PERJUANGAN SUKU KURDI MEMPEROLEH OTONOMI DI KURDISTAN …... · perjuangan suku kurdi memperoleh...
Transcript of PERJUANGAN SUKU KURDI MEMPEROLEH OTONOMI DI KURDISTAN …... · perjuangan suku kurdi memperoleh...
PERJUANGAN SUKU KURDI MEMPEROLEH OTONOMI
DI KURDISTAN IRAK TAHUN 1919-1991
SKRIPSI
Oleh:
Gagus Prasetyawan
NIM : K.4405022
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
ii
PERJUANGAN SUKU KURDI MEMPEROLEH OTONOMI
DI KURDISTAN IRAK TAHUN 1919-1991
Oleh :
Gagus Prasetyawan
NIM : K 4405022
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Saiful Bachri, M.Pd NIP. 131 458 313
Isawati, S.Pd NIP. 132 318 387
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari :
Tanggal :
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Drs. Djono, M.Pd ………………
Sekretaris : Dra.Sri Wahyuni, M.Pd ………………
Anggota I : Drs. Saiful Bachri, M.Pd ………………
Anggota II : Musa Pelu, S.Pd, M.Pd ………………
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP. 19600727 198702 1 001
v
ABSTRACT
Gagus Prasetyawan. K4405022. THE STRUGGLE OF KURDISH TRIBE TO HAVE AUTONOMY IN KURDISHTAN IRAQ IN 1919-1991. Skripsi, Surakarta: Faculty Of Education and Teacher Traning, Sebelas Maret University, June 2009.
The aim of the research is describing: (1) History of the emergence of the struggle of Kurdish tribe movement in Iraq, (2) The struggle of Kurdish tribe to have autonomy in Kurdistan Iraq, (3) The impact of autonomy grant on the unity of internal Kurdish tribes Iraq.
The research uses historical method. Data resource used in the research is primary data resource and the secondary written resource likes books, newspaper, magazine that is relevant with the research problem. The technique of collecting data uses literature study technique by using card/catalog system or computer, and using internet. The technique of data analysis uses historical analysis technique that is analysis majoring incisive style in interpreting historical data by using theoretic framework approach, which comes from the history and social science that is Sociology and Anthropology. Research procedure is done through four steps activities: heuristic, criticism, interpretation, and historiography.
Based on the research result, it can be concluded that: (1) Kurdish tribe is an ethnic group of Indo-Europe descended from the Medes. The majority of Medes people followed Islam Sunni and lived in Kurdistan region, which is currently divided in several countries, such as Turkey, Iran, Iraq, and Syria, so that the struggle of establishing Kurdistan State is difficult to realized and then change their mind to be autonomous region in their each country in order to be able to organize and defend their identity and their culture system, include in Iraq where they have the most aggressive struggle gathered in the Kurdish Democratic Party (KDP) headed by Massoud Barzani and Patriotic Union of Kurdistan (PUK) headed by Jalal Talabani. Both parties, KDP and PUK, become the struggle institution of Kurdish Iraq tribe until now. (2) The struggle of Kurdish tribe In Iraq to obtain their autonomy is against by Iraq government which wants to keep the unity of the nation and protect their oil resource in Kirkuk area, so that the battle is often happened between both parties, with the consequence there are many sacrifice dead. The autonomy given by Iraq government covered Dahuk area, Arbil and Sulaymaniyah in March 11th 1974 is rejected by Kurdish tribe because Kirkuk area is not included in the autonomy area, so that the battle is happened again. Autonomy problem of Kurdishtan Iraq covered Kirkuk area becomes the main difference between Iraq government and Kurdish tribe leader and continue until 1991 in agreement to make peace between the parties, Iraq government and Kurdish tribe. There is not any change. The decision of autonomy area still covers Dahuk area, Arbil and Sulaymiah. (3) Autonomy given in Kurdishatan Iraq area gives impact in the unity between KDP and PUK, although on the way of both paties fight for each other to get authority in north Iraq. Then, the battle is happened again in 1994 until 1997. However, finally, learn from the first experience, KDP and PUK agree to be coalesced and then held general election to perform development program to make prosperity of Kurdish tribe.
vi
ABSTRAK Gagus Prasetyawan. K4405022. PERJUANGAN SUKU KURDI MEMPEROLEH OTONOMI DI KURDISTAN IRAK TAHUN 1919-1991. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juni 2009.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) Sejarah munculnya gerakan perjuangan suku Kurdi di Irak, (2) Proses perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak, (3) Dampak atas pemberian otonomi terhadap persatuan intern suku Kurdi Irak.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder yang berupa buku-buku, surat kabar dan majalah yang relevan dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi pustaka, dengan menggunakan sistem kartu/katalog atau komputer dan memanfaatkan internet. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dan kepekaan dalam menginterpretasi data sejarah dengan pendekatan kerangka teoritik yang berasal dari ilmu sejarah dan ilmu sosial, yaitu dengan pendekatan ilmu Sosiologi dan Antropologi. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Suku Kurdi merupakan suatu kelompok etnis Indo-Eropa keturunan dari Kaum Medes yang mayoritas menganut Islam Sunni dan tinggal di wilayah Kurdistan yang saat ini terbagi dalam beberapa negara seperti Turki, Iran, Iran dan Suriah sehingga menyebabkan perjuangan untuk mendirikan Negara Kurdistan sulit terwujud dan berubah menghendaki wilayah yang otonom di negara masing-masing agar suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya suku Kurdi, termasuk di Irak di mana perjuangannya paling agresif yang dihimpun dalam Partai Demokratik Kurdi / Kurdish Democratic Party (KDP) yang dipimpin Massoud Barzani dan partai Persatuan Patriotik Kurdistan / Patriotic Union of Kurdistan (PUK) yang dipimpin Jalal Talabani. Kedua partai tersebut, yaitu KDP dan PUK sampai saat ini menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak. (2) Perjuangan suku Kurdi di Irak untuk mendapatkan otonomi mendapatkan perlawanan dari pemerintah Irak yang ingin menjaga keutuhan bangsa dan mengamankan sumber minyaknya di wilayah Kirkuk sehingga sering terjadi peperangan antara kedua belah pihak yang mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa. Pemberian otonomi oleh pemerintah Irak yang mencakup wilayah Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah pada tanggal 11 Maret 1974 tidak disetujui suku Kurdi karena wilayah Kirkuk tidak dimasukkan dalam wilayah otonomi sehingga terjadi pertempuran kembali. Permasalahan otonomi Kurdistan Irak yang mencakup wilayah Kirkuk menjadi perbedaan utama antara pemerintah Irak dengan pemimpin suku Kurdi dan terus berlangsung sampai tahun 1991 pada perundingan dalam upaya perdamaian antara pemerintah Irak dengan suku Kurdi yang tetap berujung pada keputusan otonomi atas wilayah Dahuk, Arbil dan
vii
Sulaymaniah. (3) Pemberian otonomi di wilayah Kurdistan Irak berdampak pada persatuan antara KDP dan PUK, meskipun dalam perjalanannya kedua partai tersebut saling berebut pengaruh dan kekuasaan di Irak utara serta terlibat peperangan pada periode tahun 1994 sampai 1997, tetapi belajar dari pengalaman akhinya KDP dan PUK sepakat untuk bersatu dan menyelenggarakan pemilihan umum dengan tujuan melaksanakan program pembangunan untuk kesejahteraan suku Kurdi.
viii
MOTTO
Ø Jika seseorang belum menemukan sesuatu untuk diperjuangkan hingga
akhir hayatnya, maka kehidupannya tidak akan berharga (Martin
Luther King Jr.)
Ø Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan. Hal itu hanya dapat
diraih dengan pengertian (Einstein)
Ø Nilai seseorang itu ditentukan dari keberaniannya memikul tanggung
jawab, mencintai hidup dan pekerjaannya (Kahlil Gibran)
ix
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
1. Ayah dan ibu tercinta
2. Adikku Mega tersayang
3. Seluruh keluarga besarku
4. Almamater
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan
Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak
akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui
atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan
ijin atas penyusunan skripsi ini.
4. Drs. Syaiful Bachri, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Isawati, S.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan
Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon
maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.
7. Muchamad Andriyanto dan ”Captain Jack” atas saran dan motivasinya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Yudi (Udin Penyok) dan Agung (Basir) atas bantuan dan dukungannya dalam
mencari sumber untuk penelitian ini.
9. Kawan-kawan Pendidikan Sejarah Angkatan 2005 atas dukungannya.
10. Negaraku INDONESIA tercinta sebagai tempat berpijak dan banggalah pada
Negerimu serta lakukan yang terbaik untuk INDONESIA.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
xi
Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah
membantu di dalam menyelesaikan skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang
setimpal.
Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Juli 2009
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGAJUAN ........................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... iv
ABSTRAK .. …........................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ................................................................................ viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ ix
KATA PENGANTAR ................................................................................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................ 9
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 10
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori ........................................................................ 11
1. Perjuangan ...................................................................... 11
2. Suku Kurdi … ................................................................. 14
3. Otonomi .......................................................................... 17
4. Konflik ............................................................................ 22
5. Primordial........................................................................ 31
B. Kerangka Berfikir ................................................................ 34
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 36
B. Metode Penelitian ................................................................ 36
C. Sumber Sejarah ................................................................ ..... 38
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 39
E. Teknik Analisi Data ............................................................. 40
xiii
F. Prosedur Penelitian .............................................................. 41
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Profil Negara Irak ................................................................. 45
1. Geografi .......................................................................... 45
2. Penduduk ........................................................................ 47
3. Ekonomi ......................................................................... 48
4. Pemerintahan .................................................................. 50
B. Sejarah Munculnya Gerakan Perjuangan Suku Kurdi
di Irak ................................................................................... 55
C. Proses Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi
di Kurdistan Irak ................................................................... 61
D. Dampak Pemberian Otonomi Terhadap Persatuan Intern
Suku Kurdi di Irak................................................................. 85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 89
B. Implikasi................................................................................ 90
1. Teoritis .............................................................................. 90
2. Praktis ............................................................................... 91
3. Metodologis ...................................................................... 91
C. Saran...................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 94
LAMPIRAN....... ......................................................................................... 99
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Irak................................................................................... 99
Lampiran 2. Peta Kelompok Etnoreligi Irak. ............................................... 100
Lampiran 3. Peta Wilayah Kurdistan Yang Berada di Beberapa Negara
Seperti Turki, Iran, Irak dan Suriah. ........................................ 101
Lampiran 4. Peta Wilayah Kurdistan Irak Setelah Pemberian Otonomi
Tahun 1974............ ................................................................. 102
Lampiran 5. Daftar Tabel Pembagian Daerah di Irak. ................................. 103
Lampiran 6. Gambar Pemimpin Suku Kurdi dari Partai Demokratik
Kurdi (KDP)............................................................................ 104
Lampiran 7. Gambar Jalal Talabani Pemimpin Partai Persatuan Patriotik
Kurdistan (PUK). .................................................................... 105
Lampiran 8. Gambar Para Pejuang Kurdi .................................................... 106
Lampiran 9. Gambar Para Pengungsi Kurdi Setelah Serangan Pasukan Irak
ke Wilayah Kurdstan Irak ...................................................... 107
Lampiran 10. Para Pengungsi Yang Tinggal di Kamp Pengungsian
di Silopi, Turki ........................................................................ 108
Lampiran 11. Perjanjian Perdamaian antara Jalal Talabani dengan Saddam
Hussein Mengenai Masalah Kurdi. ........................................ 109
Lampiran 12. Perjanjian Perdamaian antara Massoud Barzani dengan Saddam
Hussein Mengenai Masalah Kurdi. ........................................ 110
Lampiran 13. Wilayah Otonomi Kurdistan Irak Tahun 1991 Yang
Memperoleh Perlindungan Internasional. .............................. 111
Lampiran 14. Surat permohonan ijin menyusun skripsi. .............................. 112
Lampiran 15. Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan
skripsi ..................................................................................... 113
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Republik Irak adalah sebuah negara di Timur Tengah atau Asia Barat
Daya, yang meliputi sebagian terbesar daerah Mesopotamia serta ujung barat laut
dari Pegunungan Zagros dan bagian timur dari Gurun Suriah yang mempunyai
luas sekitar 438.317 km2. Irak berbatasan dengan Kuwait dan Arab Saudi di
selatan, Arab Saudi, Yordania dan Suriah di barat, Turki di utara, dan Iran di
timur. Irak mempunyai bagian yang sangat sempit dari garis pantai di Umm Qasr
di Teluk Persia (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 88).
Stabilitas negara Irak juga tidak kondusif karena sering terjadi konflik,
baik konflik intern maupun konflik ekstern. Konflik intern seperti konflik antar
golongan (Syiah-Sunni) maupun konflik antara pemerintah dengan suku Kurdi
yang pada awalnya ingin mendirikan negara Kurdistan, tetapi berubah cukup
menghendaki daerah Kurdistan yang otonom. Sedang konflik ekstern melibatkan
Irak dalam beberapa peperangan seperti Perang Parsi tahun 1980-1988 melawan
Iran dan Perang Teluk tahun 1991 melawan pasukan Kuwait dan Pasukan
Multinasional di bawah pimpinan Amerika Serikat.
Menurut data Kementrian Perencanaan Irak, tahun 2008 total penduduk
Irak berjumlah 27 juta orang (mitrafm.com/blog/2008/02/01/). Komposisi
penduduk Irak yakni etnis Arab 75-80 persen dari seluruh penduduk Irak, Kurdi
15-20 persen dan sisanya etnis-etnis kecil semisal Turkoman, Assiria dan lain-
lain sekitar 5 persen. Apabila dilihat dari mazhab yang dianut, Etnis Arab terbagi
dua : sebanyak 60-65 persen Syiah, Sunni 32-37 persen dan sisanya Kristen atau
lainnya berjumlah 3 persen (Trias Kuncahyono, 2005 : 132). Penyebaran
penduduk Irak kurang menguntungkan karena penduduk terkosentrasi secara
geografis di wilayah tertentu. Mayoritas Syia’h menetap di bagian selatan Irak,
Sunni di Irak bagian tengah dan Kurdi mengelompok di Irak utara sehingga Irak
selalu menghadapi masalah integrasi nasional.
xvi
Orang-orang Kurdi adalah suatu kelompok etnis Indo-Eropa (Indo
European tribes) yang mayoritas menganut agama Islam Sunni dan tinggal di
wilayah Kurdistan (tanah orang-orang Kurdi). Wilayah Kurdistan terdapat di
beberapa negara seperti Turki bagian tenggara, Iran Utara, Irak Utara, dan Suriah
Utara. Jumlah Suku Kurdi secara keseluruhan diperkirakan sekitar lebih dari 20
juta orang Kurdi dan terpaksa tinggal di beberapa negara berbeda. Di Turki
terdapat sekitar 10 juta orang Kurdi; di Iran sekitar 6 juta orang Kurdi; di Irak
terdapat lebih dari 5 juta orang Kurdi; dan di Suriah 1 juta lebih. Komunitas-
komunitas yang lebih kecil ada yang tinggal di negara-negara bekas Uni Soviet
dan Lebanon serta ada juga yang telah hijrah dan menetap di Eropa, Amerika dan
Australia (http://swaramuslim.com/islam/more).
Para ilmuwan berpendapat, suku Kurdi berasal dari suku bangsa Medes
yang masuk ke Parsi (Iran) dari kawasan Asia Tengah. Suku Kurdi menguasai
daerah pegunungan Parsi dari Tahun 614 sampai 550 sebelum Masehi. Empat
belas abad kemudian mereka memeluk agama Islam, setelah kedatangan pasukan
Arab Islam dari daratan ke daerah pegunungan Parsi. (M. Riza Sihbudi,1991: 136)
Kurdi merupakan etnis yang relatif tua usia, namun kesadaran terhadap
wilayah baru muncul belakangan, bahkan sangat terlambat. Entitas Kurdi
setidaknya telah dimulai sejak dua ribu tahun sebelum masehi. Suku Kurdi
memang mempunyai kesadaran etnis, tetapi tidak mempunyai kesadaran
kewilayahan, sebagai konsekuensi kultur tradisional nomaden, yang hidup
berpindah-pindah dari Turki dan Iran ke lembah Mesopotamia sambil
menggembala ternak dan bertani. Pasca Perang Dunia I, ketika negara-negara
mulai menetapkan garis perbatasan, barulah kesadaran wilayah kaum Kurdi
muncul terutama karena terdesak dan terpaksa meninggalkan pola hidup
tradisionalnya serta mulai menetap di berbagai pemukiman.
Suku Kurdi mencita-citakan negara Kurdistan merdeka yang sekuler dan
demokratis. Suku Kurdi yang tersebar di Turki, Iran, Irak, dan Suriah sebagai
minoritas etnis sering diabaikan kepentingannya oleh pemerintah masing-masing
negara tersebut, sehingga suku Kurdi ingin memisahkan diri dari negara induk
masing-masing dan bercita-cita mendirikan Negara Kurdistan.
xvii
Perjanjian Sevres (Treaty of Sevres) tahun 1920 di Perancis oleh pihak
Sekutu sebagai pihak yang menang dalam Perang Dunia I dengan Dinasti
Ustmaniah Turki memberikan keuntungan bagi perjuangan suku kurdi. Dalam
perjanjian tersebut ditetapkan pembentukan wilayah Kurdistan merdeka yang
sebelumnya berada dibawah kekuasaan Dinasti Ustmaniah Turki, akan tetapi
Turki tidak mau menjalankan ketentuan mengenai suku Kurdi, bahkan Mustafa
Kemal memaksa sekutu untuk membatalkan perjanjian Sevres yang merugikan
Turki.
Perjanjian Sevres dibatalkan dan digantikan perjanjian Lausane pada 24
Juli 1923, Dalam perjanjian Lausane tersebut, masalah Kurdi tidak disinggung
lagi. Dengan dibebaskannya daerah-daerah Arab dari kekuasaan Dinasti
Ustmaniah Turki dan dibagi-bagi menjadi daerah sekutu, sehingga suku Kurdi
menjadi terpecah belah dan tersebar dalam beberapa negara yaitu Turki, Iran, Irak,
dan Suriah.
Fakta bahwa wilayah Kurdistan berada di beberapa negara menjadi
kendala utama terwujudnya sebuah negara Kurdistan merdeka. Jika dipaksakan
sangatlah sulit karena suku Kurdi harus menghadapi empat negara sekaligus yakni
Turki, Iran, Irak dan Suriah. Berdasarkan kenyataan tersebut, suku Kurdi tidak
lagi mencita-citakan berdirinya sebuah negara Kurdistan, tetapi mendapatkan
wilayah yang otonom sehingga suku Kurdi dapat mengatur diri dan
mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka (M.Riza Sihbudi,
1991:138).
Dibandingkan dengan di Iran dan Turki, jumlah suku Kurdi Irak tergolong
lebih sedikit (sekitar 5 juta), tetapi perjuangan suku Kurdi Irak dalam memperoleh
otonomi dinilai yang paling agresif daripada di Iran dan Turki. Perjuangan suku
Kurdi Iran terakhir terjadi tahun 1979, di mana suku Kurdi Iran terlibat
pertempuran dengan Pasdaran (Pasukan Pengawal Revolusi Iran) dan menelean
korban jiwa sekitar 100 jiwa. Perjuangan suku Kurdi Iran tergabung dalam KDPI
dan Komala (Partai Komunis Iran). KDPI dipimpin oleh Abdullahman
Ghassemlo, tetapi tahun 1985 Ghassemlo terpaksa melakukan negoisasi dengan
Pemerintah Iran yang membuat perjuangan suku Kurdi Iran berhenti. Perjuangan
xviii
suku Kurdi di Turki juga terbilang agresif dan masih berlangsung hingga saat ini.
Perjuangan suku Kurdi Turki dihimpun melalui Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang
menuntut lepas dari Turki dan merdeka dengan pemerintahan sendiri. Pemerintah
Turki menolak memberikan kedaulatan bagi suku Kurdi. Kombinasi kebijakan
represi dan intergrasi secara konsisten yang diterapkan Pemerintah Turki terhadap
suku Kurdi sangat efektif untuk menghancurkan pemberontakan yang dilakukan
suku Kurdi. Sedangkan perjuangan suku Kurdi di Suriah dihimpun melalui Partai
Demokrasi Kurdistan Syiria (Kurdistan Democratic Party of Syria / KDPS) yang
didirikan oleh Osman Sabri bersama beberapa politisi Kurdi tahun 1957. Tujuan
dari pendirian KDPS adalah memperjuangkan hak budaya Kurdi, kemajuan
ekonomi dan perubahan demokratis. Selama ini pemerintah Suriah melarang suku
Kurdi berbicara dengan bahasa Kurdi di depan umum, melarang pendirian partai
politik Kurdi, penolakan untuk mendaftarkan anak-anak dengan nama Kurdi,
larangan bisnis atau mendirikan usaha yang tidak memiliki nama Arab dan
larangan penerbitan buku-buku yang ditulis dalam bahasa Kurdi. KDPS tidak
diakui secara legal oleh negara Suriah dan bergerak sebagai organisasi bawah
tanah (http://en.wikipedia.org/wiki/Kurdish_people&prev=/translate).
Perjuangan suku Kurdi Irak paling agresif terlihat dengan seringnya terjadi
bentrokan secara fisik dengan pemerintah Irak yang mengakibatkan banyak jatuh
korban jiwa. Pemerintah Irak sangat menentang adanya pemberontakan yang
mengganggu stabilitas negara dan untuk menghadapinya sering mengerahkan
kekuatan militer untuk memadamkan pemberontakan suku Kurdi. Pemerintah Irak
juga ingin mengamankan penghasilan minyaknya karena di daerah Kurdistan kaya
akan minyak seperti wilayah Kirkuk. Jika suku Kurdi diberi otonomi luas
otomatis pemasukan negara berkurang dan ditakutkan dengan modal minyak suku
Kurdi dapat membeli persenjataan dan membangun kekuatan militer dengan
tujuan melakukan pemberontakan yang lebih besar pada pemerintah serta
ditakutkan berujung pada pembentukan Negara Kurdistan merdeka. Hal ini dapat
membangkitkan nasionalisme suku Kurdi yang tinggal di Iran, Turki dan Suriah
sehingga akan mengganggu stabilitas keamanan di wilayah tersebut.
xix
Perjuangan suku Kurdi untuk memperjuangkan nasib suku bangsanya
dimulai pada abad 19, tepatnya tahun 1880, ketika pecah pemberontakan yang
dipimpin oleh tokoh Kurdi, Syaikh Ubaydullah, di propinsi Hakari yang berada di
bawah kekusaan Dinasti Utsmaniah Turki. Perjuangan suku Kurdi di Irak dimulai
tahun 1919 yang dipimpin oleh Syaikh Mahmud yang memproklamirkan
Sulaymaniah sebagai wilayah yang merdeka dari kekuasaan Inggris, meskipun
akhirnya Inggris berhasil menundukkan Syaikh Mahmud (Daliman, 2000 : 132).
Tahun 1923, Syaikh Ahmad Barzani dan adiknya Mullah Mustafa Barzani
(Kurdistan Irak) mulai melancarkan kampanye guna mendapatkan otonomi bagi
wilayah Kurdistan Irak. Tahun 1946, Mullah Mustafa Barzani mendirikan Partai
Demokratik Kurdi (Kurdish Democratic Party / KDP) di Uni Soviet pada masa
pengasingannya. Partai tersebut beranggotakan sekelompok intelektual Kurdi dan
memperoleh dukungan dari suku Kurdi yang tinggal di pegunungan. Partai
Demokratik Kurdi-Irak baru diakui oleh pemerintah Irak tahun 1958 ketika terjadi
kudeta di Irak. Selain KDP, orang-orang Kurdi Irak juga mempunyai partai politik
yang dibentuk Jalal Talabani, yaitu partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic
Union of Kurdistan / PUK). Jalal Talabani semula adalah anggota terkemuka
KDP, tetapi keluar karena sering bentrok dengan Mustafa Barzani yang kemudian
tahun 1975 ia mendirikan PUK sebagai partai modern. Hingga sampai saat ini
KDP dan PUK menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak (Trias Kuncahyono,
2005 : 173).
Pada bulan Maret 1961 suku Kurdi yang berdiam di Irak Utara
mengadakan perlawanan terhadap Baghdad yang menolak tuntutan Kurdi untuk
memperoleh otonomi. Pada saat itu Barzani memproklamirkam kemerdekaan
negara Kurdi. Dalam pemberontakan tersebut, orang-orang Kurdi berhasil
mendesak pasukan pemerintah Baghdad, sehingga diadakan perundingan dan
gencatan senjata di kota dekat Sulaymaniah pada bulan Januari dan Februari.
Bulan Desember 1965 terjadi pertempuran lagi dan meluas sampai ke perbatasan
Irak-Iran hingga mengakibatkan tarjadinya ketegangan dikedua pihak pada awal
tahun 1966. Pemerintah Bagdad mendengungkan bahwa Kurdi mendapat bantuan
xx
dari Iran. Kurdi terus berjuang dan menuntut otonomi sambil menyerukan campur
tangan PBB.
Tahun 1970 ditetapkan perjanjian perdamaian yang terdiri 15 pasal yang
diumumkan oleh Dewan Pimpinan Revolusioner dan pemimpin Kurdi yang di
dalamnya termaktub aspirasi Kurdi, yaitu orang-orang Kurdi harus turut serta
sepenuhnya di dalam pemerintahan, pemimpin Kurdi ditunjuk di daerah yang di
diami mayoritas Kurdi, bahasa Kurdi menjadi bahasa sejajar dengan bahasa Arab
di daerah Kurdi, pembangunan di daerah Kurdi akan diwujudkan, konstitusi akan
ditinjau kembali untuk mencantumkan hak-hak Kurdi. Meskipun persetujuan
dengan Kurdi itu tidak seluruhnya memuaskan, tetapi sekurang-kurangnya sudah
membawa stabilitas di Irak dan memungkinkan dimulainya pembaharuan (Nasir
Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 203).
Agustus 1974, perang Kurdi mengalami babak baru. Pemerintah Irak
mengerahkan kekutan militer yang besar untuk melawan pasukan Barzani
(peshmarga) dengan menggunakan tank, meriam dan pesawat pembom. Sekitar
130.000 orang Kurdi terutama terdiri dari wanita, anak-anak dan orang tua
mengungsi ke Iran. Pasukan Barzani bisa bertahan berkat bantuan Iran berupa
senjata dan perlengkapan lainnya. Pada saat pertemuan OPEC (6 Maret 1975) di
Aljazair, ditandatangani persetujuan antara Irak-Iran untuk mengakhiri
perselisihan tentang perbatasan. Irak dan Iran juga setuju untuk mengakhiri
subversif sehingga pemberontakan suku Kurdi pun berhenti.. Gencatan senjata
ditetapkan Maret 1975. Bulan Februari 1976, Partai Demokrasi Kurdi menyusun
kekuatan lagi dan bulan Maret terjadi bentrokan antara Kurdi dengan pasukan
keamanan Irak di Ruwanduz.
Tahun 1977 dilaksanakan program pembangunan kembali dan bulan April
sekitar 40.000 orang Kurdi diizinkan kembali ke daerah Irak Utara. Dewan
Eksekutif daerah otonomi Kurdi memutuskan bahwa bahasa Kurdi dipakai
sebagai bahasa resmi dalam komunikasi oleh semua departemen pemerintahan di
daerah otonomi Kurdi yang tidak punya hubungan dengan pemerintah pusat
(Daliman, 2000 : 139).
xxi
Tampilnya Saddam Hussein sebagai Presiden Irak pada 16 Juli 1979
membuat perjuangan suku Kurdi semakin sulit karena Saddam sendiri sering
meggunakan kekuatan militer untuk menghancurkan pemberontak Kurdi. Pada
tahun 1988 pemerintah Irak telah dua kali melancarkan serangan besar-besaran
dengan senjata kimia terhadap penduduk suku Kurdi. Yang pertama, 16 Maret
1988 Angkatan Udara Irak menghujani bom-bom kimia di kota Halabjah, Irak
Utara dan menewaskan 5.000 warga Kurdi. Yang kedua, serangan yang sama
dilancarkan di Irak di desa Butiam Esi, Amadiyah, dan sejumlah desa lain di
Kurdistan, dari tanggal 25 Agustus sampai 5 September dan menewaskan sekitar
2.500 warga Kurdi. Serangan pasukan Saddam Hussien tahun 1988 ini
menyebabkan sekitar 60.000 orang Kurdi Irak terpaksa mengungsi ke Iran dan
Turki (M. Riza Sihbudi, 1991 : 135).
