Perkembangan BUMN Secara Umum Dan BUMN Perkebunan
-
Author
ahmad-taufiq-labera -
Category
Documents
-
view
35 -
download
8
Embed Size (px)
description
Transcript of Perkembangan BUMN Secara Umum Dan BUMN Perkebunan
-
45
BAB III
PERKEMBANGAN BUMN SECARA UMUM
DAN BUMN KELOMPOK PERKEBUNAN DI INDONESIA
III.1 SEJARAH BUMN DI INDONESIA
Secara historis, berdirinya BUMN di Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa alasan
pokok. Pada awalnya, BUMN ditujukan untuk mewadahi bisnis dan aset asing yang
dinasionalisasi, khususnya di era tahun 1950-an dimana banyak perusahaan asing berdiri.
Buku berjudul BUMN Indonesia, Isu, Kebijakan, dan Strategi (2005) memuat catatan
Bondan Kusumoyoso29 tentang fenomena yang terjadi di masa itu dimana nasionalisasi
membawa dampak perubahan yang mendasar di dalam perekonomian nasional. Adapun
kondisi saat itu memperlihatkan bahwa selama berlangsungnya nasionalisasi tersebut,
pemerintah Indonesia memperoleh kepemilikan 90 % produksi perkebunan begitu juga
dengan nilai perdagangan Luar Negeri yang sebesar 60 % dan diperolehnya kepemilikan
dari sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, perbankan, perkapalan dan berbagai
sektor jasa. Selain itu alasan berikutnya yang melatarbelakangi pendirian BUMN ialah
keinginan untuk mengembangkan industri yang dibutuhkan masyarakat, namun karena
berbagai hal (investasi atau risiko usaha yang tinggi) menyebabkan pihak swasta kesulitan
untuk masuk ke dalam industri tersebut maupun untuk mendirikan industri tersebut. Satu
lagi alasan yang turut mendorong hadirnya BUMN di Indonesia adalah kesadaran
pemerintah akan adanya karekteristik industri yang strategis, yaitu industri yang pendirian
dan pengelolaanya tidak dapat begitu saja diserahkan kepada pihak swasta. Industri
29 Keterangan ini diperoleh dari BUMN Indonesia : Isu, Kebijakan, dan Strategi (2005), hal. xvi yang memuat tulisan dari tesis Bondan Kusumoyoso berjudul Menguatnya peran Ekonomi Negara : Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, 2000.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
46
tersebut dinilai strategis karena memiliki posisi yang penting pada kelangsungan dan
keamanan negara. Berdasarkan pertimbangan itu, maka didirikanlah BUMN seperti Pindad
yang memproduksi persenjataan, Dahana yang memproduksi bahan peledak, Peruri yang
bertugas mencetak uang, dan Bulog yang bertanggung jawab pada pengelolaan pangan.
Jika diteliti lebih jauh, alasan yang dikemukakan di atas cukup akurat mengingat
BUMN di Indonesia sebenarnya telah muncul sebelum Indonesia merdeka yaitu ketika
pemerintah Hindia Belanda mendirikan diantaranya Gomeenschappelike Mijnbow
maatschapij Bliton (GMB) yang merupakan perusahaan timah di Belitung , Pegadaian,
Spoorswagen (SS).30 Perusahaan inilah yang kemudian setelah Indonesia merdeka,
dinasionalisasi pemerintah menjadi perusahaan milik negara yang saat itu berstatus
jawatan, yaitu Jawatan Angkutan Motor RI, Jawatan Kereta Api, Jawatan Pegadaian dan
lainnya. Namun, alasan pendirian BUMN saat itu juga dirasa tidak terlepas dari cita-cita
pemerintah RI dalam mewujudkan pasal 33 UUD 1945. Kehadiran BUMN seperti PT
Pupuk Sriwijaya dan PT Semen Gresik (sektor manufaktur), Jakarta Llyod, Garuda, Pelni
(sektor transportasi), BIN dan BNI di sektor perbankan adalah bukti usaha pemerintah
dalam mengaplikasikan semangat UUD 1945 dalam perekonomian nasional.
Perkembangan jumlah BUMN yang dinasionalisasi bahkan terbilang fantastis pada periode
1958-1965 yang mencapai 630 BUMN sebagai dampak pelaksanaan nasionalisasi
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958 sehubungan dengan pembebasan
Irian Barat. Momentum penting lainnya adalah ketika pemerintah juga melakukan
nasionalisasi terhadap perusahaan asing selain yang dimiliki oleh Hindia Belanda sebagai
akibat konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. Perusahaan-perusahaan asing tersebut
adalah perusahaan milik negara Singapura, Inggris, dan Malaysia. Fakta lain yang tak
30 Sepenggal sejarah BUMN termasuk landasan hukum BUMN dan regulasi berupa Perpu Nomor 19 tahun 1960 tentang perusahaan negara di masa lampau ini disajikan dalam buku berjudul Strategi Pembiayaan dan Regrouping BUMN yang ditulis oleh Moh. Arsjad Anwar, Martiono Hadianto, dkk pada tahun 1994.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
47
kalah menarik adalah jumlah BUMN di Indonesia yang mencapai 826 perusahaan di akhir
tahun 1965.
Pada tahun-tahun awal terbentuknya BUMN sampai dengan tahun 1960, pemerintah
belum menerapkan regulasi yang spesifik terkait dengan BUMN. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika pada saat itu landasan hukum yang mengatur BUMN berbeda-beda.
Perbedaan landasan hukum inilah yang mengakibatkan saat itu BUMN di Indonesia
diklasifikasikan ke dalam empat jenis BUMN yaitu :
1. BUMN yang diatur oleh Indonesische Bedrijven Wet (IBW)/ UU Perusahaan
Negara.
2. BUMN yang diatur oleh Indonesische Comptabliteits Wet (ICW)/ UU
Perbendaharaan Negara.
3. BUMN yang diatur oleh UU tertentu.
4. BUMN yang diatur oleh hukum perdata, terutama hukum dagang.
Namun pada tahun 1960 atas tujuan untuk melakukan reorganisasi alat-alat produksi
dan distribusi yang selaras dengan pasal 33 UUD 1945 serta dalam rangka
penyelenggaraan ekonomi terpimpin menuju pelaksanaan sosialisme Indonesia, pemerintah
RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Udang (Perpu) No. 19 tahun
1960 tentang perusahaan negara. Sejak saat itu, perusahaan negara yang diartikan sebagai
semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk seluruhnya merupakan
kekayaan negara RI kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang,
memiliki landasan hukum yang sama untuk semua BUMN. Adapun Perpu ini cenderung
menempatkan posisi kontrol pemerintah yang sangat kuat pada BUMN sehubungan dengan
kondisi negara di masa-masa itu.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
48
III.2 BUMN DI INDONESIA SAAT INI : JENIS DAN TUJUANNYA
Sejarah menunjukkan bahwa tujuan utama pendirian BUMN di Indonesia pada era
1950-an adalah untuk menampung perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi
oleh pemerintah Indonesia. Pada masa-masa awal tersebut, BUMN dikenal dengan istilah
perusahaan negara. Adapaun istilah BUMN mulai dikenal ketika pada tahun 1983, yaitu
melalui dirumuskannya PP 3 / 1983 oleh pemerintah yang membahas model pembinaan
dan pengawasan BUMN. Namun perjalanan BUMN yang merosot dari tahun ke tahun
menyebabkan Presiden Soeharto di era 1997 mulai mencari konsep yang tepat dalam
mengelola BUMN.31 Hal ini pula yang menyebabkan pada tahun 1998, Kantor
Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN didirikan sebagai langkah awal dalam upaya
mereformasi BUMN (saat itu dikepalai oleh Tanri Abeng). Visi utama dengan
terbentuknya lembaga tersebut adalah :
1. Membangun BUMN yang berdaya saing dan berkelas global.
2. Membangun lokomotif pemulihan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dimana
situasi ekonomi RI pada tahun 1997 1998 mengalami masa krisis. Pinjaman
Indonesia mendekati angka US $ 100 miliar.
Pada tahun 2003, pemerintah melalui DPR RI mengesahkan Undang-undang Republik
Indonesia No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Produk UU
tersebut mengatur dasar-dasar yang penting dari konsep, tujuan dan pengelolaan BUMN.
Berdasarkan UU tersebut dijelaskan bahwa di Indonesia terdiri dari Persero (yang meliputi
perusahaan perseroan dan perusahaan perseroan terbuka) dan Perum (pasal 9).
Adapun yang dimaksud dengan ketiga jenis BUMN tersebut sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 UU tersebut adalah sebagai berikut :
31 Djokosantoso Moeljono dan Riant Nugroho menjelaskan tentang proses terbentuknya Kementerian BUMN RI dalam buku berjudul BUMN Indonesia : Isu, Kebijakan, dan Strategi, 2005, hal 82-83.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
49
a. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang
berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau
paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik
Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
b. Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalah
persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau
persero melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
c. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Pengelolaan manajerial BUMN di Indonesia pada prinsipnya hampir sama dengan
entitas bisnis/ swasta yaitu bahwa BUMN diurus dan dijalankan oleh dewan direksi serta
diawasi oleh organ persero itu sendiri yaitu komisaris (pada BUMN berbentuk persero) dan
dewan pengawas pada BUMN yang berbentuk Perum. Meskipun sistem
pengelolaan/manajemen lembaganya tidak jauh berbeda dengan swasta namun BUMN
jelas memiliki maksud dan tujuan tersendiri selain mengejar keuntungan. Secara umum,
maksud dan tujuan pendirian BUMN sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003
adalah :
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian Nasional pada umumnya
dan penerimaan negara pada khususnya.
b. Mengejar keuntungan.
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan /atau jasa yang
bermutu tinggi dengan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
50
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor
swasta dan koperasi.
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi
lemah, koperasi, dan masyarakat.
Pengelolaan BUMN saat ini di bawah koordinasi Menteri Negara BUMN. Adapun
dalam menjalankan tugasnya, Menteri Negara BUMN, dibantu oleh beberapa deputi.
Masing-masing deputi memiliki wilayah pengawasan dan pembinaan BUMN yang
berbeda-beda. Sebagai informasi, jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tercatat bekerja
di lingkungan kementerian BUMN per Desember 2005 berdasarkan informasi yang
diperoleh dari situs Badan Administrasi Kepegawaian Negara adalah sebanyak 296 orang.
