Konsumsi listrik, kw per kapita 12. Konsumsi baja, kg per kapita 13. konsumsi energi, ekuivalen kg batu bara per kapita 14. Persentase sector manufaktur dalam GDP 15. Perdagangan luar negeri per kapita 16. Persentase penerima gaji dan upah terhadap angkatan kerja.

Sejak Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan tahun 1992

yang menghasilkan The Rio Declaration on Environtment and Development,

Bank Dunia mengadopsi konsep “Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Berkelanjutan” yang mengintegrasikan aspek perlindungan lingkungan dalam

kegiatan pembangunan dan sebaliknya mempertimbangkan aspek pembangunan

dalam program-program perlindungan lingkungan (Darnela 2007). Pembangunan

berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip "memenuhi kebutuhan

sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan".

Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan adalah memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan

kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga pilar tujuan yaitu

ekonomi, sosial dan ekologi (Munasinghe 1993). Pilar pertama, pembangunan

ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi. Pilar kedua,

pembangunan sosial yang bertujuan pengentasan kemiskinan, pengakuan jati diri

dan pemberdayaan masyarakat. Pilar ketiga adalah pembangunan lingkungan

yang berorientasi pada perbaikan lingkungnan seperti sanitasi lingkungan, industri

yang lebih bersih dan rendah emisi, dan kelestarian sumber daya alam.

Page 58: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

32

Gambar 2 Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. Sumber: Munasinghe (1993)

Berdasarkan hasil KTT KTT Bumi – Agenda 21 di Rio de Janeiro Tahun

1992, pada Tahun 1995 dibentuk Coomission on Sustainable Development (CSD).

Komisi ini merumuskan indikator untuk mengukur pembangunan berkelanjutan

dengan rumusan terakhir pada tahun 2007 diberikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Indikator pembangunan berkelanjutan Tema Sub-tema Indikator

Kemiskinan Kemiskinan pendapatan Persen dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan nasional

Proporsi penduduk dibawah garis kemiskinan internasional ($1 dan/atau $2)

Ketidakmerataaan pendapatan

Rasio bagian pendapatan nasional dari kuintil tertinggi terhadap kuintil terendah

Sanitasi Proporsi penduduk yang menggunakan sanitasi layak

Air minum Proporsi penduduk yang menggunakan sumber air layak

Akses terhadap energi Proporsi rumah tangga tangga tanpa listrik atau jasa energi modern lainnya

Persentase penduduk menggunakan bahan bakar padat untuk memasak

Kondisi tempat tinggal Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di permukiman kumuh

Pemerintahan Korupsi Persentase penduduk yang membayar suap Kriminal Jumlah pembunuhan disengaja per 100.000

penduduk Kesehatan Mortalitas Tingkat kematian balita

Harapan hidup waktu lahir Harapan hidup sehat waktu lahir

Page 59: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

33

Tabel 4 Lanjutan

Tema Sub-Tema Indikator Cakupan pelayanan

kesehatan Persentase penduduk dengan akses terhadap

fasilitas pelayanan kesehatan primer Tingkat prevalensi kontrasepsi Imunisasi

Status gizi Status gizi anak Status dan resiko kesehatan

Morbiditas dari penyakit-penyakit utama seperti HIV/AIDS, malaria tuberkolosis

Prevalensi penggunaan tembakau Tingkat bunuh diri

Pendidikan Demografi

Tingkat pendidikan Rasio murid baru terhadap murid kelas akhir pada pendidikan dasar

Pembelajaran seumur hidup Tingkat penerimaan bersih (net enrolment rate)

pada pendidikan dasar Tingkat pencapaian pendidikan sekunder

(tersier) pada penduduk dewasa Melek huruf Tingkat melek huruf dewasa Penduduk Tingkat pertumbuhan penduduk

Tingkat Fertilitas Total (TFR) Rasio beban ketergantungan

Pariwisata Rasio penduduk lokal terhadap wisatawan pada daerah dan tujuan pariwisata utama

Diversifikasi Lahan yang terpengaruh oleh desertifikasi pertanian Area lahan pertanian permanen dan subur

Efisiensi penggunaan pupuk Penggunaan pestisida pertanian Area dengan pertanian organis

Kehutanan Proporsi lahan untuk hutan Persentase hutan rusak karena penggundulan Area hutan yang dikelola secara berkelanjutan

Laut dan Pesisir

Zona pesisir Persentase penduduk yang tinggal di pesisir Kualitas air laut untuk berenang

Perikanan Proporsi cadangan ikan dalam batas aman secara biologi

Marine trophic index Area ekosistem terumbu karang dan persentase

yang terlindungi Air Tawar Kuantitas air Proporsi penggunaan sumber air

Intensitas penggunaan air oleh aktivitas ekonomi Kualitas air Konsentrasi bakteri koli di air tawar

BOD di badan air Perlakuan air limbah

Biodiversitas Ekosistem Proporsi kawasan lindung, total dan berdasarkan area ekologis

Efektivitas pengelolaan kawasan lindung Kawasan dari ekosistem terpilih Fragmentasi habitat

Spesies Perubahan pada status terancam dari spesies Kelimpahan spesies terpilih Kelimpahan serbuan spesies asing

Page 60: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

34

Tabel 4 Lanjutan Tema Sub-Tema Indikator Pembangunan ekonomi

Kinerja makro ekonomi PDB perkapita Tabungan bruto Share tabungan pada PDB Tabungan bersih sebagai persentase dari GNI

Keberlanjutan keuangan publik

Rasio hutang terhadap GNI

Kesempatan kerja Rasio kesempatan kerja-penduduk Kesempatan kerja yang rentan Produktivitas tenaga kerja dan biaya tenaga kerja

perunit Share wanita pada pekerjaan upahan di sektor

non-pertanian

Teknologi informasi dan komunikasi

Penggunaan internet per 100 penduduk Jaringan telpon tetap per 100 penduduk Pelanggan telpon seluler per 100 penduduk

Penelitian dan pengembangan

Pengeluaran domestik bruto pada R & D sebagai persentase dari PDB

Pariwisata Kontribusi pariwisata terhadap PDB Kerja sama ekonomi global

Perdagangan Defisit neraca berjalan sebagai persentase dari PDB

Share impor dari negara-negara berkembang dan LDC

Rara-rata pengenaan tarif pada ekspor dari negara berkembang dan LDC

Keuangan eksternal ODA bersih yang diberikan atau diterima sebagai persentase dari GNI

Aliran masuk dan keluar bersih FDI sebagai persentase dari PDB

Remitans sebagai persentase dari GNI Pola konsumsi dan produksi

Konsumsi material Intesitas material dari perekonomian Konsumsi material domestik

Penggunaan energi Konsumsi energi tahunan, total dan berdasarkan kategori pengguna utama

Share dari sumber daya energi terbarukan dalam penggunaan energi total

Intensitas penggunaan energi, total dan berdasarkan aktivitas ekonomi

Pengelolaan dan pengolahan limbah

Pengolahan limbah berbahaya Pengolahan limbah Perlakuan dan pembuangan limbah Pengelolaan limbah radioaktif

Transportasi Moda transportasi orang Moda transportasi barang Intensitas energi transportasi

Sumber: United Nations (2007)

Dalam konteks pembangunan/perkembangan daerah/wilayah, menurut

Yunus (1991) tingkat perkembangan wilayah adalah ukuran peringkat secara

relatif yang menyatakan kemajuan yang dicapai oleh suatu wilayah sebagai hasil

aktivitas pembangunan dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Page 61: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

35

Pengembangan dan pemilihan indikator dapat dilakukan secara sederhana

karena semua angka atau besaran yang dapat menggambarkan keadaan daerah

dapat digunakan sebagai indikator. Pemilihan indikator kemudian menjadi penting

bagi tindakan lebih lanjut yang perlu diambil oleh pemerintah daerah tersebut agar

di masa datang terjadi peningkatan nilai bagi daerah tersebut.

Mulyanto (2007) mengemukakan bahwa saat ini telah dikembangkan

indikator-indikator yang cukup luas dalam pengukuran pembangunan daerah,

yang tidak sekedar indikator PDB/PDRB. Indikator-indikator tersebut baik yang

mencakup hasil interaksi dari berbagai faktor ekonomi, sosial, dan politik dalam

suatu pola normal atau pola optimal maupun indikator yang mencerminkan

menangkap kualitas hidup. Berdasarkan hal tersebut, secara ringkas indikator

pembangunan daerah, dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (i) indikator

ekonomi; (ii) indikator non ekonomi; serta (iii) indikator gabungan. Indikator

pembangunan semacam PQLI (Physical Quality of Life Index); HDI (Human

Development Index); dan juga RDI (Regional Development Index) termasuk

dalam kategori indikator gabungan.

Rustiadi et al. (2009) telah merangkum berbagai pendekatan dalam

penetapan indikator, yang dibagi atas tiga pendekatan yaitu (1) indikator berbasis

tujuan pembangunan; (2) indikator berbasis kapasitas sumber daya; dan (3)

indikator berbasis proses pembangunan. Ketiga pendekatan tersebut dirincikan

berdasarkan indikator-indikator operasionalnya sebagai berikut:

Page 62: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

36

Tabel 5 Indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/pendekatan pengelompokannya

Basis/Pendekatan Kelompok Indikator operasional

Tujuan pembangunan

1. Produktivitas, Efisiensi dan Pertumbuhan (Growth)

a. Pendapatan wilayah (1) PDRB (2) PDRB perkapita (3) Pertumbuhan PDRB

b. Kelayakan Finansial/Ekonomi (1) NPV (2) BC Rasio (3) IRR (4) BEP

c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif/ Kompetitif (1) LQ (2) Shift and Share Analysis (SSA)

d. Produksi-produksi utama (produksi, produktivitas) (1) Migas (2) Produksi padi/beras (3) Karet (4) Kelapa sawit

2. Pemerataan, Keberimbangan dan Keadilan (Equity)

a. Distribusi Pendapatan (1) Gini Rasio (2) Struktural (vertikal)

b. Ketenagakerjaan/Pengangguran (1) Pengangguran terbuka (2) Pengangguran terselubung (3) Setengah pengangguran

c. Kemiskinan (1) Good-service ratio (2) % Konsumsi makanan (3) Garis kemiskinan

d. Regional Balance (1) Spatial Balance (primacy index, entropy

index, Williamson) (2) Central Balance (3) Capital Balance (4) Sector Balance

3. Keberlanjutan (Sustainability)

a. Dimensi Lingkungan b. Dimensi Ekonomi c. Dimensi Sosial

Sumber daya 1. Sumber daya Manusia

a. Pengetahuan b. Keterampilan c. Kompetensi d. Etos kerja/sosial e.Pendapatan/produktivitas f. Kesehatan g. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

2. Sumber daya Alam a. Tekanan b. Dampak c. Degradasi

3. Sumber daya Buatan

a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas terhadap fasilitas

4. Sumber daya Sosial (Social Capital)

a. Regulasi/aturan-aturan Adat/Budaya (Norm) b. Organisasi c. Rasa percaya (trust)

Proses Pembangunan

1. Input 1. Proses/Implementasi 2. Output 3. Outcome 4. Benefit 5. Impact

a. Input Dasar (SDA,SDM, Infrastruktur, SDS) b. Input Antara, transparansi, efisiensi

manajemen, tingkat partisipasi masyarakat/ stakeholder

c. Total volume produksi Sumber: Rustiadi et al. (2009)

Page 63: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

37

2.4 Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa Pembangunan pemukiman transmigrasi pada dasarnya adalah pembangunan

perdesaan dan pembangunan masyarakat desa. Oleh karenanya dalam memahami

perkembangan permukiman transmigrasi diperlukan pemahaman mengenai

pembangunan perdesaan dan masyarakat desa.

Eksistensi dan variasi desa dapat dilihat dari sisi historis, kultural, geografis

termasuk unsur dan status desa. Desa secara leksikal berasal dari bahasa Sanskrit

yaitu Desi yang artinya tanah asal atau tanah kelahiran. Di Inggris di mana

tempat tinggal bersama di sebut dengan “parish” di Belanda disebut

“waterschap” di Amerika Serikat disebut “borough”. Demikian pula di

Indonesia terdapat beraneka nama untuk kelompok atau kumpulan rumah-rumah

misalnya Kampung dan Desa (sebutan di Jawa-Barat), Gampong (Aceh),

Huta atau Kuta (Tapanuli), Marga (Sumatera Selatan), Negorij (Maluku),

Nagari (Minangkabau), Wanua (Minahasa), Gaukay (Makasar), Banua

(Kalimantan Barat) dan lain sebagainya.

Soetardjo (1984) mengemukakan bahwa: Desa adalah suatu kesatuan hukum

di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan

pemerintahan sendiri. Desa terjadi hanya dari satu tempat kediaman masyarakat

saja, ataupun terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat kediaman sebagian

dari masyarakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat

tinggal sendiri, kesatuan-kesatuan mana dinamakan pedukuhan, ampean,

kampung, cantilanbeserta tanah pertanian, tanah perikanan darat (empang, tambak

dan sebagainya) tanah hutan dan belukar.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, desa atau yang disebut dengan

nama lain tentang Desa disebutkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang

mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam

Page 64: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

38

dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,

pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Hayami dan Kikuchi (1987) mengartikan desa sebagai tempat orang hidup

dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling

ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri

dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil

keputusan keluarga secara bersama. Pengertian ini lebih mengacu pada cara hidup

masyarakat desa secara keseluruhan.

Pemahaman lebih lanjut tentang unsur-unsur desa dijelaskan oleh Bintarto

(1983) sebagai berikut: 1) daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang

tidak beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang

merupakan lingkungan geografi setempat, 2) penduduk, adalah hal yang meliputi

jumlah, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat, 3) tata

kehidupan, dalam hal ini pola atau tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan

warga desa. Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa (rural

society).Unsur-unsur desa merupakan sesuatu yang penting sehingga tidaklah

berlebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara. Sedangkan

Ndraha (1984) mengemukakan bahwa unsur-unsur desa merupakan komponen

pembentuk desa sebagai satuan ketatanegaraan dan komponen-komponen tersebut

meliputi wilayah desa, penduduk atau masyarakat desa dan pemerintahan desa.

Pandangan di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur desa merupakan perekat

utama dalam memposisikan desa sebagai hasil perpaduan antara kehidupan

manusia dengan lingkungannya. Koestoer et al. (1995) mengemukakan bahwa

hasil perpaduan itu ialah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang

ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang

saling berinteraksi. Kecirian fisik ditandai oleh pemukiman yang tidak padat,

sarana transportasi yang langka, penggunaan lahan persawahan dan kecirian lain

berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa yaitu penduduk dan tata kehidupan.

Dalam kerangka itu, Ndraha (1984) mengungkapkan bahwa memahami desa

secara komprehensif dapat dilakukan melalui wilayah, aspek yuridis, sosio-

kultural dan aspek kegotong-royongan. Kesemua aspek tersebut banyak mewarnai

substansi dan eksistensi desa.

Page 65: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

39

Unsur-unsur desa merupakan elemen utama pembentuk desa. Perpaduan

unsur-unsur tersebut yang pada akhirnya membentuk suatu karakteristik tersendiri

yang membedakan desa secara umum dengan kota, dan secara khusus

membedakan antara desa yang satu dengan lainnya. Unsur-unsur desa tersebut

terbentuk dari berbagai unsur yang mewarnai kehidupan desa, seperti unsur sosial,

fisiografi, ekonomi, politik dan budaya yang saling berinteraksi.

Terkait dengan pembangunan desa, berbagai definisi telah dikemukakan

oleh para ahli. Secara tradisional, Mosher (1974) mendefinisikan pembangunan

perdesaan sebagai pembangunan usahatani atau pembangunan pertanian. Menurut

Hansen (1981) pembangunan perdesaan merupakan upaya meningkatkan produksi

dan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Senada

dengan hal tersebut, Collier et al. (1996) mengartikan pembangunan perdesaan

sebagai perubahan orientasi dari pertanian produksi ke bisnis seluas-luasnya.

Hafsah (2006) menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan

perdesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan

memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta

meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek

fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan

perdesaan ini adalah :

a. Meningkatkan produktivitas ekonomi perdesaan seperti dengan inovasi

teknologi (modernisasi pertanian) dan mengintroduksikan perubahan-

perubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah,

organisasi masyarakat (kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi),

perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah.

b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih

merata.

c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem

pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif.

d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan

kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya.

Dalam konteks pendekatan pembangunan perdesaan ini, Misra dan

Bhooshan (1981) mengidentifikasi beberapa pendekatan dan strategi yang telah

Page 66: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

40

dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah

keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1) migrasi ke

daerah baru; 2) pembangunan pertanian; 3) industrialisasi perdesaan; 4)

pendekatan kebutuhan dasar; 5) pembangunan perdesaan terpadu; 6) strategi pusat

pertumbuhan dan 7) pendekatan agropolitan.

Selanjutnya menurut Jamal (2009) secara sederhana terdapat tiga kutub

pemikiran yang berkembang di Indonesia terkait dengan pendekatan

pembangunan perdesaan. Kelompok pertama melihat wilayah perdesaan dan

masyarakatnya sebagai sesuatu yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan

pembangunan di wilayah perdesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan

sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Untuk itu perlunya dilakukan trans-

formasi kekuasan politik dan penguasaan alat-alat produksi kepada lapisan masya-

rakat yang memiliki potensi produksi terbesar, tetapi berada dalam kedudukan

yang lemah. Kelompok ini mensyaratkan perlunya dilakukan pengaturan kembali

struktur penguasaan atas tanah, sistem hubungan penguasaan, pemilikan, sakap-

menyakap sebagai dasar dalam modernisasi perdesaan. Kegiatan industri akan

berkembang sebagai akibat surplus dari pertanian, dan kelebihan tenaga kerja dari

pertanian secara bertahap akan diserap sektor pengolahan hasil pertanian dan

industri.

Selanjutnya, kelompok kedua cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang

homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal.

Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan

perdesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan

desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis,

serta menjadi 'alat pemerintah' dalam pembangunan. Kelompok ketiga mencoba

menyeimbangkan kekuatan masyarakat perdesaan dan negara dalam menentukan

arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat perdesaan.

Menurut kelompok ini, sistem cetak biru dalam pembangunan perdesaan akan

membuat pembangunan efisien, namun tidak menumbuhkan partisipasi dari

masyarakat.

Sejak Pelita III berbagai pendekatan pembangunan telah dirancang untuk

mempercepat kemajuan desa di antaranya adalah: 1) pendekatan kawasan perdesaan

Page 67: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

41

yang mempunyai komoditas unggulan dalam satuan wilayah ekonomi; 2)

mengintervensi desa melalui pengembangan infrastruktur pertanian secara terpadu

(penyediaan saprotan, kelembagaan ekonomi, pendampingan); 3) kegiatan

membangun kawasan perdesaan menjadi kota-kota pertanian (Wibowo et al. 2006).

Terkait dengan pendekatan-pendekatan tersebut beberapa program pembangunan

yang telah dilaksanakan di antaranya adalah:

a. Program Bimas dan Inmas, Insus, Supra Insus dan Kredit Usaha Tani (KUT).

Merupakan program yang dirancang dalam konteks percepatan pemenuhan

kebutuhan pokok (swasembada pangan) sekaligus membangun infrastruktur

pertanian sebagai titik awal modernisasi pertanian dan kawasan perdesaan.

b. Program Unit Desa Karya Pembangunan (UDKP). Dalam sistem ini,

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan

dilaksanakan di wilayah kecamatan.

c. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Suatu program yang dirancang untuk

mengatasi kemiskinan di wilayah perdesaan yang sekaligus sebagai upaya

mengembangkan modal sosial melalui kelompok-kelompok usaha sebagai pilar

utama kemajuan desa.

d. Program Pengembangan Kawasan Agropolitan. Dalam kerangka mewujudkan

keterkaitan desa-kota telah dikembangkan berbagai program dengan

mengintroduksi sistem agribisnis dan rancang wilayah perdesaan menjadi pusat

kegiatan/kawasan produksi yang bernuansa perkotaan melalui pengembangan

Kawasan Sentra Produksi (KSP) dan Kawasan Agropolitan.

e. Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Merupakan kelanjutan program

IDT untuk menanggulangi kemiskinan.

Terlepas dari berbagai pendekatan dan program tersebut, pembangunan

perdesaan pada dasarnya merupakan pembangunan yang bersifat multi aspek.

Karenanya perlu dianalisis secara lebih terarah serta keterkaitannya dengan

berbagai sektor, dan aspek di luar perdesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non

ekonomi, sosbud dan non spasial). Menurut Esman dan Uphoff (1988), terdapat

empat jenis pembangunan perdesaan, yakni: 1) yang berbasis pertanian; 2) yang

berbasis multisektor; 3) yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan; dan 4)

Page 68: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

42

yang berbasiskan pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan

lain-lain.

Mosher (1974) mengemukakan agar desa dapat berkembang menjadi lebih

pogresif, harus memiliki beberapa komponen akselerator, yaitu: 1) desa harus

mempunyai kota-kota pasar (market town); 2) perlu dibangun jalan-jalan

perdesaan untuk memperluas dan menekan biaya serta mempermudah penyaluran

informasi dan jasa; 3) di desa harus ada percobaan-percobaan pengujian lokal

(local verification trials) untuk memilih cara berusaha yang paling sesuai dengan

keadaan setempat; 4) harus ada aparat penyuluhan di mana penduduk dapat

belajar tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru

tersebut; dan 5) tersedia fasilitas-fasilitas kredit untuk membiayai produksi dan

pemasaran hasil.

Pemikiran Mosher tersebut dikembangkan oleh beberapa pakar di Indonesia

dengan memasukkan aspek sosial dan kelembagaan. Soewandi (1976)

mengemukakan bahwa untuk tercapainya proses modernisasi perdesaan ada dua

hal utama yang perlu diperhatikan yaitu 1) mengembangkan kelembagaan-

kelembagaan baru dalam masyarakat desa sebagai pendukung terhadap sistem

perekonomian dinamis, yang mampu melibatkan sebanyak-banyaknya warga desa

dalam sistem perekonomiannya, 2) mendorong perkembangan sektor-sektor non-

pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian.

Siagian (1995) mengemukakan untuk mengembangkan masyarakat desa

harus dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu 1) memenuhi kebutuhan dasar

(basic need approach); 2) mengembangkan inspirasi dan partisipasi masyarakat

(bottom up approach); 3) menggerakkan dan menghidupkan aktivitas ekonomi

rakyat (property approach); 4) membangun organisasi dan kelembagaan yang

dikelola oleh masyarakat sendiri (participation approach); 5) menyediakan

teknologi tepat guna (appropriate approach) serta 6) membangun integrasi desa-

kota (rural-urban linkage community development). Sejalan dengan hal tersebut,

Sumodiningrat (1996) menyatakan paling tidak harus terdapat tiga aspek yang

perlu mendapat perhatian dalam membangun masyarakat perdesaan yaitu 1)

menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat

berkembang; 2) memperkuat potensi ekonomi atau sumber daya yang dimiliki

Page 69: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

43

oleh masyarakat (pendidikan, modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan

pasar) serta 3) pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekonomi rakyat.

Selanjutnya Prabowo (1995) mengemukakan bahwa diperlukan adanya

diversifikasi usaha perdesaan yang selain mampu mendorong produksi pertanian

tradisional, juga mampu memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi rakyat

perdesaan yang dapat menjadi landasan bagi pertumbuhan yang

berkesinambungan dan pemerataan. Murdoch (2000) juga mengemukakan bahwa

dalam pembangunan masyarakat desa, selain perlu membangun keterkaitan

vertikal juga perlu membangun keterkaitan horisontal dengan memperkuat

produksi lokal yang bermanfaat bagi ekonomi perdesaan secara keseluruhan

dengan mengintegrasikannya ke dalam perekonomian yang lebih luas. Dalam hal

ini, pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian (produksi) tetapi

juga sektor pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan.

Sebagai suatu proses untuk meningkatkan keberdayaan dalam meraih masa

depan yang lebih baik, pembangunan meliputi upaya untuk memperbaiki

keberdayaan masyarakat. Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menempatkan

masyarakat sebagai aktor utama dalam seluruh rangkaian pembangunan.

Pemberdayaan masyarakat sebagai subjek untuk mengenali permasalahan dan ikut

dalam perencanaan program akan menghasilkan kemandirian yang tinggi

(Sajogyo 1982).

Menurut Surjadi (1995), pembangunan masyarakat desa adalah sebagai

suatu proses di mana anggota-anggota masyarakat desa pertama-tama

mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan

mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Pembangunan

masyarakat desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan

pertumbuhan dan peningkatan jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih

bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat

mempengaruhi perkembangan aspek mental, fisik, intelegensia (kecerdasan) dan

kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Dalam perspektif tersebut, (Horton dan

Hunt 1982) mengemukakan pembangunan masyarakat perdesaan diartikan

sebagai pembangunan masyarakat tradisional menjadi manusia modern.

Page 70: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

44

Terkait dengan pendekatan dalam pembangunan masyarakat desa ini, Jamal

(2009) mengemukakan seharusnya pendekatan yang digunakan tergantung pada

homogenitas kebutuhan individu serta ragam keperluan bagi kebersamaan

masyarakat desa dalam pembangunan itu sendiri. Pada tataran ini, pendekatan

komando didefinisikan sebagai pendekatan instruktif, di mana inisiatif

pemerintah sangat dominan dan masyarakat berperan sebagai pihak yang dige-

rakkan. Pendekatan semipartisipatif merupakan pendekatan yang memadukan

inisiatif masyarakat dan campur tangan pemerintah, sedangkan pendekatan

partisipatif lebih mengedepankan inisiatif masyarakat dan meminimalkan campur

tangan pemerintah. Pendekatan-pendekatan tersebut diberikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas

Keperluan kebersamaan

Tingkat perkembangan kebutuhan Individu

Homogen Mulai heterogen

Sangat heterogen

Kebersamaan masyarakat untuk mendukung inisiatif pemerintah

Kebersamaan masyarakat sebagai partner pemerintah dalam pembangunan

Kebersamaan masyarakat sebagai penggerak utama pembangunan perdesaan

Pendekatan komando

Pendekatan komando

Pendekatan semi partisipatif

Pendekatan komando

Pendekatan semi partisipatif

Pendekatan semi partisipatif

Pendekatan semi partisipatif

Pendekatan partisipatif

Pendekatan partisipatif

Sumber: Jamal (2009)

Dari berbagai perspektif pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa

pembangunan desa dan masyarakat perdesaan tidak hanya semata-mata pada

produksi atau usaha taninya saja. Pertanian harus dikembangkan dalam konteks

pengembangan agribisnis secara utuh yang melibatkan berbagai infrastruktur

penunjang, sistem ekonomi, sosial dan kelembagaan serta memiliki keterkaitan

secara sektoral maupun regional.

Didefinisikan secara lengkap agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan

dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu

atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran

produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan

penunjang kegiatan. Yang dimaksud dengan berhubungan adalah kegiatan usaha

Page 71: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

45

yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh

kegiatan pertanian (Downey & Steven 1987; Saragih 2010).

Mata rantai kegiatan tersebut dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu:

1) subsistem produksi (on-farm); 2) subsistem pengolahan (agroindustri hulu dan

hilir) (off-farm); 3) subsistem pemasaran/perdagangan (off-fram); dan 4)

subsistem lembaga penunjang (off-farm). Keempat subsistem ini mempunyai

kaitan yang erat, sehingga gangguan pada salah satu subsistem atau kegiatan akan

berpengaruh terhadap subsistem atau kelancaran kegiatan dalam bisnis.

Subsistem usahatani atau produksi adalah penggerak utama agribisnis. Jika

subsistem produksi (usahatani) dikembangkan atau dimodernisasi, maka akan

timbul kaitan ke belakang (backward linkages) berupa peningkatan kegiatan

pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini mengundang

pelaku lainnya (perorangan atau perusahaan) untuk menangani

pemasaran/perdagangan input produksi (usahatani). Keberhasilan dalam

menangani pemasaran/perdagangan input produksi ini, akan sangat dipengaruhi

oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan, ketersediaan

lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku.

Produk pertanian tergantung pada musim, menyita banyak ruangan untuk

menyimpannya dan tidak tahan lama. Oleh karenanya perlu diolah menjadi

produk yang dapat disimpan. Pengolahan produk disebabkan juga oleh permintaan

konsumen yang semakin menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi

olahan bila pendapatan mereka meningkat. Jadi modernisasi sektor produksi

(usahatani) akan menimbulkan kaitan ke depan dalam bentuk industri pertanian.

Berpijak dari pemahaman bahwa pembangunan perdesaan dilakukan

melalui pengembangan sistem agribisnis, maka dapat digeneralisir faktor-faktor

yang mempengaruhi pengembangan sistem agribisnis sekaligus sebagai faktor

yang mempengaruhi pembangunan perdesaan dan masyarakat desa berikut:

Kelembagaan

Secara definisi, Uphoff (1992) dan Fowler (1992) mengartikan kelembagaan

sebagai “a complex of norm and behavior that persist overtime by serving some

socially valued purpose”. Makna kelembagaan lebih mengandung aspek “isi”,

Page 72: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

46

tidak hanya pada “bentuk luar” atau fisiknya (Lauer 1982, diacu dalam Pranadji

2002).

Peningkatan produktivitas ekonomi perdesaan terutama bidang pertanian

memerlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat (Pranoto 2005).

Dalam konteks yang berbeda, Saptana et al. (2004) mengemukakan penyebab

utama rapuhnya perekonomian rakyat di perdesaan, adalah rapuhnya kelembagaan

yang mendukungnya. Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan

ekonomi tradisional di perdesaan adalah kemampuan yang lemah dalam

menggalang jaringan kerja sama dengan kelembagaan modern, rendahnya

kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi

tekanan dari luar (di bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan

budaya kota dan manca negara).

Kelembagaan lokal dapat dirinci dalam enam kategori, yaitu: administrasi

lokal, pemerintah lokal, organisasi-organisasi yang beranggotakan komunitas

setempat, organisasi kerja sama usaha, organisasi-organisasi pelayanan, dan bisnis

swasta (Uphoff 1986). Senada dengan hal tersebut, Saptana et al. (2004)

mengemukakan dalam kehidupan masyarakat perdesaan, terdapat tiga lembaga

penopang, yaitu kelembagaan komunitas lokal (communal institutions) atau

tradisional, kelembagaan pasar (private sector) karena keterbukaan dengan

ekonomi luar, dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan

di tingkat publik (public sector).

Dalam konteks kelembagaan ini, telah dikembangkan pemikiran yang

terkenal dengan istilah Induced Innovation Model (Ruttan & Hayami 1984;

Hayami dan Kikuchi 1986). Dalam model tersebut dijelaskan adanya keterkaitan

antara empat faktor , yaitu: 1) resource endowment, 2) cultural endowment, 3)

technology, dan 4) institutions. Mereka mengatakan bahwa keberhasilan

pencapaian pertumbuhan produktivitas secara kontinu merupakan suatu dinamika

proses adjustment kepada kekayaan sumber daya alam dan kepada akumulasi

sumber daya. Proses tersebut juga melibatkan respon adaptif sebagai bagian dari

respon sosial, politik, kelembagaan ekonomi dalam upaya untuk merealisasikan

potensi pertumbuhan yang dibuka oleh inovasi teknologi baru. Selain itu,

terjadinya perubahan-perubahan kelembagaan dengan mengusahakan bentuk-bentuk

Page 73: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

47

yang baru yang lebih menguntungkan untuk diciptakan pada dasarnya didorong oleh

faktor-faktor ekonomi termasuk di dalamnya yang dimiliki masyarakat perdesaan

seperti penyediaan dalam teknologi dan sumber daya. Oleh karenanya, mengacu

pada hal tersebut maka dalam pengembangan kelembagaan di perdesaan haruslah

mempertimbangkan keterkaitan ke empat hal pokok di atas.

Infrastruktur

Pengertian infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang

diperoleh darinya untuk memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup

seperti transportasi, telekomunikasi, kelistrikan, dan irigasi. Infrastruktur memiliki

peran yang cukup signifikan dalam perkembangan suatu wilayah. Berbagai studi

telah banyak dilakukan untuk membuktikan hubungan kuat antara pembangunan

infrastruktur dengan pengembangan wilayah. Peran penting infrastruktur tersebut

dalam pengembangan suatu wilayah terutama terletak pada fungsinya sebagai

input dalam proses produksi.

Khususnya infrastruktur jaringan jalan, dalam pembangunan perdesaan

dikembangkan keluar dalam fungsinya sebagai penghubung ke pusat kegiatan

yang lebih tinggi (forward linkage) untuk keperluan pemasaran maupun akses

terhadap sumber daya eksternal serta pemenuhan kebutuhan kawasan. Sedangkan

jaringan di dalam kawasan harus dapat memfasilitasi kebutuhan pergerakan antar

sub-kawasan untuk kebutuhan pengumpulan dan penyaluran produksi hasil

pertanian dan perkebunan yang ada (backward linkage).

Kualitas Sumber daya Manusia

Akselerasi pembangunan desa adalah segala upaya yang dilakukan untuk

membuat proses pembangunan di desa lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat

segera dilaksanakan oleh masyarakat desa tersebut. Percepatan pembangunan

tersebut mengandung maksud menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi

cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di desa. Salah satu unsur

penting dalam suksesnya suatu pembangunan adalah adanya kualitas sumber daya

manusia yang berkompeten. Dalam upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat

desa dalam pembangunan filosofinya adalah masyarakat desa menjadi subjek

pembangunan dan bukan menjadi obyek pembangunan itu sendiri.

Page 74: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

48

Salah satu ukuran kualitas sumber daya manusia adalah tingkat pendidikan.

Dalam Human Capital Theory dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat

pendapatan maka semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan. Dengan semakin

tinggi keterampilan dan pengetahuan maka semakin tinggi tingkat produktivitas.

Dengan adanya keterampilan dan pengetahuan yang tinggi maka mendorong

tingginya tingkat pendapatan. Hal ini menandakan bahwa kualitas sumber daya

manusia memegang peranan penting dalam sukses atau tidaknya suatu

pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini dapat dicapai

melalui pendidikan dan pelatihan.

Pendidikan selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya

manusia, juga berfungsi untuk menyiapkan masyarakat desa dalam menghadapi

perubahan yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari adanya pembangunan di

desa tersebut. Hal ini sangat penting, mengingat adanya pembangunan akan

berpotensi atau dapat menyebabkan terjadinya perombakan sosial-kultural dalam

masyarakat. Jika masyarakat tidak siap, pembangunan justru dapat menyebabkan

terjadinya proses yang tidak terkendali, misalnya meningkatnya budaya konsumtif

di masyarakat.

2.5 Indikator Perkembangan Desa Dalam rangka mengetahui gambaran potensi dan tingkat perkembangan

desa dan kelurahan, Kementerian Dalam Negeri telah menyusun data profil desa

dan kelurahan, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2007

tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan

Kelurahan. Dalam peraturan menteri tersebut dinyatakan bahwa tingkat

perkembangan desa dan kelurahan yang mencerminkan keberhasilan

pembangunan desa dan kelurahan setiap tahun dan setiap lima tahun diukur dari

laju kecepatan perkembangan: a) ekonomi masyarakat; b) pendidikan masyarakat;

c) kesehatan masyarakat; d) keamanan dan ketertiban; e) kedaulatan politik

masyarakat; f) peranserta masyarakat dalam pembangunan; g) lembaga

kemasyarakatan; h) kinerja pemerintahan desa dan kelurahan; dan i) pembinaan

dan pengawasan.

Hasil evaluasi keberhasilan kegiatan pembangunan setiap tahun akan

Page 75: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

49

menentukan laju perkembangan desa dan kelurahan dalam kategori cepat

berkembang, berkembang, lamban berkembang, dan kurang berkembang.

(1) Kategori Cepat Berkembang, jika perolehan total skor pengukuran mencapai

lebih dari 90 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan

kelurahan setiap tahun.

(2) Kategori Berkembang, jika total skor mencapai 60 persen sampai 90 persen

dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap

tahun.

(3) Kategori Lamban Berkembang, jika total skor mencapai 30 persen sampai 60

persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan

setiap tahun.

(4) Kategori Kurang Berkembang, jika total skor mencapai kurang dari 30 persen

dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap

tahun.

Hasil analisis laju perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun

digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap lima

tahun dalam klasifikasi desa dan kelurahan swasembada, swakarya, dan swadaya.

(1) Tingkat Perkembangan Swasembada, jika nilai total skor yang diperoleh

mencapai lebih dari 80 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan

setiap lima tahun.

(2) Tingkat Perkembangan Swakarya, jika nilai total skor yang diperoleh

mencapai 60 persen sampai 80 persen dari skor maksimal tingkat

perkembangan setiap lima tahun.

(3) Tingkat Perkembangan Swadaya, jika nilai total skor yang diperoleh

mencapai kurang dari 60 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan

setiap lima tahun.

Analisis terhadap klasifikasi tingkat perkembangan desa dan kelurahan

swasembada, swakarya dan swadaya, menghasilkan klasifikasi status kemajuan

desa dan kelurahan dalam kategori mula, madya dan lanjut.

(1) Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Mula, apabila perolehan

total skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan

masyarakat kurang dari 90 persen dari total skor maksimal ketiga peubah

Page 76: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

50

selama lima tahun.

(2) Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Madya sebagaimana, jika

perolehan total skor peubah keamanan dan ketertiban, kedalulatan politik

masyarakat, peran serta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga

kemasyarakatan mencapai kurang dari 90 persen dari total skor maksimal

keempat peubah selama lima tahun.

(3) Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Lanjut apabila perolehan

total skor peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah

pembinaan dan pengawasan mencapai kurang dari 90 persen dari total skor

maksimal kedua peubah selama lima tahun.

(4) Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Mula apabila perolehan total

skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan

masyarakat kurang dari 70 persen dari total skor maksimal ketiga peubah

selama lima tahun.

(5) Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Madya sebagaimana jika

perolehan total skor peubah keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik

masyarakat, peran serta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga

kemasyarakatan kurang dari 70 persen dari total skor maksimal keempat

peubah selama lima tahun.

(6) Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Lanjut apabila perolehan total

skor peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah

pembinaan dan pengawasan kurang dari 70 persen dari total skor maksimal

kedua peubah selama lima tahun.

(7) Klasifikasi status kemajuan Swadaya Kategori Mula apabila perolehan total

skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan

masyarakat kurang dari 50 persen dari skor maksimal ketiga peubah selama

lima tahun.

(8) Klasifikasi Desa dan Kelurahan Swadaya Kategori Madya jika perolehan

skor total keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik masyarakat, peranserta

masyarakat dalam pembangunan dan lembaga kemasyarakatan kurang dari

50 persen dari total skor maksimal keempat peubah selama lima tahun.

(9) Klasifikasi Desa dan Kelurahan Swadaya Kategori Lanjut apabila perolehan

Page 77: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

51

skor total peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah

pembinaan dan pengawasan kurang dari 50 persen dari total skor maksimal

kedua peubah selama lima tahun.

Berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, beberapa upaya telah dilakukan

oleh BPS di antaranya melakukan penghitungan desa tertinggal. Dalam

menentukan desa tertinggal pada tahun 1993, BPS menggunakan 33 peubah.

Sementara pada tahun 1994 untuk pelaksanaan proram Inpres Desa Tertinggal

(IDT) tahun 1995/1996, BPS menggunakan 17 peubah untuk perkotaan dan 18

peubah untuk perdesaan. Indikator tersebut disusun berdasarkan metode skor.

Pada tahun 2005, BPS kembali melakukan penentuan desa-desa tertinggal

dengan membuat indeks komposit ketertinggalan desa berdasarkan pada data

Potensi Desa Sensus Pertanian (Podes-ST) 2003. Berbeda dengan periode

sebelumnya, pada tahun 2005 BPS menggunakan dua sumber data yaitu Podes-

ST 2003 dan Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, dengan

menggunakan 45 peubah.

Penentuan desa tertinggal tahun 2005 menggunakan indikator pengeluaran

per kapita penduduk desa yaitu pengeluaran per kapita penduduk desa yang

berada di bawah garis kemiskinan. Namun, ukuran kemiskinan yang didasarkan

pada indikator moneter (pendapatan/pengeluaran) tidak menggambarkan

kemiskinan sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari

segi moneter dapat dikategorikan miskin atas dasar kurangnya akses terhadap

pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.

Mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antardaerah

merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.

Desa tertinggal berkaitan dengan beberapa faktor di antaranya: faktor alam,

faktor sarana/prasarana dan akses, dan faktor sosial-ekonomi (BPS 2005). Di

antara faktor satu dengan faktor lainnya saling berhubungan. Disamping itu

faktor-faktor tersebut seringkali tidak dapat diukur secara langsung, sehingga

dibutuhkan metode yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Data

indikator primer pembangunan daerah tertinggal diberikan pada Tabel 7 berikut:

Page 78: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

52

Tabel 7 Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal

No Indikator Satuan

Ekonomi

1 Jumlah penduduk (pertengahan tahun) Orang 2 Jumlah keluarga KK 3 Jumlah keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I KK 4 Jumlah penduduk miskin Ribu org 5 PDRB Milyar Rp 6 Persentase penduduk miskin % 7 Persentase ke dalaman kemiskinan % 8 IKK indeks

Sumber daya Manusia

9 Jumlah Angkatan Kerja Orang 10 Jumlah penduduk menganggur Orang 11 Persentase jumlah penduduk menganggur % 12 Jumlah desa desa 13 Angka Harapan Hidup indeks 14 Rata-rata jarak pelayanan prasarana kesehatan km 15 Jumlah puskesmas Buah 16 Jumlah puskesmas pembantu Buah 17 Jumlah poliklinik desa Buah 18 Jumlah desa yang jarak fasilitas kesehatan > 5 km Desa 19 Jumlah desa yang jarak fasilitas pendidikan > 3 km Desa 20 Angka melek huruf % 21 Angka melek huruf 15 - 24 % 22 Angka melek huruf 15 - 55 %

Infrastruktur Sosial Dasar, Transportasi dan Ekonomi

23 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan aspal/beton desa 24 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan diperkeras desa 25 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan tanah desa 26 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan lainnya desa 27 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan yang dapat dilalui mobil desa 28 Persentase keluarga pengguna listrik % 29 Persentase keluarga pengguna telepon % 30 Jumlah Bank Umum Buah 31 Jumlah Bank Perkreditan Rakyat Buah 32 Jumlah desa yang mempunyai pasar dengan bangunan permanen desa 33 Jumlah desa yang mempunyai pasar tanpa bangunan permanen desa 34 Jumlah desa yang jarak fasilitas pasar > 3 km desa 35 Jumlah prasarana kesehatan per 1000 penduduk buah 36 Jumlah dokter per 1000 penduduk orang 37 Jumlah SD dan SMP per 1000 penduduk buah

Keuangan Daerah

38 Celah fiskal Juta Rp 39 Pendapatan Asli Daerah Juta Rp

Page 79: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

53

Tabel 7 Lanjutan

No Indikator Satuan

Aksesibilitas

40 Rata-rata jarak pelayanan prasarana kesehatan km 41 Rata-rata jarak bagi desa/kelurahan tanpa SD dan SMP km 42 Rata-rata jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kabupaten yg membawahi km 43 Waktu tempuh ke pusat pelayanan pemerintah menit

Karakteristik Daerah

44 Persentase Desa Gempa Bumi % 45 Persentase Desa Tanah Longsor % 46 Persentase desa banjir % 47 Persentase desa di kawasan lindung % 48 Persentase desa berlahan kritis % 49 Persentase desa konflik dalam satu tahun terakhir % 50 Daerah pesisir %

Sumber: BPS (2005)

Terkait dengan daerah perkotaan, secara eksplisit BPS telah menetapkan

tiga kriteria utama dalam menetapkan suatu daerah sebagai daerah perkotaan yaitu

(Tribudhi dan Said 2001) :

1. Kegiatan utama bukan pertanian, % rumah tangga pertanian < 25 %

2. Kepadatan penduduk > 5000 jiwa/km2

3. Memiliki fasilitas umum paling tidak 8 dari 16 fasilitas, yaitu: a. SD dan sederajat b. SLTP dan sederajat c. SLTA dan sederajat d. Gedung Bioskop e. Rumah Sakit f. Rumah Sakit Bersalin g. Puskesmas/Klinik/Balai Pengobatan h. Jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda tiga dan empat i. Pesawat telpon/Kantor Pos/Kantor Pos Pembantu j. Pasar dengan bangunan k. Kelompok pertokoan (pusat perdagangan) l. Bank m. Pabrik n. Restoran/Rumah Makan o. Listrik Umum (PLN/Non PLN) p. Usaha penyewaan alat-alat keperluan pesta dll

Selanjutnya, dalam konteks menggambarkan potensi desa, BPS juga telah

melaksanakan pendataan desa-desa di Indonesia. Berdasarkan pendataan potensi

Page 80: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

54

desa/kelurahan pada Tahun 2008, indikator-indikator yang digunakan adalah

sebagai berikut:

I. Penduduk dan Ketenagakerjaan

1. Penduduk dan Keluarga a. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin b. Jumlah keluarga c. Persentase keluarga pertanian d. Jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani

2. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk 3. Jumlah penduduk yang sedang bekerja sebagai TKI di luar negeri

II. Perumahan dan Lingkungan Hidup 1. Jumlah keluarga pengguna listrik 2. Penerangan jalan utama desa/kelurahan 3. Bahan bakar yang digunakan oleh sebagian besar keluarga untuk

memasak 4. Tempat membuang sampah penduduk 5. Tempat buang air besar keluarga 6. Penggunaan air sungai 7. Jumlah keluarga yang tinggal di bantaran sungai 8. Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di bawah jaringan listrik

tegangan tinggi 9. Jumlah pemukiman kumuh 10. Pencemaran lingkungan hidup setahun terakhir 11. Pembakaran ladang/kebun setahun terakhir 12. Ada/tidaknya lokasi penggalian golongan C di desa/kelurahan

III. Bencana Alama dan Penanganan Bencana 1. Bencana alam dalam tiga tahun terakhir yang menyebabkan

kerugian/kerusakan 2. Asal dan jenis bantuan penanganan bencana 3. Upaya yang dilakukan/telah tersedia di desa/kelurahan untuk

mengantisipasi bencana alam 4. Sumber bantuan untuk mengantisipasi bencana alam

IV. Pendidikan dan Kesehatan 1. Jumlah lembaga pendidikan menurut jenjang 2. Jumlah lembaga pendidikan keterampilan menurut jenis 3. Pemberantasan buta aksara fungsional dalam tiga tahun terakhir 4. Jumlah sarana kesehatan menurut jenis 5. Kegiatan posyandu setahun terakhir 6. Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan 7. Wabah penyakit selama setahun terakhir 8. Jumlah penderita gizi buruk dalam tiga tahun terakhir 9. Jumlah keluarga menerima kartu ASKESKIN dalam setahun terakhir 10. Jumlah surat miskin/SKTM yang dikeluarkan desa dalam setahun

terakhir 11. Pengetahuan tentang desa siaga

Page 81: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

55

12. Sumber air minum/masak

V. Sosial Budaya 1. Agama/kepercayaan yang dianut oleh penduduk desa/kelurahan 2. Mayoritas pemeluk agama/kepercayaan di desa/kelurahan 3. Jumlah tempat ibadah menurut jenis 4. Jenis lembaga/organisasi kemasyarakat yang ada di desa/kelurahan 5. Jumlah penyandang cacat menurut jenis 6. Ada atau tidaknya penduduk desa/kelurahan yang berjudi 7. Suku/etnis mayoritas penduduk desa/kelurahan

VI. Hiburan dan Olahraga 1. Ada/tidak gedung bioskop dan jarak terdekatnya 2. Ada/tidaknya pub/diskotik/tempat karaoker dan jarak terdekatnya 3. Ada atau tidaknya lapangan olahraga serta kelompok kegiatannya

menurut jenis VII. Angkutan, Komunikasi dan Informasi

1. Sarana dan prasarana transportasi antar desa/kelurahan 2. Jarak, waktu tempuh dan jenis angkutan umum yang digunakan

penduduk untuk mencapai ibukota kecamatan, ibukota kabupaten/kota dan ibukota kabupaten/kota lain terdekat

3. Jumlah keluarga yang berlangganan telepon kabel 4. Ada/tidaknya telepon umum koin/kartu yang masih aktif 5. Ada/tidaknya wartel/kiospon/warpostel/warparpostel 6. Ada/tidaknya warung internet 7. Ada/tidaknya kantor pos dan jarak terdekat 8. Ada/tidaknya pos keliling 9. Jenis program TV yang dapat diterima di desa/kelurahan 10. Ada/tidak/lemah/kuatnya sinyal telepon genggam di desa/kelurahan

VIII. Penggunaan Lahan 1. Struktur penggunaan lahan 2. Perubahan/konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dalam

tiga tahun terakhir

IX. Ekonomi 1. Jumlah kios sarana produksi pertanian 2. Jumlah industri kecil menurut jenis 3. Ada/tidaknya kelompok pertokoan dan jarak terdekat 4. Ada/tidaknya pasar dengan bangunan permanen/semi permanen dan

jarak terdekat 5. Jumlah unit pasar tanpa bangunan 6. Jumlah unit mini market 7. Jumlah unit restoran/rumah makan 8. Jumlah unit warung/kedai makanan/minuman 9. Jumlah unit toko/warung kelontong 10. Jumlah unit hotel 11. Jumlah unit penginapan 12. Jumlah koperasi menurut jenisnya

Page 82: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

56

13. Jumlah fasilitas perkreditan yang diterima penduduk setahun terakhir menurut jenisnya

X. Keamanan 1. Jumlah dan jenis perkelahian massal yang terjadi selama setahun

terakhir 2. Penyelesaian dan inisiator penyelesaian perkelahian massal tersebut 3. Jenis kejahatan yang terjadi setahun terakhir 4. Ada/tidaknya agen yang beroperasi mencari TKS 5. Ada/tidaknya lokalisasi prostitusi 6. Jenis upaya warga menjaga keamanan selama setahun terakhir 7. Jenis sarana keamanan, jarak terdekat dan kemudahan akses

mencapainya 8. Jumlah anggota hansip/linmas, Babinsa dan Polisi Pelayanan

Masyarakat

XI. Otonomi Desa dan Program Pengentasan Kemiskinan 1. Sumber keuangan desa dan penggunaannya 2. Jenis program/kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam tiga

tahun terakhir

2.6 Sejarah Transmigrasi di Indonesia Sejarah transmigrasi di Indonesia dapat dibagi atas beberapa masa

pemerintahan dan kekuasaan, mulai dari masa pemerintah kolonial Belanda

sampai pada era reformasi atau otonomi daerah. Masing-masingnya memiliki

tujuan, arah kebijakan dan paradigma ketransmigrasian yang berbeda.

2.6.1 Era Pemerintah Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang Pada era pemerintah kolonial Belanda, transmigrasi dikenal dengan istilah

kolonisasi. Diawali pada Tahun 1905 dengan dipindahkannya penduduk dari

Bagelen Karesidenan Kedu yang ditempatkan di Gedong Tataan Lampung

(Ramadhan et al. 1993). Kebijakan kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke luar

Jawa dilatarbelakangi oleh: (1) Melaksanakan salah satu program politik etis,

yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk Pulau Jawa dan memperbaiki

taraf kehidupan yang masih rendah; (2) Pemilikan tanah yang makin sempit di

Pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf

hidup masyarakat di Pulau Jawa semakin menurun; dan (3) Kebutuhan pemerintah

kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah

perkebunan dan pertambangan di luar Pulau Jawa.

Page 83: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

57

Penyelenggaraan kolonisasi dapat dibagi atas tiga periode (Yudohusodo

1997). Pertama, periode kolonisasi dengan bantuan pemerintah (1905 – 1911).

Pada periode ini, setiap kepala keluarga mendapatkan uang premi sebesar 20

Gulden, biaya transportasi ditanggung pemerintah (diperkirakan sebesar 50

Gulden per keluarga) dan sumbangan biaya hidup sebesar 0,4 Gulden per hari

selama masa penyiapan tanah. Jumlah biaya langsung diperkirakan 300 gulden

per keluarga yang mencakup premi, biaya transportasi, biaya makan 150 gulden,

biaya bangunan rumah 65 gulden, pembelian alat-alat 13,5 gulden, ditambah 0,7

hektar tanah sawah dan 0,3 hektar tegalan serta pekarangan (Dixon 1980)

Kedua, periode Bank Rakyat Lampung, The Lampongsche Volksbank

(1911–1928). Pada periode ini Pemerintah Hindia Belanda hanya mensubsidi

biaya transportasi sebesar 22,5 Gulden. Selanjutnya untuk kebutuhan hidup dan

modal usaha tani, kolonis mendapat pinzaman dari Bank Rakyat Lampung sebesar

200 Gulden dengan bunga 9 persen per tahun, dengan cicilan selama 10 tahun dan

grace period 3 tahun. Pada tahun 1927, Bank Rakyat Lampung mengalami

kebangkrutan, sehingga tidak mampu membiayai pinzaman para kolonis. Bank

tersebut dilikuidasi dan program kolonisasi dengan kredit bank dihentikan.

Ketiga, periode bawon (1923–1942). Sejalan dengan kesulitan ekonomi

yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dampak depresi ekonomi

dunia, sementara minat masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi cukup tinggi,

pemerintah akhirnya mengubah pola kolonisasi untuk menekan biaya dengan

sistem bawon. Pemukim kolonisasi terdahulu diharapkan memakai tenaga kerja

pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan gotong-royong. Pemekaran

daerah kolonisasi baru tidak jauh dari kolonisasi lama. Penempatan pemukim baru

dilakukan pada bulan Februari-Maret saat menjelang musim panen padi di pemu-

kiman lama, sehingga mereka bisa ikut bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru

di Lampung dibuat lebih besar dengan perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh

mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau lima bagian pemilik. Pada saat itu

sistem bawon di Pulau Jawa umumnya menggunakan perbandingan 1:10.

Pada ketiga periode tersebut, Pemerintah kolonial Belanda hanya mampu

memindahkan penduduk Pulau Jawa sebanyak 60.155 KK atau 232.802 jiwa

(Kemenakertrans 2012). Namun demikian, jika dilihat dari aspek peningkatan

Page 84: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

58

kesejahteraan peserta kolonisasi, tingkat kehidupannya lebih baik dibandingkan

saat berada di daerah asal (Dixon 1980).

Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) pemindahan

penduduk dari Pulau Jawa bertujuan hanya untuk kepentingan pembangunan

prasarana militer secara kerja paksa dengan istilah Romusha (Keyfiz dan

Nitisastro 1955, diacu dalam Saleh 1982). Diperkirakan selama kekuasaan Jepang,

penduduk Pulau Jawa yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa melalui

transmigrasi sekitar 2.000 orang.

2.6.2 Masa Orde Lama Setelah kemerdekaan, istilah kolonisasi kemudian diubah menjadi

transmigrasi (Djojoprapto 1995). Pelaksanaan transmigrasi pada masa orde lama

diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok

Penyelenggaran Transmigrasi (dan perubahannya melalui PP No. 13 Tahun 1959

tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi), Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No. 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Penyelenggaraan Transmigrasi, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang

Gerakan Nasional Transmigrasi. Tujuan transmigrasi pada masa orde lama adalah

untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mengurangi tekanan

penduduk di daerah-daerah padat penduduk, membuka sumber-sumber alam,

meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama produksi pangan,

memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, serta meningkatkan keamanan dan

ketahanan bangsa.

Pelaksanaan transmigrasi pada orde lama dimulai Tahun 1948 ketika

pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program

serta pelaksanaan transmigrasi. Namun pemberangkatan transmigran baru

dilaksanakan bulan Desember 1950. Pelaksanaannya ditangani Jawatan

Transmigrasi di bawah Kementerian Sosial. Baru Tahun 1960 Jawatan

Transmigrasi menjadi departemen yang digabung dengan urusan perkoperasian

dengan nama Departemen Transmigrasi dan Koperasi (Heeren 1979).

Pada zaman orde lama (Pra Pelita Tahun 1950 – 1968) ditetapkan target

pemindahan penduduk yang dikenal dengan “Rencana 35 Tahun Tambunan”.

Targetnya adalah pada Tahun 1987 jumlah penduduk Pulau Jawa berkurang

Page 85: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

59

menjadi 31 juta jiwa dari kondisi pada Tahun 1952 yang sebanyak 54 juta jiwa

(Heeren 1979). Namun demikian, mengingat sulitnya pencapaian target tersebut,

maka dilakukan revisi target transmigran secara lebih realistis. Selama lima tahun,

antara Tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk Jawa sebanyak 2

juta orang, atau rata-rata 400 ribu orang per tahun. Pada rencana delapan tahun

selanjutnya, yaitu antara Tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan

lagi targetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun.

Menurut Wijst (1985), target-target ambisius tersebut tidak mampu dicapai karena

meningkatnya anggaran untuk memberangkatkan transmigran.

Pada periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan Transmigrasi Gaya

Baru. Konsepnya memindahkan kelebihan fertilitas total yang diperkirakan

mencapai angka 1,5 juta orang per tahun. Pada kebijakan ini, muncul ide untuk

melaksanakan transmigrasi swakarya, artinya transmigran baru ditampung oleh

transmigran lama seperti yang pernah dilakukan pada zaman Belanda dengan

sistem bawon, kemudian membuka hutan, membangun rumah, dan membuat jalan

sendiri, sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau besar.

Pada zaman orde lama, transmigrasi dikategorikan dalam sistem

transmigrasi umum, transmigrasi khusus, transmigrasi sedaerah, dan transmigrasi

spontan. Transmigrasi Umum adalah transmigrasi dari daerah-daerah tingkat I

yang padat ke daerah tingkat I yang lain dan diselenggarakan oleh pemerintah.

Dalam sistem ini segala keperluan transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi

menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup

selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat-alat pertanian.

Transmigrasi khusus adalah transmigrasi dari daerah tingkat I ke daerah tingkat I

yang lain, yang diselenggarakan oleh Daerah Otonom yang bersangkutan.

Transmigrasi sedaerah adalah transmigrasi dalam wilayah satu daerah tingkat I

yang diselenggarakan oleh daerah tersebut. Transmigrasi spontan adalah

transmigrasi atas usaha dan biaya sendiri dari yang bersangkutan.

Selain jenis-jenis transmigrasi sebagaimana yang diatur dalam perundang-

undangan tersebut, dalam pelaksanaannya pada orde lama ini juga terdapat jenis

transmigrasi lainnya sebagaimana yang dikemukakan Handayani (1994) yaitu

transmigrasi keluarga dan transmigrasi biaya sendiri. Transmigrasi Keluarga

Page 86: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

60

merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya jika transmigran ingin mengajak

keluarganya yang masih tinggal di Pulau Jawa bertransmigrasi, maka transmigran

lama harus menanggung biaya hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini

tidak berjalan, karena terlalu memberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak

dilaksanakan lagi sejak 1959. Transmigrasi Biaya Sendiri, mengharuskan calon

transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan

ongkos sendiri. Di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti

transmigran umum. Transmigrasi biaya sendiri ini sedikit berbeda dengan

transmigrasi spontan, karena mereka tidak harus mengurus sendiri

keberangkatannya tetapi diatur oleh pemerintah.

Selama periode orde lama telah diberangkatkan sebanyak 98.631 kepala

keluarga dengan jumlah jiwa 234.802 orang. Penempatan transmigran pada

periode ini dilakukan pada 176 UPT (Kemenakertrans 2012).

2.6.3 Masa Orde Baru Penyelenggaraan transmigrasi pada masa orde baru diatur melalui Undang-

Undang No. 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi

serta Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1973 tentang Penyelenggaraan

Transmigrasi. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut tujuan

transmigrasi adalah untuk: (a) peningkatan taraf hidup; (b) pembangunan daerah;

(c) keseimbangan penyebaran penduduk; (d) pembangunan yang merata di

seluruh Indonesia; (e) pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; (f)

kesatuan dan persatuan bangsa; dan (g) memperkuat pertahanan dan keamanan

nasional.

Pembukaan daerah transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat,

Kalimantan Selatan, Sulawesi, bahkan sampai ke Papua. Daerah transmigran lama

seperti Lampung, Jambi, Sumatera Selatan yang pada awalnya banyak sekali

menerima transmigran, pada periode ini hanya menerima sekitar 52 persen dari

total transmigran yang diberangkatkan. Jumlah yang dikirim ke Sulawesi sekitar

25 persen, sisanya ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Papua.

Pada periode ini dikenal dua kategori yaitu transmigrasi umum dan

transmigrasi spontan. Pada transmigrasi spontan pemerintah hanya mengorganisir

perjalanan dari daerah asal ke tempat tujuan, ongkos-ongkos semua ditanggung

Page 87: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

61

peserta. Sementara pada transmigrasi umum, semua ongkos ditanggung

pemerintah, dan di lokasi memperoleh lahan seluas dua hektar, rumah, dan alat-

alat pertanian, serta biaya selama 12 bulan pertama untuk daerah tegalan, dan 8

bulan pertama untuk daerah pesawahan. Jumlah transmigran yang berhasil

dipindahkan pada orde baru sebanyak 6.708.526 orang atau sekitar 1.827.099

keluarga (Kemenakertrans 2012).

2.6.4 Masa Reformasi atau Otonomi Daerah

Jumlah penduduk yang berhasil dipindahkan dalam program transmigrasi,

terus meningkat, namun tetap tidak bisa mengimbangi pertambahan jumlah

penduduk di Pulau Jawa. Ini disebabkan fertilitas di Pulau Jawa jauh melebihi

angka penduduk yang dapat dipindahkan ke luar Pulau Jawa (Setiawan 1997).

Hal tersebut kemudian memunculkan paradigma baru transmigrasi seperti

yang tercantum dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1997 tentang

Ketransmigrasian dengan perubahannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997

tentang Ketransmigrasian. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa

tujuan penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk: (1) meningkatkan

kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar; (2) peningkatan dan

pemerataan pembangunan daerah; dan (3) memperkukuh persatuan dan kesatuan

bangsa. Adapun sasarannya adalah meningkatkan kemampuan dan produktivitas

masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian, dan mewujudkan integrasi di

permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh

dan berkembang secara berkelanjutan.

Dengan ketiga tujuan tersebut, transmigrasi diharapkan dapat memecahkan

permasalahan demografi dan sosial, ekonomi, serta politik sekaligus (Soegiharto

2008). Program transmigrasi tidak semata-mata ditujukan pada penyeimbangan

persebaran penduduk. Program ini juga diselenggarakan sebagai pendekatan

untuk pencapaian tujuan sosial. Transmigrasi diarahkan untuk membagikan lahan

kepada para petani tunakisma, meningkatkan pendapatan penduduk miskin dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Transmigrasi juga diarahkan pada tujuan pembangunan daerah baik daerah

asal maupun daerah tujuan. Di daerah asal, penyelenggaraan transmigrasi

Page 88: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

62

berkaitan dengan kebutuhan untuk mengatasi permasalahan ekologis di tempat

asal para transmigran yang menyebabkan daerah itu menjadi miskin. Dari sisi

daerah tujuan, sasaran akhir penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk

mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah dengan melakukan

pengembangan wilayah pada daerah-daerah terpilih. Wilayah-wilayah tertinggal

dibangun antara lain dengan menjadikan lahan-lahan tidur menjadi lahan-lahan

produktif, menciptakan kesempatan kerja bagi para penganggur atau

meningkatkan persediaan pangan.

Tujuan politik dapat dilihat dari alasan keamanan negara dan persatuan

bangsa. Program transmigrasi juga strategis untuk kepentingan geopolitik bagi

keamanan negara. Penempatan penduduk di daerah-daerah perbatasan yang jarang

penduduk menjadi bagian dari rencana pengembangan daerah perbatasan. Tujuan

politik juga dilaksanakan melalui upaya-upaya mengadakan penyerasian budaya

dari bangsa yang heterogen dengan memukimkan penduduk dari beragam budaya

pada daerah baru. Hal ini dapat dilihat sebagai strategi pertahanan dengan

memperkokoh persatuan antar etnis. Dengan demikian, melalui transmigrasi

memberi peluang untuk mengintegrasikan berbagai etnis dan budaya dalam suatu

kehidupan sosial yang harmonis.

Tujuan-tujuan tersebut diturunkan dalam Rencana Strategis Departemen

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2005–2009. Tujuan pertama diturunkan

menjadi “Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya,

masyarakat transmigrasi dan penduduk sekitar, serta meningkatkan jaminan sosial

tenaga kerja”, dengan sasaran “Terselenggaranya pembinaan dan pemberdayaan

terhadap 595 UPT (149.189 KK)”. Tujuan kedua dicapai dengan target: “(a)

Terbangun dan termanfaatkannya potensi sumber daya wilayah perbatasan,

menjadi permukiman transmigrasi yang layak (layak huni, layak usaha dan

berkembang, dan layak lingkungan) dengan daya tampung 82.000 KK; dan (b)

Terwujudnya 5 kawasan sebagai pusat pertumbuhan.” Tujuan ketiga

direalisasikan dalam bentuk “Tercapainya kemandirian dan integrasi masyarakat

di 353 UPT (85.115 KK) melalui penyesuaian, pemantapan dan pengembangan”.

Page 89: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

Tabel 8 Pergeseran definisi, tujuan dan jenis transmigrasi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Peraturan Definisi Tujuan Jenis

PP No.56/1958 PP No.13/1959

Pemindahan rakyat ke daerah-daerah yang ditunjuk menurut ketentuan-ketentuan dalam dan/atau berdasarkan Peraturan Pemerintah ini (Luar Pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok)

a. mempertinggi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat, dengan jalan membuka dan mengusahakan tanah secara teratur serta mengadakan lain-lain usaha pembangunan dalam segala lapangan;

b. mengurangi tekanan penduduk di daerah-daerah yang padat penduduknya untuk mencapai tingkat penghidupan yang layak dan mengisi daerah-daerah yang kosong atau tipis penduduknya, untuk pembukaan sumber-sumber alam;

c. memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia; d. mencapai keamanan seluruh bangsa Indonesia serta memper-

besar potensi pertahanan negara, dengan mengisi dan mem-bangun daerah yang mempunyai arti vital; sehingga tercapai tingkat ketahanan yang lebih tinggi baik dalam lapangan sosial-ekonomi, persatuan dan kesatuan bangsa maupun pertahanan bagi daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia.

-Transmigrasi Umum -Transmigrasi Khusus -Transmigrasi sedaerah -Transmigrasi spontan

PERPU No.29 Tahun 1960

Sama dengan PP No.56/1958 dan PP No. 13/1959

Mempertinggi taraf keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat dan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dengan jalan; a. Membuka sumber-sumber alam dan mengusahakan tanah

secara teratur; b. Mengurangi tekanan penduduk di daerah padat penduduk

dan mengisi daerah-daerah yang jarang penduduknya; c. Mengisi dan membangun daerah-daerah yang mempunyai

arti vital sehingga tercapainya tingkat ketahanan bangsa yang lebih tinggi dalam segala bidang penghidupan, dalam rangka pembentukan masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur.

Sama dengan PP No.56/1958 dan PP No.13/1959

Page 90: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

64

Tabel 8 Lanjutan Peraturan Definisi Tujuan Jenis

PERPRES No. 5 Tahun 1965

Sama dengan PP No.56/1958 dan PP No. 13/1959

Memperkuat pertahanan dan keamanan revolusi dan meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama produksi pangan.

Sama dengan PP No.56/1958 dan PP No. 13/1959

UU No. 3 Tahun 1972 PP No.42/1973

Pemindahan dan/atau kepin-dahan penduduk dari satu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan Pembangunan Negara, karena bencana alam dan alasan-alasan lain yang dipandang perlu oleh Pemerintah

Sasaran kebijaksanaan umum transmigrasi ditujukan kepada terlaksananya transmigrasi Swakarsa (spontan) yang teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya untuk mencapai : a. peningkatan taraf hidup; b. pembangunan daerah; c. keseimbangan penyebaran penduduk; d. pembangunan yang merata di seluruh Indonesia; e. pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; f. kesatuan dan persatuan bangsa : g. memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.

-Transmigrasi Umum -Transmigrasi Swakarsa (Spontan)

UU No. 15 Tahun 1997

Perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Lokasi Permukiman Transmigrasi

Penyelenggaraan transmigrasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.

-Transmigrasi Umum -Transmigrasi Swakarsa Berbantuan -Transmigrasi Swakarsa Mandiri

UU No. 29 Tahun 2009

Perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan Pemerintah.

Sama dengan UU No.15/1997. Sama dengan UU No.15/1997

Sumber: dirangkum dari berbagai peraturan perundang-undangan mengenai transmigrasi.

Page 91: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

2.7 Konsep Pembangunan Transmigrasi Pada dasarnya, konsep dan strategi pembangunan transmigrasi didasari oleh

konsep pembangunan dengan pendekatan peubah kewilayahan. Konsep ini

mengacu pada struktur wilayah pengembangan berdasarkan satuan wilayah

ekonomi yang berasaskan distribusi simpul barang dan jasa (Hadjisarosa 1988).

Meskipun demikian terdapat perbedaan konsep pembangunan transmigrasi

sebelum dan setelah era otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1972 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun1997 serta Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2009.

Secara diagramatis perbandingan konsep pembangunan transmigrasi

sebelum dan setelah otonomi daerah diberikan pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9 Perbandingan konsep pembangunan transmigrasi sebelum dan setelah otonomi daerah

Sebelum otonomi Setelah otonomi Padanan wilayah administrasi

Satuan Permukiman (SP) (maksimum 500 KK)

Permukiman Transmigrasi (PT) (300 – 500 KK)

Desa atau bagian desa

Satuan Kawasan Permu-kiman (SKP) (5 – 7 SP)

Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) (1800 – 2000 KK)

Kecamatan atau bagian kecamatan

Wilayah Pengembangan Partial (WPP) (3 – 5 SKP)

Wilayah Pengembangan Trans-migrasi (WPT), (minimal 9000 KK).

Bertujuan untuk membangun pusat pertumbuhan baru

Kecamatan atau bagian kecamatan

Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) (Tidak ditentukan batasan minimal KK)

Bertujuan untuk mendukung pusat pertumbuhan yang sudah ada

Kecamatan atau bagian kecamatan

Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (beberapa WPP)

Kabupaten

Sumber: UU No. 3 Tahun 1972 dan UU No. 15/1997 serta UU No. 29/2009

2.7.1 Konsep Pembangunan Transmigrasi Sebelum Era Otonomi Pada masa sebelum otonomi, transmigrasi diselenggarakan sebagai

pembangunan wilayah di daerah, oleh agen-agen pemerintah pusat (Kanwil dan

Kandep). Pelaksanaan transmigrasi diwujudkan dalam pembangunan unit-unit

permukiman penduduk secara hierarkis, dari satuan yang terkecil berupa SP

Page 92: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

66

(Satuan Pemukiman) ke satuan yang lebih besar yaitu SKP (Satuan Kawasan

Permukiman) dan WPP (Wilayah Pengembangan Parsial), yang saling menopang

dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi hingga membentuk suatu

pusat pertumbuhan ekonomi dan administrasi wilayah (Priyono dan Fatimah

2010).

Gambar 3 Konsep pembangunan transmigrasi sebelum otonomi daerah. Sumber: Modifikasi dari Priyono dan Fatimah (2010). Keterangan: SP= Satuan Permukiman; SKP=Satuan Kawasan Permukiman; WPP=Wilayah

Pengembangan Parsial; SWP= Satuan Wilayah Pengembangan

Pada SP ditempatkan transmigran dengan jumlah penduduk paling banyak

500 KK. Kumpulan beberapa SP (5–7 SP) dinyatakan sebagai SKP. Pada SKP

memungkinkan dilaksanakan perdagangan tingkat ritel, karena jumlah penduduk

yang dilayani mencapai 1.500 KK. Kumpulan 3-5 SKP dinyatakan sebagai WPP

dan salah satu SKP merupakan “kota” umumnya yang sudah berkembang serta

mempunyai aksesibilitas tinggi, dan mempunyai orientasi sehingga mampu

membentuk simpul jasa distribusi yang berfungsi sebagai pusat pengembangan

(pusat WPP).

Pada WPP memungkinkan pelaksanaan perdagangan tingkat grosir,

mengingat jumlah masyarakat yang dilayani sudah semakin banyak (5.000 KK –

100.000 KK). Jika lokasi pusat WPP berada pada lokasi yang menguntungkan,

WPP

WPP

WPP

SWP

Page 93: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

67

berarti cukup untuk berperan sebagai “simpul jasa distribusi” yang merupakan

titik tumpu bagi tumbuh dan berkembangnya suatu kota (Poernomosidhi 1981).

Adanya peran simpul tersebut, akan melibatkan kegiatan perdagangan dan

angkutan, yang dengan sendirinya akan mengikutsertakan banyak peluang

kegiatan penunjang lainnya disertai dengan aglomerasi kegiatan. Konsentrasi

kegiatan dan manusia dengan segala potensi dan konsekuensinya akan

membentuk pola kehidupan kota. Sedangkan SWP (Satuan Wilayah

Pengembangan) merupakan beberapa WPP dengan salah satu kota berfungsi

sebagai pintu gerbang simpul jasa distribusi serta memiliki posisi yang potensial,

yang berperan sebagai gerbang masuk dan keluarnya ekspor impor ke WPP-WPP

yang ada di sekitarnya.

2.7.2 Konsep Pembangunan Transmigrasi pada Era Otonomi Istilah-istilah pembangunan transmigasi pada era otonomi mencakup

Permukiman Transmigrasi (PT), Lokasi Pemukiman Transmigrasi (LPT), Satuan

Kawasan Pengembangan (SKP) dan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT)

(Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997; Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun

1999; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009). Selain itu, melalui Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Kep. 214/MEN/V/2007 tentang

Pedoman Umum Pembangunan dan Pengembangan Kota Terpadu Mandiri di

Kawasan Transmigrasi, juga diperkenalkan konsep Kota Terpadu Mandiri (KTM).

Pembangunan transmigrasi pada era otonomi, dirumuskan secara fleksibel

dalam bentuk WPT sebagai suatu wilayah luas, dan atau dalam bentuk LPT yang

berskala kecil. Alternatif ini mengingat keragaman potensi sumber daya lahan

yang cenderung semakin terbatas di beberapa wilayah, dan perbedaan kebutuhan

pembangunan daerah (Anharudin et al. 2008).

Permukiman Transmigrasi (PT)

PT adalah satu kesatuan permukiman atau bagian dari satuan permukiman

yang diperuntukkan bagi tempat tinggal dan tempat usaha transmigran. Setiap PT

mempunyai daya tampung 300 - 500 KK, yang dilengkapi sarana: 1) Warung atau

koperasi; 2) Pasar; 3) Sekolah Dasar; 4) Balai pengobatan; 5) Balai desa; dan 6)

Tempat ibadah.

Page 94: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

68

Satuan Kawasan Pengembangan (SKP)

SKP adalah suatu kawasan yang terdiri atas beberapa PT yang salah satu di

antaranya merupakan permukiman yang disiapkan menjadi desa utama (Pasal 1

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997). Perubahan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2009, SKP adalah satu kawasan yang terdiri atas

beberapa PT yang salah satu di antaranya disiapkan menjadi desa utama atau

pusat kawasan perkotaan baru.

Setiap SKP terdiri dari beberapa PT, dan mempunyai daya tampung 1.800

sampai dengan 2.000 Kepala Keluarga, yang dilengkapi sarana: 1) Industri

kecil/industri rumah tangga; 2) Pasar harian; 3) Pertokoan; 4) Pelayanan jasa

perbankan; 5) Perbengkelan; 6) Pelayanan pos; 7) Pendidikan tingkat pertama; 8)

Puskesmas pembantu; dan 9) Pelayanan pemerintahan

Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT)

LPT adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman

transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau

yang sedang berkembang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (Pasal 1

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997). Perubahan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2009, LPT adalah lokasi potensial yang ditetapkan

sebagai permukiman transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah

yang sudah ada atau yang sedang berkembang sebagai kawasan perkotaan baru

sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Selanjutnya, berdasarkan Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2009, peruntukan kawasan sebagai rencana Lokasi

Permukiman Transmigrasi harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Selain

itu juga harus memenuhi syarat: (a) memiliki potensi untuk pengembangan usaha

primer, sekunder, dan atau primer; (b) tersedia prasarana dan sarana permukiman;

dan (c) tingkat kepadatan penduduk rendah.

Tujuan pembangunan Lokasi Permukiman Transmigrasi adalah untuk

mendukung percepatan pengembangan wilayah dan atau pusat pertumbuhan

wilayah yang sedang berkembang. Selanjutnya pembangunan Lokasi Permukiman

Transmigrasi dapat dilaksanakan melalui: (a) Pembangunan satu SKP; (b)

Pembangunan SP; dan (c) Pembangunan bagian dari permukiman yang sudah ada.

Page 95: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

69

Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT)

WPT adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan

permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang

baru. Perubahan definisi berdasarkan UU No. 29/ 2009, WPT adalah wilayah

potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi yang

terdiri atas beberapa satuan kawasan pengembangan yang salah satu di antaranya

direncanakan untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah baru sebagai

kawasan perkotaan baru sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Setiap WPT terdiri dari beberapa SKP, dan mempunyai daya tampung

sekurang-kurangnya 9.000 Kepala Keluarga, yang dilengkapi dengan sarana: 1)

Pusat kegiatan ekonomi wilayah; 2) Pusat kegiatan industri pengolahan hasil; 3)

Pusat pelayanan jasa dan perdagangan; 4) Pusat pelayanan kesehatan; 5) Pusat

pendidikan tingkat menengah; 6) Pusat pemerintahan.

Kawasan yang diperuntukkan sebagai rencana Wilayah Pengembangan

Transmigrasi harus sesuai dengan rencana tata ruang Wilayah/Daerah. Selain itu

WPT harus memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai produk unggulan

yang memenuhi skala ekonomis; mempunyai kemudahan hubungan dengan kota

atau wilayah yang sedang berkembang; dan tingkat kepadatan penduduk masih

rendah.

Gambar 4 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. Sumber: Modifikasi dari Priyono dan Fatimah (2010).

PDS 300-500 KK

Sisipan 300-500 KK

LPT/SKP LPT/SKP

Sisipan 300-500 KK

PDS 300-500 KK

LPT/SKP

PDS 300-500 KK

Sisipan 300-500 KK

WPT 9000 KK 36000 jiwa PP 2/1999

PTA 300-500 KK

SP/PTB 300-500 KK

PTA 300-500 KK

SP/PTB 300-500 KK

SP/PTB 300-500 KK

PTA 300-500 KK

Page 96: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

70

Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman Transmigrasi yang Sudah Ada (eks unit permukiman transmigrasi); PDS = Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS

= Desa utama atau Pusat kawasan (antara SP/PTB atau PTA)

Kota Terpadu Mandiri (KTM)

Pembangunan WPT dan LPT dimaksudkan untuk mewujudkan pusat-pusat

pertumbuhan yang baru, yang berorientasi pada spatial economic growth. Untuk

merealisasikan konsep pengembangan pusat pertumbuhan WPT dan LPT saat ini

dapat dilaksanakan secara integratif dan diaplikasikan melalui pengembangan

KTM di lokasi transmigrasi. KTM ini merupakan embrio pembangunan WPT dan

LPT sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun

1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999.

KTM adalah kawasan transmigrasi yang pembangunannya dirancang

menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui

pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. KTM dibangun berdasarkan

prinsip-prinsip pengembangan wilayah yang dalam penerapannya diwujudkan

dalam kerangka struktur tata ruang kawasan transmigrasi. Pembangunan KTM

merupakan bagian atau hasil dari pengembangan WPT. Dari beberapa SKP yang

ada dalam WPT, satu di antaranya ditentukan sebagai pusat pengembangan utama

(pada tingkat WPT) dan kemudian dijadikan Pusat KTM (Manuwiyoto 2008).

Fungsi perkotaan menurut Tarigan (2005) sebagai berikut:

1. Pusat perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan melayani masyarakat

kota sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggiran (daerah yang

berbatasan), melayani beberapa kota kecil (pusat kabupaten), melayani pusat

provinsi atau pusat perdagangan antarpulau atau ekspor di provinsi tersebut dan

pusat beberapa provinsi sekaligus.

2. Pusat pelayanan jasa, baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan. Jasa

perorangan misalnya tukang pangkas rambut, salon ,tukang jahit, perbengkelan,

reparasi alat elektronik, pengacara, dokter, notaris, atau warung kopi atau nasi.

Jasa perusahaan misalnya perbankan, perhotelan, asuransi, pengangkutan

pelayanan pos, tempat hiburan, dan jasa penyewaan peralatan.

Page 97: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

71

3. Tersedianya prasarana perkotaan seperti sistem jalan kota yang baik, jaringan

listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah, sistem

drainase, taman kota, dan pasar.

4. Pusat penyediaan fasilitas sosial seperti prasarana pendidikan (Universitas,

Akademi, SMA, SMP, SD) termasuk berbagai macam kursus keterampilan,

prasarana kesehatan, termasuk apotek, tempat ibadah, prasaran olahraga, dan

prasarana sosial seperti gedung pertemuan.

5. Pusat pemerintahan, banyak kota yang merupakan lokasi pusat pemerintahan.

Pusat pemerintahan turut mempercepat tumbuhnya suatu kota karena banyak

masyarakat yang perlu datang ke tempat untuk urusan pemerintahan.

6. Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi.

7. Lokasi permukiman yang tertata.

Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan

pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,

pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan

kegiatan ekonomi. Kawasan perkotaan menurut besarannya dapat berbentuk

kawasan perkotaan kecil, perkotaan sedang, perkotaan besar, metropolitan dan

megapolitan.

Kawasan perkotaan kecil adalah kawasan dengan jumlah penduduk yang

dilayani 50.000-100.000 jiwa. Kawasan perkotaan sedang adalah kawasan dengan

jumlah penduduk yang dilayani lebih dari 100.000 jiwa dan kurang dari 500.000

jiwa. Kawasan perkotaaan besar adalah dengan jumlah penduduk yang dilayani

paling sedikit 500.000 jiwa. Kawasan metropolitan adalah kawasan yang terdiri

atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti

dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan

fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang

terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya

1.000.000 jiwa. Selanjutnya kawasan megapolitan adalah dua atau lebih kawasan

metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang

Penyelenggaraan Penataan Ruang dinyatakan fungsi kawasan perkotaan sebagai:

Page 98: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

72

1. Kawasan perkotaan kecil, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa

kegiatan perdagangan dengan jangkauan pelayanan kecamatan dan/atau

antardesa.

2. Kawasan perkotaan sedang, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi

berupa kegiatan jasa dan perdagangan dengan jangkauan pelayanan satu

wilayah kabupaten dan/atau antarkabupaten.

3. Kawasan perkotaan besar, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa

kegiatan jasa, perdagangan, dan industri dengan jangkauan pelayanan satu

wilayah provinsi dan/atau antarprovinsi.

4. Kawasan Metropolitan, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa

kegiatan jasa, perdagangan, industri, dengan jangkauan pelayanan

antarprovinsi dan/atau nasional.

5. Kawasan Megapolitan, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa

kegiatan jasa, perdagangan, industri, dengan jangkauan pelayanan regional

antarnegara.

Mengacu pada hal tersebut, khususnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang, dapat dikemukakan bahwa konsep KTM yang

dirancang sebagai kawasan perkotaan relatif sulit untuk terpenuhi, terutama terkait

kriteria jumlah penduduk minimal (50.000 jiwa) yang dilayani. Oleh karenanya

konsep kawasan perkotaan dalam pembangunan transmigrasi harus ditinjau ulang

dalam kerangka pembangunan transmigrasi yang lebih terarah.

2.8 Pemukiman Kembali di Negara-Negara Lain Migrasi adalah bentuk realokasi sumber daya modal manusia. Pada

dasarnya, seperti sumber daya fisik, sumber daya modal manusia juga cenderung

pindah (dialokasikan) pada daerah yang memberikan imbalan yang relatif tinggi.

Migrasi adalah suatu mekanisme penyeimbang yang akan memindah modal

manusia dari suatu tempat yang relatif kurang dimanfaatkan ke daerah yang relatif

lebih dapat dimanfaatkan (Ananta 1986).