Pemerintah Irak menganggap serangan yang dilancarkan terhadap suku
Kurdi sebagai sesuatu yang “wajar”, karena suku Kurdi Irak dianggap sebagai
“kaum pengkhianat yang patut dibasmi”, sebab selama hampir delapan tahun (22
September 1980-20 Agustus 1988) berlangsung perang Parsi (Irak-Iran), suku
Kurdi Irak justru berpihak pada pasukan Ayatullah Khomeini dan memerangi
pasukan pemerintah Irak. Keberhasilan Iran merebut Halabjah dan Sulaymaniah
(dua kota yang terletak di Kurdistan Irak) tidak terlepas dari bantuan yang
diberikan suku Kurdi Irak (M. Riza Sihbudi, 1991 : 135).
Pasca Perang Teluk tahun 1991 suku Kurdi melakukan pemberontakan
kembali dan dalam waktu tiga pekan semua wilayah Kurdi di Irak Utara bergolak.
Kota-kota seperti Ranya, Sulaymaniah, Erbil, Duhok, Aqra dan Kirkuk mereka
kuasai. Pasukan Irak (Garda Republik) bergerak dengan cepat dan dalam tempo
seminggu wilayah-wilayah itu sudah direbut kembali. Serangan tersebut
menyebabkan tak kurang dari 2,25 juta orang Kurdi di Irak Utara terpaksa
mengungsi ke Iran dan Turki (Trias Kuncahyono, 2005 : 165)
Serangan pemerintah Irak terhadap suku Kurdi mendapat kecaman keras
dari Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Tanggal 5 April 1991 Dewan
Keamanan PBB bereaksi dengan mengeluarkan Resolusi PBB Nomer 688 yang
memberlakukan kawasan larangan terbang di atas wilayah 36 derajat garis lintang
xxii
sejajar pada Irak bagian utara untuk melindungi suku Kurdi dari pengeboman
pesawat-pesawat tempur Irak (David McDowall, 2000 : 373).
Manfaat larangan terbang dirasakan oleh suku Kurdi karena tidak mudah
bagi tentara Irak untuk menyerang suku Kurdi di bukit-bukit Kurdistan tanpa
bantuan pesawat tempur. Tahun 1991 dicapai persetujuan antara Baghdad dan
pemimpin Kurdi untuk memberi otonomi kepada suku Kurdi di Irak Utara yang
meliputi wilayah Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah. Wilayah otonomi tersebut
berada dalam perlindungan PBB dan pasukan koalisi untuk melindungi suku
Kurdi atas tindakan militer Saddam Hussein. Walaupun begitu suku Kurdi tetap
belum merasa puas karena Kirkuk tidak dimasukkan dalam wilayah Kurdistan
otonom.
Dalam perkembangannya setelah pemberian otonomi di Kurdistan Irak,
Saddam kembali mengerahkan sekitar 30.000 pasukannya untuk menyerang
wilayah Kurdistan dan menduduki ibu kotanya Arbil, awal September 1996.
Pemerintah Irak beralasan, serangan ini dilakukan karena memenuhi permintaan
pimpinan Partai Demokrasi Kurdistan, Masoud Barzani untuk mengusir lawannya
pemimpin partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan /
PUK) Jalal Talabani dan pasukannya dari kota Arbil (Mustofa Abd. Rahman,
2003 : 3)
Jika dibandingkan di Iran dan Turki, jumlah suku Kurdi Irak tergolong
yang paling sedikit (sekitar 5 juta), tetapi rezim Partai Sosialis Ba’ath di bawah
pimpinan Saddam Hussein yang berkuasa di Irak belum berhasil menumpas
perjuangan suku Kurdi. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain;
1) Suku Kurdi merupakan kelompok etnis minoritas terbesar di Irak yang
menguasai hamper seperlima wilayah negeri ini. Akibatnya, walaupun
berkali-kali Saddam Hussein mendeportasi Peshmarga, dengan mudah
mereka kembali ke Irak.
2) Sejak 1982, untuk pertama kalinya dalam sejarah suku Kurdi, dua partai
utama Kurdi Irak, KDP yang dipimpin Masoud Barzani dan PUK yang
dipimpin Jalal Talabani, sepakat bersatu melawan rezim Saddam Hussein.
xxiii
Dua kekuatan yang menyatu tentu lebih memperkukuh posisi suku Kurdi
dalam menghadapi pasukan Saddam Hussein.
3) Berkaitan dengan posisi rezim Bagdad sendiri, walaupun di luar tampak
“kukuh”, posisi rezim Baath dalam kenyataannya agak rapuh. Asumsi ini
didasarkan pada fakta bahwa mayoritas penduduk Irak menganut Mazhad
Syiah, sedang rezim yang berkuasa menganut mazhab Sunni (M. Riza
Sihbudi, 1991: 140)
Perjuangan suku Kurdi di Irak dalam memperoleh otonomi di wilayah
Kurdistan terasa sulit. Hal ini disebabkan beberapa kendala, antara lain;
1) perjuangan suku Kurdi mendapatkan perlawanan yang sengit dari pasukan
Irak dan bahkan beberapa kali wilayah Kurdistan dihujani bom-bom milik
militer Saddam Hussein.
2) Suku Kurdi kurang mendapat perhatian dan dukungan dari dunia
internasional.
3) Dalam tubuh suku Kurdi sendiri ada keterpecahan dimana terjadi
perseturuan di antara orang-orang atau antar faksi Kurdi sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mendiskripsikan
penelitian mengenai “Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi di
Kurdistan Irak Tahun 1919-1991”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dijadikan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana sejarah munculnya gerakan perjuangan suku Kurdi di Irak ?
2. Bagaimana proses perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di
Kurdistan Irak ?
3. Bagaimana dampak atas pemberian otonomi terhadap persatuan intern
suku Kurdi Irak ?
xxiv
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun dengan tujuan :
1. Mengetahui sejarah munculnya gerakan perjuangan suku Kurdi di Irak.
2. Mengetahui proses perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di
Kurdistan Irak.
3. Mengetahui dampak atas pemberian otonomi terhadap persatuan intern
suku Kurdi Irak.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Manfaat Teoritis
1. Diharapkan agar dapat mengetahui gambaran yang benar tentang kondisi
di negara Irak khususnya perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di
Kurdistan Irak.
2. Sebagai acuan dan referensi dalam usaha untuk mengetahui lebih lanjut
tentang perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memenuhi satu syarat guna meraih gelar Sarjana Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS.
2. Dapat melengkapi koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan khususnya
mengenai perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak.
xxv
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Perjuangan
a. Pengertian Perjuangan
Menurut Wojowarsito (1972 : 25), perjuangan berasal dari kata “juang”
yang berarti mempertahankan hidupnya atau menyampaikan maksudnya.
Perjuangan juga diartikan sebagai usaha untuk mencapai suatu maksud.
Perjuangan mengandung unsur usaha dan tujuan. Usaha ini dimaksudkan sebagai
cara dan ikhtiar yang digunakan dalam proses untuk mencari yang diinginkannya.
Sedangkan tujuan merupakan sasaran akhir setiap usaha yang dilakukan, baik oleh
individu maupun kelompok.
Maurice Duverger (1988: 171-178) menyebutkan berbagai definisi
perjuangan dari berbagai sudut pandang yaitu :
1) Kaum konservatif tradisional menganggap perjuangan adalah usaha untuk
merebut kekuasaan dan menempatkan elite (mereka yang mampu
melaksanakan kekuasaan) melawan massa (mereka yang menolak untuk
mengakui superioritas alami dari elite dan haknya untuk memerintah).
2) Kaum Liberal melihat perjuangan dalam bidang politik sama seperti
perjuangan ekonomi yaitu suatu bentuk struggle for life yang secara
mendasar menempatkan satu spesies melawan yang lain dan individu di
dalam spesies tertentu melawan yang lain.
3) Kaum Marxis melihat perjuangan disebabkan oleh perjuangan kelas yaitu
pertentangan antara kelompok sosial yang terjadi dalam masyarakat karena
adanya perbedaan kepentingan.
Sukarno (1984 : 9) mengartikan perjuangan dalam arti luas yaitu
membangun materiil dan moril agar mencapai kehidupan yang lebih baik.
Selanjutnya dikemukakan tentang perjuangan individu yaitu perjuangan
mempergunakan atau mengalahkan keadaan agar eksistensinya (luar dalam)
xxvi
tumbuh dan berkembang. Dari pengertian ini, perjuangan oleh Sukarno diartikan
sebagai membangun. Sarana perjuangan adalah mempergunakan keadaan dan
menundukkan keadaan, agar eksistensinya tetap subur dan berkembang.
Dari beberapa pengertian tentang perjuangan di atas, dapat disimpulkan
bahwa perjuangan adalah suatu usaha atau ikhtiar yang dilakukan individu
maupun kelompok untuk mencapai suatu maksud dan tujuan yang diharapkan.
Perjuangan yang dilakukan oleh suku Kurdi bertujuan untuk memperoleh otonomi
di Kurdistan Irak sebagai tempat untuk suku Kurdi dapat mengatur diri dan
mempertahankan identitas serta sistem budaya suku Kurdi.
b. Macam-Macam Perjuangan
Maurice Duverger (1988 : 315) mengkategorikan perjuangan ke dalam dua
bentuk yaitu perjuangan terbuka dan perjuangan diam-diam, berkaitan dengan dua
tipe rezim politik yang besar. Dalam demokrasi, perjuangan politik terjadi secara
terbuka, disaksikan secara penuh oleh publik. Sedangkan dalam rezim Aristokrasi,
perjuangan diam-diam harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan ditutup-
tutupi
Max Weber (1985 : 67) mengkategorikan perjuangan dalam dua wujud
atau bentuk, yaitu perjuangan fisik dan non fisik. Perjuangan fisik adalah suatu
bentuk usaha perlawanan untuk mencapai sesuatu tujuan dengan menggunakan
benda, baik berupa senjata maupun benda-benda lain yang digunakan. Sedangkan
perjuangan non fisik adalah suatu usaha ikhtiar dan perlawanan dalam mencapai
tujuan yang diinginkan tanpa menggunakan benda sebgaia sarananya. Perjuangan
non fisik lepas dari kekerasan aktual dan lebih mengarah pada usaha yang bersifat
damai.
Perjuangan non fisik merupakan perjuangan yang lebih mengarah pada
politik diplomasi. Diplomasi berarti tidak melakukan tindakan politik agresif
terhadap musuh (Selo Sumarjan, 1978 : 78). Perjuangan non fisik atau damai
dapat dilakukan dengan perundingan-perundingan sebagai alternatif penyesuaian
suatu masalah. Perjuangan ini merupakan usaha-usaha politik yang dapat
menempatkan diripada posisi yang menguntungkan dalam arti mencegah
xxvii
kerugian-kerugian yang diderita jika dibanding dengan perjuangan yang
menggunakan kekerasan.
Perjuangan fisik lebih mengarah konfrontasi fisik dalam mencapai tujuan.
Pertempuran, peperangan, penggulingan kekuasaan dengan kudeta, bentrokan
bersenjata merupakan contoh perjuangan fisik, banyak condong ke arah negatif
seperti kematian, cacat seumur hidup, kerusakan harta benda, kehilangan keluarga
bahkan habisnya populasi penduduk di suatu wilayah. Sarana perjuangan fisik
dapat berupa senjata-senjata tajam, benda-benda tumpul, senjata-senjata api
bahkan senjata mematikan lainnya yang sangat dahsyat yaitu nuklir.
Perjuangan Suku Kurdi untuk memperoleh otonomi di Kurdistan Irak
lebih condong ke perjuangan fisik dengan seringnya terjadi pertempuran dan
peperangan melawan pemerintah Irak yang juga mengerahkan kekuatan
militernya untuk melumpuhkan pemberontakan suku Kurdi. Akibat yang
ditimbulkan dari seringnya pertempuran antara kedua belah pihak banyak jatuh
korban jiwa, serta orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa
mengungsi.
c. Faktor-Faktor Penunjang Keberhasilan Perjuangan.
Sukarno (1984 : 6) berpendapat bahwa besar kecilnya keberhasilan dan
kemauan untuk berjuang dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya adalah
sebagai berikut :
1) Menarik tidaknya tujuan atau cita-cita yang memanggil.
2) Adanya rasa mampu, rasa bisa, rasa sanggup di kalangan massa itu.
3) Adanya tenaga atau kekuatan yang ada di dalam individu maupun
kelompok massa.
Dari pendapat Sukarno di atas dapat dijabarkan bahwa suatu perjuangan
dipengaruhi olek faktor intern dan faktor ekstern, baik secara individu maupun
kelompok. Faktor intern tersebut merupakan faktor yang berasal dari dalam
individu sehingga motivasi diri untuk melakukan perjuangan. Faktor dari dalam
diri antara lain motivasi pribadi, adanya kemauan, adanya rasa optimis akan
tercapainya tujuan dan rasa mampu untuk melakukannya. Sedangkan faktor
xxviii
ekstern adalah faktor yang berasal dari luar individu maupun kelompok yang
mendukung perjuangan. Faktor-faktor tersebut dapat berwujud materi dan non
materi. Materi sebagai contohnya adalah keuangan, sarana dan prasarana dalam
perjuangan, sedangkan non materi dapat berwujud dukungan.
Cita-cita untuk mempunyai negara Kurdistan di tanah Kurdistan
mendorong suku Kurdi untuk mewujudkannya agar suku Kurdi dapat mengatur
diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka. Fakta bahwa
wilayah Kurdistan terbagi dalam beberapa negara yaitu Turki, Iran. Irak dan
Suriah membuat cita-cita untuk mendirikan negara Kurdistan sulit terwujud. Suku
Kurdi cukup menghendaki otonomi di wilayah Kurdistan sehingga suku Kurdi
dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka.
Perjuangan suku Kurdi Irak untuk memperoleh otonomi di tentang oleh
Pemerintah Irak sehingga perjuangan suku Kurdi lebih mengarah kepada
perjuangan fisik dengan seringnya terjadi pertempuran dan peperangan melawan
pemerintah Irak yang juga mengerahkan kekuatan militernya untuk melumpuhkan
pemberontakan suku Kurdi. Perjuangan suku Kurdi juga tidak mendapatkan
dukungan dari dunia internasional khususnya negara-negara Arab. Suku Kurdi
justru dimanfaatkan oleh negara-negara asing seperti Iran dan Amerika yang
mempunyai kepentingan di Irak. Jika tujuan negara-negara tersebut sudah
tercapai, suku Kurdi ditinggalkan dan harus berjuang sendiri untuk memperoleh
otonomi di Kurdistan Irak.
2. Suku Kurdi
a. Pengertian Etnis
Menurut Alo Liliweri (2001 : 334-335), etnisitas berhubungan dengan
konsep tentang etnis, antara lain :
1) Etnis berasal dan bahasa Yunani “etnichos”, secara harafiah digunakan
untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah berhala atau
kafir. Dalam perkembangannya, istilah etnis mengacu pada kelompok
yang diasumsikan sebagai kelompok yang fanatik dengan ideologinya.
xxix
2) Etnisitas yang merujuk pada penggolongan etnis berdasarkan afiliasi.
3) Etnosentrisme merupakan sikap emosional semua kelompok etnis, suku
bangsa, agama, atau golongan yang merasa etnisnya superior daripada
etnis lain
4) Etnografi adalah salah satu bidang antropologi yang mempelajari secara
deskriptif suatu kelompok etnis tertentu.
5) Etnologi mempelajari perbandingan kebudayaan kontemporer dan masa
lalu dan suatu etnis.
Menurut Kamus Indonesia Kontemporer (1991 : 409) etnis berkenaan
dengan perbedaan kelompok dalam suatu masyarakat yang didasarkan atas adat-
istiadat, bahasa, kebudayaan atau sejarahnya.
Menurut Barth dan Zastrow yang dikutip Alo Liliweri (2001 : 335), etnis
adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun
kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya.
Menurut Narroll yang dikutip Fredrik Barth (1988 : 11) kelompok etnis
dikenal sebagai populasi yang:
1) Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan. 2) Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa
kebersamaan dalam suatu bentuk budaya. 3) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. 4) Menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan
dapat dibedakan dan kelompok populasi lain. Donald L. Horowitz yang dikutip Larry Diamond dan Marc F. Plattner
(1998 : 20a) mendefinisikan kelompok etnis sebagai suatu kelompok yang sangat
eksklusif dan relatif berskala besar yang didasarkan pada ide tentang kesamaan
asal-usul, keanggotaan yang terutama berdasarkan kekerabatan, dan secara khusus
menunjukkan kadar kekhasan budaya, yang mencakup kelompok-kelompok yang
dibedakan oleh warna kulit, bahasa, dan agama. Etnis meliputi suku bangsa, ras,
kebangsaan dan kasta.
Menurut Koentjaraningrat (1990 : 264 ), suku bangsa atau dalam bahasa
Inggris ethnic group (kelompok etnis) adalah suatu golongan manusia yang terikat
xxx
kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas
seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa.
Menurut Francis yang dikutip Indiato (2004 : 44), kelompok etnis adalah
suatu komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat istiadat, kebiasaan,
wilayah dan sejarah yang ditandai oleh persamaan ikatan batin (wefeeling)
diantara anggotanya.
Fredrik Barth (1988 : 10) mendefinisikan kelompok etnis adalah suatu
kelompok yang terbentuk karena adanya ciri yang ditentukan oleh kelompok itu
sendiri, yang kemudian membentuk pola tersendiri dalam hubungan interaksi
antara sesamanya.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa etnis atau
kelompok etnis adalah suatu kelompok yang didasarkan kesamaan asal-usul, adat-
istiadat, bahasa, kebudayaan dan wilayah yang ditandai oleh persamaan ikatan
batin diantara anggotanya.
Dari beberapa pengertian etnis, dapat disimpulkan bahwa suku Kurdi
sebagai suatu kelompok etnis di Irak selain etnis Arab dan etnis minoritas
Turkoman serta Assirya. Suku Kurdi sebagai kelompok etnis mempunyai
kesamaan asal-usul, adat-istiadat, bahasa (Kurmanji dan sorani/kurdi),
kebudayaan, dan wilayah (Kurdistan), namun saat ini mereka terpecah dalam
beberapa negara seperti Turki, Iran, Suriah dan di Irak.
b. Suku Kurdi
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (1998 : 777), istilah ”suku” mempunyai
arti golongan, etnis ; sedangkan “suku bangsa” adalah kesatuan sosial yang dapat
dibedakan dari keatuan sosial lain berdasarkan perbedaan kebudayaan. Menurut
Koentjaraningrat (1990 : 264 ), suku bangsa atau dalam bahasa Inggris ethnic
group (kelompok etnis) adalah suatu golongan manusia yang terikat kesadaran
dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas seringkali
dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Menurut Donald L. Horowitz, etnis meliputi suku
bangsa, ras, kebangsaan dan kasta (Larry Diamond dan Marc F. Plattner, 1998 :
20a).
xxxi
Suku Kurdi merupakan suatu kelompok etnis di Irak selain etnis Arab dan
etnis minoritas Turkoman serta Assirya. Suku Kurdi adalah suatu kelompok etnis
Indo-Eropa (Indo European tribes) yang mayoritas menganut agama Islam Sunni
dan tinggal di wilayah Kurdistan (tanah orang-orang Kurdi). Wilayah Kurdistan
saat ini terdapat di beberapa negara seperti Turki, Iran, Irak, dan Suriah. Suku
Kurdi berasal dari suku bangsa Medes yang masuk ke Parsi (Iran) dari kawasan
Asia Tengah yang menguasai daerah pegunungan Parsi dari Tahun 614 sampai
550 sebelum Masehi. Suku Kurdi sebagai kelompok etnis memiliki bahasa sendiri
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yakni Kurmanji dan Sorani/kurdi.
Suku Kurdi merupakan etnis yang relatif tua, tetapi kesadaran terhadap wilayah
sebagai tempat mereka tinggal baru muncul belakangan dan terlambat sebagai
konsekuensi atas kultur tradisional nomaden, yang hidup berpindah-pindah sambil
ternak dan bertani. Pasca Perang Dunia I, ketika negara-negara mulai menetapkan
garis perbatasan, barulah kesadaran wilayah suku Kurdi muncul, terutama karena
terdesak dan terpaksa meninggalkan pola hidup tradisionalnya, serta mulai hidup
menetap.
3. Otonomi
a. Pengertian Otonomi
Menurut Mustopadidjaja A.R, otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
autos dan nomos. Autos artinya sendiri, sedangkan nomos berarti hukum atau
aturan. Sebagai istilah, pengertian otonomi autos nomos atau autonomous dalam
bahasa Inggris adalah kata sifat yang berarti: (1) keberadaan atau keberfungsian
secara bebas atau independen; dan (2) memiliki pemerintahan sendiri, sebagai
negara atau kelompok dan sebagainya. Sedangkan pengertian otonomi (autonomy)
sebagai kata benda adalah (1) keadaan atau kualitas yang bersifat independen,
khususnya kekuasaan atau hak memiliki pemerintahan sendiri; dan (2) negara,
masyarakat, atau kelompok yang memiliki pemerintahan sendiri yang independen
(www.bappenas.go.id/Mustopadidjaja AR).
xxxii
Menurut Syahda Guruh L.S (2000 : 74) otonomi mengandung beberapa
pengertian sebagai berikut :
1) Otonomi adalah suatu kondisi atau ciri untuk ”tidak dikontrol” oleh pihak lain maupun kekuatan luar.
2) Otonomi adalah ”bentuk pemerintahan sendiri” (self-government), yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasib sendiri (the right of self-government; self-determination).
3) Pemerintahan sendiri yang dihormati, diakui, dan dijamin tidak adanya kontrol oleh pihak lain terhadap fungsi daerah (local or internal affairs) atau terhadap minoritas suatu bangsa.
4) Pemerintahan otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan nasib sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup maupun dalam mencapai tujuan hidup secara adil (self-determination, self-sufficiency, self-reliance).
5) Pemerintahan otonomi memiliki supremasi/ dominasi kekuasaan (supremacy of authority) atau hukum (rule) yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemegang kekuasaan di daerah.
Otonomi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah
untuk mengatur dan mengelola demi kepentingan wilayah atau daerah masyarakat
itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan
termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat-
istiadat daerah lingkungannya. Suatu daerah diberi otonomi karena keadaan
geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut,
sehingga diperlukan hukum-hukum khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk
daerah tersebut (id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah).
Menurut Bagir Manan yang dikutip H. Andi Mustari Pile (1999 : 40),
otonomi sebagai kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah
untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintah
yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau
merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut
Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32. Tahun 2004 sebagai
amandemen UU No. 22. Tahun 1999 adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pheni Chalid, 2005 : 21).
xxxiii
H.A.W. Widjaja (2004 : x) mendefinisikan otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Pheni Chalid (2005 :
15), otonomi daerah adalah manifestasi dari keinginan untuk mengatur dan
mengaktualisasikan seluruh potensi daerah secara maksimal yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
otonomi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah untuk
mengatur, mengurus dan mengelola sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan
keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan
tradisi adat-istiadat daerah lingkungannya yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
Menurut Winarno Surya .A (1999 : 1-2), ada 3 jenis otonomi, yakni :
1) Otonomi formal, yaitu suatu sistem otonomi di mana yang diatur adalah
kewenangan-kewenangan pemerintah yang dipegang oleh pemerintah
pusat dalam bidang pertahanan, politik luar negeri, peradilan,
moneter/fiskal dan kewenangan lainnya. Sedangkan kewenangan daerah
adalah kewenangan di luar kewenangan pemerintah pusat tersebut.
2) Otonomi materiil, yaitu suatu jenis otonomi daerah di mana kewenangan-
kewenangan daerah otonom telah dirinci secara tegas dan daerah otonom
hanya boleh mengatur urusan pemerintahan yang secara tegas di
masukkan sebagai urusan rumah tangga daerah.
3) Otonomi riil, yaitu suatu sistem otonomi di mana kewenangan-
kewenangan daerah otonom yang dilimpahkan pemerintah pusat
disesuaikan dengan kemampuan nyata dari daerah otonom yang
bersangkutan.
Tujuan pemberian otonomi seperti yang dikemukakan oleh Sujamto
(1991:4) adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan
xxxiv
terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan
kesatuan bangsa.
b. Otonomi dan Kekuasaan Pusat
Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip
demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan
memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan
keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dianggap penting
karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di
berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan
mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi
daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang sebelumnya tersentralisasi
di tangan Pemerintah Pusat. Desentralisasi dan otonomi merupakan suatu bentuk
sistem penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenang di bidang
tertentu dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Pheni Chalid,
2005:15). Dalam proses desentralisasi tersebut, kekuasaan Pemerintah Pusat
dialihkan dari tingkat pusat ke Pemerintahan Daerah, sehingga terjadi pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah dalam bentuk pemberian, pelimpahan dan
penyerahan sebagian tugas-tugas Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
Otonomi daerah secara politis merupakan satu bentuk desentralisasi
kebijakan pemerintahan yang pada hakikatnya ditujukan untuk mendekatkan
pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Secara sosial akan mendorong masyarakat ke arah swakelola dengan
memfungsikan pranata sosial dalam menyelesaikan persoalan yang mereka
hadapi. Secara ekonomi, sistem ini dapat mencegah ekploitasi pusat terhadap
xxxv
daerah, menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong masyarakat untuk
lebih produktif. Secara administratif akan mampu meningkatkan kemampuan
daerah dalam melakukan perencanaan, pengorganisasian, meningkatkan
akuntabilitas atau pertanggungjawabnan publik (Pheni Chalid, 2005 : 5).
Otonomi daerah dilaksanakan dengan asumsi dasar memberikan hak
kepada daerah untuk mengatur daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan
bertanggungjawab. Menurut Pheni Chalid (2005 : 32) wujud otonomi daerah dari
Pemerintah Pusat, berupa :
1) Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan
kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama (kewenangan Pemerintah Pusat),
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan
otonomi mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian
dan evaluasi.
2) Otonomi yang nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan di bidang tertentu yaitu yang dapat hidup, tumbuh dan
berkembang di daerah itu yang keberadaannya dapat dibuktikan secara
nyata.
3) Otonomi yang bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban
atas konsekuensi pemberian hak dan wewenang kepada daerah berupa
peningkatan di bidang pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin berkembang, keadilan
dan pemerataan, serta hubungan pusat-daerah yang serasi.
Dalam Negara Kesatuan kekuasaan negara terletak pada Pemerintah Pusat
bukan pada Pemerintah Daerah, tetapi Pemerintah Pusat dapat menyerahkan
sebagian kekuasaannya kepada Pemerintah Daerah dalam wujud otonomi. Hal ini
terkait dengan luasnya daerah, makin banyak tugas yang diurus Pemerintah Pusat,
sejalan dengan kemajuan masyarakat dan negara, perbedaan daerah satu dengan
yang lain yang sukar diatur secara memusat. Jika keadaan daerah sudah
xxxvi
memungkinkan, Pusat menyerahkan kepada daerah-daerah untuk mengurus dan
menyelenggarakan sendiri kebutuhan-kebutuhan khusus bagi daerah-daerah
tersebut. Pemerintah Daerah turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral dalam
daerahnya menurut instruksi-instruksi dari Pemerintah Pusat serta Pemerintah
Pusat tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah
otonom (H. Andi Mustari Pile, 1999 : 29).
Otonomi yang dituntut oleh suku Kurdi adalah otonomi luas yaitu daerah
otonom yang tetap bagian dari teritori Irak dan rakyat Kurdi tetap bagian dari
rakyat Irak. Dengan otonomi luas, suku Kurdi dapat menyelenggarakan
administrasi pemerintahan sendiri, mempertahankan identitas dan sistem budaya
mereka serta mengatur sendiri masalah keuangan serta anggarannya yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Suku Kurdi.
4. Konflik
a. Pengertian Konflik
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terdapat
adanya suatu konflik baik konflik sosial maupun konflik politik atas dasar
kepentingan atau perbedaan.