Jumlah PNS ini mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2003 yang mencapai 307
orang. Dengan jumlah pegawai yang terbatas ini, tentu sangat sulit dibayangkan proses
pengawasan terhadap BUMN yang berjumlah 139 BUMN tersebut dapat berlangsung
secara efektif. Tampaknya, hal ini pun harus segera ditinjau ulang mengingat perlunya
sumber daya manusia yang memadai untuk mampu melakukan pengawasan yang
menyeluruh dan terpadu terhadap setiap BUMN. Bagaimanapun perlu disadari, bahwa
salah satu kunci mengurangi masalah di tubuh BUMN adalah dengan meningkatkan
pengawasan dan pengendalian. Dengan demikian, Kementerian BUMN sebagai
koordinator BUMN perlu menyiapkan kualitas dan kuantitas perangkatnya termasuk
sumber daya manusia yang terlibat dalam pengawasan BUMN itu sendiri. Berikut ini
adalah gambar yang menyajikan struktur kementerian BUMN RI.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
45
Gambar 3-1 Struktur Kementerian BUMNSTRUKTUR ORGANISASI
KEMENTERIAN BUMN
MENTERI NEGARA BUMN
1. Staf Ahli SDM dan Teknologi 2. Staf Ahli Bidang Kemitraan UKM dan Koperasi 3. Staf Ahli Bidang Tata Kelola Perusahaan 4. Staf Ahli Bidang Kelembagaan dan Komunikasi 5. Staf Ahli Bidang Pengembangan Usaha
Sekretaris Kementerian BUMN
Biro Perencanaan & SDM Biro Hukum dan Humas Inspektorat
Deputi Bidang Usaha Perbankan dan Jasa
Keuangan
Asdep Usaha Perbankan
Asdep Usaha Jasa Keuangan
Asdep Usaha Asuransi
Deputi Bidang Usaha Jasa Lainnya
Asdep Usaha Jasa Perencanaa, Konstruksi,
Rekayasa
Asdep Usaha Kawasan Industri dan Perumahan
Asdep Usaha Aneka Industri
Deputi Bidang Usaha Logistik dan Pariwisata
Asdep Usaha Sarana Angkutan dan
Pariwisata
Asdep Usaha Jasa Prasarana Angkutan
Asdep Usaha Perdagangan,
Pergudangan, Distribusi dan Jasa Sertifikasi
Deputi Bidang Usaha Agro Industri, Kehutanan,
Kertas, Percetakan, dan Penerbitan
Asdep Usaha Perkebunan I
Asdep Usaha Perkebunan II
Asdep Usaha Industri Kehutanan, Perikanan, Kertas, Percetakan dan
Penerbitan
Asdep Usaha Penunjang Pertanian
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan
Telekomunikasi
Asdep Usaha Pertambangan
Asdep Usaha Industri Strategis
Asdep Usaha Energi
Asdep Usaha Telekomunikasi
Deputi Bidang Restrukturisasi dan
Privatisasi
Asdep Restrukturisasi dan Privatisasi I
Asdep Restrukturisasi dan Privatisasi II
Asdep PSO
Asdep Pendayagunaan Aset BUMN
Asdep Informasi dan Administrasi Kekayaan
BUMN
Staf ahli Menteri
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
52
III.3 PERKEMBANGAN UMUM BUMN DI INDONESIA
Seiring dengan perkembangan zaman, kehadiran BUMN di Indonesia, juga
diharapkan dapat memberikan konstribusi positif bagi perekonomian Nasional. BUMN
tidak hanya diharapkan mampu melayani kebutuhan masyarakat dalam kaitannya dengan
posisi PSO (Public Service Obligation) yang dipikulnya. Tetapi lebih dari itu BUMN
diharapkan juga mampu mencetak laba/keuntungan. Dengan kata lain, BUMN diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada APBN. Seperti diketahui, APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) merupakan salah satu wujud dari upaya
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan APBN inilah,
pemerintah mengalokasikan penerimaan yang diperolehnya untuk pengeluaran negara
dalam berbagai aspek kehidupan selama satu tahun. Berikut ini adalah realisasi APBN
pada tahun 2004-2005 sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang
diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI:
Tabel 3-1
APBN Realisasi Tahun 2004-2005
(dalam triliun rupiah) Uraian Realisasi APBN 2005 Realisasi APBN 2004
A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Perpajakan 347 280.6 1. Pajak Dalam Negeri 331.8 267.8 2. Pajak Perdagangan Internasional 15.2 12.7 II. Penerimaan Negara Bukan Pajak 146.9 122.5 1. Penerimaan Sumber Daya Alam 110.5 91.5 2. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN 12.8 9.8 3. Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya 23.6 21.2 III. Penerimaan Hibah 1.3 0.3 Jumlah Pendapatan Negara dan hibah (A.I + A.II)
495.2 403.4
B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 361.2 297.5 1. Belanja Pegawai 54.3 52.7 2. Belanja Barang 29.2 15.5 3. Belanja Modal 32.9 4. Pembayaran Bunga Utang 65.2 62.5 5. Subsidi 120.8 91.5 6. Bantuan Sosial 24.9 7. Belanja Lain-lain 34 13.7
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
53
Uraian Realisasi APBN 2005 Realisasi APBN 2004 II. Belanja Untuk Daerah 150.5 129.7 1. Dana Perimbangan 143.2 122.9 a. Dana Bagi Hasil 49.7 36.7 b. Dana Alokasi Umum 88.8 82.1 c. Dana Alokasi Khusus 4.8 4.0 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 7.2 6.9 a. Dana Otonomi Khusus 1.8 1.6 b. Dana Penyesuaian 5.5 5.2 III. Suspen (2) (0.01) Jumlah Belanja Negara (B.I + B.II + B.III) (509.6) 427.2 C. Surplus (Defisit) Anggaran (A B) (14.4) (23.8) D. Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri 19.1 48.9 1. Perbankan Dalam Negeri (2.6) 22.7 2. Non Perbankan Dalam Negeri 21.7 26.1 II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) (10.3) (28.1) 1. Penarikan Pijaman Luar Negeri (Bruto) 26.8 18.4 a. Penarikan Pinjama Program 12.3 5.1 b. Penarikan Pinjaman Proyek 14.6 13.4 2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri (37.1) (46.5) Jumlah Pembiayaan (D.I + D.II) 8.9 20.8 C. Sisa Lebih ( Kurang ) Pembiayaan Anggaran-SILPA (5.5) (SIKPA) (D+C) (3.0)
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2005, BPK RI
Jika dicermati, selama kurun waktu dua terakhir ini, yaitu tahun 2004 dan 2005, maka
terlihat bahwa penerimaan negara masih didominasi oleh sektor perpajakan. Walaupun
demikian tak tertutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti penerimaan negara bersumber
dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun dapat diandalkan. Salah satu sub dari
komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang cukup menarik untuk ditelaah
adalah bagian pemerintah atas laba BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Adapun yang
dimaksud dengan bagian pemerintah atas laba BUMN adalah sebagian dari jumlah dividen
dari seluruh BUMN yang dimiliki pemerintah RI. 32. Hal ini merujuk pada UU RI No. 19
Tahun 2003 Tentang BUMN dimana pada pasal 4 ayat 1 UU tersebut dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara atau yang selanjutnya disebut BUMN
adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui
penyertaan secara langsung. Dengan demikian, negara berhak atas sebagian dividen yang
berhasil diperoleh BUMN. Saat ini, di Indonesia tercatat sebanyak 139 BUMN yang terdiri 32 Informasi ini diperoleh dari (http://www.bumn.go.id/directory.html), diakses tanggal 7 Desember 2006
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
54
atas 12 BUMN berbentuk Persero Tbk, 114 BUMN berbentuk Persero dan 13 BUMN
berbentuk Perum.33 Pada kurun waktu tahun 2004, bagian pemerintah atas laba BUMN
memberikan kontribusi 2,43 % dari seluruh komponen pendapatan negara dan hibah.
Sedangkan pada tahun 2005, angka kontribusi tersebut naik menjadi 2,59 % dari
keseluruhan komponen pendapatan negara dan hibah. Adapun sub komponen bagian
pemerintah atas laba BUMN merupakan yang tergolong amat kecil dibandingkan dari sub
komponen lainnya merupakan wacana yang perlu diteliti dan dikaji dengan serius. Di sisi
lain sejak struktur APBN tidak lagi menganut anggaran berimbang, tidak dipungkiri bahwa
isu privatisasi BUMN sebagai alat untuk menutup defisit APBN (Pembiayaan Dalam
Negeri Non Perbankan) menuai pro kontra berbagai pihak.34 Hal-hal ini pada akhirnya
kembali menimbulkan pertanyaan tentang peran dari sebuah BUMN.
Berikut ini adalah gambaran dari kontribusi BUMN terhadap APBN:
Grafik 3-1
Perkembangan Laba BUMN Tahun 2001-2005
(dalam triliun rupiah)
10.4 9.8
12.6
9.1
12.8
02468
101214
Bagian Pem. atas Laba
BUMN (triliun rupiah)
2001 2003 2005
Tahun
Bagian Laba BUMN
Sumber : Nota Keuangan APBN, diolah.
33 Statistik BUMN Terdaftar, diakses dari http://www.bumn.go.id/directory. html) pada tanggal 13 Oktober 2006 34 Sebelum tahun 2000, Indonesia menganut prinsip anggaran berimbang (balance budget) dimana penerimaan = pengeluaran. Namun setelah tahun 2000, struktur APBN yang digunakan adalah Government Financial Statistic (GFS) berbentuk I Account yang memungkinkan terjadinya surplus dan defisit APBN. Informasi ini diakses dari (http://www.dpr.go.id) pada tanggal 25 November 2006.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
55
Seperti telah diuraikan sebelumnya, yang dimaksud dengan bagian pemerintah atas
laba BUMN adalah dividen yang diperoleh pemerintah atas penyertaan modal yang
dilakukan kepada BUMN. Berdasarkan grafik di atas tampak bahwa jumlah setoran laba
BUMN tersebut berfluktuasi. Salah satu penyebabnya adalah persentase laba yang
disetorkan ke BUMN sepenuhnya tergantung pada kesepakatan RUPS (Rapat Umum
Pemegang Saham) dan bukan dipatok secara khusus oleh pemerintah. Walaupun demikian,
akhir-akhir ini Pemerintah melalui Menteri Negara BUMN, Sugiharto, telah menghimbau
agar setiap BUMN menyetorkan maksimal 50% dari laba yang diperoleh (Tempo
Interaktif, 15 Juni 2005).
BUMN selain menyumbang negara melalui dividen dan berbagai pajak ( PPh, PPN,
Pajak Ekspor, dan BPHTB) juga digunakan sebagai sumber pembiayaan defisit APBN
melalui program privatisasi.35 Berikut ini adalah gambaran tentan kontribusi BUMN
terhadap pembiayaan APBN khususnya melalui kegiatan privatisasi:
Grafik 3-2
Setoran Privatisasi untuk Pembiayaan APBN Tahun 2001-2004
(dalam triliun rupiah)
3.5
7.7 7.3
3.5
012345678
Setoran Privatisasi
(triliun rupiah)
2001 2002 2003 2004
Tahun
Setoran Privatisasi
Sumber : Nota Keuangan APBN, diolah
35 Menteri Negara BUMN pada rubrik sambutan yang disajikan dalam jurnal Indonesia Business-BUMN Forum dan Exhibition mengatakan bahwa kontribusi BUMN (setoran dividen, pajak, hasil privatisasi) pada tahun 2004 mencapai angka 52,3 triliun dan meningkat di tahun 2006 menjadi 68,8 triliun.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
56
Penulis melihat ada kesan bahwa selama ini pembahasan mengenai kinerja BUMN
(konsep State Owned Enterprise) seolah-olah menjadi cenderung lebih relevan ketika
dibahas di ranah Ekonomi Industri. Padahal, dalam pandangan penulis, kedudukan BUMN
sebagai penyumbang komponen PNBP dan Pembiayaan dalam APBN seberapapun
kecilnya itu sangat berkaitan dengan keuangan negara yang dalam hal ini selalu menjadi
salah satu isu utama dalam kajian Ekonomi Publik. Oleh karena itu sama halnya dengan
perhatian banyak pihak terhadap penerimaan perpajakan maka kontribusi BUMN pada
APBN juga perlu diberi respon. Oleh karena itu jika wacana pengelolaan perpajakan telah
menjadi isu yang gencar diteliti dalam aspek keuangan negara maka tidaklah salah bila saat
ini wacana pengelolaan BUMN juga ditempatkan dalam proporsi yang sama.