Dalam teori ekonomi dinyatakan bahwa mekanisme pasar merupakan suatu

alat yang murah dalam mengalokasikan sumberdaya secara efisien. Mekanisme

pasar akan dengan cepat menunjukkan di mana terdapat kelebihan permintaan

atau penawaran. Namun demikian, ketika mekanisme pasar gagal berada pada

Page 99: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

73

arah yang benar, maka diperlukan campur tangan pemerintah agar mekanisme

pasar memberikan hasil yang diinginkan.

Dalam konteks alokasi sumber daya manusia, ketika migrasi berada pada

arah yang tidak sesuai (misalnya pindahnya penduduk dari desa ke kota

sedangkan kota sudah memiliki penduduk yang terlalu padat atau pindahnya

penduduk dari daerah yang jarang ke daerah yang padat penduduk), maka perlu

campur tangan pemerintah untuk membuat migrasi berjalan di arah yang benar.

Salah satu bentuk campur tangan tersebut adalah melalui transmigrasi atau yang

dikenal secara umum sebagai bentuk pemukiman kembali penduduk.

Pemukiman kembali adalah terjemahan kata resettlement. Settlement berarti

a place where people have come to live and make their homes, especially where

few or no people lived before. Sedangkan to resettle adalah to go and live in a new

country or area. Kata lain yang berkaitan dengan resettlement di antaranya adalah

relocation, movement, passage, exodus, immigration. Dengan demikian

pemukiman kembali didefinisikan sebagai kegiatan memindahkan penduduk dari

satu tempat ke tempat lain dengan tujuan menetap (Soegiharto et al. 2005)

Pemukiman kembali atau penyelenggaraan perpindahan penduduk tidak

hanya ada di Indonesia. Di Asia di antaranya Malaysia, Srilanka, Filipina,

Thailand, Vietnam. Di Amerika Latin di antaranya Peru, Bolivia, Paraguay dan

Mexico. Di Afrika di antaranya Ghana, Kenya dan Nigeria. Setiap negara

memiliki latar belakang dan sasaran-sasaran yang berbeda, namun pada dasarnya

sama yang mencakup kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya

dan hankam, bahkan pemantapan ideologi (Yudohusodo 1997)

Soegiharto dan Saidin (2005) melalui kajian permukiman kembali di

beberapa negara menemukan beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal tujuan

program pemukiman kembali tersebut. Secara ringkas diberikan pada Tabel 10

berikut:

Page 100: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

74

Tabel 10 Komparasi tujuan program pemukiman kembali pada tujuh negara No Persamaan Negara

1 Demografi (penyebaran penduduk, distribusi penduduk)

Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil

2 Sosial (pengentasan kemiskinan, pengangguran, reformasi agraria)

Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil, Australia

3 Ekonomi (pembangunan daerah, pengembangan areal pertanian)

Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil

4 Politik (interaksi social budaya, geopolitik, integrasi politik)

Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil, Australia

No Keunikan Program, Negara 1 Mengisi pembangunan pusat – pusat

industri, jarak dekat Self Defence Villages, Thailand

2 Sosial Ekonomi, bukan cuma – cuma (non charity )

FELDA, Malaysia

3 Lintas etnis, interaksi sosial budaya Zone Ekonomi Baru, Vietnam

4 Pembangunan infrastruktur dan pemukiman, skala kecil

Namatjira, Australia

5 Ekonomi skala kecil Lembah Majerda, Tunisia

6 Pertahanan keamanan, reformasi agraria Incra Precidencia, Brazil Sumber: Soegiharto dan Saidin (2005)

Selanjutnya dalam konteks model penyelenggaraannya, juga terdapat

beberapa perbedaan dan persamaannya dengan program transmigrasi di Indonesia.

Model penyelenggaraan tersebut mencakup seleksi lokasi, seleksi calon pemukim,

serta pemilihan komoditas dan pembagian lahan.

2.8.1 Seleksi Lokasi Pada umumnya, pemilihan wilayah didasarkan pada tujuan untuk

mengurangi kepadatan penduduk. Namun terdapat variasi dalam hal pembagian

wilayah-wilayah padat penduduk sebagai target daerah asal, dengan cakupan

mulai dari provinsi hingga kecamatan. Terdapat juga pembagian wilayah

berdasarkan pembagian wilayah bagian selatan dan utara, dataran tinggi dan

dataran rendah, serta lainnya.

Di Vietnam, pemindahan penduduk dilaksanakan dari Utara ke Selatan, dari

kota ke desa, dan dari dataran rendah ke dataran tinggi, serta dari provinsi padat

penduduk ke provinsi jarang penduduk. Di Malaysia, sasaran untuk pemerataan

pendapatan antarwilayah lebih penting daripada pemerataan distribusi penduduk.

Wilayah yang dipilih untuk menerima pemukim terdapat di enam negeri bagian,

Page 101: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

75

tiga di antaranya adalah pada negeri bagian dengan pendapatan rendah yang

terdapat di pantai timur (Kelantan, Pahang, dan Trengganu). Demikian pula

dengan wilayah yang berada di bagian utara Kedah, yang merupakan wilayah

berpenduduk jarang dibandingkan dengan negeri bagian yang ada di bagian barat

semenanjung. Di negara-negara Amerika Latin, pada umumnya pemindahan

penduduk merupakan pemukiman kembali penduduk dari wilayah dataran tinggi

ke dataran rendah tropis, kecuali Peru di mana area gurun dipilih sebagai wilayah

untuk kolonisasi pertanian.

2.8.2 Seleksi Calon Pemukim Faktor-faktor umum yang menjadi perhatian dalam seleksi calon pemukim,

adalah latar belakang pemukim, keterampilan, dan keuletan, yang diimplikasikan

dalam kriteria pemilihan seperti umur, latar belakang keluarga, pengalaman di

bidang pertanian, dan motivasi mengikuti program. Secara garis besar, kriteria

seleksi ini dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kriteria seleksi yang

diaplikasikan pada kelompok penduduk yang paling tidak beruntung, misalnya

penduduk miskin. Kedua, kriteria seleksi yang ditujukan pada sumber daya

manusia yang lebih berkualitas dan memiliki inisiatif. Kedua cara seleksi ini

menunjukan orientasi dari program yang dilaksanakan, apakah dalam kerangka

tujuan sosial atau tujuan ekonomi.

Seleksi Untuk Tujuan Sosial

Di beberapa negara, tujuan sosial mendominasi penyelengaraan program

pemukiman kembali. Skema pemukiman kembali di negara-negara ASEAN pada

umumnya memberi peluang kepada penduduk yang berusia lebih tua

dibandingkan usia migran spontan. Dalam hal pendidikan, peserta program

pemukiman kembali memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan penduduk

dari daerah asal dibandingkan dengan tingkat pendidikan kaum migran spontan.

Peserta transmigrasi di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang paling rendah

dibandingkan dengan mereka yang mengikuti program serupa di negara-negara

ASEAN lainnya.

Di Thailand dan Malaysia, yang tidak mengutamakan tujuan demografis,

sebagian besar pemukiman kembali bersifat intraprovinsi. Dengan sistim ini,

kesamaan latar belakang dapat mengurangi potensi konflik antara pemukim baru

Page 102: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

76

dengan penduduk setempat. Sebaliknya, di masa lalu pemukiman intra-propinsi

jarang ditemui di Indonesia dan Philipina, karena dari tujuan demografis

merupakan tujuan utama program pemukiman kembali di ke dua negara tersebut.

Seleksi untuk tujuan ekonomi

Hanya sebagian kecil penyelenggaraan pemukiman kembali dengan kriteria

seleksinya lebih menekankan tujuan efisiensi ekonomi daripada pertimbangan

kemanusiaan dan sosial. Contoh penerapannya pada skema FELDA(Federal Land

Development Authority) di Malaysia. Seleksi pemukim diarahkan untuk

memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki inisiatif, tidak untuk

charity bagi mereka yang malas.

Dimulai tahun 1961, skema FELDA menerapkan sistem seleksi yang juga

memasukan persyaratan sebagai berikut: warga negara, tidak memiliki lahan atau

memiliki kurang dari 2 acres (0.8 Ha), umur (18-35 tahun), status kawin, latar

belakang pertanian, dan dalam kondisi fisik sehat. Dalam skema FELDA,

pemukim harus petani yang baik, dan land settlement harus dibedakan dari

penataan daerah kumuh (slum clearence). Sesuai dengan permintaan pemerintah,

pensiunan pegawai negeri dapat mengisi jatah 20 persen pada program

pemukiman kembali. Untuk pensiunan pegawai negeri, tidak diberlakukan aturan

harus memiliki keterampilan bertani.

2.8.3 Pembagian Lahan dan Pemilihan Komoditas Di Thailand, setiap keluarga kolonis mendapat lahan maksimal 50 rai (8

acre). Di Malaysia, lahan dengan luas 8 hingga 10 acre bagi setiap peneroka

merupakan batas minimum untuk tanaman karet, dan 12 acre untuk tanaman

kelapa sawit. Di Vietnam, kesuburan tanah menjadi faktor penentu dalam

penentuan luas lahan yang dibagikan. Luasan normal adalah 0.5 Ha untuk wilayah

dengan lahan yang sangat subur, dan 1 hingga 2 Ha untuk wilayah hutan marjinal.

Dalam program transmigrasi di Indonesia setiap transmigran mendapatkan

lahan yang luasnya disesuaikan dengan pola usahanya. Luas lahan yang diterima

transmigran berkisar antara 0,75 Ha sampai 2,0 Ha.

Dalam prosedur pembebasan tanah, pada tahun 1942 Thailand

mengeluarkan keputusan tentang alokasi lahan (the land alocation act) guna

meningkatkan distribusi tanah negara kepada petani tuna kisma. Sementara itu,

Page 103: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

77

program pemukiman kembali secara simultan dilaksanakan diantaranya oleh

Departemen Sosial (Department of Public Welfare) dalam Kementerian Dalam

Negeri (Ministry of the Interior), Departemen Pertanahan (the Department of

Lands), Departemen Koperasi (Department of Cooperatives), dan Agricultural

Land Reform Office dari Kementerian Pertanian dan Koperasi (Ministry of

Agriculture and Cooperatives).

Di Malaysia, konflik kepentingan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah federal membuat permasalahan land colonization menjadi kompleks.

Oleh karena itu, tahun 1959 dibentuk Kementerian Pembangunan Desa (Ministry

of Rural Development) untuk melakukan terobosan dalam struktur federal dengan

mengambil alih kewenangan Pusat. Tahun 1961-1967, sebagai bagian dari

mandat, FELDA diberi kewenangan untuk secara langsung membangun tanah-

tanah negara yang secara tradisional merupakan properti para sultan.

Di Indonesia, prosedur pembebasan lahan dilaksanakan di lingkungan

institusi pemerintahan yang terkait. Lahan untuk tujuan program transmigrasi ini

dimiliki oleh pemerintah, yaitu berupa tanah negara atau lahan bebas. Selanjutnya,

banyak variasi ditemui dalam pemilihan komoditi tanaman. Di beberapa negara,

tujuan ekonomi pemukiman kembali adalah untuk meningkatkan produksi pangan,

sedangkan di negara lain, prioritas utamanya adalah untuk meningkatkan produk

tanaman ekspor.

Di Malaysia, para peneroka (pembuka daerah atau tanah baru) tidak

mempunyai pilihan lain untuk komoditi utama. Pemerintah telah menetapkan

tanaman karet sebagai komoditi unggulan pada awal penyelenggaraan skema

FELDA. Sebagai upaya diversifikasi disediakan lahan seluas 0.8 Ha untuk

tanaman buah-buahan, sebagai tambahan dari lahan yang dibagikan dengan luas

standar 2,4 Ha untuk tanaman karet. Pada tahun 1961 tanaman kelapa sawit

diperkenalkan, dan secara cepat dapat mengungguli area untuk karet.

Di Thailand, setiap lokasi pemukiman kembali memiliki tanaman campuran

seperti jagung, padi, kacang-kacangan, nenas, tebu, kelapa dan kapas. Di

Vietnam, awalnya penekanan diberikan pada produksi padi dan ubi kayu. Ketika

Zone Ekonomi Baru di Vietnam dibuka, penggunaan lahan telah mengalami

diversifikasi dengan karet, kopi, teh, kelapa, lada, buah-buahan.

Page 104: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

78

Kegiatan selanjutnya adalah mempersiapkan lokasi pemukiman. Di

beberapa negara, pemukim melakukan sendiri seluruh kegiatan penyiapan lahan,

sedangkan di negara lainnya kegiatan pembukaan lahan (land clearing) dan

pembangunan lahan seluruhnya dilakukan oleh pemerintah. Perbedaan terjadi

karena perbedaan ketersediaan dana untuk penyiapan lahan. Variasi juga terjadi

dalam kegiatan penyiapan lahan tergantung dari skala dan tujuan program

pemukiman kembali.

Pada skema self-help di Thailand para kolonis menanggung bagian yang

cukup besar dari biaya pembangunan fisik. Model seperti self-help vilages ini juga

ditemui di Vietnam. Di Vietnam, para tentara peserta program bekerja

membersihkan lahan. Pada tahap selanjutnya, sekelompok pemuda sukarelawan

mempersiapkan lahan dan membangun tempat tinggalnya.

Malaysia, melalui skema FELDA menerapkan capital intensive schemes.

FELDA melaksanakan sendiri kegiatan pembukaan lahan, pembangunan rumah,

dan penanaman tanaman. Skema FELDA mengeluarkan biaya yang cukup tinggi

untuk lahan yang dikembangkan. Namun cara ini diyakini telah meningkatkan

daya tarik skema FELDA, serta mampu menahan para pemukim untuk tinggal

menetap disana. Selain itu, FELDA juga menyediakan sarana infrastruktur.

Di Indonesia, terdapat dua tipe skema pemukiman yaitu yang sepenuhnya

disubsidi oleh Pemerintah (Transmigrasi Umum) dan yang dibiayai oleh

Pemerintah, swasta, dan petani. Skema yang mirip dengan FELDA adalah

program transmigrasi pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR-Trans). Pola ini mendapat

bantuan pemerintah dalam hal membuka lahan, menyiapkan bibit non tanaman

perkebunan, menanam dan memelihara tanaman sampai jangka waktu tertentu.

Selanjutnya transmigran (sebagai petani plasma) didatangkan untuk menetap,

mengelola kebun dan memanen hasil kebunnya serta membayar kredit, sedangkan

pembinaan teknis perkebunan dan pemasaran hasil oleh swasta sebagai

perusahaan inti.

Berbeda dengan negara-negara lain, pemerintah Indonesia membersihkan

sebagian atau seluruh lahan yang akan diberikan kepada transmigran. Bentuk

penyiapan lokasi bervariasi tergantung dari kondisi lokasi dan jenis transmigrasi.

Transmigrasi Umum menerima bantuan paling banyak dari pemerintah. Meskipun

Page 105: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

79

termasuk fleksibel dalam hal luasan lahan yang dibagikan dan dalam pengunaan

lahan, proporsi penggunaan lahan untuk pertanian subsisten pada transmigrasi

masih lebih tinggi dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya.

2.9 Teori-Teori yang Mendasari Pembangunan Transmigrasi Dalam berbagai bidang pembangunan, agar suatu tujuan dapat tercapai

secara efisien diperlukan alokasi sumberdaya secara optimal. Sumberdaya

tersebut dapat berupa sumberdaya modal fisik, sumberdaya modal manusia dan

sumberdaya alam. Dalam konteks ini, migrasi adalah suatu bentuk realokasi

sumberdaya modal manusia (Ananta 1986).

Model yang sering digunakan untuk menganalisis mobilitas penduduk di

suatu wilayah adalah model dorong-tarik (push-pull factors), yang dikembangkan

oleh Everett S. Lee. Model dorong-tarik ini menyatakan penyebab utama

seseorang pindah ke daerah lain adalah karena kondisi sosial ekonomi di daerah

asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya (needs).

Karenanya, prasyarat utama yang akan mendorong seseorang untuk pindah adalah

adanya perbedaan nilai kefaedahan wilayah (place utility) antara daerah asal

dengan daerah tujuan. Daerah tujuan harus mempunyai nilai kefaedahan wilayah

yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah asal. Dengan kata lain, jika

dikaitkan dengan pembangunan, berdasarkan kerangka model ini dapat

dikemukakan bahwa ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan faktor

yang menjadi pemicu mobilitas penduduk (Junaidi & Hardiani 2009).

Terdapat empat kelompok faktor yang mempengaruhi orang mengambil

keputusan untuk bermigrasi dan proses migrasi, yaitu (Lee 1992): yaitu (1)

Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal; (2) Faktor – faktor yang terdapat di

daerah tujuan; (3) Penghalang antara; dan (4) Faktor – faktor pribadi. Tiga

kelompok faktor yang pertama secara skematis dapat dilihat pada gambar 5.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi orang untuk menetap di suatu

daerah atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut. Selain itu, terdapat

juga faktor-faktor yang memaksa seseorang untuk meninggalkan daerah tersebut.

Keseluruhan faktor-faktor ini ditunjukkan dalam Gambar 5 dengan tanda (+) dan

(-). Faktor-faktor lain yang ditunjukkan dengan tanda (0) ialah faktor-faktor netral

Page 106: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

80

yang tidak mempengaruhi keputusan seseorang untuk menetap atau pindah dari

daerah tersebut. Gambar 5 Faktor daerah asal dan daerah tujuan serta penghalang antara dalam

migrasi. Sumber: Lee (1992).

Beberapa faktor mempunyai pengaruh yang sama terhadap beberapa

orang, tetapi terdapat juga faktor yang berpengaruh berbeda terhadap seseorang.

Oleh karenanya akan terdapat perbedaan sikap antara setiap migran dan calon

migran terhadap faktor + dan -, yang terdapat baik di daerah asal maupun daerah

tujuan. Sebagai contoh, bagi orang tua yang mempunyai banyak anak kecil, akan

memberikan nilai + pada daerah dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang

bagus meskipun biaya hidup relatif mahal di daerah tersebut (misalnya karena

harga/sewa rumah relatif mahal). Sementara bagi orang yang hidup sendiri

mungkin tidak terpengaruh untuk tinggal di daerah tersebut, karena tidak ada anak

yang harus disekolahkan.

Keputusan bermigrasi dalam konteks ini merupakan hasil perbandingan

faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan di daerah tujuan. Selain itu, diantara

dua tempat tersebut selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-

keadaan tertentu tidak terlalu berat, tetapi dalam keadaan-keadaan lain tidak dapat

diatasi. Yang paling utama diantara rintangan-rintangan tersebut adalah jarak.

Sejumlah rintangan yang sama dapat menimbulkan pengaruh yang

berbeda-beda pada masing-masing individu, yang akan mempengaruhi keputusan

migrasinya. Selain itu, masih banyak faktor pribadi yang berpengaruh terhadap

seseorang yang akan pindah, faktor-faktor itu dapat mempermudah atau

memperlambat migrasi.

0 + - + 0

+ - + 0 -

0 + - 0 +

+ + 0 - -

0 + - + 0

+ - + 0 -

0 + - 0 +

+ + 0 - -

Daerah Asal Daerah Tujuan

Penghalang Antara

Page 107: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

81

Dari berbagai faktor tersebut, Todaro dan Smith (2008) mengemukakan

bahwa motivasi utama seseorang untuk pindah adalah motif ekonomi, yakni

karena adanya ketimpangan ekonomi antara berbagai daerah. Motif utama

tersebut sebagai pertimbangan ekonomi yang rasional, dimana mobilitas

mempunyai dua harapan, yaitu harapan untuk memperoleh pekerjaan dan harapan

untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari pada yang diperoleh di

daerah asal.

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa migrasi pada dasarnya adalah suatu

mekanisme penyeimbang yang akan memindah manusia dari suatu tempat yang

relatif kurang dimanfaatkan ke daerah yang relatif lebih dapat dimanfaatkan.

Mekanisme pasar akan mengatur perpindahan atau alokasi sumberdaya modal

manusia sehingga ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran dapat

dikurangi. Meskipun demikian menurut Ananta (1986) mekanisme pasar memiliki

kelemahan utama yaitu hanya tergantung pada visi individu, tanpa melihat visi

dalam lingkup yang lebih luas yang akan menguntungkan masyarakat banyak

(termasuk dirinya sendiri). Para migran tidak akan berpikir apakah kepindahannya

ke suatu daerah akan membantu mengurangi kemiskinan di daerahnya atau bahwa

berpindahnya akan mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang dituju. Hal

ini menjadi faktor penjelas fenomena terjadi migrasi dari desa ke kota atau daerah

jarang penduduk ke daerah padat penduduk, meskipun di kota atau daerah padat

penduduk belum tentu terdapat banyak peluang pekerjaan.

Dalam konteks kegagalan mekanisme pasar, maka perlu campur tangan

pemerintah untuk membuat migrasi berjalan di arah yang benar. Salah satu bentuk

campur tangan tersebut adalah pelaksanaan program transmigasi. Campur tangan

pemerintah dalam hal ini adalah memperbaiki tanda yang diberikan oleh

mekanisme pasar dengan membangun daerah tujuan transmigrasi dengan berbagai

fasilitas serta dukungan finansial dan non-finansial kepada transmigran sehingga

calon migran tertarik untuk pindah ke daerah tujuan transmigrasi.

Selanjutnya terkait dengan konsep pembangunan daerah tujuan transmigrasi

(kawasan transmigrasi), secara umum, terdapat enam teori utama yang

mendasarinya yaitu teori tempat sentral (central place theory), teori kutub

pertumbuhan (growth pole theory), teori aglomerasi, teori kutub pembangunan

Page 108: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

82

terlokalisasikan (localized poles of development), teori ekonomi geografi baru

dan teori simpul-simpul jasa distribusi. Teori tempat sentral diturunkan dari karya

Christaller pada Tahun 1933 (Rustiadi et al. 2009). Menurut teori tempat sentral,

distribusi penduduk secara spasial tersusun dalam sistem pusat hierarki dan

kaitan-kaitan fungsional ini. Teori tempat sentral menganggap bahwa ada hierarki

tempat. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil

yang menyediakan sumber daya (industri dan bahan baku). Tempat sentral

merupakan pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang

mendukungnya.

Komponen dasar dari sistem tempat sentral adalah hierarki, penduduk

ambang dan lingkup pasar. Penduduk ambang adalah jumlah minimum penduduk

yang harus ada untuk dapat menopang kegiatan jasa. Lingkup pasar dari suatu

kegiatan jasa adalah kesediaan orang untuk menempuh jarak tertentu untuk

mencapai tempat penjualan jasa tersebut. Tingkat tempat sentral tergantung pada

jasa yang tersedia di lokasi tersebut sehingga membentuk tingkat rendah sampai

tingkat tinggi.

Selanjutnya teori kutub pertumbuhan pertama kali diperkenalkan oleh

Fancois Perroux pada Tahun 1949 (Mercado 2002). Kutub pertumbuhan

didefinisikan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya

sentripetal”.

Salah satu unsur fundamental dalam pengembangan wilayah adalah

keberadaan pusat. Dalam konteks ini, konsep titik pertumbuhan (growth point

concept) merupakan mata rantai antara struktur daerah-daerah nodal yang

berkembang dengan sendirinya dan perencanaan fisik dan regional. Selanjutnya

menurut Haruo (2000), dalam rangka mendorong pertumbuhan di negara-negara

berkembang, maka disarankan strategi pengembangan wilayah dalam bentuk

pengkonsentrasian investasi pada sejumlah kutub pertumbuhan yang terbatas.

Terkait dengan titik pertumbuhan ini, Friedman dan Alonso (1964) diacu

dalam Stimson et al. (2002) melahirkan konsep yang dikenal dengan sebutan

interaksi antara inti dan tepi (core and periphery interaction). Pembangunan

berawal dari sejumlah relatif sedikit pusat-pusat perubahan (centre of change)

yang terletak di titik-titik interaksi yang berpotensi tinggi dalam batas atau bidang

Page 109: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

83

jangkauan komunikasi. Daerah-daerah inti (core regions) tersebut merupakan

pusat-pusat utama dari pembaharuan. Sementara wilayah-wilayah teritorial

lainnya merupakan daerah-daerah tepi/pinggiran (periphery regions) yang berada

jauh dari pusat perubahan, yang tergantung kepada daerah-daerah inti.

Dengan demikian konsep titik pertumbuhan itu merupakan mata rantai

penghubung antara struktur wilayah-wilayah nodal yang berkembang dengan

sendirinya dengan perencanaan fisik dan wilayah. Akan tetapi, kutub

pertumbuhan tidak hanya merupakan lokalisasi dari industri-industri inti. Kutub

pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitar, dan

karenanya efek polarisasi strategi adalah lebih menentukan dari pada perkaitan-

perkaitan antarindustri.

Pendapatan di daerah pertumbuhan secara keseluruhan akan mencapai

maksimum apabila pembangunan dikonsentrasikan pada titik-titik pertumbuhan

dibandingkan jika terpencar di seluruh daerah. Dengan demikian, interaksi antara

masing-masing titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah unsur yang

panting dalam teori ini. Interaksi ini mempunyai beberapa aspek sebagai berikut:

Pertama, interaksi ini akan menimbulkan ketidak seimbangan struktural di

daerah yang bersangkutan. Jika suatu titik pertumbuhan digandengkan dengan

pembangunan suatu kompleks industri baru, maka kompleks tersebut akan

ditempatkan di sekitar titik pertumbuhan. Memang harus diakui industri-industri

penyuplai di daerah pengaruh tentu akan ikut terdorong berkembang, tetapi

perbedaan yang besar dalam kemakmuran antara titik pertumbuhan dan daerah

yang mengitarinya akan tetap terdapat. Selanjutnya di luar perbatasan daerah

pengaruh, tingkat pendapatan dapat mengalami stagnasi dan daerah mengalami

kemunduran.

Kedua, industri-industri penggerak (propulsive industries) di kutub

pertumbuhan adalah industri-industri ekspor yang melayani pasar-pasar ekstra

regional. Teori titik pertumbuhan secara implisit bersumber pada konsep basis

ekspor tetapi dengan memberinya dimensi ruang, karena industri-industri inti (key

industries) berlokasi pada titik pertumbuhan sedangkan industri-industri suplai,

tenaga kerja, bahan-bahan mentah dan pelayanan-pelayanan dapat terpencar-

pencar di seluruh daerah pengaruh. Pendapatan yang terima di daerah pengaruh

Page 110: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

84

bersal dari penerimaan faktor terutama upah yang diperoleh para pekerja yang

tinggal di daerah pengaruh tetapi bekerja di titik pertumbuhan. Salah satu

perbedaan antara titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah bahwa titik

pertumbuhan dapat dianggap sebagai pasar tenaga kerja sentral dan daerah

pengaruhnya sebagai daerah sumber tenaga kerja.

Ketiga, fungsi tempat sentral dari titik pertumbuhan dapat memperjelas

hubungan antartitik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya. Tersedianya pelayanan

sentral adalah salah satu keuntungan aglomerasi yang penting pada titik

pertumbuhan. Tetapi, secara konsepsional, titik pertumbuhan dan tempat sentral

tidaklah identik. Tempat-tempat sentral banyak sekali dan tersusun dalam suatu

hierarki, sedangkan titik pertumbuhan hanya sedikit dan dalam beberapa hal

hanya satu di suatu daerah.

Konsep kutub pertumbuhan pada dasarnya mempunyai pengertian tata ruang

secara abstrak. Suatu kutub berarti suatu pengelompokan atau konsentrasi unsur-

unsur dan Perroux menganggap tata ruang secara abstrak yang menekankan

karakteristik regional tata ruang ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, Boudeville

(1961) diacu dalam Adisasmita (2008) mengemukakan teori kutub pembangunan

yang terlokalisasikan (localized poles of development). Menurut Boudeville tata

ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis.

Teori Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari

adanya kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang

geografis. Ia mendefinisikan kutub pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat

industri-industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan

mendorong pertumbuhan lebih lanjut perkembangan ekonomi melalui wilayah

pengaruhnya.

Teori Boudeville ini juga dianggap mampu menjembatani teori-teori tempat

sentral dan teori kutub pertumbuhan. Teori tempat sentral hanya menjelaskan

adanya pola pusat-pusat tertentu pada tata ruang geografis dan tidak membahas

adanya perubahan pola-pola tersebut. Teori kutub pertumbuhan lebih menjelaskan

pembangunan industri dan perubahan-perubahan pada tata ruang industri. Dengan

kata lain lebih melihaat perubahan-perubahan struktural tetapi kurang

menjelaskan pengelompokan pada tata ruang geografis. Dalam konteks ini, teori

Page 111: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

85

Boudeville menjelaskan tidak hanya mengenai pengelompokan geografis semata

tetapi juga peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan diantara

pengelompokan-pengelompokan tersebut. Hal ini berkaitan dengan hirarkie

wilayah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk memahami

pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya.

Pengkonsentrasian investasi pada sejumlah titik pertumbuhan yang terbatas,

pada dasarnya mengacu pada konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi industri

pertama kali dibahas secara eksplisit oleh Alfred Weber pada tahun 1909 dalam

analisis teori lokasi industri. Weber berusaha menetapkan lokasi industri yang

optimal dalam arti pemilihan lokasi yang mempunyai biaya minimal. Lokasi

dengan biaya minimal tersebut mungkin berorientasi pada tersedianya tenaga

kerja atau transportasi ataupun ditentukan oleh keuntungan-keuntungan yang

ditimbulkan oleh aglomerasi. Kekuatan aglomerasi terdiri atas minimum besarnya

pabrik yang efisien dan keuntungan-keuntungan eksternal (Adisasmita 2008).

Malmberg dan Maskell (1997) mengemukakan aglomerasi berkaitan dengan

konsentrasi spasial dari penduduk dan kegiatan-kegiatan ekonomi. Ini sejalan

dengan yang dikemukakan oleh Montgomery (1988) bahwa aglomerasi adalah

konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena

penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang

diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan konsumen.

Keuntungan-keuntungan konsentrasi spasial sebagai akibat dari ekonomi

skala disebut dengan ekonomi aglomerasi (agglomeration economies) (Mills &

Hamilton 1989). Ekonomi aglomerasi juga berkaitan dengan eksternalitas

kedekatan geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi, dan ekonomi aglomerasi

merupakan suatu bentuk dari eksternalitas positif dalam produksi yang merupakan

salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan kota (Bradley &

Gans 1998). Ekonomi aglomerasi diartikan sebagai penurunan biaya produksi

karena kegiatan-kegiatan ekonomi berlokasi pada tempat yang sama. Alfred

Marshall menggunakan istilah localized industry sebagai pengganti istilah

ekonomi aglomerasi. Hoover juga membuat klasifikasi ekonomi aglomerasi

menjadi 3 jenis yaitu large scale economies merupakan keuntungan yang

diperoleh perusahaan karena membesarnya skala produksi perusahaan tersebut

Page 112: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

86

pada suatu lokasi, localization economies merupakan keuntungan yang diperoleh

bagi semua perusahaan dalam industri yang sama dalam suatu lokasi dan

urbanization economies merupakan keuntungan bagi semua industri pada suatu

lokasi yang sama sebagai konsekuensi membesarnya skala ekonomi dari lokasi

tersebut. Berbeda dengan pendapat para ahli ekonomi yang lain, O’Sullivan

(2009) membagi ekonomi aglomerasi menjadi dua jenis yaitu ekonomi lokalisasi

dan ekonomi urbanisasi. Dalam hal ini ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas

positif dalam produksi yaitu menurunnya biaya produksi sebagian besar

perusahaan sebagai akibat dari produksi perusahaan lain meningkat.

Dalam konteks teori ekonomi geografi baru, dapat dikemukakan bahwa

dalam jangka waktu yang lama, para ekonom telah mengabaikan konsep semacam

jarak, ruang dan biaya transportasi dalam analisis-analisisnya terhadap

ketidakmerataan pembangunan secara regional. Pada Tahun 1950an dan 1960an,

Myrdal, Hirschman, Kaldor dan lainnya menjelaskan mengenai pembangunan

spasial yang tidak merata melalui konsep cumulative causation (O‘Hara 2002;

Mac.Kinnon 2008). Ekonomi geografi Marxist pada 1980-an mengemukakan

ketidakmerataan pembangunan regional sebagai proses historis. Massey (1984)

mengemukakan pembagian tenaga kerja secara spasial terutama disebabkan

adanya transformasi dan perebutan dalam politik, lebih dari sekedar faktor

perekonomian.

Ketidakmerataan pembangunan secara regional ini menurut model ekonomi

geografi baru memiliki elemen-elemen berikut. Pertama, penekanan penyebab

konsentrasi yang tidak berhubungan dengan sumber daya alam bawaan (natural

endowment). Kedua, penekanan interaksi antara pasar yang berbeda, antara

perusahaan, supplier dan konsumennya, dan peranan ganda dari pekerja sebagai

faktor produksi dan konsumen. Ketiga, kekuatan sentripetal yang mendorong

konsentrasi geografis lebih lemah dibandingkan kekuatan sentrifugal. Keempat,

pentingnya fondasi mikro. Khususnya, ekternalitas positif tidak diasumsikan,

tetapi diturunkan dari saling mempengaruhi antara biaya transportasi, peningkatan

skala pengembalian dan mobilitas faktor.

Dalam teori ekonomi geografi baru, terdapat dua kekuatan utama penyebab

aktivitas ekonomi terkonsentrasi secara geografis, yaitu kekuatan sentripetal dan

Page 113: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

87

sentrifugal (Krugman 1998). Menurut Belke dan Heine (2004) kekuatan ini

memiliki dampak signifikan terhadap keputusan faktor produksi yang begerak

(mobil) untuk beraglomerasi atau deglomerasi secara geografi. Kekuatan

sentripetal atau sentrifugal ini ditentukan oleh derajat integrasi, atau lebih

tepatnya oleh besarnya biaya transportasi.

Sumber kekuatan sentripetal adalah efek ukuran pasar (keterkaitan atau

linkages), pasar kerja yang besar dan ekonomi eksternal murni (pure external

economies). Pasar lokal yang besar menciptakan backward linkages (pasar yang

besar adalah tempat yang lebih disukai untuk produksi barang karena skala

ekonomi) dan forward linkages (pasar yang besar mendukung produksi lokal

untuk barang-barang antara (intermediate goods), menurunkan biaya untuk

industri hilir. Konsentrasi industri didukung oleh pasar kerja yang besar, terutama

untuk keahlian khusus, sehingga tenaga kerja lebih mudah menemukan pekerjaan

dan sebaliknya. Konsentrasi aktivitas ekonomi ini akan menciptakan lebih banyak

(atau lebih sedikit) ekonomi eksternal murni melalui ketersediaan informasi.

Selanjutnya, sumber kekuatan sentrifugal adalah faktor-faktor yang tidak bergerak

(immobile factors), harga/sewa lahan (land rents) dan ekonomi dis-eksternal

murni (pure external diseconomies). Faktor-faktor yang tidak bergerak (tanah dan

sumber daya alam, dan dalam konteks internasional adalah penduduk)

menghalangi konsentrasi produksi, baik dari sisi penawaran (beberapa produksi

harus berlokasi di tempat pekerjanya) dan dari sisi permintaan (faktor yang

terpisah-pisah menciptakan suatu pasar yang terpisah-pisah, dan beberapa

produksi memiliki insentif untuk berlokasi dekat konsumen). Konsentrasi

aktivitas ekonomi menciptakan peningkatan permintaan lahan, meningkatkan

harga lahan dan dengan demikian menyebabkan suatu disinsentif untuk

konsentrasi ke depan. Konsentrasi aktivitas ekonomi dapat menyebabkan lebih

banyak (atau lebih sedikit) ekonomi dis-eksternal murni seperti kemacetan

(congestion).

Selanjutnya, dalam konteks perekonomian dan perdagangan internasional,

teori ekonomi geografi baru mengemukakan bahwa perbedaan antara negara

industri dan non-industri, dapat dijelaskan sebagai hasil dari proses penurunan

biaya perdagangan. Suatu konsep dasar diperkenalkan oleh Krugman dan

Page 114: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

88

Venables (1995). Keduanya berasumsi bahwa semua faktor adalah bersifat tidak

dapat bergerak antarnegara. Proses akumulasi terjadi melalui perbedaan antara

pengembalian hasil tetap (constant-return) sektor pertanian dengan pengembalian

hasil yang meningkat (increasing-return) sektor industri, baik yang menggunakan

maupun menghasilkan input antara. Ide dasarnya adalah produsen barang-barang

antara dalam suatu daerah dengan sektor industri yang besar akan memiliki akses

yang besar ke pasar yang besar yang diberikan oleh industri hilir (backward

linkage), sementara produsen ini (industri hilir) sebaliknya akan memiliki

keuntungan akses yang lebih baik ke barang-barang antara yang dihasilkan di

negara mereka sendiri (forward linkage).

Dalam contoh kasus, misalnya di dunia hanya ada dua negara yang identik

dalam hal biaya transportasi barang-barang industri antarnegara tersebut. Jika

biaya transportasi tinggi, masing-masing negara akan mencukupi dirinya sendiri.

Tetapi jika terjadi penurunan biaya transportasi, akan meningkatkan kemungkinan

perusahaan untuk mengekspor ke negara lain. Karenanya, negara yang memiliki

sektor manufaktur yang lebih besar, akan mendapatkan keuntungan akses lebih

baik, baik ke pasar maupun supplier. Jadi ketika biaya transpor turun, akan terjadi

proses diferensiasi antara negara, dengan negara yang memiliki konsentrasi

industi akan menjadi inti (core), sedangkan negara dengan produksi primer akan

terdegradasi menjadi pinggiran (periphery).

Model yang sama memprediksi penurunan yang berlanjut dalam biaya

transpor akan menghasilkan pembalikan nasib. Alasannya, daerah periphery

memiliki keuntungan kompetitif dalam bentuk upah murah. Keuntungan ini lebih

diimbangi oleh akses yang kuat dari negara maju terhadap pasar (backward

linkage) dan input (forward linkages). Namun, penurunan biaya transportasi

menyebabkan penurunan juga dari pentingnya keterkaitan ini. Jadi, terdapat titik

kritis kedua di mana industri menemukan keuntungan untuk bergerak ke lokasi

upah yang lebih murah.

Untuk menjelaskan ketidakseimbangan regional pada negara-negara

berkembang, model ini juga dapat digunakan. Dalam mengkonversi analisis core-

periphery dalam perbedaan regional, maka pekerja diasumsikan sebagai faktor

yang bisa berpindah-pindah seperti kapital dan tenaga kerja trampil, dan

Page 115: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

89

mengasumsikan bahwa pekerja tidak terampil adalah relatif faktor yang tidak

bergerak. Dengan skala ekonomi yang besar dan biaya transpor yang tinggi, akan

menghasilkan keseimbangan core-periphery yang dapat memiliki perbedaan yang

besar dari upah faktor-faktor yang tidak bergerak.

Melalui perspektif geografi ekonomi, Bank Dunia dalam laporan

pembangunan dunia Tahun 2009 (WB 2009) menyoroti ketimpangan melalui tiga

dimensi yang dikenal dengan istilah 3D, yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi

(density), aspek jarak (distance) dan pembagian/pemisahan geografis sebagai

faktor penghalang terjadinya integrasi ekonomi (division).

Kepadatan atau densitas menunjuk pada massa atau agregat ekonomi per

unit lahan, atau kepadatan geografis ekonomi. Kepadatan adalah tingkat output

yang diproduksi (dan karenanya pendapatan yang diperoleh) per unit lahan.

Nilainya tertinggi di kota-kota besar di mana aktivitas ekonomi terkonsentrasi dan

lebih rendah di lingkungan-lingkungan pedalaman.

Mengingat kepadatan ekonomi yang tinggi membutuhkan konsentrasi

tenaga kerja dan modal secara geografis, kepadatan ekonomi terkait erat dengan

pekerjaan dan kepadatan penduduk. Oleh karenanya, kepadatan populasi kadang

kala digunakan sebagai nilai pengganti dari kepadatan ekonomi ini.

Jarak mengukur seberapa mudah modal mengalir, tenaga kerja berpindah,

barang diangkut, dan layanan disediakan antara dua lokasi. Jarak dalam

pengertian ini merupakan sebuah konsep ekonomi, bukan semata-mata fisik.

Terkait dengan jarak ekonomi, maka jarak mengukur seberapa mudahnya

menjangkau pasar. Ini menentukan akses terhadap kesempatan. Daerah yang jauh

dari pusat-pusat yang ekonominya padat di suatu negara biasanya lebih tertinggal.

Untuk perdagangan barang dan jasa, jarak mencakup waktu dan biaya

moneter. Penempatan dan kualitas infrastruktur transportasi dapat mempengaruhi

jarak ekonomi antara dua area, meskipun jarak euclidean (garis-lurus) antara area

tersebut adalah sama. Selanjutnya untuk mobilitas tenaga kerja, jarak juga

mencakup “biaya fisik” karena keterpisahan dari wilayah yang sudah dikenalnya.

Seperti pada perdagangan, jarak ekonomi untuk migrasi terkait, tetapi tidak sama

artinya, dengan jarak fisik. Hambatan-hambatan yang dibuat manusia, termasuk

Page 116: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

90

kebijakan, juga dapat meningkatkan jarak, seperti pungutan liar dan “uang

keamanan”.

Wilayah yang maju memiliki kepadatan ekonomi tinggi, sementara daerah

yang tertinggal mempunyai jarak yang jauh ke kepadatan. Suatu area punya

kemungkinan lebih besar untuk menjadi daerah tertinggal jika ia semakin jauh

dari wilayah maju, karena jarak yang semakin jauh dari kepadatan

mengimplikasikan kurangnya integrasi ke dalam ekonomi wilayah maju.

Selanjutnya pembagian/pemisahan (division) antarnegara-bangsa membuat

proses geografi ekonomi terpecah-pecah menjadi skala nasional dan regional.

Laporan Bank Dunia tersebut menunjukkan bagaimana pembagian semacam ini

mempengaruhi pembangunan ekonomi, bagaimana geografi dan sejarah budaya

menyumbang pada pembagian ini dan bagaimana negara membangun penghalang

bagi terjadinya interaksi yang produktif dengan negara-negara tetangga dan warga

dunia lainnya. Sementara kepadatan dan jarak berkaitan erat dengan geografi

manusia dan geografi fisik, pembagian lebih mengacu pada geografi sosiopolitik.

Perbedaan antara jarak dan pembagian ini adalah bahwa jarak mengatur

akses pada peluang ekonomi dan suatu cara yang lebih kontinu – suatu jarak pasti

akan berkurang seiring dengan waktu. Ini dapat dilihat sebagai jarak ekonomi atau

waktu tempuh yang makin meningkat untuk satu satuan jarak fisik (atau jarak

Euclidian). Sebaliknya, pembagian menghadirkan hambatan-hambatan yang

berlainan terhadap akses dan integrasi ekonomi.

Seperti teori tempat sentral (Christaller), kutub pertumbuhan (Perroux), teori

daerah inti (Friedmann dan Alonso), kutub pembangunan (Boudeville),

aglomerasi (Weber), dan ekonomi geografi baru, Hadjisarosa (1982) menekankan

pula pentingnya peranan pusat-pusat pengembangan. Pusat-pusat pengembangan

ini selanjutnya diidentifikasikan sebagai "simpul-simpul jasa distribusi".

Menurut Hadjisarosa, pengembangan wilayah dimungkinkan oleh adanya

pertumbuhan modal, yang bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia

dan sumber daya alamnya. Pengembangan kedua jenis sumber daya tersebut

berlangsung sedemikian sehingga menimbulkan arus barang. Bahan mentah

diangkut dari daerah penghasil ke lokasi pabrik dan barang hasilnya diangkut dari

produsen ke konsumen.

Page 117: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

91

Arus barang dianggap sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling

menonjol. Arus barang merupakan wujud fisik perdagangan antardaerah,

antarpulau, ataupun antarnegara. Arus barang didukung langsung oleh jasa

perdagangan dan jasa pengangkutan serta distribusi. Dengan demikian jasa

distribusi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan

pembangunan secara fisik, terutama jika ditinjau pengaruhnya dalam penentuan

lokasi tempat berkelompoknya berbagai kegiatan usaha dan kemudahan-

kemudahan, demikian pula fungsinya dalam proses berkembangnya wilayah.

Di simpul-simpul terdapat berbagai kemudahan, yang diartikan sebagai

kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat

kemudahan pada suatu tempat, semakin kuat daya tariknya mengundang manusia

dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Di antara kemudahan-

kemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat penting. Pusat

kegiatan usaha distribusi ini selanjutnya oleh Hadjisarosa disebut "simpul jasa

distribusi".

Ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan

simpul-simpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hierarki simpul dalam

sistem spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa

distribusi bagi wilayah pengembangannya, sedangkan fungsi sekundernya adalah

kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan (bersifat ke dalam).

Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan

kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hierarki dari tiap

simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional antar simpul

yang dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang.

Pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa

distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih

rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antarsimpul yang

mempunyai tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat

keterhubungan dan ketergantungan. Keterhubungan dan ketergantungan

antarsimpul dapat diketahui dari data arus barang dari tempat asal ke tempat

tujuan.

Page 118: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

92

Menurut Adisasmita (2008) terdapat perbedaan yang mendasar antara teori

simpul-simpul jasa distribusi dengan teori aglomerasi (Weber), teori tempat

sentral (Cristaller dan Losch), kutub pertumbuhan (Perroux). Perbedaan tersebut

mencakup sebaran dari unit produksi dan unit pasar. Dalam konsep simpul jasa

distribusi, bahan-bahan mentah tersebar tempatnya dan setelah mengalami proses

pemurnian, pengolahan, perakitan ataupun pembungkusan, barang-barang hasil

produksi tersebut dipasarkan kepada para konsumen akhir yang tempatnya

tersebar juga.

Terkait dengan konsep dan strategi pembangunan transmigrasi pada

dasarnya mengacu pada konsep pembangunan dengan pendekatan peubah

kewilayahan. Konsep ini mengacu pada struktur wilayah pengembangan

berdasarkan satuan wilayah ekonomi yang berasaskan distribusi simpul barang

dan jasa. Hadjisarosa (1988) mengemukakan bahwa konsep pembangunan

transmigrasi dalam bentuk outputnya dengan hierarki-hierarki mulai dari hierarki

terkecil yaitu Satuan Permukiman (SP) sampai sampai hirarkie terbesar yaitu

Wilayah Pengembangan Parsial (WPP) hanya dapat dideteksi melalui aplikasi

teori Simpul Jasa Distribusi.

Dalam konsep pembangunan transmigrasi, unit produksi berasal dari

berbagai Satuan Permukiman (SP) yang kemudian berkumpul pada Satuan

Kawasan Permukiman (SKP) ataupun Wilayah Pengembangan Parsial (WPP)

yang berperan sebagai simpul jasa distribusi perdagangan ke luar kawasan.

Sebaliknya SKP ataupun WPP juga berperan sebagai simpul jasa distribusi

perdagangan aliran barang dari luar kawasan untuk kemudian didistribusikan ke

hierarki-hierarki di bawahnya.

Selanjutnya, dalam konteks transmigrasi sebagai suatu bentuk

pengembangan wilayah, pada dasarnya terdapat dua strategi yang dapat digunakan

yaitu supply side strategy dan demand side strategy (Rustiadi et al. 2009). Strategi

supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama

diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang

berorientasi ke luar. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk ekspor yang

akan meningkatan pendapatan lokal. Selanjutnya, hal ini akan menarik kegiatan

lain untuk datang ke wilayah tersebut.

Page 119: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

93

Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang

diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa setempat melalui

kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah

meningkatkan taraf hidup penduduknya. Tarigan dan Ariningsih (2007) juga

mengemukakan bahwa pengembangan subsistem pengolahan (dalam hal ini

agroindustri) yang merupakan kelanjutan dari subsistem produksi juga dapat

berperan sebagai bagian dari strategi sisi permintaan ini. Bentuk lain dari demand

side strategy ini dikembangkan oleh pemerintah Philipina dalam rangka

mengatasi kelaparan dan meningkatkan keamanan pangan. Melalui Accelerated

Hunger Mitigation Program (AHMP) pemerintah Philipina menggunakan tiga

komponen kebijakan yaitu: 1) memberikan bantuan kepada penduduk miskin

(pelatihan, kredit mikro, distribusi lahan); 2) meningkatkan gizi melalui

pemahaman penduduk tentang jenis-jenis makanan sehat dan 3) pengaturan

populasi (Edillon 2008).

Lebih lanjut Anwar (2005) mengemukakan bahwa ketidakseimbangan

pembangunan inter-regional disamping menyebabkan kapasitas pembangunan

regional menjadi suboptimal, dan juga pada gilirannya sering menurunkan sampai

meniadakan sumber-sumber pertumbuhan pembangunan agregat (makro). Oleh

karena itu interaksi pembangunan inter-regional memerlukan kinerja yang

komplementer dan mengurangi sejauh mungkin terjadinya persaingan

(competitive) diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya, sehingga akan

menimbulkan kondisi wilayah-wilayah yang sinergis (saling memperkuat) dan

diharapkan dapat menimbulkan sumbangan kepada ekonomi makro yang positif

dan berkelanjutan. Untuk itu perlu adanya strategi pembangunan wilayah dari sisi

pendekatan produksi (supply) yang dihasilkan oleh suatu wilayah pada akhirnya

harus dapat mengatasi dampak terjadinya keterbatasan (demand trap) dari sisi

permintaan baik secara domestik maupun dari luar wilayah. Untuk mencapai

maksud tersebut, strategi pembangunan wilayah juga harus dikembangkan atas

dasar strategi pengembangan sisi permintaan (demand side strategy). Strategi ini

dapat dikembangkan melalui upaya-upaya yang mendorong tumbuhnya

permintaan akan barang dan jasa secara domestik melalui peningkatan

Page 120: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

94

kesejahteraan, khususnya yang menyangkut peningkatan tingkat pendapatan,

pendidikan, sosial budaya dan lain-lain masyarakat wilayah.

Program transmigrasi selain didasarkan pada lima teori utama tersebut, dari

sisi strategi didekati melalui demand side strategy, dengan tujuan utama

meningkatkan taraf hidup penduduk melalui kegiatan produksi lokal. Rustiadi et

al. (2009) menghipotesiskan stadia pengembangan kawasan transmigrasi atas

enam stadia:

1. Stadia Sub-Subsisten. Pada tahap pertama ini transmigran masuk dalam stadia

sub-subsisten selama satu tahun. Pemerintah memberikan subsidi untuk

kebutuhan hidup (jadup) dan produksi. Pada tahap ini pemerintah juga

membangun berbagai fasilitas/ infrastruktur dasar dan pertanian.

2. Stadia Subsisten. Transmigran masuk dalam stadia subsisten dengan bermodal

lahan pekarangan dan Lahan Usaha I. Pada tahap kedua ini, transmigran

diharapkan dapat berproduksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan

pangannya sendiri (subsisten).

3. Stadia Marketable Surplus. Dengan adanya peningkatan sistem produksi

diharapkan transmigrasi akan memasuki stadia marketable surplus (hasil

usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya) terutama setelah dapat

diusahakannya Lahan Usaha II.

4. Stadia Industri Pertanian. Surplus hasil pertanian yang dicapai pada tahap

ketiga memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk

memenuhi permintaan barang-barang olahan utama. Adanya industri hasil

pertanian skala kecil meningkatkan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak

perlu jauh-jauh menjual ke kota.

5. Stadia Industri Non-Pertanian. Peningkatan pendapatan transmigran yang

diperoleh dari tahap 4 akan meningkatkan konsumsi produk-produk pertanian.

Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala

kecil.

6. Stadia Industrialisasi Perdesaan atau Urbanisasi Kota Kecil/Menengah. Pada

tahap ini, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan barang

mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri umum.

Stadia-stadia tersebut secara diagramatis diberikan sebagai berikut:

Page 121: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

95

Gambar 6 Hipotesis stadia-stadia pengembangan wilayah melalui demand side strategi untuk kawasan transmigrasi.

Sumber: Rustiadi et al. (2009)

Mengacu pada stadia-stadia ini terlihat pada dasarnya daerah perdesaan

umumnya dan kawasan transmigrasi khususnya tidak hanya tergantung sektor

pertanian saja. Namun demikian, dalam kenyataannya, situasi perkembangan

pembangunan kawasan transmigrasi yang tidak berkembang tertahan sampai pada

stadia II dan III. Strategi demand side membutuhkan waktu yang lama karena

berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur kelembagaan,

dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusi/perombakan cara

berpikir. Meskipun demikian, keunggulan dari strategi ini umumnya berjalan

stabil dan tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di luar wilayah. Stabilitas ini

berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap.

Stadia Industrialisasi Perdesaan

Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah

Stadia Industri Non-Pertanian

Stadia Industri Pertanian

Stadia Marketable Surplus

Demand luxurious goods Investasi pemerintah fasilitas2 urban

Ekspor Demand barang sekunder dan tersier Pendapatan, modal, investasi Investasi pemerintah untuk prasarana sistem industri

Berkembangnya sektor non-pertanian Diversifikasi usaha

Stadia Subsisten

Stadia Sub-Subsisten

Surplus Produksi Demand barang sekunder dan tersier Pendapatan, modal, investasi sektor non pertanian

Subsidi pemerintah untuk kebutuhan hidup dan produksi Investasi fasilitas/infrastruktur dasar dan pertanian

Page 122: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

96

2.10 Indikator Pengembangan Kawasan Transmigrasi Usaha-usaha untuk menentukan indikator pengembangan kawasan

transmigrasi telah pernah ditetapkan baik melalui berbagai keputusan maupun

melalui kajian-kajian yang dilakukan oleh Puslitbang Ketransmigrasian. Menurut

Tjiptoherijanto (1984,2005) diacu dalam Soegiharto (2008), program transmigrasi

harus selalu dikaitkan dengan pembangunan daerah, dan menjadi bagian integral

dari pola pembangunan daerah serta terkait dengan kegiatan ekonomi.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka tolok ukur utama keberhasilan transmigrasi

adalah pencapaian dalam hal:

1. Keseimbangan penyebaran penduduk, dengan tolok ukur: a) keberhasilan

program keluarga berencana yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat

kelahiran penduduk tempat transmigran berdiam; b) menurunnya tingkat

kematian anak balita.

2. Pengembangan sumber daya manusia, dengan tolok ukur: a) kesempatan kerja

tersedia dengan cukup; b) tingkat perkembangan AKAD di daerah

transmigrasi atau provinsi yang menampung para transmigran.

3. Untuk memanfaatkan sumber alam dan tenaga manusia perlu ditumbuhkan

transmigran yang produktif, yang hanya bisa dihasilkan oleh tenaga kerja yang

berpendidikan. Tolok ukurnya yaitu: a) rasio jumlah tenaga pengajar terhadap

murid khususnya tingkat SD dan SLTP; b) pengembangan pendidikan

diarahkan pada keahlian kejuruan yang akan menghasilkan tenaga-tenaga siap

pakai.

4. Perdagangan regional, dengan tolok ukur: a) meningkatnya volume

perdagangan antar daerah khususnya di provinsi-provinsi daerah transmigrasi,

secara tidak langsung memberikan indikasi sarana komunikasi dan

transportasi di daerah tersebut semakin membaik, sehingga kelancaran

pelayanan pengangkutan akan mempermudah hubungan antar daerah

5. Sosial, dengan tolok ukur: a) Tingkat kriminalitas sebelum dan sesudah

adanya transmigrasi di suatu daerah; b) Tingkat perselisihan dan ketegangan

sosial, baik antar suku, agama dan lokasi

Pada tahun 1984 melalui Keputusan Menteri Transmigrasi Republik

Indonesia No. KEP.269/MEN/1984 tentang Kriteria Tingkat Perkembangan

Page 123: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

97

Minimal Unit Permukiman Transmigrasi dalam garis besarnya menggunakan

sembilan kriteria pokok untuk menilai tingkat perkembangan suatu permukiman,

yaitu (1) pendapatan per kapita; (2) koperasi/KUD; (3) prasarana/aksesibilitas; (4)

komunikasi dan daya tarik; (5) pendidikan; (6) kesehatan dan keluarga berencana;

(7) agama/mental spiritual; (8) latihan keterampilan; dan (9) perangkat pemerintah

desa.

Mengingat kriteria tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

transmigrasi, maka dikeluarkan yaitu Keputusan Menteri Transmigrasi dan

Pemukiman Perambah Hutan Republik Indonesia Nomor: KEP.06/MEN/ 1999

tentang Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi dan Kesejahteraan

Transmigrasi. Dalam keputusan ini dinyatakan bahwa tingkat perkembangan

permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran meliputi tingkat

penyesuaian, pemantapan dan pengembangan (Pasal 2 Ayat 1). Tingkat

Penyesuaian adalah kondisi perkembangan permukiman di mana trasmigrannya

sedang beradaptasi di lingkungan baru (sosial ekonomi, budaya dan fisik) untuk

mampu melaksanakan kehidupan di lokasi baru. Tingkat Pemantapan adalah

kondisi perkembangan permukiman di mana transmigrannya telah berkemampuan

mengelola asset produksi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tingkat Pengembangan adalah kondisi perkembangan permukiman di mana

transmigrannya telah mandiri dalam arti mampu mengembangkan potensi diri dan

masyarakatnya dalam bentuk partisipasi aktif guna mengembangkan usaha dan

kehidupannya secara berkelanjutan (Pasal 1). Perhitungan tingkat perkembangan

ini menggunakan indikator ekonomi, sosial dan budaya, integrasional serta

keaktifan dan pelayanan lembaga sosial (Pasal 2 Ayat 3).

Keputusan menteri tersebut kemudian diperbaharui lagi dengan Peraturan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor

PER.25/MEN/IX/2009 tentang Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi

dan Kesejahteraan Transmigran. Dalam peraturan menteri ini, perkembangan

permukiman transmigrasi juga dibagi tiga yaitu tingkat penyesuaian, tingkat

pemantapan dan tingkat pengembangan dengan pengertian yang sama dengan

Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Republik

Indonesia Nomor: KEP.06/MEN/ 1999.

Page 124: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

98

Tabel 11 Indikator tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran

No Parameter Indikator Satuan Standar

Tingkat penyesuaian

Tingkat pemantapan

Tingkat pengembangan

A EKONOMI a. Pendapatan 1. Pendapatan per KK per tahun Kg setara beras 1600 2400 3000 b. Pemerataan 2. Gini Ratio % - 0.25 0.25 c. Ketenagakerjaan 3. Rasio setengah pengangguran % - 10 10 d. Kontribusi permukiman

transmigrasi 4. Rasio pendapatan per kapita terhadap pendapatan

per kapita kabupaten/kota % 0.75 1.00 1.10

e. Keberhasilan Koperasi Unit Desa/ Tempat Pelayanan Koperasi

5. Rentabilitas 6. Tingkat pelayanan

% %

- 30

0.5 50

0.5 80

B SOSIAL DAN BUDAYA a. Kebetahan 1. Transmigran meninggalkan lokasi % 8 3 2 b. Keamanan 2. Perbuatan tindak kejahatan/pelanggaran Kali/tahun - 3 2 c. Pendidikan 3. Angka Partisipasi Pendidikan

4. Angka Melek Huruf % %

40 40

50 50

80 80

d. Kesehatan dan Keluarga Berencana 5. Prevalensi penyakit 6. Rasio kematian balita 7. Rasio anak balita dengan wanita

0/00 %

0/00

200 0.5 900

150 0.3 875

100 0.1 850

e. Partisipasi masyarakat 8. Gotong royong perbaikan fasilitas lingkungan 9. Kerjasama kelompok tani/KUB

% 4 40

4 65

4 90

C INTEGRASIONAL 1. Tingkat konflik suku, agama, ras, golongan kali 5 3 2 2. Rasio pedagang penduduk lokal dengan

pedagang transmigran di pasar % - 10 20

D KEAKTIFAN DAN PELAYANAN LEMBAGA SOSIAL

a. Keaktifan lembaga sosial 1. Tingkat keaktifan perangkat pemerintah desa 2. Kemampuan pelayanan aparat permukiman

transmigrasi

% %

- 20

80 10

80 5

Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25/MEN/IX/2009

Page 125: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

99

Pada tahun 2004, Puslitbang Ketransmigrasian juga telah menyusun Indeks

Pembangunan Transmigrasi (IPT) yang dapat mencerminkan pencapaian tujuan

transmigrasi yaitu kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya,

pemerataan pembangunan dan persatuan kesatuan. Penghitungan IPT dilakukan

melalui tiga tahap yaitu penghitungan indeks masing-masing indikator, penentuan

goalpost, dan penentuan indeks komposit (Najiyati 2008).

1. Penghitungan Indeks masing-masing Indikator

a. Rumus berikut digunakan untuk menghitung :

1) Indeks Angka Melek Huruf (atau disebut Indeks Pendidikan

Transmigran).

2) Indeks UPT Lepas Bina (atau disebut Indeks Pemerataan Pembangunan).

Apabila indikator UPT lepas bina lebih dari 20 persen, tetap dihitung 20

persen.

3) Indeks Transmigran dari Kecamatan Setempat (disebut Indeks Persatuan

dan Kesatuan) dengan nilai indikator kurang atau sama dengan 50

persen.

min)(min)(1

nn

nn

XmaksXXXI

Keterangan

I = Indeks ke n

Xn =: Nilai riil indikator ke- n

Xn min = Nilai minimum (Goalpost) indikator ke- n

Xn maks = Nilai maksimum (Goalpost) indikator ke- n

b. Rumus berikut digunakan untuk menghitung:

1) Indeks Transmigran tanpa Akses Sarana Kesehatan (atau disebut Indeks

Kesehatan Transmigran)

2) Indeks Transmigran Miskin (disebut Indeks Perekonomian Transmigran)

3) Indeks Penduduk Kecamatan tanpa Akses Sarana Kesehatan (atau disebut

Indeks Kesejahteraan Masyarakat Sekitar)

min)(min)(

1nn

nn

XmaksXXX

I

Page 126: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

100

Keterangan

I = Indeks ke- n

Xn =: Nilai riil indikator ke- n

Xn min = Nilai minimum (Goalpost) indikator ke- n

Xn maks = Nilai maksimum (Goalpost) indikator ke- n

c. Indeks Transmigran dari Kecamatan Setempat dengan nilai indikator lebih

besar dari 50 persen, dihitung dengan rumus sebagai berikut:

maksXXX

In

nn min)(1

Keterangan

I = Indeks ke n

Xn = Nilai riil indikator ke n

Xn maks = Nilai maksimum (Goalpost) indikator ke n

2. Goalpost

Goalpost adalah angka perkiraan minimum dan maksimum yang dapat

dicapai oleh suatu indikator. Goalpost minimum dan maksimum masing-masing

indikator dapat dilihat dalam Tabel 12 berikut:

Tabel 12 Goalpost untuk indikator indeks pembangunan transmigrasi

No Dimensi Indikator Satuan Goalpost Min Maks

1 Kesejahteraan transmigran

a. Kesehatan Transmigran tanpa akses sarana kesehatan

% 0 100

b. Pendidikan Angka Melek Huruf % 25 100 c. Ekonomi Transmigran miskin % 5 80

Kesejahteraan masyarakat sekitar

Penduduk kecamatan tanpa akses sarana kesehatan

% 0 75

2 Pemerataan pembangunan

UPT Lepas Bina % 0 20

3 Persatuan dan kesatuan Transmigran dari Kecamatan Setempat

% 0 50

Sumber: Najiyati (2008)

3. Penghitungan Indeks Komposit

IPT komposit dihitung dengan rumus sebagai berikut

Page 127: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

101

6654321 IIIIII

IPT

Keterangan:

I1 = Indeks Kesehatan Transmigran

I2 = Indeks Pendidikan Transmigran

I3 = Indeks Perekonomian Transmigran

I4 = Indeks Kesejahteraan Masyarakat Sekitar

I6 = Indeks Persatuan Dan Kesatuan

n = Banyaknya Indikator Terpilih

IPT= Indeks Pembangunan Transmigrasi

Kategori IPT dimaksudkan sebagai patokan atau standar nilai yang

dikatakan baik, sedang, dan kurang. Kategori IPT yang dianjurkan seperti pada

Tabel 13 berikut:

Tabel 13 Kategori indeks pembangunan transmigrasi No Nilai IPT Kategori

1 > 0.9 – 1.0 Baik sekali

2 > 0.8 – 0.9 Baik

3 > 0.6 – 0.8 Sedang

4 > 0.5 – 0.6 Kurang

5 <= 0.5 Buruk

Sumber: Najiyati (2008)

Pada tahun 2007 melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

No. Kep 214/Men/V/2007 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan

Pengembangan Kota Terpadu Mandiri di Kawasan Transmigrasi, dikemukakan

bahwa pengembangan KTM dirancang berdasarkan perubahan fungsi-fungsi

perkotaan menuju terwujudnya KTM. Parameter fungsi-fungsi perkotaan adalah:

komoditas unggulan, kelembagaan pasar, kelembagaan petani, kelembagaan

penyuluh, serta adanya sarana dan prasarana sosial dan ekonomi seperti diberikan

pada Tabel 14 berikut.

Page 128: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

102

Tabel 14 Indikator perkembangan fungsi perkotaan menuju terwujudnya kota terpadu mandiri

Desa-desa Pra KTM KTM Komoditas Unggulan Komoditas Unggulan Komoditas Unggulan Produksi komoditas unggul Penanganan pasca panen dan

pengolahan hasil Industri kecil/Rumah Tangga

Industrialisasi pengolahan hasil dan diversifikasi produk Pusat Kegiatan Industri Pengolahan Hasil

Industri kecil/Rumah Tangga Pusat kegiatan industri

pengolahan hasil Kelembagaan Pasar Kelembagaan Pasar Kelembagaan Pasar 1. Pasar (menampung hasil dari

sebagian kecil kawasan) 2. Warung/Koperasi

1. Pasar (menampung hasil dari sebagian besar kawasan)

2. Pasar Harian 3. Pertokoan

1. Pasar (Menampung hasil dari kawasan KTM dan luar kawasan KTM)

2. Pusat kegiatan ekonomi wilayah

Kelembagaan Penyuluh Pertanian

Kelembagaan Petani Kelembagaan Petani

Berperan dalam penyediaan sarana pertanian, pengolahan dan pemasaran

Berperan dalam penyediaan sarana pertanian, pengolahan dan pemasaran kebutuhan masyarakat

Kelembagaan Penyuluh

Agribisnis Kelembagaan Penyuluh Pembangunan

Sarana dan Prasarana Sarana dan Prasarana Sarana dan Prasarana 1. Akses ke/dari sentra produksi

kondisi sedang 2. Sarana dan prasarana umum

a. Pelayanan Pos b. Pelayanan pemerintahan;

Persiapan pembentukan pemerintahan desa

3. Sarana dan Prasarana Kesejahteraan Sosial a. Sekolah dasar b. Balai Pengobatan kondisi

sedang

1. Akses ke/dari sentra produksi kondisi cukup

2. Sarana dan prasarana umum a. Pelayanan jasa b. Perbankan c. Perbengkelan d. Pelayanan Pos e. Pelayanan pemerintah

kondisi cukup 3. Sarana dan Prasarana

Kesejahteraan Sosial a. SLTP/SLTA b. Pustu kondisi cukup

1. Akses ke/dari sentra produksi kondisi baik

2. Sarana dan prasarana umum a. Pelayanan jasa b. Perbankan c. Perbengkelan d. Pelayanan Pos dan

telekomunikasi e. Listrik f. Pelayanan pemerintah

kondisi baik 3. Sarana dan Prasarana

Kesejahteraan Sosial a. SLTA/Perguruan tinggi b. Pusat Pelayanan Kesehatan

kondisi baik Sumber: Soegiharto (2008)

Selanjutnya indikator keberhasilan KTM adalah:

1. Meningkatnya pendapatan masyarakat/transmigran dari kegiatan berbasis

komoditi unggulan.

2. Meningkatnya kesempatan kerja dan peluang berusaha, yang sebagian besar

kegiataan didominasi oleh kegiatan agribisnis, termasuk di dalamnya adalah

usaha-usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil pertanian, jasa

pelayanan dan lain-lain yang dapat meningkatkan daya tarik Transmigrasi

Swakarsa Berbantuan dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri.

Page 129: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

103

3. Meningkatnya infrastruktur fisik (jalan, telekomunikasi, listrik, air bersih,

irigasi).

4. Meningkatnya fasilitas dan pelayanan sosial budaya.

5. Meningkatnya produktivitas masyarakat.

6. Meningkatnya investasi untuk kegiatan agribisnis dan Pendapatan Asli Daerah.

7. Struktur tata ruang kawasan berwawasan lingkungan.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menetapkan indikator-

indikator tersebut mengacu pada kerangka sistem penyelenggaraan transmigrasi

yaitu suatu konsep manajemen yang memperhatikan hubungan input, proses,

output bagi seluruh aspek manajemen ketransmigrasian. Sistem penyelenggaraan

transmigrasi mencakup subsistem penyiapan pemukiman, pengerahan,

penempatan dan pembinaan. Dari keempat output subsistem penyelenggaraan

transmigrasi, output subsistem pembinaan merupakan akumulasi dari seluruh

rangkaian kinerja penyelenggaraan transmigrasi. Karenanya, output pembinaan

transmigrasi diartikan sebagai komponen utama spektrum hasil penyelenggaraan

transmigrasi, yang kemudian dirumuskan outcome yang diukur dalam menilai

keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi dalam skala UPT (Wibowo 2001).

2.11 Penelitian-Penelitian Sebelumnya

2.11.1 Dampak Kawasan Transmigrasi Terhadap Pembangunan Daerah Dari sisi keberhasilan, dapat dikemukakan bahwa program transmigrasi

telah berhasil mengembangkan sekitar 3.000-an Unit Pemukiman Transmigrasi

(UPT) dengan berbagai infrastrukturnya, 945 di antaranya telah berkembang

menjadi desa baru. Desa-desa baru tersebut sekarang dihuni oleh kurang lebih 12

juta jiwa dan telah tumbuh mendorong terbentuknya kecamatan dan kabupaten

baru. Data eks UPT yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat

pemerintahan sebanyak 240 kecamatan dan 97 kabupaten (Kemenakertrans 2011).

Beberapa di antara kawasan transmigrasi seperti Kurotidur di Bengkulu Utara,

Metro di Lampung, Sangkala di Kalimantan Timur bahkan di tetapkan sebagai

kawasan Agropolitan. Lokasi yang demikian biasanya menjadi daya tarik

transmigran swakarsa yang memiliki bekal dan keterampilan sejak dari daerah

asal.

Page 130: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

104

Sebagian desa transmigrasi juga telah berkembang menjadi hinterland bagi

pusat-pusat kegiatan ekonomi di daerah. Kebutuhan akan jenis pangan tertentu di

beberapa perkotaan dicukupkan oleh hasil usaha tani transmigran. Beras, sayur,

dan ternak unggas merupakan bentuk produk pertanian yang banyak dihasilkan

transmigran untuk konsumsi penduduk perkotaan (Soegiharto dan Najiyati 2004).

Transmigrasi juga telah berhasil menciptakan perluasan kesempatan kerja di

daerah tujuan. Pembangunan permukiman transmigrasi secara langsung telah

menciptakan kesempatan kerja sebanyak jumlah persil lahan pertanian yang

dibagikan, ditambah dengan kebutuhan tenaga kerja sebesar 1,04 orang untuk

mengolah 2 hektar persil tersebut. Secara tidak langsung tercipta pula kesempatan

kerja tambahan dikegiatan hulu dan hilir yang turut berkembang sejalan dengan

kemajuan usaha tani transmigran. Perluasan kesempatan kerja akan berlanjut

karena pendapatan transmigran dan pekerja lainnya menciptakan permintaan akan

barang dan jasa (consumption efect).

Menurut Soegiharto et al. (2002), kesempatan yang tercipta terdiri atas 83

persen diisi oleh kepala keluarga yang ditempatkan sesuai jumlah persil lahan

pertanian yang dibagikan, ditambah 7 persen tenaga kerja yang diperlukan

transmigran membantu mengolah usaha taninya dan 10 persen kesempatan kerja

yang tercipta secara tidak langsung di berbagai kegiatan ekonomi lainnya seperti

perdagangan, jasa, dan industri rumah tangga yang turut berkembang sejalan

dengan pertumbuhan produksi pertanian di permukiman transmigrasi. Selanjutnya

berdasarkan penelitian yang dilakukan Najiyati et al. (2005) menemukan bahwa

jumlah tenaga kerja yang tercipta pada setiap KK transmigran yang ditempatkan

pada permukiman transmigrasi pola pangan adalah sebesar 1,893 orang/KK dan

pada pola perkebunan sebesar 2,065 orang/KK. Dengan kata lain, jumlah

kesempatan kerja yang tercipta lebih banyak dibandingkan transmigran yang

diberangkatkan.

Dalam hal pengembangan akses terhadap faktor-faktor produksi,

transmigrasi telah membangun sarana fisik transportasi berupa jalan, jembatan,

gorong-gorong dan saluran drainase yang telah membuka isolasi wilayah yang

selama ini tidak tersentuh pertumbuhan. Penyebaran penyediaan prasarana

transportasi diyakini mampu membuka isolasi terhadap faktor produksi dan

Page 131: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

105

menyeimbangkan distribusi pendapatan antarkelompok penduduk. Transmigrasi

memberikan sumbangan pada perluasan jaringan jalan di beberapa provinsi,

dengan besaran sekitar 20 persen di kepulauan luar Jawa, Madura dan Bali dan

bahkan mencapai 50 persen di empat provinsi yaitu Lampung, Kalbar, Kalteng

dan Kaltim (WB 1986). Perluasan jaringan jalan tersebut berupa jalan masuk ke

lokasi permukiman transmigrasi.

Di bidang pendidikan, transmigrasi telah membangun ribuan sekolah dasar.

Selain bangunan fisik, juga dilengkapi dengan peralatan dan penempatan tenaga

pengajar. Demikian pula di bidang kesehatan, transmigrasi telah membangun

ribuan unit balai pengobatan disertai dengan penempatan tenaga para medis dan

distribusi obat-obatan selama masih dalam pembinaan. Penyediaan fasilitas sosial

untuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan peribadatan di permukiman

transmigrasi tersebut tidak dimaksudkan untuk dinikmati secara eksklusif oleh

transmigran. Fasilitas sosial semacam itu bisa dimanfaatkan oleh semua penduduk

sehingga turut mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Meskipun demikian, beberapa fakta juga menunjukkan adanya fenomena

kegagalan program ini. Menurut laporan Bank Dunia tahun 1986, 50 persen

keluarga transmigran hidup di bawah garis kemiskinan. Diperkirakan, pendapatan

mereka 540 dolar AS per tahun, sementara 20 persen transmigran lainnya berada

di bawah garis subsisten (sangat miskin) (WB 1986). Pada akhir tahun 1980-an,

survei yang dilakukan oleh pemerintah Prancis menyatakan 80 persen dari daerah

transmigrasi di Indonesia gagal memperbaiki standar kehidupan transmigran

(Marr 1990).

Selain itu, Monbiot (1989) juga mengemukakan kegagalan program

transmigrasi dalam mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan yang

mengakibatkan pada beberapa pemukiman banyak keluarga meninggalkan tempat

transmigran setelah dua sampai tiga tahun menjadi peladang berpindah atau

penebang liar. Kondisi paling buruk terjadi di Irian Jaya. Kota-kota di Irian Jaya --

Merauke dan Jayapura – akhirnya dipenuhi pengungsi yang berasal dari daerah

transmigran yang gagal. Fenomena pengungsi itu membuat komposisi penduduk

di Merauke pun berubah. Di Merauke, penduduk asli Irian hanya sepertiga dari

total jumlah penduduk kota tersebut. Sementara itu, bekas transmigran di Merauke

Page 132: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

106

akhirnya bernasib sama seperti penduduk miskin di Jawa, menjadi pekerja seksual

dan pelinting rokok.

Studi lain juga membenarkan fakta ini. Merujuk pada studi yang disusun

oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan Lembaga

Pengkajian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional pada tahun 1985,

mengemukakan bahwa sekitar 300.000 orang transmigran hidup di daerah

pemukiman yang tidak layak huni (Dephut 1985).

2.11.2 Indikator Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan perkembangan unit

pemukiman transmigrasi. Pada tahun 1997, Pusdatin Transmigrasi dan Institut

Pertanian Bogor mengukur perkembangan permukiman transmigrasi dengan unit

analisis UPT. Sampel yang diambil sebanyak 597 UPT. Metode pendekatan yang

digunakan adalah model RRA dengan dukungan data statistik. Peubah utama

berupa lingkungan fisik sosial (LSF) dan pendapatan masyarakat. LSF terdiri dari

demografi, permasalahan sosial, syarat pokok pembangunan, permasalahan atau

gangguan yang bersumber dari kualitas lingkungan fisik.

Selanjutnya kedua kelompok faktor tersebut didistribusikan dalam kuadran

Q1, Q2, Q3 dan Q4. Konsep kuadran mendukung simulasi antara ke dua

kelompok faktor tersebut yang selanjutnya didiferiansiasi sebagai rumusan tingkat

perkembangan permukiman. Hasil penelitian tersebut membagi kondisi

permukiman transmigrasi dalam empat kuadran sebagai berikut:

a. Q1 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan

mencapai tingkat dan kondisi LSF baik

b. Q2 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan tidak

terlalu baik (tidak mencapai target), tetapi kondisi LSF baik

c. Q3 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan tidak

mencapai target dan kondisi LSF kurang baik

d. Q4 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan

mencapai target dan kondisi LSF kurang baik

Wibowo et al. (2000) melakukan penelitian pemetaan potensi unit

permukiman transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Unit analisis

penelitian adalah UPT yang masih dibina pada empat provinsi yaitu Kalimantan

Page 133: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

107

Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam

penyusunan indikator ditetapkan dua kelompok faktor yaitu parameter fisik,

parameter sosial ekonomi dan faktor ekonomi eksternal.

Parameter fisik terdiri dari dua indikator yaitu: 1. Produktivitas padi (sawah dan ladang) 2. Produktivitas palawija (jagung, kedelai, ketela). Parameter sosial ekonomi terdiri dari: 1. Faktor sosial

a. jumlah penduduk b. tingkat pendidikan c. mata pencaharian d. jumlah dan macam sekolah e. fasilitas kesehatan f. angkatan kerja

2. Faktor Ekonomi a. tersedianya pasar aktif b. toko dan kios saprodi dan saprotan c. pemilikan ternak besar d. industri e. lembaga masyarakat petani (KUD, kelompok tani) f. sarana dan prasarana jalan ekonomi g. produksi tanaman pertanian/produktivitas lahan h. komoditas unggulan.

3. Faktor ekonomi eksternal a. Panjang jalan dan kondisi jalan dari pusat UPT ke UPT lain, UPT ke

kota kecamatan, dan UPT ke kota kabupaten b. Jarak tempuh pemasaran komoditas (padi dan palawija) dari UPT ke

kota kecamatan/kabupaten c. Banyaknya industri pengolahan bahan, di mana bahan bakunya dari

UPT yang terdekat, dengan kota kecamatan/kabupaten d. Frekuensi kendaraan atau jenis kendaraan yang menghubungkan

antar UPT maupun kota kecamatan/kabupaten e. Kios dan toko (pusat perdagangan sarana produksi pertanian yang

ada di kota kecamatan) f. Lembaga perbankan/perkreditan yang tersedia g. Banyaknya pasar aktif di sekitar UPT maupun di kota

kecamatan/kabupaten h. Komoditas unggulan UPT yang memiliki pasar di kota

kecamatan/kabupaten i. Peranan teknologi dan penyuluh pertanian dalam peningkatan

pertumbuhan ekonomi UPT j. Jalur pemasaran komoditas dari UPT ke kota kecamatan/kabupaten

Indikator tersebut selanjutnya dibagi atas lima kategori mulai dari sangat

rendah sampai sangat tinggi. Berdasarkan analisisnya ditemukan hal-hal sebagai

berikut:

Page 134: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

108

a. Propinsi Kalimantan Timur dari 30 UPT, 11 UPT (36,67 persen) sangat

tinggi, 11 UPT (36,67 persen) tinggi, 11 UPT (36,67 persen) sedang, 2

UPT (6,67 persen) rendah dan 4 UPT (13,33 persen) sangat rendah

b. Propinsi Kalimantan Barat dari 14 UPT, 1 UPT (7,14 persen) sangat

tinggi, 3 UPT (21,43 persen) tinggi, 4 UPT (28,57 persen) sedang, 3

UPT (21,43 persen) rendah dan 3 UPT (21,43 persen) sangat rendah

c. Propinsi Kalimantan Selatan dari 19 UPT, 2 UPT (10,53 persen) sangat

tinggi, 3 UPT (15,79 persen) tinggi, 6 UPT (31,58 persen) sedang, 6

UPT ( 31,58 persen) rendah dan 2 UPT (10,53 persen) sangat rendah

d. Propinsi Kalimantan Tengah dari 85 UPT, 4 UPT (4,71 persen) sangat

tinggi, 14 UPT (16,47 persen) tinggi, 38 UPT (44,71 persen) sedang, 21

UPT (24,71 persen) rendah dan 8 UPT (9,41 persen) sangat rendah

2.11.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Pemukiman/ Kawasan Transmigrasi

Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi perkembangan permukiman/kawasan transmigrasi. Pada tahun

1980, lembaga Studi Dinamika Perdesaan Survey Agro Ekonomi (SDP-SAE),

melakukan penelitian terhadap transmigran yang ditempatkan di Sulawesi

Tenggara. Dengan membandingkan antarlokasi penempatan transmigran

disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan program transmigrasi antara lain

dipengaruhi oleh: (1) potensi ekonomi daerah; (2) transmigran yang ditempatkan;

(3) faktor pelayanan komunikasi dan pemasaran; dan (4) umur daerah penempatan

(Saleh, 1982).

Adiatmojo (2008) meneliti mengenai model kebijakan pengembangan

kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering dengan mengambil lokasi

penelitian di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur. Dengan

menggunakan teknik analisis MDS (Multi Dimensional Scalling) yang

digabungkan dengan analisis prospektif ditemukan bahwa faktor-faktor kunci

yang menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi lahan

kering di Kaliorang adalah: luas lahan yang ditanami dengan komoditi pertanian

unggulan; kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi

pertanian unggulan; sarana jalan penghubung; iklim investasi; prasarana dan

Page 135: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

109

sarana kawasan; teknologi budidaya pertanian; dan kualitas sumber daya manusia

khususnya petani dan pelaku usaha tani.

Terkait dengan komoditas pertanian unggulan di kawasan transmigrasi,

penelitian Najiyati (2003) pada permukiman transmigrasi pola tanaman pangan

(UPT Pagar Banyu) menemukan bahwa ternyata komoditas padi dan tanaman

pangan lainnya bukan merupakan komoditas unggulan yang bisa diandalkan

transmigran. Meskipun transmigrasi dibangun dengan pola tanaman pangan, tetapi

transmigran lebih menyukai tanaman tahunan untuk dikelola secara kooperatif

pada lahan usaha II (LU II). Padi dan tanaman pangan lainnya dinilai sebagai

komoditas sosial yang cukup diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Priyono et al. (2002). Dalam

penelitian yang dilakukan di Mesuji SP6, Ipuh, Jilatan Alur dan Rimba Ayu SP7,

transmigran belum mengusahakan LU II untuk tanaman pangan karena menunggu

investor ataupun bantuan pemerintah untuk pengembangan komoditas tanaman

tahunan.

