Perjuangan Menyebarkan Internet · Untuk sementara, dalam buku ini, mari kita telaah apa yang...

115
Perjuangan Menyebarkan Internet Onno W. Purbo [email protected] @onnowpurbo OnnoCenter 2016 ISBN: 978-602-74434-9-5

Transcript of Perjuangan Menyebarkan Internet · Untuk sementara, dalam buku ini, mari kita telaah apa yang...

Perjuangan Menyebarkan

Internet

Onno W. Purbo [email protected]

@onnowpurbo

OnnoCenter 2016

ISBN: 978-602-74434-9-5

2 Onno W.Purbo

3

Ucapan Terima Kasih

Indonesia Project, Australian National University

Indonesia Data Center

4 Onno W.Purbo

5

Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih 3 Daftar Isi 5 Kata Pengantar 7 PENDAHULUAN 9 Perlu Explorasi Pilihan Kebijakan 10 Mengapa Menaikkan Penetrasi Internet? 11 Tantangan Meningkatkan Penetrasi Internet 12 Organisasi Buku 13 Referensi 14 SEPINTAS TELEKOMUNIKASI & INTERNET INDONESIA 15 Telekomunikasi di Indonesia 15 Layanan Internet di Indonesia 16 Sepintas Pengguna Internet Indonesia 18 Referensi 20 DIGITAL DIVIDE 22 Kesenjangan Digital di Indonesia 22 Sepintas Perdebatan Kesenjangan Digital Di Dunia 27 Inklusi Digital, Kompetensi Digital dan Internet Skill 30 Netralitas Internet 31 Kebebasan Technology 33 Komentar Digital Divide untuk Indonesia 34 Referensi 35 BELAJAR DARI SEJARAH INTERNET INDONESIA 40 Jaringan Komputer via Telepon 41 Jaringan Internet Radio 42 Warung Internet 42 RT/RW-net 44 Pembebaskan Frekuensi 2.4GHz dan Innovasi 45 Pelajaran dari Sejarah 46 Referensi 47 TANTANGAN PENETRASI KE DESA 49 Kesulitan Medan 49 Kesulitan Keuangan 51

6 Onno W.Purbo

Pelajaran dari Tantangan Penetrasi 52 Referensi 53 KERANGKA SOLUSI UNTUK PEDESAAN 54 Pemikiran Praktis Untuk Kerangka Solusi 58 Referensi 59 INISIATIF TOP DOWN PEMERINTAH 61 Pelajaran dari Proyek Top Down 66 Referensi 67 INISIATIF BOTTOM UP MASYARAKAT 71 Jaringan Nirkabel Jarak Jauh 72 Teknik Disain Jaringan Wireless Jarak Jauh 75 RT/RW-net 79 Telepon Menggunakan Internet 82 OpenBTS untuk pedesaan 83 Pelajaran dari Inisiatif Bottom Up 87 Referensi 88 PEMBERDAYAAN OLEH MASYARAKAT 90 Gerakan Internet Sehat 91 Kompetisi TIK 93 Menarik Para Techies Muda 95 e-Learning 96 IT workshop untuk Sekolah 97 Workshop untuk Profesional 98 Beberapa dari Proses Pemberdayaan 99 Referensi 100 KEBIJAKAN PRO DESA 103 Referensi 107 PENUTUP 111

7

Kata Pengantar

Buku ini merupakan hasil sampingan dari perjalanan utuk menulis

paper di Australian National University, Juni 2016 untuk keperluan

conference Indonesia Update September 2016 di Australia National

University. Disela-sela waktu luang yang ada, saya menulis ulang

paper tersebut dalam bahasa Indonesia agar teman-teman di

Indonesia dapat memahami laporan berbahasa Inggris yang dibuat

di Australia tersebut.

Buku ini lebih banyak menuliskan fakta-fakta penemuan di lapangan

dan tidak terlalu banyak bertumpu pada peraturan dan

perundangan. Hal ini semoga akan membuka mata kita akan

kejadian yang banyak terjadi di lapangan khususnya dalam usaha

menyebarkan Internet di Indonesia.

Ucapan terima kasih kepada DR. Budy Resosudarmo dan DR. Ross

Tapsell dari Indonesia Project di Australian National University yang

telah memberikan dukungan untuk menuliskan laporan tentang

digital divide di Indonesia. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada Johar Alam, Teguh Wijaya, Valens Riyadi dan Dadang

Setiawan atas berbagai data yang di berikan dalam waktu yang

sangat singkat.

Tentunya juga kepada istri, Nulina, yang mendampingi penulis di

bawah suhu Canberra yang demikian rendah pada bulan Ramadhan

2016. Juga Johar Alam dan Aie yang banyak memberikan dukungan

dari Sydney :) ...

8 Onno W.Purbo

Pekerjaan untuk mengurangi kesenjangan digital dan menyebarkan

Internet bukanlah pekerjaan yang glamour yang tidak banyak

memperoleh sorotan media. Semoga buku ini dapat memberikan

gambaran pada khalayak ramai di Indonesia tentang perjuangan

yang sudah dan masih sangat perlu dilakukan oleh bangsa Indonesia

jika kita ingin melihat bangsa Indonesia maju.

Canberra, Ramadhan 1437H / 2016M.

Onno W. Purbo

9

Pendahuluan

Dengan 88,1 juta pengguna internet pada tahun 2014, rata-

rata penetrasi internet di Indonesia adalah 34,9% (Puskakom

UI, 2015, p. 20). Namun, seperti yang ditunjukkan pada Tabel

1.1, laporan internasional menunjukkan tingkat penetrasi jauh

lebih rendah dan jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara

lainnya. Selanjutnya, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari

dua puluh negara yang merupakan tempat dari tiga-perempat

dari 4,3 miliar non-pengguna Internet di seluruh dunia (World

Economic Forum 2016, p. 7). Karya ini akan meninjau keadaan

Internet Indonesia khususnya dalam menghadapi / mengatasi

akses internet yang buruk untuk daerah rural dan desa.

Table 1.1 Internet penetration di beberapa negara dari

berbagai sumber.

ITU (2014) ISOC (2015) InternetStats (2016)

Otoritas Negara

Singapura 82.00% 73% 82.5% 79% Malaysia 67.50% 67% 68.6% 100% VietNam 48.31% 44% 52% Philippina 39.69% 37% 43.5% Thailand 34.89% 29% 42.7% Indonesia 17.14% 16% 20.4% 34.9%

10 Onno W.Purbo

Penulis akan mengulas upaya pemerintah dan masyarakat

dalam memberikan akses internet ke rural dan pedesaan.

Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan

Informasi, sangat bergantung pada dana Universal Service

Obligation (USO) sementara masyarakat lebih banyak

bergantung pada usaha swadaya masyarakat dan pada sumber

daya manusia mereka sendiri untuk menyebarkan

pengetahuan dan akhirnya membangun infrastruktur.

Perlu Explorasi Pilihan Kebijakan

Pilihan kebijakan perlu dieksplorasi untuk mendapatkan

manfaat maksimal dari kedua top down serta bottom up

pendekatan. Saya berpendapat bahwa pilihan yang paling

sederhana untuk meningkatkan penetrasi internet di

Indonesia untuk melakukan survei yang lebih luas, khususnya

akan kebutuhan masyarakat mapun kemampuan / kapasitas

yang ada pada masyarkat serta meningkatkan proses

pemberdayaan warga sebelum implementasi infrastruktur

dilakukan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa masa

depan kebijakan 'top-down' untuk meningkatkan akses

internet pedesaan tidak mengalami kegagalan seperti

program-program sebelumnya.

Sebetulnya, kita bangsa Indonesia akan dibatasi oleh kerangka

hukum telekomunikasi yang ada, yaitu hanya operator yang

berlisensi / memperoleh ijin dari pemerintah yang dapat

11

menggelar jaringan dan memberikan layanan kepada

masyarakat. Jadi sebetulnya, hanya program pemerintah yang

bersifat 'top-down' yang boleh dilakukan untuk menyebarkan

Internet ke pedesaan. Semua inisiatif masyarakat yang bersifat

swadaya masyarakat dan 'bottom-up' secara hukum tidak sah.

Untuk sementara, dalam buku ini, mari kita telaah apa yang

sebenarnya terjadi di lapangan, dan mari kita secara bijaksana

mengambil manfaat semaksimal mungkin dari kapasitas yang

ada di rakyat Indonesia untuk kebaikan bangsa Indonesia itu

sendiri.

Mengapa Menaikkan Penetrasi Internet?

Meningkatkan penetrasi Internet, dan, dengan demikian,

mempersempit kesenjangan digital (digital divide), merupakan

kepentingan strategis sebuah negara, karena peningkatan

penetrasi internet akan meningkatkan pertumbuhan GDP

(Gross Domestic Product) per kapita. Hasil beberapa penelitian

menunjukan bahwa di negara-negara berpenghasilan rendah

dan menengah, peningkatan 10% penetrasi broadband

kecepatan tinggi akan memberikan kontribusi terhadap

pertumbuhan GDP per kapita sebesar 1,38% (World Bank,

2009, hal 45;. Raul Katz, 2012, p. 5). Sementara peningkatan

10% penetrasi internet akan memberikan kontribusi terhadap

pertumbuhan GDP per-kapita 1,12% (World Bank, 2009, hal.

45).

12 Onno W.Purbo

Tantangan Meningkatkan Penetrasi Internet

Indonesia adalah sebuah negara yang di dominasi oleh

komunikasi selular, dengan hampir 85% dari pengguna

internet menggunakan dan mendapatkan pengalaman pertama

mereka mengakses Internet melalui perangkat mobile

(Puskakom UI, 2015, p. 24). Selanjutnya, jaringan nirkabel

yang menarik terutama untuk menyediakan akses di daerah

rural dan pedesaan. Namun, karena teknologi nirkabel

membutuhkan kondisi / topologi yang line-of-sight, tidak ada

halangan, setiap hambatan seperti gunung akan memerlukan

konfigurasi yang lebih kompleks dalam sistem komunikasi

yang di bangun.

Karena 46,7% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan

rural (BPS Indonesia, 2014a), untuk meningkatkan penetrasi

internet di atas 50% maka mau tidak mau, suka tidak suka

akan memerlukan kemampuan penyebaran jaringan yang

mampu untuk menembus rural dan pedesaan di di mana

setengah dari penduduk negara ini berada. Ini membutuhkan

lebih dalam diskusi mendalam, karena banyak dari desa-desa

ini (1) yang terletak di daerah pegunungan dan, dengan

demikian, teknologi akan lebih sulit, dan / atau (2) tidak layak

secara ekonomis dari sudut pandang operator telekomunikasi

komersial. Kita sebagai bangsa perlu lebih arif dalam

mengambil kebijakan untuk dapat mengatasi kesulitan-

kesulitan ini sekaligus memperkuat kemitraan pemerintah-

masyarakat dalam proses implementasinya.

13

Di samping itu, kita akan dibatasi oleh kerangka hukum

telekomunikasi yang ada, yang membatasi hanya operator

yang berlisensi yang dapat menggelar jaringan dan

memberikan layanan kepada masyarakat.

Organisasi Buku

Secara umum buku ini di arahkan untuk memberikan data dan

argumentasi yang terstruktur untuk mendukung kebijakan

yang lebih pro pada desa dalam rangka mengurangi

kesenjangan digital (digital divide). Kebijakan pro desa dapat

kita baca di bagian akhir tentang kebijakan pro desa maupun

di bagian penutup. Untuk menghayati mengapa kita sangat

memerlukan kebijakan pro desa ini, maka pembaca sebaiknya

membaca bagian tentang digital divide.

Taktik dalam memecahkan masalah di lapangan tidak akan

mungkin bisa maksimal jika kita tidak dapat merangkul semua

kemampuan yang sudah ada di masyarakat maupun belajar

dari kegagalan-kegagalan sebelumnya. Untuk itu sangat di

sarankan untuk membaca bagian tentang sejarah Internet di

Indonesia, inisiatif 'top-down' oleh pemerintah maupun

inisiatif 'bottom-up' oleh komunitas di lapangan. Akan terlihat

dengan jelas bahwa kunci utama dari semua proses ini terletak

pada sumber daya manusia bukan pada jenis layanan,

teknologi, bukan pula pada alat yang digunakan.

Resep utama dalam membangun sebuah infrastruktur di

pedesaan dan rural agar langgeng (sustainable) adalah (1)

14 Onno W.Purbo

berdayakan innovasi teknologi untuk menurunkan biaya, (2)

membangun keahlian lokal dan (3) memberikan manfaat bagi

perekonomian lokal.

Referensi

BPS-Statistics Indonesia. (2014a). Percentage of Urban Population by

Province, 2010-2035. (Persentase Penduduk Daerah Perkotaan menurut

Provinsi, 2010-2035). Jakarta: BPS- Statistics Indonesia. [online] Ada

di: http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1276 [Accessed 4 Jun.

2016]

Puskakom UI. (2015). Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. Jakarta:

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).

Raul Katz. (2012). Impact of broadband on the economy: Research to Date

and Policy Issues. International Telecommunication Union (ITU), pp. 2-7.

The Internet Society (ISOC) and TRPC. (2015). Unleashing the Potential of

the Internet for ASEAN Economies. The Internet Society (ISOC) and

TRPC. [online] Available at : http:// www.internetsociety.org /sites

/default /files/ISOC_ASEAN_Digital_Economy_Report _Full_s.pdf

[Accessed 11 Jun. 2016]

World Bank. 2009. 2009 Information and Communications for Development :

Extending Reach and Increasing Impact. Washington DC: World Bank.

[online] Ada di: https:// openknowledge.worldbank.org /bitstream

/handle/10986/2636/487910PUB0EPI1101Official0Use0Only1.pdf?

sequence=1&isAllowed=y [Accessed 11 Jun. 2016]

World Economic Forum. 2016. Internet for All: A Framework for

Accelerating Internet Access and Adoption. World Economic Forum.

[online] Ada di: http://www3.weforum.org/docs/ WEF_Internet_

for_All_Framework_Accelerating_Internet_Access_Adoption_report_201

6.pdf [Accessed 11 Jun. 2016]

15

SEPINTAS TELEKOMUNIKASI & INTERNET INDONESIA

Bagian ini hanya akan menjelaskan secara umum tentang

telekomunikasi dan Internet di Indonesia. Berbagai detail

tentang kebijakan maupun infrastruktur yang ada tidak akan

di jelaskan pada kesempatan ini.

Telekomunikasi di Indonesia

Jaringan telekomunikasi utama yang ada di Indonesia,

terutama dioperasikan oleh PT Telkom, perusahaan

telekomunikasi terbesar di Indonesia dan PT Indosat adalah

operator seluler terbesar ke dua di Indonesia. Keduanya, baik

PT Telkom dan PT Indosat diprivatisasi sebagian pada

pertengahan 1990-an. Pemerintah mempertahankan saham di

kedua perusahaan, termasuk kepemilikan lebih dari 50% di PT

Telkom.

Pasar ponsel Indonesia telah meledak selama beberapa tahun

terakhir. Pelangganan selular atau lebih tepatnya SIM card

yang di jual lebih dari 326.3 juta, jauh di atas jumlah rakyat

Indonesia. Yang tidak kalah menarik adalah 85% dari

penduduk Indonesia memiliki ponsel, bahkan lebih dari 43%

membawa ponsel pintar / smartphone (Judith Balea 2016).

16 Onno W.Purbo

Saat ini, sebagian besar Internet Indonesia dioperasikan oleh

perusahaan swasta, selain PT. Telkom dan PT.Indosat. Internet

Indonesia lebih banyak bertumpu pada modal swasta dan

tidak bertumpu pada anggaran belanja negara. Tidak heran

jika sektor telekomunikasi merupakan penyetor Pendapatan

Negara Bukan Pajak (PNBP) yang besar, dengan berbagai

kekisruhan karena penentuan tarif yang dirasakan tidak benar

(Detik.com, 2015).

Layanan Internet di Indonesia

Akses Internet di Indonesia dilayani oleh lebih dari 300

Internet Service Provider (ISP) dengan konfigurasi tidak

terpusat, tidak ada satu ISP yang menjadi ISP utama dan

masing-masing dapat mengambil jalur Internet sendiri ke

jaringan Internasional. Dari 300 ISP yang ada, ada lebih dari

tiga puluh lima ISP yang mempunyai dan membangun jaringan

telekomunikasi sendiri. Untuk menghemat bandwidth

sambungan internasional, antar ISP saat ini bertukar traffik

melalui beberapa Internet Exchange Points (IXP) (Matt

Carrieri et.al., 2014).

Ada empat (4) Internet Exchange Points yang besar di

Indonesia, yaitu, Indonesia Internet Exchange (IIX-JK2) di

Jakarta, NiCE / OpenIXP di Jakarta, Yogyakarta Internet

Exchange (IIX-JO) di Yogyakarta dan Indosat Internet

Exchange (INIX) di Jakarta. Internet Exchange Point yang

pertama dan terbesar berada di National Inter Connection

17

Exchange (NICE) atau OpenIXP yang dikelola oleh Indonesia

Data Center (IDC). Yang sangat menarik, sejarah lalu lintas

Internet yang melewati NiCE tercatat dengan baik dan dapat di

lihat di web IDC. Di awal menjalankan NiCE pada tahun 1997,

puncak traffic Internet lokal di Indonesia yang melalui router

NiCE yang waktu itu masih bernama Indonesia Internet

Exchange (IIX) hanya 1Mbps. Perkembangan traffic terus

berlipat ganda dengan naiknya jumlah pengguna maupun

server yang ada di Indonesia. Pada bulan Juni 2016, puncak

total traffic lokal Internet di Indonesia mencapai 240Gbps,

sedangkan puncak total traffic Internet ke Internasional

mencapai lebih dari 800 Gbps. Untuk lebih jelasnya di bawah

ini adalah tabel dari beberapa catatan total puncak traffic lokal

Internet di Indonesia yang melalui NiCE sejak tahun 1997. Hal

ini sangat jelas menunjukan geliat Internet di Indonesia yang

sangat exponensial.

Tabel 2.1 Catatan total puncak traffic lokal Internet yang melalui NiCE Tahun Total Puncak Traffic Lokal di NiCE 1997 1 Mbps 1998 2 Mbps 2000 3 Mbps 2001 40 Mbps 2002 245 Mbps 2006 1400 Mbps 2009 19 Gbps 2011 60 Gbps 2013 100 Gbps 2016 Juni 240 Gbps

18 Onno W.Purbo

Sepintas Pengguna Internet Indonesia

Dalam penelitian yang terbaru, ditemukan bahwa mayoritas

pengguna internet di Indonesia tinggal di wilayah barat

Indonesia, khususnya pulau Jawa. Penetrasi Internet di pulau

jawa mencapai 36,9% dari total penduduk di Jawa. Selain itu,

sekitar 83,4% dari pengguna internet tinggal di daerah

perkotaan dan urban. Artinya masih sedikit sekali pengguna

Internet yang berada di daerah rural atau pedesaan.

Kemampuan untuk menyediakan akses internet di daerah

pedesaan diidentifikasi sebagai faktor kunci pembangunan

terutama untuk meningkatkan penetrasi Internet di atas

50%(Puskakom UI, 2015, hlm. 2).

Sangat menarik untuk dicatat bahwa 49% mayoritas pengguna

internet Indonesia berada di kisaran 18-25 tahun dan

kemungkinan besar adalah digital natives. Istilah digital natives

biasanya digunakan pada mereka yang sedari kecil telah biasa

menggunakan peralatan IT, gadget dan Internet dalam arti

yang sederhana mereka adalah penduduk asli dunia digital.