Fakta lain yang tak dapat dipungkiri adalah negara memiliki andil terhadap BUMN
melalui penyertaan modal pemerintah pada BUMN. Dengan demikian, jika BUMN
dianalogikan sebagai entitas bisnis privat, maka kedudukan pemerintah tidak lain adalah
sebagai pemegang saham (shareholder). Isu ini pun semakin relevan untuk dikaji dalam
ekonomi publik karena modal yang disetorkan pemerintah kepada BUMN adalah uang
yang dimiliki negara. Dengan kata lain, perhatian pemerintah terhadap pengelolaan BUMN
adalah salah satu aspek yang menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mengelola
keuangan negara terutama jika dilihat dari sudut investasi pemerintah Indonesia. Adapun
yang dimaksud dengan pengelolaan keuangan negara menurut UU Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah seluruh
kegiatan pejabat, pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan
kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pertanggungjawaban.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
57
III.4 KINERJA BUMN DI INDONESIA SECARA UMUM
BUMN di Indonesia mungkin tak sebanyak negara-negara di kawasan Eropa Timur,
namun wacana rightsizing (pengurangan jumlah BUMN hingga mencapai ukuran ideal)
mulai tampak menjadi isu yang dipertimbangkan oleh pemerintah belakangan ini, baik itu
melalui merger, pembentukan induk usaha, maupun divestasi saham pemerintah.36
Grafik berikut ini menunjukkan perkembangan jumlah BUMN beberapa tahun terakhir:
Grafik 3-3
Perkembangan Jumlah BUMN
Tahun 1991-2003
020406080
100120140160180200
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
Tahun
Jum
lah
BU
MN
Jumlah BUMN
Sumber : diolah dari berbagai sumber
Adapun saat ini, seperti telah dikemukakan sebelumnya, BUMN di Indonesia tercatat
sebanyak 139 BUMN, dan jumlah ini dipertimbangkan untuk dikurangi secara bertahap
yaitu menjadi 102 BUMN pada tahun ini, 87 BUMN pada tahun mendatang, 69 BUMN di
36 Wacana ini diangkat dalam sebuah artikel berjudul Jumlah BUMN Dikurangi. (Kompas: Selasa, 20 Febuari 2007, hal. 17).
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
58
tahun 2009 dan 50 BUMN selama kurun waktu 2012-2015. Pemerintah sendiri menilai
jumlah BUMN sebanyak 25 perusahaan adalah angka ideal yang menjadi target akhir.
Berikut adalah data sejumlah BUMN ditinjau dari aspek keuangannya pada tahun 2001 :
Tabel 3-2
Kinerja Keuangan BUMN tahun 2001 (Rp milyar)
NO URAIAN
Jumlah BUMN
Total Pendapatan Total Aset
Equity
1 Kelompok Perbankan 5 64.169 475.361 30.020 2 Kelompok Asuransi 9 11.414 30.605 2.850 3 Kelompok Jasa Pembiayaan 6 1.274 10.013 2.353 4 Kelompok Jasa Konstruksi 9 4.735 6.158 1.238 5 Kelompok Konsultan Konstruksi 5 133 99 26 6 Kelompok Penunjang Konstruksi 2 957 3.691 1.502 7 Kelompok Jasa Penilai 4 662 832 545 8 Kelompok Jasa Lainnya 2 145 245 231 9 Kelompok Rumah Sakit 13 0 0 0 10 Kelompok Pelabuhan 4 3.271 7.902 5.153 11 Kelompok Pelayaran 4 2.070 6.416 5.136 12 Kelompok Kebandarudaraan 2 2.288 6.078 4.449 13 Kelompok Angkutan Darat 3 1.997 3.204 2.429 14 Kelompok Logistik 3 1.335 1.941 575 15 Kelompok Perdagangan 5 2.780 1.380 317 16 Kelompok Pengerukan 1 175 531 397 17 Kelompok Industri Farmasi 3 3.276 2.254 1.555 18 Kelompok Pariwisata 3 328 471 294 19 Kelompok Kawasan Industri 7 334 802 607 20 Kelompok Usaha Penerbangan 2 14.186 10.215 957 21 Kelompok Dok dan Perkapalan 4 1.560 4.270 801 22 Kelompok Perkebunan 15 10.407 14.121 7.853 23 Kelompok Pertanian 2 770 312 92 24 Kelompok Perikanan 4 121 105 (12) 25 Kelompok Pupuk 2 9.637 13.815 6.863 26 Kelompok Kehutanan 6 2.204 2.751 1.706 27 Kelompok Kertas 2 768 1.733 454 28 Kelompok Percetakan dan Penerbitan 4 659 876 524 29 Kelompok Pertambangan 3 2.475 4.818 3.385 30 Kelompok Energi 4 33.491 83.823 25.459 31 Kelompok Industri Berbasis Teknologi 5 1.981 4.558 2.990 32 Kelompok Baja dan Konstruksi Baja 3 5.405 7.270 4.882 33 Kelompok Telekomunikasi 5 16.074 54.235 19.694 34 Kelompok Industri Pertahanan 2 576 549 159 35 Kelompok Semen 3 4.696 9.889 3.593 36 Kelompok Industri Sandang 2 643 533 276 37 Kelompok Aneka Industri 3 393 647 259 Jumlah 161 207.390 772.501 139.611
Sumber : Kementrian BUMN, Laporan Keuangan Prognosa 2001 (un-audit) Berdasarkan pengamatan, penulis merasakan bahwa isu BUMN di kelompok
perkebunan menarik untuk ditelaah lebih mendalam. Seperti diketahui, jumlah BUMN di
kelompok perkebunan yang mencapai 15 buah adalah jumlah terbanyak dari suatu
kelompok BUMN. Dengan jumlah BUMN yang lebih besar dibandingkan kelompok
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
59
BUMN lainnya, maka timbul pertanyaan apakah BUMN tersebut telah dapat berkiprah
dengan baik. Sejalan dengan hal ini, ada berbagai opini yang berkembang berkaitan dengan
kinerja BUMN kelompok perkebunan. Opini tersebut antara lain pembentukan Induk
BUMN Perkebunan bahkan likuidasi PTPN yang dinilai tidak menguntungkan lagi.37
Pertanyaan ini tentu membutuhkan penelitian yang mendalam dan tidak dapat dijawab
hanya dengan pendekatan kualitatif saja.
Jika dirujuk pada peta posisi karakteristik BUMN berdasarkan kelompok usaha yang
dipublikasikan dalam master plan Badan Usaha Milik Negara Tahun 2002-2006 maka
diketahui bawa seluruh BUMN di kelompok perkebunan tergolong dalam industri yang
kompetitif (lihat lampiran 13). Terminologi kompetitif di sini, tentu saja, mengindikasikan
bahwa BUMN perkebunan harus mampu bersaing dengan perusahaan swasta.
III.5 BUMN KELOMPOK PERKEBUNAN
III.5.1 Kontribusi Sektor Perkebunan
Salah satu dari kekayaan alam Indonesia yang tak ternilai harganya itu adalah
kesuburan tanahnya. Hal itu pula yang menyebabkan Indonesia dikenal sebagai negara
agraris dimana sejak dahulu masyarakatnya telah mengembangkan usaha bercocok tanam.
Bahkan setelah hampir 62 tahun Indonesia merdeka, bangsa ini tetap berharap bahwa
sektor pertanian dapat tumbuh di negara ini. Idealisme semacam ini tidak berlebihan,
mengingat negara tetangga kita, Thailand, telah mampu mengembangkan industri yang
berbasis pertanian. Di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa pada akhir-akhir ini keunggulan
sektor pertanian kita sering dipertanyakan terlebih ketika predikat swasembada beras tak
dapat dipertahankan. Namun di balik kekurangan itu, salah satu subsektor dari pertanian,
khususnya perkebunan ternyata masih menyimpan potensi yang menjanjikan.
37 Pandangan ini tertuang dalam sebuah artikel berjudul BUMN Kebun agar Dilikuidasi Saja. (Kompas: Rabu, 21 Febuari 2007, hal.18).
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
60
Adapun yang dimaksud dengan perkebunan menurut Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan adalah segala kegiatan yang
mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam
ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut,
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk
mewujudkan kesehjateraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Subsektor perkebunan sebagai bagian dari sektor pertanian diakui memang belum
dapat menjadi andalan dalam hal menyumbang pendapatan negara. Walaupun demikian
potensi komoditi perkebunan Indonesia seperti CPO (minyak sawit), kakao, karet, dan teh
tidak dapat dipandang sebelah mata. Tak hanya itu, peran perusahaan perkebunan dalam
menyerap tenaga kerja juga dinilai amat penting.
Sebagai informasi, lahan pertanian yang diperuntukkan untuk perkebunan ternyata
lebih luas daripada lahan yang ditujukan untuk persawahan. Berikut ini adalah tabel dan
grafik yang dapat menjelaskan hal tersebut:
Tabel 3-3.
Distribusi Sektor Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
atas Harga Berlaku Tahun 2000-2005
Tahun Tanaman Bahan Makanan
Tanaman Perkebunan
Peternakan Kehutanan Perikanan Jumlah Pertanian
Jumlah Non Pertanian
2000 8.91 2.67 2.14 1.18 2.33 17.23 82.77
2001 8.59 2.55 2.08 1.06 2.4 16.67 83.33
2002 8.03 2.36 1.89 0.97 2.21 15.46 84.54
2003 7.83 2.32 1.86 0.91 2.27 15.19 84.81
2004 7.28 2.27 1.79 0.87 2.38 14.59 85.41
2005 6.73 2.12 1.58 0.79 2.18 13.4 86.6
Sumber : Statistik Indonesia, berbagai terbitan
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
61
Grafik 3-4
Distribusi Persentase Penggunaan Lahan
untuk Pertanian Tahun 1999-2004
Sumber: Stastistik Indonesia, berbagai terbitan
III. 5. 2 Peran BUMN Perkebunan
Sejalan dengan pertumbuhan luas perkebunan, maka perusahaan-perusahaan yang
bergerak di sektor ini pun bermunculan termasuk dari swasta. Perusahaan perkebunan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan
dapat didefinisikan sebagai pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang
mengelola usaha perkebunan dengan skala tetentu. Mengacu pada definisi di atas, maka
pelaku perkebunan di Indonesia saat ini dapat dikelompokkan menjadi 3 pelaku, yaitu:
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Besar Negara
Perkebunan Besar Swasta
Walaupun demikian badan hukum asing/ perorangan WNA juga diperkenankan untuk
melakukan usaha perkebunan dengan syarat harus menjalin kerja sama dengan pelaku
0
10
20
30
40
50
60
Penggunaan Lahan (%)
1999 2000 2001 2002 2003 2004Tahun
SawahPerkebunanLadangLain-lain
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
62
usaha perkebunan dengan membentuk badan hukum Indonesia (pasal 13 ayat 2 UU
Perkebunan Nomor 18 tahun 2004)
Adapun cikal bakal perusahaan perkebunan negara seperti telah dikemukakan
sebelumnya dimulai ketika UU Agraria 1870 diterbitkan. Lahirnya UU tersebut memicu
berdirinya perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengembangkan berbagai komoditi
seperti kelapa sawit, karet, tebu, dsb. Seiring perkembangan waktu, UU No. 5 Tahun 1960
tentang UU Pokok Agraria pun diterbitkan untuk menggantikan UU terdahulu.