Ruswana et al. (1993) mengemukakan bahwa kendala pengembangan

kawasan transmigrasi dalam mencapai sasaran-sasaran pokoknya terdiri dari

kendala intern maupun ekstern. Beberapa faktor intern yang menjadi kendala

perkembangan kawasan transmigrasi antara lain:

a. Produktivitas pertanian rendah karena kesuburan lahan dan serangan

hama

b. Keterbatasan kemampuan sebagian besar transmigran untuk mengolah

dan memanfaatkan seluruh tanah yang menjadi haknya (terutama untuk

menggarap lahan usaha II pada pola usaha tani tanaman pangan)

c. Kondisi sarana dan prasarana yang kurang dan dalam kondisi rusak,

terutama sarana transportasi

d. Belum berfungsinya secara penuh fasilitas umum baik pendidikan,

kesehatan maupun pasar

e. Belum berfungsinya lembaga ekonomi seperti KUD

f. Penggunaan sarana produksi pertanian yang tidak tepat seperti

penggunaan pupuk dan pestisida

Page 136: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

110

Selanjutnya, beberapa faktor ekstern yang menjadi kendala perkembangan

kawasan transmigrasi antara lain:

a. Rendahnya aksesibilitas lokasi-lokasi UPT terhadap pusat kegiatan

maupun pusat pemasaran yang disebabkan jarak pencapaian jauh dan

atau kondisi jalur jalan penghubungan yang rusak

b. Kawasan UPT yang dikembangkan umumnya agak terisolir

c. Belum terkaitnya pada investor untuk mengembangkan ursaha tani

daerah transmigrasi

d. Belum dikaitkannya pengembangan kawasan UPT dengan

pengembangan daerah secara umum dalam lingkup yang lebih luas

Hasil kajian Depnakertrans menyatakan penyebab kegagalan di berbagai

unit permukiman transmigrasi. Di antaranya adalah pelaksanaan program

transmigrasi hanya mengejar kepentingan ekonomi sesaat dan kurang

mempertimbangkan aspek lingkungan dan aspek sosial budaya setempat

(Adiatmojo 2008).

Ahmad et al. (1998) menyatakan bahwa hal yang paling menentukan

keberhasilan pembangunan permukiman transmigrasi khususnya untuk pola usaha

tanaman pangan adalah 1) kesuburan tanah yang baik untuk pertanian, 2) terdapat

saluran irigasi yang dapat menyediakan air sepanjang tahun, 3) akses ke pusat

ekonomi lancar, 4) sumber daya manusia yang baik sehingga perlu proses seleksi

baik secara alami maupun oleh pemerintah, 5) tumbuhnya kelembagaan sosial dan

ekonomi, 6) adanya penggerak masyarakat/inovator. Sejalan dengan hal tersebut

Najiyati et al. (2006 dalam penelitian mengenai faktor keberhasilan permukiman

transmigrasi menjadi sentra produksi pangan menyimpulkan faktor-faktor (1)

ketersediaan lahan yang layak; (2) ketersediaan infrastruktur yang memadai

berupa sarana tata air (irigasi dan drainase) dan jalan penghubung hingga jalan

usaha tani, serta pencetakan sawah sejak awal penempatan; (3) adanya sarana

usaha yang diperlukan dalam pengembangan sentra produksi; (4) adanya

kelembagaan petani/sosial, dan yang perlu dikembangkan di antaranya kelompok

tani, P3A (khusus lahan pasang surut atau beririgrasi), koperasi atau lembaga

permodalan agar transmigran dapat mempuk kekuatan permodalan; (5)

pendampingan, pelatihan dan diseminasi teknologi sejak awal penempatan; dan

Page 137: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

111

(6) kemitraan usaha dengan investor/badan usaha dapat meningkatkan

perkembangan sentra produksi pangan.

Belajar dari berbagai kisah sukses transmigasi, Soegiharto (2008) membagi

faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transmigrasi atas tiga tingkatan,

yaitu pada tingkatan individu (transmigran), unit permukiman transmigrasi (UPT)

dan kawasan. Ketiga tingkatan ini saling saling mengkait dan memperkuat untuk

terwujudnya keberhasilan transmigrasi.

Pada tingkatan individu faktor keberhasilan terdiri atas 1) motivasi, 2)

modal dan 3) pendidikan dan keterampilan. Ketiga faktor tersebut mempunyai

keterkaitan satu dengan lainnya dalam mewujudkan transmigran sukses.

Berdasarkan hal tersebut, untuk mendukung keberhasilan transmigran terlihat

adanya suatu pola yang perlu mendapat perhatian. Transmigran sebaiknya adalah

orang-orang yang memiliki semangat keja dan modal. Calon transmigran

sebaiknya juga memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, minimal SMP

atau sederajat. Mereka juga perlu dibekali keterampilan berusaha mandiri

disamping pengetahuan tentang pertanian. Transmigran yang telah menunjukkan

kemampuan mengembangkan usaha produktif, perlu segera mendapat dukungan

permodalan untuk mempercepat perkembangan usahanya. Dalam memanfaatkan

dan mengembangkan potensi yang ada di lokasi transmigrasi, diperlukan tenaga

pendamping guna memotivasi dan membantu masyarakat.

Pada tingkatan UPT, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan

transmigrasi adalah 1) kesuburan tanah, 2) infrastruktur pertanian, 3) aksesibilitas

(akses ke pusat ekonomi), 4) kelembagaan sosial, 5) kelembagaan ekonomi, 6)

investor, pendamping dan penggerak swadaya masyarakat. Selanjutnya pada skala

kawasan, berkembangnya kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan

dipengaruhi oleh: 1) luas wilayah (kawasan skala ekonomi), 2) dikembangkan

berdasarkan perencanaan yang berbasis feasibility study, 3) kegiatan

pengembangan bersifat multi years dan dalam jangka panjang (15–20 tahun), 4)

terdapat tenaga pendamping yang terjamin keberadaannya di lokasi, serta 5) ada

kebijakan dan regulasi untuk penetapan dan pengaturan ruang kawasan.

Page 138: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

112

Page 139: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Pemikiran

Pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan

produksi dan produktivitas pertanian serta kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Dalam konteks tersebut, pembangunan perdesaan tidak hanya diarahkan pada

aspek usaha tani saja, tetapi juga pada pada pengembangan agribisnis secara utuh.

Pengembangan agribisnis mencakup mata rantai produksi, pengolahan

masukan dan keluaran produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran

pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan. Mata rantai kegiatan tersebut

dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu: (1) subsistem produksi (usaha tani);

(2) subsistem pengolahan (agroindustri hulu dan hilir); (3) subsistem

pemasaran/perdagangan; dan (4) subsistem lembaga penunjang.

Subsistem produksi adalah penggerak utama agribisnis. Berkembangnya

produksi akan menimbulkan kaitan ke belakang (backward linkages) berupa

kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini

mengundang pelaku lainnya untuk menangani pemasaran/perdagangan input

produksi (usahatani). Keberhasilan dalam pemasaran/perdagangan input produksi

ini, dipengaruhi oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan,

ketersediaan lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku.

Produk pertanian juga memerlukan pengolahan lebih lanjut karena

bersamaan dengan peningkatan pendapatan mereka, konsumen juga akan semakin

menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi olahan. Karenanya,

modernisasi sektor produksi (usahatani) akan menimbulkan kaitan ke depan

dalam bentuk industri pertanian.

Berdasarkan pola pikir ini, maka pengembangan agribisnis dalam

pembangunan perdesaan tidak hanya akan meningkatkan produktivitas pertanian

dan kesejahteraan masyarakat perdesaan tetapi juga akan menumbuhkan berbagai

aktivitas non-pertanian baik pada industri pertanian, industri non-pertanian,

perdagangan dan jasa lainnya. Bersamaan dengan berkembangnya berbagai

aktivitas tersebut maka desa pertanian akan berkembang menjadi desa industri

atau desa urban (urbanisasi kota kecil/menengah).

Page 140: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

114

Pentingnya aktivitas non-pertanian dalam pembangunan perdesaan juga

terkait dengan perluasan kesempatan kerja (untuk menghasilkan pendapatan) agar

masyarakat mampu mempertahankan gaya hidup perdesaan mereka. Dalam

perspektif masyarakat perdesaan hal tersebut pada dasarnya mengacu pada konsep

pembangunan berkelanjutan khususnya pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Selanjutnya, dalam konteks memahami perkembangan perdesaan secara

umum tersebut, penelitian ini mengambil kasus program transmigrasi sebagai

program pembangunan desa pada wilayah baru. Penyelenggaraan transmigrasi

dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap penempatan dan tahap

pembinaan. Pada tahap persiapan dilakukan pemilihan lokasi penempatan

pemukiman transmigrasi, komoditas yang akan dikembangkan serta pola

transmigrasinya, penyiapan sarana-prasana pemukiman serta penyiapan calon

transmigrasi termasuk penyeleksian calon transmigrasi dan pembekalan pelatihan.

Setelah tahap persiapan, tahap berikutnya adalah tahap penempatan transmigran di

lokasi terpilih.

Selanjutnya adalah tahap pembinaan yang terbagi atas tiga sub-tahap yaitu

tahap penyesuaian, pemantapan dan pengembangan. Pada sub-tahap penyesuaian,

transmigran dibina untuk dapat segera beradaptasi di lingkungan baru (sosial

ekonomi, budaya dan fisik) untuk mampu melaksanakan kehidupan di lokasi

barunya tersebut. Pada sub-tahap pemantapan, transmigran dibina agar memiliki

kemampuan mengelola asset produksi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Pada sub-tahap pengembangan, transmigran dibina agar mampu

mandiri dalam arti mampu mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya

dalam bentuk partisipasi aktif guna mengembangkan usaha dan kehidupannya

secara berkelanjutan. Dengan demikian, pada pasca pembinaan, transmigran

sudah berada pada kondisi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri

dan siap untuk memasuki tahapan marketable surplus. Dalam konteks sistem

transmigrasi, ini juga berarti transmigran sudah secara optimal memanfaatkan

lahan pekarangan dan lahan usaha I (LU I).

Tahapan-tahapan dalam penyelenggaraan transmigrasi tersebut akan

berdampak pada kondisi sistem agribisnis di permukiman transmigrasi. Tahapan

penyelenggaraan transmigrasi ini juga akan mempengaruhi pola dan sifat

Page 141: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

115

keterkaitan permukiman transmigrasi dengan wilayah sekitarnya, yang pada tahap

selanjutnya juga mempengaruhi kondisi sistem agribisnis di permukiman

transmigrasi. Ini juga berarti bahwa output dari tahap penyelenggaraan

transmigrasi juga dapat menentukan kuat atau lemahnya keterkaitan antara

permukiman transmigrasi dengan wilayah sekitarnya.

Konsep pembangunan transmigrasi merupakan konsep pembangunan

dengan pendekatan peubah kewilayahan, yang mengacu pada struktur wilayah

pengembangan berdasarkan satuan wilayah ekonomi. Berdasarkan hal tersebut,

permukiman transmigrasi kemudian dirancang secara hirarkis, yang saling

menopang dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi serta distribusi

barang dan jasa hingga membentuk suatu pusat pertumbuhan ekonomi dan

administrasi wilayah.

Namun demikian, keberhasilan konsep ini sangat tergantung pada tingkat

keterkaitan secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) antara kondisi

infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang terbangun pada wilayah-wilayah di

luar permukiman transmigrasi dengan kondisi yang ada di permukiman

transmigrasi. Jika pembangunan permukiman transmigrasi tidak berjalan searah

dengan pembangunan yang dilaksanakan pada desa-desa setempat (di luar

permukiman transmigrasi), pembangunan transmigrasi hanya akan menghasilkan

kawasan enclave yang tidak berdampak optimal pada desa-desa di luar

permukiman transmigrasi. Oleh karenanya, tingkat keterkaitan ini juga sangat

ditentukan kemampuan lembaga terkait dalam berkoordinasi khususnya

Kementerian Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah

Daerah, baik dalam hal perencanaan, pengalokasian anggaran maupun

pelaksanaan pembangunannya.

Kondisi sistem agribisnis ini juga ditentukan kinerja perekonomian makro

wilayah. Keterkaitan ini dapat dipandang dari sisi permintaan terhadap produk

pertanian dan olahannya, sebagai output dari agribisnis. Peningkatan permintaan

pada dasarnya bersumber dari peningkatan pendapatan masyarakat, dan

peningkatan pendapatan merupakan hasil kinerja makro perekonomian wilayah.

Page 142: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

116

Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian

Pengembangan Agribisnis

Desa Pertanian Pe

nyel

engg

araa

n Tr

ansm

igra

si

Kin

erja

Pas

ca P

embi

naan

Tahap Persiapan Komoditas & Pola

Trans Penyiapan Sarana

Prasarana Penyiapan Calon

Transmigran Seleksi Lokasi

Trans

Tahap Penempatan

Tahap Pembinaan Penyesuaian Pemantapan Pengembangan

KONDISI SISTEM AGRIBISNIS

Marketable Surplus

Industri Pertanian

Industri Non-Pertanian

Industrialisasi Perdesaan

Peningkatan Sistem Produksi

Peningkatan Pendapatan

Permintaan brg sekunder

Permintaan brg tersier

STADIA DESA

Kesejahteraan Penduduk

Aktivitas Pertanian

Aktivitas Non-Pertanian

KATEGORI INDIKATOR

KETERKAITAN DENGAN

WILAYAH SEKITARNYA

KINERJA MAKRO WILAYAH

Pertumbuhan Ekonomi Kesempatan kerja

POLA

TRA

NSM

IGR

ASI

KE D

EPAN

IV

III

II

I

Urbanisasi Kota Kecil/Menengah

Industrialisasi Perdesaan/ Urbanisasi Desa

PEMBANGUNAN PERDESAAN PE

MBE

LAJA

RA

N P

EMBA

NG

UN

AN

DES

A

Pembangunan ekonomi berkelanjutan

Page 143: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

117

Pada tahap selanjutnya, kondisi sistem agribisnis menjadi faktor penentu

dari kinerja permukiman transmigrasi pasca pembinaan (desa-desa eks

transmigrasi). Untuk mengukur kinerja, penelitian ini menggunakan stadia

pengembangan wilayah perdesaan Rustiadi et al. (2009). Dalam stadia

pengembangan wilayah tersebut dinyatakan terdapat enam stadia, namun demikian

dalam penelitian ini hanya akan menggunakan empat stadia. Dua stadia awal (yaitu

stadia sub-subsisten dan stadia subsisten) diasumsikan telah dilewati oleh desa eks

transmigrasi pasca pembinaan.

Pada pasca pembinaan, dengan berkembangnya sistem agribisnis,

transmigran mulai mengusahakan lahan usaha II (LU II). Lahan usaha II sebagai

jatah lahan cadangan dimaksudkan untuk pengusahaan yang mampu memberikan

pendapatan jangka panjang dengan nilai yang memadai. Mekanisme dan pola

pengusahaan lahan usaha sangat ditentukan oleh dan terintegrasi dengan

perkembangan sistem agribisnis di permukiman transmigrasi.

Peningkatan produksi karena pengusahaan lahan usaha II ini membawa

transmigran pada stadia marketable surplus (hasil usaha tani telah melebihi

kebutuhan keluarganya) (Stadia I). Surplus hasil pertanian ini memerlukan

pengembangan industri pengolahan terutama untuk memenuhi permintaan atas

barang-barang olahan utama. Berkembangnya industi hasil pertanian skala kecil

menandakan masuknya desa-desa eks transmigrasi pada stadia industri pertanian

(Stadia II).

Berkembangnya industri pertanian akan meningkatkan permintaan hasil

pertanian. Ini berdampak pada peningkatan pendapatan transmigran. Peningkatan

pendapatan transmigran akan meningkatkan permintaan terhadap produk-produk

non-pertanian terutama barang-barang sekunder Hal ini akan mendorong

tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala kecil, sehingga desa-desa eks

transmigrasi masuk pada stadia industri non-pertanian (Stadia III)

Berkembangnya aktivitas industri tidak hanya berfungsi menampung

surplus hasil produksi pertanian, tetapi juga menampung surplus tenaga kerja di

sektor pertanian agar tetap menjaga tingkat pendapatan yang tinggi di sektor

pertanian.

Page 144: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

118

Berlanjutnya peningkatan pendapatan transmigran akan meningkatkan

permintaan barang-barang tersier (barang-barang mewah). Ini akan meningkatkan

permintaan barang mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri

umum, sehingga desa-desa eks transmigrasi masuk pada tahap industrialisasi

perdesaan ataupun urbanisasi kota kecil/menengah (Stadia IV).

Melalui pemahaman tahap-tahap penyelenggaraan transmigrasi dan proses

perkembangan yang terjadi pada desa-desa transmigrasi saat ini, selain dapat

menjadi dasar pengembangan program transmigrasi juga diharapkan akan dapat

menjadi dasar dalam merancang dan merumuskan kebijakan untuk pembangunan

perdesaan secara keseluruhan.

3.2 Hipotesis

3.2.1 Hipotesis 1

Sebagai suatu pengembangan wilayah baru yang dikembangkan berdasarkan

demand side strategy, maka desa-desa transmigrasi diduga mengalami

perkembangan dari desa pertanian ke arah desa industri atau desa urban.

Khususnya terhadap desa-desa eks transmigrasi, diduga terdapat empat stadia

perkembangan yaitu Stadia Marketable Surplus, Stadia Industri Pertanian, Stadia

Industri Non-Pertanian dan Stadia Industrialisasi Perdesaan/Urbanisasi Kota

Kecil-Menengah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada empat stadia tersebut

selain dalam bentuk perubahan kesejahteraan juga dalam bentuk perubahan

aktivitas pertanian dan aktivitas non-pertanian.

3.2.2 Hipotesis 2

Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ditentukan oleh faktor-faktor

yang tercakup dalam tahapan penyelenggaraan transmigrasi yaitu seleksi lokasi

yang menentukan jarak lokasi permukiman terhadap pusat-pusat kegiatan, sarana-

prasarana (terutama sarana jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik

transmigran (dari proses seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran,

serta faktor-faktor kinerja makro wilayah kabupaten.

Secara terperinci hipotesis ini dinyatakan sebagai berikut:

- Seleksi lokasi menentukan jarak desa-desa eks transmigrasi ke pusat-pusat

pertumbuhan yang ada (didekati dalam pengertian ibukota kabupaten). Semakin

dekat jarak pemukiman ke pusat-pusat pertumbuhan yang ada, maka akan

Page 145: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

119

semakin tinggi perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Jarak yang dekat ke

pusat-pusat pertumbuhan menyebabkan semakin tinggi akses terhadap pasar dan

terhadap faktor-faktor produksi. Ini akan meningkatkan efisiensi dan

produktivitas usaha di desa-desa eks transmigrasi.

- Semakin baik kondisi jalan menuju desa (didekati melalui jenis permukaan

jalan), maka akan semakin tinggi perkembangan desa-desa eks transmigrasi.

Jalan yang semakin baik akan meningkatkan aksesibilitas dalam hal waktu

tempuh relatif menuju pusat-pusat pertumbuhan.

- Desa-desa eks transmigrasi dengan tanaman perkebunan memiliki tingkat

perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan komoditas tanaman lainnya.

Tanaman perkebunan memiliki nilai pasar produk yang relatif stabil

dibandingkan tanaman pangan. Selain itu, sifat tanaman perkebunan yang

merupakan tanaman tahunan, memiliki peluang untuk pewarisan ke generasi

berikutnya. Ini menyebabkan generasi berikutnya dari transmigran tanaman

perkebunan lebih memiliki jaminan kesejahteraan dibandingkan generasi

berikutnya dari transmigran tanaman pangnan.

- Semakin lama penempatan transmigran, semakin tinggi tingkat perkembangan

desa-desa eks transmigrasi. Lama penempatan terkait dengan proses

penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta

kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejajteraam.

- Terdapat perbedaan tingkat perkembangan desa-desa eks transmigrasi

berdasarkan dominasi daerah asalnya

- Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi kabupaten, semakin tinggi tingkat

pencapaian perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Hal ini disebabkan

pertumbuhan ekonomi terkait erat dengan peluang usaha dan bekerja.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan tingginya peluang usaha dan

bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk di desa-desa eks transmigrasi.

- Semakin banyak unit usaha/industri terhadap penduduk, maka semakin tinggi

tingkat pencapaian perkembangan desa-desa eks tranmsigrasi. Jumlah unit

usaha/industri terkait erat dengan peluang usaha dan bekerja. Banyaknya unit

usaha/industri menunjukkan tingginya peluang usaha dan bekerja yang dapat

dimanfaatkan oleh penduduk di desa-desa eks transmigrasi.

Page 146: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

120

3.2.3 Hipotesis 3

Keterkaitan desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya

dipengaruhi oleh karakteristik transmigran dan keluarganya serta karakteristik

desa. Dalam hal ini keterkaitan desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah

sekitarnya secara khusus didekati melalui perjalanan untuk berbagai kegiatan

dengan penekanan khusus untuk kegiatan bekerja dan belanja antara di desa dan

luar desa. Penekanan terhadap perjalanan untuk kegiatan bekerja dan belanja ini

karena perjalanan untuk kedua kegiatan ini merupakan hasil dari bentuk

keterkaitan fungsional antarwilayah.

Secara terperinci, hipotesis ini diberikan sebagai berikut:

Hipotesis 3.1 Perjalanan untuk Bekerja

Perilaku perjalanan untuk bekerja antara di desa dengan luar desa

dipengaruhi oleh umur individu, jenjang pendidikan, status pekerjaan, status

dalam keluarga, daerah asal, luas lahan perkapita dalam keluarga, dan

karakteristik desa.

- Semakin tua umur individu maka semakin kecil peluang untuk bekerja di luar

desa. Hal ini terkait dengan kemampuan fisik dan kemampuan untuk

menghadapi persaingan untuk mendapatkan peluang kerja di luar desa.

- Semakin tinggi pendidikan maka semakin besar peluang untuk bekerja di luar

desa. Pendidikan yang semakin tinggi menyebabkan semakin tinggi kemampuan

untuk bersaing mendapatkan peluang kerja di luar desa.

- Terdapat perbedaan lokasi pekerjaan berdasarkan status pekerjaan. Pekerjaan

sampingan relatif lebih banyak dilakukan di luar desa dibandingkan pekerjaan

utama.

- Terdapat perbedaan lokasi pekerjaan berdasarkan status keluarga. Anggota

keluarga relatif lebih banyak melakukan pekerjaan yang berlokasi di luar desa

dibandingkan kepala keluarga.

- Terdapat perbedaan lokasi pekerjaan berdasarkan daerah asal dari individu yang

bekerja di desa-desa eks transmigrasi. Daerah asal (suku) pada dasarnya tekait

dengan kebiasaan dan etos kerja.

- Semakin sempit lahan perkapita dalam keluarga maka semakin besar peluang

untuk bekerja di luar desa. Hal ini disebabkan dengan semakin sempitnya lahan,

Page 147: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

121

maka curahan jam kerja untuk usaha tani di desa juga akan semakin sedikit,

sehingga individu memiliki kesempatan untuk mencari peluang kerja lain di luar

desa.

- Terdapat perbedaan perilaku individu dalam bekerja antara di desa dengan luar

desa berdasarkan stadia perkembangan desanya. Penduduk di desa-desa stadia

rendah cenderung bekerja di luar desa karena relatif terbatasnya kesempatan

kerja di dalam desa.

Hipotesis 3.2 Perjalanan untuk Belanja

Perilaku perjalanan untuk belanja antara di desa dengan luar desa

dipengaruhi oleh umur kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga, umur istri,

pendidikan istri, umur anak (tertua), pendidikan anak (tertua), pendapatan

perkapita keluarga, daerah asal dan karakteristik desa.

- Semakin tua umur kepala keluarga dan istri, maka semakin kecil peluang untuk

belanja di luar desa. Hal ini terkait dengan kemampuan fisik untuk belanja di

luar desa.

- Semakin dewasa anak, maka semakin besar peluang untuk belanja di luar desa.

Semakin dewasa maka semakin tinggi kemampuannya untuk melakukan

perjalanan belanja yang relatif lebih jauh (di luar dewasa). Selain itu, semakin

dewasa anak juga menyebabkan semakin banyak kebutuhan yang tidak dapat

dipenuhi di dalam desa.

- Semakin tinggi pendidikan kepala keluarga, istri, dan anak maka semakin besar

peluang untuk bekerja di luar desa. Pendidikan individu yang semakin tinggi

menyebabkan semakin tinggi kebutuhan individu untuk berbagai jenis barang,

yang tidak dapat dipenuhi di desa sendiri.

- Terdapat perbedaan lokasi belanja berdasarkan daerah asal dari individu. Daerah

asal (suku) pada dasarnya tekait dengan kebiasaan dan kebutuhan hidup.

- Terdapat perbedaan perilaku individu dalam belanja antara di desa dengan luar

desa berdasarkan perkembangan desanya. Penduduk di desa-desa stadia rendah

cenderung berbelanja di luar desa karena ketersediaan fasilitas belanja yang

relatif terbatas di dalam desa.

Page 148: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

122

Page 149: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi. Pemilihan Provinsi Jambi

sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan:

1 Penempatan transmigran di Provinsi Jambi telah memiliki kurun waktu

yang panjang, dimulai dari tahun 1940 dan terus berlanjut sampai saat

ini.

2 Sejak Tahun 1940 hingga Tahun 2011 jumlah transmigran di Provinsi

Jambi telah mencapai 83.422 KK, yang tersebar pada 209 UPT di 8

(delapan) dari 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jambi

(BPS Jambi 2011; Kemenakertrans 2012). Dengan jumlah tersebut telah

menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah utama

penempatan transmigran.

3 Tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah, yang memungkinkan

pembangunan transmigrasi di daerah ini dalam rangka memanfaatkan

potensi sumber daya alamnya.

4.2 Unit Analisis Unit analisis pada penelitian ini terdiri dari tiga tingkatan, yaitu pada

tingkatan individu, rumah tangga dan Desa. Individu dalam hal ini adalah anggota

rumah tangga. Rumah tangga adalah rumah tangga yang berada di desa sampel.

Desa dalam hal ini adalah desa-desa eks transmigrasi yaitu unit-unit permukiman

transmigrasi yang telah menjadi desa definitif.

4.3 Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer dikumpulkan pada tingkat rumah tangga sampel yang

dikumpulkan menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara terstruktur. Data

sekunder yang digunakan adalah data yang bersumber dari PODES (Potensi Desa)

2008, PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2008, SE (Sensus

Ekonomi) 2006, Provinsi Jambi dalam Angka, Kabupaten dalam Angka dan

Kecamatan dalam Angka. Selain itu juga data yang berasal dari instansi dan

Page 150: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

124

lembaga terkait di tingkat nasional, tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan

desa. Data pokok yang dikumpulkan antara lain:

1 Data karakteristik wilayah yang meliputi data geografi, potensi dan kesesuaian

lahan pertanian, demografi, ekonomi-sosial-budaya, dan aksesibilitas wilayah.

2 Data ketransmigrasian pada tingkat kabupaten dan provinsi yang mencakup

lokasi transmigrasi, perkembangan jumlah peserta transmigrasi berdasarkan

daerah asal dan tahun penempatan, dan jenis komoditas tanaman yang

dikembangkan di daerah transmigrasi

4.4 Alat Analisis Alat analisis yang digunakan dalam rangka menjawab permasalahan dan

tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

4.4.1 Stadia Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi Dalam menentukan stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

Kerangka Teoritis Penyusunan Indikator

Indikator yang disusun didasarkan pada hipotesis tahapan perkembangan

transmigrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2009). Dalam

hipotesis tersebut, transmigrasi dipandang sebagai strategi pengembangan wilayah

dengan pendekatan demand side strategy. Dalam pendekatan demand side

strategy tujuan pengembangan wilayah dilakukan dengan berbagai upaya untuk

meningkatkan taraf hidup penduduk (kesejahteraan penduduk) di suatu wilayah.

Peningkatan taraf hidup penduduk diharapkan akan meningkatkan permintaan

terhadap barang-barang non-pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut

akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan jasa-jasa yang akan lebih

mendorong perkembangan wilayah tersebut. Oleh karenanya, sebagaimana yang

telah dikemukakan sebelumnya, maka indikator perkembangan desa-desa eks

transmigrasi dalam hal ini dibangun berdasarkan pemikiran (definisi konsep):

“bahwa proses perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat dianalisis dalam

tiga kategori penting yaitu kesejahteraan penduduk, aktivitas pertanian dan

aktivitas non-pertanian (industri dan jasa-jasa)”.

Page 151: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

125

Kesejahteraan Penduduk

Kesejahteraan dalam konteks ini mengacu pada konsep kesejahteraan sosial

(social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-

material. Midgley et al. (2000) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a

condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala

kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,

kesehatan, pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan dapat dipenuhi; serta

manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang

mengancam kehidupannya.

Berdasarkan konsep ini, kesejahteraan penduduk secara konseptual dapat

diukur berdasarkan lima sub-kriteria utama yaitu: (1) Derajat Kesehatan; (2)

Derajat Pendidikan; (3) Kualitas Perumahan; (4) Pendapatan Masyarakat; dan (5)

Keamanan.

Derajat kesehatan diukur dari empat indikator tunggal sebagai berikut:

Rasio tenaga kesehatan tingkat desa (bidan) terhadap jumlah penduduk

Ketersediaan fasilitas kesehatan tingkat desa (Poskesdes, Polindes dan

Posyandu)

Kedua indikator adalah indikator dalam ukuran input kesehatan.

Derajat pendidikan diukur dari ketersediaan fasilitas sekolah pada jenjang

pendidikan TK, SD, dan SLTP. Indikator-indikator tersebut adalah indikator

dalam ukuran input pendidikan.

Kualitas Perumahan diukur dengan satu indikator yaitu proporsi

perumahan dengan tipe permanen.

Pendapatan masyarakat diukur dengan menggunakan indikator proxy,

karena tidak tersedianya data pendapatan masyarakat di tingkat desa. Indikator

proxy yang digunakan adalah Persentase keluarga miskin. Indikator merupakan

indikator dalam ukuran output pendapatan.

Keamanan diukur dengan menggunakan tiga indikator tunggal. Ketiga

indikator tersebut merupakan indikator dalam ukuran input, yaitu:

Rasio anggota hansip/linmas terhadap penduduk

Rasio polisi Bantuan Bintara Desa terhadap penduduk

Rasio Polisi Pelayanan Masyarakat terhadap penduduk

Page 152: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

126

Aktivitas Pertanian

Aktivitas pertanian secara konseptual dapat diukur berdasarkan aktivitas

penduduk pada usaha pertanian dan perkebunan, perikanan, peternakan dan

kehutanan. Dalam penelitian ini aktivitas pertanian diukur dengan menggunakan

dua indikator tunggal, yaitu:

Persentase keluarga pertanian

Persentase lahan pertanian dari total luas lahan

Kedua indikator merupakan indikator input untuk mencerminkan tingkat

aktivitas pertanian pada suatu desa.

Aktivitas Non-Pertanian

Aktivitas non-pertanian dalam hal ini mencakup aktivitas industri dan jasa-

jasa baik jasa perdagangan maupun non-perdagangan. Aktivitas non-pertanian

diukur dari empat indikator tunggal. Keempat indikator tersebut merupakan

indikator dalam ukuran input, yaitu:

Rasio unit industri pertanian terhadap penduduk

Rasio unit industri non-pertanian terhadap penduduk

Rasio unit perdagangan terhadap penduduk

Rasio unit jasa-jasa lainnya (non-perdagangan) terhadap penduduk

Dari berbagai indikator tersebut terlihat bahwa indikator yang diajukan

dibatasi pada indikator sosial dan ekonomi dan tidak melibatkan indikator

lingkungan (ekologi) sebagai bagian dari indikator pembangunan berkelanjutan.

Hal ini disebabkan keterbatasan ketersediaan data ekologi pada tingkat desa

sebagai unit analisis. Selain itu, menurut Freshwater (2000) meskipun tidak

mempertimbangkan faktor lingkungan, dari perspektif masyarakat perdesaan,

pembangunan berkelanjutan seharusnya lebih menekankan pada bagaimana

masyarakat menghasilkan pendapatan untuk mempertahankan gaya hidup

perdesaan mereka. Tetapi dalam kenyataannya, baik di perkotaan maupun

perdesaan, kondisi ekonomi mengalami perubahan yang sangat cepat. Ini

menyebabkan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, berbagai jenis

kesempatan kerja (untuk menghasilkan pendapatan) juga bergerak dinamis

mengikuti perubahan kondisi ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, indikator-

indikator yang diajukan dengan menganalisis perubahan-perubahan aktivitas

Page 153: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

127

ekonomi di perdesaan menjadi relevan dengan konsep pembangunan

berkelanjutan.

Data yang Digunakan

Data yang digunakan dalam penyusunan indikator ini bersumber dari data

hasil Potensi Desa, PPLS dan Sensus Ekonomi. Rincian data yang digunakan

diberikan pada Tabel 15 berikut.

Tabel 15 Rincian jenis data yang digunakan sebagai indikator tingkat perkembangan desa eks transmigrasi

Kriteria/Sub-Kriteria

Indikator Jenis indikator

Sumber data

Kesejahteraan Penduduk

Derajat kesehatan

Rasio tenaga kesehatan tingkat desa(bidan) terhadap jumlah penduduk

Rasio KK terhadap Posyandu

Input Input

PODES PODES

Derajat pendidikan

Rasio TK terhadap 1000 penduduk Rasio SD terhadap 1000 penduduk Rasio SMP terhadap 1000 penduduk

Input Input Input

PODES PODES PODES

Kualitas perumahan

Proporsi perumahan dengan tipe permanen Output PODES

Pendapatan masyarakat

Persentase keluarga miskin Output PPLS BPS

Keamanan Rasio anggota hansip/linmas terhadap penduduk

Rasio polisi Bantuan Bintara Desa terhadap penduduk

Rasio Polisi Pelayanan Masyarakat terhadap penduduk

Input Input Input

PODES PODES PODES

Aktivitas pertanian

Persentase keluarga pertanian Persentase lahan pertanian dari total luas

lahan

Input Input

PODES PODES

Aktivitas non-pertanian

Rasio unit industri pertanian terhadap penduduk

Rasio unit industri non-pertanian terhadap penduduk

Rasio unit perdagangan terhadap penduduk Rasio unit jasa terhadap penduduk

Input Input Input Input

SE 06 SE 06 SE 06 SE 06

Keterangan: PODES=Potensi Desa; SE=Sensus Ekonomi; PPLS=Pendataan Program Perlindungan Sosial

Page 154: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

128

Pengujian Data

Pengujian Normalitas Data. Pengujian normalitas data dilakukan melalui

uji signifikansi dari skewness sebaran data. Dalam pengujian nilai critical ratio

(cr) atau z-statistik dibandingkan dengan z-tabel pada tingkat α = 5%. Rumus z-

skewness sebagai berikut:

nSKz skew /6

di mana:

SK = nilai skewness = 3

)2)(1(

xxi

nnn

σ = standar deviasi

n = banyaknya data

Pengujian Data Pencilan. Pengujian data pencilan (outlier) dilakukan

dengan menggunakan dua pengujian yaitu pengujian univariate outlier dan

pengujian multivariate oulier. Pengujian univarite outlier dilakukan dengan

menstandarisasi data dengan nilai z. Data pencilan adalah data dengan nilai z >=

±3. Rumus z sebagai berikut:

xxz

Pengujian multivariate outlier dilakukan dengan menggunakan kriteria

Jarak Mahalanobis pada tingkat p<0,001. Jarak mahalanobis dievaluasi dengan

menggunakan nilai mahalanobis d-squared. Mahalanobis d-squared digunakan

untuk mengukur jarak skor hasil observasi terhadap nilai centroidnya.

Rumus jarak mahalanobis sebagai berikut:

)()( 12 XX T

di mana:

Jarak mahalanobis

1 Matrik kovarians

TX )( Transpose vektor

Analisis Faktor

Dari indikator-indikator yang telah disusun sebelumnya, selanjutnya

dilakukan analisis faktor. Analisis faktor dilakukan dalam rangka mereduksi atau

2

Page 155: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

129

meringkas peubah yang banyak menjadi sedikit peubah (yang disebut faktor),

tetapi masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam peubah

asli.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam analisis faktor adalah:

1. Menguji peubah-peubah yang telah ditentukan.

Prinsip pengujian adalah menentukan peubah-peubah yang dianggap layak

untuk dimasukkan dalam analisis selanjutnya. Kelayakan suatu peubah adalah jika

peubah tersebut memiliki kecenderungan mengelompok dan membentuk sebuah

faktor. Hal ini dapat dilihat dari korelasi yang cukup tinggi peubah tersebut

dengan peubah lainnya.

Untuk pengujian ini dilakukan dengan metode Bartlett test of sphericity,

pengukuran MSA (Measure of Sampling Adequacy) serta pengukuran Keiser-

Meyer-Olkin (KMO). Rumus Bartlett Test sebagai berikut:

6

521ln pnRB

di mana:

R nilai determinan

n = jumlah data

p = jumlah peubah

Hasil uji Bartlett test merupakan hasil uji atas hipotesis:

Ho: matriks korelasi = matrik identitas

Ha: matriks korelasi matriks identitas

Pengujian dengan membandingkan nilai Barlett test dengan nilai Tabel chi-

square. Kriteria pengujian: Tolak H0 jika nilai Bartlett test > nilai Tabel chi-

square. Rumus MSA sebagai berikut:

1 122

1

2

j j ijji

jji

ar

riMSA

di mana:

r = koefisien korelasi

a = koefisien korelasi parsial

Kriteria pengujian untuk kelayakan suatu peubah adalah jika nilai MSA > 0.5

Page 156: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

130

Rumus KMO sebagai berikut:

2

1

2

1

1

2

ijj

jij

jji

ar

riKMO

Kriteria pengujian untuk kelayakan suatu peubah adalah jika nilai KMO > 0.5

2. Proses Factoring dan Rotasi

Proses factoring bertujuan untuk mengesktrak satu atau lebih faktor dari

peubah-peubah yang telah lolos uji pada uji peubah sebelumnya. Dalam

konteks proses factoring ini, akan digunakan metode Analisis Komponen

Utama (Principal Components Analysis=PCA).

Analisis komponen utama merupakan analisis data yang dilakukan

dengan tujuan untuk menyederhanakan peubah yang diamati dengan

menyusutkan atau mereduksi dimensinya. Reduksi dimensi dilakukan dengan

menghilangkan korelasi antarpeubah melalui transformasi peubah-peubah

asal ke peubah-peubah baru yang tidak saling berkorelasi. Peubah baru (y)

disebut sebagai komponen utama yang merupakan hasil transformasi dari

peubah asal x. Komponen utama adalah kombinasi linear terbobot peubah

asal yang dapat menerangkan keragaman data dalam proporsi tertentu.

Setelah satu atau lebih dari faktor terbentuk, dengan sebuah faktor berisi

sejumlah peubah, kemungkinan sebuah peubah diragukan apakah layak atau

tidak untuk dimasukkan dalam faktor yang terbentuk. Untuk mengatasi

tersebut maka pada tahap selanjutnya dilakukan proses rotasi. Proses rotasi

bertujuan untuk memperjelas posisi sebuah peubah dalam suatu faktor.

Dalam penelitian ini, proses rotasi yang digunakan adalah metode

Obligue Rotation. Pemilihan metode ini didasarkan pertimbangan untuk

mendapatkan faktor yang sesuai dengan teori atau dengan kriteria/sub-kriteria

indikator yang telah dikemukakan sebelumnya.

Pemilihan Surrogate Variable

Analisis faktor yang dilakukan pada tahapan sebelumnya, pada dasarnya

dapat digunakan sebagai analisis antara maupun analisis akhir. Sebagai analisis

antara, analisis faktor bermanfaat untuk menghilangkan multikolinearitas atau

untuk mereduksi peubah yang berukuran besar ke dalam peubah baru yang

Page 157: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

131

berukuran sederhana. Untuk analisis akhir, analisis faktor digunakan untuk

mengelompokkan peubah-peubah penting dari suatu bundel peubah besar untuk

menduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan

antarpeubah. Dalam konteks penelitian ini, analisis faktor dijadikan sebagai

analisis antara. Dengan kata lain, hasil dari reduksi peubah tersebut akan

digunakan untuk analisis lebih lanjut.

Pada tahap analisis faktor sebelumnya akan menghasilkan factor loading.

Factor loading merupakan bobot masing-masing peubah pada suatu faktor.

Semakin tinggi bobot suatu peubah maka semakin tinggi kemampuan peubah

tersebut mewakili faktor yang terbentuk.

Untuk analisis lebih lanjut, dilakukan pemilihan surrogate variable atau

peubah pengganti dari faktor yang terbentuk. Surrogate variable atau peubah

pengganti ini adalah peubah asli.

Pemilihan surrogate variable didasarkan pada faktor peubah dengan factor

loading tertinggi pada faktor bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap analisis

selanjutnya, digunakan peubah dengan nilai asli bukan dalam skor faktor, tetapi

dengan jumlah peubah yang lebih sedikit.

Penyeragaman Dimensi

Peubah yang digunakan (dalam hal ini surrogate variable hasil analisis

sebelumnya), adalah peubah-peubah dengan dimensi pengukuran yang berbeda.

Oleh karenanya pada tahap selanjutnya dilakukan penyeragaman dimensi

pengukuran pada surrogate variable.

Metode yang digunakan dalam penyeragaman dimensi ini adalah Min-Max

Method, dengan rumus sebagai berikut:

minmax

min

XiXiXiXIX i

i

Di mana:

IXi = peubah X untuk desa i yang telah dinormalisasi

Xi = nilai peubah untuk desa i

Xmin = nilai terendah dari peubah X

Xmax = nilai tertinggi dari peubah X

Page 158: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

132

Pembobotan dan Agregasi

Setelah penyeragaman dimensi dan mendapatkan peubah dalam ukuran

yang sama, selanjutnya dilakukan pembobotan. Pembobotan dilakukan dalam

rangka mendapatkan besaran proporsi untuk masing-masing peubah dalam

penetapan indikator komposit.

Pembobotan masing-masing peubah dengan membagi Explained Variance

dari factor loading masing-masing faktor peubah dengan Total Explained

Variance, dengan rumus:

var

var

FFW x

X

Di mana:

WX = bobot peubah X

Fxvar = Explained Variance Factor Loading X

ΣFvar = Total Explained Variance Factor Loading

Selanjutnya untuk mendapatkan indeks komposit dilakukan agregasi dengan

menggunakan metode linear agregation aditif dengan menggunakan rumus:

ii IxWxCI .

Di mana:

CIi = indeks komposit desa i

Wx = bobot peubah (indikator) X

Ixi = peubah X untuk desa i yang telah dinormalisasi

Klasterisasi Desa

Setelah mendapatkan nilai indeks komposit untuk masing-masing desa dari

tahapan sebelumnya, selanjutnya dilakukan diseminasi dalam kerangka

mengelompokkan desa atas stadia perkembangannya. Perkembangan desa

dikelompokkan atas empat hierarki. Pengelompokan atas empat stadia ini

menggunakan asumsi yang didasarkan hipotesis stadia pengembangan kawasan

transmigrasi yang dikemukan Rustiadi (2009), khususnya pada stadia setelah

masa pembinaan pemukiman transmigrasi. Pengelompokkan pada empat stadia

menggunakan metode K-Mean Cluster.

Page 159: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

133

Analisis Diskriminan Stadia

Untuk menentukan peubah yang membedakan kategori stadia serta untuk

mengevaluasi keakuratan klasifikasi dari klaster yang terbentuk pada proses

sebelumnya, dilakukan analisis diskriminan. Peubah yang digunakan adalah

peubah-peubah yang lolos uji pada tahapan analisis faktor sebelumnya.

4.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi

Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desa-

desa eks transmigrasi, peubah tak bebas (dependent variable) yang digunakan

adalah pengkategorian stadia perkembangan desa eks transmigrasi yang diperoleh

dari tahapan sebelumnya. Selanjutnya, peubah bebas (independent variable) yang

digunakan terdiri dari dua kelompok peubah yaitu peubah-peubah yang berasal

dari model penyelenggaraan transmigrasi (khususnya dalam kelompok seleksi

lokasi, komoditas tanaman utama dan seleksi calon transmigrasi) dan peubah-

peubah yang berasal dari kinerja wilayah kabupaten.

Mengingat stadia perkembangan dikategorikan atas empat kategori yang

berjenjang (ordinal), maka model yang digunakan adalah model regresi ordinal

logit. McCullagh dan Nelder 1992 mengemukakan, model ordinal logit adalah

model regresi logistik dengan peubah tak bebas dalam bentuk peubah

ordinal/kategori dengan tiga atau lebih tingkatan berurutnya.

Model determinan perkembangan desa eks transmigrasi sebagai berikut:

eXXXXXXXXXXX

DDDDDD

DDDDDDDDj

77663.53.52.52.51.51.5

442.32.31.31.32.22.21.21.211)ln(

di mana:

j = stadia perkembangan permukiman transmigrasi

j1 0 = stadia IV; 1 = stadia I

j2 0 = stadia IV; 1 = stadia II

j3 0 = stadia IV; 1 = stadia III

Θj = probabilitas (skor ≤ j)/(1 – probabilitas (skor ≤ j))

α = konstanta persamaan; β1…β7 = koefisien peubah dalam model

e = error term

X1 = Jarak desa dari ibukota kabupaten

Page 160: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

134

X2 = Permukaan jalan antar desa terluas

X2.D1 0 = Aspal; 1 = Tanah

X2.D2 0 = Aspal; 1 = Perkerasan

X3 = Komoditi asal tanaman utama transmigran

X3.D1 0 = Karet; 1 = Pangan

X3.D2 0 = Karet; 1 = Kelapa Sawit

X4 = Rata-rata lama penempatan transmigran di desa tersebut (dalam tahun)

X5 = Dominasi daerah asal transmigran (lebih dari 50 persen penempatan)

X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah

X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat

X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur

X6 = Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten penempatan transmigrasi (10

tahun terakhir)

X7 = Rasio perusahaan/usaha (menengah/besar) per 1000 penduduk pada

kabupaten penempatan transmigrasi

1, 2.D1, 2.D2, 3.D1, 3.D2 < 0; 5.D1, 5.D2, 5.D3 0; 4, 6, 7 > 0

Pendugaan koefisien model menggunakan metode Generalized Linear

Model (GLM). Sedangkan pengujian model secara keseluruhan menggunakan

likelihood ratio, yaitu rasio fungsi kemungkinan modelUR lengkap terhadap fungsi

kemungkinan modelR (Ho benar), dengan statistik uji G, dan pengujian secara

parsial masing-masing koefisien menggunakan statistik uji Wald (Juanda 2009).

4.4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks

transmigrasi dilakukan analisis pada data keluarga sampel. Kondisi sosial

ekonomi mencakup pada karakteristik kepala keluarga, struktur dan kegiatan

anggota keluarga, karakteristik tempat tinggal, kepemilikan keluarga terhadap

lahan pertanian dan pendapatan keluarga. Analisis dilakukan secara deskriptif

dengan membandingkan kondisi pada masing-masing desa.

Untuk kepentingan tersebut dilakukan survai dengan mengambil sampel

pada tingkat rumah tangga. Lokasi yang dipilih enam desa eks transmigrasi.

Masing-masingnya dua desa (satu desa stadia tertinggi dan satu desa stadia

Page 161: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

135

terendah dari hasil analisis sebelumnya) pada desa eks transmigrasi berbasis

tanaman pangan, berbasis perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet.

Pada masing-masing desa ditetapkan sampel keluarga sebesar 5 persen dari

total populasi keluarga. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana

dengan sampling frame berupa data KK yang ada pada kantor desa.

4.4.4 Interaksi Antarwilayah Untuk memenuhi kebutuhan hidup, penduduk dalam suatu wilayah sering

harus memenuhinya dari wilayah lain. Oleh karenanya penduduk harus

melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk struktur hubungan

antarwilayah. Hubungan ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses

permintaan (demand) dan penawaran (supply). Sebagaimana yang dikemukakan

oleh Douglas (1998), salah satu bentuk keterkaitan antar wilayah adalah

perjalanan penduduk baik untuk bekerja, bersekolah, belanja, berkunjung ataupun

menjual barang dan jasa.

Hubungan antarwilayah dapat disebut sebagai keterkaitan antarwilayah.

Hubungan antarwilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai interaksi. Proses-

proses interaksi dibentuk oleh keterkaitan-keterkaitan di antara permukiman.

Secara umum, penelitian ini menganalisis pergerakan penduduk dari desa-

desa eks transmigrasi (desa sampel) untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi yang

mencakup aktivitas bekerja, belanja, penjualan produk, keuangan, pendidikan,

kesehatan rekreasi dan agama. Pergerakan penduduk untuk berbagai aktivitas

sosial ekonomi tersebut akan dianalisis secara deskriptif berdasarkan pergerakan

penduduk pada desa sampel.

Khusus pergerakan penduduk untuk aktivitas bekerja dan belanja dilakukan

pemodelan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pemilihan

dua kelompok perjalanan untuk aktivitas ini selain karena pertimbangan tingkat

rutinitasnya, juga dengan pertimbangan bahwa perjalanan untuk kedua kelompok

aktivitas ini terkait langsung dengan aspek demand-supply yang menjadi dasar

interaksi antarwilayah..

Model pergerakan penduduk untuk bekerja

Model perjalanan untuk kegiatan bekerja ini menggunakan data pada tingkat individu baik kepala keluarga maupun anggota keluarga (istri dan anak) yang

Page 162: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

136

bekerja, baik pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Peubah tak bebas yang digunakan adalah lokasi bekerja antara desa dan luar desa sedangkan peubah bebasnya adalah karakteristik individu, keluarga dan stadia desa.

Mengingat peubah tak bebas terdiri dari dua kategori, maka model yang digunakan adalah model regresi binary logit. Model tersebut diberikan sebagai berikut:

eXXXXXXXXXXXxg

DDDDDD

DDDDDDki

77664.54.53.53.52.52.5

1.51.544.332.22.21.21.2110)(

di mana:

g(xki) = peluang lokasi bekerja (0 = di desa; 1 = di luar desa)

X1 = Umur (dalam tahun)

X2 = Jenjang pendidikan formal

X2.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP

X2.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas

X3 = Status Pekerjaan ( 0 = pekerjaan utama; 1 = pekerjaan sampingan)

X4 = Status dalam keluarga (0 = kepala keluarga; 1 = anggota keluarga)

X5 = Daerah asal

X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah

X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat

X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur

X5.D4 0 = Jambi; 1 = Lainnya

X6 = Luas lahan perkapita dalam keluarga (ha/jiwa)

X7 = Stadia Desa (0 = Rendah 1 = Tinggi)

1, 4, 6 , 7 < 0; 5.D1, 5.D2, 5.D3 0; 2.D1, 2.D2, 3, 4 > 0

Model pergerakan penduduk untuk belanja

Pemodelan perjalanan untuk kegiatan belanja menggunakan data pada

tingkat keluarga mengingat kegiatan belanja umumnya dilakukan bersama-sama

antara kepala keluarga dan anggota keluarga. Peubah tak bebas dalam hal ini

adalah proporsi jenis belanja di luar desa terhadap total jenis belanja keluarga

yang dikategorikan atas proporsi rendah dan proporsi tinggi. Kategori rendah atau

tinggi dikelompokkan dengan menggunakan K-Mean Cluster. Peubah bebas yang

digunakan adalah karakteristik individu, keluarga dan stadia desa.

Page 163: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

137

Mengingat peubah tak bebas terdiri dari dua kategori, maka model yang digunakan adalah model regresi binary logit. Model tersebut diberikan sebagai berikut:

eXXXXXXXX

XXXXXXXxg

DD

DDDDDDDDDD

DDDDDDDDmi

994.84.8

3.83.82.82.81.81.8772.62.61.61.6

552.42.41.41.4.332.22.21.21.2110)(

dimana:

g(xmi) = peluang proporsi belanja di luar desa (0 = rendah; 1 = tinggi)

X1 = Umur Kepala Keluarga (tahun)

X2 = Jenjang pendidikan formal Kepala Keluarga

X2.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP

X2.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas

X3 = Umur Istri (tahun)

X4 = Jenjang pendidikan formal Istri

X4.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP

X4.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas

X5 = Umur Anak Tertua (tahun)

X6 = Jenjang pendidikan formal Anak Tertua

X6.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP

X6.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas

X7 = Pendapatan perkapita keluarga (Rp 000 perbulan)

X8 = Daerah asal

X8.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah

X8.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat

X8.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur

X8.D4 0 = Jambi; 1 = Lainnya

X9 = Stadia Desa (0 = Rendah; 1 = Tinggi)

1, 3, 9, < 0; 8.D1, 8.D2, 8.D3, 8.D4 0

2.D1, 2.D2, 4.D1, 4.D2, 5, 6.D1, 6.D2, 7 > 0

Selanjutnya, alir rancangan penelitian menurut tujuan dan alat analisis yang

digunakan diberikan pada Gambar 7 sedangkan keterkaitan tujuan, alat analisis,

unit analisis, peubah dan sumber data diberikan pada Tabel 16 berikut.

Page 164: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

138

Gambar 8 Alir rancangan penelitian

Kriteria /Sub Kriteria /Indikator Perkembangan

Desa

Pengujian Data Normalitas (z-

skewness) Univariate Outlier (z-

score) Multivariate Outlier

(Mahalanobis)

Analisis Faktor Uji Kelayakan Peubah

(Bartlett,MSA, KMO) Factoring (PCA) Rotasi (Obligue Rotasi)

Pemilihan Surrogate Variable (Peubah dg Factor Loading tertinggi pd faktor bersangkutan)

Pembobotan & Agregasi Pembobotan

(Variance factor loading)

Agregasi (linear aditif)

Penyeragaman Dimensi (Metode Min-Max)

Klasterisasi Desa (K Mean Cluster)

STADIA DESA

Evaluasi Keakuratan (Analisis Diskriminan)

Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk (Deskriptif)

Faktor-Faktor yg Mempengaruhi (Ordinal Logit)

Model Pergerakan Penduduk - Bekerja - Belanja

(BinaryLogit)

TUJUAN 1 TUJUAN 2

TUJUAN 3

TUJUAN 4

Pemilihan desa sampel

Pemilihan keluarga sampel

INDEKS KOMPOSIT

Page 165: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

139

Tabel 16 Kaitan tujuan, alat analisis, unit analisis, peubah dan sumber data No. Tujuan penelitian Alat analisis Unit analisis Peubah/Parameter Sumber data 1. Menganalisis kinerja desa-desa

eks transmigrasi Evaluasi dan Pengujian

Data Analisis Faktor dan

Tahapannya Analisis Diskriminan

Desa

Derajat kesehatan Derajat pendidikan Pendapatan masyarakat Keamanan Aktivitas pertanian Aktivitas non-pertanian

Podes 2008 SE 2006 Kecamatan

dalam Angka PPLS BPS

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja desa-desa eks transmigrasi

Ordinal Logit Desa Jarak Desa dari ibukota kabupaten Permukaan jalan antar desa terluas Komoditi asal tanaman utama transmigran Rata-rata lama penempatan transmigran Dominasi daerah asal transmigran Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten Rasio perusahaan/usaha per 1000 pddk

Depnakertrans Kecamatan

dalam Angka Kabupaten

dalam Angka SE 2006

3. Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk desa-desa eks transmigrasi

Deskriptif Kuantitatif Keluarga

Karakteristik Kepala Keluarga Struktur dan Kegiatan Anggota Keluarga Karakteristik Tempat Tinggal Kepemilikan Lahan dan Pendapatan

Survai

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya

Binary Logit (perjalanan bekerja)

Individu

Umur Jenjang pendidikan formal Status Pekerjaan status dalam keluarga Daerah asal Luas lahan perkapita dalam keluarga Stadia Desa

Survai

Binary Logit (perjalanan belanja)

Keluarga Umur Kepala Keluarga (tahun) Jenjang pendidikan Kepala Keluarga Umur Istri (tahun) Jenjang pendidikan Istri Umur Anak Tertua (tahun) Jenjang pendidikan Anak Tertua Pendapatan perkapita keluarga Daerah asal Stadia Desa

Survai

Keterangan: PODES=Potensi Desa; SE=Sensus Ekonomi; PPLS=Pendataan Program Perlindungan Sosial

Page 166: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

140

Page 167: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

V GAMBARAN UMUM TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI

5.1 Sejarah dan Perkembangan Transmigrasi di Provinsi Jambi Transmigrasi di Provinsi Jambi telah dimulai pada masa kolonisasi.

Keberhasilan kolonisasi di Lampung yang pada mulanya merupakan daerah

percobaan terutama dalam penyediaan pangan, telah memotivasi Pemerintah

Belanda untuk meningkatkan produksi pangan tersebut dengan mengembangkan

daerah kolonisasi termasuk ke daerah Jambi.

Pada masa kolonisasi, Provinsi Jambi (dulu berstatus Karesidenan Jambi)

termasuk wilayah Sumatera Tengah. Pelaksanaan program kolonisasi dimulai

pada tahun 1940 yang ditandai dengan pengiriman 506 kepala keluarga (KK)

dengan 1.945 jiwa dari Pulau Jawa menuju daerah Bangko-Tabir dekat Rantau

Panjang yang sekarang dikenal dengan kampung 1 s/d Kampung 12 di Desa

Margoyoso. Kolonisasi pada masa tersebut bersifat kolonisasi pertanian, yaitu

penyediaan buruh murah untuk pembangunan pertanian dalam jangka panjang.

Selanjutnya, kegiatan perpindahan penduduk dari daerah asal dilanjutkan

setelah masa kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan istilah transmigrasi.

Penempatan transmigrasi pertama dilaksanakan pada tahun 1967 (periode Pra

Pelita) pada UPT Rantau Rasau I Kabupaten Tanjung Jabung Timur (sebelum

pemekaran Tahun 1999 berstatus sebagai Kabupaten Tanjung Jabung). Jumlah

penempatan pada periode pertama transmigasi ini sebanyak 249 KK (1208 Jiwa).

Pada Pelita I (1969/1970-1973/1974), jumlah transmigran yang ditempatkan

sebanyak 2.450 KK (11.371 jiwa), pada 4 lokasi (UPT). Keseluruhan lokasi

tersebut berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai kelanjutan dari UPT

Rantau Rasau I yaitu UPT Rantau Rasau II, III, IV dan V.

Pada Pelita II (1974/1975 – 1978/1979), jumlah transmigran yang telah

ditempatkan sebanyak 13.476 KK (61.161 jiwa) pada 33 lokasi (UPT). Lokasi

penempatan juga telah mengalami penyebaran pada tiga kabupaten lain selain

Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yaitu Kabupaten Bungo, Sarolangun dan Tebo.

Selanjutnya, pada Pelita III (1979/1980 – 1983/194) telah ditempatkan

transmigran sebanyak 22.741 KK (94.485 jiwa) pada 47 lokasi (UPT). Selain pada

kabupaten-kabupaten penerima transmigrasi pada Pra Pelita, Pelita I dan II, pada

Page 168: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

142

Pelita III ini lokasi pemukiman transmigrasi juga berada di Kabupaten Batang

Hari, Merangin dan Muaro Jambi.

Pada Pelita IV (1984/1985 – 1988/1989), jumlah transmigran mengalami

penurunan dari periode sebelumnya, yaitu sebanyak 11.141 KK (47.136 jiwa)

yang ditempatkan pada 27 lokasi (UPT). Meskipun demikian, pada periode ini

lokasi transmigrasi semakin menyebar dengan masuknya Kabupaten Tanjung

Jabung Barat (sebelum pemekaran pada Tahun 1999 berstatus sebagai Kabupaten

Tanjung Jabung) sebagai lokasi penerima transmigrasi.

Penempatan transmigran kembali mengalami peningkatan pada Pelita V

(1989/1990 – 1993/1994). Pada periode ini ditempatkan transmigran sebanyak

17.411 KK (71.676 jiwa) pada 43 lokasi (UPT). Kabupaten penerima transmigrasi

tidak mengalami perubahan jika dibandingkan pada Pelita sebelumnya.

Pada Pelita VI (1994/1995-1998/1999) penempatan transmigran mengalami

penurunan menjadi 9.710 KK (41.871 jiwa) yang ditempatkan pada 27 lokasi

(UPT). Kabupaten penerima transmigran adalah Kabupaten Bungo, Sarolangun,

Tebo Batang Hari, Merangin dan Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Barat.

Penurunan ini berlanjut di era otonomi daerah. Pada periode 2000 – 2004,

penempatan transmigran sebanyak 4.050 KK (17.028 jiwa) pada 15 lokasi (UPT).

Kabupaten penerima transmigran pada periode ini adalah Kabupaten Batang hari,

Bungo, Muaro Jambi, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan Tebo. Pada periode

2005 – 2009 ditempatkan sebanyak 2.030 KK (7.790 jiwa) pada 11 lokasi (UPT).

Pada periode ini kabupaten penerima transmigran adalah Kabupaten Batang hari,

Bungo, Kerinci, Muaro Jambi dan Sarolangun. Selanjutnya pada periode 2010 -

2011 ditempatkan sebanyak 164 KK (588 jiwa) pada 1 lokasi.

Khususnya di era otonomi daerah ini, penyelenggaraan transmigrasi di

Provinsi Jambi dilaksanakan dalam model kerja sama antardaerah, yaitu kerja

sama antara daerah pengirim transmigrasi dan daerah penerima transmigrasi

(dalam hal ini Provinsi Jambi). Pada tanggal 17 Desember 2002, Provinsi Jambi

telah membuat kesepakatan kerja sama dengan lima provinsi pengirim

transmigran yaitu D.I Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan

Jawa Timur.

Page 169: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

143

Ruang lingkup kerja sama mencakup pada Komunikasi, Informasi dan

Edukasi; Survei Potensi Kawasan; Penyediaan Areal; Perencanaan Tata Ruang

Permukiman Transmigrasi; Penyiapan Permukiman Transmigrasi; Pengerahan

dan Penempatan Transmigran serta Perberdayaan Masyarakat. Selanjutnya dalam

penyelenggaran transmigrasi berdasarkan konsep kerja sama antardaerah, biaya

penyelenggaraannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi pengirim transmigran;

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jambi; Anggaran Pendapatan

Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan

Bersama ini serta sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.

Berdasarkan penempatan transmigran dari periode Pra Pelita sampai tahun

2011, jumlah transmigran yang telah ditempatkan di Provinsi Jambi sebanyak

83.422 KK (354.284 jiwa) pada 209 lokasi (UPT). Secara terperinci diberikan

pada Tabel 17 dan Gambar 8.

Tabel 17 Perkembangan penempatan transmigran di Provinsi Jambi dari periode Pra Pelita sampai dengan tahun 2011

No. Periode penempatan (a) UPT/ LPT b)

Penempatanb) Rata-rata per tahun

KK Jiwa KK Jiwa

1 Pra Pelita (1950 - 1968) 1 249 1208 14 67

2 Pelita I (1969/70 - 1973/74) 4 2450 11371 490 2274

3 Pelita II (1974/75 - 1978/79) 33 13476 61161 2695 12232

4 Pelita III (1979/80 - 1983/84) 47 22741 94485 4548 18897

5 Pelita IV (1984/85 - 1988/89) 27 11141 47136 2228 9427

6 Pelita V (1989/90 - 1993/94) 43 17411 71676 3482 14335

7 Pelita VI (1994/95 - 1998/99) 27 9710 41871 1942 8374

8 2000 - 2004 15 4050 17028 810 3406

9 2005 - 2009 11 2030 7790 406 1558

10 2010 - 2011 1 164 558 82 279

Jumlah 209 83422 354284 1368 5808 Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010; Kemenakertrans 2012. Keterangan: a) berdasarkan tahun awal penempatan

b) jumlah sampai akhir periode penempatan

Page 170: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

144

Gambar 9 Rata-rata penempatan transmigrasi dari Pra-Pelita sampai era otonomi

daerah di Provinsi Jambi. Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010; Kemenakertrans 2012.

Dari total jumlah UPT di Provinsi Jambi yang sebanyak 209 UPT, 8 UPT

diantaranya masih merupakan UPT Binaan. UPT Binaan tersebut tersebar pada 5

kabupaten di Provinsi Jambi, yang merupakan transmigrasi dari tahun penempatan

2004 – 2011, dengan jumlah penempatan sebanyak 1350 KK (5254 jiwa).

Tabel 18 UPT binaan Provinsi Jambi tahun 2011

No Kabupaten Kecamatan Lokasi UPT Tahun penempatan

Jumlah penempatan KK Jiwa

1 Batang Hari Rantau Pandan Tebing Jaya III 2007 200 781

2 Batang Hari Rantau Pandan Tebing Jaya IV 2008 150 576

3 Muaro Jambi Kumpeh Ulu Gd.Karya, S. Aur 2009 200 717

4 Bungo Rantau Pandan Rantau Pandan V 2004 210 849

5 Bungo Rantau Pandan Rantau Pandan X 2008 200 720

6 Bungo Pelepat Pelepat II 2006 190 811

7 Sarolangun Pauh Lamban Sigatal 2009 100 420

8 Kerinci Siulak Sei Bernas 2009 100 380

Jumlah 1350 5254

Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010; Kemenakertrans 2012.

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

20000

Pra Pelita1950-1968

Pelita I69/70-73/74

Pelita II74/75-78/79

Pelita III79/80-83/84

Pelita IV84/85-88/89

Pelita V89/90-93/94

Pelita VI94/95-98/99

2000 - 2004 2005 - 2009 2010 - 2011

Periode penempatan

KK a

tau

jiwa

KK Jiwa

Page 171: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

145

Penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi dari segi pembiayaannya

merupakan bentuk transmigrasi umum (TU) dan transmigrasi swakarsa

berbantuan (TSB). Transmigrasi umum adalah transmigrasi yang dilaksanakan

oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2009), sedangkan transmigrasi swakarsa berbantuan adalah transmigrasi

yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan

mengikutsertakan badan usaha sebagai mitra usaha transmigran.

Selain TU dan TSB ini, di Provinsi Jambi juga terdapat transmigrasi

swakarsa mandiri (TSM). Transmigrasi swakarsa mandiri adalah transmigrasi

yang dilaksanakan oleh transmigran yang bersangkutan secara perseorangan atau

kelompok, baik bekerja sama maupun tidak bekerja sama dengan badan usaha,

atas arahan, layanan dan bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 9

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009).

TSM dapat dikatakan sebagai transmigrasi “bebas biaya pemerintah”.

Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya tetap bersentuhan dengan biaya

pemerintah. Artinya TSM tidak sepenuhnya bebas biaya pemerintah, hanya saja

dibandingkan dengan TU dan TSB, subsidi (dana) pemerintah untuk TSM jauh

lebih sedikit. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 tahun 2009 pasal 15,

transmigrasi swakarsa mandiri berhak memperoleh bantuan dari Pemerintah

dan/atau pemerintah daerah berupa: a) pengurusan perpindahan dan penempatan

di Permukiman Transmigrasi; bimbingan untuk mendapatkan lapangan kerja atau

lapangan usaha atau fasilitasi mendapatkan lahan usaha; b) lahan tempat tinggal

dengan status hak milik; dan c) bimbingan, pengembangan, dan perlindungan

hubungan kemitraan usaha.

TSM di Provinsi Jambi terdiri dari dua bentuk yaitu TSM Penataan dan

TSM Murni. TSM penataan yang diselenggarakan dari tahun 1990/1991 sampai

1993/1994 dan TSM Murni yang diselenggarakan mulai tahun 1994/1995 sampai

Tahun 2009.

Dari tahun 1990/1991 sampai 2009, telah ditempatkan TSM di Provinsi

Jambi sebanyak 14.304 KK (45.469 KK), yang terdiri dari TSM penataan

sebanyak 4.250 KK (12.853 jiwa) dan TSM Murni sebanyak 10.054 KK (32.616

jiwa). Penempatan TSM selama ini masih terbatas di lokasi-lokasi unit

Page 172: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

146

permukiman/desa eks transmigrasi yang telah ada (PTA) untuk memanfaatkan

sisa cadangan areal yang belum digunakan. Perkembangan Transmigrasi

Swakarsa Mandiri di Provinsi Jambi diberikan pada Tabel 19 berikut.

Tabel 19 Perkembangan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) di Provinsi Jambi tahun 1990/1991 - 2009

No. Tahun penempatan

Penataan Murni Total KK Jiwa KK Jiwa KK Jiwa

1 1990/1991 400 1240 0 0 400 1240

2 1991/1992 1600 3895 0 0 1600 3895

3 1992/1993 1250 4349 0 0 1250 4349

4 1993/1994 1000 3369 0 0 1000 3369

5 1994/1995 0 0 2100 7156 2100 7156

6 1995/1996 0 0 2025 6085 2025 6085

7 1996/1997 0 0 2550 7987 2550 7987

8 1997/1998 0 0 2899 9722 2899 9722

9 1998/1999 0 0 153 417 153 417

10 2000 0 0 127 464 127 464

11 2009 0 0 200 785 200 785

Total 4250 12853 10054 32616 14304 45469

Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.

5.2. Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dan Daerah Penempatan Lokasi transmigrasi di Provinsi Jambi tersebar pada hampir seluruh wilayah

kabupaten di Provinsi Jambi kecuali Kota Jambi dan Kota Sungai Penuh.

Berdasarkan sebarannya, penempatan terbanyak adalah di Kabupaten Muaro

Jambi dengan proporsi sebesar 17,14 persen (14.268 KK) diikuti oleh Kabupaten

Merangin sebesar 15,78 persen (13.134 KK), Bungo sebesar 13,74 persen (11.440

KK), Tanjung Jabung Timur sebesar 13,04 persen (10.859 KK), Tebo sebesar

11,98 persen (9.974 KK), Sarolangun sebesar 11,20 persen (9.324 KK), Tanjung

Jabung Barat sebesar 8,88 persen (7.396 KK), Batang Hari sebesar 8,12 persen

(6.763 KK) dan Kerinci sebesar 0,12 persen (100 KK) (Tabel 20 dan Gambar 9).

Page 173: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

147

Tabel 20 Sebaran transmigran di Provinsi Jambi berdasarkan daerah asal dan kabupaten penempatan (kepala keluarga) tahun 2009

Kabupaten penempatan Daerah asal Jumlah

DKI JABAR JATENG JATIM DIY TPS

Batang Hari 245 1309 1181 816 428 2784 6763

Bungo 167 2130 3815 1814 756 2758 11440

Merangin 50 2094 5173 2909 1220 1688 13134

Muaro Jambi 607 2338 2253 2411 1275 5384 14268

Sarolangun 94 2201 2297 1463 1280 1989 9324

Tanjung Jabung Barat 398 1021 1541 1077 685 2674 7396

Tanjung Jabung Timur 20 2060 3431 3236 1279 833 10859

Tebo 68 520 7212 588 406 1180 9974

Kerinci 0 25 25 0 0 50 100

Jumlah 1649 13698 26928 14314 7329 19340 83258

Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.

Gambar 10 Sebaran transmigran menurut kabupaten penempatan di Provinsi

Jambi tahun 2009 (persentase KK). Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.

Selanjutnya berdasarkan daerah asalnya, proporsi terbesar (32,34 persen

atau 26.928 KK) berasal dari Provinsi Jawa Tengah, diikuti oleh transmigran asal

Bt.Hari8%

Bungo14%

M erangin16%

M a.Jambi17%

Sarolangun11%

Tanjabbar9%

Tanjabtim13%

Tebo12%

Kerinci0%

Page 174: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

148

penduduk setempat (TPS) sebesar 23,23 persen (19.340 KK), Provinsi Jawa

Timur sebesar 17,19 persen (14.314 KK), Provinsi Jawa Barat sebesar 16,45

persen (13.698 KK), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebesar 8,80

persen (7.329 KK) dan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebesar

1,98 persen (1.649 KK). Penempatan transmigran asal Jawa Barat, Jawa Tengah

dan Jawa Timur telah berlangsung sejak periode Pra Pelita, sedangkan

transmigran dari DIY dimulai sejak Pelita I, dan transmigran dari DKI dimulai

sejak Pelita III (Tabel 20 dan Gambar 10).

Gambar 11 Sebaran transmigran menurut daerah asal di Provinsi Jambi tahun

2009 (persentase KK). Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.

Khusus untuk transmigran asal penduduk setempat (TPS) di Provinsi Jambi

terdiri dari beberapa kelompok masyarakat yaitu:

1. Transmigran Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi

(APPDT) adalah mereka yang berasal dari penduduk yang terkena areal

lokasi transmigrasi dan penduduk desa sekitar di kabupaten yang

bersangkutan.

DKI2%

Jabar16%

Jateng33%

Jat im17%

DIY9%

TPS23%

Page 175: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

149

2. Transmigran asal Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) adalah

mereka yang bertransmigrasi karena termasuk dalam wilayah TNKS

guna mensukseskan program menjaga paru-paru dunia.

3. Transmigran asal Kota Jambi adalah transmigrasi yang dilaksanakan

untuk kepentingan pembangunan daerah khususnya di Kota Jambi.

4. Transmigran asal pensiunan PNS dan purnawirawan ABRI.

5. Transmigran yang berasal dari penduduk pengungsi (PSI).

Proporsi transmigran TPS di Provinsi Jambi lebih besar dari norma 20

persen dari total penempatan transmigran. Hal ini disebabkan, mulai tahun

1992/1993 Menteri Transmigrasi dan PPH memberikan kebijakan penempatan

transmigran TPS di Provinsi Jambi sebesar 50 persen dari target penempatan

setiap tahun. Pertimbangannya untuk menampung penduduk dari kawasan kumuh

Kota Jambi, perambah hutan/peladang berpindah dari kawasan Taman Nasional

Kerinci Sebelat (TNKS) yang jumlahnya cukup besar serta memperkecil

kesenjangan sosial antara transmigran dari daerah asal dan penduduk setempat.

Dari lima kelompok masyarakat tersebut, proporsi TPS terbesar adalah

untuk kelompok APPDT dengan proporsi mencapai 75,86 persen (14.671 KK)

dari total TPS. Proporsi terbesar kedua adalah TNKS sebesar 17,89 persen (3.460

KK) diikuti oleh KODYA sebesar 3,53 persen (682 KK), ABRI sebesar 1,51

persen (293 KK), Pengungsi (PSI) sebesar 0,79 persen (153 KK) dan PNS sebesar

0,42 persen (81 KK).

Penempatan kelompok APPDT dimulai sejak Pelita II dan terus berlangsung

sampai pada periode penempatan tahun 2005 – 2009. Penempatan kelompok

masyarakat TNKS mulai dilaksanakan pada Pelita IV, namun demikian pada

periode 2005 – 2009 tidak terdapat lagi penempatan untuk kelompok masyarakat

ini. Penempatan untuk kelompok masyarakat asal Kota Jambi, Pensiunan PNS dan

Purnawirawan ABRI berlangsung selama periode Pelita V dan VI, sedangkan

untuk penempatan kelompok masyarakat pengungsi hanya berlangsung pada

periode 2000 – 2004.

Secara terperinci, sebaran transmigran asal penduduk setempat (TPS) ini

diberikan pada Tabel 21 berikut:

Page 176: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

150

Tabel 21 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan (KK) tahun 2009

Kabupaten penempatan

Kelompok Masyarakat Jumlah APPDT TNKS KODYA ABRI PNS PSI

Batang Hari 2026 666 53 19 20 0 2784 Bungo 2693 20 0 0 0 45 2758 Merangin 1577 33 0 0 0 78 1688 Muaro Jambi 3338 1477 366 183 20 0 5384 Sarolangun 1584 375 0 0 0 30 1989 Tanjung Jabung Barat 1510 839 242 51 32 0 2674 Tanjung Jabung Timur 833 0 0 0 0 0 833 Tebo 1060 50 21 40 9 0 1180 Kerinci 50 0 0 0 0 0 50 Jumlah 14671 3460 682 293 81 153 19340

Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010. Keterangan: APPDT= Transmigran Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi; TNKS=

Transmigran dari Taman Nasional Kerinci Sebelat; KODYA= Transmigran dari Kota Jambi; ABRI= Transmigran dari ABRI; PNS = Transmigran dari pegawai negeri sipil; PSI = Transmigran Pengungsi.

Proporsi TPS tidak merata berdasarkan kabupaten penempatannya. Kabu-

paten Kerinci menempatkan TPS dengan proporsi terbesar yang mencapai 50,00

persen, diikuti oleh Kabupaten Batang Hari sebesar 41,17 persen, Muaro Jambi

sebesar 37,73 persen, Tanjung Jabung Barat sebesar 36,15 persen, Bungo sebesar

24,11 persen, Sarolangun sebesar 21,33 persen, Merangin sebesar 12,85 persen,

Tebo sebesar 11,83 persen dan Tanjung Jabung Timur sebesar 7,67 persen.

Tabel 22 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan tahun 2009 (Jiwa)

Kabupaten Penempatan

Kelompok Masyarakat Jumlah APPDT TNKS KODYA ABRI PNS PSI

Batang Hari 10197 3094 327 123 126 0 13867 Bungo 13508 79 0 0 0 193 13780 Merangin 7732 132 0 0 0 336 8200 Muaro Jambi 16767 6979 1969 814 109 0 26638 Sarolangun 7249 1724 0 0 0 117 9090 Tanjung Jabung Barat 7278 3755 1382 322 167 0 12904 Tanjung Jabung Timur 3877 0 0 0 0 0 3877 Tebo 5810 195 101 143 52 0 6301 Kerinci 194 0 0 0 0 0 194

Jumlah 72612 15958 3779 1402 454 646 94851 Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010 Keterangan: Lihat Tabel 21

Page 177: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

151

5.3. Pola Transmigrasi di Provinsi Jambi Dalam pelaksanaannya, transmigrasi di Provinsi Jambi memiliki beberapa

pola. Secara umum pola-pola tersebut yaitu: (1) Transmigrasi Umum baik dalam

bentuk Transmigrasi Umum Lahan Kering (TULK) maupun Transmigrasi Umum

Lahan Basah (TULB); (2) Transmigrasi Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR); (3)

Transmigrasi Pengembangan Desa Potensial (TRANSBANGDEP); (4)

Transmigrasi dalam Proyek Peningkatan Program Permukiman Perambah Hutan

melalui Dana Reboisasi (P4HDR); (5) Pola Transmigrasi Hutan Tanaman Industri

(HTI-Trans); dan (6) Transmigrasi Hutan Tanaman Rakyat (Trans-HTR).

Tabel 23 Pola transmigrasi berdasarkan jumlah UPT, jumlah KK dan jiwa penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009

Pola Transmigrasi UPT Jumlah KK Penempatan

Jumlah Jiwa Penempatan

Transmigrasi Umum 127 51329 219757

PIR 65 28963 121736

TRANSBANGDEP 10 1406 5172

P4HDR 4 900 4202

HTI - Trans 2 600 2439

Trans-HTR 1 100 420

Total 209 83258 353726

Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010 Keterangan: PIR = Perkebunan Inti Rakyat; TRANSBANGDEP = Transmigrasi Pengembangan

Desa Potensial; P4HDR = Proyek Peningkatan Program Permukiman Perambah Hutan melalui Dana Reboisasi; HTI-Trans = Pola Transmigrasi Hutan Tanaman Industri; Trans-HTR= Transmigrasi Hutan Tanaman Rakyat

Tabel 24 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) berdasarkan pola dan daerah penempatannya di Provinsi Jambi tahun 2009

Pola Transmigrasi

Batang Hari Bungo Me-

rangin Muaro Jambi

Saro-langun

Tanjab Barat

Tanjab Timur Tebo Ke-

rinci Trans. Umum 7 28 28 6 11 2 22 21 1 PIR 11 5 0 26 5 13 0 5 0 TRANSBANGDEP 0 1 4 0 0 5 0 0 0 P4HDR 0 1 0 0 3 0 0 0 0 HTI - Trans 0 0 0 0 1 0 0 1 0 Trans-HTR 0 0 0 0 1 0 0 0 0 Total 18 35 32 32 21 20 22 27 1 Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010 Keterangan: Lihat Tabel 21

Page 178: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

152

Transmigrasi Umum

Transmigrasi umum merupakan pola transmigrasi yang utama di Provinsi

Jambi. Dari total lokasi permukiman transmigrasi yang sebanyak 208 UPT, 126 UPT

(60,58 persen) merupakan transmigrasi umum, dengan jumlah transmigran yang

ditempatkan sebanyak 51.329 KK (atau 61,65 persen dari total KK transmigran).

Pola ini juga merupakan pola yang digunakan pada awal penempatan transmigrasi di

Provinsi Jambi dan masih berlangsung sampai saat ini (tahun 2009). Dari segi lokasi,

penempatan transmigrasi umum tanaman ini menyebar di seluruh kabupaten

penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi.

Perkebunan Inti Rakyat (PIR)

Pola PIR pertama kali dilaksanakan di Provinsi Jambi pada tahun 1982 dan

berakhir pada tahun 2002. Jumlah UPT PIR sebanyak 65 UPT atau 31,10 persen

dari total UPT di Provinsi Jambi dengan jumlah transmigran yang ditempatkan

sebanyak 28.963 KK (atau 34,77 persen dari total KK transmigran). Lokasi

transmigrasi dengan pola ini menyebar pada enam kabupaten yaitu Kabupaten

Batang Hari, Bungo, Muaro Jambi, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan Tebo.

Transmigrasi Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) merupakan pengembangan

pola perkebunan dengan program transmigrasi yang dikembangkan pemerintah.

Perkebunan Inti Rakyat dibedakan dua macam yaitu:

- PIR berbantuan luar negeri yang sering dinamakan NES (Nucleus Estate

and Smallholder Development Project), sebagian besar dananya diperoleh

dari luar negeri.

- PIR Swadana, yang seluruh dananya diperoleh dari dalam negeri. PIR

swadana yang dikembangkan di sekitar kebun besar yang telah ada

dengan mengikut sertakan penduduk setempat/lokal disebut PIR Lokal,

sedang apabila petani pesertanya sebagian besar (80 persen) transmigran

(terutama transmigrasi swakarsa) disebut PIR khusus.

Terdapat empat pertimbangan yang melatarbelakangi diterapkannya pola

PIR yaitu untuk meningkatkan produksi komoditas nonmigas, meningkatkan

pendapatan petani, membantu pengembangan wilayah, dan menunjang

keberhasilan program transmigrasi. Pola PIR adalah pola pelaksanaan

pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti

Page 179: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

153

yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai

plasma dalam suatu sistem kerja sama yang saling menguntungkan, utuh, dan

berkesinambungan. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik

milik Swasta maupun milik Negara, lengkap dengan fasilitas pengolahannya yang

dibangun (dikembangkan) dan dimiliki oleh perusahaan inti

Wilayah Plasma adalah wilayah pemukiman dan usaha tani yang

dikembangkan oleh petani peserta dalam rangka pelaksanakan proyek PIR yang

meliputi pekarangan, perumahan, dan kebun plasma. Kebun Plasma adalah areal

Wilayah Plasma yang dibangun oleh perusahaan inti dengan tanaman perkebunan.

Peserta PIR-Trans sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan (SK)

Menteri Pertanian nomor 333/Kpts/KB.510/6/1986 adalah sebagai berikut:

a. Transmigran (ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi)

b. Penduduk setempat, termasuk para petani yang tanahnya termasuk dalam

proyek PIR-Trans (ditetapkan oleh pemerintah daerah).

c. Petani atau peladang berpindah dari kawasan hutan terdekat yang dikenakan

untuk proyek (ditetapkan oleh pemerintah daerah).

Perusahaan inti berhak atas lahan perkebunan inti. Lahan tersebut

merupakan tanah Hak Guna Usaha (HGU) untuk jangka waktu 35 tahun. Pada

waktu akan berakhir dapat diperpanjang maksimal 25 tahun. Lahan kebun inti

dimanfaatkan untuk kebun inti, emplasemen (satuan bangunan), dan pabrik

pengolahan. Biaya untuk pengembangan kebun inti, termasuk fasilitas

pengolahannya menjadi tanggung jawab perusahaan inti.

Petani peserta berhak atas lahan pekarangan, termasuk rumah seluas 0,5 ha

dan lahan kebun plasma seluas 2 ha. Lahan pekarangan dapat dimanfaatkan untuk

rumah dan pengusahaan tanaman pangan. Lahan pekarangan diserahkan apabila

telah siap diolah dan rumah selesai dibangun di atasnya. Sementara lahan kebun

diserahkan apabila tanaman yang diusahakan telah mencapai umur menghasilkan

dan memenuhi standar fisik yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perkebunan,

serta petani peserta telah menandatangani kredit dari bank pemerintah. Lahan

kebun plasma dan pekarangan merupakan hak milik petani peserta. Namun

sertifikatnya disimpan di bank sebagai agunan.

Page 180: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

154

Untuk PIR-Trans kelapa sawit, pada tahap permulaan produksi yaitu pada

tahun keempat, perbandingan antara luas kebun inti dengan kebun plasma dapat

dimulai dengan 40:60. Dalam waktu selambat-lambatnya 10 tahun, secara

bertahap perbandingan keduanya harus mencapai 20:80.