Selanjutnya, tingkat pendidikan mayoritas 64,7% dari

pengguna Indonesia adalah sekolah menengah atas (SMA)

(Puskakom UI, 2015, hlm. 10-25). Statistik seperti ini akan

menjadi sangat menarik, misalnya, dalam dunia politik, karena

menjadi anak-anak muda ini yang menjadi penentu dalam

pemilihan (Juliana Fernandes et.al, 2010). Tidak heran jika

banyak pemenang pemilu di Indonesia banyak mengandalkan

19

media sosial dan Internet dalam kampanye-nya untuk menarik

hati para pemilih muda ini.

Dalam hal penggunaan internet, ada tiga (3) alasan utama

pengguna Internet di Indonesia menggunakan internet, yaitu,

untuk bersosialisasi dan berkomunikasi (72%), mendapatkan

informasi (65%), dan mengikuti tren (51%). Hal ini diwakili

dalam empat (4) kegiatan utama saat para pengguna tersebut

mengakses Internet, yaitu, penggunaan media sosial (87%),

browsing informasi (69%), instant messaging (60%) dan

membaca berita (60%). Yang tidak kalah menarik untuk di

catat bahwa ada 79 juta pengguna aktif media sosial dari

Indonesia sehingga menempatkan Indonesia pada salah satu

urutan tinggi bagi pengguna media sosial di dunia (Puskakom

UI, 2015, hlm. 30-31).

Aplikasi yang berkembang pesat dari Internet adalah e-

commerce. e-commerce Indonesia adalah salah satu yang

paling dibicarakan di dunia StartUp di Asia Tenggara. Nama-

nama besar seperti Lippo Group, Internet Rocket, serta StartUp

lokal, seperti, Tokopedia dan Bukalapak bersaing untuk

merebut pasar. Penjualan online masih kurang dari satu

persen dari seluruh sektor ritel Indonesia. Ini berarti kita akan

melihat pertumbuhan yang lebih besar lagi pada dekade ke

depan (Judith Balea 2016). Sebagai catatan tambahan, pada

Juni 2016, rancangan regulasi e-commerce sedang beredar

semoga bisa membuat dunia e-commerce di Indonesia lebih

bergairah dan tidak memasung innovasi yang ada.

20 Onno W.Purbo

Tantangan terbesar adalah dalam mempersempit kesenjangan

digital (digital divide) yang ada khususnya di pedesaan dan di

rural yang pada gilirannya akan meningkatkan penetrasi

internet sambil memastikan kemampuan masyarakat untuk

menuai keuntungan dari Internet. Undang-undang

telekomunikasi nomor 36/1999 menyatakan dengan jelas

bahwa hanya operator berlisensi dapat membangun dan

mengoperasikan infrastruktur telekomunikasi. Sayangnya,

tidak ada ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, bahkan

walaupun mereka memiliki kemampuan keuangan dan teknis

untuk melakukannya sendiri dalam komunitas mereka. Untuk

membiayai infrastruktur telekomunikasi di daerah rural dan

pedesaan, pemerintah mengumpulkan 1,25% dari pendapatan

kotor operator sebagai dana Universal Service Obligation

(USO) yang dapat digunakan untuk membangun infrastruktur

pedesaan dan rural oleh operator.

Referensi

Detik.com. (2015). MK Tolak Gugatan UU PNBP dan UU

Telekomunikasi. Jakarta: Detik.com. [online] Ada di:

http://news.detik.com/berita/2864049/mk-tolak-gugatan-uu-

pnbp-dan-uu-telekomunikasi [Accessed 22 Jun. 2016]

Judith Balea. (2016). The latest stats in web and mobile in Indonesia

(INFOGRAPHIC). Singapore: Techinasia. [online] Ada di:

https://www.techinasia.com/indonesia-web-mobile-statistics-

we-are-social [Accessed 4 Jun. 2016]

21

Juliana Fernandes , Magda Giurcanu , Kevin W. Bowers & Jeffrey C.

Neely. (2010). The Writing on the Wall: A Content Analysis of

College Students' Facebook Groups for the 2008 Presidential

Election. Mass Communication and Society. [online] Available at:

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15205436.2010.

516865 [Accessed 4 Jun. 2016]

Matt Carrieri, Masashi Crete-Nishihata, Jakub Dalek, Ron Deibert,

Bennett Haselton, Saad Khan, Marianne Lau, Helmi Noman,

Irene Poetranto, Adam Senft, and Greg Wiseman.. (2014). Islands

of Control, Islands of Resistance: Monitoring the 2013 Indonesian

IGF. Toronto: Citizen Lab and Canada Centre for Global

Security Studies, Munk School of Global Affairs, University of

Toronto. [online] Ada di: http://www.citizenlab.org/briefs/29-

igf-indonesia/29-igf-indonesia.pdf [Accessed 4 Jun. 2016]

Puskakom UI. (2015). Profil Pengguna Internet Indonesia 2014.

Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

(APJII).

22 Onno W.Purbo

DIGITAL DIVIDE

Kesenjangan digital (digital divide) mengacu pada kesenjangan

antara individu, rumah tangga, bisnis dan wilayah geografis

pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda atau kategori

demografis lainnya berkenaan dengan peluang mereka untuk

mengakses, penggunaan, atau dampak dari berbagai aktifitas

teknologi informasi dan komunikasi (TIK) (OECD, 2001, hal. 5).

Dari berbagai studi yang ada, ternyata penghalang adopsi

Internet maupun broadband broadband terutama karena (1)

tingkat pendidikan (tidak melebihi sekolah menengah atas);

(2) usia di atas 65; (3) lokasi di daerah rural dan pedesaan; (4)

kelompok sosio-demografis yang tidak di untungkan, yang juga

berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan status pekerjaan

(pekerja kasar, pensiunan dan ibu rumah tangga); dan (5)

berpenghasilan rendah (ITU, 2012, hlm 83-85; Pierre

Montagnier dan Albrecht Wirthmann 2011, p 4).

Kesenjangan Digital di Indonesia

Kebijakan telekomunikasi Indonesia umumnya melihat

kesenjangan digital sebagai kesenjangan akses. Menyediakan

akses ke Internet menjadi fokus utama dalam mempersempit

23

kesenjangan digital. Hal ini dijelaskan secara eksplisit dalam

Peraturan President Republik Indonesia Nomor 45 Tahun

2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017,

pembangunan broadband dan infrastruktur penyiaran akan

berpusat pada tiga (3) prioritas, yaitu, (1) broadband dan

penyiaran di daerah non-komersial; (2) Peraturan

debottlenecking dan sinkronisasi dalam pengembangan

broadband dan penyiaran, dan (3) pengembangan sumber

daya manusia dan industri ICT (Pemerintah Indonesia, 2016, p.

III-169).

Selanjutnya, pada tahun 2017, akan di bangun 127 Base

Transceiver Station (BTS) selular di wilayah blank spot akan

ditambahkan ke 286 unit yang ada. Pada 2019, total target BTS

selular di daerah blank spot adalah 575 unit. Pada tahun 2017,

di rencanakan akan di bangun 800 “WARNET' di wilayah non-

komersial, sedangkan 2019 proyeksi akan di bangun di 4000

lokasi (Pemerintah Indonesia, 2016, p. IV-43). Rencana kerja

2017 pemerintah sangat jarang sekali menyebutkan kebijakan

pemerintah bidang telekomunikasi. Bidang telekomunikasi

sangat terasa bekerja sendiri dan tidak banyak melakukan

sinkronisasi dengan kebijakan lain, seperti di bidang

pendidikan, mengatasi masalah sosio-demografis,

meningkatkan pendapatan, dan solusi untuk daerah pedesaan.

Hal menarik lain adaah penggunaan istilah daerah non-

komersial, bukan pedesaan atau rural dalam rencana

telekomunikasi dalam teks keputusan presiden tersebut.

Semoga hal ini tidak menunjukan ketidak berpihakan

kebijakan telekomunikasi pada wilayah pedesaan atau rural.

24 Onno W.Purbo

Gambar 2.1:

25

Hasil Pengukuran OpenSignal untuk sinyal selular di Jawa dan Kalimantan

Dalam hal kesenjangan akses, mungkinkah Indonesia untuk

meningkatkan penetrasi internet Indonesia di atas 34,6%?

Karena mayoritas 85% pengguna mengakses melalui ponsel,

maka akan sangat masuk akal untuk melihat kondisi cakupan

jaringan selular di Indonesia untuk memperoleh bayangan

kondisi lapangan yang ada di Indonesia. Kita cukup beruntung,

ada beberapa situs internet, seperti, OpenSignal.com yang

dapat memberikan gambaran cakupan selular di seluruh dunia

termasuk Indonesia. OpenSignal.com sangat jelas-jelas

menunjukkan bahwa sebagian besar akses seluler, termasuk

3G dan 4G, terkonsentrasi di kota-kota dan sangat langka

sinyal seluler di pedesaan dan rural.

Untuk memberikan gambaran parahnya sinyal selular di

Indonesia, beberapa capture screen hasil pengukuran sinyal

selular dari aplikasi OpenSignal di beberapa wilayah Indonesia

di sertakan pada kesempatan ini. Pada Gambar 2.1 terlihat

dengan jelas bahwa hampir tidak ada sinyal di tengah-tengah

pulau Kalimantan. Walaupun di Jawa tampaknya tertutup

dengan sinyal, sebetulnya kalau kita zoom ke berbagai wilayah

terutama di gunung-gunung akan tampak bahwa sebetulnya

banyak daerah di gunung-gunung di Jawa yang tidak

memperoleh sinyal selular.

Untuk memperlihatkan tingkat keparahan sinyal selular

khususnya di Indonesia bagian timur, pada Gambar 2.2 di

perlihatkan hasil pengukuran sinyal selular oleh OpenSignal

untuk wilayah Papua. Tampak sekali bahwa sinyal selular

26 Onno W.Purbo

hanya ada di wilayah dengan kota-kota besar, seperti Jayapura,

Merauke, Timika. Untuk daerah di pegunungan seperti di

Jayawijaya jangan terlalu berharap untuk memperoleh sinyal

selular. Bagi anda yang ingin melihat lebih dekat tentang

kinerja para operator kita maupun coverage-nya di berbagai

wilayah Indonesia, penulis sangat sarankan untuk

menginstalasi aplikasi OpenSignal di handphone android anda.

OpenSignal juga dapat memperlihatkan BTS selular mana yang

sedang digunakan oleh handphone kita. Semoga bisa

membantu kita semua dalam menentukan mana operator

selulat yang terbaik yang bisa kita gunakan di wilayah tempat

kita berada.

27

Gambar 2.2:

Hasil pengukuran sinyal selular oleh OpenSignal di Papua.

Sayangnya, hampir setengah 46,7% penduduk Indonesia

tinggal di pedesaan dan desa (BPS Indonesia, 2014a). Dengan

demikian, untuk meningkatkan penetrasi Internet yang lebih

tinggi dari 50%, kemampuan untuk menyebarkan

infrastruktur Internet di pedesaan dan rural menjadi sangat

penting. Oleh karenanya, untuk memahami cara terbaik untuk

mempersempit kesenjangan digital, seseorang harus

memahami tantangan yang ada di daerah rural, daerah

pedesaan, berbagai pulau serta daerah perbatasan di

Indonesia.

Melihatnya luas-nya daerah blank spot yang ada di Indonesia

terutama di desa / rural, maka kita sebetulnya perlu

mempertanyakan apakah rencana membangun 575 BTS untuk

daerah blank spot cukup effektif? Karena wilayah yang tidak

ada sinyal di republik ini ternyata amat sangat luas sekali.

Perlu pemikiran yang mendalam untuk bisa melakukan

penetrasi ke desa-desa secara masif agar kesenjangan digital

dapat di atasi dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Sepintas Perdebatan Kesenjangan Digital Di Dunia

Kecepatan internet dan cakupan secara bertahap akan

meningkat, dengan demikian kesenjangan digital menyempit.

Saat ini, banyak negara maju yang hampir mencapai tingkat

28 Onno W.Purbo

penetrasi Internet 100% atau dalam istilah telekomunukasi

telah hampir mencapai akses universal untuk Internet

warganya. Namun, pada saat yang sama, ada kekurangan

dalam kesadaran adopsi dan tingkat penggunaan internet.

Akibatnya, mereka yang ditinggalkan, termasuk pedesaan dan

rural, tidak akan mampu memahami cara untuk memanfaatkan

Internet secara maksimal, dan akhirnya tertinggal lebih jauh

dalam masyarakat digital. Hal ini memaksa perlunya redefinisi

dari kesenjangan digital selanjutnya diluarkan kesenjangan

akses, di mana kemampuan dan motivasi untuk

memaksimalkan manfaat Internet menjadi perbatasan

berikutnya dalam upaya untuk menjembatani kesenjangan

digital (Economist Intelligence Unit, 2013, p 25).

Baru-baru ini, tahun 2013, United Nations Educational,

Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengestimasi

angka buta aksara global tinggal 15% dari orang dewasa

(UNSECO, 2013, p. 8). Namun, bahkan ketika sebagian besar

orang dapat membaca dan menulis dengan baik dan relevan

konten tersedia, menyambungkan mereka yang tidak

tersambung ke Internet lebih serfing bukan karena masalah

infrastruktur. Hambatan untuk penggunaan internet yang

lebih besar jatuh ke dalam empat kategori: infrastruktur;

keterjangkauan; keterampilan, kesadaran dan penerimaan

budaya; dan adopsi lokal dan penggunaan, yang sering

disebabkan kurangnya konten dalam bahasa Indonesia (World

Economic Forum, 2016, p 9;. ITU, 2015, hlm 93-94;. MCMC,

2015, p. 10;. IDA, 2015, p. 10).

29

Memahami kesenjangan digital kontemporer lebih dari

sekedar menyediakan komputer dan koneksi internet.

Sebaliknya, akses ke TIK tertanam di banyak hal di luar fisik,

digital, manusia, dan sumber daya sosial dan sambungan.

Konten dan bahasa, literasi dan pendidikan, dan masyarakat

dan struktur kelembagaan semua harus diperhitungkan jika

akses yang diberikan akan bermanfaat untuk teknologi yang

diberikan (Warschauer, Mark, 2004, hlm. 6-8). Di negara maju,

perdebatan sekitar Internet lebih filosofis dan sangat

mendalam, seperti, memastikan Internet tetap terbuka “Open

Internet” (Candeub, Adam; McCartney, Daniel, 2012;

Greenstein, S, 2011), netralitas Internet “Internet neutrality”

(Tim Wu, 2003; Statovci- Halimi, Brikena;. Franzl, Gerald

2013), prinsip end-to-end sehingga jaringan dapat menekan

agar tingkat kompleksitas rendah tapi mempunyai kinerja

yang wajar bagi semua pengguna-nya (Tarleton Gillespie,

2006; Palfrey, John G., Jr; Rogoyski, Robert, 2006).

Di sisi penggunaan Internet, terjadi perdebatan yang lebih

mendalam tentang akses pada pengetahuan (Steven W. Witt,

2016), inklusi digital bagi warga (Warschauer, Mark, 2004;

Alexander et.al., 2016). Bagi seorang warga penguasaan

keterampilan Internet (Internet skill) menjadi sangat penting

untuk dapat memaksimalkan manfaat Internet (World

Economic Forum, 2016, p 9;. ITU, 2015, hlm 93-94;. MCMC,

2015, p 10;. IDA, 2015, p 10;. Madalyn Cohron 2015, p 82).

Keterampilan internet harus kita bedakan dengan

keterampilan komputer, penggunaan internet membutuhkan

kemampuan lebih dari penggunaan komputer. Misalnya,

30 Onno W.Purbo

kemampuan untuk mencari informasi di google yang akurat

dan terpercaya, kemampuan berkomunikasi secara online,

atau bahkan untuk membuat konten online sendiri, semua ini

membutuhkan literasi digital dan kompetensi digital.

(Alexander et.al., 2016;. Liisa Ilomäki et.al, 2016, hlm 805-807)

Inklusi Digital, Kompetensi Digital dan Internet Skill

Keterampilan internet (Internet skill) penting untuk dapat

memperoleh manfaat maksimal dari Internet (Madalyn Cohron

2015, p. 82). Keterampilan Internet berbeda dengan

keterampilan komputer, penggunaan Internet membutuhkan

kemampuan lebih dari penggunaan komputer, misalnya,

mereka harus berlatih untuk mencari informasi secara online,

mereka harus berlatih berkomunikasi secara online, atau

bahkan mereka harus dapat membuat konten online.

Alexander et.al. mengusulkan lima (5) area untuk mengukur

keterampilan internet, yaitu, keterampilan operasional,

navigasi Informasi, sosial, kreatif, dan keterampilan mobile.

(Alexander et.al., 2016). Hal ini pada akhirnya akan

membangun kompetensi digital yang terdiri dari dari (1)

Operasional, 'keterampilan untuk mengoperasikan media

digital'; (2) Formal, 'keterampilan untuk menangani struktur

khusus dari media digital seperti menu dan hyperlink'; (3)

Informasi, 'keterampilan untuk mencari, pilih dan

mengevaluasi informasi dalam media digital'; (4) Komunikasi,

'keterampilan untuk menggunakan informasi yang terdapat

dalam media digital sebagai sarana untuk mencapai tujuan

31

tertentu baik secara pribadi atau profesional' dan terakhir (5)

Penciptaan Konten, 'keterampilan untuk mengumpulkan

pengetahuan dan pertukaran yang berarti' (Liisa Ilomäki et. al,

2016, hlm. 805-807)

Sayangnya, pemberdayaan keterampilan Internet dan, dengan

demikian, inklusi digital dan kompetensi digital, jarang

dilakukan secara serius di Indonesia. Akibatnya, akses internet

di Indonesia sering identik dengan pornografi, kekerasan,

terorisme, dan intimidasi. Tidak mengherankan jika salah satu

program unggulan dari pemerintah justru untuk memblokir

Internet (KOMPAS, 2016) yang jelas-jelas melanggar prinsip

dasar netralitas internet (Tim Wu, 2003; Statovci-Halimi,

Brikena;. Franzl, Gerald 2013) dan prinsip end-to-end

(Tarleton Gillespie, 2006; Palfrey, John G., Jr; Rogoyski, Robert,

2006). Selain itu, beberapa sektor tampaknya juga belum siap

dengan munculnya layanan di atas Internet, mengakibatkan

konflik horizontal, misalnya, antara taksi konvensional dan

transportasi online lainnya, seperti, Gojek, Grab dan Uber

(Heru Margianto, 2016).

Netralitas Internet

Netralitas jaringan (network neutrality) atau netralitas Internet

(Internet neutrality) adalah sebuah prinsip bahwa semua lalu

lintas data di Internet harus diperlakukan sama. Cara terbaik

untuk menjelaskan netralitas jaringan adalah bahwa jaringan

informasi publik akan paling terasa manfaatnya jika semua

konten, situs, dan platform diperlakukan sama. Perdebatan

32 Onno W.Purbo

tersebut terjadi karena konflik antara kepentingan pribadi

penyedia broadband dan kepentingan publik dalam inovasi

lingkungan yang kompetitif berpusat di Internet (Tim Wu,

2003). Penampakan pertama masalah ini terutama pada

perdebatan "akses terbuka" (open access) atau “Internet

terbuka” (open Internet) untuk menjaga terhadap erosi

''netralitas '' jaringan dari persaingan konten dan aplikasi

(Candeub, Adam; McCartney, Daniel, 2012; Greenstein, S,

2011). Dalam perdebatan netralitas jaringan, Presiden Obama

mengusulkan aturan praktis terhadap netralitas jaringan,

yaitu:

Tidak ada pemblokiran.