Di sisi lain, pendirian perusahaan negara di bidang perkebunan sebenarnya telah
beberapa kali mengalami regrouping sebagai salah satu upaya meningkatkan efisiensi dan
produktivitasnya. Regrouping inilah yang menyebabkan terjadinya peralihan dari BPU
(Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara) kemudian pembentukan PPN,
lalu kemudian PNP, PTP, hingga berdirinya PTPN I-XIV dan PT RNI sebagai hasil dari
regrouping terakhir pada tahun 1996. 38
Tak hanya dinanti kontribusinya terhadap penerimaan negara, subsektor
perkebunan juga diharapkan dapat menjadi mitra dari perkebunan rakyat. Program
kemitraan seperti ini pada dasarnya bukan hal yang tergolong baru, salah satunya adalah
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang turut membangun industri kelapa sawit nasional pada
era Repelita awal yaitu sekitar tahun 1968. Pada dasarnya, konsep ini mencoba
menumbuhkan kerja sama antara dua pihak yaitu perkebunan besar sebagai inti dan
perkebunan rakyat sebagai plasma dalam hal pengembangan perkebunan. Adapun tujuan
yang ingin diraih melalui kerja sama ini adalah pembinaan perkebunan rakyat oleh
perkebunan besar yang pada akhirnya diharapkan akan mampu membawa keuntungan bagi
kedua belah pihak. Berikut ini adalah data mengenai jenis PIR yang telah pernah
diterapkan dalam pengelolaan perkebunan Indonesia khususnya budidaya kelapa sawit.
38 Chusnul Chotimah, Analisis Kinerja Keuangan PT Perkebunan Sebelum dan sesudah Regrouping, hal. 11-12
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
63
Tabel 3-4
Jenis Kemitraan Perkebunan Jenis PIR Inti Peserta Sumber Dana
PIR-BUN BUMN Masyarakat sekitar Dalam Negeri
PIR-Khusus BUMN Masyarakat sekitar dan Transmigran Dalam Negeri
PIR-Swasta Swasta Masyarakat sekitar dan Transmigran Dalam Negeri
PIR Lokal BUMN Masyarakat sekitar Dalam Negeri
PIR-NES BUMN Masyarakat sekitar Luar Negeri
PIR-Akselerasi BUMN/
Swasta
Masyarakat sekitar
Transmigrasi
Dalam Negeri
Sumber : Kelapa Sawit (Elaeis gineensis Jacq.) di Indonesia, Adlin U. Lubis
Sejak reformasi bergaung di Indonesia pada tahun 1998, istilah Repelita pun tak
pernah lagi didengungkan. Walaupun demikian, program PIR yang merupakan konsep di
era Repelita tersebut tetap dipertahankan hingga saat ini. Tampaknya program kemitraan
ini menjadi semacam corporate social responsibility dari PTPN. Berdasarkan uraian di atas
maka peran BUMN perkebunan dapat dirumuskan sebagai berikut :
Penyerapan tenaga kerja
Mendidik petani plasma
Menolong pemerintah daerah dalam mengelola lahan tidak
produktif milik pemerintah daerah
Berikut ini adalah nama BUMN dalam kelompok perkebunan dan peta yang
menggambarkan persebaran sejumlah BUMN kelompok perkebunan di Indonesia :
Tabel 3-5
BUMN Kelompok Perkebunan dan Komoditi yang Dikembangkan No. Nama PTPN Lokasi Komoditi yang Dikembangkan
1. PTPN I Aceh karet, kelapa sawit, kakao
2. PTPN II Sumatera Utara karet, tebu, kelapa sawit, kakao, tembakau
3. PTPN III Sumatera Utara karet, kakao, kelapa sawit
4. PTPN IV Sumatera Utara kakao, teh, kelapa sawit
5. PTPN V Riau karet, kelapa sawit, kakao
6 PTPN VI Jambi karet, teh, kelapa sawit
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
64
No. Nama PTPN Lokasi Komoditi yang Dikembangkan
7. PTPN VII Lampung teh, karet, kelapa sawit, tebu, kakao, hortikultura
8. PTPN VIII Jawa Barat karet, teh. kakao, kelapa sawit, gutta percha, kina
9. PTPN IX Jawa Tengah kopi, karet, kakao, tebu, teh
10. PTPN X Jawa Timur tebu, tanaman serat, dan tembakau
11. PTPN XI Jawa Timur tebu
12. PTPN XII Jawa Timur Kopi robusta/arabika, teh, hotikultura, kakao edel/bulk
13. PTPN XIII Kalimantan Barat karet, kelapa sawit, tebu
14. PTPN XIV Makasar karet, kelapa sawit, kelapa hibrida, kakao
Sumber : Kantor Pemasaran Bersama PTPN
Gambar 3-2
Peta Persebaran BUMN Kelompok Perkebunan di Indonesia
Sumber : Kantor Pemasaran Bersama PTPN
Adapun komoditi perkebunan kelapa sawit dan karet tampaknya masih menjadi
tanaman primadona yang dikembangkan oleh PTPN. Walaupun demikian ekspansi
perusahaan swasta dan asing dalam teritori perkebunan nasional pada komoditi yang sama
juga tak dapat dianggap sebelah mata. Hal ini terbukti dari kiprah beberapa perusahaan
perkebunan swasta nasional seperti PT Astra Agro Lestari Tbk, PT Tunas Baru Lampung
Tbk, PT London Sumatra Tbk. dan perusahaan asing asal Malaysia yaitu Guthrie Bhd
dalam menguasai areal perkebuanan sawit nasional.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
65
Namun terlepas dari persaingan perkebunan negara dengan pihak swasta dan asing,
penelitian ini hanya ditujukan untuk melihat bagaimana sebenarnya institusi/ faktor
kelembagaan berperan dalam memacu kinerja dan pengelolaan keuangan PTPN yang
kepemilikan sahamnya dikuasai oleh negara 100%. Dengan demikian, dapat terlihat pula
apakah penyertaan modal pemerintah selama ini mendorong kinerja PTPN atau hanya
sekedar mencegah PTPN tersebut dari kebangkrutan.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
86
BAB V
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PTPN DI INDONESIA
V.1 HASIL PENGOLAHAN DATA DENGAN UJI WILCOXON
Pada tahun 2002 yang lalu, pemerintah melaui kementerian BUMN RI, mengeluarkan
dua kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja BUMN. Paket kebijakan
itu adalah Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 100 Tahun 2002 (KEP-
100/MBU/2002) tentang penilaian tingkat kesehatan Badan Usaha Milik Negara yang
kemudian kemudian diikuti dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Negara BUMN
Nomor 117 Tahun 2002 (KEP-117/M-MBU/2002) tentang penerapan praktek Good
Corporate Governance (GCG) di lingkungan BUMN pada tahun yang sama oleh
Kementerian BUMN RI. Fakta ini sepertinya merupakan respon pemerintah dalam
menyikapi kinerja sebagian besar BUMN yang cenderung lesu. Pemerintah berharap
kebijakan ini dapat memacu BUMN termasuk PTPN untuk berbenah diri sebagai langkah
awal untuk mencapai kinerja yang baik.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, indikator yang digunakan dalam menilai kinerja
PTPN adalah aspek keuangan. Oleh karena itu, uji wilcoxon yang dilakukan ingin meneliti
kinerja keuangan (sejumlah rasio keuangan) PTPN sebelum dan sesudah terbitnya paket
kebijakan tersebut. Dengan demikian maka dapat dilihat efek kebijakan tersebut terhadap
upaya peningkatan kinerja keuangan PTPN.
Adapun hasil dari uji Wilcoxon menunjukkan bahwa secara umum terjadi
peningkatan setiap rasio keuangan kemampulabaan, likuiditas, dan solvabilitas dari seluruh
PTPN namun sebaliknya rasio aktivitas mengalami penurunan setelah terbitnya paket
kebijakan di atas. Penjelasan atas perubahan yang terjadi dalam setiap rasio keuangan
PTPN dapat dijelaskan sebagai berikut :
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
87
1. Analisis Rasio Solvabilitas
a. Debt to Aset Ratio
Komponen ini pada tahun 2005 mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2001.
Berikut ini adalah data tentang hal tersebut:
Tabel 5-1
Perbandingan Debt to Asset Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No.
Nama PTPN DAR Tr Total Hutang (dlm juta rupiah)
Tr Total Aktiva (dlm juta rupiah)
Tr
01 05 01 05 01 05 1. PTPN I 0.71 0.87 - 322599 409708.8 - 457288 409708.8 - 2. PTPN II 0.46 0.76 - 578353 1290594.06 - 1248198 1290594.1 + 3. PTPN III 0.44 0.56 - 649477 1347041.3 - 1470682 1347041.3 + 4. PTPN IV 0.36 0.47 - 590226 1153693.5 - 1623489 1153693.5 - 5. PTPN V 0.39 0.60 - 358602 977722.7 - 912859 977722.7 + 6. PTPN VI 0.45 0.65 - 216199 573076.9 - 476692 573076.9 + 7. PTPN VII 0.41 0.65 - 370380 1185211.9 - 914059 1185211.9 + 8. PTPN VIII 0.24 0.56 - 207670.8 674570 - 874114 674570 - 9. PTPN IX 0.66 0.94 - 368057 804334 - 556359.7 804334 +
10. PTPN X 0.29 0.51 - 228144 559231.6 - 778268 559231.6 - 11. PTPN XI 0.78 0.70 - 628620 754534 - 805379 754534 - 12. PTPN XII 0.25 0.51 - 129784 362268 - 511937 362268 - 13. PTPN XIII 0.38 0.59 - 356423 871247 - 932803 871247 - 14. PTPN XIV 0.82 1.01 - 403040 582497 - 492088 582497 +
Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah Tr = Trend; + = membaik : - = memburuk
Secara umum, peningkatan komponen ini terjadi pada seluruh PTPN kecuali PTPN
XI. Hal ini menggambarkan bahwa sumber dana PTPN pada umumnya berasal dari hutang
jangka panjang. Dari tabel di atas tampak bahwa PTPN IV adalah satu-satunya PTPN yang
mampu untuk mempertahankan rasio hutangnya dibawah 50%. Terlihat pula bahwa rasio
DAR ini meningkat karena secara umum terdapat kenaikan komponen total hutang.
b. Debt to Equity Ratio
Jika dibandingkan dengan tahun 2001, maka komponen ini secara umum mengalami
peningkatan pada tahun 2005. Tampak dari tabel IV-2 bahwa peningkatan komponen rasio
ini terjadi pada seluruh PTPN. Dari seluruh PTPN yang ada, tampaknya hanya PTPN IV
yang kembali terlihat lebih konservatif dengan berupaya menjaga agar rasio hutang
terhadap ekuitasnya tidak melebihi besaran satu kali modal. Sebaliknya, PTPN XIV sangat
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
88
memprihatinkan karena memiliki ekuitas yang negatif. Secara umum, peningkatan rasio
DER ini terjadi karena dua alasan yaitu kenaikan komponen total hutang itu sendiri dan
atau menurunnya ekuitas sejumlah PTPN. Berikut ini adalah data perbandingan DER
yang disajikan dalam bentuk tabel :
Tabel 5-2
Perbandingan Debt to Equity Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No.