Selanjutnya perusahaan inti memiliki kewajiban sebagai berikut:

a. Membangun perkebunan inti, lengkap dengan fasilitas pengolahannya

untuk menampung hasil perkebunan inti dan plasma.

b. Melaksanakan pembangunan kebun plasma sesuai dengan petunjuk dan

standar fisik yang telah ditetapkan Direktur Jenderal Perkebunan.

c. Bertindak sebagai pelaksana penyiapan lahan pekarangan rumah petani

peserta sesuai dengan petunjuk teknis dari Departemen Transmigrasi.

d. Memberikan petunjuk teknis budi daya kepada petani peserta.

e. Membeli seluruh hasil kebun plasma dengan harga beli yang layak sesuai

pedoman yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

f. Membantu proses pengembalian kredit petani peserta.

Sedangkan kewajiban petani peserta PIR-Trans adalah:

a. Mengganti biaya pembangunan kebun plasma. Untuk itu petani peserta

mendapat kredit lunak jangka pangjang dari pemerintah.

b. Mengusahakan kebun plasma sesuai dengan petunjuk teknis budi daya

yang diberikan oleh perusahaan inti.

c. Menjual seluruh hasil kebun plasma kepada perusahaan inti.

TRANSBANGDEP

Pelaksanaan pola TRANSBANGDEP di Provinsi Jambi hanya pada tahun

1991, 1992 dan 1994. Jumlah UPT TRANSBANGDEP sebanyak 10 UPT atau 4,81

persen dari total UPT di Provinsi Jambi dengan jumlah transmigran yang

ditempatkan sebanyak 1.406 KK (atau 1,69 persen dari total KK transmigran).

Lokasi transmigrasi dengan pola ini berada di tiga kabupaten yaitu Kabupaten

Bungo, Merangin dan Tanjung Jabung Barat.

TRANSBANGDEP, singkatan dari Transmigrasi Pengembangan Desa

Potensial, merupakan upaya penataan dan pengembangan desa di daerah

transmigrasi yang masih memiliki potensi sumber daya alam untuk

dikembangkan. TRANSBANGDEP merupakan upaya untuk melakukan

Page 181: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

155

penyebaran penduduk di suatu daerah yang jumlah penduduk aslinya tidak begitu

besar, tetapi memiliki sejumlah lahan yang potensial untuk dikembangkan.

Program ini merupakan program penempatan transmigran berdasarkan kerja sama

Departemen Transmigrasi dan Departemen Dalam Negeri.

P4HDR

Dalam penyelenggaraan transmigrasi mulai tahun anggaran 1995/1996

sampai dengan tahun anggaran 1998/1999, telah juga dilaksanakan penempatan

para perambah hutan melalui Proyek Peningkatan Program Pemukiman Perambah

Hutan melalui Dana Reboisasi (P4HDR).

Pelaksanaan pola P4HDR di Provinsi Jambi hanya dilaksanakan pada tahun

1995, 1996, 1997 dan 2000. Jumlah UPT TP4HDR sebanyak 4 UPT atau 1,92

persen dari total UPT di Provinsi Jambi dengan jumlah transmigran yang

ditempatkan sebanyak 900 KK (atau 1,08 persen dari total KK transmigran). Lokasi

transmigrasi dengan pola ini berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Bungo (1

UPT) dan Kabupaten Sarolangun (3 UPT).

HTI-Trans

Pembangunan Hutan Tanaman Industri Transmigrasi (HTI Trans) yang

merupakan pengembangan HTI yang dipadukan dengan program transmigrasi

mulai diperkenalkan pada Repelita V. Pelaksanaan Hutan Tanamanan Industri

Transmigrasi (HTI-Trans) didasarkan pada Keputusan Bersama Menteri

Transmigrasi dan Menteri Kehutanan Nomor SKB 81/MEN/1990 376/KPTS-

II/1990 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembangunan Transmigrasi Hutan

Tanaman Industri. HTI merupakan hutan tanaman yang dibangun sebagai satuan

usaha pengelolaan hutan secara komersil, yang secara ekonomis dapat mandiri

untuk menghasilkan bahan baku industri perkayuan, sedangkan HTI-Trans

merupakan kerja sama antara swasta pemegang Hak Penguasahan Hutan (HPH)

dengan transmigran sebagai pemasok tenaga kerja.

Pola HTI-Trans ini dilaksanakan di Provinsi Jambi pada Tahun 1993, dan

tidak terdapat keberlanjutan setelah itu. Hanya ada dua UPT dengan pola ini yang

masing-masingnya satu unit berada di Kabupaten Sarolangun dan Tebo dengan

Page 182: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

156

jumlah transmigran yang ditempatkan sebanyak 600 KK (atau 0,72 persen dari total

KK transmigran).

Trans-HTR

Berdasarkan Peraturan Bersama Menakertrans dan Menhut Nomor Per.

23/MEN/X/2OO7 dan Nomor 52/MENHUT-II/20O7, pemerintah

mengembangkan program Transmigrasi Hutan Tanaman Rakyat (Trans-HTR).

Program Trans-HTR adalah keterpaduan kegiatan dalam pelaksanaan program

transmigrasi dengan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang

dikembangkan Kementerian Kehutanan. Program HTR merupakan hutan tanaman

pada hutan produksi yang dibangun perseorangan atau koperasi untuk

meningkatkan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam

rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Berbeda dengan

program/gerakan menanam yang selama ini digalakkan dalam menghadapi isu

pemanasan global, pada program Trans-HTR setiap transmigran tidak hanya

sekedar menanam pohon, tetapi juga memeliharanya sehingga pohon tersebut bisa

tumbuh besar dan bisa cepat dipanen.

Pada tahap awal, telah dikembangkan program Trans-HTR pada dua Kota

Terpadu Mandiri (KTM). Salah satu KTM itu berada di Provinsi Jambi yaitu

KTM Pauh-Mandiangin di Kabupaten Sarolangun, sedangkan satu KTM lagi

berada di Padauloyo Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Pada

tahap awal ini, transmigran program Trans-HTR yang ditempatkan di Provinsi

Jambi adalah sebagai 100 KK ( atau 0,12 persen dari total KK transmigran).

Page 183: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

VI. KINERJA DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI

6.1 Komparasi Kinerja Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Desa-Desa Non-Transmigrasi

Pada bagian ini akan dianalisis kinerja desa-desa eks transmigrasi dan

perbandingannya dengan desa-desa non-transmigrasi (desa penduduk setempat).

Analisis kinerja didasarkan pada tiga kelompok indikator utama yaitu

kesejahteraan penduduk, aktvitas pertanian dan aktivitas non-pertanian.

6.1.1 Kesejahteraan Penduduk Analisis kelompok indikator kesejahteraan penduduk terbagi atas sub-

kelompok kinerja kesehatan, pendidikan, keamanan dan pendapatan masyarakat.

Kinerja Kesehatan

Salah satu komponen pokok yang berkaitan langsung dengan kualitas

sumber daya manusia sekaligus juga terkait dengan tingkat kesejahteraan adalah

derajat kesehatan masyarakat. Masyarakat yang sehat akan memiliki kualitas

sumber daya manusia yang lebih baik dan mampu hidup secara lebih produktif.

Oleh karena itu, kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan selalu

diupayakan peningkatannya melalui peningkatan kesehatan penduduk.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial

yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948 disepakati

antara lain bahwa diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah

suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama,

politik yang dianut dan tingkat sosial ekonominya.

Dalam konteks penilaian terhadap kinerja kesehatan desa-desa eks

transmigrasi ini menggunakan dua indikator kesehatan. Pertama, rasio kepala

keluarga terhadap Pos Pelayanan Keluarga Berencana–Kesehatan Terpadu

(Posyandu) dan yang kedua adalah rasio bidan per 1000 penduduk.

Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh

dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan. Posyandu merupakan

Page 184: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

158

kegiatan swadaya dari masyarakat di bidang kesehatan dengan penanggung jawab

kepala desa. Pelayanan kesehatan terpadu (yandu) adalah bentuk keterpaduan

pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja Puskesmas.

Tempat pelaksanaan pelayanan program terpadu di balai dusun, balai kelurahan,

RW, dan sebagainya disebut dengan Pos pelayanan terpadu (Posyandu).

Persyaratan pembentukan Posyandu

1. Penduduk RW tersebut paling sedikit terdapat 100 orang balita

2. Terdiri dari 120 kepala keluarga

3. Disesuaikan dengan kemampuan petugas (bidan desa)

4. Jarak antara kelompok rumah, jumlah KK dalam satu tempat atau

kelompok tidak terlalu jauh

5. Pembentukan Posyandu sebaiknya tidak terlalu dekat dengan Puskesmas

agar pendekatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat lebih

tercapai.

Posyandu terutama untuk melayani balita (imunisasi, timbang berat badan)

dan orang lanjut usia (Posyandu Lansia), dan lahir melalui suatu Surat Keputusan

Bersama antara Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri), Menteri Kesehatan

(Menkes) RI, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

dan Ketua Tim Penggerak (TP) Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan

dicanangkan pada sekitar tahun 1986. Legitimasi keberadaan Posyandu ini

diperkuat kembali melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi

Daerah tertanggal 13 Juni 2001 yang antara lain berisikan “Pedoman Umum

Revitalisasi Posyandu” yang antara lain meminta diaktifkannya kembali

Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) Posyandu di semua tingkatan

administrasi pemerintahan.

Rata-rata rasio KK per Posyandu di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi

Jambi adalah 254, sedangkan pada desa-desa non transmigrasi adalah sebesar 305.

Angka yang lebih rendah menunjukkan jumlah Posyandu di desa-desa eks

transmigrasi lebih banyak dibandingkan desa-desa non-transmigrasi berdasarkan

rasionya terhadap jumlah KK. Hal ini terutama terlihat pada Kabupaten

Batanghari, Bungo, Merangin, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Barat.

Page 185: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

159

Dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat, peranan tenaga kesehatan

di tingkat desa utamanya bidan sangat penting pada daerah-daerah yang sulit

mengakses fasilitas kesehatan maupun sebagai penolong pertama dalam

penanganan kesehatan sebelum pemberian penanganan pada tingkatan pelayanan

kesehatan yang lebih tinggi. Selain itu, keberadaan bidan juga menjadi penting

sebagai upaya peningkatan pola hidup sehat dalam masyarakat di perdesaan.

Terkait dengan tenaga bidan ini dapat dikemukakan bahwa rata-rata rasio

bidan per 1000 penduduk di desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar 0,61,

dalam artian untuk setiap 1000 penduduk terdapat 0,61 bidan. Secara umum,

jumlah bidan ini juga relatif lebih banyak pada desa-desa eks transmigrasi

dibandingkan desa-desa non-transmigrasi. Rasio bidan per 1000 penduduk pada

desa-desa non-transmigrasi adalah sebesar 0,59.

Tabel 25 Perbandingan indikator kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008

No Kabupaten/Kota Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi

Posyandu Bidan Posyandu Bidan

1 Batanghari 249 0.84 259 0.64

2 Bungo 250 0.44 350 0.58

3 Merangin 224 0.54 281 0.81

4 Muaro Jambi 230 0.69 316 0.76

5 Sarolangun 272 0.38 232 0.66

6 Tanjung Jabung Barat 235 0.79 339 0.39

7 Tanjung Jabung Timur 255 0.75 248 0.76

8 Tebo 326 0.64 292 0.58

9 Kerinci - - 364 0.38

10 Kota Jambi - - 264 0.49

Provinsi Jambi 254 0.61 305 0.59

Sumber: PODES 2008

Fasilitas dan tenaga kesehatan merupakan faktor input yang dapat dijadikan

sebagai dasar dalam menilai derajat kesehatan penduduk di suatu daerah. Dengan

kondisi fasilitas dan tenaga kesehatan yang lebih pada desa-desa eks transmigrasi

maka dapat dikemukakan bahwa derajat kesehatan penduduk di desa-desa eks

transmigrasi juga relatif lebih baik dibandingkan desa-desa non-transmigrasi.

Page 186: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

160

Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan sumber daya manusia dalam

membangun kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, kualitas pendidikan

yang lebih baik memiliki keterkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat.

Peningkatan kualitas pendidikan penduduk tidak terlepas dari ketersediaan

sarana dan prasarana pendidikan dalam jumlah yang relatif cukup dan memadai.

Terkait dengan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa 84,36 persen desa-desa

eks transmigrasi telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Taman Kanak-Kanak

(TK), seluruh desa telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Sekolah Dasar

(SD), dan 67,04 persen telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

Kondisi ketersediaan fasilitas pendidikan di desa-desa eks transmigrasi

relatif lebih baik terutama jika dibandingkan dengan desa-desa non-transmigrasi.

Di desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi, hanya kurang separuh (48,84

persen) desa-desa yang memiliki fasilitas pendidikan TK, masih terdapat desa

yang belum memiliki fasilitas SD (96,26 persen yang memiliki SD), dan hanya

38,61 persen yang memiliki SLTP.

Lebih baiknya kondisi ketersediaan fasilitas pada semua jenjang pendidikan

di desa-desa eks transmigrasi ini juga terlihat sama jika diperinci lebih lanjut

berdasarkan kabupaten penempatan transmigran. Tidak satupun kabupaten

penempatan di mana desa-desa non-transmigrasi yang menunjukkan kondisi

keberadaan fasilitas pendidikan yang lebih baik jika dibandingkan dengan desa-

desa eks transmigrasi baik pada jenjang pendidikan TK, SD maupun SLTP.

Dengan kata lain, kondisi ini paling tidak juga sekaligus mencerminkan relatif

lebih rendahnya kualitas sumber daya manusia sekaligus kesejahteraan

masyarakat di desa-desa non- transmigrasi dibandingkan desa-desa eks

transmigrasi.

Secara terperinci gambaran keberadaan fasilitas pendidikan ini diberikan

pada Tabel 26 dan Gambar 11 berikut:

Page 187: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

161

Tabel 26 Persentase kepemilikan fasilitas pendidikan pada desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008

No Kabupaten/Kota Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi

TK SD SLTP TK SD SLTP

1 Batanghari 92.31 100.00 76.92 42.00 100.00 40.00

2 Bungo 81.48 100.00 55.56 30.77 98.29 35.04

3 Merangin 93.10 100.00 75.86 57.82 97.96 36.05

4 Muaro Jambi 89.29 100.00 64.29 51.43 99.05 44.76

5 Sarolangun 94.12 100.00 82.35 70.18 99.12 41.23

6 Tanjung Jabung Barat 73.68 100.00 47.37 42.86 100.00 67.35

7 Tanjung Jabung Timur 47.62 100.00 57.14 30.56 100.00 47.22

8 Tebo 100.00 100.00 80.00 43.75 100.00 45.00

9 Kerinci - - - 44.96 87.77 22.66

10 Kota Jambi - - - 79.03 98.39 64.52

Provinsi Jambi 84.36 100.00 67.04 48.84 96.26 38.61

Sumber: PODES 2008

Gambar 12 Perbandingan indikator pendidikan desa eks transmigrasi dan desa

non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. Sumber: PODES 2008

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

TK SD SLTP

Sarana Pendidikan

Pers

enta

se D

esa

Eks transmigrasi Non transmigrasi

Page 188: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

162

Kualitas Perumahan

Berdasarkan indikator kualitas perumahan, terlihat bahwa kondisi desa-desa

eks transmigrasi secara umum lebih baik dibandingkan desa non- transmigrasi.

Rata-rata persentase rumah permanen pada desa eks transmigrasi sebesar 34,93

persen sedangkan pada desa-desa non- transmigrasi adalah sebesar 32,56 persen.

Selain itu, jika diamati berdasarkan daerah penempatan transmigran, dari delapan

daerah hanya pada tiga daerah kondisi perumahan desa-desa non- transmigrasi

relatif lebih baik yaitu di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi dan

Tanjung Jabung Barat.

Tabel 27 Perbandingan persentase perumahan permanen desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008

No Kabupaten/Kota Desa eks transmigrasi

Desa non-transmigrasi

1 Batanghari 23.44 24.59

2 Bungo 51.15 47.67

3 Merangin 49.74 31.54

4 Muaro Jambi 16.91 17.01

5 Sarolangun 33.86 29.83

6 Tanjung Jabung Barat 18.01 30.35

7 Tanjung Jabung Timur 16.48 15.88

8 Tebo 55.43 38.12

9 Kerinci - 38.09

10 Kota Jambi - 67.48

Provinsi Jambi 34.93 32.56

Sumber: PODES 2008

Pendapatan Masyarakat

Dalam pengukuran kinerja pendapatan masyarakat digunakan hasil

Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan oleh BPS.

Pendataan tersebut dilaksanakan dalam rangka penyusunan database untuk semua

program anti kemiskinan dengan menggunakan satuan rumah tangga sebagai basis

pengukuran.

Adapun kriteria rumah tangga sasaran yang digunakan tersebut adalah

sebagai berikut:

Page 189: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

163

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal, kurang dari 8 M2.

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/rumbia/

kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah

tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/ air

tanah.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak

tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.

9. Hanya membeli satu pasang pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan

0,5 ha buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau

pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 100.000,- perbulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat

SD/hanya SD.

14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal

Rp. 500.000,- seperti : sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak,

kapal motor atau barang modal lainnya.

Rumah tangga sasaran dalam PPLS dikategorikan atas tiga kelompok yaitu

hampir miskin, miskin dan sangat miskin. Terkait dengan hal tersebut, untuk

penyusunan indikator kinerja desa-desa eks transmigrasi hanya digunakan rumah

tangga dengan kriteria miskin dan sangat miskin.

Berdasarkan PPLS tersebut, rata-rata persentase rumah tangga miskin di

desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar 6,55 persen. Angka ini jauh lebih kecil

(hampir separuh) jika dibandingkan dengan rata-rata persentase rumah tangga

miskin desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi yang mencapai 12,08 persen.

Page 190: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

164

Lebih rendahnya persentase rumah tangga miskin di desa-desa eks transmigrasi

ini terlihat di seluruh kabupaten penempatan transmigrasi. Hal ini menunjukkan

bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa eks transmigrasi lebih baik

dibandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat desa-desa non-transmigrasi.

Gambaran rumah tangga miskin di desa eks transmigrasi dan desa-desa non-

transmigrasi diberikan pada Tabel 28 berikut.

Tabel 28 Perbandingan persentase rumah tangga miskin desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008

No Kabupaten/Kota Desa eks transmigrasi

Desa non-transmigrasi

1 Batanghari 5.24 10.67

2 Bungo 6.10 7.74

3 Merangin 8.05 12.29

4 Muaro Jambi 2.28 10.55

5 Sarolangun 14.16 16.89

6 Tanjung Jabung Barat 2.99 12.30

7 Tanjung Jabung Timur 12.92 21.50

8 Tebo 2.93 8.58

9 Kerinci - 11.75

10 Kota Jambi - 10.59

Provinsi Jambi 6.55 12.08

Sumber: PPLS 2008

Keamanan Kesejahteraan masyarakat mempunyai hubungan yang erat dengan

keamanan. Tingkat keamanan yang kondusif akan menjadi faktor yang

mendukung aktivitas ekonomi dan sosial individu dan masyarakat. Hal ini juga

menjadi dasar sehingga dalam pengukuran keberhasilan pembangunan desa, salah

satu indikator yang digunakan aspek keamanan.

Terkait dengan tingkat keamanan ini, digunakan tiga indikator input yang

diasumsikan menjadi indikator yang mampu menggambarkan tingkat keamanan

masyarakat desa yaitu rasio hansip/linmas per 1000 penduduk, rasio Babinsa per

1000 penduduk dan rasio Polisi Pelayanan Masyarakat (PPM) per 1000 penduduk.

Page 191: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

165

Secara terperinci, gambaran masing-masing indikator diberikan pada Tabel 29 dan

Gambar 12 berikut.

Tabel 29 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008

Kabupaten Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi

Rasio Hansip

Rasio Babinsa

Rasio PPM

Rasio Hansip

Rasio Babinsa

Rasio PPM

Batanghari 6.69 0.67 1.44 4.30 0.69 0.58

Bungo 6.12 0.33 0.20 4.46 0.53 0.67

Merangin 6.49 0.48 0.22 3.14 0.59 0.37

Muaro Jambi 4.69 0.52 0.58 3.85 0.65 0.79

Sarolangun 7.77 0.28 0.08 3.85 0.51 0.20

Tanjung Jabung Barat 7.03 0.46 0.67 1.59 0.29 0.45

Tanjung Jabung Timur 6.43 0.54 0.83 4.13 0.47 0.90

Tebo 8.26 0.34 0.94 4.43 0.47 0.50

Kerinci - - - 4.17 0.49 0.49

Kota Jambi - - - 0.55 0.20 0.31

Provinsi Jambi 6.59 0.44 0.57 3.72 0.51 0.51

Sumber: PODES 2008

Gambar 13 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa eks transmigrasi dan

non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. Sumber: PODES 2008

0

1

2

3

4

5

6

7

Hansip Babinsa PPM

Indikator Keamanan

Ras

io p

er 1

000

pend

uduk

Eks transmigrasi Non transmigrasi

Page 192: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

166

Dua dari tiga indikator keamanan menunjukkan kondisi yang lebih baik

pada desa-desa eks transmigrasi dibandingkan desa-desa non-transmigrasi, yaitu

rasio hansip dan rasio PPM dengan nilai masing-masingnya sebesar 6,59 dan 0,57

per 1000 penduduk untuk desa-desa eks transmigrasi dan 3,72 dan 0,51 untuk

desa-desa di luar transmigrasi. Sebaliknya untuk indikator rasio Babinsa

menunjukkan kondisi yang lebih baik di desa non-transmigrasi (rasio 0,51)

dibandingkan desa-desa eks transmigrasi (rasio 0,44). Berdasarkan hal tersebut

dapat dikemukakan secara umum derajat keamanan di desa-desa eks transmigrasi

lebih baik dibandingkan desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi.

6.1.2. Aktivitas Pertanian Aktivitas pertanian diukur dengan indikator persentase keluarga tani

terhadap total keluarga dan persentase lahan pertanian terhadap total lahan. Kedua

indikator ini diperkirakan dapat menggambarkan tingkat aktivitas pertanian pada

masing-masing desa yang dianalisis.

Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa secara umum aktivitas pertanian di

desa-desa eks transmigrasi lebih tinggi dibandingkan desa-desa non-transmigrasi

di Provinsi Jambi. Hal ini terlihat dari fakta persentase keluarga tani dan lahan

pertanian yang lebih besar di desa-desa eks transmigrasi dibandingkan desa-desa

non-transmigrasi, dimana untuk desa-desa eks transmigrasi secara berturut-turut

adalah 86,49 persen dan 84,67 persen sedangkan desa non-transmigrasi adalah

78,25 persen dan 79,98 persen (Tabel 30).

Relatif lebih besarnya proporsi keluarga tani ini terlihat hampir di seluruh

kabupaten penempatan. Hanya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang

memperlihatkan kondisi dimana desa-desa eks transmigrasi memiliki rata-rata

persentase rumah tangga tani yang lebih rendah dibandingkan desa-desa non-

transmigrasi. Sebaliknya dari sisi persentase lahan pertanian, meskipun secara

rata-rata menunjukkan persentase yang lebih tinggi, tetapi hanya tiga dari delapan

kabupaten yang menunjukkan persentase lahan pertanian desa-desa eks

transmigrasi yang lebih besar dibandingkan desa-desa non-transmigrasi yaitu

Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.

Page 193: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

167

Tabel 30 Perbandingan indikator aktivitas pertanian desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008

Kabupaten Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi % keluarga

tani % lahan

tani % keluarga

tani % lahan

tani Batanghari 87.31 89.97 78.58 95.05 Bungo 90.56 82.05 82.47 88.12 Merangin 83.90 89.22 83.84 91.05 Muaro Jambi 86.21 88.74 82.07 77.62 Sarolangun 88.88 83.11 81.22 91.29 Tanjung Jabung Barat 80.05 91.85 72.88 77.06 Tanjung Jabung Timur 85.24 71.27 85.26 68.98 Tebo 89.28 81.77 83.91 87.84 Kerinci 83.34 77.89 Kota Jambi 10.47 11.64

Provinsi Jambi 86.49 84.67 78.25 79.98 Sumber: PODES 2008

Selanjutnya jika ditelusuri pola penggunaan lahan pertaniannya, umumnya

merupakan lahan pertanian non-sawah. Hal tersebut terlihat baik di desa eks

transmigrasi maupun desa-desa non-transmigrasi. Meskipun demikian, secara

rata-rata persentase lahan non-sawah terhadap total lahan pertanian ini relatif

besar di desa eks transmigrasi dibandingkan dengan desa non-transmigrasi. Pola

ini terlihat sama hampir di semua kabupaten penempatan.

Tabel 31 Perbandingan persentase lahan pertanian non-sawah desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non transmigrasi tahun 2008

Kabupaten Desa Eks Transmigrasi

Desa Non-Transmigrasi

Batanghari 99.57 91.51 Bungo 97.73 96.43 Merangin 98.90 93.50 Muaro Jambi 96.33 92.84 Sarolangun 99.16 96.42 Tanjung Jabung Barat 95.18 90.66 Tanjung Jabung Timur 63.55 75.23 Tebo 92.76 88.91 Kerinci - 59.29 Kota Jambi - 70.72

Provinsi Jambi 93.00 83.11 Sumber: PODES 2008

Page 194: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

168

6.1.3. Aktivitas Non-Pertanian Berkembangnya aktivitas non-pertanian merupakan dampak dari

perkembangan aktivitas pertanian yang mampu meningkatkan kesejahteraan

penduduknya. Dalam menggambarkan aktivitas non-pertanian pada digunakan

empat indikator yaitu industri pertanian, industri non-pertanian, perdagangan dan

jasa lainnya (jasa non-perdagangan). Keempat indikator tersebut diukur dari rasio

unit usaha per 1000 penduduk.

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa baik industri pertanian, industri

non-pertanian maupun perdagangan relatif lebih berkembang di desa-desa eks

transmigrasi dibandingkan desa non-transmigrasi. Untuk aktivitas jasa lainnya

kondisi desa-desa non-transmigrasi relatif lebih baik, tetapi hal tersebut terutama

disebabkan oleh perkembangan akktivitas jasa yang pesat di Kota Jambi (sebagai

ibu kota Provinsi Jambi) serta Kabupaten Kerinci.

Gambaran aktivitas non-pertanian pada desa-desa eks transmigrasi dan

desa-desa non-transmigrasi diberikan pada Tabel 32 dan Gambar 14 berikut.

Tabel 32 Indikator aktivitas non-pertanian di desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006

Kabupaten Industri

pertanian Industri

non-pertanian Perdagangan Jasa lainnya

ET NT ET NT ET NT ET NT

Batanghari 1.19 1.57 1.24 4.37 19.84 24.47 11.35 16.67

Bungo 1.63 0.74 5.35 2.24 23.93 22.91 14.00 10.76

Merangin 2.74 1.58 4.18 3.43 29.94 25.48 19.07 13.27

Muaro Jambi 1.01 0.74 1.64 4.59 16.38 17.06 11.97 10.10

Sarolangun 3.20 0.87 3.84 2.66 24.97 20.97 9.80 9.69

Tanjab Barat 0.98 2.55 1.87 3.86 22.18 23.32 14.75 13.83

Tanjab Timur 5.08 4.88 5.06 3.08 20.43 23.92 12.24 8.93

Tebo 1.27 0.80 3.18 1.94 22.96 18.88 10.76 7.93

Kerinci - 4.09 - 5.08 - 20.17 - 16.00

Kota Jambi - 1.30 - 3.13 - 23.22 - 21.80

Provinsi Jambi 2.10 1.91 3.39 3.06 23.09 22.04 13.15 14.22 Sumber: Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: ET = Desa Eks Transmigrasi, NT= Desa Non-Transmigrasi

Page 195: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

169

Gambar 14 Perbandingan indikator aktivitas non-pertanian desa-desa eks

transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006. Sumber: Sensus Ekonomi 2006

6.2 Penyusunan Indikator Stadia Perkembangan Desa Eks Transmigrasi

6.2.1 Uji Normalitas Sebaran Data

Jumlah kasus yang digunakan dalam penyusunan indikator stadia

perkembangan desa ini adalah sebanyak 176 desa. Desa-desa tersebut merupakan

desa definitif yang terbentuk sebelum tahun 2008 dari eks pemukiman

transmigrasi.

Pengujian normalitas data dilakukan melalui uji signifikansi dari

kemencengan data (skewness). Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness

peubah-peubah yang diajukan dalam pengukuran indikator kinerja transmigrasi

tersebut diberikan pada Tabel 33.

Pengujian terhadap kemencengan data (skewness) memperlihatkan seluruh

peubah yang digunakan untuk penyusunan indikator berdistribusi tidak normal.

Terlihat dari nilai Zhitung Skewness yang lebih besar dari Z(0.05) yaitu sebesar 1.96.

Karena data tidak berdistribusi normal, dilakukan transformasi untuk

menormalkan data. Histogram data diberikan pada Lampiran 1. Berdasarkan

0

5

10

15

20

25

Industri pertanian Industri non-pertanian Perdagangan Jasa lainnya

Aktivitas non pertanian

Ras

io p

er 1

000

pend

uduk

Eks transmigrasi Non transmigrasi

Page 196: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

170

tampilan grafik histogram seluruh peubah berdistribusi tidak normal. Empat belas

peubah memiliki kecenderungan menceng ke kiri (positive skewness) yaitu (a)

moderate positive untuk peubah SMP, RUMAH, HANSIP, PPM, IP, INP, DAN

JS; (b) substansial positive untuk peubah BIDAN, POSYANDU, TK, SD, RTM,

PD; (c) severe positive untuk peubah BABINSA. Dua peubah lainnya memiliki

kecenderungan menceng ke kanan (negative skewness) yaitu peubah LAHAN

(substansial negative) dan peubah KK (severe negative).

Tabel 33 Skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah dalam indikator kinerja desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

No Peubah Nama peubah Skewness Zhitung

skewness

1 Rasio Bidan per 1000 penduduk BIDAN 0.89 4.86

2 Rasio KK per Posyandu POSYANDU 0.86 4.71

3 Rasio TK per 1000 penduduk TK 0.46 2.49

4 Rasio SD per 1000 penduduk SD 1.13 6.14

5 Rasio SMP per 1000 penduduk SMP 0.58 3.16

6 Persentase Rumah Permanen RUMAH 0.40 2.20

7 Persentase Rumah Tangga Miskin RTM 1.45 7.90

8 Rasio Hansip per 1000 penduduk HANSIP 1.22 6.63

9 Rasio Babinsa per 1000 penduduk BABINSA 1.16 6.34

10 Rasio PPM per 1000 peduduk PPM 1.54 8.39

11 Persentase Keluarga Pertanian KK -1.15 -6.26

12 Persentase Lahan Pertanian LAHAN -1.67 -9.11

13 Rasio Unit Industri Pertanian per 1000 penduduk

IP 1.60 8.72

14 Rasio Unit Indusri Non-Pertanian per 1000 penduduk

INP 1.70 9.28

15 Rasio Unit Perdagangan per 1000 penduduk

PD 1.40 7.61

16 Rasio Unit Jasa per 1000 penduduk JS 1.48 8.05

Berdasarkan kecenderungan distribusi data tersebut, selanjutnya dilakukan

transformasi data sesuai dengan jenis kecenderungan distribusinya. Tabel 34

berikut memberikan kecenderungan distribusi data, jenis transformasi dan

perhitungan skewness dan zskewness masing-masing peubah hasil transformasi.

Page 197: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

171

Tabel 34 Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah transformasi

No Peubah Bentuk histogram Jenis trans-formasi

Skew-ness

Zhitung skewness

1 BIDAN Substansial Positive Ln(x+c) 0.27 1.45 2 POSYANDU Substansial Positive Ln(x) 0.11 0.62 3 TK Substansial Positive Ln(x+c) -0.28 -1.54 4 SD Substansial Positive Ln(x) 0.14 0.79 5 SMP Moderate Positive SQRT (x) -0.28 -1.50 6 RUMAH Moderate Positive SQRT (x) -0.03 -0.17 7 RTM Substansial Positive Ln(x+c) 0.07 0.40 8 HANSIP Moderate Positive SQRT (x) -0.36 -1.95 9 BABINSA Severe Positive 1/(x+c) 0.13 0.72

10 PPM Moderate Positive SQRT (x) 0.33 1.78 11 KK Severe Negative SQRT (k-x) 0.35 1.90 12 LAHAN Substansial Negative Ln (k-x) -0.36 -1.94 13 IP Moderate Positive SQRT (x) 0.34 1.87 14 INP Moderate Positive SQRT (x) 0.30 1.66 15 PD Substansial Positive Ln(x) -0.34 -1.87 16 JS Moderate Positive SQRT (x) 0.11 0.58

Keterangan: k = konstanta yang berasal dari setiap skor dikurangkan sehingga skor terkecil adalah 1. c adalah 1

Tabel 34 memperlihatkan berdasarkan pengujian terhadap kemencengan

data seluruh peubah transformasi sudah berdistribusi normal. Hal ini terlihat dari

nilai Zhitung Skewness nya yang lebih kecil dari nilai Z(0.05) yaitu sebesar 1.96.

6.2.2. Pengujian Data Pencilan Pengujian data pencilan dilakukan dengan menggunakan dua pengujian

yaitu pengujian univariate outlier dan pengujian multivariate oulier. Pengujian

univariate outlier dengan menstandarisasi data dengan nilai z. Data pencilan

adalah data dengan nilai z >= ±3 (pada kasus sampel besar (lebih dari 80 kasus)).

Selanjutnya, pengujian multivariate outlier dilakukan dengan menggunakan

kriteria Jarak Mahalanobis D2 (mahalanobis d-squared) pada tingkat p<0,001.

Hasil pengujian univariate outlier diberikan pada Lampiran 2 - 4.

Berdasarkan pengujian univariate outlier (dengan nilai Z ±3), dapat dikemukakan

bahwa terdapat dua kasus yang mengandung univariate outlier pada peubah PD

yaitu kasus Desa Bukit Subur dan kasus Desa Pulau Kerakap (lihat Lampiran 2).

Dengan menghilangkan kedua kasus tersebut, dilakukan pengujian ulang terhadap

data, dan ternyata masih terdapat satu kasus univariate outlier pada peubah PD

Page 198: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

172

yaitu pada kasus Desa Baru Pelepat (lihat Lampiran 3). Dengan menghilangkan

kasus tersebut, maka terlihat seluruh kasus dan peubah tidak lagi mengandung

univariate outlier (lihat Lampiran 4).

Pada tahap selanjutnya adalah pengujian multivariate outlier. Hasil

pengujian multivariate outlier dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari Lampiran 5

terlihat bahwa terdapat satu kasus yang mengandung multivariate outlier yaitu

kasus Desa Pulau Bayur dengan nilai D (Mahalanobis) sebesar 40,07. Nilai ini

lebih besar dibandingkan Jarak Mahalanobis dengan DF=16 pada tingkat p<0,001

yang sebesar 39,25. Dengan menghilangkan kasus Desa Pulau Bayur, selanjutnya

dilakukan pengujian multivariate outlier (hasilnya pada Lampiran 6). Berdasarkan

Lampiran 6 data tidak lagi mengandung unsur multivariate outlier.

6.2.3. Analisis Faktor

Pengujian Peubah-Peubah yang Telah Ditentukan

Pengujian dilakukan dengan metode Keiser-Meyer-Olkin (KMO) measure

adequacy, Bartlett test of sphericity dan pengukuran MSA (Measure of Sampling

Adequacy). Kesimpulan layak tidaknya analisis faktor dilakukan baru sah secara

statistic dengan uji KMO measure adequacy dan Bartlett Test of Sphericiy. Jika

nilai KMO berkisar antara 0,5 sampai 1, maka analisis faktor layak dilakukan.

Sebaliknya, jika KMO di bawah 0,5 maka analisis faktor tidak layak dilakukan.

Bartlett Test merupakan uji statistik untuk menguji apakah betul peubah-

peubah yang dilibatkan berkorelasi, dengan hipotesis:

H0 : Tidak ada korelasi antarpeubah

H1: Ada korelasi antarpeubah

Kriteria uji dengan melihat p-value (signifikansi) : Terima H0, jika sig. > 0.05 atau

tolak H0 jika Sig. < 0.05

Selanjutnya analisis MSA bertujuan untuk melihat kelayakan masing-

masing peubah untuk dapat dimasukkan dalam analisis faktor. Angka MSA

berkisar antara 0 sampai 1, dengan kriteria:

MSA = 1, peubah tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh peubah lain

MSA > 0,5, peubah tersebut masih bisa diprediksi dan bisa dianalisa lebih lanjut

MSA =< 0.5, peubah tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih lanjut,

atau dikeluarkan dari peubah lainnya.

Page 199: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

173

Perhitungan KMO dan Bartlett Test dari indikator-indikator yang digunakan

diberikan pada Tabel 35 berikut.

Tabel 35 KMO and Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .575

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 471.929

df 120

Sig. .000

Dari Tabel 35 terlihat nilai KMO adalah sebesar 0,575. Dengan demikian

analisis faktor dengan menggunakan peubah-peubah yang dikemukakan layak

dilakukan. Berdasarkan Bartlett’s Test of Sphericity dapat dilihat bahwa nilai Chi-

Square adalah 471.929 dengan derajat bebas sebesar 120 dan p-value (sig) sebesar

0.000. Karena p-value (0.000) < 0.05 maka H0 ditolak. Artinya, benar-benar

terdapat korelasi antarpeubah yang digunakan.

Selanjutnya pengukuran MSA (Measure of Sampling Adequacy) diberikan

pada Tabel 36 berikut:

Tabel 36 Pengukuran MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi

No. Peubah Nilai MSA Keterangan

1 BIDAN 0.777 * Layak 2 POSYANDU 0.477 Dikeluarkan 3 TK 0.442 Dikeluarkan 4 SD 0.672 * Layak 5 SMP 0.388 Dikeluarkan 6 RUMAH 0.658 * Layak 7 RTM 0.396 Dikeluarkan 8 HANSIP 0.289 Dikeluarkan 9 BABINSA 0.650 * Layak

10 PPM 0.486 Dikeluarkan 11 KK 0.265 Dikeluarkan 12 LAHAN 0.757 * Layak 13 IP 0.651 * Layak 14 INP 0.736 * Layak 15 PD 0.580 * Layak 16 JS 0.497 Dikeluarkan

Sumber: Lihat Print-out SPSS (Lampiran 7).

Page 200: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

174

Berdasarkan kriteria yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat bahwa

dari 16 peubah yang dianalisis, hanya 8 peubah yang memiliki nilai MSA > 0.5.

Peubah-peubah tersebut adalah BIDAN, SD, RUMAH, BABINSA, LAHAN, IP,

INP, dan PD. Sedangkan 8 peubah lainnya yang memiliki nilai MSA =< 0.5

adalah POSYANDU, TK, SMP, RTM, HANSIP, PPM, KK dan JS.

Dengan mengeluarkan 8 peubah tersebut, dilakukan pengujian ulang

terhadap pengukuran MSA. Berdasarkan pengujian ulang MSA terlihat bahwa

semua peubah memiliki nilai MSA > 0.5.

Tabel 37 Pengukuran ulang MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi

BIDAN SD RUMAH BABINSA LAHAN IP INP PD

Anti-image BIDAN .815 -.149 .117 .103 -.009 .026 .115 .004 Covariance SD -.149 .777 .166 .145 .136 -.028 .033 -.033

RUMAH .117 .166 .769 -.127 -.038 .139 -.105 -.128

BABINSA .103 .145 -.127 .822 -.060 -.106 -.033 .047

LAHAN -.009 .136 -.038 -.060 .905 -.089 -.021 -.059

IP .026 -.028 .139 -.106 -.089 .739 -.238 -.183

INP .115 .033 -.105 -.033 -.021 -.238 .708 -.152

PD .004 -.033 -.128 .047 -.059 -.183 -.152 .805

Anti-image BIDAN .793(a) -.187 .147 .126 -.011 .033 .152 .005 Correlation SD -.187 .733(a) .214 .181 .162 -.037 .045 -.042

RUMAH .147 .214 .691(a) -.159 -.045 .185 -.143 -.163

BABINSA .126 .181 -.159 .772(a) -.069 -.136 -.043 .058

LAHAN -.011 .162 -.045 -.069 .792(a) -.109 -.027 -.070

IP .033 -.037 .185 -.136 -.109 .615(a) -.329 -.237

INP .152 .045 -.143 -.043 -.027 -.329 .729(a) -.202

PD .005 -.042 -.163 .058 -.070 -.237 -.202 .707(a)

Pengujian ulang juga dilakukan untuk KMO dan Bartlett Test. Berdasarkan

pengujian ulang memperlihatkan bahwa nilai KMO (0,721) > 0,5 dan nilai Chi-

Square adalah 181,081 dengan derajat bebas 28 dan p-value (0.000) < 0.05.

Dengan demikian, matrik korelasi yang terbentuk menunjukkan benar-benar

terdapat korelasi antar peubah yang digunakan.

Tabel 38 Pengujian ulang KMO dan Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .721

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 182.829

df 28

Sig. .000

Page 201: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

175

Proses Factoring dan Rotasi

Proses factoring bertujuan untuk mengesktrak satu atau lebih faktor dari

peubah-peubah yang telah lolos uji pada uji peubah sebelumnya. Dalam konteks

proses factoring ini, digunakan metode Analisis Komponen Utama (Principal

Components Analysis=PCA).

Dalam penentuan jumlah faktor, penelitian ini menetapkan jumlah faktor

sebanyak tiga, dengan asumsi masing-masing faktor mewakili indikator

kesejahteraan, aktivitas pertanian dan aktivitas non-pertanian. Dengan kata lain,

analisis faktor dalam hal ini bertujuan untuk Confirmatory Factor Analysis yaitu

untuk menguji atau mengkonfirmasi apakah suatu konstruk yang telah dibentuk

dapat dikonfirmasikan dengan data empirisnya.

Setelah satu atau lebih dari faktor terbentuk, dengan sebuah faktor berisi

sejumlah peubah, kemungkinan sebuah peubah diragukan apakah layak atau

tidak untuk dimasukkan dalam faktor yang terbentuk. Untuk mengatasi tersebut

maka pada tahap selanjutnya dilakukan proses rotasi. Proses rotasi bertujuan

untuk memperjelas posisi sebuah peubah dalam suatu faktor.

Dalam penelitian ini, proses rotasi yang digunakan adalah metode Obligue

Rotation. Pemilihan metode ini didasarkan pertimbangan untuk mendapatkan

faktor yang sesuai dengan teori atau dengan kriteria/sub-kriteria indikator yang

telah dikemukakan sebelumnya (Ghozali 2009).

Analisis Communalities

Analisis ini pada dasarnya menentukan jumlah varians (dalam persentase)

dari suatu peubah mula-mula yang bisa dijelaskan oleh faktor yang ada. Besaran

nilainya antara 0.00 hingga 1.00. Semakin besar nilainya semakin erat

hubungannya dengan faktor yang terbentuk.

Merujuk pada Tabel 39, dapat dikemukakan bahwa nilai varians terbesar

adalah untuk lahan tani sebesar 0,854. Ini berarti bahwa 85,4 persen varians dari

peubah ini bisa dijelaskan oleh faktor-faktor yang terbentuk pada rotated

component matrix. Sedangkan nilai varians terkecil adalah untuk peubah Babinsa

yaitu sebesar 0,413, yang berarti bahwa 41,3 persen varians dari vaiabel ini yang

dijelaskan oleh faktor-faktor yang terbentuk pada rotated component matrix.

Page 202: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

176

Tabel 39 Analisis communalities peubah indikator stadia desa eks transmigrasi

Nomor Peubah Varians

1 BIDAN .515 2 SD .585 3 RUMAH .545 4 BABINSA .413 5 LAHAN .854 6 IP .657 7 INP .624 8 PD .540

Selanjutnya jika ke 8 peubah tersebut diringkas menjadi satu faktor, maka

varians yang bisa dijelaskan oleh satu faktor tersebut adalah (2.457/8) x 100% =

30.714% (lihat Tabel 40). Jika ke 8 peubah tersebut diekstrak menjadi 2 faktor

maka varians faktor pertama adalah 30.714 persen dan varians faktor kedua

adalah (1.352/8) x 100% = 16.899%, sehingga varians kumulatif yang dapat

dijelaskan oleh kedua faktor tersebut adalah sebesar 47,613 persen. Jika ke 8

peubah tersebut diringkas menjadi tiga faktor, maka varians faktor pertama

sebesar 30,714 persen, varians faktor kedua 16,899 persen dan varians faktor

ketiga adalah (0.924/8) x 100% = 11,553%. Dengan kata lain juga, dengan

mengekstrak delapan peubah indikator kinerja desa eks transmigrasi atas 3 faktor,

maka kumulatif varians yang mampu dijelaskan oleh ketiga faktor tersebut adalah

sebesar 59,166 persen. Perhitungan Total Variance Explained diberikan pada

Tabel 40 berikut.

Tabel 40 Total variance explained peubah indikator stadia desa eks transmigrasi

Com-ponent Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared

Loadings

Rotation Sums of Squared Loadings

Total % of Variance

Cumulative % Total % of

Variance Cumulative

% Total

1 2.457 30.714 30.714 2.457 30.714 30.714 2.072 2 1.352 16.899 47.613 1.352 16.899 47.613 1.879 3 .924 11.553 59.166 .924 11.553 59.166 1.121 4 .843 10.533 69.699 5 .721 9.015 78.713 6 .622 7.771 86.484 7 .594 7.424 93.908 8 .487 6.092 100.000

Page 203: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

177

Analisis Factoring dan Rotasi

Berdasarkan matriks komponen yang terbentuk (Tabel 41), terlihat bahwa

semua peubah memiliki koefisien (factor loading) yang signifikan (> 0.5). Ini

menunjukkan bahwa peubah-peubah yang ada mampu mewakili faktor yang ada.

Tabel 41 Matriks komponen peubah indikator stadia desa eks transmigrasi

Peubah Komponen 1 2 3

BIDAN -.585 .264 .321

SD -.568 .495 -.132

RUMAH .575 -.392 -.246

BABINSA .566 -.286 .101

LAHAN .442 .005 .812

IP .498 .632 .099

INP .667 .372 -.201

PD .503 .514 -.153

Selanjutnya mengacu pada factor loading terbesar, terlihat bahwa faktor 1

terbentuk oleh peubah BIDAN, SD, RUMAH, BABINSA, dan INP. Faktor 2

terbentuk oleh peubah IP dan PD sedangkan faktor 3 terbentuk oleh peubah

LAHAN. Fakta ini menunjukkan bahwa pengelompokan peubah dalam faktor

pada component matrix ini belum sesuai dengan pengelompokan yang secara

teoritis telah dikemukakan sebelumnya. Hal ini terlihat terutama pada peubah INP

yang secara teoritis berada pada kelompok IP dan PD (aktivitas non pertanian)

tetapi ternyata berada pada kelompok kesejahteraan masyarakat (BIDAN, SD,

RUMAH DAN BABINSA).

Model awal dari matriks faktor ini secara teoritis sulit untuk

diinterpretasikan. Oleh karenanya dilakukan rotasi faktor dengan metode Oblique.

Hasil rotasi faktor tersebut diberikan pada Tabel 42. Mengacu pada matriks

struktur (Tabel 42) terlihat bahwa delapan peubah yang diajukan mengelompok

pada tiga kelompok, dengan kelompok pertama adalah BIDAN, SD, RUMAH

DAN BABINSA. Kelompok kedua adalah IP, INP dan PD, sedangkan kelompok

ketiga adalah LAHAN. Berdasarkan peubah pembentuknya, faktor 1 merupakan

faktor kesejahteraan, faktor 2 adalah aktivitas non-pertanian dan faktor 3 adalah

aktivitas pertanian.

Page 204: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

178

Tabel 42 Matriks struktur peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi

Peubah Komponen 1 2 3

BIDAN -.682 -.268 .079 SD -.709 -.028 -.349 RUMAH .730 .160 -.006 BABINSA .599 .179 .310 LAHAN .203 .195 .915 IP .043 .777 .242 INP .379 .755 .034 PD .159 .733 .014

Pemilihan Surrogate Variable

Untuk analisis lebih lanjut, dilakukan pemilihan surrogate variable atau

peubah pengganti dari faktor yang terbentuk. Surrogate variable atau peubah

pengganti ini adalah peubah asli.

Pemilihan surrogate variable didasarkan pada faktor peubah dengan factor

loading tertinggi pada faktor bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap analisis

selanjutnya, digunakan peubah dengan nilai asli bukan dalam skor faktor, tetapi

dengan jumlah peubah yang lebih sedikit. Selanjutnya, berdasarkan hasil dari

structure matrix sebelumnya, maka terpilih surrogate variable yaitu persentase

rumah permanen sebagai wakil dari indikator kesejahteraan, industri pertanian

sebagai wakil dari aktivitas non-pertanian dan persentase lahan tani sebagai wakil

dari indikator aktivitas pertanian.

Penyeragaman Dimensi

Peubah yang digunakan (dalam hal ini surrogate variable hasil analisis

sebelumnya), adalah peubah-peubah dengan dimensi pengukuran yang berbeda.

Untuk menyeragamkan dimensi pengukuran dilakukan dengan Min-Max Method,

dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

Pembobotan dan Agregasi

Pembobotan dilakukan dalam rangka mendapatkan besaran proporsi untuk

masing-masing peubah dalam penetapan indikator komposit. Pembobotan masing-

masing peubah dengan membagi Explained Variance dari factor loading masing-

masing faktor peubah dengan Total Explained Variance

Pembobotan untuk masing-masing peubah diberikan sebagai berikut:

Page 205: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

179

Tabel 43 Pembobotan indikator stadia desa eks transmigrasi

Indikator Explained Variance Bobot Indikator

Rumah 30.714 0.519 IP 16.899 0.286 Lahan 11.553 0.195

Total Explained Variance 59.166

Pembobotan terbesar adalah untuk indikator rumah yaitu sebesar 0,519

persen, diikuti oleh IP sebesar 0,286 persen dan lahan sebesar 0,195 persen.

Berdasarkan pembobotan tersebut, selanjutnya didapatkan indeks komposit untuk

masing-masing desa (dapat dilihat pada Lampiran 8).

Indeks komposit yang terbentuk memiliki nilai maksimum 0,86 (dari nilai

tertinggi 1 dan nilai minimum 0,05 (dari nilai terendah 0). Rentang antara nilai

maksimum dengan minimum adalah sebesar 0,81 dengan rata-rata indeks sebesar

0,42 dan standar deviasi 0,18. Relatif jauhnya jarak antara nilai maksimum dan

minimum menunjukkan terdapatnya perbedaan yang sangat mencolok dalam hal

perkembangan antardesa eks transmigrasi di Provinsi Jambi.

Setelah mendapatkan nilai indeks komposit untuk masing-masing desa,

selanjutnya dilakukan diseminasi dalam kerangka mengelompokkan desa atas

stadia perkembangannya. Perkembangan desa dikelompokkan atas empat hierarki.

Pengelompokan atas empat stadia ini menggunakan asumsi yang didasarkan

hipotesis stadia pengembangan kawasan transmigrasi yang dikemukan Rustiadi

(2009), khususnya pada stadia setelah masa pembinaan pemukiman transmigrasi.

Pengelompokkan pada empat stadia menggunakan metode K-Mean Cluster. Hasil

pengelompokkan tersebut diberikan pada Tabel 44 berikut.

Tabel 44 Distribusi desa eks transmigrasi menurut stadianya di Provinsi Jambi

No Stadia Desa Indeks Komposit Jumlah Desa Persentase

1 Stadia I 0.05 – 0.29 54 31.40 2 Stadia II 0.30 – 0.45 51 29.65 3 Stadia III 0.46 – 0.63 44 25.58 4 Stadia IV 0.64 – 0.86 23 13.37

Total 172 100.00

Page 206: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

180

Dari Tabel 44 terlihat bahwa 31,40 persen desa-desa eks transmigrasi di

Provinsi Jambi berada pada stadia I, 29,65 persen pada stadia II, 25,58 persen

pada stadia III dan 13,37 persen pada stadia IV. Selanjutnya, stadia desa-desa eks

transmigrasi berdasarkan kabupaten penempatan diberikan pada Tabel 45 berikut.

Tabel 45 Distribusi stadia desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten

Kabupaten Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Jumlah

Batanghari 5 6 1 1 13 (38.46) (46.15) (7.69) (7.69) (100.00)

Bungo 1 8 11 4 24 (4.17) (33.33) (45.83) (16.67) (100.00)

Merangin 1 8 12 7 28 (3.57) (28.57) (42.86) (25.00) (100.00)

Muaro Jambi 18 6 2 0 26 (69.23) (23.08) (7.69) (0.00) (100.00)

Sarolangun 3 9 4 1 17

(17.65) (52.94) (23.53) (5.88) (100.00)

Tanjung Jabung Barat 13 4 1 1 19

(68.42) (21.05) (5.26) (5.26) (100.00)

Tanjung Jabung Timur 8 8 4 0 20

(40.00) (40.00) (20.00) (0.00) (100.00)

Tebo 5 2 9 9 25

(20.00) (8.00) (36.00) (36.00) (100.00)

Provinsi Jambi 54 51 44 23 172

(31.40) (29.65) (25.58) (13.37) (100.00)

Pencapaian stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi relatif beragam

antarkabupaten dalam Provinsi Jambi. Dari delapan kabupaten, enam diantaranya

memiliki desa-desa eks transmigrasi dengan capaian stadia IV yaitu Kabupaten

Batanghari, Kabupaten Bungo, Merangin, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan

Tebo. Sebaliknya tidak satupun desa-desa eks transmigrasi di Kabupaten Muaro

Jambi dan Tanjung Jabung Timur yang mencapai stadia IV.

6.3. Analisis Diskriminan Stadia Desa Untuk menentukan peubah yang membedakan kategori stadia desa serta

untuk mengevaluasi keakuratan klasifikasi dari klaster yang terbentuk pada proses

sebelumnya, dilakukan analisis diskriminan. Peubah yang digunakan adalah

sebanyak delapan peubah yang lolos uji pada analisis faktor sebelumnya.

Page 207: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

181

Pemasukan peubah dalam fungsi diskriminan menggunakan metode

stepwise. Mahalanobis distances yang digunakan dalam prosedur stepwise

ditujukan untuk menentukan peubah yang memiliki kekuatan terbesar dalam

mendiskriminasi. Prosedur stepwise dimulai dengan memasukkan peubah yang

akan memaksimumkan Mahalanobis distance antarkelompok. Dalam hal ini

minimum significant value sebesar 0,05 digunakan sebagai syarat memasukkan

peubah dan Mahalanobis D2 digunakan untuk memilih peubah.

Prosedur stepwise tersebut diberikan pada Tabel 46 berikut:

Tabel 46 Prosedur stepwise dalam pembentukan fungsi diskriminan

Tahap Toleransi Sig. of F to Remove

Min. D Squared Antar kelompok

1 Rumah 1.000 .000

2 Rumah .711 .000 .009 Stadia II dan Stadia III

IP .711 .000 .845 Stadia III dan Stadia IV

3 Rumah .588 .000 .123 Stadia II dan Stadia III

IP .599 .000 1.083 Stadia III dan Stadia IV

Lahan .795 .000 2.491 Stadia III dan

Stadia IV

Dari Tabel 46 terlihat bahwa pada tahap pertama, nilai maksimum

Mahalanobis D2 adalah pada peubah RUMAH, sedangkan pada tahap kedua pada

peubah IP dan pada tahap ketiga pada peubah LAHAN. Dengan kata lain, hasil

stepwise menunjukkan ada tiga peubah yang signifikan yang mampu

membedakan stadia yaitu RUMAH, IP dan LAHAN. Ketiga peubah ini sesuai

dengan surrogate variable yang terpilih pada tahapan analisis faktor sebelumnya.

Berdasarkan angka Wilk’s Lambda, proses pemasukkan ketiga peubah

tersebut diberikan pada Tabel 47. Wilk’s Lambda pada prinsipnya adalah varians

total dalam diskriminan yang tidak bisa dijelaskan oleh perbedaan diantara

kelompok yang ada. Pada tahap 1 dengan hanya menggunakan persentase rumah

permanen, menghasilkan nilai Lambda sebesar 0,228. Ini berarti bahwa 22,8

persen varians tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antar stadia. Pada tahap 2

dengan menambahkan peubah rasio industri pertanian, angka Wilks’ Lambda

Page 208: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

182

turun menjadi 0,146 dan pada tahap ketiga dengan memasukkan peubah

persentase lahan pertanian, angka Wilks Lambda menjadi 0,120. Dengan kata lain,

hanya 12,0 persen varians tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antarstadia. Dari

kolom F dan signifikansinya terlihat bahwa baik pada pemasukan peubah Rumah,

IP dan kemudian LAHAN, semuanya adalah signifikan secara statistik. Hal ini

berarti ketiga peubah tersebut memang berbeda untuk keempat kategori stadia.

Tabel 47 Proses pemasukan peubah dilihat dari angka Wilk’s Lambda

Tahap Jumlah peubah Lambda df1 df2 df3

Exact F/ Approximate F Statistic df1 df2 Sig

1 1 .228 1 3 168 189.685 3 168 .000 2 2 .146 2 3 168 90.237 6 334 .000 3 3 .120 3 3 168 62.269 9 404 .000

Dengan menggunakan ketiga peubah tersebut, fungsi diskriminan yang

terbentuk adalah sebagai berikut:

Tabel 48 Canonical discriminant function coefficients Peubah Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3

RUMAH 1.038 -.094 -.071 LAHAN -.501 -.689 .822 IP 1.189 1.045 .626 (Konstanta) -5.762 .884 -2.229

Selanjutnya berdasarkan ketiga peubah tersebut, fungsi diskriman memiliki

tingkat kebenaran klasifikasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 90,1 persen. Stadia I

mampu diklasifikasi secara benar sebesar 90,1 persen, stadia II sebesar 86,3

persen, stadia III sebesar 90,9 persen dan stadia IV sebesar 95,7 persen.

Tabel 49 Hasil klasifikasi analisis diskriminan stadia desa

Stadia Prediksi kelompok

Total Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV

Frek. Stadia I 49 5 0 0 54 Stadia II 3 44 4 0 51 Stadia III 0 1 40 3 44 Stadia IV 0 0 1 22 23

% Stadia I 90.7 9.3 .0 .0 100.0 Stadia II 5.9 86.3 7.8 .0 100.0 Stadia III .0 2.3 90.9 6.8 100.0 Stadia IV .0 .0 4.3 95.7 100.0

Keterangan: 90,1% kasus dikelompokkan secara tepat.

Page 209: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

183

6.4. Profil Desa Berdasarkan Stadianya Berdasarkan kelompok indikator-indikator kesejahteraan (yang terdiri dari

sub-indikator kesehatan, pendidikan, pendapatan, dan keamanan), aktivitas

pertanian dan aktivitas non-pertanian, secara umum dapat dikemukakan bahwa

semakin tinggi stadia desa maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan dan

semakin tinggi aktivitas pertanian dan non-pertanian. Profil stadia yang dianalisis

berdasarkan peubah-peubah dalam analisis faktor sebelumnya serta beberapa

peubah pendukung lainnya diberikan pada Tabel 50. Mengacu pada peubah-

peubah yang signifikan secara linear, terlihat bahwa peningkatan stadia diikuti

dengan kecenderungan penurunan pelayanan kesehatan dasar tetapi diikuti oleh

peningkatan pelayanan kesehatan menengah dan tinggi. Rasio bidan per 1000

penduduk menunjukkan penurunan dan rasio KK per Posyandu menunjukkan

peningkatan (yang berarti juga terdapat penurunan jumlah Posyandu per KK).

Sebaliknya untuk pelayanan-pelayanan kesehatan tingkat menengah dan tinggi

menunjukkan peningkatan. Persentase desa dengan ketersediaan praktek dokter

mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan stadia. Selain itu, juga

dapat dikemukakan bahwa desa-desa dengan stadia lebih tinggi cenderung

memiliki jarak ke fasilitas-fasilitas kesehatan (rumah sakit, rumah sakit bersalin

dan poliklinik) yang relatif lebih dekat.

Hal yang sama juga terlihat dari aspek pendidikan. dan persentase desa

dengan ketersediaan fasilitas SLTA cenderung mengalami peningkatan ber-

samaan dengan peningkatan stadia. Selain itu, ketersediaan lembaga-lembaga pen-

didikan keterampilan (bahasa asing, komputer, montir, tata busana, kecantikan

dan lainnya) juga cenderung lebih banyak di desa dengan stadia yang lebih tinggi.

Sebagai catatan, rasio SD per seribu penduduk cenderung menurun signifikan

bersamaan dengan peningkatan stadia tetapi bukan menunjukkan kekurangan

jumlah SD pada desa-desa stadia tinggi, tetapi lebih menunjukkan tingkat

optimalisasi penggunaan sekolah. Selanjutnya untuk rasio SLTP per seribu

penduduk tidak menunjukkan kecenderungan yang signifikan.

Sebagai faktor input, tingkat ketersediaan/aksesibilitas sarana kesehatan dan

pendidikan menunjukkan derajat kesehatan dan pendidikan penduduk. Dengan

Page 210: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

184

kata lain, derajat kesehatan dan pendidikan penduduk di desa-desa stadia tinggi

lebih baik dibandingkan stadia rendah.

Tabel 50 Profil stadia desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

INDIKATOR Stadia I

Stadia II

Stadia III

Stadia IV Sig.

KESEJAHTERAAN

Kesehatan

Rasio bidan per 1000 penduduk 0.74 0.58 0.50 0.43 .000a

Rasio KK per posyandu 224.31 248.33 277.85 308.14 .002a

Persentase ketersediaan praktek dokter 9.26 11.76 22.73 30.43 .009b

Jarak terdekat ke Rumah Sakit (Km) 55.11 47.29 38.52 39.98 .002a

Jarak terdekat ke RS Bersalin (Km) 57.42 55.31 46.52 39.81 .009a

Jarak terdekat ke Poliklinik (Km) 49.36 47.50 41.56 28.68 .016a

Pendidikan

Rasio SD per 1000 penduduk 1.31 1.15 1.01 0.77 .000a

Rasio SMP per 1000 penduduk 0.32 0.37 0.31 0.31 .707a

% ketersediaan SLTA 14.81 39.22 36.36 60.87 .000b

% ketersediaan lembaga keterampilan 1.89 13.73 15.00 26.67 .005b

Kualitas Perumahan

Persentase Rumah Permanen 8.18 25.63 58.07 76.20 .000a

Pendapatan

Persentase rumah tangga miskin 6.41 8.45 6.21 3.77 .140a

Keamanan

Rasio hansip per 1000 penduduk 5.98 6.41 6.90 8.59 .014a

AKTIVITAS PERTANIAN

% Keluarga Pertanian 85.85 88.92 86.61 85.98 .993a

Persentase Lahan Pertanian 83.53 87.31 86.01 90.27 .041a

AKTIVITAS NON-PERTANIAN

Rasio Industri Pertanian per 1000 Penduduk 1.10 2.29 1.97 3.15 .000a

Rasio Industri Non-pertanian per 1000 Penduduk 2.38 2.66 3.78 4.84 .001a

Rasio Perdagangan per 1000 Penduduk 20.39 21.05 23.56 27.84 .002a

Rasio Jasa per 1000 Penduduk 12.85 12.92 13.55 16.74 .150a

Sumber : PODES 2008 dan Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: a) Uji Linearitas ANOVA b) Uji Linearitas Chi-Square

Page 211: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

185

Dari sisi kualitas perumahan terlihat bahwa terdapat kecenderungan

peningkatan persentase rumah permanen bersamaan dengan peningkatan stadia.

Ini berarti bahwa desa-desa dengan stadia lebih tinggi cenderung memiliki

kualitas perumahan yang lebih baik dibandingkan desa-desa stadia yang rendah.

Dari sisi pendapatan yang dicerminkan oleh persentase rumah tangga miskin

terlihat bahwa desa-desa stadia tertinggi (stadia IV) memiliki persentase rumah

tangga miskin yang lebih kecil dibandingkan desa stadia di bawahnya. Meskipun

demikian, pola linearitasnya tidak signifikan terutama terlihat antara desa stadia I

sampai stadia III.

Selanjutnya untuk indikator keamanan, terlihat bahwa rasio Hansip per 1000

penduduk cenderung mengalami peningkatan. Ketersediaan Hansip sebagai

tenaga pengamanan umumnya berasal dari swadaya masyarakat. Ini menunjukkan

bahwa tingkat kemandirian masyarakat akan kebutuhan keamanan semakin tinggi

bersamaan dengan peningkatan stadia. Selain itu juga, ketersediaan tenaga hansip

ini juga sekaligus dapat menjadi gambaran dari kondisi modal sosial dalam

masyarakat.

Dalam hal indikator aktivitas pertanian, meskipun persentase keluarga

pertanian tidak menunjukkan pola linear yang signifikan, tetapi persentase lahan

pertanian cenderung meningkat bersamaan dengan peningkatan stadia. Ini

menunjukkan juga bahwa aktivitas pertanian relatif tinggi pada stadia-stadia yang

lebih tinggi.

Untuk aktivitas non-pertanian dapat dikemukakan bahwa terlihat

kecenderungan peningkatan rasio industri pertanian dan industri non-pertanian,

perdagangan bersamaan dengan peningkatan stadia (meskipun rasio jasa

menunjukkan pola linear yang sama tetapi secara statistik tidak signifikan). Ini

menunjukkan bahwa desa-desa dengan stadia yang lebih tinggi selain memiliki

aktivitas pertanian tinggi juga memiliki aktivitas non-pertanian yang semakin

tinggi. Dengan kata lain, untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan

masyarakat perdesaan, peningkatan aktivitas non-pertanian harus diikuti juga

dengan peningkatan aktivitas pertanian.

Hasil penelitian ini juga mempertegas pernyataan Rustiadi (2011) bahwa

struktur perekonomian perdesaan secara perlahan namun pasti akan terus bergeser

Page 212: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

186

ke sektor-sektor hilir (sekunder dan tersier) dicirikan semakin dominannya

pekerja perdesaan yang pekerjaan utamanya di sektor off-farm dan semakin

banyaknya petani yang juga memiliki pekerjaan off-farm. Tetapi, meskipun terus

terjadi diversifikasi hulu-hilir, sistem ekonomi perdesaan akan tetap dicirikan oleh

sistem produksi atau industri yang berbasis sumber daya lokal (agribisnis dan

pengelolaan sumber daya alam).

Hasil ini juga menunjukkan bahwa meskipun asumsi awal menyatakan

bahwa perkembangan aktivitas non pertanian tumbuh sebagai akibat

berkembangnya aktivitas pertanian dan peningkatan pendapatan masyarakat,

tetapi proses ini juga dapat dilakukan arah yang berlawanan yaitu dengan

mendorong perkembangan aktivitas non-pertanian, yang diharapkan akan dapat

mendorong berkembangnya aktivitas pertanian, dan sekaligus pendapatan

masyarakat. Selain itu, berkembangnya aktivitas non-pertanian diharapkan juga

dapat menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian sehingga dapat

meningkatkan produktivitas per tenaga kerja di bidang pertanian yang pada tahap

selanjutnya meningkatkan pendapatan penduduk. Senada dengan hal tersebut,

Utomo (2005) mengemukakan agar kawasan transmigrasi mampu berkembang

dengan baik serta sekaligus mampu memacu pertumbuhan wilayah, selain

meningkatkan produktivitas pertanian juga perlu dikembangkan pusat-pusat

agroindustri/industri perdesaan.

Pentingnya aktivitas non-pertanian dalam kerangka penciptaan kesempatan

kerja dan menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian merupakan kondisi

yang diperlukan (necessary condition) untuk terjadinya pembangunan ekonomi.

Menurut Freshwater (2000) pembangunan ekonomi berkelanjutan tidak akan

mungkin tanpa tersedianya peluang kerja yang memadai. Derajat kohesi sosial

masyarakat mungkin meningkat. Mereka mungkin dapat meningkatkan kualitas

lingkungan lokalnya dan mereka mungkin mampu mengembangkan infrastruktur

fisik dan tingkat sumber daya manusianya, tetapi jika tidak terdapat peluang kerja,

maka masyarakat tidak akan mampu bertahan. Dalam jangka pendek, transfer

payment dari pemerintah kepada pendapatan masyarakat akan dapat membantu

keberadaan ekonomi lokal, tetapi tanpa adanya basis ekonomi yang kuat dalam

Page 213: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

187

penciptaan pendapatan masyarakat, maka pembangunan jangka panjang tidak

akan dapat tercapai.

Terkait dengan aktivitas non-pertanian ini Rondinelli (1985)

mengemukakan bahwa daerah perdesaan tidak dapat mereplikasi ekonomi

perkotaan karena diperlukan konsentrasi penduduk untuk menjustifikasi produksi

berbagai macam barang dan jasa untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat

perdesaan. Yang justru disarankan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi

perdesaan yang berkelanjutan adalah spesialisasi pada komoditas-komoditas

unggulan di mana daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif. Spesialisasi

akan meningkatkan kemampuan kompetitif, namun ini baru bermanfaat apabila

ada aktivitas perdagangan. Oleh karena itu, daerah perdesaan harus meningkatkan

konektivitas dengan jaringan pasar untuk memperoleh manfaat dari spesialisasi.

Selanjutnya, jika dilihat lebih jauh dari berbagai aktivitas non-pertanian

yang berkembang pada masing-masing stadia dapat dikemukakan hal-hal sebagai

berikut:

Industri Pertanian

Secara umum, industri pertanian yang berkembang di desa-desa eks

transmigrasi dapat dikelompokkan atas kategori hulu dan hilir. Industri hulu

pertanian yaitu industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk bahan

makanan sedangkan industri hilir pertanian adalah industri yang bersifat

mengolah hasil pertanian untuk makanan jadi.

Kelompok industri hulu ini terdiri dari antara lain penggilingan padi dan

penyosohan beras, industri penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya,

pembuatan berbagai macam tepung dari padi-padian/biji-bijian/kacang-

kacangan/umbi-umbian, industri minyak mentah dari nabati dan hewani.

Sedangkan kelompok industri hilir terdiri dari antara lain pembuatan tempe dan

tahu, pembuatan makanan dari kedele dan kacang-kacangan selain kecap, tempe

dan tahu, pembuatan kerupuk, keripik dan sejenisnya dari ubi dan pisang,

pengasinan/pemanisan buah-buahan dan sayur-sayuran seperti asinan buah-

buahan dan selai pisang.

Secara keseluruhan, berdasarkan rata-rata unit usaha industri di desa terlihat

bahwa industri makanan jadi dari pengolahan hasil pertanian lebih dominan

Page 214: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

188

dibandingkan industri pengolahan hasil pertanian untuk bahan makanan/industri.

Rata-rata unit industri per desa pada industri makanan jadi sebesar 4,08

sedangkan pada industri pengolahan untuk bahan makanan/industri sebesar 1,62.

Berdasarkan stadia desa terlihat bahwa semakin tinggi stadia desa maka

semakin banyak rata-rata unit usaha industri makanan jadi di desa. Sebaliknya

industri pengolahan untuk bahan makanan atau industri mengalami peningkatan

sampai stadia III, dan menurun pada stadia IV. Pola ini juga berlaku sama jika

dilihat berdasarkan proporsi industrinya (Tabel 52).

Meningkatnya pendapatan menyebabkan meningkatnya daya beli

masyarakat terhadap produk-produk makanan jadi yang mendorong tumbuhnya

berbagai industri makanan di desa tersebut. Sebaliknya pada pendapatan

masyarakat yang masih rendah, kebutuhan makanan dihasilkan sendiri dalam

rumah tangga, dan kelebihan produksi pertanian diolah menjadi produk bahan

makanan (seperti tepung) yang dijual di luar desa. Berdasarkan hal tersebut,

dalam kasus desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi terlihat bahwa

pendapatan masyarakat yang sudah relatif tinggi pada desa-desa stadia IV

cenderung lebih mendorong pertumbuhan industri makanan jadi, sehingga

mengurangi dominasi industri pengolahan untuk bahan makanan atau industri.

Tabel 51 Unit, jenis usaha serta rata-rata tenaga kerja industri pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

Uraian Stadia Desa Rata-

Rata I II III IV

Unit Usaha per Desa Pengolahan hasil pertanian untuk bahan makanan atau industri

1.06 1.78 2.75 0.43 1.62

Makanan jadi dari pengolahan hasil pertanian

1.28 3.06 4.95 11.26 4.08

Rata-Rata Unit Usaha 2.33 4.84 7.70 11.70 5.70

Jumlah Jenis Industri 12 20 21 13 26 Rata-Rata TK 2.17 2.26 2.32 2.56 2.34

Sumber : Sensus Ekonomi 2006

Dari ragam jenis industri dan rata-rata tenaga kerja terlihat bahwa sampai

sampai stadia III ragam industri mengalami peningkatan, tetapi pada stadia IV

mengalami penurunan. Sebaliknya dari skala usaha (dilihat dari rata-rata tenaga

Page 215: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

189

kerja per unit usaha) mengalami peningkatan sampai stadia IV. Ini menunjukkan

bahwa pada stadia IV industri-industri pertanian yang ada cenderung lebih

terkonsentrasi pada jenis-jenis industri pertanian tertentu dan skala usaha yang

semakin besar.

Tabel 52 Persentase industri pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

Kelompok industri Stadia Desa Rata-

Rata I II III IV

Pengolahan hasil pertanian untuk bahan makanan atau industri 18.01 37.93 39.46 4.60 100.00 Makanan jadi dari pengolahan hasil pertanian 7.92 24.05 26.17 41.87 100.00

Rata-Rata Persentase 10.64 27.79 29.75 31.82 100.00 Sumber : Sensus Ekonomi 2006

Industri Non-Pertanian

Terdapat berbagai jenis industri non-pertanian yang berkembang di desa-

desa eks transmigrasi. Industri-industri tersebut adalah pengolahan tanah liat

(seperti pembuatan genteng dan batu bata), barang-barang dari kayu, rotan, bambu

dan sejenisnya (seperti moulding dan komponen bahan bangunan, penggergajian

kayu, anyaman dari bambu), furnitur, industri barang-barang dari logam lainnya

(seperti cangkul, sabit, pisau, parang/golok), industri barang-barang dari semen,

kapur dan batu (seperti genteng semen, tiang teras, patung, pot kembang), barang-

barang dari logam siap pasang (seperti teralis, pagar), industri percetakan (seperti

percetakan undangan, sablon, spanduk, fotokopi).

Dari berbagai kelompok industri ini, terdapat tiga kategori industri non-

pertanian dengan dominasi tertinggi di desa-desa eks transmigrasi yaitu industri

pengolahan tanah liat, furnitur dan barang-barang dari kayu, rotan, bambu dan

sejenisnya. Ketiga kelompok industri ini pada dasarnya tidak hanya mencirikan

industri non-pertanian yang berkembang di desa-desa eks transmigrasi, tetapi juga

daerah perdesaan pada umumnya. Hal ini disebabkan ketersediaan bahan baku

untuk ketiga kategori industri ini yang relatif banyak tersedia di daerah perdesaan.

Dengan kata lain juga dapat dikemukakan bahwa pengembangan ketiga kelompok

Page 216: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

190

industri non-pertanian ini dapat dijadikan dasar dalam pengembangan aktivitas

industri non-pertanian di perdesaan.

Berdasarkan rata-rata unit usaha industri per desa, dapat dikemukakan

bahwa semakin tinggi stadia semakin banyak jumlah unit usaha di desa. Hal ini

terlihat pada semua jenis industri non-pertanian yang berkembang di desa eks

transmigrasi.

Selanjutnya berdasarkan kecenderungan proporsi menurut stadia desa,

penelitian ini membagi industri non-pertanian (termasuk juga perdagangan dan

jasa lainnya yang dibahas pada bagian berikutnya) atas tiga pola. Pola pertama

adalah industri non-pertanian/perdagangan/jasa yang berkembang sampai stadia I

atau II dan selanjutnya menurun pada stadia III dan IV. Pola kedua adalah industri

non-pertanian/perdagangan/jasa yang berkembang sampai stadia III dan menurun

pada stadia IV. Pola ketiga adalah industri non-pertanian/perdagangan/jasa yang

berkembang sampai stadia IV.

Mengacu pada pengelompokan pola ini maka dapat dikemukakan bahwa

untuk jenis usaha industri non-pertanian kecenderungan yang ada hanya pada pola

kedua dan ketiga. Pada pola kedua terdiri dari industri pengolahan tanah liat,

barang-barang dari kayu, rotan, bambu dan sejenisnya, furnitur dan barang-barang

logam lainnya, sedangkan pola ketiga terdiri dari barang-barang dari semen, kapur

dan batu, barang-barang logam siap pasang dan industri percetakan. Berdasarkan

produk yang dihasilkan pada kelompok industri tersebut, terlihat bergesernya

kebutuhan masyarakat mengikuti peningkatan stadia. Pada stadia tinggi dengan

kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi, kebutuhan barang-barang sekunder

dan tersier semakin meningkat (seperti pagar dan teralis untuk memperindah

rumah, percetakan dan sablon). Sebaliknya pada stadia rendah dengan

kesejahteraan masyarakat yang lebih rendah, kebutuhan primer masih dominan

(seperti untuk membangun rumah yang membutuhkan batu bata dan genteng dari

tanah liat, kunsen, kerangka kayu, cangkul, parang dan lainnya untuk alat

pertanian).

Pergeseran kebutuhan ini mendorong tumbuhnya jenis industri yang

berbeda bersamaan dengan peningkatan stadia. Industri-industri yang

Page 217: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

191

menghasilkan kebutuhan barang-barang sekunder dan tersier semakin meningkat

pada stadia-stadia yang lebih tinggi.

Tabel 53 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja industri non-pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

Uraian Stadia Desa Rata-

Rata I II III IV Unit Usaha per Desa Pengolahan Tanah Liat 1.33 2.65 6.02 7.43 3.74

Furnitur 1.07 1.61 3.43 6.30 2.53

Barang-barang dari Kayu, Rotan, Bambu 0.74 0.90 1.32 2.35 1.15

Barang-barang dari logam lainnya 0.44 0.49 0.82 1.35 0.67

Barang-Barang dari Semen,Kapur dan Batu 0.13 0.20 0.41 1.17 0.36

Barang-barang logam siap pasang 0.04 0.14 0.30 0.65 0.22

Percetakan 0.02 0.02 0.16 0.78 0.16

Industri Lainnya 0.39 0.16 0.11 0.48 0.26

Rata-Rata Unit Usaha 4.13 6.14 12.55 20.52 9.09

Jumlah Jenis Industri 26 26 32 35 56

Rata-Rata TK 1.88 2.41 2.57 3.33 2.68 Sumber : Sensus Ekonomi 2006

Tabel 54 Persentase industri non-pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

Kelompok Industri Stadia Desa Rata-

Rata I II III IV

Pola 2

Barang-barang dari Kayu, Rotan, Bambu 20.20 23.23 29.29 27.27 100.00

Barang-barang dari logam lainnya 20.69 21.55 31.03 26.72 100.00

Furnitur 13.30 18.81 34.63 33.26 100.00

Pengolahan Tanah Liat 11.20 21.00 41.21 26.59 100.00

Pola 3

Barang-barang logam siap pasang 5.41 18.92 35.14 40.54 100.00

Barang-Barang dari Semen, Kapur, Batu 11.29 16.13 29.03 43.55 100.00

Percetakan 3.70 3.70 25.93 66.67 100.00

Rata-Rata Persentase 14.26 20.01 35.29 30.18 100.00 Sumber : Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: tidak termasuk industri lainnya karena polanya tidak dapat diklasifikasi

Page 218: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

192

Perdagangan

Berdasarkan rata-rata unit usaha perdagangan yang ada, terlihat bahwa dua

jenis usaha perdagangan utama di desa-desa eks transmigrasi adalah perdagangan

makanan, minuman, tembakau dan hasil pertanian. Rata-rata unit usaha kedua

jenis usaha perdagangan ini menunjukkan peningkatan bersamaan dengan

peningkatan stadia. Jenis-jenis usaha perdagangan lainnya meskipun dengan

jumlah unit usaha yang relatif kecil juga menunjukkan peningkatan bersamaan

dengan peningkatan stadia.

Selanjutnya berdasarkan kecenderungan proporsinya, terdapat tiga pola

(kelompok) jenis usaha perdagangan ini. Kelompok pertama adalah usaha

perdagangan yang berkembang pada stadia I kemudian mengalami penurunan

pada stadia-stadia berikutnya. Kelompok kedua adalah jenis usaha perdagangan

yang meningkat sampai stadia III dan menurun pada stadia IV. Kelompok ketiga

adalah unit usaha perdagangan yang terus mengalami peningkatan sampai stadia

IV.

Kelompok pertama adalah perdagangan alat dan bahan pertanian. Kelompok

kedua terdiri dari perdagangan makanan, minuman dan tembakau, hasil pertanian,

bahan bakar, alat rumah tangga dan bahan bangunan. Kelompok ketiga terdiri dari

perdagangan tekstil, pakaian jadi, alas kaki dan keperluan pribadi lainnya, alat

transportasi dan suku cadang, alat elektronik dan listrik, alat tulis menulis dan

hasil percetakan.

Sebagaimana halnya pada industri, pergeseran dominasi jenis usaha

perdagangan yang terjadi berdasarkan stadia desa ini juga pada dasarnya

mencerminkan pergeseran dalam hal kebutuhan masyarakat dari kebutuhan-

kebutuhan primer ke arah kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier. Hal ini

terlihat dari pergeseran dominasi jenis usaha dari perdagangan makanan,

minuman, hasil pertanian serta alat dan bahan pertanian ke perdagangan pakaian,

alat transportasi, alat elektronik, alat tulis menulis dan hasil pencetakan. Dari

ragam jenis perdagangan dan skala usaha terlihat juga mengalami peningkatan

bersamaan dengan peningkatan stadia.

Page 219: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

193

Tabel 55 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha perdagangan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

Uraian Stadia Desa Rata-

Rata I II III IV Unit Usaha per Desa Makanan,minuman dan tembakau 24.20 31.79 47.20 62.99 37.45 Hasil pertanian 4.60 8.86 14.46 19.94 10.44 Teksil, pakaian jadi, alas kaki dan keperluan pribadi lainnya 1.50 2.02 5.15 11.93 4.01 Bahan bakar 1.61 2.00 2.84 3.24 2.25 Bahan bangunan 0.48 0.68 1.79 4.52 1.43 Alat transportasi dan suku cadang 0.48 0.75 1.79 4.36 1.43 Alat rumah tangga 0.70 0.94 1.77 2.76 1.32 Alat dan bahan pertanian 0.81 0.58 0.90 1.36 0.83 Alat elektronik dan listrik 0.29 0.40 1.07 3.00 0.90 Alat tulis menulis dan hasil pencetakan 0.18 0.25 0.49 1.60 0.48 Perdagangan lainnya 0.53 0.30 0.74 2.32 0.76

Rata-Rata Unit Usaha 35.37 48.57 78.20 118.04 61.30 Jumlah Jenis Perdagangan 60 66 74 88 102

Rata-Rata TK 2.13 2.05 2.35 2.48 2.23 Sumber : Sensus Ekonomi 2006

Tabel 56 Persentase usaha perdagangan menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

Kelompok Industri Stadia Desa Rata-

Rata I II III IV

Pola 1 Alat dan bahan pertanian 30.32 20.78 27.46 21.83 100.00

Pola 2 Makanan,minuman dan tembakau 20.29 25.17 32.24 22.49 100.00

Bahan bakar 22.48 26.33 32.31 19.27 100.00 Alat rumah tangga 16.53 21.16 34.24 27.97 100.00 Hasil pertanian 13.82 25.17 35.43 25.54 100.00 Pola 3

Teksil, pakaian jadi, alas kaki dan keperluan pribadi lainnya 11.74 14.90 32.81 39.75 100.00 Alat transportasi dan suku cadang 10.47 15.67 32.09 40.89 100.00 Bahan bangunan 10.47 14.10 32.09 42.39 100.00 Alat elektronik dan listrik 10.27 13.11 30.69 44.84 100.00 Alat tulis menulis dan hasil pencetakan 12.08 15.27 26.47 45.01 100.00

Rata-Rata Persentase Perdagangan 18.12 23.49 32.64 25.75 100.00 Sumber : Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: tidak termasuk perdagangan lainnya karena polanya tidak dapat diklasifikasi

Page 220: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

194

Jasa Lainnya

Berdasarkan rata-rata unit usaha jasa lainnya yang ada, terlihat bahwa dua

jenis usaha jasa utama di desa-desa eks transmigrasi adalah penyediaan makanan-

minuman dalam bentuk kedai/warung/restoran serta pemeliharaan dan reperasi

sepeda motor dan mobil. Kedua kelompok usaha jasa ini bersamaan dengan jenis-

jenis usaha jasa lainnya cenderung meningkat bersamaan dengan peningkatan

stadia.