Tidak ada throttling.

Peningkatan transparansi.

Tidak ada prioritas berbayar.

Banyak orang Amerika kemudian berjuang untuk menjaga

netralitas Internet untuk memastikan perusahaan StartUp

memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil sebagai

perusahaan besar yang sudah lama berdiri, dan bahwa akses

ke blog seorang siswa SMA harus adil dan tidak harus di

perlambat untuk memberikan jalan jalan bagi pengiklan

dengan lebih banyak uang. Akhirnya pada 26 Februari 2015,

Komisi Komunikasi Federal (FCC) Amerika Serikat

memutuskan mendukung netralitas jaringan untuk menjaga

Internet yang terbuka dan bebas, dan, dengan demikian, untuk

melindungi inovasi dan menciptakan tingkat lapangan

33

bermain untuk generasi berikutnya dari pengusaha dengan

reklasifikasi broadband akses sebagai layanan telekomunikasi

untuk penyedia layanan Internet (The White House, 2015).

Semoga Indonesia bisa belajar banyak dari kebijakan netralitas

Internet untuk menjamin agar innovasi di atas Internet bisa

berjalan dengan baik.

Kebebasan Technology

Teknologi adalah fondasi dari Internet. Khususnya untuk

pedesaan dan rural, teknologi yang digunakan bisa jadi sangat

berbeda jauh dengan perkotaan. Biaya yang rendah dan

nirkabel jarak jauh menjadi pilihan utama dalam teknologi

yang digunakan. Dari sisi perangkat lunak, kita sangat terbantu

dengan adanya perangkat lunak open source. Kemajuan

infrastruktur Internet pedesaan Indonesia sebagian karena

kemauan berbagi dermawan teknologi dan pengetahuan dari

rekan-rekan aktifis teknologi TIK maupun ahli development

International yang mengarah pada pengembangan terbuka

(Open Development) (Matthew L. Smith et.al. 2011, p. Iii). Saya

ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada beberapa

kelompok-kelompok tersebut karena kontribusi mereka, yaitu,

Kelompok penelitian Teknologi dan Infrastruktur

untuk Dearah Berkembang (TIER), diketuai oleh EECS

University of Berkeley Profesor DR. Eric Brewer yang

salah satunya berhasil mengimplementasikan dan

mengoperasikan OpenBTS di Wamena, Papua

(Heimerl, K. et.al, 2014)

34 Onno W.Purbo

Komunitas Freifunk di Berlin, Jerman, Corinna

"Elektra" Aichele adalah salah satu pemimpin, mereka

fokus pada teknologi mesh dan ekosistem sekitarnya.

jaringan mesh mereka digunakan dalam beberapa

jaringan backbone kecepatan tinggi eksperimental di

pedesaan Indonesia.

Radio Communications Unit di the Abdus Salam

International Center for Theoretical Physics di Trieste,

Italy. Carlo Fonda adalah salah seorang aktivisnya,

mereka sangat aktif dalam nirkabel dan sensor

jaringan. Penulis belajar banyak dari Carlo Fond dan

berbagi pengetahuan jaringan nirkabel untuk

Indonesia lainnya.

Networktheworld.org mempromosikan dan

mendukung pertumbuhan konektivitas Internet di

seluruh dunia, dipimpin oleh Jane Butler. Mereka

menghasilkan buku pegangan untuk nirkabel

pedesaan, yaitu, "Wireless Netwoking for Developing

World" (Jane Butler Editor, 2013). Buku ini telah

diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan dapat di

download secara bebas.

Komentar Digital Divide untuk Indonesia

Kesenjangan digital menjadi penting sekali artinya jika kita

ingin bangsa Indonesia menjadi maju. Para pengambil

kebijakan harus bekerjasama lintas sektor untuk miniminalisir

35

kesenjangan digital yang ada di Indonesia. Penyelesaian

kesenjangan digital divide tidak bisa hanya melulu di

selesaikan dengan menggelar infrastruktur di pedesaan dan

rural. Pemberdayaan masyarakat untuk dapat memaksimalkan

manfaat dari infrastruktur yang dibangun menjadi sangat

penting sekali artinya, hal ini tidak mungkin dilakukan oleh

kementerian komunikasi dan informasi sendiri tapi harus

lintas sektoral dengan fondasi dasarnya ada di dunia

pendidikan atau DIKNAS.

Di samping itu, Indonesia tampaknya perlu pemikir-pemikir

filosofis yang mendalam untuk menjaga kebijakan dan aturan

yang ada agar bisa menjaga dan menyuburkan innovasi yang

tumbuh karena adanya Internet. Pemikir-pemikir kebijakan

telekomunikasi dan Internet di Indonesia perlu banyak

mempelajari prinsip-prinsip dasar yang ada, seperti, 'open

access', 'open Internet', 'network neutrality', 'Internet

neutrality', 'end-to-end principle', 'digital inclusion', 'digital

literacy', 'Internet skills', dan 'Internet competence'.

Kebijakan dan aturan harus dibuat dengan pemikiran untuk

memperoleh keuntungan jangka panjang, bukan jangka

pendek dalam bentuk pemasukan negara sesaat belaka.

Referensi

(2016). Peraturan President Republik Indonesia Nomor 45 Tahun

2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Jakarta:

Pemerintah Indonesia. [online] Ada di: http: //bappenas.go.id

36 Onno W.Purbo

/index.php/download_file/view/16700/5009/ [Accessed 12 Jun.

2016]

Alexander J.A.M. van Deursen, Ellen J. Helsper & Rebecca Eynon

(2016). Development and validation of the Internet Skills Scale

(ISS). Information, Communication & Society, 19:6, pp. 804-823.

BPS Indonesia. (2014a). Percentage of Urban Population by Province,

2010-2035. Jakarta: BPS- Statistics Indonesia. [online] Ada di:

http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1276 [Accessed 4

Jun. 2016]

Candeub, Adam;McCartney, Daniel . (2012). Law and the Open

Internet . Federal Communications Law Journal; May 2012; 64, 3

Economist Intelligence Unit. (2013). Redefining the digital divide.

London: EIU. [online] Ada di:

http://www.huawei.comz/ilink/en/download/HW_314193

[Accessed 4 Jun. 2016]

Greenstein, S. (2011). The Open Internet Order. IEEE Micro, 2011,

Volume 31, Issue 3

Heru Margianto. (2016). Mereka yang Gagap Menghadapi

Perubahan. Jakarta: KOMPAS. [online] Available at:

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/23/05202751/

Mereka.yang.Gagap.Menghadapi.Perubahan [Accessed 4 Jun.

2016]

Infocomm Development Authority (IDA) of Singapore. (2015).

Annual Survey on InfoComm usage in householes and by

individuals for 2014. Singapore: Infocomm Development

Authority of Singapore. p. 11. [online] Ada di:

https://www.ida.gov.sg/~/media/Files/Infocomm%20Landscap

37

e/Facts%20and%20Figures/SurveyReport/2014/2014%20HH%

20public%20report%20final.pdf [Accessed 11 Jun. 2016]

International Telecommunication Union (ITU). (2015). Measuring

the Information Society Report. Geneve: International

Telecommunication Union. [online] Availabe at:

http://www.itu.int/en/ ITU/Statistics /Documents /publications

/misr2015/MISR2015-w5.pdf [Accessed 11 Jun. 2016]

Jane Butler editor. (2013). Wireless Networking in The Developing

World, 3rd ed. WNDW. [online] Available at: http://wndw.net/

download/WNDW_Standard.pdf [Accessed 6 Jun. 2016]

Liisa Ilomäki, Sami Paavola, Minna Lakkala, Anna Kantosalo (2016).

Digital competence – an emergent boundary concept for policy and

educational research. Education and Information Technologies.

Volume 21, Issue 3, pp 655-679.

Madalyn Cohron. (2015). The Continuing Digital Divide in the United

States. The Serials Librarian, 69:1, pp. 77-86.

Malaysia Communication and Multimedia Commission (MCMC).

(2015). Internet Users Survey 2014. Cyberjaya: Malaysia

Communication and Multimedia Commission (MCMC). [online]

Ada di: http://www.skmm.gov.my/ Resources/ Statistics/

Internet-users-survey.aspx [Accesssed 11 Jun. 2016]

Matthew L. Smith, Laurent Elder, Heloise Emdon. 2011. Open

Development: A New Theory for ICT4D. Information Technologies

& International Development. Vol 7, Issue 1 - Spring 2011

(Special Issue: Open Development).

OECD. (2001). Understanding The Digital Divide. Organisation for

Economic Co-operation and Development (OECD). [online] Ada

38 Onno W.Purbo

di: https://www.oecd.org/sti/1888451.pdf [Accessed 22 Jun.

2016]

Palfrey, John G., Jr; Rogoyski, Robert. (2006). The move to the middle:

the enduring threat of "harmful" speech to the end-to-end principle.

Washington University Journal of Law & Policy, 03/2006, Volume

21, pp. 31-66.

Statovci-Halimi, Brikena; Franzl, Gerald. (2013). QoS differentiation

and Internet neutrality: A controversial issue within the future

Internet challenge. Telecommunication Systems, 03/2013,

Volume 52, Issue 3.

Steven W Witt. 2016. Access to knowledge at the heart of the

profession and a key to sustainable development. IFLA Journal,

03/2016, Volume 42, Issue 1

Tarleton Gillespie. (2006). Engineering a Principle: 'End-to-End' in

the Design of the Internet. Social Studies of Science. Vol. 36, No.

3, pp. 427-457

Tim Wu (2003). Network Neutrality, Broadband Discrimination.

Journal on telecom and high tech law. [online] Available at:

http://www.jthtl.org/content/articles/V2I1/JTHTLv2i1_Wu.

PDF [Accessed 7 Jun. 2016]

The White House. (2015). Net Neutrality: President Obama's Plan for

a Free and Open Internet. Washington: The White House. [online]

Available at: https://www.whitehouse.gov/net-neutrality

[Accessed 8 Jun. 2016]

Warschauer, Mark. (2004) Technology and Social Inclusion :

Rethinking the Digital Divide. Cambridge, US: The MIT Press.

ProQuest ebrary. Web. 6 June 2016.

39

World Economic Forum. 2016. Internet for All: A Framework for

Accelerating Internet Access and Adoption. World Economic Forum.

[online] Ada di: http://www3.weforum.org/docs/WEF_ Internet_

for_All_Framework_Accelerating_Internet_Access_Adoption_repor

t_2016.pdf [Accessed 11 Jun. 2016]

40 Onno W.Purbo

BELAJAR DARI SEJARAH INTERNET INDONESIA

Usaha pertama kali yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia

untuk memasuki dunia cyber adalah dengan mengembangkan

konsep Information Super Highway NUSANTARA 21 di tahun

1997-1998. Kerangka konseptual NUSANTARA 21 sangat jelas

menuliskan impian untuk dapat mentransformasikan

masyarakat tradisional Indonesia menjadi masyarakat yang

berbasis pada pengetahuan dan menggunakan Internet

sebagai kendaraan utamanya (Onno W. Purbo et.al., 1998, pp.

4). NUSANTARA 21 sangat jelas sekali mendorong pemerintah

sebagai enabler dan memberdayakan jaringan yang bertumpu

pada masyarakat, seperti tertuang dengan jelas,

Nusantara-21 tidak di arahkan menjadi sebuah proyek

besar / mercusuar pemerintah akan tetapi menjadi

gerakan masyarakat, oleh masyarakat, dengan dana

masyarakat, yang di arahkan & diberikan insentif

melalui kebijakan & regulasi pemerintah. (Onno W.

Purbo et.al., 1998, pp. 9).

NUSANTARA 21 tidak diarahkan sebagai proyek besar

pemerintah akan tetapi sebagai gerakan swadaya masyarakat

yang memperoleh arahan dan insentif dari pemerintah dengan

41

kebijakan dan aturan yang mendukungnya. Disini jelas-jelas

bahwa bukan teknologi tapi proses pemberdayaan masyarakat

yang dipilih sebagai kunci strategisnya. Sayangnya,

NUSANTARA 21 tidak pernah di implementasikan karena

krisis ekonomi dan politik yang sangat tidak menentu di tahun

1998.

Upaya awal untuk membangun jaringan Internet di Indonesia

telah didokumentasikan dengan baik di “An Asia Internet

History : Third Decade (2001-2010)” (Kilnam Chon Editor,

2016, Appendix D). Jaringan Internet Indonesia awalnya

dibangun oleh geeks, hacker dan techies. Jaringan tersebut

adalah jaringan yang berbasis pada masyarakat dan di danai

oleh masyarakat itu sendiri. Proses pemberdayaan masyarakat

sangat kental dengan berbagai kegiatan berbagi pengetahuan.

Jelas terlihat bahwa kunci utama proses tersebut tidak

bertumpu pada peralatan dan teknologi akan tetapi justru

sangat bertumpu pada kekuatan sumber daya manusia, prinsip

yang sama dianut juga oleh NUSANTARA 21.

Jaringan Komputer via Telepon

Sebelum tahun 1990-an dan sebelum ke adanya Internet,

jaringan pertama di Indonesia lahir dengan dua jenis jaringan

komputer, yaitu, FidoNet Sistem Bulletin Board (BBS) dan

UUCP. Kedua jaringan awal tersebut bekerja menggunakan

saluran telepon dial-up yang mahal. Modem yang digunakan

juga modem telepon yang melalui kabel dengan kecepatan

awal sekitar 2400 bps.

42 Onno W.Purbo

Jaringan Internet Radio

Sekitar tahun 1992-1993, Internet berbasis nirkabel mulai di

kembangkan di Indonesia. Jaringan berbasis nirkabel yang

awal ini bekerja pada kecepatan 1.2Kbps, menggunakan

peralatan radio seperti walkie talkie maupun rig yang lebih

besar pada band Very High Frequency (VHF). Pengembangan

jaringan Internet berbasis nirkabel dan dipimpin oleh LAPAN

(Lembaga Antariksa Indonesia) dan BPPT (Badan Penelitian

Indonesia). Komunitas cyber perlahan-lahan membangun di

atas Internet milis server lokal yang utamanya berlokasi di

Institut Teknologi Bandung (ITB). Dengan pertumbuhan

jumlah server dan host, kebutuhan untuk kode negara .ID

perlahan-lahan didorong. Administrator .ID pertama kali

dipelopori oleh Rahmat M. Samik-Ibrahim dari Universitas

Indonesia (Kilnam Chon Editor, 2016, Appendix D).

Warung Internet

Pada tahun 1997-1998, para aktivis Internet Indonesia mulai

berpikir keras untuk mewujudkan Internet murah. Cara

termudah agar Internet menjadi murah adalah berbagi akses

Internet yang ada dan menanggung biaya-nya secara bersama.

Warung Internet (WARNET) adalah teknologi yang paling

sederhana adalah pertama kali diperkenalkan ke publik untuk

mendapatkan Internet biaya murah. WARNET juga dikenal

sebagai cyber cafe, telecenter. Sejarah terbentuknya WARNET

maupun perjuangannnya yang tidak mengenal lelah dapat

43

dibaca dengan lebih panjang lebar di Wiki. Lucunya, istilah

Community Access Point (CAP) digunakan di KEMKOMINFO

maupun di BAPENAS dalam berbagai dokumen legal yang

mereka pergunakan.

WARNET pertama dibentuk pada tanggal 1 Juli 1995, di bentuk

PT BoNet Utama yang merupakan adalah ISP swasta kedua

setelah Indonet di Jakarta. Kantor pertama BoNet terletak di

Cafe Botanicus tengah Kebun Raya Bogor, yang secara naluriah

langsung membuat WARNET yang dikhususkan untuk turis-

turis yang sedang berkunjung ke Kebun Raya Bogor. Oleh

karena itu, cukup sepadan jika kita mengatakan bahwa

WARNET pertama di Indonesia di Bogor dan juga di Indonesia

adalah BoNet yang waktu itu terletak di tengah Kebun Raya

Bogor.

Di tahun 2005-2006, pihak kepolisian Indonesia secara aktif

melakukan sweeping ke WARNET. Komputer mereka di sita

karena berbagai alasan mulai dari pornografi, software

bajakan, hingga tuduhan sebagai ISP ilegal. Hari ini, terutama

di kota-kota besar, WARNET tidak terlalu menarik karena

sebagian besar orang mengakses Internet menggunakan

smartphone. WARNET menarik pada wilayah yang sangat sulit

akses Internet dan tidak ada sinyal telepon. Di kota besar,

WARNET yang berhasil survived biasanya berubah bentuk

menjadi game center.

44 Onno W.Purbo

RT/RW-net

Sejak tahun 2000, peralatan radio berkecepatan tinggi mulai di

adopsi untuk membangun jaringan lokal nirkabel dalam

wilayah yang luas. Jaringan ini kemudian di kenal sebagai

RT/RW-net yang merupakan jaringan Internet yang

mengkaitkan sebuah lingkungan, RT, RW, desa, kelurahan,

kecamatan dalam jangkauan yang sangat luas. Istilah RT/RW-

net diciptakan oleh Nasar, Muji dkk. yang pada saat itu masih

mahasiswa di Universitas Muhammadyah Malang (UMM)

untuk jaringan komputer antar kos-kosan yang dibangun

menggunakan walkie talkie pada tahun 1996. Berbagai catatan

sejarah maupun perjungan RT/RW-net di Indonesia

didokumentasikan dan dapat anda baca dengan mudah di

Wiki.

Salah satu yang paling menarik adalah temuan Pak Gunadi dari

Purwakarta. Untuk memperluas cakupan WiFi dari 50 meter

ke 3-4 kilometer agar dapat digunakan untuk jaringan RT/RW-

net yang luas, Pak Gunadi secara cerdik mengubah USB WiFi

adapter dengan menambahkan Wajan di depannya. konstruksi

ini cukup mirip dengan Parabolic Antena tapi dibuat

menggunakan Wajan, antena cerdik tersebut kemudian

disebut Wajanbolic. Harga USB WiFi sekitar Rp. 100.000,

pembuatan keseluruhan Wajanbolic akan memakan biaya

sekitar Rp. 200-300.000,- saja. Wajanbolic sudah sangat

merakyat sekali hari ini, jika kita menggunakan keyword

Wajanbolic di Google, bukan mustahil akan banyak sekali

45

menemukan referensi di Google yang praktis semuanya dibuat

oleh bangsa Indonesia. Detail catatan tentang cara membuat

Wajanbolic dapat dibaca dengan mudah di Wiki.

Para digital natives di Indonesia kemungkinan besar akan

mencari akses kecepatan yang lebih tinggi terutama untuk

permainan dan aplikasi multimedia. Karena kecepatan

minimum WiFi adalah 1 Mbps dengan rata-rata 56 Mbps dan

teknologi terbaru mencapai 1,7 Gbps bahkan lebih (Cisco.

2014, p. 7), jaringan berbasis WiFi akan sesuai dengan

kebutuhan dari para digital natives di Indonesia.

Pembebaskan Frekuensi 2.4GHz dan Innovasi

Sayangnya, sampai dengan tahun 2005, WiFi berada pada band

frekuensi yang harus berijin. Jika anda ingin menggunakan

WiFi untuk keperluan Internet jarak jauh pada tahun 2000,

anda harus membayar Rp. 23 juta per node WiFi per tahun

kepada KEMKOMINFO (waktu itu masih DIRJEN POSTEL

dibawah Departemen Perhubungan). Hal ini mengakibatkan

perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk membebaskan

frekuensi WiFi dari tangan pemerintahnya sendiri. Seperti

halnya semua perjuangan, banyak korban berjatuhan.