Nama PTPN DER Tr Total Hutang (dlm juta rupiah)
Tr Total Ekuitas (dlm juta rupiah)
Tr
01 05 01 05 01 05 1. PTPN I 2.40 6.94 - 322599 409708.8 - 134689 59056 - 2. PTPN II 0.86 3.10 - 578353 1290594.1 - 669845 416369 - 3. PTPN III 0.79 1.26 - 649477 1347041.3 - 821105 1067749 + 4. PTPN IV 0.57 0.89 - 590226 1153693.5 - 1033263 1297598.3 + 5. PTPN V 0.65 1.53 - 358602 977722.7 - 554257 638999 + 6. PTPN VI 0.83 1.86 - 216199 573076.9 - 260493 307970.3 + 7. PTPN VII 0.68 1.84 - 370380 1185211.9 - 543658 643663.4 + 8. PTPN VIII 0.31 1.25 - 207670.8 674570 - 666443.4 537708 - 9. PTPN IX 1.95 15.3 - 368057 804334 - 188302 52681 -
10. PTPN X 0.41 1.06 - 228144 559231.6 - 550124 528317.9 - 11. PTPN XI 3.56 2.37 + 628620 754534 - 176760 318866 + 12. PTPN XII 0.34 1.02 - 129784 362268 - 382153 354606 - 13. PTPN XIII 0.62 1.41 - 356423 871247 - 576380 615813 + 14. PTPN XIV 4.54 -85 - 403040 582497 - 88845 -6853 -
Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah. Tr = Trend; + = membaik : - = memburuk 2. Analisis Rasio Aktivitas
a. Fixed Asset TurnoverRatio
Secara umum, rasio ini mengalami peningkatan pada tahun 2005. Tampaknya
peningkatan aktiva tetap perusahaan juga diikuti dengan peningkatan volume penjualan
Hanya PTPN II, PTPN V, PTPN VI yang mengalami penurunan rasio ini. Sedangkan
PTPN XII tetap dalam besaran rasio yang sama. Berdasarkan data yang tampak pada tabel
5-3 terlihat bahwa PTPN I dan PTPN II adalah PTPN dengan dua angka rasio terendah
dibandingkan dengan PTPN lainnya pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa PTPN I
dan PTPN II relatif kurang baik dalam menggunakan aset yang dimilikinya secara
produktif. Kondisi ini juga secara tidak langsung dapat menunjukkan kemungkinan bahwa
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
89
PTPN ini lebih banyak melakukan investasi pada aktiva tetap/ fixed asset. Berikut ini
adalah tabel yang menyajikan data tersebut:
Tabel 5-3
Perbandingan Fixed Asset Turnover Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No. Nama PTPN
FAT Tr Penjualan (dlm juta rupiah)
Tr Aktiva Tetap (dlm juta rupiah)
Tr
01 05 01 05 01 05 1. PTPN I 0.50 0.71 + 191297 284477.3 + 385620 402065.3 + 2. PTPN II 0.93 0.87 - 647229 884936.4 + 697348 1018222.4 + 3. PTPN III 1.12 1.25 + 1190559 2334949.1 + 1062757 1866666.3 + 4. PTPN IV 1.18 1.31 + 1458160 2267138.0 + 1234305 1730678.5 + 5. PTPN V 1.81 1.50 + 1133424 1558898.6 + 627023 1037663.1 + 6. PTPN VI 1.34 1.13 - 411544 808251.2 + 307129 714629.5 + 7. PTPN VII 1.38 1.60 + 886438 1825167 + 641269 1137667.4 + 8. PTPN VIII 1.79 2.14 + 674722.1 1034950.1 + 377097.4 484511 + 9. PTPN IX 2.14 3.06 + 384676 945705 + 179978 308727 +
10. PTPN X 7.97 11.2 + 666920 1778069.7 + 83663 158396 + 11. PTPN XI 7.56 13.8 + 643842 2054731 + 85175 148574 + 12. PTPN XII 0.98 0.98 = 318927 478104 + 324370 489508 + 13. PTPN XIII 0.91 1.29 + 596214 1204429 + 654491 933960 + 14. PTPN XIV 1.01 1.69 + 143707 296083 + 142249 175006 +
Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah. Tr = Trend: + = membaik : - = memburuk
b. Total Asset Turn Over
Secara umum, rasio ini mengalami peningkatan pada tahun 2005 untuk seluruh
PTPN terkecuali PTPN II dan PTPN V. Tampaknya peningkatan aktiva tetap perusahaan
juga diikuti dengan peningkatan volume penjualan Sama seperti Fixed Asset Turnover
Ratio, maka rasio ini juga menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menggunakan aset
yang dimilikinya secara produktif. PTPN II dan PTPN XIV adalah dua PTPN yang
memiliki rasio relatif rendah dibandingkan PTPN lainnya. Sedangkan PTPN X dan PTPN
XI adalah dua PTPN dengan rasio tertinggi pada tahun 2005. Hal ini menjelaskan bahwa
PTPN X dan PTPN XI telah mampu memanfaatkan aset mereka secara produktif.
Kesimpulan lain yang dapat ditarik ialah bahwa peningkatan rasio TAT ini terjadi karena
secara umum terjadi peningkatan volume penjualan yang cukup besar dibandingkan
pertumbuhan total aktiva itu sendiri.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
90
Tabel 5-4
Perbandingan Total Asset Turnover Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No. Nama PTPN
TAT Tr Penjualan (dlm juta rupiah)
Tr Total Aktiva (dlm juta rupiah)
Tr
01 05 01 05 01 05 1. PTPN I 0.42 0.61 + 191297 284477.3 + 457288 409708.8 - 2. PTPN II 0.52 0.52 = 647229 884936.4 + 1248198 1290594.1 + 3. PTPN III 0.81 0.97 + 1190559 2334949.1 + 1470682 1347041.3 + 4. PTPN IV 0.90 0.92 + 1458160 2267138.0 + 1623489 1153693.5 - 5. PTPN V 1.24 0.96 - 1133424 1558898.6 + 912859 977722.7 + 6. PTPN VI 0.86 0.92 + 411544 808251.2 + 476692 573076.9 + 7. PTPN VII 0.97 1.00 + 886438 1825167 + 914059 1185211.9 + 8. PTPN VIII 0.77 0.85 + 674722.1 1034950.1 + 874114 674570 - 9. PTPN IX 0.69 1.10 + 384676 945705 + 556359.7 804334 +
10. PTPN X 0.86 1.63 + 666920 1778069.7 + 778268 559231.5874 - 11. PTPN XI 0.80 1.91 + 643842 2054731 + 805379 754534 - 12. PTPN XII 0.62 0.67 + 318927 478104 + 511937 362268 - 13. PTPN XIII 0.64 0.81 + 596214 1204429 + 932803 871247 - 14. PTPN XIV 0.29 0.51 + 143707 296083 + 492088 582497 +
Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah Tr = Trend; + = membaik : - = memburuk
3. Analisis Rasio Kemampulabaan
a. Rasio Gross Profit Margin
Secara umum, rasio ini juga mengalami peningkatan pada tahun 2005 untuk seluruh
PTPN kecuali PTPN II, PTPN III, PTPN VI, PTPN X, dan PTPN XI. Hal ini
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk mengelola biaya dalam produksi telah cukup
efektif. Peningkatan laba kotor ternyata juga diikuti dengan peningkatan volume penjualan.
Adapun PTPN III adalah PTPN dengan rasio GPM tertinggi pada tahun 2005. Berikut ini
adalah tabel yang menyajikan data perkembangan GPM pada PTPN :
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
91
Tabel 5-5
Perbandingan Gross Profit Margin Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No. Nama PTPN GPM Tr Laba kotor (dlm juta rupiah)
Tr Penjualan (dlm juta rupiah)
Tr
01 05 01 05 01 05 1. PTPN I 0.17 0.25 + -37994 -4131.1 + 191297 284477.3 + 2. PTPN II 0.17 0.13 - -94483 -69933.3 + 647229 884936.4 + 3. PTPN III 0.38 0.37 - 104724 406382.5 + 1190559 2334949.1 + 4. PTPN IV 0.27 0.33 + 85612 329488.2 + 1458160 2267138.0 + 5. PTPN V 0.17 0.25 + 57128 132694.9 + 1133424 1558898.6 + 6. PTPN VI 0.11 0.11 = -14262 7367.1 + 411544 808251.2 + 7. PTPN VII 0.10 0.22 + 15225 182173.1 + 886438 1825167 + 8. PTPN VIII 0.25 0.26 + 47995.8 59462.1 + 674722.1 1034950.1 + 9. PTPN IX 0.12 0.21 + -10515 137924 + 384676 945705 +
10. PTPN X 0.20 0.14 - 94966 165993.8 + 666920 1778069.7 + 11. PTPN XI 0.23 0.20 - 28067 242363 - 643842 2054731 + 12. PTPN XII 0.30 0.33 + 38806 49866 + 318927 478104 + 13. PTPN XIII 0.14 0.21 + 23150 62427 + 596214 1204429 + 14. PTPN XIV -0.01 0.14 + -21047 -3614 + 143707 296083 +
Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah Tr = Trend: + = membaik : - = memburuk b. Rasio Net Profit Margin
Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan dengan Uji Wilcoxon maka dapat
disimpulkan bahwa secara umum terjadi kenaikan komponen Net Profit Margin pada tahun
2005. Tampak bahwa PTPN III dan PTPN IX adalah PTPN yang relatif lebih unggul
daripada PTPN lainnya. Di lain sisi, kenaikan NPM pada PTPN I, PTPN II, dan PTPN
XIV ternyata belum mampu mengeluarkan perusahaan ini dari kerugian.
Tabel 5-6
Perbandingan Net Profit Margin Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No. Nama PTPN NPM Tr Laba Bersih (dlm juta rupiah)
Tr Penjualan (dlm juta rupiah)
Tr
01 05 01 05 01 05 1. PTPN I -0.21 -0.01 + -39868 -2790.6 + 191297 284477.3 + 2. PTPN II -0.10 -0.08 + -67767 -68325.2 - 647229 884936.4 + 3. PTPN III 0.06 0.12 + 70527 277915.3 + 1190559 2334949.1 + 4. PTPN IV 0.03 0.10 + 44603 221434.3 + 1458160 2267138.0 + 5. PTPN V 0.04 0.06 + 41427 97870.811 + 1133424 1558898.6 + 6. PTPN VI -0.03 0.01 + -14262 4475 + 411544 808251.2 + 7. PTPN VII 0.01 0.07 + 8625 126151 + 886438 1825167 + 8. PTPN VIII 0.04 0.04 = 30284.6 40069.1 + 674722.1 1034950.1 + 9. PTPN IX -0.03 0.15 + -10515 137924 + 384676 945705 +
10. PTPN X 0.10 0.06 - 70005 114290.9 + 666920 1778069.7 + 11. PTPN XI 0.04 0.08 + 28067 172969 + 643842 2054731 + 12. PTPN XII 0.08 0.07 - 27049 34296 + 318927 478104 + 13. PTPN XIII 0.03 0.04 + 16438 45665 + 596214 1204429 + 14. PTPN XIV -0.15 -0.01 + -21047 -3614 - 143707 296083 + Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah.