Selanjutnya berdasarkan proporsinya, terdapat tiga kelompok (pola) jenis

usaha jasa ini. Kelompok pertama adalah usaha jasa yang meningkat sampai

stadia II dan kemudian mengalami penurunan pada stadia III dan stadia IV.

Kelompok kedua adalah jenis usaha perdagangan yang meningkat sampai stadia

III dan menurun pada stadia IV. Kelompok ketiga adalah unit usaha perdagangan

yang terus mengalami peningkatan sampai stadia IV.

Kelompok pertama terdiri dari persewaan mesin/peralatan pertanian dan

angkutan umum. Penurunan persewaan mesin/peralatan pertanian mulai pada

stadia III terkait dengan karakteristik komoditi tanaman utama pada masing-

masing stadia. Persewaan mesin pertanian dalam hal ini terutama adalah mesin

perontok padi dan hal tersebut secara umum menjadi kebutuhan utama pada desa-

desa stadia I dan II (yang sebagian besar memiliki komoditi tanaman pangan –

padi. Lihat Tabel 61). Sedangkan penurunan jasa angkutan umum diduga karena

semakin meningkatnya kesejahteraan menyebabkan meningkatnya kemampuan

masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi. Selanjutnya kelompok kedua

adalah penyediaan akomodasi makanan pada warung/restoran makanan/minuman.

Kelompok ketiga terdiri dari pemeliharaan/reparasi sepeda motor/mobil,

penjahiran, kesehatan dan kebugaran, persewaan alat pesta, olahraga dan hiburan,

komunikasi dan telekomunikasi, perantara keuangan, salon kecantikan dan

pangkas rambut, sewa perumahan dan penginapan.

Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam dominasi usaha jasa ini pada

dasarnya juga mencerminkan pergeseran kebutuhan masyarakat dari kebutuhan-

kebutuhan primer ke kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier. Jasa

pemeliharaan dan reparasi sepeda motor dan mobil, jasa penjahitan, jasa

kesehatan dan kebugaran, persewaan alat pesta, olahraga/musik dan hiburan, jasa

Page 221: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

195

komunikasi dan telekomunikasi, perantara keuangan salon kecantikan dan

pangkas rambut serta sewa perumahan dan penginapan meningkat bersamaan

peningkatan stadia. Sebaliknya jasa angkutan umum mengalami peneningkatan

sampai stadia II kemudian mengalami penurunan pada stadia III dan IV.

Penurunan jasa angkutan umum ini disebabkan semakin meningkatnya

kesejahteraan masyarakat menyebabkan meningkatnya kepemilikan kendaraan

pribadi sehingga kebutuhan akan kendaraan umum mengalami penurunan.

Hal yang sama terlihat pada jasa persewaaan mesin pertanian dan

peralatannya di mana sampai stadia II terjadi peningkatan tetapi pada stadia III

dan IV menunjukkan penurunan. Dari ragam jenis usaha jasa dan rata-rata tenaga

kerja terlihat bahwa ragam jasa dan skala usaha mengalami peningkatan

bersamaan dengan peningkatan stadia. Ini menunjukkan bahwa bersamaan dengan

peningkatan stadia, selain berkembangnya berbagai jenis usaha jasa, skala usaha

dari jasa yang ada juga semakin lebih besar.

Tabel 57 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha jasa lainnya pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

Uraian Stadia Desa Rata-

Rata I II III IV Unit Usaha per Desa Warung/Restoran Makanan/ Minuman 7.4 9.5 15.1 23.2 12.1 Pemeliharaan/reparasi sepeda motor/ mobil 3.9 5.4 8.3 13.6 6.8 Angkutan Umum 4.0 5.8 4.7 6.8 5.0 Penjahitan 1.9 2.7 4.1 8.5 3.6 Kesehatan dan Kebugaran 0.9 1.3 2.0 3.8 1.7 Persewaan alat pesta, olahraga dan hiburan 0.7 1.0 2.3 3.6 1.6 Komunikasi dan telekomunikasi 0.4 0.7 1.6 2.6 1.1 Perantara Keuangan 0.5 0.8 1.3 2.3 1.1 Salon kecantikan dan pangkas rambut 0.4 0.5 1.2 2.2 0.9 Persewaan mesin/peralatan pertanian 0.1 1.1 0.4 0.0 0.4 Sewa Perumahan dan Penginapan 0.1 0.1 0.5 1.0 0.4 Jasa Lain-Lain 2.0 0.9 3.5 3.3 2.2

Rata-Rata Unit Usaha 22.3 29.8 45.0 71.0 36.8

Jumlah Jenis Jasa Lainnya 59 63 74 78 105 Rata-Rata TK 2.42 3.06 3.27 3.79 3.39

Sumber : Sensus Ekonomi 2006

Page 222: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

196

Tabel 58 Persentase usaha jasa lainnya menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

Kelompok jasa Stadia Desa Rata-

Rata I II III IV Pola 1

Angkutan Umum 25.40 34.25 24.24 18.26 100.00 Persewaan mesin/peralatan pertanian 5.55 76.40 23.08 1.49 100.00 Pola 2

Warung/Restoran Makanan/Minuman 19.17 23.23 31.87 25.71 100.00 Pola 3

Kesehatan dan Kebugaran 17.31 21.81 29.53 30.48 100.00 Perantara Keuangan 15.54 23.50 28.88 31.34 100.00 Pemeliharaan/reparasi sepeda motor mobil 18.07 23.47 26.76 31.45 100.00 Penjahitan 16.09 21.94 29.17 31.50 100.00 Salon kecantikan dan pangkas rambut 13.75 17.55 33.32 33.45 100.00 Persewaan alat pesta, olahraga dan hiburan 12.82 19.13 30.26 36.46 100.00 Komunikasi dan telekomunikasi 11.17 19.51 31.29 36.47 100.00 Sewa Perumahan dan Penginapan 9.32 11.75 35.82 39.55 100.00 Rata-Rata Persentase Jasa 19.00 23.99 31.23 25.77 100.00

Sumber : Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: tidak termasuk jasa lain-lain karena polanya tidak dapat diklasifikasi

6.5 Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi 6.5.1 Deskripsi Peubah

Lama penempatan transmigran (usia desa sejak awal penempatan

transmigran) menunjukkan pola yang linear terhadap pencapaian stadia desa.

Lama penempatan terkait dengan proses penyesuaian transmigran terhadap

kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk

peningkatan kesejahteraan.

Tabel 59 memperlihatkan bahwa desa-desa transmigrasi baru mencapai

stadia III dan IV dalam kisaran 30 tahun setelah penempatan. Dikaitkan dengan

kondisi stadia desa yang sebagian besar tertahan pada stadia I dan II (Tabel 44)

terlihat bahwa perkembangan desa-desa transmigrasi relatif lambat.

Terdapat dua faktor yang diperkirakan menjadi penyebab lambatnya

perkembangan desa-desa transmigrasi ini. Pertama, kondisi lahan awal

penempatan transmigrasi yang kurang mendukung/tidak layak, menyebabkan

lambatnya desa-desa transmigrasi untuk mencapai stadia marketable surplus atau

memenuhi kriteria desa definitif.

Page 223: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

197

Data yang ada menunjukkan bahwa hanya 47,80 persen permukiman

transmigrasi di Provinsi Jambi yang mampu menjadi desa definitif dalam kurun

waktu 5 – 6 tahun sesuai dengan target yang dicanangkan dalam pembangunan

transmigrasi. Sebagian besar lainnya baru mampu mencapai desa definitif setelah

7 – 11 tahun. Kedua, tidak terdapatnya pembinaan lanjutan pada desa-desa eks

transmigrasi setelah masa pembinaan. Desa-desa eks transmigrasi berkembang

secara sendirinya tanpa adanya intervensi yang terpola baik dari pemerintah

maupun pihak swasta dalam mengarahkan perkembangan desa-desa tersebut.

Sebagaimana halnya dengan lama penempatan, jarak desa ke ibukota

kabupaten (sebagai pusat pertumbuhan kegiatan) juga memiliki pola yang linear

dengan capaian stadia. Desa stadia tinggi memiliki jarak yang relatif dekat ibukota

kabupaten dibandingkan desa stadia rendah.

Tabel 59 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan aksesibilitas dan lama penempatan

Uraian Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Rata-rata

Lama penempatan (tahun) 21.76 25.73 29.66 31.57 26.27

Rata-rata jarak desa ke ibukota kabupaten (km) 103.74 69.37 53.66 45.09 72.90

Sumber: Diolah dari berbagai sumber Kondisi infrastruktur jalan desa juga menunjang pencapaian stadia yang

lebih tinggi. Hanya 1,56 persen desa permukaan jalan tanah yang mencapai stadia

IV, sebaliknya 13,11 persen desa permukaan jalan perkerasan dan 29,79 persen

desa jalan aspal yang mampu mencapai stadia IV.

Tabel 60 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan jenis permukaan jalan

Permukaan Jalan Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Jumlah Aspal 9 8 16 14 47

(19.15) (17.02) (34.04) (29.79) (100.00) Perkerasan 15 19 19 8 61

(24.59) (31.15) (31.15) (13.11) (100.00)

Tanah 30 24 9 1 64

(46.88) (37.50) (14.06) (1.56) (100.00)

Jumlah 54 51 44 23 172 (31.40) (29.65) (25.58) (13.37) (100.00)

Sumber : PODES 2008.

Page 224: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

198

Selanjutnya berdasarkan komoditi tanaman utama yang dikembangkan,

terlihat bahwa komoditi perkebunan lebih memberikan kesejahteraan pada

transmigran dibandingkan komoditi tanaman pangan. Tidak terdapat desa-desa

eks transmigrasi dengan komoditi tanaman pangan yang berada pada stadia IV,

sebaliknya terdapat 15,13 desa eks transmigrasi dengan komoditi tanaman

perkebunan yang berada pada stadia tersebut. Desa eks transmigrasi komoditi

tanaman pangan yang mencapai stadia III juga hanya 20,00 persen sedangkan

pada tanaman perkebunan mencapai 26,32 persen.

Dirinci lebih jauh untuk tanaman perkebunan, dapat dikemukakan bahwa

stadia desa tanaman karet lebih baik dibandingkan tanaman kelapa sawit. Hal ini

disebabkan desa-desa eks transmigrasi perkebunan kelapa sawit relatif baru dari

sisi lama penempatannya dibandingkan dengan desa-desa eks transmigrasi

perkebunan karet.

Relatif rendahnya perkembangan desa-desa eks transmigrasi dengan

komoditi tanaman pangan pada dasarnya mendukung hasil penelitian yang

ditemukan Haryati et al. (2006). Dalam penelitiannya di enam lokasi transmigrasi

yang telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan, ditemukan bahwa khususnya

pada kawasan transmigrasi yang dikembangkan dengan berbasis komoditas

tanaman pangan, pertumbuhannya relatif lambat dibandingkan kawasan yang

berbasis komoditas perkebunan. Kawasan Pasir Pangarayan (Provinsi Riau) dan

kawasan Padang Jaya (Provinsi Bengkulu), berkembang secara nyata justru ketiga

di kawasan tersebut terdapat investasi perkebunan, utamanya perkebunan kelapa

sawit dan karet. Pada awalnya, kedua kawasan tersebut dikembangkan dengan

komoditas tanaman pangan (padi dan palawija).

Hal yang senada juga dikemukakan Subroto et al. (2005), diacu dalam

Soegiharto (2008) yang disarikannya dari berbagai hasil penelitian menemukan di

kawasan transmigrasi Batumarta yang dibangun diantara Kota Baturaja dan

Martapura Provinsi Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa Batumarta yang

awalnya dibangun dengan konsep usaha tanaman pangan di lahan kering (tanpa

irigasi) yang kemudian dipadukan dengan pemeliharaan ternak sapi, pada

pelaksanaannya berubah. Ternyata usaha tanaman pangan tidak memberi hasil.

Usaha pangan memerlukan banyak input dan tenaga kerja serta resiko

Page 225: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

199

kegagalannya terlalu besar bagi keluarga transmigran. Demikian juga dengan

memelihara sapi, yang memerlukan tenaga laki-laki (anak laki-laki atau kepala

keluarga) untuk mencari pakan dan memberi makan di kandang. Pembinaan yang

cukup baik dari PTP X untuk pengusahaan perkebunan rakyat tanaman karet

memberikan hasil yang signfikan terhadap produksi karet. Akhirnya usaha pangan

dan peternakan ditinggalkan, dan transmigran berfokus pada berkebun tanaman

karet yang lebih menjanjikan dalam hal pendapatan.

Persoalan lain dalam produksi pertanian tanaman pangan ini adalah terkait

dengan pemasaran kelebihan hasil produksi. Pada saat panen raya, melimpahnya

hasil produksi tanpa adanya dukungan industri pengolahan yang memadai

menyebabkan harga jual menjadi turun.

Tabel 61 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan komoditi tanaman utama dan stadia desa

Komoditi Tanaman Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Jumlah

Pangan 9 7 4 0 20 (45.00) (35.00) (20.00) (0.00) (100.00)

Perkebunan 45 44 40 23 152

(29.61) (28.95) (26.32) (15.13) (100.00)

Karet 7 13 15 11 46 (15.22) (28.26) (32.61) (23.91) (100.00)

Kelapa Sawit 38 31 25 12 106 (35.85) (29.25) (23.58) (11.32) (100.00)

Jumlah 54 51 44 23 172 (31.40) (29.65) (25.58) (13.37) (100.00)

Sumber : Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010

Dari dominasi daerah asal menunjukkan bahwa desa dengan dominasi asal

Jambi (transmigran lokal) relatif memiliki kinerja yang lebih rendah dibandingkan

desa dengan dominasi daerah asal Pulau Jawa. Desa-desa dengan dominasi daerah

asal Jambi hanya mampu mencapai stadia III, dan sebagian besar (70,45 persen)

tertahan pada stadia I. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang

dilakukan Safrial (2004) pada pada 6 desa dalam 3 kabupaten penerima proyek

transmigrasi Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-Trans) dengan komoditas

kelapa sawit di Provinsi Jambi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa

transmigran lokal memiliki kondisi ekonomi yang lebih rendah dibandingkan

Page 226: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

200

transmigran non-lokal. Hal tersebut terutama disebabkan oleh tingkat pendidikan,

etos kerja dan kekosmopolitanan.

Selanjutnya jika dilihat secara terperinci pada daerah asal Pulau Jawa

terlihat bahwa desa-desa dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah cenderung

memiliki tingkat capaian stadia tinggi yang lebih baik sedangkan desa-desa

dominasi daerah asal Jawa Barat cenderung memiliki kinerja yang relatif rendah.

22,34 persen desa dominasi asal Jawa Tengah berada pada Stadia IV sedangkan

untuk untuk desa-desa dominasi daerah asal Jawa Barat hanya 5,00 persen.

Rendahnya kinerja transmigran asal Jawa Barat ini juga mendukung

pernyataan Soewardi (2001) yang menyatakan bahwa karsa (etos kerja) orang

Sunda relatif lemah. Kelemahkarsaan orang Sunda sangat menonjol pada sifat

cepat menyerah. Selain cepat menyerah, orang Sunda juga sering dikatakan

sebagai tidak disiplin, gampang melanggar aturan, cepat bosan dan cepat

meninggalkan pekerjaan. Karena itu, kinerja orang Sunda di daerah transmigrasi

terbilang buruk.

Tabel 62 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan dominasi daerah asal dan stadia desa

Daerah Asal Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Jumlah

Jawa Tengah 17 23 33 21 94

(18.09) (24.47) (35.11) (22.34) (100.00)

Jawa Barat 3 11 5 1 20

(15.00) (55.00) (25.00) (5.00) (100.00)

Jawa Timur 3 7 3 1 14 (21.43) (50.00) (21.43) (7.14) (100.00)

Jambi 31 10 3 0 44 (70.45) (22.73) (6.82) (0.00) (100.00)

Jumlah 54 51 44 23 172 (31.40) (29.65) (25.58) (13.37) (100.00)

Sumber : Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010

6.5.2 Model Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi

Model regresi ordinal logit untuk determinan stadia perkembangan desa-

desa eks transmigrasi diberikan sebagai berikut:

eXXXXXXXXXXX

DDDDDD

DDDDDDDDj

77663.53.52.52.51.51.5

442.32.31.31.32.22.21.21.211)ln(

Page 227: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

201

di mana:

j = stadia perkembangan permukiman transmigrasi

j1 0 = stadia IV; 1 = stadia I

j2 0 = stadia IV; 1 = stadia II

j3 0 = stadia IV; 1 = stadia III

Θj = probabilitas (skor ≤ j)/(1 – probabilitas (skor ≤ j))

α = konstanta persamaan; β1…β7 = koefisien peubah dalam model

e = error term

X1 = Jarak desa dari ibukota kabupaten

X2 = Permukaan jalan antar desa terluas

X2.D1 0 = Aspal; 1 = Tanah

X2.D2 0 = Aspal; 1 = Perkerasan

X3 = Komoditi asal tanaman utama transmigran

X3.D1 0 = Karet; 1 = Pangan

X3.D2 0 = Karet; 1 = Kelapa Sawit

X4 = Rata-rata lama penempatan transmigran di desa tersebut (dalam tahun)

X5 = Dominasi daerah asal transmigran (lebih dari 50 persen penempatan)

X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah

X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat

X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur

X6 = Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten penempatan transmigrasi (10

tahun terakhir)

X7 = Rasio perusahaan/usaha (menengah/besar) per 1000 penduduk pada

kabupaten penempatan transmigrasi

1, 2.D1, 2.D2, 3.D1, 3.D2 < 0

5.D1, 5.D2, 5.D3 0

4, 6, 7 > 0

Uji Multikolinearitas

Uji asumsi klasik (normalitas, heterokedastistas dan autokorelasi) dalam

regresi metode OLS tidak dibutuhkan dalam regresi logistik. Meskipun demikian,

uji multikolinearitas antarpeubah bebas tetap diperlukan untuk menghindari bias

dalam estimasi koefisien.

Page 228: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

202

Uji multikolinearitas antar peubah bebas dari model dengan menggunakan

korelasi diberikan pada Lampiran 9. Dari Lampiran 9 terlihat bahwa nilai korelasi

peubah bebas relatif rendah (di bawah 0,85 (Widarjono 2009)). Dengan kata lain,

tidak terdapat masalah multikolinearitas dalam model.

Uji Overall Model Fit

Uji statistik untuk mengetahui apakah semua peubah bebas di dalam regresi

logistik secara serentak mempengaruhi peubah terikat sebagaimana uji F dalam

regresi linear didasarkan pada nilai statistik -2LL (-2Log Likelihood) atau nilai

LR. Uji serentak model logistik dihitung dari perbedaan nilai -2LL antara model

dengan hanya terdiri dari konstanta (intercept) dan model yang diestimasi yang

terdiri dari konstanta dan peubah bebas.

Hasil uji overall model fit dapat dilihat pada Tabel 63 berikut:

Tabel 63 Model fitting information stadia desa-desa eks transmigrasi

Model -2 Log Likelihood Chi-Square df Sig.

Hanya Konstanta 458.897

Konstanta dan Model 326.717 132.180 11 .000

Dari Tabel 63 memperlihatkan bahwa model hanya dengan konstanta

menghasilkan nilai -2LL sebesar 458,897, sedangkan jika peubah bebas X1 – X7

dimasukkan maka nilai -2LL turun menjadi 326,717 dan penurunan ini signifikan

pada 0,00 yang berarti model dengan peubah bebas lebih baik dibandingkan

model dengan konstanta saja. Dengan demikian juga dapat disimpulkan bahwa

secara bersama-sama peubah bebas mempengaruhi peubah terikat.

Estimasi Parameter dan Uji Parsial Model

Uji parsial dalam model logit (uji parsial koefisien regresi) menggunakan uji

statistika Wald, yang mengikuti distribusi Chi Square (χ2). Estimasi parameter

regresi model diberikan pada Tabel 64 berikut:

Page 229: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

203

Tabel 64 Estimasi parameter model determinan stadia desa eks transmigrasi

Peubah Estimasi Std. Error Wald df Sig. Exp(B) Keterangan Peubah

J1 1.001 1.771 0.320 1 0.572 2.721 Stadia I

J2 3.244 1.806 3.227 1 0.072 25.639 Stadia II

J3 5.513 1.831 9.067 1 0.003 247.891 Stadia III

X1 -0.018 0.006 9.927 1 0.002 0.983 Jarak Desa

X2.D1 -1.127 0.473 5.683 1 0.017 0.324 Jalan Tanah

X2.D2 -1.380 0.412 11.239 1 0.001 0.252 Jalan Perkerasan

X3.D1 -1.933 0.682 8.043 1 0.005 0.145 Komoditi Pangan

X3.D2 -0.023 0.418 0.003 1 0.956 0.977 Komoditi Sawit

X4 0.108 0.041 6.982 1 0.008 1.114 Lama penempatan

X5.D1 1.404 0.611 5.278 1 0.022 4.070 Dominasi asal Jateng

X5.D2 0.637 0.680 0.880 1 0.348 1.892 Dominasi asal Jabar

X5.D3 -0.169 0.793 0.045 1 0.831 0.844 Dominasi asal Jatim

X6 -0.096 0.220 0.192 1 0.661 0.908 Pert.ekonomi

X7 1.308 0.486 7.259 1 0.007 3.700 Rasio usaha

Jarak desa ke ibukota kabupaten menunjukkan pengaruh yang negatif

terhadap perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Semakin jauh jarak maka

akan semakin menurunkan probabilitas desa tersebut untuk mencapai

perkembangan stadia tertinggi. Dengan mengamati odd ratio dari Tabel 64 dapat

dikemukakan bahwa desa dengan jarak ke ibukota kabupaten 1 km lebih jauh dari

desa lainnya memiliki probabilitas 0,983 kali untuk mencapai stadia tertinggi

dibandingkan desa yang lebih dekat. Dengan kata lain, desa-desa yang berjarak

lebih jauh memiliki peluang yang lebih rendah dalam pencapaian stadia tertinggi.

Kondisi permukaan jalan yang menghubungkan desa memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap pencapaian stadia tertinggi. Desa-desa yang memiliki

permukaan jalan tanah (X2.D1) memiliki probabilitas 0,324 kali sedangkan desa-

desa dengan permukaan jalan perkerasan (X2.D2) memiliki probabilitas 0,252 kali

untuk mencapai stadia tertinggi jika dibandingkan dengan desa-desa dengan

permukaan jalan aspal (referensi). Dengan kata lain, desa dengan permukaan jalan

tanah dan perkerasan memiliki peluang yang lebih rendah dalam pencapaian

stadia tertinggi dibandingkan desa dengan permukaan jalan aspal.

Hasil ini menunjukkan bahwa lokasi-lokasi dengan tingkat keterkaitan yang

kuat dengan pusat pertumbuhan/kegiatan (yang secara umum digambarkan oleh

Page 230: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

204

jarak yang relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan (aksesibilitas) tinggi

menuju lokasi desa memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai

stadia/kinerja tinggi. Sebagaimana yang dikemukakan Priyono et al. (2002),

berkembangnya lokasi permukiman transmigrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

prasarana jalan dan jarak ke pusat-pusat perekonomian baik di ibukota kecamatan,

kabupaten maupun provinsi. Apabila kondisi jalan baik akan sangat membantu

dalam pemasaran hasil-hasil produksi lokasi transmigrasi dan menekan tingginya

harga kebutuhan masyarakat, sehingga kawasan akan lebih cepat berkembang.

Selanjutnya, tidak terdapat perbedaan peluang untuk mencapai stadia

tertinggi antara desa dengan komoditi tanaman utama karet (X3.D2) dengan

komoditi tanaman utama kelapa sawit (referensi). Ini ditunjukkan oleh tidak

signifikannya koefisien dalam model. Namun demikian, peluang tersebut berbeda

secara signifikan dengan desa komoditi tanaman pangan (X3.D1). Dari odds

rationya memperlihatkan bahwa peluang desa-desa dengan komoditi tanaman

pangan adalah 0,145 kali untuk mencapai stadia tertinggi dibandingkan desa

dengan komoditi utama kelapa sawit. Dengan kata lain, peluang desa dengan

komoditi tanaman pangan untuk mencapai stadia tertinggi lebih rendah

dibandingkan desa dengan komoditi kelapa sawit.

Dibandingkan dengan tanaman perkebunan, hasil-hasil pertanian tanaman

pangan memiliki nilai jual produk yang relatif kurang menguntungkan

dibandingkan tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit). Ini menyebabkan

tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa dengan komoditi tanaman pangan

juga relatif lebih rendah dibandingkan desa-desa dengan komoditi tanaman

perkebunan. Kondisi ini juga diperburuk oleh kenyataaan tingkat perawatan

sistem pengairan (khususnya pada tanaman padi) serta banyaknya lokasi desa-

desa tanaman pangan yang dilanda banjir (sebagian desa-desa ini berada di

dataran rendah).

Lama penempatan transmigran (X4) berpengaruh signifikan positif terhadap

pencapaian stadia tertinggi. Desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki

peluang yang lebih besar untuk mencapai stadia tertinggi. Dengan mengamati

odds ratio dapat dikemukakan bahwa desa dengan penempatan lebih lama satu

Page 231: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

205

tahun memiliki probabilitas 1,114 kali untuk mencapai stadia tertinggi

dibandingkan dengan desa dengan penempatan yang lebih baru.

Lama penempatan ini terkait dengan proses penyesuaian transmigran

terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan

peluang untuk peningkatan kesejahteraan. Semakin lama transmigran di lokasi,

maka semakin besar proses penyesuaian diri yang dilakukannya.

Tidak terdapat perbedaan peluang antara desa dengan dominasi daerah asal

Jawa Barat (X5.D2) dan Jawa Timur (X5.D3) dalam hal pencapaian stadia tertinggi

jika dibandingkan desa dengan dominasi daerah asal Jambi (referensi). Hal ini

ditunjukkan oleh tidak signifikannya koefisien kedua peubah tersebut. Namun

demikian, desa-desa dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah (X5.D1) memiliki

peluang lebih tinggi 4,070 kali dibandingkan desa-desa dengan dominasi daerah

asal Jambi.

Selanjutnya dalam hal kinerja wilayah kabupaten, terlihat bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan dari pertumbuhan ekonomi (X6) terhadap

perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Sebaliknya rasio perusahaan/usaha per

1000 penduduk (X7) memperlihatkan pengaruh yang signifikan positif. Ini

menunjukkan bahwa semakin banyak perusahaan/usaha yang berkembang di

kabupaten lokasi desa eks transmigrasi akan meningkatkan peluang untuk

mencapai perkembangan stadia tertinggi. Dengan mengamati odds ratio dapat

dikemukakan bahwa kabupaten dengan rasio perusahaan/usaha per 1000

penduduk lebih banyak 1 satuan dibandingkan kabupaten lainnya, maka peluang

desa-desa eks transmigrasi di wilayahnya memiliki probabilitas 3,700 kali untuk

mencapai stadia tertinggi dibandingkan desa-desa di kabupaten lainnya tersebut.

Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah pada dasarnya terkait dengan

peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Semakin

banyak perusahaan/usaha pada semakin besar peluang penduduk untuk

mendapatkan pekerjaan dan semakin tinggi kesejahteraan mereka.

Page 232: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

206

Page 233: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

VII. KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK DAN KETERKAITAN DESA EKS TRANSMIGRASI DENGAN

WILAYAH SEKITARNYA

7.1 Gambaran Umum Desa Sampel Penelitian Berdasarkan perhitungan stadia desa-desa eks transmigrasi yang telah

dikemukakan sebelumnya, maka ditetapkan enam sampel desa, yaitu masing-

masing satu sampel desa untuk stadia terendah dan tertinggi pada masing-masing

komoditi tanaman utama. Pengambilan sampel dilakukan dalam rangka

mendapatkan gambaran kondisi sosial-ekonomi penduduknya dan keterkaitan

desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya .

Desa sampel dan jumlah keluarga sampel diberikan pada Tabel 65 berikut:

Tabel 65 Distribusi sampel keluarga pada desa penelitian, Tahun 2011

No Nama Desa/Kel

Kecamatan Kabupaten Komoditi Utama

Stadia Jumlah Keluarga

Jumlah Sampel

1 Mekar sari

Kumpeh Ilir

Muaro Jambi

Padi Rendah (I) 749 38

2 Bandar Jaya

Rantau Rasau

Tanjab Timur

Padi Tinggi (III)* 1048 52

3 Bukit Mas

Sungai Bahar

Muaro Jambi

Kelapa Sawit

Rendah (I) 384 19

4 Rasau Renah Pamenang

Merangin Kelapa Sawit

Tinggi (IV) 765 38

5 Sungkai Bajubang Batanghari Karet Rendah (I) 272 14

6 Rimbo Mulyo

Rimbo Bujang

Tebo Karet Tinggi (IV) 1660 83

Jumlah 4878 244 Keterangan: * = berdasarkan perhitungan stadia desa pada bab sebelumnya, stadia tertinggi untuk

desa komoditi tanaman pangan hanya mencapai stadia III

7.1.1 Desa Mekar Sari Desa Mekar Sari merupakan salah satu dari sebelas desa/kelurahan yang ada

di Kecamatan Kumpeh Ilir Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi. Luas wilayah

Desa Mekar Sari adalah 23,2 km2 dengan batas-batas administratif:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Betung

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pulau Mentaro dan Desa Puding

Page 234: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

208

- Sebelah Barat berbatasan dengan Tangkit Baru (Kec.Kumpeh Ulu),

Pemunduran (Kec.Kumpeh Ulu) Teluk Raya (Kec. Kumpeh Ulu)

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rukam.

Lokasi penelitian Desa Mekar Sari diberikan pada Gambar 14 berikut:

Gambar 15 Lokasi penelitian Desa Mekar Sari.

Dari sisi aksesibilitas, desa ini berjarak sekitar 75 km dari ibukota

Kabupaten Muaro Jambi (Sengeti) dan berjarak sekitar 45 km dari ibukota

Provinsi Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya, berdasarkan sejarah ketransmigrasian-

nya, Desa Mekar Sari merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT)

Kumpeh yaitu Unit II Kumpeh. Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini

adalah pada Tahun 1984, dengan jumlah penempatan sebanyak 500 kepala

keluarga (KK) dengan 2693 jiwa. Transmigran tersebut berasal dari Jawa Barat

(54 KK), Jawa Tengah (70 KK), Jawa Timur (70 KK) dan APPDT (306 KK)

Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di

Desa Mekar Sari adalah tanaman padi (Transmigrasi Umum Tanaman Pangan).

Namun demikian, pada saat ini sebagian sudah beralih fungsi ke tanaman-

tanaman perkebunan seperti karet, sawit dan cokelat. Penyebab utamanya selain

Mekar Sari

TANJABTIM

Page 235: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

209

karena harga produk pertanian (padi) yang tidak memadai, desa ini setiap tahun

selalu dilanda banjir sehingga penduduk tidak dapat melakukan aktivitas

bertanam. Pada saat penelitian dilakukan, lahan-lahan yang masih berfungsi

sebagai lahan sawah sudah terendam banjir sejak tujuh bulan yang lalu.

Desa Mekar Sari menjadi desa definitif pada Tahun 1992. Jumlah penduduk

pada saat ini sebanyak 2802 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 749 KK. Dengan

kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang satu setengah kali lipat

dibandingkan dengan jumlah KK penempatan. Penambahan ini selain disebabkan

karena pecahan KK (dari generasi kedua transmigran yang telah menikah dan

memiliki keluarga sendiri), juga disebabkan adanya pendatang yang menetap dan

bekerja di desa ini.

Fasilitas pendidikan yang tersedia di daerah ini baru pada jenjang

pendidikan TK dan SD, dan belum terdapat fasilitas untuk pendidikan SLTP dan

SLTA. Untuk mencapai SLTP terdekat, siswa di desa ini harus menempuh jarak

sekitar 3 km, sedangkan untuk mencapai SLTA terdekat harus menempuh jarak

sekitar 6 km. Selanjutnya, fasilitas kesehatan yang tersedia berupa Puskesmas

Pembantu, praktek bidan, Poskesdes, Polindes dan Posyandu.

Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia relatif terbatas. Fasilitas

yang ada hanyalah koperasi dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk

dan belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen), kelompok pertokoan

maupun kios sarana produksi pertanian.

7.1.2 Kelurahan Bandar Jaya Kelurahan Bandar Jaya merupakan salah satu dari sebelas desa/kelurahan

yang ada di Kecamatan Rantau Rasau Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi

Jambi, dan sekaligus berfungsi sebagai ibukota kecamatan. Daerah ini merupakan

daerah dataran rendah dan pasang surut dengan ketinggian 1 – 2 meter dari

permukaan laut.

Luas wilayah Kelurahan Bandar Jaya adalah 18 km2 dengan batas-batas

administratif:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rantau Rasau II dan Desa

Pematang Mayan

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rawasari (Kec.Berbak)

Page 236: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

210

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Marga Mulya

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bangun Karya dan Desa Harapan

Makmur.

Peta lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya diberikan pada Gambar 15

berikut:

Gambar 16 Lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya.

Dari sisi aksesibilitas, Kelurahan Bandar Jaya berjarak sekitar 60 km dari

ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Muara Sabak) dengan waktu tempuh

sekitar 120 menit, dan berjarak sekitar 200 km dari ibukota Provinsi Jambi (Kota

Jambi) dengan waktu tempuh sekitar 160 menit. Daerah ini berada di seberang

Sungai Batanghari dari ibukota kabupaten maupun provinsi, sehingga untuk

mencapai ibukota kabupaten maupun provinsi harus menggunakan campuran

moda transportasi darat dan sungai.

Berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Kelurahan Bandar Jaya

merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Rantau Rasau yaitu

Unit III Rantau Rasau.Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah

pada Tahun 1970, dengan jumlah penempatan sebanyak 573 KK (2693 jiwa).

Bandar Jaya

Page 237: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

211

Transmigran tersebut berasal dari Jawa Barat (125 KK), Jawa Tengah (322 KK),

DIY (125 KK), dan Jawa Timur (1 KK).

Awalnya, komoditi tanaman utama yang dikembangkan program

transmigrasi di daerah ini adalah tanaman pangan padi (Transmigrasi Umum

Tanaman Pangan). Namun demikian, karena kerusakan yang terjadi pada fungsi

pengairan, berkurangnya kesuburan lahan, terjadinya bencana alam berupa

kebakaran lahan gambut di daerah ini serta faktor harga produk pertanian (padi)

yang tidak memadai menyebabkan pertanian tanaman padi dirasakan penduduk

tidak lagi layak secara ekonomis. Oleh karenanya sejak Tahun 2001 penduduk

mulai beralih ke komoditi perkebunan yaitu tanaman karet, kelapa sawit dan

pinang. Pada saat penelitian, hampir tidak ditemukan lahan padi sawah di desa ini.

Kelurahan Bandar Jaya berkembang menjadi desa definitif pada Tahun

1980. Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 4078 jiwa dengan jumlah KK

sebanyak 1048 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang

hampir dua kali lipat (1,83 kali) dibandingkan dengan jumlah KK penempatan.

Perkembangan daerah ini juga terlihat dari ketersediaan berbagai fasilitas

yang mendukung kebutuhan penduduk. Di bidang pendidikan, terdapat fasilitas

mulai dari jenjang pendidikan TK sampai SMU. Di bidang kesehatan, terdapat

sarana kesehatan berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan dan posyandu.

Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa kios sarana produksi

pertanian, koperasi, dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk. Belum

tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen) maupun kelompok pertokoan.

7.1.3 Desa Bukit Mas Desa Bukit Mas merupakan salah satu dari dua puluh empat desa/kelurahan

yang ada di Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi. Luas wilayah

Desa Bukit Mas adalah 13,58 km2 dengan batas-batas administratif:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Marga

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Trijaya

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Batanghari

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bukit Makmur dan Desa Rantau

Harapan.

Peta lokasi penelitian Desa Bukit Mas diberikan pada Gambar 16 berikut:

Page 238: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

212

Gambar 17 Lokasi penelitian Desa Bukit Mas.

Dari sisi aksesibilitas, desa ini berjarak sekitar 110 km dari ibukota

Kabupaten Muaro Jambi (Sengeti), dan berjarak sekitar 90 km dari ibukota

Provinsi Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya, berdasarkan sejarah

ketransmigrasiannya, Desa Bukit Mas merupakan salah satu unit pemukiman

transmigrasi (UPT) Sungai Bahar yaitu Unit XVIII Sungai Bahar.Tahun awal

penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada Tahun 1995, dengan jumlah

penempatan sebanyak 550 KK (2367 jiwa). Transmigran tersebut berasal dari

DKI Jakarta (82 KK), Jawa Barat (48 KK), Jawa Tengah (47 KK), DIY (65 KK),

Jawa Timur (33 KK), APPDT (108 KK) TNKS (110 KK), Kota Jambi (44 KK),

dan ABRI (13 KK).

Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di Desa

Bukit Mas adalah tanaman kelapa sawit (PIRTRANS Kelapa Sawit). Sampai saat

ini, penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi utama di

desanya.

Desa Bukit Mas berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 2005.

Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 1324 jiwa dengan jumlah KK sebanyak

Bukit Mas

Page 239: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

213

384 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di desa ini telah berkurang dibandingkan

dengan jumlah awal penempatan yang sebanyak 550 KK.

Daerah ini relatif kurang berkembang jika dilihat dari ketersediaan fasilitas

pendukung kebutuhan penduduknya. Di bidang pendidikan umum, di daerah ini

baru terdapat fasilitas setingkat SD. Meskipun demikian, untuk sekolah agama

sudah tersedia setingkat SLTP (MTs). Untuk mencapai SLTP umum terdekat,

siswa di desa ini harus menempuh jarak sekitar 4 km, sedangkan untuk mencapai

SLTA terdekat harus menempuh jarak sekitar 12 km. Selanjutnya, fasilitas

kesehatan yang tersedia berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan dan

Posyandu.

Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa koperasi, dan

warung/toko di sekitar permukiman penduduk (dengan jumlah yang sangat

terbatas). Di desa ini belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen)

maupun kelompok pertokoan maupun kios sarana produksi pertanian.

7.1.4 Desa Rasau Desa Rasau merupakan salah satu dari empat desa/kelurahan yang ada di

Kecamatan Renah Pamenang Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Luas wilayah

Desa Rasau adalah 16,8 km2 dengan batas-batas administratif:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rejosari (Kec. Pamenang)

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lantak Seribu dan Desa

Tambang Mas (Kec. Pamenang Selatan)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Meranti

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pinang Merah (Kec. Pamenang

Barat) dan Desa Sialang (Kec. Pamenang).

Peta lokasi penelitian Desa Rasau diberikan pada Gambar 17 berikut:

Page 240: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

214

Gambar 18 Lokasi penelitian Desa Rasau.

Dari sisi aksesibilitas, desa ini berjarak sekitar 30 km dari ibukota

Kabupaten Merangin (Bangko), dan berjarak sekitar 220 km dari ibukota Provinsi

Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Desa

Rasau merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Pamenang yaitu

Unit IV Pamenang. Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada

Tahun 1979, dengan jumlah penempatan sebanyak 415 KK (1899 jiwa).

Transmigran tersebut berasal dari Jawa Tengah (373 KK), APPDT (42 KK) dan

Jawa Timur (26 KK)

Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di

daerah ini adalah tanaman kelapa sawit (Transmigrasi Umum Pola Perkebunan).

Sampai saat ini, penduduk masih mengusahakan tanaman sawit sebagai komoditi

utama di desanya.

Desa Rasau berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 1987. Jumlah

penduduk pada saat ini sebanyak 2724 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 765 KK.

Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang hampir dua kali lipat

(1,84 kali) dibandingkan dengan jumlah KK penempatan.

Rasau

Page 241: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

215

Di bidang pendidikan, di desa ini terdapat fasilitas mulai dari jenjang

pendidikan TK sampai SLTA. Di bidang kesehatan, terdapat sarana kesehatan

berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan, poskesdes, dan Posyandu.

Selanjutnya, di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa pasar,

kelompok pertokoan, kios sarana produksi pertanian, koperasi, dan warung/toko

di sekitar permukiman penduduk.

7.1.5 Desa Sungkai Desa Sungkai merupakan salah satu dari sembilan desa/kelurahan yang ada

di Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Luas wilayah

Desa Sungkai adalah 42,2 km2 dengan batas-batas administratif:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bungku

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bungku

- Sebelah Utara berbatasan dengan berbatasan dengan Desa Mekar Jaya,

Pompa Air dan Ladang Peris.

Peta lokasi penelitian Desa Sungkai diberikan pada Gambar 18 berikut:

Gambar 19 Lokasi penelitian Desa Sungkai.

Sungkai

Page 242: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

216

Dari sisi aksesibilitas, daerah ini berjarak sekitar 30 km dari ibukota

Kabupaten Batanghari (Muara Bulian) dan berjarak sekitar 90 km dari ibukota

Provinsi Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya berdasarkan sejarah ketransmigrasian-

nya, Desa Sungkai merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT)

Kilangan yaitu Unit II Kilangan.Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini

adalah pada Tahun 1984, dengan jumlah penempatan sebanyak 265 KK (1283

jiwa). Transmigran tersebut berasal dari Jawa Tengah (47 KK), Jawa Timur (59

KK) dan APPDT (159 KK)

Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di

daerah ini adalah tanaman karet (Transmigrasi Umum Tanaman Perkebunan).

Sampai saat ini, penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi

utama di desanya.

Desa Sungkai menjadi desa definitif pada Tahun 1992. Jumlah penduduk

pada saat ini sebanyak 935 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 272 KK. Dengan

kata lain, jumlah KK di daerah ini relatif sama dengan kondisi pada saat

penempatan.

Fasilitas pendidikan yang tersedia di Desa Sungkai adalahadalah pada

jenjang SD dan SLTP, dan tidak terdapat fasilitas untuk pendidikan TK dan

SLTA. Untuk mencapai TK dan SLTA terdekat, siswa di desa ini harus

menempuh jarak sekitar 15 km. Selanjutnya, fasilitas kesehatan yang tersedia

berupa Puskesmas Pembantu dan Posyandu.

Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia relatif terbatas. Fasilitas

yang ada hanyalah koperasi dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk

dan belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen), kelompok pertokoan

maupun kios sarana produksi pertanian,

7.1.6 Desa Rimbo Mulyo Desa Rimbo Mulyo merupakan salah satu dari delapan desa/kelurahan yang

ada di Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Luas wilayah

Desa Rimbo Mulyo adalah 55,5 km2 dengan batas-batas administratif:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tirta Kencana, Sapta Mulia dan

Pematang Sapat

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bungo

Page 243: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

217

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Suka Maju (Kec. Rimbo Ulu)

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Wirotho Agung dan Desa

Suka Damai (Kec.Rimbo Ulu).

Peta lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo diberikan pada Gambar 19

berikut:

Gambar 20 Lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo.

Dari sisi aksesibilitas, Desa Rimbo Mulyo berjarak sekitar 112 km dari

ibukota Kabupaten Tebo (Muara Tebo), dan berjarak sekitar 320 km dari ibukota

Provinsi Jambi (Kota Jambi). Secara geografis, pada dasarnya desa ini relatif lebih

dekat ke ibukota Kabupaten Bungo (kabupaten induk dari Kabupaten Tebo

sebelum pemekaran) yaitu hanya sekitar 25 km.

Berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Desa Rimbo Mulyo merupakan

salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Rimbo Bujang yaitu Unit III

Rimbo Bujang. Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada

Tahun 1976, dengan jumlah penempatan sebanyak 500 KK (2135 jiwa).

Transmigran tersebut berasal dari Jawa Tengah (474 KK) dan Jawa Timur (26

KK)

Rimbo Mulyo

Page 244: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

218

Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di desa

ini adalah tanaman karet (Transmigrasi Umum Pola Perkebunan). Sampai saat ini,

penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi utama di

desanya.

Desa Rimbo Mulyo berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 1981.

Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 6080 jiwa dengan jumlah KK sebanyak

1660 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang lebih dari

tiga kali lipat (3,32 kali) dibandingkan dengan jumlah KK penempatan.

Di bidang pendidikan, di daerah ini terdapat fasilitas mulai dari jenjang

pendidikan TK sampai SLTP, sedangkan untuk SLTA terdekat berjarak sekitar 6

km dari desa. Selanjutnya, di bidang kesehatan, di daerah ini terdapat sarana

kesehatan berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan, poskesdes, dan posyandu.

Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa kios sarana produksi

pertanian, kelompok pertokoan, koperasi, dan warung/toko di sekitar permukiman

penduduk. Di desa ini belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen).

7.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk 7.2.1 Karakteristik Kepala Keluarga

Perilaku dan keputusan-keputusan yang diambil keluarga pada dasarnya

merupakan hasil interaksi pribadi-pribadi yang ada dalam keluarga. Meskipun

demikian, dalam satu keluarga, peranan kepala keluarga sangat besar dalam

menentukan perilaku dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Karenanya

dapat dipahami bahwa karakteristik kepala keluarga dapat mempengaruhi pola

hidup keluarganya, yang kemudian juga dapat mempengaruhi kesejahteraan

mereka.

Berdasarkan hal tersebut, untuk memberikan pemahaman mengenai kondisi

sosial ekonomi penduduk pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi,

berikut ini diberikan karakteristik kepala keluarga sebagai berikut:

Daerah Asal

Menurut daerah asal, sebagian besar kepala keluarga berasal dari Provinsi

Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari total sampel, 61,48

persen adalah kepala keluarga yang berasal dari Jawa Tengah dan DIY, diikuti

oleh kepala keluarga yang berasal dari Provinsi Jambi (22,54 persen). Sisanya

Page 245: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

219

adalah mereka yang berasal dari Jawa Barat (6,56 persen), Jawa Timur (5,33

persen) dan daerah-daerah lainnya (4,10 persen) seperti Bali, Lampung, Sumatera

Selatan, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Dominasi kepala keluarga yang

berasal dari Jawa Tengah dan DIY ini pada dasarnya sesuai dengan karakteristik

awal daerah asal penempatan transmigran di Provinsi Jambi umumnya dan

khususnya pada keenam desa sampel penelitian.

Selanjutnya, secara terperinci gambaran daerah asal kepala keluarga pada

masing-masing desa diberikan pada Tabel 66 berikut:

Tabel 66 Persentase kepala keluarga menurut daerah asal pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Provinsi asal Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-

rata Mekar Sari

Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata- rata

Jawa Barat 10.53 10.53 0.00 8.45 15.79 7.69 0.00 5.78 6.56

Jawa Tengah 47.37 36.84 64.29 47.89 60.53 55.77 77.11 67.05 61.48

Jawa Timur 0.00 10.53 14.29 5.63 0.00 9.62 4.82 5.20 5.33

Jambi 42.11 26.32 21.43 33.80 15.79 23.08 15.66 17.92 22.54

Lainnya 0.00 15.79 0.00 4.23 7.89 3.85 2.41 4.05 4.10

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Dikaitkan dengan pencapaian stadia dapat dikemukakan bahwa desa-desa

dengan stadia tinggi (Bandar Jaya, Rasau dan Rimbo Mulyo) cenderung memiliki

transmigran lokal (asal Jambi) yang lebih sedikit dibandingkan desa-desa dengan

stadia rendah (Mekar Sari, Bukit Mas dan Sungkai). Secara total ketiga desa

stadia tinggi tersebut memiliki proporsi transmigran lokal hanya 17,92 persen

sedangkan pada desa stadia rendah mencapai 33,81 persen. Ini menunjukkan

bahwa proses transfer teknologi dan budaya kerja dari transmigran asal Jawa pada

transmigran lokal (transmigran asal Jambi) tidak berjalan sebagaimana yang

diharapkan, sehingga desa-desa dengan lebih banyak transmigran asal Jambi

cenderung tertahan pada stadia yang rendah.

Selain itu, penelitian lapangan menunjukkan bahwa banyak transmigran

lokal (transmigran asal Jambi) ketika sudah mulai berhasil, tidak lagi bertempat

tinggal di lokasi transmigran Umumnya mereka pindah ke ibukota

kabupaten/provinsi dan menyerahkan pengelolaan lahannya pada buruh tani.

Page 246: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

220

Status Ketransmigrasian

Berdasarkan status ketransmigrasian kepala keluarga yang dibedakan atas

generasi pertama (transmigran awal) dengan generasi kedua (anak-anak

transmigran) ataupun penduduk pendatang non transmigran, dapat dikemukakan

bahwa hanya kurang separuh (40,16 persen) dari kepala keluarga pada desa-desa

eks-transmigrasi yang merupakan generasi pertama. Sebagian besar lainnya

(59,89 persen) merupakan generasi kedua atau penduduk non-transmigran.

Kondisi ini disebabkan sudah relatif lamanya penempatan transmigran pada

desa-desa sampel yang mencapai rata-rata 30 Tahun, sehingga banyak

transmigran awal yang sudah meninggal. Selain itu, terdapat juga transmigran

awal yang kembali ke daerah asal baik karena ketidakmampuan menghadapi

kondisi di daerah transmigrasi maupun mereka yang berhasil dan kemudian

kembali ke daerah asal untuk berinvestasi.

Status ketransmigrasian kepala keluarga di desa-desa eks transmigrasi

diberikan pada Tabel 67 berikut:

Tabel 67 Persentase kepala keluarga menurut status ketransmigrasian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Status transmigrasi

Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar

Sari Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Generasi Pertama 57.89 68.42 57.14 60.56 31.58 34.62 30.12 31.79 40.16

Generasi Kedua 42.11 31.58 42.86 39.44 68.42 65.38 69.88 68.21 59.84

N (sampel) 38 19 14 71 38 52 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Selanjutnya, jika dilihat secara lebih terperinci, desa-desa dengan stadia

tinggi umumnya ditempati oleh generasi kedua/pendatang non-transmigran,

dengan proporsi mencapai 68,21 persen. Ketiga desa yang tergolong stadia tinggi

ini memang merupakan desa dengan penempatan yang paling lama dibandingkan

desa-desa sampel lainnya. Penempatan transmigran di Bandar Jaya dimulai pada

Tahun 1970, di Rimbo Mulyo Tahun 1976 dan Desa Rasau Tahun 1979.

Sebaliknya, proporsi generasi kedua/pendatang non-transmigran pada desa-desa

stadia rendah hanya 39,44 persen. Penempatan transmigran pada desa-desa stadia

rendah ini relatif lebih baru dibandingkan desa-desa stadia tinggi. Penempatan

Page 247: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

221

transmigran di Desa Bukit Mas ini dimulai pada Tahun 1995 sedangkan Mekar

Sari dan Sungkai pada Tahun 1984.

Umur

Umur berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap

perilaku dan pola pengambilan keputusan individu. Pengaruh umur ini dapat

dikaitkan dari sisi pengalaman maupun dari sisi kedewasaan berpikir yang

menyertai peningkatan umur seseorang.

Rata-rata umur kepala keluarga pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi

Jambi relatif bervariasi, dengan rata-rata umur 42.4 Tahun. Dilihat dari kelompok

umurnya, dapat dikemukakan bahwa kepala keluarga berada pada usia-usia

produktif. Hanya 9,43 persen yang berada pada usia tidak produktif (60 Tahun ke

atas). Selain itu, dari sisi umur sebagian besar kepala rumah tangga sudah berada

pada kelompok usia yang cukup matang di dalam menghadapi kehidupan rumah

tangga, terutama ditinjau dari pengalaman berumah tangga.

Tabel 68 Persentase kepala keluarga menurut kelompok umur pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Kelompok umur (tahun)

Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar

Sari Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

20 - 29 18.42 15.79 0.00 14.08 10.53 21.15 13.25 15.03 14.75

30 - 39 28.95 31.58 50.00 33.80 26.32 17.31 34.94 27.75 29.51

40 - 49 15.79 21.05 14.29 16.90 34.21 28.85 24.10 27.75 24.59

50 - 59 23.68 26.32 21.43 23.94 18.42 25.00 19.28 20.81 21.72

60+ 13.16 5.26 14.29 11.27 10.53 7.69 8.43 8.67 9.43

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244

Rata-Rata Umur 42.2 40.9 42.5 41.9 43.9 43.1 41.7 42.6 42.4 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

keputusan seseorang dalam berbagai hal bidang kehidupan. Semakin tinggi

pendidikan kepala keluarga maka semakin tinggi juga kemampuannya dalam

Page 248: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

222

mengambil keputusan dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada

dalam rangka meningkatkan pendapatan.

Secara keseluruhan pendidikan kepala keluarga pada desa-desa eks

transmigrasi relatif rendah. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa 73,77 persen

diantaranya hanya berpendidikan tamat SLTP ke bawah. Sebaliknya, kepala

rumah tangga yang berpendidikan SLTA ke atas hanya 26,13 persen.

Pencapaian stadia tinggi untuk desa-desa eks transmigrasi juga terlihat

dipengaruhi oleh pendidikan kepala keluarga. Pada desa-desa stadia tinggi, tingkat

pendidikan kepala keluarga relatif lebih baik (50,29 persen berpendidikan SLTP

ke atas) dibandingkan desa-desa dengan stadia rendah (47,89 persen

berpendidikan SLTP ke atas).

Tabel 69 Persentase kepala keluarga menurut tingkat pendidikan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Pendidikan Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-

rata Mekar Sari

Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Tdk sekolah 5.26 0.00 7.14 4.23 5.26 3.85 2.41 3.47 3.69

Tdk tmt SD 18.42 15.79 7.14 15.49 5.26 13.46 9.64 9.83 11.48

SD 34.21 26.32 35.71 32.39 23.68 23.08 50.60 36.42 35.25

SLTP 15.79 26.32 28.57 21.13 21.05 25.00 25.30 24.28 23.36

SLTA 21.05 31.58 14.29 22.54 31.58 17.31 10.84 17.34 18.85

Akad/ PT 5.26 0.00 7.14 4.23 13.16 17.31 1.20 8.67 7.38

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Karakteristik Pekerjaan

Dari sisi lapangan pekerjaan utama, bagian terbesar (62,70 persen) kepala

keluarga berstatus sebagai petani dan sisanya (37,30 persen) adalah kepala

keluarga dengan lapangan pekerjaan utama sebagai buruh tani, buruh/pekerja non-

pertanian, dan usaha sendiri (wiraswasta) baik pada perdagangan maupun industri

kecil. Selanjutnya berdasarkan stadia desa terlihat bahwa secara rata-rata kepala

keluarga pada desa stadia tinggi relatif lebih dominan sebagai petani pemilik

dibandingkan pada desa-desa stadia rendah. Pada desa stadia tinggi, 65,90 persen

Page 249: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

223

dari kepala keluarga berstatus sebagai petani pemilik sedangkan pada desa stadia

rendah sebesar 54,93 persen.

Selain itu, Tabel 66 juga memperlihatkan relatif lebih tingginya persentase

kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh tani dan pekerja non-pertanian pada

desa stadia rendah dibandingkan desa stadia tinggi. Ini merupakan implikasi dari

kenyataan relatif rendahnya kepemilikan dan sempitnya lahan yang dimiliki

keluarga pada desa-desa stadia rendah (lihat Tabel 73). Pekerjaan-pekerjaan

tersebut dilakukan baik di desa sendiri maupun di luar desa. Sebaliknya pada desa

stadia tinggi memperlihatkan relatif tingginya kepala keluarga yang berwiraswasta

(memiliki usaha sendiri). Kecenderungan ini terjadi karena untuk memiliki usaha

sendiri membutuhkan modal yang umumnya relatif lebih tersedia pada keluarga-

keluarga di desa stadia tinggi.

Tabel 70 Persentase kepala keluarga menurut lapangan pekerjaan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Pekerjaan utama

Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar

Sari Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Petani 50.00 57.89 64.29 54.93 55.26 78.85 62.65 65.90 62.70

Buruh Tani 10.53 31.58 21.43 18.31 10.53 0.00 28.92 16.18 16.80 Pekerja Non-Pertanian 36.84 10.53 7.14 23.94 18.42 13.46 2.41 9.25 13.52

Wiraswasta 2.63 0.00 7.14 2.82 15.79 7.69 6.02 8.67 6.97

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Selain memiliki pekerjaan utama, sebagian kepala keluarga juga memiliki

pekerjaan tambahan/sampingan. Terdapat lebih seperempat (28,28 persen) dari

kepala keluarga yang memiliki pekerjaan tambahan/sampingan.

Pekerjaan tambahan/sampingan ini diperlukan keluarga karena penghasilan

yang diperoleh dari pekerjaan utamanya, tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup

minimal keluarga. Selain itu, pekerjaan tambahan/sampingan juga dibutuhkan

keluarga karena sebagian dari pekerjaan-pekerjaan utama mereka (sebagai

petani/buruh tani) relatif rentan terhadap faktor musim. Pada musim-musim

tertentu (misalnya musim hujan), petani/buruh tani tidak dapat bekerja sehingga

mereka sama sekali kehilangan sumber pendapatan dari mata pencaharian ini.

Page 250: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

224

Kepemilikan pekerjaan sampingan ini lebih dominan pada desa-desa stadia

rendah dibandingkan stadia tinggi. Pada desa stadia rendah ini, terutama di Desa

Mekar Sari, lebih separuh (60,53 persen) kepala keluarga di desa ini memiliki

pekerjaan sampingan. Hal ini disebabkan, lahan pertanian (sawah) yang dimiliki

sering mengalami banjir sehingga mereka tidak beraktivitas pada lahan tersebut.

Sebagai catatan, pada saat penelitian, lahan sawah di desa ini sudah terendam

banjir lebih dari tujuh bulan terakhir.

Secara terperinci, gambaran distribusi lapangan pekerjaan sampingan kepala

keluarga di di daerah penelitian diberikan pada Tabel 71 berikut:

Tabel 71 Persentase kepala keluarga menurut kepemilikan pekerjaan sampingan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Pekerjaan sampingan

Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar

Sari Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Memiliki 60.53 26.32 0.00 39.44 36.84 26.92 15.66 23.70 28.28

Tidak Memiliki 39.47 73.68 100.0 60.56 63.16 73.08 84.34 76.30 71.72

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa waktu kerja normal adalah sampai dengan 40

jam seminggu. Berdasarkan klasifikasi ini, dapat dikemukakan bahwa terdapat

40,20 persen kepala keluarga yang bekerja di atas jam kerja normal.

Tabel 72 Persentase kepala keluarga menurut kelompok jam kerja pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Jam kerja Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-

rata Mekar Sari

Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

< 14 5.26 21.05 0.00 8.45 5.26 0.00 3.61 2.89 4.51

14 - 34 18.42 26.32 57.14 28.17 21.05 63.46 31.33 38.73 35.66

35 - 40 0.00 26.32 28.57 12.68 18.42 19.23 25.30 21.97 19.26

41 - 54 60.53 21.05 14.29 40.85 39.47 9.62 32.53 27.17 31.15

55+ 15.79 5.26 0.00 9.86 15.79 7.69 7.23 9.25 9.43

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Page 251: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

225

Besarnya proporsi kepala keluarga yang bekerja di atas jam kerja normal ini

merupakan strategi yang diambil terutama oleh buruh tani ataupun pemilik lahan

sempit (dan bekerja sampingan sebagai buruh tani pada lahan petani lain) untuk

bertahan hidup. Secara keseluruhan, strategi alokasi jam kerja panjang ini

terutama terlihat di desa-desa stadia rendah, di mana lebih dari separuh kepala

keluarga memiliki jam kerja di atas jam kerja normal. Fakta ini juga terkait

dengan lapangan pekerjaan utama kepala keluarga di desa stadia rendah ini,

dengan proporsi relatif kecil sebagai petani pemilik lahan.

7.2.2 Struktur dan Kegiatan Utama Anggota Keluarga Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap beban

tanggungan keluarga. Jumlah anggota keluarga yang banyak memerlukan fasilitas

dan kebutuhan yang banyak pula dan berdampak pada biaya yang harus

ditanggung. Keluarga dengan jumlah anggota sedikit relatif lebih sejahtera dari

keluarga dengan jumlah anggota besar.

Rata-rata jumlah anggota rumah keluarga (termasuk kepala keluarga) di

desa eks-transmigrasi adalah 3,5 jiwa. Dari sisi rasio jenis kelamin menunjukkan

bahwa jumlah anggota laki-laki pada keluarga di desa-desa eks transmigrasi lebih

banyak dibandingkan anggota rumah tangga perempuan. Dengan rasio jenis

kelamin 115, yang berarti terdapat 115 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.

Selanjutnya jika dilihat struktur umur anggota keluarga berdasarkan usia

produktif (15 – 64 Tahun) dan belum/tidak produktif (0 – 14 dan 65 Tahun ke

atas), dapat dihitung angka beban tanggungan yang menunjukkan tanggungan

anggota keluarga usia produktif terhadap anggota keluarga usia belum/tidak

produktif. Berdasarkan hal tersebut angka beban tanggungan keluarga pada desa-

desa eks transmigrasi adalah 42. Ini berarti setiap 100 anggota rumah tangga usia

produktif menanggung 42 anggota rumah tangga usia tidak/belum produktif.

Membandingkan angka beban tanggungan antara desa-desa stadia tinggi

dengan stadia rendah terlihat bahwa angka beban tanggungan relatif lebih besar

pada desa-desa stadia rendah. Ini juga menunjukkan bahwa keluarga-keluarga

pada stadia rendah memiliki peluang yang lebih kecil dalam meningkatkan

kesejahteraannya.

Page 252: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

226

Tabel 73 Struktur anggota keluarga pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Uraian Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-

rata Mekar Sari

Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Rata-rata ART (jiwa) 3.7 3.5 3.3 3.6 3.3 3.3 3.6 3.4 3.5

Seks rasio %) 118 105 133 117 97 104 128 114 115 Beban tanggungan (%) 45 36 55 45 57 29 41 41 42

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Selanjutnya, secara umum, dari berbagai hasil penelitian menunjukkan

bahwa salah satu strategi lain dari keluarga (terutama keluarga miskin) dalam

mempertahankan hidup adalah dengan mengerahkan anggota rumah tangga untuk

bekerja dalam pencaharian nafkah. Pengerahan anggota rumah tangga tersebut

kadang-kadang sedemikian kuatnya sehingga seringkali mengancam

keberlanjutan pendidikan anak-anak. Anak-anak dalam usia sekolah dalam

anggota rumah tangga miskin terpaksa harus bekerja membantu orang tua mencari

nafkah sehingga terpaksa meninggalkan bangku sekolah.

Namun demikian, fakta tersebut tidak ditemukan pada keluarga di desa-desa

eks transmigrasi. Proporsi keterlibatan anggota keluarga dalam bekerja dan

mencari pekerjaan relatif kecil yaitu hanya 6,84 persen dari total anggota

keluarga. Kegiatan utama anggota keluarga lainnya adalah sekolah (38,93 persen),

mengurus rumah tangga (34,85 persen) mencari pekerjaan (5,70 persen), dan

kegiatan lainnya (13,68 persen).

Tabel 74 Persentase anggota keluarga menurut kegiatan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Kegiatan Utama

Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar

Sari Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Bekerja 4.85 4.35 14.71 6.33 6.90 0.00 9.38 6.17 6.23

Mencari Pekerjaan 5.83 2.17 2.94 3.58 3.45 12.05 5.80 6.37 5.28

Sekolah 35.92 39.13 32.35 36.83 39.08 3.65 40.63 29.63 32.46

URT 34.95 36.96 26.47 34.43 35.63 0.91 33.48 24.71 28.53

Lainnya 18.45 17.39 23.53 18.83 14.94 3.35 10.71 9.40 13.10 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Page 253: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

227

Temuan di lapangan menunjukkan ada dua faktor penyebab rendahnya

keterlibatan anggota keluarga dalam bekerja pada keluarga di di desa-desa eks

transmigrasi. Pertama, tingginya kesadaran pendidikan orang tua dalam

menyekolahkan anak-anaknya, yang ditunjukkan oleh besarnya proporsi anggota

keluarga dengan kegiatan utama sekolah. Kedua, keterbatasan peluang kerja yang

menyebabkan rendahnya harapan untuk mendapatkan pekerjaan. Ini terlihat dari

kenyataan besarnya proporsi anggota keluarga dengan kegiatan utama mengurus

rumah tangga dan lainnya, sedangkan di sisi lain proporsi dengan kegiatan utama

mencari pekerjaan relatif kecil. Perlu dicatat bahwa kegiatan utama mengurus

rumah tangga merupakan pilihan yang akan diambil angkatan kerja perempuan

ketika lapangan pekerjaan tersedia di pasar kerja relatif terbatas untuk mereka.

7.2.3 Status Kepemilikan dan Kondisi Rumah Berdasarkan atas kepemilikan rumah, 86,48 persen keluarga memiliki

rumah berstatus milik sendiri, 10,66 persen adalah milik orang tua/keluarga dan

2,87 persen lainnya adalah berstatus sewa/kontrak. Kelurahan Bandar Jaya

menempati proporsi terbesar keluarga yang memiliki rumah sendiri yaitu 96,15

persen, sedangkan Desa Sungkai dengan kepemilikan rumah sendiri terkecil yaitu

71,43 persen. Di Desa Sungkai, lebih seperempat (28,57 persen status

kepemilikan rumah adalah berstatus milik orang tua/keluarga.

Tabel 75 Persentase keluarga menurut status kepemilikan rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Status rumah Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-

rata Mekar Sari

Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Milik sendiri 84.21 89.47 71.43 83.10 86.84 130.45 83.13 87.86 86.48

Milik orang tua 15.79 5.26 28.57 15.49 7.89 0.00 14.46 8.67 10.66 Kontrak/ Sewa 0.00 5.26 0.00 1.41 5.26 5.22 2.41 3.47 2.87

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Selanjutnya, berdasarkan kondisi bangunan rumah yang dilihat dari

konstruksi lantai, dinding dan atapnya dapat dikemukakan bahwa 57,38 persen

bangunan terkategori rumah permanen, 28,69 persen semi permanen dan 13,93

Page 254: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

228

persen lainnya berkategori tidak permanen. Desa-desa stadia tinggi

memperlihatkan proporsi kepemilikan rumah permanen yang jauh lebih besar

dibandingkan desa-desa stadia rendah.

Tabel 76 Persentase keluarga menurut kondisi rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Kategori fisik

Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar

Sari Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Permanen 10.53 26.32 21.43 16.90 86.84 62.61 85.54 73.99 57.38

Semi permanen 23.68 68.42 64.29 43.66 13.16 62.61 12.05 22.54 28.69 Non-permanen 65.79 5.26 14.29 39.44 0.00 10.44 2.41 3.47 13.93

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

7.2.4 Kepemilikan Lahan Pertanian Di desa penelitian pembagian lahan pertanian per KK relatif bervariasi.

Untuk Desa Mekar Sari dan Bandar Jaya masing-masing 2 hektar, Desa Bukit

Mas seluas 2,5 ha, Desa Rasau seluas 3,5 hektar, Desa Sungkai seluas 3,25 hektar

dan Desa Rimbo Mulyo seluas 5 hektar. Kebijakan pembagian lahan pada

penyelenggaraan transmigrasi memang menyatakan bahwa setiap KK transmigran

mendapatkan pemberian tanah sekurang-kurangnya 2 hektar. Hal ini sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56

Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang menyatakan minimum

luas tanah yang harus dimiliki oleh petani supaya ia mendapat penghasilan yang

cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya.

Namun demikian, pada saat survai terlihat bahwa tidak semua keluarga di

desa-desa eks transmigrasi yang memiliki lahan. Terdapat 17,62 persen keluarga

yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri dan umumnya adalah pendatang non-

transmigran maupun generasi kedua transmigran.

Secara rata-rata, desa-desa dengan stadia tinggi (Bandar Jaya, Rasau dan

Rimbo Mulyo) cenderung memiliki proporsi keluarga dengan kepemilikan lahan

yang lebih tinggi yaitu 84,97 persen sedangkan pada desa stadia rendah adalah

Page 255: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

229

sebesar 76,06 persen. Selanjutnya jika dilihat dari rata-rata kepemilikan lahannya

(rata-rata dari yang memiliki lahan) terlihat bahwa kepemilikan lahan di Desa

Bandar Jaya paling luas dibandingkan desa-desa yang lainnya yaitu mencapai

3,30 hektar. Sebaliknya, rata-rata kepemilikan lahan paling kecil ada di Desa

Bukit Mas yaitu hanya 1,53 hektar.

Tabel 77 Persentase keluarga menurut kepemilikan lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Kepemilikan Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-

rata Mekar Sari

Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Tidak memiliki 18.42 31.58 28.57 23.94 18.42 3.85 31.33 15.03 17.62 Memiliki 81.58 68.42 71.43 76.06 81.58 96.15 68.67 84.97 82.38 Rata-rata luas (ha) 1.80 1.53 2.13 2.36 2.58 3.30 2.00 2.96 2.80

N (sampel) 38 19 14 71 38 52 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Dari luas lahan yang dimiliki, terlihat bahwa besarnya fenomena

fragmentasi lahan yang terjadi di desa-desa eks transmigrasi. Hasil observasi di

lapangan menunjukkan bahwa fragmentasi yang terjadi tidak hanya pada lahan

pekarangan saja tetapi termasuk lahan usaha I (LU I) dan lahan usaha II (LU II)

Lebih separuh (61,46 persen) keluarga tidak lagi memiliki luasan lahan

sesuai dengan ukuran pada awal penempatan pada masing-masing desa. Desa

dengan fragmentasi lahan paling tinggi yaitu di Desa Rimbo Mulyo yang

mencapai 91,23 persen sedangkan yang paling rendah adalah di Desa Bukit Mas

yaitu hanya 15,38 persen. Selanjutnya berdasarkan stadia perkembangan desa,

terlihat bahwa secara rata-rata desa stadia tinggi memiliki fenomena fragmentasi

lahan yang lebih kuat dibandingkan desa-desa stadia rendah.

Fragmentasi lahan atau penyusutan kepemilikan lahan pertanian

menyebabkan menurunnya skala usaha petani. Lahan yang sempit akan

menyulitkan dalam aplikasi teknologi. Karena teknologi tidak sungguh-sungguh

netral luas usaha. Beberapa teknologi tidak efisien jika diterapkan pada lahan

yang kurang dan manajemen usaha juga menjadi kurang ekonomis. Selain itu,

dalam konteks petani padi, Sajogyo (1974) juga menyebutkan bahwa tingkat

partisipasi masyarakat perdesaan dalam pengembangan perekonomian padi yang

Page 256: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

230

didasarkan pada penerapan bibit unggul hanya terbatas pada lapisan elit desa atau

pemilik lahan luas. Golongan inilah yang secara akumulatif lebih banyak

menikmati serangkaian kebijakan intensifikasi padi sawah yang didukung

pemberian bantuan kredit berbunga rendah.

Penurunan skala usaha ini juga akan berdampak semakin banyaknya petani-

petani tanpa lahan. Penurunan skala usaha akan mengakibatkan lahan semakin

tidak produktif, dan ini akan mendorong petani untuk menjual lahannya.

Terjadinya fragmentasi lahan merupakan dampak dari kelemahan

transmigrasi yang selama ini hanya mengandalkan pada pertanian. Hal ini akan

mempunyai konsekuensi pembagian lahan yang makin sempit pada generasi

kedua yang akan menimbulkan kesulitan dan dalam jangka panjang akan

menyebabkan berulangnya fenomena kemiskinan.

Oleh karenanya, dalam jangka panjang perlu pengembangan pola usaha

yang tidak semata-mata berbasis pertanian tetapi lebih berfokus pada aktivitas-

aktivitas non-pertanian yang mampu menciptakan perluasan kesempatan kerja di

daerah transmigrasi. Lebih khususnya perlu mengembangakan industri yang

mengolah hasil pertanian yang menyediakan dan meningkatkan lapangan kerja di

luar sektor pertanian. Dengan kata lain, perlu dikembangkan agricultural industry

oriented pada desa-desa transmigasi, misalnya pabrik pupuk, pabrik

penggergajian kayu, pabrik tepung tapioka dan lainnya.

Tabel 78 Persentase keluarga menurut luas lahan saat ini dibandingkan kondisi awal penempatan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Luas Lahan Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-

rata Mekar Sari

Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Kurang 25.81 15.38 70.00 31.48 80.65 48.00 91.23 73.19 61.46

Sesuai 61.29 38.46 0.00 44.44 6.45 38.00 8.77 18.84 26.04

Lebih 12.90 46.15 30.00 24.07 12.90 14.00 0.00 7.97 12.50

N (sampel) 31 13 10 54 31 50 57 138 192 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011 Ket.: Lahan penempatan awal untuk Mekar Sari dan Bandar Jaya = 2 ha, Bukit Mas = 2,5 ha,

Rasau = 3,5 ha, Sungkai 3,25 ha dan Rimbo Mulyo = 5 ha

Selain fragmentasi lahan, juga terlihat adanya keluarga dengan kepemilikan

lahan yang bertambah luas dibandingkan awal penempatannya. Penambahan ini

Page 257: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

231

terjadi baik karena terjadinya konsentrasi pemilikan lahan (membeli lahan dari

penduduk di desa sendiri) dan pembelian lahan di desa-desa non-transmigrasi

sekitarnya. Keluarga-keluarga yang memiliki lahan yang lebih luas ini terutama

terlihat di Desa Bandar Jaya dan Rantau Rasau.

Secara keseluruhan terdapat 12,50 persen keluarga dengan kepemilikan

lahan yang lebih luas dibandingkan lahan penempatan awal. Desa Bukit Mas

menunjukkan fenomena konsentrasi pemilikan lahan yang paling tinggi. Di desa

ini hampir separuh (46,15 persen) keluarga memiliki lahan lebih luas

dibandingkan pada awal penempatan.

Transmigran yang sukses ini juga memiliki juga memiliki kemampuan untuk

membeli kendaraan seperti truk untuk membantu usahanya mengangkut hasil panen.

Terdapat juga diantara mereka yang membuka usaha perdagangan. Kelompok ini juga

mendapat kepercayaan dari bank karena memiliki sertifikat lahan dan kemampuannya

mengembalikan cicilan kredit.

Tabel 79 Persentase keluarga menurut jenis tanaman lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Tanaman Desa Rata-

rata Mekar Sari

Bandar Jaya Bukit Mas Rasau Sungkai Rimbo

Mulyo

Padi sawah 45.16 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.29 Karet 12.90 34.00 0.00 0.00 100.00 100.00 45.83 Sawit 6.45 40.00 100.00 100.00 0.00 0.00 34.38 Coklat 16.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.60 Sayuran 0.00 4.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.04 Keramba 6.45 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.04 Karet-Coklat 12.90 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.08 Karet-Sawit 0.00 18.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.69 Sawit-Pinang 0.00 4.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.04

N (sampel) 31 50 13 31 10 57 192

Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Selanjutnya, dari sisi komoditi tanaman utama, pada empat desa masih

sesuai dengan kondisi awal penempatan transmigrasi yaitu tanaman karet untuk

Desa Bukit Mas dan Rasau serta tanaman kelapa sawit untuk Desa Sungkai dan

Rimbo Mulyo. Meskipun demikian, untuk dua desa lainnya yaitu Desa Mekar Sari

Page 258: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

232

dan Bandar Jaya, kondisi saat ini sudah tidak sesuai dengan kondisi awal

transmigrasi yaitu tanaman padi sawah.

Di Desa Mekar Sari, hanya kurang separuh (45,16 persen) yang masih

memiliki lahan padi sawah. Bagian terbesar lainnya beralih komoditi ke tanaman

karet, sawit dan coklat serta keramba ikan. Di Desa Bandar Jaya sebagian besar

beralih ke komoditi karet dan sawit dan sebagian kecil lainnya ke komoditi

pinang, coklat dan tanaman sayuran.

Tanaman komoditas pangan merupakan jenis tanaman yang sangat

memerlukan keahlian penanganan dengan perlakuan dan perawatan yang rumit, di

samping itu juga memerlukan permodalan serta sangat bergantung dengan cuaca,

hama penyakit dan kesuburan tanah. Kondisi ini berpengaruh sangat berarti

terhadap fluktuasi antara keuntungan dan kerugian yang selalu tidak pasti.

Secara ekonomi petani selalu mempunyai ekspektasi untuk memperoleh

keuntungan dan memperkecil kerugian dalam setiap usahanya. Keuntungan dan

kerugian tidak berarti harus berupa biaya, tetapi opportunity cost dalam bentuk

waktu dan tenaga. Naluri ini ditunjukkan dengan adanya pembelajaran terhadap

daerah sekitarnya, mempelajari karakteristik lahan, tanaman komoditas andalan,

serta hasil-hasil pemasaran yang lebih banyak menghasilkan keuntungan.

Wawancara mendalam dengan penduduk di desa-desa eks transmigrasi yang

diteliti menunjukkan bahwa telah terjadi tarik-ulur antara kepentingan lahan

dengan kebutuhan ekonomi petani. Pengalihan peruntukan lahan dari usaha

pertanian ke usaha perkebunan semata-mata hanya atas pertimbangan ekonomi.

Mereka mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya atas biaya yang semurah-

murahnya. Petani terpaksa melakukan pengalihan peruntukan lahan pertanian

menjadi lahan perkebunan lebih banyak karena desakan ekonomi. Di samping itu

mereka mempertimbangkan kondisi lahan yang memang tidak mendukung dan

akan memerlukan banyak input untuk dijadikan lahan pertanian, sementara jika

dialihkan ke lahan perkebunan, penanganannya relatif tidak memerlukan banyak

perlakuan teknis dan biaya.

7.2.5 Pendapatan Rata-rata pendapatan keluarga di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi

Jambi adalah sebesar Rp 3.070.000 per bulan. Meskipun demikian, pendapatan ini

Page 259: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

233

tidak merata antardesa. Rata-rata pendapatan keluarga di Desa Mekar hanya Rp

1.770.000 perbulan, sedangkan Desa Rasau mencapai Rp 4.516.000 perbulan,

atau lebih 2,5 kali lipat dari rata-rata pendapatan Desa Mekar Sari.

Selanjutnya membagi terhadap jumlah anggota keluarga, rata-rata

pendapatan per kapita keluarga pada desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar

Rp 866.000 per bulan. Sebagaimana halnya dengan rata-rata pendapatan keluarga,

pendapatan per kapita ini juga terlihat paling tinggi di Desa Rasau (yaitu sebesar

Rp. 1.373.000 per bulan) dan paling rendah di Desa Mekar Sari yaitu hanya Rp

477.000 per bulan.

Membandingkan antara desa-desa stadia rendah dengan stadia tinggi terlihat

bahwa baik pendapatan total maupun pendapatan perkapita keluarga relatif lebih

tinggi di desa-desa stadia tinggi. Selain itu, dari kontribusi pendapatan sampingan

dan pendapatan anggotra rumah tangga juga relatif lebih tinggi pada desa-desa

stadia tinggi dibandingkan desa-desa stadia rendah.

Menggunakan konsep garis kemiskinan absolut Bank Dunia sebesar USD 1

perkapita perhari terlihat bahwa seluruh desa sudah berada di atas garis

kemiskinan absolut. Meskipun demikian, dengan menggunakan garis kemiskinan

menengah Bank Dunia yaitu sebesar USD 2 perkapita perhari terlihat bahwa rata-

rata pendapatan perkapita di Desa Mekar Sari masih berada di bawah garis

kemiskinan tersebut.

Tabel 80 Pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Pendapatan Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-

rata Mekar Sari Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

Total perbulan (Rp Ribu) 1,770 2,809 2,373 2,167 4,516 2,668 2,980 3,224 3,070 Perkapita per bulan (Rp Ribu) 477 797 554 578 1,373 811 822 940 866 Pendapatan perkapita perhari (USD) 1.8 3.0 2.1 2.2 5.2 3.1 3.1 3.6 3.3 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011 Keterangan: konversi Rp ke USD menggunakan kurs tengah rata-rata Tahun 2011 sebesar Rp 8.780

(diolah dari www.bi.go.id)

Pendapatan keluarga bersumber dari penghasilan kepala keluarga baik dari

lapangan pekerjaan utama maupun sampingan serta dari penghasilan anggota

Page 260: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

234

rumah tangga yang bekerja. Berdasarkan Tabel 81 terlihat bahwa kontribusi

penghasilan dari pekerjaan sampingan terhadap total pendapatan kepala keluarga

sebesar 16,61 persen. Kontribusi terbesar terlihat di Desa Rasau yang mencapai

25,17 persen.

Sumbangan pendapatan anggota keluarga relatif kecil terhadap total

pendapatan keluarga. Dari total pendapatan keluarga, hanya sebesar 6,66 persen

merupakan sumbangan dari pendapatan anggota keluarga.

Kecilnya sumbangan pendapatan angggota keluarga ini terutama disebabkan

relatif rendahnya proporsi keterlibatan anggota rumah tangga dalam bekerja.

Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, berdasarkan kegiatan utama

anggota keluarga, hanya 6,23 persen yang berada dalam status bekerja.

Tabel 81 Karakteristik pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Pendapatan (Ribu Rp perbulan)

Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar

Sari Bukit Mas Sungkai Rata-

rata Rasau Bandar Jaya

Rimbo Mulyo

Rata-rata

KK

Utama 1,365 2,177 2,155 1,738 3,233 1,960 2,487 2,492 2,389

Sampingan 340 346 0 275 1,088 448 296 516 476

ART 65 286 218 154 196 260 197 216 204

Total 1,770 2,809 2,373 2,167 4,516 2,668 2,980 3,224 3,070 Kontribusi Sampingan Terhadap Total (%) 19.94 13.69 0 14.34 25.17 18.6 10.63 16.22 16.61 Kontribusi pendapatan ART (%) 3.67 10.19 9.2 6.51 4.35 9.75 6.62 7.06 6.66 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

7.3 Perjalanan Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi

7.3.1 Perjalanan Penduduk Berdasarkan Tujuan dan Lokasi Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, untuk mendapatkan

gambaran interaksi antarwilayah (yaitu antara desa-desa eks transmigrasi dengan

wilayah sekitarnya) didekati melalui aspek aliran orang dalam bentuk perjalanan

untuk berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup berbagai aktivitas

ekonomi seperti bekerja, belanja, penjualan produk, keuangan, dan berbagai

aktivitas sosial seperti pendidikan, kesehatan, rekreasi dan agama.

Page 261: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

235

Desa Mekar Sari

Penduduk di Desa Mekar Sari umumnya bekerja di desa sendiri dan Kota

Jambi. Dirinci berdasarkan status keluarga, dapat dikemukakan bahwa 81,97

persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri dan 18,03 persen lainnya di Kota

Jambi. Sebaliknya untuk anggota keluarga, 40,00 persen bekerja di desa sendiri

dan 60,00 persen lainnya di Kota Jambi.

Kota Jambi adalah ibukota Provinsi Jambi yang berjarak sekitar 45 km dari

Desa Mekar Sari dengan jarak tempuh sekitar 60 menit. Kondisi jaringan jalan

relatif baik dan dapat dilalui kendaran bermotor roda empat dengan lancar. Antara

desa ini dengan Kota Jambi juga tersedia angkutan umum penumpang.

Akses transportasi yang lancar serta tingginya berbagai aktivitas ekonomi

yang ada di Kota Jambi sebagai pusat perekonomian Provinsi Jambi dimanfaatkan

penduduk Desa Mekar Sari untuk beraktivitas dalam pencaharian nafkah.

Umumnya mereka bekerja di Kota Jambi sebagai pekerja pada usaha-usaha

industri, perdagangan serta pekerjaan-pekerjaan bebas non-pertanian seperti

tukang bangunan.

Sebaliknya, meskipun Kota Sengeti sebagai ibu kota Kabupaten Muaro

Jambi (secara administratif Desa Mekar Sari berada di wilayah kabupaten ini)

juga tumbuh pesat dengan berbagai aktivitas ekonominya, tidak terdapat

penduduk Desa Mekar Sari yang memanfaatkan peluang tersebut. Hal ini

disebabkan jarak yang relatif jauh yaitu sekitar 75 km, dan untuk mencapai Kota

Sengeti juga harus melewati Kota Jambi. Relatif sulitnya (dalam jarak maupun

biaya transportasi) akses tersebut menyebabkan terbatasnya interaksi penduduk

Desa Mekar Sari dengan ibukota kabupatennya, tidak hanya dalam hal aktivitas

bekerja tetapi juga untuk aktivitas lainnya.

Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,

terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Pulau Mentaro

dan Kota Jambi. Desa Pulau Mentaro adalah desa asli (non-transmigrasi) yang

berbatasan dengan Desa Mekar Sari. Di desa ini terdapat pasar non-permanen

yang berlokasi di persimpangan jalan ke Desa Mekar Sari. Pasar ini tumbuh dan

berkembang sejak adanya permukiman transmigrasi di Desa Mekar Sari Dalam

hal belanja makanan, 85,81 persen dipenuhi penduduk Desa Mekar Sari di desa

Page 262: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

236

sendiri, 9,85 persen di Desa Pulau Mentaro dan 4,34 lainnya di Kota Jambi.

Untuk belanja bukan makanan, 54,30 persen dipenuhi di desa sendiri, 12,73

persen di Desa Pulau Mentaro dan 32,98 persen lainnya di Kota Jambi.

Selanjutnya untuk kebutuhan pekerjaan, khususnya untuk alat-alat pertanian dan

pupuk di desa sendiri, sedangkan untuk obat-obat pertanian (pestisida/herbisida)

serta alat dan bahan non-pertanian seluruhnya dipenuhi di Kota Jambi.

Tabel 82 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Mekar Sari, Tahun 2011

Maksud Perjalanan Uraian Lokasi Persentase Bekerja Kepala Keluarga Desa Mekar Sari 81.97

Kota Jambi 18.03 Anggota Keluarga Desa Mekar Sari 40.00

Kota Jambi 60.00 Belanja Kebutuhan Keluarga

Makanan Desa Mekar Sari 85.81 Desa Pulau Mentaro 9.85 Kota Jambi 4.34

Bukan Makanan Desa Mekar Sari 54.30

Desa Pulau Mentaro 12.73

Kota Jambi 32.98

Kebutuhan Pekerjaan

Alat Pertanian Desa Mekar Sari 100.00

Pupuk Desa Mekar Sari 100.00

Obat-obatan Pertanian Kota Jambi 100.00

Alat & Bhn Non-Pertanian Kota Jambi 100.00

Penjualan Produk Pertanian Desa Mekar Sari 76.47

Desa Kasang Pudak 11.77 Desa Teluk Raya 5.88 Kota Jambi 5.88

Non-Pertanian Kota Jambi 100.00 Keuangan Simpan/Pinjam Kota Jambi 100.00 Sosial Pendidikan Desa Mekar Sari 83.33

Desa Puding 16.67 Kesehatan Desa Mekar Sari 100.00 Rekreasi Kota Jambi 100.00

Sumber: Penelitian lapangan 2011

Untuk keperluan penjualan produk, khususnya produk-produk pertanian,

sebagian besar adalah di desa sendiri (76,47 persen) dan sebagian lainnya yaitu di

Desa Kasang Pudak (11,77 persen) Desa Teluk Raya (5,88 persen) dan Kota

Page 263: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

237

Gambar 21 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Mekar Sari, Tahun 2011.

Perjalanan

Pertanian

Penjualan Produk

Non-Pertanian

Mekar Sari 76.47 %

Ksg.Pudak 11.77 %

Tlk.Raya 5.88 %

Kota Jambi 5.88 %

Kota Jambi 100 %

Keu

anga

n Sosial

Pend

idik

an

Kes

ehat

an

Rekr

easi

Mek

ar S

ari

83.3

3 %

Pudi

dng

16.6

7 %

Mek

ar S

ari

100

%

Kot

a Ja

mbi

10

0 %

Kot

a Ja

mbi

10

0 %

Bekerja

KK

ART

Kota Jambi 18.03 %

Mekar Sari 81.97 %

Mekar Sari 40.00 %

Kota Jambi 60.00 %

Keb

utuh

an

Kel

uarg

a Kebutuhan

Pekerjaan

Alat/bhn non

pertanian

Obat2 pertanian

Pupuk

Alat

pertanian

Bu

kan

Mak

anan

M

akan

an

Belanja

Mekar Sari 100 %

Mekar Sari 100 %

Kota Jambi 100 %

Kota Jambi 100 %

Mekar Sari 85.81 %

Kota Jambi 4.34 %

P. Mentaro 9.85 %

Kota Jambi 32.98 %

P. Mentaro 12.73%

Mekar Sari 54.30 %

Page 264: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

238

Jambi (5,88 persen). Pilihan penduduk terhadap lokasi untuk penjualan produk

pertanian ini selain tergantung pada jarak ke lokasi juga ditentukan oleh

ketersediaan fasilitas penampungan dan harga jual di lokasi tersebut.

Dalam penjualan produk non pertanian, penduduk melakukan perjalanan ke

Kota Jambi. Produk pertanian yang dijual adalah padi, coklat, karet dan kelapa

sawit, dan produk non-pertanian adalah hasil industri rumah tangga (makanan).

Untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), seluruh penduduk melakukan

perjalanan ke Kota Jambi, karena belum adanya lembaga keuangan perbankan dan

non-perbankan di desa tersebut. Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan,

83,33 persen di desa sendiri dan 16,67 persen di Desa Puding, aktivitas kesehatan

dan agama di desa sendiri dan untuk rekreasi ke Kota Jambi.

Kelurahan Bandar Jaya

Penduduk di Kelurahan Bandar Jaya umumnya bekerja di desa sendiri,

Desa Bangun Karya, Desa Sungai Dusun, dan Desa Rantau Rasau I. Dirinci

berdasarkan status keluarga, 83,33 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri,

6,06 persen di Desa Bangun Karya dan 10,61 persen di Desa Sungai Dusun.

Sebaliknya untuk anggota keluarga, 33,33 persen bekerja di desa sendiri dan

66,67 persen bekerja di desa lain yaitu di Desa Rantau Rasau I.

Ketiga lokasi tempat bekerja di luar desa tersebut adalah lokasi-lokasi yang

masih berada dalam satu kecamatan dengan Kelurahan Bandar Jaya yaitu

Kecamatan Rantau Rasau. Desa Bangun Karya dan Desa Rantau Rasau I adalah

desa-desa eks transmigrasi, sedangkan Desa Sungai Dusun adalah desa asli (non

transmigrasi). Desa Bangun Karya dan Rantau Rasau I berbatasan dengan

Kelurahan Bandar Jaya, sedangkan Desa Sungai Dusun berjarak sekitar 10 km

dari Kelurahan Bandar Jaya.

Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,

terdapat beberapa lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Bangun

Karya, Kelurahan Nipah Panjang II dan Kota Jambi. Dalam hal belanja makanan,

34,69 persen dipenuhi penduduk Desa Mekar Sari di desa sendiri, 65,31 persen

Page 265: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

239

lainnya di Desa Bangun Karya. Untuk belanja bukan makanan, 42,51 persen

dipenuhi di desa sendiri, 56,05 persen di Desa Bangun Karya, 1,30 persen di

Kelurahan Nipah Panjang II dan 0,14 persen di Kota Jambi. Selanjutnya untuk

belanja kebutuhan pekerjaan, khususnya untuk pupuk dan obat-obatan pertanian

seluruhnya dipenuhi di Desa Bangun Karya, sedangkan untuk alat pertanian serta

alat dan Bahan non-pertanian dipenuhi diantara desa sendiri dan Desa Bangun

Karya.

Tingginya perjalanan belanja penduduk ke Desa Bangun Karya karena di

desa tersebut terdapat pasar yang menjadi pasar pusat untuk kecamatan. Selain itu

terdapat juga penduduk yang melakukan perjalanan belanja ke Kelurahan Nipah

Panjang II. Kelurahan ini merupakan ibukota Kecamatan Nipah Panjang yang

merupakan kecamatan asal dari Kecamatan Rantau Rasau sebelum pemekaran.

Tidak terdapat penduduk yang melakukan perjalanan untuk keperluan

belanja ke ibukota kabupaten (Kota Muara Sabak sebagai ibukota Kabupaten

Tanjung Jabung Timur). Hal ini disebabkan jarak tempuh yang relatif jauh (yaitu

sekitar 60 km) dengan akses transportasi yang relatif sulit (sehingga dengan jarak

tersebut, waktu tempuhnya mencapai sekitar 120 menit). Selain itu, Kota Muara

Sabak sampai saat ini perkembangannya juga masih terbatas untuk mampu

memenuhi kebutuhan belanja penduduk. Sebaliknya masih terdapat penduduk

yang melakukan kegiatan belanja (khususnya non-makanan) ke Kota Jambi

sebagai ibukota provinsi meskipun jaraknya lebih jauh dibandingkan ke ibukota

kabupaten (sekitar 200 km dengan waktu tempuh sekitar 160 menit) karena

ketersediaan kebutuhan yang relatif lengkap di daerah ini.

Untuk keperluan penjualan produk (tidak termasuk mereka yang bekerja

sebagai pedagang, karena sudah tercakup pada lokasi aktivitas bekerja),

khususnya produk-produk pertanian, sebagian besar adalah di desa sendiri (83,33

persen) dan sebagian lainnya yaitu di Desa Harapan Makmur (13,89 persen) dan

Kota Muara Sabak (2,78 persen). Modus penjualan di desa sendiri dalam bentuk

pedagang pengumpul mendatangi petani untuk membeli hasil pertanian mereka.

Sebaliknya untuk penjualan produk non-pertanian seluruhnya di lakukan di desa

sendiri. Produk-produk pertanian yang dijual adalah karet dan kelapa sawit,

Page 266: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

240

sedangkan produk non-pertanian adalah hasil industri rumah tangga (makanan dan

non makanan).

Tabel 83 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Kelurahan Bandar Jaya, Tahun 2011

Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Kepala Keluarga Kel. Bandar Jaya 83.33

Desa Bangun Karya 6.06

Desa Sungai Dusun 10.61

Anggota Keluarga Kel. Bandar Jaya 33.33

Desa Rantau Rasau I 66.67

Belanja Kebutuhan Keluarga

Makanan Kel. Bandar Jaya 34.69

Desa Bangun Karya 65.31

Bukan Makanan Kel. Bandar Jaya 42.51 Desa Bangun Karya 56.05 Kel. Nipah Panjang II 1.30

Kota Jambi 0.14

Kebutuhan Pekerjaan

Alat Pertanian Kel. Bandar Jaya 42.86 Desa Bangun Karya 57.14

Pupuk Desa Bangun Karya 100.00

Obat-obatan Pertanian Desa Bangun Karya 100.00

Alat & Bhn Non-Pertanian Kel. Bandar Jaya 14.29 Desa Bangun Karya 42.86 Kota Jambi 42.86

Penjualan Produk Pertanian Kel. Bandar Jaya 83.33 Desa Harapan Makmur 13.89 Kota Muara Sabak 2.78

Non-Pertanian Kel. Bandar Jaya 100.00

Keuangan Simpan/Pinjam Kel. Nipah Panjang II 100.00

Sosial Pendidikan Kel. Bandar Jaya 100.00

Kesehatan Kel. Bandar Jaya 100.00

Rekreasi Kota Jambi 100.00

Untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), seluruh penduduk melakukan

perjalanan ke Kota Jambi. Di daerah ini belum ada lembaga keuangan perbankan

Page 267: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

241

dan non-perbankan sehingga penduduk melakukan transaksi keuangan di lembaga

perbankan yang ada di Kelurahan Nipah Panjang II Kecamatan Nipah Panjang.

Gambar 22 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bandar Jaya, Tahun 2011

Perjalanan

Pertanian

Penjualan Produk

Non-Pertanian

Bandar Jaya 83.33 %

Hr.Makmur 13.89 %

Ma.Sabak 2.78 %

Bandar Jaya 100 %

Keu

anga

n Sosial

Pend

idik

an

Kes

ehat

an

Rek

reas

i

Bam

dar

Jaya

10

0 %

Kot

a Ja

mbi

10

0 %

N.P

anja

ng II

10

0 %

Bekerja

KK

ART

Sei.Dusun 10.61 %

Bgn.Karya 6.06 %

Bandar Jaya 33.33 %

R. Rasau I 66.67 %

Keb

utuh

anK

elua

rga K

ebutuhan Pekerjaan

Alat/bhn non

pertanian

Obat2

pertanian

Pupuk

Alat

pertanian

Bu

kan

Mak

anan

M

akan

an

Belanja

Bandar Jaya 42.86%

Bgn. karya 100 %

Bgn. Karya 100 %

Bandar Jaya 14.29 %

Bandar Jaya 34.69 %

Bgn. Karya 65.31 %

N.Panjang II 1.30 %

Bgn. Karya 56.05%

Bandar Jaya 42.51 %

Bandar.Jaya 83.33 %

Kota Jambi 0.14 %

Bgn. Karya 57.14 %

Bgn. Karya 42.86 %

Kota Jambi 42.86 %

Bam

dar

Jaya

10

0 %

Page 268: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

242

Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan, kesehatan dan agama,

seluruhnya dilakukan di desa sendiri. Sebaliknya untuk rekreasi seluruhnya

dilakukan di Kota Jambi.

Desa Bukit Mas

Penduduk di Desa Bukit Mas umumnya bekerja di desa sendiri dan Desa

Bukit Makmur. Dirinci berdasarkan status keluarga, 87,50 persen kepala keluarga

bekerja di desa sendiri dan 12,50 persen lainnya di Desa Bukit Makmur.

Sebaliknya untuk anggota keluarga, 50,00 persen bekerja di desa sendiri dan

50,00 persen lainnya di Desa Bukit Makmur.

Desa Bukit Makmur adalah desa eks transmigrasi yang berjarak sekitar 10

km dari desa Bukit Mas dan berada dalam satu kecamatan yang sama (Kecamatan

Sungai Bahar). Di Desa Bukit Makmur terdapat pabrik pengolahan kelapa sawit,

sehingga sebagian penduduk Desa Bukit Mas memanfaatkan peluang untuk

bekerja sebagai buruh/pekerja pabrik, baik sebagai pekerjaan utama maupun

pekerjaan sampingan.

Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,

terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu di desa sendiri, Desa Suka Makmur

dan Kota Jambi. Desa Suka Makmur adalah desa eks transmigrasi yang menjadi

pusat perdagangan untuk wilayah Kecamatan Sungai Bahar dan berjarak sekitar

20 km dari Desa Bukit Mas, sedangkan Kota Jambi sebagai ibukota provinsi

berjarak sekitar 90 km.

Dalam hal belanja makanan, 69,36 persen dipenuhi penduduk Bukit Mas di

desa sendiri, 30,64 persen di Desa Suka Makmur. Untuk belanja bukan makanan,

21,74 persen dipenuhi di desa sendiri, 76,33 persen di Desa Suka Makmur dan

1,93 persen lainnya di Kota Jambi. Selanjutnya untuk belanja kebutuhan

pekerjaan, baik pertanian maupun non-pertanian secara keseluruhan dipenuhi di

Desa Suka Makmur.

Untuk keperluan penjualan produk (tidak termasuk mereka yang bekerja

sebagai pedagang, karena sudah tercakup pada lokasi aktivitas bekerja), baik

produk pertanian maupun non-pertanian secara keseluruhan dilakukan di desa

sendiri. Selanjutnya, untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), 70,00 persen

penduduk melakukan di Desa Bukit Mulya dan 30,00 persen lainnya di Desa Suka

Page 269: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

243

Makmur. Hal ini dikarenakan belum adanya lembaga keuangan perbankan dan

non-perbankan di desa tersebut.

Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan, 90,00 persen di desa sendiri

dan 10,00 persen di Desa Bukit Mulya. Untuk aktivitas kesehatan, 86,36 persen di

desa sendiri, 4,55 persen di Desa Marga (ibukota Kecamatan Sungai Bahar), dan

9,09 persen di Kota Jambi. Untuk aktivitas rekreasi seluruhnya dilakukan di Kota

Jambi sedangkan untuk aktivitas agama seluruhnya dilakukan di desa sendiri.

Tabel 84 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Bukit Mas, Tahun 2011

Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Usaha Kepala Keluarga Desa Bukit Mas 87.50

Desa Bukit Makmur 12.50

Usaha Anggota Keluarga Desa Bukit Mas 50.00

Desa Bukit Makmur 50.00

Belanja Kebutuhan Keluarga

Makanan Desa Bukit Mas 69.36

Desa Suka Makmur 30.64

Bukan Makanan Desa Bukit Mas 21.74 Desa Suka Makmur 76.33 Kota Jambi 1.93

Kebutuhan Pekerjaan

Alat Pertanian Desa Suka Makmur 100.00

Pupuk Desa Suka Makmur 100.00

Obat-obatan Pertanian Desa Suka Makmur 100.00

Alat &Bhn Non-Pertanian Desa Suka Makmur 100.00

Penjualan Produk Pertanian Desa Bukit Mas 100.00

Non-Pertanian Desa Bukit Mas 100.00

Keuangan Simpan/Pinjam Desa Bukit Mulia 70.00 Desa Suka Makmur 30.00 Sosial Pendidikan Desa Bukit Mas 90.00 Desa Bukit Mulia 10.00

Kesehatan Desa Bukit Mas 86.36 Desa Marga 4.55 Kota Jambi 9.09

Rekreasi Kota Jambi 100.00

Page 270: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

244

Gambar 23 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bukit Mas, Tahun 2011.

Perjalanan

Pertanian

Penjualan Produk

Non-Pertanian

Bukit Mas 100 %

Bukit Mas 100 %

Keu

anga

n Sosial

Pend

idik

an

Kes

ehat

an

Rek

reas

i

Buk

it M

as

90.0

0 %

Bkt.M

ulia

10

.00

%

Bkt

.Mas

86

.36

%

Kot

a Ja

mbi

9.

09 %

S. M

akm

ur

30.0

0 %

Bekerja

KK

ART

Bkt.Makmur 12.50 %

Bukit Mas 87.50 %

Bukit Mas 50.00 %

Bkt.Makmur 50.00 %

Keb

utuh

anK

elua

rga K

ebutuhan Pekerjaan

Alat/bhn non

pertanian

Obat2 pertanian

Pupuk

Alat

pertanian B

ukan

M

akan

an

Mak

anan

Belanja

S.Makmur 100 %

S.Makmur 100 %

S.Makmur 100 %

S. Makmur 100 %

Bukit Mas 69.36 %

S. Makmur 30.64 %

Kota Jambi 1.93 %

S.Makmur 76.33%

Bukit Mas 21.74 %

Bkt

.Mul

ia

70.0

0 %

Mar

ga

4.55

%

Kot

a Ja

mbi

10

0 %

Page 271: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

245

Desa Rasau

Penduduk Desa Rasau umumnya bekerja di desa sendiri, Desa Tambang

Mas dan Desa Pinang Merah. Dirinci berdasarkan status keluarga, dapat

dikemukakan bahwa 78,85 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri, 5,77

persen di Desa Tambang Mas dan 15,38 persen di Desa Pinang Merah. Sebaliknya

untuk anggota keluarga, 33,33 persen bekerja di desa sendiri dan 66,67 persen

lainnya di Desa Tambang Mas.

Desa Pinang Merah adalah desa eks transmigrasi yang secara administratif

berada di Kecamatan Pamenang Barat (berbeda kecamatan dengan Desa Rasau

yang berada di Kecamatan Renah Pamenang) dan berjarak sekita 6 km dari Desa

Rasau. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan penduduk Desa Rasau di desa ini

selain sebagai buruh tani juga sebagai petani yang memiliki lahan di daerah

tersebut.

Desa Tambang Mas juga adalah desa eks-transmigrasi dan berstatus sebagai

ibukota Kecamatan Pamenang Selatan. Jarak antara Desa Rasau ke Desa

Tambang Mas adalah sekitar 5 km. Aktivitas pekerjaan utama yang dilakukan

penduduk Desa Rasau di daerah ini adalah usaha-usaha jasa dan perdagangan,

dengan memanfaatkan berbagai aktivitas perekonomian yang berkembang di

daerah tersebut.

Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,

terdapat beberapa lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Tambang

Mas, Desa Pinang Merah, Kelurahan Pasar Pamenang, Kota Bangko dan Kota

Jambi. Kelurahan Pasar Pamenang adalah ibukota Kecamatan Pamenang. Di

daerah ini terdapat pasar yang menjadi pusat perdagangan kawasan transmigrasi

Pamenang (yang saat ini terbagi menjadi empat kecamatan yaitu Kecamatan

Pamenang, Pamenang Barat, Renah Pamenang dan Pamenang Selatan).

Dalam hal belanja makanan, 96,28 persen dipenuhi penduduk Rasau di desa

sendiri, 2,20 persen di Desa Tambang Mas dan 1,52 persen lainnya di Kota

Bangko (ibukota Kabupaten Merangin). Untuk belanja bukan makanan, 51,04

persen dipenuhi di desa sendiri, 4,56 persen di Desa Pinang Merah, 8,30 persen di

Kelurahan Pasar Pamenang, 35,81 persen di Kota Bangko dan 0,21 persen lainnya

di Kota Jambi. Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, khususnya untuk

Page 272: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

246

pupuk dan obat-obatan pertanian secara keseluruhan dipenuhi di desa sendiri,

sedangkan untuk alat-alat pertanian dan pupuk dilakukan di desa sendiri,

sedangkan untuk alat pertanian dan alat serta bahan non-pertanian dipenuhi

diantara desa sendiri dan Kota Bangko.

Untuk keperluan penjualan produk, khususnya produk-produk pertanian,

sebagian besar adalah di desa sendiri (96,88 persen) dan sebagian lainnya yaitu di

Desa Meranti (3,13 persen). Demikian juga untuk produk non pertanian, sebagian

besar (78,00 persen) di desa sendiri dan 22,00 persen di Desa Meranti. Desa

Meranti adalah ibukota Kecamatan Renah Pamenang yang secara administratif

Desa Rasau berada di wilayah ini.

Untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), 18,18 persen melakukan di

desa sendiri, 9,09 persen melakukan perjalanan ke Desa Tambang Mas dan 72,73

persen ke Kota Bangko. Selanjutnya untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan,

78,26 persen di desa sendiri, 8,70 persen di Desa Meranti dan 13,04 persen di

Desa Pinang Merah. Untuk aktivitas kesehatan, 87,88 persen di desa sendiri, 3,03

persen di Desa Meranti, 6,06 persen di Kota Bangko dan 3,03 persen di Kota

Muaro Bungo (ibukota Kabupaten Bungo). Dalam hal perjalanan untuk aktivitas

kesehatan secara keseluruhan dilakukan ke Kota Bangko dan untuk aktivitas

agama secara keseluruhan di desa sendiri.

Dibandingkan dengan desa-desa sampel lainnya, Desa Rasau relatif lebih

memiliki keterkaitan yang kuat kepada ibukota kabupatennya (Kota Bangko). Hal

ini disebabkan oleh jarak antara Desa Rasau dengan ibukota kabupaten yang

relatif dekat (sekitar 30 km) dan akses transportasi yang mudah. Selain itu juga,

aktivitas perekonomian di Kota Bangko sebagai ibukota Kabupaten Merangin

juga relatif lebih tinggi dibandingkan ibukota kabupaten lainnya (yang tercakup

dalam desa sampel).

Page 273: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

247

Tabel 85 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rasau, 2011 Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Usaha Kepala Keluarga Desa Rasau 78.85

Desa Tambang Mas 5.77 Desa Pinang Merah 15.38

Usaha Anggota Keluarga Desa Rasau 33.33 Tambang Mas 66.67

Belanja Kebutuhan Keluarga Makanan Desa Rasau 96.28

Desa Tambang Mas 2.20

Kota Bangko 1.52

Bukan Makanan Desa Rasau 51.04

Desa Pinang Merah 4.56

Kel. Psr. Pamenang 8.30

Kota Jambi 0.21

Kota Bangko 35.89 Kebutuhan Pekerjaan Alat Pertanian Desa Rasau 95.92

Kota Bangko 4.08

Pupuk Desa Rasau 100.00

Obat-obatan Pertanian Desa Rasau 100.00

Alat & Bhn Non-Pertanian Desa Rasau 56.25 Kota Bangko 43.75

Penjualan Produk Pertanian Desa Rasau 96.88 Desa Meranti 3.13

Non-Pertanian Desa Rasau 78.00 Desa Meranti 22.00

Keuangan Simpan/Pinjam Desa Rasau 18.18 Desa Tambang Mas 9.09 Kota Bangko 72.73

Sosial Pendidikan Desa Rasau 78.26 Desa Meranti 8.70 Desa Pinang Merah 13.04

Kesehatan Desa Rasau 87.88 Desa Meranti 3.03 Kota Bangko 6.06 Kota Muaro Bungo 3.03

Rekreasi Kota Bangko 100.00

Page 274: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

248

Gambar 24 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rasau, Tahun 2011.

Perjalanan

Pertanian

Penjualan Produk

Non-Pertanian

Rasau 96.88 %

Meranti 3.13 %

Keu

anga

n Sosial

Pend

idik

an

Kes

ehat

an

Rek

reas

i

Ras

au

78.2

6 %

Mer

anti

8.70

%

Ma.

Bun

go

3.03

%

Ban

gko

100

%

Tb.M

as

9.09

%

Bekerja

KK

ART

Pn. Merah 15.38 %

Tb. Mas 5.77 %

Rasau 33.33 %

Tb. Mas 66.67 %

Keb

utuh

an

Kel

uarg

a Kebutuhan

Pekerjaan

Alat/bhn non

pertanian

Obat2 pertanian

Pupuk

Alat

pertanian

Buk

an

Mak

anan

M

akan

an

Belanja

Rasau 95.92 %

Rasau 100 %

Rasau 100 %

Bangko 43.75 %

Rasau 96.28 %

K. Bangko 1.52 %

Tb. Mas 2.20 %

Psr. Pmng 8.30 %

P. Merah 4.56%

Rasau 51.04 %

Rasau 78.85 %

K. Jambi 0.21 %

Bangko 35.89 %

Bangko 4.08 %

Rasau 56.25 %

Rasau 78.00 %

Meranti 22.00 %

Rasa

u 18

.18

%

Ban

gko

72.7

3 %

Ban

gko

6.06

%

Mer

anti

3.03

%

Ras

au

87.8

8 %

Pn. M

erah

13

.04

%

Page 275: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

249

Desa Sungkai

Penduduk di Desa Sungkai umumnya bekerja di desa sendiri dan Desa

Pompa Air. Dirinci berdasarkan status keluarga, 78,57 persen kepala keluarga

bekerja di desa sendiri dan 21,43 persen lainnya di Desa Pompa Air. Sebaliknya

untuk anggota keluarga, 20,00 persen bekerja di desa sendiri dan 80,00 persen

lainnya di Desa Pompa Air.

Desa Pompa Air adalah desa asli (non-transmigrasi) yang berjarak sekitar 12

km dari Desa Sungkai dan memiliki aktivitas perekonomian yang relatif lebih

berkembang dibandingkan Desa Sungkai. Di Desa Pompa Air juga terdapat pasar

mingguan yang berkembang karena adanya permukiman transmigrasi di Desa

Pompa Air.

Untuk kegiatan belanja kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,

terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Sungkai dan

Kota Muara Bulian. Kota Muara Bulian adalah ibukota Kabupaten Muaro Jambi

(secara administratif Desa Sungkai berada di wilayah ini) dan berjarak sekitar 30

km dari Desa Sungkai.

Dalam hal belanja makanan, 40,99 persen dipenuhi penduduk Desa Sungkai

di desa sendiri, 11,26 persen di Desa Pompa Air dan 47,75 lainnya di Kota Muara

Bulian. Untuk belanja bukan makanan, 12,03 persen dipenuhi di desa sendiri,

8,23 persen di Desa Pompa Air dan 79,75 persen lainnya di Kota Muara Bulian.

Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, khususnya pupuk, obat-obatan

petanian dan alat serta bahan non-pertanian seluruhnya dipenuhi di Kota Muara

Bulian, sedangkan untuk alat pertanian sebagian dipenuhi di desa sendiri dan

sebagian lainnya di Kota Muara Bulian.

Untuk keperluan penjualan produk baik untuk produk pertanian maupun

non-pertanian seluruhnya dilakukan di desa sendiri, sedangkan untuk keperluan

keuangan (simpan-pinjam), 75,00 persen penduduk melakukan perjalanan ke Kota

Muara Bulian dan 25,00 persen lainnya ke Kota Jambi. Untuk aktivitas sosial,

dalam hal pendidikan dan agama, keseluruhannya dilakukan di desa sendiri.

Untuk kesehatan, 81,82 di desa sendiri dan 18,18 persen di Kota Muara Bulian,

sedangkan untuk aktivitas rekreasi, 75,00 persen di Kota Muara Bulian dan 25,00

persen di Kota Jambi.

Page 276: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

250

Tabel 86 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Sungkai, Tahun 2011

Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Usaha Kepala Keluarga Desa Sungkai 78.57

Desa Pompa Air 21.43

Usaha Anggota Keluarga Desa Sungkai 20.00 Desa Pompa Air 80.00

Belanja Kebutuhan Keluarga Makanan Desa Sungkai 40.99

Desa Pompa Air 11.26

Kota Ma. Bulian 47.75

Bukan Makanan Desa Sungkai 12.03 Desa Pompa Air 8.23

Kota Ma. Bulian 79.75 Kebutuhan Pekerjaan

Alat Pertanian Desa Pompa Air 15.00 Kota Ma. Bulian 85.00

Pupuk Kota Ma. Bulian 100.00

Obat-obatan Pertanian Kota Ma. Bulian 100.00

Alat & Bhn Non-Pertanian Kota Ma. Bulian 100.00

Penjualan Produk Pertanian Desa Sungkai 100.00

Non-Pertanian Desa Sungkai 100.00

Keuangan Simpanan/Pinzaman Kota Ma. Bulian 75.00 Kota Jambi 25.00

Sosial Pendidikan Desa Sungkai 100.00

Kesehatan Desa Sungkai 81.82 Kota Ma. Bulian 18.18

Rekreasi Kota Ma. Bulian 75.00 Kota Jambi 25.00

Page 277: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

251

Gambar 25 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Sungkai, Tahun 2011.

Perjalanan

Pertanian

Penjualan Produk

Non-Pertanian

Sungkai 100 %

Sungkai 100 %

Keu

anga

n Sosial

Pend

idik

an

Kes

ehat

an

Rek

reas

i

Sung

kai

81.8

2 %

Ma.

Bul

ian

18.1

8 %

Mek

ar S

ari

100

%

Ma.

Bul

ian

75 %

Ma.

Buli

7

5 %

Bekerja

KK

ART

Pompa Air 21.43 %

Sungkai 78.57 %

Sungkai 20.00 %

Pompa Air 80.00 %

Keb

utuh

anK

elua

rga K

ebutuhan Pekerjaan

Alat/bhn non

pertanian

Obat2 pertanian

Pupuk

Alat

pertanian

Buk

an

Mak

anan

Mak

anan

Belanja

Pompa Air 15 %

Ma.Bulian 100 %

Ma.Bulian 100 %

Ma.Bulian 100 %

Sungkai 40.99 %

Ma.Bulian 47.75 %

Pompa Air 11.26 %

Ma.Bulian 79.75 %

Pompa Air 8.23%

Sungkai 12.03 %

Ma.Bulian 85 %

Kot

a Ja

mbi

25

%

Kot

a Ja

mbi

25

%

Page 278: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

252

Desa Rimbo Mulyo

Penduduk Desa Rimbo Mulyo bekerja di desa sendiri, Desa Tirta Kencana,

Wirotho Agung dan Suka Maju. Dirinci berdasarkan status keluarga, 89,58 persen

kepala keluarga bekerja di desa sendiri, 7,29 persen di Desa Tirta Kencana, 2,08

persen di Kelurahan Wirotho Agung dan 1,04 persen di Desa Suka Maju. Sebalik-

nya untuk anggota keluarga, 66,67 persen bekerja di desa sendiri, 19,05 persen di

Desa Tirta Kencana serta 14,29 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung.

Desa Tirta Kencana, Desa Suka Maju dan Kelurahan Wirotho Agung adalah

desa-desa eks transmigrasi yang secara administratif berada dalam satu kecamatan

dengan Desa Rimbo Mulyo yaitu Kecamatan Rimbo Bujang. Desa Tirta Kencana

berjarak sekitar 12 km dari Desa Rimbo Mulyo sedangkan Desa Suka Maju

berjarak sekitar 1 km. Selanjutnya Kelurahan Wirotho Agung adalah ibukota

Kecamatan Rimbo Bujang dan berjarak sekitar 7 km dari Desa Rimbo Mulyo. Di

Kelurahan Wirotho Agung ini terdapat pasar yang menjadi pusat aktivitas

perdagangan kecamatan. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan penduduk Desa

Rimbo Mulyo pada luar desa tersebut mencakup baik sebagai buruh tani, pekerja

non-tani maupun di bidang perdagangan.

Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,

terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Suka Maju dan

Kelurahan Wirotho Agung. Secara proporsi, dalam hal belanja makanan, 86,37

persen dipenuhi penduduk Desa Rimbo Mulyo di desa sendiri, 2,31 persen di

Desa Suka Maju dan 2,31 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung. Untuk

belanja bukan makanan, 23,80 persen dipenuhi di desa sendiri, 1,47 persen di

Desa Suka Maju dan 74,73 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung.

Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, baik untuk alat pertanian, pupuk,

obat-obatan pertanian dan alat serta bahan non-pertanian sebagian dipenuhi di

desa sendiri dan sebagian lainnya di Kelurahan Wirotho Agung.

Untuk keperluan penjualan produk, untuk produk-produk pertanian, keselu-

ruhannya dilakukan di desa sendiri, sedangkan untuk produk non-pertanian, 66,67

persen di desa sendiri dan 33,33 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung.

Selanjutnya untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), keseluruhan dilakukan di

Kelurahan Kelurahan Wirotho Agung. Untuk aktivitas sosial, dalam hal agama,

Page 279: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

253

keseluruhannya dilakukan di desa sendiri. Untuk kesehatan, 44,64 di desa sendiri,

50,00 persen di Kelurahan Kelurahan Wirotho Agung, 1,79 persen di Desa Tirta

Kencana dan 3,57 persen di Kota Muaro Bungo, sedangkan untuk aktivitas

rekreasi, 75,00 persen di Kota Muaro Bungo dan 25,00 persen di Kota Jambi.

Tabel 87 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011

Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Usaha Kepala Keluarga Desa Rimbo Mulyo 89.58

Desa Tirta Kencana 7.29 Kel. Wirotho Agung 2.08 Desa Suka Maju 1.04

Usaha Anggota Keluarga Desa Rimbo Mulyo 66.67

Desa Tirta Kencana 19.05

Kel.Wirotho Agung 14.29

Belanja Kebutuhan Keluarga Makanan Desa Rimbo Mulyo 86.37

Desa Suka Maju 2.31 Kel. Wirotho Agung 2.31

Bukan Makanan Desa Rimbo Mulyo 23.80 Desa Suka Maju 1.47

Kel. Wirotho Agung 74.73 Kebutuhan Alat Pertanian Desa Rimbo Mulyo 74.29 Pekerjaan Kel. Wirotho Agung 25.71

Pupuk Desa Rimbo Mulyo 75.00

Kel. Wirotho Agung 25.00 Obat-obatan Pertanian Desa Rimbo Mulyo 92.86

Kel. Wirotho Agung 7.14

Alat & Bhn Non-Pertanian Desa Rimbo Mulyo 81.24 Kel. Wirotho Agung 18.76 Penjualan Produk Pertanian Desa Rimbo Mulyo 100.00 Non-Pertanian Desa Rimbo Mulyo 66.67 Kel.Wirotho Agung 33.33 Keuangan Simpan/Pinjam Kel. Wirotho Agung 100.00 Sosial Pendidikan Desa Rimbo Mulyo 50.00 Kel. Wirotho Agung 50.00 Kesehatan Desa Rimbo Mulyo 44.64 Kel. Wirotho Agung 50.00 Desa Tirta Kencana 1.79 Kota Muaro Bungo 3.57 Rekreasi Kota Muaro Bungo 75.00 Kota Jambi 25.00

Page 280: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

254

Gambar 26 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011.

Perjalanan

Pertanian

Penjualan Produk

Non-Pertanian

Rb.Mulyo 100 %

W.Agung 33.33 %

Keu

anga

n Sosial

Pend

idik

an

Kes

ehat

an

Rek

reas

i

Rb.M

ulyo

50

.00

%

W.A

gung

50

.00

%

Rb.M

ulyo

44

.64

%

Kot

a Ja

mbi

25

%

W.A

gung

10

0 %

Bekerja

KK

ART

S. Maju 1.04 %

W.Agung 2.08 %

Rb.Mulyo 66.67 %

Tirta K. 19.05 %

Keb

utuh

an

Kel

uarg

a Kebutuhan

Pekerjaan

Alat/bhn non

pertanian

Obat2 pertanian

Pupuk

Alat

pertanian

Buk

an

Mak

anan

M

akan

an

Belanja

Rb.Mulyo 74.29 %

Rb.Mulyo 75 %

Rb.Mulyo 86.37 %

W.Agung 2.31 %

S.Maju 2.31 %

W.Agung 74.73 %

S.Maju 1.47%

Rb.Mulyo 23.80 %

Rb.Mulyo 89.58 %

Tirta K. 7.29 %

W.Agung 14.29 %

W.Agung 25.71 %

W.Agung 25 %

Rb.Mulyo 92.86 %

W.Agung 7.14 %

Rb.Mulyo 81.24 %

W.Agung 18.76 %

Rb.Mulyo 66.67 %

Ma.

Bun

go

75 %

W.A

gung

50

%

Tirta

K.

1.79

%

Ma.

Bun

go

3.57

%

Page 281: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

255

7.3.2. Perjalanan Penduduk Berdasarkan Klasifikasi Lokasi Tujuan Lokasi perjalanan penduduk pada masing-masing desa penelitian yang telah

dibahas sebelumnya pada dasarnya dapat dibedakan atas beberapa klasifikasi

yaitu di desa sendiri, di luar desa tetapi masih merupakan desa-desa eks

transmigrasi, di luar desa yang merupakan desa asli (non-transmigrasi), ke ibukota

kabupaten dan ke ibukota provinsi. Rangkuman perjalanan penduduk berdasarkan

klasifikasi lokasi tujuan tersebut diberikan pada Tabel 88 berikut.

Tabel 88 Persentase perjalanan penduduk menurut lokasi tujuan perjalanan pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011

Klasifikasi Lokasi Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-

rata Mekar Sari

Bukit Mas

Sung-kai

Rata- rata Rasau Bandar

Jaya Rimbo Mulyo

Rata-rata

Desa Sendiri 66.85 43.88 34.13 54.25 76.50 43.32 57.27 57.30 56.71

Desa Eks Transmigrasi Lain 0.00 53.23 0.00 14.24 7.29 51.60 40.34 36.46 30.48

Desa Non Transmigrasi 5.55 0.00 8.96 4.74 0.07 2.50 1.79 1.63 2.41

Ibukota Kabupaten 0.00 0.00 55.72 10.99 16.08 0.06 0.03 3.56 5.57

Ibukota Provinsi 27.60 2.89 1.19 15.78 0.06 2.52 0.57 1.04 4.83

Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100

N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011

Di lokasi penelitian terlihat bahwa 56,71 persen perjalanan dilakukan

penduduk di desa sendiri dan 43,29 persen di luar desa baik untuk aktivitas

belanja kebutuhan pekerjaan, belanja, penjualan produk, keuangan dan

kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. Secara umum fakta ini menunjukkan bahwa

interaksi penduduk desa-desa eks transmigrasi relatif tinggi dengan wilayah di

luar desa. Namun demikian, ditelusuri lebih jauh ternyata interaksi tersebut masih

dalam kisaran desa-desa eks transmigrasi lain, yaitu mencapai 30,48 persen dari

total perjalanan. Dengan kata lain, dari total perjalanan yang dilakukan penduduk

desa-desa eks-transmigrasi, 87,19 persen dilakukan di lokasi permukiman

transmigrasi (desa sendiri dan desa-desa eks-transmigrasi lainnya). Sebaliknya

hanya 2,41 persen dari total perjalanan yang dilakukan ke desa-desa non-

transmigrasi, 5,57 persen ke ibukota kabupaten dan 4,83 persen ke ibukota

provinsi.

Page 282: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

256

Desa dengan interaksi paling tinggi terhadap wilayah di luar lokasi

transmigrasi adalah Desa Sungkai. Hanya 34,13 dari total aktivitas perjalanan

penduduk desa ini yang dilakukan di desa sendiri (dan tidak terdapat perjalanan ke

desa-desa eks transmigrasi lainnya), sedangkan sebagian besar lainnya (65,87

persen) dilakukan di luar lokasi transmigrasi. Dari perjalanan ke luar desa ini,

bagian terbesar dilakukan ke ibukota kabupaten (mencapai 55,72 persen),

selanjutnya ke desa-desa non-transmigrasi (8,96 persen) dan ke ibukota provinsi

(1,19 persen).

Besarnya proporsi perjalanan ke ibukota kabupaten disebabkan relatif

dekatnya jarak desa ini ke ibukota kabupaten yaitu hanya sekitar 30 km. Selain itu

relatif tingginya interaksi dengan desa-desa non transmigrasi (paling tinggi

dibandingkan desa-desa lainnya) disebabkan Desa Sungkai merupakan lokasi

transmigrasi yang tidak terpisah (berbatasan langsung) dengan desa-desa non

transmigrasi.

Fenomena yang sama juga terlihat pada Desa Mekar Sari. Sekitar sepertiga

bagian perjalanan (33,15 persen) dari penduduk dilakukan di luar desa (juga tidak

terdapat perjalanan yang dilakukan ke desa eks transmigrasi lainnya). Pada Desa

Mekar Sari, perjalanan terbesar ke luar desa dilakukan ke ibukota provinsi

(mencapai 27,60 persen) disebabkan jarak yang relatif dekat ke ibukota provinsi

yaitu sekitar 45 km (tidak terdapat perjalanan ke ibukota kabupaten karena jarak

yang relatif jauh mencapai yaitu sekitar 75 km). Selain itu, interaksi desa ini

dengan desa non-transmigrasi juga relatif tinggi dibandingkan rata-rata desa

lainnya, karena Desa Mekar Sari juga berbatasan langsung dengan desa-desa non-

transmigrasi.

Selain faktor jarak ke desa-desa non-transmigrasi dan ke pusat pertumbuhan

(ibukota kabupaten maupun provinsi), faktor terpenting lainnya yang menentukan

interaksi ini adalah ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi di desa (ataupun

desa eks transmigrasi lainnya yang berdekatan). Desa Rasau memiliki interaksi

paling rendah dengan wilayah sekitarnya (76,50 persen perjalanan dilakukan di

desa sendiri) karena dibandingkan desa-desa penelitian lainnya, desa ini memiliki

sarana-prasarana sosial ekonomi yang relatif lebih lengkap.

Page 283: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

257

Di Desa Bandar Jaya, Bukit Mas dan Rimbo Mulyo, meskipun interaksi ke

luar desa relatif tinggi, tetapi dilakukan pada desa-desa eks transmigrasi lainnya

yang berdekatan. Hal ini terutama dipicu oleh keberadaan pasar di desa eks

transmigrasi lainnya yang jaraknya relatif dekat. Keberadaan pasar tidak hanya

akan membangkitkan perjalanan belanja, tetapi juga akan memberikan peluang

usaha dan bekerja bagi masyarakat sekitar.

Fenomena ini sejalan dengan hukum gravitasi Newton yang dikembangkan

dalam interaksi sosial-ekonomi dimana dinyatakan bahwa interaksi antara dua

tempat dipengaruhi oleh besarnya aktivitas sosial dan produksi yang dihasilkan

oleh masyarakat di dua tempat tersebut, jarak antara dua tempat tersebut dan

besarnya pengaruh jarak dua tempat tersebut. Senada dengan hal tersebut Rustiadi

et al. (2009), juga menyatakan terdapat dua prinsip dari interaksi yaitu: (1) mesin

penggerak dari pergerakan dan interaksi adalah kekuatan dan dorong-tarik dari

supply-demand; dan (2) penghambat pergerakan dan interaksi adalah pengaruh

friction of distance.

Relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya

sistem transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa

sekitarnya menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi. Di sisi lain,

tidak terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di

desa-desa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam

bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi menyebabkan tidak

terbentuknya mesin penggerak dari interaksi tersebut.

Terkait dengan hal tersebut, Yulia (2005) juga mengemukakan bahwa

kebijaksanaan operasional dalam pembangunan kawasan transmigrasi hendaknya

perlu dilakukan dalam bentuk: (a) mendorong terwujudnya pengembangan

permukiman transmigrasi dalam satuan kawasan dengan memberikan pelayanan

dan subsidi untuk kebutuhan pemberdayaan di tingkat kawasan yang efektif bagi

pertumbuhan UPT dan desa setempat sebagai bagian dari kawasan; dan (b)

keterkaitan fungsional dengan kawasan sekitarnya.

Pembangunan fasilitas dan infrastruktur yang tidak berimbang ini juga mulai

memunculkan fenomena yang biasanya dikenal dalam keterkaitan desa kota, yaitu

backwash effect. Meningkatnya sumber daya ekonomi di desa-desa eks

Page 284: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

258

transmigrasi tidak secara otomatis diiringi peningkatan aksesibilitas masyarakat

desa-desa sekitarnya terhadap sumber daya ekonomi tersebut. Bahkan sebaliknya

yang terjadi adalah meningkatnya potensi masyarakat di desa-desa eks

transmigrasi dalam memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber daya desa-desa

sekitarnya. Fenomena ini terlihat dari mulai ditemukannya penduduk di desa-desa

eks transmigrasi yang diteliti yang memiliki lahan pertanian yang bersumber dari

pembelian lahan penduduk desa sekitarnya.

Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks transmigrasi

dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-upaya

pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas. Menurut Woolclock (1998),

diacu dalam Rustiadi (2009) salah satu ciri penting modal sosial pada tingkat

komunitas adalah keterkaitan (linkage) dalam suatu jaringan (network).

Berdasarkan unsur networking, modal sosial dapat dibedakan menjadi tiga

tipe yaitu (1) bonding social capital yang dicirikan oleh kuatnya ikatan (pertalian)

seperti antara anggota keluarga atau antara anggota dalam kelompok etnis

tertentu, yang terbangun dengan thick trust karena adanya rasa percaya antar

kelompok orang yang saling mengenal; (2) bridging social capital yang dicirikan

oleh semakin banyaknya ikatan antarkelompok misalnya asosiasi bisnis, kerabat,

teman dari berbagai kelompok etnis yang berbeda, yang terbangun dengan thin

trust, rasa percaya terhadap sekelompok orang yang belum dikenal; dan (3)

lingking social capital, yang dicirikan oleh hubungan antara berbagai tingkat

kekuatan dan status sosial yang berbeda seperti antarindividu dari berbagai kelas

yang berbeda.

Lemahnya pengembangan modal sosial ini khususnya dalam konteks

bridging social capital terlihat dari fakta di desa penelitian tidak terdapatnya

forum-forum ataupun lembaga/perkumpulan/organisasi yang dikembangkan yang

melibatkan secara bersama-sama masyarakat di desa transmigrasi dan masyarakat

di sekitar desa transmigrasi. Di desa penelitian sebagai contoh, kelompok tani,

koperasi, arisan warga, kelompok pengajian, perkumpulan olahraga terbentuk

secara terpisah antara desa transmigrasi dengan desa sekitarnya. Fakta ini muncul

dan diperkuat dengan kebijakan yang menjadikan desa-desa eks transmigrasi

Page 285: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

259

sebagai desa administratif baru yang terpisah dari desa induknya maupun desa

setempat.

Selain itu, pada tahap pembinaan (sub-tahap penyesuaian), perlakuan hanya

diberikan kepada transmigran untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya baik

secara sosial ekonomi, budaya dan fisik, dan tidak ada perlakuan yang sama

kepada masyarakat di sekitar desa transmigrasi. Ini menyebabkan rendahnya

proses penyesuaian masyarakat di sekitar desa transmigrasi terhadap budaya baru

dari pendatang dan pada tahap selanjutnya tidak berkembangnya rasa percaya

antar penduduk setempat dengan transmigran pendatang.

7.3.3 Pemodelan Perjalanan untuk Kegiatan Bekerja Model perjalanan bekerja dirumuskan sebagai berikut:

eXXXXXXXXXXXxg

DDDDDD

DDDDDDki

77664.54.53.53.52.52.5

1.51.544.332.22.21.21.2110)(

di mana:

g(xki) = peluang lokasi bekerja (0 = di desa; 1 = di luar desa)

X1 = Umur ( dalam tahun)

X2 = Jenjang pendidikan formal

X2.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP

X2.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas

X3 = Status Pekerjaan ( 0 = pekerjaan utama; 1 = pekerjaan sampingan)

X4 = Status dalam keluarga (0 = kepala keluarga; 1 = anggota keluarga)

X5 = Daerah asal

X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah

X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat

X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur

X5.D4 0 = Jambi; 1 = Lainnya

X6 = Luas lahan perkapita dalam keluarga (ha/jiwa)

X7 = Stadia Desa (0 = Rendah 1 = Tinggi)

1, 4, 6 , 7 < 0; 5.D1, 5.D2, 5.D3 0; 2.D1, 2.D2, 3, 4 > 0

Uji multikolinearitas antarpeubah bebas dari model dengan menggunakan

korelasi diberikan pada Lampiran 10. Dari Lampiran 10 terlihat bahwa nilai

korelasi peubah bebas relatif rendah. Dengan kata lain, tidak terdapat masalah

Page 286: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

260

multikolinearitas dalam model sehingga seluruh peubah bisa dan layak digunakan

dalam model

Selanjutnya uji Overall Model Fit dari model tersebut diberikan pada Tabel

89. Berdasarkan Omnibus Test of Model Coefficients didapatkan nilai statistik

Chi_Square sebesar 122,697 dengan probabilitas signifikansi (p) = 0.000. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa peubah bebas dalam model secara bersama-

bersama mempengaruhi keputusan dan perilaku individu dalam keluarga untuk

bekerja di desa atau di luar desa. Berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow

didapatkan nilai Chi-Square sebesar 9,220 dengan nilai p sebesar 0,324. Karena

Chi_Square tidak signifikan (p > 0,05), maka dapat disimpulkan probabilitas yang

diprediksi sesuai dengan probabilitas yang diobservasi. Dengan kata lain tidak ada

perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat dikatakan fit.

Tabel 89 Uji Overall Model Fit untuk model perjalanan bekerja

Chi-square df Sig.

Omnibus Test of Model Coefficients

Step 122.697 11 .000 Block 122.697 11 .000 Model 122.697 11 .000 Hosmer and Lemeshow Test 9.220 8 .324

Selanjutnya dari Tabel klasifikasi 2 x 2 memperlihatkan seberapa baik

model mengelompokkan kasus ke dalam dua kelompok baik yang bekerja di desa

maupun di luar desa. Keakuratan prediksi secara keseluruhan sebesar 89,9 persen

sedangkan keakuratan prediksi yang bekerja di luar desa kategori rendah dan

tinggi masing-masing 96,8 persen dan 53,7 persen.

Tabel 90 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan bekerja

Observasi Prediksi

Kategori Persentase Benar Rendah Tinggi

Kategori Rendah 275 9 96.8 Tinggi 25 29 53.7 Persentase Keseluruhan 89.9

Estimasi parameter dan uji parsial dalam model binari logit untuk perjalanan

bekerja diberikan pada Tabel 91. Berdasarkan hasil estimasi memperlihatkan

Page 287: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

261

bahwa umur (X1) berpengaruh signifikan negatif terhadap peluang bekerja antara

di desa dan luar desa. Semakin tua umur maka akan semakin menurunkan

probabilitas individu bekerja di luar desa. Dengan mengamati odds ratio dapat

dikemukakan bahwa individu yang berumur lebih tua satu tahun memiliki

probabilitas 0,991 kali untuk bekerja di luar desa dibandingkan dengan individu

berumur lebih muda.

Tabel 91 Estimasi parameter model perjalanan bekerja

Peubah B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Keterangan Peubah

X1 -.093 .024 14.957 1 .000 .911 Umur X2 15.010 2 .001 Pendidikan

X2.D1 .223 .625 .127 1 .721 1.250 SLTP X2.D2 1.749 .509 11.808 1 .001 5.749 SLTA

X3 .727 .470 2.395 1 .122 2.068 Pek. sampingan X4 2.520 .513 24.105 1 .000 12.433 Anggota keluarga X5 19.791 4 .001 Daerah asal

X5.D1 2.037 .702 8.430 1 .004 7.667 Jateng X5.D2 3.945 .925 18.175 1 .000 51.665 Jabar X5.D3 2.774 1.007 7.583 1 .006 16.028 Jatim X5.D4 3.024 1.051 8.271 1 .004 20.572 Lainnya

X6 -.083 .445 .035 1 .852 .920 Lahan X7 -.926 .425 4.740 1 .029 .396 Stadia Tinggi Konstanta -1.145 1.111 1.063 1 .302 .318

Tidak terdapat perbedaan peluang untuk bekerja di luar desa antara individu

yang berpendidikan SLTP (X2.D1) dengan yang berpendidikan SD ke bawah

(referensi). Hal ini ditunjukkan oleh koefisien dalam model yang tidak signifikan.

Namun demikian, koefisien pada kelompok pendidikan SLTA ke atas (X2.D2)

signifikan positif. Ini menunjukkan bahwa individu dengan pendidikan SLTA ke

atas memiliki peluang yang lebih tinggi untuk bekerja di luar desa dibandingkan

dengan individu berpendidikan SD ke bawah. Dari nilai odds ratio

memperlihatkan bahwa peluang individu yang berpendidikan SLTA ke atas untuk

bekerja di luar desa memiliki peluang 5,749 kali untuk bekerja di luar desa

dibandingkan individu yang berpendidikan SD ke bawah.

Status pekerjaan sampingan (X3.D1) tidak menunjukkan pengaruh yang

signifikan. Ini berarti bahwa peluang untuk bekerja di luar desa adalah sama

antara individu yang bekerja dalam status pekerjaan sampingan dengan yang

Page 288: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

262

bekerja dalam status pekerjaan utama (referensi). Sebaliknya, individu yang

berstatus sebagai anggota keluarga (X4.D1) menunjukkan pengaruh signifikan

positif. Ini berarti terdapat perbedaan peluang bekerja di luar desa antara anggota

keluarga dengan kepala keluaga (referensi). Dari nilai odds ratio terlihat bahwa

peluang anggota keluarga untuk bekerja di luar desa adalah 12,433 kali

dibandingkan kepala keluarga.

Terdapat perbedaan peluang individu yang berasal dari Jawa Tengah (X5.D1),

Jawa Barat (X5.D2), Jawa Timur (X5.D3) dan daerah lainnya (X5.D4) untuk bekerja di

luar desa dibandingkan dengan individu yang berasal dari Jambi (referensi).

Dengan mengamati odds ratio, peluang bekerja di luar desa untuk individu dari

Jawa Tengah 7,667 kali dibandingkan yang berasal dari Jambi, sedangkan untuk

individu dari Jawa Barat 51,665 kali, dari Jawa Timur 16,028 kali dan dari daerah

lainnya 20,572 kali dibandingkan yang berasal dari Jambi.

Luas lahan perkapita (X6) tidak berpengaruh signifikan terhadap peluang

bekerja di luar desa. Ini berarti tidak terdapat perbedaan peluang bekerja di luar

desa antara individu yang memiliki lahan luas maupun sempit.

Terdapat perbedaan peluang individu yang berada di desa-desa stadia tinggi

(X7) untuk bekerja di luar desa dibandingkan individu yang berada di desa-desa

stadia rendah (referensi). Dari odds ratio terlihat bahwa peluang individu di desa-

desa stadia tinggi adalah 0,318 kali dibandingkan individu yang berada di desa-

desa stadia rendah. Dengan kata lain, peluang individu untuk bekerja di luar desa

pada individu di desa-desa stadia tinggi lebih rendah dibandingkan individu di

desa-desa stadia rendah.

7.3.4 Pemodelan Perjalanan untuk Kegiatan Belanja Model perjalanan untuk kegiatan belanja dirumuskan sebagai berikut:

eXXXXXXXX

XXXXXXXxg

DD

DDDDDDDDDD

DDDDDDDDmi

994.84.8

3.83.82.82.81.81.8772.62.61.61.6

552.42.41.41.4.332.22.21.21.2110)(

di mana:

g(xmi) = peluang proporsi belanja di luar desa (0 = rendah; 1 = tinggi)

X1 = Umur Kepala Keluarga (tahun)

Page 289: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

263

X2 = Jenjang pendidikan formal Kepala Keluarga

X2.1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP

X2.2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas

X3 = Umur Istri (tahun)

X4 = Jenjang pendidikan formal Istri

X4.1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP

X4.2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas

X5 = Umur Anak Tertua (tahun)

X6 = Jenjang pendidikan formal Anak Tertua

X6.1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP

X6.2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas

X7 = Pendapatan perkapita keluarga (Rp 000 perbulan)

X8 = Daerah asal

X8.1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah

X8.2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat

X8.3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur

X8.4 0 = Jambi; 1 = Lainnya

X9 = Stadia Desa (0 = Rendah; 1 = Tinggi)

1, 3, 9, < 0

8.D1, 8.D2, 8.D3, 8.D4 0

2.D1, 2.D2, 4.D1, 4.D2, 5, 6.D1, 6.D2, 7 > 0

Uji multikolinearitas antarpeubah bebas dari model dengan menggunakan korelasi antar peubah diberikan pada Lampiran 11. Dari Lampiran 11 terlihat bahwa terdapat korelasi positif yang relatif tinggi ( > 0,85) antara umur kepala keluarga (suami) dengan umur isteri. Oleh karenanya, dalam pengembangan modelnya digunakan alternatif peubah rata-rata umur suami dan istri (X1_3) sebagai pengganti peubah X1 (umur KK) dan X3 (umur istri).

Selanjutnya, uji Overall Model Fit dari model tersebut diberikan pada Tabel 92. Berdasarkan Omnibus Test of Model Coefficients didapatkan nilai statistik Chi_Square sebesar 71,808 dengan probabilitas signifikansi (p) = 0.000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peubah bebas dalam model secara bersama-bersama mempengaruhi keputusan dan perilaku keluarga berbelanja di luar desa.

Page 290: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

264

Berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow didapatkan nilai Chi-Square

sebesar 3,996 dengan nilai p sebesar 0,857. Karena Chi_Square tidak signifikan (p

> 0,05), maka dapat disimpulkan probabilitas yang diprediksi sesuai dengan

probabilitas yang diobservasi. Dengan kata lain tidak ada perbedaan antara model

dengan data sehingga model dapat dikatakan fit.

Tabel 92 Uji Overall Model Fit untuk perjalanan belanja Chi-square df Sig.

Omnibus Test of Model Coefficients Step 71.808 14 .000 Block 71.808 14 .000 Model 71.808 14 .000 Hosmer and Lemeshow Test 3.996 8 .857

Tabel Klasifikasi 2 x 2 juga memperlihatkan tingginya tingkat keakuratan

prediksi model. Keakuratan prediksi secara keseluruhan sebesar 84,1 persen

sedangkan keakuratan prediksi untuk keluarga dengan proporsi kategori rendah

dan tinggi dalam hal berbelanja di luar desa masing-masing sebesar 93,7 persen

dan 41,7 persen.

Tabel 93 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan belanja

Observasi Prediksi

Kategori Persentase Benar Rendah Tinggi

Kategori Rendah 149 10 93.7 Tinggi 21 15 41.7 Persentase Keseluruhan 84.1

Estimasi parameter dan uji parsial model perjalanan untuk kegiatan belanja

diberikan pada Tabel 94. Berdasarkan Tabel 94 terlihat bahwa rata-rata umur

suami-istri (X1_3) menunjukkan pengaruh yang signifikan negatif terhadap

proporsi belanja di luar desa. Semakin tua umur maka akan semakin menurunkan

probabilitas keluarga tersebut untuk berada pada kategori keluarga dengan

proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa. Dengan mengamati odds ratio

dapat dikemukakan bahwa keluarga dengan rata-rata umur suami-istri yang lebih

tua (satuan 1 Tahun) memiliki probabilitas 0,638 kali untuk mencapai kategori

Page 291: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

265

keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa dibandingkan

keluarga dengan rata-rata suami-istri yang berumur lebih muda.

Tabel 94 Estimasi parameter model untuk perjalanan belanja

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

X1_3 -.449 .108 17.150 1 .000 .638 X2 2.815 2 .245

X2.D1 -1.060 .686 2.387 1 .122 .346 X2.D2 -1.006 .749 1.806 1 .179 .366

X4 8.582 2 .014 X4.D1 1.779 .647 7.558 1 .006 5.926 X4.D2 1.886 .780 5.843 1 .016 6.591

X5 .358 .106 11.394 1 .001 1.431 X6 5.906 2 .052

X6.D1 -25.438 4666.804 .000 1 .996 .000 X6.D2 2.498 1.028 5.906 1 .015 12.153

X7 .001 .000 4.660 1 .031 1.001 X8 2.732 4 .604

X8.D1 .726 .624 1.353 1 .245 2.066 X8.D2 1.013 1.019 .990 1 .320 2.755 X8.D3 1.449 1.177 1.515 1 .218 4.257 X8.D4 -.494 1.475 .112 1 .737 .610

X9 .542 .560 .940 1 .332 1.720 Konstanta 7.149 2.281 9.824 1 .002 1273.090

Pendidikan kepala keluarga (X2.D1 dan X2.D2) tidak berpengaruh terhadap

perilaku belanja di luar desa, namun demikian pendidikan istri menunjukkan

pengaruh signifikan positif. Keluarga dengan istri berpendidikan SLTP (X4.D1)

memiliki peluang belanja di luar desa sebesar 5,926 kali dan yang berpendidikan

SLTA (X4.D2) sebesar 6,591 kali dibandingkan dengan yang berpendidikan SD ke

bawah (referensi).

Umur anak (tertua) (X5) berpengaruh positif yang menunjukkan bahwa

semakin tinggi umur anak tertua maka semakin besar peluang keluarga tersebut

berbelanja di luar desa. Sebaliknya pendidikan anak tertua (X6) tidak berpengaruh

signifikan. Ini berarti juga tidak ada perbedaan perilaku berbelanja di luar desa

pada keluarga dengan berbagai tingkatan pendidikan anak.

Pendapatan per kapita keluarga (X7) berpengaruh signifikan positif terhadap

proporsi belanja di luar desa. Semakin besar pendapatan per kapita keluarga maka

Page 292: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

266

akan semakin meningkatkan probabilitas keluarga tersebut untuk berada pada

kategori keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa. Dengan

mengamati odds ratio dapat dikemukakan bahwa keluarga yang dengan

pendapatan per kapita lebih tinggi (satuan Rp 1000) memiliki probabilitas 1,001

kali untuk mencapai kategori keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di

luar desa dibandingkan keluarga dengan pendapatan per kapita lebih rendah.

Berdasarkan daerah asal kepala keluarga, tidak terdapat perbedaan peluang

dalam berbelanja di luar desa antara keluarga dengan kepala keluarga yang

berasal dari Jawa Tengah (X8.D1), Jawa Barat (X8.D2), Jawa Timur (X8.D3) dan

daerah lainnya (X8.D4) dibandingkan dengan kepala keluarga yang berasal dari

Jambi (referensi). Ini ditunjukkan oleh tidak signifikannya nilai koefisien pada

masing-masing peubah. Selanjutnya, estimasi parameter model memperlihatkan

bahwa tidak terdapat perbedaan peluang berbelanja di luar desa antara desa stadia

rendah (referensi) dengan desa stadia tinggi (X9) Ini berarti perilaku keluarga

dalam berbelanja di luar desa relatif sama antara desa-desa stadia tinggi dengan

stadia rendah.

Page 293: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

VIII. STADIA PERKEMBANGAN DESA DAN POLA PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI KE DEPAN

8.1. Model Baru Stadia Perkembangan Desa: Pengembangan atas Hipotesis Rustiadi Melalui sudut pandang demand side strategy, Rustiadi et al. (2009)

mengemukakan stadia perkembangan desa khususnya pada stadia pengembangan

kawasan transmigrasi yang dirujuk dalam penelitian ini. Stadia-stadia tersebut

adalah:

1. Stadia Sub-Subsisten. Pada tahap pertama ini transmigran masuk dalam stadia

sub-subsisten selama satu tahun. Pemerintah memberikan subsidi untuk

kebutuhan hidup (jadup) dan produksi. Pada tahap ini pemerintah juga

membangun berbagai fasilitas/ infrastruktur dasar dan pertanian.

2. Stadia Subsisten. Transmigran masuk dalam stadia subsisten dengan bermodal

lahan pekarangan dan Lahan Usaha I. Pada tahap kedua ini, transmigran

diharapkan dapat berproduksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan

pangannya sendiri (subsisten).

3. Stadia Marketable Surplus. Dengan adanya peningkatan sistem produksi

diharapkan transmigrasi akan memasuki stadia marketable surplus (hasil

usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya) terutama setelah dapat

diusahakannya Lahan Usaha II.

4. Stadia Industri Pertanian. Surplus hasil pertanian yang dicapai pada tahap

ketiga memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk

memenuhi permintaan barang-barang olahan utama. Adanya industri hasil

pertanian skala kecil meningkatkan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak

perlu jauh-jauh menjual ke kota.

5. Stadia Industri Non-Pertanian. Peningkatan pendapatan transmigran yang

diperoleh dari tahap 4 akan meningkatkan konsumsi produk-produk pertanian.

Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala

kecil.

6. Stadia Industrialisasi Perdesaan atau Urbanisasi Kota Kecil/Menengah. Pada

tahap ini, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan barang

mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri umum.

Page 294: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

268

Gambar 27 Model Awal hipotesis stadia perkembangan desa. Sumber: Rustiadi et al. (2009)

Merujuk pada stadia perkembangan desa tersebut, dan berdasarkan

pengujian dan konfirmasi data, penelitian ini menemukan suatu pola baru stadia

perkembangan desa sebagai bentuk pengembangan hitotesis stadia perkembangan

desa Rustiadi et al. (2009) tersebut. Pengembangan dilakukan terutama setelah

berada pada stadia marketable surplus (asumsi dasar ketika permukiman

transmigrasi telah lepas bina dan diserahkan ke pemerintah daerah).

Setelah stadia marketable surplus, desa eks transmigrasi masuk pada stadia

awal industri primer. Stadia ini ditandai oleh mulai berkembangnya industri hulu

pertanian yaitu industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk bahan

makanan atau industri. Jenis industri pada kelompok ini antara lain penggilingan

padi dan penyosohan beras, industri penggilingan dan pembersihan padi-padian

lainnya, pembuatan berbagai macam tepung dari padi-padian/biji-bijian/kacang-

kacangan/umbi-umbian, industri minyak mentah dari nabati dan hewani. Selain

itu, pada stadia ini juga mulai berkembangnya industri-industri non pertanian

primer seperti industri pengolahan tanah liat, barang-barang dari kayu, rotan,

Stadia Industrialisasi Perdesaan

Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah

Stadia Industri Non-Pertanian

Stadia Industri Pertanian

Stadia Marketable Surplus

Stadia Subsisten

Stadia Sub-Subsisten

Page 295: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

269

bambu dan sejenisnya, furnitur dan barang-barang logam lainnya. Kedua

kelompok industri ini merupakan industri-industri yang tumbuh karena didorong

kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat. Selanjutnya, pada stadia awal industri

primer, aktivitas perdagangan dan jasa masih bertumpu pada perdagangan dan

jasa yang ditujukan untuk alat dan bahan pertanian.

Berkembangnya industri ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat baik

sebagai akibat meningkatnya permintaan hasil pertanian (untuk bahan industri)

maupun peluang kerja yang tercipta dengan adanya industri tersebut. Peningkatan

masyarakat akan semakin meningkatkan daya beli masyarakat, oleh karenanya

industri hulu pertanian dan industri non-pertanian primer ini juga akan semakin

berkembang. Saat ini desa-desa masuk pada stadia lanjut industri primer.

Pada stadia lanjut industri primer ini juga mulai berkembang aktivitas

perdagangan dan jasa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer penduduk .

Berkembangnya aktivitas perdagangan dan jasa ini selain disebabkan oleh

berkembangnya industri juga menjadi faktor keberlanjutan perkembangan

aktivitas industri itu sendiri.

Berlanjutnya peningkatan masyarakat akan meningkatkan permintaan

barang-barang sekunder dan tersier. Ini menyebabkan tumbuhnya industri hilir

pertanian dan industri non-pertanian sekunder/tersier. Industri hilir pertanian

adalah industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk makanan jadi yang

antara lain pembuatan tempe dan tahu, pembuatan makanan dari kedele dan

kacang-kacangan selain kecap, tempe dan tahu, pembuatan kerupuk, keripik dan

sejenisnya dari ubi dan pisang, pengasinan/pemanisan buah-buahan dan sayur-

sayuran seperti asinan buah-buahan dan selai pisang. Oleh karenanya pada tahap

ini desa-desa masuk pada stadia industri sekunder/tersier.

Stadia ini juga menandakan masuknya desa-desa pada tahapan urbanisasi

kota kecil/menengah. Pada stadia ini, juga ditandai dengan berkembangnya

aktivitas perdagangan dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder

dan tersier penduduk.

Tahapan perkembangan desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ini

mungkin bervariasi pada provinsi-provinsi daerah tujuan transmigrasi lainnya di

Indonesia, sehingga diperlukan pengujian lebih lanjut untuk menjadikan model ini

Page 296: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

270

sebagai model umum dalam menganalisis perkembangan desa-desa eks

transmigrasi. Meskipun demikian, mengingat kebijakan pengembangan industri di

perdesaan yang relatif sama pada berbagai daerah di Indonesia, diperkirakan

bahwa kondisi tidak terjadinya stadia industrialisasi perdesan juga akan berlaku

sama pada daerah-daerah lainnya.

Secara diagramatis, model baru stadia perkembangan desa berdasarkan hasil

temuan penelitian ini diberikan sebagai berikut:

Gambar 28 Model baru stadia perkembangan desa.

8.2 Menuju Pola Pengembangan Kawasan Transmigrasi ke Depan Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, pembangunan permukiman

transmigrasi dirancang secara hirarkis dari satuan terkecil berupa SP (Satuan

Pemukiman) ke satuan yang lebih besar yaitu SKP (Satuan Kawasan

Pemukiman)/ LPT (Lokasi Permukiman Transmigrasi) dan WPP (Wilayah

Pengembangan Parsial)/ WPT (Wilayah Pengembangan Transmigrasi), yang

saling menopang dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi serta

distribusi barang dan jasa hingga membentuk suatu pusat pertumbuhan ekonomi

dan administrasi wilayah.

Stadia Industri Sekunder/Tersier

Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah

Stadia Lanjut Industri Primer

Stadia Awal Industri Primer

Stadia Marketable Surplus

Stadia Subsisten

Stadia Sub-Subsisten

Perdagangan dan jasa alat/bahan pertanian

Perdagangan dan jasa untuk kebutuhan primer

Perdagangan dan jasa untuk kebutuhan sekunder/ tersier

Page 297: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

271

Kumpulan beberapa SP (5–7 SP) dinyatakan sebagai LPT/SKP. Pada era

setelah otonomi daerah LPT tidak hanya terdiri dari SP/PTB (satuan

permukiman/permukiman transmigrasi baru), tetapi juga PTA (permukiman

transmigrasi yang sudah ada atau desa-desa eks transmigrasi), PDS (desa

setempat) dan Sisipan (Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS). Selanjutnya,

mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997, salah satu satuan

permukiman dalam SKP disiapkan menjadi desa utama atau pusat kawasan

perkotaan baru. Dalam konteks desa utama ini, meskipun tidak terdapat batasan

yang tegas, tetapi kecenderungannya adalah ditempatkan pada SP/PTB atau PTA.

Kumpulan 3-5 LPT/SKP dinyatakan sebagai WPT dan salah satu

LPT/SKP merupakan “kota” umumnya yang sudah berkembang serta mempunyai

aksesibilitas tinggi, dan mempunyai orientasi sehingga mampu membentuk

simpul jasa distribusi yang berfungsi sebagai pusat pengembangan (pusat WPT).

Pusat WPT berfungsi sebagai pintu gerbang simpul jasa distribusi, yang berperan

sebagai gerbang masuk dan keluarnya ekspor impor ke WPT-WPT yang ada di

sekitarnya.

Gambar 29 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. Sumber: Priyono dan Fatimah (2010) Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman

Transmigrasi yang Sudah Ada (eks unit permukiman transmigrasi); PDS = Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS

= Desa utama atau Pusat kawasan (antara SP/PTB atau PTA)

PDS 300-500 KK

Sisipan 300-500 KK

LPT/SKP LPT/SKP

Sisipan 300-500 KK

PDS 300-500 KK

LPT/SKP

PDS 300-500 KK

Sisipan 300-500 KK

WPT 9000 KK 36000 jiwa PP 2/1999

PTA 300-500 KK

SP/PTB 300-500 KK

PTA 300-500 KK

SP/PTB 300-500 KK

SP/PTB 300-500 KK

PTA 300-500 KK

Page 298: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

272

Pembangunan kewilayahan transmigrasi secara hirarkie tersebut pada

dasarnya mengacu pada teori tempat sentral yang menyatakan adanya hirarkie

tempat di mana setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih

kecil yang menyediakan sumber daya (industri dan bahan baku). Pembangunan

transmigrasi tersebut juga pada dasarnya mengacu pada teori pusat pertumbuhan

yang terlihat dari tujuan pembangunan transmigrasi untuk membangun pusat-

pusat pertumbuhan baru di daerah. Dengan berkembangnya permukiman

transmigrasi diharapkan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan yang dapat

mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitarnya melalui perkaitan

antarindustri serta perkaitan fungsional demand-supply.

Namun dalam prakteknya hal tersebut tidak berlangsung sesuai dengan

konsep yang direncanakan, karena wilayah di luar permukiman transmigrasi yang

diskenariokan sebagai pusat pelayanan proses produksi (penyedia input, jasa

keuangan, pengolahan hasil dan pemasaran) tidak dapat berperan sebagaimana

yang diharapkan. Hal ini disebabkan tidak tersedianya infrastruktur, fasilitas dan

kelembagaan yang memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan

pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi.

Tidak terbangunnya berbagai infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan

sehingga tidak tumbuhnya berbagai aktivitas produksi di sekitar permukiman

transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) dengan

permukiman transmigrasi disebabkan lemahnya koordinasi pembangunan

antarlembaga yang terkait khususnya Kementerian Transmigrasi dan Kementerian

Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah. Rancangan pembangunan kawasan

transmigrasi setelah otonomi daerah pada dasarnya tidak hanya melibatkan desa-

desa transmigrasi tetapi juga desa-desa eks transmigrasi dan desa setempat (yang

berada dalam kewenangan Kementerian Dalam Negeri). Namun demikian, tidak

terdapat koordinasi dalam hal pelaksanaan pembangunannya sehingga

pembangunan permukiman transmigrasi tidak berjalan searah dengan

pembangunan yang dilaksanakan pada desa-desa setempat yang berada dalam

kawasan transmigrasi tersebut.

Pada dasarnya, aplikasi konsep pusat pertumbuhan dalam pembangunan

wilayah tidak akan dapat menghasilkan ekspansi yang besar ke daerah sekitarnya

Page 299: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

273

jika tidak terdapat interaksi yang kuat antara core (pusat pertumbuhan) dengan

daerah tepi (periphery). Oleh karenanya dalam pembangunan pusat pertumbuhan

harus diikuti dengan kebijakan/intervensi pemerintah untuk menumbuhkan

interaksi antara core dan periphery ini.

Selain itu, dalam kasus pembangunan transmigrasi yang salah satu

tujuannya adalah memperkukuh persatuan kesatuan bangsa, maka interaksi yang

dibangun tidak hanya mencakup interaksi demand-supply secara ekonomi, tetapi

juga harus melibatkan interaksi sosial antara permukiman transmigrasi (penduduk

pendatang) dengan desa setempat. Interaksi sosial yang kuat diharapkan dapat

meminimalkan potensi konflik yang mungkin terjadi antara pendatang dengan

budaya yang berbeda terhadap penduduk setempat. Interaksi sosial juga akan

menjadi faktor pendukung ke pencapaian interaksi demand-supply yang kuat.

Potensi konflik ini juga dapat diminimalkan dengan menempatkan

pembangunan transmigrasi sebagai bagian dari pembangunan daerah dan tidak

ekslusif hanya sebagai bentuk pembangunan kawasan transmigrasi. Dengan

menempatkan pembangunan kawasan transmigrasi sebagai bentuk pembangunan

daerah juga memungkinkan untuk meningkatkan koordinasi lembaga terkait

dalam pelaksanaan pembangunannya.

Berdasarkan hal tersebut, maka pola pembangunan kawasan transmigrasi ke

depan yang sesuai adalah pembangunan transmigrasi dengan pendekatan kutub

pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-spasial. Sebagaimana

konsep pembangunan kawasan transmigrasi yang sudah berjalan saat ini, konsep

baru ini juga menggunakan pendekatan struktur wilayah pengembangan

berdasarkan satuan wilayah ekonomi. Perbedaan yang mendasar adalah terletak

pada unit permukiman (desa) yang tercakup di dalamnya. Satuan Kawasan

Permukiman (SKP) dalam konsep ini bisa terdiri dari gabungan hanya satuan

permukiman transmigrasi (SP/PTB), tetapi bisa juga terdiri dari campuran dari

satuan permukiman transmigrasi (SP/PTB), desa-desa eks permukiman

transmigrasi (PTA), desa setempat (PDS) dan sisipan serta bisa juga terdiri

gabungan hanya desa-desa setempat (PDS). Oleh karenanya, konsep ini tidak

menggunakan istilah Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) tetapi

menggunakan istilah SKP (satuan kawasan permukiman).

Page 300: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

274

Gambar 30 Konsep baru pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-spasial.

.Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman Transmigrasi yang Sudah Ada (eks unit permukiman transmigrasi); PDS = Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS; WPD = Wilayah Pengembangan Desa

= Desa utama atau Pusat kawasan (satu dalam satu kawasan)

Unit-unit desa pada masing-masing SKP saling berinteraksi secara sosial-

fungsional-spasial. Pengembangan interaksi secara sosial dilakukan melalui

pendekatan pengembangan modal sosial dalam masyarakat khususnya dalam

konteks bridging social capital. Pengembangan interaksi fungsional dilakukan

melalui pembangunan infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang terkait secara

fungsional antardesa. Pengembangan interaksi spasial dilakukan melalui

pengembangan keterkaitan fisik yang kuat antardesa.

SKP SKP

PDS 300-500 KK

PDS 300-500 KK

PDS 300-500 KK

SKP

SP/PTB 300-500 KK

SP/PTB 300-500 KK

SP/PTB 300-500 KK

WPD

9000 KK 36000 jiwa

PTA 300-500KK

Sisipan 300-500KK

PDS 300-500KK

SP/PTB 300-500KK

SP/PTB 300-500KK

PDS 300-500KK

Page 301: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

275

Pentingnya pengembangan modal sosial, infrastruktur, fasilitas,

kelembagaan dan keterkaitan fisik ini menjadi penting dalam kerangka

peningkatan interaksi antara desa transmigrasi dengan desa sekitarnnya. Hal ini

didasarkan dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa keseluruhan faktor

tersebut di atas menjadi faktor penyebab utama rendahnya interaksi penduduk di

desa transmigrasi dengan desa sekitarnya.

Selanjutnya pada masing-masing SKP terdapat satu lokasi yang menjadi

desa utama atau pusat kawasan. Pusat kawasan dapat dirancang untuk

ditempatkan pada desa-desa setempat, desa eks transmigrasi, desa sisipan maupun

permukiman transmigrasi baru (PTB). Dengan kata lain, pusat kawasan tidak

hanya harus ditempatkan pada desa-desa transmigrasi.

Pusat kawasan yang ada pada suatu SKP juga memiliki keterkaitan dengan

pusat kawasan pada SKP yang lain baik secara sosial-fungsional-spasial.

Gabungan dari beberapa SKP membentuk Wilayah Pengembangan Desa (WPD)

dan gabungan dari beberapa WPD akan membentuk Wilayah Pengembangan

Parsial (WPP). Kerangka perencanaan dan penetapan WPD dan WPP harus

diletakkan dalam kerangka pengembangan wilayah di daerah secara utuh. Oleh

karenanya pembangunan transmigrasi dalam konsep menjadi satu bagian yang

tidak ekslusif dan tidak terpisah dengan pembangunan kewilayahan di daerah

dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah yang sudah ada.

Page 302: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

276

Page 303: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut:

1. Perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat ditentukan berdasarkan

kesejahteraan penduduk, aktivitas non-pertanian dan aktivitas pertanian.

Ketiga indikator tersebut pada dasarnya tidak hanya bermanfaat untuk desa-

desa eks transmigrasi, tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan tahapan

perkembangan desa secara umum.

Perkembangan aktivitas non pertanian, baik pada sektor sekunder (industri)

maupun sektor tersier (jasa) tidak identik dengan kemunduran aktivitas

pertanian. Fakta dari penelitian ini menemukan bahwa berkembangnya

aktivitas pertanian semakin mendorong berkembangnya aktivitas non

pertanian, yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan masyarakat

perdesaan.

Berkembangnya industri-industri di perdesaan merupakan faktor penting

untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat. Industri

perdesaan selain meningkatkan permintaan dan harga jual produk-produk

pertanian juga mampu meningkatkan produktivitas pertanian melalui

penyerapan kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Selanjutnya,

bersamaan dengan berkembangnya industri juga akan berkembang aktivitas-

aktivitas perdagangan dan jasa lainnya sebagai aktivitas pendukung

tumbuhnya aktivitas industri.

Terkait dengan aktivitas non-pertanian ini, selain peningkatan dalam jumlah

unit usaha industri, perdagangan dan jasa, bersamaan dengan peningkatan

stadia perkembangan desa juga terjadi pergeseran dalam aktivitas non-

pertanian tersebut. Jenis-jenis usaha industri, perdagangan dan jasa

berkembang dari pemenuhan untuk kebutuhan-kebutuhan primer ke arah

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier penduduk.

2. Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ini ditentukan oleh jarak lokasi

permukiman terhadap pusat-pusat kegiatan, sarana-prasarana (terutama sarana

Page 304: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

278

jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik transmigran (dari proses

seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran, serta faktor-faktor

kinerja makro wilayah kabupaten.

Desa-desa yang berjarak relatif jauh dari pusat kegiatan ekonomi (dalam hal

ini ibu kota kabupaten) serta memiliki kualitas jalan yang kurang memadai

cenderung memiliki perkembangan yang lebih lambat (berada pada stadia

rendah). Ini menunjukkan bahwa lokasi-lokasi transmigrasi dengan tingkat

keterkaitan yang kuat dengan pusat pertumbuhan/kegiatan (yang secara umum

digambarkan oleh jarak yang relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan

(aksesibilitas) tinggi menuju lokasi desa akan memiliki peluang yang lebih

besar untuk mencapai perkembangan yang tinggi.

Komoditi tanaman utama yang dikembangkan di desa juga menunjukkan

pengaruh terhadap perkembangan desa. Desa dengan komoditi tanaman

pangan cenderung memiliki perkembangan yang lambat dibandingkan

tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit).

Dibandingkan dengan tanaman perkebunan, hasil-hasil pertanian tanaman

pangan memiliki nilai jual produk yang relatif kurang menguntungkan

dibandingkan tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit). Ini menyebabkan

tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa dengan komoditi tanaman

pangan juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan desa-desa dengan

komoditi tanaman perkebunan. Kondisi ini juga diperburuk oleh kenyataaan

tingkat perawatan sistem pengairan (khususnya pada tanaman padi) serta

banyaknya lokasi desa-desa tanaman pangan yang dilanda banjir (sebagian

desa-desa ini berada di dataran rendah).

Desa-desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki peluang yang lebih

besar untuk mencapai stadia tertinggi. Lama penempatan ini terkait dengan

proses penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta

kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejahteraan.

Semakin lama transmigrasn di lokasi, maka semakin besar proses penyesuaian

diri yang dilakukannya.