Menurut D. Hendropuspito OC (1989 : 247) pengertian konflik adalah :
Kata konflik berasal dari kata Latin confligere yang berarti “saling memukul”. Dalam pengertian sosiologis konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial di mana dua orang atau kelompok berusaha untuk menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Menurut Soerjono Soekanto ( 1990 : 98-99) pertentangan atau pertikaian
(konflik) adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha
untuk memenuhi tujuannnya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai
dengan ancaman dan atau kekerasan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia W. J. S. Poerwodarminto (1990 : 45),
konflik diartikan dengan percecokan, perselisihan, pertentangan yang terjadi pada
xxxvii
satu tokoh atau lebih. Konflik dapat terjadi karena ketidaksesuaian ide atau
ketidakcocokan suatu paham atau kepentingan.
Menurut Ariyono Suyono ( 1985 : 211) konflik adalah keadaan dimana
dua atau lebih dari dua pihak berusaha menggagalkan tujuan masing-masing pihak
karena adanya perbedaan pendapat nilai-nilai atau tuntutan dari masing-masing
pihak. K.J Veerger (1988 : 210) yang mengutip pendapat Lewis A. Coser
menyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan
berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang
persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya
bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga
memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan.
Kartini Kartono (1990 : 173) memberikan rumusan mengenai konflik yaitu
semua benturan, tabrakan, ketidaksesuain, ketidakserasian, pertentangan,
perkelahian, oposisi dan interaksi yang antagonistis bertentangan.
Clinton F. Fink dalam Kartini Kartono (1988 : 173) mendefinisikan
konflik sebagai berikut :
1) Konflik ialah relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interest-interest eksklusif dan tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda.
2) Konflik ialah interaksi yang antagonistis, mencakup: tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus terkontrol, tidak langsung; sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol, benturan latent, pemogokan, huru-hara, makar, gerilya perang dan lain-lain.
Dari berbagai pendapat tentang pengertian konflik diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang antagonistis terjadi
sebagai akibat perbedaan paham atau perselisihan tentang tuntutan terhadap suatu
nilai tertentu antara pihak-pihak yang sedang berselisih, sehingga menimbulkan
usaha untuk menjatuhkan pihak lawan guna mencapai perubahan yang
dikehendaki kelompoknya.
Konflik yang terjadi antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak
disebabkan karena adanya perselisihan tentang tuntutan sesuatu yakni keinginan
xxxviii
suku Kurdi Irak untuk memperoleh otonomi di Kurdistan Irak sebagai tempat
untuk suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem
budaya mereka. Tuntutan untuk memberikan otonomi penuh ditolak oleh
Pemerintah Irak. Pemerintah Irak ingin mengamankan sumber minyaknya yang
merupakan penghasilan utama Irak yang terdapat di Irak Utara yaitu Mosul dan
Kirkuk. Selain itu Pemerintah Irak ingin menjaga integritas bangsanya. Merasa
tuntutannya tidak terpenuhi, maka suku Kurdi melancarkan perlawanan hingga
terjadi beberapa kali peperangan antara kedua belah pihak.
b. Sebab-Sebab Timbulnya Konflik
Menurut Abu Ahmadi (1975 : 93), konflik biasanya ditimbulkan oleh
adanya kepentingan yang bertentangan terutama kepentingan ekonomi dan sering
juga karena perebutan kekuasaan dan kedudukan.
Menurut Soerjono Soekanto (1990 : 99) yang menjadi sebab atau akar dari
timbulnya konflik adalah :
1) Perbedaan antara individu-individu
Perbedaan pendirian dan perasaaan mungkin akan melahirkan bentrokan
antara mereka.
2) Perbedaan kebudayaan
Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-
pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta
perkembangan kepribadian tersebut. Seorang sadar maupun tidak sadar,
sedikit banyak akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola
pendirian kelompoknya. Selanjutnya keadaan tersebut dapat pula
menyebabkan terjadinya pertentangan antara kelompok manusia.
3) Perbedaan kepentingan
Perbedaan kepentingan antar individu maupun kelompok merupakan
sumber lain dari konflik. Wujud kepentingan dapat bermacam-macam ada
kepentingan ekonomi, politik, dan sebagainya.
xxxix
4) Perubahan sosial
Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk sementara waktu
akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga
menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendiriannya
mengenai reorganisasi sistem nilai.
Konflik yang terjadi antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak
disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak yang
menyangkut masalah politik dan ekonomi. Secara politis, suku Kurdi menuntut
pemberian status otonomi di wilayah Kurdistan Irak kepada Pemerintah Irak,
tetapi tuntutan tersebut tidak dipenuhi oleh Pemerintah Irak dengan alasan
menjaga keutuhan bangsa. Penolakan Pemerintah Irak atas tuntutan suku Kurdi
juga berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Pemerintah Irak ingin mengamankan
sumber minyaknya yang merupakan penghasilan utama Irak yang terdapat di Irak
Utara yaitu Mosul dan Kirkuk yang masuk wilayah Kurdistan Irak.
c. Bentuk Konflik
Menurut Pheni Chalid (2005 : 104-108) konflik dikelompokkan dalam
kategori sifat, motif dan bentuk, yaitu :
1) Berdasarkan sifatnya, terdiri atas :
a) Konflik bersifat laten, yaitu ketika pertentangan dan ketegangan
diantara pelaku konflik samar dan tidak jelas, namun telah ada dalam
diri pelaku konflik, seperti penilaian negatif terhadap lawan yang
dikontruksi melalui proses budaya sehingga menciptakan penilaian
stereotip satu etnis terhadap etnis lain. Selain itu, ketika pihak yang
merasa tertindas tidak dapat mengungkapkan protes dan perlawanan,
karena berada pada posisi tawar yang rendah, baik secara kultural
maupun struktural, maka konflik berlangsung secara laten.
b) Konflik bersifat manifes, yaitu konflik yang dapat terjadi secara
spontan dan juga adanya ketidakseimbangan dalam masyarakat, seperti
perilaku tidak adil, ketimpangan sosial, politik dan ekonomi.
xl
2) Berdasarkan motifnya, terdiri atas :
a) Konflik irasional, yaitu konflik berdasarkan perspektif utilitirianisme,
individu selalu mempertimbangankan aspek kepentingan pribadinya
(keuntungan) dalam berhubungan dengan sesamanya.
b) Konflik emosional, yaitu konflik yang dilandasi emosi karena adanya
perasaan untuk membela dan mempertahankan kepentingan
kelompoknya.
3) Berdasarkan bentuknya, terdiri atas :
a) Konflik vertikal, yaitu konflik terjadi karena suatu kelompok
menghadapi ketidakseimbangan distribusi sumber daya akibat
dominasi politik satu kelompok yang kuat menutup jalan bagi
kelompok lain untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya yang
menjadi kepentingan bersama.
b) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi karena masing-masing
kelompok ingin menunjukkan identitas budaya yang dimiliki yang
melibatkan masalah sosial, politik dan ekonomi.
Soerjono Soekanto (1990: 102) menyebutkan bahwa konflik mempunyai
beberapa bentuk khusus, antara lain :
1) Konflik pribadi
Konflik ini berupa pertentangan antar individu yang terjadi dalam suatu
hubungan sosial.
2) Konflik rasial
Konflik ini terjadi karena perbedaan pada ciri-ciri fisik, perbedaan
kepentingan dan kebudayaan diantarakelompok atau golongan.
3) Konflik antara kelas-kelas sosial
Konflik ini disebabkan oleh perbedaan kepentingan, misalnya perbedaan
kepentingan antara majikan dengan buruh.
4) Konflik politik
Konflik ini menyangkut baik antara golongan-golongan dalam suatu
masyarakat maupun antara negara-negara yang berdaulat.
xli
5) Konflik yang bersifat internasional
Konflik ini disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian
merembes ke kedaulatan negara. Mengalah berarti mengurangi kedaulatan
negara dan itu berarti kehilangan muka dalam forum internasional.
Menurut Ramlan Surbakti (1992 : 243) konflik dapat dibedakan menjadi
dua yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan konflik non kekerasan. Konflik
yang mengandung kekerasan biasanya terjadi dalam masyarakat negara yang
belum memiliki konsesus bersama tentang dasar, tujuan negara dan lembaga
pengatur atau pengendali konflik yang jelas. Pemberontakan, sabotase merupakan
contoh konflik yang mengandung tindak kekerasan. Konflik yang berwujud non
kekerasan biasanya terjadi pada masyarakat yang telah memiliki dasar tujuan yang
jelas sehingga penyelesaian konflik sudah bias ditangani melalui lembaga yang
ada. Adapun konflik non kekerasan biasanya berwujud perbedaan kelompok antar
kelompok (individu) dalam rapat, pengajuan petisi kepada pemerintah, polemik
melalui surat kabar atau sebagainya.
Konflik antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak merupakan bentuk
konflik politik di Irak yang berujung pada tindak kekerasaan dalam wujud
pemberontakan yang dilakukan suku Kurdi terhadap Pemerintah Irak untuk
memperjuangkan tuntutannya yakni memperoleh otonomi di Kurdistan Irak.
Pemberontakan yang dilakukan suku Kurdi dihadapi oleh Pemerintah Irak dengan
mengerahkan kekuatan militernya sehingga mengakibatkan terjadinya peperangan
antara kedua belah pihak.
d. Cara Penyelesaian Konflik
Menurut Mawasdi Rauf (2001 : 8-12) penyelesaian konflik adalah usaha-
usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan atau menghilangkan konflik dengan
cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Penyelesaian konflik diperlukan untuk mencegah : (1) semakin mendalamnya
konflik, yang berarti semakin tajamnya perbedaan antara pihak-pihak yang
berkonflik ; (2) semakin meluasnya konflik, yang berarti semakin banyaknya
jumlah peserta masing-masing pihak yang berkonflik yang berakibat konflik
xlii
semakin mendalam dan meluas, bahkan menimbulkan disintergrasi masyarakat
yang dapat menghasilkan dua kelompok masyarakat yang terpisah dan
bermusuhan. Ada dua cara penyelesaian konflik yaitu :
1) Secara persuasif, yaitu menggunakan perundingan dan musyawarah untuk
mecari titik temu antara pihak-pihak yang berkonflik. Pihak-pihak yang
berkonflik melakukan perundingan, baik antara mereka saja maupun
manggunakan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator atau juru
damai.
2) Secara koersif, yaitu menggunakan kekerasan fisik atau ancaman
kekerasan fisik untuk menghilangkan perbedaan pendapat antara pihak-
pihak yang terlibat konflik.
Menurut Soerjono Soekanto (1990 : 77-78) cara penyelesaian konflik
mempunyai beberapa bentuk, yaitu :
1) Coercion adalah suatu cara penyelesaian konflik yang prosesnya
dilaksanakan oleh karena adanya paksaan, di mana salah-satu pihak berada
dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan.
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara !angsung), maupun
secara psikologis (secara tidak langsung).
2) Compromise adalah suatu cara penyelesaian konflik di mana pihak-pihak
yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu
penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat
sanakan compromise ada!ah bahwa salah satu pihak bersedia untuk
merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan begitu pula
sebaliknya.
3) Arbitration, merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila
pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri.
Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipi!ih oleh kedua belah
pihak atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihak-
pihak yang bertentangan.
4) Mediation adalah suatu cara penyelesaian konflik dengan mengundang
pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihák ketiga
xliii
tersebut tugas utamanya adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara
damai. Kedudukan pihak ketiga hanya sebagai penasihat dan tidak
mempunyai wewenang untuk memberi keputusan-keputusan penyelesaian
perselisihan tersebut.
5) Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan
keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu
persetujuan bersama.
6) Toleration (tolerant-participation) adalah suatu cara penyelesaian konflik
tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-kadang toleration
timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan.
7) Stalemate adalah suatu cara penyelesaian konflik di mana pihak-pihak
yang bententangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti
pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya. Hal ini
disebabkan karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kernungkinaa
lagi baik untuk maju maupun untuk mundur.
8) Adjudication adalah suatu cara penyelesaian konflik atau sengketa di
pengadilan.
Cara penyelesaian konflik antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak lebih
sering diupayakan secara koersif yakni dengan menggunakan kekerasan fisik.
Kedua belah pihak yang berkonflik terlibat peperangan guna mempertahankan
kepentingan masing-masing. Penyelesaian konflik secara persuasif atau
perundingan antara kedua belah pihak juga sudah diupayakan, seperti di tahun
1970 diadakan perjanjian damai antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak yang
termaktub aspirasi suku Kurdi untuk memperoleh otonomi tetapi pada akhirnya
berujung dengan peperangan lagi karena Pemerintah Irak tidak menjalankan
keputusan tersebut secara konsisten dan membuat suku Kurdi tidak percaya lagi
untuk melakukan perundingan dengan Pemerintah Irak. Satu-satunya jalan yang
ditempuh suku Kurdi untuk memperoleh otonomi di Kurdistan Irak dengan jalan
melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Irak.
xliv
e. Akibat Konflik
Menurut D. Hendropuspito OC (1989 : 249), konflik fisik berupa
bentrokan antara individu dengan individu, kerabat dengan kerabat, suku dengan
suku, bangsa dengan bangsa, golongan agama yang satu dengan yang lain,
umumnya mendatangkan penderitaan bagi kedua pihak yang terlibat, seperti
korban jiwa, material dan spiritual serta berkobarnya kebencian dan balas
dendam. Apabila konflik terjadi di suatu negara yang terdiri dari berbagai suku
bangsa dan bersifat separatif, konflik juga menghambat persatuan bangsa serta
integrasi sosial dan nasional.
Menurut Soerjono Soekanto (1990 : 103) akibat yang ditimbulkan oleh
terjadinya pertentangan atau konflik adalah :
1) Tambahnya solidaritas in-group. Apabila suatu kelompok bertentangan
dengan kelompok lain, maka solidaritas antara warga-warga kelompok
biasanya akan bertambah erat dan bahkan bersedia berkorban demi
keutuhan kelompoknya.
2) Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam satu
kelompok tertentu, akibatnya adalah sebaliknya, yaitu goyah dan retaknya
persatuan kelompok tersebut.
3) Perubahan kepribadian para individu. Pertentangan yang berlangsung di
dalam kelompok atau antar kelompok selalu ada orang yang menaruh
simpati kepada kedua belah pihak. Ada pribadi-pribadi yang tahan
menghadapi situasi demikian, akan tetapi banyak pula yang merasa
tertekan, sehingga merupakan penyiksaan terhadap mentalnya.
4) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Salah satu bentuk
konflik yakni peperangan telah menyebabkan penderitaan yang berat, baik
bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, baik dalam bidang
kebendaan maupun bagi jiwa raga manusia.
5) Akomodasi, dominasi dan takluknya salah-satu pihak.
Akibat dari konflik suku Kurdi dengan pemerintah Irak yang sering
berujung pada peperangan antara kedua belah pihak adalah jatuhnya korban jiwa
di kedua belah pihak terutama suku Kurdi. Serangan Pemerintah Irak ke wilayah
xlv
Kurdistan Irak dengan senjata kimia tahun 1988 menewaskan lebih dari 6.500
orang Kurdi. Serangan Pemerintah Irak ke wilayah Kurdistan Irak tahun 1988 dan
1991 juga membawa penderitaan bagi suku Kurdi yang harus mengungsi ke Iran
dan Turki, meninggalkan rumah dan harta benda untuk hidup dalam tenda-tenda
pengungsian. Konflik suku Kurdi dengan Pemerintah Irak yang sudah
berlangsung lama menghambat persatuan dan integrasi nasional Negara Irak.
5. Primordial
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Sri Sukesi Adiwimarta, 1983:
71), primordial diartikan sebagai perasaan kesukuan yang berlebihan. Menurut
Maswadi Rauf (2001 : 62), kelompok primordial adalah kelompok yang lebih
besar dari keluarga yang lebih kecil dari bangsa yang didasarkan atas ikatan
primordial, sedangkan ikatan primordial adalah keterikatan seseorang terhadap
kelompoknya yang didasarkan atas nilai-nilai yang given (yang telah terbentuk
dan diterima sebagaimana adanya campur tangan orang bersangkutan) yang di
sebabkan hubungan darah dan persamaan dalam hal agama, suku, bahasa, asal
daerah dan adat istiadat.
Menurut Clifford Geertz (1992 : 79), ikatan primordial dimaksudkan
sebagai ikatan yang berasal dari “unsur-unsur bawaan” atau lebih persis lagi,
karena kebudayaan tak bisa tidak mencakup soal-soal semacam itu, “unsur-unsur
bawaan” yang diandaikan dari kehidupan sosial: hubungan langsung terutama
hubungan kekerabatan, namun melampui itu keadaan bawaan yang berasal dari
keadaan terlahir ke dalam sebuah komunitas religius tertentu, bertutur dengan
sebuah kata tertentu atau bahkan suatu dialek bahasa tertentu dan mengikuti
praktek-praktek sosial tertentu. Kesesuaian-kesesuaian darah, tuturan, dan adat-
kebiasaan memiliki sesuatu kekuatan yang memaksa. Clifford Geertz (1992 : 82)
mengelompokkan ikatan primordial menjadi enam, yaitu :
1) Ikatan-ikatan darah yang diterima.
Unsur yang mengidentifikasi adalah kuasi-keluarga. “Kuasi” karena unit-
unit kekeluargaan yang terbentuk di sekitar hubungan biologis yang
xlvi
dikenali (keluarga-keluarga yang diperluas, silsilah-silsilah) terlalu kecil
bahkan bagi ikatan tradisi yang paling erat untuk memandang unit-unit itu
sebagai suatu yang memiliki lebih daripada makna terbatas, dan akibatnya
pada sebuah pandangan tentang kekeluargaan yang tak dapat ditelusuri
namun masih nyata secara sosiologis, seperti dalam sebuah suku.
2) Ras
Ras serupa dengan kekeluargaan yan diterima, sehingga ras mencakup
sebuah teori etnobiologis dengan acuan pada ciri-ciri fisis yang bersifat
fenotipis, khusus warna kulit, bentuk muka, sosok, jenis rambut dan
seterusnya lebih daripada sembarang rasa yang sangat khusus akan nenek
moyang yang sama.
3) Bahasa
Bahasa dalam setiap bangsa itu berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Bahasa dapat dipegang sebagai poros yang sama sekali hakiki bagi
konflik-konflik kebangsaan sehingga erbedaan bahasa pada sendirinya
pasti bersifat memecah belah. Namun, perbedaan bahasa di sebagian
negara tidak bersifat memecah-belah dan bahkan konflik-konflik
primordial dapat terjadi di mana tidak terdapat perbedaan bahasa yang
mencolok.
4) Daerah
Merupakan sebuah faktor yang hampir ada dimana-mana, daerah-isme
(regionalisme) sebenarnya cenderung sangat mengganggu di dalam
daerah-daerah yang secara geografis heterogen.
5) Agama
Agama sebagai pegangan hidup yang selalu dapat dijadikan benteng suatu
konflik atau pun sebaliknya dapat juga menjadikan timbulnya konflik.
Konflik agama dalam negara dapat menghancurkan atau menghambat
jalannya pemerintahan.
6) Adat-istiadat
Perbedaan-perbedaan dalam adat-istiadat membentuk suatu basis untuk
sejumlah keterpecahan nasional tertentu dan secara khusus mencolok
xlvii
dalam kasus-kasus di mana sebuah kelompok yang secara intelektual atau
secara artistik agak rumit melihat dirinya sebagai pengemban sebuah
“peradaban” di tengah-tengah suatu penduduk yang sebagian besar bersifat
biadab yang akan menjadikan dirinya sebagai model.
Primordial mengandung nilai solidaritas terhadap kelompoknya.
Kelompok yang didasarkan atas persamaan ras atau suku dan agama sudah dapat
dikategorikan sebagai ikatan primordial. Persamaan bahasa, adat istiadat dan
kedaerahan sebagai sifat dari kelompok primordial. Nilai agama sebenarnya
sedikit berbeda dari ras atau suku, karena seseorang dapat memilih agama sesuai
keyakinannya tidak harus seagama dengan keluarga dimana seseorang dilahirkan.
Nilai agama berbeda berbeda dengan nilai budaya meskipun nilai agama terdapat
unsur budaya, tetapi agama mempunyai nilai yang berasal dari Tuhan yang tidak
dihasilkan dari interaksi sosial.
Menurut Geertz dalam Maswadi Rauf (2001: 62) sifat-sifat alamiah dari
ikatan suku atau ras dari sifat-sifat alamiah dari ikatan agama, sebenarnya ada
perbedaan antara keduanya dalam hal sumber loyalitas atau kesetiaan. Pada kedua
ikatan primordial tersebut membentuk sentimen dan loyalitas primordial yang atas
dasar ras atau suku ditimbulkan karena adanya persamaan nilai-nilai budaya.
Semua persamaan akan menghasilkan solidaritas yang amat kuat diantara
anggota-anggota yang membuat mereka bersedia membela kelompok mereka
dengan pengorbanan apapun. Dalam kelompok primordial atas agama , solidaritas
ditimbulkan oleh persamaan keimanan kepada Tuhan dan kepercayaan kepada
ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh agama. Keyakinan akan kebenaran ajaran
agama menghasilkan solidaritas diantara penganut agama bersangkutan yang
menimbulkan kerelaan untuk membela agama tersebut dari ancaman kelompok
lain dengan pengorbanan apa pun.
Solidaritas dalam kelompok primordial menghasilkan fanatisme kesetiaan
yang amat kuat kepada kelompok dan anggota-anggota kelompok serta
penghormatan yang tinggi terhadap nilai budaya kelompok. Fanatisme ini
memperkuat integrasi kelompok, namun sebaliknya, mempermudah terjadinya
konflik dengan orang lain diluar kelompok dengan sepenuh hati, bahkan tanpa
xlviii
menghiraukan keselamatan diri sendiri. Oleh karena itu pengorbanan baik harta
atau maupun nyawa, dapat saja terjadi. Itu terjadi dengan kesadaran dan tanpa
paksaan.
Irak merupakan negara kesatuan yang berdaulat, tetapi sering menghadapi
masalah disintegrasi bangsa akibat adanya perbedaan paham kepercayaan dan
keaneragaman etnis. Konflik paham kepercayaan melibatkan Syiah dengan Sunni,
di mana Syiah sebagai mayoritas di Irak selalu di perintah oleh Sunni dan rasa
ketidakadilan yang diterima sehingga Syiah ingin memisahkan diri dari Irak.
Konflik keaneragaman etnis melibatkan Kurdi dengan pemerintah Irak. Dalam hal
ini konflik yang terjadi bukan berdasar atas paham kepercayaan karena mayoritas
Kurdi menganut Sunni yang sama dengan mayoritas orang-orang yan berkuasa di
Irak (Arab Sunni), tetapi lebih didasarkan perbedaan etnis dan
xlix
l
kebudayaan serta dipengaruhi kepentingan politik dan ekonomi. Suku
Kurdi memiliki ikatan primordial yang kuat dan menuntut daerah otonom di
Kurdistan Irak sebagai tempat untuk suku Kurdi dapat mengatur diri dan
mempertahankan identitas serta sistem budaya suku Kurdi.
B. Kerangka Berfikir
Keterangan :
Suku Kurdi tinggal wilayah Kurdistan (tanah orang-orang Kurdi) dan secara
etnis berbeda dengan Arab karena suku Kurdi memiliki kebudayaan yang berbeda
dengan Arab. Wilayah Kurdistan pada masa sebelum Perang Dunia I berada
dibawah kekuasaan Kerajaan Turki Utsmaniah dan pasca Perang Dunia I sesuai
dalam perjanjian Lausane pada 24 Juli 1923, daerah-daerah Arab dari kekuasaan
Kerajaan Turki Utsmaniah dibagi-bagi menjadi daerah sekutu, sehingga wilayah
Kurdistan menjadi terpecah belah dalam beberapa daerah yaitu Turki, Iran, Irak,
dan Suriah sampai saat ini. Fakta bahwa wilayah Kurdistan berada di beberapa
negara menjadi kendala utama terwujudnya sebuah Negara Kurdistan Merdeka.
Berdasarkan kenyataan tersebut, suku Kurdi tidak lagi mencita-citakan berdirinya
sebuah negara Kurdistan, tetapi mendapatkan wilayah yang otonom termasuk di
Primordial Suku Kurdi
Kebijakan Otonomi
di Kurdistan Irak
Otonomi Kurdistan
di Irak Utara
Pemerintah
Irak
Kurdistan
Perjuangan Suku
Kurdi di Irak
li
Irak sehingga suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta
sistem budaya mereka.
Perjuangan suku kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak
mendapatkan perlawanan dari pemerintah Irak yang ingin menjaga keutuhan
bangsa dan mengamankan sumber minyaknya di wilayah Kirkuk sehingga sering
terjadi peperangan antara kedua belah pihak yang mengakibatkan banyak jatuh
korban jiwa. Perundingan antara Kurdi dengan pemerintah Irak dilaksanakan
tahun 1991 dan pemerintah Irak memberikan status otonomi terhadap wilayah di
Kurdistan Irak yang mencakup Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah. Kebijakaan
pemberian otonomi di Irak Utara dalam perkembangannya berpengaruh terhadap
bersatunya KDP dan PUK sebagai wadah perjuangan suku Kurdi Irak.
lii
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul “Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh
Otonomi di Kurdistan Irak Tahun 1919-1991”, dilakukan teknik pengumpulan
data melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai berikut:
a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
e. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.
f. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian
Jangka waktu yang digunakan untuk penelitian ini dimulai dari
disetujuinya judul skripsi yaitu bulan Desember 2008 sampai dengan selesainya
penulisan skripsi ini yaitu pada bulan Juni 2009.
B. Metode penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah selalu diperlukan suatu metode tertentu
yang berkaitan dengan obyek atau pemasalahan yang akan diteliti. Menurut
Koentjaraningrat (1986 : 7) kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos
liii
yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode
menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Menurut Dudung Abdurahman (1999 : 43) metode adalah suatu cara,
jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Sedangkan menurut Helius
Sjamsuddin (2007 : 13) metode ada hubungannya dengan prosedur, proses, atau
teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk
mendapatkan obyek yang diteliti.
Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,
mendiskripsikan dan memaparkan perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di
Kurdistan Irak tahun 1919-1991. Peristiwa yang menjadi pokok penelitian
tersebut adalah peristiwa masa lampau, sehingga metode yang digunakan adalah
metode historis atau sejarah. Dengan metode sejarah penulis mencoba
merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga dapat
menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Louis Gottschalk (1975 : 32) mengemukakan bahwa metode sejarah
adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan
masa lampau. Sedangkan Nugroho Notosusanto (1971 : 17) menyatakan bahwa
metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji, menganalisis
secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa lampau menjadi
kisah sejarah yang dapat dipercaya, metode ini merupakan proses merekonstruksi
peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian sejarah adalah kegiatan mengumpulkan, menguji dan menganalisis
secara kritis data peninggalan masa lampau dan menyajikannya sebagai hasil
karya melalui historiografi. Oleh karena metode penelitian yang digunakan adalah
metode historis, maka dilakukan langkah-langkah metode historis yang meliputi
pengumpulan sumber-sumber sejarah, menguji validitas dan reliabilitas data
sejarah tersebut kemudian menganalisis secara kritis untuk menghasilkan tulisan
atau cerita sejarah yang menarik dan dapat dipercaya.
liv
C. Sumber Sejarah
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut
Kuntowijoyo kata “data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum
(bahasa Latin) yang berarti pemberitaan (Dudung Abdurahman, 1999 : 30).
Menurut Nugroho Notosusanto (1971 : 19) sumber sejarah terdiri atas
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang
keterangannnya diperoleh secara langsung dari seseorang yang menyaksikan suatu
peristiwa dengan mata kepala sendiri, sedangkan sumber sekunder adalah sumber
yang keterangannya diperoleh oleh pengarangnya dari orang lain atau sumber lain.
Klasifikasi sumber sejarah dapat dibedakan menurut bahannya, asal-
usulnya atau urutan penyampaiannya dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber
menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber tertulis dan sumber
tidak tertulis. Menurut urutan penyampaiannya sumber-sumber dapat dibedakan
menjadi sumber primer dan sumber sekunder sedangkan menurut tujuannya
sumber-sumber dapat dibagi atas sumber formal dan informal (Dudung
Abdurahman, 1999 : 31).