Tr = Trend: + = membaik : - = memburuk
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
92
c. Rasio Basic Earning Power
Secara umum, rasio ini mengalami peningkatan pada tahun 2005 untuk seluruh PTPN,
kecuali PTPN XII. Dua PTPN yang tegolong lebih unggul jika dibandingkan dengan PTPN
lainnya adalah PTPN III dan PTPN XI. Sedangkan PTPN I, PTPN II, dan PTPN XIV
memiliki BEP yang negatif.
Tabel 5-7
Perbandingan Basic Earning Power Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No.
Nama PTPN BEP Tr EBIT
Tr Total Aktiva Tr
01 05 01 05 01 05 1. PTPN I -0.08 -0.01 + -37994 -4131.1 + 457288 409708.8 - 2. PTPN II -0.08 -0.04 + -94483 -69933.3 + 1248198 1290594.1 + 3. PTPN III 0.07 0.17 + 104724 406382.5 + 1470682 1347041.3 + 4. PTPN IV 0.05 0.13 + 85612 329488.2 + 1623489 1153693.5 - 5. PTPN V 0.06 0.08 + 57128 132694.9 + 912859 977722.7 + 6. PTPN VI -0.03 0.01 + -14262 7367.1 + 476692 573076.9 + 7. PTPN VII 0.02 0.10 + 15225 182173.1 + 914059 1185211.9 + 8. PTPN VIII 0.05 0.05 = 47995.8 59462.1 + 874114 674570 - 9. PTPN IX -0.02 0.16 + -10515 137924 + 556359.7 804334 +
10. PTPN X 0.12 0.15 + 94966 165993.8 + 778268 559231.5874 - 11. PTPN XI 0.03 0.23 + 28067 242363 + 805379 754534 - 12. PTPN XII 0.08 0.07 + 38806 49866 + 511937 362268 - 13. PTPN XIII 0.02 0.04 + 23150 62427 + 932803 871247 - 14. PTPN XIV -0.04 -0.01 + -21047 -3614 + 492088 582497 + Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah. Tr = Trend: + = membaik : - = memburuk
d. Rasio Operating Profit Margin
Jika dibandingkan dengan tahun 2001, maka secara umum rasio ini juga mengalami
peningkatan pada tahun 2005. Dari seluruh PTPN, hanya PTPN VIII, PTPN X, dan PTPN
XII yang mengalami penurunan. Meskipun terjadi peningkatan dalam rasio ini, namun hal
itu belum berarti untuk melepaskan PTPN I, PTPN II, dan PTPN XIV dari masalah
kerugian.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
93
Tabel 5-8
Perbandingan Operating Profit Margin Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No. Nama PTPN OPM Tr EBIT Tr Penjualan Tr 01 05 01 05 01 05
1. PTPN I -0.20 -0.01 + -37994 -4131.1 + 191297 284477.3 + 2. PTPN II -0.15 -0.08 + -94483 -69933.3 + 647229 884936.4 + 3. PTPN III 0.09 0.17 + 104724 406382.5 + 1190559 2334949.1 + 4. PTPN IV 0.06 0.15 + 85612 329488.2 + 1458160 2267138.0 + 5. PTPN V 0.05 0.09 + 57128 132694.9 + 1133424 1558898.6 + 6. PTPN VI -0.03 0.01 + -14262 7367.1 + 411544 808251.2 + 7. PTPN VII 0.02 0.10 + 15225 182173.1 + 886438 1825167 + 8. PTPN VIII 0.07 0.06 + 47995.8 59462.1 + 674722.1 1034950.1 + 9. PTPN IX -0.03 0.15 + -10515 137924 + 384676 945705 +
10. PTPN X 0.14 0.09 - 94966 165993.8 + 666920 1778069.7 + 11. PTPN XI 0.04 0.12 + 28067 242363 + 643842 2054731 + 12. PTPN XII 0.12 0.10 - 38806 49866 + 318927 478104 + 13. PTPN XIII 0.04 0.05 + 23150 62427 + 596214 1204429 + 14. PTPN XIV -0.15 -0.01 + -21047 -3614 + 143707 296083 +
Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah. Tr = Trend: + = membaik : - = memburuk e. Rasio Return on Asset
Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan ROA pada
tahun 2005. Dapat disimpulkan pula bahwa peningkatan ROA diakibatkan pertumbuhan
laba bersih yang melampaui pertumbuhan aktiva PTPN secara keseluruhan. Namun
besaran ROA yang negatif masih tampak pada 3 PTPN yaitu PTPN I, PTPN II, dan PTPN
XIV. Berikut ini adalah tabel yang menyajikan data tersebut :
Tabel 5-9
Perbandingan Return on Asset Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No.
Nama PTPN ROA Tr Laba Bersih Tr Total Aktiva Tr 01 05 01 05 01 05
1. PTPN I -0.09 -0.01 + -39868 -2790.6 + 457288 409708.8 - 2. PTPN II -0.05 -0.04 - -67767 -68325.2 - 1248198 1290594.1 + 3. PTPN III 0.05 0.12 + 70527 277915.3 + 1470682 1347041.3 + 4. PTPN IV 0.03 0.09 + 44603 221434.3 + 1623489 1153693.5 - 5. PTPN V 0.05 0.06 + 41427 97870.811 + 912859 977722.7 + 6. PTPN VI -0.03 0.01 + -14262 4475 + 476692 573076.9 + 7. PTPN VII 0.01 0.07 + 8625 126151 + 914059 1185211.9 + 8. PTPN VIII 0.03 0.03 = 30284.6 40069.1 + 874114 674570 - 9. PTPN IX -0.02 0.16 + -10515 137924 + 556359.7 804334 +
10. PTPN X 0.09 0.11 + 70005 114290.9 + 778268 559231.5874 - 11. PTPN XI 0.03 0.16 + 28067 172969 + 805379 754534 - 12. PTPN XII 0.05 0.05 = 27049 34296 + 511937 362268 - 13. PTPN XIII 0.02 0.03 + 16438 45665 + 932803 871247 - 14. PTPN XIV -0.04 -0.01 + -21047 -3614 - 492088 582497 + Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah. Tr = Trend: + = membaik : - = memburuk
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
94
f. Rasio Return on Equity
Secara umum, komponen ROE untuk seluruh PTPN pada tahun 2005 ternyata
mengalami peningkatan dari waktu sebelumnya, yaitu tahun 2001. Sama halnya dengan
peningkatan rasio ROA, peningkatan rasio ROE juga tidak terlepas dari pertumbuhan
komponen laba bersih yang lebih besar daripada pertumbuhan ekuitas itu sendiri. PTPN IX
adalah PTPN yang relatif unggul dibandingkan PTPN yang lainnya. Di lain sisi ROE
negatif masih dijumpai pada PTPN I dan PTPN II.
Tabel 5-10
Perbandingan Return on Equity Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No.
Nama PTPN ROE Tr Laba Bersih Tr Ekuitas Tr 01 05 01 05 01 05
1. PTPN I -0.30 -0.05 + -39868 -2790.6 + 134689 59056 - 2. PTPN II -0.10 -0.16 - -67767 -68325.2 - 669845 416369 - 3. PTPN III 0.09 0.26 + 70527 277915.3 + 821105 1067749 + 4. PTPN IV 0.04 0.17 + 44603 221434.3 + 1033263 1297598.3 + 5. PTPN V 0.07 0.15 + 41427 97870.811 + 554257 638999 + 6. PTPN VI -0.05 0.01 + -14262 4475 + 260493 307970.3 + 7. PTPN VII 0.02 0.20 + 8625 126151 + 543658 643663.4 + 8. PTPN VIII 0.05 0.07 + 30284.6 40069.1 + 666443.4 537708 - 9. PTPN IX -0.06 2.62 + -10515 137924 + 188302 52681 -
10. PTPN X 0.13 0.22 + 70005 114290.9 + 550124 528317.9 - 11. PTPN XI 0.16 0.54 + 28067 172969 + 176760 318866 + 12. PTPN XII 0.07 0.10 + 27049 34296 + 382153 354606 - 13. PTPN XIII 0.03 0.07 + 16438 45665 + 576380 615813 + 14. PTPN XIV -0.24 0.53 + -21047 -3614 - 88845 -6853 -
Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah. Tr = Trend: + = membaik : - = memburuk 4. Analisis rasio Likuiditas
Current Ratio
PTPN yang mengalami penurunan current rasio adalah PTPN I, PTPN VI, PTPN
VIII, PTPN IX, PTPN X, PTPN XII, PTPN XIII, dan PTPN XIV. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan aktiva lancar dari sejumlah PTPN di atas untuk menutupi hutang
lancarnya menurun. Semakin tinggi rasio ini, maka kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban jangka pendeknya semakin baik. Sejalan dengan aturan main yang
umum, biasanya perusahaan memiliki target angka current ratio 2,0. Berdasarkan hal itu,
tampaknya hanya PTPN II yang terlihat mampu mencapai angka rasio di atas 2,0. Berikut
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
95
ini adalah tabel yang menggambarkan perbandingan current ratio antara tahun 2001
dengan tahun 2005:
Tabel 5-11
Perbandingan Current Ratio antara Tahun 2001 dengan Tahun 2005
No.
Nama PTPN Current Ratio Tr Kewajiban Lancar Tr Kewajiban Tdk Lancar Tr 01 05 01 05 01 05
1. PTPN I 0.40 0.27 - 114503 127248.4 + 208096 282460.4 - 2. PTPN II 0.77 2.13 + 534488 204079.8 + 43865 1078788.8 - 3. PTPN III 0.60 0.76 + 442461 568036.4 - 207016 779004.9 - 4. PTPN IV 0.77 0.84 + 395939 645898.2 - 194287 507795.3 - 5. PTPN V 0.71 0.93 + 332813 495130.3 - 25789 482592.4 - 6. PTPN VI 1.06 0.54 - 88953 233739.4 - 127246 324008.7 - 7. PTPN VII 0.67 1.26 + 358934 509292.1 - 11446 675919.8 - 8. PTPN VIII 1.57 0.92 - 161553.8 364550 - 46117 310020 - 9. PTPN IX 0.93 0.71 - 367336 654000 + 721 150334 -
10. PTPN X 2.96 1.89 - 216788 429157.4 - 11356 130074.2 - 11. PTPN XI 1.49 1.49 = 435345 523156 - 193275 231378 - 12. PTPN XII 1.75 1.09 - 81194 187583 - 48590 163750 - 13. PTPN XIII 1.30 0.74 - 165998 399902 - 190425 470146 - 14. PTPN XIV 0.72 0.31 - 135426 383599 - 267614 198898 +
Sumber: Kementerian BUMN RI, diolah. Tr = Trend: + = membaik : - = memburuk
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
96
V.2 ANALISIS KOMPONEN UTAMA
Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, Analisis Komponen utama
bertujuan untuk untuk mengurangi banyaknya dimensi peubah yang saling berkorelasi
dengan mempertahankan sebanyak mungkin keragaman dalam himpunan data tersebut.