Berdasarkan daerah asal terlihat bahwa kinerja transmigran dari Jawa Tengah

lebih baik dibandingkan daerah-daerah lainnya. Hal ini terlihat dari kenyataan

Page 305: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

279

bahwa desa-desa eks transmigrasi dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah

cenderung memiliki perkembangan yang lebih baik.

Selanjutnya, kinerja makro wilayah juga menjadi faktor penentu

perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Semakin banyak perusahaan/usaha

yang berkembang di kabupaten lokasi desa eks transmigrasi meningkatkan

peluang desa-desa tersebut untuk mencapai perkembangan yang lebih baik.

Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah pada dasarnya terkait dengan

peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Semakin

banyak perusahaan/usaha pada semakin besar peluang penduduk untuk

mendapatkan pekerjaan dan semakin tinggi kesejahteraan mereka.

3. Pada tingkat individu/keluarga pencapaian kesejahteraan yang lebih baik pada

transmigran dipengaruhi oleh budaya (etos) kerja, pendidikan, beban

tanggungan keluarga dan kemampuan mempertahankan kepemilikan lahan.

Etos kerja yang lebih tinggi pada transmigran asal Jawa menyebabkan mereka

lebih sejahtera dibandingkan transmigran lokal (asal Jambi).

Bersamaan dengan etos kerja ini, pendidikan transmigran juga mempengaruhi

pencapaian perkembangan stadia tertinggi. Desa-desa stadia tinggi cenderung

memiliki kepala keluarga dengan pendidikan yang lebih baik dibandingkan

desa-desa stadia rendah.

Dari struktur keluarga menunjukkan adanya pengaruh beban tanggungan

keluarga terhadap kesejahteraan transmigran sekaligus pencapaian stadia desa.

Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa desa-desa stadia tinggi umumnya

memiliki angka beban tanggungan keluarga yang lebih rendah dibandingkan

desa-desa stadia rendah.

Faktor lainnya yang terkait dengan kesejahteraan transmigran adalah

kemampuan dalam mempertahankan kepemilikan lahan. Desa-desa stadia

tinggi cenderung memiliki proporsi keluarga dengan kepemilikan lahan yang

lebih besar dibandingkan desa-desa dengan stadia rendah.

4. Hasil penelitian menemukan rendahnya interaksi desa-desa eks transmigrasi

dengan desa non-transmigrasi. Rendahnya interaksi ini disebabkan tidak

terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di

desa-desa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional

Page 306: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

280

(dalam bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi. Di sisi lain,

relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya sistem

transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa sekitarnya

menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi.

Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks transmigrasi

dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-upaya

pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas, dimana salah satu ciri

pentingnya adalah keterkaitan dalam suatu jaringan

Lemahnya pengembangan modal sosial ini khususnya dalam konteks bridging

social capital terlihat dari fakta di desa penelitian tidak terdapatnya forum-

forum ataupun lembaga/perkumpulan/organisasi yang dikembangkan yang

melibatkan secara bersama-sama masyarakat di desa transmigrasi dan

masyarakat di sekitar desa transmigrasi. Selain itu, pada tahap pembinaan

(sub-tahap penyesuaian), perlakuan hanya diberikan kepada transmigran untuk

bisa beradaptasi dengan lingkungannya baik secara sosial ekonomi, budaya

dan fisik, dan tidak ada perlakuan yang sama kepada masyarakat di sekitar

desa transmigrasi. Ini menyebabkan rendahnya proses penyesuaian

masyarakat di sekitar desa transmigrasi terhadap budaya baru dari pendatang

dan pada tahap selanjutnya tidak berkembangnya rasa percaya antar penduduk

setempat dengan transmigran pendatang.

9.2 Saran Kebijakan

Dari kesimpulan yang diberikan, terdapat dua saran kebijakan yang dapat

dikembangkan dalam pembangunan perdesaan secara umum dan pengembangan

transmigrasi ke depan yaitu:

1. Pentingnya industri perdesaan dalam meningkatkan aktivitas dan produktivitas

pertanian serta keberlangsungan kesejahteraan masyarakat perdesaan

menunjukkan indikasi perlunya intervensi faktor eksternal baik dari pihak

pemerintah maupun pihak swasta dalam mengembangkan industri perdesaan.

Intervensi tersebut dapat berupa pengembangan keterampilan, bantuan

permodalan, maupun penciptaan iklim investasi agar industri perdesaan dapat

berkembang dengan baik. Selain itu, perlu dikembangkan kebijakan dalam

Page 307: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

281

pengintegrasian industri perdesaan dengan industri perkotaan dalam bentuk

penyusunan jalur kesinambungan atau processing berkesinambungan.

2. Dalam pengembangan transmigrasi sebagai program pembangunan perdesaan

dan pembangunan daerah, penelitian ini menyarankan pola pembangunan

kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi

secara sosial-fungsional-spasial. Pengembangan interaksi secara sosial

dilakukan melalui pendekatan pengembangan modal sosial dalam masyarakat

khususnya dalam konteks bridging social capital. Pengembangan interaksi

fungsional dilakukan melalui pembangunan infrastruktur, fasilitas dan

kelembagaan yang terkait secara fungsional antardesa. Pengembangan interaksi

spasial dilakukan melalui pengembangan keterkaitan fisik yang kuat antardesa.

Kerangka perencanaan dan penetapan kawasan transmigrasi harus diletakkan

dalam kerangka pengembangan wilayah di daerah secara utuh. Oleh karenanya

pembangunan transmigrasi dalam konsep menjadi satu bagian yang tidak

ekslusif dan tidak terpisah dengan pembangunan kewilayahan di daerah. Untuk

itu diperlukan perkuatan koordinasi antarinstansi terkait dalam perencanaan

dan pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi tersebut.

9.3 Saran Penelitian Lanjutan 1. Model pengukuran perkembangan desa ini dapat diterapkan untuk melihat

tahapan perkembangan desa secara umum. Oleh karenanya, disarankan untuk

penelitian lanjutan adalah menggunakan peubah-peubah yang digunakan pada

penelitian ini pada desa-desa non-transmigrasi agar dapat dibandingkan

perbedaaan/persamaan proses yang terjadi dengan desa-desa eks transmigrasi.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan unsur-unsur potensial yang

dapat digunakan untuk mengembangkan modal sosial antara permukiman

transmigrasi dengan desa sekitarnya, khususnya pada aspek interaksi.

Page 308: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

282

Page 309: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah P, Alisjahbana A, Effend N, Boediono. 2002. Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Yogyakarta: BPFE-UGM.

Adiatmojo GD. 2008. Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan di Lahan Kering (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

Adisasmita R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Adisasmita R. 2008. Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Jakarta: Graha Ilmu.

Alkadri. 2001. Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah. Jakarta: BPPT.

Alkadri, Muchdie, Suhandojo. 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumber daya Manusia dan Teknologi. Jakarta: BPPT

Ahmad R. et al. 1998. Membangun Desa-Desa Transmigrasi (Membangun UPT Model). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan RI.

Ananta A. 1986. Transmigrasi: Suatu Analisis Ekonomi. Di dalam: Swasono SE, Singarimbun M, editor. Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1904 – 1985. Jakarta: UI-Press

Anharudin, Dewi RN, Anggraini R. 2006 Membidik Arah Kebijakan Transmigrasi Pasca Reformasi. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.

Anharudin, Priyono, Susilo SRT. 2008. Transmigrasi di Era Kabinet Indonesia Bersatu. Jakarta: Bangkit Daya Insana

Anwar A. 2005. Peranan Perencanaan Inter-Regional yang Mendukung Pertumbuhan Ekonomi. Di dalam Ahmad WM, editor. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor: P4W Press.

[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2003. Model Pengelolaan dan Pengembangan Keterkaitan Program Dalam Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan Andalan. Jakarta: Bappenas.

[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2005. Laporan Hasil Evaluasi Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh (Sub Program Transmigrasi). Jakarta: Bappenas.

[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2006. Keterpaduan Kebijakan Antar Sektor dan Antar Daerah dalam Peningkatan Daya Saing Kawasan Andalan dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Bappenas.

Page 310: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

284

Belke A, Heine J. 2004. Specialisation Pattern and the Synchronicity of Regional Employment Cycles in Europe. Discussion Paper No.1439: Institute for the Study of Labor. IZA . Bonn: Institute for the Study of Labor. IZA

Bintarto. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia

Blair JP. 1991. Urban and Regional Economics. Boston: Richard D. Irwin, Inc.

Boar BH. 1993. The Art of Strategic Planning for Information Technology, Crafting Strategy for The 90s. New York. John Wiley & Sons, Inc.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal Tahun 2002. Jakarta: Badan Pusat Statistik

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta: BPS.

[BPS Jambi] Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2011. Jambi dalam Angka 2011. Jambi: BPS

Bradley R, Gans JS. 1998. Growth in Australian Cities. Economic Record 74: 266-278

Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita.

Collier WL, Santoso K, Soentoro, Wibowo R. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Perdesaan di Jawa: Kajian Perdesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Darnela, L. 2007. Sustainable Development: Paradigma Baru dalam Kebijakan Bank Dunia. SOSIO-RELIGIA 6 (5): 1-21

Deni R, Djumantri M. 2002. Pergeseran Pendekatan dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah/Kawasan di Indonesia. Di dalam: Winarso H et al. editor. Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam era Transformasi di Indonesia. Bandung. Departemen Teknik Planologi ITB.

[Deptrans & PPH] Departeman Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. 1999. Visi, Misi, dan Paradigma Baru Pembangunan Transmigrasi. Seminar Ketransmigrasian. Bandung. PPK-UNPAD.

Direktorat Pengembangan Kawasan Ditjen Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Pendekatan dan Program Pengembangan Wilayah. Bulletin Kawasan 2.

[Disosnakertrans Pemprov Jambi] Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Jambi. 2010. Buku Selayang Pandang Penyelenggaraan Transmigrasi Provinsi Jambi. Jambi: Disosnakertans Pemprov Jambi

Dixon JA. 1980. Biaya-biaya Pemukiman Atas Areal Tanah dan Alternatif-alternatifnya. Prisma 8(5): 68-83

Page 311: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

285

Djojoprapto T. 1995. Perkembangan penyelenggaraan transmigrasi. Di dalam Utomo M, Ahmad R. editor. 90 tahun Kolonisasi, 45 tahun Transmigrasi: Redistribusi penduduk di Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.

Douglass M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third World Planning Review 20(1): 1-22

Downey W, Steven PE. 1987. Agribusiness Management. New York. Mc Graw Hill Book Company.

Edillon RG. 2008. Social Protection to Secure the Right to Food of Everi Filipino. Manila: FAO Fiat Panis.

Esman MJ, Uphoff NT. 1988. Local Organizations: Intermediaries in Rural Development, Itacha dan London: Cornell University Press

Fearnside PM. 1997. Transmigration in Indonesia: Lesson from its Enviromental and Social Impacts. Enviromental Management 21(4): 553-570

Fowler A. 1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO. Centres for Study and Development. Sustainable Agriculture Programe. London: International Institute for Environment Environment and Development.

Freshwater D. 2000. The Promotion of Employment and Economic Development. Makalah di presentasikan dalam Rural21. Postdam, Germany: Juni 4 – 8, 2000

Fu CL. 1981. Rural-Urban Relations and Regional Development. Singapore: Huntsmen Offset Printing Pte Ltd.

Ghozali I. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: BP Undip.

Hadjisarosa P. 1988. Regional Development. Di dalam Birowo et al. editor. Settlement Concept As An Integrated Part of Regional and Rural Development. Jakarta: Mercu Buana University.

Hadjisarosa P. 1982. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia. Jakarta: BP PU.

Hafsah MJ. 2006. Pembangunan Perdesaan. Di dalam: Rustiadi E, Hadi S, Ahmad WM, editor. Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. Bogor: Crestpent Press. hlm. 68-72.

Handayani SA. 1994. Transmigrasi di Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Jember: Universitas Jember.

Hansen GE. 1981. Agricultural and Rural Development in Indonesia. Colorado: Wetview Press.

Harmantyo D. 2007. Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara Sains 11 (1): 16-22

Page 312: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

286

Haruo N. 2000. Regional Development in Third World Countries: Paradigms and Operational Principles. Tokyo: The International Development Journal Co.Ltd.

Haryati, Soegiharto S, Priyono, Wibowo DP, Purbandini L, Warsono SH. 2006. Studi Pembangunan Pusat Pertumbuhan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Hayami Y, Kikuchi M. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Asian Village Economy at the Crossroads: An Economic Approach to Institutional Change

Heeren HJ. 1979. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Hilhorst JGM. 1971. Regional Planning: A System Approach. Rotterdam: Rotterdam University Press.

Horton PB, Hunt CL. 1982. Sociology. New York: Mc. Graw Hill Jamal E. 2009. Membangun Momentum Baru Pembangunan Perdesaan di

Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 28(1):7-13 Jayadinata JT. 1986. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan,

Perkotaan dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB.

Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press.

Junaidi, Hardiani. 2009. Dasar-Dasar Teori Ekonomi Kependudukan. Bogor: Hamada Prima

Kemenakertrans. 2011. UPT Menjadi Pusat Pemerintahan 2010. http://www.depnakertrans.go.id/pusdatin.html,110,16,ptrans [5 Januari 2011]

Kemenakertrans. 2012. UPT Penempatan Transmigrasi dari Era Kolonisasi s/d Tahun 2011. http://www.depnakertrans.go.id/pusdatin.html,8,352,ptrans [24 Januari 2012]

[Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan. Jakarta: Kemendagri

Koestoer, Hendro R, Yanti. 1995. Perspektif Lingkungan Desa Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Krugman P, Venables AJ. 1995. Globalization and Ineequality of Nations. Quarterly Journal of Economics 60: 857-880

Krugman P. 1998. The Role of Geography in Development. Paper prepared for the Annual World Bank Conference on Development Economics. Washington D.C. April 20-21 1998

Lee ES. 1992. Teori Migrasi. Yogyakarta: PPK-UGM Mac.Kinnon D. 2008. Evolution, Path Depedence and Economic Geography.

Geography Compass 2: 1449-1463

Page 313: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

287

Malmberg A, Maskell P. 1997. Towards an Explanation of Industry Agglomeraion and Regional Spezialitation. European Planning Studies 5(1): 25-41.

Manuwiyoto M. 2008. Transformasi Paradigma Baru Pembangunan Transmigrasi. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Marr C. 1990. Uprooting People, Destroying Cultures, Indonesia's Social Transmigration Program. Multinational Monitor Oktober 1990: 12-15.

Massey D. 1984. Spatial Division of Labour: Social Structure and The Geography of Production. London: Hogarth

McCullagh P, Nelder JA. 1992. Generalized Linear Models. London. Chapman & Hall.

Mercado RG. 2002. Regional Development in The Philippine: A Review of Experience, State of The Art and Agenda for Research and Action. Discussion Paper Series. Phillipine: Institute for Development Studies.

Midgley J, Tracy MB, Livermore M. 2000. Introduction Social Policy and Social Welfare. Di dalam: Midgley J, Tracy MB, Livermore M, editor. The Handbook of Social Policy. London: Sage

Mills Edwin S, Hamilton Bruce W. 1989. Urban Economic. 4th edition. New York: Harper Collin.

Misra RP, Bhoosan BS. 1981. Rural Development: National Policies and Experiences. Nagoya: UNCRD

Monbiot G. 1989. Poisoned Arrows. London: Michael Joseph.

Montgomery MR. 1988. How Large is too Large? Implication of the City Size Literature for Population Policy and Research, Economic Development and Cultural Change 36: 691-720.

Mosher AT. 1974. Creating A Progressive Rural Structure. New York: Agriculture Development Council Inc.

Mulyanto 2007. Pengembangan dan Pengukuran Indikator Pembangunan Daerah di Era Otonomi dan Desentralisasi. Region 2(1). 53-66

Munasinghe M. 1993. Enviromental Economics and Sustainable Development. World Bank Enviromental Paper No. 3. The World Bank. Washington DC, Washington

Murdoch J. 2000. Network–a new paradigm of rural development. Journal of Rural Studies 16: 407-419.

Najiyati S. 2003. Peluang Pengembangan Koorporasi Usaha Pertanian di Permukiman Transmigrasi Pola Tanaman Pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian 1: 37 - 54

Najiyati S, Purbandini L, Warsono SH, Manurung NP, Yodrio, Saidin S, Ernawati L, Ratim, Slamet. 2005, Studi Pengembangan Kebijakan Perluasan Kesempatan Kerja di Kawasan Transmigran. Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian.

Page 314: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

288

Najiyati S et al. 2006. Studi Kontribusi Transmigrasi Terhadap Ketahanan Pangan. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.

Najiyati S. 2008. Uji Coba Penghitungan Indeks Pembangunan Transmigrasi (IPT). Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.

Najiyati S, Wasono SH, Manurung L, Anharudin, Kuswandari D. 2008. Transmigrasi dan Pengembangan Masyarakat Desa Sekitar. Jakarta: Bangkit Daya Insana.

Nasoetion LI, Tadjudin D. 1985. Teori Titik Balik Evaluasi Menuju Adaptasi Perencanaan Pembangunan dengan Pendekatan dari Bawah. Bogor: Zona HIPIPWI.

Ndraha T. 1984. Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta: Bina Aksara Nugroho I, Dahuri R. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial,

dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. O'Hara PA. 2002. The Contemporary Relevance of Thorstein Veblen's

Institutional-Evolutionary Political Economy. History of Economics Review - Electronic Archive 35: 78-103

O’ Sullivan A 2009. Urban Economic. 7th ed. New York: McGraw-Hill Irwin. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1985. A Review of Policies Affecting

Sustainable Development of Forest Lands in Indonesia. Di dalam: Dephut editor. Forest Policies in Indonesia: The Sustainable Development of Forest Lands. Jakarta: Departemen Kehutanan

Poernomosidhi H. 1981. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia. Makalah dalam Pertemuan Antara Ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: 24 Juni 1981

Prabowo D. 1995. Diversifikasi Perdesaan. Jakarta: UI-Press. Pradhan PK. 2003. Manual for Urban Rural Linkage and Rural Development

Analysis. Kirtipur Kathmandu: New Hira Books Enterprises. Pranadji T. 2002. Reformasi Aspek Sosio-Budaya Untuk Kemandirian

Perekonomian Perdesaan. Seminar Nasional: Menggalang Masyarakat Indonesia Baru Yang Berkemanusiaan. Makalah. Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Tanggal 28-29 Agustus 2002 di Bogor-Jawa Barat.

Pranoto S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Priyono et al. 2002. Studi Manajemen Pemberdayaan Kawasan Transmigrasi Umum Tanaman Pangan Lahan Kering dan Lahan Basah. Jakarta: Puslitbang Depnakertrans.

Priyono dan Fatimah S. 2010. Konsep Kawasan Transmigrasi Lokasi Pemukiman Transmigrasi (LPT) dan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) sebagai Alat Pembangunan Daerah. http://www.depnakertrans.go.id/ litbang.html,19,trans [14 Januari 2010]

Page 315: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

289

[Pusdatin Trans, IPB] Pusat Data dan Informasi Transmigrasi, Institut Pertanian Bogor. 1998/1999. Pengkajian Informasi dan Analisis Tingkat Perkembangan UPT dan Tingkat Kesejahteraan Transmigran. Jakarta: Pusdatin Transmigrasi.

[Puslitbangtrans] Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2004. Telaahan Kesempatan Kerja di Permukiman Transmigrasi. Jakarta: Puslitbang Depnakertrans.

[RI] Republik Indonesia. 1958. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaran Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 1959. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 1960. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi

[RI] Republik Indonesia. 1960. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agragia. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 1960. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia.1965. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 1972.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 1997. Undang-undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Jakarta: Sekretariat Negara.

Ramadhan KH, Jabbar H, Ahmad R. 1993. Transmigrasi Harapan dan Tantangan. Jakarta: Departemen Transmigrasi

Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah: Teori dan Konsep Dasar. Di dalam : Ambardi UM, Prihawantoro S, editor. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah: Kajian Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT.

Page 316: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

290

Rondinelli DA. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial Dimention of Development Policy. London: Westview Press, Inc.

Rosenfeld SA. 2002. Creating Smart System: A Guide Cluster Strategies in Less Favoured Regions. Carrboro, North Carolina: The Directorate General For Regional Policy and Cohesion of the European Commission.

Rustiadi E, Hadi S. 2004. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. Makalah Workshop dan Seminar Nasional Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah secara Berimbang. Bogor: P4W

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.

Rustiadi E. 2011. Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam Mendukung Konsep Agropolitan. Di dalam: Satria A, Rustiadi E, Purnomo AM, editor. Menuju Desa 2030. Bogor: Crestpent Press. hlm 219-246.

Ruswana E, Setiabudhi A, Widodo WD, Susanto H, Nindyantoro, Suryadi Y, Susiyanto, Sahanaya YD, Heldi Y. 1993. Pekerjaan Penyusunan Rencana Umum Satuan Kawasan Pengembangan (RUSKP) Lokasi Jujuhan I, II, III – WPP I/SKP-C Provinsi Jambi. Jakata: Direktorat Bina Program Direktorat Jenderal Pengerahan dan Pembinaan Departemen Transmigrasi

Ruttan VW, Hayami Y. 1984. Toward a Theory of Induced Institutional Innovation. Journal of Development Studies (20): 203-222

Saefulhakim et al. 2002. Studi Penyusunan Wilayah Pengembangan Strategis (Strategic Development Regions). Bogor: IPB dan Bapenas.

Safrial. 2004. Pengaruh Faktor Internal terhadap Kondisi Ekonomi dan Sosial Budaya Transmigran Lokal non Lokal Pada Proyek Transmigrasi Perkebunan Sawit di Provinsi Jambi [disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran.

Saptana, Pranadji T, Syahyuti, Elizabeth R. 2004. Transformasi Kelembagaan Guna Memperkuat Ekonomi Rakyat di Perdesaan: Kasus di Kabupaten Tabanan, Bali. SOCA 4 (1): 10 -26

Saleh AK. 1982. Peranan Transmigrasi dalam Pembangunan Kabupaten Luwu Propinsi Sulawesi Selatan [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Sajogyo. 1974. Modernization without Development in Rural Java. A Paper Contributed to the Study on Changes in Agrarian Structure, FAO of UN, 1972-1973. Bogor: Bogor Agricultural University.

Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Saragih B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Bogor: IPB Press

Page 317: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

291

Setiawan N. 1997. Profil Kependudukan Jawa Barat 1996-1997. Jakarta: Kantor menteri Negara Kependudukan/BKKBN.

Siagian T. 1995. Pendayagunaan Sistem UDKP dalam Pelaksanaan Kebijakan Bangga Suka Desa. Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta: Depdagri.

Siswono Y. 2003. Transmigrasi – Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. Jakarta: PT. Jurnalindo Aksara Grafika.

Soegiharto S et al. 2002, Arah Kebijakan Ketransmigrasian tahun 2004-2009, Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian.

Soegiharto S, Saidin S. 2005. Tinjauan Komparatif Pemukiman Kembali di Beberapa Negara. Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian.

Soegiharto S. 2008. Transmigrasi: Belajar dari Kisah Sukses. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.

Soetardjo K. 1984. Desa. Jakarta: Balai Pustaka Soewandi. 1976. Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi

Pertanian. Yogyakarta: The Gadjah Mada Press. Soewardi H. 2001. Etos Kerja Orang Sunda. Makalah pada Konferensi

Internasional Budaya Sunda I. Bandung: 22 – 25 Agustus. Stimson RJ, Stough RR, Roberts BH. 2002. Regional Economic Development:

Analysis and planning Strategy. Berlin: Springer Sumodiningrat G. 1996. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat.

Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara Surjadi. 1995. Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Mandar Maju

Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara. Tarigan H, Ariningsih E. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri

Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Jakarta: LIPI. 135-140

Tarigan R. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Todaro MP, Smith SC. 2008. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Ed ke-9. Jakarta: Erlangga

Tribudhi B, Said A. 2001. Konsep Desa Perkotaan: Keterbandingan Antar Sensus. Di dalam: Imawan W, Irawan PB, Said A, editor. Pedoman Analisis Sensus Penduduk 2000. Jakarta: BPS.

Triutomo. 1999. Pengembangan Wilayah Melalui Pembentukan Kawasan Ekonomi Terpadu. Di dalam: AlKadri, editor. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Jakarta: BPPT.

[UN] United Nations. 2007. Indicators of Sustainable Development: Guidelines and Methodologies. Third Edition. New York: United Nations.

Page 318: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

292

Uphoff N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with Cases. West Hartford,Connecticut: Kumarian Press.

Uphoff N. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. London: International Institute for Environment Environment and Development.

Utomo M. 2005. Tinjauan Kritis Kebijakan dan Implementasi Penyelenggaraan Transmigrasi. Makalah pada semiloka Transmigrasi dan Penguatan NKRI. DPP Partai Golkar Korbid Nakertrans. Jakarta: 30 November 2005

[WB] World Bank. 1986. Indonesia Transmigration Sector Review. Washington D.C: World Bank

[WB] World Bank. 2009. Laporan Pembangunan Dunia 2009: Menata Ulang Geografi Ekonomi. Sunardi D, Sungkono C, penerjemah. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Terjemahan dari: World Development Report: Reshaping Economic Geography.

Wibowo DP et al. 2000. Penelitian Pemetaan Potensi Unit Permukiman Transmigrasi sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas Penduduk.

Wibowo DP et al. 2001. Penelitian Penetapan Kriteria Keberhasilan Kawasan Transmigrasi. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.

Wibowo DP, Diana E, Delam J, Fatimah S, Susilo SRP. 2006. Studi Kebijakan Pengembangan Desa Potensial Melalui Program Transmigrasi. Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian

Widarjono A. 2009. Ekonometrika: Pengantar dan Aplikasinya. Yogyakarta: Penerbit Ekonosia.

Wijst T. 1985. Transmigration in Indonesia: An Evaluation of Population Redistribution Policy. Population Research and Policy Review 4(1): 1-30

Yudohusodo S. 1997. Refleksi Sejarah dan Arah Kebijaksanaan Transmigrasi di Masa Mendatang. Di dalam Utomo M, Ahmad R, editor. 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun Transmigrasi. Jakarta: Puspa Swara

Yulia E. 2005. Rencana Pengembangan Kawasan Transmigrasi. Pusat Data dan Informasi Ketransmigrasian. Jakarta: Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Yuniarti L, Wibowo DP, Priyono, Nushah. 2008. Kebijakan dan Pembangunan KTM di Kawasan Transmigrasi. Jakarta: Bangkit Daya Insana.

Yunus HS. 1991. Konsepsi Wilayah dan Pewilayahan. Yogyakarta: Hardana.

Page 319: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

LAMPIRAN

Page 320: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

295

Lampiran 1. Histogram peubah-peubah dalam penyusunan indikator kinerja desa transmigrasi

Page 321: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

296

Lampiran 1 lanjutan

Page 322: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

297

Lampiran 1 lanjutan

Page 323: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

299

Lampiran 2. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 1) No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

1 PINANG MERAH -0.79 0.04 -1.03 -0.34 0.83 0.81 0.97 -0.21 1.62 0.14 -0.17 0.29 2.08 0.82 2.35 2.27 2 MAMPUN BARU -0.19 0.32 0.52 -0.63 0.09 1.13 -0.05 0.41 1.62 -1.09 -0.91 -0.37 0.22 -0.23 0.61 0.03 3 LANTAK SERIBU -0.69 -1.21 0.18 -0.13 0.28 0.68 0.91 0.84 0.15 0.20 -0.30 0.52 -1.40 -0.80 0.83 -0.20 4 RASAU -0.51 -0.39 0.52 0.21 0.43 1.52 0.27 0.56 -0.06 0.32 0.08 0.60 0.86 1.02 0.83 1.13 5 MERANTI -0.57 -0.47 -0.76 -0.72 0.38 1.49 0.52 0.55 0.01 0.28 0.30 -0.02 1.25 0.78 0.09 0.63 6 BUKIT BUNGKUL -0.72 -0.54 -0.95 -1.04 0.26 0.48 0.52 0.43 0.19 0.18 -0.58 -0.71 0.86 0.25 0.70 0.88 7 SIALANG 0.67 -0.02 -0.54 1.04 -1.32 1.07 -0.24 0.91 -0.18 0.39 0.30 -0.22 -0.60 -0.66 0.04 0.54 8 TANJUNG BENUANG -0.57 -0.99 -0.76 0.14 0.38 0.57 -0.07 0.78 0.01 0.28 -0.58 0.97 -0.66 -1.67 0.80 0.41 9 TAMBANG EMAS -0.95 0.11 -0.32 -0.11 0.06 0.79 -0.92 0.84 0.46 0.02 -0.17 0.74 1.62 0.67 1.54 1.34

10 SUNGAI PUTIH -0.42 1.93 -0.57 -0.44 -1.32 0.83 0.11 0.46 -0.15 -1.09 -1.58 -0.39 -0.61 0.04 0.31 0.67 11 BUKIT BERINGIN -0.51 -1.27 -0.68 0.82 -1.32 1.09 1.68 1.06 -0.06 0.32 -0.17 -0.72 -1.40 -0.16 0.06 -0.38 12 PAUH MENANG -0.24 0.61 -0.36 -1.59 0.63 0.82 -0.46 -0.34 -0.34 0.48 1.70 0.62 2.26 1.59 2.36 2.79 13 PEMATANG KANCIL 1.03 -1.00 1.24 -0.01 0.69 0.64 -1.18 0.55 -0.42 0.53 0.41 0.50 -1.40 0.07 -0.71 -0.99 14 TANAH ABANG -0.72 0.74 0.15 -1.00 0.26 0.17 0.06 -0.19 0.19 0.18 2.06 0.64 0.28 0.35 0.98 0.02 15 SUNGAI SAHUT -0.69 1.38 1.08 -0.97 0.28 0.64 0.25 0.21 0.15 0.20 2.13 0.14 0.30 -0.60 0.13 0.05 16 BUNGA ANTOI -0.95 -0.35 1.05 -0.75 0.06 0.82 -0.28 -0.16 0.46 0.02 1.32 0.47 0.66 0.82 0.94 1.16 17 MUARA DELANG 1.41 -1.28 -0.61 -1.93 -0.03 0.93 -0.35 -0.30 0.59 -0.05 1.70 0.69 1.01 0.30 1.41 1.28 18 SINAR GADING 0.16 0.41 0.15 -1.00 -1.32 0.92 -0.16 -0.51 0.15 -1.09 1.70 0.63 -0.03 -0.80 -1.66 -0.92 19 BUNGA TANJUNG 0.00 -0.72 1.51 -0.37 0.20 0.54 0.46 -0.09 0.26 0.14 -0.17 0.14 1.52 2.49 1.92 1.61 20 SUNGAI BULIAN -0.24 -1.27 -0.36 -0.13 0.63 1.57 0.65 1.06 -0.34 -1.09 -0.17 -0.24 -1.40 -0.92 -0.03 -0.40 21 SRI SEMBILAN 0.41 -0.91 0.46 -0.69 -1.32 1.11 0.77 0.99 -0.96 0.86 -0.17 0.16 -0.35 -0.05 0.14 -0.56 22 BUKIT SUBUR 0.24 -1.80 0.24 -0.90 0.98 -0.54 1.36 1.01 -0.80 -1.09 -0.17 1.01 1.89 0.98 2.49 2.54 23 RAWA JAYA -0.66 -0.66 0.21 -0.94 0.31 0.16 0.64 0.38 0.12 0.22 2.13 -0.78 -0.19 -0.15 1.11 0.55 24 SUNGAI BENTENG -0.95 -0.32 -0.39 -0.20 0.06 1.19 1.18 -0.35 0.46 -1.09 0.71 1.34 -0.08 -0.38 2.31 -0.06 25 PAYO LEBAR -0.13 1.54 0.55 -0.01 0.12 1.13 0.64 0.89 0.38 0.07 0.41 -1.35 2.16 2.35 1.31 1.01 26 BUKIT MURAU -0.45 0.00 -0.61 -0.50 -0.03 1.39 0.95 -0.30 0.59 -1.09 -0.17 0.28 -0.84 -1.17 -0.52 -1.09 27 SUNGAI MERAH 1.75 0.34 0.37 0.66 1.05 0.49 0.22 -0.47 0.05 -1.09 -0.17 0.60 -1.40 -0.37 -0.43 -1.61 28 PERDAMAIAN -0.82 0.07 -0.05 -0.39 0.17 1.30 1.41 -1.11 0.30 -1.09 -0.17 0.36 -0.09 -0.51 -0.67 -1.34 29 BATU PUTIH -0.16 0.35 1.24 -0.01 0.69 -0.49 0.22 1.01 -0.42 -1.09 -0.17 0.87 -1.40 0.39 0.22 -0.75 30 PEMATANG KULIM -0.60 0.38 1.31 0.65 0.36 0.37 -1.16 0.36 0.05 -1.09 -0.44 0.77 -0.37 1.15 0.83 -0.82 31 PETIDURAN BARU -0.08 -1.77 -0.15 1.52 0.75 0.07 1.55 0.94 1.62 -1.09 0.41 -0.01 0.61 -0.28 1.18 0.84 32 GURUH BARU -0.51 -1.29 -0.68 -0.61 1.15 -0.12 0.83 0.35 -0.06 -1.09 -0.17 -0.32 -0.33 -0.71 -0.54 -0.47 33 BUTANG BARU -1.80 -1.22 0.27 -0.87 -1.32 -0.51 1.11 -0.02 -0.83 -1.09 0.89 0.02 0.60 -0.41 1.07 -0.66 34 JATI BARU -1.80 -1.67 1.75 -1.04 0.91 -0.81 1.18 2.12 -0.71 -1.09 -0.17 -0.27 0.27 0.76 0.95 1.00 35 MERANTIH BARU -1.80 -1.20 0.92 0.57 1.36 -1.13 1.25 0.78 1.62 -1.09 -0.91 -1.10 1.33 -0.21 -0.17 -0.24 36 BUKIT SUBAN -0.85 1.97 -0.18 0.06 -1.32 -0.01 1.57 -0.13 0.34 0.09 -0.91 0.04 -1.40 0.64 -0.59 -0.22

Page 324: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

300

Lampiran 2. lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

37 MENTAWAK BARU -0.30 1.96 -0.43 -1.68 0.59 0.69 1.77 2.33 -0.28 0.45 -0.91 1.64 2.22 0.78 0.82 0.41 38 PEMATANG KABAU 0.43 0.89 0.49 0.17 0.41 -0.31 1.48 -0.62 -0.02 0.30 -0.17 -1.91 0.57 0.53 -1.44 -0.01 39 TERENTANG BARU -0.45 -1.30 0.66 0.93 0.48 -0.11 -0.66 -0.42 -0.12 -1.09 1.15 0.08 -0.62 -0.47 0.05 -0.37 40 DURIAN LUNCUK 0.97 1.79 -0.29 -1.50 1.49 1.30 0.02 0.30 -0.39 2.12 0.89 0.12 -1.40 -0.90 0.70 0.25 41 JANGGA BARU 2.25 -0.74 -0.84 0.02 1.03 1.19 -0.58 1.54 0.08 0.24 1.88 -0.52 0.21 -0.76 -0.18 -0.68 42 BULIAN BARU 0.06 -1.61 0.02 0.27 0.85 -0.87 0.35 1.19 -0.63 -1.09 -0.17 -0.71 -0.08 0.20 0.48 -0.30 43 MEKAR JAYA 0.29 -1.22 2.05 2.03 1.01 -0.35 0.48 -0.14 -0.85 0.79 0.41 -1.06 0.63 0.35 0.63 0.81 44 BULIAN JAYA 0.91 1.93 -0.36 -0.13 0.63 -1.07 -0.16 -0.20 -0.34 0.48 -0.17 -0.95 0.84 -0.92 0.17 0.73 45 KEHIDUPAN BARU 0.73 0.33 0.86 -0.32 -1.32 -0.24 -0.76 0.74 -1.23 1.05 -1.58 0.85 0.59 0.10 0.13 1.52 46 KARYA MUKTI 0.73 -0.38 0.86 1.12 -1.32 -1.48 -0.09 -1.76 -1.23 1.05 -1.58 0.50 0.23 0.10 0.54 -0.26 47 BUKIT HARAPAN -0.54 1.88 -0.72 -0.66 1.12 0.13 -0.23 -0.52 -0.02 0.30 -0.44 0.72 -0.65 -1.00 -1.69 -0.18 48 BELANTI JAYA 0.43 -1.42 0.49 -0.66 1.12 -1.13 -0.16 0.46 -0.98 0.88 -0.91 0.73 -0.34 -0.73 -0.76 -0.55 49 TAPAH SARI 0.86 -1.07 1.03 -0.18 1.42 -0.80 1.41 -0.34 -1.34 1.12 0.19 0.81 -1.40 -1.67 -0.47 -1.88 50 BUKIT KEMUNING 1.05 -0.09 1.26 0.02 -1.32 -0.19 0.34 -0.23 -1.49 1.23 -1.10 -1.34 -0.16 -1.67 -1.61 -1.29 51 RAMIN 1.84 1.15 -2.30 1.57 -1.32 -1.02 0.21 -1.45 -2.03 1.67 0.89 0.09 -1.40 -1.67 1.05 -0.37 52 MEKAR SARI -0.54 -0.43 -0.72 0.75 -1.32 -0.75 1.41 0.21 -0.02 0.30 -0.17 1.16 0.03 -0.05 -0.79 -1.09 53 PANCA MULYA -0.33 0.57 -0.46 -0.30 1.34 -0.92 -1.20 -1.76 -0.25 0.43 -0.17 -0.56 0.01 -0.94 0.15 -0.20 54 SUKA MAKMUR -0.10 0.99 -0.18 0.06 0.15 0.95 -0.82 -0.19 0.34 -1.09 -0.17 0.10 0.49 -0.41 1.72 0.54 55 MARGA MULYA -0.69 -0.17 0.15 -0.16 0.28 0.68 -1.04 -0.69 0.15 0.20 2.13 -0.67 -1.40 -0.80 -2.22 -0.86 56 MARGA 0.67 0.65 -0.54 0.44 0.52 -0.32 -1.46 -0.47 -0.18 0.39 0.41 0.10 -0.02 0.34 -0.37 -0.01 57 RANTAU HARAPAN 0.26 0.24 0.27 -0.87 0.33 0.60 -1.06 -0.63 0.08 0.24 -0.91 0.52 -0.40 -0.77 -1.59 -0.22 58 TALANG BUKIT -0.39 -0.71 0.75 -0.42 0.52 -0.44 -1.14 -1.02 -0.18 0.39 -0.17 0.45 -0.60 -0.44 -0.13 -0.08 59 BUKIT SUBUR -0.45 -0.40 -0.61 -0.50 0.48 -0.95 -1.43 0.95 -0.12 0.36 -0.17 0.09 -1.40 -1.67 -3.18 -2.61 60 TRIJAYA 1.65 -1.20 2.00 1.40 -1.32 -0.79 -1.14 0.00 -0.83 0.78 -0.17 0.25 1.62 0.34 -0.77 -0.37 61 TANJUNG HARAPAN 0.08 -1.73 0.05 1.15 0.87 -0.94 -0.15 -0.49 -0.66 0.68 1.32 -1.19 -0.07 -1.67 -0.68 0.98 62 BERKAH 1.41 -0.99 0.08 1.18 0.89 -0.58 -1.19 0.63 -0.68 1.43 0.89 -0.48 -0.44 -0.82 -2.61 -0.41 63 SUMBER MULYA 0.24 -1.78 0.24 -0.90 -1.32 -0.11 -1.32 0.11 -0.80 0.76 -0.17 -0.65 -0.40 -0.78 -1.71 -0.49 64 MATRA

MANUNGGAL 0.50 -1.27 0.58 0.85 -1.32 -0.93 -1.02 -0.16 -1.04 0.92 -0.17 -0.19 -1.40 -1.67 -0.69 0.28

65 BUKIT MULYA 0.91 -0.87 1.08 -0.13 1.45 -1.09 -1.02 0.89 -1.37 1.15 0.19 -0.49 0.29 -0.60 0.41 2.28 66 BUKIT MAKMUR 1.20 -1.61 -0.12 0.15 0.77 -1.32 0.63 -0.14 -0.53 1.84 -1.10 0.56 -1.40 -0.27 -0.53 0.79 67 BAHAR MULYA 0.38 1.03 2.22 -0.72 -1.32 -0.94 -1.11 -0.43 -0.94 0.85 -0.17 0.00 0.08 -0.06 -0.31 -0.58 68 TANJUNG MULYA 0.38 1.14 0.43 -0.72 1.08 -1.48 -0.86 0.09 -0.94 0.85 -0.17 0.63 0.07 -0.07 -0.25 1.28 69 BUKIT MAS -0.54 -0.67 -0.72 -0.66 0.41 -1.20 -1.56 -1.43 -0.02 0.30 -0.17 -1.15 -1.40 -0.04 -2.35 -0.13 70 SUMBER JAYA -1.80 -0.04 0.18 -0.97 -1.32 -1.46 -1.76 -1.00 -0.76 0.74 -0.17 0.78 -0.01 -0.80 -0.26 -0.61 71 ADIPURA KENCANA 0.38 -0.14 0.43 -0.72 1.08 -1.48 -1.18 0.55 -0.94 0.85 -0.17 -1.63 -0.36 0.60 -0.84 0.60 72 BUKIT JAYA 0.16 -0.14 0.15 -1.00 -1.32 -1.42 -1.76 -0.09 -0.73 0.72 -0.58 -0.97 0.29 0.27 -1.38 0.01

Page 325: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

301

Lampiran 2. lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

73 TANJUNG SARI -0.33 0.41 -0.46 -1.72 0.57 -1.30 -1.06 -0.53 -0.25 0.43 -0.17 0.87 -0.58 0.11 -0.25 1.12 74 PETALING JAYA 0.38 0.95 0.43 -1.18 -0.24 0.08 0.44 -1.32 0.86 -1.09 -0.91 0.03 0.14 0.41 0.27 0.29 75 SUMBER AGUNG -0.39 0.92 -0.54 -1.82 0.52 0.11 -0.05 -0.46 1.62 -1.09 -0.17 -0.24 -1.40 -0.96 -1.19 0.51 76 RANTAU RASAU I 0.78 -0.20 -2.30 1.15 -1.32 -0.99 1.30 -1.12 1.62 -1.09 -0.30 0.87 1.67 2.46 0.02 -0.79 77 RANTAU RASAU II 2.20 -0.11 -0.54 0.44 -1.32 0.44 0.63 -1.17 -0.18 -1.09 1.99 1.81 2.16 0.98 0.49 1.63 78 BANDAR JAYA -0.88 0.87 -0.18 1.19 0.73 -0.24 0.74 0.10 0.38 1.99 0.80 0.92 2.14 2.27 0.45 -0.03 79 BANGUN KARYA -0.33 0.57 -2.30 1.57 -1.32 -1.22 0.72 -1.13 -0.25 1.05 1.70 1.82 2.14 0.50 2.14 1.42 80 HARAPAN MAKMUR -0.48 0.07 -2.30 2.05 -1.32 -1.28 0.98 0.48 -0.09 0.34 0.19 1.82 1.48 1.16 -0.36 0.31 81 RANTAU JAYA 1.07 0.51 -0.80 1.79 0.36 -0.14 0.34 0.12 0.05 -1.09 -0.17 1.81 1.00 2.35 -0.07 -0.05 82 RANTAU MAKMUR -0.63 0.48 0.27 1.02 1.00 -0.62 1.19 -1.21 0.08 -1.09 -1.91 1.20 1.85 -0.40 0.14 1.07 83 RANTAU INDAH -0.48 0.02 -0.65 -0.09 0.45 -0.77 0.47 1.29 1.62 -0.08 0.89 1.15 1.36 0.07 -1.07 -0.58 84 JATI MULYO 2.15 -0.43 -2.30 1.00 -1.32 -0.71 0.48 0.48 -2.21 -1.09 0.08 1.77 -1.40 -1.67 -1.03 -2.61 85 SIDO MUKTI -0.48 0.97 -0.65 0.30 0.45 0.45 0.98 0.78 1.62 -1.09 -0.17 0.17 0.48 -0.30 -1.45 -1.27 86 CATUR RAHAYU 0.06 -1.35 0.02 1.70 0.85 0.36 0.94 -0.35 -0.63 -1.09 2.13 0.21 0.89 -0.49 0.14 -0.61 87 RAWASARI 1.84 -1.78 -2.30 2.17 -1.32 -1.66 1.28 0.28 -2.03 -1.09 -1.58 1.22 0.08 -1.67 -1.32 -2.61 88 LAMBUR I -0.36 1.01 -0.50 0.51 0.54 -1.22 0.82 -1.14 -0.22 1.03 -0.44 -0.76 1.93 1.02 0.06 -0.50 89 LAMBUR II -0.79 1.50 -1.03 0.29 0.20 -1.53 1.16 0.28 0.26 0.14 -0.74 -0.02 2.17 -0.11 0.24 0.68 90 PANDAN JAYA 0.29 -0.72 -1.28 0.21 0.59 -0.67 1.41 -1.74 0.50 2.18 0.89 1.70 -0.39 -0.77 0.55 0.32 91 PANDAN MAKMUR 0.31 -0.13 -2.30 0.62 -1.32 -1.07 1.68 0.86 -0.87 0.81 -0.74 -1.31 0.63 -0.10 -1.32 -1.36 92 PANDAN LAGAN 0.29 -0.60 0.30 0.59 1.01 -1.42 0.84 -0.71 -0.85 0.79 -0.17 -1.37 -1.40 2.26 -0.75 -0.45 93 SUKA MAJU -0.19 1.77 -0.29 0.75 -1.32 -0.69 1.94 1.58 -0.39 1.68 -0.91 -1.76 -0.19 -0.59 -0.87 -1.31 94 KOTA BARU 0.24 -0.07 0.24 -0.90 0.98 -0.64 1.52 0.53 -0.80 2.12 -0.17 -1.57 0.01 -1.67 -0.19 -0.08 95 RANTAU KARYA 1.87 -0.64 -2.30 0.77 -1.32 -0.99 1.10 1.60 -2.05 1.69 -1.32 -1.86 1.19 -1.67 -1.01 -1.69 97 PURWODADI -0.63 0.57 -0.84 -0.84 -0.13 1.38 -0.05 0.17 0.72 0.79 0.41 -1.12 -0.27 -0.11 0.85 0.49 98 SRI AGUNG -0.08 0.89 -0.15 -0.50 -1.32 -1.17 -0.60 -0.78 0.34 0.09 0.89 0.12 0.27 -0.28 -0.21 -1.10 99 LAMPISI -0.27 1.66 1.00 -0.20 0.61 -0.41 -0.31 -0.01 -0.31 0.47 -0.17 0.85 -0.22 -0.38 -0.63 0.26

100 TANJUNG BENANAK 0.29 -0.23 0.30 1.41 1.01 0.94 -0.35 0.58 -0.85 0.79 -0.91 -0.19 -1.40 0.53 0.02 0.96 101 BUKIT HARAPAN 0.46 0.88 0.52 -0.63 1.14 -0.19 -0.07 0.32 1.62 -1.09 2.13 -0.09 0.10 0.23 -0.23 0.17 102 ADI PURWA 1.33 -0.92 1.61 1.71 -1.32 -0.91 -1.45 1.11 1.62 1.39 0.41 0.59 0.48 -1.67 0.27 0.10 103 PINANG GADING 1.43 -1.68 1.73 0.37 -1.32 -0.82 0.45 0.02 -1.76 1.44 -1.58 0.92 -1.40 0.43 1.23 2.55 104 DUSUN MUDO 1.65 -1.24 -2.30 1.99 -1.32 0.09 -0.83 -0.52 -0.83 2.16 1.70 -1.89 -1.40 -0.77 0.53 1.31 105 TANJUNG TAYAS 1.82 -0.50 -2.30 2.16 -1.32 -1.00 -1.76 1.10 -2.01 1.66 0.89 -1.93 0.08 -0.35 1.54 -0.38 106 BADANG -1.80 -1.09 1.11 1.33 1.47 -0.98 -0.39 1.09 -1.39 1.16 2.13 -2.23 -1.40 0.97 0.06 0.27 107 KAMPUNG BARU -0.05 1.58 -0.12 0.98 -1.32 -1.15 -1.55 -0.75 -0.53 0.60 0.41 -1.22 -0.49 -0.52 1.05 0.13 108 RANTAU BADAK -0.13 0.57 1.26 0.85 0.71 -0.20 0.24 -1.67 -0.45 -1.09 1.32 -1.68 0.12 0.68 0.04 -0.31 109 BUKIT INDAH 0.21 -0.29 0.21 0.49 0.96 -1.13 -1.15 0.38 1.62 -1.09 1.85 -1.37 -0.41 -0.15 -0.39 0.61 110 KEMANG MANIS 2.29 -0.79 -2.30 1.11 -1.32 -0.88 -1.46 -0.43 1.62 1.05 1.07 -0.26 0.22 -0.65 0.02 1.69

Page 326: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

302

Lampiran 2. lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

111 INTAN JAYA 0.50 -1.46 0.58 0.85 1.17 -1.01 -0.22 0.82 1.62 -1.09 1.70 -0.59 -0.32 -1.67 0.74 -0.41 112 SUKA DAMAI -0.13 0.26 -0.22 0.04 0.71 -0.47 0.49 -1.18 -0.45 0.55 -0.17 1.06 0.13 -0.88 -0.99 0.47 113 ADI JAYA 0.13 -0.57 0.11 -1.04 -1.32 -1.66 -0.68 0.30 -0.71 0.71 0.89 0.25 -1.40 0.05 -1.85 -0.09 114 BRASAU 0.73 -0.90 0.86 -0.32 -1.32 -0.31 0.77 2.00 -1.23 1.05 -0.17 0.13 0.59 -0.65 -0.50 -0.61 115 PERINTIS -0.48 1.43 0.21 -0.94 0.12 1.42 -0.65 -0.38 0.91 -0.25 -0.17 0.58 -0.07 0.63 0.39 0.17 116 KELURAHAN

WIROTHO AGUNG -0.22 1.17 -0.54 -1.25 0.52 1.41 -0.77 -0.60 1.22 -0.48 1.32 -0.29 0.19 1.73 1.36 0.40

117 RIMBO MULYO -0.63 0.24 -0.22 -1.41 -0.13 1.55 -1.21 -0.23 0.72 -0.13 -0.17 0.60 0.74 0.45 1.10 0.28 118 PURWO HARJO -1.02 0.30 1.36 -0.37 0.00 1.11 -1.30 -0.57 0.54 -0.03 -0.17 0.93 -0.41 0.16 0.96 -0.06 119 TEGAL ARUM -1.26 0.26 0.02 -1.14 0.23 1.42 -1.17 0.35 0.86 -0.22 -0.17 -0.05 -0.25 0.16 -0.02 -0.46 120 TIRTAKENCANA -1.30 0.54 -0.65 -1.98 0.12 1.52 -1.39 0.11 0.91 -0.25 -0.17 1.10 -0.78 -0.01 -0.15 -0.33 121 SAPTA MULIA -1.02 -0.04 0.21 -0.37 0.00 0.75 -1.36 1.88 0.54 -0.03 -0.17 0.64 0.21 0.65 0.37 0.08 122 SUKA DAMAI 0.48 0.20 0.55 -0.61 0.59 1.07 -0.51 -0.41 0.81 2.13 0.41 0.27 0.26 -0.02 0.05 -0.18 123 SUKA MAJU -1.12 1.24 0.46 -0.22 0.41 1.09 -0.95 -0.13 0.67 -1.09 0.08 0.21 -0.49 -0.26 -0.74 -0.64 124 WANAREJA -1.34 0.65 0.55 -0.61 -0.32 0.69 -1.58 0.12 0.96 -0.29 -0.91 0.02 -0.02 0.53 -0.07 -0.37 125 SUMBER SARI -1.16 1.19 0.37 -0.32 0.36 1.07 -0.42 0.21 0.72 -0.13 -0.91 1.19 0.22 1.99 -0.32 -0.47 126 SIDO RUKUN -1.05 1.37 1.73 -0.47 -0.03 1.19 -1.05 0.28 0.59 -0.05 -0.17 0.07 -0.04 0.11 -0.47 -0.27 127 SUNGAI PANDAN 0.41 -0.31 0.46 0.72 1.10 0.54 0.28 1.21 -0.96 -1.09 -0.91 -1.69 -1.40 -0.35 -0.22 -1.32 128 SIDO REJO -1.80 1.43 0.30 0.57 -1.32 1.24 -0.84 2.09 -0.85 0.79 -1.10 0.29 1.79 0.34 -0.66 -0.46 129 KARANG DADI -0.54 -1.48 -0.72 -0.63 1.14 1.29 -1.76 2.62 -0.02 0.30 -1.32 0.17 0.10 0.34 -0.39 0.31 130 GIRI PURNO 1.03 1.93 -0.25 -1.45 0.69 1.51 -1.58 1.10 -0.42 0.53 0.89 -0.99 0.35 -0.32 -1.32 -1.29 131 SUMBER AGUNG -0.16 1.83 -0.25 0.82 -1.32 1.16 -1.57 1.59 -0.42 0.53 -1.58 -1.11 1.08 0.80 0.01 0.08 132 SARI MULYA -0.60 1.39 -0.80 -0.81 0.36 1.19 -1.06 1.11 0.05 0.26 -1.58 -1.40 -0.38 0.03 -0.38 0.23 133 GIRIWINANGUN -0.98 1.26 -0.43 -0.25 0.03 1.54 -0.86 0.41 0.50 1.08 -1.10 -0.29 -0.09 -0.39 -0.06 -0.60 134 PINANG BALAI 0.84 -0.96 1.00 -0.20 -1.32 -1.51 0.83 -0.61 1.62 -1.09 -1.58 -1.28 -0.22 0.69 -0.03 1.25 135 SEKUTUR JAYA 1.63 -0.63 1.98 0.56 1.95 -0.99 -1.76 0.14 1.62 1.55 -1.58 -0.94 0.61 -0.40 -0.24 1.29 136 NAPAL PUTIH 2.32 -0.73 2.85 1.13 -1.32 -1.66 -0.24 0.23 -2.31 -1.09 -1.58 -1.10 -1.40 -0.22 0.71 -0.60 137 Sungai Karang 0.43 0.85 0.49 -0.66 1.12 -1.66 2.05 0.61 1.62 -1.09 2.13 1.68 -0.34 -1.67 0.01 -1.69 138 BANGUN SARANTEN 0.53 0.88 -0.65 0.29 0.45 -0.49 -0.25 -1.23 -1.69 2.10 -0.17 1.01 -0.63 0.38 0.49 0.30 139 SUNGAI JERNIH -0.33 0.66 -0.46 -0.27 -1.32 -0.78 -0.43 -0.06 -0.25 0.43 1.70 1.01 -0.24 0.12 0.25 -0.53 140 BUKIT SARI -0.51 -0.28 -0.68 -0.63 -1.32 1.38 1.30 0.25 -0.06 -1.09 -0.17 0.15 -0.09 0.23 0.12 -0.29 141 SARI MULYA -1.80 1.14 -0.88 -0.09 0.31 -1.41 1.52 0.76 0.12 -1.09 -1.58 -0.50 1.12 -0.59 0.24 -0.10 142 PURWOSARI -0.05 1.46 -0.12 -1.29 0.38 1.55 -0.52 -0.20 0.01 2.13 0.89 0.01 0.62 1.41 2.08 1.38 143 LEMBAH KUAMANG -0.60 1.05 -0.80 -0.78 -1.32 1.46 -1.12 0.14 1.62 -1.09 0.41 0.05 0.23 2.05 0.29 -0.24 144 SUMBER HARAPAN -1.80 0.90 -0.68 -0.61 -1.32 0.41 0.08 0.34 -0.06 -1.09 -0.17 1.77 0.11 1.83 0.40 0.07 145 DAYA MURNI -1.80 0.83 -0.54 -1.82 -1.32 1.19 -0.49 0.04 1.62 -1.09 -0.17 1.78 -0.60 1.32 0.81 -0.43 146 SUMBER MULIA 0.46 1.13 0.52 0.81 1.14 0.84 -0.30 0.63 1.62 -1.09 0.41 0.26 -0.34 1.18 0.20 -0.07 147 MAJU JAYA -1.80 -0.52 -0.12 0.14 -1.32 1.06 -0.17 0.23 -0.53 -1.09 -0.17 0.08 -0.12 2.28 0.33 0.64

Page 327: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

303

Lampiran 2. lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

148 TIRTA MULIA -0.36 -0.24 -0.50 -0.37 -1.32 0.32 0.07 0.08 -0.22 -1.09 -0.17 1.71 1.26 1.37 0.88 0.78 149 LINGGA KUAMANG -0.57 1.00 0.40 -2.15 0.38 0.95 0.15 0.08 0.01 -1.09 -0.17 1.66 -0.37 0.68 0.25 0.74 150 KUNING GADING -0.42 -0.46 -0.57 -1.87 0.50 1.25 -0.79 -0.89 -0.15 -1.09 -0.04 0.36 0.52 1.12 0.05 0.63 151 KUAMANG JAYA 0.46 -0.36 0.52 -0.63 -1.32 1.17 -1.30 2.87 1.62 -1.09 -0.17 0.88 0.10 2.00 -0.23 0.53 152 KARYA HARAPAN

MUKTI -0.54 -0.09 0.49 0.17 -1.32 1.22 -1.14 -1.12 1.62 -1.09 -0.17 -0.03 -1.40 1.07 -0.40 -1.15

153 GAPURA SUCI 0.13 0.23 -0.95 -2.47 0.26 0.92 0.72 -0.20 1.62 -1.09 0.89 0.92 -0.44 0.60 0.43 0.45 154 MULIA BAKTI 2.18 0.16 -0.08 -1.25 0.79 1.18 -0.19 0.27 1.62 -1.09 -0.17 -0.48 -0.49 0.16 0.39 0.04 155 MULIA JAYA -1.80 -1.24 0.24 -0.90 -1.32 -0.01 1.21 0.52 -0.80 -1.09 0.41 0.65 0.00 1.26 1.64 1.44 156 KOTA RAJA 0.76 -1.03 0.89 -0.30 -1.32 0.30 1.25 -2.84 -1.25 -1.09 -0.17 0.32 0.91 1.75 1.40 2.81 158 TUO LIMBUR 0.41 1.24 0.46 1.58 1.10 0.59 -0.67 -0.63 -0.96 0.86 -1.91 0.57 0.95 -0.05 1.06 1.78 159 TEBO JAYA 0.21 -1.12 0.21 1.91 0.96 0.79 -0.56 -0.77 -0.78 -1.09 -1.91 0.71 -1.40 -0.43 -0.98 0.30 160 SEKAR MENGKUANG -1.80 1.48 0.02 1.13 0.85 1.29 -0.58 -0.86 -0.63 0.66 -1.91 0.33 -0.46 -0.83 -0.88 -0.87 161 DATAR 1.41 -1.61 1.71 1.78 1.80 0.38 0.66 -0.30 -1.74 -1.09 -0.17 -0.91 0.94 0.03 0.57 -0.26 162 TALANG PEMESUN 0.53 -0.91 0.60 0.88 1.18 0.69 1.05 -0.56 1.62 -1.09 -1.91 1.17 -1.40 -1.67 -0.89 0.86 163 PULAU KERAKAP 0.06 -0.21 0.02 0.30 -1.32 -1.39 -0.90 -2.84 -0.63 -1.09 -1.58 0.90 -1.40 -1.67 -3.12 -2.61 164 BARU PELEPAT 0.21 -0.42 0.21 0.51 0.96 -0.03 1.04 -0.56 1.62 -1.09 -0.17 -1.85 -1.40 -1.67 -2.89 -2.00 165 PULAU BAYUR 2.37 0.41 -2.30 1.17 -1.32 -1.56 0.57 -2.84 1.62 -1.09 -1.58 -2.37 -1.40 -1.67 0.60 -0.86 166 Sungai Kapas -0.95 -0.01 -1.24 -0.72 0.06 1.41 0.74 -0.31 0.46 0.02 1.70 0.25 0.40 0.40 0.31 0.28 167 NALO BARU 0.34 1.32 0.37 2.08 1.05 -0.32 1.38 -2.84 -0.89 -1.09 -0.17 -2.08 -1.40 -0.75 -0.59 -1.98 168 NALO GEDANG 0.46 -0.62 0.52 0.80 1.14 -0.63 1.56 -0.84 -1.00 -1.09 -0.91 -2.26 -0.34 -0.03 -0.24 -0.76 169 AIR BATU -0.30 0.19 -0.43 0.60 0.59 -0.21 1.04 -2.84 -0.28 -1.09 -0.17 -1.52 0.04 0.14 0.48 -0.05 170 SEKO BESAR 0.24 0.65 0.24 -0.90 0.98 -1.65 1.04 0.52 1.62 -1.09 -1.32 0.24 2.04 0.31 -0.13 -0.41 171 TAMAN BANDUNG -1.80 0.48 -2.30 1.24 -1.32 -1.58 1.95 -2.84 1.62 -1.09 1.32 -0.48 0.65 0.16 0.44 -0.30 172 SUNGKAI 1.20 -1.12 1.44 1.58 1.65 -1.07 0.72 0.36 -1.59 1.31 0.41 -2.10 -1.40 0.32 0.35 0.25 173 Arang arang 1.16 -0.67 -0.15 0.12 0.75 -1.08 -0.91 -1.64 -0.50 0.58 2.13 1.45 -1.40 -1.67 -0.90 -1.25 174 UJUNG TANJUNG 1.26 -0.10 1.51 0.21 -1.32 -1.45 -0.55 0.17 -0.58 0.63 -0.17 0.05 -0.09 -0.02 -0.31 -0.56 175 Cinta Damai 1.50 -0.06 1.82 0.44 -1.32 -0.99 -0.22 0.06 1.62 -1.09 -0.17 -1.38 -1.40 -1.67 0.56 0.57 176 TIMBOLASI -1.80 -1.66 1.24 1.41 1.54 0.85 1.88 -0.25 -1.47 1.22 -0.04 -2.08 -1.40 -1.67 0.36 -1.53 177 CILODANG -1.80 -0.41 -0.15 -1.33 -1.32 0.08 0.20 -0.26 1.62 -1.09 -0.17 -0.25 0.81 1.11 -0.04 1.11 178 BANGUN HARJO -0.33 -0.41 -0.46 -0.30 -1.32 0.06 -0.80 0.12 1.62 -1.09 -0.17 -0.10 1.30 0.74 -0.62 -0.54

Page 328: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

304

Lampiran 3. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 2) No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

1 PINANG MERAH -0.78 0.04 -1.03 -0.34 0.83 0.80 0.96 -0.23 1.61 0.13 -0.18 0.30 2.08 0.81 2.44 2.32 2 MAMPUN BARU -0.19 0.32 0.51 -0.63 0.08 1.12 -0.06 0.41 1.61 -1.09 -0.93 -0.36 0.20 -0.25 0.61 0.00 3 LANTAK SERIBU -0.69 -1.21 0.17 -0.13 0.28 0.67 0.90 0.85 0.15 0.20 -0.31 0.52 -1.42 -0.82 0.84 -0.24 4 RASAU -0.51 -0.39 0.51 0.21 0.42 1.51 0.26 0.56 -0.06 0.32 0.07 0.60 0.85 1.01 0.84 1.14 5 MERANTI -0.57 -0.48 -0.76 -0.72 0.38 1.49 0.51 0.55 0.01 0.28 0.29 -0.01 1.25 0.77 0.06 0.62 6 BUKIT BUNGKUL -0.72 -0.54 -0.95 -1.03 0.25 0.46 0.51 0.43 0.18 0.18 -0.59 -0.70 0.85 0.24 0.70 0.88 7 SIALANG 0.66 -0.02 -0.54 1.03 -1.32 1.06 -0.25 0.92 -0.19 0.39 0.29 -0.21 -0.62 -0.69 0.00 0.52 8 TANJUNG

BENUANG -0.57 -0.98 -0.76 0.13 0.38 0.55 -0.09 0.78 0.01 0.28 -0.59 0.97 -0.68 -1.70 0.81 0.40

9 TAMBANG EMAS -0.95 0.11 -0.32 -0.11 0.06 0.78 -0.94 0.84 0.45 0.02 -0.18 0.74 1.61 0.66 1.58 1.35 10 SUNGAI PUTIH -0.42 1.91 -0.57 -0.44 -1.32 0.82 0.10 0.46 -0.16 -1.09 -1.59 -0.38 -0.63 0.03 0.29 0.67 11 BUKIT BERINGIN -0.51 -1.26 -0.68 0.82 -1.32 1.08 1.67 1.07 -0.06 0.32 -0.18 -0.71 -1.42 -0.18 0.02 -0.42 12 PAUH MENANG -0.24 0.61 -0.36 -1.58 0.62 0.81 -0.48 -0.36 -0.34 0.48 1.70 0.63 2.26 1.59 2.45 2.86 13 PEMATANG

KANCIL 1.03 -1.00 1.23 -0.01 0.69 0.63 -1.20 0.55 -0.42 0.53 0.40 0.50 -1.42 0.05 -0.79 -1.06

14 TANAH ABANG -0.72 0.73 0.14 -1.00 0.25 0.15 0.04 -0.20 0.18 0.18 2.05 0.65 0.26 0.34 0.99 -0.01 15 SUNGAI SAHUT -0.69 1.37 1.07 -0.97 0.28 0.63 0.24 0.20 0.15 0.20 2.12 0.14 0.28 -0.63 0.10 0.02 16 BUNGA ANTOI -0.95 -0.35 1.04 -0.75 0.06 0.81 -0.29 -0.17 0.45 0.02 1.31 0.47 0.65 0.81 0.95 1.17 17 MUARA DELANG 1.40 -1.28 -0.61 -1.92 -0.04 0.92 -0.36 -0.32 0.58 -0.06 1.70 0.69 1.00 0.28 1.45 1.30 18 SINAR GADING 0.16 0.41 0.14 -1.00 -1.32 0.91 -0.18 -0.53 0.15 -1.09 1.70 0.63 -0.04 -0.83 -1.79 -0.98 19 BUNGA TANJUNG 0.00 -0.72 1.50 -0.37 0.20 0.53 0.44 -0.10 0.26 0.13 -0.18 0.15 1.52 2.49 1.99 1.64 20 SUNGAI BULIAN -0.24 -1.26 -0.36 -0.13 0.62 1.56 0.63 1.07 -0.34 -1.09 -0.18 -0.23 -1.42 -0.95 -0.07 -0.44 21 SRI SEMBILAN 0.40 -0.91 0.45 -0.69 -1.32 1.10 0.76 1.00 -0.96 0.86 -0.18 0.16 -0.37 -0.07 0.11 -0.61 22 BUKIT SUBUR 0.23 -1.79 0.24 -0.90 0.97 -0.56 1.35 1.02 -0.80 -1.09 -0.18 1.02 1.89 0.97 2.59 2.60 23 RAWA JAYA -0.66 -0.66 0.21 -0.93 0.30 0.15 0.63 0.38 0.11 0.22 2.12 -0.77 -0.20 -0.17 1.14 0.54 24 SUNGAI BENTENG -0.95 -0.32 -0.39 -0.20 0.06 1.18 1.17 -0.37 0.45 -1.09 0.70 1.34 -0.09 -0.40 2.40 -0.09 25 PAYO LEBAR -0.13 1.53 0.54 -0.01 0.11 1.12 0.63 0.90 0.37 0.07 0.40 -1.34 2.16 2.35 1.34 1.02 26 BUKIT MURAU -0.45 0.00 -0.61 -0.50 -0.04 1.38 0.93 -0.32 0.58 -1.09 -0.18 0.28 -0.86 -1.20 -0.59 -1.16 27 SUNGAI MERAH 1.74 0.34 0.36 0.66 1.04 0.48 0.21 -0.49 0.04 -1.09 -0.18 0.61 -1.42 -0.39 -0.49 -1.70 28 PERDAMAIAN -0.82 0.07 -0.05 -0.39 0.17 1.29 1.40 -1.14 0.30 -1.09 -0.18 0.36 -0.11 -0.53 -0.74 -1.42 29 BATU PUTIH -0.16 0.35 1.23 -0.01 0.69 -0.50 0.20 1.02 -0.42 -1.09 -0.18 0.87 -1.42 0.37 0.19 -0.80 30 PEMATANG KULIM -0.60 0.37 1.30 0.65 0.35 0.36 -1.18 0.36 0.04 -1.09 -0.45 0.77 -0.39 1.14 0.84 -0.88 31 PETIDURAN BARU -0.08 -1.77 -0.15 1.52 0.75 0.06 1.54 0.94 1.61 -1.09 0.40 -0.01 0.59 -0.31 1.21 0.84 32 GURUH BARU -0.51 -1.29 -0.68 -0.60 1.15 -0.13 0.82 0.34 -0.06 -1.09 -0.18 -0.31 -0.35 -0.74 -0.61 -0.52 33 BUTANG BARU -1.80 -1.21 0.27 -0.87 -1.32 -0.53 1.10 -0.03 -0.83 -1.09 0.88 0.02 0.59 -0.43 1.10 -0.72 34 JATI BARU -1.80 -1.67 1.74 -1.03 0.90 -0.83 1.17 2.16 -0.71 -1.09 -0.18 -0.26 0.26 0.75 0.97 1.01 35 MERANTIH BARU -1.80 -1.20 0.91 0.57 1.35 -1.15 1.24 0.79 1.61 -1.09 -0.93 -1.09 1.32 -0.23 -0.22 -0.28 36 BUKIT SUBAN -0.85 1.95 -0.19 0.05 -1.32 -0.03 1.56 -0.14 0.33 0.09 -0.93 0.05 -1.42 0.63 -0.66 -0.26 37 MENTAWAK BARU -0.30 1.95 -0.43 -1.67 0.58 0.68 1.76 2.37 -0.28 0.44 -0.93 1.64 2.21 0.77 0.83 0.39

Page 329: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

305

Lampiran 3. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 2) No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

38 PEMATANG KABAU 0.43 0.88 0.48 0.17 0.40 -0.33 1.47 -0.65 -0.03 0.30 -0.18 -1.89 0.56 0.52 -1.56 -0.05 39 TERENTANG BARU -0.45 -1.30 0.66 0.93 0.47 -0.12 -0.67 -0.44 -0.13 -1.09 1.14 0.09 -0.64 -0.49 0.02 -0.41 40 DURIAN LUNCUK 0.96 1.77 -0.29 -1.49 1.49 1.29 0.01 0.29 -0.40 2.11 0.88 0.12 -1.42 -0.93 0.70 0.23 41 JANGGA BARU 2.23 -0.74 -0.84 0.01 1.03 1.18 -0.59 1.56 0.08 0.24 1.88 -0.51 0.19 -0.79 -0.23 -0.74 42 BULIAN BARU 0.05 -1.60 0.01 0.26 0.84 -0.89 0.34 1.21 -0.64 -1.09 -0.18 -0.70 -0.09 0.18 0.47 -0.35 43 MEKAR JAYA 0.28 -1.21 2.04 2.02 1.01 -0.37 0.47 -0.16 -0.85 0.79 0.40 -1.05 0.62 0.33 0.63 0.81 44 BULIAN JAYA 0.90 1.91 -0.36 -0.13 0.62 -1.09 -0.17 -0.22 -0.34 0.48 -0.18 -0.94 0.83 -0.95 0.14 0.72 45 KEHIDUPAN BARU 0.73 0.32 0.85 -0.32 -1.32 -0.26 -0.78 0.75 -1.23 1.04 -1.59 0.85 0.58 0.09 0.09 1.54 46 KARYA MUKTI 0.73 -0.38 0.85 1.11 -1.32 -1.49 -0.11 -1.81 -1.23 1.04 -1.59 0.50 0.21 0.09 0.54 -0.30 47 BUKIT HARAPAN -0.54 1.86 -0.72 -0.66 1.11 0.12 -0.25 -0.54 -0.03 0.30 -0.45 0.73 -0.67 -1.03 -1.82 -0.22 48 BELANTI JAYA 0.43 -1.41 0.48 -0.66 1.11 -1.15 -0.17 0.46 -0.98 0.87 -0.93 0.73 -0.36 -0.75 -0.85 -0.60 49 TAPAH SARI 0.86 -1.06 1.02 -0.18 1.42 -0.81 1.40 -0.36 -1.34 1.12 0.18 0.81 -1.42 -1.70 -0.54 -1.98 50 BUKIT KEMUNING 1.05 -0.09 1.25 0.01 -1.32 -0.21 0.32 -0.24 -1.48 1.22 -1.12 -1.33 -0.17 -1.70 -1.74 -1.36 51 RAMIN 1.83 1.14 -2.30 1.57 -1.32 -1.04 0.19 -1.49 -2.02 1.67 0.88 0.10 -1.42 -1.70 1.07 -0.42 52 MEKAR SARI -0.54 -0.44 -0.72 0.75 -1.32 -0.76 1.40 0.20 -0.03 0.30 -0.18 1.16 0.01 -0.07 -0.88 -1.16 53 PANCA MULYA -0.33 0.56 -0.46 -0.30 1.34 -0.93 -1.22 -1.80 -0.25 0.43 -0.18 -0.55 0.00 -0.97 0.12 -0.23 54 SUKA MAKMUR -0.11 0.99 -0.19 0.05 0.14 0.94 -0.84 -0.21 0.33 -1.09 -0.18 0.11 0.47 -0.44 1.78 0.53 55 MARGA MULYA -0.69 -0.17 0.14 -0.16 0.28 0.67 -1.05 -0.72 0.15 0.20 2.12 -0.66 -1.42 -0.83 -2.39 -0.92 56 MARGA 0.66 0.65 -0.54 0.44 0.52 -0.33 -1.47 -0.49 -0.19 0.39 0.40 0.11 -0.04 0.32 -0.42 -0.05 57 RANTAU HARAPAN 0.26 0.23 0.27 -0.87 0.33 0.59 -1.07 -0.65 0.08 0.24 -0.93 0.52 -0.41 -0.80 -1.72 -0.26 58 TALANG BUKIT -0.39 -0.71 0.74 -0.42 0.52 -0.45 -1.16 -1.05 -0.19 0.39 -0.18 0.46 -0.62 -0.47 -0.18 -0.11 61 TRIJAYA 1.64 -1.20 1.99 1.39 -1.32 -0.81 -1.16 -0.01 -0.83 0.77 -0.18 0.25 1.61 0.32 -0.86 -0.42 62 TANJUNG

HARAPAN 0.08 -1.72 0.05 1.14 0.86 -0.95 -0.16 -0.51 -0.66 0.67 1.31 -1.18 -0.08 -1.70 -0.76 0.98

63 BERKAH 1.40 -0.99 0.08 1.17 0.88 -0.59 -1.20 0.63 -0.69 1.42 0.88 -0.47 -0.46 -0.84 -2.80 -0.46 64 SUMBER MULYA 0.23 -1.77 0.24 -0.90 -1.32 -0.12 -1.33 0.11 -0.80 0.76 -0.18 -0.64 -0.42 -0.81 -1.85 -0.54 65 MATRA

MANUNGGAL 0.50 -1.26 0.57 0.85 -1.32 -0.94 -1.03 -0.18 -1.04 0.91 -0.18 -0.18 -1.42 -1.70 -0.76 0.26

66 BUKIT MULYA 0.90 -0.87 1.07 -0.13 1.45 -1.11 -1.03 0.90 -1.37 1.14 0.18 -0.48 0.28 -0.63 0.39 2.33 67 BUKIT MAKMUR 1.19 -1.61 -0.12 0.15 0.77 -1.33 0.62 -0.15 -0.53 1.83 -1.12 0.56 -1.42 -0.29 -0.60 0.79 68 BAHAR MULYA 0.38 1.02 2.21 -0.72 -1.32 -0.95 -1.13 -0.45 -0.94 0.84 -0.18 0.01 0.06 -0.08 -0.37 -0.63 69 TANJUNG MULYA 0.38 1.13 0.42 -0.72 1.08 -1.50 -0.88 0.08 -0.94 0.84 -0.18 0.63 0.05 -0.09 -0.30 1.30 70 BUKIT MAS -0.54 -0.67 -0.72 -0.66 0.40 -1.22 -1.58 -1.47 -0.03 0.30 -0.18 -1.14 -1.42 -0.06 -2.52 -0.16 71 SUMBER JAYA -1.80 -0.04 0.17 -0.97 -1.32 -1.48 -1.77 -1.03 -0.76 0.73 -0.18 0.78 -0.03 -0.82 -0.32 -0.66 72 ADIPURA

KENCANA 0.38 -0.14 0.42 -0.72 1.08 -1.49 -1.20 0.55 -0.94 0.84 -0.18 -1.62 -0.38 0.59 -0.92 0.59

73 BUKIT JAYA 0.16 -0.14 0.14 -1.00 -1.32 -1.44 -1.77 -0.10 -0.73 0.72 -0.59 -0.96 0.27 0.26 -1.50 -0.02 74 TANJUNG SARI -0.33 0.40 -0.46 -1.72 0.56 -1.32 -1.08 -0.56 -0.25 0.43 -0.18 0.87 -0.60 0.10 -0.30 1.13 75 PETALING JAYA 0.38 0.94 0.42 -1.18 -0.25 0.07 0.42 -1.36 0.85 -1.09 -0.93 0.04 0.13 0.39 0.25 0.27 76 SUMBER AGUNG -0.39 0.91 -0.54 -1.81 0.52 0.10 -0.06 -0.48 1.61 -1.09 -0.18 -0.24 -1.42 -0.99 -1.30 0.50

Page 330: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

306

Lampiran 3. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

77 RANTAU RASAU I 0.77 -0.20 -2.30 1.14 -1.32 -1.01 1.29 -1.15 1.61 -1.09 -0.31 0.87 1.66 2.47 -0.02 -0.85 78 RANTAU RASAU II 2.19 -0.11 -0.54 0.44 -1.32 0.43 0.62 -1.21 -0.19 -1.09 1.98 1.81 2.16 0.97 0.47 1.66 79 BANDAR JAYA -0.88 0.86 -0.19 1.19 0.73 -0.25 0.73 0.09 0.37 1.99 0.79 0.92 2.14 2.28 0.43 -0.06 80 BANGUN KARYA -0.33 0.56 -2.30 1.57 -1.32 -1.24 0.71 -1.17 -0.25 1.04 1.70 1.82 2.14 0.49 2.23 1.44 81 HARAPAN

MAKMUR -0.48 0.07 -2.30 2.04 -1.32 -1.30 0.97 0.48 -0.09 0.33 0.18 1.81 1.47 1.15 -0.42 0.29

82 RANTAU JAYA 1.07 0.50 -0.80 1.78 0.35 -0.16 0.33 0.12 0.04 -1.09 -0.18 1.81 0.99 2.36 -0.11 -0.09 83 RANTAU MAKMUR -0.63 0.48 0.27 1.02 0.99 -0.63 1.18 -1.24 0.08 -1.09 -1.92 1.20 1.85 -0.43 0.11 1.08 84 RANTAU INDAH -0.48 0.01 -0.65 -0.09 0.45 -0.78 0.45 1.31 1.61 -0.08 0.88 1.15 1.35 0.05 -1.17 -0.63 85 JATI MULYO 2.14 -0.43 -2.30 0.99 -1.32 -0.73 0.47 0.48 -2.21 -1.09 0.07 1.77 -1.42 -1.70 -1.13 -2.73 86 SIDO MUKTI -0.48 0.96 -0.65 0.30 0.45 0.44 0.97 0.78 1.61 -1.09 -0.18 0.17 0.47 -0.32 -1.58 -1.35 87 CATUR RAHAYU 0.05 -1.34 0.01 1.69 0.84 0.35 0.92 -0.37 -0.64 -1.09 2.12 0.21 0.88 -0.51 0.11 -0.67 88 RAWASARI 1.83 -1.77 -2.30 2.16 -1.32 -1.67 1.27 0.27 -2.02 -1.09 -1.59 1.22 0.07 -1.70 -1.43 -2.73 89 LAMBUR I -0.36 1.00 -0.50 0.50 0.54 -1.23 0.81 -1.18 -0.22 1.03 -0.45 -0.75 1.93 1.02 0.02 -0.55 90 LAMBUR II -0.78 1.49 -1.03 0.28 0.20 -1.55 1.15 0.27 0.26 0.13 -0.75 -0.01 2.17 -0.13 0.22 0.68 91 PANDAN JAYA 0.28 -0.72 -1.28 0.21 0.58 -0.69 1.40 -1.79 0.50 2.17 0.88 1.70 -0.41 -0.80 0.54 0.30 92 PANDAN MAKMUR 0.31 -0.14 -2.30 0.61 -1.32 -1.09 1.67 0.87 -0.87 0.80 -0.75 -1.30 0.62 -0.12 -1.43 -1.44 93 PANDAN LAGAN 0.28 -0.60 0.30 0.58 1.01 -1.44 0.83 -0.74 -0.85 0.79 -0.18 -1.36 -1.42 2.26 -0.83 -0.50 94 SUKA MAJU -0.19 1.76 -0.29 0.75 -1.32 -0.70 1.93 1.60 -0.40 1.67 -0.93 -1.75 -0.20 -0.61 -0.96 -1.39 95 KOTA BARU 0.23 -0.07 0.24 -0.90 0.97 -0.66 1.51 0.53 -0.80 2.11 -0.18 -1.56 -0.01 -1.70 -0.24 -0.12 97 RANTAU KARYA 1.86 -0.64 -2.30 0.76 -1.32 -1.01 1.09 1.63 -2.04 1.68 -1.33 -1.85 1.18 -1.70 -1.11 -1.78 99 PURWODADI -0.63 0.56 -0.84 -0.84 -0.14 1.37 -0.07 0.16 0.71 0.79 0.40 -1.11 -0.28 -0.13 0.86 0.48

100 SRI AGUNG -0.08 0.88 -0.15 -0.50 -1.32 -1.19 -0.61 -0.80 0.33 0.09 0.88 0.12 0.26 -0.31 -0.26 -1.17 101 LAMPISI -0.27 1.65 0.99 -0.20 0.60 -0.42 -0.32 -0.02 -0.31 0.46 -0.18 0.85 -0.24 -0.40 -0.70 0.24 102 TANJUNG

BENANAK 0.28 -0.23 0.30 1.41 1.01 0.93 -0.36 0.58 -0.85 0.79 -0.93 -0.18 -1.42 0.52 -0.01 0.96

103 BUKIT HARAPAN 0.45 0.88 0.51 -0.63 1.13 -0.20 -0.08 0.32 1.61 -1.09 2.12 -0.08 0.09 0.21 -0.28 0.15 104 ADI PURWA 1.32 -0.92 1.60 1.70 -1.32 -0.93 -1.46 1.12 1.61 1.38 0.40 0.59 0.47 -1.70 0.25 0.07 105 PINANG GADING 1.42 -1.67 1.72 0.37 -1.32 -0.84 0.44 0.01 -1.75 1.43 -1.59 0.92 -1.42 0.41 1.27 2.61 106 DUSUN MUDO 1.64 -1.24 -2.30 1.98 -1.32 0.08 -0.84 -0.55 -0.83 2.15 1.70 -1.87 -1.42 -0.80 0.53 1.32 107 TANJUNG TAYAS 1.81 -0.50 -2.30 2.15 -1.32 -1.01 -1.77 1.11 -2.01 1.66 0.88 -1.92 0.06 -0.38 1.59 -0.42 108 BADANG -1.80 -1.09 1.10 1.32 1.46 -0.99 -0.40 1.11 -1.39 1.15 2.12 -2.22 -1.42 0.96 0.03 0.25 109 KAMPUNG BARU -0.05 1.56 -0.12 0.98 -1.32 -1.16 -1.57 -0.77 -0.53 0.59 0.40 -1.21 -0.51 -0.55 1.07 0.10 110 RANTAU BADAK -0.13 0.57 1.25 0.85 0.71 -0.21 0.23 -1.72 -0.45 -1.09 1.31 -1.67 0.11 0.67 0.00 -0.35 111 BUKIT INDAH 0.21 -0.30 0.21 0.49 0.96 -1.15 -1.17 0.38 1.61 -1.09 1.84 -1.36 -0.43 -0.17 -0.45 0.60 112 KEMANG MANIS 2.28 -0.79 -2.30 1.10 -1.32 -0.90 -1.47 -0.45 1.61 1.04 1.06 -0.25 0.21 -0.67 -0.01 1.72 113 INTAN JAYA 0.50 -1.45 0.57 0.85 1.16 -1.02 -0.23 0.82 1.61 -1.09 1.70 -0.59 -0.34 -1.70 0.74 -0.45 114 SUKA DAMAI -0.13 0.25 -0.22 0.03 0.71 -0.49 0.48 -1.21 -0.45 0.54 -0.18 1.06 0.11 -0.91 -1.08 0.45 115 ADI JAYA 0.13 -0.57 0.11 -1.03 -1.32 -1.67 -0.69 0.29 -0.71 0.70 0.88 0.25 -1.42 0.03 -2.00 -0.13