Dalam penelitian ini hanya menggunakan sumber data tertulis sekunder.
Penulis kesulitan untuk mendapatkan sumber primer karena peristiwa yang diteliti
dan saksi sejarah dari peristiwa yang berkaitan dengan penelitian ini berada di luar
negeri yaitu di Irak. Maka dari itu, penulis menggunakan sumber data tertulis
sekunder berupa surat kabar seperti Jawa Pos terbitan tahun 1991, Kompas
terbitan tahun 1991, majalah seperti Tempo terbitan tahun 1991, artikel-artikel
dan buku-buku yang relevan dengan penelitian antara lain karya Nasir Tamara dan
Agnes Samsuri yang berjudul “Perang Iran-Perang Irak” terbitan tahun 1981,
karya Trias Kuncahyono yang berjudul “Bulan Sabit di Atas Baghdad” terbitan
tahun 2005, dan karya M. Riza Sihbudi yang berjudul “Islam, Dunia Arab, Iran :
Barat Timur Tengah” terbitan tahun 1991. Sumber data yang telah diperoleh
kemudian dikaji, diklasifikasikan dan selanjutnya dibandingkan antara sumber
yang satu dengan yang lainnya serta dianalisis data tersebut sehingga diperoleh
lv
data sejarah yang akurat yang dapat digunakan untuk menyusun cerita sejarah
yang menarik dan dapat dipertanggungjawabkan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal penting dalam penelitian. Dalam
penelitian ini data dikumpulkan dengan cara teknik studi pustaka. Teknik studi
pustaka adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama
berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau
hukum-hukum dan yang berhubungan dengan masalah penyelidikan. Dalam
melakukan studi pustaka diperlukan pengetahuan tentang perpustakaan sebagai
sumber literatur yang diperlukan dalam mencari materi yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti dari literatur yang tersedia (Hadari Nawawi, 1993 : 133).
Studi pustaka merupakan sebuah penelitian di perpustakaan yang bertujuan
mengumpulkan data dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di
ruang perpustakaan, misalnya : buku, surat kabar, majalah dan dokumen. Data
tersebut berfungsi sebagai wahana informasi terhadap materi yang akan dibahas
dalam penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi maka peneliti juga bisa
memenfaatkan internet dalam rangka studi pustaka untuk mengumpulkan data-
data yang berkaitan dengan tema penelitian.
Studi pustaka ini dilakukan sistem kartu/katalog atau menggunakan
komputer dengan cara mencatat beberapa sumber tertentu yang berkaitan dengan
penelitian dengan mencantumkan keterangan mengenai nama pengarang, judul
buku maupun subyek yang dicari. Oleh karena itu perlu mengingat kata kunci
yang terdapat dalam subyek yang dibahasnya, sehingga menemukan buku dan
artikel yang dimaksudkan dalam katalog atau komputer. Buku-buku dan artikel
yang telah ditemukan di perpustakaan dibaca dan dipahami, kemudian mencatat
hal-hal yang dianggap penting dan relevan dengan permasalahan yang akan
diteliti. Dengan demikian diperoleh data yang akan digunakan dalam penulisan
skipsi ini.
lvi
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik
analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman,
1999 : 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga
analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis
berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang
sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Nugroho Notosusanto (1978 :
38) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan
kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan
dalam penulisan sejarah.
Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999 : 64),
analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh
dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta
itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Analisis data dilakukan setelah
pengumpulan data yang kemudian dilanjutkan dengan proses perbandingan antara
data yang satu dengan yang lain. Langkah ini dilakukan secara berulang-ulang
hingga didapatkan fakta sejarah yang akurat. Fakta-fakta tersebut kemudian
diseleksi, diklasifikasikan, ditafsirkan dan dijadikan bahan dalam penulisan
penelitian. Fakta merupakan bahan yang dijadikan sejarawan sebagai bahan untuk
menyusun historiografi. Pengkajian fakta-fakta sejarah oleh sejarawan tidak
terlepas dari unsur subyektifitas, sehingga diperlukan konsep-konsep dan teori-
teori sebagai kriteria penyeleksi dengan pengklasifikasian.
Sidi Gazalba (1981 : 38) mendefinisikan fakta sebagai usaha pikiran
manusia untuk merumuskan kenyataan itu sendiri dari bahan-bahan yang diwarisi.
Menganalisis suatu karya sejarah diperlukan adanya kritik ektern dan kritik intern
karena setiap peneliti cenderung memiliki unsur subyektifitas terutama dalam
abstraksi fakta. Untuk mengurangi kecenderungan tersebut, seorang peneliti harus
mempunyai kerangka teoritis dan metodologi yang kuat, sehingga fakta-fakta
sejarah yang telah dianalisis, dikritik dan diinterpretasikan akan menjadi suatu
penelitian sejarah yang dapat diakui kebenarannya.
lvii
Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi
Fakta Sejarah Jejak / Peristiwa Sejarah
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian dari awal yaitu
persiapan memmbuat proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena
penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus
dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan :
1. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang artinya memperoleh.
Dalam pengertian yang lain, heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak
masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan
sumber lain yang relevan dengan penelitian.
Pada tahap ini diusahakan mencari dan menemukan sumber-sumber
tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan
penelitian. Dalam penelitian ini digunakan sumber data tertulis sekunder berupa
surat kabar seperti Jawa Pos terbitan tahun 1991, Kompas terbitan tahun 1991,
majalah seperti Tempo terbitan tahun 1991, buku-buku antara lain karya Nasir
Tamara dan Agnes Samsuri yang berjudul “Perang Iran-Perang Irak” terbitan
tahun 1981, karya Trias Kuncahyono yang berjudul “Bulan Sabit di Atas
Baghdad” terbitan tahun 2005, dan karya M. Riza Sihbudi yang berjudul “Islam,
Dunia Arab, Iran : Barat Timur Tengah” terbitan tahun 1991 serta artikel-artikel
lviii
yang diperoleh dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini. Sumber-sumber
tersebut diatas diperoleh dari beberapa perpustakaan di antaranya: Perpustakaan
Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Jurusan FKIP, Perpustakaan
Program Studi Sejarah FKIP UNS, dan Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.
2. Kritik
Kritik adalah kegiatan untuk menyelidiki apakah data yang diperoleh
autentik dan dapat dipercaya atau tidak. Setelah data yang terkumpul,
diklasifikasikan data yang tidak autentik dan tidak mendukung penelitian dengan
data yang autentik serta mendukung penelitian. Kritik dapat dilakukan dengan dua
cara, yakni kritik ekstern dan kritik intern.
Kritik ekstern adalah kritik terhadap keaslian sumber, apakah sumber yang
dikehendaki asli atau tidak, utuh atau turunan (salinan). Kritik ekstern dilakukan
terhadap sumber yang diperoleh berdasarkan bentuk fisik atau luarnya berupa
bahan (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan
segi penampilan yang lain. Uji keaslian sumber dilakukan dengan pertanyaan :
kapan sumber dibuat?, di mana sumber dibuat?, siapa yang membuat?, dan dari
bahan apa sumber dibuat?. Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara melihat kapan sumber itu dibuat, di mana sumber itu dibuat, siapa
pengarangnya dan bagaimana latar belakang pendidikan pengarang. Sebagai
contoh kritik ekstern terhadap buku“Bulan Sabit di Atas Baghdad” karya Trias
Kuncahyono, di mana buku tersebut di buat tahun 2005 dari sebuah perjalanan
jurnalistik di Irak tahun 2003 yang kemudian dipadukan dengan bahan-bahan lain
sebelum penyusunan buku oleh Trias Kuncahyono (wartawan Kompas) yang
merupakan seorang lulusan dari jurusan Hubungan Internasional Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta.
Kritik intern adalah kritik yang berhubungan dengan kredibilitas dari
sumber sejarah apakah isi, fakta dan ceritanya dapat dipercaya dan dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan. Kritik intern dapat ditempuh dengan cara
membandingkan berbagai isi dan fakta yang terdapat dalam sumber, misalnya
lix
kritik intern terhadap buku “Perang Iran-Perang Irak” karya Nasir Tamara dan
Agnes Samsuri yang mengupas perang Iran-Irak tahun 1980 yang di dalamnya
juga mengisahkan sejarah dan perjuangan suku Kurdi di Irak dalam memperoleh
otonomi di Kurdistan Irak. Sumber tersebut dibandingkan dengan buku “Islam,
Dunia Arab, Iran : Barat Timur Tengah” karya M. Riza Sihbudi yang mengupas
masalah di kawasan Timur-Tengah termasuk sejarah dan perjuangan suku Kurdi
di Irak dalam memperoleh otonomi di Kurdistan Irak.
3. Interpretasi
Menurut Nugroho Notosusanto (1978 : 40), interpretasi adalah suatu usaha
menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada,
kemudian dilakukan perbandingan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain,
sehingga terbentuk rangkaian yang selaras dan logis. Sedangkan interpretasi atau
analisis historis menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman
(1999 : 64) bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh
dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta
itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh, sehingga dapat dikatakan
sebagai suatu bentuk analisa.
Setelah sumber-sumber yang diperoleh dikritik, maka langkah selanjutnya
adalah menghubungkan sumber-sumber tersebut dengan masalah yang sedang
diteliti. Dalam melakukan interpretasi, peneliti harus menghilangkan unsur
subyektif yang disebabkan oleh keanekaragaman data yang diperoleh dari
berbagai buku atau sumber lain melalui analisis terhadap sumber yang satu
dengan sumber yang lain. Dalam penelitian tentang Perjuangan Suku Kurdi
Memperoleh Otonomi di Kurdistan Irak Tahun 1919-1991, interpretasi dilakukan
dengan penafsiran terhadap sumber yang digunakan, misalnya dalam kajian teori
digunakan teori otonomi yang dikemukakan Syahda Guruh L.S bahwa otonomi
adalah kondisi tidak dikontrol pihak lain, mempunyai pemerintahan sendiri
(pemerintahan otonomi) yang berhak untuk memerintah dan menentukan nasib
sendiri yang dihormati dan diakui pihak lain dengan tujuan meningkatkan
lx
kesejahteraan hidup masyarakat di daerah yang bersangkutan. Teori Syahda
Guruh L.S didukung oleh teori Bagir Manan, H.A.W. Widjaja dan Pheni Chalid.
Teori otonomi ini digunakan untuk mengetahui otonomi seperti apa yang di
perjuangkan suku Kurdi Irak.
4. Historiografi
Historigrafi merupakan langkah terakhir dalam penulisan sejarah. Dalam
kegiatan ini sumber-sumber sejarah dikumpulkan, dianalisis, ditafsir dan
dirangkaikan dengan menggunakan bahasa ilmiah, komunikatif dan efektif yang
berwujud skripsi berjudul “Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi di
Kurdistan Irak Tahun 1919-1991”.
lxi
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Profil Negara Irak
1. Geografi
Irak (al-Jumruhiah al-Iraqiyah atau Republik Irak) adalah sebuah negara
republik di bagian Barat Daya Asia, yang terletak antara 29º - 37º Lintang Utara
dan 39º - 48º Bujur Timur, dan mempunyai luas wilayah sekitar 438.317 km2
dengan ibukotanya di Baghdad. Irak berbatasan dengan Kuwait dan Arab Saudi di
sebelah Selatan, di sebelah Barat berbatasan dengan Arab Saudi, Yordania dan
Suriah, di sebelah Utara berbatasan dengan Turki, dan di sebelah Timur
berbatasan dengan Iran (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 88).
Irak terbagi menjadi empat daerah, yaitu : (1) Daerah dataran tinggi yang
kering dengan padang rumput yang berbukit-bukit diantara sungai Eufrat dan
sungai Tigris, di Utara kota Samara. Bukit tertinggi yang ada di wilayah ini
tingginya sekitar 300 meter di atas permukaan laut; (2) Dataran rendah dekat
Samara, memanjang sampai ke Teluk Persia. Daerah ini meliputi sebuah delta
subur antara sungai Eufrat dan sungai Tigris, tempat sebagian besar penduduk
Irak menetap. Di bagian Selatan wilayah ini terdapat paya-paya dan dua danau
rawa, yaitu Hawr al-Hammar dan Hawr as-Saniyah; (3) Daerah pegunungan yang
terdapat di Timur Laut Irak, membentuk barisan pegunungan Zagros di Iran dan
Taurus di Turki. Di kaki-kaki bukit dan lembah-lembah pegunungan ini menetap
suku Kurdi, sehingga daerah ini disebut Kurdistan; dan (4) Gurun pasir di Selatan
dan barat Irak yang membentang sampai ke Yordania, Kuwait, Arab Saudi dan
Suriah. Sebagian besar wilayah ini berbukit-bukit batu gamping dan berpasir
(Ensiklopedi Islam, 1993 : 237).
Irak bagian utara beriklim sedang, sedangkan di bagian Timur dan
Tenggara beriklim tropis, dan iklim gurun tedapat di bagian selatan dan barat.
Suhu rata-rata pada musim panas adalah 31º - 37º C dan pada musim dingin suhu
lxii
rata-ratanya adalah 11º C. Curah hujan berkisar 130 mm/tahun di bagian barat
gurun sampai 380 mm/tahun di bagian utara Irak (Ensiklopedi Nasional
Indonesia, 1989 : 220).
Dari sudut pandang geografis, Irak mempunyai tiga kelemahan yang
menyebabkan negeri ini sering bergejolak yaitu sebagai berikut :
a. Irak termasuk negara “Land Locked Country”, yaitu negara yang sangat
terbatas akses air lautnya. Sebagian besar negeri ini berupa daratan yang
terisolir dengan akses laut yang hanya di ujung Teluk sepanjang 53 km2
dengan pantai sepanjang 19 km. Oleh karena itu, Irak menghadapi kesulitan
ketika harus mengekspor minyaknya melalui laut. Kelemahan keadaan
geografis tersebut menjadi alasan pembenar bagi Irak untuk menganeksasi
Kuwait pada tanggal 8 Agustus 1990 (Perang Teluk II) dengan tujuan agar
Irak mempunyai pantai lebih panjang dan akses laut yang lebih lebar.
b. Meskipun Irak banyak memiliki cadangan minyak tetapi Irak harus
menghadapi banyak hambatan dalam mengembangkan industri minyaknya.
Hambatan-hambatan itu disebabkan oleh :
1) Hubungan yang tidak baik dengan Iran membuat ladang-ladang
minyak Irak yang benyak ditemukan di dekat perbatasan dengan Iran
terancam penghancuran oleh Iran. Ancaman itu terbukti saat Perang
Teluk I antara Irak dengan Iran tahun 1980-1988 di mana Iran
menghancurkan ladang-ladang minyak Irak.
2) Ladang-ladang minyak Irak juga banyak ditemukan di Kirkuk dan
Mosul yang merupakan wilayah yang di tinggali suku Kurdi. Kilang
minyak Irak di Kirkuk ini menjadi andalan utama ekspor minyak pada
tahun 1982 ketika berperang melawan Iran dalam Perang Teluk I.
Ketergantungan Irak pada Kirkuk ini dimanfaatkan oleh Amerika
Serikat untuk mendukung dan menghasut suku Kurdi agar
memisahkan diri dari Irak.
c. Adanya dua sungai yaitu sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir keluar
perbatasan Irak dan bermuara di Turki. Sungai Eufrat mengalir ke Suriah dan
Turki, sedangkan sungai Tigris mengalir ke Iran dan Turki sehingga debit air
lxiii
kedua sungai tersebut berkurang di Irak. Sementara Irak mempunyai
hubungan tidak harmonis dengan negara tetangganya tempat kedua sungai tadi
mengalir. Turki dan Suriah justru memanfaatkan aliran sungai untuk
membangun bendungan-bendungan yang merugikan Irak, seperti bendungan
Attaturk di Turki dan bendungan al-Thawra di Suriah yang airnya kemudian
ditampung di danau al-Assad (Siti Muti’ah Setiawati. 2004 : 118-126).
2. Penduduk
Mayoritas penduduk Irak adalah kelompok etnis Arab, sedang Kurdi,
Turkoman, Persia, Sebaean, Yazidis, Lur, Armenia dan Yahudi merupakan
kelompok minoritas. Menurut data Kementrian Perencanaan Irak, tahun 2008 total
penduduk Irak berjumlah 27 juta orang (mitrafm.com/blog/2008/02/01/).
Komposisi penduduk Irak yakni etnis Arab 75 - 80 persen dari seluruh penduduk
Irak, Kurdi 15 - 20 persen dan sisanya etnis-etnis kecil semisal Turkoman, Persia,
Sebaean, Yazidis, Lur, Armenia dan Yahudi sekitar 5 persen. Apabila dilihat dari
mazhab yang dianut, Etnis Arab terbagi dua : sebanyak 60 - 65 persen Syiah,
Sunni 32 - 37 persen dan sisanya Kristen atau lainnya berjumlah 3 persen (Trias
Kuncahyono, 2005 : 132).
Penyebaran penduduk Irak kurang menguntungkan karena penduduk
terkosentrasi secara geografis di wilayah tertentu. Penduduk yang mayoritas Arab-
Syiah terkosentrasi di Irak selatan, Arab-Sunni di Irak bagian tengah dan suku
Kurdi terkosentrasi di Irak utara sehingga Irak selalu menghadapi masalah
integrasi nasional (Siti Muti’ah Setiawati, 2004 : 117).
Orang Arab yang merupakan penduduk mayoritas di Irak dapat ditemukan
hampir di seluruh wilayah negeri tersebut, tetapi sebagian besar hidup di Irak
Tengah dan Irak Selatan. Orang Kurdi sebagian besar tinggal di Irak Utara seperti
di daerah Ninawa, Arbil, Sulaymaiyah, dan al-Ta’min. Orang Kurdi mayoritas
menganut agama Islam Sunni dan mereka merupakan kelompok masyarakat non-
Arab di Irak yang mempunyai bahasa sendiri yang digunakan dalam kehidupan
lxiv
sehari-hari yakni bahasa Kurdi (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia,
1990:90).
Orang Turkoman, hidup di kota-kota kecil di sepanjang jalan raya
Baghdad – Mosul dan mereka berbicara dalam bahasa Turki dialek Ottoman.
Daerah-daerah kantong orang Turkoman memperlihatkan unsur-unsur
peninggalan orang Turki yang melintasi daerah tersebut berabad-abad
sebelumnya. Orang Persia, hidup di kota-kota suci Islam Syiah (an-Najaf,
Karbala, Kadhimain, Samarra). Orang Sabaean kebanyakan hidup sebagai
pengrajin perak di daerah sungai Tigris Hilir. Orang Yazidis umumya hidup di
Jabal Sinjar. Orang Lur tinggal di Irak Tengah bagian timur dan merupakan
kelompok masyarakat Iran dari seberang perbatasan. Orang Armenia tersebar di
kota-kota utama Irak sebagai pedagang, usahawan, dan lain-lain. Orang Armenia
sudah lama hidp mapan di Irak tetapi masih dianggap asing dan tidak disukai
orang banyak, tetapi jarang sampai ditindas. Orang Yahudi merupakan kelompok
mayoritas di Baghdad sebelum tahun 1914. Orang Yahudi patuh pada hukum,
tetapi memisahkan diri dari kelompok masyarakat lain dan hidup sebagai
pedagang, pegawai kecil, dan lain-lain (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia,
1990 : 90).
3. Ekonomi
Irak merupakan salah satu negara di kawasan Timur-Tengah yang
memiliki cadangan minyak yang melimpah. Ekonomi utama Irak ditopang dari
sumber minyak dengan nilai ekspor mencapai 90%. Ekonomi di Irak juga
mengalami perkembangan terutama dalam bidang pertanian, pertambangan dan
perindustrian (khusunya industri minyak). Sektor pertanian di Irak menyerap
sekitar 30% tenaga kerja dan menyumbangkan 16% dari pendapatan nasional,
sedangkan sektor pertambangan dan perindustrian menyerap 11% tenaga kerja
dan menyumbang sekitar 34% pendapatan nasional (Ensiklopedi Indonesia Seri
Geografi Asia, 1990 : 93).
lxv
Di sektor pertanian sekitar 43% dari daratan Irak potensial untuk
dibudidayakan, tetapi baru sekitar 13% yang digunakan, sedangkan sekitar 50%
tanah yang potensial tersebut dibiarkan kosong, sementara 15% adalah padang
rumput dan padang penggembalaan. Hasil utama pertanian di Irak adalah kurma,
barley, gandum, kentang, semangka, tomat, anggur, dan buah-buahan lain. Daerah
hujan di timur laut menghasilkan biji-bijian, tembakau, dan buah-buahan,
sementara daerah pertanian yang beririgasi di dataran-dataran menghasilkan
barley, gandum, millet, jagung, sayur-sayuran, dan wijen. Wilayah di ujung
tenggara penghasil barley, padi, dan kurma. Usaha di sektor pertanian juga
ditunjang usaha peternakan. Penduduk pedesaan banyak memelihara ternak
seperti biri-biri, kambing, keledai, bagal, sapi, kerbau, kuda, dan unta yang
dianggap penting untuk menunjukkan kekayaan dan menunjang kehidupan
mereka. Selain itu terdapat pula pusat perikanan di sungai-sungai besar dan
danau-danau menghasilkan ikan carp (sejenis gurami), barbel, dace dan ikan
lainnya (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 93-94).
Di sektor pertambangan, Irak termasuk salah satu negara penghasil minyak
terbesar di dunia. Minyak terutama dihasilkan dari tiga daerah; ladang Kirkuk,
Bay Hasan dan Jabur; ladang Ayn Zalah dan Butmah di barat laut Mosul; ladang
Az Zubair dan Rumailah di selatan Basrah. Sumber-sumber mineral lain yang
dihasilkan di Irak adalah gipsum, bijih besi, krom ,tembaga, timah dan seng
(Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 94).
Perindustrian di Irak umumnya dkendalikan oleh pemerintah. Pusat utama
perindustrian berada di Baghdad, Basrah dan Mosul. Hasil industri bergeser dari
batu bara dan semen ke perabot, tekstil (katun, wol, sutera), sabun dan barang-
barang metal. Industri kecil atau kerajinan tangan masih memainkan peranan yang
penting dalam ekonomi Irak meskipun industrialisasi telah berjalan. Tikar,
perabot rumah tangga, kerajinan perak, sepatu kulit, pakaian wol merupakan hasil
industri kecil atau kerajinan tangan penduduk Irak (Ensiklopedi Indonesia Seri
Geografi Asia, 1990 : 94-95).
lxvi
4. Pemerintahan
Negara dan pemerintahan di Irak dipimpin oleh seorang presiden yang
sekaligus menjabat sebagai komandan angkatan bersenjata dan kepala Dewan
Komando Revolusi yang membuat dan menetapkan kebijaksanaan pemerintahan.
Dewan Komando Revolusi tersebut terdiri atas pimpinan Partai Ba’ath dari
pejabat-pejabat militer. Lembaga legislatif beranggotakan 250 orang yang dipilih
rakyat. Dewan menteri diangkat oleh presiden. Irak terbagi menjadi 18 provinsi
dan tiga darinya adalah daerah otonomi Kurdi yaitu Dahuk, Arbil dan
Sulaymaniah yang terbentuk sesuai perjanjian tahun 1970 yang dilanjutkan
dengan kesepakatan pada 11 Maret 1974, di mana pemerintah Irak memberikan
otonomi di Kurdistan Irak yang mencakup tiga wilayah tersebut tanpa
memasukkan Kirkuk dalam daerah otonomi Kurdi. Daerah otonomi Kurdi
tersebut berada dalam perlindungan PBB dan pasukan koalisi setelah Perang
Teluk untuk melindungi suku Kurdi atas tindakan militer Saddam Hussein
(Alauddin Al-Mudarris, 2004 15). Masing-masing provinsi dipimpin oleh
gubernur yang diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.
Sejarah pemerintahan di Irak sudah berlangsung lama. Ribuan tahun
sebelum Masehi (sekitar 3000 SM) di wilayah Irak telah berdiri beberapa kerajaan
besar yang membangun peradaban dunia paling awal, seperti Sumeria, Akkad,
Assyria dan Babilonia. Peradaban dunia paling awal berkembang di daerah Irak
sekarang, khususnya di lembah sungai Tigris. Tahun 539 SM wilayah tersebut
dikuasai Kerajaan Persia. Tahun 331 SM, Iskandar Agung berhasil mengusir
bangsa Persia dan pemerintahan Yunani berkuasa di wilayah ini dengan
menyebutnya dengan nama Mesopotamia. Tahun 115 SM wilayah Irak menjadi
bagian dari Kekaisaran Roma selama 500 tahun. Kemudian sebagian daerahnya
dikuasai Persia dan sebagian lagi masih dikuasai Roma hingga datangnya Islam
(Ensiklopedi Islam, 1993 : 239).
Wilayah Irak kemudian ditaklukan tentara Arab Islam tahun 633-637 M
dengan membawa bahasa Arab dan ajaran Islam. Penaklukan tersebut berlangsung
dalam tiga tahap sebagai berikut :
lxvii
a. Tahap pertama berlangsung pada masa Khalifah Abu Bakar as-Sidiq. Tentara
Islam di bawah pimpinan Musanna bin Hasirah menaklukan bagian barat
sungai Eufrat. Kesuksesan tersebut mendorong Abu Bakar mengirim tentara
yang lebih besar di bawah pimpinan Khalid bin Walid yang menyerang dari
utara dan berhasil menguasai kota Hirah dan pelabuhan al-Ubullah di Teluk
Arab setelah sebelumnya bertemu dengan tentara Persia.
b. Tahap kedua berlangsung pada masa Khalifah Umar bin Khattab.Serangan di
arahkan ke utara Baghdad yang disebut Ard as-Sawad. Di sini Kerajaan Persia
membangun pusat pemerintahan di kota Madain. Pertempuran antara tentara
Islam dengan bangsa Persia berlangsung beberapa tahun yang dimenangkan
tentara Islam dengan ditaklukkannya daerah Ard as-Sawad di bawah pimpinan
Panglima Sa’d bin Abi Waqas. Penaklukan dilanjutkan atas suku-suku Arab
yang bekerjasama dengan bangsa Persia di utara Irak.
c. Tahap ketiga juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Tentara
Islam yang dipimpin Iyad bin Ganam menyerang daerah-daerah yang dikuasai
oleh bangsa Romawi yang disebut Ard al-Jazirah. Tentara Islam dapat
menguasai kota-kota penting seperti ar-Raqqah, Harran dan ar-Ruha.
Penyebaran agama Islam dipusatkan di kota kembar Basra dan Kufah yang
dibangun pada masa Khalifah Umar bin Khattab (Ensiklopedi Islam,
1993:240).
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, di kota Basra dan Kufah timbul
gerakan oposisi yang menyerang Madinah dan membunuh Khalifah Usman bin
Affan. Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib pusat pemerintahan di pindahkan
ke Kufah. Pada masa Dinasti Umayyah, Basra dan Kufah menjadi pusat gerakan
oposisi Bani Hasyimiah, Abbasiyah, Syiah dan Khawarij. Setelah Dinasti
Umayyah jatuh dan digantikan Dinasti Abbasiyah (133-656 H atau 750-1258 M).
Pada masa Dinasti Abbasiyah pusat pemerintahan dipindahkan ke Baghdad dan
Baghdad juga menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, perdagangan, peradaban
dan ilmu pengetahuan di dunia Islam timur. Kejayaan Dinasti Abbasiyah di Irak
berakhir setelah Baghdad dihancurkan oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun
1258. Tahun 1260 M Irak dibebaskan dari kekuasaan Mongol oleh Kekhalifahan
lxviii
Mamalik di Mesir. Tahun 1401, Irak kembali dikuasai oleh Mongol di bawah
pimpinan Timur Lenk. Tahun 1508, Irak dikuasai Persia di bawah pimpinan
Ismail Safawi dan tahun 1683-1918 dikuasai oleh Turki Usmani (Ensiklopedi
Islam, 1993 : 241).