Dengan melakukan serangkaian prosedur statistik maka komponen utama untuk tahun
2001dan 2005 adalah sebagai berikut (lihat lampiran 3) :
Tabel 5-12
Komponen Utama Tahun 2001 dan Tahun 2005
Komponen Utama Tahun 2001 Komponen Utama Tahun 2005 Debt to Asset Ratio Fixed Asset turnover Debt to Equity Ratio Total Asset Turnover Total Asset Turnover Gross Profit Margin
Net Profit Margin Net Profit Margin Basic Earning Power Basic Earning Power
Operating Profit Margin Operating Profit Margin Return on Asset Return on Asset Return on Equity
Current Ratio
Sumber: Hasil pengolahan SPSS/ Output SPSS
V. 3 ANALISIS FAKTOR
Setelah memperoleh komponen utama, maka pada analisis faktor ini, sejumlah
komponen itu akan dikelompokkan ke dalam beberapa faktor. Komponen-komponen yang
berada dalam satu faktor yang sama dapat dikatakan sebagai komponen yang boleh
dikatakan memiliki kesamaan atau identik (lihat lampiran 3 dan 4). Berdasarkan hasil
pengolahan data secara statistik, maka diperoleh dua faktor untuk tahun 2001 dan 2005.
Berikut ini adalah komponen rasio penyusun faktor-faktor tersebut:
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
97
Tabel 5-13
Komponen Penyusun Faktor Tahun 2001 dan 2005
Faktor Komponen Penyusun Faktor
Tahun 2001 Komponen Penyusun Faktor
Tahun 2005 Faktor 1 NPM, BEP, OPM, ROA, ROE, dan
Current Ratio GPM, NPM, BEP, OPM, dan ROA
Faktor 2 DAR, DER, dan TAT FAT dan TAT
Sumber: Hasil pengolahan SPSS/ Output SPSS V.4 ANALISIS KUADRAN
Pada tahap akhir, dilakukan analisis kuadran (lihat lampiran 3 dan 4) yang bertujuan
untuk mengetahui posisi setiap PTPN berdasarkan kinerja keuangannya. Empat kuadran
yang ada menggambarkan kondisi kesehatan BUMN itu sendiri. Berikut ini adalah
penjelasan untuk analisis kuadran pada tahun 2001 dan 2005.
Gambar 5-1
Analisis Kuadran Rasio Keuangan PTPN Tahun 2001
Sumber: Hasil pengolahan SPSS/ Output SPSS
-2.00000 -1.00000 0.00000 1.00000
faktor 2
-2.00000
-1.00000
0.00000
1.00000
2.00000
faktor 1
$
$
$
$$
$
$
$
$
$
$
$
$
$
I
II
III
IV
V
VIVII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
Kuadran 1Kuadran 2
Kuadran 3 Kuadran 4
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
98
Berdasarkan output analisis kuadran di atas, tampak bahwa pada tahun 2001 PTPN
secara umum memiliki kinerja yang sedang sampai dengan sehat kecuali PTPN I, PTPN
IX, dan PTPN XIV. Letak ketiga PTPN tersebut berada dalam kuadran 4 yang
menunjukkan bahwa PTPN tersebut relatif tidak berhasil mengelola faktor 1 dan 2 dengan
baik. Sebaliknya PTPN III, V, VIII, XII dan XIII berhasil mengelola faktor 1 dan 2 dengan
baik sehingga tergolong sebagai perusahaan yang paling sehat/ ideal (berada dalam
kuadran 1).
Gambar 5-2
Analisis Kuadran Rasio Keuangan PTPN Tahun 2005
Sumber: Hasil pengolahan SPSS/ Output SPSS
Adapun kondisi PTPN pada tahun 2005 berdasarkan output analisis kuadran di atas
menunjukkan bahwa PTPN I, PTPN II, PTPN VI, PTPN XIII dan PTPN XIV berada
dalam kuadran 4 yaitu kuadran yang menunjukan posisi kinerja perusahaan yang buruk
dalam mengelola faktor 1 dan 2. Jika dibandingkan dengan tahun 2001, maka jumlah
PTPN yang paling sehat pada tahun 2005 hanya 2 PTPN saja yaitu PTPN IX dan XI. Hal
ini cukup memprihatinkan mengingat sosialisasi kebijakan dari kementerian BUMN
-1.00000 0.00000 1.00000 2.00000faktor 2
-2.00000
-1.00000
0.00000
1.00000
faktor 1
$
$
$
$
$
$
$ $
$
$
$
$
$
$
I
II
III
IV
V
VI
VIIVIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
Kuadran 1
Kuadran 2
Kuadran 4 Kuadran 3
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
99
tentang penilaian tingkat kesehatan BUMN dan penerapan GCG sejak tahun 2002 ternyata
belum membawa dampak yang nyata terhadap peningkatan kinerja keuangan PTPN.
V.5 ANALISIS TERHADAP KONDISI PTPN SECARA KESELURUHAN
Setelah melakukan serangkaian penelitian, maka terlihat bahwa setelah
diberlakukannya kebijakan penilaian tingkat kesehatan BUMN dan sekaligus penerapan
GCG di lingkungan BUMN ternyata belum mampu mengurangi jumlah PTPN yang
berkinerja tidak bagus. Diakui, terdapat PTPN yang berhasil keluar dari kondisi buruk,
layaknya PTPN IX yang sebelumnya merupakan PTPN tidak sehat di tahun 2001 berubah
menjadi PTPN yang paling sehat di tahun 2005. Namun ada pula PTPN yang pada tahun
2001 tidak tergolong dalam PTPN bermasalah, akan tetapi pada tahun 2005 berubah posisi
menjadi PTPN yang tidak sehat. Output analisis kuadran juga menunjukkan bahwa dari
seluruh PTPN yang diteliti, tampak bahwa PTPN I dan XIV ternyata belum dapat keluar
dari masalah kesulitan keuangan.
Kinerja PTPN yang tidak baik pada dasarnya tidak terlepas dari pengelolaan
perusahaan yang buruk termasuk yang bersumber dari masalah principal-agent. Hal ini
tampak dari kasus korupsi di PTPN II pada tahun 2005 yang melibatkan Direktur Utama
PTPN tersebut dan juga kasus dugaan korupsi di PTPN XIV.48 Hal ini tentu saja
bertentangan dengan prisip tata kelola perusahaan yang baik dan benar.
BUMN kelompok perkebunan yaitu PTPN memang belum dapat dikatakan
berkontribusi amat besar terhadap negara. Namun hal itu juga tidak terlepas dari berbagai
hambatan internal dan eksternal yang harus dihadapi oleh PTPN. Adapun hambatan-
hambatan itu antara lain:
1. Masalah penyerobotan lahan oleh masyarakat sekitar yang merasa bahwa tanah
tersebut adalah tanah adat. Hal ini seperti yang dialami oleh PTPN IX.
48 Berita dari Rakyat Merdeka edisi 27 Agustus 2005 menjelaskan bahwa data dugaan korupsi di PTPN XIV telah sampai ke berbagai pihak seperti Kejagung, KPK, DPR, hingga Menneg BUMN.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
100
2. Masalah infrastruktur yang tidak memadai, seperti jalan yang rusak, pelabuhan
yang terlalu jauh dari lokasi, pabrik pengolahan hasil perkebunan yang terbatas
dan masih banyak lagi.
3. Kasus pencurian hasil perkebunan. Pada umumnya Tandan Buah Segar (TBS)
Kelapa Sawit adalah salah satu hasil perkebunan yang paling sering dicuri.
4. Berbagai pungutan juga merupakan masalah serius. Ada semacam keleluasaan
bagi pemerintah daerah untuk memungut berbagai sumbangan sehubungan dengan
dilaksanakannya otonomi deaerah. Hal ini menyebabkan terjadinya ekonomi biaya
tinggi di daerah termasuk di sentra perkebunan.49
5. Masalah perusakan lingkungan hidup juga kerap ditujukan terhadap PTPN.
Menurut WWF, salah satu LSM Lingkungan Hiidup, konservasi alam dan hewan
sering terganggu oleh kegiatan PTPN. Kasus semacam ini melanda PTPN V yang
dinilai memperluas lahannya hingga mendekati habitat gajah sumatera.
Dengan berbagai hambatan di atas dan ditambah lagi dengan ekspansi sektor swasta,
maka PTPN tampak terlihat statis. Namun terlepas dari berbagai beban persoalan yang
cukup banyak itu, PTPN juga dirasakan memiliki kekurangan dalam melakukan
pengelolaan perusahaan. Kekurangan-kekurangan tersebut antara lain:
1. komitmen pada transparansi sebagai bagian dari good corporate governance
tampaknya masih rendah. Hal ini terlihat dari sulitnya untuk mendapatkan akses
laporan keuangan PTPN secara mudah dan lengkap. Selain itu belum semua
PTPN memiliki code of corporate governance dan code of conduct yang
diterapkan secara internal dalam perusahaan.
49 Kompas, Laba Perkebunan Negara agar dibagi dengan Daerah, diakses dari (http://www.kompas.com/kompascetak) pada tanggal 23 Januari 2007.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
101
2. korupsi dan penyalahgunaan wewenang adalah sumber dari kegagalan manajemen.
Hal ini terbukti dari efek yang ditimbulkan dari kasus korupsi tersebut terhadap
memburuknya kinerja keuangan PTPN II dan PTPN XIV di tahun 2005. Budaya
bebas KKN sebaiknya tidak lagi menjadi wacana tanpa implementasi.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
102
Gambar 5-3.
Perbandingan Analisis Kuadaran Rasio Keuangan antara Th. 2001 denganTh. 2005
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS/ Output SPSS
Keterangan: Faktor 1 dan 2 pada tahun 2001 dan 2005 dapat dilihat
pada Tabel 5-13 hal. 97
-1.00000 0.00000 1.00000 2.00000faktor 2Th.2005
-2.00000
-1.00000
0.00000
1.00000
faktor 1 Th.2005
$
$
$
$
$
$
$ $
$
$
$
$
$
$
I
II
III
IV
V
VI
VIIVIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
Kuadran 1
Kuadran 2
Kuadran 4 Kuadran 3
-2.00000 -1.00000 0.00000 1.00000
faktor 2 Th. 2001
-2.00000
-1.00000
0.00000
1.00000
2.00000
faktor 1 Th. 2001
$
$
$
$$
$
$
$
$
$
$
$
$
$
I
II
III
IV
V
VIVII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
Kuadran 1Kuadran 2
Kuadran 3 Kuadran 4
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
103
V. 6. ANALISIS KINERJA BUMN PERKEBUNAN DAN SWASTA
Pada bagian sebelumnya, telah dilakukan penelitian secara khusus terhadap kinerja
PTPN yang diukur dari beberapa rasio keuangannya. Selanjutnya, penelitian ini juga
diarahkan untuk melihat bagaimana jika PTPN ditempatkan dalam ruang lingkup
perkebunan nasional bersama-sama dengan perusahaan perkebunan besar swasta di
Indonesia. Oleh karena itu pada bagian ini, penelitian diawali dengan memasukkan empat
perusahaan perkebunan besar swasta yang juga telah go public. Adapun empat perkebunan
besar swasta tersebut adalah:
1. PT Astra Agro Lestari Tbk
Perusahaan ini merupakan bagian dari Astra International Group, dan telah berdiri
sejak tahun 1988. Komoditi utama yang dikembangkan perusahaan perkebunan ini
adalah kelapa sawit. Perusahaan ini juga dikenal sebagai salah satu perkebunan
penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia.