Perjuangan ini banyak menelan korban karena banyak

peralatan WiFi jarak jauh yang di sita oleh aparat. Setelah

melalui banyak liku-liku maupun pengakuan perjuangan

rakyat Indonesia oleh dunia internasional. Akhirnya, pada

tanggal 5 Januari 2005, di tanda tangani Keputusan Menteri

No. 2/2005 tentang Wireless Internet di 2.4GHz oleh Hatta

46 Onno W.Purbo

Rajasa. Catatan detail kisah perjuangan bangsa Indonesia

untuk membebaskan frekuensi 2.4GHz dapat dibaca di Wiki

Semenjak WiFi di bebaskan, banyak innovasi bermunculan

termasuk Wajanbolic dan aktifitas pemberdayaan masyarakat

menjadi lebih giat lagi untuk membangun jaringan berbasis

komunitas. Beberapa innovasi teknologi yang cukup

membanggakan tumbuh di Indonesia antara lain adalah Voice

over Internet Protocol (VoIP) untuk membuat jaringan telepon

rakyat (Onno W. Purbo, 2011); OpenBTS untuk jaringan

selular rakyat seperti yang dikembangkan di Wamena, Papua

(Burgess, David, 2010; David Talbot, 2013; Heimerl, K. et.al.,

2014); Streaming server seperti youtube yang mulai banyak di

gunakan di sekolah kejuruan (Jordan Andrean et.al., 2015); e-

learning server gratis di cyberlearning.web.id dan

belajaronline.web.id dengan lebih dari 15.000 mahasiswa dan

tentunya masih banyak lagi. Semua gerakan ini tidak mungkin

terjadi tanpa adanya teknologi open source yang sangat

terbuka di Internet.

Pelajaran dari Sejarah

Ada beberapa kunci utama yang dapat kita sarikan dari sejarah

awal Internet Indonesia. Beberapa diantaranya adalah,

Manusia adalah kunci utama perkembangan Internet di

Indonesia, bukan teknologi, bukan peralatan yang

digunakan.

47

Masyarakat akan dengan senang hati menginvestasikan

uangnya untuk membangun infrastruktur yang

dibutuhkan setelah mengetahui manfaat yang luar biasa

yang akan di peroleh dari infrastruktur tersebut.

Innovasi akan mengalir secara deras dan tiada henti, jika

pintu kebijakan dan aturan terbuka lebar untuk

mendukung proses kreatif bangsa.

Referensi

Burgess, David. (2010). Low cost cellular networks with OpenBTS.

The Open Source Business Resource. pp. 14-17.

Cisco. (2014). 802.11ac: The Fifth Generation of Wi-Fi. Technical

White Paper. Cisco. [online] Available at:

http://www.cisco.com/c/en/us/products/collateral/wireless/ai

ronet-3600- series/white_paper_c11-713103.html [Accessed 13

Jun. 2016]

David Talbot. (2013). How Remote Places Can Get Cellular Coverage

by Doing It Themselves. MIT Technology Review. [online]

Available at: https://www.technologyreview.com/s/522371/

how-remote-places-can-get-cellular-coverage-by-doing-it-

themselves/ [Accessed 4 Jun. 2016]

Heimerl, K., Hasan, S., Ali, K., Parikh, T., & Brewer, E. (2014). A

longitudinal study of local, sustainable, small-scale cellular

networks [ICTD 2013 Special Issue]. Information Technologies

& International Development (ITID), 11(1), 1–19. [online]

Available at: http://kurti.sh/pubs/vbts_itid_15.pdf [Accessed 6

Jun. 2016]

48 Onno W.Purbo

Jordan Andrean, Onno W. Purbo, Andri Johandri. (2015). Hacking

Streaming. Jakarta: Elexmedia.

Onno W. Purbo, Gadang Ramantoko, Krishnahadi Pribadi, Bobby

Nazief. (1998). NUSANTARA 21: Conceptual Framework.

(NUSANTARA 21: Kerangka Konseptual). Jakarta: Yayasan Litbang

Telekomunikasi Informatika (YLTI). [online] Ada di:

http://cyberlearning.web.id/pustaka/ docs/n21/n21-

conceptual-framework-05-1998.doc [Accessed 4 Jun. 2016]

Onno W. Purbo. (2011). VoIP Cookbook. Internet Society Innovation

Funds (SIF). [online] Ada di: http://cyberlearning.web.id/

pustaka /docs/ebook-voip/VoIP-Cookbook-20101214.pdf

[Access 20 Jun. 2016]

Kilnam Chon editor. (2016). An Asia Internet History : Third Decade

(2001-2010). Korea: KAIST [online] Ada di:

https://sites.google.com/ site/annexcybercommonsnet/home/

3book1605.pdf?attredirects=0&d=1 [Access 4 June 2016]

49

TANTANGAN PENETRASI KE DESA

Penggelaran kabel serat optik akan lebih mudah menggunakan

kabel bawah laut atau mengikuti jalan tol dan kereta api.

Biasanya penggelaran serat optik akan lebih banyak berada di

wilayah dataran rendah dan pantai. Tidak heran jika jaringan

broadband di Indonesia, seperti, proyek Palapa Ring,

kemungkinan akan menguntungkan kota-kota besar terutama

di dataran rendah dan daerah pesisir. Daerah rural, pedesaan

dan pegunungan mungkin harus mengandalkan solusi nirkabel

lebih sulit dan biasanya tidak terlalu dilirik oleh swasta dan

pemerintah.

Kesulitan Medan

Pada tahun 2014, ada 17.640 WARNET swasta yang beroperasi

di Indonesia. WARNET tersebut kebanyakan milik pribadi, di

jalankan secara pribadi untuk menyediakan akses di daerah

yang memiliki akses Internet yang sangat terbatas. WARNET

juga berfungsi sebagai tempat pembelajaran bagi para pemula

yang ingin belajar memanfaatkan Internet. Jadi WARNET

sangat penting artinya sebagai ujung tombak proses literasi

digital bangsa Indonesia. Sayangnya catatatan BPS

menunjukan di daerah yang miliki penetrasi Internet yang

50 Onno W.Purbo

rendah, seperti, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Maluku,

Maluku Utara, Papua Barat dan Papua memiliki kurang dari 80

WARNET di masing-masing propinsinya (BPS Indonesia,

2014b, hal. 104).

Gambaran keseluruhan akses jaringan selular di pedesaan

Indonesia tampaknya juga tidak begitu cerah. Dari 82.190 desa

di Indonesia, hanya 27.084 desa memiliki Base Transceiver

Station (BTS) tower yang terletak di desa-mya. Untungnya,

55.870 desa menerima sinyal seluler yang kuat, desa ini

umumnya menerima sinyal dari BTS terletak di desa tetangga

yang tidak jauh. Sayangnya, ada 18.603 desa menerima sinyal

hanya lemah dan 7.717 desa tidak memiliki sinyal seluler sama

sekali. Dari 7.717 desa dengan tidak menerima sinyal, 4876

desa yang berada di daerah penetrasi Internet yang rendah,

yaitu, Papua dan kepulauan Maluku (BPS Indonesia, 2014b,

hal. 105). Bagi anda yang ingin melihat lebih lanjut coverage

sinyal selular di Indonesia, sangat di sarankan untuk melihat-

lihat menggunakan apps dari OpenSignal.com. OpenSignal.com

jelas menunjukkan kurangnya sinyal di banyak desa dan rural

di Indonesia. Oleh karenanya, rencana Pemerintah untuk

menginstal 575 BTS di daerah non-komersial, pada 2019

(Pemerintah Indonesia, 2016, p. IV-43), sebetulnya tidak akan

mungkin mencukupi kebutuhan yang ada. Kebijakan yang

lebih agresif perlu di adopsi untuk dapat memberikan sinyal

pada minimal 7.717 desa tanpa sinyal dalam waktu sesingkat-

singkatnya.

51

Tingkat kesulitan yang dihadapi akan sangat meningkat ketika

kita harus membangun jaringan nirkabel untuk daerah

pegunungan. Dari 82.190 desa, 16.043 desa yang terletak di

puncak gunung atau di kemiringan dan 3630 di lembah yang

dikelilingi oleh pegunungan. Banyak dari desa-desa ini terletak

di daerah penetrasi internet rendah, seperti, di Papua, Papua

Barat, Maluku, Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Badan Pusat

Statistik Indonesia, 2014b, hal. 16). tantangan besar akan

dihadapi untuk menembus medan dalam daerah tersebut.

Karena sifat gelombang radio adalah line-of-sight, kita akan

banyak membutuhkan radio extra maupun peralatan yang

kompleks, seperti pembangkit tenaga surya, untuk bisa

menggapai desa-desa yang berada di gunung.

Kesulitan Keuangan

Gambar keuangan agar Internet dapat menembus pedesaan

dan rural yang umumnya bergantung pada pertanian juga

tampaknya tidak terlalu terang. Pegawai biasa di bidang

pertanian di pedesaan memiliki pendapatan bulanan bersih

terendah sebesar Rp. 772.800 (BPS Indonesia, 2014c, p. 22 dan

118 p.). Pendapatan bulanan yang rendah ini menyebabkan

tekanan pada alokasi pengeluaran bulanan untuk barang dan

jasa. Di daerah pedesaan, pengeluaran rata-rata untuk barang

dan jasa adalah Rp. 72.524 atau hanya sekitar 10,06% dari

pendapatan bulanan rata-rata. Hal ini jauh lebih rendah dari

daerah perkotaan yang terletak di kisaran 14,20% dari rata-

rata pendapatan perkotaan yang Rp. 1,1 juta pendapatan

52 Onno W.Purbo

bulanan (BPS Indonesia, 2015, hlm. 27). Di pedesaan dan rural,

belanja telekomunikasi dan Internet sayangnya harus bersaing

keras di pengeluaran yang dialokasikan untuk barang dan jasa.

Internet harus bersaing dengan pengeluaran untuk kesehatan,

perlengkapan mandi, peralatan kecantikan, buku pelajaran, dll

Dengan demikian, itu tidak akan mengejutkan untuk melihat

pengeluaran bulanan untuk Internet berkisar sekitar Rp.

10.000 per kapita di pedesaan. Pada tingkat seperti ini akan

menjadi sangat sulit secara ekonomi bagi setiap operator

komersial untuk menyediakan layanan di daerah pedesaan dan

rual Indonesia.

Pelajaran dari Tantangan Penetrasi

Untuk meningkatkan penetrasi Internet Indonesia di atas 50%

mau tidak mau hal ini berarti Indonesia harus menyediakan

akses Internet bagi rakyatnya yang berada di pedesaan dan

rural. Tantangan untuk menyediakan akses Internet ke

pedesaan sangat tinggi, karena:

Pedesaan biasanya memiliki pendapatan yang sangat

terbatas; konsekuensi-nya akan sangat membatasi

pengeluaran yang akan dialokasikan untuk membiayai

akses Internet. Innovasi teknologi sangat dibutuhkan

untuk dapat memenuhi kebutuhan teknologi yang

kompleks.

Rakyat di pedesaan memiliki keterampilan digital yang

sangat terbatas sekali untuk dapat memaksimalkan

53

manfaat dari Internet. Pemberdayaan masyarakat sangat

dibutuhkan agar infrastruktur yang digelar dalam

memberikan manfaat bagi ekonomi lokal.

Secara teknis akan sangat menantang untuk dapat

menyebarkan peralatan terutama di dearah pegunungan.

Hal ini sangat memerlukan perencanaan yang matang,

yang tidak mustahil akan berbeda antara satu dengan

dengan desa yang lain.

Referensi

(2016). Peraturan President Republik Indonesia Nomor 45 Tahun

2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Jakarta:

Pemerintah Indonesia. [online] Ada di: http://bappenas.go.id/

index.php/download_file/view/16700/5009/ [Accessed 12 Jun.

2016]

BPS-Statistics Indonesia. (2014b). Village Potential Statistics of

Indonesia. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia, 2014.

BPS-Statistics Indonesia. (2015). Expenditure for Consumption of

Indonesia Based on September 2015 Susenas. Jakarta: BPS-

Statistics Indonesia.

54 Onno W.Purbo

KERANGKA SOLUSI UNTUK PEDESAAN

Harus di akui bahwa bukan tugas yang mudah untuk dapat

mempersempit kesenjangan digital, khususnya di desa-desa

terpencil dan daerah perbatasan. Namun, bukan berarti tugas

yang mustahil. Beberapa teknologi telah berhasil dilaksanakan

di lapangan, seperti, jaringan jarak jauh nirkabel, RT/RW-net,

dan jaringan selular berbasis masyarakat. Pemerintah juga

telah mencoba teknologi cukup mirip didanai oleh dana

Universal Service Obligation (USO), seperti, Pusat Layanan

Internet Kecamatan (PLIK), Mobile Pusat Layanan Internet

Kecamatan (MPLIK) dan Desa Punya Internet (Desa Pinter).

Menciptakan infrastruktur yang berkelanjutan akan menjadi

tantangan terbesar. Membuat agar biaya rendah, membangun

keahlian dan memberikan manfaat bagi ekonomi lokal

merupakan kunci akan terjadinya keberlanjutan dari

infrastruktur yang dibangun (Laura Hosman, 2010, pp. 57-58).

Kelayakan finansial akan sangat penting untuk dapat

menyebarkan infrastruktur Internet ke daerah pedesaan. Mari

kita menghitung tingkat investasi yang secara logis dapat

diterima oleh masyarakat pedesaan dan rural. Karena 46,7%

dari 255.5 juta rakyat Indonesia, yaitu, 119.3 juta orang,

55

tinggal di 82.190 desa, kita dapat dengan aman berasumsi

bahwa rata-rata penduduk desa adalah sekitar 1400 orang per

desa. Dengan asumsi sepertiga dari desa menghasilkan

pendapatan bagi penduduk yang akan rata-rata sekitar 500

orang, maka akan tersedia dana masyarakat di desa tersebut.

Jika 500 orang desa ini, bersedia untuk mengalokasikan Rp.

10.000 per bulan per per orang untuk akses Internet, maka

investasi secara swadaya masyarakat di sebuah desa dengan

1500 orang pendudukhnya sekitar Rp. 5 juta per desa per

bulan. Hal ini sangat rendah untuk penyedia Internet

komersial untuk memberikan akses ke desa. Tapi dana

tersebut lumayan besar sebetulnya kalau digunakan untuk

membuat sendiri Interent secara mandiri, terutama dengan

server lokal di desa-nya.

Sangat menarik untuk dicatat bahwa peralatan internet

sebetulnya tidak yang mahal. Sebuah akses point of-the-shelf

WiFi akan menelan biaya sekitar Rp. 500.000-1 juta. Komputer

berbasis RaspberryPi akan menelan biaya sekitar Rp. 500.000.

Satu set lengkap komputer Raspberry Pi termasuk monitor

dapat menelan biaya Rp 1 juta. Atau kita dapat juga

menggunakan tablet atau smartphone yang sudah ada di

masyarakat kadang kala harganya lebih dari Rp. 1 juta.

Peralatan ini sekarang cukup user friendly beberapa bahkan

bisa plug and play dan tidak perlu konfigurasi apapun. Biaya

peralatan sebenarnya dalam anggaran desa. Jadi, sebenarnya

sangat memungkinkan untuk masing-masing desa untuk

membeli peralatan utama mereka dan membiayai

infrastruktur Internet desa. Tentunya,orang desa tidak akan

56 Onno W.Purbo

serta merta mengeluarkan uangnya untuk Internet, mereka

harus dibukakan dulu wawasannya untuk melihat secara

langsung manfaat yang dapat di peroleh dari Internet.

Selain itu, dengan disahkannya Undang-Undang Desa, pada

tahun 2015, ada sekitar Rp. 56,3 triliun dana desa untuk

digunakan pedesaan. Setiap desa menerima sejumlah dana

desa. Beberapa desa, seperti, desa di Papua menerima sekitar

Rp. 1,1 juta, sementara beberapa di Aceh hanya menerima Rp.

240 juta (KOMPAS, 2015). penggunaan dana desa tergantung

pada konsensus masyarakat di desa. Dengan dana besar

seperti akan menarik jika bisa digunakan untuk membangun

infrastruktur Internet di desa. Tentunya jika ada keterbatasan

dalam dana desa, masyarakat di desa juga bisa membangun

infrastruktur internet sendiri karena investasi yang

dibutuhkan tidak terlalu mahal.

Sumber daya manusia, khususnya orang-orang teknis, adalah

faktor kunci dalam keberhasilan penyebaran infrastruktur

terutama jika kita ingin membangun infrastruktur berbasis

masyarakat. Rinci diskusi di seluruh strategi disajikan secara

rinci dalam "Analisis Strategi IT Indonesia" (Onno W. Purbo,

2007), ringkasan kunci strategis tersebut adalah,

Demand creation - pemberdayaan masyarakat dalam

berbagai aspek, termasuk teknis dan bagaimana

memaksimalkan manfaat dari internet bagi masyarakat.

Jaringan berbasis masyarakat - Mempertanyakan aspek

hukum dan pemberdayaan jaringan komunitas, seperti,

57

WARNET, RT/RW-net, nirkabel jarak jauh, VoIP, Open

Source BTS.

Sumber daya infrastruktur - mempertanyakan

persyaratan lisensi ISP untuk RT/RW-net, alokasi kode

area telepon untuk komunitas, frekuensi / kanal selular

bagi masyarakat.

Ekosistem manufaktur - mempertanyakan hak cipta,

standar nasional, persyaratan type approval untuk

peralatan berbasis masyarakat.

Dalam penggelaran jaringan berbasis masyarakat biasanya

akan memerlukan beberapa tahap mempersiapkan

masyarakat untuk mengadopsi teknologi. Tahap diamati

tampaknya lebih kepada demand driven, dan tidak supply

driven. Tahap yang terjadi adalah sebagai berikut, (1)

masyarakat diberdayakan melalui pendidikan, artikel, diskusi,

seminar, lokakarya, media, blog, (2) sebagian masyarakat akan

tertarik dan berkeinginan akan Infrastruktur Internet, (3)

infrastruktur merespon permintaan, baik melalui operator

komersial atau infrastruktur berbasis masyarakat, seperti,

WARNET atau RT/Rw-net, dan (4) ekosistem manufaktur

memasok peralatan yang dibutuhkan (Onno W. Purbo,

Matthew Walton, 2010).

Dalam skenario ini, peran pemerintah terutama untuk

menjamin semua proses menjadi lancar, implementasi dapat

dilakukan secara mudah dan nyaman, dan semua orang

mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Seluruh proses

disini sebetulnya sangat mungkin dilakukan secara swadaya

58 Onno W.Purbo

masyarakat tanpa membebani anggaran belanja negara sama

sekali. Contoh untuk menyambungkan 46.000 sekolah

menengah dan perguruan tinggi ke Internet dengan asumsi

siswa / mahasiswa bersedia membayar sekitar Rp. 1000-5000

per bulan, dari perhitungan yang ada sangat mungkin secara

swadaya masyarakat untuk memperoleh 17,5 juta siswa ke

Internet dan 2,6 juta tambahan siswa setiap tahun ke Internet,

juga 2,6 juta guru tersambung ke Internet. Semua ini akan

mengkonsumsi sekitar 22 Gbps bandwidth. Di samping

memberikan Rp. 6 miliar pendapatan bulanan untuk produsen

lokal. Semua ini dapat dilakukan secara swadaya masyarakat

jika kebijakan dan aturan yang ada memungkinkan (Onno W.

Purbo, 2007).

Pemikiran Praktis Untuk Kerangka Solusi

Secara praktis yang akan sangat strategis dalam menyebarkan

Internet ke pedesaan adalah:

Beri sambungan Internet pada sekolah-sekolah terutama

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dekat dengan

desa-desa sasaran.