Pasca Perang Dunia I Irak berada di bawah kekuasaan Inggris yang
mendapat mandat atas Irak dari Liga Bangsa-Bangsa tahun 1920. Tahun 1921
Inggris membentuk pemerintahan dengan mengangkat Faisal I (Faisal bin Husein
bin Ali) dari Mekah menjadi Raja pertama. Tahun 1931 Raja Faisal I meninggal
dunia dan digantikan puteranya, Raja Ghazi bin Faisal. Tanggal 3 Oktober 1932,
Liga Bangsa-Bangsa mengakhiri mandat Inggris atas Irak dan mengakui Irak
sebagai negara merdeka. Tahun 1939 Raja Ghazi meninggal dalam sebuah
kecelakaan mobil dan digantikan puteranya yang masih berusia tiga tahun
bernama Faisal II bin Ghazi. Kekuasaan untuk sementara waktu dijalankan oleh
Perdana Menteri Nuri as-Sa’id sampai tahun 1953 kekuasaan diambil penuh Raja
Faisal II (Alauddin Al-Mudarris, 2004 : 21).
Pada tanggal 14 Juli 1958, Jendral Abdul Karim Kasim naik ke puncak
pemerintahan melalui kudeta militer terhadap Raja Faisal II yang tewas dalam
kudeta tersebut. Jendral Abdul Karim Kasim sebagai pemimpin revolusi memberi
pernyataan umum, yaitu : (1) memproklamasikan kemerdekaan negeri tercinta
dari komplotan yang korup yang diangkat oleh imperialisme Inggris; (2)
mengumumkan bentuk negara republik rakyat yang berpegang teguh pada cita-
cita kesatuan Irak; dan (3) menghimbau ikatan persaudaraan dengan negara-
negara Arab dan negara-negara Islam serta menyesuaikan kebijakan luar
negerinya dengan prinsip-prinsip Konferensi Bandung, yakni kebijakan netralisme
dan nonblok (George Lenczowski, 1993 : 191).
Pemerintahan revolusioner yang baru disusun yang terdiri atas Dewan
Kedaulatan dengan tiga anggota dari kabinet yang diketuai Jendral Abdul Karim
Kasim yang sekaligus sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Kolonel
Abdul Salam Arif menjadi deputi perdana menteri dan wakil panglima angkatan
bersenjata. Pemimpin-pemimpin terkemuka partai oposisi diminta untuk
menggabungkan diri dengan pemerintah seperti Mohammad Hadid dari Partai
lxix
Demokrat Nasional sebagai menteri keuangan, Siddiq Sanshal dari Partai Itiqlal
sebagai menteri bimbingan, Fuad Rikabi dari Partai Baath sebagai menteri
pembangunan, dan beberapa orang sipil dan militer melengkapi kabinet tersebut
(George Lenczowski, 1993 : 190).
Tanggal 8 Februari 1963 sekelompok militer dari Partai Ba’ath
mengkudeta Jendral Jendral Abdul Karim Kasim dan mengangkat Abdul Salam
Arif sebagai Presiden Irak. Tahun 1966 Abdul Salam Arif meninggal dan
digantikan saudaranya, Jendral Abdul Rahman Arif. Pada tahun 1968, tokoh-
tokoh Partai Ba’ath menurunkan pemerintahan Jendral Abdul Rahman Arif dan
mengangkat Jendral Ahmed Hassan al-Bakr sebagai Presiden dan Pimpinan
Tertinggi RCC (Revolutionary Command Council) yaitu sebuah badan eksekutif,
legislatif dan yudikatif tertinggi negara (Alauddin Al-Mudarris, 2004 : 22-23).
Lembaga Komando Revolusi (Revolutionary Command Council / RCC)
didirikan Parta Ba’ath sebagai badan eksekutif, legislatif dan yudikatif tertinggi
negara. Kekuasaan eksekutif dipusatkan pada Ketua Dewan Komando Revolusi,
yang juga menjabat sebagai Kepala Negara / Presiden. Kekuasaan legislatif secara
formal berada di tangan Dewan Nasional yang terdiri dari 100 orang, tetapi badan
ini belum pernah bersidang, sehingga fungsi legislatif dilaksanakan Dewan
Komando Revolusi. Setelah pemilu 1980 kekuasaan legislatif di serahkan kepada
Majelis Nasional (Parlemen).Semua Undang-Undang yang dihasilkan oleh badan
ini memerlukan persetujuan Kekuasaan yudikatif Dewan Komando Revolusi.
Pada kekuasaan yudikatif, sistem pengadilan terdiri dari pengadilan tingkat
pertama, di atasnya terdapat lima pengadilan banding. Pada puncak sistem
pengadilan terdapat pengadilam Kasasi. RCC (Revolutionary Command Council)
sebenarnya merupakan otoritas tertinggi dalam negara, tetapi pada dasarnya yang
paling berkuasa dalam RCC bukan keputusan lembaga secra demokrasi,
melainkan pimpinan tertinggi (Ketua RCC). RCC terdiri dari 8 sampai 10
anggota, yang dipimpin oleh seorang ketua umum merangkap sebagai Presiden,
Perdana Menteri, Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan Sekjen Partai Ba’ath.
Anggota RCC adalah para petinggi partai pada pelbagai pimpinan lokal negara
(Regional Leadership / RL) (Alauddin Al-Mudarris, 2004 : 28-34).
lxx
16 Juli 1979 Saddam Hussein tampil sebagai Presiden Irak dan pimpinan
RCC (Revolutionary Command Council) menggantikan Ahmed Hassan al-Bakr.
Saddam Hussein menjalankan pemerintahan yang totaliter, di mana semua
institusi sosial dikontrol oleh negara. Kontrol tersebut mencakup ekonomi,
pendidikan, agama dan bahkan keluarga. Negara dijalankan oleh satu partai
tunggal yakni Partai Ba’ath sebagai kekuatan Saddam Hussein dalam
mempertahankan kekuasaannya yang meletakkan Saddam Hussein sebagai pusat
kekuasaan. Saddam Hussein juga dianggap sebagai pemimpin yang diktaktor dan
kejam yang membantai suku Kurdi di Irak Utara tahun 1988 dan 1991 serta
mengeksekusi para petinggi sipil dan militer yang dianggap menentang dan
melawan perintah Saddam Hussein (Alauddin Al-Mudarris, 2004 : 29).
Kekuasaan Saddam Hussein di Irak berakhir tanggal 9 April 2003, ketika Amerika
Serikat menginvasi Irak tahun 2003 yang berujung pada dieksekusinya mati
Saddam Hussein pada 30 Desember 2006.
Pemerintahan Saddam Hussein digantikan oleh Pemerintahan Koalisi
Sementara Irak sebagai pemerintahan sementara setelah invasi Irak oleh Amerika
Serikat sesuai dengan Resolusi 1483 Dewan Keamanan PBB dan undang-undang
perang. Pemerintahan Koalisi Sementara Irak mengambil alih kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif atas pemerintahan Irak mulai dari pembentukan
pada 21 April 2003 hingga pembubarannya pada 28 Juni 2004. Jay Garner
ditunjuk sebagai kepala eksekutif Pemerintahan Koalisi Sementara Irak, tetapi
pada tanggal 11 Mei 2003 Jay Garner diganti oleh L. Paul Bremer
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Koalisi_Sementara_Irak).
Pada tanggal 13 Juli 2003 L. Paul Bremer membentuk Dewan
Pemerintahan Irak dengan anggota 25 tokoh dari berbagai latar belakang etnis,
agama, dan mazhab agama. Anggota Dewan Pemerintahan Irak dipilih dengan
pertimbangan utama persentase kelompok agama dan etnis di Irak yang terdiri
atas tigabelas Muslim Syiah, lima Muslim Sunni, lima Kurdi, satu Kristen dan
satu Turkmenistan. Dewan Pemerintahan Irak tersebut memiliki kewenangan
penuh dalam menjalankan pemerintahan dan percaturan politik. Selain itu, Dewan
Pemerintahan Irak juga memiliki wewenang untuk mengangkat menteri dan
lxxi
menyetujui anggaran tahun 2004 serta berwenang di bidang hukum,
menandatangani kontrak kerjasama dan menunjuk anggota komite untuk
menyusun kerangka konstitusi baru untuk persiapan pemilu 2004. Meskipun
demikian, kedudukan Dewan Pemerintahan Irak ini masih di bawah Pemerintahan
Koalisi Sementara Irak. L. Paul Bremer memiliki kewenangan penuh untuk
membatalkan, menunda atau menghapus keputusan Dewan Pemerintahan Irak
(Mustofa Abd. Rahman, 2003 : 259).
Pada 28 Juni 2004 Pemerintahan Koalisi Sementara Irak mengalihkan
kekuasaannya kepada Pemerintah Interim Irak sebagai pemerintah sementara
untuk memerintah Irak hingga Pemerintahan Transisi Irak terbentuk setelah
pemilihan Majelis Nasional Irak tanggal 30 Januari 2005. Ghazi Mashal Ajil al-
Yawer menjabat sebagai Presiden. Sementara itu, Wakil Presiden dijabat oleh
Barham Salih dan Perdana Menteri dijabat oleh Iyad Allawi. Tanggal 3 Mei 2005
Pemerintah Interim Irak diganti Pemerintahan Transisi Irak dengan Presiden Jalal
Talabani yang diangkat oleh Parlemen tanggal 6 April 2005. Pemerintahan
Transisi Irak tersebut berakhir tanggal 20 Mei 2006. Sejak saat itu dibentuklah
Pemerintahan Irak yang permanen dan Jalal Talabani terpilih kembali sebagai
Presiden Irak sampai sekarang. Wakil Presiden dijabat oleh Adil Abdul-Mahdi
dan Tariq Al-Hasimi, sedangkan sebagai Perdana Menteri adalah Nouri al-Maliki
(http://en.wikipedia.org/wiki/Iraqi_Interim_Government&prev).
B. Sejarah Munculnya Gerakan Perjuangan Suku Kurdi di Irak
Suku Kurdi berasal dari rumpun bangsa Indo-Eropa yang dikenal sebagai
suku yang mendiami daerah pegunungan di perbatasan Irak, Iran, Turki dan
Suriah sejak 8000 tahun yang lalu. Menurut Profesor Mehrdad R Izady, seorang
pakar Kurdi dari Universitas Harvard, sejarah suku Kurdi dibagi menjadi empat
periode. Periode pertama (6000 SM sampai 5400 SM) disebut periode Halaf. Ini
berdasarkan bukti-bukti arkeologis, seperti bentuk dan lukisan pada pot-pot kuno
yang ditemukan di gunung Tell Halaf yang terletak di sebelah barat Qamishli
(Suriah).
lxxii
Periode kedua (5300 - 4300 SM) disebut periode al-Ubaid, nama sebuah
gunung di utara Irak tempat ditemukannya banyak peninggalan kuno. Penduduk
Ubaid inilah yang memberikan nama “Tigris” dan “Euphrates” untuk dua sungai
utama di Irak yang mengalir dari Kurdistan ke Mesopotamia dan menurunkan
suku Chaldean atau Khaldi.
Periode ketiga disebut zaman Hurri, dimana pusat kehidupan pindah ke
kawasan pegunungan Zagros-Taurus-Pontus dengan beberapa kerajaan kecil,
antara lain Arrap’ha, Melidi, Washukani dan Aratta. Sekitar 2000 SM suku Hitti
dan Mittani (Sindi) datang dan menetap di Kurdistan. Tahun 1200 SM bangsa
Arya (Indo-Eropa) melakukan invasi besar-besaran termasuk ke Kurdistan,
sehingga pada tahun 727 SM kerajaan Hurri berakhir. Selanjutnya muncul
kerajaan Medes dengan ibukota di Ecbatana (sekarang Hamadan, Iran) yang
bertahan hingga tahun 549 SM. Kaum Medes inilah yang diakui oleh orang-orang
Kurdi sekarang sebagai nenek moyang mereka.
Periode keempat disebut periode Semitik dan Turkik, menyusul interaksi
orang-orang Medes dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam (Arab) serta
asimilasi mereka dengan bangsa Turki (terbukti dengan adanya nama-nama
kabilah seperti Karachul, Oghaz, Devalu, Karaqich, Iva, dan sebagainya)
(http://swaramuslim.com/islam/more).
Catatan paling awal mengenai istilah Kurdi ditemukan dalam dokumen
Raja Tiglath-Pileser I yang memerintah Assyria dari tahun 1114 SM hingga 1076
SM yang menyebutkan bahwa daerah “Qurti” di gunung Azu termasuk salah satu
wilayah yang berhasil ditaklukkan oleh sang raja. Bagi orang Akkadian, sebutan
“Kurti” digunakan untuk menunjuk mereka yang tinggal di kawasan pegunungan
Zagros dan Taurus timur, sedangkan orang Babylonia menyebut mereka “Guti”
dan “Kardu”. Sumber Yahudi (Talmud) beberapa kali menyebut tentang bangsa
“Qarduim”. Sementara itu, dalam catatan ekspedisinya pada tahun 401 SM,
Xenophon menceritakan pertemuannya dengan orang-orang “Kardykhoi”. Ini
diikuti oleh Polybius (130 SM) yang menyebut mereka “Kyrtioi” dan “Strabo”
(40 M) yang melatinkannya menjadi “Cyrtii”. Menurut Profesor Izady, setidaknya
sejak kurun pertama Masehi, istilah “Kurd” mulai umum dipakai untuk menyebut
lxxiii
siapa saja yang mendiami wilayah pegunungan dari Hormuz hingga ke Anatolia
(http://swaramuslim.com/islam/more).
Orang-orang Kurdi adalah suatu kelompok etnis Indo-Eropa yang
mayoritas menganut agama Islam Sunni dan tinggal di wilayah Kurdistan (tanah
orang-orang Kurdi) dengan luas wilayah sekitar 640.000 km2. Wilayah Kurdistan
saat ini terdapat di beberapa negara seperti Turki bagian tenggara, Iran Utara, Irak
Utara, dan Suriah Utara (M. Riza Sihbudi, 1991 : 136).
Jumlah Suku Kurdi secara keseluruhan diperkirakan sekitar lebih dari 20
juta orang Kurdi dan terpaksa tinggal di beberapa negara berbeda. Di Turki
terdapat sekitar 10 juta orang Kurdi; di Iran sekitar 6 juta orang Kurdi; di Irak
terdapat lebih dari 5 juta orang Kurdi; dan di Suriah 1 juta lebih. Komunitas-
komunitas yang lebih kecil ada yang tinggal di republik-republik bekas Uni Soviet
dan Lebanon serta ada juga yang telah hijrah dan menetap di Eropa, Amerika dan
Australia (http://swaramuslim.com/islam/more).
Orang-orang Kurdi merupakan suatu kelompok etnis Indo-Eropa yang
secara etnis berbeda dengan Arab, Turki dan Iran. Ciri-ciri orang Kurdi adalah
kulit agak gelap, perawakan tubuh sedang, rambut coklat dan hitam serta mata
coklat dan abu-abu (http://apakabar.ws/forums//viewtopic.php?f=1&t=5689).
Suku Kurdi berbicara dalam bahasa mereka sendiri yakni Kurdi dengan beberapa
dialek serta memilki budaya yang berbeda dengan budaya yang hidup disekitarnya
(Trias Kuncahyono, 2005:168). Pada zaman pra-Islam, orang Kurdi menggunakan
bahasa Pahlavi yang merupakan bahasa Parsi kuno yang masih serumpun dengan
bahasa Sanksekerta dan bahasa-bahasa Eropa. Setelah kedatangan Islam dan
invasi Dinasti Ustmaniah Turki, orang-orang Kurdi mulai menggunakan dialek
suku Kurmanj. Begitu kuatnya pengaruh suku Kurmanj hingga mayoritas orang
Kurdi masih banyak yang menyebut diri mereka “Kurmanj” dan bahasa mereka
“Kurmanji”. Sekarang ini, terdapat dua dialek utama dalam bahasa Kurdi yaitu
Kurmanji dan Sorani (atau sering juga disebut “Kurdi”). Sub-dialeknya antara lain
Kirmanshah, Leki, Gurani dan Zaza. Mengenai sub-suku, sejarawan Kurdi
Syarafuddin Bitlisi menyatakan dalam kitabnya Sharafnamah (Mukadimah 7-9)
bahwa bangsa Kurdi terbagi empat, masing-masing mempunyai dialek dan adat-
lxxiv
istiadat sendiri yaitu Kurmanj, Lur, Kalhur, dan Guran
(http://swaramuslim.com/islam/more).
Sebelum masuknya Islam, suku Kurdi menganut agama-agama Parsi kuno
seperti Zoroaster, Mithraisme, Manichaeisme dan Mazdak. Beberapa kuil
penyembahan api peninggalan zaman tersebut masih terdapat sampai sekarang,
antara lain di Ganzak (Takab) dan Bijar. Mereka juga sempat dipengaruhi oleh
ajaran Yahudi dan Nasrani, tetapi semua pengaruh agama-agama tersebut hampir
semuanya terkikis habis dengan datangnya Islam di abad ke-7 Masehi. Mayoritas
orang Kurdi adalah pemeluk Islam Sunni yang bermazhab Syafi‘I dan sebagian
kecil menganut Islam Syiah, khususnya yang tinggal di Kirmanshah, Kangawar,
Hamadan, Qurva dan Bijar di selatan dan timur Kurdistan (bagian Iran), serta
mereka yang tinggal di Malatya, Adiyaman dan Maras di barat Kurdistan (bagian
Turki). Bangsa Kurdi terkenal berani, kuat dan gigih serta banyak berperan dalam
menyebarkan dan membela Islam serta tidak sedikit tokoh-tokoh agama (ulama),
pemimpin dan pejuang Islam berasal dari suku Kurdi seperti Shalahuddin al-
Ayyubi, panglima perang dan pahlawan Islam dalam Perang Salib yang berhasil
merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan orang-orang Kristen
(http://swaramuslim.com/islam/more).
Kurdi merupakan etnis yang relatif tua usia, namun kesadaran terhadap
wilayah baru muncul belakangan, bahkan sangat terlambat. Entitas Kurdi
setidaknya telah dimulai sejak dua ribu tahun sebelum masehi. Suku Kurdi
mempunyai kesadaran etnis, tetapi tidak mempunyai kesadaran kewilayahan,
sebagai konsekuensi kultur tradisional nomaden, yang hidup berpindah-pindah
dari Turki dan Iran ke lembah Mesopotamia sambil menggembala ternak dan
bertani. Pasca Perang Dunia I, ketika negara-negara mulai menetapkan garis
perbatasan, barulah kesadaran wilayah kaum Kurdi muncul terutama karena
terdesak dan terpaksa meninggalkan pola hidup tradisionalnya serta mulai
menetap di berbagai pemukiman.
Suku Kurdi mencita-citakan negara Kurdistan merdeka yang sekuler dan
demokratis. Suku Kurdi yang tersebar di Turki, Iran, Irak, dan Suriah sebagai
minoritas etnis sering diabaikan kepentingannya oleh pemerintah masing-masing
lxxv
negara tersebut, sehingga suku Kurdi ingin memisahkan diri dari negara induk
masing-masing dan bercita-cita mendirikan Negara Kurdistan.
Perjanjian Sevres (Treaty of Sevres) tahun 1920 di Perancis oleh pihak
Sekutu sebagai pihak yang menang dalam Perang Dunia I dengan Dinasti
Ustmaniah Turki memberikan keuntungan bagi perjuangan suku Kurdi. Dalam
perjanjian tersebut ditetapkan pembentukan wilayah Kurdistan merdeka yang
sebelumnya berada dibawah kekuasaan Dinasti Ustmaniah Turki, tetapi
kenyataanya keputusan tersebut tidak terealisasi. Turki tidak mau menjalankan
ketentuan mengenai suku Kurdi, bahkan Mustafa Kemal Ataturk memaksa sekutu
untuk membatalkan perjanjian Sevres yang merugikan Turki. Menurut Mustafa
Kemal Ataturk, Perjanjian Sevres sangat merugikan dan melemahkan Turki
karena perbatasan timur negara Turki memanjang hingga Sulaymaniah, Arbil,
Kirkuk dan Mosul berada di utara wilayah Irak sekarang. Selain itu, Mustafa
Kemal Ataturk juga berpandangan bahwa rakyat Turki dan Kurdi merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan karena memiliki latar belakang sejarah dan
agama yang sama (Mustofa Abd. Rahman, 2003 :196).
Perjanjian Sevres dibatalkan dan digantikan perjanjian Lausane pada 24
Juli 1923, Dalam perjanjian Lausane tersebut, masalah Kurdi tidak disinggung
lagi. Dengan dibebaskannya daerah-daerah Arab dari kekuasaan Dinasti
Ustmaniah Turki dan dibagi-bagi menjadi daerah sekutu, sehingga suku Kurdi
menjadi terpecah belah dan tersebar dalam beberapa negara yaitu Turki, Iran, Irak,
dan Suriah (Daliman, 2000 : 133).
Fakta bahwa wilayah Kurdistan berada di beberapa negara menjadi
kendala utama terwujudnya sebuah negara Kurdistan merdeka. Jika dipaksakan
sangatlah sulit karena suku Kurdi harus menghadapi empat negara sekaligus yakni
Turki, Iran, Irak dan Suriah. Berdasarkan kenyataan tersebut, suku Kurdi tidak
lagi mencita-citakan berdirinya sebuah negara Kurdistan, tetapi mendapatkan
wilayah yang otonom sehingga suku Kurdi dapat mengatur diri dan
mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka (M. Riza Sihbudi,
1991:138).
lxxvi
Perjuangan suku Kurdi untuk memperjuangkan nasib suku bangsanya
dimulai pada abad 19, tepatnya tahun 1880, ketika pecah pemberontakan yang
dipimpin oleh tokoh Kurdi, Syaikh Ubaydullah, di propinsi Hakari yang berada di
bawah kekusaan Dinasti Utsmaniah Turki. Tahun 1897, untuk pertama kalinya
orang-orang Kurdi menerbitkan sebuah surat kabar yang diberi nama Kurdistan
yang bertujuan untuk menyebarluaskan informasi tentang budaya dan perjuangan
bangsa Kurdi. Seluruh biaya penerbitan koran tersebut dibiayai oleh salah satu
keluarga Kurdi ternama yakni Badr Khan. Tahun 1919, Syaikh Mahmud (seorang
pemimpin Kurdi) memproklamirkan wilayah Sulaymaniah di Irak sebagai wilayah
yang merdeka dari kekuasaan Inggris. Meskipun akhirnya Inggris berhasil
menundukkan Syaikh Mahmud, tetapi “Peristiwa Sulaymaniah” tercatat sebagai
pemberontakan suku Kurdi secara besar-besaran yang pertama kali pada abad ke-
20 dan berpengaruh terhadap orang-orang Kurdi di wilayah Kurdistan Iran dan
Turki (M. Riza Sihbudi, 1991 : 137).
Tahun 1923, Syaikh Ahmad Barzani dan adiknya Mullah Mustafa Barzani
(Kurdistan Irak) mulai melancarkan kampanye guna mendapatkan otonomi bagi
wilayah Kurdistan Irak. Tahun 1946, Mullah Mustafa Barzani mendirikan Partai
Demokratik Kurdi (Kurdish Democratic Party / KDP) di Uni Soviet pada masa
pengasingannya. Partai tersebut beranggotakan sekelompok intelektual Kurdi dan
memperoleh dukungan dari suku Kurdi yang tinggal di pegunungan. Partai
Demokratik Kurdi-Irak baru diakui oleh pemerintah Irak tahun 1958 ketika terjadi
kudeta di Irak. Selain KDP, orang-orang Kurdi Irak juga mempunyai partai politik
yang dibentuk Jalal Talabani, yaitu partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic
Union of Kurdistan / PUK). Jalal Talabani semula adalah anggota terkemuka
KDP, tetapi keluar karena sering bentrok dengan Mustafa Barzani yang kemudian
tahun 1975 ia mendirikan PUK sebagai partai modern. Hingga sampai saat ini
KDP dan PUK menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak (Trias Kuncahyono,
2005 : 173).
lxxvii
C. Proses Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi
di Kurdistan Irak
Masalah suku Kurdi merupakan salah satu masalah yang terjadi di
kawasan Timur-Tengah selain masalah bangsa Palestina dengan Israel yang sulit
dicari jalan pemecahannya, terutama masalah suku Kurdi di Irak. Jika
dibandingkan di Iran dan Turki, jumlah suku Kurdi Irak tergolong lebih sedikit
(sekitar 5 juta), tetapi perjuangan suku Kurdi Irak dalam memperoleh otonomi
dinilai yang paling agresif dengan intensitas perlawanan yang lebih sering
daripada di Iran dan Turki. Terbukti dengan seringnya terjadi bentrokan secara
fisik dengan pemerintah Irak yang mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa.
Di wilayah Iran, suku Kurdi mengangkat senjata melawan pemerintah Iran
untuk memperoleh otonomi. Tahun 1946, suku Kurdi Iran memisahkan diri dari
Iran dan mendirikan Republik Mahabad dengan bantuan Uni Soviet, tetapi
republik tersebut hanya berusia setahun setelah pemerintah Iran berhasil
merebutnya kembali dan Iran berhasil membunuh pemimpin Republik Mahabad
Kurdistan, Qazi Muhammad dan Ismail Agha Simitzo. Setelah revolusi Islam di
Iran tahun 1979, suku Kurdi di Iran melancarkan pemberontakan kembali
terhadap pemerintah Iran yang menolak memberikan otonomi. Ada dua alasan
yang menyebabkan pemerintah Iran menolak memberikan otonomi, yaitu :
1) Selain suku Kurdi, di Iran terdapat golongan minoritas etnis lain seperti
minoritas Arab dan Baluchistan. Pemerintah Iran khawatir jika tuntutan
suku Kurdi dipenuhi, suku-suku lainnya juga akan menuntut otonomi.
2) Kurdistan merupakan daerah yang kaya akan minyak. Jika Kurdistan
diberi otonomi, pemerintah Iran khawatir pendapatan negara dari sektor
minyak akan berkurang (Daliman, 2000 : 114).
Dalam pemberontakan tahun 1979 suku Kurdi Iran terlibat pertempuran
dengan Pasdaran (Pasukan Pengawal Revolusi Iran) dan menelan korban jiwa
sekitar 100 jiwa. Perjuangan suku Kurdi Iran tergabung dalam KDPI dan Komala
(Partai Komunis Iran). KDPI dipimpin oleh Abdullahman Ghassemlo, tetapi tahun
lxxviii
1985 Ghassemlo terpaksa melakukan negosiasi dengan Pemerintah Iran yang
membuat perjuangan suku Kurdi Iran berhenti (Daliman, 2000 : 114).
Perjuangan suku Kurdi di Turki juga terbilang agresif dan masih
berlangsung hingga saat ini. Perjuangan suku Kurdi Turki dihimpun melalui
Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang menuntut lepas dari Turki dan merdeka dengan
pemerintahan sendiri. Pemerintah Turki menolak memberikan kedaulatan bagi
suku Kurdi. Kombinasi kebijakan represi dan integrasi secara konsisten yang
diterapkan Pemerintah Turki terhadap suku Kurdi sangat efektif untuk
menghancurkan pemberontakan suku Kurdi (http://www.waspada.co.id). Operasi
militer besar-besaran terus dilakukan untuk menumpas gerakan Partai Pekerja
Kurdi (PKK) yang mengakibatkan ribuan jiwa kehilangan nyawa. Pada tahun
1991, ketua PKK Abdullah Ocalan ditangkap oleh pemerintah Turki dan dijatuhi
hukuman mati. Tekanan pemerintah Turki yang represif mampu melemahkan
tuntutan kemerdekaan yang dituntut suku Kurdi sehingga memaksa PKK
mengubah orientasinya pada perjuangan otonomi daerah khusus Kurdistan
(http://g1s.org/opini/kurdi-bangsa-besar-yang-termarginalkan-681)
Dalam sejarahnya, suku Kurdi berhasil mendirikan Negara Kurdistan di
wilayah Turki pada tahun 1922–1924, tetapi dapat dibubarkan pemerintah Turki.
Setelah itu, suku Kurdi melancarkan pemberontakan besar-besaran pada tahun
1925, 1930 dan 1937, tetapi semuanya mengalami kegagalan sehingga banyak
orang-orang Kurdi yang dibantai pemerintah Turki. Pada waktu itu, pemerintah
Turki di bawah Mustafa Kemal Attatuk berhasil menyatukan orang-orang Turki
dan Kurdi melalui kombinasi kebijakan represif dan intergrasi terhadap suku
Kurdi sehingga secara resmi tidak ada orang-orang Kurdi di Turki (Daliman,
2000: 136). Pemerintah Turki menyebut suku Kurdi dengan “orang Turki
pegunungan” dan memaksa suku Kurdi mengganti kebudayaannya dengan budaya
Turki, termasuk bahasa dan adat-istiadatnya melalui Konstitusi Turki 1982 yang
melarang penggunaan bahasa selain Turki (Tempo, 27 April 1991: 79).