2. PT Perkebunan London Sumatera Indonesia Tbk
Perusahaan ini bergerak dalam pembudidayaan, pemanenan, pengolahan kelapa
sawit, karet, coklat, kopi, teh. Lonsum juga dikenal sebagai penghasil bibit kelapa
sawit bermutu tinggi melalui Balai Penelitian Bah Lias, Sumatera Utara. Pusat
operasional dan keuangan perusahaan terletak di Jakarta, Medan, dan Palembang.
3. PT Bakrie Plantation Tbk
Perseroan ini berdiri pada tahun 1911 dengan nama NV Holandsch Amerikannse
Plantage Maatschappij (HAPM) dengan bisnis utama perkebunan karet.
Selanjutnya pada tahun 1986, Kelompok Usaha Bakrie mengambil alih seluruh
saham perusahaan ini dari Uniroyal Sumatera Plantations.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
104
4. PT Tunas Baru Lampung Tbk
Perusahaan ini bergerak dalam perkebunan kelapa sawit, kelapa hibrida, dan
hortikultura.
V.6.1 Hasil Analisis Uji Wilcoxon
Tak berbeda dengan metode penelitian sebelumnya, analisis kinerja perusahaan
perkebunan ini dimulai dengan uji kenormalan terlebih dahulu sebagai alat untuk
mengetahui metode uji statistik yang sesuai untuk penelitian tersebut. Adapun hasil tes
normalitas menunjukkan bahwa metode statistik non parametrik adalah metode yang
relevan untuk digunakan dalm penelitian ini sebagai cara untuk mengetahui perkembangan
kinerja perusahaan perkebunan secara umum selama tahun 2001 dan 2005.
Hasil uji wilcoxon (uji non parametrik yang dipilih) memperlihatkan bahwa secara
umum terdapat peningkatan angka rasio DER, FAT, TAT, GPM, NPM, BEP, OPM, ROA,
ROE pada tahun 2005. Sebaliknya, terdapat penurunan angka rasio DAR dan current ratio
(lampiran 6).
V.6.2 Hasil Analisis Faktor
Selanjutnya, dalam proses analisis faktor, diperoleh hasil bahwa pada tahun 2001
terbentuk dua faktor yang memiliki dampak terhadap kinerja keuangan perusahaan
perkebunan, begitu pun pada tahun 2005. Dengan terbentuknya dua faktor tersebut, maka
proses analisis kuadran sebagai langkah selanjutnya relevan untuk dilakukan Berikut ini
disajikan komponen penyusun faktor tahun 2001 dan 2005 (lampiran 7 dan 8):
Tabel 5-14
Komponen Penyusun Faktor Tahun 2001 dan 2005 Faktor Komponen Penyusun Faktor
Tahun 2001 Komponen Penyusun Faktor
Tahun 2005 Faktor 1 DAR, DER, TAT, NPM, BEP, ROA DAR, GPM, NPM, BEP, OPM, dan ROA Faktor 2 FAT dan current ratio FAT dan TAT
Sumber: Hasil pengolahan SPSS/ Output SPSS
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
105
V.6.3 Hasil Analisis Kuadran
Langkah terakhir yang dilakukan untuk mengetahui posisi dari setiap perusahaan
perkebunan berdasarkan kinerja keuangannya (baik PTPN dan swasta) adalah dengan
melakukan analisis kuadran. Berikut ini adalah output analisis kuadran rasio keuangan
perusahaan perkebunan pada tahun 2005 (lampiran 7 dan 8):
Gambar 5-4
Analisis Kuadran Rasio Keuangan PTPN Tahun 2001
Sumber: Hasil pengolahan SPSS/ Output SPSS
Berdasarkan output analisis kuadran rasio keuangan perusahaan perkebunan PTPN
pada tahun 2001 terlihat bahwa pada tahun tersebut hanya tiga perusahaan saja yang
memiliki kinerja baik/ sehat yaitu PTPN VIII, PTPN X, PTPN XII. Perusahaan Astra
Agro Lestari yang tergolong sebagai salah satu perusahaan perkebunan besar di Indonesia
pada tahun yang sama hanya memiliki kinerja yang sedang. Namun disamping itu dijumpai
0.00000 1.00000 2.00000 3.00000
Faktor 2 Tahun 2001
-2.00000
-1.00000
0.00000
1.00000 F A k t o r 1 - 2 0 0 1
$
$
$ $
$
$
$ $
$
$
$
$
$
$
$
$ $
$
PTPN I
PTPN II
PTPN IIIPTPN IV
PTPN V
PTPN VI
PTPN VIIPTPN VIII
PTPN IX
PTPN X
PTPN XI
PTPN XII
PTPN XIII
PTPN XIV
AALI
LSIP UNSP
TBLA
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
106
juga beberapa perusahaan perkebunan besar yang mengalami kinerja yang buruk yaitu
PTPN I, PTPN II, PTPN XIV, dan PT London Sumatera.
Adapun kondisi perusahaan perusahaan perkebunan pada tahun 2005 berdasarkan
output analisis kuadran di atas menunjukkan bahwa PTPN IX dan PT Astra Agro Lestari
Tbk tergolong sebagai perusahaan yang memiliki kinerja baik karena mampu mengelola
faktor 1 dan 2 dengan baik pula. Hipotesis bahwa swasta jauh lebih baik tidak tercermin
sepenuhnya dari hasil output, sebab PT London Sumatera Tbk, dan PT Bakrie Plantation
Tbk tergolong dalam perusahaan yang masih cukup lemah dalam mengelola aspek
aktivitas perusahaannya (faktor 2), walaupun berhasil dalam mengelola aspek solvabilitas
dan profitabilitasnya. Kondisi kinerja yang buruk dialami juga oleh perusahaan perkebunan
swasta yaitu PT Tunas Baru Lampung yang menempati kuadran 3 (kuadran yang
menggambarkan kegagalan perusahaan dalam mengelola faktor 1 dan 2).
Gambar 5-5
Analisis Kuadran Rasio Keuangan PTPN Tahun 2005
Sumber: Hasil pengolahan SPSS/ Output SPSS
-1.00000 0.00000 1.00000 2.00000 3.00000Faktor 2 Tahun 2005
-1.00000
0.00000
1.00000
2.00000 F A k t o r 1 - 2 0 0 5 $
$
$$
$
$
$$
$
$$
$
$
$
$
$$
$PTPN I
PTPN II
PTPN IIIPTPN IV
PTPN V
PTPN VI
PTPN VII PTPN VIII
PTPN IX
PTPN X
PTPN XI
PTPN XII
PTPN XIII
PTPN XIV
AALI
LSIP UNSP
TBLA
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
107
Adapun jika hasil penelitian tentang kinerja PTPN dan Swasta pada tahun 2001
dibandingkan dengan tahun 2005 maka tampak bahwa terdapat penurunan jumlah
Perusahaan perkebunan yang dianggap bagus/ sehat yaitu dari tiga perusahaan pada tahun
2001 (PTPN VIII, PTPN X, dan PTPN XII) menjadi hanya dua perusahaan tergolong baik
yaitu PT Asta Agro Lestari dan PTPN IX pada tahun 2005. Di sisi lain, terlihat bahwa
terjadi pula peningkatan jumlah perusahaan perkebunan yang tidak sehat yaitu dari lima
perusahaan di tahun 2001 ( PTPN I, PTPN II, PTPN IX, PTPN XIV, dan PT London
Sumatera) menjadi sembilan perusahaan yang terdiri dari PTPN I, PTPN II, PTPN V,
PTPN VI, PTPN VII, PTPN VIII, PTPN XIII, PTPN XIV, dan PT Tunas Baru Lampung.
Dari kondisi di atas tampak bahwa pada dasarnya perkebunan swasta tidak seunggul yang
dibayangkan meskipun mereka telah dibesarkan dalam kultur yang kompetitif dan
bertujuan memaksimalkan laba. Salah satu fenomena menarik yang memperkuat
pernyataan tadi adalah ketika pada tahun 2001 tidak ditemukan satu pun perusahaan
perkebunan swasta dalam kategori berkinerja baik, dan sebaliknya ketiga perusahaan yang
tergolong memiliki kinerja keuangan yang baik pada tahun itu adalah PTPN VIII, PTPN X,
dan PTPN XII yang tidak lain merupakan BUMN perkebunan.
Dengan mengamati kondisi di atas, maka tampak bahwa perkebunan besar milik
negara (PTPN) sebenarnya dapat bersaing dengan swasta. Hal akan semakin nyata ketika
PTPN secara konsisten berupaya mengelola perusahaan mereka secara baik dan benar atau
dengan kata lain mengaplikasikan budaya Good Corporate Governance (GCG). Oleh
karena itu anggapan bahwa status BUMN yang melekat pada PTPN sebenarnya tidak lagi
menjadi alasan yang relevan dari ketertinggalan dalam mencapai kinerja yang baik dan
dalam hal bersaing dengan swasta.
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007
-
108
Gambar 5-6
Perbandingan Analisis Kuadran Rasio Keuangan PTPN antara Tahun 2001 Tahun 2005
Sumber : Hasil pengolahan SPSS/ Output SPSS
Keterangan: faktor 1 dan 2 pada tahun 2001dan 2005 (lihat hal. 102)
-1.00000 0.00000 1.00000 2.0000 3.00000 Faktor 2 Tahun 2005
-1.00000
0.00000
1.00000
2.00000
FA k t o r 1 - 2 0 0 5
$
$
$$
$
$
$$
$
$$
$
$
$
$
$$
$PTPN I
PTPN II
PTPN IIIPTPN IV
PTPN V
PTPN VI
PTPN VIIPTPN VIII
PTPN IX
PTPN X
PTPN
PTPN XII
PTPN XIII
PTPN XIV
AALI
LSIP
UNSP
TBLA
0.00000 1.00000 2.00000 3.00000
Faktor 2 Tahun 2001
-2.00000
-1.00000
0.00000
1.00000Fak t o r 1 - 2001
$
$
$$
$
$
$ $
$
$
$
$
$
$
$
$ $
$
PTPN I
PTPN II
PTPN IIIPTPN IV PTPN V
PTPN VI
PTPN VIIPTPN VIII
PTPN IX
PTPN X
PTPN XI
PTPN XII
PTPN XIII
PTPN XIV
AALI
LSIP UNSP
TBLA
Analisis pengaruh ..., Lammindo Jelita, FE UI, 2007