Berikan pelatihan teknologi Internet di lengkapi dengan

alat-alat peraga untuk melakukan praktek cara instalasi

Internet khususnya menggunakan peralatan WiFi

outdoor jarak jauh.

59

Gunakan siswa SMK ini untuk praktek lapangan

menyambungkan desa-desa sekitarnya ke Internet,

materi praktek lapangan minimal adalah instalasi

Internet menggunakan WiFi outdoor jarak jauh,

membuat telepon di atas Interent, membuat streaming

video server dan menginstalasi / mengoperasi sistem

informasi desa, seperti, SIDEKEM yang bisa di ambil dari

www.puspindes.id.

Beri sambungan Internet pada Sekolah Menengah

Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA),

berikan pelatihan untuk literasi Internet dan Internet

Sehat. Akan lebih baik lagi jika e-learning bisa di

operasikan di SMP dan SMA tersebut.

Suburkan innovasi teknologi untuk menekan biaya.

Perencanaan yang matang untuk setiap desa, yang tidak

mustahil akan berbeda antara satu dengan dengan desa

yang lain karena berbagai kondisi medan yang ada.

Referensi

KOMPAS. (2015). Dana Besar Akan Banjiri Desa. Jakarta:

KOMPAS. [online] Ada di: http://nasional.kompas.

com/read/2015/02/27/15050061/Dana.Besar.Akan.Banjir

i.Desa [Accessed 4 Jun. 2016]

Laura Hosman. (2010). Policies, Partnerships, and Pragmatism:

Lessons from an ICT-in-Education Project in Rural Uganda.

60 Onno W.Purbo

Information Technologies & International Development

(ITID). Vol 6, Issue 1 - Spring 2010.

Onno W. Purbo.(2007). Analisa Strategi IT Indonesia. Bali:

APRICOT 2007. [online] Ada di: http://opensource.

telkomspeedy.com/wiki/index.php/Sejarah_Internet_Indon

esia: analisa_strategi_IT_Indonesia [Accessed 5 Jun. 2016]

Onno W. Purbo, Matthew Walton. (2010). The Foundation of

Cultural Change in Indonesia. Boston: Information

Technologies & International Development (ITID) Journal,

Vol 6, SPECIAL EDITION 2010 (HARVARD FORUM II

ESSAYS), pp. 45-48, 2010. [online] Available at:

http://itidjournal.org/itid/article/view/621/261 [Accessed

6 Jun. 2016]

61

INISIATIF TOP DOWN PEMERINTAH

Secara umum, strategi pemerintah sangat akan bergantung

pada dua (2) alternatif pendanaan, yaitu, (1) investasi swasta

atau (2) Dana USO. Investasi swasta tentu akan lebih mencari

keuntungan, dan akan lebih suka untuk membangun jaringan

pada daerah yang secara ekonomi layak. Untuk melakukan

penetrasi ke pedesaan dan rural, pemerintah lebih banyak

mengandalkan dana USO. Belakangan, tampaknya ada

kemungkinan untuk juga dapat menggunakan dana desa.

Gambar 7.1: Rencana Jaringan Palapa Ring (courtesy Basuki Yusuf Iskandar)

62 Onno W.Purbo

Salah satu investasi terbesar saat ini adalah penggelaran

backbone serat optik dengan nama Palapa Ring Project.

Dengan adanya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia 2014-

2019, KEMKOMINFO dapat mempercepat implementasi

proyek Palapa Ring yang akan menggelar backbone serat optik

ke-34 provinsi dan lebih dari 440 kabupaten, dalam 1 + 7

cincin serat optik, dengan total 35.280 kilometer dari kabel

bawah laut dan 21.807 kilometer kabel darat. Palapa Ring akan

membuka kemungkinan untuk peningkatan kecepatan dengan

infrastruktur broadband terutama untuk di perkotaan. Bukan

harapan yang mustahil untuk melihat 30% dari penduduk kota

Indonesia, dan, mudah-mudahan, 6% dari desa akan memiliki

akses broadband kecepatan tinggi menggunakan kabel serat

optik pada 2019 (Basuki Yusuf Iskandar, 2008;. Puskakom UI,

2015, p 2 ). Dalam penandatanganan proyek pada 4 Maret

2016 sore, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro secara

eksplisit menyebutkan bahwa pemerintah berharap proyek

Palapa Ring dapat berjalan dan dipercepat tanpa harus

bergantung pada anggaran negara (Kemkominfo 2015). Untuk

memberikan gambaran sambungan backbone serat optik

Palapa Ring, pada Gambar 7.1 di perlihatan rencana jalur

backbone fiber optik yang diambil dari presentasi Pak Basuki

Yusuf Iskandar (Basuki Yusuf Iskandar, 2008).

63

Gambar 7.2: MPLIK sedang memberikan akses Internet pada anak sekolah di

ambil dari situs KEMKOMINFO (courtesy KEMKOMINFO)

Proyek Palapa Ring jelas akan meningkatkan kualitas dan

kecepatan Internet khususnya jaringan broadband di

perkotaan dan sedikit pedesaan. Akan tetapi Proyek Palapa

Ring, tidak terlalu di arahkan untuk mempersempit

kesenjangan digital yang ada di pedesaan.

Pada segmen angkasa, pada tanggal 16 Juni 2016, telah

meluncur BRIsat dari Guyana Prancis (Guyana Space Center)

oleh roket Ariane 5 (Muhammad Idris, 2016). BRIsat,

dirancang dan dibangun untuk PT. Bank Rakyat Indonesia

(Persero) Tbk dengan Space Systems / Loral (SSL) dari AS,

adalah pertama satelit komunikasi di dunia yang didedikasikan

untuk lembaga keuangan. Ini akan memberikan kedua C-band

64 Onno W.Purbo

dan cakupan Ku-band ke Indonesia, Asia Tenggara dan Asia

Timur. Diposisikan di 150,5 derajat Bujur Timur, satelit ini

akan memungkinkan BRI untuk memberikan peningkatan

komunikasi perbankan aman selama lebih dari 10.600 cabang

operasional, 236.939 saluran outlet elektronik, dan hampir 53

juta pelanggan di seluruh kepulauan Indonesia. Ada 23

transponder dialokasikan dari tujuan perbankan, dan empat

(4) bagi pemerintah Indonesia untuk tujuan pengumpulan data

(IndoTelko 2016). Penggunaan 18 transponder yang tersisa

saat ini tidak diketahui. Akan menarik jika ini kapasitas

cadangan dapat digunakan untuk meningkatkan penetrasi

internet di Indonesia.

Pada tahun 2012, awal berusaha untuk menyediakan Internet

ke desa, proyek ini disebut Desa PINTER, singkatan Desa

Punya Internet. Paket Desa Pinter terdiri dari hotspot WiFi

lokal, dua (2) komputer dan satu printer. Desa Pinter didanai

dari dana USO dan disebarkan di sekitar 4700 desa oleh

Telkomsel. Banyak masalah menghadapi Desa Pingter, yaitu,

koneksi internet, desa berada di wilayah blank spot dan listrik

sangat terbatas (TELKOMSEL, 2012). Pemeliharaan dan

pengoperasian sistem ini sebagian dilakukan oleh warga desa,

yang kurang berpengalaman dengan peralatan komputer-nya,

hal ini menyebabkan kesulitan dalam pengoperasian sistem.

Proyek USO terbesar yang diketahui mungkin Pusat Layanan

Internet Kecamatan (PLIK) dan Mobil Pusat Layanan Internet

Kecamatan (MPLIK). MPLIK secara fisik berupa truk yang

dimodifikasi menjadi WARNET berjalan untuk membawa

65

beberapa laptop yang berfungsi sebagai WARNET dengan

parabola satelit di atap-nya. Pada tahun 2010, anggaran

proyek MPLIK adalah sekitar Rp. 2,4 triliun (MAJALAHICT,

2013).

Gambar 7.3: MPLIK yang mangkrak di Kalimantan di ambil dari CNN

Indonesia (2016).

Pada tahun 2013, MPLIK telah diprediksi gagal, tapi Menteri

KOMINFO Tifatul Sembiring tetap meneruskan proyek

tersebut (Sabrina Asril, 2013). Selain itu, komisi I DPR

menemukan (1) keterlibatan partai politik dalam

penyelenggaraan PLIK / MPLIK, (2) beberapa mobil MPLIK

berubah menjadi stan pendaftaran untuk partai politik, (3)

penempatan PLIK di sejumlah kafe dan tidak melayani tujuan

awalnya untuk mendidik masyarakat pedesaan tentang

Internet, dan (4) MPLIK mobil sering digunakan untuk

payment point listrik (Sabrina Asril, 2013b). Laporan

66 Onno W.Purbo

kegagalan MPLIK terjadi di Aceh (Hasbi, 2014), daerah

Palembang (M Eko Arif Wibowo, 2016), Kalimantan (Yohanes

Kurnia Irawan, 2016; Ardhi Suryadhi, 2016), Kalimantan

Barat, Sumatera Barat Dan Sumatera Selatan (Dwi

Murdaningsih, 2016).

Santoso Serad kepala BP3TI3 yang menjalankan program

MPLIK mengakui bahwa kegagalan sebagian besar disebabkan

ketersediaan bandwidth, listrik, dan tidak ada sumber daya

manusia yang menguasai open source. Tantowi Yahya

mempertanyakan akuntabilitas penggunaan dana yang ada

karena ternyata, sejak tahun 2010, BP3TI hanya menghabiskan

sekitar Rp. 800 miliar. Ini berarti Rp. 1,6 triliun sisa dana yang

disimpan di rekening BP3TI (MAJALAHICT, 2013). Pada tahun

2014, anggaran untuk PLIK dan MPLIK ditahan oleh komisi I

DPR karena berbagai catatan negatif (KEMKOMINFO, 2014).

Selanjutnya, pada tahun 2015, KEMKOMINFO mengumumkan

untuk mendesain ulang program USO dan akan mengadopsi

lebih lebih banyak pendekatan bottom-up semoga lebih sesuai

dengan kebutuhan setempat dan daerah pedesaan atau rural.

Cakupan program USO masa depan akan tidak hanya pada

infrastruktur, tetapi mencapai perkembangan ekosistem (Yoga

Hastyadi Widiartanto, 2015).

Pelajaran dari Proyek Top Down

Ada beberapa hal yang menarik yang dapat disarikan dari

inisiatif 'top-down' pemerintah, yaitu:

67

Kurangnya pelibatan dan pemberdayaan masyarakat,

atau survey lapangan yang baik dengan perencanaan

yang baik tampaknya akan menyebabkan sebuah proyek

'top down' gagal total.

Proyek 'top down' tampaknya akan lebih cenderung

untuk meningkatkan kualitas di wilayah yang secara

ekonomis menguntungkan daripada untuk memperluas

jaringan ke pedesaan dan rural.

Semoga program USO selanjutnya dapat lebih melibatkan

masyarakat desa, memberdayakan mereka tidak sekedar

memberikan aplikasi yang dipaksakan untuk rakyat di

pedesaan dan rural.

Referensi

Ardhi Suryadhi. (2016). Mobil Internet Kecamatan

Terbengkalai, Kominfo: Itu Milik Swasta. Jakarta: DETIKCOM.

[online] Ada di: http://inet.detik.com/read/2016

/05/23/064357/ 3215131/328/mobil-internet-kecamatan

-terbengkalai-kominfo-itu-milik-swasta [Accessed 20 Jun.

2016]

Basuki Yusuf Iskandar. (2008). Priotitizing a National High

Capacity Backbone Network. Thailand: Global Symposium

for Regulators 2008 (GSR08). [online] Available at:

https://www.itu.int/ITU-D/treg/Events/Seminars/GSR/

68 Onno W.Purbo

GSR08/

Documents_presentations/Basuki_Yusuf_Iskandar.pdf

[Accessed 4 June 2016]

Dwi Murdaningsih. (2016). Mobil Penyedia Internet Kecamatan

Banyak Terbengkalai. Jakarta: KOMPAS. [online] Ada di:

http://www.republika.co.id/berita/dpr-ri/berita-dpr-ri/16

/06/01/o82vpz368-mobil-penyedia-internet-kecamatan-

banyak-terbengkalai [Accessed 5 Jun. 2016]

Hasbi. (2014). Program MPLIK Aceh Diduga Gagal. Aceh:

SIDAKNEWS. [online]Ada di: https://www.sidaknews.

com/program-mplik-aceh-diduga-gagal/ [Accessed 5 Jun.

2016]

KEMKOMINFO. (2014). Komisi I DPR Cabut Blokir Anggaran

Kementerian Kominfo. Jakarta: KEMKOMINFO.[online] Ada

di: https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3766/

Komisi+I+DPR+Cabut+Blokir+Anggaran+Kementerian+Ko

minfo/0/berita_satker [Accessed 6 Jun. 2016]

KEMKOMINFO. (2015). Bangun Infrastruktur Bisa Cepat Tanpa

Bergantung APBN. Jakarta: KEMKOMINFO. [online]

Ada di: http://palaparing.kominfo.go.id/?Flow=news&

code=3 [Accessed 5 Jun. 2016]

M Eko Arif Wibowo. (2016). Mobil Internet Bantuan Pusat Tak

Beroperasi. Jakarta: KORAN SINDO. [online] Ada di:

http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=148&date

=2016-06- 02 [Accessed 5 Jun. 2016]

69

MAJALAHICT. (2013). Kepala BP3TI: PLIK-MPLIK Tidak

Optimal Karena Sejumlah Masalah. Jakarta: MAJALAHICT.

[online] Ada di: http://www.majalahict.com/berita-2052-

kepala-bp3ti-plikmplik-tidak-optimal-karena-sejumlah-

masalah.html [Accessed 5 Jun. 2016]

Muhammad Idris. (2016). “3 Kali Ditunda, Dirut BRI Lega

Satelit BRIsat Akhirnya Mengorbit”. Jakarta: Detik.com.

[online]Ada di: http://finance.detik.com/read/2016/06/

19/095529/3236771/5/3-kali-ditunda-dirut-bri-lega-

satelit-brisat-akhirnya-mengorbit [Accessed 23 Jun. 2016]

Puskakom UI. (2015). Profil Pengguna Internet Indonesia 2014.

Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

(APJII).

TELKOMSEL.(2012). 880 Desa PINTER Gelaran Telkomsel

Untuk Indonesia. Jakarta: TELKOMSEL. [online] Available at:

http://www.telkomsel.com/about/news/865-880-

Desa%20-PINTER-Gelaran-Telkomsel-Untuk-

Indonesia.html [Accessed 20 Jun. 2016]

Sabrina Asril. (2013). Proyek Internet ke Desa Kacau, Tifatul

Siap Dilaporkan. Jakarta: KOMPAS. [online] Ada di:

http://nasional.kompas.com/read/2013/03/19/00425254

/%20Proyek.Internet.ke.Desa.Kacau.Tifatul.Siap.Dilaporkan

[Accessed 20 Jun. 2016]

Yoga Hastyadi Widiartanto. (2015). Kemenkominfo Hentikan

Sementara Desa Berdering. Jakarta: KOMPAS. [online]

Ada di: http://tekno.kompas.com/read/2015/03/08/

70 Onno W.Purbo

08090067/Kemenkominfo.Hentikan.Sementara.Desa.

Berdering [Accessed 5 Jun. 2016]

Yohanes Kurnia Irawan. (2016). Puluhan Mobil Internet

Kecamatan Terbengkalai. Jakarta: KOMPAS. [online]

Ada di: http://tekno.kompas.com/read/2016/05/23

/08082247/puluhan.mobil.internet.kecamatan.terbengkalai

[Accessed 20 Jun. 2016]

71

INISIATIF BOTTOM UP MASYARAKAT

Internet pada dasarnya pertumpu pada filosofy berbagi akses

untuk membuat jaringan dari jaringan dengan biaya yang

terjangkau. Ada beberapa teknologi Internet yang digunakan

dalam Internet berbasis komunitas di Indonesia, beberapa dari

teknologi tersebut antara lain adalah, menggunakan WiFi jarak

jauh, WARNET, RT/RW-net, telepon di atas Internet(Onno W.

Purbo, 2011), streaming video dengan server lokal (Jordan

Andrean et.al., 2015), dan teknologi yang lebih maju, seperti,

Mesh Network (Li et.al., 2008) dan OpenBTS (Burgess, David,

2010; David Talbot, 2013; Onno W. Purbo, 2013). Salah satu

panduan praktis terbaik untuk Internet pedesaan mungkin

"Wireless Network for Developing World" (Jane Butler Editor,

2013). Buku ini menggambarkan tentang bagaimana

membangun teknologi komunikasi yang terjangkau di

masyarakat setempat dengan membuat apapun sumber daya

yang tersedia. Menggunakan peralatan off-the-shelf yang

murah, membangun jaringan data berkecepatan tinggi yang

menghubungkan daerah-daerah terpencil bersama-sama,

menyediakan akses jaringan broadband di daerah dimana

jaringan seluler tidak ada, dan akhirnya menghubungkan

seluruh lingkungan ke Internet global.

72 Onno W.Purbo

Gambar 8.1: Disain dan Ukuran Antenna Wajanbolic

Infrastruktur berbasis komunitas biasanya dioperasikan oleh

sektor informal dan, dengan demikian, sulit untuk

mendapatkan data statistik formal tentang keberadaan

infrastruktur ini. Hal ini adalah yang paling menantang dalam

penelitian ini. Penulis juga harus lebih banyak mengandalkan

pertemanan yang ada untu memperoleh data-data tersebut

secara tidak langsung.

Jaringan Nirkabel Jarak Jauh

Salah satu yang cukup spektakuler dalam mendorong

terbentuknya jaringan RT/RW-net adalah antenna Wajanbolic

kreasi dari Pak Gunawan di Purwakarta. Tampak pada Gambar

8.1 adalah disain sebuah Wajanbolic.

73

Saat ini, infrastruktur RT/RW-net profesional kebanyakan

menggunakan dua (2) merek peralatan nirkabel jarak jauh,

yaitu, Mikrotik dan Ubiquity. Setidaknya ada 5.500 unit

Ubiquity outdoor per bulan. Karena pasar dari Mikrotik dan

Ubiquity kira-kira sebanding. Cukup aman untuk

mengasumsikan bahwa ada 100.000 unit nirkabel outdoor

baru per tahun di Indonesia. Banyak dari peralatan nirkabel

outdoor yang digunakan untuk jaringan RT/RW-net.

Lebih menarik lagi, sebuah kelompok kecil di Manado,

Sulawesi Utara dipimpin oleh Insan Balandatu dan Nielson

Assa dari PT. Infotek Global Network telah berhasil

mendorong kemampuan peralatan nirkabel output sampai

batas limit-nya untuk menghubungkan pulau di utara Manado

dan Maluku pada kecepatan antara 20-56Mbps dalam rentang

jarak 200-350 kilometer! Gambar 8.2 di perlihatkan peta

sambungan yang dibangun oleh Pak Insan dan Pak Neilson

menggunakan peralatan Ubiquity AirFiber5 di wilayah

Manado, Sulawesi Utara.

Ke utara dari Manado, Pak Nielson dkk berhasil

menyambungkan pulau Talaud dekat sekali dengan perbatasan

Philippina melalui relay yang di pasang di pulauTagulandang,

pulau Ondong and pulau Sanghie. Jaringan ini berhasil

menghubungkan jarak lebih dari 350 kilometer melalui

beberapa relay. Ke Timur dari Manado, mereka berhasil

membangun sambungan ke pulau Halmahera dengan relay di

pulau Maju Island, pulau Halmahera menjadi hub untuk pulau

sekitarnya seperti pulau Ternate island dan pulau Tidore.