Perjuangan suku Kurdi di Suriah dihimpun melalui Partai Demokrasi
Kurdistan Syiria (Kurdistan Democratic Party of Syria / KDPS) yang didirikan
oleh Osman Sabri bersama beberapa politisi Kurdi tahun 1957. Tujuan dari KDPS
lxxix
adalah memperjuangkan hak budaya Kurdi, kemajuan ekonomi dan perubahan
demokratis. Selama ini pemerintah Suriah melarang suku Kurdi berbicara dengan
bahasa Kurdi di depan umum, melarang pendirian partai politik Kurdi, penolakan
untuk mendaftarkan anak-anak dengan nama Kurdi, larangan bisnis yang tidak
memiliki nama Arab dan larangan penerbitan buku-buku yang ditulis dalam
bahasa Kurdi (http://en.wikipedia.org/wiki/Kurdish_people&prev=/translate)
KDPS tidak diakui secara legal oleh negara Suriah dan tetap sebagai
organisasi bawah tanah, khususnya setelah tindakan kekerasan pada tahun 1960
yang mengakibatkan beberapa pemimpin Kurdi yang ditangkap dan dipenjarakan
dengan tuduhan melakukan gerakan separatis. Pada tanggal 23 Agustus 1962,
pemerintah melakukan sensus penduduk di Provinsi Jazira yang dikuasai Kurdi
sehingga mengakibatkan sekitar 20 persen dari populasi Kurdi di Suriah dicabut
status kewarganegaraannya. Pemerintah Suriah beralasan bahwa suku Kurdi yang
berada di Suriah berasal negara-negara tetangga terutama dari suku Kurdi di Turki
yang secara ilegal masuk ke Suriah yang secara bertahap menetap di kota-kota
seperti Amuda dan Al Qamishli sehingga suku Kurdi menjadi mayoritas di kota
tersebut (http://en.wikipedia.org/wiki/Kurdish_people&prev=/translate)
Jika dibandingkan dengan pejuangan suku Kurdi di Iran, Turki dan Suriah,
perjuangan suku Kurdi di Irak dinilai paling agresif terlihat dengan seringnya
terjadi bentrokan secara fisik dengan pemerintah Irak yang mengakibatkan banyak
jatuh korban jiwa. Pemerintah Irak sangat menentang adanya pemberontakan yang
mengganggu stabilitas negara dan untuk menghadapinya sering mengerahkan
kekuatan militer untuk memadamkan pemberontakan suku Kurdi. Selain itu,
pemerintah Irak juga ingin mengamankan penghasilan minyaknya karena di
daerah Kurdistan kaya akan minyak seperti wilayah Kirkuk dan Mosul. Jika suku
Kurdi diberi otonomi luas yang mencakup wilayah tersebut terutama di Kirkuk
yang menghasilkan sepertiga jumlah produksi minyak di Irak akan membuat
pemasukan negara berkurang dan ditakutkan dengan modal minyak suku Kurdi
dapat membeli persenjataan dan membangun kekuatan militer dengan tujuan
melakukan pemberontakan yang lebih besar pada pemerintah serta ditakutkan
berujung pada pembentukan Negara Kurdistan merdeka. Hal ini dapat
lxxx
membangkitkan nasionalisme suku Kurdi yang tinggal di Iran, Turki dan Suriah
sehingga akan mengganggu stabilitas keamanan di wilayah tersebut.
Perjuangan suku Kurdi di Irak juga lebih menarik diamati mengingat
stabilitas negara Irak sendiri yang kurang kondusif daripada Iran dan Turki.
Situasi politik di Irak kurang stabil yang diakibatkan sering terjadi kudeta dalam
pemerintahan untuk menggantikan pemerintahan yang lama dengan yang baru.
Selain itu, situasi politik Irak yang kurang kondusif dikarenakan Irak sering
terlibat peperangan dengan negara-negara lain, seperti dengan Iran dalam Perang
Parsi tahun 1980-1988 dan dalam Perang Teluk tahun 1991 melawan Kuwait dan
Pasukan Multinasional di bawah pimpinan Amerika Serikat. Situasi tersebut
dimanfaatkan suku Kurdi Irak untuk memberontak pada pemerintah guna
mencapai tujuannya.
Pemberontakan suku Kurdi terhadap pemerintah Irak sering dimanfaatkan
oleh negara-negara asing seperti Iran dan Amerika yang mempunyai kepentingan
di Irak. Suku Kurdi di tempatkan sebagai agen provocateur, bertindak sebagai
kepanjangan tangan Iran dan Amerika Serikat yang menentang atau
menginginkan tersingkirnya Saddam Hussein. Iran mendorong suku Kurdi Irak
untuk membantu pasukan Iran melawan pasukan Irak dalam Perang Parsi
sehingga berhasil merebut Halabjah dan Sulaymaniah (dua kota yang terletak di
Kurdistan Irak). Demikian halnya dengan Amerka Serikat yang mendorong suku
Kurdi untuk melakukan pemberontakan tahun 1991 dengan tujuan untuk
mempermudah Amerika Serikat menggulingkan Saddam Hussein. Alasan
Amerika Serikat ingin menggulingkan Saddam Hussein karena dinilai sebagai
pemimpin yang diktaktor dan represif sehingga perlu diganti dengan
pemerintahan baru yang lebih demokratis yang dalam hal ini pemerintahan baru
tersebut berada di bawah kontrol Amerika Serikat yang dapat membantu tujuan
strategis Amerika Serikat di Irak dan di kawasan Timur-Tengah, yang salah
satunya adalah dapat menguasai sumber-sumber minyak Irak yang merupakan
terbesar kedua setelah Arab Saudi guna kepentingan ekonomi dan industri
Amerika Serikat. Usaha penggulingan Saddam Hussein dari kekuasaan baru
berhasil pada saat Amerika Serikat menginvasi Irak tahun 2003.
lxxxi
Alasan suku Kurdi mau membantu negara asing seperti Iran dan Amerika
Serikat yang memiliki kepentingan di Irak adalah adanya harapan bahwa kedua
negara tersebut dapat membantu perjuangan suku Kurdi melawan pemerintahan
Saddam Hussein karena jika suku Kurdi berjuang sendirian tidak akan menang
melawan pasukan Irak yang terlatih dan disiplin serta dilengkapi dengan
persenjataan yang modern. Oleh karena itu, suku Kurdi bersedia membantu Iran
dan Amerika Serikat melawan Irak dengan tujuan menumbangkan Saddam
Hussein dari kekuasaannya yang terkenal sebagai pemimpin yang otoriter dan
menggantinya dengan pemerintahan baru yang lebih demokratis yang diharapkan
pemerintahan baru tersebut nantinya lebih lunak dan dapat memperlancar tujuan
suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan tetapi harapan suku Kurdi tersebut
tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Suku Kurdi Irak yang membantu Iran dalam melawan Irak pada saat
perang Parsi (1980-1988), sehingga Iran berhasil merebut Halabjah dan
Sulaymaniah (dua kota yang terletak di Kurdistan Irak). Pada akhirnya Perang
Parsi tidak memunculkan siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi kedua
pihak yang berselisih yaitu Irak dan Iran sepakat untuk mengakhiri perang dengan
gencatan senjata dan pasukan Iran meninggalkan wilayah Irak yang sebelumnya
di duduki pasukan Iran dengan bantuan suku Kurdi. Bantuan suku kurdi terhadap
pasukan Iran selama perang Parsi menyebabkan Saddam Hussein melancarkan
serangan ke wilayah Irak Utara dengan menggunakan senjata kimia karena suku
Kurdi dianggap sebagai “pengkhianat”.
Pasca Perang Teluk tahun 1991 suku Kurdi kembali melakukan
pemberontakan yang didukung secara tidak langsung oleh Amerika Serikat yang
menginginkan tumbangnya kekuasaan Saddam Hussein, tetapi pasukan Irak
kembali dapat menumpas pemberontakan Kurdi. Pasukan Amerika Serikat yang
setelah berakhirnya Perang Teluk masih berada di wilayah Irak tidak berbuat apa-
apa seperti membiarkan para pejuang Kurdi dihujani peluru dan bom oleh
pasukan Irak. Hal tersebut disebabkan karena secara politis, jika Amerika Serikat
mendukung pergerakan suku Kurdi berarti juga mengganggu kedaulatan di Turki,
Iran dan Suriah karena dapat membangkitkan nasionalisme di negara-negara
lxxxii
tersebut yang dapat mengganggu stabilitas di kawasan tersebut (Tempo, 6 April
1991 : 25).
Perjuangan Suku Kurdi yang dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan asing
justru membawa dampak yang buruk bagi orang-orang Kurdi yang wilayahnya
dua kali diserang pemerintah Irak setelah membantu Iran dan Amerika Serikat
yang mengakibatkan ribuan orang Kurdi tewas dan jutaan lainnya mengungsi ke
Iran dan Turki. Suku Kurdi hanya dimanfaatkan Iran dan Amerika Serikat yang
memiliki kepentingan di Irak sebagai ”kawan sementara”bagi orang Kurdi tetapi
setelah tujuan kekuatan-kekuatan asing tercapai, mereka kemudian meninggalkan
suku Kurdi sehingga suku Kurdi harus memperjuangkan nasib dan tujuannya
sendiri (Trias Kuncahyono, 2005 : 178).
Perjuangan suku Kurdi di Irak dimulai tahun 1919 yang dipimpin oleh
Syaikh Mahmud yang memproklamirkan Sulaymaniah sebagai wilayah yang
merdeka dari kekuasaan Inggris, meskipun akhirnya Inggris berhasil
menundukkan Syaikh Mahmud (Daliman, 2000 : 132).
Tahun 1923, Syaikh Ahmad Barzani dan adiknya Mullah Mustafa Barzani
(Kurdistan Irak), mulai melancarkan kampanye guna mendapatkan otonomi bagi
wilayah Kurdistan Irak. Tahun 1943, Mustafa Barzani membentuk suatu wilayah
otonom di sekitar kota kelahirannya di Barzan yang mampu dikuasai selama dua
tahun sebelum akhirnya mampu dikuasai kembali oleh pemerintah Irak tahun
1945. Hal tersebut membuat Mustafa Barzani pindah ke Mahabad (Iran) tahun
1946, di mana pada waktu itu suku Kurdi di Iran berhasil mendirikan Republik
Mahabad Kurdistan yang mendapat perlindungan dari Uni Soviet, tetapi Republik
Mahabad Kurdistan hanya berumur setahun setelah pemerintah Iran berhasil
merebutnya kembali sehingga memaksa Mustafa Barzani kabur ke Uni Soviet
sampai revolusi Irak tahun 1958 (Trias Kuncahyono, 2005 : 170).
Tahun 1946, Mullah Mustafa Barzani mendirikan Partai Demokratik
Kurdi (Kurdish Democratic Party / KDP) di Uni Soviet pada masa
pengasingannya. Partai tersebut beranggotakan sekelompok intelektual Kurdi dan
memperoleh dukungan dari suku Kurdi yang tinggal di pegunungan. Partai
Demokratik Kurdi-Irak baru diakui oleh pemerintah Irak tahun 1958 ketika terjadi
lxxxiii
kudeta di Irak. Setelah Mustafa Barzani meninggal tahun 1979, jabatan sebagai
ketua partai dipegang putranya yaitu Massoud Barzani. Selain KDP, orang-orang
Kurdi Irak juga mempunyai partai politik yang dibentuk Jalal Talabani, yaitu
partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK). Jalal
Talabani semula adalah anggota terkemuka KDP, tetapi keluar karena sering
bentrok dengan Mustafa Barzani yang kemudian tahun 1975 ia mendirikan PUK
sebagai partai modern. Jalal Talabani juga membuat surat kabar dan jaringan radio
yang menjangkau kalangan terpelajar. Hingga sampai saat ini KDP dan PUK
menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak (Trias Kuncahyono, 2005 : 173).
Pada bulan Maret 1961 suku Kurdi yang berdiam di Irak Utara
mengadakan perlawanan terhadap Baghdad yang menolak tuntutan Kurdi untuk
memperoleh otonomi. Pada saat itu Barzani memproklamirkam kemerdekaan
negara Kurdi. Dalam pemberontakan tersebut, orang-orang Kurdi berhasil
mendesak mundur pasukan pemerintah Irak di beberapa bagian, sehingga
memaksa diadakannya perundingan perdamaian di dekat kota Sulaymaniah pada
bulan Januari 1964 dan gencatan senjata pada bulan Februari. Tuntutan suku
Kurdi dipenuhi dengan mengakuinya dalam konstitusi sementara Irak yang baru.
Di samping itu, pemerintah Irak juga memberikan amnesti umum, tetapi suku
Kurdi tetap menolak meletakkan senjata sampai keinginan politik mereka menjadi
kenyataan. Persetujuan dan perjanjian yang telah dicapai tersebut ternyata belum
memberikan jalan keluar yang mantap atas permasalahan suku Kurdi (Nasir
Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 200).
Bulan Desember 1965 terjadi pertempuran lagi dan meluas sampai ke
perbatasan Irak-Iran sehingga mengakibatkan tarjadinya ketegangan antara kedua
negara pada awal tahun 1966. Pada bulan Juni 1966 Perdana Menteri Doktor
Abdul Rahman al-Bazzaz membuat sebuah gagasan baru untuk menyelesaikan
konflik dengan suku Kurdi. Tuntutan otonomi suku Kurdi dan bahasa Kurdi
diterima secara resmi oleh pemerintah Irak, sedangkan sistem administrasi
dilaksanakan secara desentralisasi. Di samping itu, pemerintah Irak memberikan
hak kepada orang-orang Kurdi untuk menyelenggarakan pendidikan, kesehatan
dan kegiatan kemasyarakatan di wilayah mereka (Kurdistan Irak). Orang Kurdi
lxxxiv
juga mempunyai wakil di Parlemen dan Kabinet serta mendapatkan berbagai
pelayanan sosial, tetapi pemerintah Irak menuntut agar tentara Kurdi sebanyak
15.000 orang dibubarkan. Pemimpin Kurdi, Mustafa Barzani menyambut baik
gagasan tersebut. Dalam Kabinet yang terbentuk bulan Mei 1967, terdapat orang-
orang Kurdi di dalamnya. Presiden Arif yang mengadakan kunjungan ke wilayah
Kurdistan pada tahun 1967 kembali meyakinkan keinginanya untuk membuat
kemungkinan-kemungkinan bagi orang Kurdi untuk dapat memangku jabatan
pada tingkat Menteri untuk membantu rehabilitasi wilayah Kurdistan yang rusak
akibat perang dan kerjasama secara efektif dalam pemerintahan Irak (Nasir
Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 201).
Pada tanggal 17 Juli 1968 terjadi kudeta tak berdarah di Irak karena rezim
yang berkuasa pada waktu itu di bawah pemerintahan Presiden Arif kurang
mendapat dukungan rakyat dan dianggap korup dan tidak cakap. Rezim lama
diganti dengan rezim baru dengan Jendral Ahmed Hassan al-Bakr sebagai
Presiden Irak. Kabinet yang baru dibentuk pada masa Presiden Arif dibubarkan
oleh Jendral Ahmed Hassan al-Bakr karena para anggota kabinet dituduh
“bersikap revolusioner”. Jendral Ahmed Hassan al-Bakr kemudian menyusun
kembali kabinetnya yang baru.
Menjelang akhir 1968 politik dalam negeri Irak merosot karena banyak
pemimpin-pemimpin rezim lama ditahan bahkan dibunuh karena tuduhan
melakukan gerakan kontra-revolusioner. Kondisi lebih buruk terjadi pada bulan
Oktober 1968 yaitu permusuhan terang-terangan Pemerintah Irak dengan orang-
orang Kurdi untuk pertama kalinya terjadi lagi sejak gencatan senjata tahun 1966.
Pemberontak suku Kurdi membom instansi minyak Irak di Kirkuk pada bulan
Maret 1969 yang menyebabkan kerugian besar bagi pemerintah Irak. Pemerintah
Irak mendengungkan bahwa suku Kurdi mendapat bantuan dari Iran. Kurdi terus
berjuang dan menuntut otonomi sambil menyerukan campur tangan PBB (Nasir
Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 203).
Pemerintah Irak mencoba menyelesaikan persoalan Kurdi melalui
perundingan pada 11 Maret 1970 dan ditetapkan perjanjian perdamaian yang
lxxxv
terdiri 15 pasal yang diumumkan oleh Dewan Pimpinan Revolusioner dan
pemimpin Kurdi yaitu :
1. Bahasa Kurdi menjadi bahasa resmi sejajar dengan bahasa Arab di daerah-
daerah dengan mayoritas suku Kurdi.
2. Orang-orang Kurdi akan berpartisipasi secara penuh dalam pemerintahan
dan mendapatkan posisi strategis dalam kabinet dan angkatan perang.
3. Pendidikan dan kebudayaan warga Kurdi akan ditingkatkan.
4. Semua kantor di wilayah mayoritas Kurdi adalah orang-orang Kurdi atau
setidaknya dapat berbicara bahasa Kurdi.
5. Orang Kurdi harus bebas untuk membentuk organisasi pelajar, pemuda-
pemudi, dan guru dengan cara mereka sendiri.
6. Dana akan ditetapkan untuk perkembangan Kurdistan.
7. Dana pensiun dan bantuan akan diberikan pada keluarga pejuang dan
pihak lain yang menderita kemiskinan, pengangguran, dan tuna wisma.
8. Orang Kurdi dan Arab akan dikembalikan ke tempat tinggal awal mereka.
9. Reformasi Agraris akan dilaksanakan.
10. Undang-Undang akan diamandemen untuk melihat warga Irak terdiri atas
dua kewarganegaraan yaitu kewarganegaraan Arab dan kewarganegaraan
Kurdi.
11. Stasiun penyiaran dan senjata berat akan dikembalikan ke Pemerintah.
12. Salah satu wakil presiden harus orang Kurdi.
13. Hukum Gubernur (Provinsi) harus diamendemen menyesuaikan dengan isi
pokok deklarasi ini.
14. Penggabungan dari area-area dengan mayoritas Kurdi (Sulaymaniah,
Arbil, Dahuk, Kirkuk dan Mosul) sebagai unit yang diperintah oleh suku
Kurdi sendiri.
15. Orang-orang Kurdish harus berbagi kekuasaan legislatif secara
proporsional dengan populasinya di Irak.
Persetujuan tersebut diterima orang-orang Kurdi dan pertempuran pun berhenti. Sebulan setelah penandatanganan perjanjian tersebut, Saddam Hussein membentuk komisi yang terdiri dari empat orang Kurdi dan empat orang Arab untuk melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut.
lxxxvi
Presiden al Bakr merubah susunan kabinet dengan mengangkat lima orang Kurdi terkemuka. Pasal 4 dan 5 dilaksanakan dengan pengangkatan anggota KDP sebagai gubernur dari propinsi Sulaymaniah, Arbil, dan Dahuk. Pada akhir April 1970, bahasa Kurdi mulai digunakan dalam kehidupan sehari-hari, serikat penulis dan masyarakat sosial terbentuk sesuai dengan Pasal 1 serta organisasi pelajar, pemuda-pemudi, dan guru juga mulai terbentuk sesuai dengan Pasal 5. Uang dan energi juga diinvestasikan dalam pembangunan kembali desa, proyek infrastruktur dan ekonomi utama dimulai dan pelaksanaan Hukum Reformasi Agraria 1919 akhirnya dimulai di area-area yang ditetapkan untuk para tuna wisma dan pengungsi (Pasal 6, 8, dan 9). Bulan Juli 1970, undang-undang diamandemen sesuai dengan Pasal 10 dan pada akhir tahun, pemerintah Irak setuju untuk membayar 6.000 peshmergas untuk melaksanakan penjagaan perbatasan. Sebanyak 2.700 tempat tinggal dibangun kembali dan lebih dari 100 desa yang dihancurkan telah dibangun kembali (David McDowall, 2000 : 328-329).
Pemimpin Kurdi, Mustafa Barzani sudah mengerahkan pasukannya
sebanyak 15.000 untuk menjaga perbatasan Irak yang resmi, tetapi status hukum
daerah Kurdi masih tetap akan diatur. Mustafa Barzani menilai seharusnya masih
harus dilakukan sensus untuk menyelidiki daerah mana saja di Irak utara yang
paling banyak berpenduduk Kurdi, sehingga pantas mendapat status otonom
seperti wilayah Kirkuk, tetapi hal tersebut masih ditangguhkan oleh pemerintah
Irak yang menyebabkan kekhawatiran orang Kurdi. Jika hal tersebut dibiarkan
terus akan mengundang orang-orang Arab bermigrasi ke wilayah Kirkuk yang
kaya akan minyak. Penangguhan yang dilakukan pemerintah Irak karena harus
mencurahkan perhatian terhadap orang-orang Kurdi yang kembali dari Iran ketika
permusuhan mereda. Meskipun persetujuan dengan Kurdi itu tidak seluruhnya
memuaskan, tetapi sekurang-kurangnya sudah membawa stabilitas di Irak dan
memungkinkan dimulainya pembaharuan. Pada bulan Februari 1971 Partai
Revolusi Kurdi bergabung dengan Partai Demokrasi Kurdi pimpinan Mustafa
Barzani membentuk kesatuan Kurdi. Bulan Juli 1971, konstitusi baru diumumkan
yang memuat pokok-pokok persetujuan tahun 1970 serta ditetapkan bahwa orang-
orang Kurdi dipimpin oleh Komite Tertinggi dan diminta untuk menyerahkan
senjata pada bulan Agustus 1971. Hal tersebut membawa situasi di bagian utara
Irak menjadi kondusif (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 204).
Bulan Juli 1971 suatu percobaan kudeta dilakukan oleh perwira-perwira
Angkatan Darat dan Udara Irak, tetapi dapat digagalkan oleh pemerintah Irak.
lxxxvii
Suku Kurdi mulai menunjukkan ketidakpuasaannya karena tertundanya
perwujudan persetujuan 11 Maret 1970 dan mengeluhkan belum terlaksananya
sensus yang telah disetujui dalam perjanjian 11 Maret 1970 serta tuntutan untuk
turut dalam Dewan Pimpinan Revolusioner juga ditolak pemerintah Irak.
Pemimpin suku Kurdi dan pemerintah Irak bertemu untuk mendiskusikan kembali
masalah yang menyebabkan ketidakpuasan suku Kurdi dan terjadi perbedaan
pendapat antara kedua belah pihak. Di satu pihak suku Kurdi menganggap belum
terselenggaranya persetujuan 11 Maret 1970, sedangkan di pihak pemerintah Irak
mengemukakan macam-macam proyek pembangunan yang sudah dilaksanakan di
daerah-daerah orang Kurdi.
Perwujudan perjanjian 11 Maret 1970 baru terlaksana secara efektif pada
11 Maret 1974, di mana Saddam Husein yang pada waktu itu sebagai Wakil
Presiden dan Dewan Pimpinan Revolusi mengumumkan pemberian otonomi
kepada suku Kurdi yang mencakup wilayah Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah.
Keputusan tersebut menegaskan, daerah otonomi tetap bagian dari teritori Irak,
orang-orang Kurdi tetap bagian dari rakyat Irak, orang-orang Kurdi dapat
menyelenggarakan administrasi sendiri dan mengatur sendiri masalah keuangan
serta anggarannya, tetapi masih berada dalam koridor Keuangan Negara
(http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php).
Sekelompok kecil orang-orang Kurdi dari Partai Demokratik Kurdi di
bawah pimpinan Abdel Sharif menerima pemberian otonomi tersebut, tetapi
Mustafa Barzani merasa tawaran tersebut kurang dari tuntutan mereka akan
perwakilan penuh di pemerintahan termasuk keanggotaan dalam Dewan Pimpinan
Revolusi serta wilayah Kirkuk (penghasil 30% minyak Irak) tidak masuk dalam
wilayah otonomi Kurdistan. Mustafa Barzani dengan pasukannya (Peshmarga)
memulai kembali perlawanan bersenjata di Irak Utara (Nasir Tamara dan Agnes
Samsuri, 1981 : 205).
Pada bulan April 1974 Pemerintah Irak mengganti 5 Menteri Kurdi yang
terkenal sebagai pendukung Barzani dengan 5 orang Kurdi lain pendukung
pemerintah Irak. Agustus 1974, perang Kurdi mengalami babak baru. Pemerintah
Irak mengerahkan kekutan militer yang besar untuk melawan pasukan Mustafa
lxxxviii
Barzani (peshmarga) dengan menggunakan tank, meriam dan pesawat pembom.
Sekitar 130.000 orang Kurdi terutama terdiri dari wanita, anak-anak dan orang tua
mengungsi ke Iran. Peshmarga bisa bertahan berkat bantuan Iran berupa senjata
dan perlengkapan lainnya (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 205).
Pada saat pertemuan OPEC (6 Maret 1975) di Aljazair, ditandatangani
persetujuan antara Irak-Iran untuk mengakhiri perselisihan tentang perbatasan.
Irak dan Iran juga setuju untuk mengakhiri penyusupan yang bersifat subversif
sehingga pemberontakan suku Kurdi pun berhenti. Sadar tanpa bantuan Iran
Mustafa Barzani tidak bisa bertahan, akhirnya ia pergi ke Teheran. Gencatan
senjata ditetapkan 13 Maret 1975, pihak yang menyerah sampai tanggal 1 April
akan diberi amnesti. Sebanyak 200.000 orang Kurdi lari ke Iran pada waktu
pemberontakan tersebut berakhir (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 206).
Bulan Februari 1976, Partai Demokrasi Kurdi menyusun kekuatan untuk
mengulangi perjuangannya dan di bulan Maret terjadi bentrokan antara Kurdi
dengan pasukan keamanan Irak di Ruwanduz. Tahun 1977 dilaksanakan program
pembangunan kembali dan bulan April sekitar 40.000 orang Kurdi diizinkan
kembali ke daerah Irak Utara. Dewan Eksekutif daerah otonomi Kurdi
memutuskan bahwa bahasa Kurdi dipakai sebagai bahasa resmi dalam komunikasi
oleh semua departemen pemerintahan di daerah otonomi Kurdi yang tidak
mempunyai hubungan dengan pemerintah pusat (Daliman, 2000 : 139).
Tampilnya Saddam Hussein sebagai Presiden Irak pada 16 Juli 1979
membuat perjuangan suku Kurdi semakin sulit karena Saddam Hussein sering
menggunakan kekuatan militer untuk menghancurkan pemberontak Kurdi. Tahun
1984, pemerintah Irak kembali menawarkan otonomi kepada suku Kurdi yang
dipimpin Jalal Talabani dari PUK, penentang Massoud Barzani, dengan syarat
tetap beroposisi kepada Massoud Barzani dan Partainya (Kurdish Democratic
Party / KDP), tetapi atas jasa Iran, justru Jalal Talabani dan Massoud Barzani
dipersatukan untuk melawan Irak pada masa Perang Parsi antara Irak-Iran
sehingga otonomisasi tidak berhasil (Kompas, 6 Oktober 1991 : 76).
Pada tahun 1988 pemerintah Irak dua kali melancarkan serangan besar-
besaran dengan senjata kimia terhadap penduduk suku Kurdi. Serangan yang
lxxxix
pertama pada tanggal 16 Maret 1988 Angkatan Udara Irak menghujani bom-bom
kimia di kota Halabjah (sebuah kota yang ada di Provinsi Sulaymaniah), Irak
Utara dan menewaskan 5.000 warga Kurdi. Dalam serangan tersebut, delapan
pesawat tempur Irak membombardir dengan menjatuhkan bom kimia di atas kota
Halabjah yang berpenduduk sekitar 120.000 orang. Serangan tersebut berlanjut
siang-malam sampai tanggal 19 Maret (Trias Kuncahyono, 2005 : 165).
Serangan yang kedua dilancarkan pasukan Irak di desa Butiam Esi,
Amadiyah, dan sejumlah desa lain di Kurdistan, dari tanggal 25 Agustus sampai 5
September dan menewaskan sekitar 2.500 warga Kurdi. Serangan pasukan
Saddam Hussien tahun 1988 ini menyebabkan sekitar 60.000 orang Kurdi Irak
terpaksa mengungsi ke Iran dan Turki (M. Riza Sihbudi, 1991 : 135).