Page 331: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

307

Lampiran 3. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 116 BRASAU 0.73 -0.90 0.85 -0.32 -1.32 -0.33 0.76 2.03 -1.23 1.04 -0.18 0.13 0.58 -0.67 -0.57 -0.66 117 PERINTIS -0.48 1.42 0.21 -0.93 0.11 1.41 -0.66 -0.40 0.90 -0.26 -0.18 0.59 -0.09 0.62 0.37 0.14 118 KELURAHAN

WIROTHO AGUNG -0.22 1.16 -0.54 -1.25 0.52 1.40 -0.78 -0.63 1.21 -0.48 1.31 -0.28 0.17 1.73 1.40 0.39

119 RIMBO MULYO -0.63 0.24 -0.22 -1.41 -0.14 1.54 -1.23 -0.25 0.71 -0.14 -0.18 0.60 0.73 0.43 1.13 0.26 120 PURWO HARJO -1.02 0.30 1.35 -0.37 -0.01 1.09 -1.31 -0.59 0.54 -0.03 -0.18 0.93 -0.43 0.14 0.97 -0.09 121 TEGAL ARUM -1.26 0.25 0.01 -1.14 0.22 1.41 -1.19 0.34 0.85 -0.23 -0.18 -0.05 -0.26 0.14 -0.06 -0.51 122 TIRTAKENCANA -1.30 0.53 -0.65 -1.97 0.11 1.51 -1.41 0.11 0.90 -0.26 -0.18 1.10 -0.80 -0.03 -0.20 -0.37 123 SAPTA MULIA -1.02 -0.04 0.21 -0.37 -0.01 0.74 -1.38 1.91 0.54 -0.03 -0.18 0.64 0.19 0.64 0.36 0.05 124 SUKA DAMAI 0.48 0.19 0.54 -0.60 0.58 1.06 -0.52 -0.43 0.80 2.12 0.40 0.27 0.25 -0.04 0.01 -0.21 125 SUKA MAJU -1.12 1.23 0.45 -0.22 0.40 1.08 -0.97 -0.15 0.67 -1.09 0.07 0.22 -0.50 -0.28 -0.82 -0.70 126 WANAREJA -1.33 0.65 0.54 -0.60 -0.33 0.68 -1.59 0.11 0.95 -0.29 -0.93 0.03 -0.04 0.52 -0.11 -0.42 127 SUMBER SARI -1.15 1.18 0.36 -0.32 0.35 1.06 -0.43 0.21 0.71 -0.14 -0.93 1.19 0.21 1.99 -0.38 -0.51 128 SIDO RUKUN -1.05 1.36 1.72 -0.47 -0.04 1.18 -1.07 0.28 0.58 -0.06 -0.18 0.08 -0.06 0.09 -0.54 -0.31 129 SUNGAI PANDAN 0.40 -0.31 0.45 0.72 1.10 0.53 0.26 1.23 -0.96 -1.09 -0.93 -1.68 -1.42 -0.38 -0.27 -1.40 130 SIDO REJO -1.80 1.42 0.30 0.57 -1.32 1.23 -0.85 2.12 -0.85 0.79 -1.12 0.30 1.78 0.33 -0.74 -0.51 131 KARANG DADI -0.54 -1.47 -0.72 -0.63 1.13 1.28 -1.77 2.66 -0.03 0.30 -1.33 0.18 0.08 0.32 -0.45 0.29 132 GIRI PURNO 1.03 1.91 -0.25 -1.45 0.69 1.51 -1.59 1.11 -0.42 0.53 0.88 -0.98 0.33 -0.34 -1.43 -1.37 133 SUMBER AGUNG -0.16 1.81 -0.25 0.82 -1.32 1.15 -1.58 1.61 -0.42 0.53 -1.59 -1.10 1.07 0.79 -0.03 0.06 134 SARI MULYA -0.60 1.38 -0.80 -0.81 0.35 1.18 -1.07 1.12 0.04 0.26 -1.59 -1.39 -0.40 0.01 -0.44 0.21 135 GIRIWINANGUN -0.98 1.25 -0.43 -0.25 0.02 1.53 -0.87 0.41 0.50 1.08 -1.12 -0.28 -0.11 -0.41 -0.10 -0.66 136 PINANG BALAI 0.84 -0.96 0.99 -0.20 -1.32 -1.53 0.82 -0.64 1.61 -1.09 -1.59 -1.27 -0.24 0.67 -0.07 1.26 137 SEKUTUR JAYA 1.62 -0.63 1.97 0.55 1.95 -1.01 -1.77 0.13 1.61 1.55 -1.59 -0.94 0.59 -0.43 -0.29 1.31 138 NAPAL PUTIH 2.31 -0.73 2.83 1.13 -1.32 -1.67 -0.25 0.22 -2.30 -1.09 -1.59 -1.09 -1.42 -0.24 0.71 -0.65 139 Sungai Karang 0.43 0.84 0.48 -0.66 1.11 -1.67 2.04 0.61 1.61 -1.09 2.12 1.68 -0.36 -1.70 -0.03 -1.78 140 BANGUN

SARANTEN 0.52 0.88 -0.65 0.28 0.45 -0.51 -0.26 -1.27 -1.69 2.09 -0.18 1.01 -0.65 0.36 0.48 0.28

141 SUNGAI JERNIH -0.33 0.65 -0.46 -0.27 -1.32 -0.80 -0.45 -0.07 -0.25 0.43 1.70 1.01 -0.26 0.10 0.23 -0.58 142 BUKIT SARI -0.51 -0.28 -0.68 -0.63 -1.32 1.37 1.29 0.24 -0.06 -1.09 -0.18 0.16 -0.11 0.21 0.09 -0.33 143 SARI MULYA -1.80 1.13 -0.87 -0.09 0.30 -1.42 1.51 0.77 0.11 -1.09 -1.59 -0.49 1.11 -0.61 0.22 -0.13 144 PURWOSARI -0.05 1.45 -0.12 -1.29 0.38 1.54 -0.53 -0.22 0.01 2.12 0.88 0.01 0.61 1.41 2.16 1.40 145 LEMBAH

KUAMANG -0.60 1.04 -0.80 -0.78 -1.32 1.45 -1.14 0.13 1.61 -1.09 0.40 0.05 0.21 2.05 0.27 -0.28

146 SUMBER HARAPAN -1.80 0.89 -0.68 -0.60 -1.32 0.40 0.07 0.34 -0.06 -1.09 -0.18 1.77 0.10 1.83 0.38 0.04 147 DAYA MURNI -1.80 0.83 -0.54 -1.81 -1.32 1.18 -0.50 0.03 1.61 -1.09 -0.18 1.78 -0.62 1.32 0.82 -0.48 148 SUMBER MULIA 0.45 1.13 0.51 0.80 1.13 0.82 -0.32 0.63 1.61 -1.09 0.40 0.26 -0.35 1.17 0.17 -0.10 149 MAJU JAYA -1.80 -0.52 -0.12 0.13 -1.32 1.05 -0.18 0.23 -0.53 -1.09 -0.18 0.09 -0.14 2.29 0.31 0.64 150 TIRTA MULIA -0.36 -0.24 -0.50 -0.37 -1.32 0.31 0.05 0.08 -0.22 -1.09 -0.18 1.71 1.25 1.36 0.89 0.78 151 LINGGA KUAMANG -0.57 0.99 0.39 -2.14 0.38 0.94 0.13 0.07 0.01 -1.09 -0.18 1.66 -0.38 0.67 0.23 0.73 152 KUNING GADING -0.42 -0.47 -0.57 -1.87 0.49 1.24 -0.81 -0.92 -0.16 -1.09 -0.05 0.36 0.51 1.11 0.01 0.62

Page 332: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

308

Lampiran 3. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 153 KUAMANG JAYA 0.45 -0.37 0.51 -0.63 -1.32 1.16 -1.32 2.92 1.61 -1.09 -0.18 0.88 0.09 2.00 -0.28 0.52 154 KARYA HARAPAN

MUKTI -0.54 -0.09 0.48 0.17 -1.32 1.21 -1.16 -1.16 1.61 -1.09 -0.18 -0.03 -1.42 1.07 -0.46 -1.23

155 GAPURA SUCI 0.13 0.23 -0.95 -2.46 0.25 0.91 0.71 -0.21 1.61 -1.09 0.88 0.92 -0.45 0.59 0.41 0.43 156 MULIA BAKTI 2.17 0.16 -0.09 -1.25 0.79 1.17 -0.21 0.26 1.61 -1.09 -0.18 -0.47 -0.50 0.14 0.37 0.01 158 MULIA JAYA -1.80 -1.24 0.24 -0.90 -1.32 -0.02 1.20 0.52 -0.80 -1.09 0.40 0.66 -0.01 1.25 1.70 1.46 159 KOTA RAJA 0.75 -1.03 0.88 -0.30 -1.32 0.29 1.24 -2.91 -1.25 -1.09 -0.18 0.33 0.90 1.74 1.44 2.88 161 TUO LIMBUR 0.40 1.23 0.45 1.57 1.10 0.58 -0.69 -0.65 -0.96 0.86 -1.92 0.57 0.94 -0.07 1.08 1.81 162 TEBO JAYA 0.21 -1.12 0.21 1.90 0.96 0.78 -0.57 -0.80 -0.78 -1.09 -1.92 0.72 -1.42 -0.45 -1.07 0.28 164 SEKAR

MENGKUANG -1.80 1.46 0.01 1.13 0.84 1.28 -0.59 -0.89 -0.64 0.65 -1.92 0.34 -0.48 -0.86 -0.97 -0.93

165 DATAR 1.40 -1.60 1.69 1.77 1.80 0.36 0.65 -0.32 -1.74 -1.09 -0.18 -0.90 0.93 0.01 0.56 -0.30 166 TALANG PEMESUN 0.52 -0.91 0.60 0.87 1.18 0.68 1.04 -0.58 1.61 -1.09 -1.92 1.17 -1.42 -1.70 -0.98 0.86 168 BARU PELEPAT 0.21 -0.42 0.21 0.50 0.96 -0.05 1.03 -0.58 1.61 -1.09 -0.18 -1.84 -1.42 -1.70 -3.10 -2.10 169 PULAU BAYUR 2.35 0.41 -2.30 1.16 -1.32 -1.57 0.56 -2.91 1.61 -1.09 -1.59 -2.35 -1.42 -1.70 0.59 -0.92 170 Sungai Kapas -0.95 -0.02 -1.24 -0.72 0.06 1.40 0.73 -0.33 0.45 0.02 1.70 0.26 0.39 0.39 0.29 0.26 171 NALO BARU 0.33 1.31 0.36 2.07 1.04 -0.33 1.37 -2.91 -0.89 -1.09 -0.18 -2.07 -1.42 -0.78 -0.66 -2.08 172 NALO GEDANG 0.45 -0.62 0.51 0.79 1.13 -0.64 1.55 -0.87 -1.00 -1.09 -0.93 -2.25 -0.35 -0.05 -0.29 -0.82 173 AIR BATU -0.30 0.18 -0.43 0.60 0.58 -0.23 1.03 -2.91 -0.28 -1.09 -0.18 -1.51 0.02 0.12 0.47 -0.09 174 SEKO BESAR 0.23 0.64 0.24 -0.90 0.97 -1.67 1.03 0.52 1.61 -1.09 -1.33 0.25 2.03 0.29 -0.18 -0.45 175 TAMAN BANDUNG -1.80 0.48 -2.30 1.23 -1.32 -1.60 1.94 -2.91 1.61 -1.09 1.31 -0.47 0.64 0.14 0.43 -0.35 176 SUNGKAI 1.19 -1.12 1.43 1.57 1.65 -1.09 0.71 0.36 -1.59 1.30 0.40 -2.08 -1.42 0.30 0.33 0.22 177 Arang arang 1.15 -0.67 -0.15 0.11 0.75 -1.10 -0.92 -1.69 -0.51 0.58 2.12 1.45 -1.42 -1.70 -0.99 -1.33

UJUNG TANJUNG 1.25 -0.10 1.50 0.21 -1.32 -1.47 -0.56 0.16 -0.58 0.62 -0.18 0.05 -0.11 -0.04 -0.37 -0.61 Cinta Damai 1.49 -0.06 1.81 0.44 -1.32 -1.01 -0.23 0.05 1.61 -1.09 -0.18 -1.37 -1.42 -1.70 0.55 0.56 TIMBOLASI -1.80 -1.65 1.23 1.41 1.53 0.84 1.87 -0.27 -1.47 1.21 -0.05 -2.07 -1.42 -1.70 0.35 -1.62 CILODANG -1.80 -0.42 -0.15 -1.33 -1.32 0.06 0.19 -0.28 1.61 -1.09 -0.18 -0.25 0.79 1.10 -0.08 1.12 BANGUN HARJO -0.33 -0.42 -0.46 -0.30 -1.32 0.05 -0.82 0.12 1.61 -1.09 -0.18 -0.09 1.29 0.72 -0.69 -0.59

Page 333: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

309

Lampiran 4. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 3) No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

1 PINANG MERAH -0.78 0.04 -1.03 -0.34 0.83 0.80 0.97 -0.23 1.63 0.13 -0.18 0.29 2.08 0.80 2.49 2.33 2 MAMPUN BARU -0.19 0.31 0.51 -0.63 0.09 1.12 -0.05 0.41 1.63 -1.10 -0.92 -0.38 0.20 -0.26 0.60 -0.01 3 LANTAK SERIBU -0.69 -1.21 0.17 -0.13 0.28 0.67 0.90 0.84 0.16 0.19 -0.31 0.52 -1.44 -0.84 0.85 -0.25 4 RASAU -0.50 -0.39 0.51 0.21 0.43 1.50 0.26 0.55 -0.05 0.31 0.07 0.59 0.84 1.00 0.84 1.14 5 MERANTI -0.56 -0.48 -0.76 -0.71 0.38 1.48 0.52 0.55 0.02 0.27 0.29 -0.02 1.24 0.77 0.04 0.61 6 BUKIT BUNGKUL -0.72 -0.54 -0.95 -1.03 0.26 0.46 0.51 0.43 0.19 0.17 -0.59 -0.72 0.85 0.23 0.70 0.88 7 SIALANG 0.66 -0.02 -0.53 1.03 -1.31 1.06 -0.24 0.91 -0.18 0.38 0.29 -0.22 -0.63 -0.70 -0.01 0.52 8 TANJUNG

BENUANG -0.56 -0.98 -0.76 0.14 0.38 0.55 -0.08 0.78 0.02 0.27 -0.59 0.97 -0.69 -1.72 0.81 0.39

9 TAMBANG EMAS -0.94 0.10 -0.32 -0.11 0.06 0.77 -0.93 0.84 0.47 0.01 -0.18 0.74 1.60 0.65 1.61 1.36 10 SUNGAI PUTIH -0.41 1.91 -0.57 -0.44 -1.31 0.82 0.11 0.46 -0.15 -1.10 -1.59 -0.39 -0.64 0.02 0.28 0.66 11 BUKIT BERINGIN -0.50 -1.26 -0.68 0.82 -1.31 1.08 1.68 1.06 -0.05 0.31 -0.18 -0.73 -1.44 -0.19 0.00 -0.44 12 PAUH MENANG -0.24 0.60 -0.36 -1.57 0.63 0.81 -0.47 -0.37 -0.33 0.47 1.69 0.62 2.26 1.59 2.50 2.87 13 PEMATANG

KANCIL 1.02 -1.00 1.23 0.00 0.69 0.63 -1.19 0.55 -0.42 0.52 0.40 0.49 -1.44 0.04 -0.82 -1.08

14 TANAH ABANG -0.72 0.73 0.14 -0.99 0.26 0.15 0.05 -0.20 0.19 0.17 2.04 0.64 0.26 0.33 1.00 -0.02 15 SUNGAI SAHUT -0.69 1.37 1.07 -0.96 0.28 0.62 0.24 0.20 0.16 0.19 2.11 0.13 0.28 -0.64 0.08 0.01 16 BUNGA ANTOI -0.94 -0.35 1.04 -0.74 0.06 0.81 -0.29 -0.17 0.47 0.01 1.31 0.47 0.65 0.80 0.96 1.17 17 MUARA DELANG 1.40 -1.27 -0.61 -1.91 -0.03 0.92 -0.36 -0.32 0.59 -0.06 1.69 0.68 0.99 0.27 1.47 1.30 18 SINAR GADING 0.16 0.40 0.14 -0.99 -1.31 0.91 -0.17 -0.53 0.16 -1.10 1.69 0.62 -0.05 -0.85 -1.86 -1.00 19 BUNGA TANJUNG 0.00 -0.72 1.50 -0.36 0.20 0.52 0.45 -0.11 0.27 0.13 -0.18 0.14 1.51 2.50 2.02 1.64 20 SUNGAI BULIAN -0.24 -1.26 -0.36 -0.13 0.63 1.56 0.64 1.07 -0.33 -1.10 -0.18 -0.24 -1.44 -0.96 -0.09 -0.46 21 SRI SEMBILAN 0.40 -0.91 0.45 -0.68 -1.31 1.09 0.77 0.99 -0.95 0.85 -0.18 0.15 -0.38 -0.08 0.09 -0.63 22 BUKIT SUBUR 0.23 -1.79 0.24 -0.90 0.98 -0.56 1.35 1.01 -0.80 -1.10 -0.18 1.01 1.88 0.97 2.64 2.61 23 RAWA JAYA -0.66 -0.66 0.21 -0.93 0.31 0.15 0.63 0.37 0.12 0.21 2.11 -0.79 -0.21 -0.18 1.15 0.53 24 SUNGAI BENTENG -0.94 -0.32 -0.39 -0.20 0.06 1.17 1.17 -0.37 0.47 -1.10 0.69 1.34 -0.10 -0.41 2.45 -0.11 25 PAYO LEBAR -0.13 1.53 0.54 0.00 0.12 1.11 0.64 0.89 0.38 0.06 0.40 -1.36 2.16 2.36 1.36 1.01 26 BUKIT MURAU -0.44 -0.01 -0.61 -0.49 -0.03 1.38 0.94 -0.32 0.59 -1.10 -0.18 0.28 -0.87 -1.22 -0.63 -1.19 27 SUNGAI MERAH 1.74 0.33 0.36 0.66 1.05 0.48 0.21 -0.49 0.05 -1.10 -0.18 0.60 -1.44 -0.41 -0.52 -1.73 28 PERDAMAIAN -0.81 0.06 -0.05 -0.39 0.18 1.28 1.41 -1.14 0.31 -1.10 -0.18 0.35 -0.12 -0.54 -0.78 -1.45 29 BATU PUTIH -0.16 0.34 1.23 0.00 0.69 -0.50 0.21 1.02 -0.42 -1.10 -0.18 0.87 -1.44 0.37 0.18 -0.82 30 PEMATANG KULIM -0.59 0.37 1.30 0.65 0.36 0.35 -1.17 0.36 0.05 -1.10 -0.45 0.77 -0.40 1.14 0.84 -0.90 31 PETIDURAN BARU -0.08 -1.76 -0.15 1.52 0.75 0.06 1.54 0.94 1.63 -1.10 0.40 -0.02 0.59 -0.32 1.23 0.84 32 GURUH BARU -0.50 -1.29 -0.68 -0.60 1.15 -0.13 0.82 0.34 -0.05 -1.10 -0.18 -0.32 -0.36 -0.76 -0.64 -0.54 33 BUTANG BARU -1.79 -1.21 0.27 -0.86 -1.31 -0.53 1.10 -0.04 -0.82 -1.10 0.88 0.01 0.58 -0.45 1.11 -0.74 34 JATI BARU -1.79 -1.66 1.74 -1.03 0.91 -0.82 1.17 2.15 -0.70 -1.10 -0.18 -0.28 0.25 0.74 0.97 1.00 35 MERANTIH BARU -1.79 -1.20 0.91 0.57 1.36 -1.14 1.25 0.78 1.63 -1.10 -0.92 -1.11 1.31 -0.24 -0.24 -0.29 36 BUKIT SUBAN -0.85 1.95 -0.18 0.06 -1.31 -0.03 1.57 -0.15 0.35 0.08 -0.92 0.04 -1.44 0.62 -0.70 -0.28 37 MENTAWAK BARU -0.30 1.94 -0.43 -1.66 0.59 0.67 1.77 2.36 -0.27 0.44 -0.92 1.64 2.21 0.76 0.83 0.39

Page 334: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

310

Lampiran 4. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

38 PEMATANG KABAU 0.43 0.88 0.48 0.17 0.41 -0.33 1.48 -0.65 -0.02 0.29 -0.18 -1.92 0.55 0.51 -1.62 -0.06 39 TERENTANG BARU -0.44 -1.30 0.66 0.93 0.48 -0.12 -0.67 -0.44 -0.12 -1.10 1.14 0.08 -0.65 -0.51 0.00 -0.43 40 DURIAN LUNCUK 0.96 1.77 -0.29 -1.49 1.49 1.29 0.02 0.29 -0.39 2.11 0.88 0.11 -1.44 -0.94 0.70 0.22 41 JANGGA BARU 2.23 -0.74 -0.83 0.02 1.03 1.18 -0.59 1.55 0.09 0.23 1.87 -0.52 0.19 -0.80 -0.25 -0.76 42 BULIAN BARU 0.05 -1.60 0.01 0.27 0.85 -0.89 0.34 1.20 -0.63 -1.10 -0.18 -0.72 -0.10 0.17 0.46 -0.36 43 MEKAR JAYA 0.28 -1.21 2.03 2.02 1.01 -0.37 0.48 -0.16 -0.84 0.78 0.40 -1.07 0.61 0.33 0.63 0.80 44 BULIAN JAYA 0.90 1.91 -0.36 -0.13 0.63 -1.09 -0.17 -0.22 -0.33 0.47 -0.18 -0.96 0.82 -0.96 0.13 0.72 45 KEHIDUPAN BARU 0.73 0.32 0.85 -0.32 -1.31 -0.26 -0.77 0.74 -1.23 1.04 -1.59 0.85 0.57 0.08 0.08 1.54 46 KARYA MUKTI 0.73 -0.38 0.85 1.12 -1.31 -1.49 -0.10 -1.81 -1.23 1.04 -1.59 0.49 0.21 0.08 0.53 -0.32 47 BUKIT HARAPAN -0.53 1.86 -0.72 -0.66 1.12 0.12 -0.24 -0.54 -0.02 0.29 -0.45 0.72 -0.68 -1.05 -1.89 -0.24 48 BELANTI JAYA 0.43 -1.41 0.48 -0.66 1.12 -1.14 -0.16 0.45 -0.97 0.87 -0.92 0.73 -0.37 -0.77 -0.89 -0.62 49 TAPAH SARI 0.86 -1.06 1.02 -0.18 1.42 -0.81 1.40 -0.36 -1.33 1.11 0.18 0.81 -1.44 -1.72 -0.57 -2.01 50 BUKIT KEMUNING 1.05 -0.09 1.25 0.02 -1.31 -0.21 0.33 -0.25 -1.48 1.22 -1.11 -1.35 -0.18 -1.72 -1.81 -1.39 51 RAMIN 1.83 1.13 -2.29 1.56 -1.31 -1.03 0.20 -1.49 -2.02 1.66 0.88 0.09 -1.44 -1.72 1.08 -0.44 52 MEKAR SARI -0.53 -0.44 -0.72 0.75 -1.31 -0.76 1.41 0.20 -0.02 0.29 -0.18 1.16 0.01 -0.08 -0.92 -1.19 53 PANCA MULYA -0.33 0.56 -0.46 -0.29 1.34 -0.93 -1.21 -1.80 -0.24 0.42 -0.18 -0.56 -0.01 -0.99 0.11 -0.25 54 SUKA MAKMUR -0.11 0.98 -0.18 0.06 0.15 0.94 -0.83 -0.21 0.35 -1.10 -0.18 0.10 0.47 -0.45 1.81 0.52 55 MARGA MULYA -0.69 -0.17 0.14 -0.15 0.28 0.67 -1.05 -0.72 0.16 0.19 2.11 -0.67 -1.44 -0.85 -2.47 -0.95 56 MARGA 0.66 0.64 -0.53 0.44 0.52 -0.33 -1.47 -0.49 -0.18 0.38 0.40 0.10 -0.04 0.31 -0.45 -0.06 57 RANTAU HARAPAN 0.26 0.23 0.27 -0.86 0.33 0.58 -1.07 -0.65 0.09 0.23 -0.92 0.51 -0.42 -0.82 -1.78 -0.27 58 TALANG BUKIT -0.39 -0.71 0.74 -0.41 0.52 -0.45 -1.15 -1.05 -0.18 0.38 -0.18 0.45 -0.63 -0.48 -0.20 -0.12 60 TRIJAYA 1.63 -1.20 1.99 1.39 -1.31 -0.80 -1.15 -0.02 -0.82 0.77 -0.18 0.24 1.61 0.31 -0.90 -0.44 61 TANJUNG

HARAPAN 0.08 -1.72 0.05 1.14 0.87 -0.95 -0.16 -0.51 -0.65 0.66 1.31 -1.20 -0.09 -1.72 -0.80 0.98

62 BERKAH 1.40 -0.99 0.08 1.17 0.89 -0.59 -1.20 0.63 -0.68 1.42 0.88 -0.49 -0.47 -0.86 -2.89 -0.47 63 SUMBER MULYA 0.23 -1.77 0.24 -0.90 -1.31 -0.12 -1.33 0.10 -0.80 0.75 -0.18 -0.66 -0.43 -0.82 -1.91 -0.56 64 MATRA

MANUNGGAL 0.50 -1.26 0.57 0.85 -1.31 -0.94 -1.03 -0.18 -1.04 0.91 -0.18 -0.20 -1.44 -1.72 -0.80 0.25

65 BUKIT MULYA 0.90 -0.87 1.07 -0.13 1.45 -1.10 -1.03 0.90 -1.37 1.13 0.18 -0.49 0.27 -0.64 0.38 2.35 66 BUKIT MAKMUR 1.19 -1.60 -0.12 0.16 0.77 -1.33 0.63 -0.16 -0.53 1.83 -1.11 0.56 -1.44 -0.30 -0.64 0.79 67 BAHAR MULYA 0.38 1.01 2.20 -0.71 -1.31 -0.95 -1.12 -0.46 -0.93 0.84 -0.18 0.00 0.05 -0.09 -0.40 -0.65 68 TANJUNG MULYA 0.38 1.13 0.42 -0.71 1.08 -1.49 -0.87 0.08 -0.93 0.84 -0.18 0.63 0.04 -0.10 -0.32 1.30 69 BUKIT MAS -0.53 -0.67 -0.72 -0.66 0.41 -1.21 -1.57 -1.47 -0.02 0.29 -0.18 -1.16 -1.44 -0.07 -2.61 -0.18 70 SUMBER JAYA -1.79 -0.04 0.17 -0.96 -1.31 -1.47 -1.77 -1.03 -0.75 0.72 -0.18 0.78 -0.04 -0.84 -0.34 -0.68 71 ADIPURA

KENCANA 0.38 -0.14 0.42 -0.71 1.08 -1.49 -1.19 0.55 -0.93 0.84 -0.18 -1.64 -0.39 0.58 -0.97 0.58

72 BUKIT JAYA 0.16 -0.14 0.14 -0.99 -1.31 -1.44 -1.77 -0.11 -0.73 0.71 -0.59 -0.98 0.27 0.25 -1.56 -0.04 73 TANJUNG SARI -0.33 0.40 -0.46 -1.71 0.57 -1.31 -1.07 -0.56 -0.24 0.42 -0.18 0.87 -0.61 0.09 -0.32 1.13 74 PETALING JAYA 0.38 0.93 0.42 -1.17 -0.24 0.07 0.43 -1.36 0.86 -1.10 -0.92 0.03 0.12 0.38 0.24 0.26 75 SUMBER AGUNG -0.39 0.90 -0.53 -1.81 0.52 0.10 -0.06 -0.48 1.63 -1.10 -0.18 -0.25 -1.44 -1.00 -1.35 0.49

Page 335: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

311

Lampiran 4. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS

76 RANTAU RASAU I 0.77 -0.20 -2.29 1.14 -1.31 -1.00 1.29 -1.15 1.63 -1.10 -0.31 0.87 1.66 2.47 -0.03 -0.87 77 RANTAU RASAU II 2.18 -0.11 -0.53 0.44 -1.31 0.43 0.63 -1.21 -0.18 -1.10 1.98 1.81 2.15 0.97 0.47 1.67 78 BANDAR JAYA -0.88 0.86 -0.18 1.19 0.73 -0.25 0.73 0.09 0.38 1.98 0.79 0.92 2.13 2.28 0.43 -0.07 79 BANGUN KARYA -0.33 0.56 -2.29 1.56 -1.31 -1.23 0.72 -1.17 -0.24 1.04 1.69 1.82 2.13 0.48 2.27 1.44 80 HARAPAN

MAKMUR -0.47 0.07 -2.29 2.04 -1.31 -1.30 0.98 0.47 -0.08 0.33 0.18 1.82 1.47 1.15 -0.45 0.28

81 RANTAU JAYA 1.07 0.50 -0.79 1.77 0.36 -0.16 0.34 0.11 0.05 -1.10 -0.18 1.82 0.98 2.36 -0.13 -0.10 82 RANTAU MAKMUR -0.62 0.47 0.27 1.02 1.00 -0.63 1.18 -1.24 0.09 -1.10 -1.92 1.20 1.85 -0.44 0.10 1.08 83 RANTAU INDAH -0.47 0.01 -0.64 -0.09 0.45 -0.78 0.46 1.30 1.63 -0.09 0.88 1.15 1.35 0.04 -1.22 -0.65 84 JATI MULYO 2.13 -0.43 -2.29 0.99 -1.31 -0.73 0.48 0.47 -2.21 -1.10 0.07 1.78 -1.44 -1.72 -1.18 -2.77 85 SIDO MUKTI -0.47 0.96 -0.64 0.30 0.45 0.44 0.97 0.78 1.63 -1.10 -0.18 0.16 0.46 -0.33 -1.63 -1.37 86 CATUR RAHAYU 0.05 -1.34 0.01 1.69 0.85 0.35 0.93 -0.37 -0.63 -1.10 2.11 0.20 0.87 -0.53 0.10 -0.69 87 RAWASARI 1.83 -1.77 -2.29 2.15 -1.31 -1.67 1.27 0.27 -2.02 -1.10 -1.59 1.22 0.06 -1.72 -1.49 -2.77 88 LAMBUR I -0.36 1.00 -0.50 0.51 0.54 -1.23 0.81 -1.18 -0.21 1.02 -0.45 -0.77 1.93 1.01 0.00 -0.56 89 LAMBUR II -0.78 1.48 -1.03 0.29 0.20 -1.54 1.16 0.27 0.27 0.13 -0.75 -0.02 2.17 -0.14 0.20 0.67 90 PANDAN JAYA 0.28 -0.72 -1.27 0.21 0.59 -0.68 1.41 -1.79 0.51 2.17 0.88 1.70 -0.42 -0.81 0.53 0.29 91 PANDAN MAKMUR 0.31 -0.14 -2.29 0.62 -1.31 -1.08 1.68 0.86 -0.87 0.80 -0.75 -1.32 0.61 -0.13 -1.49 -1.46 92 PANDAN LAGAN 0.28 -0.61 0.30 0.59 1.01 -1.44 0.84 -0.74 -0.84 0.78 -0.18 -1.38 -1.44 2.27 -0.87 -0.52 93 SUKA MAJU -0.19 1.75 -0.29 0.75 -1.31 -0.70 1.94 1.60 -0.39 1.67 -0.92 -1.77 -0.21 -0.63 -1.00 -1.42 94 KOTA BARU 0.23 -0.07 0.24 -0.90 0.98 -0.65 1.52 0.53 -0.80 2.11 -0.18 -1.58 -0.02 -1.72 -0.27 -0.13 95 RANTAU KARYA 1.86 -0.64 -2.29 0.76 -1.31 -1.01 1.09 1.62 -2.04 1.68 -1.33 -1.87 1.18 -1.72 -1.15 -1.81 97 PURWODADI -0.62 0.56 -0.83 -0.83 -0.13 1.36 -0.06 0.16 0.72 0.78 0.40 -1.13 -0.29 -0.14 0.86 0.47 98 SRI AGUNG -0.08 0.88 -0.15 -0.49 -1.31 -1.18 -0.60 -0.81 0.35 0.08 0.88 0.11 0.25 -0.32 -0.29 -1.19 99 LAMPISI -0.27 1.65 0.99 -0.20 0.61 -0.42 -0.32 -0.02 -0.30 0.45 -0.18 0.85 -0.25 -0.41 -0.74 0.23

100 TANJUNG BENANAK

0.28 -0.23 0.30 1.41 1.01 0.93 -0.36 0.58 -0.84 0.78 -0.92 -0.19 -1.44 0.51 -0.03 0.96 101 BUKIT HARAPAN 0.45 0.87 0.51 -0.63 1.14 -0.20 -0.07 0.32 1.63 -1.10 2.11 -0.09 0.08 0.20 -0.30 0.14 102 ADI PURWA 1.32 -0.92 1.60 1.70 -1.31 -0.92 -1.46 1.11 1.63 1.37 0.40 0.59 0.46 -1.72 0.24 0.06 103 PINANG GADING 1.42 -1.67 1.71 0.37 -1.31 -0.83 0.44 0.00 -1.75 1.43 -1.59 0.92 -1.44 0.41 1.28 2.62 104 DUSUN MUDO 1.63 -1.24 -2.29 1.98 -1.31 0.08 -0.84 -0.55 -0.82 2.14 1.69 -1.90 -1.44 -0.82 0.52 1.32 105 TANJUNG TAYAS 1.81 -0.50 -2.29 2.15 -1.31 -1.01 -1.77 1.10 -2.01 1.65 0.88 -1.94 0.05 -0.39 1.62 -0.44 106 BADANG -1.79 -1.09 1.10 1.32 1.47 -0.99 -0.40 1.10 -1.38 1.15 2.11 -2.24 -1.44 0.95 0.01 0.24 107 KAMPUNG BARU -0.05 1.56 -0.12 0.98 -1.31 -1.16 -1.56 -0.78 -0.53 0.59 0.40 -1.23 -0.52 -0.56 1.08 0.09 108 RANTAU BADAK -0.13 0.56 1.25 0.85 0.71 -0.21 0.24 -1.72 -0.44 -1.10 1.31 -1.70 0.10 0.66 -0.02 -0.37 109 BUKIT INDAH 0.21 -0.30 0.21 0.49 0.96 -1.14 -1.16 0.37 1.63 -1.10 1.83 -1.38 -0.44 -0.18 -0.48 0.60 110 KEMANG MANIS 2.27 -0.79 -2.29 1.10 -1.31 -0.89 -1.47 -0.45 1.63 1.04 1.06 -0.27 0.20 -0.69 -0.03 1.72 111 INTAN JAYA 0.50 -1.45 0.57 0.85 1.17 -1.02 -0.22 0.82 1.63 -1.10 1.69 -0.60 -0.35 -1.72 0.74 -0.47 112 SUKA DAMAI -0.13 0.25 -0.22 0.04 0.71 -0.48 0.48 -1.21 -0.44 0.54 -0.18 1.06 0.11 -0.93 -1.13 0.45 113 ADI JAYA 0.13 -0.58 0.11 -1.03 -1.31 -1.67 -0.69 0.29 -0.70 0.69 0.88 0.24 -1.44 0.02 -2.07 -0.14

Page 336: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

312

Lampiran 4. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 114 BRASAU 0.73 -0.90 0.85 -0.32 -1.31 -0.33 0.76 2.02 -1.23 1.04 -0.18 0.12 0.57 -0.69 -0.60 -0.68 115 PERINTIS -0.47 1.42 0.21 -0.93 0.12 1.40 -0.65 -0.40 0.91 -0.26 -0.18 0.58 -0.10 0.61 0.36 0.13 116 KELURAHAN

WIROTHO AGUNG -0.21 1.16 -0.53 -1.24 0.52 1.39 -0.78 -0.63 1.22 -0.49 1.31 -0.29 0.17 1.73 1.42 0.38

117 RIMBO MULYO -0.62 0.23 -0.22 -1.40 -0.13 1.54 -1.22 -0.25 0.72 -0.14 -0.18 0.59 0.73 0.43 1.14 0.25 118 PURWO HARJO -1.01 0.29 1.35 -0.36 0.00 1.09 -1.31 -0.60 0.55 -0.04 -0.18 0.92 -0.44 0.13 0.98 -0.11 119 TEGAL ARUM -1.26 0.25 0.01 -1.13 0.23 1.41 -1.19 0.34 0.86 -0.23 -0.18 -0.06 -0.27 0.13 -0.08 -0.53 120 TIRTAKENCANA -1.29 0.53 -0.64 -1.96 0.12 1.51 -1.40 0.10 0.91 -0.26 -0.18 1.10 -0.81 -0.04 -0.22 -0.39 121 SAPTA MULIA -1.01 -0.04 0.21 -0.36 0.00 0.74 -1.37 1.90 0.55 -0.04 -0.18 0.64 0.19 0.63 0.35 0.04 122 SUKA DAMAI 0.48 0.19 0.54 -0.60 0.59 1.05 -0.52 -0.44 0.82 2.12 0.40 0.26 0.24 -0.05 -0.01 -0.23 123 SUKA MAJU -1.11 1.23 0.45 -0.22 0.41 1.08 -0.96 -0.15 0.68 -1.10 0.07 0.21 -0.51 -0.30 -0.86 -0.71 124 WANAREJA -1.33 0.64 0.54 -0.60 -0.32 0.67 -1.59 0.11 0.96 -0.30 -0.92 0.02 -0.04 0.51 -0.13 -0.44 125 SUMBER SARI -1.15 1.18 0.36 -0.32 0.36 1.05 -0.43 0.20 0.72 -0.14 -0.92 1.19 0.20 1.99 -0.41 -0.53 126 SIDO RUKUN -1.05 1.36 1.71 -0.47 -0.03 1.17 -1.06 0.27 0.59 -0.06 -0.18 0.07 -0.07 0.08 -0.57 -0.33 127 SUNGAI PANDAN 0.40 -0.31 0.45 0.72 1.10 0.53 0.27 1.22 -0.95 -1.10 -0.92 -1.70 -1.44 -0.39 -0.29 -1.43 128 SIDO REJO -1.79 1.42 0.30 0.57 -1.31 1.23 -0.85 2.11 -0.84 0.78 -1.11 0.29 1.78 0.32 -0.78 -0.52 129 KARANG DADI -0.53 -1.47 -0.72 -0.63 1.14 1.27 -1.77 2.65 -0.02 0.29 -1.33 0.17 0.08 0.31 -0.48 0.28 130 GIRI PURNO 1.02 1.91 -0.25 -1.44 0.69 1.50 -1.59 1.11 -0.42 0.52 0.88 -1.00 0.33 -0.35 -1.49 -1.40 131 SUMBER AGUNG -0.16 1.81 -0.25 0.82 -1.31 1.14 -1.58 1.61 -0.42 0.52 -1.59 -1.12 1.06 0.78 -0.05 0.05 132 SARI MULYA -0.59 1.37 -0.79 -0.80 0.36 1.17 -1.07 1.12 0.05 0.25 -1.59 -1.41 -0.41 0.00 -0.47 0.20 133 GIRIWINANGUN -0.98 1.25 -0.43 -0.24 0.03 1.52 -0.87 0.41 0.51 1.07 -1.11 -0.29 -0.12 -0.43 -0.12 -0.68 134 PINANG BALAI 0.84 -0.96 0.99 -0.20 -1.31 -1.52 0.82 -0.64 1.63 -1.10 -1.59 -1.29 -0.25 0.67 -0.09 1.26 135 SEKUTUR JAYA 1.62 -0.63 1.97 0.55 1.95 -1.01 -1.77 0.13 1.63 1.54 -1.59 -0.95 0.59 -0.44 -0.32 1.31 136 NAPAL PUTIH 2.30 -0.73 2.82 1.13 -1.31 -1.67 -0.24 0.22 -2.30 -1.10 -1.59 -1.11 -1.44 -0.25 0.71 -0.67 137 Sungai Karang 0.43 0.83 0.48 -0.66 1.12 -1.67 2.05 0.61 1.63 -1.10 2.11 1.68 -0.37 -1.72 -0.05 -1.81 138 BANGUN

SARANTEN 0.52 0.87 -0.64 0.29 0.45 -0.51 -0.26 -1.27 -1.68 2.08 -0.18 1.01 -0.66 0.35 0.47 0.27

139 SUNGAI JERNIH -0.33 0.65 -0.46 -0.27 -1.31 -0.80 -0.44 -0.08 -0.24 0.42 1.69 1.01 -0.27 0.09 0.22 -0.60 140 BUKIT SARI -0.50 -0.28 -0.68 -0.63 -1.31 1.36 1.30 0.24 -0.05 -1.10 -0.18 0.15 -0.12 0.21 0.08 -0.35 141 SARI MULYA -1.79 1.13 -0.87 -0.09 0.31 -1.42 1.52 0.76 0.12 -1.10 -1.59 -0.51 1.11 -0.63 0.20 -0.15 142 PURWOSARI -0.05 1.44 -0.12 -1.28 0.38 1.54 -0.53 -0.22 0.02 2.12 0.88 0.00 0.60 1.40 2.19 1.41 143 LEMBAH

KUAMANG -0.59 1.04 -0.79 -0.77 -1.31 1.45 -1.13 0.13 1.63 -1.10 0.40 0.04 0.21 2.06 0.26 -0.29

144 SUMBER HARAPAN -1.79 0.88 -0.68 -0.60 -1.31 0.39 0.07 0.33 -0.05 -1.10 -0.18 1.77 0.09 1.83 0.37 0.02 145 DAYA MURNI -1.79 0.82 -0.53 -1.81 -1.31 1.18 -0.50 0.03 1.63 -1.10 -0.18 1.78 -0.63 1.31 0.82 -0.49 146 SUMBER MULIA 0.45 1.12 0.51 0.81 1.14 0.82 -0.31 0.63 1.63 -1.10 0.40 0.25 -0.36 1.17 0.16 -0.11 147 MAJU JAYA -1.79 -0.52 -0.12 0.14 -1.31 1.05 -0.18 0.22 -0.53 -1.10 -0.18 0.08 -0.14 2.29 0.30 0.63 148 TIRTA MULIA -0.36 -0.24 -0.50 -0.36 -1.31 0.31 0.06 0.07 -0.21 -1.10 -0.18 1.71 1.25 1.36 0.89 0.77 149 LINGGA KUAMANG -0.56 0.98 0.39 -2.13 0.38 0.93 0.14 0.07 0.02 -1.10 -0.18 1.66 -0.39 0.67 0.21 0.73 150 KUNING GADING -0.41 -0.47 -0.57 -1.86 0.50 1.23 -0.80 -0.92 -0.15 -1.10 -0.05 0.36 0.50 1.11 -0.01 0.61

Page 337: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

313

Lampiran 4. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 151 KUAMANG JAYA 0.45 -0.37 0.51 -0.63 -1.31 1.16 -1.31 2.91 1.63 -1.10 -0.18 0.88 0.08 2.00 -0.30 0.51 152 KARYA HARAPAN

MUKTI -0.53 -0.09 0.48 0.17 -1.31 1.20 -1.15 -1.16 1.63 -1.10 -0.18 -0.04 -1.44 1.06 -0.49 -1.25

153 GAPURA SUCI 0.13 0.23 -0.95 -2.45 0.26 0.91 0.72 -0.22 1.63 -1.10 0.88 0.92 -0.46 0.58 0.40 0.42 154 MULIA BAKTI 2.17 0.16 -0.08 -1.24 0.79 1.16 -0.20 0.26 1.63 -1.10 -0.18 -0.49 -0.51 0.13 0.37 0.00 155 MULIA JAYA -1.79 -1.24 0.24 -0.90 -1.31 -0.02 1.21 0.52 -0.80 -1.10 0.40 0.65 -0.02 1.25 1.72 1.47 156 KOTA RAJA 0.75 -1.03 0.88 -0.29 -1.31 0.29 1.25 -2.91 -1.25 -1.10 -0.18 0.32 0.90 1.74 1.46 2.90 158 TUO LIMBUR 0.40 1.22 0.45 1.57 1.10 0.57 -0.68 -0.66 -0.95 0.85 -1.92 0.56 0.94 -0.08 1.09 1.82 159 TEBO JAYA 0.21 -1.12 0.21 1.90 0.96 0.78 -0.56 -0.80 -0.78 -1.10 -1.92 0.71 -1.44 -0.47 -1.12 0.27 160 SEKAR

MENGKUANG -1.79 1.46 0.01 1.13 0.85 1.27 -0.59 -0.89 -0.63 0.65 -1.92 0.33 -0.49 -0.87 -1.01 -0.95

161 DATAR 1.40 -1.60 1.69 1.77 1.80 0.36 0.65 -0.32 -1.74 -1.10 -0.18 -0.91 0.92 0.00 0.56 -0.32 162 TALANG PEMESUN 0.52 -0.91 0.60 0.87 1.19 0.67 1.04 -0.58 1.63 -1.10 -1.92 1.17 -1.44 -1.72 -1.02 0.86 165 PULAU BAYUR 2.35 0.40 -2.29 1.16 -1.31 -1.57 0.56 -2.91 1.63 -1.10 -1.59 -2.38 -1.44 -1.72 0.59 -0.94 166 Sungai Kapas -0.94 -0.02 -1.23 -0.71 0.06 1.39 0.74 -0.33 0.47 0.01 1.69 0.25 0.38 0.38 0.28 0.25 167 NALO BARU 0.33 1.31 0.36 2.07 1.05 -0.33 1.38 -2.91 -0.89 -1.10 -0.18 -2.09 -1.44 -0.80 -0.69 -2.11 168 NALO GEDANG 0.45 -0.62 0.51 0.79 1.14 -0.64 1.56 -0.88 -1.00 -1.10 -0.92 -2.27 -0.36 -0.06 -0.32 -0.84 169 AIR BATU -0.30 0.18 -0.43 0.60 0.59 -0.23 1.03 -2.91 -0.27 -1.10 -0.18 -1.53 0.01 0.11 0.46 -0.10 170 SEKO BESAR 0.23 0.64 0.24 -0.90 0.98 -1.67 1.04 0.52 1.63 -1.10 -1.33 0.24 2.03 0.28 -0.20 -0.47 171 TAMAN BANDUNG -1.79 0.47 -2.29 1.23 -1.31 -1.59 1.95 -2.91 1.63 -1.10 1.31 -0.49 0.63 0.13 0.42 -0.36 172 SUNGKAI 1.19 -1.12 1.43 1.57 1.65 -1.08 0.71 0.35 -1.59 1.30 0.40 -2.11 -1.44 0.29 0.32 0.21 173 Arang arang 1.15 -0.67 -0.15 0.12 0.75 -1.09 -0.92 -1.69 -0.50 0.57 2.11 1.45 -1.44 -1.72 -1.04 -1.35 174 UJUNG TANJUNG 1.24 -0.10 1.50 0.21 -1.31 -1.46 -0.56 0.16 -0.58 0.62 -0.18 0.04 -0.12 -0.05 -0.40 -0.63 175 Cinta Damai 1.49 -0.07 1.81 0.44 -1.31 -1.01 -0.23 0.04 1.63 -1.10 -0.18 -1.39 -1.44 -1.72 0.55 0.55 176 TIMBOLASI -1.79 -1.65 1.23 1.41 1.54 0.83 1.87 -0.27 -1.47 1.20 -0.05 -2.09 -1.44 -1.72 0.34 -1.65 177 CILODANG -1.79 -0.42 -0.15 -1.32 -1.31 0.06 0.20 -0.28 1.63 -1.10 -0.18 -0.26 0.79 1.10 -0.10 1.12

BANGUN HARJO -0.33 -0.42 -0.46 -0.29 -1.31 0.05 -0.81 0.11 1.63 -1.10 -0.18 -0.10 1.29 0.72 -0.73 -0.61

Page 338: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

315

Lampiran 5. Pengujian Multivariate Outlier (Tahap 1)

No Nama Desa D2 No Nama Desa D2

1 PULAU BAYUR 40.59 88 DAYA MURNI 14.42 2 TANJUNG TAYAS 33.41 89 SUKA DAMAI 14.20 3 Sungai Karang 32.30 90 AIR BATU 14.17 4 KOTA RAJA 32.23 91 LAMBUR I 14.03 5 BADANG 31.40 92 MAJU JAYA 13.94 6 ADI PURWA 31.21 93 BUKIT JAYA 13.64 7 RAWASARI 31.20 94 ADIPURA KENCANA 13.54 8 JATI MULYO 30.51 95 LAMBUR II 13.52 9 NAPAL PUTIH 30.42 96 BANGUN SARANTEN 13.47

10 TIMBOLASI 30.38 97 PANCA MULYA 13.41 11 RANTAU RASAU II 29.64 98 SUNGAI BENTENG 13.35 12 RANTAU KARYA 29.09 99 KUNING GADING 13.33 13 PINANG GADING 28.31 100 BUNGA TANJUNG 13.32 14 DUSUN MUDO 28.28 101 TANJUNG SARI 13.29 15 SEKUTUR JAYA 27.40 102 SUNGAI SAHUT 13.18 16 TALANG PEMESUN 27.33 103 PEMATANG KULIM 13.16 17 TAMAN BANDUNG 26.89 104 TANJUNG BENANAK 13.14 18 RANTAU RASAU I 26.84 105 BUKIT HARAPAN 13.04 19 PANDAN LAGAN 26.33 106 SUNGAI MERAH 13.02 20 Cinta Damai 26.08 107 BRASAU 12.99 21 KEMANG MANIS 25.01 108 TANJUNG MULYA 12.98 22 NALO BARU 24.62 109 SUMBER MULIA 12.96 23 RAMIN 24.41 110 NALO GEDANG 12.93 24 SUKA MAJU 24.03 111 RANTAU INDAH 12.91 25 BANGUN KARYA 23.45 112 BATU PUTIH 12.81 26 BANDAR JAYA 23.21 113 SUNGAI PANDAN 12.74 27 PANDAN JAYA 22.75 114 MEKAR JAYA 12.60 28 MENTAWAK BARU 22.67 115 BUKIT HARAPAN 12.48 29 BUKIT SUBUR 21.84 116 GAPURA SUCI 12.45 30 DATAR 21.71 117 CILODANG 12.44 31 SIDO REJO 21.46 118 BULIAN JAYA 12.38 32 PINANG BALAI 21.43 119 SARI MULYA 12.02 33 TRIJAYA 21.33 120 KEHIDUPAN BARU 11.86 34 RANTAU JAYA 21.22 121 TANJUNG BENUANG 11.82 35 SUMBER JAYA 21.21 122 SUMBER HARAPAN 11.47 36 KUAMANG JAYA 21.11 123 SRI SEMBILAN 11.21 37 HARAPAN MAKMUR 21.00 124 BELANTI JAYA 11.19 38 TEBO JAYA 20.95 125 LEMBAH KUAMANG 11.19

Page 339: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

316

Lampiran 5. Lanjutan No Nama Desa D2 No Nama Desa D2

39 DURIAN LUNCUK 20.82 126 KELURAHAN WIROTHO AGUNG 11.15

40 KARANG DADI 20.75 127 SUKA MAKMUR 10.84 41 BUKIT MAS 20.55 128 BANGUN HARJO 10.83 42 JATI BARU 20.37 129 SIDO MUKTI 10.67 43 GIRI PURNO 20.24 130 MATRA MANUNGGAL 10.60 44 TUO LIMBUR 19.67 131 SIALANG 10.60 45 SEKAR MENGKUANG 19.65 132 SUNGAI BULIAN 10.45 46 MERANTIH BARU 19.64 133 SUMBER SARI 10.38 47 RANTAU MAKMUR 19.45 134 LINGGA KUAMANG 10.23 48 BUKIT SUBAN 19.17 135 BULIAN BARU 10.21 49 SEKO BESAR 19.10 136 PEMATANG KANCIL 10.15 50 INTAN JAYA 18.93 137 PERDAMAIAN 10.12 51 TAPAH SARI 18.54 138 LANTAK SERIBU 9.96 52 SARI MULYA 18.33 139 PURWO HARJO 9.59 53 JANGGA BARU 18.09 140 MEKAR SARI 9.45 54 SINAR GADING 18.09 141 TIRTAKENCANA 9.44 55 BUTANG BARU 18.08 142 GIRIWINANGUN 9.34 56 BUKIT KEMUNING 17.75 143 UJUNG TANJUNG 9.27 57 BUKIT MAKMUR 17.55 144 RAWA JAYA 9.15 58 PAUH MENANG 17.49 145 SUKA DAMAI 8.90 59 Arang arang 17.38 146 SUNGAI JERNIH 8.82 60 BUKIT INDAH 17.37 147 SRI AGUNG 8.69 61 SUMBER AGUNG 17.11 148 LAMPISI 8.61 62 MARGA MULYA 17.01 149 RIMBO MULYO 8.57 63 MUARA DELANG 16.97 150 SIDO RUKUN 8.43 64 BERKAH 16.90 151 TERENTANG BARU 8.31 65 KAMPUNG BARU 16.83 152 RANTAU HARAPAN 8.19 66 ADI JAYA 16.67 153 GURUH BARU 8.17 67 SUNGKAI 16.61 154 BUKIT SARI 8.09 68 MULIA BAKTI 16.57 155 PURWODADI 8.00 69 PANDAN MAKMUR 16.55 156 TAMBANG EMAS 7.92

70 KARYA HARAPAN MUKTI 16.47 157 Sungai Kapas 7.91

71 BUKIT BERINGIN 16.45 158 PETALING JAYA 7.88 72 MULIA JAYA 16.43 159 BUKIT MURAU 7.72 73 CATUR RAHAYU 16.38 160 MERANTI 7.72 74 PURWOSARI 16.33 161 TIRTA MULIA 7.50 75 PAYO LEBAR 16.14 162 SAPTA MULIA 7.37 76 KOTA BARU 15.97 163 WANAREJA 7.29

Page 340: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

317

Lampiran 5. Lanjutan No Nama Desa D2 No Nama Desa D2

77 PEMATANG KABAU 15.79 164 BUKIT BUNGKUL 7.26 78 KARYA MUKTI 15.64 165 TANAH ABANG 7.12 79 SUNGAI PUTIH 15.56 166 SUKA MAJU 7.10 80 SUMBER AGUNG 15.15 167 MAMPUN BARU 7.05 81 BUKIT MULYA 15.10 168 TALANG BUKIT 6.63 82 PETIDURAN BARU 15.09 169 RASAU 6.10 83 TANJUNG HARAPAN 15.08 170 BUNGA ANTOI 6.01 84 SUMBER MULYA 14.80 171 TEGAL ARUM 5.86 85 BAHAR MULYA 14.78 172 MARGA 5.54 86 PINANG MERAH 14.71 173 PERINTIS 4.35 87 RANTAU BADAK 14.51

Page 341: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

318

Lampiran 6. Pengujian Multivariate Outlier (Tahap 2)

No Nama Desa D2 No Nama Desa D2

1 TANJUNG TAYAS 34.17 87 DAYA MURNI 14.43 2 BADANG 32.34 88 RANTAU BADAK 14.40 3 Sungai Karang 32.11 89 MAJU JAYA 14.11 4 KOTA RAJA 32.07 90 SUKA DAMAI 14.10 5 RAWASARI 31.49 91 LAMBUR I 14.07 6 ADI PURWA 31.05 92 PANCA MULYA 13.89 7 NAPAL PUTIH 30.75 93 SUNGAI SAHUT 13.71 8 JATI MULYO 30.48 94 BUKIT JAYA 13.58 9 TIMBOLASI 30.22 95 ADIPURA KENCANA 13.47

10 RANTAU RASAU II 29.60 96 LAMBUR II 13.45 11 RANTAU KARYA 29.49 97 BANGUN SARANTEN 13.39 12 DUSUN MUDO 28.89 98 NALO GEDANG 13.38 13 TAMAN BANDUNG 28.22 99 SUNGAI BENTENG 13.37 14 PINANG GADING 28.15 100 BRASAU 13.36 15 RANTAU RASAU I 27.84 101 BUNGA TANJUNG 13.27 16 Cinta Damai 27.73 102 KUNING GADING 13.25 17 SEKUTUR JAYA 27.60 103 TANJUNG SARI 13.21 18 TALANG PEMESUN 27.39 104 SUNGAI MERAH 13.18 19 KEMANG MANIS 26.31 105 TANJUNG BENANAK 13.17 20 PANDAN LAGAN 26.20 106 RANTAU INDAH 13.12 21 NALO BARU 25.69 107 PEMATANG KULIM 13.09 22 RAMIN 25.52 108 TANJUNG MULYA 13.05 23 SUKA MAJU 23.96 109 BUKIT HARAPAN 12.98 24 BANDAR JAYA 23.76 110 SUMBER MULIA 12.86 25 BANGUN KARYA 23.31 111 BATU PUTIH 12.82 26 MENTAWAK BARU 23.25 112 MEKAR JAYA 12.78 27 PINANG BALAI 22.91 113 SUNGAI PANDAN 12.77 28 PANDAN JAYA 22.72 114 BULIAN JAYA 12.59 29 SIDO REJO 22.66 115 GAPURA SUCI 12.56 30 BUKIT SUBUR 21.82 116 BUKIT HARAPAN 12.42 31 DATAR 21.62 117 CILODANG 12.40 32 TRIJAYA 21.52 118 SARI MULYA 12.12 33 KUAMANG JAYA 21.19 119 KEHIDUPAN BARU 11.90 34 RANTAU JAYA 21.17 120 TANJUNG BENUANG 11.77 35 JATI BARU 21.15 121 SUMBER HARAPAN 11.62 36 SUMBER JAYA 21.08 122 LEMBAH KUAMANG 11.28

37 HARAPAN MAKMUR 21.06 123 KELURAHAN WIROTHO AGUNG 11.28

Page 342: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

319

Lampiran 6. Lanjutan No Nama Desa D2 No Nama Desa D2

38 KARANG DADI 20.84 124 SRI SEMBILAN 11.20 39 TEBO JAYA 20.83 125 BELANTI JAYA 11.17 40 DURIAN LUNCUK 20.70 126 SUKA MAKMUR 11.14 41 BUKIT MAS 20.57 127 BANGUN HARJO 10.94 42 GIRI PURNO 20.20 128 SIDO MUKTI 10.60 43 TUO LIMBUR 19.56 129 MATRA MANUNGGAL 10.54 44 SEKAR MENGKUANG 19.55 130 SIALANG 10.53 45 MERANTIH BARU 19.53 131 SUMBER SARI 10.49 46 RANTAU MAKMUR 19.34 132 SUNGAI BULIAN 10.39 47 SEKO BESAR 19.32 133 LINGGA KUAMANG 10.35 48 BUKIT SUBAN 19.13 134 PEMATANG KANCIL 10.21 49 INTAN JAYA 19.07 135 BULIAN BARU 10.16 50 TAPAH SARI 18.45 136 PERDAMAIAN 10.10 51 SARI MULYA 18.38 137 LANTAK SERIBU 9.91 52 SINAR GADING 18.22 138 PURWO HARJO 9.53 53 JANGGA BARU 18.00 139 MEKAR SARI 9.45 54 BUTANG BARU 17.97 140 GIRIWINANGUN 9.39 55 PAUH MENANG 17.69 141 TIRTAKENCANA 9.30 56 MULIA BAKTI 17.67 142 UJUNG TANJUNG 9.22 57 BUKIT KEMUNING 17.67 143 RAWA JAYA 9.12 58 BUKIT MAKMUR 17.51 144 SUKA DAMAI 8.93 59 KAMPUNG BARU 17.48 145 LAMPISI 8.84 60 BUKIT INDAH 17.34 146 SUNGAI JERNIH 8.84 61 BERKAH 17.31 147 SRI AGUNG 8.80 62 Arang arang 17.27 148 SIDO RUKUN 8.63 63 MARGA MULYA 17.27 149 RIMBO MULYO 8.59 64 SUMBER AGUNG 17.01 150 PETALING JAYA 8.58 65 MUARA DELANG 16.93 151 TERENTANG BARU 8.29

66 KARYA HARAPAN MUKTI 16.87 152 PURWODADI 8.21

67 ADI JAYA 16.77 153 GURUH BARU 8.14 68 CATUR RAHAYU 16.73 154 RANTAU HARAPAN 8.14 69 PANDAN MAKMUR 16.69 155 BUKIT SARI 8.05 70 MULIA JAYA 16.59 156 Sungai Kapas 7.94 71 SUNGKAI 16.51 157 TAMBANG EMAS 7.92 72 BUKIT BERINGIN 16.31 158 MERANTI 7.89 73 PURWOSARI 16.23 159 BUKIT MURAU 7.81 74 PAYO LEBAR 16.09 160 SAPTA MULIA 7.55 75 KARYA MUKTI 16.00 161 TIRTA MULIA 7.52

Page 343: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

320

Lampiran 6. Lanjutan No Nama Desa D2 No Nama Desa D2

76 KOTA BARU 15.89 162 MAMPUN BARU 7.46 77 SUNGAI PUTIH 15.80 163 BUKIT BUNGKUL 7.31 78 PEMATANG KABAU 15.70 164 WANAREJA 7.27 79 SUMBER AGUNG 15.43 165 TANAH ABANG 7.22 80 BUKIT MULYA 15.31 166 SUKA MAJU 7.09 81 AIR BATU 15.28 167 TALANG BUKIT 6.59 82 PETIDURAN BARU 15.06 168 RASAU 6.53 83 TANJUNG HARAPAN 15.05 169 BUNGA ANTOI 6.35 84 PINANG MERAH 14.83 170 TEGAL ARUM 5.82 85 BAHAR MULYA 14.72 171 MARGA 5.53 86 SUMBER MULYA 14.72 172 PERINTIS 4.34 87 PEMATANG KABAU 14.82 175 PERINTIS 4.34 88 TANJUNG HARAPAN 14.81

Page 344: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

321

Lampiran 7. Pengujian MSA (Tahap 1) Anti-image Matrices

bidan posyandu TK SD SMP Rumah RTM hansip babinsa PPM KK Lahan IP INP PD JS Anti-image Covariance

bidan 0.768 0.059 0.002 -0.152 0.031 0.092 0.089 -0.015 0.070 -0.033 -0.061 -0.015 0.015 0.113 0.036 -0.060 posyandu 0.059 0.729 0.089 0.138 -0.022 -0.081 0.100 0.183 -0.112 -0.142 0.140 0.019 -0.122 -0.081 -0.031 0.154 TK 0.002 0.089 0.805 0.062 -0.216 0.080 0.154 -0.039 0.055 0.076 0.138 0.094 0.098 -0.069 -0.051 -0.013 SD -0.152 0.138 0.062 0.699 -0.013 0.118 -0.036 0.104 0.073 -0.034 0.100 0.138 -0.051 -0.018 -0.079 0.127 SMP 0.031 -0.022 -0.216 -0.013 0.857 -0.098 -0.125 0.010 -0.064 -0.025 -0.086 0.087 0.010 0.114 0.046 -0.084 Rumah 0.092 -0.081 0.080 0.118 -0.098 0.690 0.119 -0.145 -0.062 0.066 0.033 -0.038 0.125 -0.091 -0.136 0.047 RTM 0.089 0.100 0.154 -0.036 -0.125 0.119 0.753 0.049 0.065 0.145 0.086 0.018 -0.112 0.040 -0.148 0.117 hansip -0.015 0.183 -0.039 0.104 0.010 -0.145 0.049 0.855 -0.027 -0.104 0.135 0.059 -0.147 -0.006 -0.014 0.102 babinsa 0.070 -0.112 0.055 0.073 -0.064 -0.062 0.065 -0.027 0.659 0.267 -0.133 -0.025 -0.078 0.022 0.067 -0.083 PPM -0.033 -0.142 0.076 -0.034 -0.025 0.066 0.145 -0.104 0.267 0.661 -0.093 0.067 -0.024 0.118 0.050 -0.142 KK -0.061 0.140 0.138 0.100 -0.086 0.033 0.086 0.135 -0.133 -0.093 0.844 0.022 0.005 -0.020 -0.167 0.117 lahan -0.015 0.019 0.094 0.138 0.087 -0.038 0.018 0.059 -0.025 0.067 0.022 0.863 -0.077 -0.007 -0.049 0.006 IP 0.015 -0.122 0.098 -0.051 0.010 0.125 -0.112 -0.147 -0.078 -0.024 0.005 -0.077 0.646 -0.181 -0.070 -0.101 INP 0.113 -0.081 -0.069 -0.018 0.114 -0.091 0.040 -0.006 0.022 0.118 -0.020 -0.007 -0.181 0.628 -0.036 -0.131 PD 0.036 -0.031 -0.051 -0.079 0.046 -0.136 -0.148 -0.014 0.067 0.050 -0.167 -0.049 -0.070 -0.036 0.551 -0.266 JS -0.060 0.154 -0.013 0.127 -0.084 0.047 0.117 0.102 -0.083 -0.142 0.117 0.006 -0.101 -0.131 -0.266 0.506 Anti-image Correlation

bidan 0.777 0.078 0.002 -0.208 0.038 0.126 0.117 -0.019 0.099 -0.047 -0.075 -0.018 0.021 0.163 0.055 -0.097 posyandu 0.078 0.477 0.116 0.194 -0.027 -0.115 0.135 0.232 -0.162 -0.205 0.179 0.024 -0.177 -0.120 -0.050 0.254 TK 0.002 0.116 0.442 0.082 -0.261 0.107 0.198 -0.048 0.076 0.104 0.167 0.113 0.136 -0.096 -0.076 -0.021 SD -0.208 0.194 0.082 0.672 -0.016 0.170 -0.050 0.135 0.107 -0.050 0.130 0.178 -0.075 -0.028 -0.127 0.214 SMP 0.038 -0.027 -0.261 -0.016 0.388 -0.127 -0.156 0.012 -0.085 -0.033 -0.101 0.101 0.013 0.155 0.067 -0.127 Rumah 0.126 -0.115 0.107 0.170 -0.127 0.658 0.165 -0.189 -0.092 0.097 0.044 -0.049 0.188 -0.138 -0.221 0.079 RTM 0.117 0.135 0.198 -0.050 -0.156 0.165 0.396 0.061 0.092 0.205 0.108 0.022 -0.160 0.059 -0.229 0.190 hansip -0.019 0.232 -0.048 0.135 0.012 -0.189 0.061 0.289 -0.036 -0.138 0.159 0.068 -0.198 -0.008 -0.021 0.156 babinsa 0.099 -0.162 0.076 0.107 -0.085 -0.092 0.092 -0.036 0.650 0.404 -0.178 -0.033 -0.119 0.034 0.112 -0.143 PPM -0.047 -0.205 0.104 -0.050 -0.033 0.097 0.205 -0.138 0.404 0.486 -0.125 0.088 -0.036 0.183 0.082 -0.245 KK -0.075 0.179 0.167 0.130 -0.101 0.044 0.108 0.159 -0.178 -0.125 0.265 0.025 0.007 -0.028 -0.245 0.178 lahan -0.018 0.024 0.113 0.178 0.101 -0.049 0.022 0.068 -0.033 0.088 0.025 0.757 -0.103 -0.010 -0.071 0.009 IP 0.021 -0.177 0.136 -0.075 0.013 0.188 -0.160 -0.198 -0.119 -0.036 0.007 -0.103 0.651 -0.284 -0.117 -0.177 INP 0.163 -0.120 -0.096 -0.028 0.155 -0.138 0.059 -0.008 0.034 0.183 -0.028 -0.010 -0.284 0.736 -0.061 -0.232 PD 0.055 -0.050 -0.076 -0.127 0.067 -0.221 -0.229 -0.021 0.112 0.082 -0.245 -0.071 -0.117 -0.061 0.580 -0.504 JS -0.097 0.254 -0.021 0.214 -0.127 0.079 0.190 0.156 -0.143 -0.245 0.178 0.009 -0.177 -0.232 -0.504 0.497

a Measures of Sampling Adequacy(MSA)

Page 345: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

323

Lampiran 8. Normalisasi Variabel, Indeks Komposit dan Diseminasi No Nama Desa Rumah Lahan IP Indeks Diseminasi

1 PINANG MERAH 0.62 0.91 0.79 0.73 3 2 MAMPUN BARU 0.77 0.20 0.90 0.63 3 3 LANTAK SERIBU 0.56 0.00 0.73 0.43 2 4 RASAU 0.97 0.38 0.71 0.75 4 5 MERANTI 0.96 0.53 0.85 0.81 4 6 BUKIT BUNGKUL 0.48 0.38 0.93 0.54 3 7 SIALANG 0.74 0.05 0.88 0.57 3 8 TANJUNG BENUANG 0.51 0.04 0.57 0.39 2 9 TAMBANG EMAS 0.61 0.68 0.66 0.64 3

10 SUNGAI PUTIH 0.63 0.05 0.90 0.51 3 11 BUKIT BERINGIN 0.75 0.00 0.93 0.57 3 12 PAUH MENANG 0.62 1.00 0.70 0.75 3 13 PEMATANG KANCIL 0.55 0.00 0.74 0.43 2 14 TANAH ABANG 0.37 0.21 0.69 0.38 2 15 SUNGAI SAHUT 0.54 0.22 0.82 0.50 3 16 BUNGA ANTOI 0.62 0.32 0.74 0.56 3 17 MUARA DELANG 0.67 0.43 0.68 0.61 3 18 SINAR GADING 0.67 0.14 0.70 0.52 3 19 BUNGA TANJUNG 0.50 0.64 0.82 0.60 3 20 SUNGAI BULIAN 1.00 0.00 0.88 0.69 3 21 SRI SEMBILAN 0.76 0.08 0.82 0.58 3 22 BUKIT SUBUR 0.16 0.81 0.55 0.42 2 23 RAWA JAYA 0.36 0.11 0.94 0.40 2 24 SUNGAI BENTENG 0.80 0.13 0.38 0.53 3 25 PAYO LEBAR 0.77 0.95 0.97 0.86 4 26 BUKIT MURAU 0.90 0.02 0.79 0.63 3 27 SUNGAI MERAH 0.49 0.00 0.70 0.39 2 28 PERDAMAIAN 0.85 0.13 0.77 0.63 3 29 BATU PUTIH 0.18 0.00 0.61 0.21 1 30 PEMATANG KULIM 0.44 0.08 0.65 0.38 2 31 PETIDURAN BARU 0.33 0.30 0.85 0.42 2 32 GURUH BARU 0.27 0.09 0.89 0.34 2 33 BUTANG BARU 0.17 0.30 0.84 0.34 2 34 JATI BARU 0.11 0.21 0.88 0.29 2 35 MERANTIH BARU 0.05 0.55 0.96 0.37 2 36 BUKIT SUBAN 0.31 0.00 0.84 0.32 2 37 MENTAWAK BARU 0.57 0.98 0.17 0.60 3 38 PEMATANG KABAU 0.22 0.29 0.99 0.39 2 39 TERENTANG BARU 0.28 0.05 0.83 0.32 2 40 DURIAN LUNCUK 0.85 0.00 0.82 0.60 3 41 JANGGA BARU 0.80 0.19 0.91 0.65 3 42 BULIAN BARU 0.09 0.13 0.93 0.27 2 43 MEKAR JAYA 0.21 0.31 0.96 0.38 2 44 BULIAN JAYA 0.06 0.37 0.95 0.32 2 45 KEHIDUPAN BARU 0.24 0.30 0.62 0.33 2 46 KARYA MUKTI 0.01 0.20 0.74 0.21 1 47 BUKIT HARAPAN 0.35 0.04 0.67 0.33 2

Page 346: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

324

Lampiran 8. Lanjutan No Nama Desa Rumah Lahan IP Indeks Diseminasi

48 BELANTI JAYA 0.05 0.08 0.66 0.18 1 49 TAPAH SARI 0.11 0.00 0.63 0.18 1 50 BUKIT KEMUNING 0.25 0.12 0.97 0.35 2 51 RAMIN 0.07 0.00 0.83 0.20 1 52 MEKAR SARI 0.12 0.15 0.48 0.20 1 53 PANCA MULYA 0.09 0.15 0.92 0.27 2 54 SUKA MAKMUR 0.68 0.27 0.83 0.59 3 55 MARGA MULYA 0.56 0.00 0.93 0.47 2 56 MARGA 0.22 0.14 0.83 0.31 2 57 RANTAU HARAPAN 0.53 0.08 0.73 0.44 2 58 TALANG BUKIT 0.19 0.05 0.75 0.26 2 59 TRIJAYA 0.11 0.68 0.80 0.41 2 60 TANJUNG HARAPAN 0.08 0.13 0.96 0.27 2 61 BERKAH 0.15 0.07 0.91 0.28 2 62 SUMBER MULYA 0.28 0.07 0.93 0.35 2 63 MATRA

MANUNGGAL 0.08 0.00 0.87 0.21 1

64 BUKIT MULYA 0.06 0.21 0.91 0.27 2 65 BUKIT MAKMUR 0.03 0.00 0.72 0.16 1 66 BAHAR MULYA 0.08 0.16 0.84 0.25 2 67 TANJUNG MULYA 0.01 0.16 0.70 0.19 1 68 BUKIT MAS 0.04 0.00 0.96 0.21 1 69 SUMBER JAYA 0.01 0.14 0.65 0.17 1 70 ADIPURA KENCANA 0.01 0.08 0.98 0.22 1 71 BUKIT JAYA 0.02 0.21 0.95 0.26 2 72 TANJUNG SARI 0.03 0.05 0.61 0.15 1 73 PETALING JAYA 0.34 0.18 0.84 0.39 2 74 SUMBER AGUNG 0.35 0.00 0.88 0.35 2 75 RANTAU RASAU I 0.07 0.70 0.61 0.36 2 76 RANTAU RASAU II 0.47 0.95 0.01 0.51 3 77 BANDAR JAYA 0.24 0.94 0.59 0.51 3 78 BANGUN KARYA 0.04 0.94 0.00 0.29 2 79 HARAPAN MAKMUR 0.03 0.62 0.01 0.20 1 80 RANTAU JAYA 0.27 0.43 0.01 0.26 2 81 RANTAU MAKMUR 0.15 0.79 0.46 0.39 2 82 RANTAU INDAH 0.11 0.57 0.49 0.32 2 83 JATI MULYO 0.12 0.00 0.05 0.07 1 84 SIDO MUKTI 0.47 0.26 0.81 0.48 2 85 CATUR RAHAYU 0.44 0.39 0.80 0.50 2 86 RAWASARI 0.00 0.16 0.45 0.13 1 87 LAMBUR I 0.04 0.83 0.94 0.44 2 88 LAMBUR II 0.01 0.95 0.85 0.44 2 89 PANDAN JAYA 0.13 0.08 0.11 0.11 1 90 PANDAN MAKMUR 0.06 0.31 0.97 0.31 2 91 PANDAN LAGAN 0.02 0.00 0.97 0.20 1 92 SUKA MAJU 0.13 0.11 0.99 0.29 2 93 KOTA BARU 0.14 0.15 0.98 0.31 2 94 RANTAU KARYA 0.07 0.50 0.99 0.37 2

Page 347: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

325

Lampiran 8. Lanjutan No Nama Desa Rumah Lahan IP Indeks Diseminasi

95 PURWODADI 0.90 0.10 0.96 0.68 3 96 SRI AGUNG 0.05 0.21 0.82 0.24 1 97 LAMPISI 0.19 0.10 0.62 0.25 2 98 TANJUNG BENANAK 0.68 0.00 0.87 0.52 3 99 BUKIT HARAPAN 0.25 0.17 0.86 0.35 2

100 ADI PURWA 0.09 0.26 0.71 0.26 2 101 PINANG GADING 0.10 0.00 0.59 0.17 1 102 DUSUN MUDO 0.34 0.00 0.99 0.37 2 103 TANJUNG TAYAS 0.07 0.16 0.99 0.28 2 104 BADANG 0.08 0.00 1.00 0.23 1 105 KAMPUNG BARU 0.05 0.06 0.97 0.23 1 106 RANTAU BADAK 0.25 0.17 0.99 0.37 2 107 BUKIT INDAH 0.05 0.07 0.97 0.24 1 108 KEMANG MANIS 0.09 0.20 0.88 0.28 2 109 INTAN JAYA 0.07 0.09 0.92 0.24 1 110 SUKA DAMAI 0.18 0.17 0.53 0.25 1 111 ADI JAYA 0.00 0.00 0.80 0.16 1 112 BRASAU 0.22 0.30 0.82 0.36 2 113 PERINTIS 0.92 0.13 0.71 0.65 3 114 KELURAHAN

WIROTHO AGUNG 0.91 0.19 0.89 0.70 3

115 RIMBO MULYO 0.99 0.34 0.71 0.75 4 116 PURWO HARJO 0.76 0.07 0.59 0.53 3 117 TEGAL ARUM 0.92 0.10 0.85 0.67 3 118 TIRTAKENCANA 0.97 0.03 0.51 0.61 3 119 SAPTA MULIA 0.59 0.19 0.69 0.50 2 120 SUKA DAMAI 0.74 0.21 0.79 0.60 3 121 SUKA MAJU 0.75 0.06 0.80 0.56 3 122 WANAREJA 0.57 0.14 0.84 0.50 2 123 SUMBER SARI 0.74 0.20 0.46 0.53 3 124 SIDO RUKUN 0.80 0.14 0.83 0.61 3 125 SUNGAI PANDAN 0.51 0.00 0.99 0.45 2 126 SIDO REJO 0.82 0.76 0.79 0.80 4 127 KARANG DADI 0.85 0.17 0.81 0.65 3 128 GIRI PURNO 0.97 0.23 0.95 0.75 4 129 SUMBER AGUNG 0.78 0.46 0.96 0.72 3 130 SARI MULYA 0.80 0.08 0.97 0.63 3 131 GIRIWINANGUN 0.98 0.13 0.89 0.72 3 132 PINANG BALAI 0.01 0.10 0.97 0.22 1 133 SEKUTUR JAYA 0.07 0.30 0.95 0.31 2 134 NAPAL PUTIH 0.00 0.00 0.96 0.19 1 135 Sungai Karang 0.00 0.08 0.13 0.05 1 136 BANGUN SARANTEN 0.17 0.04 0.55 0.21 1 137 SUNGAI JERNIH 0.11 0.10 0.55 0.19 1 138 BUKIT SARI 0.90 0.13 0.82 0.66 3 139 SARI MULYA 0.02 0.48 0.91 0.32 2 140 PURWOSARI 0.99 0.30 0.84 0.77 4 141 LEMBAH KUAMANG 0.94 0.20 0.84 0.71 3

Page 348: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

326

Lampiran 8. Lanjutan No Nama Desa Rumah Lahan IP Indeks Diseminasi 142 SUMBER HARAPAN 0.45 0.17 0.05 0.29 2 143 DAYA MURNI 0.80 0.05 0.04 0.44 2 144 SUMBER MULIA 0.63 0.08 0.79 0.51 3 145 MAJU JAYA 0.73 0.12 0.83 0.58 3 146 TIRTA MULIA 0.42 0.53 0.10 0.39 2 147 LINGGA KUAMANG 0.68 0.08 0.15 0.41 2 148 KUNING GADING 0.83 0.28 0.77 0.66 3 149 KUAMANG JAYA 0.79 0.17 0.61 0.58 3 150 KARYA HARAPAN

MUKTI 0.81 0.00 0.85 0.59 3

151 GAPURA SUCI 0.67 0.07 0.59 0.48 2 152 MULIA BAKTI 0.79 0.06 0.91 0.61 3 153 MULIA JAYA 0.31 0.15 0.69 0.34 2 154 KOTA RAJA 0.41 0.40 0.78 0.48 2 155 TUO LIMBUR 0.52 0.41 0.72 0.53 3 156 TEBO JAYA 0.61 0.00 0.67 0.45 2 157 SEKAR MENGKUANG 0.85 0.07 0.78 0.61 3 158 DATAR 0.44 0.41 0.95 0.53 3 159 TALANG PEMESUN 0.57 0.00 0.47 0.39 2 160 Sungai Kapas 0.91 0.24 0.80 0.70 3 161 NALO BARU 0.22 0.00 1.00 0.31 2 162 NALO GEDANG 0.14 0.08 1.00 0.29 2 163 AIR BATU 0.25 0.15 0.98 0.36 2 164 SEKO BESAR 0.00 0.88 0.80 0.41 2 165 TAMAN BANDUNG 0.01 0.31 0.91 0.27 2 166 SUNGKAI 0.06 0.00 1.00 0.23 1 167 Arang arang 0.06 0.00 0.31 0.09 1 168 UJUNG TANJUNG 0.02 0.13 0.84 0.21 1 169 Cinta Damai 0.07 0.00 0.97 0.23 1 170 TIMBOLASI 0.64 0.00 1.00 0.52 3 171 CILODANG 0.34 0.36 0.88 0.45 2 172 BANGUN HARJO 0.33 0.54 0.86 0.50 2

Page 349: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

327

Lampiran 9 Korelasi Antar Variabel Model Determinan Stadia Desa-Desa Eks Transmigrasi

Stadia X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7

Stadia 1.00 -0.43 0.38 0.30 0.48 -0.52 0.21 0.45

X1 -0.43 1.00 -0.14 -0.09 -0.59 0.36 0.01 -0.26

X2 0.38 -0.14 1.00 0.26 0.13 -0.18 0.48 0.41

X3 0.30 -0.09 0.26 1.00 -0.02 -0.02 0.30 0.29

X4 0.48 -0.59 0.13 -0.02 1.00 -0.69 -0.02 0.09

X5 -0.52 0.36 -0.18 -0.02 -0.69 1.00 -0.10 -0.15

X6 0.21 0.01 0.48 0.30 -0.02 -0.10 1.00 0.44

X7 0.45 -0.26 0.41 0.29 0.09 -0.15 0.44 1.00

Page 350: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

328

Lampiran 10 Korelasi Antar Variabel Model Perjalanan Bekerja

Lokasi Bekerja X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7

Lokasi Bekerja 1.00 -0.30 0.32 0.04 0.37 0.20 -0.09 -0.13

X1 -0.30 1.00 -0.32 0.02 -0.22 0.23 0.35 0.01

X2 0.32 -0.32 1.00 0.13 0.07 0.10 0.02 -0.01

X3 0.04 0.02 0.13 1.00 -0.14 -0.01 0.05 -0.08

X4 0.37 -0.22 0.07 -0.14 1.00 0.04 -0.04 0.03

X5 0.20 0.23 0.10 -0.01 0.04 1.00 0.02 0.08

X6 -0.09 0.35 0.02 0.05 -0.04 0.02 1.00 0.07

X7 -0.13 0.01 -0.01 -0.08 0.03 0.08 0.07 1.00

Page 351: PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di provinsi

329

Lampiran 11 Korelasi Antar Variabel Model Perjalanan Belanja

Kel.Belanja X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9

Kel.Belanja 1.00 -0.27 0.12 -0.29 0.20 -0.13 -0.07 0.18 -0.07 0.03

X1 -0.27 1.00 -0.35 0.88 -0.39 0.78 0.64 -0.01 0.26 0.03

X2 0.12 -0.35 1.00 -0.31 0.51 -0.32 -0.11 0.35 0.08 0.02

X3 -0.29 0.88 -0.31 1.00 -0.37 0.70 0.60 0.00 0.22 0.04

X4 0.20 -0.39 0.51 -0.37 1.00 -0.39 -0.18 0.15 -0.03 -0.11

X5 -0.13 0.78 -0.32 0.70 -0.39 1.00 0.67 0.00 0.14 0.00

X6 -0.07 0.64 -0.11 0.60 -0.18 0.67 1.00 0.03 0.19 -0.05

X7 0.18 -0.01 0.35 0.00 0.15 0.00 0.03 1.00 0.03 0.17

X8 -0.07 0.26 0.08 0.22 -0.03 0.14 0.19 0.03 1.00 0.03

X9 0.03 0.03 0.02 0.04 -0.11 0.00 -0.05 0.17 0.03 1.00