74 Onno W.Purbo

Jarak terjauh yang di sambungkan sangat spektakuler lebih

dari 130 kilometer. Hanya sedikit orang di dunia yang

mempunyai kemampuan untuk menyambungkan jarak yang

sedemikian jauh. Jaringan tersebut beroperasi pada kecepatan

56 Mbps dengan peralatan Ubiquity AirFiber5 yang bisa di

peroleh dengan harga yang relatif terjangkau sekitar US$550

per node atau sekitar US$1100 sepasang. Untuk jarak pendek

hingga 10-20 kilometer, kita biasanya menggunakan peralatan

yang lebih murah biasanya sekitar Rp. 800.000 s/d lebih

sedikit dari Rp 1 juta. Pada tingkat harga seperti ini, biaya

infrastruktur sebenarnya terjangkau oleh desa sambil tetap

mempertahankan kapasitas kinerja tinggi dalam jaringan.

Gambar 8.2: Peta sambung Ubiquity AirFiber5 kecepatan tinggi

menyambungkan banyak pulau di Sulawesi Utara dan Maluku dalam jarak 200-350 km (courtesy PT. Infotek Global Network).

75

76 Onno W.Purbo

Teknik Disain Jaringan Wireless Jarak Jauh

Teknik untuk merancang jaringan wireless jarak jauh apalagi

dengan kondisi medan yang bergunung-gunung jarang di

ajarkan di kampus-kampus di Indonesia mungkin karena tidak

banyak dosen yang menguasai dengan baik materi tersebut.

Pada kesempatan ini akan di jelaskan secara singkat saja

teknik merancang jaringan wireless jarak jauh. Yang kita

butuhkan untuk merancang jaringan wireless tersebut adalah:

Aplikasi Radio Mobile Wireless, dapat di ambil secara

gratis di Internet pada alamat http://www.cplus.org

/rmw/download/download.html

Koordinat GPS lokasi tower yang akan di sambungkan.

Ini harus dilakukan survey ke lapangan menggunakan

GPS untuk memperoleh koordinat secara presisi. Bagi

yang belum sempat ke lapangan, kita dapat juga

menggunakan Google Maps untuk mengira-ngira

koordinat tersebut. Akan tetapi survey ke lapangan wajib

untuk dilakukan untuk mengetahui kondisi medan yang

sebetulnya, baik untuk memperoleh koordinat maupun

kondisi medan lainnya seperti kondisi listrik, apakah ada

rumah penduduk untuk menjaga peralatan, jalan untuk

menuju lokasi untuk mengangkat tower dll.

Data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) yang

memberikan data ketinggin / elevasi topografi bumi

dengan resolusi tinggi. Data ini dapat di ambil melalui

Internet dari NASA Amerika Serikat.

77

Data konfigurasi teknis peralatan yang digunakan. Untuk

peralatan Internet kita biasanya mengunakan frekuensi

2400MHz atau 5800MHz, daya pancar sekitar 100mW

(20dBm), gain antenna 12 dBi, ketinggian tower sekitar

25-40 meter tergantung dana dan wilayah yang kita

hadapi.

Gambar 8.3: Rancangan Sambungan Wireless menggunakan Radio Mobile

Wireless di Pulau Yapen

Dengan teknologi wireless outdoor jarak jauh yang ada saat

ini, kita rata-rata cukup mudah untuk memperoleh kecepatan

minimal 56MBps untuk sebuah sambungan. Kecepatan ini jauh

di atas kecepatan 4G apalagi 3G. Peralatan wireless yang baru

rata-rata mempunyai kecepatan 150-300 Mbps. Untuk

peralatan high performance seperti Ubiquity AitFiber5 dapat

mencapai kecepatan di atas 1Gbps. Dan semua ini sudah

tersedia dan dapat di peroleh dengan mudah di Indonesia.

78 Onno W.Purbo

Setelah semua data di peroleh kita dapat memasukan unit

radio yang akan kita gunakan pada software Radio Mobile

Wireless. Pekerjaan utama yang harus dilakukan adalah

menentukan titik / lokasi relay yang harus dibangun untuk

mencapai sebuah lokasi. Penentuan titik ini sangat di dasar

pada kondisi topografi sebuah wilayah dan keberadaan

penduduk yang akan menjaga peralatan relay tersebut. Untuk

memberikan gambaran, penulis menyertakan capture screen

dari Radio Mobile Wireless saat merancang jaringan untuk

menyambungkan tiga (3) sekolah di Serui, pulau Yapen selatan

dari pulau Biak di Papua. Data koordinat sekolah tersebut

adalah sebagai berikut:

Tabel 8.1. Koordinat beberapa sekolah di Pulau Yapen

Sekolah Longitude Latitude SMP Negeri Menawi -1.856910 136.320277

SMK YPK Serui -1.875025 136.238483

SMK Muhammadyah Serui -1.700217 136.135652

Dalam kesempatan ini teknologi jaringan wireless mesh

digunakan agar dapat dengan mudah merelay satu sama lain.

Teknologi Mesh memerlukan kemampuan yang tinggi dari

teknisi jaringan karena harus mengganti sistem operasi yang

digunakan di peralatan wireless yang digunakan dengan

sistem operasi buatan sendiri. Teknik membuat sistem operasi

untuk jaringan mesh di terangkan di Wiki.

79

Sambungan ke SMK Muhammadyah Serui sangat sulit karena

terhalang banyak gunung yang tinggi. Untuk menjamin

reliabilitas jaringan, di sarankan untuk membuat dua (2) link

redundant yang juga berfungsi untuk load balancing traffic,

oleh karenanya kita harus memasang paling tidak lima (5)

relay dari SMK YPK Serui agar dapat menembus sampai ke

SMK Muhammadyah Serui. Di samping itu kita perlu

menambahkan satu relay tambahan untuk menyambungkan

SMP Negeri Menawi ke SMK YPK Serui. Detail koordinat relay

yang perlu di bangun tampak pada Tabel 8.2.

Tabel 8.2 Lokasi Pemasangan Relay

Relay Longitude Latitude Ketinggian

(m) Relay 1 -1,859592 136,2668 597,9

Relay 2 -1,691553 136,1360 782,0

Relay 3 -1,702816 136,1311 756,7

Relay 4 -1,805982 136,1351 417,0

Relay 5 -1,868152 136,2275 258,9

Relay 6 -1,798774 136,1514 628,0

Proses perancangan ini harus dilakukan satu per satu untuk

setiap desa yang akan di sambungkan, karena kondisi medan

yang berbeda untuk setiap desa. Bayangkan kalau kita harus

merancang sambungan untuk ribuan desa di Indonesia. Ini

bukan pekerjaan gampang sebetulnya, kita akan sangat

80 Onno W.Purbo

membutuhkan banyak teknisi yang mengerti teknik

merancang dan mengoperasikan jaringan wireless pada

tingkat pedesaan.

Dalam contoh di atas, untuk menyambungkan secara reliable

tiga (3) sekolah di pulau Yapen, kita perlu menginstalasi enam

(6) relay agar memperoleh sambungan yang reliable. Dari sisi

anggaran, maka sebetulnya anggaran yang dibutuhkan tiga (3)

kali lipat dari anggaran awalnya. Seringkali, anggaran yang

diberikan hanya untuk instalasi tower di lokasi saja, dan tidak

ada dana sama sekali untuk membangun relay yang

dibutuhkan, akibatnya jaringan tidak pernah bisa beroperasi

dengan baik. Belum lagi masalah kerusakan alat karena petir

dll, harus ada anggaran tambahan untuk mengganti peralatan

yang rusak.

Semoga para petinggi menyadari hal ini.

RT/RW-net

Bisnis WARNET berkembang pesat sekitar 1999-2006. Hari

ini, karena banyak pengguna Internet menggunakan

smartphone, banyak WARNET berubah menjadi game center

di kota-kota besar. Tahap berikutnya dari WARNET adalah

RT/RW-net. Jika WARNET hanya menghubungkan beberapa

komputer dalam satu ruangan, RT/RW-net menghubungkan

komputer di beberapa rumah di sebuah lingkungan. Dari sisi

finansial RT/RW-net jauh lebih menarik daripada WARNET,

karena penyelenggara RT/RW-net memperoleh kepastian

81

pemasukan bulanan karena umumnya pelanggan adalah

pelanggan bulanan, berbada dengan WARNET yang pelanggan-

nya tidak pasti dan membayar jam-jam-an saja.

Secara teknologi, jaringan RT/RW-net kira-kira mirip dengan

jaringan kampus di negara maju, tetapi digunakan di

lingkungan, desa dan bahkan rural Indonesia. Untuk menekan

biaya, banyak inovasi teknologi jaringan yang timbul, antara

lain, Wajanbolic untuk menguatkan sebuah USB WiFi yang

murah agar dapat mencapai jarak 3-4 kilometer, telepon diatas

intranet, video lokal streaming server untuk lokal menonton

film seperti youtube.

Belakangan juga dikembangkan sistem informasi desa yang

berbasis open source oleh Andri Johandri dkk. Sistem

Informasi Desa yang dikembangkan oleh Andri Johandri dkk

bersifat open source dengan nama SIDEKEM yang dapat di

ambil di situs puspindes.id dan http://www.sistem

informasidesa.web.id/. Sistem Informasi Desa ini saat ini

sudah mulai di implementasikan di 211 desa di pantai utara

jawa tengah.

Memperkirakan banyaknya RT/RW-net cukup menantang.

Tidak ada catatan resmi RT/RW-net di Indonesia karena

sebagian besar jaringan ini di operasi secara diam-diam untuk

menghindari masalah dengan aparat. Untungnya, dalam

catatan dari pengguna Mikrotik Indonesia, dari pengguna lebih

dari 87.000 pengguna, 3374 pengguna mengaku bahwa

mereka menjalankan RT/RW-net. Sebagian besar jaringan

RT/RW-net ini biasanya melayani daerah urban, desa, bahkan

82 Onno W.Purbo

rural yang tidak ada sinyal / Internet. Perlu kita catat juga,

sekelompok aktifis Internet di kota Pemalang, di pantai utara

pulau Jawa, sekarang bekerja untuk menghubungkan 211 desa

ke Internet. Dengan demikian, cukup aman untuk mengatakan

bahwa ada sekitar 3000 desa, atau sekitar 3,6% dari desa di

Indonesia, terhubung ke Internet melalui jaringan nirkabel.

Pencarian melalui internet, kita akan menemukan kelompok

diskusi RT/RW-net yang sangat aktif dan sangat besar di

Facebook dengan anggota lebih dari 22.100 orang. Angka

tersebut tidak dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah

desa yang terhubung ke Internet, karena beberapa anggota

adalah penjual peralatan, guru SMK, hobbyst dll. Namun, angka

tersebut dengan mudah menunjukkan besarnya aktivitas di

komunitas RT/RW-net. Mengetahui penjualan tahunan

peralatan nirkabel jarak jauh dari Mikrotik dan Ubiquity

adalah sekitar 100.000 unit, kita dapat memperkirakan

pertumbuhan jaringan. Memang, banyak dari peralatan

nirkabel yang digunakan oleh korporat, sekolah, instansi

pemerintah serta ISP. Asumsi konservatif 5% dari peralatan ini

digunakan oleh desa dan rural, dengan rata-rata 20 node di

sebuah desa, pertumbuhan desa yang terhubung ke Internet

akan sekitar 200 desa baru per tahun. Sangat menarik untuk

dicatat bahwa RT/RW-net biasanya swadana oleh masyarakat.

Sama dengan WARNET, RT/RW-net juga mengalami masalah

dengan regulasi telekomunikasi Indonesia. Komunitas RT/RW-

net menghadapi penyitaan polisi karena berbagai alasan,

seperti, tidak ada lisensi ISP, tidak ada pembayaran kontribusi

menara, dijual kembali ilegal bandwidth. Bahkan saat ini, PT.

83

Telkom secara eksplisit melarang bandwidth yang dijual

kembali oleh lingkungan masyarakat network. Pada tanggal

18-20 Mei 2015, selama MUNAS APJII di Yogyakarta, petinggi

KEMKOMINFO secara lisan di panggung menyatakan tidak

mampu untuk membela / membantu RT/RW-net karena tidak

memiliki ijin ISP dan tidak membayar pajak.

Telepon Menggunakan Internet

Pada awal tahun 2003, pemerintah berencana menaikkan

pulsa telepon. Dipicu oleh kejadian itu, beberapa aktivis

Internet Indonesia mulai mengembangkan telepon melalui

internet bernama VoIP Merdeka. Januari 2003, VoIP Merdeka

telah menjadi fitur dalam program MetroTV e-lifestyle dan

menunjukkan secara live mampu untuk konferensi video

melalui Internet dari MetroTV di Jakarta dengan Judhi

Prasetyo yang saat itu berada di Singapura. Sambungan

Internet yang digunakan untuk konferensi video secara live

tersebut hanyalah sambungan dial-up melalui telepon. Pada

tahun 2005, teknologi telepon Internet komunitas dialihkan

dengan menggunakan teknologi yang dikembangkan oleh

Internet Engineering Task Force (IETF) dengan standard

Session Initiation Protocol (SIP) oleh Anton Raharja dkk.

Jaringan ini kemudian dikenal sebagai VoIP Rakyat dan

beroperasi hingga saat ini. Server VoIP Rakyat terletak di salah

satu Internet Exchange Indonesia dan saat ini beroperasi

menggunakan kode area mereka sendiri. Bagi desa yang dapat

84 Onno W.Purbo

mengoperasikan sentral telepon (softswitch) sendiri, dapat

meminta kode area ke server teleponrakyat.id.

OpenBTS untuk Pedesaan

Dengan bantuan dari Kurtis Heimerl et.al. dari kelompok TIER

di UC Berkeley US, beberapa ratus penduduk penduduk desa di

Wamena, Papua saat ini mulai menikmati biaya akses selular

yang rendah. Hal tersebut dimungkinkan karena menggunakan

teknologi OpenBTS. Menariknya, ternyata pedesaan tidak

berarti ketinggalan jaman. Memanfaatkan fasilitas pendaftaran

yang ada di log OpenBTS, adopsi dan penggunaan smartphone

di sebuah komunitas yang sangat terpencil di Indonesia

dieksplorasi. Ditemukan bahwa 16% dari ponsel di daerah itu

smartphone (dibandingkan antara 14-24% di Indonesia). Hal

ini menunjukkan bahwa adopsi smartphone di pedesaan

Indonesia mirip dengan wilayah lainnya di Indonesia (Kurtis

Heimerl et.al., 2016).

85

Gambar 8.4:

Gambar penduduk desa di Wamena, Papua saat menginstalasi

OpenBTS. Kearifan lokal digunakan untuk menggunakan pohon

daripada tower yang mahal (courtesy Kurtis Heimerl)

86 Onno W.Purbo

Jaringan selular sudah menutupi dunia, meliputi miliaran

orang. Namun, ratusan juta lainnya masih tidak berada dalam

cakupan. Setidaknya bagian dari alasannya adalah struktural:

jaringan selular tradisional dibangun top-down, didorong oleh

motif keuntungan dari operator besar atau oleh tekanan

politik dari pemerintah. Daerah yang kurang menguntungkan

atau kekurangan politisi kuat sering dibiarkan tanpa layanan

komunikasi. Heimerl et.al. menerapkan model alternatif untuk

sistem selular di pedesaan di Wamena, Papua berdasarkan

teknologi OpenBTS: membangun mereka bottom-up, di

instalasi oleh orang-orang lokal dan beroperasi dalam skala

kecil, berhasil menjadi jaringan telekomunikasi berkelanjutan,

meningkatkan infrastruktur daerah. Pada 16 bulan pertama

dalam jaringan hidup OpenBTS tersebut dengan 349

pelanggan berhasil memberikan lebih dari Rp. 10 juta per

bulan untuk operator-nya. Model ini berkelanjutan, dan sudah

berjalan dengan baik selama tiga (3) tahun terakhir, dan

memberikan bermanfaat bagi masyarakat dengan membawa

telekomunikasi ke daerah yang kurang. Heimerl et.al.

berkeyakinan bahwa model bottom-up ini dapat membawa

konektivitas seluler kepada mereka yang tidak mempunyai

akses selular dengan cara yang berkelanjutan dan

menguntungkan bagi masyarakat lokal (Heimerl, K. et.al., 2014,

pp. 1-2). Perlu kita catat bersama bahwa jaringan yang di

operasikan oleh Kurtis Heimerl et.al. merupakan jaringan

OpenBTS yang terlama yang berhasil beroperasi di dunia, dan

biasanya menjadi contoh bagi dunia. Semoga contoh yang luar

biasa ini bisa di restui oleh KEMKOMINFO.

87

Workshop tentang teknologi OpenBTS banyak dilakukan,

sebagian besar di organize oleh ICTWATCH, Yayasan Raihan

Teknologi dan OnnoCenter. Workshop OpenBTS pertama di

Indonesia adalah pada tanggal 30 April 2011 di Universitas

Gajah Putih, Takengon, Aceh dengan sekitar 40 mahasiswa

yang berpartisipasi. Sejak itu ada lebih dari 80 OpenBTS

workshop dan sesi demo telah diselenggarakan dengan total

lebih dari 14.300 peserta.

Selanjutnya, OpenBTS telah tampil di berbagai media,

termasuk Detik.com, KOMPAS, MetroTV dan NET TV. Diskusi

OpenBTS dalam bahasa Indonesia dapat dengan mudah di

identifikasi melalui Twitter dengan menggunakan OpenBTS

sebagai kata kunci pencarian. Akibatnya, banyak universitas

berinvestasi beberapa sumber daya untuk melakukan

penelitian pada teknologi OpenBTS. Estimasi jumlah OpenBTS

yang ada di berbagai kampus adalah sebagai berikut, Surya

Universitas 10 Unit didanai oleh Ford Foundation, Telkom

Universitas lebih dari 5 unit, Politeknik Elektronika di

Surabaya lebih dari 12 unit, Institut Teknologi Bandung lebih

dari 3 unit, Politeknik Aceh 2 unit, Universitas dari Indonesia 2

unit, ICTWATCH 3 unit, Airputih Yayasan 1 unit. Unit-unit ini

terutama digunakan untuk tujuan penelitian dan membangun

kapasitas sumber daya manusia yang mampu dalam

mengembangkan OpenBTS di pedesaan Indonesia.

Pada tanggal 6 Januari 2016, Rudiantara, Kementrian

Komunikasi dan Informatika, bergabung dengan diskusi

informal komunitas di kantor pusat ICTWATCH tentang

88 Onno W.Purbo

kemungkinan penggunaan OpenBTS oleh komunitas untuk

pedesaan. Rudiantara setuju untuk mendukung OpenBTS

untuk implementasi pedesaan (Achmad Rouzni Noor II.,

2016b). Setelah melalui banyak diskusi, pada tanggal 8 April

2016, Rudiantara menandatangani Keputusan Menteri Nomor

5/2016 tentang percobaan teknologi pada telekomunikasi,

informatika dan penyiaran. Pada dasarnya memberlakukan

persyaratan yang sangat normatif, yaitu, bagi orang yang ingin

mencoba teknologi untuk aplikasi pedesaan harus mengajukan

proposal untuk menteri untuk dievaluasi dan dioperasikan

secara non-komersial dalam waktu percobaan yang terbatas.

Pelajaran dari Inisiatif Bottom Up

Ada beberapa hal yang menarik yang dapat kita ambil dari

inisiatif bottom up, antara lain adalah:

Banyak innovasi yang berkembang di komunitas yang

bergerak di pedesaan. Innovasi ini berhasil menekan

biaya yang dibutuhkan untuk akses ke Internet.