Pemerintah Irak menganggap serangan yang dilancarkan terhadap suku
Kurdi sebagai sesuatu yang “wajar”, karena suku Kurdi Irak dianggap sebagai
“kaum pengkhianat yang patut dibasmi”, sebab selama hampir delapan tahun (22
September 1980-20 Agustus 1988) berlangsung perang Teluk Parsi (Irak-Iran),
suku Kurdi Irak justru berpihak pada pasukan Ayatullah Khomeini dan
memerangi pasukan pemerintah Irak. Keberhasilan Iran merebut Halabjah dan
Sulaymaniah (dua kota yang terletak di Kurdistan Irak) tidak terlepas dari bantuan
yang diberikan suku Kurdi Irak (M.Riza Sihbudi, 1991 : 135).
Senjata kimia yang digunakan pasukan Irak untuk membunuh suku Kurdi
adalah senjata biologi dan kimia yang mematikan seperti antrhax, Gas saraf VX,
aflaktoksin, batolinum, toksin, sarin dan gasa mustard. Anthrax merupakan senjata
kimia yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan, menyerang kulit
sehingga melepuh dan penuh luka; batolinum yaitu kuman yang meracuni
makanan dan mengakibatkan korban mual, diare dan kelumpuhan pernapasan dan
jantung; aflaktoksin yaitu racun dari jamur yang bisa menyebabkan kanker hati;
Gas saraf VX adalah senjata kimia yang mematikan karena satu tetes kecil saja
sudah dapat membunuh orang. Gas saraf ini seperti oli mobil yang bekerja cepat,
terserap melalui paru-paru, mata, kulit dan mengakibatkan kelumpuhan paru-paru.
Senjata-senjata kimia mematikantersebut dimasukkan ke dalam hulu ledak peluru
kendali (Trias Kuncahyono, 2005 : 166).
xc
Pembantaian dengan senjata kimia yang dilakukan pemerintah Irak
terhadap suku Kurdi tersebut menimbulkan kecaman keras dari dunia
internasional. Senat Amerika Serikat mendesak Presiden Ronald Reagan untuk
segera menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Irak. Pada bulan Oktober 1988,
Parlemen Eropa yang sedang bersidang di Strasbourg, Perancis mengeluarkan
kutukan pedas dan menghimbau para anggotanya agar mengenakan sanksi kepada
rezim Saddam Husein. Sikap tegas ditunjukkan Jepang yang memutuskan untuk
tidak akan mengirimkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat
senjata kimia kapada Irak (M. Riza Sihbudi, 1991 : 135).
Pasca Perang Teluk, pada bulan Maret-April 1991 suku Kurdi melakukan
pemberontakan kembali terhadap pemerintah Irak dengan memanfaatkan situasi
yang berkembang pada waktu itu karena dalam waktu yang hampir bersamaan
kaum Syiah di Irak selatan juga mengangkat senjata melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah Irak. Selain itu, pemberontakan Kurdi tahun 1991 didasarkan
atas asumsi bahwa tentara Irak dalam keadaan lemah setelah kalah perang
melawan pasukan Kuwait dan Pasukan Multinasional di bawah pimpinan
Amerika Serikat dalam perang Teluk tahun 1991, tetapi kenyataannya tentara Irak
masih cukup kuat untuk menumpas pemberontakan suku Kurdi di Irak utara.
Dalam waktu tiga pekan semua wilayah Kurdi di Irak Utara bergolak.
Kota-kota seperti Ranya, Sulaymaniah, Arbil, Dahuk, Aqra dan Kirkuk dapat
mereka kuasai, akan tetapi Pasukan Irak (Garda Republik) bergerak dengan cepat
dan dalam tempo seminggu wilayah-wilayah tersebut sudah dapat direbut
kembali. Serangan pasukan Irak terhadap pemberontakan suku Kurdi melibatkan
tank, helikopter tempur dan senjata arteleri. Serangan Pasukan Irak tersebut
menyebabkan sekitar 2,25 juta orang Kurdi di Irak Utara terpaksa mengungsi ke
berbagai negara yang berdekatan dengan Irak. Sekitar 1 juta pengungsi tinggal di
70 tenda yang dibangun di Iran. Sekitar 700.000 orang lainnya sedang dalam
perjalanan mencari tempat aman dan lebih dari 600.000 orang berlindung di Turki
(Trias Kuncahyono, 2005 : 165).
Serangan pemerintah Irak terhadap suku Kurdi mendapat kecaman keras
dari Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Tanggal 5 April 1991 Dewan
xci
Keamanan PBB bereaksi dengan mengeluarkan Resolusi PBB No. 688 yang
memberlakukan kawasan larangan terbang di atas wilayah 36 derajat garis lintang
sejajar pada Irak bagian utara untuk melindungi suku Kurdi dari pengeboman
pesawat-pesawat tempur Irak (David McDowall, 2000 : 373).
Atas dasar Resolusi PBB No. 688 tersebut, Amerika Serikat membangun
enam tempat penampungan untuk membantu para pengungsi Kurdi yang masih
terlunta-lunta di daerah-daerah pegunungan maupun yang tinggal di tenda-tenda
pengungsian di Iran dan Turki agar kembali ke Irak dan tinggal di tempat
penampungan yang didirikan Amerika Serikat. Tempat-tempat penampungan
pengungsi Kurdi tersebut akan dijaga sepuluh ribu marinir Amerika Serikat dari
serangan tentara Irak. Marinir Amerika Serikat juga akan dibantu oleh lima ribu
tentara Inggris, seribu tentara Perancis, seribu tentara Belanda dan lima ratus
tentara Italia untuk menjaga tempat pengungsian. Sebenarnya PBB tidak merestui
pembangunan tempat penampungan tersebut. Menurut Sekjen PBB Javier Perez
de Cueller pembangunan tempat penampungan dan kehadiran pasukan Amerika
Serikat dan Sekutunya di Irak akan melanggar kedaulatan negara Irak, tetapi PBB
juga tidak berbuat banyak. Pemerintah Irak juga memprotes keras pembangunan
tempat penampungan dan kehadiran pasukan Amerika Serikat dan Sekutunya di
wilayah Irak Utara karena dianggap melanggar kedaulatan negara Irak.
Pemerintah Irak juga beralasan bahwa Irak telah mencapai kesepakatan dengan
dua pejabat PBB yakni Sadrussin Aga Khan dan Eric Suy yang mendapat mandat
Sekjen PBB untuk membangun tempat pengungsi yang dapat dibuat di seluruh
wilayah Irak yang akan diawasi oleh PBB. Amerika Serikat tidak mau tahu dan
mengingatkan jika Irak mengganggu operasi Sekutu membuat tempat
penampungan di daerah Kurdi, Amerika Serikat akan menganggapnya sebagai
tantangan untuk kembali membuka perang. Pemerintah Irak akhirnya tidak dapat
berbuat banyak untuk menghalangi pembangunan tempat penampungan dan
kehadiran pasukan Amerika Serikat serta Sekutunya di wilayah Irak Utara dan
mengalihkan perhatiannnya untuk fokus agar sanksi ekonomi terhadap Irak segera
dicabut (Tempo, 27 April 1991 : 76).
xcii
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan konflik dengan suku Kurdi,
pihak pemerintah Irak dengan para pemimpin Kurdi sepakat untuk melakukan
perundingan perdamaian dan Presiden Saddam Hussein bersedia menjanjikan
otonomi yang lebih luas di Kurdistan Irak. Sebagian orang Kurdi masih curiga
akan tipu daya janji Saddam Hussein memberikan otonomi di Kurdistan Irak
karena janji Saddam Hussein memberikan otonomi tahun 1970 yang dilanjutkan
dengan perjanjian 11 Maret 1974 tidak sepenuhnya dijalankan dan dalam
prakteknya, semua keputusan birokrasi ataupun politik di wilayah Kurdistan tetap
memerlukan restu Saddam.Hussein yang membuat suku Kurdi tidak puas
sehingga melakukan pemberontakan. Ada anggapan bahwa tawaran wilayah
otonomi dari Saddam Hussein hanya siasat untuk menggalang simpati dari
negara-negara Barat agar sanksi ekonomi terhadap Irak segera dicabut sehingga
diharapkan keadaan dalam negeri Irak dapat membaik dan Saddam Hussein bisa
tetap bertahan sebagai Presiden Irak. Suku Kurdi harus berhati-hati dalam
mengambil keputusan dan persetujuan apapun yang dicapai dengan pemerintah
Irak harus diikuti dengan jaminan internasional (Tempo, 27 April 1991 : 77).
Perundingan tahap pertama antara pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi
yang terdiri atas Jalal Talabani sebagai pemimpin delegasi, Nechirvan Barazani
(keponakan Massoud Barzani), Abdul Rahman dan Rasoul Mamand, berlangsung
24 April 1991 yang membahas tentang masalah otonomi di Kurdistan Irak dan
jaminan internasional atas keputusan akhir antara Kurdi dengan pemerintah Irak
tentang otonomi Kurdi. Pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi mencapai
kesepakatan untuk menerapkan pakta otonomi 11 Maret 1970 yang menetapkan
tiga provinsi di Irak utara sebagai wilayah otonomi Kurdi yaitu Dahuk, Arbil dan
Sulaymaniah (Kompas, 3 Mei 1991 : 8).
Menurut Jalal Talabani, dalam perundingan tahap pertama antara
pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi, inti pembicaraan telah melampaui
masalah otonomi Kurdi, yakni tentang penegakkan demokrasi di Irak yang
mencakup soal konstitusi baru, pemilu bebas dan kemungkinan pemerintahan
koalisi. Masalah konstitusi, pemerintah Irak menginginkan rancangan konstitusi
yang sudah ada supaya diajukan sebagai referendum, sedangkan pihak Kurdi
xciii
menginginkan untuk terlebih dahulu diadakan pemilu bebas untuk membentuk
parlemen yang kemudian akan merancang konstitusi untuk di bawa ke
referendum. Kedua pihak mengusulkan pemerintahan koalisi, tetapi belum ada
kepastian apakah akan mengikutsertakan kelompok oposisi lain di Irak seperti
kaum Syiah. Mengenai masalah otonomi Kurdi yang merupakan inti yang dibahas
dalam perundingan tersebut, kedua belah pihak belum ada kesepakatan karena
perbedaan pendapat. Pihak Kurdi menuntut wilayah Kirkuk yang merupakan
penghasil sepertiga dari produksi minyak Irak dimasukkan dalam wilayah
otonomi Kurdistan. Dalam perundingan tersebut, Jalal Talabani mengusulkan,
pemerintah pusat boleh menguasai produksi minyak Kirkuk, sedangkan Kurdi
yang mengontrol pemerintahan di Kirkuk dan sekitarnya serta Kurdi tidak
meminta presentase langsung dari pendapatan minyak Irak, tetapi menginginkan
pembagian dari anggaran negara Irak bagi wilayah otonomi Kurdistan, yang
besarnya sebanding dengan persentase populasi Kurdi di Irak. Tuntutan pemimpin
Kurdi tersebut ditolak pemerintah Irak karena Kirkuk bukanlah kota Kurdi.
Alasan penolakan pemerintah Irak dipandang delegasi Kurdi tidak realistis untuk
diterima karena Kirkuk dianggap bukan kota Kurdi disebabkan mayoritas orang-
orang Kurdi di Kirkuk telah dihapus melalui kebijaksanaan Arabisasi yang
dilakukan partai Ba’ath sejak 1960-an (Kompas, 16 Mei 1991 : 8). Orang-Orang
Kurdi yang semula menjadi mayoritas di Kirkuk di pindahkan ke Irak Selatan dan
tempat mereka digantikan oleh orang Arab untuk mendongkrak komposisi agar
orang Kurdi tidak menjadi mayoritas di wilayah Kirkuk (Tempo, 18 Mei 1991 :
39). Meskipun belum ada kesepakatan tentang masalah otonomi Kurdi, kedua
belah pihak masih ada kemauan untuk melakukan perundingan kembali untuk
menyelesaikan pemecahan soal Kurdi.
Persoalan lain yang tak kalah penting mengenai pengungsi Kurdi yang
tinggal pada tenda-tenda di perbatasan Turki, Iran dan yang tinggal di
pegunungan. Sebanyak 9.000 pengungsi Kurdi telah meninggalkan kemah-kemah
di pegunungan dekat perbatasan Turki untuk pulang ke rumah mereka masing-
masing atau tinggal di kamp-kamp pengungsian yang dilindungi pasukan Amerika
dan sekutunya di Irak utara (Kompas, 3 Mei 1991 : 8). Jumlah pengungsi Kurdi
xciv
yang kembali ke Irak masuk ke zone keamanan yang dilindungi pasukan Amerika
Serikat, Inggris, Perancis dan Belanda semakin meningkat. Sejak tanggal 5 Mei
1991 sudah ada 21.000 pengungsi yang kembali ke kota perbatasan Zakho.
Menurut Gary Goff, seorang perwira yang menjaga kamp pengungsian, jumlah
pengungsi yang ada di Turki sudah berkurang sekitar 129.000 orang. Rencananya
sebanyak 125.000 pengungsi Kurdi akan di bawa ke Zakho, sekitar 65.000 ke
Sirsenk dan sekitar 6.500 ke Suriah (Kompas, 8 Mei 1991 : 1). Sampai tanggal 22
Mei 1991, Kementrian Luar Negeri Turki menyatakan sebanyak 33.586
pengungsi Kurdi masih berada di wilayahnya dan 92.000 lainnya berada di kamp
perbukitan perbatasan dengan Turki (Kompas, 24 Mei 1991 : 9).
Perundingan tahap kedua antara pemerintah Irak dengan pemimpin Kurdi
tentang rincian otonomi yang dijanjikan bagi suku Kurdi di Irak Utara dimulai
tanggal 6 Mei 1991. Dalam perundingan tersebut, pemerintah Irak diharapkan
dapat mencapai kesepakatan untuk mengakhiri secara permanen perlawanan
Kurdi. Delegasi Kurdi dalam perundingan tersebut dipimpin Massoud Barzani,
pemimpin Partai Demokrasi Kurdi yang sekaligus sebagai pimpinan Front
Kurdistan yang merupakan gabungan dari faksi-faksi Kurdi. Massoud Barzani
memperoleh kekuasaan dari seluruh kelompok Kurdi tersebut untuk
menandatangani setiap persetujuan dengan pemerintah Irak (Kompas, 6 Mei
1991:1).
Dalam perundingan tahap kedua, delegasi Kurdi dan pemerintah Irak
membentuk Komite Gabungan yang bertugas untuk membahas persatuan
nasional, demokrasi di Irak, normalisasi situasi di Kurdistan Irak dan pemulangan
para pengungsi. Saddam Hussein bertemu dengan delegasi Kurdi untuk berunding
tentang otonomi Kurdi pada tanggal 8 Mei 1991. Isi pembicaraan perundingan
tersebut adalah delegasi Kurdi meminta adanya jaminan internasional atas setiap
perjanjian otonomi antara Kurdi dengan pemerintah Irak dan Kirkuk dimasukkan
dalam wilayah otonomi Kurdistan sehingga dapat mengontrol Kirkuk (Kompas,
10 Mei 1991 : 9).
Massoud Barzani dan tiga pemimpin Kudi lain kembali bertemu dengan
Presiden Saddam Hussein pada tanggal 11 Mei 1991 dan merasa adanya
xcv
kemajuan untuk tercapainya persetujuan dengan pemerintah Irak tentang otonomi
Kurdi, tetapi Massoud Barzani tidak membuat pernyataan rinci tentang apa yang
diyakini sebagai tuntutan kunci bagi Kurdi yaitu adanya jaminan internasional
atas setiap persetujuan dengan Baghdad dan penguasaan atas Kirkuk (Kompas, 14
Mei 1991:9).
Perundingan tahap kedua masih berlangsung sampai tanggal 18 Mei 1991,
di mana delegasi Kurdi telah mencapai persetujuan prinsipil dengan pemerintah
Irak tentang rencana menghidupkan demokrasi penuh di Irak, tetapi masih ada
perbedaan soal pandangan tentang otonomi regional yaitu perbedaan apakah kota
minyak Kirkuk harus di masukkan dalam wilayah otonomi Kurdi dan perlunya
jaminan internasional atas setiap persetujuan dengan Baghdad, sehingga menunda
penandatanganan perjanjian perdamaian di antara kedua pihak. Menurut Massoud
Barzani kesepakatan yang telah dicapai adalah soal penanganan krisis di Irak
Utara akibat pemberontakan dan penderitaan pengungsi Kurdi, pemisahan Partai
Ba’ath yang berkuasa dari negara, pemisahan badan legislatif-eksekutif-yudikatif,
pemberian amnesti di seluruh Kurdistan, usaha pengembangan ekonomi
Kurdistan, dibukanya kembali Universitas Sulaymaniah, diakhirinya keadaan
darurat di wilayah tersebut, kebebasan pers, pemilu bebas dan sistem multipartai.
Selain itu, kedua pihak juga membahas tentang pemerintahan koalisi dan antara
delegasi Kurdi dengan pemerintah Irak setuju dengan pembentukan pemerintahan
koalisi yang baru, termasuk Kurdi dengan Partai Ba’ath. Gerilyawan Kurdi juga
akan di masukkan dalam jajaran tentara Irak (Kompas, 19 Mei 1991 : 1).
Belum adanya kesepakatan masalah otonomi Kurdi membuat Massoud
Barzani dan delegasinya meninggalkan Baghdad kembali ke Irak Utara pada
tanggal 26 Mei 1991 dengan tujuan akan berkonsultasi dengan pihak Kurdi lain.
Kembalinya delegasi Kurdi bukan berarti mengisyaratkan jalan buntu dalam
perundingan, tetapi justru sebaliknya, dialog antara para pemimpin politik Irak
dengan delegasi Kurdi sehari sebelumnya telah memasuki tahap baru menuju
kesepakatan final yang akan memperkuat persatuan nasional dan konsolidasi
otonomi Kurdistan. Massoud Barzani memperkirakan kemungkinan kesepakatan
akan dicapai dalam tempo satu atau dua pekan ke depan. Kurdi dengan
xcvi
pemerintah Irak masih berbeda pendapat tentang perbatasan wilayah otonomi
Kurdistan, adanya jaminan internasional atas setiap persetujuan dengan Baghdad
dan kehadiran militer Irak di wilayah tersebut. Suku Kurdi ingin wilayah otonomi
memasukkan kota minyak Kirkuk, adanya jaminan internasional atas setiap
persetujuan dengan Baghdad dan menuntut agar tentara Irak serta pasukan
keamanan lainnya ditarik mundur dari Irak Utara, tetapi pemerintah Irak enggan
memasukkan Kirkuk dalam wilayah otonomi Kurdistan, kota tradisional Kurdi
yang sekarang berpenduduk campuran dan perlunya jaminan internasional atas
perjanjian otonomi Irak-Kurdi karena pemerintah menganggap bahwa setiap
persetujuan merupakan urusan dalam negeri Irak sehingga tidak diperlukan
jaminan internasional (Kompas, 27 Mei 1991 : 9).
Perundingan pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi dilanjutkan tanggal
17 Juni 1991, tetapi kedua pihak masih belum mencapai kesepakatan. Massoud
Barzani memberi gambaran bahwa kemungkinan besar wilayah Kirkuk akan
dibagi menjadi dua provinsi yaitu satu di dalam wilayah otonomi dan satunya lagi
berada di bawah pemerintahan gabungan Irak dengan Kurdi. Kesepakatan
kemungkinan besar akan ditandatangani dengan menempatkan Kirkuk di bawah
pemerintahan gabungan, tetapi semua itu akan dibicarakan dalam perundingan
selanjutnya (Kompas, 18 Juni 1991 : 9).
Perundingan pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi dilanjutkan kembali
tanggal 24 Juni 1991. Dalam perundingan tersebut pemerintah Irak mengajukan
tiga tuntutan kepada Kurdi sebagai syarat kesepakatan tentang Kirkuk. Pertama,
Kurdi harus memberi dukungan kepada Revolusi tahun 1968 yang membuat
Partai Baath berkuasa. Kedua, Kurdi harus meminta ijin Partai Baath jika ingin
berhubungan dengan pemerintah atau organisasi asing, termasuk negara-negara
Barat yang aktif mengawasi wilayah Kurdi. Ketiga, Kurdi harus bekerjasama
dengan Partai Baath melawan musuh (Partai Syiah yang pro-Iran dan kelompok-
kelompok yang pro-Suriah) dan menentang Iran yang merupakan musuh Irak
dalam Perang Parsi. Apabila ada pemberontakan, demonstrasi dan kekacauan
melawan Partai Baath, Kurdi diharuskan bekerjasama dengan Irak untuk
xcvii
mengangkat senjata untuk menekan setiap pemberontakan, demonstrasi dan
kekacauan (Kompas, 26 Juni 1991 : 9).
Tanggal 30 Juni 1991, Front Kurdistan menyatakan penolakan atas syarat-
syarat pemerintah Irak dalam perundingan otonomi Kurdi. Pemerintah Irak
mengajukan syarat-syarat yang tidak dapat diterima Front Kurdistan karena
pemerintah Irak menyerukan Kurdi meletakkan senjata, bertempur melawan
musuh domestik dan eksternal serta menghentikan hubungan dengan Barat.
Persyaratan yang diajukan pemerntah Irak dan penolakan Front Kurdistan atas
syarat-syarat yang diajukan pemerntah Irak mempersulit kesepakatan perjanjian
perdamaian Irak dengan Kurdi (Kompas, 1 Juli 1991 : 9).
Pada tanggal 17 Juli 1991 terjadi pertempuran antara Kurdi dengan
pasukan Irak di Arbil ketika Kurdi melakukan demonstrasi dan 18 Juli 1991 di
Sulaymaniah dengan korban jiwa antara 140-150 orang. Pertempuran tersebut
terjadi sebagai akibat belum adanya kesepakatan perjanjian perdamaian Irak
dengan Kurdi soal dimasukkannya atau tidak wilayah Kirkuk dalam wilayah
otonomi Kurdistan dan adanya jaminan internasional. Front Kurdistan segera
bereaksi dengan mengeluarkan keputusan bahwa orang-orang Kurdi harus
memberitahu Front Kurdistan sebelum melakukan demonstrasi karena bisa
menyulut aksi kekerasan. Keputusan tersebut dikeluarkan dengan tujuan untuk
mencegah pasukan Irak dan Kurdi saling membunuh (Kompas, 22 Juli 1991 : 9).
Pertempuran antara Kurdi dengan pasukan Irak pecah kembali tanggal 5
Oktober 1991 di kota Kalar, 225 km sebelah timur laut Baghdad. Pasukan Irak
membombardir wilayah tersebut sepanjang malam dengan arteleri yang
menyebabkan korban tewas dan luka-luka mencapai 30 orang. Tanggal 7 Oktober
1991, gerilyawan Kurdi menembak mati 60 pasukan Irak selama pertempuran
terjadi Sulaymaniah, sedangkan dari pihak gerilyawan Kurdi korban tewas
sebanyak 15 orang. Pertempuran yang terjadi mengakibatkan orang-orang Kurdi
menuju ke kamp pengungsian untuk menghindar dari wilayah konflik (Kompas, 8
Oktober 1991 : 9).
Walaupun kesepakatan perjanjian perdamaian Irak dengan Kurdi menemui
jalan buntu terutama soal dimasukkannya atau tidak wilayah Kirkuk dalam
xcviii
wilayah otonomi Kurdistan, tetapi sesuai kesepakatan antara pemerintah Irak dan
delegasi Kurdi tanggal 24 April 1991 untuk menerapkan pakta otonomi 11 Maret
1974 yang menetapkan tiga provinsi di Irak utara sebagai wilayah otonomi Kurdi
yaitu Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah. Ketiga wilayah di Irak Utara tersebut sejak
tahun 1974 sudah ditetapkan oleh pemerintah Irak sebagai wilayah otonomi
Kurdistan, tetapi tidak dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah Irak yang
menyebabkan ketidapuasan suku Kurdi karena dalam prakteknya, semua
keputusan birokrasi maupun politik di wilayah otonomi Kurdistan tetap
memerlukan restu Saddam.Hussein, tidak diadakannya sensus penduduk terhadap
wilayah suku Kurdi waktu itu dan wilayah Kirkuk tidak dimasukkannya dalam
wilayah otonomi. Wilayah otonomi Kurdistan yang meliputi Dahuk, Arbil dan
Sulaymaniah sejak tahun 1991 berada dalam perlindungan PBB dan pasukan
koalisi untuk melindungi suku Kurdi atas tindakan militer Saddam Hussein.
Pasukan Irak dan pemerintah sipil Irak ditarik dari wilayah otonomi Kurdistan dan
digantikan oleh pasukan koalisi yang menjaga zona keamanan wilayah otonomi
Kurdi, sedangkan pemerintahan sipil Irak diganti dengan pemerintahan yang di
duduki orang-orang Kurdi (Trias Kuncahyono, 2005 : 174).
Dalam perundingan-perundingan antara pemerintah Irak dengan delegasi
Kurdi, meskipun tidak ada kesepakatan final soal otonomi Kurdi yang
menyangkut kontrol wilayah Kirkuk, tetapi langkah maju telah dilakukan Kurdi
yang mencapai kesepakatan dengan pemerintah Irak untuk menegakkan
demokrasi di Irak dan mengadakan pemilu yang bebas dengan sistem multipartai.
Walaupun begitu suku Kurdi tetap belum merasa puas karena wilayah Kirkuk
tidak dimasukkan dalam wilayah otonomi Kurdistan sehingga persoalan suku
Kurdi tetap menjadi masalah bagi pemerintah Irak jika sewaktu-waktu pecah
pemberontakan kembali dari suku Kurdi.
Dalam perkembangannya setelah pemberian otonomi di Kurdistan Irak,
Saddam Hussein kembali mengerahkan sekitar 30.000 pasukannya untuk
menyerang wilayah Kurdistan yang sejak tahun 1991 mendapat perlindungan
internasional dan menduduki ibu kotanya Arbil, awal September 1996.
Pemerintah Irak beralasan, serangan ini dilakukan karena memenuhi permintaan
xcix
pimpinan Partai Demokrasi Kurdistan, Masoud Barzani untuk mengusir lawannya
pemimpin partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan /
PUK), Jalal Talabani dan pasukannya dari kota Arbil (Mustofa Abd. Rahman,
2003 : 3).
Serangan pasukan Irak terhadap wilayah Kurdistan mendapat kecaman
dari Amerika Serikat dan akhirnya Amerika Serikat melakukan serangan balasan
dengan menggempur wilayah Irak selatan. Namun serangan Amerika Serikat kali
ini tidak mendapat dukungan dari negara-negara Arab antara lain Arab Saudi dan
Jordania yang tidak mengizinkan pangkalan militernya digunakan pesawat tempur
Amerika Serikat untuk menyerang Irak dengan alasan menghormati kesatuan dan
kedaulatan Irak serta menjaga keselamatan rakyat Irak (Mustofa Abd. Rahman,
2003 : 10).
Jika dibandingkan di Iran dan Turki, jumlah suku Kurdi Irak tergolong
yang paling sedikit (sekitar 5 juta), tetapi rezim Partai Sosialis Ba’ath di bawah
pimpinan Saddam Hussein yang berkuasa di Irak belum berhasil menumpas
perjuangan suku Kurdi. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain;
4) Suku Kurdi merupakan kelompok etnis minoritas terbesar di Irak yang
menguasai hampir seperlima wilayah negeri ini. Akibatnya, walaupun
berkali-kali Saddam Hussein mendeportasi Peshmarga, dengan mudah
mereka kembali ke Irak.
5) Sejak tahun 1982, untuk pertama kalinya dalam sejarah suku Kurdi, dua
partai utama Kurdi Irak, KDP yang dipimpin Masoud Barzani dan PUK
yang dipimpin Jalal Talabani, sepakat bersatu melawan rezim Saddam
Hussein. Dua kekuatan yang menyatu tentu lebih memperkuat posisi suku
Kurdi dalam menghadapi pasukan Saddam Hussein.
6) Berkaitan dengan posisi rezim Bagdad sendiri, walaupun di luar tampak
“kukuh”, posisi rezim Ba’athis dalam kenyataannya agak rapuh. Asumsi
ini didasarkan pada fakta bahwa mayoritas penduduk Irak menganut
Mazhad Syiah, sedang rezim yang berkuasa menganut mazhab Sunni (M.
Riza Sihbudi,1991: 140)
c
Perjuangan suku Kurdi di Irak dalam memperoleh otonomi di wilayah
Kurdistan mengalami banyak kendala. Pertama, perjuangan suku Kurdi
mendapatkan perlawanan yang sengit dari pasukan Irak dan bahkan beberapa kali
wilayah Kurdistan dihujani bom-bom milik militer Saddam Hussein. Kedua, suku
Kurdi kurang mendapat perhatian dan dukungan dari dunia internasional
khususnya negara-negara Arab dan Amerika Serikat dengan alasan tidak mau
mencampuri urusan dalam negeri Irak guna menjaga kesatuan dan kedaulatan
negara Irak. Namun alasan yang lebih penting adalah untuk menjaga stabilitas
keamanan di wilayah Timut-Tengah karena suku Kurdi tinggal di beberapa negara
seperti Irak, Iran Turki dan Suriah. Jika perjuangan suku Kurdi di Irak
mendapatkan dukungan internasional dan berhasil mencapai tujuannya, maka
ditakutkan akan membangkitkan nasionalisme suku Kurdi di Turki, Iran dan
Suriah sehingga akan mengganggu stabilitas keamanan di wilayah tersebut.
Ketiga, dalam tubuh suku Kurdi sendiri ada pepecahan dimana terjadi perseturuan
di antara orang-orang atau antar faksi Kurdi sendiri. Sejarah mencatat bahwa
perang antar-Kurdi untuk memperebutkan wilayah kekuasaan dan pengaruh di
Irak Utara menjadi salah satu penyebab mudahnya Saddam menguasai daerah
tersebut karena selalu ada kelompok atau partai politik yang dapat dipengaruhi
Bahgdad. Ada dua wilayah kurdi yang saling bersaing, yakni “Barzanistan” di
Irak Utara bagian barat laut yang dikuasai Partai Demokratik Kurdi (KDP) dan
“Talibanistan” di timur laut Irak yang dikuasai Uni Patriotik Kurdistan (PUK).
Kedua partai tersebut sering berselisih. Walaupun begitu ada usaha dari kedua
partai tersebut untuk bersatu seperti tahun 1991 KDP dan PUK bersatu
membentuk Front Kurdistan meskipun akhirnya pecah kembali (Trias
Kuncahyono, 2005 : 174).
D. Dampak Pemberian Otonomi Terhadap Persatuan Intern
Suku Kurdi Irak
Salah satu kendala yang dihadapi suku Kurdi dalam memperjuangkan
otonomi di wilayah Kurdistan adalah kurangnya persatuan diantara orang-orang
ci
atau kelompok-kelompok Kurdi. Di Kurdistan Irak terdapat dua partai utama yang
memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar sebagai wadah perjuangan suku
Kurdi sampai sekarang, tetapi antara kedua partai saling beroposisi dan sering
terlibat bentrok. Kedua partai tersebut yaitu pertama Partai Demokratik Kurdi
(Kurdish Democratic Party / KDP) yang didirikan oleh Mullah Mustafa Barzani
tahun 1946. Mullah Mustafa Barzani merupakan tokoh historis suku Kurdi yang
berasal dari daerah Barzan, sebuah desa yang terletak di lembah Zab, Irak utara.
Setelah Mustafa Barzani meninggal tahun 1979, jabatan sebagai ketua partai
dipegang putranya yaitu Massoud Barzani sampai saat ini. Partai Demokratik
Kurdi (KDP) beranggotakan sekelompok intelektual Kurdi dan memperoleh
dukungan dari suku Kurdi yang tinggal di pegunungan. Kedua, partai Persatuan
Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK) yang dibentuk Jalal
Talabani tahun 1975. Jalal Talabani semula adalah anggota terkemuka KDP,
tetapi keluar dari partai tersebut karena sering bentrok dengan Mustafa Barzani,
seperti di tahun 1964, Talabani bersama beberapa anggota politbiro KDP lainnya
menentang kesepakatan gencatan senjata antara Mustafa Barzani dengan
pemerintah Irak tahun 1964 (Jawa Pos, 4 Mei 1991 : 11).
Sejarah mencatat bahwa perang antar-Kurdi untuk memperebutkan
wilayah kekuasaan dan pengaruh di Irak Utara menjadi salah satu penyebab
mudahnya Saddam menguasai daerah tersebut karena selalu ada kelompok atau
partai politik yang dapat dipengaruhi Bahgdad. Ada dua wilayah kurdi yang saling
bersaing, yakni “Barzanistan” di Irak Utara bagian barat laut yang dikuasai KDP,
berpusat di Arbil dan “Talibanistan” di timur laut Irak yang dikuasai PUK,
berpusat di Sulaymaniah. Kedua partai tersebut sering berselisih untuk berebut
pengaruh dan kekuasaan di wilayah Kurdistan Irak. Setelah pemberian otonomi di
wilayah Kurdistan tahun 1991, hubungan antara KDP dan PUK mengalami
pasang surut (Trias Kuncahyono, 2005 : 174).
Kegagalan pemberontakan melawan pemerintah pusat tahun 1991
mendorong KDP dan PUK untuk bersatu dengan membentuk Front Kurdistan,
tetapi Front Kurdistan yang terbentuk tidak berdasarkan atas saling percaya
sehingga front tersebut begitu rapuh. Pada dasarnya antara KDP dan PUK
cii
memiliki ambisi untuk saling menghancurkan dan ketika mereka mulai berselisih
pembagian pendapatan dari penyelundupan dan perdagangan minyak, perpecahan
pun tidak dapat dihindarkan lagi (Trias Kuncahyono, 2005 : 176).
Tahun 1992, dua partai politik utama suku Kurdi yakni Partai Demokratik
Kurdi (Kurdish Democratic Party / KDP) dan Partai Persatuan Patriotik Kurdistan
(Patriotic Union of Kurdistan / PUK) telah sepakat untuk menempatkan satuan-
satuan tempur dari kedua partai sebagai langkah awal untuk membentuk Angkatan
Bersenjata Kurdi di bawah kendali Kementrian Pertahanan Kurdi. Satuan-satuan
tempur tersebut akan bertugas untuk menjaga perbatasan wilayah otonomi
Kurdistan. Menurut Kemal Mufti, Jendral yang bertanggungjawab di Kementrian
Pertahanan Kurdi, sebanyak 50 ribu satuan tempur Peshmarga dibutuhkan untuk
mengendalikan jalur antara wilayah teritorial Kurdi di Irak utara dengan daerah
yang dikuasai pemerintah Baghdad. Jumlah tersebut akan ditambah dengan 50
ribu tentara Kurdi lagi yang akan dibentuk di wilayah yang dikendalikan suku
Kurdi. Satuan-satuan tempur yang lain dalam Angkatan Bersenjata Kurdi akan
dibentuk melalui rekruitmen baru. Setelah kegagalan pemberontakan Kurdi tahun
1991, dua partai utama Kurdi yaitu KDP dan PUK memerintahkan agar kelompok
militer Peshmarga membentuk satuan polisi Kurdi yang bertugas melaksanakan
patroli militer dengan kekuatan sebanyak 2.360 personel (Daliman, 2000 : 121).
Pada bulan Mei 1992, orang-orang Kurdi yang tinggal di wilayah otonomi
Kurdistan Irak menyelenggarakan pemilu yang pertama untuk memilih
pemerintahan di parlemen. Dalam pemilu tersebut KDP memperoleh 45 % dari
total suara dan PUK memperoleh 43,6 %, Islamic Movement memperoleh 5 %,
KSP dan ICP masing-masing memperoleh 2,6 % dan 2,2 % suara, sedangkan
KPDP memperoleh 1 %. Pada tanggal 4 Juni Pemerintahan Regional Kurdistan
dibentuk yang mayoritas orang-orang yang duduk dalam pemerintahan tersebut
berasal dari dua partai besar Kurdi yakni KDP dan PUK (David McDowall,
2000:381).
Pemerintahan Regional Kurdistan tidak berjalan sesuai yang diharapkan
untuk mewujudkan demokrasi karena antara KDP dengan PUK saling bersaing
untuk berebut kekuasaan. Antara KDP dengan PUK memiliki beberapa
ciii
perbedaaan yaitu perbedaan pemimpin dari masing-masing partai yaitu Massoud
Barzani (KDP) dan Jalal Talabani (PUK), perbedaan geografis kekuasaan yaitu
Barzan (KDP) dan Suran (PUK), perbedaan bahasa yaitu Kurmanji (KDP) dan
Sorani (PUK), dan perbedaan ideologi kebudayaan yaitu tradisional (KDP) dan
modern (PUK). (David McDowall, 2000 : 385).
Pada periode 1994 hingga 1997, PUK dan KDP terlibat pertarungan dan
pertempuran sengit untuk memperebutkan wilayah otonomi Kurdistan Irak. Pada
bulan Mei 1994, pertempuran antara KDP dengan PUK pecah, di mana pimpinan
PUK, Jalal Talabani meminta bantuan Iran untuk memerangi Partai Demokratik
Kurdi (KDP) pimpinan Massoud Barzani. PUK berhasil menduduki Arbil dan
menyatakan bahwa PUK telah menguasai sebagian wilayah Kurdistan serta 70%
penduduknya di bawah kekuasaan (Kompas, 3 September 1996 : 7).
Tahun 1996 Massoud Barzani membalas kekalahannya dengan meminta bantuan AS, tetapi bantuan yang diharapkan tidak datang, sehingga Massoud Barzani meminta bantuan Saddam Hussein. Hal ini merupakan kesempatan bagi Massoud Barzani untuk menjalin hubungan militer dengan Saddam Hussein. Dengan bermodalkan minyak yang dihasilkan wilayahnya, Massoud Barzani membeli senjata dan amunisi dari Baghdad. Saddam Hussein membantu Massoud Barzani pemimpin Partai Demokratik Kurdi (KDP) dengan mengerahkan sekitar 30.000 pasukannya untuk mengusir lawan politik Massoud Barzani yaitu pemimpin partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK), Jalal Talabani dan pasukannya dari kota Arbil. Massoud Barzani meminta bantuan Saddam Hussein karena PUK telah memperlakukan penduduk Arbil dengan sewenang-wenang (Mustofa Abdul Rahman, 2003 : 3).
Pada bulan September 1998, akhirnya JalaI Talabani dan Massoud Barzani sepakat untuk bersatu dan bersama-sama menyelenggarakan pemilihan umum pada bulan Juli 1999. Sejak saat itu disepakati gencatan senjata, tetapi langkah-Iangkah reunifikasi untuk mempertegas dan memperteguh penyatuan kedua partai tidak dilakukan (Trias Kuncahyono, 2005 : 176).
Walaupun demikian, langkah kedua pemimpin partai politik terbesar di Kurdistan tersebut memberikan harapan baru bagi terciptanya persatuan dan kesatuan Kurdi. Hal tersebut dianggap sebagai sebuah langkah bersejarah dan menuju arah yang benar. Upaya untuk menegaskan reunifikasi itu terus dilakukan. Pada tanggal 7-8 September 2002 dilakukan pertemuan antara Massoud Barzani dari Partai Demokratik Kurdistan (KDP) dengan Jalal Talabani dari partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK) di Salahadin, Kurdistan selatan. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi guna membahas
civ
sejumlah isu Kurdistan, regional dan internasional. Mereka juga sepakat untuk bersama-sama memerangi terorisme, fanatiisme, dan diktator. Kedua belah pihak menegaskan bahwa kesempatan baru harus direbut dan dimanfaatkan sehingga bermanfaat bagi rakyat Irak dan Kurdistan (Trias Kuncahyono, 2005 : 177).
Kesepakatan antara KDP dan PUK oleh banyak pihak dinilai sebagai sebuah langkah demokratis untuk menyelesaikan persoalan Kurdistan yang setelah akhir Perang Teluk 1991 praktis menikmati otonomi. Untuk melaksanakan konsep-konsep demokratis tersebut, kedua pihak membentuk empat komite. Keempat komite tersebut bertugas menyiapkan proyek bersama mengenai konsep federalisme, normalisasi internal wilayah Kurdistan, menyelesaikan isu-isu keamanan, dan merencanakan kebijakan bersama mengenai masalah-masalah internasional dan regional. Mereka juga sepakat, Majelis Nasional Kurdistan akan mengadakan sidang pada tanggal 4 Oktober 2002 di Arbil. Sidang itu akan dihadiri oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan jalan demokratis yang pernah dirintis orang-orang Kurdi pasca pemberian otonomi oleh pemerintah Irak tahun 1991 (Trias Kuncahyono, 2005 : 177).
cv
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Suku Kurdi merupakan suatu kelompok etnis Indo-Eropa keturunan dari
Kaum Medes yang mayoritas menganut Islam Sunni dan tinggal di
wilayah Kurdistan yang saat ini terbagi dalam beberapa negara seperti
Turki, Iran, Iran dan Suriah sehingga menyebabkan perjuangan untuk
mendirikan Negara Kurdistan sulit terwujud dan berubah menghendaki
wilayah yang otonom di negara masing-masing agar suku Kurdi dapat
mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka,
termasuk di Irak dimana perjuangannya paling agresif yang dihimpun
dalam Partai Demokratik Kurdi (KDP) yang dipimpin Massoud Barzani
dan partai Persatuan Patriotik Kurdistan (PUK) yang dipimpin Jalal
Talabani. Kedua partai tersebut, yaitu KDP dan PUK sampai saat ini
menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak.
2. Perjuangan suku Kurdi di Irak untuk mendapatkan otonomi mendapatkan
perlawanan dari pemerintah Irak yang ingin menjaga keutuhan bangsa dan
mengamankan sumber minyaknya di wilayah Kirkuk sehingga sering
terjadi peperangan antara kedua belah pihak yang mengakibatkan banyak
jatuh korban jiwa dan puncaknya terjadi pada tahun 1988 dimana
pemerintah Irak menyerang wilayah Irak utara dengan senjata kimia.
Pemberian otonomi oleh pemerintah Irak yang mencakup wilayah Dahuk,
Arbil dan Sulaymaniah pada tanggal 11 Maret 1974 tidak disetujui suku
Kurdi karena wilayah Kirkuk tidak dimasukkan dalam wilayah otonomi
sehingga terjadi pertempuran kembali. Permasalahan otonomi Kurdistan
Irak yang mencakup wilayah Kirkuk menjadi perbedaan utama antara
pemerintah Irak dengan pemimpin suku Kurdi dan terus berlangsung
cvi
sampai tahun 1991 pada perundingan dalam upaya perdamaian antara
pemerintah Irak dengan suku Kurdi yang tetap berujung pada keputusan
otonomi atas wilayah Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah.
3. Pemberian otonomi di wilayah Kurdistan Irak berdampak pada persatuan
antara KDP dan PUK, meskipun dalam perjalanannya kedua partai
tersebut saling berebut pengaruh dan kekuasaan di Irak utara serta terlibat
peperangan pada periode tahun 1994 sampai 1997, tetapi belajar dari
pengalaman akhinya KDP dan PUK sepakat untuk bersatu dan
menyelenggarakan pemilihan umum dengan tujuan melaksanakan program
pembangunan untuk kesejahteraan suku Kurdi.
B. Implikasi
1. Teoritis
Konflik antara suku Kurdi dengan pemerintah Irak disebabkan beberapa
faktor dari sudut pandang politik, ekonomi dan sosial budaya. Secara politik,
konflik suku Kurdi dengan pemerintah Irak terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan, di mana suku Kurdi menuntut pemberian status otonomi di wilayah
Kurdistan Irak kepada Pemerintah Irak, tetapi tuntutan tersebut tidak dipenuhi
oleh Pemerintah Irak dengan alasan menjaga keutuhan bangsa. Permasalahan suku
Kurdi semakin kompleks dan sulit dicari pemecahannya karena mereka tersebar
dalam beberapa negara seperti Iran, Irak Turki dan Suriah. Pemerintah Turki tidak
menghendaki pemerintah Irak memberikan otonomi luas yang mencakup wilayah
Kirkuk dan Mosul yang kaya akan minyak karena dapat membangkitkan
nasionalisme suku Kurdi yang tinggal di Turki, Iran, dan Suriah sehingga dapat
mengganggu stabilitas keamanan di kawasan tersebut. Secara ekonomi, konflik
suku Kurdi dengan pemerintah Irak terjadi karena suku Kurdi menuntut otonomi
yang mencakup seluruh wilayah yang ditinggali orang-orang Kurdi termasuk
wilayah Kirkuk yang kaya akan minyak, tetapi pemerintah Irak menolak tuntutan
tersebut karena ingin mengamankan sumber minyaknya di wilayah Kirkuk yang
menghasilkan 30% produksi minyak di Irak. Secara sosial budaya, Kurdi dengan
cvii
Arab merupakan etnis yang memiliki budaya yang berbeda, suku Kurdi berbicara
dalam bahasa mereka sendiri yakni Kurdi bukan Arab. Suku Kurdi merupakan
etnis non-Arab yang tinggal di lingkungan yang mayoritasnya Arab, sehingga
kepentingannya sering diabaikan.
2. Praktis
Otonomi merupakan wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau
daerah untuk mengatur, mengurus dan mengelola sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan
perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial dan budaya yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Dalam
pelaksanaan otonomi yang dinikmati suku Kurdi di Kurdistan Irak sejak tahun
1991 tidak sesuai dengan yang diharapkan dan pemerintahan daerah
(Pemerintahan Regional Kurdistan) yang terbentuk setelah pemilu tahun 1992
tidak berjalan efektif untuk melaksanakan otonomi di Kurdistan Irak. Hal tersebut
terjadi karena kurangnya persatuan diantara orang-orang atau kelompok-
kelompok Kurdi. Pemerintahan Regional Kurdistan yang diakomodasi oleh dua
partai utama suku Kurdi Irak yaitu KDP dan PUK yang saling beroposisi dan
sering terlibat peperangan untuk memperebutkan wilayah kekuasaan dan
pengaruh di Irak Utara. Pemberian otonomi tahun 1991 menjadi kesempatan bagi
suku Kurdi untuk melaksanakan pembangunan di wilayahnya, tetapi perpecahan
dalam Pemerintahan Regional Kurdistan mengakibatkan Pemerintahan Regional
Kurdistan tersebut tidak dapat menjalankan program-program pembangunan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang-orang Kurdi. Namun,
pengalaman membawa orang-orang Kurdi untuk bersatu yang diwujudkan dengan
kesepakatan bersatunya KDP dengan PUK.
3. Metodologis
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode historis yang
bertujuan untuk merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga
dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan
cviii
secara ilmiah melalui prosedur sejarah yang sistematis dengan menggunakan
tahap-tahap tertentu. Dalam teknik pengumpulan data, peneliti kesulitan dalam
mencari sumber-sumber primer terutama surat kabar dan majalah di tahun 1970-
an dan 1980-an karena tidak di dapatkannya data yang diperlukan. Peneliti hanya
menemukan sedikit sumber primer berupa surat kabar dan majalah di tahun 1991
yang berhubungan dengan tema penelitian di Monumen Pers Surakarta. Selain
peneliti kesulitan dalam mengumpulkan sumber primer, peneliti juga kesulitan
dalam mengumpulkan sumber sekunder yaitu buku-buku yang secara khusus
membahas tentang perjuangan suku Kurdi dan jika diperoleh dalam bentuk bahasa
Inggris seperti buku karangan David McDowall yang berjudul “A Modern History
Of The Kurds”.
C. Saran
1. Bagi Penerbit/ Penerjemah
Peneliti berharap kepada peneliti sejarah dan penerbit agar penelitian yang
membahas tentang masalah suku Kurdi dan perjuangannya hendaknya lebih
banyak dikaji secara lebih mendalam serta dituangkan dalam bentuk artikel-artikel
dan karangan buku yang secara khusus membahas tentang suku Kurdi dan
perjuangannya karena sebagian besar buku yang ada isinya hanya menyisipkan
perjuangan suku Kurdi tanpa membahasnya secara lebih mendalam. Jika ada buku
yang secara khusus membahas perjuangan suku Kurdi dalam bentuk bahasa
Inggris seperti buku karangan David McDowall yang berjudul “A Modern History
Of The Kurds” sehingga bagi peneliti yang kurang menguasai bahasa Inggris akan
mengalami kesulitan dalam memahaminya. Peneliti berharap buku tersebut dapat
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sehingga akan mempermudah pembaca
dalam memahami isi buku tersebut.
2. Bagi Mahasiswa Sejarah
Peneliti mengharapkan bagi mahasiswa sejarah hendaknya dapat
melakukan penelitian secara lebih mendalam mengenai suku Kurdi dan
cix
perjuangannya yang masih sedikit kajiaannya seperti perjuangan suku Kurdi di
Iran dan perjuangan suku Kurdi di Turki yang sampai saat ini masih berlangsung.
Bagi mahasiswa yang tertarik untuk melakukan penelitian tentang perjuangan
suku Kurdi di Iran dan Turki dapat mengumpulkan sumber-sumber primer di
Monumen Pers Surakarta dan Perpustakaan Daerah Yogyakarta yang berupa surat
kabar dan majalah.
cx
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abu Ahmadi. 1975. Pengantar Sosiologi. Semarang : Ramadhani
Alauddin Al-Mudarris. 2004. Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman. Yogyakarta: Cahaya Hikmah
Alo Liliweri. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Andi Mustari Pile, H. 1999. Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI. Jakarta : Gaya Media Pratama
Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta : UI Press
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah : Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Jakarta : Kemitraan
Daliman. 2000. Kapita Selekta Sejarah Asia Barat Daya. Surakarta : FKIP
Diamond, Larry dan Marc F. Plattner. 1998. Nasionalisme, Konflik Etnik dan Demokrasi. Bandung : ITB
Dudung Abdurahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana.
Duverger, Maurice. 1988. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali
Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher
Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah. Jakarta : UI Press
Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press
Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak
Hendropuspito, D.O.C. 1989. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta : Kanisius
Kartini Kartono. 1988. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : Rajawali
cxi
Koentjaraningrat. 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia
. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Lenczowski, George. 1993. Timur-Tengah di Tengah Kancah Dunia. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Maswadi Rauf. 2001. Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teotitis. Dirjen Dikti : Depdiknas.
Mc.Dowall, David. 2000. A Modern History Of The Kurds. London : I.B. Tauris & Cc Ltd
Mohammad Shoelhi. 2003. Demi Harga Diri Mereka Melawan Amerika. Jakarta : Pustaka Cidesindo
Mustofa Abdul Rahman. 2003. Geliat Irak Menuju Era Pasca-Saddam. Jakarta : Kompas Media Nusantara
Nasir Tamara dan Agnes Samsuri. 1981. Perang Iran-Perang Irak. Jakarta : Sinar Harapan
Nugroho Notosusanto.1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta : Sinar Harapan
Peter Salim dan Yenny Salim. 1991. Kamus Indonesia Kontemporer Edisi I. Jakarta : Balai Pustaka
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia
Redaktur Ensiklopedi Indonesia. 1990. Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve
Redaktur Ensiklopedi Islam. 1993. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve
Riza Sihbudi, M. 1991. Islam, Dunia Arab, Iran : Barat Timur Tengah. Bandung : Mizan
Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia
Selo Sumarjan. 1978. Penggunaan Kekerasan secara Massal. Jakarta : Tarsim
Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Bhratara Karya Aksara
cxii
Siti Muti’ah Setiawati. 2004. Irak Di Bawah Kekuasaan Amerika. Yogyakarta : Pusat Pengkajian Masalah Timur-Tengah UGM
Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Sujamto. 1991. Cakrawala Otonomi Daerah. Jakarta : Sinar Grafika
Sukarno. 1984. Ilmu dan Perjuangan. Jakarta : Inti Idayu Press
Syahda Guruh Langkah Samudra. 2000. Menimbang Otonomi vs Federal: Mengembangkan Wacana Federalisme dan Otonomi Luas Menuju Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : Remaja Rosdakarya
Trias Kuncahyono. 2005. Bulan Sabit di Atas Baghdad. Jakarta : Kompas Media Nusantara
. 2004. Dari Damaskus Ke Baghdad. Jakarta : Kompas Media Nusantara
Weber, Max. 1985. Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologis. Jakarta : Rajawali Pers
Widjaja, H.A.W. 2004. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Winarno Surya. A. 1999. Otonomi Daerah di Era Reformasi. Yogyakarta : Badan Penerbit YKPN
Wojowarsito. 1972. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bandung : Sinta Darma
Poerwodarminto, W.J.S. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Veerger, K.J. 1990. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
cxiii
B. Surat Kabar dan Majalah
“Talabani, Tokoh Kurdi yang Disegani Saddam”.1991.Mei 1991.APA Monitor. 4
“Irak Setuju Pemilu Bebas”. 1991. Mei. APA Monitor. 3
“Perundingan Babak Kedua Kurdi-Baghdad Senin Ini”. 1991. Mei. APA Monitor. 6
“Sekutu Luaskan Lagi Zona Keamanan di Irak Utara”.1991.Mei. APA Monitor.8
“Saddam Hussein-Kurdi Lanjutkan Perundingan”. 1991. Mei APA Monitor. 10
“Kurdi dan Pemerintah Irak Bentuk Komite Gabungan”. 1991. Mei. APA Monitor. 14
“Soal Demokrasi Jadi Hambatan Perundingan Kurdi-Baghdad”. 1991. Mei. APA Monitor. 16
“Baghdad dan Kurdi Sepakati Demokrasi Penuh di Irak”. 1991. Mei. APA Monitor. 19
“Irak Mau Mundur dari Dahuk”. 1991. Mei. APA Monitor. 24
“Kesepakatan Kurdi-Irak Dicapai Pekan Ini”.1991. Mei. APA Monitor. 27
“Perundingan Baghdad-Kurdi Sudah Mencapai Titik Terang”. 1991. Juni. APA Monitor. 18
“Perjanjian Kurdi-Baghdad Jadi Sulit Disepakati”. 1991. Juni. APA Monitor. 26
“Kurdi Tolak Syarat Irak”. 1991. Juli. APA Monitor. 1
“Kurdi dan Baghdad Selidiki Bentrokan”. 1991. Juli. APA Monitor. 22
“Gerilyawan Kurdi Bunuh 60 Serdadu Irak tak Bersenjata”. 1991. Oktober. APA Monitor. 8
Trias Kuncahyono. 1996. September 3. “Lima Faksi Utama Kurdi di Irak Utara”. Kompas. 7.
Yopie Hidayat. 1991. 27 April. “Daerah Otonomi dari Saddam?”. Tempo. 76-79.
. 1991. 4 Mei. “Dilema Terowongan Gelap Kurdi”. Tempo. 28.
. 1991. 11 Mei. “Bayangan Perdamaian”. Tempo. 34.
Yopie Hidayat. 1991. 18 Mei. “Apa yang Dicari Kurdi”. Tempo. 39.
cxiv
C. Internet
http://apakabar.ws/forums//viewtopic.php?f=1&t=5689
www.bappenas.go.id/ Mustopadidjaja AR.
http://g1s.org/opini/kurdi-bangsa-besar-yang-termarginalkan-681
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/14/sorotan/310110.htm
mitrafm.com/blog/2008/02/01/
http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/2004
http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php
http://swaramuslim.com/islam/more
http://www.waspada.co.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Koalisi_Sementara_Irak
http://en.wikipedia.org/wiki/Iraqi_Interim_Government&prev
http://id.wikipedia.org/wiki/Jalal_Talabani
http://en.wikipedia.org/wiki/Kurdish_people&prev=/translate
cxv
Lampiran 1. Peta Irak
Sumber : Gifford, Clive. 2007. Ensiklopedia Geografi. Jakarta: Lentera Abadi
U
cxvi
Lampiran 2. Peta Kelompok Etnoreligi Irak
Sumber : Trias Kuncahyono. 2005. Bulan Sabit di Atas Baghdad. Jakarta : Kompas
cxvii
Lampiran 3. Peta Wilayah Kurdistan Yang Berada di Beberapa Negara Seperti
Turki, Iran, Irak dan Suriah
Sumber : www.kokhavivpublications.com/help/maps/images
U
cxviii
Lampiran 4. Peta Wilayah Kurdistan Irak Setelah Pemberian Otonomi Tahun
1974
Sumber : David McDowall. 2000. A Modern History Of The Kurds. London : I.B.
Tauris & Cc Ltd
U