Sebagian dari innovasi sangat luar biasa secara teknologi,

karena hanya sedikit sekali di dunia yang mampu

melakukan sampai dengan tahapan yang berhasil

dilakukan oleh orang Indonesia tersebut. Kita

(Indonesia) sering kali menjadi contoh dunia untuk

teknologi untuk rural dan pedesaan.

89

Group diskusi di Internet menjadi tempat yang sangat

strategis untuk menyebarkan ilmu yang dikembangkan

diantara mereka.

Gerakan 'bottom-up' berhasil membangun infrastruktur

yang berkelanjutkan (sustainable). Tiga kunci utama-nya

di penuhi dengan baik, yaitu, innovasi teknolgi untuk

menekan biaya, memberdayakan masyarakat /

membangun keahlian lokal dan memberikan manfaat

bagi ekonomi lokal sehingga semua pembiayaan dapat

dilakukan secara swadaya masyarakat.

Referensi

Achmad Rouzni Noor II. (2016b). Diskusi Sambil Lesehan,

Menkominfo Bahas Open BTS Bareng Onno Cs. Jakarta:

DETIKCOM. [online] Ada di: http://inet.detik.com

/read/2016/01/07/185618/3113286/328/diskusi-sambil-

lesehan-menkominfo-bahas-open-bts-bareng-onno-cs

[Accessed 20 Jun. 2016]

Burgess, David. (2010). Low cost cellular networks with

OpenBTS. The Open Source Business Resource. pp. 14-17.

David Talbot. (2013). How Remote Places Can Get Cellular

Coverage by Doing It Themselves. MIT Technology Review.

[online] Available at: https://www.technologyreview.

com/s/522371/how-remote-places-can-get-cellular-

coverage-by-doing-it-themselves/ [Accessed 4 Jun. 2016]

90 Onno W.Purbo

Jane Butler editor. (2013). Wireless Networking in The

Developing World, 3rd ed. WNDW. [online] Ada di:

http://wndw.net/download/WNDW_Standard.pdf

[Accessed 6 Jun. 2016]

Jordan Andrean, Onno W. Purbo, Andri Johandri. (2015).

Hacking Streaming. Jakarta: Elexmedia.

Heimerl, K., Hasan, S., Ali, K., Parikh, T., & Brewer, E. (2014). A

longitudinal study of local, sustainable, small-scale cellular

networks [ICTD 2013 Special Issue]. Information

Technologies & International Development (ITID), 11(1), 1–

19. [online] Available at: http://kurti.sh/pubs/vbts_itid_

15.pdf [Accessed 6 Jun. 2016]

Kurtis Heimerl, Anuvind Menon, Shaddi Hasan, Kashif Ali, Eric

Brewer, Tapan Parikh. (2015). Analysis of Smartphone

Adoption and Usage in a Rural Community Cellular Network .

Singapore: International Conference on Information and

Communication Technologies and Development (ICTD)

2015. [online] Available at: http://kurti.sh/pubs/

smartphones_ictd15.pdf [Accessed 6 Jun. 2016]

Li, F.Y; Vandonif, L; Ziccaf, G; Zanoli, S. (2008). OLSR Mesh

Networks for Broadband Access: Enhancements,

Implementation and Deployment. 2008 4th IEEE

International Conference on Circuits and Systems for

Communications.

Onno W. Purbo. (2011). VoIP Cookbook. Internet Society

Innovation Funds (SIF). [online] Ada di:

91

http://cyberlearning.web.id/pustaka/docs/ebook-

voip/VoIP -Cookbook-20101214.pdf [Access 20 Jun. 2016]

Onno W. Purbo. (2013). Bongkar Rahasia OpenBTS Untuk

Jaringan Operator Seluler. Yogyakarta: Penerbit Andi.

PEMBERDAYAAN OLEH MASYARAKAT

Memberdayakan masyarakat untuk mengusai Internet skill

sangat penting (Economist Intelligence Unit, 2013,p 25; World

Economic Forum, 2016, p. 9; ITU, 2015, pp. 93-94; MCMC,

2015, p. 10; IDA, 2015, p. 10). Ada dua (2) hasil utama yang

dapat diperoleh dari proses pemberdayaan masyarakat, yaitu,

(1) kemampuan untuk menciptakan dan memelihara

infrastruktur Internet lokal dan (2) meningkatkan Internet skill

untuk memaksimalkan manfaat Internet (Madalyn Cohron,

2015).

Kemampuan untuk menggunakan Internet dengan baik dan

aman menjadi penting bagi pengguna pemula Internet.

Idealnya, akan lebih efektif jika Internet skill dapat

diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah. Sayangnya, sejak

tahun 2013, Menteri M. Nuh Menteri Pendidikan saat itu, telah

dihapus TIK dari pelajaran wajib di sekolah-sekolah Indonesia

dan, dengan demikian, banyak sekolah negeri berhenti

92 Onno W.Purbo

menggunakan TIK dan internet dalam kegiatan belajar-

mengajar mereka (Elza Astari Retaduari 2016). Selanjutnya,

Menteri Pendidikan saat ini, Pak Anis Baswedan, belum

terlihat rencana untuk menandatangani aturan apapun tentang

pelajaran TIK dalam kurikulum sekolah dalam waktu dekat.

Oleh karena itu, kita bangsa Indonesia tampaknya harus

mengandalkan jenis lain dari metode pemberdayaan untuk

menyebarkan Internet skill bagi rakyat Indonesia.

Secara umum, ada beberapa jenis metode yang umum

dilakukan dengan target yang berbeda. Karena tidak mungkin

untuk menggunakan kurikulum sekolah, rakyat Indonesia

harus mengandalkan upaya masyarakat untuk memperoleh

pengetahuan. Pada bagian ini, saya akan meninjau upaya

masyarakat dalam pemberdayaan TIK. Ada beberapa

komunitas utama yang aktif dalam pemberdayaan TIK, antara

lain, ICTWATCH, RelawanTIK dan Raihan Teknologi

Foundation. Selain itu, dua (2) distributor utama peralatan

nirkabel, yaitu, Mikrotik dan Ubiquity, juga memainkan peran

penting dalam pendidikan masyarakat.

Gerakan Internet Sehat

ICTWATCH sejak 29 April 2002 memicu gerakan dimulai

dengan meluncurkan situs resmi Internet Sehat

http://internetsehat.org dan edisi pertama Internet Sehat

dalam bentuk brosur hardcopy. Dari berbagai arsip diskusi,

terutama di sekolah2000.org, program advokasi Internet Sehat

93

dipromosikan oleh ICTWATCH. Internet Sehat mempromo-

sikan kebebasan berekspresi di Internet secara aman dan

bijak, dengan pendekatan sebagai berikut (1) self-censorship

hanya di keluarga dan sekolah, (2) meningkatkan kandungan

lokal yang positif, berguna dan menarik dan (3)

memberdayakan masyarakat sipil pada teknologi informasi

dan komunikasi. Pada 2009-2012, ICTWATCH diselenggarakan

Internet Sehat Blog Award (disingkat ISBA) yang memberikan

penghargaan kepada blogger yang memiliki artikel, ide-ide,

berpikir yang baik dalam blog mereka. Kegiatan ini berusaha

untuk mendorong blogger dan penulis untuk menambah isi

konten positif di Internet Indonesia.

Sayangnya, pada tahun 2009, pemerintah, dalam hal ini,

KEMKOMINFO, dalam mengusung nama Internet Sehat

menggunakan pendekatan yang berlawanan yaitu pendekatan

top-down dengan melakukan menyaringan dan pemblokiran

di tingkat ISP. Program jenis ini jelas melanggar dan

mencederai semangat awal Internet Sehat. Akhirnya, untuk

meminimalkan penyalahgunaan istilah Internet Sehat oleh

pihak-pihak tertentu, di mana kadang-kadang hanya untuk

mendapatkan proyek - menyamar bersosialisasi, untuk

kepentingan pribadi atau segelintir kelompok tertentu seakan

memahami semangat Internet Sehat, pada tanggal 21 Oktober

2010, Internet Sehat terdaftar sebagai merek dagang kepada

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan intelektual (tim Internet

Sehat, 2010).

94 Onno W.Purbo

Perjuangan selama lebih dari 14 tahun akhirnya

memenangkan penghargaan yang luar biasa, ICTWATCH

terpilih untuk 2016 WSIS Champion Proyek Award, untuk

proyek berjudul “”Internet Sehat” (Healthy Internet) Towards

Indonesian Information Society.” Pemenang diumumkan pada

upacara penyerahan hadiah pada WSIS 2016 di Jenewa, Swiss

pada tanggal 3 Mei 2016. WSIS Stocktacking mendokumen-

tasikan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi

internasional, bisnis, dan masyarakat sipil sejak peluncuran

WSIS conference. ICTWATCH dipilih berdasarkan voting lebih

dari 245.000 orang, serta tahap seleksi yang dilakukan oleh

WSIS Expert Group. ICTWATCH adalah salah satu dari lima

organisasi yang dipilih di bawah subkategori “Ethical

Dimensions of the Information Society”. Ini adalah satu-

satunya program dari lembaga Indonesia diberikan sebagai

'Champion' (Achmad Rouzni Noor II, 2016).

Kompetisi TIK

Selain gerakan Internet Sehat, tampaknya ada banyak gerakan

besar untuk memberdayakan kaum muda untuk dapat

memaksimalkan kemampuan mereka untuk mendapatkan

manfaat maksimal TIK dan Internet. Salah satu gerakan yang

menonjol adalah untuk menciptakan Start Up dan e-commerce

di Internet. Beberapa lembaga, seperti Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) DKI, Lembaga Kebijakan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah (LKPP ), sangat tertarik dalam

memegang acara hackathon. Hackathon adalah singkatan dari

95

Hackhing Marathon. Hackathon menjadi sarana untuk mencari

programmer terbaik dan ide-ide terbaik untuk memecahkan

masalah di berbagai instansi. Dalam dunia keamanan cyber,

Kementerian Pertahanan dan beberapa komunitas seperti

Indonesia Backtrack secara berkala melakukan pertandingan

hacking yang biasanya dikenal sebagai Capture The Flag (CTF)

beberapa kali dalam setahun.

Untuk menarik programmer muda ke dalam dunia

pemrograman, sejumlah pertandingan yang diorganisir. Salah

satu masalah terbesar untuk mendapatkan seorang

programmer yang baik adalah kurikulum ilmu komputer dan

matematika yang baik. Matematika dan kompetisi matematika

harus dilakukan sejak usia dini. Hal ini sangat terasa dalam

acara persaingan global, seperti, pertandingan berbasis tim

seperti Asosiasi Computing Machinery (ACM) International

Collegiate Programming Contest (ICPC) yang merupakan

kompetisi pemrograman muti-tier. Para finalis Indonesian

sebagian besar adalah orang yang sangat tertarik pada

pemrograman sebagai hobi dan bukan karena pelatihan secara

akademis seperti yang dijelaskan oleh Prof. Teddy Mantoro

salah satu judge ACM ICPC Indonesia

Programer terbaik dari ACM ICPC biasanya menjadi motor di

balik sukses StartUp, seperti, Bukalapak.com dan

Tokopedia.com. Bukalapak didirikan pada tahun 2011 oleh

tiga pendiri. Mereka adalah Achmad Zaky sebagai CEO,

Muhammad Fajrin Rasyin sebagai CFO, dan Heru Nugroho

Cahyono sebagai CTO. Menurut data dari Tech in Asia, staff

96 Onno W.Purbo

Bukalapak saat ini telah mencapai lebih dari 200 orang.

Pendanaan dari Bukalapak terakhir adalah seri B dari Emtek

Group. Sejak 2014, Bukalapak mengakomodasi transaksi

senilai lebih dari Rp 1 triliun. Sampai awal tahun 2015,

Bukalapak sudah memiliki 163.000 penjual. Menjelang akhir

2015, Zaky mengklaim bahwa Bukalapak memiliki 500.000

penjual dengan nilai rata-rata transaksi harian sekitar Rp. 8

miliar (Nurmayanti 2015; Dewi Widya Ningrum, 2015).

Tokopedia didirikan pada tahun 2009 oleh William

Tanuwijaya dan Leontinus Edison. Pada 2015, Tokopedia

mengklaim mereka memiliki 300.000 penjual aktif yang

menjual 6 juta produk setiap bulan. Pendanaan terakhir yang

diperoleh Tokopedia sebesar US$ 100 juta (sekitar Rp. 1,2

miliar pada saat itu). Pendanaan diperoleh dari Sequoia Capital

dan Softbank Capital. Laporan dari data Tech in Asia,

Tokopedia sekarang memiliki staff lebih dari 200 orang (Audi

Eka Prasetyo, 2015)

Menarik Para Techies Muda

Internet sangat sarat dengan teknologi. Untuk dapat

membangun Internet yang baik, Indonesia akan membutuhkan

banyak Techies. Saat ini, techies mendapatkan pengetahuan

melalui diskusi internet, baik melalui media sosial, misalnya,

facebook dan twitter, atau melalui kaskus.co.id forum

elektronik terbesar Indonesia dengan lebih dari 6 juta

pengguna terdaftar. Platform ini digunakan sebagai media

97

tanya jawab. Semua orang di jaringan dapat membaca diskusi

tertulis dan memperoleh pengetahuan dibahas.

Topik yang dibahas sangat bervariasi, antara lain, teknik

tentang bagaimana membangun akses internet biaya rendah,

membangun jaringan lingkungan, pembuatan antenna

Wajanbolic, membuat server video streaming, menjalankan

telkom sendiri di di Internet serta topik cukup maju seperti

hacking, keamanan jaringan, Internet of Things, jaringan mesh,

OpenBTS, dan berbagai hal tetang sistem operasi linux dll.

Untuk mengurangi berbagai pertanyaan yang sering di ajukan,

beberapa aktivis menulis pengetahuan mereka di blog, web,

dan wiki. Untuk menjangkau khalayak yang lebih tradisional

dan mereka yang lebih memilih membaca buku kertas, banyak

buku IT yang diterbitkan terutama dari Elexmedia

Komputindo dan Penerbit Andi.

Akses pada pengetahuan dan perpustakaan digital menjadi

penting artinya, penulis selama lebih dari satu dekade

belakangan selalu menawarkan berbagai sekolah dan kampus

yang mengundang untuk memberikan ceramah atau workshop

untuk dapat mengcopy semua perpustakaan digital yang ada

pada penulis. Besar perpustakaan digital sekitar 2 TeraByte,

biasa di copy pada USB harddisk external biasa. Di berbagai

kampus perpustakaan ini dapat kemudian di copy kepada

mereka yang menginginkan atau di hosting di server lokal. Isi

perpustakaan cukup beragam, miulai dari kumpulan ebook

yang besarnya lebih dari 500Gbyte, repository Ubuntu, cd

linux, berbagai source code aplikasi open source dan masih

98 Onno W.Purbo

banyak lagi. Bagi mereka yang berminat untuk mengcopy

perpustakaan tersebut di persilahkan untuk mengirimkan e-

mail pada penulis di [email protected].

e-Learning

Bagi mereka yang mencari pengetahuan yang lebih

terstruktur, para aktivis membuat situs e-learning gratis

berbasis Moodle. Situs-situs tersebut, cyberlearning.web.id

dan belajaronline.web.id, saat ini memiliki lebih dari 14.500

siswa. Situs ini juga digunakan untuk mengajar para guru

untuk membuat kursus online dan ujian online. Ujian online

sangat strategis untuk mengurangi biaya pendidikan, saat ini,

sebagian besar sekolah Indonesia harus mengalokasikan Rp. 6-

20 juta per semester untuk mem-fotokopi materi ujian.

Sementara biaya sebuah server kecil untuk sekolah hanya Rp.

10 juta dan dapat digunakan setidaknya untuk lima tahun ke

depan.

Saat ini, kementerian pendidikan tampaknya mendorong ujian

akhir secara online tanpa dukungan untuk tryout untuk ujian

online. Sejak akhir 2015, sekelompok relawan guru TIK dalam

kelompok KOGTIK telah menyelenggarakan workshop secara

swadana untuk menggunakan e-learning dan ujian secara

online di 10 kota dengan rata-rata 100 guru berpartisipasi

setiap kota. Setiap guru yang berpartisipasi terpaksa

membayar dari kantong mereka sendiri sekitar Rp. 75-100,000

untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Lumayan mahal

99

sebetulnya, karena sekitar 2-5% dari gaji bulanan seorang

guru. Mudah-mudahan di masa mendatang lebih banyak

stakeholder yang bersedia mendanai usaha-usaha positif

seperti ini.

IT workshop untuk Sekolah

Belajar mandiri, meskipun di bantu melalui Internet, melalui

forum diskusi, web, e-learning tampaknya tidak cukup bagi

banyak anak muda Indonesia. Oleh karena itu, Yayasan Raihan

Teknologi menyelenggarakan workshop / seminar IT swadana

dan roadshow di banyak kota kabupaten. Target biaya tidak

mahal, hanya Rp. 25-35.000 per orang. Dengan 200-300

peserta, dana yang terkumpul adalah sekitar Rp. 5-10 juta per

event. Dengan biaya rata-rata sewa ruang sekitar Rp. 2,5 juta,

maka sisa uang akan menutupi biaya transportasi dari speaker

cukup baik untuk datang ke kabupaten dan kadang-kadang

villages. Sejak 2012, Yayasan Raihan Teknologi telah

menyelenggarakan sekitar 40 workshop terutama di

kabupaten dengan rata-rata 500-600 peserta sebagian besar

siswa SMK. Total biaya per workshop adalah sekitar Rp. 10

juta.

Workshop untuk Profesional

Workshop untuk wireless engineering yang lebih professional

banyak di selenggarakan oleh distributor Mikrotik dan

Ubiquity.. Ubiquity melalui Spectrumindo menyelenggarakan

100 Onno W.Purbo

berbagai kegiatan yang didokumentasi di Facebook. Ada

setidaknya empat technical event per tahun dengan rata-rata

100 peserta per event. Pada 2016, event ini diselenggarakan di

Surabaya, Bali, Medan dan Manado. Ada empat worskhop

dengan sekitar 20 peserta, dan satu workshop untuk trainer

dengan sekitar 25 peserta. Jadi ada sekitar 500 wireless

engineer per tahun yang telah di latih oleh Ubiquity. Event

untuk Mikrotik di Indonesia diselenggarakan oleh CitraWeb.

Ada minimal 40 kelas workshop per tahun dengan sekitar 24

peserta per kelass. Rata-rata, Mikrotik mendidik sekitar 1000

wireless engineer baru per tahun. foto dokumentasi dapat

dilihat di Web. Selain itu, Miktotik Indonesia bermintra dengan

170 sekolah kejuruan dan univerities untuk menjalankan

pelatihan Mikrotik sendiri yang bersertifikat. Setiap tahun

Mikrotik di seluruh dunia menyelenggarakan paling tidak 30

Mikrotik User Meeting (MUM)). Pada tanggal 9-10 Oktober

2015, diselenggarakan Mikrotik User Meeting (MUM) yang ke

tujuh di Yogyakarta yang dihadiri oleh lebih dari 2500 peserta

dan terbesar di dunia. Sebanyak 1.500 wireless engineer per

tahun telah diberdayakan melalui workshop Mikrotik dan

Ubiquity.

Beberapa dari Proses Pemberdayaan

Ada beberapa hal yang mungkin menarik untuk disimak dari

proses pemberdayaan,

101

Membentuk sumber daya manusia tidak dapat dilakukan

dengan instan, ini membutuhkan proses yang panjang

dan akan lebih jika bisa di tanamkan sejak kecil dan sejak

usia sekolah.

Kemampuan pengetahuan dan teknologi teman-teman

yang ada di lapangan sangat mumpuni untuk dapat

membangun dunia Internet di Indonesia.

Kapasitas teman-teman di lapangan sangat terbatas

untuk bisa meng-organize pelatihan / workshop dalam

sekala besar. Saat ini per-tahun hanya mampu

mencerdaskan sekitar 1000 guru, 5000-6000 siswa dan

1500 wireless enginner. Memang cukup spektakuler, tapi

Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi gerakan yang

masih untuk dapat secata eksponensial mereduksi

kesenjangan digital yang ada.

Ideal-nya, kurikulum di sekolah dan kampus di Indonesia

dapat di ubah di sertai dengan pembekalan guru dan

infrastruktur TIK di sekolah / kampus yang mumpuni

untuk dapat secara eksponensial menyelesaikan

kesenjangan digital. Tapi ini sangat membutuhkan

keberanian para menteri maupun presiden untuk

merombak aturan, kebijakan maupun anggaran yang ada

selama ini.

Referensi

102 Onno W.Purbo

Achmad Rouzni Noor II. (2016). Program Internet Sehat dapat

Penghargaan PBB. Jakarta: DETIKCOM. [online] Ada di:

http://inet.detik.com/read/2016/04/13/085218/3186545

/398/program-internet-sehat-dapat-penghargaan-pbb

[Accessed 20 Jun. 2016]

Audi Eka Prasetyo. (2015). Debat Komunitas: Di Mana Kamu

Akan Berjualan, Tokopedia atau Bukalapak? Jakarta:

Techinasia. [online] Ada di: https://id.techinasia.com

/talk/tokopedia- vs-bukalapak-di-mana-kamu-akan-

berjualan [Accessed 20 Jun. 2016]

Dewi Widya Ningrum. (2015). CEO Bukalapak.com: 190 Ribu

Seller, Kami Terbesar di Indonesia. Jakarta: Liputan6.com.

[online] Available at: http://news.liputan6.com/read/

2220240/ceo-bukalapakcom-190-ribu-seller-kami-

terbesar-di-indonesia [Accessed 5 Jun. 2016]

Economist Intelligence Unit. (2013). Redefining the digital

divide. London: EIU. [online] Available at:

http://www.huawei.com/ilink/en/download/HW_314193

[Accessed 4 Jun. 2016]

Elza Astari Retaduari. (2016). Saat SBY Dengarkan Curhatan

Mantan Staf Ahli Jokowi. Jakarta: DETIKCOM. [online] Ada

di:http://news.detik.com/berita/3164743/saat-sby-

dengarkan-curhatan-mantan-staf-ahli-jokowi [Accessed 13

Jun. 2016]

Infocomm Development Authority (IDA) of Singapore. (2015).

Annual Survey on InfoComm usage in householes and by

103

individuals for 2014. Singapore: Infocomm Development

Authority of Singapore. p. 11. [online] Available at:

https://www.ida.gov.sg/~/media/Files/Infocomm%20Lan

dscape/Facts%20and%20Figures/SurveyReport/2014/201

4%20HH%20public%20report%20final.pdf [Accessed 11

Jun. 2016]

International Telecommunication Union (ITU). (2015).

Measuring the Information Society Report. Geneve:

International Telecommunication Union. [online] Availabe

at: http://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/Documents

/publications /misr2015/MISR2015-w5.pdf [Accessed 11

Jun. 2016]

Madalyn Cohron. (2015). The Continuing Digital Divide in the

United States. The Serials Librarian, 69:1, pp. 77-86.

Malaysia Communication and Multimedia Commission

(MCMC). (2015). Internet Users Survey 2014. Cyberjaya:

Malaysia Communication and Multimedia Commission

(MCMC). [online] Ada di: http://www.skmm.gov.my/

Resources/Statistics/Internet-users-survey.aspx [Accesssed

11 Jun. 2016]

Nurmayanti. (2015). Bisnis Toko Online Sangat Menjanjikan.

Jakarta: Liputan6.com. [online] Ada di:

http://bisnis.liputan6.com/read/2331904/bisnis-toko-

online-sangat-menjanjikan [Accessed 5 Jun. 2016]

World Economic Forum. 2016. Internet for All: A Framework

for Accelerating Internet Access and Adoption. World

104 Onno W.Purbo

EconomicForum. [online] Ada di: http://www3.weforum.

org/docs/WEF_ Internet_for_All_Framework_Accelerating_

Internet_Access_Adoption_report_2016.pdf [Accessed 11

Jun. 2016]

105

KEBIJAKAN PRO DESA

Pada tanggal 10 Juni, 2016, Achmad Muqowam, Ketua Komite I

DPD RI berpendapat,

"Bagi kita, yang utama dan prioritas adalah bagaimana

pembangunan jaringan telekomunikasi dan internet itu bisa

menjangkau masyarakat hingga ke pelosok pedesaan. Jadi,

jangkauan telekomunikasi dan informasi bisa lebih jauh

menembus batas-batas daerah, sehingga jarak antara

daerah-kota semakin dekat dari sisi komunikasi."

Komisi I DPD RI mendesak KEMKOMINFO untuk

memprioritaskan perluasan jaringan ke pedesaan sebagai

program utama mereka (Achmad Rouzni Noor II, 2016c).

Keberhasilan untuk menyediakan akses internet di daerah

pedesaan diidentifikasi sebagai faktor kunci pembangunan

(Puskakom UI, 2015, hlm. 2).

Kendala yang diberlakukan oleh pemerintah, menteri

keuangan Bambang Brodjonegoro secara eksplisit mesebutkan

bahwa sektor telekomunikasi harus mampu berjalan dan

dipercepat tanpa harus bergantung pada anggaran nasional

(KEMKOMINFO, 2015). Selain itu, undang-undang nomor

telekomunikasi menyatakan dengan jelas bahwa operator

106 Onno W.Purbo

hanya berlisensi dapat membangun dan mengoperasikan

infrastruktur telekomunikasi dan tidak ada ruang bagi

masyarakat untuk berpartisipasi, meskipun, mereka memiliki

kemampuan keuangan dan teknis untuk melakukannya dalam

komunitas mereka.

Untuk membiayai infrastruktur telekomunikasi untuk

pedesaan, ada tiga (3) pilihan pendanaan, yaitu, menggunakan

dana USO (Pemerintah Indonesia, 2009, hal. 7), dana desa

(KOMPAS, 2015), dan terakhir swadaya oleh masyarakat di

desa itu sendiri. Kunci untuk sebuah infrastruktur yang bisa

beroperasi secara berkelanjutan (sustainable) adalah dengan

menurunkan biaya biasanya melalui berbagai innovasi

teknologi, membangun keahlian lokal dan bisa memberikan

manfaat bagi ekonomi lokal (Laura Hosman, 2010, hlm. 57-58).

Untuk mengkatalisasi perubahan positif dalam TIK untuk

pembangunan, pendekatan pengembangan terbuka dapat

diadopsi (Matthew L. Smith et.al.. 2011, p. iii)

Pemerintah sebelumnya mencoba untuk memberikan PLIK

dan MPLIK tanpa survei lapangan yang memadai tentang

kapasitas lokal, dan tidak banyak pelatihan untuk sumber daya

manusia yang akan menangani sistem mengarah. Hal ini

menyebabkan kegagalan proyek. Rencana pemerintah yang

lebih baru untuk menginstal 575 BTS di daerah pedesaan pada

2019 (Pemerintah Indonesia, 2016, p. IV-43), tidak akan

mungkin cukup untuk menutupi 7.717 desa yang tidak ada

sinyal seluler (BPS Indonesia, 2014b, hal. 105 ). Kebijakan

107

yang lebih agresif dan memberdayakan kapasitas yang ada di

desa perlu di eksplorasi.

Saya akan menyarankan kebijakan pro desa untuk dibagi

menjadi dua (2) kebijakan utama yang bertujuan

Untuk pembekalan pengetahuan pada rakyat, seperti,

keterampilan Internet (Internet skill), pembekalan

teknologi.

Untuk mempersempit kesenjangan akses.

Kebijakan yang paling sederhana yang dapat diambil untuk

membekali anak Indonesia dengan kompetensi Internet

(Internet competence) adalah jika Pak Menteri Pendidikan Anis

Baswedan memerintahkan pemuatan TIK dalam kurikulum

sekolah, mempekerjakan kembali para guru TIK dan

menyambungkan internet ke sekolah-sekolah. Menyediakan

internet di sekolah-sekolah dapat didanai oleh dana USO atau

Dana Desa bekerjasama dengan KEMKOMINFO, atau swadaya

masyarakat. Di sektor informal, masyarakat dapat

memperoleh pengetahuan melalui berbagai diskusi di Internet

dan lokakarya, seperti yang dilakukan oleh Raihan Teknologi

Foundation, Mikrotik dan Ubiquity. Hal ini pada akhirnya akan

mengurangi penghalang adopsi Internet (World Economic

Forum 2016, p 9;. ITU, 2015, hlm 93-94;. MCMC, 2015, p 10;.

IDA, 2015, p 10.).

Teddy Mantoro et.al. telah menulis sebuah roadmap yang

lengkap untuk pengembangan sumber daya manusia untuk

industri TIK di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa langkah

108 Onno W.Purbo

strategis yang direkomendasikan untuk menjembatani

kesenjangan kompetensi di bidang TIK, termasuk, (1) kontrol

yang ketat atas kualitas pendidikan, dengan pengawasan yang

ketat pada kurikulum informatika dan komputer dan

pedagogik nya, (2) membangun pusat sertifikasi dan keahlian

nasional dan regional, dan (3) memfasilitasi interaksi terus-

menerus antara industri TIK, pemerintah, dan lembaga

pendidikan untuk membangun pengetahuan dan keahlian di

bidang informatika dan komputer (Teddy Mantoro et.al., 2016,

hlm. 61-62).

Untuk mempersempit kesenjangan akses Internet, ada tiga (3)

pilihan penyelenggaraan oleh (1) sepenuhnya operator

didorong oleh pemerintah, (2) menggunakan kombinasi

kemitraan pemerintah-rakyat, atau (3) gabungan dari ke dua

pola penyelenggaranan terdahulu. Berdasarkan undang-

undang telekomunikasi, KEMKOMINFO memperoleh amanah

untuk menyebarkan jaringan telekomunikasi ke pedesaan.

Untuk mengurangi tingkat kegagalan dalam proyek 'top-down',

pemerintah harus melakukan survei yang lebih luas tentang

kapasitas lokal dan perencanaan yang lebih ketat serta

meningkatkan proses pemberdayaan warga sebelum

mengimplementasikan infrastruktur tersebut. Hal ini penting

untuk memastikan bahwa masa depan kebijakan 'top-down'

untuk meningkatkan akses internet pedesaan tidak mengikuti

kegagalan pendahulu-nya.

Dengan kenyataan yang ada sekarang, banyak sekali RT/RW-

net yang sudah beroperasi secara swadaya masyarakat

109

sebagian bahkan sudah masuk ke pedesaan, ada ribuan

wireless engineer, banyak kelompok penelitian jaringan dan

OpenBTS di berbagai kampus, akan sangat bermanfaat untuk

memperkuat kemitraan pemerintah-rakyat dalam kebijakan

pro desa. Kebijakan yang paling sederhana yang dapat di ambil

adalah memberlakukan class license untuk jaringan RT/RW-

net seperti yang telah dilakukan pada saat pembebasan

frekuensi WiFi. Jika persyaratan lisensi akan diberlakukan,

maka KEMKOMINFO harus siap untuk memproses lisensi ISP

untuk setiap jaringan RT/RW-net yang akan di

implementasikan di lebih dari 80.000 desa.

Selain lisensi ISP, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk

mengevaluasi metode yang optimal, tentang cara

menggunakan dana USO untuk masyarakat, alokasi sumber

daya telekomunikasi yang optimal, seperti, kode area telepon,

biaya jaringan interkoneksi dan saluran selular untuk

masyarakat . Untuk menjamin kelanggengan infrastruktur,

kebijakan pro desa harus bisa memberikan insentif untuk

innovasi agar biaya menjadi rendah, membangun keahlian

lokal dan membuat supaya infrastruktur bermanfaat bagi

ekonomi lokal setempat (Laura Hosman, 2010, hlm. 57-58).

Referensi

(2009). Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang

Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

yang berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika.

Jakarta: Indonesian Government [online] Ada di:

110 Onno W.Purbo

http://www.postel.go.id/content/ID/regulasi/

standardisasi/pp/pp_7_2009_pnbp.pdf [Accessed 12 Jun.

2016].

(2016). Peraturan President Republik Indonesia Nomor 45

Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun

2017. Jakarta: Pemerintah Indonesian. [online] Ada di:

http://bappenas.go.id/index.php/download_file/view/167

00/5009/ [Accessed 12 Jun. 2016]

Achmad Rouzni Noor II. (2016c). 'Pak Menteri, Tolong Lirik

Juga Akses Internet di Desa Terpencil'. Jakarta: DETIKCOM.

[online] Ada di: http://inet.detik.com/read/2016/06/10/

085202/3229841/328/pak-menteri-tolong-lirik-juga-

akses-internet-di-desa-terpencil [Accessed 20 Jun. 2016]

Infocomm Development Authority (IDA) of Singapore. (2015).

Annual Survey on InfoComm usage in householes and by

individuals for 2014. Singapore: Infocomm Development

Authority of Singapore. p. 11. [online] Ada di:

https://www.ida.gov.sg/~/media/Files/Infocomm%20

Landscape/Facts%20and%20Figures/SurveyReport/2014/

2014%20HH%20public%20report %20final.pdf

[Accessed 11 Jun. 2016]

International Telecommunication Union (ITU). (2015).

Measuring the Information Society Report. Geneve:

International Telecommunication Union. [online] Ada di:

http://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/Documents/

111

publications/misr2015/MISR2015-w5.pdf [Accessed 11

Jun. 2016]

KEMKOMINFO. (2015). Bangun Infrastruktur Bisa Cepat Tanpa

Bergantung APBN. Jakarta: KEMKOMINFO. [online] Ada di:

http://palaparing.kominfo.go.id/?Flow=news&code=3

[Accessed 5 Jun. 2016]

Laura Hosman. (2010). Policies, Partnerships, and Pragmatism:

Lessons from an ICT-in-Education Project in Rural Uganda.

Information Technologies & International Development

(ITID). Vol 6, Issue 1 - Spring 2010.

Matthew L. Smith, Laurent Elder, Heloise Emdon. 2011. Open

Development: A New Theory for ICT4D. Information

Technologies & International Development. Vol 7, Issue 1 -

Spring 2011 (Special Issue: Open Development).

Malaysia Communications and Multimedia Commission

(MCMC). 2015b. Communications & Multimedia Pocket

Book of Statistics Q4 2015. Cyberjaya: Malaysia

Communications and Multimedia Commission. [online]

Available at: http://www.mcmc.gov.my/Resources

/Statistics/Communications-and-Multimedia-Pocket-Book-

of-Stati.aspx [Accessed 12 Jun. 2016]

Puskakom UI. (2015). Profil Pengguna Internet Indonesia 2014.

Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

(APJII).

Teddy Mantoro, Media A. Ayu, Wendi Usino, Ahmad Unggul

Priantoro, Udi Rusadi. (2016). Pengembangan SDM TIK

112 Onno W.Purbo

Indonesia 2016 – 2020. Jakarta: Puslitbang Literasi dan

Profesi, Ministry of Communication and Information.

World Economic Forum. 2016. Internet for All: A Framework

for Accelerating Internet Access and Adoption. World

Economic Forum. [online] Available at: http://www3.

weforum.org/docs/WEF_Internet_for_All_Framework_Accel

erating_Internet_Access_Adoption_report_2016.pdf

[Accessed 11 Jun. 2016]

113

PENUTUP

Keberhasilan dalam mempersempit kesenjangan digital

(digital divide) dan memberikan keterampilan internet

(Internet skill) untuk Indonesia akan menjadi salah satu kunci

strategis untuk kemajuan Indonesia. Untuk dapat

meningkatkan penetrasi internet agar lebih dari setengah

penduduk Indonesia, maka mau tidak mau kita harus mampu

memberikan solusi untuk dapat menembus ke daerah

pedesaan dan rural. Penetrasi internet ke pedesaan tidak

mudah karena (1) kondisi medan yang berat, (2) keterbatasan

kemampuan finansial rakyat desa, dan (3) tidak menarik bagi

penyedia komersial untuk berinvestasi untuk menyediakan

layanan.

Pendidikan adalah kunci untuk membekali warga dengan

keterampilan Internet (Internet skill). Saat ini, Indonesia harus

mengandalkan lokakarya swadana, demo, seminar, diskusi

online untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan.

Beberapa workshop profesional yang mampu memberdayakan

1.500 insinyur nirkabel per tahun. Pencantuman TIK dalam

kurikulum sekolah, mempekerjakan kembali guru TIK dan

menyambungkan internet ke sekolah-sekolah akan

mempercepat proses pemberdayaan untuk menyebarkan

114 Onno W.Purbo

keterampilan Internet (Internet skill) dan kompetensi Internet

(Internet competence) untuk pemuda Indonesia dan, dengan

demikian, mengurangi hambatan dalam adopsi internet di

pedesaan dan rural.

Untuk mempersempit kesenjangan akses, pemerintah dapat

menggunakan dana USO atau dana Desa untuk sepenuhnya

mendanai proyek. Operator didorong dengan melakukan

survei lebih luas akan kapasitas lokal di pedesaan dan

melakukan perencanaan yang lebih rinci bukan sekedar untuk

memasang peralatan saja tapi juga untuk meningkatkan proses

pemberdayaan warga sebelum implementasi infrastruktur. Hal

ini penting untuk memastikan bahwa masa depan kebijakan

'top-down' untuk meningkatkan akses internet pedesaan tidak

gagal seperti pendahulu-nya.

Dengan kapasitas yang besar di masyarakat Engineer Internet

Indonesia, akan bermanfaat untuk memperkuat kemitraan

masyarakat-pemerintah dalam kebijakan pro desa. Kebijakan

yang paling sederhana akan memberikan class license pada

jaringan RT/RW-net untuk pedesaan. Sebaiknya ini juga di

barengi dengan alokasi kode area dan kanal selular untuk

pedesaan. Memang kita perlu melakjukan studi masa lebih

lanjut untuk mengevaluasi dana USO yang optimal bagi

masyarakat, alokasi optimal dari kode area telepon, saluran

selular untuk desa-desa serta bagaimana memberikan insentif

untuk innovasi teknologi untuk menurunkan biaya,

membangun keahlian lokal dan memastikan akses yang

dibaguan dapat memberikan manfaat bagi perekonomian lokal

115

agar menjaga kelanggengan (sustainability) infrastruktur di

pedesaan.

Indonesia tampaknya perlu lebih banyak pemikir-pemikir

kebijakan telekomunikasi dan Internet, dan menggali lebih

dalam prinsip-prinsip dasar, seperti, 'open access', 'open

Internet', 'network neutrality', 'Internet neutrality', 'end-to-end

principle', 'digital inclusion', 'digital literacy', 'Internet skills',

dan 'Internet competence', untuk dapat di tuangkan secara baik

dalam berbagai kebijakan telekomunikasi dan Internet

Indonesia agar membuka jalan yang lebar untuk innovasi anak

bangsa sambil mempersempit kesenjangan digital yang ada.

Mudah-mudahan kita semua dapat melihat transformasi

bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berbasis pengetahuan

dalam waktu yang tidak lama.

Merdeka!